SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI DI INDONESIA: SUATU ...
Transcript of SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI DI INDONESIA: SUATU ...
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
1
Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019
54.5 kgkapita/tahun pada
dan ditargetkan menjadi
62.5 kgkapita/tahun pada 2024
Pendahuluan
Lokus dan penyebab
susut hasil perikanan
Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi
susut hasil perikanan
Kesimpulan
Saran kebijakan
SUATU ANALISIS PEMETAAN
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA:
JEJARING PASCA-PANEN UNTUK GIZI INDONESIA (JP2GI)2020
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
2
Referensi: 1. BPS. (2019). Konsumsi Protein dan Kalori Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 2 (Vol. 2). Biro Pusat StaskCharles, A. T. (2001).
Sustainable fishery systems. Blackwell Science.
2. Cohrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate Change Implicaon for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scienfic Knowledge. (No. 530; FAO Fisheries Tecnical Paper, p. 212). FAO.
3. Ditjen Kesmas. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan RI.
4. Direktorat Pemasaran, Dit.Jen PDSKP, KKP, 2018. Peta Kebutuhan Ikan Berdasarkan Preferensi Konsumen Rumah Tangga Tahun 2017.
5. Ditjen PDSPKP (2020). Pedoman Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan
6. Gordon, D. T. (1988). Minerals in seafoods: Their bioavailability and interacons. Food Technology, 42(5), 156–160.
7. Habibie, Y., Fahmi, I., Kusuma, B., Wulandari.E. (2020). Studi Kualitaf: Penelian Formaf Prakk Penanganan Ikan dan Persepsi Konsumsi Ikan di Rumah Tangga dalam Rangka Intervensi Perubahan Perilaku untuk Perbaikan Status Gizi di Kota Probolinggo. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.
8. Mut (2015), Susut Hasil Panen Perikanan Capai Rp. 30 Triliun. Selasa, 3 November 2015. Berita Satu. h�ps�//www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliun
9. Nurhasan, M and Purnama, R.C. (2019). Poor Fishery Management Costs Indonesia $7 Billion per Year. The Conversaon, May 13, 2019. h�ps�//theconversaon.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671
10. Sikorski, Z. E., Kolakowska, A., & Pan, B. S. (1990). The nutrive composion of the major groups of marine food organisms. In Z. E. Sikorski (Ed.), Seafood: Resources, Nutrional Composion and Preservaon (pp. 29–54). CRC Press, Inc.
11. Wibowo, S., Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p. 4). Balai Besar Penelian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p�//kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf
15%
9%
2%
6%
8,2%
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo -dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
� �Kajian ini dilakukan dengan dukungan dana dari Global Alliance for Improved Nutrion
(GAIN)
Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI)Wisma Abadi Lantai 4 Ruang AIE
Jl. Balikpapan No. 31, Petojo Selatan, Kec. GambirJakarta Pusat, DKI Jakarta 10160
Email: [email protected]: 021-38900386
Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia(JP2GI)
Gedung Wisma Abadi, 4 Ruang AIE Jl. Balikpapan no.31 Petojo Selatan, Kec. Gambir, Jakarta Pusat 10160
+6221 3844306
h�p://www.jp2gi.org
��Kajian ini dilakukan dengan dukungan dana dari
Global Alliance for Improved Nutrion(GAIN)SUATU ANALISIS PEMETAAN
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA:
JEJARING PASCA-PANEN UNTUK GIZI INDONESIA (JP2GI)2020
Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. Atqiya Nur'Assyfa Gressty Sari Br Sitepu Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si. Gevbry Ranti Ramadhani Simamora
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
3
3
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN
DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.; Atqiya Nur’Assyfa; Gressty Sari Br Sitepu; Gevbry Ranti Ramadhani Simamora; Bambang Riyanto, S. Pi., M.Sc.
ISBN: 978 623 95283-8-6
Editor:
Dr. Rahmi Kasri, S.Sos., M.Phil
Desain Sampul dan Tata Letak:
Arifin Fino Fitrianto
Kontributor:
Ir. Doddy Izwardi, MA.; Machmud, SP, M.Sc.; Dr. Trisna Ningsih, M.Si.;
Ir. Hasanuddin Yasni, MM.; Ir. Artati Widiarti, MA; Nurfi Afriansyah, MScPH
Penasihat:
Ir. Doddy Izwardy, MA.; Machmud, SP, M.Sc.; Dr. Trisna Ningsih, M.Si.;
Ir. Hasanuddin Yasni, MM.
Sekretariat:
Caprina Runggu, SKM, M. Epid; Lindawati Lumban Raja; Bagus Rizky Arisandi
Penerbit:
Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI)
Cetakan Pertama, November 2020
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-UndangDilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
dan dengan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronik termasuk fotocopy rekaman dan lain-lain tanpa seizin tertulis dari penerbit.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
i
Kondisi kesehatan dan gizi di Indonesia menunjukkan perbaikan, namun demikian Indonesia saat ini masih menghadapi beban ganda masalah gizi yang terlihat dari prevalensi stunting, kekurangan gizi dan obesitas pada balita serta anemia dan Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil yang masih cukup tinggi. Salah satu penyebab masih tingginya masalah gizi di Indonesia adalah masalah ketahanan pangan dan gizi di tingkat masyarakat.
Hal ini dibuktikan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 dimana konsumsi sumber protein sebagai zat pembangun seperti ikan belum memadai.
Ikan merupakan salah satu protein hewani yang memiliki beberapa kandungan gizi yang lebih unggul dibanding makanan sumber protein hewani lainnya terutama pada kandungan protein dan omega-3. Kandungan protein yang terdapat pada ikan termasuk protein heme yang memiliki tingkat penyerapan besi yang baik dan kandungan omega-3 banyak dikaitkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Hal tersebut telah dibuktikan dari penelitian yang menyebutkan bahwa semakin sering seseorang mengonsumsi ikan, maka nilai score IQ semakin meningkat.
Mempertimbangkan manfaatnya, diperlukan upaya pemanfaatan dan peningkatan asupan makanan terutama protein hewani bersumber ikan, melalui kegiatan inovasi dan pengembangan teknologi khususnya dalam mengurangi susut dan limbah pangan. Berdasarkan data FAO 2012 sebanyak 35% ikan yang ditangkap terjadi penurunan kuantitas dan kualitas sepanjang proses rantai penyediaan yang disebut juga susut pangan (food loss), dan hal tersebut setara dengan 3 miliar ikan salmon Atlantic yang terbuang. Dimana hasil kajian yang dilakukan oleh Delberg (2017) menyatakan bahwa 3 miliar ikan salmon yang terbuang tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi sekitar 2,7 sampai 4,4 juta anak.
Apresiasi saya sampaikan kepada JP2GI yang telah berhasil menyelesaikan Kajian Literatur Susut dan Limbah Pangan Bergizi Sektor Perikanan di Indonesia ini. Diharapkan ke depannya akan semakin banyak kajian mengenai susut dan limbah, sebagai bentuk kontribusi dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan melalui penurunan setengah susut dan limbah pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi pada tahun 2030.
Jakarta, 21 Desember 2020
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat
dr. Kirana Pritasari, MQIH
Kata PengantarDIREKTUR JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT
i
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
ii
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan buku Susut dan Limbah Pangan Bergizi Sektor Kelautan dan Perikanan di Indonesia : Suatu Analisis Pemetaan dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagai negara maritim dan kepulauan, Indonesia diberi anugerah potensi kekayaan sumber daya ikan yang beraneka ragam dan melimpah. Hasil kajian menunjukkan bahwa potensi lestari sumber daya ikan nasional mencapai 12,54 juta ton/tahun. Potensi ini sudah selayaknya dikembangkan secara optimal sebagai penggerak perekonomian nasional serta memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Ikan merupakan produk pangan penting dalam mendukung program prioritas penanganan stunting khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan karena selain mengandung protein, ikan juga mengandung Omega-3 yang cukup tinggi. Walaupun demikian, susut hasil dari kegiatan penangkapan ikan di Indonesia masih tinggi, mencapai 75–125 ribu ton/tahun. Susut ini setara dengan 16–27 ribu ton protein yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan protein harian 2,7–4,4 juta orang. Hal ini dapat mempengaruhi ketersediaan, keterjangkauan dan keberlanjutan akses pangan bergizi.
Pada saat ini, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan didominasi oleh usaha mikro kecil, baik nelayan, pembudidaya, pengolah, pemasar maupun petambak garam. Beberapa permasalahan klasik dalam pengelolaan sumberdaya tersebut masih dihadapi oleh para pelaku usaha mikro kecil, seperti masih terbatasnya akses teknologi dan informasi, pembiayaan, pemasaran dan distribusi, serta kapasitas dan kompetensi SDM yang juga masih terbatas. Disisi lain, konsumsi masyarakat di dalam negeri terhadap produk perikanan masih belum optimal yang disebabkan masih terbatasnya pengetahuan konsumen tentang informasi produk perikanan, dan adanya persepsi bahwa ikan adalah makanan mahal.
Menyikapi hal tersebut, perlu penguatan daya saing produk kelautan dan perikanan di segala aspek, melalui peningkatan teknologi produksi, distribusi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, peningkatan akses pasar, pembiayaan, dan informasi, serta peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM. Dengan demikian, produk perikanan yang bermutu dan aman dikonsumsi dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan konsumsi ikan untuk membangun generasi Indonesia yang sehat, kuat, dan cerdas.
Akhir kata, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyampaikan apresiasi dan penghargaan atas peluncuran buku Susut dan Limbah Pangan Bergizi Sektor Kelautan dan Perikanan di Indonesia : Suatu Analisis Pemetaan. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat sekaligus menjadi referensi bagi pelaku usaha dan pemangku kebijakan.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Artati Widiarti
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kata PengantarKEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
ii
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
iii
Indonesia sebagai negara yang populasinya tergolong besar, kesehatan masyarakat merupakan tujuan pembangunan yang sangat strategis. Apalagi kondisi geografis berupa negara kepulauan terbesar di dunia dan bergunung-gunung, disamping memiliki kelebihan berupa kekayaan alam yang tinggi, namun juga menyandang beberapa kelemahan. Tempat tinggal yang terpencil di pulau-pulau kecil atau di puncak gunung dan di tengah hutan, sering mengalami kesulitan prasarana kesehatan, energi, pendidikan, logistik, transportasi, komunikasi, dan sebagainya.
Keadaan tersebut disertai tingkat permasalahan yang tidak sama, antara suatu daerah dengan kawasan lainnya. Baik dalam aspek geografis, demografis, sosial, ekonomi, dan sarana-prasarana. Oleh karenanya, dalam upaya solusinya juga tidak bisa disamaratakan.
Guna memecahkan masalah yang tidak sederhana tersebut, diperlukan kebijakan yang tepat dan implementatif. Sehubungan dengan hal ini, JP2GI (Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia) sebagai wadah yang mempertemukan berbagai potensi terkait dalam meningkatkan gizi masyarakat menggunakan berbagai bentuk upaya. Di antaranya adalah, dilakukan kajian baik dari literatur maupun langsung di lapangan; mendorong berbagai inovasi teknologi, bisnis serta sosial; diselenggarakan edukasi, pelatihan dan penyuluhan mengenai penanganan bahan makanan dan peran gizi bagi kesehatan; serta memperkuat jejaring-baik di pusat maupun di daerah.
Jejaring yang berperanserta selama ini adalah dari kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, akademisi, pengusaha dan industri, pelaku kegiatan sektor pangan dan gizi, serta organisasi profesi dan masyarakat. Semuanya komponen tersebut berada baik di tingkat pusat maupun daerah.
Karya akademis yang ditulis oleh DDr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc., serta Atqiya NurÁssyfa, Gressty Sari Br Sitepu, Gevbry Ranti Ramadhani Simamora, dan Bambang Riyanto, S.Pi, M.Sc., akademisi dari Institut Pertanian Bogor, berupa kajian literatur ilmiah dengan judul: “Susut dan Limbah Pangan Bergizi Sektor Perikanan: Suatu Analisa Pemetaan”. Hasil pemikiran yang inovatif ini kiranya sangat bermanfaat bagi penyusunan strategi, program dan kegiatan, serta segala upaya untuk penyediaan pangan bergizi dan kesehatan masyarakat.
JP2GI menyampaikan apresiasi kepada penulis, juga dukungan dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, GAIN (Global Alliance for Improve Nutrition), serta para pihak terkait lainnya.
Kita semua berharap, semoga upaya bersama untuk menyehatkan masyarakat, di antaranya dengan mendukung ketersediaan pangan bergizi dapat terlaksana dengan baik, terutama dalam menghadapi permasalahan nasional—stunting, gizi buruk dan pandemi Covid-19.
Ketua Umum JP2GI
Soenán Hadi Poernomo
Kata PengantarJEJARING PASCA-PANEN UNTUK GIZI INDONESIA (JP2GI)
iii
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
iv
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................................................................... vi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................................................................................viii
RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................................................1
1.2 Tujuan Kajian Literatur Susut dan Limbah Pangan Bergizi .....................................................................3
1.3 Bahan Kajian ......................................................................................................................................................3
II. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................................................ 5
III. PEMBAHASAN ......................................................................................................................................................... 7
3.1. Faktor Penyebab (Determinan) Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan ...................................7
3.2. Penyebab Terjadinya Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan Berdasarkan Fleksibilitasnya 15
3.3. Kajian Susut Pangan Selama Proses Pengolahan Tradisional ..............................................................21
3.4 Alternatif Strategi untuk Menurunkan Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan .....................29
3.5 Kebijakan Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan di Indonesia Berdasarkan Level .............56
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............................................................................................................. 67
4.1. Kesimpulan ......................................................................................................................................................67
4.2. Rekomendasi ...................................................................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................................... 68
LAMPIRAN ...................................................................................................................................................................... 70
Lampiran 1. Studi Kehilangan Pascapanen Padi (Purwanto 2005) ..............................................................70
Lampiran 2. Rata-rata Produksi Hasil Samping Industri Pengalengan TTC pertahun (periode 2010-2018) ........................................................................................................................74
iv
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
v
Daftar TabelTabel 1 Kajian-kajian Penyebab FLW Berdasarkan Kategorinya ............................................................................. 6
Tabel 2 Determinan Food Loss dan Waste di setiap Tahap Rantai Pangan ............................................................. 19
Tabel 3 Indentifikasi Kajian Intervensi untuk mengatasi FLW Produk Perikanan di Indonesia ........................ 24
Tabel 4 Kategori solusi untuk mengurangi FLW berdasarkan tingkat (level) ........................................................ 31
Tabel 5 Rekapitulasi Hasil Penelitian Pemanfaatan Hasil Samping/Limbah Industri Pengolahan Perikanan .. 42
Tabel 6 Harga Produk Biofunctional dari Hasil Samping/Limbah Industri Perikanan ......................................... 48
Tabel 7 Kebijakan Fish Loss and Waste di Indonesia Berdasarkan Level ................................................................. 57
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
vi
Daftar GambarGambar 1 Supply/Value Chain Hasil Perikanan ........................................................................................................ 6
Gambar 2 Faktor penyebab (determinan) fish loss and waste ................................................................................. 19
Gambar 3 Limbah industri perikanan tuna, tongkol, cakalang (TTC) ..................................................................... 37
Gambar 4 Skema Maksimalisasi Pemanfaatan FLW Industri Tuna ........................................................................ 37
Gambar 5 Skema Maksimalisasi Pemanfaatan FLW Industri Udang ..................................................................... 38
Gambar 6 Rekomendsi Asupan Asam Lemak Omega-3 Perhari ............................................................................. 39
Gambar 7 Maksimalisasi Pemanfaatan FLW Industri Kepiting/Rajungan ............................................................. 40
Gambar 8 Grafik Permintaan Pasar terhadap Hidrolisat Protein ............................................................................. 42
Gambar 9 Nilai Tambah Nova Ingredien dari Hasil Perairan..................................................................................... 42
Gambar 10 Segmentasi Segmentasi Ingredien Fungsional Hasil Perairan ........................................................... 49
Gambar 11 Pasar Global untuk Bahan Alam Hasil Laut ............................................................................................ 49
Gambar 12 Nutraceutical/Marine Ingredients Are Generally Taking Off In Supplements ................................ 50
Gambar 13. (A) Penduduk di bawah garis kemiskinan nasional; (B) Proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan nasional ................................................................................................................................. 52
Gambar 14 Tingkat Kelaparan Indonesia di ASEAN ................................................................................................... 52
Gambar 15. (A) Proporsi Penduduk di bawah Batas Minimum Konsumsi Kalori (B) Tren Prevalensi Balita Pendek di Dunia Tahun 2000-2017 ....................................................................................................... 53
Gambar 16. Prevalensi Balita Pendek di Asia Tahun 2017 ....................................................................................... 53
Gambar 17. (A) Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara 2005-2017; (B) Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017 ..................................................................................................................... 54
Gambar 18. Persentase Kecukupan Energi dan Protein pada Ibu Hamil di Indonesia Tahun 2016 ................ 54
Gambar 19. Persentase Remaja Putri Berisiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) di Indonesia Tahun 2017 . 55
Gambar 20. Prevalensi stunting Baduta dan Balita .................................................................................................... 55
Gambar 21. Skema Pengaruh Asam Lemak Omega-3 terhadap Fungsi Sel .......................................................... 56
Gambar 22. Skema Manfaat Klinis dan Kesehatan Asam Lemak Omega-3 .......................................................... 56
Gambar 23. Ikhtisar Peran Fisiologi dan Manfaat klinis Potensi Asam Lemak Omega-3 .................................. 57
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
vii
Daftar IstilahSusut pangan (food loss) : Penurunan kuantitas atau kualitas pangan yang disebabkan karena
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil penyedia pangan di sepanjang rantai pasok, selain pelaku ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen.
Limbah pangan (food waste) : Penurunan kuantitas atau kualitas pangan yang disebabkan karena keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh pelaku ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen.
Susut fisik (physical loss) : Kehilangan pangan yang diukur dari berat atau jumlah. Susut mutu/kualitas (quality loss)
: Kehilangan karena penurunan kualitas yang memicu kehilangan gizi serta menyebabkan penurunan tingkat kualitas, harga, dan daya terima konsumen/pasar.
Ketahanan pangan dan gizi : Ketahanan pangan dan gizi ada ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap makanan yang aman dan mengonsumsinya dalam kuantitas dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan diet dan pilihan makanannya, dan didukung oleh lingkungan dengan sanitasi, layanan dan perlindungan kesehatan yang memadai, yang memungkinkan mereka untuk hidup sehat dan aktif.
Penyebab mikro : Penyebab terjadinya susut dan limbah pangan pada setiap tahap rantai pasok pangan yang bersifat spesifik, baik yang disebabkan oleh pelaku maupun bukan. Penyebab mikro tidak harus dikaitkan dengan penyebab yang lain dan tidak dipengaruhi oleh perilaku agen pada tahap lain.
Penyebab meso : Penyebab sekunder atau struktural yang dapat ditemukan pada tahap lain. Penyebab meso terjadi karena interaksi antar pelaku atau karena infrastuktur yang ada, di mana pangan diproduksi, didistribusikan, dijual, dan sebagainya.
Penyebab makro : Penyebab yang berakar dalam dinamika sistem pangan secara keseluruhan yang merupakan masalah sistemi yang mempengaruhi level mikor dan meso.
Zero Waste : Prinsip nirlimbah yang menekankan sistem siklikal dalam proses produksi sehingga tercipta produksi bersih.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
viii
Daftar Singkatan BPS : Badan Pusat StatistikCACP : Codex Amilentarius Code of Practice CCRF : Code of Conduct for Responsible FisheriesCSR : Corporate Social ResponsibilityDHA : Docosahecsaenoic AcidFAO : Food and Agriculture OrganizationFLW : Food Loss and Waste (Susut dan Limbah Pangan)FSC : Food Supply ChainGAIN : Global Alliance for Improved Nutrition Gemarikan : Gerakan Memasyarakatkan Makan IkanGermas : Gerakan Masyarakat Hidup SehatGHP : Good Hygieneic PracticesGMP : Good Manufacturing PracticesHLPE : High Level Panel of ExpertsHPI : Hidrolisat Protein IkanHPK : Hari Pertama KehidupanJP2GI : Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan KebudayaanKemenkes : Kementerian Kesehatan KKP : Kementerian Kelautan dan PerikananKPG : Ketahanan Pangan dan GiziKPI : Konsentrat Protein IkanPEEST : Policy, Economy, Environment, Social, Technical (Kebijakan, Ekonomi, Lingkungan,
Sosial, Teknis)ProGAS : Program Gizi Anak SekolahSLIN : Sistem Logistik Ikan NasionalSWOT : Strength, Weakness, Opportunity, ThreadTPB : Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) TPI : Tempat Pelelangan IkanTTC : Tuna, Tongkol, CakalangVFO : Virgin Fish OilWHO : World Health Organization
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
ix
Ringkasan EksekutifSusut dan limbah pangan (food loss and waste), termasuk di bidang perikanan, menjadi perhatian utama dunia tidak terkecuali Indonesia. Susut dan limbah pangan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial seperti status gizi masyarakat. Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang relatif belum baik mendorong peningkatan produksi limbah pangan, padahal sebagian warga miskin Indonesia masih kesulitan memperoleh makanan, bahkan 30 persen anak di bawah usia lima tahun (balita) mengalami tengkes (stunting) atau gagal tumbuh akibat kekurangan asupan gizi dalam jangka panjang. Susut dan limbah pangan juga menyebabkan nelayan/petani, pengolah, retail/distributor, dan aktor-aktor rantai pasok lainnya (termasuk rumah tangga) kehilangan pendapatan, yang pada akhirnya berkontribusi pada timbulnya masalah ketahanan pangan dan gizi di Indonesia.
Kajian ini bertujuan untuk menyediakan gambaran (landscaping) permasalahan susut dan limbah pangan ikani serta dampaknya terhadap gizi masyarakat. Secara khusus, studi literatur dan kajian verifikasi di laboratorium ini bertujuan untuk menilai susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan di Indonesia dan determinannya, mengindentifikasi dan menilai efektifitas program pengurangan susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya, dan merumuskan strategi program pengurangan susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan yang efektif dari pengalaman internasional. Kajian dilakukan berdasarkan pencarian di database dokumen tertulis dari Food and Agriculture Organization (FAO), jurnal penelitian dalam dan luar negeri, laporan pelaksanaan program untuk mengatasi Susut dan Limbah Pangan di berbagai negara, repositori perguruan tinggi, ahli peneliti, dan laporan organisasi-organisasi perikanan dan gizi lainnya. Kajian ini dianalisis dengan membagi temuan literatur ke dalam tiga penyebab susut dan limbah pangan yaitu penyebab mikro, meso, dan makro. Beberapa data diverifikasi di Laboratorium Diversifikasi Pengolahan Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hasil kajian literatur ini menunjukkan bahwa kajian tentang susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan di Indonesia secara spesifik belum dilakukan. Kajian secara komprehensif perlu segera dilakukan agar dapat diambil kebijakan yang tepat untuk dapat mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan poin 12.3 yaitu menurunkan hingga setengah susut dan limbah pangan pada tahun 2030 demi terwujudkan ketahanan pangan dan gizi. Kajian ini merekomendasikan perlunya dilakukan beberapa studi lanjutan, di antaranya adopsi metode pengumpulan dan pengolahan data untuk menghitung besar susut dan limbah pangan sektor perikanan, penyusunan acuan konversi susut nilai gizi berbasis hasil penelitian ilmiah, dan kajian terkait rantai suplai dan proporsi bagi hasil perikanan untuk industri, layanan makanan, dan konsumsi. Kajian ini juga merekomendasikan perlunya dibangun Pusat Studi dan Data Susut dan Limbah Pangan Bergizi di Indonesia.
Kajian ini bertujuan untuk
menyediakan gambaran
(landscaping) permasalahan
susut dan limbah pangan ikani
serta dampaknya terhadap gizi masyarakat.
“
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
x
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
1
Bab
01PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangSusut dan limbah pangan (food loss and waste/FLW), termasuk di bidang perikanan, menjadi perhatian utama dunia tidak terkecuali Indonesia karena terjadi di semua lini distribusi/rantai pasok sampai ke ranah rumah tangga. Susut pangan (food loss) adalah penurunan kuantitas atau kualitas pangan yang disebabkan karena keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil penyedia pangan di sepanjang rantai pasok, selain pelaku ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen. Adapun limbah pangan (food waste) adalah penurunan kuantitas atau kualitas pangan yang disebabkan karena keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh pelaku ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen (FAO, 2019).
Susut dan limbah pangan ini memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial, termasuk di antaranya status gizi masyarakat. Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang relatif belum baik mendorong produksi limbah pangan meningkat setiap tahun. Laporan Economist Intelegence Unit (2017) menempatkan Indonesia di peringkat kedua penghasil susut dan limbah pangan terbanyak di dunia, setelah Arab Saudi. Jika memeriksa sampah makanan di rumah, restoran, hotel, jasa boga, maupun pesta hajatan, kita dengan mudah menemukan sisa makanan dari berbagai jenis. Fakta ini sangat memprihatinkan karena sebagian warga miskin Indonesia masih kesulitan memperoleh makanan, bahkan hampir sepertiga anak di bawah usia lima tahun (balita) mengalami tengkes (stunting) atau gagal tumbuh akibat kekurangan asupan gizi dalam jangka panjang.
Susut dan limbah pangan menyebabkan nelayan/petani, pengolah, retail/distributor, dan aktor-aktor rantai pasok lainnya (termasuk rumah tangga) kehilangan pendapatan, yang pada akhirnya berkontribusi pada timbulnya masalah ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security). Ketahanan Pangan dan Gizi (KPG) ada ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap makanan yang aman dan mengonsumsinya dalam kuantitas dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan diet dan pilihan makanannya, dan didukung oleh lingkungan dengan sanitasi, layanan, dan perlindungan kesehatan yang memungkinkan orang memiliki hidup yang sehat dan aktif (food and nutrition security exists when all people
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
2
at all times have physical, social and economic access to food, which is safe and consumed in sufficient quantity and quality to meet their dietary needs and food preferences, and is supported by an environment of adequate sanitation, health services and care, allowing for a healthy and active life) (FAO 2012).
Hampir sepertiga (kurang lebih 1,3 miliar ton per tahun) dari pangan dunia yang diproduksi untuk konsumsi susut atau menjadi limbah. Susut pangan per kapita di ASEAN mencapai 120–170 kg/tahun. Susut dan limbah pangan dari seluruh rantai nilai industri perikanan dunia (from net/farm to fork) diestimasi mencapai 35%, terbesar kedua setelah kelompok umbi-umbian, buah-buahan, dan sayuran (40-50%), kelompok sereal (30%), dan kelompok biji minyak, daging, dan produk susu (20%) (FAO 2015).
Beberapa kajian susut hasil perikanan di Indonesia pernah dilakukan, tetapi masih terbatas pada susut nilai, belum sampai pada kajian susut nilai gizi (nutrition loss), yang diduga berdampak signifikan terhadap status gizi masyarakat, terutama anak-anak. Sejak tahun 1970-an angka susut hasil perikanan di Indonesia yang sering menjadi acuan adalah kisaran 30-40%. Dalam kajian Koeshendrajana dalam kurun waktu 2008-2012, susut hasil di 33 kota/kabupaten, terhadap ikan sejak ditangkap, disimpan di kapal, didaratkan, di pelabuhan dan pelelangan, diolah, dan dipasarkan, adalah antara 5,85-7,11 % (Poernomo SH dan Torbosaqua, 2018). Pada kajian terhadap ikan tongkol di Indonesia yang ketersediaannya di pasar domestik mencapai 66% dan ekspor 34%, susut ikan diperkirakan 75.000-125.000 ton/tahun (25%), dengan demikian berarti sekitar 16.500 - 27.500 ton protein ikan/tahun susut atau hilang (Dalberg 2017). Protein yang terbuang itu dapat memenuhi kebutuhan 2,7 hingga 4,4 juta anak di Indonesia. Susut protein ini disertai dengan susut zat gizi esensial lainnya karena ikan (terutama ikan laut) merupakan sumber utama asam lemak tidak jenuh rantai panjang omega-3 (LC Omega-3 PUFA) yang sangat berperan pada perkembangan kecerdasan dan kemampuan kognitif anak berusia di bawah dua tahun (baduta) serta kehilangan gizi mikro mineral lainnya.
Setelah ditangkap atau pascapanen, susut hasil perikanan (fish losses) dapat terdiri dari susut fisik, yakni berat ikan yang terbuang atau hilang; susut mutu, yakni perbedaan nilai ikan segar saat baru ditangkap dibandingkan dengan setelah kualitasnya turun saat di tangan konsumen; susut harga, perbandingan harga ketika masih segar dibanding harga saat sudah terjadi penurunan mutu di konsumen; susut gizi, komponen gizi yang sudah berkurang, seiring dengan turunnya kualitas; dan susut fungsional, daging ikan kehilangan fungsi alami/positifnya seiring dengan kemunduran mutu yang dialaminya dibanding saat masih segar. Mengantisipasi berbagai susut yang sangat merugikan dari segi ekonomi, dan gizi, maka dibutuhkan strategi, kebijakan, teknologi, dan inovasi dalam mengurangi kerugian pascapanen ikan segar di sepanjang rantai pasok.
Akibat utama dari susut dan limbah pangan adalah kurangnya ketersediaan dan asupan gizi masyarakat yang selanjutnya berdampak pada menurunnya kesehatan, kesejahteraan, dan produktivitas masyarakat. Salah satu permasalahan akibat kekurangan gizi yang menjadi perhatian dunia saat ini adalah kasus balita pendek atau yang biasa disebut tengkes (stunting) (Kemenkes 2018). Miliaran penduduk dunia mengalami kondisi kekurangan gizi, bahkan diberitakan kematian sekitar 3,1 juta balita disebabkan oleh masalah ini. Pada tahun 2017, sekitar 22,2% atau setara dengan 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting dan Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting tertinggi ketiga di Asia Tenggara. Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2018) mencatat 13,8% balita mengalami gizi kurang, 3,9% balita mengalami gizi buruk, 30,8% balita pendek (stunting), 10.2% balita kurus, dan 48,9% ibu hamil mengalami anemia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), masalah kesehatan masyarakat dianggap berat apabila prevalensi stunting sebesar 30–39% dan tergolong serius apabila permasalahan stunting lebih dari 40%. Apabila dilihat dari data gizi masyarakat di setiap provinsi, sebanyak 14 provinsi masuk dalam kategori berat, sedangkan 15 provinsi tergolong serius.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) poin 12.3 yaitu “mengurangi hingga setengah limbah pangan per kapita global di tingkat ritel dan konsumen, dan mengurangi hingga setengah susut pangan sepanjang rantai produksi dan pasokan pada tahun 2030”. Untuk mencapai TPB, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2017
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
3
tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam rangka mengatasi masalah gizi di masyarakat, utamanya menurunkan stunting, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) Periode 2018-2024 pada tahun 2018. Sasaran utamanya adalah ibu hamil dan anak baduta atau berfokus pada “seribu hari pertama kehidupan” (1.000 HPK) yaitu sejak bayi di dalam kandungan sampai berusia dua tahun. Salah satu rekomendasi untuk mencegah dan menurunkan prevalensi stunting adalah meningkatkan asupan protein melalui konsumsi ikan.
Mendukung program pemerintah yang selaras dengan visi dan misinya, Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan didukung oleh Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) dengan pendanaan dari Pemerintah Belanda, melaksanakan program-program untuk mengurangi susut pascapanen untuk perbaikan gizi di Indonesia, yang saat ini difokuskan pada produk perikanan.
Program-program JP2GI ini mendukung program-program pemerintah, utamanya Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) oleh KKP, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) oleh Kemenkes, dan Program Gizi Anak Sekolah (ProGAS) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mempertimbangkan kandungan gizi ikan yang tinggi (protein, mineral, vitamin dan LC Omega-3 PUFA), mudah dicerna, dan banyak tersedia di masyarakat, maka tiga program pemerintah tersebut menempatkan ikan dalam posisi yang sangat penting.
Pemerintah Indonesia telah bertekad untuk mencapai TPB pada tahun 2030, namun pemerintah belum mengadopsi secara penuh tujuan 12.3 untuk mengurangi susut dan limbah pangan hingga setengah dari data awal (baseline). Salah satu kendalanya adalah karena belum tersedianya data, bukti-bukti, dan metode pengukuran yang reliable, valid, dan representative, meskipun beberapa instrumen pengukuran dan indeks telah dikembangkan oleh berbagai organisasi.
1.2 Tujuan Analisis Pemetaan Susut dan Limbah Pangan Bergizi Hasil PerikananTujuan umum kajian literatur ini adalah dalam rangka “landscaping”, menyediakan gambaran permasalahan susut dan limbah pangan ikani serta dampaknya terhadap nilai gizi ikan untuk konsumsi masyarakat dan dampak ekonomi untuk didiskusikan/diteliti lebih lanjut sehingga dapat disusun strategi penanganan dan penyelamatan susut gizi dan limbah ikan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi (KPG). Adapun tujuan khususnya adalah:
a. Untuk menilai susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan di Indonesia dan determinannya.
b. Untuk mengidentifikasi dan menilai efektifitas program pengurangan susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya.
c. Untuk merumuskan strategi program pengurangan susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan yang efektif dari pengalaman internasional.
1.3 Bahan KajianKajian ini dilakukan berdasarkan dokumen tertulis berbagai ahli/pengarang yang dipublikasikan dan belum dipublikasikan dari FAO, jurnal penelitian dalam dan luar negeri, laporan pelaksanaan program mengatasi permasalahan susut dan limbah pangan di berbagai negara, repositori perguruan tinggi, ahli peneliti, dan laporan organisasi-organisasi perikanan dan gizi lainnya.
Susut pangan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas atau kualitas pangan yang disebabkan karena keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil penyedia pangan di sepanjang rantai pasok, selain pelaku ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen atau the decrease in the quantity or quality of food resulting
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
4
from decisions and actions by food suppliers in the chain, excluding retailers, food service providers and consumers (SOFA, 2019). Susut pangan dikelompokkan menjadi:
• Susut fisik (physical loss), yaitu kehilangan pangan yang diukur dari berat atau jumlah. Di dalamnya termasuk ikan, produk yang dibuang karena busuk, rusak, atau terserang/infestasi insekta.
• Susut mutu/kualitas (quality loss), yaitu kehilangan karena penurunan kualitas (quality deterioration) yang memicu kehilangan gizi serta menyebabkan penurunan tingkat kualitas atau grade, penurunan harga, dan daya terima konsumen/pasar.
Pengetahuan mengenai nilai gizi dan nilai ekonomi dari berbagai tahapan susut dan limbah pangan sektor perikanan sangat dibutuhkan sebagai landasan pengambilan keputusan dan intervensi yang tepat dalam meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (KPG). Dampak kehilangan sebaiknya dianalisis selengkap mungkin. Peningkatan KPG Indonesia membutuhkan strategi implementasi pemanfaatan ikan yang lebih baik yang diproduksi dengan disertai pengurangan susut dan limbah pascapanen dan peningkatan proporsi/persentasi pemanfaatan ikan secara langsung untuk konsumsi masyarakat.
Secara global telah dipahami bahwa masalah susut dan limbah pangan merupakan tantangan yang perlu segera diatasi. Telah banyak program yang dikerjakan untuk mengatasi dan mencegah susut pada rantai pasok perikanan, tetapi isu kunci/pentingnya adalah berkaitan dengan ketersediaan dan kualitas informasi. Secara umum informasi yang dibutuhkan sebagai acuan dalam pengembangan kebijakan dan manajemen sumberdaya masih rendah kualitasnya dan sangat sering tidak dihasilkan dan didistribusikan sesuai waktunya (in a timely manner). Tulisan ini mengumpulkan informasi hasil penelitian, kajian, tulisan yang berhubungan dengan susut dan limbah sektor perikanan laut (seafood FLW), dan intervensi yang telah dilakukan pada berbagai lini atau tingkatan.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
5
METODOLOGI PENELITIAN
High Level Panel of Experts (HLPE) (2014) mengkategorikan penyebab atau determinan susut dan limbah pangan menjadi tiga tingkatan sesuai dengan tingkat kompleksitas dan hubungan dengan penyebab lainnya, sebagai berikut:
• Penyebab mikro: penyebab terjadinya susut dan limbah pangan yang terjadi pada setiap tahap rantai pasok pangan yang bersifat spesifik, baik yang disebabkan oleh pelaku maupun bukan. Penyebab mikro tidak harus dikaitkan dengan penyebab yang lain dan tidak dipengaruhi oleh perilaku agen pada tahap lain.
• Penyebab meso: penyebab sekunder atau struktural yang dapat ditemukan pada tahap lain. Penyebab meso terjadi karena interaksi antar pelaku atau karena infrastruktur yang ada dimana pangan diproduksi, didistribusikan, dijual, dan sebagainya.
• Penyebab makro: penyebab yang berakar dalam dinamika sistem pangan secara keseluruhan yang merupakan masalah sistemik yang mempengaruhi dua level sebelumnya (mikro dan meso), seperti kondisi kebijakan dalam hal regulasi atau berfungsinya sistem pangan; “sebab makro mendukung kemunculan semua penyebab lain dari kehilangan dan pemborosan makanan ”.
Identifikasi determinan dan intervensi FLW perikanan di Indonesia termasuk susut gizi dilakukan dengan pencarian database. Pencarian database dilakukan melalui penelusuran artikel ilmiah di database jurnal yang diakui secara internasional maupun nasional di bidang perikanan, pangan, gizi, dan kesehatan masyarakat. Pencarian difokuskan pada identifikasi artikel hasil penelitian terkait determinan dan upaya pengurangan FLW dan susut gizi bidang perikanan yang dilakukan di Indonesia. Upaya pengurangan yang dimaksud meliputi upaya melalui pembuatan kebijakan maupun riset terkait upaya pemanfaatan limbah dan hasil samping perikanan menjadi produk dengan nilai tambah. Upaya pengurangan limbah pada level rumah tangga dan bidang jasa makanan (rumah makan, warung, restoran, jasa boga, dan lain-lain). Determinan yang
Bab
02
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
6
teridentifikasi dikelompokkan ke dalam kategori penyebab FLW berdasarkan kerangka kerja (framework) yang telah ditentukan oleh HLPE didukung dengan kajian-kajian berbagai literatur yang menguatkan kerangka kerja tersebut.
Pencarian artikel/laporan hasil penelitian/kajian ilmiah menggunakan kata kunci Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di database Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu: (1) food waste, kalori, dan susut gizi produk perikanan di Indonesia jurnal pdf; (2) konsep zero waste perikanan Indonesia jurnal pdf; (3) food losses stunting perikanan Indonesia jurnal pdf, (4) kebijakan KKP tentang food losses dan waste; (5) widyakarya nasional pangan dan gizi food losses perikanan; dan (6) widyakarya nasional pangan dan gizi perikanan. Jumlah artikel yang didapat setelah melakukan pencarian menggunakan kata kunci tersebut adalah 807 artikel. Setelah dilakukan penyaringan berdasarkan keterkaitan judul dan mengurangi duplikasi, didapat 36 artikel, sebanyak 4 artikel terkait dengan upaya pengurangan FLW melalui teknologi pengolahan, 3 artikel terkait dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pemberian pelatihan, 5 artikel melalui pemanfaatan hasil samping dan limbah perikanan, 6 artikel tentang kajian kebijakan (tidak ada yang berkaitan dengan FLW), 12 artikel masalah gizi dan stunting (tidak ada yang berkaitan dengan hubungan antara FLW dengan susut gizi perikanan), 6 artikel tentang determinan FLW termasuk pada tingkat rumah tangga dan jasa makanan (tidak ada yang berkaitan dengan perikanan).
Selain itu dilakukan juga kajian pustaka terhadap artikel ilmiah serta penelitian yang menjadi rujukan hasil kajian FLW yang dilakukan oleh HLPE. Komponen yang diidentifikasi meliputi determinan-determinan FLW. Kajian lainnya adalah besaran proporsi, nilai gizi, serta nilai ekonomi produk olahan hasil samping atau limbah perikanan. Kajian tersebut dilakukan dengan mencari literatur melalui search enginge dan website ilmiah seperti Semantic Scholar, FAO.org, Iop Science, Ejurnal Undip, Atlantis-press, Repository IPB, E3S Web of Conferences, Pulbmed.gev, Ejurnal Unsri, Fisheries Journal, Food and Nutrition Library, Ejournal Kemenperin, Open Knowledge Repository, Scholar UI, Ejournal UIN Malang, Books Google, Journal IPB, Marel, Bangladesh Journal, Internation Journal, Pubmed.gov, Research Gate, Jurnal Pacapanen Bioteknologi Perikanan dan Kelautan, Food Chemistry, Jurnal Teknologi Industri Pertanian, Jurnal pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, The Royal Society, JDIH BPK RI: DATABASE PERATURAN, Open Channels: Sustainable Ocean Management & Conservation, Media Farmasi: Jurnal Ilmu Farmasi, Scientific Research, Badan Pusat Statistika (BPS), Kementerian Kesehatan dan Departemen Gizi Masyarakat IPB (Jurnal Gizi dan Pangan). Data diperkuat dengan validasi di laboratorium melalui perhitungan terhadap sampel secara langsung.
Sintesis data dan informasi dilakukan melalui proses narrative review menggunakan pendekatan tematik atas outcome hasil studi yang dikumpulkan dan kemudian mencoba membuat benang merah antara masalah nutritious food loss and waste, determinannya, intervensi yang sudah dikembangkan, faktor pendukung dan penghambat serta efek yang tidak diinginkan dari intervensi yang telah dilakukan, kemudian terakhir rekomendasi yang bisa diberikan. Hasil kajian ini juga akan dipublikasikan baik pada jurnal berbahasa Indonesia maupun Inggris yang membahas tentang penyebab atau faktor kontekstual terkait FLW yang teridentifikasi oleh HLPE.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
7
PEMBAHASAN
1.2. Faktor Penyebab (Determinan) Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan Identifikasi determinan susut dan limbah (FLW) pangan perlu dilakukan di sepanjang rantai pasok hasil perikanan. Gambar 1. berikut ini menggambarkan rantai pasok hasil perikanan secara umum.
Gambar 1. Supply/Value Chain Hasil Perikanan
Menurut HLPE, penyebab FLW sangat kompleks dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu mikro, meso, dan makro. Kajian literatur yang mendukung pendapat HLPE disajikan pada Tabel 1. berikut:
Bab
03
KONSUMENMANUFAKTURSUPLAI
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
8
Tabel 1. Kajian-kajian Penyebab FLW Berdasarkan Kategorinya
Kategori Penyebab
FLWKajian Determinan
Mikro Parfitt, J., Barthel, M. & Macnaughton, S. 2010. Food waste within food supply chains: quantification and potential for change to 2050. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 365(1554): 3065–3081.
Susut pada Sistem Rantai Pangan Negara Berkembang:a. Pascapanen
• Rantai pangan cenderung pendek dan infrastruktur yang sangat kurang memadai;
• Keterlibatan perantara (contoh: tengkulak) antara petani dan konsumen;
• Penurunan kualitas, terbuang secara tidak sengaja atau dimakan tikus/hama lainnya.
b. Retail dan Pasar • Ketentuan pembayaran yang mengecilkan hati petani kecil;
• Standar kualitas produk pengecer menyulitkan petani untuk memasok produk ke pasar;
• Penalti kontrak yang tinggi untuk sebagian atau total pesanan yang tidak dipenuhi oleh pemasok;
• Klausa pengembalian produk dalam kontrak pemasok;
• memungkinkan pengecer mengembalikan produk ke pemasok begitu umur simpan yang tersisa telah tercapai;
• Perkiraan jumlah permintaan dan penambahan sistem rantai pangan yang kurang transparan.
Limbah Pangan pada Tingkat Konsumen dan Rumah Tangga: • Komposisi keluarga, misalnya jumlah orang dewasa dan anak-
anak. Orang dewasa membuang lebih banyak makanan dari pada anak-anak. Keluarga dengan jumlah anggota yang besar membuang makanan lebih sedikit dibanding keluarga dengan jumlah anggota yang kecil;
• Pendapatan Limbah pangan pada orang/keluarga berpendapatan rendah lebih kecil daripada keluarga dengan pendapatan tinggi;
• Demografi, anak muda membuang lebih banyak makanan dibanding orang tua (contohnya: pensiunan);
• Budaya keluarga, menyiapkan terlalu banyak makanan dan makanan tidak digunakan pada waktunya (lupa dimakan).
FAO. 2011a. Global food losses and food waste – extent, causes and
Susut Pangan Sepanjang Rantai Pangan • Komunikasi yang baik antar petani dapat mencegah produksi
berlebih;
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
9
prevention, by J. Gustavsson, C. Cederberg, U. Sonesson, R. van Otterdijk & A. Meybeck. Rome (http://www.fao.org/docrep/014/mb060e/mb060e00.pdf).
• Pemanenan dini;
• Tingginya ‘standar kualitas kenampakan’ produk segar di supermarket menjadi salah satu faktor yang menyebabkan FLW;
• Fasilitas tempat penyimpanan yang tidak memadai dan infrastruktur yang kurang menyebabkan besarnya susut pascapanen di negara-negara berkembang;
• Makanan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan tidak dapat dikonsumsi manusia;
• Sikap serta cara pandang (mindset) ‘membuang’ lebih murah dari pada ‘menggunakan atau menggunakan kembali’ di negara-negara industri menyebabkan terbentuknya limbah makanan;
• Kurangnya fasilitas pengolahan menyebabkan susut pangan yang tinggi di negara-negara berkembang;
• Makanan yang dipajang pada display dalam jumlah besar menyebabkan limbah makanan di industri;
• Sistem pasar yang tidak memadai menyebabkan kehilangan pangan yang tinggi di negara-negara berkembang;
• Makanan yang terbuang pada tingkat konsumen di negara berkembang sangat minim;
• Kelimpahan dan sikap konsumen menyebabkan tingginya limbah pangan di negara-negara industri.
Hodges, R.J., Bernard, M., Knipschild, H. & Rembold, F. 2010. African Postharvest Losses Information System – a network for the estimation of cereal weight losses. In M.O. Carvalho, ed. Proceedings of the 10th International Working Conference on Stored Products Protection, pp. 956–964. 27 June to 2 July 2010, Estoril, Portugal (http://pub.jki.bund.de/index.
Susut Pascapanen di Afrika • Iklim;
• Skala pertanian (kecil/besar);
• Cuaca lembab saat panen;
• Penggerek biji-bijian yang lebih besar (dalam kasus jagung) dibanding proporsi biji yang disimpan di gudang penyimpanan;
• Pemanenan berkali-kali.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
10
php/JKA/article/view/1301 ).
Hodges, R.J., Buzby, J.C. & Bennett, B. 2011. Foresight project on global food and farming futures, postharvest losses and waste in developed and less developed countries opportunities to improve resource use. Journal of Agricultural Science, 149: 37–45.
Susut Pascapanen di Negara Terbelakang: • Kebusukan;
• Penanganan pascapanen yang kurang baik.Metode Estimasi Susut Pascapanen di Negara Maju: Contoh: Amerika Serikat
• Wawancara terstruktur;
• Jumlah sisa di piring;
• Pengujian sampah secara langsung dan aplikasi metode analisis statistik inferensia dengan faktor limbah yang terukur.
Metode Estimasi Susut Pascapanen di Negara Terbelakang: • Masih banyak menggunakan kuesioner dibanding pengukuran
langsung.
Kelleher, K. 2005. Discards in the world’s marine fisheries. An update. FAO Fisheries Technical Paper. No. 470. Rome, FAO. 131 p
Ikan yang Terbuang Selama Proses Penangkapan • Berat proporsi hasil tangkapan yang terbuang rata-rata sebesar
8%;
• Jenis alat tangkap berpengaruh terhadap jumlah ikan yang terbuang saat penangkapan:
• Tropical shrimp trawl 27%,
• Demersal finfish trawls 36%,
• Purse-seine, handline, jig, trap, dan pot fisheries umumnya memiliki proporsi jumlah tangkapan yang terbuang sedikit.
Liu, G. 2014. Food losses and food waste in China: a first estimate. OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers. No. 66. OECD Publishing (http://dx.doi. org/10.1787/ 5jz5sq5173lq-en).
• Data terkait FLW di sepanjang rantai pangan umumnya masih kurang dan belum lengkap. Sebagian besar masih hanya mengkaji beras;
• Masalah terkait tempat penyimpanan merupakan penyebab susut terbesar pada tahap pascapanen untuk semua jenis makanan;
• Perkembangan teknologi dan perbaikan infrastruktur diduga telah berdampak terhadap menurunnya susut, sedangkan limbah pangan akibat konsumsi konsumen diperkirakan meningkat seiring dengan pertumbuhan angka kesejahteraan dan urbanisasi;
• Limbah pangan dari kegiatan konsumsi oleh konsumen pada sektor restoran dan jasa boga lebih banyak dibandingkan pada level rumah tangga.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
11
Chalak, A., Abiad, M.G., Diab, M. and Nasreddine, L. 2019. The determinants of household food waste generation and its associated caloric and nutrient losses: the case of lebanon. 14(12): PloS one
Studi kasus kehilangan kalori dan gizi akibat makanan yang terbuang dan menjadi limbah di tingkat rumah tangga di Lebanon:
• Pemilik rumah yang tinggal sendiri membelanjakan lebih banyak untuk makanan;
• Memiliki lebih banyak anggota rumah tangga, siap untuk makan segala sesuatu yang dipersiapkan, dan cenderung tidak membeli penawaran khusus, secara signifikan meningkatkan limbah pangan rumah tangga, setidaknya dalam hal berat;
• Setiap orang/harinya membuang kurang lebih 0,2 kg makanan dengan rata-rata nilai kalori 451,2 kcal, 37,5 g karbohidrat, 14,9 g protein, 2,9 g serat pangan, 2,4 µg vitamin D, 165,2 mg kalsium dan 343.2 mg sodium.
Buzby, J.C., Wells, H.F. & Hyman, J. 2014. The estimated amount, value, and calories of postharvest food losses at the retail and consumer levels in the United States. EIB-121, US Department of Agriculture, Economic Research Service.
Penyebab Susut dan Limbah Pangan di Tingkat Pertanian, Pertanian-ke-Ritel, Ritel, dan Konsumen:
Tingkat Pertanian • Konsumsi atau kerusakan oleh serangga, hewan pengerat,
burung, atau mikroba (misal: Jamur, bakteri), dan kerusakan akibat cuaca yang tidak bersahabat atau ekstrem (misalnya: kekeringan, banjir, angin topan, dan membeku);
• Menipisnya pengembalian saat memanen tambahan produksi dan faktor-faktor lain yang menyebabkan terbuangnya beberapa tanaman yang dapat dimakan namun tidak dipanen;
• Penanaman berlebih atau persiapan berlebihan karena kesulitan memprediksi jumlah pembeli / pelanggan.
Tingkat Pertanian ke Ritel (Farm-to-Retail) • Penolakan beberapa produk untuk konsumsi manusia karena
peraturan atau standar keamanan pangan industri atau pemerintah (misal: ternak dikecam saat disembelih karena alasan keamanan pangan);
• Produk sampingan dari pemrosesan makanan yang ditimbun atau dibakar (yaitu, tidak dialihkan ke penggunaan makanan lain seperti untuk bahan-bahan dalam makanan campuran);
• Peningkatan mutu makanan yang cacat atau salah karena standar kualitas minimum oleh pembeli, yang merupakan hasil dari permintaan konsumen akan makanan berkualitas tinggi, menarik secara kosmetik, dan nyaman;
• Tumpahan dan kerusakan, seperti kerusakan peralatan (misal: penyimpanan dingin atau dingin yang salah) atau ketidakefisienan selama panen, pengeringan, penggilingan, pengangkutan, atau pemrosesan.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
12
Tingkat Ritel • Kaleng penyedot dan kemasan yang rusak. Kemasan yang tidak
pantas yang merusak produk;
• Makanan liburan yang tidak dibeli;
• Tumpahan, abrasi, memar, pemangkasan berlebihan, panas yang berlebihan atau tidak cukup, penyimpanan yang tidak memadai, kerusakan teknis;
• Kelebihan stok atau kelebihan persiapan karena kesulitan memprediksi jumlah pelanggan;
• Memusnahkan makanan yang cacat atau salah ukuran dalam upaya memenuhi permintaan konsumen.
Tingkat Konsumen • Tumpahan, abrasi, memar, pemangkasan berlebihan, panas
yang berlebihan atau tidak cukup, penyimpanan yang tidak memadai, kerusakan teknis;
• Tumbuhnya biji-bijian dan umbi-umbian, penuaan biologis pada buah;
• Konsumen menjadi bingung tentang tanggal “digunakan oleh” dan “terbaik sebelum” sehingga makanan dibuang sementara masih aman untuk dimakan;
• Kurang pengetahuan tentang persiapan dan ukuran porsi yang tepat. Misalnya, kurangnya pengetahuan konsumen tentang kapan pepaya matang, bagaimana mempersiapkannya, dan bagaimana menggunakannya sebagai bahan adalah alasan untuk kehilangan pepaya yang tinggi;
• Standar industri atau pemerintah dapat menyebabkan beberapa produk ditolak untuk konsumsi manusia (misal: makanan sisa dipiring tidak dapat digunakan kembali di restoran);
• Selera psikologis, sikap, dan preferensi yang mengarah ke limbah/kerokan piring (misal: keengganan manusia, seperti “Saya tidak makan itu,” atau menolak makan makanan karena alasan agama). Permintaan konsumen akan standar kosmetik yang tinggi;
• Faktor musim: lebih banyak makanan terbuang di musim panas;
• Makanan liburan yang belum dimakan atau sisa.
Mena, C., Adenso-Diaz, B. & Yurt, O. 2011. The causes of food waste in the supplier–
Penyebab FLW makanan di antara supplier-Retail: • Mega-tren di pasar;
• Penyebab alami yang terkait dengan produk dan proses;
• Penyebab pada bagian manajemen di mana praktisi memiliki dampak langsung:
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
13
retailer interface: evidences from the UK and Spain. Resources, Conservation and Recycling, 55(6): 648–658.
• Kurangnya berbagi informasi;
• Kesulitan dalam membuat perkiraan dan pemesanan yang buruk;
• Pengukuran dan manajemen kinerja (FLW tidak menjadi salah satu indikator kunci untuk mengukur kinerja manajemen);
• Manajemen rantai dingin;
• Pelatihan;
• Manajemen Kualitas;
• Tanggung jawab pengelolaan limbah;
• Manajemen promosi;
• Pengemasan.
Lebersorger, S. & Schneider, F. 2011. Discussion on the methodology for determining food waste in household waste composition studies. Waste Management, 31(9–10): 1924–1933.
Faktor yang diamati pengaruhnya terhadap jumlah limbah rumah tangga yang terbentuk:
• Pengaruh struktur pemukiman (pedesaan/ perkotaan);
• Tipe rumah tangga (tunggal atau beberapa kepala keluarga/multidwelling);
• Ketersediaan tempat penyimpanan sampah biologis.
Pamela, Nugraha A, Aritonang M, & Hutajulu JP. 2019. Determinants of household food waste value in Indonesia: a study case on high education level parents. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 399(1): 012121: IOP Publishing.
Determinan limbah pangan pada level rumah tangga di Indonesia: • Pengetahuan orangtua;
• Pencatatan daftar belanja;
• Jumlah limbah yang dibuang memiliki dampak signifikan terhadap nilai dari limbah tersebut.
Meso Mittal, S. 2007. Strengthening backward and forward linkages in horticulture:
Manajemen rantai pangan dan kolaborasi antara berbagai stakeholder dengan integrasi vertikal maupun horizontal yang baik.
Strategi dan Target ProduksiStudi Kasus:Sistem Managemen Namdari Fresh
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
14
some successful initiatives. Agric. Econ. Res. Rev., 20, 457–469.
• Memiliki jaringan yang kuat dengan 2.000 petani dan memiliki ladang pertanian sendiri di berbagai daerah;
• Suplai beragam buah dan sayur sepanjang tahun yang terpenuhi;
• Manfaat sosial-ekonomi bagi petani mitra (lapangan pekerjaan, fasilitas transportasi bagi anak-anak untuk pergi ke sekolah, subsidi uang makan, pinjaman dengan bunga rendah) memberi semangat untuk bekerja lebih efisien dan produktif;
• Manajemen rantai dingin yang baik;
• Memfasilitasi petani/karyawan terhadap akses pengetahuan dan materi.
SAFAL Market: • Didukung oleh 250 asosiasi petani holtikultura di seluruh India
dengan anggota lebih dari 20.000 orang;
• Asosiasi petani tersebut terhubung dengan 40 pusat pengumpul yang dilengkapi dengan perlengkapan untuk memenuhi persyaratan khusus atau spesifikasi tertentu dari pembeli dalam hal pengendalian mutu, pengemasan, dan penimbangan;
• Petani individu dilatih tentang manajemen kualitas dan diberi layanan penyuluhan. Dukungan logistik dalam hal pengemasan dan transportasi hasil pertanian juga diatur atas nama petani dengan biaya yang telah ditetapkan;
• Para petani diberitahu mengenai tren dan perkiraan permintaan produk oleh departemen pengadaan SAFAL dan ini memastikan pasokan produk yang konsisten sesuai dengan kuantitas dan spesifikasi kualitasnya;
• Petani dan pembeli grosir harus mendaftarkan diri ke SAFAL Market dengan biaya tertentu untuk menjadi anggota sehingga dapat terlibat dalam kegiatan jual-beli;
• Memungkinkan manajemen SAFAL untuk memiliki rantai pemasok dan pembeli yang konsisten dan juga dalam perencanaan permintaan masa depan mereka.
Kader, A.A. 2005. Increasing food availability by reducing postharvest losses of fresh produce. Acta Horticulturae 682: 2169–2176 (http://ucce.ucdavis.edu/files /datastore/ 234-528.pdf).
Strategi untuk mengatasi kehilangan pascapanen • Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini untuk
meningkatkan sistem penanganan (terutama pengemasan dan pemeliharaan rantai dingin) produk hortikultura yang mudah rusak dan memastikan kualitas dan keamanannya;
• Mengatasi kendala sosial ekonomi, seperti kekurangan infrastruktur, sistem pemasaran yang buruk, dan lemahnya kapasitas penelitian dan pengembangan (litbang);
• Mendorong konsolidasi dan integrasi vertikal di antara produsen dan pemasar tanaman hortikultura.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
15
Makro House of Lords. 2014. Counting the cost of food waste: EU food waste prevention. House of Lords, European Union Committee, 10th Report of Session 2013–14.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan direncanakan/dibuat/diambil untuk mengatasi susut dan limbah pangan di antaranya adalah:
• Definisi FLW. Harus ada definisi dan ruang lingkup FLW yang jelas dan sama bagi semua pihak sehingga bias saat melakukan proses analisis pengambilan kebijakan dapat di minimalisir;
• Pengukuran atau metode pengukuran FLW;
• Target yang ditetapkan atau tindakan yang dapat diambil sebelum pengambilan kebijakan terkait definisi dan pemantauan dilakukan.
1.3. Penyebab Terjadinya Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan Berdasarkan Fleksibilitasnya
1. Penyebab FLW Spesifik-Tahapan sepanjang rantai pasok pangan ikan (Micro-level causes)
Micro-level causes merupakan penyebab FLW pada setiap tahapan dari rantai pangan mulai dari tahap produksi hingga konsumsi, yang disebabkan oleh tindakan atau non-aksi pelaku individu pada suatu tahap, sebagai respons (atau bukan) terhadap faktor-faktor eksternal.
1. Faktor selama prapanen dan produk tidak dipanen Beberapa faktor yang dapat menyebabkan FLW di antaranya adalah kerusakan produk akibat faktor biologis (predator, hama, cemaran mikroorganisme), kimia (kualitas perairan yang buruk akibat adanya cemaran limbah, pestisida, dll) serta fisik (penanganan atau perawatan selama prapanen). Faktor-faktor tersebut tidak hanya akan mempengaruhi terjadinya FLW pada tahap ini tetapi juga berpengaruh terhadap tahap selanjutnya yaitu tahap panen. Apabila terjadi FLW pada tahap ini maka akan berpengaruh terhadap menurunnya kualitas maupun kuantitas hasil panen/tangkap.
2. Pemanenan dan penanganan awalSaat pemanenan atau penangkapan maka waktu panen/tangkap serta penjadwalan menjadi hal yang sangat penting agar hasil panen yang didapat memenuhi kualitas panen serta penawaran (supply) dan permintaan (demand) produk di pasar dalam kondisi seimbang. Penanganan dan penerapan rantai dingin yang tidak memenuhi standar juga merupakan contoh dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan FLW pada tahap panen.
3. PenyimpananDi Indonesia yang termasuk negara (tropis) berkembang, kurangnya fasilitas penyimpanan yang memadai merupakan penyebab terjadinya FLW yang bersifat mayor (sangat berdampak) (FAO 2011a). Umumnya fasilitas seperti cold storage sulit untuk dijangkau atau minim ketersediannya bagi nelayan-nelayan kecil, terutama di pulau-pulau kecil dan terluar. Listrik dan air serta infrastruktur lainnya masih menjadi kendala. Produk ikan yang mudah rusak (highly perishable) membutuhkan fasilitas penyimpanan yang memadai, terawat, serta kondisinya baik. Tanpa fasilitas penyimpanan, pengembang dan produsen perlu menjual hasil panen dengan harga yang sangat tergantung pada kondisi pasar, tidak memiliki daya tawar sehingga terkadang pelaku akan mempertimbangkan untuk mengambil keputusan untuk tidak melakukan panen, atau harus menghadapi risiko hasil panen yang tidak laku.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
16
4. Transportasi dan logistikSusut pascapanen setelah ikan didaratkan sangat mungkin terjadi karena kemunduran mutu yang sangat cepat. Kerusakan baik secara kualitas maupun kuantitas dapat terjadi baik pada saat transportasi, penyimpanan, pengolahan, maupun saat dalam perjalanan menuju pasar dan konsumen. Kurangnya fasilitas transportasi yang dapat mendukung terciptanya rantai dingin selama proses dan distribusi merupakan salah satu penyebab FLW yang signifikan.
5. Pengolahan dan PengemasanKontaminasi selama proses pengolahan produk ikan juga merupakan penyebab utama terjadinya FLW. Kontaminasi dapat terjadi akibat sanitasi dan higiene di unit pengolahan tidak diterapkan dengan baik. Permasalahan ini cukup kompleks karena menyangkut ketersediaan fasilitas, tenaga terampil, terdidik, standar mutu keamanan pangan, kemampuan tenaga kerja untuk menguasai dan mengaplikasikan standar mutu, dsb. Kontaminasi pada produk menyebabkan produk yang diproduksi pada periode/batch yang sama tidak dapat dijual sehingga susut yang terjadi cukup besar. Pengemasan juga menjadi faktor penting karena menjadi penentu masa simpan produk serta mencegah terjadinya kontaminasi atau kerusakan produk selama transportasi.
6. RetailSusut pada tahap retail atau penjualan berpotensi terjadi dalam jumlah yang cukup besar. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor penyebab FLW yang perlu diperhatikan seperti suhu, fasilitas display produk yang harus memadai, kelembaban, kebersihan, dan lainnya.
7. KonsumsiPermasalahan yang umum terjadi pada tahap konsumsi adalah limbah pangan oleh perilaku konsumen. Perubahan perilaku sangat diperlukan termasuk dalam hal makan, di antaranya makan dalam jumlah berlebih dan tren mengonsumsi makanan di rumah makan. Sayangnya tren tersebut seringkali tidak diimbangi dengan pertimbangan apakah jumlah makanan yang dibeli atau dimasak akan habis dikonsumsi, pada akhirnya fenomena FLW pada tahap konsumsi juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan.
Gambar 2. berikut ini menjelaskan penyebab susut dan limbah perikanan mulai dari penangkapan/aquakultur (net/farm) sampai pascakonsumsi di meja konsumen.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
17
Gambar 2 Faktor penyebab (determinan) susut dan limbah perikanan (fish loss and waste)
Tabel 2 Determinan Susut dan Limbah Pangan Perikanan di Setiap Tahap Rantai Pangan
Tahapan Rantai Pangan Determinan FLW
Penangkapan/Pemanenan 1. Jumlah ikan yang terbuang;
2. Ikan yang terjatuh dan/atau dimakan predator;
3. Lama ikan terendam saat masih dalam jaring;
4. Illegal fishing (IUU Fishing);
5. Jumlah ikan yang rusak akibat proses/fasilitas pendingin yang tidak memadai selama di atas kapal;
6. Jumlah ikan yang rusak akibat gagal panen, penundaan panen, mati karena perubahan cuaca, up-welling perairan, dan polusi perairan;
7. Jenis alat tangkap yang digunakan*
Pascapanen 1. Jumlah ikan yang rusak selama penanganan setelah diturunkan dari kapal dan penyimpanan;
2. Jumlah ikan yang rusak akibat hama atau predator;
3. Jumlah ikan yang tidak terjual karena terlalu lama disimpan;
4. Iklim*
Penyebab Fish Loss and Waste
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
18
Pengolahan 1. Jumlah ikan yang rusak akibat hama/predator;
2. Jumlah bahan baku yang tidak bisa digunakan karena kualitas tidak memenuhi standar;
3. Jumlah kemasan yang rusak dan/atau produk yang rusak akibat pengemasan yang tidak baik;
4. Jumlah produk hasil olahan yang kualitasnya tidak memenuhi standar akibat teknologi pengolahan yang rendah dan kapasitas pengolahan yang rendah;
5. Kualitas air dan lingkungan yang buruk;
6. Budaya dan mindset manajemen perusahaan*
Distribusi & Pemasaran 1. Jumlah produk yang tidak terjual (kelebihan suplai, kekurangan pembeli);
2. Jumlah produk yang rusak akibat keterlambatan dalam distribusi /pengangkutan;
3. Jumlah produk yang rusak akibat pengemasan yang buruk;
4. Jumlah produk yang rusak akibat penanganan selama distribusi;
5. Tempat pendaratan yang terpencil;
6. Kerugian akibat fasilitas dan infrastruktur yang kurang baik;
7. Keterlibatan perantara (tengkulak) dalam proses distribusi*;
8. Tren pasar*;
9. Ketentuan pembayaran atau kontrak yang mempersulit petani terutama petani kecil*;
10. Standar kualitas produk pengecer* menyulitkan petani untuk memasok produk ke pasar*;
11. Manajemen display pada retail atau industri jasa makanan*: warung, rumah makan, restoran, hotel, toko/gerai makanan, jasa boga (pesta).
Konsumsi 1. Jumlah ikan yang terbuang sebagai sampah rumah tangga*;
2. Jumlah produk dengan kemasan tidak terstandar yang terbuang;
3. Jumlah ikan yang terbuang dalam jasa layanan makanan (restoran, jasa boga, dll)*;
4. Komposisi keluarga (ex. jumlah orang dewasa dan anak-anak)*;
5. Besar pendapatan*;
6. Budaya keluarga*;
7. Struktur pemukiman (pedesaan/ perkotaan)*;
8. Tipe rumah tangga (tunggal atau multidwelling)*;
9. Ketersediaan tempat penyimpanan sampah*
10. Pengetahuan orang tua*;
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
19
11. Pencatatan daftar belanja*;
12. Jumlah limbah yang dibuang memiliki dampak signifikan terhadap nilai dari limbah tersebut*.
Keterangan: *Determinan tambahan hasil kajian pustaka kajian ilmiah yang dirujuk oleh HLPE
2. Penyebab FLW Tingkat Meso
2.1. Investasi dan kegiatan praktik yang kurang karena kurangnya dukungan dari pelaku investorInvestasi yang minim menyebabkan kurangnya akses terhadap lembaga keuangan dan kredit, terutama di daerah pedesaan di negara berkembang seperti Indonesia. Doligez et al. (2010) menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir lebih dari setengah dari produsen Afrika (kecuali Afrika Selatan) tidak memiliki akses ke kredit, bahkan untuk skema kredit informal, sedangkan kurangnya penerapan praktik yang baik pada setiap tahapan rantai makanan dapat disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan keterampilan akibat minimnya pelatihan. Faktor lainnya yakni, kurangnya organisasi dan koordinasi yang terintegrasi di sepanjang rantai makanan. Banyaknya tahapan menyebabkan beberapa hal seperti, pengendalian kualitas produk, panen, kegiatan bongkar muat produk menjadi sulit dilakukan oleh pegawai kelas rendah sehingga memungkinan penanganan yang dilakukan terburu-buru dan kasar (FAO 2014c). Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia. Berbagai laporan mengindikasikan keadaan ini.
2.2 Infrastruktur swasta maupun pemerintah yang kurang memadai Susut dan limbah perikanan pada tingkat ini dibedakan menjadi:
• Infrastruktur pasar: perbedaan kualitas infrastruktur fisik pada pasar grosir dan eceran;
• Infrastruktur di sepanjang rantai proses;
• Infrastruktur rantai dingin; dan
• Infrastruktur pada proses pengolahan.
2.3. Manajemen rantai pangan yang kurang terintegrasiTanpa proses yang terintegrasi, proses susut dan limbah perikanan akan semakin meningkat, terutama di negara tropis dan berkembang seperti Indonesia. Parfitt, Barthel dan Macnaughton (2010) mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebab FLW dalam rantai pasok pangan, banyak di antaranya terkait dengan praktik kontrak:
• Ketentuan pembayaran yang mengecilkan hati nelayan/petani kecil;
• Standar kualitas produk pengecer menghalangi nelayan/petani untuk memasok produk ke pasar;
• Denda kontrak yang tinggi untuk sebagian atau total non-pengiriman pesanan oleh pemasok;
• Klausa pengembalian produk dalam kontrak pemasok yang memungkinkan pengecer mengembalikan produk ke pemasok setelah sisa masa pakainya telah tercapai;
• Seringkali prakiraan permintaan yang buruk dan sistem pengisian ulang dan kurangnya transparansi FSC (Food Supply Chain); dan
• Kesulitan yang melekat dalam transisi dari sistem perdagangan yang sebelumnya didorong oleh harga pasar spot ke kontrak jangka panjang.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
20
1.4. Ketidakjelasan label tanggal produkKeterangan label tanggal produk sangat penting. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan keamanan produk. Banyak jenis label tanggal produk yang tidak ditujukan untuk konsumen, namun hanya untuk pengecer sebagai manajemen stok. Ketidakjelasan terhadap label pangan membingungkan konsumen, apakah pangan tersebut masih dalam kategori baik atau tidak. Survei nasional (GFK 2009) menyebutkan bahwa ketidakjelasan label kadaluarsa menjadi penyebab FLW sektor perikanan, selain itu juga menjadi penyebab kerugian ekonomi di tingkat ritel dan pengencer yang harus memberikan citra yang baik terhadap konsumen.
3. Penyebab FLW Tingkat Makro
Penyebab FLW pada tingkat makro ini menggambarkan bagaimana fenomena FLW dapat dijelaskan oleh masalah yang lebih sistemik, seperti sistem pangan yang tidak berfungsi, kurangnya kondisi kelembagaan atau kebijakan untuk memfasilitasi koordinasi para pelaku (termasuk pengamanan hubungan yang bersifat kontraktual), untuk memungkinkan investasi dan pelaksanaan praktik-praktik baik (good practices) pada berbagai aspek dengan baik. Penyebab makro ini akan mempengaruhi semua penyebab FLW baik meso maupun mikro dan dampak dari penyebab makro ini dapat dirasakan secara luas bahkan hingga tingkat global. Penyebab makro di antaranya dapat berupa:
1) Dampak dari kebijakan, hukum dan regulasi FLW, dan
2) Penyebab sistemik.
3.3. Kajian Susut Pangan Selama Proses Pengolahan Tradisional
1. Kehilangan karena proses teknologi yang masih tradisional (losses due to traditional processing)
Ikan hasil pengolahan tradisional mempunyai peranan penting di Indonesia ditinjau dari segi gizi maupun ekonomi, tetapi kehilangan tertinggi justru terjadi karena teknologi/metode yang masih sangat sederhana, khususnya produk kering/curing, yang diproses menggunakan sinar matahari, penggaraman, dan pengasapan (Homer 1992). Penggaraman sering digunakan untuk meningkatkan kualitas dan daya terima (acceptability) ikan kering alami. Pada kasus ikan yang kandungan lemaknya tinggi pengeringan yang panjang/lama akan menyebabkan bruising dan rancidity (Creupelandt 1985). Pengasapan (smoking process) mempunyai dampak minimal terhadap lemak pada daging, trigliserida dan fosfolipida, dan tidak ada perubahan signifikan yang terdeteksi secara keseluruhan pada komposisi asam lemak. Banyak hasil penelitian yang juga mengungkapkan bahwa garam dapat mempercepat oksidasi lemak pada ikan asap (Sveinsd6ttir 1998). Efek antioxidan dari beberapa komponen asap memproteksi vitamin larut lemak, tetapi pada ikan ikan yang berdaging tebal pengasapan dapat menyebabkan kehilangan thiamin (2-25%), niasin, dan riboflavin. Jadi pengasapan berpengaruh pada nilai gizi ikan terutama karena penurunan availabilitas biologi protein. Pemanasan berlebih (overheating) pada beberapa proses oven tradisional dapat menyebabkan penurunan ketersediaan lisina pada step awal proses pengasapan dengan api (Homer 1992). Adanya dehidrasi pada proses pengasapan maka kandungan lemak menjadi lebih besar pada pengasapan. Oleh karena itu sangat penting menggunakan temperatur rendah pada awal (predrying) untuk menghindari kehilangan gizi (nutritional losses) (Ikeme and Gugnani 1988). Beberapa flavor spesifik asap dihasilkan dari sejumlah senyawa kimia yang ditemukan pada asap, terutama phenol (Homer 1992; Sveinsdottir 1998). Homer (1992) menunjukkan bahwa penggunaan temperatur tinggi (70-80”C) berpeluang menyebabkan terbentuknya 3, 4, benzopyrene (indicator of
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
21
carcinogenicity). Lebih jauh lagi, tingginya polynuclear aromatic hydrocarbons (PAH) juga terdeteksi pada ikan yang diproses dengan pengasapan panas.
2. Kehilangan selama penyimpanan dan distribusi (losses resulted from storage and distribution). Faktor terpenting yang berkontribusi pada terbentuknya amin biogenik selama penanganan pascapanen adalah lama penyimpanan pada suhu tertentu. Dua proses yaitu pembentukan asam amino pascamortem dan kecepatan reaksi dekarboksilasi secara biokimia dan mikrobiologi sangat bergantung pada suhu (Butler et al 2010, Zapata et al 2011)). Efek suhu pada pembentukan asam amino sebagai precursor amin biogenik dan histamin telah banyak dipelajari. Kandungan kebanyakan asam amino telah mencapai level tinggi pada suhu 2ºC karena proses degradasi protein tetap terjadi pada suhu dingin sehingga precursor biogenic amin tersedia sangat signifikan. Pembentukan histamin lebih tinggi pada suhu 20ºC daripada 2ºC. Pengemasan yang kurang baik dan penanganan yang kasar/kurang hati-hati dapat secara langsung menyebabkan kehilangan secara fisik. Pada ikan kering salah satu masalah utama yang sulit diatasi adalah proses reabsorbsi uap air dari udara yang lembab. Kurangnya perlindungan ikan selama penyimpanan menyebabkan terjadinya infestasi insekta (contoh: Dermetes) yang menyebabkan kehilangan fisik dan gizi sangat besar.
3. Kehilangan karena infestasi insekta (losses due to insect infestation)Infestasi lalat pada proses pengolahan tradisional merupakan masalah serius yang menyebabkan kehilangan fisik dan ekonomi secara signifikan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya regulasi penggunaan insektisida yang tidak sesuai dan membahayakan konsumen, yang sering dilakukan oleh pengolah ikan. Selama proses pengolahan dan penyimpanan, sebelum proses pengolahan, ikan sangat terbuka terkena infestasi lalat (Diptera, Calliphoridae). Ikan basah diserang lalat yang meletakkan telur-telurnya pada ikan dan selanjutnya membentuk infestasi yang intensif oleh maggots (larva lalat) yang menyerang badan ikan. Hal ini menyebabkan kehilangan pascapanen yang sangat signifikan pada industri pengolahan ikan tradisional. Banyak hasil penelitian menemukan hubungan infestasi lalat terhadap kondisi dasar, kondisi yang tidak higienis pada saat sejumlah besar volume ikan yang diproses di perusahaan kecil (small-scale-level). Kehilangan karena infestasi insekta pada ikan olahan tradisional sampai 25% merupakan hal yang umum terjadi bahkan di beberapa kasus dapat mencapai 90% bila tidak ada tindakan preventif. Sejumlah pengolah mengatasi masalah ini dengan mengaplikasikan insektisida rumah tangga dan pertanian secara langsung pada ikan, hal ini sangat berbahaya bagi pengolah sendiri maupun konsumen. Kajian intervensi yang telah dilakukan untuk mengatasi FLW Produk Perikanan di Indonesia disajikan pada Tabel 3.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
22
Tabel 3 Identifikasi Kajian Intervensi untuk mengatasi FLW Produk Perikanan di Indonesia
Populasi Intervensi Perbandingan Hasil
Manajemen rantai dingin dan logistik tuna di Indonesia
Kajian untuk melihat hal apa yang akan diraih dengan penerapan manajemen rantai dingin melalui pendekatan sistem terintegrasi(Lailossa 2015)
Belum ada kajian terkait penerapan manajemen rantai dingin dan logistik tuna di Indonesia
• Paradigma baru untuk mengembangkan sistem rantai dingin agar kualitas produk akhir yang dihasilkan dapat lebih baik. Hasil kajian menunjukkan bahwa paradigma baru tentang manajemen rantai dingin tuna perlu dibangun dengan berdasar pada perubahan paradigma yang telah ada, harus membangun sinergitas seluruh stakeholder yang nantinya dapat menerapkan sistem secara berlanjut dan sesuai dengan standar pada seluruh rantai pangan dari mulai panen hingga konsumsi.
Distribusi produk perikanan di Indonesia
Performance Measurement Tools dalam bentuk performance masurement matrics untuk mengukur kinerja program Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang dirancang untuk mencapai tujuan implementasi regulasi dalam mengatasi permasalahan supply chain pada sektor perikanan di Indonesia (Natassha et al. 2019)
Performance Masurement Matrics umumnya dibuat dengan kurang memperhatikan keterkaitannya terhadap regulasi.
• 7 indikator kinerja yang ditentukan dari hasil diskusi kelompok terfokus (FGD) antara para stakeholder SLIN dan studi literatur. Serta pembobotan untuk setiap indikatornya yang ditentukan dengan metode survei berdasarkan tingkat pentingnya indikator tersebut. Hasil survei tersebut kemudian dianalisis dengan metode hierarchy process method. Jumlah total pembobotan untuk semua indikator adalah 1. Pembobotan dari setiap indikator tersebut kemudian perlu dikalikan dengan skor kinerja dengan rentang 1-10 sehingga akan didapat skor yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja SLIN di setiap project site. Indikator kinerja SLIN beserta pembobotannya adalah sebagai berikut:1. Upstream and downstream supply chain
connectivity (0.326)2. Managed excessive demand for fish
commodity (0.112)3. Managed excessive supply of fish commodity
(0.083)4. Increased interest of logistics service
providers in fish commodity industry (0.223)5. Reduced logistics cost (0.150)6. Accessibility of fish commodity demand and
supply information (0.076)7. Increased fish commodity price stability
(0.029)
Rantai pasok ikan yang berkelanju-tan
Analisis prospek implementasi Sistem Logistik Nasional di Indonesia (Azhar et al, 2018)
Diperlukan analisis prospek implementasi SLIN untuk melihat dampak serta tantangan yang akan
Implementasi SLIN memberikan manfaat besar bagi produksi ikan nasional, juga secara langsung berkontribusi pada peningkatan pembangunan ekonomi nasional. Manajemen SLIN dapat berjalan secara optimal jika ada sinergi antara semua enti-tas yang terlibat dalam setiap kegiatan mulai dari hulu (sisi produksi) hingga hilir (konsumsi).
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
23
dihadapi dalam implementasi SLIN nantinya
Dalam rangka melihat praktik-praktik terbaik untuk pengelolaan rantai pasokan hilir komoditas perikanan serta sesuai dengan mandat Menteri Kelautan dan Perikanan No. 05 / Permen-KP / 2014 tentang SLIN. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Produk Peri-kanan melihat pentingnya implementasi SLIN yang perlu dilakukan dengan lebih baik. Salah satunya adalah dengan menyediakan beberapa fasilitas pendukung dan melibatkan operator utama dan operator pendukung dalam manajemen lokasi yang dipilih.
Fishery supply chain (FSC)
Lanskap supply chain perikanan di Indonesia untuk menganalisis karakteristik dan meng-identifikasi perbaikan atau peningkatan yang mungkin dilakukan terhadap sistem supply chain saat ini dari perspektif segmen rantai suplai hilir (downstream) (Arvitrida et al. 2019)
Riset terkait supply chain di Indonesia dari sudut pandang segmen rantai suplai hilir masih sangat terbatas
• 3 penyebab utama pada supply chain segmen hilir:1. Manajemen Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
yang kurang baik dan tidak mendukung terwujudnya pasar yang sehat;
2. Bisnis konvensional, dimana nelayan sangat bergantung terhadap pengepul dan umumnya tidak dapat menjual hasil tangkapannya sendiri karena minimnya pengetahun tentang pasar;
3. Kurangnya visibilitas rantai pasok di pasar.
Susut Peri-kanan (Fish losses)
Mengembangkan pemahaman terkini dan terperinci tentang berbagai jenis kerugian yang mempengaruhi ketahanan pangan dan pemangku kepentingan
(Wibowo et al. 2017)
Diperlukan studi kasus terkait tipe-tipe susut baik fisik, kualitas, market forces, level of losses, dan titik kritis losses pada rantai nilai, serta potensi inter-vensi pengu- rangan kerugian.
• Kerugian fisik umumnya dapat diabaikan (sekitar 5 persen). Namun, faktor kunci dalam susut perikanan yang mempengaruhi jumlah ini adalah tangkapan yang tidak diharapkan (bycatch), yang memiliki dampak lingkungan dan keanekaragaman hayati yang potensial. Diperkirakan bahwa kerugian tahunan untuk total armada tahunan adalah: 100 lumba-lumba (5 ton), 100 kura-kura (masing-masing 5 hingga 200 kg), 300 pengisap hiu, kepiting, murex dan ubur-ubur, yang sebagian besar ada di jaring.
• Bahan baku berkualitas buruk untuk diproses, dengan produk berkualitas di bawah standar yang diidentifikasi hanya setelah pencairan dalam kasus produk beku, membentuk sebagian besar kerugian kualitas. Selain praktik dan fasilitas kebersihan yang buruk, kerugian signifikan lainnya adalah hilangnya kualitas karena waktu perendaman yang lama, yaitu 12 jam. Ini, dikombinasikan dengan penanganan dan penyimpanan di kapal (on-board) yang
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
24
terlalu lama dan buruk, menyebabkan kualitas berkurang 24,9 persen, yang sama dengan penurunan 28 persen dalam nilai per perjalanan tangkapan di lokasi-lokasi seperti Tegal.
• Kerugian kekuatan pasar tidak dianggap signifikan, tetapi memang terjadi selama hari libur keagamaan ketika permintaan rendah. Permintaan rendah sering diikuti oleh periode permintaan tinggi. Intervensi yang direkomendasikan di bidang kebijakan, perundang-undangan, teknologi, infrastruktur dan layanan, pengetahuan dan keterampilan telah diidentifikasi, yang paling berulang di seluruh lokasi studi adalah:
• Pastikan akses ke pasokan air layak minum yang memadai dan terjangkau untuk kebersihan, sanitasi, pemrosesan, dan pembuatan es.
• Melakukan percobaan untuk menggunakan berbagai jnis alat tangkap untuk membatasi penggunaan gillnet sehingga dapat mengurangi angka “ghost fishing” akibat hilangnya gillnet.
• Mengatasi kekuatan pasar dan kerugian kualitas dengan meningkatkan fasilitas penyimpanan (jumlah dan kapasitas) dan manajemennya untuk meningkatkan fluktuasi harga dan penawaran. Pertimbangkan sistem resi gudang atau “penyimpanan cek”) sesuai UU No. 9/2006 untuk aplikasi di sektor perikanan. Pelajaran yang diperoleh dari penggunaan resi gudang di masa lalu harus digunakan untuk memandu semua intervensi untuk mengelola kesenjangan antara penawaran dan permintaan dengan lebih baik selama dan setelah hari libur.
Dampak konsumsi minyak ikan terhadap perilaku dan kehadiran sekolah
Asupan kapsul minyak ikan kepa-da siswa SD kelas 6 (umur 9-12 tahun) (Hamazaki et al. 2008)
Belum ada studi kasus terkait pengaruh kon-sumsi minyak ikan terhadap perilaku siswa.
Mengonsumsi minyak ikan kaya DHA dapat meningkatkan angka kehadiran siswa di Lampung.
Pengaruh Asam lemak tak jenuh rantai panjang (LC-PUFA) terhadap fungsi
Mengidentifikasi pengaruh distri-busi varian gene-tik (genotipe) SNP rs174468 (gen FADS) terhadap level LC-PUFA
Prevalensi gen polimorfisme FADS2 pada anak di bawah 2 tahun di Indone-sia belum diteliti
Indeks FADS2 berkaitan dengan fungsi kognitif anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa asupan omega 3 memang dibutuhkan untuk perkemban-gan kognitif dan kecerdasan anak.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
25
kognitif anak di bawah umur 2 tahun di suku Sasak Indonesia
pada plasma dar-ah (yang kemudi-an berpengaruh terhadap perkem-bangan IQ dan mental) di antara anak-anak Indo-nesia Sasak yang berusia di bawah 2 tahun. (Fahmi-da et al. 2015)
Minimnya fasilitas untuk mendukung aktivitas produksi perikanan dari hulu ke hilir di pulau-pulau kecil terluar Indonesia
Program Sentra Kelautan dan Per-ikanan Terpadu (SPKT) (Kepmen KP No.: 51/ KEP-MEN- KP/2016)
Belum ada program yang secara khusus dan spesifik un-tuk memperbaiki kualitas maupun kuantitas produk dari aktivitas perikanan di pu-lau-pulau kecil terluar Indonesia melalui pem-berian bantuan pembangunan fasilitas sarana prasarana dan lainnya
• Menetapkan 20 lokasi SKPT;
• Pembangunan infrastruktur penyediaan air bersih untuk pabrik es, pembangunan ice storage, pemasangan conblock di sekitar pasar ikan, penyambungan jaringan PLN dan penye-diaan genset, penyediaan pompa jaringan air laut, pengadaan coldbox untuk nelayan di be-berapa Pelabuhan Perikanan Pantai Pulau-pu-lau yang telah ditetapkan sebagai SKPT.
3.4 Alternatif Strategi untuk Menurunkan Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan
Selain penyebab FLW, solusi untuk masalah FLW juga dapat dikelompokkan berdasarkan levelnya dari mulai tingkat mikro (sepanjang rantai pangan dari produksi hingga konsumsi), meso, hingga makro. Pengelompokkan solusi untuk mengurangi FLW tersebut dirumuskan oleh High Level Panel of Expert on Food Security and Nutrition (HLPE 2014). Pengelompokkan solusi untuk masalah FLW yang telah dirumuskan berdasarkan levelnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel tersebut mendeskripsikan bagaimana solusi (atau kategori dari setiap solusi) pada satu level tertentu (di sebelah kiri) dapat mendukung atau difasilitasi oleh tindakan pada level yang lebih tinggi yaitu pada level meso dan makro (di sebelah kanan).
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
26
Tabel 4 Kategori solusi untuk mengurangi FLW berdasarkan tingkat (level)
KategoriLevel
Mikro Meso Makro
Investasi Investasi sektor swasta pada tahap produksi, pascapanen, bisnis, dan penanganan makanan
• Mekanisme keuangan
• Investasi sektor swasta kolektif
• Investasi publik
• Bantuan terhadap mekanisme keuangan
• Infrastruktur
• Ketersediaan lingkungan yang sesuai
• Insentif yang sesuai
Praktik-praktik Baik (Good Practices)
Good practices pada tahap produksi dan pascapanen
• Capacity building
• Pelatihan
• Mendukung capacity building
• Inisiatif multistakeholder
Perubahan Perilaku Perubahan perilaku dalam bisnis dan konsumsi
• Tanggung jawab sosial perusahaan
• Keterlibatan komunitas lokal
• Meningkatkan kesadaran
• Inisiatif multistakeholder
Koordinasi dalam rantai pangan
• Pendekatan rantai pangan
• Hubungan pelaku lain dalam rantai pangan
• Lingkungan yang mendukung (keberadaan regulasi terkait dan insentif)
• Kebijakan
Valorisasi pangan dan hasil samping
• Pengolahan
• Valorisasi kelebihan pangan dan hasil samping
• Dukungan dan insentif untuk pengimplementasian hierachy of uses
Koordinasi antara kebijakan dan langkah yang dilakukan
• Kebijakan
• Inisiatif multistakeholder
A. Individu Pelaku, Solusi Teknis, dan Perilaku untuk Mengurangi FLW (Level Mikro)
Pada setiap tahap rantai pangan, penyebab FLW pada tingkat mikro biasanya disebabkan oleh teknik/cara penanganan atau perilaku pelaku. Solusi pada level ini meliputi 3 kategori tindakan yaitu penerapan praktik-praktik baik, investasi sektor swasta, dan perubahan prilaku. Pada level ini solusi FLW tahap pascapanen meliputi:
a. Penerapan praktik-praktik baik (good practices)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
27
Kualitas dan keamanan makanan yang akan diolah dapat dijamin dengan menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Good Hygienic Practices (GHP) selama proses penanganan dan pengolahan makanan. Apabila diterapkan dengan benar, langkah-langkah tersebut dapat menjamin kualitas dan keamanan di semua rantai proses mulai dari penerimaan bahan baku (produk primer dan bahan lainnya) hingga pengiriman dan pemasaran produk akhir ke konsumen.
b. Investasi tempat penyimpanan Faktor paling penting dalam menjaga kualitas ikan setelah ditangkap adalah pengendalian suhu. Dibutuhkan suhu dingin untuk menjaga kualitas ikan tetap segar dan baik hingga ke tangan konsumen. Oleh karena itu tempat penyimpanan berpendingin adalah pilihan terbaik untuk menyimpan ikan, tetapi biaya operasional dan investasinya mahal, serta sangat tergantung pada ketersediaan sumber listrik dan air. Faktor tersebut menyebabkan nelayan-nelayan kecil terutama yang berada di daerah pedalaman, pulau terpencil kesulitan untuk menjangkau fasilitas tersebut. Tetapi saat ini terdapat berbagai jenis pendingin dengan teknologi, desain, dan ukuran yang berbeda, yang dapat disesuaikan dengan beragam penggunaan dan skala. Alternatif sederhana, efektif, dan lebih murah ini seringkali dapat disesuaikan dengan kondisi lokal dan produksi skala kecil. Namun, belum diadopsi secara luas oleh petani/nelayan kecil, sebagian karena kurangnya kesadaran dan dukungan serta insentif yang tepat.
c. Solusi teknis dalam transportasi, pengolahan, dan pengemasanSolusi teknis dalam transportasi, pemrosesan, dan pengemasan perlu disesuaikan dengan situasi lokasi, termasuk tingkat infrastruktur, ekonomi, dan sumber daya manusia, serta kondisi di sepanjang rantai makanan. Pengembangan solusi harus terjangkau dan disesuaikan dengan kondisi setempat, termasuk dalam hal sumber daya manusia dan skala operasi dalam rantai pangan.
d. Solusi teknis dan perilaku untuk mengurangi sampah konsumen termasuk solusi untuk layanan makanan pada sektor hospitalityLayanan makanan di sektor hospitality (hotel, restoran, kantin, jasa boga, dll.) dapat memainkan peran ganda dalam strategi pengurangan FLW. Pertama adalah mengurangi FLW mereka sendiri dan kedua adalah sebagai tempat utama untuk meningkatkan kesadaran konsumen untuk mempraktikkan dan memahami perilaku terkait pengurangan FLW. Untuk mengurangi FLW dalam layanan makanan dan bisnis jasa boga, langkah pertama adalah mengukur dan melacak jumlah, jenis, serta penyebab FLW. Analisis tersebut menjadi dasar untuk membangun strategi pengurangan limbah dalam bisnis itu sendiri.
e. Solusi pada tingkat rumah tanggaMeningkatkan kesadaran terkait FLW serta kampanye terkait manajemen sampah rumah tangga termasuk pencegahannya merupakan salah satu solusi paling efektif yang dapat digunakan. Hal tersebut dikarenakan umumnya kasus FLW pada rumah tangga, pelaku umumnya tidak memiliki maksud untuk membuang makanan. Akan tetapi seringkali pelaku tidak tega untuk membuang makanan walaupun mengetahui bahwa makanan tersebut tidak akan dikonsumsi lagi. Menurut Quested et al. (2013), langkah-langkah yang dapat diterapkan konsumen untuk mengurangi limbah makanan mereka sendiri meliputi:• Melakukan perencanaan pembelian bahan makanan untuk menghindari pembelian berlebihan;• Hindari pembelian bahan makanan dalam jumlah besar yang tidak diharuskan segera digunakan;• Pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan antara tanggal “best before” dan “best by”;• Praktik penyimpanan yang lebih baik dan manajemen stok di rumah;• Evaluasi yang lebih baik dari porsi yang perlu disiapkan;
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
28
• Teknik persiapan makanan yang lebih baik, untuk menghindari makanan yang tidak dimakan dan kualitas makanan menurun karena metode persiapannya;
• Memanfaatkan buah dan sayuran sepenuhnya untuk mengekstrak semua manfaat nutrisi; dan• Pengetahuan yang lebih baik tentang cara menggunakan sisa makanan pada resep lain daripada
membuang.
B. Solusi Terpadu dan Kolektif untuk Mengurangi FLW (Level Meso)Solusi untuk mengatasi kendala dan penyebab meso ini dikelompokkan dalam sepuluh kategori utama:
1. Mengadopsi pendekatan rantai makanan untuk tindakan pengurangan FLWSecara progresif FLW terakumulasi selama proses rantai pangan dari produksi hingga konsumsi. Untuk mengurangi FLW secara keseluruhan untuk produk, perlu mempertimbangkan pengurangan di sepanjang rantai dengan mengadopsi pendekatan rantai makanan. Terdapat 3 alasan yang mendasari hal tersebut yaitu:a. Banyak penyebab FLW yang muncul karena kurangnya koordinasi disepanjang rantai pangan;b. Penyebab susut dapat muncul pada setiap tahap yang berbeda, pada tahap tertentu FLW akan terjadi
lebih efektif dibandingkan pada tahap lainnya. Pilihan terkait tindakan maupun ekonomi pada suatu tahap akan mempengaruhi terjadinya FLW pada tahap lainnya.
c. Alasan kunci bahwa usaha dengan hanya mempertimbangkan salah satu tahap pada rantai makanan, selalu dapat menjadi ‘kehilangan’ pada tahap suksesi lainnya. Contohnya adalah kasus di Kenya, dimana penerapan Good Practices pada tahap panen dan penyimpanan dengan tidak diikuti oleh penangan yang baik oleh penjual menyebabkan jumlah meningkatnya susut pangan (FAO 2014).
2. Investasi infrastrukturSeperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pengurangan FLW seringkali sangat terkait dengan peningkatan infrastruktur, khususnya transportasi, energi, dan fasilitas di pasar. Upaya peningkatan infrastruktur ini membutuhkan peran dan tindakan pemerintah, pihak berwenang setempat, dan juga sektor swasta.
3. Investasi pengembangan rantai dingin yang disesuaikanEfisiensi pengurangan FLW seringkali tergantung pada intervensi yang lebih luas yang melibatkan pihak swasta maupun publik khususnya terjadi ketika solusi utama dalam pengurangan FLW adalah peningkatan logistik. Manajemen rantai dingin dalam rantai pasokan makanan yang mudah rusak merupakan solusi yang sangat potensial untuk menurunkan FLW. Rantai dingin mengacu pada serangkaian kegiatan untuk mempertahankan kisaran suhu tertentu dari produksi hingga ke konsumen. Manajemen rantai dingin yang efektif dimulai dengan prapendinginan, penyimpanan dingin, transportasi berpendingin, dan display berpendingin saat dijual/dipasarkan. International Institute of Refrigeration (IIR) menghitung bahwa 23 persen makanan yang mudah rusak hilang di negara-negara berkembang karena kurangnya penggunaan pendingin (IIR, 2009). Strategi untuk investasi dalam pengembangan rantai dingin dapat dimulai dengan intervensi oleh pemerintah dan mitra pembangunan untuk meningkatkan infrastruktur rantai dingin. Contohnya adalah kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) dalam hal pengadaan cold storage dibeberapa pulau terluar Indonesia sebagai salah satu bentuk implementasi program Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN).
4. Mengembangkan pada tahap pengolahanPengembangan pada tahap pengolahan dapat meliputi investasi teknologi proses pengolahan, pengemasan
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
29
dan kemasan, keterjaminan keamanan pangan, hingga strategi untuk menjamin keberlanjutan untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh terutama di daerah perkotaan. Strategi untuk mengembangkan sektor pengolahan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan permintaan dan perkiraan pasar, hambatan yang perlu diatasi, dan analisis karakteristik sektor.
5. Memastikan pemberian pengembangan kapasitas, pendidikan, pelatihan, dan layanan penyuluhan yang tepatPengembangan diri dalam bentuk layanan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi petani/nelayan/pengolah/pengecer dan semua aktor di sepanjang rantai pangan merupakan salah satu upaya terpenting untuk mengurangi FLW. Ada kebutuhan untuk pengembangan kapasitas di semua tahap rantai makanan, termasuk peningkatan production practice melalui sharing informasi di tingkat masyarakat dan sekolah lapangan petani/nelayan/pengolah/pengecer. Program harus dirancang dan diimplementasikan untuk mengembangkan kapasitas dalam food chain improvement, penambahan nilai, pengemasan, sistem Hazard Analysis Critical Control Point, kualitas dan keamanan, good practices, penyortiran dan grading, transportasi, ketertelusuran, dan penyimpanan. Elemen penting lainnya adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia khususnya untuk mengoperasikan, memelihara, dan memperbaiki mesin serta untuk pengemudi dan pekerja di rantai logistik terkait dengan cara penanganan produk yang tepat. Tindakan semacam itu dapat dipelajari dan dibangun di atas pengalaman dan praktik yang baik dari sektor perikanan dari negara lain.
6. Revitalisasi peran penting perempuan untuk mengurangi FLWPerempuan, khususnya di negara berkembang memiliki peran besar dalam rantai pangan terutama pada tahap pascapanen. Pekerjaan seperti menangani, menjual, mengolah, dan menyimpan hasil tangkapan umumnya dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang bekerja sebagai pekerja dalam bidang pengolahan juga banyak, akan tetapi perempuan khususnya dalam industri skala kecil tidak memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelatihan atau fasilitas pengembangan diri lainnya. Mengingat peran penting perempuan dalam rantai pangan, maka perempuanperlu diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan fasilitas pengembangan diri terkait good practices dan lainnya.
7. Mengizinkan perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnyaMeningkatnya inklusi laporan tahunan pada bagian yang merinci terkait dampak lingkungan dan sosial kegiatan perusahaan dapat mengarah pada sistem pangan yang berkelanjutan dan berkurangnya FLW. Pendekatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat memandu keputusan investasi oleh para pemangku kepentingan dan pasar saham untuk mendukung nilai pasar perusahaan yang diklasifikasikan sebagai (istilah) “green”. Bisnis yang diposisikan sebagai “koordinator rantai” dengan mengadopsi target FLW dapat memainkan peran tertentu dalam pengurangan FLW dan berpotensi mengekstrapolasi batas-batas nasional.
8. Kampanye perubahan perilaku konsumenKampanye untuk meningkatkan kesadaran sehingga perilaku konsumen kemudian dapat berubah untuk turut berperan dalam mengurangi FLW perlu dilakukan. Program tersebut dapat dilakukan dengan intervensi pemerintah melalui kebijakan atau program tertentu seperti memberlakukan standar terkait label kemasan yang harus mencantumkan tanggal kadaluarsa serta petunjuk penyimpanan dan penggunaannya. Sektor swasta terutama perusahaan juga dapat berperan dengan turut serta mematuhi regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Perusahaan juga dapat turut berperan dengan menyisipkan konten kampanye pengurangan FLW pada konten selama pemasarannya. Intervensi pemerintah melalui kebijakan atau program tertentu untuk mendudung perubahan perilaku konsumen juga dapat dilakukan dengan pemberlakuan peraturan pada pembelian makanan di restoran atau rumah makan sesuai kapasitas
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
30
individu masing-masing. Bila ada sisa (left-over) dikenakan denda sesuai aturan yang berlaku. Banyak negara maju yang telah memberlakukan regulasi seperti ini dalam rangka pengurangan FLW.
9. Memberikan nilai pada makanan tidak terjual atau termakan yang “disimpan”Makanan dengan kategori kualitas tertentu pada pasar modern (retail) tidak dapat dijual sehingga menjadi limbah. Padahal makanan tersebut umumnya masih bisa dan aman dimakan. Sedangkan di pasar tradisional produk dengan kualitas rendah dapat tetap dijual akan tetapi mengalami penurunan harga, semakin rendah kualitas maka harga semakin rendah juga. Hal tersebut menunjukkan bahwa makanan dengan kualitas yang kurang baik (misalnya hanya secara fisik) tetapi aman dikonsumsi dapat digunakan atau dijual dengan strategi lain agar tidak menjadi limbah. Limbah pangan juga bisa terjadi pada industri makanan kemasan yang kelebihan suplai sehingga banyak makanan yang kadaluarsa dan tidak dikonsumsi. Contoh nyata mengatasi hal ini adalah adanya “Food Bank” di Amerika. Kerjasama industri pangan dan Food Bank sudah dapat membantu masyarakat miskin dan mengurangi FLW. Perusahaan-perusahaan industri pangan akan menyumbangkan dengan cuma-cuma makanan yang masih layak makan beberapa bulan sebelum masa kadaluarsa dan Food Bank mengelola dengan sangat efektif.
10. Penurunan FLW dengan valorisasi hasil samping industri perikanan.Industri pengolahan ikan menghasilkan hasil samping/by product dan limbah. Proporsi utama hasil perikanan yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk nilai tambah dapat dilihat pada Gambar 3. Limbah ini merupakan hasil samping yang dapat dikembangkan menjadi berbagai produk, di antaranya yaitu protein hydrolysates dan peptides, collagen dan gelatin, omega-3 polyunsaturated fatty acid in fish (Virgin Fish Oil dari Mata Tuna), hydroxyapatite, dsb. Pemanfaatan limbah ini merupakan penerapan dari salah satu prinsip ekonomi biru (blue economy), yaitu prinsip nirlimbah (zero waste) yang menekankan sistem siklikal dalam proses produksi sehingga tercipta produksi bersih. Artinya, limbah dari sebuah proses produksi akan menjadi bahan baku bagi produk berikutnya dalam upaya mengurangi kehilangan dan pemborosan bahan sebagai langkah alternatif dalam meningkatkan ketersediaan pangan dan biomaterial, sehingga pada akhirnya memperkuat KPG.
sirip perut1%
sirip ekor0,60%
jeroan13,38%
kulit4,40%
daging (filley)50%
gelembung renang1,62%
kepala20%
tulang & sirip punggung
9%
lainnya14,98%
Gambar 3 Limbah industri perikanan tuna, tongkol, cakalang (TTC)
Beberapa skema di bawah ini memberikan gambaran valorisasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kehilangan gizi dan ekonomi pada ikan.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
31
Gambar 4 Skema Maksimalisasi Pemanfaatan FLW Industri Tuna
Gambar 5 Skema Maksimalisasi Pemanfaatan FLW Industri Udang
VALORISASI DENGAN MAKSIMALISASI PEMANFAATAN FLW DARI INDUSTRI TUNA
VALORISASI DENGAN MAKSIMALISASI PEMANFAATAN FLW PADA INDUSTRI UDANG
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
32
Pertumbuhan dan permintaan pasar hasil perikanan sampai saat ini masih sangat baik. Segmentasi pasar terhadap produk tuna masih sangat beragam, baik produk tradisional maupun produk modern. Sampai saat ini permintaan produk-produk tuna baik segar, beku, maupun produk olahan masih diminati pasar Amerika, Jepang, negara Asia lainnya, dan Uni Eropa. Di pasar Asia, Jepang merupakan salah satu negara dengan permintaan tuna yang masih besar. Indonesia juga merupakan eksportir tuna segar dan beku ke Amerika Serikat dengan kontribusi sekitar 36% dari kebutuhan ikan tuna di Amerika Serikat. Selain tuna bentuk segar dan olahan, Indonesia juga berkontribusi sekitar 4% kebutuhan ikan tuna kaleng di dunia. Permintaan komoditas udang, Tuna, Tongkol, Cakalang (TTC), ikan demersal, ikan air tawar seperti fillet patin, nila, bahkan lele terus meningkat, yang tentunya akan menghasilkan hasil samping dan limbah yang terus melimpah.
Susut Gizi Hasil Samping Industri Tuna, Tongkol, dan Cakalang Hasil samping industri pengolahan ikan kaya protein, omega-3, kolagen dan gelatin, dan mikromineral terutama Kalsium
Potensi pasar dunia untuk omega 3 sangat luas, dan untuk keperluan dalam negeri Indonesia masih mengimpor dengan jumlah yang terus meningkat. Virgin Fish Oil (VFO) kaya asam lemak docosahecsaenoic acid (DHA) yang sangat dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel otak bayi untuk perkembangan kecerdasan dan kemampuan kognitifnya. Hasil kajian menunjukkan persentase (%) berat mata tuna adalah 2% dari berat tubuh ikan, dan prosentase VFO yang dapat diekstraksi rata-rata adalah 5- 12,8% (bervariasi berdasarkan ukuran mata), demikian pula hasil dari ekstraksi mata cakalang. Potensi TTC yang didaratkan untuk memenuhi industri pengolahan hasil perikanan di berbagai sentra perikanan dapat dijadikan dasar perhitungan nilai gizi dan biomaterial yang dihasilkan utamanya adalah VFO, protein, biomaterial kolagen, dan mikromineral. Hasil VFO dari mata TTC diproyeksikan sebesar:
(2%) X total bahan baku untuk pengolahan X (5 s/d 12,8%).
Sementara itu, potensi pasar gelatin di Indonesia cukup besar, karena hampir seluruh kebutuhan gelatin di Indonesia dipenuhi oleh gelatin impor. Perusahaan gelatin ikan mempunyai keunggulan dari sisi geografis, harga, relasi, dan status kehalalan produk dibandingkan perusahaan-perusahaan penghasil gelatin dari luar negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan gelatin dalam negerinya, Indonesia masih mengandalkan impor dari beberapa negara seperti Cina, Jepang, Prancis, Australia dan Selandia Baru. Jumlah impornya sampai 2.000-3.000 ton per tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang diolah Kementerian Perindustrian, tren total impor gelatin Indonesia sepanjang 2012 sampai 2016 cenderung mengalami kenaikan. Pada 2012 total impor gelatin mencapai 62.044 ton, 2013 sebanyak 66.738 ton, 2014 sejumlah 78.476 ton, 2015 sebanyak 73.044 ton, dan 2016 sejumlah 80.316 ton. Kebutuhan impor gelatin cenderung mengalami peningkatan, sementara kebutuhan gelatin di pasar internasional tetap tinggi. Impor gelatin tahun 2015 mencapai 73.044.4 dolar AS dan meningkat pada tahun 2016 hingga mencapai 80.316.3 dolar AS (Kemenperin 2019, Newswire - Bisnis.com). Jika melihat kebutuhan gelatin di dalam negeri yang cukup banyak, seharusnya gelatin sudah bisa diproduksi sendiri di dalam negeri, apalagi pembuatan gelatin bukanlah sesuatu yang terlalu sulit serta tidak memerlukan teknologi sangat canggih.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
33
Gambar 6 Rekomendasi Asupan Asam Lemak OMEGA-3 Perhari
Industri-industri pengolahan fillet dan pengalengan seringkali menghasilkan sisa hasil olah berupa tulang dan kulit ikan. Bahkan di beberapa daerah sentra produksi hasil ikan seperti surimi dan fillet, kulit ikan hanya dibiarkan menjadi limbah sisa hasil olah. Material tersebut dapat diproses lebih lanjut untuk dibuat produk bernilai tinggi yaitu dibuat gelatin. Industri fillet menghasilkan limbah tulang dan kulit ikan mencapai sekitar 3 hingga 4 ton per hari, serta industri pengalengan tuna dan cakalang menghasilkan tulang sebanyak 5.803 ton, kulit 2.106 ton dan kepala 9.641 ton. Dari tulang dapat diperoleh 721,9 ton gelatin (rendemen 12,4%), dan dari kulit (rendemen 9,6%) akan diperoleh 202,2 ton gelatin, atau dari dua jenis limbah ikan tersebut diperoleh sekitar 924,1 ton gelatin. Selain itu dari tulang tuna juga bisa didapat 2277,1 ton kalsium (rendemen 39,24%), sekitar 1392.7 ton daging (rendemen 24%) yang mengandung 306.4 ton protein (kadar protein daging tuna 22%) (hasil validasi laboratorium). Proporsi tulang kepala TTC berdasarkan hasil validasi laboratorium mencapai 73,92%, artinya terdapat sekitar 2796,5 ton kalsium yang dapat dimanfaatkan. Selain itu proporsi daging pada kepala tuna mencapai 27.27% yang artinya terdapat 578,4 ton protein yang dapat dimanfaatkan. Jumlah itu belum termasuk gelatin yang dapat dihasilkan dari kepala tuna dan cakalang. Jika melihat potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia yang sangat melimpah serta perkembangan industri pengolahan ikan, baik fillet maupun pengalengan, sesungguhnya merupakan prospek untuk bisa memproduksi gelatin skala industri.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
34
Gambar 7 Maksimalisasi Pemanfaatan FLW Industri Kepiting/Rajungan
Selain gelatin konversi yang juga sangat menguntungkan adalah produksi kolagen dari kulit dan gelembung renang (swim bladder/fishmau) ikan. Saat ini, penggunaan biomaterial kolagen ikan dalam bidang kosmetik, farmaseutika, dan nutraseutika menjadi penting dalam kaitannya sebagai bahan baku kolagen yang aman bagi kesehatan dan jaminan kehalalan. Keuntungan menggunakan biomaterial kolagen dalam sediaan bahan kosmetik adalah karena kolagen bersifat oklusif, memiliki kemampuan melembabkan, memberikan sifat elastis pada kulit, serta dapat mengurangi keriput sebagai efek dari penuaan (anti aging). Kosmetik dalam bentuk krem maupun semprot kolagen (cream/spray cosmetics collagen) dapat bekerja sebagai bahan yang bersifat oklusif, yaitu menghambat penguapan air yang berlebihan sehingga tetap menjaga kelembaban kulit serta dapat membuat kulit kembali elastis. Kolagen juga banyak digunakan pada formula perawatan kulit sebagai cell renewal /regeneration. Korea telah mediversifikasi pemanfaatan kolagen ikan menjadi berbagai produk kosmetik dan nutraseutika. Selain sebagai produk perawatan kolagen juga dikembangkan sebagai suplemen kesehatan kulit yang dikonsumsi dengan cara diminum (orally) diformulasikan dengan vitamin C. Perkembangan terkini, gelatin ikan dimanfaatkan pula sebagai stabilizer sistem emulsi dan bahan kapsul. Salah satu produsen kapsul ternama di dunia, yaitu Capsugel juga telah memasarkan kapsul dari gelatin ikan dengan merek dagang OceanCapsTM sebagai inovasi dan derivasi produknya untuk memperluas jangkauan pasaran sesuai kebutuhan ragam konsumen. Maksimalisasi pemanfaatan by product akan memberikan keuntungan ganda secara ekonomi yaitu memberikan nilai tambah dan tercegahnya pencemaran lingkungan karena buangan limbah.
VALORISASI DENGAN MAKSIMALISASI PEMANFAATAN FLW PADA INDUSTRI KEPITING/RAJUNGAN
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
35
Konsentrat dan Hidrolisat Protein Ikan (KPI dan HPI)Konsentrat dan Hidrolisat Protein merupakan produk yang dapat digunakan dalam fortifikasi dan suplementasi. Hidrolisat didefinisikan sebagai protein yang mengalami degradasi hidrolitik dengan asam atau basa atau ensim dengan hasil akhir berupa campuran beberapa peptide hasil hidrolisis. Bila hidrolisis dilakukan dengan sempurna maka akan diperoleh hidrolisat yang terdiri dari 18 sampai 20 macam asam amino. Grafik Permintaan Pasar terhadap Hidrolisat Protein dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan pengembangan produk konsentrat bioaktif dan Nova ingredient ditampilkan pada Gambar 9. Produk akhir HPI dapat berbentuk cair, pasta atau bubuk/tepung yang bersifat higroskopis. Fungsi hidrolisat protein dapat sebagai suplemen protein, flavor atau sebagai produk “intermediates” untuk isolasi, dan dapat pula untuk pengobatan yaitu sebagai suplemen diet untuk penderita pencernaan, antihipertensi (inhibitor ACE, antioksidan, antikoagulan, dsb). Rekapitulasi Hasil Penelitian Pemanfaatan Hasil Samping/Limbah Industri Pengolahan Perikanan dapat dilihat pada Tabel 5.
Gambar 8 Grafik Permintaan Pasar terhadap Hidrolisat Protein
Gambar 9 Nilai Tambah Nova Ingredien dari Hasil Perairan
Tabel 5 Rekapitulasi Hasil Penelitian Pemanfaatan Hasil Samping/Limbah Industri Pengolahan Perikanan
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
36
Limbah Jenis Pemanfaatan Metode Ekstraksi Rendemen Pustaka
Kulit
Udang, Lobster, Kepiting, Rajungan
Kitin
Enzimatisyang berasal dari bakteri (B. mojavensis)
18.5 ± 2.3%
(Younes et al. 2012)
Alkali protease 20.0± 2.0% (Younes et al. 2012)
KitosanEkstraksi asam-basa 30% (Dompeipen et al.
2016)
Ekstraksi asam-basa 32.20% dan 22.18%
(Kaimudin dan Leounupun 2016)
Glukosamin Ekstraksi pelarut asam 52.12% -
60.32% (Islam et al. 2011)
Ikan Kakap Merah Gelatin Ekstaksi Asam 11.04-
16.8% Trilaksani et al. (2012)
Ikan Patin
Kolagen
Hidrotermal collagen 30% (Henggu et al. 2019)Ikan Kakap Putih
Papain soluble collagen (PaSC) 44%Jamilah et al. (2013)Acid soluble collagen (ASC) 8.1%
Pepsine soluble collagen (PSC) 43.6%Ikan Kakap Mata Besar Acid soluble collagen (ASC) 10.9% Kittiphattanabawon
et al. (2005)Ikan Mas Pepsine soluble collagen (PSC) 17.5% Liu et al. (2012)Ikan Nila Acid soluble collagen (ASC) 2.7% Chen et al. (2012)Ikan Kakap Mata Besar Pepsin soluble collagen (ASC) 5.31% Nalinanon et al.
(2007)
Ikan patinAcid soluble collagen (ASC) 5.1%
Singh et al. 2011)Pepsin soluble collagen (ASC) 7.7%
Ikan Tuna
Kolagen
Acid soluble collagen (ASC) 13.97%
Hema et al. (2013)
Ikan Rohu Acid soluble collagen (ASC) 4.13%Pepsin digestible collagen (PDC) 3.68%
Ikan Scoliodon sorrakowah
Acid soluble collagen (ASC) 8.96%
Pepsin digestible collagen (PDC)7.68%
Ikan Nila Kecil (Muda)
Gelatin
Ekstraksi Asam
12.3%
Muyonga et al. (2004)Ikan Nila Dewasa
16%
Ikan TunaEkstaksi asam (asam asetat 3%) 14.02%
Agustin dan Sompie (2015)Ekstaksi asam (asam asetat 6%) 14.56%
Ekstaksi asam (asam asetat 9%) 15.01%
Ikan Kakap Merah
Ekstraksi menggunakan HCl (2%)
14.16%
Kusumawati et al. (2008)
Ekstraksi menggunakan HCl (3%)
13.4%
Ekstraksi menggunakan HCl (4%)
10.10%
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
37
Ikan Tenggiri Ekstrasi menggunakan basa NaOH 5%
7.93% Rachmania et al. (2013)
Ikan Kakap Putih
Ekstraksi menggunakan asam asetat
16.35% Salimah et al. (2015)
Kepala
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Tepung Ikan Pengeringan dan penepungan
6.63%(Widiyanto et al. 2018)
Mata
Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Extra Virgin Fish Oil (EVFO)
Ekstraksi Dingin2.9-3.9%
Azahra (2019)
Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Extra Virgin Fish Oil (EVFO)
Sentrifugasi Dingin10.35%
Syifa (2019)
Ikan Tuna (Thunnus sp.)
PUFADry Rendering 34.60 ±
1.49% (Putra 2018)
Ekstraksi Bersih 45.59 ± 0.64% (Putra 2018)
Hyaluronan 0.005 ± 0.001% (Nur’assyfa 2018)
Ikan Tuna (Thunnus sp.) Kecil
Minyak Ikan Ekstraksi dingin
0.23%
Azis (2018)Ikan Tuna (Thunnus sp.) Sedang
5.88%
Ikan Tuna (Thunnus sp.) Besar
12.20%
Tulang
Sotong Hidroksiapatit Kalsinasi 80% (Henggu et al. 2019)
Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Nano hidroksiapatit
Sintering57.73%
(Hanura et al. 2017)
Ikan Nila Kalsium Perendaman Belimbing Wuluh 18%-36% (Wijayanti et al. 2018)
Ikan Kakap Mata Besar Kolagen
Acid soluble collagen (ASC) 1.6% Kittiphattanabawon et al. (2005)
Ikan Mas Pepsin soluble collagen (PaSC) 1.3% Liu et al. (2012)Ikan Nila Kecil (muda)
Gelatin
Ekstraksi Asam
1.3%
Muyonga et al. (2004)Ikan Nila Dewasa
2.4%
Ikan Bandeng
Ekstraksi asam sitrat (perendaman 12 jam)
6.51%
Fatimah dan Jannah (2008)
Ekstraksi asam sitrat (perendaman 24 jam)
8.39%
Ekstraksi asam sitrat (perendaman 36 jam)
9.19%
Ekstraksi asam sitrat (perendaman 46 jam)
9.74%
Ekstraksi asam sitrat (perendaman 60 jam)
8.07%
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
38
Ikan Tuna
Ekstraksi enzimas menggunakan enzim papain (konsentrasi 16%)
1.50%
Cahyono et al. (2018)
Ekstraksi enzimas menggunakan enzim papain (konsentrasi 18%)
1.46%
Ekstraksi enzimas menggunakan enzim papain (konsentrasi 20%)
1.44%
Ekstraksi enzimas menggunakan enzim papain (konsentrasi 22%)
1.44%
Ikan Tuna Gelatin
Ekstraksi enzimas menggunakan enzim papain (konsentrasi 24%)
1.39%Cahyono et al. (2018)
Ikan NilaEkstraksi asam fosfat 6.81% Hidayat et al. (2016)Ekstraksi enzim papain 6.3%
Sirip Ikan Mas Kolagen Pepsin soluble collagen (PSC) 2.0% Liu et al. (2012)
Sisik
Ikan Mas
Kolagen
Pepsin soluble collagen (PSC) 1.1% Liu et al. (2012)Ikan Nila Acid soluble collagen (ASC) 3.2% Chen et al. (2016)Spotted golden goatfish
Acid soluble collagen (ASC)0.46% Matmaroh et al.
(2011)
Spotted golden goatfish
Papain soluble collagen (PaSC)1.2% Matmaroh et al.
(2011)
Air Cucian Ikan
Ikan Gabus Albumin Ultrasound assissted35%
(Syukroni 2018)
Gelembung renang
Ikan Patin
Kolagen
Papain soluble collagen (PaSC) 27% (Simamora 2019)Acid soluble collagen (ASC) 16.05% (Sitepu et al. 2019)
Ikan CunangAcid soluble collagen (ASC)
10.29% (Kartika et al. 2016)14.50% (Gadi et al. 2017)
Hidrotermal collagen 59.26% (Djailaniet al. 2016)Ikan Mas Acid soluble collagen (ASC) 14.60% (Liu et al. 2012)Ikan Kakap Putih Acid soluble collagen (ASC) 85.30% (Sinthusamran et al.
2013)Ikan Tuna Sirip Kuning Acid soluble collagen (ASC) 1.07% (Kaewdang et al.
2014)Ikan Mas Pepsin soluble collagen (PSC) 14.6% Liu et al. (2012)Miichthys miiuy
Acid soluble collagen (ASC) 1.3%Zhao et al. (2018)
Pepsin soluble collagen (PSC) 3.37%
Ikan Nila
Hidrolisat Protein Ikan Enzimatis
5.64 ± 0.04%
(Annisa et al. 2017)Ikan Bandeng
2.73 ± 0.02%
Ikan Cucut 2.83 ± 0.04%
Ikan Lele Dumbo
12.16% (Nurhayati et al. 2013)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
39
Ikan Nila
(7.49 – 10.93)% (0.39 ± 0.48)%
(Aditya et al. 2018)
Ikan Sunglir (Elagatis bipinnulatus)
Konsentrat Protein Ikan Enzimatis
20% (Riewpassa et al. 2018)
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Tepung Ikan Pengeringan dan penepungan
29.73%(Widiyanto et al. 2018)
Jeroan
Ikan Lele
BiodieselTransesterifikasi
89% Kaban dan Daniel (2005)Ikan Mas 90.83%
Ikan Gurame
87%
Ikan Patin Esterifikasi dan Transesterifikasi 71% Widianto (2011)Ikan Salmon Esterifikasi 99% Mashad (2008)
Ikan Tongkol Pepton Hidrolisis menggunakan Enzim papain
3.92-5.54 Nurhayati et al. (2013)
Ikan Kakap Pepton
Hidrolisis menggunakan Maltodekstrin 1%
2.04%
Ningsih et al. (2018)Hidrolisis menggunakan Maltodekstrin 2%
2.5%
Hidrolisis menggunakan Maltodekstrin 3%
1.2%
Tabel 6. Harga Produk Biofungsional dari Hasil Samping/Limbah Industri Perikanan
Jenis produk Berat/Netto (gram) Harga (Rp)
Kitosan Udang dan Rajungan 350 215.000
Kitin Murni 50 100.000
Kolagen ikan 100 180.000
Gelatin 1000 600.000
Glukosamin 450 265.000
Tepung Ikan 1000 40.000
Minyak Ikan 1 (isi 100 kapsul) 114.000
Hyaluronan 10 40.000
Hidroksiapatit 25 250.000
Nano hidroksiapatit (ukuran 60 nm) 10 10.000
Kalsium (tepung tulang sotong) 75 20.000
Albumin (Ekstrak albumin ikan gabus bubuk) 1200 900.000
Ikan Tuna Kaleng 250 (1 kaleng) 20.000
Ikan Tausa Kaleng 250 (1 kaleng) 50.000
Kecap Ikan 1000 (1 kaleng) 45.000
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
40
Filet Ikan Cucut Beku 100 34.000
Fillet Daging Ikan Tuna Merah Segar Beku 1000 54.000
Kondroitin Sulfat - -
Peptida Aktif - -
Pupuk/Silase 600 50.000
Omega-3 Menempati Peringkat 3 Besar ‘Ingredient’ Fungsional di Dunia Menurut Konsumen
Gambar 10 Segmentasi Ingredien Fungsional Hasil Perairan
Pasar Global ‘Ingredient’ Produk Laut
Gambar 11 Pasar Global untuk Bahan Alam Hasil Laut
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
41
Gambar 12 Nutraceutical/Marine Ingredients are Generally Taking off In Supplements
C. Mempromosikan dan Memungkinkan Perubahan Individu Maupun Kolektif (Level Makro)Secara global upaya penurunan FLW umumnya dapat dilakukan melalui penerapan instrumen kebijakan makro di antaranya:a. TPB poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), poin ini berfokus terhadap
peningkatan efisiensi sumber daya dan energi, infrastruktur yang berkelanjutan, penyediaan akses layanan dasar, dan pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan untuk hidup yang lebih baik kedepannya. Poin ini bertujuan untuk mendidik pola konsumsi dan gaya hidup berkelanjutan, memberikan informasi yang cukup melalui penerapan standard label, dan terlibat dalam pencapaian publik yang berkelanjutan. Pada tahun 2030 Target TPB poin 12.3 adalah mengurang sampai separo limbah pangan global per kapita pada tingkat ritel dan konsumen serta mengurangi hingga separo susut pangan di sepanjang rantai produksi dan pasok, termasuk kerugian pasca panen.High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition of the Committee on World Food Security menyimpulkan bahwa penerapan instrumen yang dapat dilakukan dalam menurunkan FLW adalah dengan membaginya ke dalam tiga perspektif: perspektif sistemik, perspektif keberlanjutan (termasuk lingkungan, dimensi sosial, dan ekonomi), serta perspektif KPG (evaluasi bagaimana FLW memiliki keterkaitan terhadap berbagai dimensi gizi dan ketahanan pangan).
b. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) merupakan panduan dalam pembuatan kebijakan industri dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang bertanggung jawab (FAO 1995). Prinsip dan standar yang ditetapkan harus diterapkan terhadap keseluruhan kegiatan konservasi, pengelolaan, dan pengembangan sumber perikanan yang mencakup penangkapan, pengolahan, perdagangan ikan maupun produk perikanan, operasi perikanan, budidaya, riset perikanan yang terintegrasi hingga manajemen wilayah pesisir. Pasal 11 praktik pascapanen dan perdagangan, menyarankan suatu negara untuk mendorong pelaku yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan pemasaran ikan untuk mengurangi kerugian pasca panen dan limbah.
c. The Voluntary Guidelines, merupakan pedoman sukarela untuk mengamankan perikanan skala kecil berkelanjutan dalam konteks keamanan pangan. Pedoman ini dikembangkan sebagai pelengkap program CCRF yang berhubungan dengan perikanan skala kecil untuk mendukung keberlanjutan
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
42
sesuai dengan ketentuan. Pedoman ini menyarankan agar semua pelaku usaha perikanan skala kecil untuk menghindari kerugian dan pemborosan serta pada saat pascapanen dapat memperoleh nilai tambah dan pendapatan yang berlebih, menghemat biaya teknologi, dan inovasi lokal dengan menyesuaikan tradisi budaya yang ada.
d. Codex Alimentarius Code of Practice (CACP) untuk penanganan, higiene, dan proses pengolahan agar memenuhi standard dan legislasi ikan dan produk perikanan. Codex ini ditujukan untuk semua stakeholder atau pelaku yang terlibat dalam penanganan, produksi, penyimpanan, pendistibusian, ekspor, impor, dan perdagangan ikan dan produk perikanan. Codex ini menyediakan petunjuk praktik untuk mencapai kemanan dan kesehatan produk yang dapat dijual pada pasar dalam negeri dan internasional serta sesuai persyaratan standar CACP.
e. Banyak studi dan proyek telah dilaksanakan yang menghasilkan informasi yang sangat berharga, tetapi keberadaan single repository yang menyediakan informasi penting tidak tersedia. Informasi berharga ini akan sangat membantu stakeholders jika tersedia dan mudah diakses untuk mereka. Pengembangan repository informasi ini sangat relevan dan dibutuhkan untuk mengatasi kelangkaan informasi. Web ini dapat menyediakan petunjuk untuk pengambil kebijakan, praktisi pembangunan, lembaga swadaya masyarakat dan para pelaku kepentingan pada rantai pasok sebagai fasilitas dalam pengembangan skenario solusi mengatasi FLW dan di lapangan sepanjang rantai pasok maupun pada level pengambil kebijakan.
Solusi untuk mengurangi FLW pada tingkat makro juga dapat dibagi menjadi poin-poin sebagai berikut:• Mempertimbangkan untung dan rugi untuk mengatasi kendala “Winners and Losers”;
• Mengintegrasikan permasalah FLW dalam kebijakan;
• Memobilisasi semua pelaku dan konsumen untuk ikut berperan baik dengan meningkatkan kesadaran maupun dalam bentuk tindakan.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
43
POTR
ET P
END
UD
UK
MIS
KIN
DI I
ndon
esia
Gam
bar 1
3. (A
) Pen
dudu
k di
baw
ah g
aris
kem
iskin
an n
asio
nal;
(B) P
ropo
rsi p
endu
duk
di b
awah
gar
is ke
misk
inan
nas
iona
l
Gam
bar 1
4 Ti
ngka
t Kel
apar
an In
done
sia d
i ASE
AN
BA
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
44
Sum
ber:
Join
t Chi
ld M
alnu
triti
on E
ltim
ates
(200
8)G
amba
r 15.
(A) P
ropo
rsi P
endu
duk
di b
awah
Bat
as M
inim
um K
onsu
msi
Kalo
ri (B
) Tre
n Pr
eval
ensi
Balit
a Pe
ndek
di D
unia
Tah
un 2
000-
2017
Sum
ber:
Join
t Chi
ld M
alnu
triti
on E
stim
ates
(200
8)G
amba
r 16.
Pre
vale
nsi B
alita
Pen
dek
di A
sia T
ahun
201
7
BA
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
45
Sum
ber:
Pem
anta
uan
Stat
us G
izi, D
itjen
Kes
ehat
an M
asya
raka
t 201
5, 2
016,
201
7; C
hild
stu
nting
dat
a vi
sual
izati
ons
dash
boar
d (W
HO
201
8)
Gam
bar 1
7. (A
) Rat
a-ra
ta P
reva
lens
i Bal
ita P
ende
k di
Reg
iona
l Asia
Teng
gara
200
5-20
17 (B
) Mas
alah
Giz
i di I
ndon
esia
Tah
un 2
015-
2017
Pem
anta
uan
Stat
us G
izi,
Dire
ktor
at Je
nder
al K
eseh
atan
Mas
yara
kat (
2016
)G
amba
r 18.
Per
sent
ase
Kecu
kupa
n En
ergi
dan
Pro
tein
pad
a Ib
u H
amil
di In
done
sia T
ahun
201
6
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
46
Sumber: Pemantauan Status Gizi, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat (2017)Gambar 19. Persentase Remaja Putri Berisiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) di Indo-
nesia Tahun 2017
Sumber: Riskesdas 2007, 2010, 2013, 2018
Gambar 20. Prevalensi stunting Baduta dan Balita
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
47
Gambar 21. Skema Pengaruh Asam Lemak Omega-3 terhadap Fungsi Sel
Gambar 22. Skema Manfaat Klinis dan Kesehatan Asam Lemak Omega-3
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
48
Gambar 23. Ikhtisar Peran Fisiologi dan Manfaat Klinis Potensi Asam Lemak Omega-3
3.5 Kebijakan Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan di Indonesia Berdasarkan Level
Hasil kajian literatur tentang Kebijakan Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan di Indonesia berdasarkan level disajikan pada Tabel 7.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
49
Tabel 7. Kebijakan Susut dan Limbah Pangan Sektor Perikanan di Indonesia Berdasarkan Level
Level Determinan Kajian Hasil KajianMikro Prapanen &
Produk Tidak dapat Dipanen
A Review and SWOT Analysis of Aquaculture Development in Indonesia (Rimmer et al. 2013)
Analisis SWOT perkembangan budidaya di Indonesia. Jurnal ini terdiri atas kajian PEEST (kebijakan, ekonomi, lingkungan, sosial, teknis) yang dilakukan sebagai latar belakang studi untuk analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman) terhadap perkembangan budidaya di Indonesia. Analisis SWOT dan diskusi yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan pendekatan-pendekatan untuk mendukung pembangunan budidaya yang berkelanjutan. Strategi berikut ini diperlukan untuk mengembangkan budidaya di Indonesia: intensifikasi dan segmentasi produksi, perluasan area, dan/atau diversifikasi produksi. Kemungkinan besar perkembangan budidaya berkelanjutan di Indonesia akan memerlukan kombinasi dari ketiga strategi tersebut yang besar pengaruhnya relatif bergantung pada sektor produksi dan tuntutan pasar.
Proses pengolahan ikan teri (Stolephorus sp.) dan pemanfaatan limbahnya sebagai bahan baku pakan ikan dalam mendukung konsep zero waste (Ali et al. 2018)Proses pengolahan ikan teri (Stolephorus sp.) dan pemanfaatan limbahnya sebagai bahan baku pakan ikan dalam mendukung konsep zero waste (Ali et al. 2018)
Upaya pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat menghasilkan berbagai bentuk produk seperti ikan teri kering, teri kemasan vakum dan produk diversifikasi untuk makanan ringan serta pengolahan limbah sebagai bahan baku pakan (feed) untuk ikan nila dan lele. Upaya pengolahan ini disamping dapat meningkatkan nilai tambah (value added) dari ikan teri juga dapat menerapkan konsep zero waste dalam proses pengolahan ikan teri, sehingga pendapatan masyarakat lebih optimal.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
50
Pemanenan dan Penanganan Awal
Perkiraan Kehilangan Pangan (Food Loss dan Food Waste) Komoditas Beras Di Indonesia(Riska Amelia 2016)
Sebesar 23.92% atau hampir ¼ dari total produksi beras di Indonesia lost and wasted. Keadaan tersebut menyebabkan berbagai macam kerugian atau dampak negatif di berbagai bidang, pada bidang pangan dan gizi menyebabkan hilangnya sejumlah energi dan protein tertentu yaitu mencapai 379 kkal/kap/hari energi dan 8.87 gram/kapita/hari protein. Susut pangan dalam hal ini meliputi kehilangan pada saat pemanenan yaitu sebesar lebih dari 4 juta ton per tahun, pada saat perontokan mencapai lebih dari 2 juta ton, pada saat pengeringan mencapai lebih dari 0.7 juta ton, pada saat penggilingan lebih dari 0.9 juta ton, dan pada tahapan distribusi lebih dari 0.8 juta ton. Limbah pangan dalam hal ini meliputi pada tingkat rumah tangga yaitu lebih dari 800 juta ton, pada tingkat restoran mencapai 0.52 ribu ton, dan pada tingkat rumah sakit mencapai lebih dari 0.3 ribu ton.
Review Kajian Aplikasi Teknologi Ozon untuk Penanganan Buah, Sayuran, dan Hasil Perikanan
Fungsi ozon sebagai pengoksida dan disinfektan mampu meluruhkan sisa pestisida dan membunuh mikroorganisme yang terdapat pada produk pangan dan hasil pertanian, sehingga dapat mempertahan kualitas dan memperpanjang umur simpannya. Selain itu, penggunaan ozon untuk penanganan produk pangan dan hasil pertanian sangat efektif dan aman. Dengan demikian, teknologi ozon dapat direkomendasikan sebagai teknologi yang sesuai untuk penanganan produk pangan dan hasil pertanian, sehingga akan mengurangi susut dan penurunan produksi selama proses pascapanen. Pada penyimpanan hasil perikanan, teknologi ozon dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan ikan segar. Selain itu, ozon tidak menghasilkan residu beracun pada ikan dan lingkungannya dan telah dinyatakan aman oleh panel ahli untuk digunakan dalam penanganan bahan pangan dan perikanan.
Penyimpanan
Transportasi dan Logistik
The new paradigm of cold chain management systems and it’s logistics on Tuna fishery sector in Indonesia (Lailossa GW 2015)
Bertujuan untuk memberikan paradigma baru tentang rantai dingin dan pengelolaannya dengan pendekatan integrasi sistem. Output dari model integrasi ini adalah diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekspor produk perikanan Indonesia (Tuna)
Pengolahan dan Pengemasan
Zero Waste Concept di dalam Industri Pengolahan Hasil Perikanan (Darmanto YS 2013)
Mengolah daging kerang mutiara dengan teknologi enzim menjadi hidrolisa protein ikan (HPI), dan dengan metode kimia mengolah cangkang kepiting, karapas udang menjadi kitin dan kitosan, mengolah duri dan tulang menjadi kolagen, dan kulit ikan menjadi gelatin.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
51
Produk unggulan industri rumah tangga berbasis perikanan laut di kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan
Industri rumah tangga di wilayah pesisir Kabupaten Tanah Laut didominasi industri berteknologi sederhana dengan jenis produk yang dihasilkan berupa produk tradisional, seperti ikan asin, kerupuk ikan, kerupuk udang, udang kering, terasi, amplang, dan abon ikan/udang. Alternatif produk unggulan industri rumah tangga hasil perikanan laut Kabupaten Tanah Laut yang ditentukan berdasarkan kriteria ketersediaan bahan baku, mutu bahan baku, nilai tambah produk, tingkat penguasaan teknologi, peluang pasar, serapan tenaga kerja, dan kondisi pengembangan produk industri saat ini menunjukkan bahwa produk kerupuk ikan terpilih sebagai produk yang dapat diunggulkan dengan nilai total 0,245, berikutnya kerupuk udang dan abon ikan masing-masing dengan nilai total 0,221 dan 0,152
Retail Analisis Nilai Ekonomi Dari Pangan Tak Terkonsumsi di Restoran Terhadap Produksi Pangan Rata-Rata Kota Prabumulih (Septindari D 2018)
Setiap tahun, diperkirakan sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang di seluruh dunia. Jumlah nilai pangan tak terkonsumsi umumnya berupa nasi, ayam buras, ikan nila, ikan gurame, daging sapi, dan sayur. Pada kedua restoran sampel memiliki total 0,255386 kg per hari, adapun nilai ekonomi dari pangan tak terkonsumsi perhari dari kedua restoran adalah Rp 15.562,2. Dalam setahun diperkirakan nilai ekonomi makanan tak terkonsumsi adalah Rp 5.680.203. Berdasarkan data sekunder dari Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian dapat diketahui bahwa dengan produksi nilai ekonomi dari semua kategori menghasilkan total proyeksi nilai ekonomi sebesar Rp 51.865.960.000 per tahun dengan selisih antara nilai ekonomi limbah pangan dengan nilai ekonomi produksi Kota Prabumulih adalah Rp,-751.850.098.604
Household (Konsumsi)
Analisis Perbandingan Makanan Tak Terkonsumsi (Food Waste) pada Kantin Sekolah, Kantor, dan Industri di Kota Palembang (Annisya 2018)
Golongan pekerjaan, jenis kelamin, dan kebersihan kantin adalah tiga faktor yang mempengaruhi makanan tak terkonsumsi pada kantin sekolah, kantor, dan industri di Kota Palembang. Ada empat cara untuk mengatasi makanan tak terkonsumsi pada kantin sekolah, kantor, dan industri di Kota Palembang, yaitu 1) seluruh kantin hendaknya menghimbau dan menetapkan aturan kepada para siswa dan pegawai untuk tidak menyisakan makanan, 2) memperkirakan dan menakarsendiri makanan yang bisa dihabiskan, 3) memberikan edukasi kepada siswa dan pegawai mengenai pentingnya efisiensi konsumsi pangan serta dampak buruk dari makanan tak terkonsumsi terhadap lingkungan, sektor ekonomi, maupun kedaulatan pangan, dan 4) membawa pulang makanan yang tidak habis.
Estimasi Food Waste Beras Rumah Tangga Di Pemukiman Industri (Faridatun Nafiroh 2019)
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi sisa makanan yang difokuskan pada sisa nasi dalam rumah tangga di Permukiman Industri. Sisa nasi yang dihitung adalah nasi yang terbuang didalam rumah tangga dalam sebulan, baik nasi basah biasa maupun nasi basah santan.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
52
Ada apa dengan pesta pernikahan dan food waste?: Sebuah studi pendahuluan (Prasetyo 2018)
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologis interpretatif. Data dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur pada 9 partisipan di 4 pesta pernikahan di Jakarta, Indonesia. Wawancara menggunakan construct theory of planned behaviour dan dilakukan selama bulan Agustus hingga September 2018. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh beberapa kategorisasi tema yang selanjutnya dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi individu berperilaku food waste di pesta pernikahan ialah faktor sikap terhadap perilaku food waste, norma subjektif, kontrol perilaku yang dipersepsikan. Adanya hasil deskriptif dari studi ini menunjukkan bahwa terdapat faktor internal dan eksternal dari individu terhadap perilaku food waste saat berada di pesta pernikahan. Meskipun studi ini memiliki limitasi pada area generalisasi, tetapi hasil ini dapat menjadi studi pendahuluan dalam pembuatan program intervensi pencegahan perilaku food waste di acara pesta pernikahan.
Faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat pangan tak-terkonsumsi pada rumah tangga di kecamatan Lawang Kidul, kabupaten Muara Enim (Widiastuti 2016)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Proses terjadinya pangan tidak terkonsumsi pada rumah tangga berawal dari konsumsi pangan (nasi) yang dilakukan anggota rumah tangga pada waktu makan utama yaitu siang atau malam hari. Waktu makan utama dan juga jenis lauk/sayuran pendamping nasi yang dikonsumsi terbukti mempengaruhi nafsu makan sehingga berkecenderungan menjadi penyebab terjadinya pangan tidak terkonsumsi pada rumah tangga; (2) Jumlah pangan tidak terkonsumsi yang dihasilkan rumah tangga di Kecamatan Lawang Kidul adalah sebesar 161.807.332 ton/tahun; (3) pelaku penyumbang pangan tidak terkonsumsi sebanyak 57,5 persen berada pada usia muda (0-14 tahun) dan 42,5 persen berada pada usia produktif (15-64 tahun); (4) faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap jumlah pangan tidak terkonsumsi adalah aturan dalam rumah tangga, total pengeluaran, dan pendapatan, sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap jumlah pangan tidak terkonsumsi adalah waktu makan, usia penyumbang pangan tak-terkonsumsi, pengeluaran pangan, pendidikan kepala rumah tangga dan suku; dan (5) adapun cara penanganan pangan tidak terkonsumsi antara lain: (a) dijadikan pakan ternak; (b) dibuang langsung sebagai sampah; dan (c) dijadikan pupuk organik sebagai penyubur tanaman.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
53
Meso Investasi dan kurangnya dukungan investor
Pelaksanaan Teknis yang kurang baik
Produksi Bersih Pada Industri Pangan Berbasis Perikanan (Ujianti RMD 2017)
Memberikan informasi mengenai proses produksi bersih pada industri perikanan. Metode yang dilakukan adalah dengan survei dan studi literatur mengenai produksi bersih pada industri pangan berbasis perikanan. Tulisan ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan pada pembaca dan gambaran untuk pelaku industri perikanan agar bisa mengaplikasikan konsep produksi bersih ini pada industrinya. Proses produksi bersih yang bisa dilakukan dengan cara penghematan bahan baku, efisiensi energi, dan akhirnya akan menghasilkan minimalisasi limbah yang bermanfaat bahkan digunakan kembali.
Infrastruktur yang tidak memadai
Small in scale but big in potential: Opportunities and challenges for fisheries certification of Indonesian small-scale tuna fisheries (Dierdre ED 2016)
Membahas tantangan dan peluang yang dihadapi skala kecil Indonesia perikanan tuna mencapai sertifikasi dan menerapkan penelusuran. Prospek untuk sertifikasi semacam itu perikanan menjanjikan, mengingat perkembangan global dan nasional baru-baru ini tetapi membutuhkan komitmen yang meningkat untuk mengomunikasikan pentingnya dan nilai skema tersebut di negara-negara berkembang.
Kebijakan konektivitas maritim di Indonesia (Adam 2015)
Dukungan kebijakan yang harus dilakukan agar kebijakan konektivitas maritim berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan adalah: 1) Perencanaan Kebijakan. Perencanaan kebijakan konektivitas maritim seharusnya disusun berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan dibagi berdasarkan target waktu yang ditetapkan atas kondisi yang dimiliki, ditinjau dari anggaran dan karakteristik sumber daya yang ada. Periode waktu tersebut disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah dan pelaku usaha. Khusus untuk kawasan Indonesia bagian timur yang mengalami ketertinggalan dibandingkan kawasan Indonesia bagian barat, Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih luas. Perencanaan tersebut juga disusun dengan mengutamakan peran serta aktif pemangku kepentingan di daerah, seperti pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat; 2) Perbaikan Kondisi Infrastruktur. Penyediaan kapasitas infrastruktur yang memadai termasuk berupa pelabuhan laut, udara dan jalan serta jaringan listrik dan telekomunikasi yang efisien, mutlak diperlukan untuk mengikuti pesatnya perkembangan perekonomian, tanpa itu kebijakan konektivitas maritim tidak akan berjalan. Pembiayaan infrastruktur juga bisa dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penerbitan obligasi daerah; 3)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
54
Peningkatan kapasitas SDM maritim. SDM terampil yang memahami peningkatan performa maritim, termasuk kepelabuhanan, galangan kapal, dan tata cara melaut sangat diperlukan. SDM yang handal akan mampu meningkatkan inovasi teknologi dan penguasaan sektor maritim oleh pemangku kepentingan nasional; 4) Koordinasi antar instansi. Pengembangan konektivitas maritim memerlukan kerjasama dari semua pemangku kepentingan, baik Pemerintah, BUMN, dan pelaku usaha. Instansi pemerintah harus duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang paling sulit, yaitu dari aspek koordinasi. Setiap pihak harus memahami tugas dan wewenangnya masing-masing.
Manajemen rantai pangan kurang/tidak terintegrasi
Innovations Under the Concept of Turning Garbage into Gold in Fisheries Waste Management (Muhammad Y 2014)
Studi ini menyajikan perspektif empiris termasuk 1) potensi bisnis limbah cangkang kepiting, 2) teknologi dalam penggunaan inovatif cangkang untuk produk bernilai tambah, 3) analisis bisnis dan komersialisasi. Selanjutnya, menyajikan konsep bisnis baru dengan menghubungkan teori-teori inovasi wirausaha dan transfer teknologi untuk mendapatkan keseimbangan lingkungan.
Penguatan Sistem Manajemen Mutu dan Konsep Zero Waste Production pada
Permasalahan utama pada mitra yaitu pemahaman tentang sistem manajemen mutu yang masih kurang. Selain itu, permasalahan lain adalah sosialisasi konsep zero waste production yang belum dilakukan. Konsep zero waste ini sangat perlu diterapkan mengingat tingginya limbah dari hasil produksi. Berdasarkan
Kelompok Pengolah Produk Perikanan di Kampung Madung (Apriandi et al. 2018)
hasil kegiatan telah dilakukan pembinaan dalam proses peningkatan mutu dengan mengidentifikasi titik kritis serta membuat alur proses prduksi serta relabeling dari produk yang diproduksi.
Kesalahan/ketidak jelasan label pangan
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
55
Makro Kebijakan, hukum, dan regulasi
Kajian Kerangka Pengaturan dan Pengelolaan Makanan Berlebih di Hotel, Restoran dan Jasa boga (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
1)Memberikan informasi pelaksanaan program, kegiatan, dan anggaran Badan Ketahanan Pangan, 2) Memberikan informasi tentang capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan tahun 2018, 3) Mengetahui permasalahan dan alternatif penyelesaian sebagai upaya perbaikan pelaksanaan program, kegiatan dan anggaran ketahanan pangan.
Analisis Kebijakan Ekonomi Pengembangan Energi Arus Laut di Selat Madura, Provinsi Jawa Timur (Firdaus 2014)
Selat Madura diduga memiliki potensi sumberdaya yang cukup untuk menghasilkan energi, sehingga memungkinkan untuk dikembangkan PLTAL. Akan tetapi perlu adanya modifikasi teknologi agar sesuai dengan potensi sumberdaya yang ada. Hasil analisis kemauan membayar (willingness to pay atau WTP) menunjukkan masyarakat memiliki kemauan membayar tarif listrik sebesar Rp. 486,38 per kwh. Penilaian kelayakan finansial menunjukkan pengembangan PLTAL layak secara finansial dengan minimal teknologi berkapasitas 30 kw atau pada skenario 3. Sektor energi berdasarkan analisis input-output merupakan sektor strategis yang dapat dikembangkan. Sektor listrik dan gas berkontribusi sebesar 1,28 persen jika dilakukan injeksi investasi PLTAL 3 MW terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Timur tahun 2012. Peran kelembagaan pun sangat penting dalam pengembangan energi arus laut pada kawasan Suramadu. Kelembagaan yang kuat dapat mengontrol pelaksanaan pengembangan energi arus laut dari segi teknis maupun kebijakan yang disusun. Penilaian analisis kebijakan menunjukkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas kebijakan dalam pengembangan energi arus laut. Alternatif kebijakan pembangunan infrastruktur ini adalah pembangunan PLTAL dan tata ruang kawasan perairan. Selain kebijakan tersebut, kebijakan riset dan inovasi teknologi, dan investasi swasta pun perlu diimplementasikan. Alternatif kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong pengembangan energi laut maupun energi arus laut, sehingga dapat berkontribusi secara positif dalam pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur maupun tingkat nasional.
Penyebab Sistemik
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
56
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan Hasil kajian menunjukkan bahwa kajian tentang Susut dan Limbah Pangan Bergizi Sektor Perikanan di Indonesia secara spesifik belum dilakukan. Studi secara komprehensif sangat mendesak untuk dilakukan agar dapat diambil kebijakan yang tepat, dengan secara utuh mengadopsi TPB poin 12.3. sehingga sumberdaya gizi ikan dapat dimanfaatkan secara optimal, konsep zero loss dan waste dapat terwujud, dapat memperkuat ketahanan pangan dan gizi (protein, asam lemak esensial dan mikromineral), dan pada gilirannya dapat menjadi solusi mengatasi stunting dan masalah gizi lain di Indonesia, serta mencapai target mengurangi susut dan limbah pangan hingga setengahnya di tahun 2030.
4.2. Rekomendasi
1. Perlu dilakukan studi secara komprehensif tentang susut dan limbah pangan bergizi sektor perikanan di Indonesia. Beberapa studi yang perlu dilakukan di antaranya adalah:• Adopsi metode pengumpulan dan pengolahan data
Bab
04
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
57
untuk menghitung besar susut dan limbah pangan sektor Perikanan. Pengambilan data dan penghitungan susut dan limbah pangan secara langsung merupakan salah satu metode yang paling akurat, contohnya penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2005) terkait susut pascapanen padi. Model ini dapat diadopsi untuk menghitung susut dan limbah pada rantai pangan produk perikanan hingga ke tingkat rumah tangga (Lampiran 1).
• Penyusunan acuan konversi susut nilai gizi berbasis hasil penelitian ilmiah.
• Kajian terkait rantai suplai dan proporsi bagi hasil perikanan untuk industri (dibedakan berdasarkan jenis industri pengolahan seperti industri pengalengan, segar utuh, fillet, tradisional pemindangan, pengeringan, pengasapan dan lain-lain), layanan makanan (food service), dan konsumsi rumah tangga, sehingga dapat diketahui besaran susut dan limbah pangan pada setiap rantai pangan secara spesifik.
2. Perlu dibangun Pusat Studi dan Data Susut dan Limbah Pangan Bergizi (Nutrition Food Loss and Waste) di Indonesia.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
58
Daftar PustakaAgustin AT dan Sompie. 2015. Kajian gelatin kulit ikan tuna (Thunnus albacares) yang diproses menggunakan
asam asetat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(5):1186-1189.
Semantic scholarhttps://www.semanticscholar.org/paper/Kajian-gelatin-kulit-ikan-tuna-(Thunnus-albacares)-Agustin-Somp-ie/3bb98c589a22db4781bea196474c2f857fda7d38
Akande G and Diei-Ouadi Y 2010 Post-harvest losses in small-scale fisheries: case studies in five sub-Saha-ran African countries [Internet] FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 550 (Rome: FAO) 2010 1-89 p. Available from: http://www.fao.org/3/i1798e/i1798e.pdf
FAO.orghttp://www.fao.org/3/i1798e/i1798e.pdf
Ames G, Clucas I and Paul S S 1991 Post-harvest losses of fish in the tropics [Internet]. Natural Resources Institute (NRI) Available from: https://gala.gre.ac.uk/id/eprint/12102/1/12102_Ames_Post harvest losses of fish %28book%29 1991.pdf
Iopsciencehttps://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/414/1/012016/pdf
Annisa S, Darmanto S, Amalia U. 2017. Pengaruh perbedaan spesies ikan terhadap hidrolisat protein ikan dengan penambahan enzim papain. Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology. 13(1): 24-30.
Ejurnal Undiphttps://ejournal.undip.ac.id/index.php/saintek/article/view/16822
Annisya. 2018. Analisis perbandingan makanan tak terkonsumsi (food waste) pada kantin sekolah, kantor, dan industri di kota palembang. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
Repositary UNSRIhttp://repository.unsri.ac.id/13939/1/RAMA_54201_05011381320042000105620401front_ref.pdf
Arvitrida N, Rahmawati D, Lastomo D, SuhardiR, Kusnadi K. 2019. Fishery Supply Chains in Indonesia: Im-provement Opportunities on The Downstream Side. In 2018 International Conference on Industrial En-terprise and System Engineering (IcoIESE 2018). Atlantis Press.
Atlantis-presshttps://www.atlantis-press.com/proceedings/icoiese-18/55914825
Azahra F. 2019. Extra virgin fish oil dalam model produk suplemen pangan emulsi berantioksidan tinggi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Repository IPBhttps://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/99022
AzharM, Suhartoyo S, Suharso P, Herawati VE, Trihastuti N. 2018. Prospect on Implementation of National Fish Logistics System: case in Indonesia. In E3S Web of Conferences. 47, p. 06009. EDP Sciences.
E3S Web of Conferenceshttps://www.e3s-conferences.org/articles/e3sconf/abs/2018/22/contents/contents.html
Azis HA. 2018. Mikroenkapsulasi minyak ikan mata tuna untuk sediaan fortifikasi pada makanan pendamping asi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
59
Repository IPBhttps://www.google.com/search?safe=strict&sxsrf=ACYBGNSKkHf6J7wnMLZEM2s-sO9cFF00rg%3A1581159703429&ei=F5UXrP3GYn2rQG4yK3ACw&q=Azis+HA.+2018.+-Mikroenkapsulasi+minyak+ikan+mata+tuna+untuk+sediaan+fortifikasi+pada+makanan+pendampin-g+asi.+%5Bskripsi%5D.+Bogor+%28ID%29%3A+Institut+Pertanian+Bogor.&oq=Azis+HA.+2018.+-Mikroenkapsulasi+minyak+ikan+mata+tuna+untuk+sediaan+fortifikasi+pada+makanan+pendamp-ing+asi.+%5Bskripsi%5D.+Bogor+%28ID%29%3A+Institut+Pertanian+Bogor.&gs_l=psyab.3..0i71l2.143820.143820..145685...0.4..0.0.0.......0....2j1..gwswiz.eGthsZ4rPMA&ved=0ahUKEwjz3tLz5sHnA-hUJeysKHThkC7gQ4dUDCAo&uact=5
Bisnis.com 2019. Newswire - Bisnis.com 10 Juli 2019 | 15:09 WIB Kurangi Impor Gelatin, Indonesia Mu-lai Produksi Kapsul Rumput Laut. Sumber : Antara Editor : Wike Dita Herlinda
Butler KB, Bolton GE, Jaykus LA, Green PDM, Green DP. 2010. Development of molecular-based methods for determination of high histamine producing bacteria in fish. Journal Food Microbiology 139(3):161-167.
Pulbmed.gev
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20392504
Cahyono E, Rahmatu R, Ndobe S, Mantung A. 2018. Ekstraksi dan karakterisasi gelatin tulang tuna pada berbagai konsentrasi enzim papain. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. 7(2):148-153.
Ejurnal Unsri
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/fishtech/article/view/6594
Chalak A, Abiad MG, Diab M, Nasreddine L. 2019. The determinants of household food waste generation and its associated caloric and nutrient losses: the case of lebanon. 14(12): PloS one.
NCBI
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6890253/
Chen J, Li L, Yi R, Xu N, Gao R, Hong B. 2016. Extraction and characterization of acid-soluble collagen from scales and skin of tilapia (Oreochromis niloticus). Food Science and Technology 66: 453-459.
Fisheries journal
http://www.fisheriesjournal.com/archives/2018/vol6issue4/PartD/6-4-11-413.pdf
Creupelandt HF. 1985. Marketing considerations in the promotion and development of sundried products. In Expert Consultation on Planning the Development of Sundrying Techniques in Africa, Rome (IT), 12 Dec 1983.
Food and Nutrition Library
http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2%2E2--00-0----0-10-0---0---0di-rect-10---4------00l--11-en-50---20-about---00-0-1-00-0--4----0-0-11-10-0utfZz-8 10&cl=-CL3.20&d=HASH01dfcb9fd65bcd43c5ec3617.4>=2
Darmanto YS. 2013. “Zero Waste Concept” Di Dalam Industri Pengolahan Hasil Perikanan. Seminar Nasional MPHPI ke-5: 1-13.
Seminar MPHPI
http://eprints.undip.ac.id/48993/1/KS2_Naskah_Seminar_MPHPI_18102013_Prof_Dar.pdf
Djailani F, Trilaksani W, Nurhayati T. 2016. Optimasi ektraksi dan karakterisasi kolagen dari gelembung re-nang ikan cunang dengan metode asam-hidroekstraksi.Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indone-sia19(2):156-167.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
60
Semantic scholar
https://pdfs.semanticscholar.org/d1ad/00f013d7cf6494921a4f80817fcb8c54abfd.pdf
Dompeipen EJ, Kaimudin M, Dewa RP. 2016. Isolasi kitin dan kitosan dari limbah kulit udang. Majalah Biam. 12(1): 32-38.
Ejournal kemenperin
http://ejournal.kemenperin.go.id/bpbiam/article/view/2326
DoligezF, LemelleJP, Lapenu C, Wampfler B. 2010. Financing agricultural and rural transitions. In J.C. Devèze. Challenges for African agriculture. 179–197. Washington, DC, World Bank.
Open knowledge repository
https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/12478
FahmidaU, Htet MK, Adhiyanto C, Kolopaking R, Yudisti, MA, Maududi A, ... & MullerM. 2015. Genetic vari-ants of FADS gene cluster, plasma LC-PUFA levels and the association with cognitive function of un-der-two-year-old Sasaknese Indonesian children. Asia Pacific journal of clinical nutrition. 24(2): 323.
Scholar UI
https://scholar.ui.ac.id/en/publications/genetic-variants-of-fads-gene-cluster-plasma-lc-pufa-levels-andt
FAO. 2019. State of Food and Agriculture (SOFA) Report 2019: New Insights into Food Loss and Waste. Rome (IT).
FAO.org
http://www.fao.org/publications/sofa/en/
FAO 2018 Report and papers presented at the fourth Meeting of Professionals/Experts in support of Fish Safety, Technology, and Marketing in Africa. Elmina, Ghana [Internet] p. 14–6. Available from: http://www.fao.org/3/ca0374b/CA0374B.pdf
FAO.org
http://www.fao.org/3/ca0374b/CA0374B.pdf
FAO. 2017 Case studies on fish loss assessment of small-scale fisheries in Indonesia, by Singgih Wibowo, Ansen R. Ward, Yvette Diei-Ouadi, Siar Susana and Petri Suuronen. FAO Fisheries and Aquaculture Circular No. 1129. Rome, Italy.
FAO.org
http://www.fao.org/3/a-i6282e.pdf
FAO 2017 FAO and the SDGs Indicators: Measuring up to the 2030 Agenda for Sustainable Development [Internet] Available from: http://www.fao.org/3/a-i6919e.pdf.
FAO.org
http://www.fao.org/3/a-i6919e.pdf
FAO 2015 Strengthening the performance of post-harvest systems and regional trade in smallscale fisheries – case study of post-harvest loss reduction in the volta basin riparian countries [Internet] Vol. 1105
FAO.org
http://www.fao.org/3/a-i5141e.pdf
FAO 2015 Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in the Contextof Food Security and
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
61
Poverty Eradication [Internet]
FAO.org
http://www.fao.org/3/ai4356en.pdf
FAO. 2014. Food loss assessments: causes and solutions case studies in small-scale agriculture and fisheries sub-sectors. Kenya: banana, maize, milk, fish. Global Initiative on Food Loss and Waste Reduction – Save Food. Rome
FAO.org
http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/savefood/PDF/Kenya_Food_Loss_Studies.pdf
FAO. 2012. Committee on World Food Security, Thirty-ninth Session, Coming to Terms with Terminology, 15-20 October 2012. [Internet]
FAO.org
FAO. 2011 Global food losses and food waste - Extent, causes and prevention. [Internet]. SAVE FOOD: An initiative on Food Loss and Waste Reduction 37 p.
FAO.org
http://www.fao.org/3/a-i2697e.pdf
FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries(CCRF). Rome (IT).
FAO.org
http://www.fao.org/3/a-v9878e.pdf
Fatimah D dan Jannah A. 2008. Efektivitas penggunaan asam sitrat dalam pembuatan gelatin tulang ikan bandeng (Chanos-chanos forskal). 7-15.
Ejournal UIN Malang
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/Kimia/article/view/1663
GFK (Growth from Knowledge). 2009. Public attitudes to food. GFK Social Research. Report for the UK Food Standards Agency
Books Google
http://tna.europarchive.org/20111116080332/http://www.food.gov.uk/multimedia/pdfs/publicatti-tudestofood.pdf.
Gadi DS, Trilaksani W, Nurhayati T. 2017.Histologi, ekstraksi dan karakterisasi kolagen gelembung renang ikan cunang muarenesox talabon.Ilmudan Teknologi Kelautan Tropis.9(2):665-683.
Journal IPB
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt/article/download/19300/13398
HamazakiK, Syafruddin D, Tunru IS, Azwir MF, AsihPB, SawazakiS, Hamazaki T. 2008. The effects of doco-sahexaenoic acid-rich fish oil on behavior, school attendance rate and malaria infection in school chil-dren-a double-blind, randomized, placebo-controlled trial in Lampung, Indonesia. Asia Pacific journal of clinical nutrition. 17(2): 258-263.
Semantic Scholar
https://www.researchgate.net/publication/5268622_The_effects_of_docosahexaenoic_acid-rich_fish_oil_on_behavior_school_attendance_rate_and_malaria_infection_in_school_children--a_dou-ble-blind_randomized_placebo-controlled_trial_in_Lampung_Indonesia
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
62
Hanura AB, Trilaksani W, Suptijah P. 2017. Karakterisasi nanohidroksiapatit tulang tuna thunnus sp. sebagai sediaan biomaterial. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 9(2): 619-629.
Journal IPB
h t t p s : //d o c p l a y e r . i n f o / 1 4 0 1 6 4 7 6 6 - K a r a k t e r i s t i k - s i f a t - f i s i ko k i m i a - n a n o - k a l s i -um-ekstrak-tulang-ikan-tuna sirip-kuning-thunnus-albacares.html
HardyR, SmithJG. 1976. The storage of mackerel (Scomber scombrus). Development of histamine and rancid-ity. Journal of the Science of Food and Agriculture, 27(7), 595-599.
Semantic Scholar
https://www.semanticscholar.org/paper/The-storage-of-mackerel-(Scomber-scombrus).-of-and-Har-dy-Smith/7a821165b50469b38ded3a88dedcf50cd76d6dcd
Henggu KU. 2019. Sediaan biokomposit perancah tulang dari hidroksiapatit cangkang sotong (Sepia sp.) dan kolagen kulit ikan patin (Pangasius hypopthalmus) [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Repositary IPB
https://www.google.com/search?q=Henggu+KU.+2019.+Sediaan+biokomposit+perancah+tu-lang+dari+hidroksiapatit+cangkang+sotong+(Sepia+sp.)+dan+kolagen+kulit+ikan+patin+(Pan-gasius+hypopthalmus)+%5BThesis%5D.+Bogor+(ID)%3A+Institut+Pertanian+Bogor.&oq=Heng-gu+KU.+2019.+Sediaan+biokomposit+perancah+tulang+dari+hidroksiapatit+cangkang+so-tong+(Sepia+sp.)+dan+kolagen+kulit+ikan+patin+(Pangasius+hypopthalmus)+%5BThesis%5D.+Bo-gor+(ID)%3A+Institut+Pertanian+Bogor.&aqs=chrome..69i57.821j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8
Hema GS, Shyni K, Mathew S, Anandan R, Ninan G, Lakshmanan PT. 2013. A simple method for isolation of fish skin collagen-biochemical characterization of skin collgagen extracted from albacore tuna (Thun-nus alalunga), dog shark (Scoliodon sorrakowah), and rohu (Labeo rohita). Scholars Research Library Annals of Biological Research. 4(1):271–278.
Semantic Scholar
https://www.academia.edu/9719048/A_simple_method_for_isolation_of_fish_skin_collagenbiochem-ical_characterization_of_skin_collgagen_extracted_from_Albacore_Tuna_Thunnus_Alalunga_Dog_Shark_Scoliodon_Sorrakowah_and_Rohu_Labeo_Rohita.
Hidayat G, Dewi EN, Rianingsih L. 2016. Karakteristik gelatin tulang ikan nila dengan hidrolisis menggunakan asam fosfat dan enzim papain. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 19(1):69-78.
Semantic Scholar
https://pdfs.semanticscholar.org/b1be/324cab3bdbd73e0a10f1f7809d8c9faca0e4.pdf
HLPE, 2014. Food Losses And Waste In The Context Of Sustainable Food Systems. A Report By The High Level Panel Of Experts On Food Security And Nutrition Of The Committee On World Food Security.Rome (IT): HLPE.
FAO.org
http://www.fao.org/3/a-i3901e.pdf
HomerWFA. 1992. Preservation offish curing: Fish Processing Technology. London
Marel
https://marel.com/fish/?creative=396431888824&keyword=fish%20processing&match-type=b&network=g&device=c&gclid=CjwKCAiA1fnxBRBBEiwAVUouUqlZ9U9LkOyEOK_hU-C7a9O92u53khFssQ3_81SCQd9ZtDAjxUMUUQxoCZWoQAvD_BwE
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
63
Islam MM, Masum SM, Rahman MM, Shaikh AA. 2011. Preparation of glucosamine hydrochloride from indig-enous shrimp processing waste. Bangladesh Journal of Scientific and Industrial Research. 46(3): 375-378.
Bangladesh Journal
https://www.banglajol.info/index.php/BJSIR/article/view/9046
Jamilah B, Hartina MRU, Hashim M, Sazili AQ. 2013. Properties of collagen from barramundi (Lates calcarifer) skin. International Food Research Journal 20(2):835-842.
Internation Journal
http://www.ifrj.upm.edu.my/20%20(02)%202013/46%20IFRJ%2020%20(02)%202013%20Jami-lah%20(301).pdf
Kaewdang O, Benjakul S, Kaewmanee T, Kishimura H. 2014. Characteristic of collagens from the swim blad-ders of yellowfin tuna (Thunnus albacares).Food Chemistry.155: 264-270.
Pubmed.gov
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24594184
Kaimudin M, Leonupun MF. 2016. Characterization chitosan from waste leather with shrimp process using different bleaching. Majalah Biam. 12(1): 1-7.
Pubmed.gov
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19960271
Kartika IWD, Trilaksani W, Adnyane IKM. 2016. Karakterisasi kolagen dari limbah gelembung renang ikan cu-nang hasil ekstraksi asam dan hidrotermal. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia.19(3):222-232.
Semantic Scholar
https://pdfs.semanticscholar.org/6a67/a4cec5027a9f6a1e20141637faac7823d0e1.pdf
Kementerian kesehatan. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta. [Internet]
https://kemkes.go.id
Kittiphattanabawon P, Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Characterisation of ac-id-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry. 89:363-372.
ResearchGate
https://www.researchgate.net/publication/221986331_Characterisation_of_acid-soluble_collagen_from_skin_and_bone_of_bigeye_snapper_Priacanthus_tayenus
Kusumawati R, Tazwir, Wawasto A. 2008. Pengaruh perendaman dalam asam klorida terhadap kualitas gela-tin tulang kakap merah (Lutjanus sp.). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan perikanan.3(1): 63-68.
Jurnal Pacapanen Bioteknologi Perikanan dan Kelautan
https://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/jurnal-jpbkp/index.php/jpbkp/article/view/10
LailossaGW. 2015. The new paradigm of cold chain management systems and it’s logistics on Tuna fishery sector in Indonesia. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation. 8(3): 381-389
Schloar semantic
http://www.bioflux.com.ro/docs/2015.381-389.pdf
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
64
Liu D, Liang L, Regenstein JM, Zhou P. 2012. Extraction dan characterization of pepsin-solubilised collagen from fins, scales, skins, bones dan swim bladders of bighead carp (Hypopthalmichthys nobilis). Food Chemistry. 133(4):1441-1448.
ResearchGate
https://www.researchgate.net/publication/257164321_Extraction_and_characterization_of_pepsin-solublized_collagen_from_fins_scales_skins_bones_and_swim_bladders_of_bighead_carp_Hypoph-thalmichthys_nobilis
Matmaroh K, Benjakul S, Prodpran T, Encarnacion AB, Kishimura H. 2011. Characteristics of acid soluble collagen and pepsin soluble collagen from scale of spotted golden goatfish (Parupeneus heptacanthus). Food Chemistry. 129: 1179-1186.
PubMed
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25212354
Mulyo RA. 2016. Perkiraan Kehilangan Pangan (Food Loss dan Food Waste) Komoditas Beras di Indonesia. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Repository IPB
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/86894
Muhammad Y. 2014. Innovations Under the Concept of ‘Turning Garbage into Gold’ in Fisheries Waste Man-agement. Journal of Entrepreneurship, Management and Innovation 9(4): 101-122.
Jurnal of Entrepreneurship
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2410229
Muyonga JH, Cole CGB, Duodu KG. 2004. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of acid soluble collagen and gelatin from skins and bones of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry. 86:325-332.
Food Chemistry
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308814603004588
Nafiroh F, Fuad IL. 2019. Estimasi food waste beras rumah tangga di pemukiman industry. Jurnal Ilmiah Fakul-tas Pertanian. Universitas Yudharta, Pasuruan.
Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian
https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/AGROMIX/article/view/1461
Nalinanon S, Benjakul S, Kishimura H, Osaka K. 2011. Type I collagen from the skin of ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon): Characteristics and effect of pepsin hydrolysis. Food Chemistry. 125:500-507.
Food Chemistry
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308814610011131
NattasshaR, Handayati Y, Yudoko G, SimatupangTM, Adhiutama A, Mulyono NB. 2019. Performance mea-surement system for the cold fish supply chain: the case of National Fish Logistics System in Indone-sia. International Journal of Agricultural Resources, Governance and Ecology. 15(1): 57-76.
Ningsih R, Sudarno, Agustono. 2018. Pengaruh konsentrasi maltodekstrin terhadap karakteristik pepton ikan kakap (lutjanus sp.). Agrointek. 12(1): 55-59.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian
https://journal.trunojoyo.ac.id/agrointek/article/view/3673
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
65
Nur’assyfa. 2018. Kapasitas antioksidatif ekstrak hyaluronan mata tuna hasil fragmentasi gelombang mikro [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Repository IPB
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/93323
Nurhayati T, Desniar, Suhandana M. 2013. Pembuatan pepton secara enzimatis menggunakan bahan baku jeroan ikan tongkol. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 16(1):1-11.
Jurnal pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jphpi/article/view/8112
Nurhayati T, Nurjanah, Sanapi CH. 2013. Karakterisasi hidrolisat protein ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 16(3): 207-214.
Jurnal pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jphpi/article/view/8058
Pamela, Nugraha A, Aritonang M, & Hutajulu JP. 2019. Determinants of household food waste value in Indo-nesia: a study case on high education level parents. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 399(1): 012121: IOP Publishing.
IOPscience
https://iopscience.iop.org/
Parfitt, J., Barthel, M. & Macnaughton, S. 2010. Food waste within food supply chains: quantification and potential for change to 2050. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 365(1554): 3065–3081
The Royal Society
https://royalsocietypublishing.org/doi/full/10.1098/rstb.2010.0126
Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Jakarta (ID): Sekretariat Negara
JDIH BPK RI: DATABASE PERATURAN
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/41412/perpres-no-42-tahun-2013
PeñarubiaO, Ward A, Grever M, RyderJ. 2020. Addressing food loss and waste in fish value chain using a web-based information, Repository. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 414(1): 012016
Open Channels: Sustainable Ocean Management & Conservation
https://www.openchannels.org/literature/26513
Putra RS.2017 Ekstraksi bersih dan karakterisasi virgin fish oil mata tuna kaya DHA [skripsi]. Bogor(ID): Insti-tut Pertanian Bogor.
Repository IPB
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/94226?show=full
Purwanto. 2005. Kehilangan pascapanen padi kita masih tinggi. [Internet].[Diunduh pada 9 Januari 2016].
Repository IPB
http://io.ppijepang.org.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
66
Rachmani R, Nisma F, Mayangsari E. 2013. Ekstraksi gelatin dari tulang ikan tenggiri melalui proses hidrolisis menggunakan larutan basa. Media Farmasi. 10(2):18-28.
Media Farmasi: Jurnal Ilmu Farmasi
http://journal.uad.ac.id/index.php/Media-Farmasi/article/view/1167/838
Rieuwpassa Fj, Karimela EJ, Lasaru DC. 2018. Karakterisasi sifat fungsional konsentrat protein ikan sunglir (Elagatis hipinnulatus). Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 9(2): 177-183.
Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jtpk/article/view/25774
Rimmer MA, Sugama K, Rakhmawati D, Rofiq R, Habgood RH. 2013. A review and SWOT analysis of aqua-culture development in Indonesia. Reviews in Aquaculture. 5: 255–279.
Reviews in Aquaculture
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/raq.12017
Salimah E, Ma’ruf WF, Romadhon. 2016. Pengaruh transglutaminase terhadap mutu edible film gelatin kulit ikan kakap putih (Lates calcalifer). Jurnal Pengolahan Perikanan dan Biotekologi. 5(1):49-55.
Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpbhp/article/view/10818/10496
Semantic Scholar
https://www.semanticscholar.org/paper/PENGARUH-TRANSGLUTAMINASE-TERHADAP-MU-TU-EDIBLE-FILM-Salimah-Ma%E2%80%99ruf/2cad9895d95251bf11535f50cf8ddae33ba0341a
Septindari D. 2018. Analisis Nilai Ekonomi dari Pangan Tak Terkonsumsi di Restoran terhadap Produksi Pan-gan Rata-Rata Kota Prabumulih [Skripsi]. Indralaya (ID): Universitas Sriwijaya.
Repository UNSRI
http://repository.unsri.ac.id/11653/2/RAMA_54201_05011381419156_0014066803_0012058001_01_front_ref.pdf
Sinthusamran S, Benjakul S, Kishimura H. 2013. Comparative study on molecular characteristics of acid solu-ble collagens from skin dan swim bladder of seabass (Lates calcarifer).Food Chemistry.138(4):2435-2441.
PubMed
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23497906
Singh P, Benjakul S, Maqsood S, Kishimura H. 2011. Isolation and characterization of collagen extracted from the skin of striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus). Food Chemistry. 124:97-105.
ResearchGate
https://www.researchgate.net/publication/222827694_Isolation_and_characterisation_of_collagen_extracted_from_the_skin_of_striped_catfish_Pangasianodon_hypophthalmus
Syifa AL. 2019. Sereal sehat dengan ingredien mikrokapsul extra virgin fish oil terproteksi antioksidan alami buah bakau. [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Repository.ipb.ac.id
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/99011
Syukroni I. 2018. Recovery dan valorisasi air cucian surimi ikan gabus (Channa striata) untuk sediaan bahan aktif tablet albumin [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
67
Repository.ipb.ac.id
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/92451?show=full
Sveinsdottir, K. 1998. The process offish smoking and quality evaluation. Unpublished M.Sc Dissertation. University of Denmark.
Trilaksani W. Nurilmala M, Setiawati IH. 2012. Ekstraksi gelatin kulit ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dengan proses perlakuan asam. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 15(3): 240-251.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikananan Indonesia
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jphpi/article/view/21436
Ujianti RMD. 2017. Produksi Bersih Pada Industri Pangan Berbasis Perikanan. Jurnal Ilmu pangan dan Hasil Pertanian. 1(1).
Jurnal Ilmu pangan dan Hasil pertanian
http://journal.upgris.ac.id/index.php/jiphp/article/view/1383
WHO and FAO 2012 Code of practice for fish and fishery products [Internet]. Second edi. 2012. Available from: http://www.fao.org/3/a-i2382e.pdf
FAO.ORG
http://www.fao.org/3/a-i2382e.pdf
Widiyanto RR, Karnila R, Ilza M. 2018. Analisis komposisi kimia tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepi-nus). Jurnal Online Mahasiswa. 1-7.
jom.unri.ac.id
file:///C:/Users/Windows7/Downloads/18156-35163-1-SM%20(1).pdf
WibowoS, Utomo BSB, Ward AR, Diei-Ouadi Y, Susana S, Suuronen P. 2017. Case studies on fish loss assess-ment of small-scale fisheries in Indonesia. FAO Fisheries and Aquaculture Circular, (C1129), I-114.
FAO.ord
http://www.fao.org/3/a-i6282e.pdf
Wijayanti I, Rianingsih L, Amalia U. 2018. Karakteristik fisikokimia kalsium dari tulang nila (Oreochromis niloti-cus) dengan perendaman belimbing wuluh. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 21(2): 336-344.
Semantic Scholar
https://www.semanticscholar.org/paper/Karakteristik-Fisikokimia-Kalsium-dari-Tulang-Nila-Wijayan-ti-Rianingsih/38145f31d2381915997f16006c9bbbf8d63bf84a
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 2017. Kajian kerangka pengaturan dan pengelolaan makanan ber-lebih di hotel, restauran dan jasa boga. Laporan Akhir.
https://assets.rikolto.org/paragraph/attachments/foodwasteprint.pdf
Younes I, Ghorbel-bellaj O, Nasri R, Chaabouni M, Rinaudo M. 2012. Chitin and chitosan preparation from shrimp shells using optimized enzymatic deproteinization. Process Biochemistry. 47: 2032-2039.
Scientific Research
https://www.scirp.org/(S(czeh2tfqyw2orz553k1w0r45))/reference/ReferencesPapers.aspx?Referen-ceID=1352226
Zapata ES, Amensour M, Oliver R, Zaragoza, EF, Casilda N, Lopez JF, Sendra E, Sayas E, Alvarez JAP. 2011. Quality characteristics of dark muscle from Yellowfin Tuna Thunnus albacares to its potential applica-
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
68
tion in the food industry. Journal Food and Nutrition Science 2: 22-30.
Scientific Research
https://m.scirp.org/papers/3640
Zetyra EI. 2013. Estimasi kehilangan beras (sisa dan tercecer) pada rumah tangga kelompok ekonomi menen-gah di kota Bogor. [Skripsi]. Bogor(ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Repositary IPB
https://www.google.com/search?safe=strict&biw=1366&bih=608&sxsrf=ACYBGNRN1a2wkfn-VeXdGskuYL0vOK_7xSg%3A1581167044779&ei=xLE-Xs3_Ls21rQGn_olo&q=Zetyra+EI.+2013.+Es-timasi+kehilangan+beras+%28sisa+dan+tercecer%29+pada+rumah+tangga+kelompok+e-konomi+menengah+di+kota+Bogor.+%5BSkripsi%5D.+Bogor%28ID%29%3A+Fakultas+E-kologi+Manusia%2C+Institut+Pertanian+Bogor.&oq=Zetyra+EI.+2013.+Estimasi+kehilangan+ber-as+%28sisa+dan+tercecer%29+pada+rumah+tangga+kelompok+ekonomi+menengah+di+ko-ta+Bogor.+%5BSkripsi%5D.+Bogor%28ID%29%3A+Fakultas+Ekologi+Manusia%2C+Institut+Per-tanian+Bogor.&gs_l=psy-ab.3..0i71l6.100571.100571..101618...0.7..0.0.0.......0....2j1..gws-wiz.X69nNv1AU-c&ved=0ahUKEwjN8aKggsLnAhXNWisKHSd_Ag0Q4dUDCAo&uact=5
Zhao WH, Chi CF, Zhao YQ, Wang B. 2018. Preparation, physicochemical and antioxidant properties of acid- and pepsin-soluble collagens from the swim bladders of Miiuy Croaker (Miichthys miiuy). Marine drugs. 16(5):161.
PupMed
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29757239
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
69
(30-60)%x FpProdx X 100LP =
Lampiran
Lampiran 1. Studi Kehilangan Pascapanen Padi (Purwanto 2005)
Susut Pangan (Food Loss) pada Tahap Produksi dan Panen (Purwanto 2005)
Susut pangan pada tahap produksi dan panen umumnya terjadi karena proses panen yang masih konvension-al sehingga banyak hasil panen yang tercecer. Setelah data sekunder diperoleh yaitu meliputi data produksi ikan di Indonesia dan data faktor koreksi kehilangan pada saat pemanenan menurut Purwanto (2005), maka perkiraan kehilangan pada saat produksi dan pemanenan dapat dihitung menggunakan formula. Kemudi-an akan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 30-60% (faktor konversi ikan menjadi produk) sehingga didapatkan estimasi kehilangan pada saat produksi dan pemanenan.
Keterangan :
LP : Kehilangan bobot ikan pada saat pemanenan (Juta ton ikan)
Prodx : Produksi ikan tahun-x (Juta ton)
Fp : Faktor koreksi kehilangan pada saat pemanenan (Ikan: ? ; Beras: 9.52 %)
30-60% : Faktor konversi bahan baku (ikan) menjadi suatu produk.
*Kecuali pada ikan teri (90-100 %) dan produk presto (90 %)
Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan pemanenan dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formula berikut.
KIP (g/kap/hari) = LP/JP/365Keterangan :
KIP : Kehilangan bobot ikan pada saat pemanenan (g/kap/hari)
LP : Kehilangan bobot ikan pada saat pemanenan (Juta ton GKP)
JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
70
(40-60)%x FpProdx X 100LPe
(40-60)%x FpProdx X 100LPen
Susut Pangan (Food Loss) pada Tahap Penanganan (Purwanto 2005)
Susut dapat terjadi selama proses penanganan atau sortasi karena tidak dapat memenuhi standar kual-itas. Perhitungan perkiraan susutnya dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Keterangan :
LP : Kehilangan bobot ikan pada saat pemanenan (Juta ton ikan)
Prodx : Produksi ikan tahun-x (Juta ton)
Fp : Faktor koreksi kehilangan pada saat penanganan (4.78%)
40-60% : Faktor konversi bahan baku (ikan) menjadi suatu produk.
Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan penanganan dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formula berikut.
KIPe (g/kap/hari) = LN/JP/365Keterangan :
KIPe : Kehilangan bobot ikan pada saat penanganan (g/kap/hari)
LN : Kehilangan bobot ikan pada saat penanganan (Juta ton ikan)
JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa)
Susut Pangan (Food Loss) pada Proses Penyimpanan (Purwanto 2005)
Susut terjadi karena adanya serangan hama, jamur, dan penyakit di gudang penyimpanan. Perhitungan perkiraan susutnya dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
LPen : Kehilangan bobot ikan pada saat penyimpanan (Juta ton ikan)
Prodx : Produksi ikan tahun-x (Juta ton)
Fp : Faktor koreksi kehilangan pada saat penyimpanan (2.13%)
40-60% : Faktor konversi bahan baku (ikan) menjadi suatu produk.
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
71
Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan penyimpanan dalam dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formula berikut:
LPen (g/kap/hari) = LPN/JP/365
Keterangan :
LPen : Kehilangan bobot ikan pada saat penanganan (g/kap/hari)
LPN : Kehilangan bobot ikan pada saat penanganan (Juta ton ikan)
JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa)
Susut Pangan (Food Loss) pada Proses Pengolahan dan pengemasan (Purwanto 2005)
Susut pada tahap pengolahan dan pengemasan terjadi karena kurang efisienya peralatan produksi se-hingga rendemen rendah. Perhitungan perkiraan susutnya dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
LG = Prodx X Fg
Keterangan :
LG : Kehilangan bobot ikan pada saat pengolahan (Juta ton bobot ikan) Prodx : Produksi ikan ta-hun-x (Juta ton)
Fg : Faktor koreksi kehilangan pada saat pengolahan (2.19 %)
Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan pengolahan dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formula berikut:
KIP (g/kap/hari) = LG/JP/365
Keterangan :
KBK : Kehilangan bobot ikan pada saat pengolahan (g/kap/hari)
LG : Kehilangan bobot ikan pada saat pengolahan (Juta ton ikan)
JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa)
Setelah didapatkan kehilangan bobot ikan dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan per-hitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari kehilangan pada saat pengolahan. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita:
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
72
KEP (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KIP/100 x Ei
Keterangan :
KEP : Kehilangan energi pada saat pengolahan (kkal/kap/hari)
BDD : Berat yang dapat dimakan (Edible portion)
KIP : Kehilangan pada saat pengolahan (g/kap/hari)
Ei : Kandungan energi beras (Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
KPP (g/kap/hari) = BDD/100 x KIP/100 x Pi
Keterangan :
KPP : Kehilangan protein pada saat pengolahan (gram/kap/hari)
BDD : Berat yang dapat dimakan (Edible portion)
KIP : Kehilangan pada saat pengolahan (g/kap/hari)
Pi : Kandungan protein ikan (Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Susut Pangan (Food Loss) pada Tahap Distribusi dan Pemasaran (Purwanto 2005)
Susut pada tahap ini terjadi karena produk yang tidak memenuhi standar kualitas atau estetika ataupun karena sudah melewati batal tanggal kadaluarsa. Perhitungan perkiraan susutnyadapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
LD =[(Prodx X (20-40)%) + I] X Fk
Keterangan :
LD : Kehilangan beras saat distribusi produk perikanan (Juta ton produk)
Prodx : Produksi ikan tahun-x (Juta ton)
20-40% : Faktor konversi ikan menjadi suatu produk
I : Impor produk perikanan (Juta ton produk)
Fk : Faktor koreski kehilangan pada saat distribusi produk (1.5%)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
73
Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan distribusi dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut:
KPID (g/kap/hari) = LD/JP/365
Keterangan :
KPID : Kehilangan produk perikanan pada saat distribusi (g/kap/hari)
LD : Kehilangan produk perikanan pada saat distribusi (Juta ton produk)
JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa)
Perkiraan Total Susut (Loss) Produk Perikanan di Indonesia (Purwanto 2005)
Setelah nilai kehilangan pada saat distribusi produk didapatkan, maka selanjutnya dilakukan perhitun-gan total perkiraan food loss komoditas produk perikanan di Indonesia dengan formula sebagai berikut :
KPIT (g/kap/hari) = Total/JP/365
Keterangan :
KPIT : Total kehilangan beras (g/kap/hari)
JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa)
Perkiraan Limbah Pangan (Food Waste) Produk Perikanan pada Saat Konsumsi di Rumah Tangga (Zetyra 2013).
Setelah data sekunder yang dibutuhkan untuk menghitung perkiraan limbah pangan (food waste) pada tahap konsumsi diperoleh maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula berikut :
WRT = Kehilangan (g/kap/hari) X Jumlah penduduk
Keterangan :
WRT : Food waste komoditas produk perikanan pada tahapan konsumsi di rumah Tangga (Ribu Ton)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
74
Dapat juga dilengkapi berdasarkan metode yang dilakukan oleh Pamela et al. (2019), sebagai berikut:
Studi ini dapat mengeneralisasi sebuah evaluasi. Nilai limbah (Value Waste atay WV) dipengaruhi oleh jumlah balita (FMTO), jumlah anak-anak (FMKI), jumlah remaja (FMTE), jumlah orang dewasa (FMAD), pendapatan (INCO), ketertarikan pada program makanan khusus (IoSPF), jarak antara tempat sampah umum dan rumah (DIST), pengetahuan tentang limbah makanan (KNOW), catatan belanja (REC), frekuensi limbah makanan (FWAST), frekuensi memasak (FCOOK), frekuensi menghangatkan makanan yang dimasak hari sebelumnya (FEAT), frekuensi memesan makanan dari restoran atau kafe (FORDER), ukuran rumah tangga (HHS), jenis kelamin (SEX), berat badan (WS), frekuensi membeli makanan segar (FBUY), periode puasa (FASTING), dan pekerjaan (JOB). Studi dapat dilakukan dengan menggunakan multiregresi linear (multiple linear regression).
Lampiran 2. Rata-rata Produksi Hasil Samping Industri Pengalengan TTC pertahun (periode 2010-2018)
Keterangan: Jumlah bahan baku merupakan rata-rata produksi setiap komoditas dari tahun 2010-2018. Data merupakan hasil olahan dari statistik-KKP (http://statistik.kkp.go.id/v2/home.php?m=total&i=2)
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA: SUATU ANALISIS PEMETAAN
75
Referensi: 1. BPS. (2019). Konsumsi Protein dan Kalori Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 2 (Vol. 2). Biro Pusat StaskCharles, A. T. (2001).
Sustainable fishery systems. Blackwell Science.
2. Cohrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate Change Implicaon for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scienfic Knowledge. (No. 530; FAO Fisheries Tecnical Paper, p. 212). FAO.
3. Ditjen Kesmas. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan RI.
4. Direktorat Pemasaran, Dit.Jen PDSKP, KKP, 2018. Peta Kebutuhan Ikan Berdasarkan Preferensi Konsumen Rumah Tangga Tahun 2017.
5. Ditjen PDSPKP (2020). Pedoman Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan
6. Gordon, D. T. (1988). Minerals in seafoods: Their bioavailability and interacons. Food Technology, 42(5), 156–160.
7. Habibie, Y., Fahmi, I., Kusuma, B., Wulandari.E. (2020). Studi Kualitaf: Penelian Formaf Prakk Penanganan Ikan dan Persepsi Konsumsi Ikan di Rumah Tangga dalam Rangka Intervensi Perubahan Perilaku untuk Perbaikan Status Gizi di Kota Probolinggo. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.
8. Mut (2015), Susut Hasil Panen Perikanan Capai Rp. 30 Triliun. Selasa, 3 November 2015. Berita Satu. h�ps�//www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliun
9. Nurhasan, M and Purnama, R.C. (2019). Poor Fishery Management Costs Indonesia $7 Billion per Year. The Conversaon, May 13, 2019. h�ps�//theconversaon.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671
10. Sikorski, Z. E., Kolakowska, A., & Pan, B. S. (1990). The nutrive composion of the major groups of marine food organisms. In Z. E. Sikorski (Ed.), Seafood: Resources, Nutrional Composion and Preservaon (pp. 29–54). CRC Press, Inc.
11. Wibowo, S., Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p. 4). Balai Besar Penelian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p�//kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf
15%
9%
2%
6%
8,2%
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo -dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
� �Kajian ini dilakukan dengan dukungan dana dari Global Alliance for Improved Nutrion
(GAIN)
Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI)Wisma Abadi Lantai 4 Ruang AIE
Jl. Balikpapan No. 31, Petojo Selatan, Kec. GambirJakarta Pusat, DKI Jakarta 10160
Email: [email protected]: 021-38900386
Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia(JP2GI)
Gedung Wisma Abadi, 4 Ruang AIE Jl. Balikpapan no.31 Petojo Selatan, Kec. Gambir, Jakarta Pusat 10160
+6221 3844306
h�p://www.jp2gi.org
��Kajian ini dilakukan dengan dukungan dana dari
Global Alliance for Improved Nutrion(GAIN)SUATU ANALISIS PEMETAAN
SUSUT DAN LIMBAH PANGAN BERGIZI SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA:
JEJARING PASCA-PANEN UNTUK GIZI INDONESIA (JP2GI)2020
Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. Atqiya Nur'Assyfa Gressty Sari Br Sitepu Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si. Gevbry Ranti Ramadhani Simamora