Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

3
HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK UIN SUNAN AMPEL SURABAYA Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pela ksana an PILKADA Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung menjadi pilar yang memperkokoh bangunan demokrasi secara nasional. Terlaksananya langsung menunjukkan adanya peningkatan demikrasi kerana rakyat secara individu dan kelompok terlibat dalam proses melahirkan pemimpin pemerintah atau pejabat negara. Pilkada secara slangsung merupakan desain kelembagaan untuk mempercepat proses pematangan demokrasi di daerah. Kehidupan demokrasi ditingkat lokal menjadi lahan praktek bagi mewujudkan semangat multikulturalisme yang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya harmonisasi dalam etnis pemerintahan demokratis. Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi  bagi masyarakat daerah dan sekaligus terwujudnya hak-hak esensial individu seperti kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan individu dalam pemerintah daerah. Ada beberapa keunggulan pilkada secara langsung.  Pertama,melibatkan partisipasi masyarakat konstituen secara luas, sehingga akses dan kontrol masyarakat dapat lebih kuat terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pilkada.  Kedua, terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konsituen untuk ewujudkan akuntabilitas pemerinta lokas.  Ketiga, memberi runag dan pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon  pemimpin yang hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan legitimaate di mata masyarakat. Faktanya, pilkada langsung telah berjalan sejak 2005 hingga tahun 2015 (pilkada serantak) yang lallu, tidak serta merta manuai hasil sesuai dengan harapan banyak pihak. Salah satunya adalah syarat pencalonan bagi calon kepala daerah yang ingin mengikuti  pilkada langsung. Keunggulan pilkada langsung diharapkan mampu memberi ruang dan  pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang hebat memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dibatasi oleh syarat bagi calon dalam UU Pilkada yang terlampau sulit bagi sebagian pihak. Dalam UU Pilkada, disebutkan bahwa syarat untuk pasangan calon yang ingin maju dalam kontestaasi pilkada dapat melalui dua cara, yaitu dengan jalur partai politik atau gabungan partai politik dan jalur perseorangan. Dalam pasal 40 UU Pilkada no 8 tahun 2015 disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari  jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggta DPRD di daerah yang bersangkutan. Aturan ini berlakuu

Transcript of Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

Page 1: Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

 

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung menjadi pilar

yang memperkokoh bangunan demokrasi secara nasional. Terlaksananya langsung

menunjukkan adanya peningkatan demikrasi kerana rakyat secara individu dan kelompok

terlibat dalam proses melahirkan pemimpin pemerintah atau pejabat negara. Pilkada secara

slangsung merupakan desain kelembagaan untuk mempercepat proses pematangan demokrasi

di daerah. Kehidupan demokrasi ditingkat lokal menjadi lahan praktek bagi mewujudkan

semangat multikulturalisme yang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya harmonisasi dalam

etnis pemerintahan demokratis. Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi

 bagi masyarakat daerah dan sekaligus terwujudnya hak-hak esensial individu seperti

kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan individu dalam pemerintah daerah.

Ada beberapa keunggulan pilkada secara langsung.  Pertama,melibatkan partisipasi

masyarakat konstituen secara luas, sehingga akses dan kontrol masyarakat dapat lebih kuat

terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pilkada.  Kedua, terjadinya kontrak sosial

antara kandidat, partai politik dan konsituen untuk ewujudkan akuntabilitas pemerinta lokas.

 Ketiga, memberi runag dan pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon

 pemimpin yang hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan

legitimaate di mata masyarakat.

Faktanya, pilkada langsung telah berjalan sejak 2005 hingga tahun 2015 (pilkada

serantak) yang lallu, tidak serta merta manuai hasil sesuai dengan harapan banyak pihak.

Salah satunya adalah syarat pencalonan bagi calon kepala daerah yang ingin mengikuti

 pilkada langsung. Keunggulan pilkada langsung diharapkan mampu memberi ruang dan

 pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang hebat memiliki

kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dibatasi oleh syarat bagi calon dalam UU

Pilkada yang terlampau sulit bagi sebagian pihak.

Dalam UU Pilkada, disebutkan bahwa syarat untuk pasangan calon yang ingin maju

dalam kontestaasi pilkada dapat melalui dua cara, yaitu dengan jalur partai politik atau

gabungan partai politik dan jalur perseorangan. Dalam pasal 40 UU Pilkada no 8 tahun 2015

disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan

calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari

 jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah

dalam pemilihan umum anggta DPRD di daerah yang bersangkutan. Aturan ini berlakuu

Page 2: Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

 

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

untuk kontesttasi pilkada calon bupati/walikota dan calon gubernur. Sedangkan calon melalui

syarat jalur perseorangan diatur dalam UU Pilkada no 8 tahun 2015 pasal 41 ayat 1 untuk

calon Gubernur dan ayat 2 untuk calon Bupati/Walikota, untuk ayat 2 menyebutkan bahwa 

calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon Bupati dan alon Wakil Bupati serta

calon Walikota dan calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:

Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu)

 jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen). Kabupaten/kota dengan jumlah

 penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus

ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen). Kabupaten/kota

dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu

 juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen). Kabupaten/kota dengan

 jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%

(enam setengah persen).

Syarat pencalonan yang terlampau berat tersebut, menyebabkan banyak persoalan

dalam pelaksanaan pilkada langsung selama ini. Misalkan saja kasus pilkada di Kota

Surabaya 2015 yang lalu. Banyak perubahan dalam tahapan pemilihan kepala daerah

(pilkada) Surabaya 2015. Itu terjadi lantaran beberapa persoalan muncul dalam tahap awal

Pilkada Surabaya. Satu diantaranya hhanya ada satu pasangan calon yang mendaftar sehingga

KPU memutuskan membuka kembali pendaftaran hingga tiga kali. Meskipun pada akhirnya

terdapat dua pasangan yang lolos dalam kontestasi tersebut, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa

terjadi kisruh yang luar biasa pada tahapan awal pemilihan yang disebabkan oleh aturan

dalam syarat pencalonan.

Aturan tentang syarat pencalonan, selama ini cenderung hanya menguntungkan partai

 politik besar yang menang dalam pemilu anggota DPRD di wilayah masing-masing. Dengan

modal kursi yang tekah dimiliki, partai besar bebas menentukan untuk memilih siapa calon

yang akan diusung, bisa kadernya sendiri, kader partai lain, atau orang lain yang sama sekali

tidak pernah ada hubungan dengan partai politik. Sedangkan untuk partai kecil, mau tidak

mau harus bergabung (koalisi) untuk bisa menusung pasangan calon yang akan ikut dalam

 proses kontestasi, dan selanjutnya bisa ditebak, calon yang diusung kemungkinan besar bukan

dari salah satu partai politik yang bergabung tersebut, hal ini kemudian memunculkan

 paradigma pragmatisme politik yang ujung-ujungnya kursi partai politik hanya sebagai barang

dagangan menjelang kentestasi pilkada berlangsung.

Page 3: Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

 

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Dari fakta tersebut, setidaknya kami bisa menyimpulkan bahwa dampak yang muncul

akibat syarat pencalonan yang terlampau berat adalah,  pertama, rendahnya partisipasi aktor

 politik (baca; elit) untuk mengikuti proses kontestasi dalam pilkada.  Kedua, minimnya

antusias masyarakat terhadap calon yang ada. Ketiga, munculnya budaya pragmatisme politik

di tubuh paartai politik. Keempat , proses kaderisasi partai politik tidak berjalan.

Dengan demikian, tentulah gagasan radikal dan fundamental diperlukan guna

menyingkirkan hambatan-hambatan terhadap proses demokrasi yang substansial di negara ini.

Salah satunya dengan mengubah/merevisi UU Pilkada yang berkenaan dengan syarat

 pencalonan, baik melalui jalur partai politik atau jalur perseorangan. Dengan tidak adanya

ambang batas, seluruh partai politik yang mempunyai kursi di DPRD masing-masing dapat

mengajukan pasangan calon. Peluang adanya pasangan calon tunggal akan semakin kecil

apabila ambang batas pencalonan dihapus. Gagasan demikian sebagai upaya optimalisasi dan

efetifitas mencapai tujuan memilih pemimpin yang baik dan mempunyai dedikasi tinggi

terhadap kesejahteraan masyarakat. Potensi pemimpin yang demikian tidak lagi dipersulit

oleh aturan dan tidak lagi didiskriditkan atas finanisal dalam “mahar politik”, cukup berjuang

menjadi kader yang baik dan bagus dalam partai politik untuk meningkatkan kualitas

demokrasi. Dalam hal ini adalah demokrasi substansial sebagai cita-cita masyarakat

 berbangsa dan bernegara.