tanatologi

35
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum). Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah meninggal dunia. Perubahan – perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). Perubahan yang terjadi secara cepat antara lain henti jantung, henti nafas, perubahan pada mata, suhu dan kulit. Sedangkan perubahan yang terjadi secara lanjut antara lain kaku mayat, pembusukan, penyabunan dan mummifikasi. Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang benar –benar sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup. 1. Definisi Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum). Jenis-Jenis Kematian Jenis kematian ada 3 yaitu : a. Mati klinis / somatis

description

h

Transcript of tanatologi

Page 1: tanatologi

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan perubahan yang terjadi setelah

seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting

dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum).

Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah meninggal dunia. Perubahan –

perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat

(early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). Perubahan yang terjadi secara cepat antara lain henti

jantung, henti nafas, perubahan pada mata, suhu dan kulit. Sedangkan perubahan yang terjadi secara lanjut

antara lain kaku mayat, pembusukan, penyabunan dan mummifikasi.

Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang benar –benar sudah

meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau

mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk membedakan perubahan-perubahan

yang terjadi post mortal dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.

1. Definisi

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan perubahan yang terjadi setelah

seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting

dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum).

Jenis-Jenis Kematian

Jenis kematian ada 3 yaitu :

a. Mati klinis / somatis

- Proses kematian yang hanya dapat dilihat secara mikroskopis karena terjadi gangguan pada

sistem pernafasan, kardiovaskuler, dan persarafan yang bersifat menetap.

- Ditandai dengan tidak adanya gerakan, refleks-refleks, EEG mendatar selama 5 menit, serta tidak

berfungsinya jantung dan paru-paru.

- Organ – organ belum tentu mati, masih bisa dimanfaatkan untuk transplantasi.

- Definisi ini yang sering dianut oleh orang awam.

b. Mati seluler / molekuler

- Proses kematian sel/ jaringan setelah mati klinis.

- Waktu kematian tiap jaringan / organ berbeda. Otak merupakan organ yang paling sensitif yaitu

sekitar 3-5 menit. Jaringan otot akan mengalami mati seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat

diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan mati somatis.

- Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam hal transplantasi organ.

c. Mati cerebral

- Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya otak dan susunan saraf pusat.

Definisi ini adalah definisi yang diakui oleh WHO.

Page 2: tanatologi

- Kerusakan batang otak : pernafasan berhenti namun masih bisa dipertahankan dengan ventilator.

2. Manfaat Tanatologi

Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :

a. Waktu kematian

b. Sebab kematian pasti

Contoh : keracunan CO akan terdapat kulit merah terang (terjadi perubahan warna kulit)

c. Cara kematian (homocide, suicide, accident)

d. Transplantasi (donor organ)

Syarat:

- Ada izin dari korban/ keluarganya

- Sudah meninggal

3. Diagnosa Kematian dari Perubahan Cepat

Untuk mendiagnosa perubahan cepat dari kematian digunakan beberapa alat antara lain stetoskop, lampu senter,

palu reflek, EEG, dan ECG. Prinsipnya adalah mendeteksi traktus respiratorius dan denyut jantung.

Beberapa tes yang dapat digunakan adalah :

a. Tes kardiovaskuler.

1. Magnus test.

Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya dengan mengikat/menutup ujung jari

korban dengan karet, lalu dilepaskan, maka tidak tampak adanya perubahan warna dari pucat

menjadi merah.

2. Diaphonos test.

Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan tidak terlihat ada sirkulasi

(warna merah terang).

3. Fluorescin test.

Caranya dengan menyuntikkan zat warna fluorescin maka zat warna fluorescin akan terlokalisir di

tempat suntikan karena tidak ada aliran darah.

4. Tes lilin.

Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi vasodilatasi (hiperemi) sebagai reaksi

terhadap rangsang panas karena sirkulasi tidak ada.

5. EKG dan Stetoskop.

b. Tes pernafasan.

1. Kaca.

Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau mulut korban.

2. Bulu-bulu halus.

Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan di depan hidung korban.

3. Winslow test

1

Page 3: tanatologi

Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu nafasnya) dengan cara

menempatkan cermin di dada korban dan disinari dengan lampu senter. Bila bernafas maka sinar

lampu senter akan ikut bergerak dengan syarat pemeriksa tidak boleh bergerak. Atau bisa

menggunakan baskom berisi air yang akan bergerak bila ada pergerakan di dada.

4. Stetoskop.

c. Tes Saraf

1. Memeriksa reflex : reflex kornea

2. EEG

4. Perubahan-perubahan yang Terjadi Setelah Kematian

Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late).

Perubahan cepat (early) :

- Tidak adanya gerakan.

- Jantung tidak berdenyut (henti jantung).

- Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).

- Kulit dingin dan turgornya menurun.

- Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.

- Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal lividity).

- Lebam mayat.

Perubahan lambat (late) ;

- Kaku mayat (post mortal rigidity).

- Pembusukan (decomposition).

- Penyabunan (adipocere).

- Mummifikasi.

5. Perubahan Mata

Perubahan mata setelah kematian dapat berupa :

- Hilangnya refleks kornea, refleks konjungtiva, dan refleks cahaya.

- Kornea menjadi pucat / opaque / keruh.

- Kelopak mata biasanya tertutup setelah kematian karena kekakuan primer dari otot tetapi

kekakuan otot biasanya sukar untuk membuat mata menutup menjadi lengkap sehingga akan tampak sklera,

sel debris, mukus dan debu dalam beberapa jam kematian, menjadi merah kecoklatan dan kemudian

menjadi hitam (Taches Noire De La Sclerotique). Kecepatan kekeruhan dipengaruhi oleh :

Waktu kematian keadaan matanya menutup atau membuka (bila menutup maka kekeruhan lambat

terjadi, tapi bila membuka, maka kekeruhan akan cepat terjadi akibat kontak dengan luar).

2

Page 4: tanatologi

Kelembapan udara (bila lembab maka kekeruhan lambat, bila kering / angin kencang maka

kekeruhan cepat terjadi).

Keadaan korban sebelum mati (bila sakit mata maka kekeruhan akan cepat terjadi).

Faktor – faktor penyebab kematian lainnya seperti :

Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea terang karena terjadi perdarahan

retina.

Keracunan sianida dan CO maka kekeruhan akan cepat terjadi.

Kematian kurang dari 1 jam, otot – otot mata masih hidup sehingga bisa ditetesi atropin akan

terjadi midriasis pupil.

- Tekanan intraokuler tidak ada. Tekanan intraokuler menurun dengan cepat setelah kematian

tergantung dari tekanan darah arteri. Bola mata menjadi lunak dan cenderung untuk masuk ke dalam fossa

orbital. Kekakuan bola mata dapat dengan mudah ditentukan dengan perabaan. Bila jantung berhenti

berdetak, tekanan menurun sekitar setengah sampai satu jam setelah kematian dan menjadi nol setelah 2

jam setelah kematian.

- Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium yang keluar

berhubungan dengan waktu kematian).

- Kedudukan pupil. Walaupun iris berespon terhadap kimia beberapa jam setelah kematian, refleks

cahaya menghilang segera saat nukleus batang otak mengalami iskemik. Iris mengandung jaringan otot

yang banyak sehingga kehilangan tonus dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.

- Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop retina akan dapat

menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah mati, aliran darah pembuluh darah retina menjadi

segmen seiring dengan tekanan darah yang hilang menyebabkan aliran darah terbagi menjadi beberapa

segmen.

6. Perubahan Kulit

Perubahan yang terjadi pada kulit setelah kematian dapat berupa :

- Kulit menjadi pucat. Karena sirkulasi darah berhenti setelah kematian, darah merembes keluar

dari pembuluh darah kecil sehingga kulit tampak pucat. Kulit menjadi pucat, bewarna putih abu dan

kehilangan elastisitasnya.

Pada kasus kematian berhubungan dengan spasme agonal dan terdapatnya sumbatan pada pembuluh darah

balik karena tekanan pada leher atau karena asfiksia traumatic, wajah tetap berwarna merah kebiruan

selama beberapa saat setelah kematian. Warna kekuningan pada kulit karena menderita sakit kuning, warna

pink kemerahan karena keracunan HCN atau CO biasanya tetap ada selama beberapa saat setelah kematian.

- Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.

Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat intravital atau post mortem, yaitu :

Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil daripada ukuran senjata, dermis

berwarna merah, antara epidermis dan dermis masih ada perekatnya.

3

Page 5: tanatologi

Luka post mortem membekas dengan ukuran lebih besar daripada ukuran senjata, bahkan

menganga, dermis pucat, epidermis lebih mudah mengelupas.

- Pada kasus tenggelam, kulit tangan keriput (washer woman hand).

Jika terjadi pada ujung jari saja maka kematian 4 jam yang lalu.

Jika terjadi pada telapak tangan dan seluruh jari maka kematian 24 jam yang lalu.

Jari tangan yang sudah terlepas digunakan untuk sidik jari.

7. Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis / Post Mortem Cooling)

Penurunan suhu mayat atau algor mortis akan terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapai keadaan

dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan

berbentuk kurva sigmoid, dimana pada jam – jam penurunan suhu akan berlangsung lambat, demikian pula bila

suhu tubuh mayat telah mendekati suhu tubuh lingkungan.

Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu keadaan

dimana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap di antara lapisan – lapisan yang menyusun tubuh, maka

penyaluran panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar.

Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi kematian yang

mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan bahwa tubuh sudah didinginkan oleh suhu

sekitarnya.

Hal ini juga harus dititikberatkan bahwa kegunaan dari perkiraan temperatur ini menetap pada iklim dengan

suhu dingin dan menengah dimana tubuh kehilangan panasnya secara lama sebagaimana halnya keseimbangan

pada temperatur lingkungan, sedangkan pada daerah tropis, penurunan suhu tubuh post mortem dapat minimal

atau bahkan tidak ada pada iklim yang sangat panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat setelah mati.

Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya. Temperatur lazim

pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat Fahrenheit, atau saat dipastikan melalui mulut adalah sekitar

99 derajat Fahrenheit, dan pada axilla sekitar 97 derajat fahrenheit. Temperatur juga dapat menunjukkan variasi

waktu yang berbeda selama tiap harinya. Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi

pada sore hari. Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun menjadi normal dalam

setengah jam kemudian.

Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :

- Temperatur dari tubuh saat mati.

Dalam beberapa kasus, seperti kematian karena asfiksia, emboli lemak dan air, heat stroke, beberapa infeksi,

reaksi obat, perdarahan cerebral, atau saat tubuh ditinggalkan berada di dekat api atau saat tubuh berada dalam

bak mandi hangat, maka temperatur akan meningkat. Sebaliknya penyakit degenerasi seperti cholera, gagal

jantung kongestif, paparan terhadap suhu dingin, perdarahan banyak, maka temperatur akan menurun.

- Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.

4

Page 6: tanatologi

Pada daerah dingin, penurunan suhu paling sedikit 1,5 derajat Fahrenheit per jam dan pada daerah tropis,

penurunan suhu paling sedikit 0,75 derajat Fahrenheit per jam. Selain itu, didalam air, kehilangan suhu melalui

konduksi dan konveksi. Pada kasus udara, kehilangan suhu dapat melalui konduksi (saat bagian dari badan

bersentuhan dengan tanah atau suatu material), konveksi (evaporasi dari cairan tubuh) dan sebagian radiasi.

Pada kasus yang dikubur, penurunan hanya melalui konduksi. Disamping itu, penguburan pada tanah berbatu

kering akan mempertahankan panas tubuh lebih lama dibanding terkena udara dan tubuh yang dilempar ke

timbunan sampah atau comberan, suhunya akan lebih cepat turun sedikit dibanding dibiarkan di udara terbuka.

Flora normal atau belatung dapat meningkatkan temperatur tubuh.

- Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.

Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang menutupi tubuh mayat akan

mempengaruhi kecepatan penurunan suhu.

Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian. Pakaian yang terbuat dari sutera, wol,

atau serat sintetik berperan dalam menurunkan suhu. Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena

terdapat uptake panas untuk evaporasi.

- Ukuran tubuh.

Anak – anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami pendinginan yang lebih cepat daripada

orang dewasa yang berukuran lebih besar. Jumlah dari lemak subkutan dan lemak preperitoneal berperan dalam

menentukan cepat lambatnya proses pendinginan. Tubuh seorang yang kurus akan lebih cepat mendingin karena

luas permukaan tubuhnya yang kecil dan kurangnya lemak.

- Aliran udara dan kelembapan.

Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam beberapa kondisi, udara hangat

biasanya menyelimuti permukaan tubuh dengan demikian akan memblok perubahan temperatur. Pergerakan

udara pada permukaan tubuh membawa udara dingin yang mempunyai kontak langsung pada tubuh yang

mendorong hilangnya panas. Udara yang lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding yang kering.

- Post mortem caloricity.

Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati sebagai pengganti akibat

pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses glikogenolisis post mortem yang berlangsung pada kebanyakan

tubuh sesudah mati, dapat memproduksi kira – kira 140 kalori yang akan meningkatkan suhu tubuh temperatur 2

derajat celcius.

Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu lingkungan sebesar 70 derajat

Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai berikut :

Saat Kematian = 98,6 o F – Suhu Rektal

1,5

Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C per jam 6 jam pertama, 1 o F jam 6

kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah 12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).

Sedangkan untuk organ – organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu lingkungan. Bila tenggelam / dalam

air : 6 jam sudah mencapai suhu lingkungan.

5

Page 7: tanatologi

8.Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)

Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang cukup jelas. Biasanya

disebut juga post mortem hypostasis, post mortem lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain –

lain. Kata hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau bagian tubuh.

Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh – pembuluh darah kecil,

kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah. Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat

kematian, darah mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area terendah pada tubuh,

memberi perubahan warna keunguan atau merah keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena

adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.

Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian somatis atau segera

setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan. Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan

secara berangsur – angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area yang lebih

besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah

melewati waktu tersebut, tidak akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,

pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia, kehilangan darah akut, dan lain – lain.

Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah. Darah akan mengalami

koagulasi spontan pada semua kasus sudden death dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini

mungkin akan hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah post mortem akan

menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan. Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya

bertindak pada fibrin, bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya pada bekuan

yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk

oleh sel endotel dalam pembuluh darah.

Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian. Dengan posisi berbaring

terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal,

posterior abdomen, bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh atas, dan permukaan fleksor

dari anggota tubuh bawah. Area – area ini disebut juga areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri,

lebam akan terjadi pada daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika penggantungan

ini lama, akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang cukup untuk menyebabkan ruptur kapiler

subkutan dan membentuk perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa ditemukan pada

wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai bawah karena pada saat tubuh mengambang,

bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas yang cukup banyak kuat dibanding melawan kepala atau bahu

yang lebih berat. Ekstremitas badan akan menggantung secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi

karena adanya perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.

Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat. Pertama – tama

karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi

tubuh terendah dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai terkumpul pada bagian

– bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh

6

Page 8: tanatologi

darahnya karena terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain itu dikarenakan

bertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah cukupbanyak sehingga sulit berpindah lagi.

Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada tingkat

oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna lainnya dapat mencakup:

- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh carbonmonoksida atau

hydrocyanic acid.

- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium chlorate, potassium

bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain – lain.

- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.

- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan berada didekat tempat

yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak pink muda kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari

oxyhemoglobin pada jaringan.

- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena kadar oksi hemoglobin

(HbO2) yang tinggi.

Perbedaan antara lebam mayat dan memar

Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena terjadi hemolisis darah dan difusi

pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat pembusukan berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah

menjadi coklat kemudian hijau sebelum hilang seiring hancurnya sel darah.

Lebam Mayat Memar

Lokasi Bagian tubuh terbawah Dimana saja

Permukaan Tidak menimbul Bisa menimbul

Batas Tegas Tidak tegas

Warna Kebiru – biruan atau merah

keunguan, warna spesifik

pada kematian karena kasus

keracunan

Diawali dengan merah yang

lama kelamaan berubah

seiring bertambahnya waktu

Penyebab Distensi kapiler – vena Ekstravasasi darah dari

kapiler

Efek penekanan Bila ditekan akan memucat Tidak ada efek penekanan

Bila dipotong Akan terlihat darah yang

terjebak antara pembuluh

darah, tetesan akan

perlahan – lahan

Terlihat perdarahan pada

jaringan dengan adanya

koagulasi atau darah cair

yang berasal dari pembuluh

yang ruptur

7

Page 9: tanatologi

Mikroskopis Unsur darah ditemukan

diantara pembuluh darah

dan tidak terdapat

peradangan

Unsur darah ditemukan

diluar pembuluh darah dan

tampak bukti peradangan

Enzimatik Tidak ada perubahan Perubahan level dari enzim

pada daerah yang terlibat

Kepentingan medicolegal Memperkirakan waktu

kematian dan posisi saat

mati

Memperkirakan cedera,

senjata yang digunakan

Tabel 1. Perbedaan antara lebam mayat dan luka memar

Lebam pada organ dalam

Karena lebam terjadi pada daerah yang mengandung pembuluh darah, maka akan berpengaruh pada organ –

organ dalam yang mengandung pembuluh darah juga.

Lebam mayat Kongesti

Lokasi Hanya pada organ – organ

tertentu

Bisa seluruh atau beberapa

bagian dari organ tersebut

dipengaruhi oleh patologinya

Penyebab Distensi pasif kapiler – vena Berdasarkan patologi

penyakitnya

Bengkak dan oedema Tidak ada Dapat bermakna

Pada penampang potongan Darah mengalir pelan – pelan

dari kapiler yang terdistensi

Keluar cairan, tercampur dengan

darah

Hollow viscus Lambung atau usus saat

direntangkan akan tampak daerah

dengan perubahan warna dan

tanpa perubahan warna

Lambung atau usus saat

direntangkan akan tampak

perubahan warna yang seragam

Tabel 2. Perbedaan antara lebam mayat dengan proses kongesti pada organ dalam

Aspek Medikolegal Pada Pemeriksaan Lebam Mayat

Kegunaan pemeriksaan lebam mayat :

Dapat memperkirakan saat kematian.

Dapat memperkirakan posisi kematian.

Tanda pasti kematian seluler (mati yang terjadi adalah mati seluler).

Mengetahui adanya manipulasi (perubahan pada jenazah).

8

Page 10: tanatologi

Dapat mengetahui penyebab kematian.

9. Kaku Mayat (Rigor Mortis / Post Mortem Stiffening)

Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang

kadang – kadang disertai dengan sedikit pemendekkan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan /

relaksasi primer.

Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai puncaknya setelah 10 – 12 jam post mortal,

keadaan ini akan menetap selama 24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan

urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot – otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.

Kekakuan pertama ditemukan pada otot – otot kecil, bukan karena itu terjadi pertama kali disana, melainkan

karena adanya sendi yang tidak luas, seperti contohnya tulang rahang yang lebih mudah diimobilisasi.

Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa

pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP

menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen

dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor

– faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi,

bentuk tubuh yang kurus dengan otot – otot kecil dan suhu lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan

dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira – kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari

bagian luar tubuh (otot – otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini

menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam

dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut

otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk

akan terjadi pemendekan otot.

Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :

Fase pertama

Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh yang mati akan mampu menggunakan

ATP yang sudah tersedia dan ATP tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat yang

cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan yang kuat sebelum mati, seperti mati saat

terjadi serangan epilepsi atau spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.

Fase kedua

Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk saat konsentrasi ATP turun menjadi

85%, dan kaku mayat akan lengkap jika berada dibawah 15%.

Fase ketiga

Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.

Fase keempat

Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi lemas. Salah satu pendapat terjadinya

hal ini dikarenakan proses denaturasi dari enzim pada otot.

9

Page 11: tanatologi

Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis adalah dengan melakukan fleksi

atau ekstensi pada persendian tersebut. Beberapa subyek, biasanya bayi, orang sakit, atau orang tua, dapat

memberikan kekakuan yang kurang dapat dinilai, kebanyakan dikarenakan lemahnya otot mereka.

Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai maksimum antara 6 – 12 jam.

Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot mulai menjalani autolisis, dimana akan melemas berangsur –

angsur kembali seperti periode perubahan awal post – mortem. Kekakuan mayat lengkap dapat terjadi antara 18

– 36 jam.

Rigor Mortis Pada Jaringan Tubuh

Kekakuan juga terjadi pada seluruh jaringan muskular dan organ sama seperti terjadi pada otot

skelet. Kekakuan dapat terjadi tidak sama pada tiap mata, membuat letak pupil tidak sama, hal ini memastikan

bahwa posisi post – mortem menjadi indikator yang tidak dapat dipercaya pada kondisi toksik atau neurologis

selama hidup.

Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang menyerupai pembesaran

ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan pengukuran berat total, menilai ukuran normal jantung kiri,

mengukur ketebalan ventrikel, dan yang paling penting dengan pembedahan dan membandingkan berat kedua

ventrikel.

Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan epididimis, dimana akan

membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis dan prostat menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari

uretra eksterna pada post – mortem.

Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada folikel rambut dapat mengakibatkan gambaran

dengan elevasi dari folikel rambut (goose – flesh appearence).

Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis

Szent – Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial pada otot adalah protein

actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi kompleks fosfat dari ADP menjadi ATP (Erdos, 1943).

Gugus fosfat yang bebas akan membentuk reaksi fosforilasi yang mengubah glikogen menjadi asam laktat. ADP

dibentuk kembali dengan meresintesa ATP dengan tambahan kreatin fosfat.

Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab terhadap kekenyalan otot.

Asam laktat disaring kembali masuk kedalam peredaran darah dan kembali ke hati untuk dikonversikan kembali

menjadi glikogen. Semua reaksi ini anaerob dan dapat berlanjut setelah kematian.

Saat hidup, terdapat konsentrasi ATP yang konstan pada jaringan otot, terdapat keseimbangan

antara penggunaan dan resintesis ATP. Saat mati, bagaimanapun reaksi perubahan ADP menjadi ATP berhenti

dan kadar trifosfat berangsur – angsur berkurang dengan akumulasi asam laktat. Sesudah beberapa waktu,

bergantung pada temperatur dan jumlah ATP yang tersisa, aktin dan miosin berikatan, mengakibatkan otot

menjadi kaku sebagai akibat timbulnya kekakuan pada otot (Bate – Smith and Bendall, 1947)

10

Page 12: tanatologi

Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan dikurangi dengan adanya

aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini muncul pada periode awal setelah kematian dimana tingkat

ATP dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai hasil dari pembebasan fosfat oleh proses glikogenolisis.

Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun menjadi 85% dari normal, dan kekakuan otot akan

maksimal saat kadar turun menjadi 15%.

Saat sudah sempurna, kekakuan “dipatahkan” dengan gerakan memaksa dari anggota badan atau leher, lalu jika

tidak kembali, maka hal ini memudahkan dilakukannya pekerjaan dalam kamar mayat atau memasukkan ke

dalam peti mati. Namun jika kekakuan tetap terbentuk, maka kekakuan tersebut akan berlanjut pada posisi yang

baru sesuai gerakan terakhir.

Kadang, kekakuan dapat membantu memperlihatkan bahwa tubuh telah dipindahkan antara saat mati dan saat

ditemukan.

Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis

Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan dipengaruhi oleh temperatur.

Semakin tinggi suhu lingkungan, akan memperlambat proses ini. Mayat yang terdapat pada daerah dingin / salju

tidak akan mengalami kekakuan bahkan sampai 1 minggu setelah kematian, namun saat mayat tersebut

dipindahkan ke tempat yang hangat, maka dengan cepat akan mengalami kekakuan. Sebaliknya, cuaca panas

atau tropis dapat mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau bahkan kurang.

Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang semenjak hari pertama terjadinya pembusukan.

Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen dan ATP dalam otot

adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan. Kerja otot mempengaruhi interaksi dari substansi

tersebut dan dapat mempercepat onset terjadinya kekakuan. Cadaveric spasme, merupakan bentuk variasi dari

kekakuan yang dipercepat.

Kondisi rata – rata yang sering dialami pada rigor mortis :

- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati tidak sampai 3 jam.

- Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 – 8 jam lamanya.

- Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 – 36 jam lamanya.

Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati lebih dari 36 jam.

Faktor yang mempengaruhi onset dan durasi kaku mayat

- Temperatur

Nysten (1811) mengatakan bahwa kekakuan bertahan lama di dalam dingin, udara lembab dibanding

udara kering. Hal ini menyebabkan kenapa onset kekakuan berjalan lambat dan durasinya berjalan lama

pada negara dingin atau cuaca dingin sedangkan onsetnya cepat dan durasi cepat pada cuaca panas. Hal

ini dikarenakan perusakan ATP lebih cepat pada cuaca panas.

Kondisi fisiologis sebelum mati

11

Page 13: tanatologi

Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena penyakit akan melalui proses yang

cepat menuju kekakuan, dimana biasanya dengan durasi yang cepat. Pada kasus orang yang meninggal

karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih dini sejak 3 setengah menit pertama dan hilang pada 15

menit sampai 1 jam, saat pembusukan dimulai. Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat,

apoplexy, pneumonia, dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama.

- Kondisi otot sebelum mati

Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana otot dalam kondisi sehat sebelum

kondisi mati. Onset akan berjalan cepat jika otot berada dalam kondisi kelelahan. Pada orang yang mati

saat lari, kaku akan terbentuk dengan cepat pada daerah kaki sebelum menuju ke daerah lainnya.

- Pengaruh sistem saraf pusat

Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi pada otot setelah kematian

sebagai bentuk dari aktifitas selular dan enzimatik.

- Umur

Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan, tapi masih bisa ditemukan pada bayi

yang cukup bulan. Kaku bisa timbul dan menghilang dengan sangat dini.

Aspek Medikolegal Pada Rigor Mortis

Kegunaan pemeriksaan kaku mayat :

Tanda pasti kematian.

Dapat memperkirakan waktu / saat kematian.

Dapat memperkirakan / melihat adanya tanda – tanda manipulasi.

Dapat memperkirakan penyebab (walaupun sulit).

Dapat memperkirakan posisi.

Bentuk - Bentuk dari Kekakuan yang Menyerupai Rigor Mortis

a. Heat Stiffening

Protein pada otot akan terkoagulasi pada temperatur diatas 149 derajat Fahrenheit atau 65 derajat celcius.

Paparan panas yang kuat seperti terbakar, terekspos listrik tegangan tinggi, terendam air panas, kekakuan

terbentuk lebih kuat dibanding rigor mortis biasa. Pada otopsi, otot dapat tampak menciut dan tampak

karbonisasi ke permukaan. Dibawahnya terdapat daerah pink kecoklatan (“cooked meat”), dan jika proses tidak

berlanjut sampai bagian bawahnya, tampak otot merah normal. Pugilistic attitude pada tubuh yang terbakar,

disebabkan karena besarnya daerah otot fleksor dibanding otot ekstensor, yang mana terjadi pemaksaan daerah

anggota badan ke dalam posisi fleksi dan tulang belakang ke dalam posisi opisthotonus.Heat stiffening ini tidak

dapat dipatahkan dengan menggerakan ke arah sikap ekstensi seperti halnya pada rigor mortis, dan akan

menetap sampai timbulnya pembusukan.

b. Cold Stiffening

12

Page 14: tanatologi

Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40 derajat Fahrenheit akan menghasilkan

memadatnya lemak subkutan dan otot. Saat tubuh dibawa untuk dihangatkan, akan timbul true rigor mortis.

Pada lingkungan bersuhu dingin ekstrim, cairan tubuh juga akan membeku termasuk persendian, sehingga bila

sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada temperatur yang ekstrim, otot akan

mengalami kekakuan yang palsu. Pada udara yang sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat mengeras

karena cairan tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang disimpan pada freezer.

Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah mati sebelum kedinginan :

Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan. Dingin membuat suhu tubuhnya

menjadi kaku, belum terjadi rigor mortis / kaku mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh mayat

akan lemas dan kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).

Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang dingin -> tubuh mayat yang

dibuang akan tetap kaku karena udara dingin, tetapi setelah dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas.

Tidak akan terjadi rigor mortis.

c. Cadaveric Spasm

Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang berada ditengah aktifitas fisik atau

emosi yang kuat, yang kemudian menuntun pada kekakuan post – mortem instan yang sedikit kurang dapat

dipahami. Hal ini harus diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi beberapa alasan mengatakan terdapat

kegagalan relaksasi normal. Fenomena biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot, contohnya otot fleksor

tangan, dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat

kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP

yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.

Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang diduga mati dibunuh atau bunuh diri

saat melihat tangannya yang menggenggam senjata. Jika menemukan korban yang tenggelam, atau jatuh dari

ketinggian, hal ini memiliki nilai yang memastikan bahwa orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan

demikian hal ini membedakan pada korban post – mortem yang dibuang

Rigor Mortis Cadaveric Spasm

Onset Dikarenakan perubahan otot

sesudah kematian seluler,

didahului dengan primary

flaccidity

Keadaan lanjut dari

kontraksi otot sesudah mati,

dimana otot dalam kondisi

mati seketika

Otot yang terlibat Semua otot dalam tubuh Otot tertentu, sesuai

keadaan kontraksi saat mati

Intensity Moderate Sangat kuat

Durasi 12 – 24 jam Beberapa jam, sampai

digantikan posisinya oleh

rigor mortis

13

Page 15: tanatologi

Faktor predisposisi - Rangsangan, ketakutan,

kelelahan

Mekanisme pembentukan Penurunan ATP dibawah

level kritis

Tidak diketahui

Hubungan medikolegal Mengetahui waktu

kematian

Mengetahui cara kematian,

bisa karena bunuh diri,

kecelakaan, atau

pembunuhan

Tabel 3. Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm

10. Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)

Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya komponen tubuh organik

kompleks menjadi sederhana. Pembusukan merupakan perubahan lebih lanjut dari mati seluler. Kedua proses ini

mengakibatkan dekomposisi seperti di bawah ini :

a. Autolisis.

Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang diakibatkan oleh kerja enzim

digestif yang dikeluarkan sel setelah kematian dan dapat dihindari dengan membekukan jaringan.

Perubahan autolisis awal dapat diketahui pada organ parenkim dan kelenjar. Pelunakan dan ruptur perut

dan ujung akhir esofagus dapat terjadi karena adanya asam lambung pada bayi baru lahir setelah

kematian. Pada dewasa juga dapat terlihat.

b. Proses Pembusukan Bakteri.

Merupakan proses dominan pada proses pembusukan dengan adanya mikroorganisme, baik aerobik

maupun anaerobik. Bakteri pada umumnya terdapat dalam tubuh, akan memasuki jaringan setelah

kematian. Kebanyakan bakteri terdapat pada usus, terutama Clostridium welchii. Bakteri lainnya dapat

ditemukan pada saluran nafas dan luka terbuka. Pada kasus kematian akibat penyakit infeksi, pembusukan

berlangsung lebih cepat. Karena darah merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan bakteri

maka organ yang mendapat banyak suplai darah dan dekat dengan sumber bakteri akan terdapat lebih

banyak bakteri dan mengalami pembusukan terlebih dahulu.

Bakteri menghasilkan berbagai macam enzim yang berperan pada karbohidrat, protein, dan lemak, dan

hancurnya jaringan. Salah satu enzim yang paling penting adalah lecithin yang dihasilkan oleh

Clostridium welchii, yang menghidrolisis lecithin yang terdapat pada seluruh membran sel termasuk sel

darah dan berperan pada pembentukan hemolisis pada darah post mortem. Enzim ini juga berperan dalam

hidrolisis post mortem dan hidrogenasi lemak tubuh.

Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan

berkurang pada suhu dibawah 70 derajat Fahrenheit. Oleh sebab itu, penyebaran awal pembusukan

14

Page 16: tanatologi

ditentukan oleh dua faktor yaitu sebab kematian dan lama waktu saat suhu tubuh berada dibawah 70

derajat Fahrenheit.

c. Perubahan Warna.

Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang sangat tinggi dan kelembapan

tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum kaku mayat hilang.

Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan dinding perut depan, biasanya

terletak pada sebelah kanan fossa iliaca, dimana daerah tersebut merupakan daerah colon yang

mengandung banyak bakteri dan cairan. Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin menjadi

sulpmethaemoglobin karena masuknya H2S dari usus ke jaringan. Warna ini biasanya muncul antara 12 –

18 jam pada keadaan panas dan 1 – 2 hari pada keadaan dingin dan lebih tampak pada kulit cerah.

Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin luar, menyebar ke dada, leher,

wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini disebabkan karena luasnya distribusi cairan atau darah pada

berbagai organ tubuh.

Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk ke pembuluh darah. Darah

didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga akan mewarna pembuluh darah dan jaringan penujang,

memberikan gambaran marbled appearence. Warna ini akan tetap ada sekitar 36 – 48 jam setelah

kematian dan tampak jelas pada vena superficial perut, bahu dan leher.

d. Pembentukan Gas Pembusukan.

Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang terdiri dari campuran gas

tergantung dari waktu kematian dan lingkungan. Gas ini akan terkumpul pada usus dalam 12 – 24 jam

setelah kematian dan mengakibatkan perut membengkak. Dari 24 – 48 jam setelah kematian, gas

terkumpul dalam jaringan, cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan membengkak. Jaringan

subkutan menjadi emphysematous, dada, skrotum, dan penis, menjadi teregang. Mata dapat keluar dari

kantungnya, lidah terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak. Cairan berbusa atau mukus berwarna

kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung. Perut menjadi sangat teregang dan isi perut dapat keluar

dari mulut. Sphincter relaksasi dan urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 – 3

hari.

Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh tersebuh dapat mengandung

cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh darah karena tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk

lebih dahulu dibawah permukaan, dimana jaringan mengandung banyak cairan karena oedema hipostatik.

Epidermis menjadi longgar menghasilkan kantong berisi cairan bening atau merah muda disebut skin

slippage yang terlihat pada hari 2 – 3.

Antara 3 – 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan dihubungkan dengan perubahan

pada jaringan lunak yang akan membuat perut menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau

keropos. Kulit pada tangan dan kaki dapat menjadi “glove and stocking”. Rambut dan kuku menjadi

longgar dan mudah dicabut.

15

Page 17: tanatologi

5 – 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak menjadi masa semisolid berwarna

hitam yang tebal yang dapat dipisahkan dari tulang dan terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak.

e. Skeletonisasi.

Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan lingkungan dari mayat tersebut,

apakah terdapat di udara, air, atau terkubur. Pada umumnya tubuh yang terkena udara mengalami

skeletonisasi sekitar 2 – 4 minggu tetapi dapat berlangsung lebih cepat bila terdapat binatang seperti

semut dan lalat, dapat pula lebih lama bila tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan

dalam semak.

Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian tubuh yang satu dengan yang lain.

Terkadang, satu bagian tubuh telah mengalami mumifikasi sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan

pembusukan. Adanya binatang akan menghancurkan jaringan luna dalam waktu yang singkat dan dalam

waktu 24 jam akan terjadi skeletonisasi.

f. Pembusukan Organ Dalam.

Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun prosesnya lebih lama dari yang

dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan banyak vascular maka akan membusuk lebih cepat. Warna

merah kecoklatan pada bagian dalam aorta dan pembuluh darah lain muncul pada perubahan awal.

Adanya hemolisis dan difusi darah akan mewarnai sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna

organ tersebut menjadi hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi masa

semiliquid.

Awal Akhir

Laring dan trakhea Paru – paru

Lambung dan usus Jantung

Limpa Ginjal

Omentum dan mesenterium Oesofagus dan diafragma

Hati Kandung kencing

Otak Pembuluh darah

Uterus gravid Prostat dan uterus

Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam

Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan :

a. Faktor Eksogen

1. Temperatur atmosfer.

Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat pembusukan. Pada umumnya, proses

pembusukan berlangsung optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan bila temperatur

16

Page 18: tanatologi

dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri

terus berlangsung. Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam lemari

pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi (khususnya pada bulan musim hujan), warna

hijau ditemukan pada mayat setelah 6 – 12 jam post mortem.

2. Adanya udara dan cahaya.

Udara sangat mempengaruhi temperatur dan kelembapan yang mengakibatkan seperti hal diatas. Secara

tidak langsung, lalat dan serangga biasanya menghindari bagian tubuh yang terekspos sinar, cenderung

meletakan telurnya pada kelopak mata, lubang hidung, dan sebagainya.

3. Terbenam dalam air.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang diam atau mengalir, air laut atau air

berpolusi, suhu air, kedalaman air dan lainnya dapat mempengaruhi pembusukan.

Pembusukan berlangsung lebih lambat di air dibandingkan di udara. Rumus Casper menyatakan bahwa

waktu pembusukan di udara diberi nilai 1, jika di air bernilai 2, dan pada mayat yang terkubur bernilai

8.

4. Mengapung diatas air.

Biasanya tergantung dari produksi dan akumulasi gas di jaringan dan rongga tubuh. Gaya gravitasi

cadaver lebih besar dari air maka tubuh akan cenderung tenggelam sampai adanya cukup gas sehingga

membuat tubuh mengapung. Maka dari itu, pembentukan gas akan membantu tubuh untuk naik ke

permukaan air. Beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, pakaian, kondisi tubuh, musim, keadaan air

dapat mempengaruhi waktu mengapung yang berperan dalam proses pembusukan dan pembentukan

gas.

Penampakan warna dekomposisi pada permukaan tubuh menjadi kacau dimana tubuh yang terendam

dalam air memiliki postur tertentu yaitu kepala dan wajah terletak lebih rendah dari bagian tubuh

lainnya karena kepala lebih berat dan padat. Bagian batang tubuh berada paling atas dan anggota gerak

tergantung secara pasif pada posisi yang lebih rendah. Posisi ini menyebabkan darah banyak menuju

kepala dan mempercepat pembusukan.

Dekomposisi dalam air Dekomposisi pada udara

Wajah dan leher Perut

Dada Dada

Bahu Wajah

Lengan Tungkai

Perut Bahu

Tungkai Lengan

Tabel 5. Perbedaan pembusukan dalam air dan pada udara

5. Terkubur dalam tanah.

17

Page 19: tanatologi

Pada umumnya tubuh yang terkubur dalam tanah yang dalam akan membusuk lebih lama daripada tubuh

yang terkubur dalam tanah yang dangkal. Pada tubuh yang terkubur pada tempat yang basah, daerah

rawa, tanah liat, maka pembusukan akan lebih cepat. Pembusukan akan berlangsung lebih lama jika

dikubur di tanah kering, tanah kuburan pada dataran tinggi, atau kuburan yang dalam. Adanya zat kimia

disekitar tubuh, khususnya lemon, akan memperlambat pembusukan.

Tubuh yang terkubur tanpa pakaian atau kafan pada tanah berpori yang kaya bahan organik, akan

menunjukkan pembusukan yang lebih lama.

Waktu antara saat kematian dengan saat dikuburkan dan lingkungan sekitar tubuh pada waktu ini akan

mempengaruhi proses pembusukan. Semakin lama tubuh berada di tanah sebelum dikuburkan, maka akan

mempercepat pembusukan khususnya bila tubuh diletakkan pada udara yang hangat.

b. Faktor Endogen

1. Sebab kematian.

Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan berlangsung lebih lama daripada orang yang

meninggal karena sakit. Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia / septikemia, aborsi akan

menunjukkan proses pembusukan yang lebih cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu

potassium sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada kasus strychnine, terjadi

kejang yang lama dan berulang, proses pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit

kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan kronis oleh logam akan memperlambat

pembusukan karena memperlambat efek jaringan. Alkoholik kronik umumnya akan mempercepat

pembusukan.

Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan pembusukan yang lambat, batang tubuh

akan membusuk seperti biasa.

2. Kondisi tubuh.

Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada tubuh manusia kira – kira dua per tiga

dari berat badan. Maka dari itu pada tubuh yang mengandung sedikit cairan seperti rambut, gigi, tulang akan

memperlambat pembusukan. Pada kasus dehidrasi akan memperlambat pembusukan. Tubuh yang sangat

kurus akan lebih lambat membusuk dibandingkan dengan tubuh yang gemuk karena jumlah cairan pada

orang yang kurus lebih sedikit.

3. Pakaian pada tubuh.

Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat pembusukan dengan menjaga suhu tubuh tetap

hangat. Pakaian yang ketat dapat memperlambat pembusukan karena menekan bagian tubuh sehingga darah

sedikit yang terkumpul pada daerah yang tertekan.

4. Umur dan jenis kelamin.

Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena masih steril. Jika bayi baru lahir tersebut

mengalami trauma selama atau setelah lahir atau sudah mendapat makanan setelah lahir, maka akan

membusuk lebih awal. Tubuh anak – anak membusuk lebih cepat daripada orang tua, dimana pada orang tua

akan membusuk lebih lama karena mengandung cairan lebih sedikit.

18

Page 20: tanatologi

Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak yang lebih banyak yang akan

mempertahankan panas lebih lama, yang akan mempercepat proses pembusukan.

11. Penyabunan (Saponifikasi)

Dikenal juga sebagai “grave wax” atau adiposera. Adiposera berasal dari bahasa latin, adipo untuk lemak

dan cera untuk lilin) berwarna utih kelabu setelah meninggal dikarenakan dekomposisi lemak yang

dikarenakan hidrolisis dan hidrogenasi dan lemak (sel lemak) yang terkumpul di jaringan subkutan yang

menyebabkan terbentuknya lechitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang

berpengaruh terhadap jaringan lemak. Dengan demikian akan terbentuk asam – asam lemak bebas (asam

palmitat, stearat, oleat), ph tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat bakteri untuk pembusukan

dengan demikian proses pembusukan oleh bakteri akan terhenti. Tubuh yang mengalami adiposera akan

tampak berwarna putih – kelabu, perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju,

amoniak, manis, tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan tidak mudah terbakar, bila

terbakar mengeluarkan nyala kuning dan meleleh pada suhu 200 derajat Fahrenheit.

Faktor – faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :

- Kelembapan.

- Lemak tubuh.

Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.

Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada dagu, buah dada, bokong,

dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut mempunyai lemak lebih banyak. Namun proses

saponifikasi dapat terjadi di semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot menjadi dehidrasi dan

menjadi sangat tipis, berwarna keabu – abuan. Organ – organ dalam dan paru – paru konsistensinya

menjadi seperti perkamen. Secara histologis, makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara

mikroskopis sulit untuk dikenali.

Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya pembentukan saponifikasi

bervariasi dari dua minggu atau dua bulan tergantung faktor – faktor yang mendukung seperti

temperatur, pembalseman, kondisi penguburan, dan barang – barang sekitar jenazah. Keuntungan

adanya adiposera ini :

- Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali

sampai ratusan tahun.

- Dapat pula untuk mengetahui sebab – sebab kematian jangka waktu dekat seperti kecelakaan,

namun dapat juga digunakan untuk waktu yang lama.

- Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.

- Tanda – tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai beberapa minggu atau

mungkin beberapa bulan.

Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari asam lemak bebas namun sekitar

empat minggu setelah kematian dapat meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi

19

Page 21: tanatologi

70% bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna putih keabuan menggantikan

jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan

menggunakan analisa asam palmitat.

Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain tergantung dari letak tubuh dan

lingkungan yang bervarias, maka salah satu tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat

menjadi mumifikasi atau pembusukan.

12. Mumifikasi

Perubahan – perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat dihambat dan

digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah menggambarkan proses pembentukan “mumi”,

sebuah kata yang diambil dari bahasa Persia “mum” yang berarti lilin. Kata ini diambil dari catatan sejarah

Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam penghormatan terhadap bangsawannya, mengawetkan

mereka dengan lilin. Mayat yang mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai

bercak warna putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik terutama pada tonjolan tulang, seperti

pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul. Organ dalam umumnya mengalami dekomposisi menjadi jaringan padat

berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami proses mumifikasi, maka kondisinya tidak akan berubah,

kecuali bila diserang oleh serangga.

Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh bagian tubuh. Pada umumnya

mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan pada bagian tubuh lain proses pembusukan terus berjalan. Menurut

Knight, mumifikasi dan adiposera kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak membantu proses

pengeringan mayat.

Mumi secara alami jarang terbentuk karena dibutuhkannya suatu kondisi yang spesifik, namun

proses ini menghasilkan mumi – mumi tertua yang dikenal manusia. Mumi alami yang tertua, diperkirakan

berasal dari tahun 7400SM. Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan kelembapan yang rendah,

sirkulasi udara yang baik dan suhu yang hangat, namun dapat pula terjadi di daerah dingin dengan kelembapan

rendah. Ditempat yang bersuhu panas, mumifikasi lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur dangkal

mayat dalam tanah berpasir. Faktor dalam tubuh mayat yang mendukung terjadinya mumifikasi antara lain

adalah dehidrasi premortal, habitus yang kurus dan umur yang muda, dalam hal ini neonatus.

Kasus mumifikasi dengan preservasi anatomi dan topografi yang cukup baik di Indonesia

ditemukan pada Januari 1988 di desa Cibitung kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kasus ini adalah temuan kedua di

Indonesia, mayat ditemukan dalam sebuat kamar tertutup dengan suhu kamar 32 – 34 derajat Celcius dengan

kelembapan 62 – 67%. Mayat nenek ini ditemukan setelah sang nenek menurut keluarga menghilang tujuh

bulan sebelumnya. Saat ditemukan, mata, hidung, dan mulut sudah tidak ada. Sebagian pipi dan bibir tersisa

kulit kering berwarna kelabu. Leher kiri dan kanan terdapat kulit dan jaringan otot yang mengering. Bagian

depan masih utuh seluruhnya, berupa kulit dan otot yang mengering, kaku dan keras. Pada bagian belakang

hanya tulang iga saja yang masih utuh. Rongga dada perut telah kosong seluruhnya. Lengan kanan berupa kulit

berwarna kelabu, telapak dan punggung tangan masih utuh dan mengering. Lengan kiri mengering warna

kuning kelabu dengan tangan kiri tinggal tulang – tulang saja. Tungkai kanan dan kiri tampak sebagai kulit dan

20

Page 22: tanatologi

otot yang telah kering berwarna kuning coklat dengan bercak kelabu. Secara mikroskopis kulit masih

menunjukkan gambarang yang dapat dikenali sebagai kulit, otot tampak sebagai serabut yang sedikit

bergelombang berwarna eosinofilik dan homogen tanpa inti sel.

Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika baru lahir. Permukaan tubuh yang

lebih luas dibanding orang dewasa, sedikitnya bakteri dalam tubuh dibanding orang dewasa membantu

penundaan pembusukan sampai terjadinya pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa secara lengkap

jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh manusia.

Arti Mumifikasi dalam Interpretasi Kedokteran Forensik

Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses pembusukan alami yang memiliki

karakteristik dimana jaringan yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap, dan mengerut.

Pengeringan akan menyebabkan tubuh lebih kecil dan ringan. Dilihat dari sudut forensik, mumifikasi

memberikan keuntungan dalam bertahannya bentuk tubuh, terutama kulit dan beberapa organ dalam, bentuk

wajah secara kasar masih dapat diindentifikasi secara visual. Mumifikasi juga dapat mempreservasi bukti

terjadinya jejas yang menunjukkan kemungkinan sebab kematian. Elliot Smith (1912) menemukan mumi yang

telah berumur kurang lebih 2000 tahun dan masih mampu menunjukkan bahwa sebab kematian orang itu adalah

akibat kekerasan. Luka – luka yang ada cocok dengan luka akibat bacokan kapak atau pedang, tusukan tombak

dan pukulan dari pegangan tombak. Foto kepala menunjukkan korban diserang saat tidur yang disimpulkan

Elliot dari luka pada puncak kepala yang menurutnya tidak mungkin atau sulit dilakukan saat korban berdiri.

Tidak adanya luka pada daerah lain membuat Elliot menyimpulkan bahwa tidak ada tanda perlawanan.

Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan rapuh, maka untuk

dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat atau campuran alkohol, formalin

dan sodium carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk dapat melakukan

pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam glycerin 15% selama beberapa saat.

Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah identifikasi. Walau terjadi

pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan beberapa kekhususan pada tubuh seperti tato dapat bertahan

sampai bertahun – tahun. Terperliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah pada proses mumifikasi

memungkinkan pemeriksaan radiologi yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang

mungkin terlewatkan dalam pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan

dieksplorasi kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan pada mumi juga dapat

mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau, bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.

Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA, baha pada jenasah yang

berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar yang miskin akan inti sel mungkin tidak cukup baik

diambil sebagai sampel, namun tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang mengering pada

mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA. Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk

kepentingan forensik bahwa pada mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada

kulit yang menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah disekiter leber, dan axilla.

21

Page 23: tanatologi

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Binarupa Aksara. Hal. 54-77

Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knight’s Forensic Pathology. 3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90

Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpson’s Forensic Medicine. 12th edition. Arnold. Page 37-48

Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4th editon. Elsivier. Page 101-133

Vass AA. Decomposition. Microbiology Today 2001 Nov (28):190-2. Available from : http://www.socgenmicrobiol.org.uk/pubs/micro_today/pdf/110108.pdf.

22