SUSUNAN REDAKSI JURNAL SEJARAH INDONESIA · Nurman Candra Setiansyah yang membahas dampak wabah flu...
Transcript of SUSUNAN REDAKSI JURNAL SEJARAH INDONESIA · Nurman Candra Setiansyah yang membahas dampak wabah flu...
SUSUNAN REDAKSI JURNAL SEJARAH INDONESIA
Pimpinan Redaksi : Prof. Nawiyanto (UNEJ) Sekretaris : Dr. Nurul Umamah (UNEJ)
Reviewer : Dr. Purnawan Basundoro (UNAIR)
Prof. Dr. Hariyono (UM) Prof. Dr. Wasino (UNNES) Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono (UNDIP) Dr. Sri Margana (UGM)
Prof. Dr. AjadSudrajad (UNY) Prof. Dr. Hermanu Soebagjo (UNS) Dr. Budi Agustono (USU) Dr. Ida Liana Tanjung (UNIMED) Dr. Bambang Sulistyo (UNHAS) Dr. Linda Sunarti (UI) Prof. Dr. Machasin (UIN Sunan Kalijaga) Prof. Dr. RezaDienaputra (UNPAD) Prof. Dr. H. Ali Mufrodi, M.A. (UIN Sunan Ampel) Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. (UIN Syarif Hidayatullah)
Redaksi Pelaksana : Rully Putri Nirmala Puji, S.Pd., M.Ed. (UNEJ) Muhamad Shokheh, M.A. (UNNES) Rabith Jihan Amaruli, M.Hum. (UNDIP) Ilham Daeng Makkelo, M.A. (UNHAS)
Jurnal ini diterbitkan oleh Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia (PPSI) dengan durasi terbitan dua kali setahun pada bulan Mei dan November. Redaksi menerima tulisan dalam bidang penelitian sejarah dan pendidikan sejarah oleh para dosen peneliti dan peminat sejarah untuk diterbitkan dalam jurnal ini
Email : [email protected]
PENGANTAR REDAKSI
Melalui perjalanan panjang dan penuh warna, penerbitan media publikasi sejarah sebagai
salah satu perwujudan kolaborasi kelembagaan program studi sejarah seluruh Indonesia
akhirnya dapat menjadi kenyataan. Media publikasi dengan nama Jurnal Sejarah
Indonesia (JSI) hadir di hadapan sidang pembaca sebagai salah satu wujud kerjasama di
bidang akademis dalam dunia kesejarahan. Kehadiran JSI merupakan realisasi dari
program kerja Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia (PPSI), yang diamanatkan oleh
seluruh program studi yang secara kelembagaan menjadi anggota dan menopang
keberadaan perkumpulan profesi sejarah. Melalui penerbitan ini diharapkan jalinan
kerjasama dapat semakin meningkat dan lebih produktif dalam memajukan pengkajian
maupun pengajaran subyek sejarah di Indonesia.
Dalam terbitan edisi perdana ini, JSI menyapa sidang pembaca dengan menyajikan
tulisan-tulisan yang dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yakni historiografi,
(re)konstruksi sejarah, dan didaktika sejarah. Kelompok pertama dengan tema historiografi
hadir melalui tiga tulisan. Tulisan Nawiyanto mengupas pembaharuan historiografi yang
diperjuangkan oleh Aliran Annales yang berawal dari Perancis dan kontribusinya dalam
perkembangan pengkajian sejarah. Tulisan Susanto Zuhdi memetakan perkembangan
historiografi maritim di Indonesia dengan menekankan aspek teoretis, metodologis dan
bahan-bahan pendukungnya, serta mengiskhtisarkan arah dan agenda riset historiografi
maritim Indonesia ke depan. Tulisan ketiga oleh Ivan R.B. Kaunang, yang membahas
tantangan dan peluang dalam pengembangan historiografi (seni) tari Maengket Minahasa
dengan fokus utama terarah pada persoalan sumber dan strategi pemecahannya.
Dalam kelompok kedua yang bisa disebut sebaga sejarah subtantif, tersaji tulisan-
tulisan yang merupakan hasil (re)konstruksi sejarah yang dikerjakan peneliti sejarah sesuai
dengan minat dan perhatian mereka. Tulisan-tulisan dalam kelompok ini cukup beragam.
Tulisan Dhanang Respati Puguh mengkaji perjalanan karier dan perjuangan Nyi Suharni
Sabdowati untuk diakui eksistensinya dalam dunia seni pedhalangan. Tulisan Agus
Suwignyo dan Baha’Uddin membahas implikasi pemindahan ibukota Kabupaten Madiun
bagi upaya menemukan kembali posisi penting Caruban yang pernah (di)hilang(kan).
Sementara itu, tulisan Retno Winarni menyoroti pasang surut sumber penghasilan bupati
di Karesidenan Besuki masa kolonial dan adaptasi yang mereka lakukan terhadap
perubahan sumber dan besaran penghasilan. Dengan fokus pada era yang lebih
kontemporer dan kelompok masyarakat biasa, tulisan IG Krisnadi dan Dewi Salindri
mendiskusikan kondisi sosial-ekonomi dan cara-cara yang dilakukan masyarakat pinggiran
kawasan hutan Meru-Betiri untuk menopang kehidupannya. Berikutnya adalah tulisan
Nurman Candra Setiansyah yang membahas dampak wabah flu burung dan upaya
pengendaliannya di Jawa Timur. Dalam perspektif historis makro, tulisan Sri Ana
Handayani menyoroti transformasi makna dan perubahan orientasi nasionalisme Indonesia
dari era kolonial hingga era reformasi. Kelompok terakhir adalah tulisan bertema didaktika
sejarah, tersaji melalui tulisan Y.R. Surbakti yang mengargumentasikan perlunya
revitalisasi pembelajaran sejarah melalui novel-novel sejarah untuk membuat agar
pengajaran sejarah di sekolah-sekolah menjadi lebih menarik bagi siswa.
Secara realistis harus diakui bahwa penerbitan edisi perdana JSI merupakan
langkah awal yang diambil dengan gelayutan banyak pertanyaan tentang kesinambungan
penerbitannya. Banyak jurnal sejarah yang dikelola secara institusional oleh program studi
maupun himpunan yang telah terbit, namun tidak sedikit yang terengah-engah atau mati-
suri, meskipun semua mengakui penerbitan jurnal merupakan bagian penting atau bahkan
pilar yang menopang kehidupan akademis. Realitas ini menyadarkan pengelola JSI akan
pentingnya komitmen dan vitalnya dukungan secara nyata dalam beragam bentuk baik
dari Pengurus PPSI maupun semua prodi yang menjadi anggotanya. Tanpa komitmen dan
dukungan nyata mereka, terbitan perdana ini dipastikan akan langsung terjerembab dalam
problem klasik tentang kesinambungan penerbitannya. Semoga setelah edisi perdana ini,
edisi-edisi berikutnya dapat menyusul secara teratur sehingga perkembangan dalam riset
dan pengajaran sejarah dapat didokumentasi dan dideseminasikan kepada audiens dengan
jangkauan yang lebih luas.
DAFTAR ISI
Judul dan penulis Halaman
Sumbangan Aliran Annales Dalam Pengkajian Sejarah Nawiyanto
1-16
Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori, Metodologi dan Sumber Sejarah: Suatu Pemetaan dan Arah Perkembangan Susanto Zuhdi
17-44
Kearah Penulisan Sejarah (Seni) Tari Maengket: Tantangan Ketersediaan Historiografi Ivan R.B. Kaunang
45-59
Menjadi Seperti Dhalang Laki-Laki: Kiprah Nyi Suharni Sabdowati dalam Dunia Seni Pedhalangan Dhanang Respati Puguh
60-79
Politik Pemerintahan Dan Kebijakan Atas Ruang Dalam Penetapan Ibukota-Baru Kabupaten Madiun: Menemukan Posisi Caruban 1830—2017 Agus Suwignyo dan Baha’Uddin
80-103
Raja Kecil Yang Menjadi Pegawai Pemerintah: Pasang Surut Penghasilan Para Bupati di Karesidenan Besuki Pada Periode 1870-1930-An Retno Winarni
104-130
Dalam Kemurahan Hutan Meru Betiri: Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Penyangga Hutan Meru Betiri tahun 1972-1997 IG Krisnadi dan Dewi Salindri
131-156
Pengendalian Wabah Flu Burung Di Provinsi Jawa Timur Periode 2004-2012 Nurman Candra Setiansyah
157-174
Adaptasi dan Perubahan Nasionalisme di Indonesia Sri Ana Handayani
175-189
Revitalisasi Pembelajaran Sejarah Melalui Kajian Novel Sejarah YR Surbakti
190-208
1
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
SUMBANGAN ALIRAN ANNALES DALAM PENGKAJIAN SEJARAH
Nawiyanto
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Pos-el: [email protected]
ABSTRACT This article examines the Annales school of history. It looks at the background, central figures in the movement, and its influences on the historiography. It is argued that the Annales school fought against the established forms of French historiography dominated by narrative form of political history and made efforts to develop a new kind of history which was more human. In their movement, the Annales scholars called for a close collaboration between history and the other social sciences. This collaboration has brought the Annales to achieve a great success in widening the territory of history by introducing new topics, new sources, and new questions. However, the Annales has been less successful in materializing its ideal of a more human history because some works of Annales scholars has paid too much attention to the inhuman dynamics of structure and conjuncture or even history without human. Keywords: Annales historians, new historiography, contribution, non-political history
ABSTRAK
Artikel ini membahas aliran sejarah Annales. Pembahasan diarahkan pada latar-belakang kemunculannya, tokoh-tokoh kunci dalam gerakan Annales, dan pengaruhnya terhadap historiografi. Dikatakan bahwa aliran Annales memperjuangkan bentuk historiografi Perancis yang mapan yang didominasi oleh bentuk naratif sejarah politik dan melakukan upaya untuk mengembangkan jenis sejarah baru yang lebih manusiawi. Dalam gerakan mereka, para ilmuwan Annales meminta adanya kolaborasi yang erat antara sejarah dan ilmu sosial lainnya. Kolaborasi ini telah membawa Annales meraih sukses besar dalam memperluas wilayah sejarah dengan memperkenalkan topik baru, sumber baru, dan pertanyaan baru. Namun, Annales kurang berhasil mewujudkan cita-citanya tentang sejarah yang lebih manusiawi karena beberapa karya sarjana Annales telah memberi perhatian terlalu besar terhadap dinamika struktur dan konjungtur manusiawi atau bahkan sejarah tanpa manusia. Kata kunci: sejarawan Annales, historiografi baru, kontribusi, sejarah non-politik
2 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 PENDAHULUAN
Sejarah sebagai studi masa lalu telah mengalami perkembangan yang panjang sejak
zaman klasik ketika Herodotus, bapak sejarah, melakukan upaya serius untuk
membebaskan penulisan sejarah dari dominasi elemen mitos (Gay and Cavanaugh,
1972a:2-3). Upaya ini dilanjutkan oleh Thucydides yang mengembangkan metode kritis
untuk mencapai tulisan sejarah yang lebih akurat. Thucydides, yang sering disebut
sebagai bapak sejarah politik, terkenal dalam upayanya untuk meneliti sumber sejarah
kritis yang dikumpulkan dari para saksi mata. Upaya ini dilakukan dengan menerapkan
teknik cek-silang (cross check) yang sangat penting untuk membangun bukti yang dapat
dipercaya (Gay and Cavanaugh, 1972a:56). Kedua sejarawan perintis telah meletakkan
dasar studi ilmiah tentang sejarah.
Pada periode modern, sejumlah orang juga telah memberikan kontribusi
signifikan terhadap studi sejarah. Sehubungan dengan metode historis, penting untuk
menyebutkan tokoh seperti Lorenzo Valla dan Jean Mabillon yang menekankan sikap
kritis dalam memperlakukan sumber-sumber sejarah. Pentingnya kritik teks, yang
merupakan elemen kunci dalam sejarah kritis, sangat disumbang oleh Valla yang
berhasil mengungkapkan mitos sejarah dalam dokumen gereja (Gay and Cavanaugh,
1972b:1-2). Sementara itu, Mabillon mengembalikan metode sejarah dengan
memperkenalkan diplomatik, sebuah ilmu untuk menentukan otentisitas dokumen.
Menurut Mabillon, penulisan sejarah harus didasarkan pada sumber asli yang telah lulus
melewati serangkaian tes kritis (Gay and Cavanaugh, 1972b:161-162; Kartodirdjo,
1992: 16,128). Hal ini telah merevolusi studi sejarah terutama dalam apa yang sering
disebut sebagai praktik penulisan sejarah.
Dengan adanya revolusi historis tersebut, sebuah asumsi dapat dengan mudah
muncul bahwa tidak perlu lagi ada pembaharuan sejarah. Anggapan demikian kurang
tepat seperti yang ditunjukkan, misalnya, dengan perkembangan aliran sejarah Annales
yang pada awalnya dikembangkan sebagai tanggapan kritis terhadap historiografi yang
telah mapan. Menyebut Annales sebagai 'aliran' sebenarnya juga bermasalah karena
mengandaikan adanya keseragaman suara dalam kelompok ini. Kenyataannya di antara
anggota aliran Annales ada penekanan dan minat yang heterogen dan juga beberapa
generasi telah terlibat dengan kelompok ini. Dengan kata lain, kinerja internal aliran
3 Annales tidak secara simplistis sebagai kelompok homogen yang memiliki satu wajah.
Oleh karena itu, istilah 'aliran' di sini secara longgar digunakan untuk menyebut
sekelompok ilmuwan berbasis Prancis yang memiliki pandangan dan komitmen umum
untuk mengembangkan jenis sejarah baru yang melampaui sejarah politik konvensional
dengan menerapkan pendekatan interdisipliner.
Artikel ini berusaha untuk menguraikan kondisi yang merupakan latar belakang
munculnya aliran Annales. Untuk memahami aliran Annales sebagai sebuah reformasi
di bidang studi sejarah, masuk akal untuk meneliti mengenai keadaan tulisan dan
pemikiran sejarah yang telah terdahulu ada yang ditentang oleh aliran Annales. Hanya
dengan cara ini, dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang aliran Annales
sebagai antitesis terhadap pandangan dan bentuk historiografi yang mapan. Selanjutnya,
juga penting untuk membahas masalah teoretis yang diangkat oleh aliran Annales. Pada
artikel ini, penilaian umum sejauh mana aliran Annales berhasil dalam menangani isu
teoretis yang diangkat juga diberikan.
Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode sejarah yang secara umum
meliputi empat tahap pokok, yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan
historiografi. Sumber penulisan yang dikumpulkan dalam tahap heuristik meliputi
sumber sekunder berupa publikasi yang telah ada dan dilakukan terutama di Menzies
Library, The Australian National Univesity. Informasi yang tersaji dalam sumber-
sumber yang terkumpul didalami dan disikapi secara kritis untuk mendapatkan fakta-
fakta yang dipandang kredibel. Berbagai fakta yang didapat kemudian ditafsirkan dan
disusun menjadi sebuah argumentasi untuk menjelaskan dan menjawab pokok
permasalahan yang telah dirumuskan.
PEMBAHASAN
1. Reaksi terhadap Sejarah Politik Konvensional
Reformasi historis yang dipimpin oleh Ranke telah berkontribusi tidak hanya pada
pembentukan sejarah sebagai profesi modern, namun juga menempatkan sejarah politik
sebagai perhatian utama dalam penulisan sejarah (Powell 1990:xv). Meskipun minat
Ranke tidak terbatas dalam sejarah politik, kampanyenya untuk merekonstruksi sejarah
karena apa yang sebenarnya terjadi (wie est eigentlich gewesen ist) lebih sesuai dengan
4 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 sejarah semacam ini. Di tangan pendukungnya yang dikelompokkan sebagai aliran
Rankean, tulisan sejarah identik dengan historiografi yang berorientasi pada negara
(Mommsen,1990: 124,139). Penekanan pada bahan arsip sebagai sumber sejarah, tidak
hanya bertanggung jawab atas ketidaktahuan akan sejarah sosial dan budaya, namun
juga menempatkannya pada posisi perifer. Akibatnya, dalam gerakan untuk membuat
sejarah lebih profesional, sejarah non-politik cenderung dikecualikan dari kalangan
akademisi. Perhatian terutama diberikan pada sejarah politik yang berkaitan dengan
peristiwa besar, hubungan diplomatik dan negara (Burke, 1990:7)
Kecenderungan itu juga terjadi di Prancis dimana dominasi sejarah politik
konvensional sangat dirasakan oleh Febvre dan Bloch. Baik Febvre dan Bloch melihat
bahwa studi historis di Prancis yang didominasi oleh Sorbonnistes mengalami stagnasi
yang ditunjukkan oleh kurangnya inovasi dibandingkan dengan studi sejarah di Inggris
dan Amerika Serikat (Hexter, 1979:64-65). Meskipun jumlah sejarawan dan buku
sejarah yang diterbitkan secara kuantitatif masih mengalami peningkatan, perhatian
utama diberikan secara sempit pada dimensi politik. Menghadapi situasi ini, mereka
berusaha mengembalikan tulisan sejarah di Prancis dan mewujudkan obsesi ini dan pada
tahun 1929 mereka mendirikan sebuah jurnal bernama Annales d'histoire economique et
sociale (Ricoeur, 1980:8).
Oleh karena itu, perkembangan aliran Annales pertama-tama harus dilihat
sebagai pemberontakan terhadap dominasi sejarah politik yang berfokus terutama pada
peristiwa besar (Burke, 1990:2). Tulisan sejarah konvensional semacam ini dipandang
kurang memuaskan karena kegagalannya untuk memberikan pemahaman yang memadai
mengenai kompleksitas realitas historis. Kenyataan masa lalu tidak hanya memuat
perang, hubungan diplomatik, orang-orang hebat, kebijakan politik, dan negara, namun
juga menganut aspek ekonomi seperti kepemilikan tanah, pertanian, perdagangan; aspek
sosial seperti kategori sosial mulia, petani, dan pekerja, hubungan kelas antara mereka;
dan aspek budaya seperti kesadaran, religiusitas, mentalitas. Singkatnya, realitas historis
jauh lebih rumit daripada sekedar isu-isu politik.
Gerakan Annales berkomitmen untuk mengalihkan perhatian para sejarawan dan
kepentingan dan membawa mereka menjauh dari sejarah politik yang sempit menuju
'sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi' (Bloch, 1976:v). Dengan kata lain, aliran
Annales ingin mengganti fokus sejarah agar bisa lebih merepresentasikan kompleksitas
5 realitas manusia di masa lalu. Meskipun kritik semacam itu pada dasarnya tidak asli ke
aliran Annales --- seperti juga yang ditemukan pada gagasan Sainte-Beuve dan Michelet
sebelumnya, kepada siapa Febvre dan Bloch berutang --- kritik yang diajukan oleh
Annales sangat kuat dan membentuk gerakan kolektif. berlangsung dalam waktu yang
relatif lama dan merangkul setidaknya tiga generasi.
Kritik mereka secara khusus ditujukan kepada Langlois dan Seignobos yang
sering diidentifikasi sebagai simbol bentuk historiografi Prancis yang mapan (Burke,
1990:10). Baik Febvre dan Bloch memberikan reaksi terhadap pandangan sejarah yang
mapan yang tercermin dalam pendahuluan aux etudes historiques oleh Langlois dan
Seignobos, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai Introduction of Study of
History. Febvre mempublikasikan reaksinya di Combats pour l'histoire, sementara
kritik Bloch dipublikasikan di Apologie pour l'histoire ou metier. Secara umum, kritik
mereka ditujukan kepada apa yang mereka sebut 'historisasi sejarah' atau 'sejarah
positivis' (Riceour, 1980:80; Gay and Cavanaugh, 1975:107).
Menurut Ricoeur, istilah 'positivis' yang digunakan dalam konteks itu tidak
merujuk pada filsafat positivis Comte, tetapi pada serangkaian konotasi. Hal ini
terutama terkait dengan objektivitas historis, pengamatan netral, kritik terhadap
dokumen, fakta sejarah siap pakai, bentuk sejarah naratif-kronologis, sejarah orang-
orang besar, dan individualisme metodologis (Riceour, 1980:80). Annales bertempur
melawan apa yang Simian sebut sebagai 'berhala dari suku sejarawan'. Menurut Simian,
tiga berhala yang pokok yang secara kronis menginfeksi sejarawan adalah berhala
politik yang melebih-lebihkan pentingnya peristiwa politik, berhala individu yang hanya
menekankan pada orang-orang hebat, dan berhala kronologis yang menyebabkan
perangkap narativisme (Burke, 1990:2). Kelemahan-kelemahan ini merupakan target
menengah yang Ecole des Annales menetapkannya sendiri sebagai tugas
pembongkaran. Sasaran selanjutnya pada dasarnya adalah mengembangkan jenis
sejarah baru.
Kelompok Annales mengkritik pandangan yang mapan karena terlalu
menekankan pentingnya dokumen dan karenanya mengabaikan peran penting
sejarawan. Langlois dan Seignobos berpendapat bahwa sejarah hanyalah pemanfaatan
dokumen (Langlois and Seignobos, 1966:316). Berbeda dengan pandangan ini, Bloch
menekankan peran sentral sejarawan dalam praktik sejarah, tidak hanya materi pokok
6 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 dan dokumen (Bloch, 1976:144). Bloch berpendapat bahwa sejarah bukan hanya
masalah pengumpulan, kritik dan penggunaan dokumen, dan fakta yang terkumpul akan
berbicara secara otomatis sendiri. Menurut Bloch, fakta sejarah belum tersedia secara
otomatis dalam dokumen dan juga sejarah belum ditulis dalam dokumen. Sejarawan
harus mengambil inisiatif untuk mengajukan pertanyaan yang serius kepada dokumen,
menganalisis dan mensintesis fakta yang terkumpul dengan konsepsi dan peralatan
mentalnya (Bloch, 1976:64).
Itu menjadi alasan mengapa Bloch tidak setuju dengan pandangan yang
mendefinisikan sejarah sebagai ilmu masa lalu (Bloch, 1976:22-27). Sejarah, menurut
Bloch, adalah ilmu manusia dalam waktu. Sejarawan memiliki posisi penting
sebagaimana tercermin dalam pernyataannya bahwa tidak ada sejarah, tetapi sejarawan.
Dengan semangat yang sama, Febvre mendefinisikan sejarah sebagai ilmu pengetahuan
masa lalu dan masa kini (Riceour, 1980:8-9). Pengamatan masa lalu, menurut Febvre,
selalu dipengaruhi oleh interferensi terus menerus antara masa lalu dan masa kini.
Peristiwa terkini dan pola kerjanya dapat digunakan untuk menjelaskan pengalaman
masa lalu dan sebaliknya. Ini juga sejajar dengan pandangan Bloch bahwa sejarah
adalah pengetahuan tentang rel yang ditinggalkan oleh semua aktivitas di masa lalu, dan
pengetahuan tentang masa lalu selalu disempurnakan dan diubah oleh interpretasi jejak
(Bloch, 1976:52-57; Du Boulay, 1967:x). Pengamatan netral, menurut Bloch, meski
mungkin, tidak pernah produktif bagi perkembangan sains (Bloch, 1976:65).
Aliran Annales juga bereaksi terhadap semangat spesialisasi dalam sejarah.
Semangat ini telah membagi sejarah menjadi topik dan periode yang sering dipisahkan
satu sama lain. Berbeda dengan pandangan mapan yang mendorong secara signifikan
spesialisasi dalam sejarah (Langlois and Seignobos, 1966:317-318), Aliran Analles
mengkritik pandangan ini sebagai sesuatu yang tidak realistis karena menciptakan
hambatan untuk mencapai pemahaman masyarakat manusia yang lebih baik.
Masyarakat manusia hanya dapat sepenuhnya dipahami melalui perlakuan holistik
mengingat adanya keterkaitan satu periode dengan periode lainnya dan satu aspek
dengan aspek lain. Oleh karena itu, Bloch berpendapat bahwa sejarah harus dipandang
secara keseluruhan (Strayer, 1976:ix). Kelompok Annales memperkirakan bahwa studi
ilmiah di masa lalu mencoba untuk mengungkapkan secara komprehensif dimensi multi
masyarakat manusia.
7
Dengan kata lain, aliran Annales menyarankan sejarawan untuk menulis sejarah
total yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan dan menghilangkan batas-batas
yang ada antara disiplin akademis untuk menciptakan ‘satu ilmu pengetahuan manusia'
(Hobsbawm, 1972:3-5; Green, 1993:170). Perhatian yang sempit terhadap apa yang
diremehkan Febvre sebagai sejarah yang berorientasi pada event, histoire
evenementielle (Gilderhus, 1996:123-124) hanya akan membahayakan posisi sejarah di
antara ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat manusia. Menyadari bahaya ini,
Annales mengeksplorasi dan mengembangkan jenis sejarah baru yang didukung oleh
ilmu sosial. Hasilnya adalah sejarah total, sejarah yang berorientasi pada masalah,
sejarah komparatif, sejarah psikologi, geo-sejarah, sejarah jangka panjang, sejarah
serial, antropologi sejarah (Burke, 1990: 110; Le Goff, 1972: 340).
Oleh karena itu, bentuk sejarah naratif harus ditinggalkan. Bentuk ini terutama
didasarkan pada garis kronologis (Langlois and Seignobos, 1966:310), dipandang oleh
kelompok Annales tidak cukup memadai karena kegagalannya untuk merepresentasikan
realitas historis secara keseluruhan. Model ini hanya memberikan pemahaman dangkal
tentang aspek deskriptif, bukan dimensi penyebab. Pemahaman yang lebih baik tentang
masyarakat masa lalu memerlukan bentuk penulisan sejarah analitis. Kelompok Annales
berpendapat bahwa ini tidak dapat dicapai dengan pendekatan individual, namun hanya
dengan pendekatan interdisipliner. Dalam konteks ini, sejarawan perlu meminjam
kerangka teoretis dari disiplin lain dalam menganalisis subyek mereka. Oleh karena itu,
logis bahwa Annales selalu mendorong kolaborasi yang erat antara sejarah dan ilmu
sosial lainnya seperti geografi, sosiologi, ekonomi, antropologi (Burke, 1990: 2, 110-
111). Kolaborasi ini dipandang sebagai instrumen vital untuk melengkapi sejarawan
dengan alat analisis yang tepat.
Aliran Annales telah menandai sebuah era baru dalam pengembangan
historiografi Prancis. Di bawah pengaruh Aliran Annales, historiografi Perancis telah
menunjukkan kontras yang mencolok dengan periode sebelumnya. Pengaruh aliran
Annales tidak hanya tersebar di Prancis, tapi juga di berbagai negara asing. Kenyataan
ini menjadi alasan bagi Burke untuk menyebut gerakan Annales sebagai revolusi
historiografi Prancis. Pernyataan serupa juga telah diberikan oleh seorang sejarawan
Indonesia yang menunjukkan bahwa penerapan pendekatan interdisipliner dalam sejarah
telah menandai dimulainya revolusi kedua dalam metodologi historis setelah revolusi
8 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 pertama dimulai dengan penerapan diplomatik yang diperkenalkan oleh Mabillon
(Kartodirdjo, 1992:128).
2. Fase Perkambangan Annales dan Tokoh-Tokohnya
Perkembangan Aliran Annales pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga fase, seperti
yang disarankan oleh Burke. Tahap pertama antara tahun 1920 dan 1945 ditandai oleh
sebuah pertarungan yang dipimpin oleh Bloch dan Febvre melawan ortodoksi penulisan
sejarah yang didominasi oleh sejarah politik, sejarah diplomatik dan sejarah orang-
orang hebat. Tahap kedua yang mencakup periode 1945-1968 terutama diwarnai oleh
Braudel yang mempromosikan konsep khas struktur dan konjungtur dalam sejarah
perubahan jangka panjang (Burke, 1990:2). Periode ketiga yang dimulai pada tahun
1969 ditunjukkan oleh pengaruh dominan Annales. Namun, dalam fase ini, fragmen
yang menjadi kepentingan kelompok Annales berlangsung. Terlepas dari mereka yang
masih melanjutkan perhatian yang sama dengan fase sebelumnya, beberapa anggota
telah mengalihkan perhatian mereka dari sejarah sosio-ekonomi ke sejarah sosio-
kultural. Bahkan, beberapa anggota telah menemukan antusiasme baru untuk
mempelajari sejarah politik (Burke, 1990:2-3).
Tiga tokoh terkemuka yang terkait dengan Aliran sejarah Annales adalah Lucien
Febvre, March Bloch dan Fernand Braudel. Angka-angka ini telah memberikan
kontribusi luar biasa terhadap prestise intelektual yang dinikmati oleh kelompok
Annales. Sumbangan tertentu kadang-kadang dikaitkan secara berbeda dengan masing-
masing karena perbedaan dalam kepentingan dan kepentingan utama mereka, walaupun
kenyataannya mereka dalam kerjasama yang erat sebagai gerakan kolektif untuk
mereformasi penelitian ini. Sejarah dan menempatkannya sebagai disiplin ilmiah.
memiliki posisi dan status paralel dengan disiplin akademis lainnya.
Febvre menikmati pendidikan tinggi di Ecole Normale Superieure yang
ceramahnya dilakukan dengan metode seminar. Pikirannya dipengaruhi oleh beberapa
tokoh seperti Bergson, Levy-Bruhl dalam filsafat, Maillet dalam linguistik, Bremon
tentang sastra dan Emie Male dalam sejarah seni (Burke, 1973:ix-x). Akan tetapi, Paul
Vidal de la Blache adalah tokoh terbesar yang sangat mempengaruhi Febvre dan
menarik perhatiannya pada geografi. Pengaruh ini tercermin dalam tesisnya, Philippe II
et la Franche-Comte (1911) tentang terutama dengan geografi sejarah. dan lingkungan
9 sosio-ekonomi. Ketertarikannya yang dalam pada geografi membuat dia mengeksplorasi
hubungan antara geografi dan sejarah dan sebagai salah satu hasilnya, Febvre (1925)
menerbitkan sebuah buku, A Geographical Introduction to History.
Karya itu menciptakan fondasi di mana aliran Annales memiliki akar
ketertarikan dan perhatian yang mendalam untuk mempertimbangkan lingkungan fisik
dalam studi sejarah. Meskipun Febvre menunjukkan pentingnya dimensi geografis dan
mendorong sejarawan secara aktif menulis sejarah geo, Febvre sendiri bukanlah
pendukung determinisme geografis. Pentingnya dimensi geografis juga digarisbawahi
oleh Braudel, dan saat ini, ini lebih populer dikaitkan dengan dia karena publikasi karya
monumentalnya di Dunia Laut Tengah.
Kontribusi Febvre sering dikaitkan dengan ketertarikannya pada psikologi
sosial. Dia menekankan secara konsisten pentingnya penjelasan psikologis dalam
sejarah (Manuel, 1972:215-217). Dalam studinya tentang reformasi, dia menunjukkan
bahwa sejarah agama bukanlah tentang institusi agama, tapi sejarah gagasan dan emosi
religius orang-orang yang terkait erat dengan perubahan ekonomi dan sosial. Oleh
karena itu, Febvre menantang gagasan reformasi yang hanya terkait dengan Luther dan
berbagai pelanggaran yang terjadi dalam kehidupan gereja. Menurut Febvre, reformasi
pada dasarnya merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan spiritual baru dari
kelompok sosial yang sedang naik daun, kaum borjuis. Sehubungan dengan ini, Febvre
telah berhasil menunjukkan kemampuannya untuk memanfaatkan karya seni dan sastra
Prancis yang tersedia. Dengan menggunakan sumber ini, Febvre berhasil
mengeksplorasi dan mengelaborasi kesadaran kolektif berdasarkan karakteristik mental
dan psikologis kelompok sosial (Burke, 1973:xii-xiii).
Penekanannya pada sejarah psikologis dapat ditemukan dalam berbagai karya.
Di antara karya-karyanya, The Problem of Unbelief in the Sixteenth Century, dipandang
sebagai karya monumental (Febvre, 1975:110-142). Karya-karyanya mengenai sejarah
psikologis, yang menunjukkan pengaruh Levy Bruhl, mencerminkan pendekatannya
yang dengannya Febvre memahami realitas historisnya. Pendekatan ini, menurut
Febvre, menjanjikan sejarawan dengan cara terbaik untuk memahami dunia sensibilitas
dalam kehidupan manusia. Dunia ini memeluk keyakinan, harapan, ketakutan, dan cinta
yang hanya bisa direkonstruksi oleh alat bantu psikologi, linguistik, antropologi, filsafat
dan menggunakan metode empati (Gay and Cavanaugh, 1975:107). Febvre memiliki
10 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 pengaruh signifikan terhadap gagasan pengembangan Foucault. Hal ini dapat ditemukan
setidaknya dalam perhatian Foucault tentang silsilah yang menunjukkan kemiripan
dengan sejarah mentalitas dan tren jangka panjang (Burke, 1990:102).
Sama seperti Bloch, Febvre juga memberi contoh pergeseran fokus analisis
historis dari individu ke entitas kolektif (Iggers, 1975:45-51), yang mencerminkan
secara kuat pengaruh Durkheim yang menggarisbawahi keunggulan masyarakat
daripada individu. Dengan pergeseran ini, aliran Annales telah memperlakukan berbagai
kelompok sosial yang sebelumnya diabaikan dalam tulisan-tulisan sejarah, secara adil
dan menghargai posisi mereka secara proporsional sebagai aktor sejarah yang
mengambil bagian dalam perubahan sejarah. Kelompok yang terlupakan mulai
dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam peristiwa dan proses sejarah. Jalannya
sejarah ditentukan tidak hanya oleh orang-orang hebat tapi juga orang biasa. Kesadaran
ini telah memberi akses untuk mengenali kemunculan pahlawan sejarah kolektif seperti
petani dan pekerja (Ricoeur, 1980:10). Dengan kata lain, orang biasa juga pembuat dan
agen perubahan historis.
Hampir sama dengan Febvre, Bloch sangat tertarik dengan sejarah dan geografi
saat memasuki Ecole Normal Superieure. Namun, Bloch juga tertarik dengan sosiologi
Durkheim, tidak seperti Febvre yang memiliki perhatian besar terhadap psikologi.
Dipengaruhi oleh Durkheim, Bloch menyadari nilai besar pendekatan interdisipliner
untuk mempelajari pengalaman masa lalu. Dia secara konsisten menekankan dan
memanfaatkan disiplin ilmu seperti geografi, sosiologi, arkeologi, sastra, antropologi,
dan psikologi kolektif. Dia memberikan contoh menarik tentang bagaimana
menggunakan cerita rakyat dan mitos dalam studinya tentang kekuatan magis raja.
Bloch telah menunjukkan kemampuannya dalam memperluas jangkauan bukti sejarah
dan memanfaatkannya dalam karyanya (Gay and Cavanaugh, 1975:131-132).
Studi Bloch tentang masyarakat feodal adalah analisis hubungan struktural di
dunia feodal. Dalam studinya, Bloch menganalisis secara komprehensif interaksi antara
lingkungan fisik, kondisi material, kesadaran kolektif dan mentalitas, dan institusi
sosial, hubungan kelas, dan organisasi politik yang berlaku di masyarakat feodal.
Berdasarkan berbagai bahan sejarah yang dilengkapi dengan jenis sumber baru yang
sebelumnya tidak pernah digunakan, penelitian ini mewakili dirinya sebagai karya
orisinil yang memberikan perspektif dan pendekatan baru untuk penelitian sejarah.
11 Selain itu, obsesi Bloch terhadap sejarah holistik melihat masyarakat manusia sebagai
satu kesatuan juga terwujud dalam karya ini. Berbeda dengan Marx yang
mendefinisikan masyarakat feodal sebagai mode produksi, Bloch memandangnya
sebagai bentuk masyarakat.
Dua kontribusi signifikan yang terkait dengan Bloch adalah perkembangan
sejarah pedesaan dan sejarah komparatif. Perhatian intensif Bloch terhadap teknik dan
teknologi agraris - bajak, penggilingan, rotasi tanaman, biji-bijian, praktik pertanian,
pola lapangan - dikombinasikan dengan prestasinya dalam menerapkan metode regresif
untuk menguraikan kondisi pedesaan pada periode abad pertengahan telah
menempatkannya sebagai ilmuwan perintis sejarah pedesaan Studi manusianya tentang
sejarah pedesaan adalah Les caracteres originaux de l'histoire rurale francaise, yang
diterbitkan dalam versi bahasa Inggris pada tahun 1966 (Bloch, 1966). Selanjutnya,
dengan karya komparatifnya tentang kekuatan magis raja, pergerakan harga ternak,
hubungan feodal, Bloch juga dapat diposisikan sebagai pelopor sejarah komparatif (Gay
and Cavanaugh, 1975: 132-133).
Pencapaian aliran Annales untuk menulis sejarah total, bagaimanapun, sangat
terkait dengan karya Braudel (1972-1973), The Mediterranean dan the Mediterranean
World in the Age of Philip II. Braudel membagi sejarah menjadi tiga lapisan yang
memiliki karakteristik berbeda. Lapisan pertama berkaitan dengan longue duree,
merangkul lingkungan fisik seperti iklim, pegunungan, sungai, laut, vegetasi, dan
interaksi manusia dengan mereka. Struktur pemeriksaan lapisan ini ditandai dengan laju
perubahan yang hampir tidak bergerak. Perubahan lapisan ini membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk diamati. Lapisan kedua difokuskan pada moyenne duree yang
berhubungan dengan konjungtur yang membahas tentang tren, siklus dan rythms dengan
durasi sedang. Dalam bagian ini Braudel meneliti sistem ekonomi, demografi, dan mode
peperangan. Lapisan ketiga - courte duree - berkaitan dengan kejadian - l'histoire
evenementielle - ditandai dengan perubahan yang cepat dan dramatis yang terjadi dalam
durasi yang sangat singkat.
Studi ini secara luas dan antusias dihargai tidak hanya oleh sejarawan, tapi juga
oleh sejumlah ilmuwan sosial lainnya. Karya Braudel adalah hasil kolaborasi aktif
antara sejarah dan disiplin lainnya. Sama seperti Bloch dan Febvre, Braudel menentang
metode individual dan menganjurkan sebuah bentuk penelitian kolektif yang mencakup
12 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 ilmuwan dari semua ilmu manusia (Braudel, 1980:25,34,52). Berdasarkan sumber
sejarah yang lengkap, karya itu merupakan studi monumental dan tak ada bandingannya
yang secara jelas menunjukkan pengaruh lingkungan fisik terhadap aktivitas manusia.
Gagasan ini terkadang salah diartikan sebagai determinisme geografis misalnya oleh
sejarawan Marxis (Iggers, 1975:70).
Pengaruh Braudel dapat diamati, misalnya, dalam pengembangan sejarah
daerah. Di antara para sejarawan, pengaruh Braudel dapat ditemukan dengan sangat
baik pada Reid (1988-1993) dalam karyanya sejarah total Asia Tenggara. Studi Braudel
sebagai model, lingkungan fisik disajikan di halaman awal, diikuti oleh penjelasan
mengenai kondisi material, budaya material, organisasi sosial dan kegiatan budaya.
Volume kedua karyanya berisi penjelasan tentang aktivitas perdagangan, revolusi
agama dan kehidupan politik di Asia Tenggara. Selain itu, karya serupa yang juga
menerapkan model Braudelian juga telah dilakukan oleh Gilberto Freyre dalam trilogi
tentang sejarah sosial Brasil yang berkembang dengan budaya keluarga dan material
(Burke, 1990:100-101).
Di luar departemen sejarah, pengaruh Braudel dapat ditemukan di kalangan
ilmuwan lingkungan. Penegasannya bahwa lingkungan fisik sangat mempengaruhi
aktivitas manusia, telah memberikan stimulus bagi perkembangan sejarah lingkungan
(Green, 1993:170-171;Gilderhus, 1996:124) Sementara itu, gagasan Braudel tentang
longe duree dan konjungsi memiliki relevansi tinggi dengan teori perubahan sosial.
Sebagai contoh, Philip Abrams sangat menghargai karya Braudel di dunia Mediterania
dan menggambarkannya sebagai contoh terbaik dari sosiologi sejarah analitis (Burke,
1990:103-104).
Pada generasi ketiga, salah satu kepentingan utama Annales adalah sejarah
kuantitatif. Hal ini sangat berorientasi pada studi kependudukan. Disumbang secara
substansial oleh Labrousse di generasi sebelumnya (Le Roy Ladurie,1979:20-21).
Pencapaian di bidang ini terutama terkait dengan Goubert dan Le Roy Ladurie. Studi
mereka tentang Beauvais et le Beauvaisis de 1600 a 1730 dan The Peasant of
Languedoc masing-masing telah memberikan kontribusi signifikan terhadap teori
perkembangan ekonomi dan gambaran kehidupan sehari-hari massa penduduk (Iggers,
1975:63). Selain mencerminkan dimensi konjungtif dari divisi sejarah Braudel, studi ini
juga merupakan contoh penting dari sejarah lokal (untuk diskusi teoretis sejarah lokal
13 lihat misalnya Goubert, 1977). Baik Goubert dan Le Roy Ladurie telah menghapus
lingkup historis dari tingkat regional Braudel di dunia Mediterania ke tingkat lokal di
distrik tertentu di Prancis.
Terlepas dari prestasi dalam memperluas teritoris sejarah, Annales hanya
memiliki sedikit kontribusi dalam hal teori sejarah. Kecuali satu karya Bloch, The
Historian's Craft, hampir tidak ada karya teori historis yang diterbitkan oleh sejarawan
Annales. Ini sejajar dengan pernyataan Clark bahwa sejarah Annales pada dasarnya
didasarkan pada filsafat tindakan daripada epistemologi (Clark, 1985:180). Lagipula,
meskipun Annales mendorong kolaborasi yang erat antara sejarah dan ilmu sosial
lainnya, namun teori-teori sosial tersebut belum secara substansial menggunakan teori
sosial dalam karya mereka. Tilly berpendapat bahwa upaya untuk menggunakan
pendekatan kuantitatif belum diikuti penerapan model ekonomi dalam menganalisis
data statistik. Demikian pula, Foster menyatakan bahwa aliran Annales belum membuat
inovasi metodologi historis yang revolusioner. Menurut Foster, tidak ada perbedaan
mencolok dalam penulisan sejarah ekonomi yang dilakukan oleh Annales dan bentuk
konvensionalnya (Ankersmit, 1985:180).
Obsesi Annales untuk menulis sejarah yang lebih manusiawi, tidak sepenuhnya
berhasil. Cipolla menyatakan bahwa beberapa anggota Annales terlalu memperhatikan
dinamika struktur manusia yang tidak manusiawi (Cipolla, 1991:61). Beberapa karya
sejarawan Annales bahkan mencerminkan 'sejarah tanpa fokus pada iklim, hujan, cuaca.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah tema baru, namun di sisi lain mereka
bertentangan dengan ideal untuk menulis sejarah yang lebih manusiawi. Selanjutnya,
tujuan untuk menulis sejarah total juga mengarah pada ketidakseimbangan dengan
hanya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi masa lalu. Hal ini sangat tercermin
dari fakta bahwa kepentingan utama sejarawan Annales adalah kehidupan material.
Sementara aspek politik telah diturunkan secara serius. Keberhasilan aliran Annales
dalam membuang tema politik sebenarnya memiliki sisi negatif yang bertentangan
dengan ideal aliran Annales untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
masyarakat manusia. Padahal, aspek politik juga penting. Tidak mungkin untuk
memahami sepenuhnya masyarakat manusia tanpa mempertimbangkan dimensi politik.
14 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 KESIMPULAN
Munculnya aliran Annales adalah reaksi terhadap ortodoksi historiografi Perancis yang
ditandai secara dominan oleh sejarah politik dan diplomatik yang berfokus pada
peristiwa dan orang-orang hebat, bentuk naratif penjelasan historis. Tidak ada keraguan
bahwa aliran sejarah Annales mencapai sukses besar dalam memperluas wilayah
sejarah. Sebagai gerakan kolektif, aliran ini tidak hanya membuka berbagai penelitian
sejarah yang sebelumnya diabaikan oleh sejarawan tradisional, namun juga
menunjukkan cara baru untuk menggunakan materi sejarah dan untuk merumuskan
pertanyaan baru tentang masa lalu. Kepentingan yang berkembang dalam sejarah
pedesaan, sejarah sosial dan ekonomi, sejarah komparatif, sejarah mentalitas, sejarah
total, dan sejarah kuantitatif terutama dikreditkan oleh aliran Annales. Perkembangan
ini sejalan dengan promosi Annales untuk membangun kolaborasi yang erat dengan
ilmu-ilmu sosial lainnya yang akan melengkapi sejarawan dengan alat dan kerangka
teori yang lebih baik untuk menganalisis masalah-masalah mereka. Sayangnya, belum
ada upaya serius di kalangan ilmuwan Annales untuk menerapkan teori sosial secara
sistematis dalam pekerjaan mereka.
Annales juga sangat berhasil membongkar isu politik dari fokus sejarah. Hal ini
disertai dengan pencapaian subtitusi bentuk naratif deskriptif sejarah dengan bentuk
sejarah yang lebih analitis. Sejarah historiografi Annales sukses besar dalam
menjelaskan perubahan jangka panjang dan menengah yang terjadi di lingkungan fisik
dan ekonomi. Namun, keberhasilan ini tidak tercapai tanpa biaya. Reaksi berlebihan
terhadap dimensi politik menyebabkan kurangnya wawasan politik dalam sejarah
historiografi Annales. Biaya ini merupakan harga yang cukup mahal karena pada
kenyataannya, memisahkan aspek politik dari kompleksitas aktivitas manusia hampir
tidak mungkin. Pada titik ini, dapat dinilai bahwa Annales belum sepenuhnya berhasil
mewujudkan sejarah manusia yang lebih banyak. Dalam mencapai cita-citanya tentang
sejarah yang lebih manusiawi, Annales telah jatuh ke dalam kelemahan lain. Beberapa
karya kelompok Annales bahkan telah menunjukkan kecenderungan sejarah tanpa
manusia.
15 DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: PT Gramedia.
Bloch, M. 1966. French Rural History: An Essay on its Basic Characteristics.
Berkeley: California University Press.
Bloch, M. 1967. Feudal Society. London: Routledge.
Bloch, M. 1967. Land and Work in Medieval Europe. London: Routledge.
Bloch, M. 1976. The Historian’s Craft. Manchester: Manchester University Press.
Braudel, F. 1972-1973. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of
Philip II. London: Collins.
Braudel, F. 1980. On History. Chicago: Chicago University Press.
Breisach, E.1994. Historiography: Ancient, Medieval and Modern. Chicago: Chicago
University Press.
Burke, P. 1973. “Introduction: the Development of Lucien Febvre”, dalam P. Burke,
(ed.). A New Kind of History: From the writings of Febvre. London: Routledge.
Burke, P. 1990. The French Historical Revolution: The Annales School, 1929-1989.
Cambridge: Cambridge University Press.
Cipolla,C.M. 1991. Between History and Economics. Oxford: Blackwell.
Clark, S. 1985. “The Annales historians”, dalam Q. Skinner (ed.). The Return of Grand
Theory in the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.
Du Boulay, F.R.H. 1967. “Foreword”, dalam M. Bloch. Land and Work in Medieval
Europe. London: Routledge.
Febvre, L. 1925. A Geographical Introduction to History. London: Routledge.
Gay, P. dan G.J. Cavanaugh (eds.). 1972a. Historians at Work. Volume I. New York:
Harper and Row.
Gay, P. and G.J. Cavanaugh (eds.). 1972b. Historians at Work.Volume II. New York:
Harper and Row.
Gay, P. and G.J. Cavanaugh (eds.). 1975. Historians at Works. Volume IV. New York:
Harper and Row.
Gilderhus, M.T. 1996. History and Historians. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Goubert, P. 1972. “Local History”, dalam F. Gilbert and S.R Graubard (eds.). Historical
Studies Today. New York: Norton.
16 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 Green, W.A. 1993. History, Historians and the Dynamics of Change. Westport:
Praeger.
Habsbawm, E.J. 1972. “From the Social History”, dalam F. Gilbert & S.R. Graubard
(eds.). Historical Studies Today. New York: Norton.
Hexter, J.H. 1979. On Historians. Cambridge: Harvard University Press.
Iggers, G.G. 1975. New Directions in European Historiography. Connectitute:
Wesleyan University Press.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT
Gramedia.
Langlois, Ch.V. and C.H. Seignobos. 1966. Introduction to the Study of History.
London: Duckworth.
Le Goff, J. 1972. “Is Politics Still Backbone of History”, dalam F. Gilbert and S.R
Graubard (eds.). Historical Studies Today. New York: Norton.
Le Roy Ladurie, E. 1979. The Territory of History. Hassocks: Harvester University
Press.
Manuel, F.E. 1972. “The Use and Abuse of Psychology in History”, dalam F. Gilbert &
S.R. Graubard (eds.). Historical Studies Today. New York: Norton.
Mommsen, W.J. 1990. “Ranke and the Neo-Rankean School in Imperial Germany”,
dalam G.G. Iggers and J.M. Powell (eds.). Lepold von Ranke and the Shaping of
the Historical Discipline. Syracuse: Syracuse University Press.
Powell, J.M. 1990. “Introduction”, dalam G.G. Iggers and J.M. Powell (eds.). Lepold
von Ranke and the Shaping of the Historical Discipline. Syracuse: Syracuse
University Press.
Reid, A.J.S. 1988-1993. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680: Vol. 1: The
Lands below the Winds, Vol. 2: Expansion and Crisis. New Haven: Yale
Uiniversity Press.
Ricoeur, P.1980. The Contribution of French Historiography to the Theory of History.
Oxford: Oxford University Press.
Strayer, J.R. 1976. “Introduction”, dalam Manchester: Manchester University Press.
17
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
HISTORIOGRAFI MARITIM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI, METODOLOGI DAN SUMBER SEJARAH: SUATU PEMETAAN DAN ARAH
PERKEMBANGAN
Susanto Zuhdi
Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Pos-el:[email protected]
ABSTRACT This article discusses in general the Indonesian maritime historiography written by Indonesian historians in a mapping and its direction of development. By putting the methodological and theoretical framework as well as the use of local resources, a review of the relatively less developed maritime historiography is expected to produce more fascinating results in the future. Maritime history basically contributes greatly to the discovery and strengthening of the "Indonesia-centris" perspective, a long-standing obsession with the development of the Indonesian historiography. Efforts to avoid "follow the Dutch trail" can be done with studies on many marine areas especially eastern Indonesia. With studies as such will be obtained a lot of data from case studies that are useful for the development of methodology and theory or at least concept formulation as proposed by historian A.B. Lapian and initial exploratory concepts are offered from this article. Keywords: maritime historiography, methodology and historical theory, eastern Indonesia.
ABSTRAK
Artikel ini membahas secara umum historiografi maritim Indonesia dari karya yang ditulis sejarawan Indonesia dalam suatu pemetaan dan arah perkembangannya. Dengan meletakkan pada kerangka metodologi dan teori serta penggunaan sumber lokal maka tinjauan atas historiografi maritim yang masih minim diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih maksimal di masa depan. Sejarah maritim pada dasarnya memberi sumbangan besar terhadap penemuan dan penguatan perspektif “Indonesiasentris”, suatu obsesi lama dalam rangka pengembangan historiografi Indonesia. Upaya untuk menghindari “follow the Dutch trail” dapat dilakukan dengan kajian pada banyak rumpang atau kawasan laut terutama wilayah timur Indonesia. Dengan kajian itu akan diperoleh banyak data dari studi kasus yang berguna bagi pengembangan metodologi dan teori atau setidaknya rumusan konsep seperti yang diajukan sejarawan A.B. Lapian dan rintisan konsep yang ditawarkan dari artikel ini. Kata kunci: historiografi maritim, metodologi dan teori sejarah, kawasan timur Indonesia.
18 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 PENDAHULUAN
Dari sejumlah dalil yang dikemukakan Sartono Kartodirdjo dalam disertasi tentang
pemberontakan petani Banten 1888 (1966), berbunyi “Een cristisch onderzoek van de
verschillende aspecten van het historish phenomeen ‘zeeroverij’ in de 19de eeuws
Indonesia zal de vertekening van het historisch beeld, hetwelk bovengenoemd
verschijnsel als een misdadig bedrijf voorstelt, kunnen corrigen (sebuah studi yang
kritis tentang berbagai aspek dari fenomena sejarah ‘bajak laut’ pada abad XIX di
Indonesia akan mengoreksi citra keliru yang menggambarkan gejala tersebut sebagai
suatu gejala kriminal” (Lapian, 2008:25). Gejala bajak laut dalam abad XIX merupakan
masalah besar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda, oleh karena itu penting
sebagai pokok penelitian seperti yang kemudian dilakukan oleh A.B. Lapian.
Argumentasi yang lebih mendasar bagi Lapian dalam studi tentang sejarah maritim
adalah karena:
“studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan peristiwa
yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah
Republik Indonesia terdiri dari laut. […] ada bagian yang besar dari pengalaman
dan kegiatan penduduk Nusantara pada masa lampau yang lolos dari
pengamatan dan penelitian sejarawanbangsa kita” (Lapian, 2008:1).
Kini setelah 30 tahun, sejak Lapian mempertahankan disertasinya di Universitas
Gadjah Mada pada 1987, ternyatabelum banyak disertasi sejarawan Indonesia yang
menyusul kemudian,mungkin belum genap sepuluh jumlahnya. Mengingat begitu
luasnya laut dan panjangnya pantai di kepulauan Indonesia maka masih diharapkan
lebih banyak lagi sejarawan Indonesia untuk menulis sejarah maritim. Apalagi jika
pengertian mengenai maritim termasuk persungaian, maka akan lebih luas lagigarapan
sejarah yang melukiskan kehidupan di laut. Metafora mengenai laut sering digunakan
untuk melukiskan kehidupan manusia. Sepasang suami isteri yang baru saja melakukan
akad nikah dan mengikat janji untukmembina sebuah rumah tangga, seringdilukiskan
sebagai bahtera yang akan mengarungi ‘samudera’ kehidupan.
19
Sementara itu tuntutan masyarakat dan bangsa akan pengetahuan mengenai
sejarah maritim meningkat belakangan ini. Pada masa kini tampaknya begitu besar
harapan ditujukan pada bidang kemaritiman, sehingga visi-misi Pemerintah Indonesia di
bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf
Kalla (2014-2019) memilih tema laut. Dengan argumentasi bangsa telah lama
memunggungi laut, maka Indonesia bertekad membangun negara maritim yang kuat dan
menjadikan bangsa kembali jaya di laut.
Tulisan ini mencoba memetakanperkembangan historiografi maritim di
Indonesia ditinjau dari segi-segi:teori, metodologi dan penggunaan sumber yang
dianalisis sehingga dapat diperoleh wawasan untuk melihat arah dan perspektif studi
sejarah maritim ke depan. Meskipun berfokus pada historiografi maritim, tulisan ini
juga dikaitkan dengan historiografi secara umum.
PEMBAHASAN
1. Perspektif Teoretis
Meskipun belum banyak kajian sejarah kemaritiman di tanah air sampai saat ini, kiranya
sudah perlu untuk memetakannya dengan tujuan mengidentifikasi topik atau fokus,
wilayah kajian dalam kaitan dengan pengembangan teori, metodologi dan penggunaan
sumber. Dengan demikian diharapkan dapat dipetakan ke arah mana saja
pengembangan itu akan terwujud di masa depan. Sejarah maritim adalah pengetahuan
mengenai kehidupan masyarakat di masa lampau berkaitan dengan laut dalam aspek-
aspek sosial-ekonomi, budaya, politik dan pertahanan-keamanan serta teknologi. Dalam
aspek sosial-ekonomi, laut memberikan sumber daya bagi kebutuhan hidup dan
pembentukan komunitas di kawasan pesisir.Budaya sebagai konsep sesungguhnya
kurang tepat disebut sebagai aspek, kecuali jika yang dimaksud pada seni atau
pertunjukan. Kebudayaan dalam arti luas justru merupakan gagasan, pikiran dan
tindakan serta hasil yang diperlihatkan dalam sistem nilai tertentu seperti tampak dalam
kehidupannya. Aspek-aspek politik, pertahanan dan keamanan dapat dirangkum sebagai
konsep yang lebih relevan dikaitkan dengan keberadaan suatu negara. Sedangkan aspek
teknologi memperlihatkan kemampuan orang atau etnik bahari dalam melayari dan
20 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 memanfaatkan laut dengan menggunakan pengetahuan dan peralatan untuk memenuhi
kebutuhan dan dalam mengembangkan peradabannya.
Sejarah maritim tidak dapat dipisahkan dari aspek kewilayahan yang merupakan
unsur penting dalam suatu negara. Beberapa pengertian sehubungan dengan laut
agaknya perlu diberikan sekilas. Selain kata “sea” dalam Bahasa Inggris terdapat
“maritime” berasal dari “mare” dan ”marinus”; “located on or close to te sea”. Seperti
dimuat dalam Webster’s New College Dictionary (2008) berikut ini; mare, sea
“relating to the sea or relating to shipping or maritime affairs; or a sea navigation; or
relating to troop that served at sea as well as on land”. Dengan demikian aspek
pertahanan-keamanan, menjadi unsur pokok suatu negara, karena fungsinya dalam
menjaga kedaulatan. Akhirnya aspek teknologi merupakan unsur penting yang
memungkinkan manusia mampu mengarungi samudera dan menjadikan laut sebagai
ruang kehidupan, yang dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan umat
manusia.
Arah dalam arti menuju ke sasaran “apa” atau “mana” yang hendak dilakukan
dalam konteks penulisan sejarah maritim Indonesia hemat kami pertama-tama haruslah
dikaitkan dengan sejarah secara umum. Dalam sejarah Indonesia aspek kemaritiman
sebagai perspektif sangatlah penting. Pada hakikatnya kita tidak dapat memisahkan
antara “tanah” dalam arti daratan berupa “pulau” dengan unsur “air” atau lautan, untuk
wilayah suatu negara bernama Indonesia. Untuk kedua unsur yang menjadi suatu
konsep yang padu dan serasi itu, karenanya bangsa Indonesia sudah lama menyebutnya
sebagai “tanah-air” (Zuhdi, 2006).
Keindonesiaan dalam arti konsep yang mencakup pengertian “tanah air”
merupakan perspektif yang ditawarkan untuk menentukan arah kajian sejarah maritim.
Keindonesiaan dalam perspektif historis merupakan nilai-nilai sekaligus karakter yang
berproses dan dibentuk oleh dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam membebaskan
diri dari belenggu penjajahan asing (Zuhdi 2018a:7)Wilayah yang diperjuangkan itu
berupa negeri dengan luas lautan 2/3 dibanding daratannya. Kondisi obyektif ini
menjadi penting sebagai “mainstream” karena bukan hanya mengenai konsep “geo-
politik”—nama Indonesia sendiri merupakan istilah politik—melainkan juga sebagai
konsep “geo-budaya”. Indonesia sebagai nama negara dengan batas wilayah yang harus
dijaga kedaulatannya, dahulu merupakan bagian dari wilayah yang disebut “negeri di
21 bawah angin” atau “nusantara”, atau “dipantara”, yang menjangkau jauh melebihi
pengertian wilayah geo-politik Indonesia sekarang.
Sebelum membicarakan lebih luas mengenai pokok bahasan, terlebih dahulu
perlu diberi pengantar secara singkat mengenai teori (ilmu) sejarah.
2. Sejarawan dan Teori
Dalam bagian ini dibicarakan terlebih dahulu mengenai teori sejarah secara umum dan
kemudian di bagian akhir dikaitan dengan sejarah maritim. Agaknya sering terdengar
pembicaraan tentang apakah sejarah memerlukan teori. Ada yang mengatakantidak
perlu sedangkan yang lain,berpendapat bagaimanapun sejarah memerlukan teori.
Persoalannya mungkin teori seperti apa dan sejauhmana sejarawan menggunakan teori
atau bukankah malahan merumuskan teori atau setidaknya konsep. Pada prinsipnya
sejarah merupakan ilmu yang berada di antara pengetahuan yang bersifat praktis dan
yang bersifat teoretis. Sejarawan pada dasarnya juga bekerja secara praktis seperti para
ahli filologi mencermati “kata” demi “kata” dari sumber manuskrip, sedangkan
sejarawan dari arsip/dokumen tertulis sezaman. Lebih daripada seorang ahli filologi,
sejarawan terobsesi untuk memaknai fakta bukan sekedar mengemukakan kronik.
Agaknya karena itulah ada ungkapan “secara sejarah” (historically), dimaksud sebagai
pengertian yang menunjuk pada “apa yang telah terjadi” bersifat partikular, yang terjadi
hanya sekali (einmalig). Di pihak lain ada istilah “secara teori” (theoretically),
pengertian yang diberikan untuk penjelasan atau interpretasi atas fakta dari kenyataan
yang pernah terjadi dan bersifat umum (generalization).
Secara konvensional, sejarah dipahami secara lebih nyata dan praktikal sebagai
dikemukakan Leopold von Ranke yakni untuk menjawab pertanyaan “apa yang
sesungguhnya telah terjadi”. Jawaban praktis yang ingin diperoleh adalah mengenai
kronik tentang apa, siapa, di mana dan bila. Dalam kenyataan lain sejarawan tidak
mungkin mampu “menghadirkan masa lampau sebagaimana pernah terjadi”. Berbagai
perspektif, pendekatan dan sumber yang dipilihsejarawan menghasilkan historiografi
yang beragam pula. Dengan demikian pengetahuan tentang masa lalu tentu tidak cukup
hanya untuk mengetahui fakta, melainkan juga ingin dipahami dan dimaknai. Dalam
talian itu maka diperlukan teori dankonsep apakah untuk tujuan menjelaskan
(explanation) atau menafsirkan (interpretation) menjadi penting dalam studi sejarah.
22 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018
Justru karena ketidakpuasan atas hasil kerja sejarawan yang menulis secara
deskriptif, maka Sartono Kartodirdjo mengajukan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam
kajian sejarah yang analitis. Sartono menggunakan pendekatan struktural khususnya
dari sosiologi dalam kajian pemberontakan petani Banten pada 1888 (1984). Dalam
kajiannya itu, Sartono tidak hanya menggunakan konsep tetapi juga teori
sosiologi.Kajian tentang petani yang sengaja dipilih Sartono untuk memperlihatkan
bahwa sejarah tidak hanya mengenai orang-orang besar atau tema politik dengan
cakupan luas. Kajian sejarah lokal tentang petani di Banten pada abad ke-19 yang
dilakukan Sartono merupakan sumbangan besar dalam metodologi baru untuk
historiografi Indonesia waktu itu. Bahkan seperti dikemukakan Adrian Vickers, Sartono
telah mendahului subaltern, suatu corak kajian sejarah mengenai mereka yang
“terpinggirkan”, yang baru puluhan tahun kemudian dikembangkan oleh Rajanit Guha
di India (Vickers 2008:55). Seperti diakui Bambang Purwanto, guru besar sejarah
UGM, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, subaltern merupakan “mainstream”
kajian sejarah yang dikembangkan di UGM. Dalam perkembangannya kemudian, justru
Bambang Purwanto mengkritik pendekatan yang dilakukan Sartono mengenai
“Indonesiasentris”. —apa yang oleh Vickers disebut sebagai “oposisi yang bersifat
loyal”, dengan menawarkan paradigma baru dalam penulisan sejarah dengan wawasan
teori yang lebih popular sebagai gabungan teori Barat (western theory) dan wawasan
Indonesia (Nursam 2008:57).Akan tetapi tampaknya belum ada tawaran konsep yang
merupakan gabungan dari dua wawasan teori yang dimaksud. Semestinya sudah ada
dalam tulisan khusus yang mengeksplorasi apa yang dimaksud dengan wawasan
teoretiknya itu.
Dalam perkembangannya, Prof. Bambang Purwanto tidak menulis lagi tentang
ekonomi, seperti dalam disertasinya pada 1992 (tidak diterbitkan) di School of Oriental
and African Studies (SOAS) London.Meskipun menulis beberapa artikel di jurnal atau
bagian buku, namun Bambang tidak lagi meneruskan apalagi mengembangkan teori
maupun konsep sejarah ekonomi. Tampaknya sejarawan ini telah bergeser ke sejarah
sosial. Dalam tulisannya tentang Jakarta tahun 1950-an, perhatian lebih kepada sejarah
keseharian dari masyarakat “terpinggirkan”. Sebetulnya masih sebatas anjuran dan
belum memperlihatkan sejarah sosial dengan pendekatan subaltern yang ingin ia
kembangkan. Purwanto menunjukkan bahwa banyak topik dari sejarah sosial Jakarta
23 yang menarik dan penting dikaji: kaum gelandangan, tukang becak, pelacur dan
sejenisnya. Tulisan ini sebetulnya bukan merupakan sejarah sosial yang utuh melainkan
semacam kerangka atau ancangan saja (Purwanto dalam Nordholt et.al 2008:266-270).
Sartono Kartodirdjo bukan tipe guru “penganjur”, yang hanya menyuruh
muridnya, tetapi yang mengerjakan sendiri dan memberikan contoh bagaimana
menerapkan suatupendekatan yang ia tawarkan. Penerapan teori dan konsep ilmu-
ilmusosial yang dilakukannya, selain menempatkan Sartono sebagai guru utama sejarah
Indonesia karena telah meletakkan dasar historiografi baru, juga apresiasi yang harus
diberikan karena ia taat azas untuk mengembangkan kajian sejarah dan fokus pada tema
yang telah dipilihnya. Begitulah Sartono dalam kajiannya tentang gerakan protes petani
di pedesaan Jawa dalam akhir abad ke-19 dan awal ke-20, dapat berhasil membuat
tipologi gerakan protes sosial khususnya dari kalangan petani yaitu: mileniaris,
messianis, nativis, eskatologis, dan revivalis (Kartodirdjo 1978: 187). Jadi dalam
konteks kerangka konseptual, sejarawan malahan telah menyumbang tidak sekedar
menggunakan konsep ilmu-ilmu sosial. Dalam talian dengan Sartono, ia mula-mula
menggunakan konsep seperti dianjurkan Wertheim, dalam pengakuannya tetapi
kemudian “menghasilkan” konsep tersebut di atas. Di sini tampak bahwa sejarawan
bukan saja “diperbolehkan” menggunakan konsep dari ilmu-ilmu sosial, sejarawan
bahkan dapat “menghasilkan” konsep.
Seiring dengan pembicaraan berkenaan pengembangan studi sejarah, banyak
disayangkan orang bahwa banyak disertasi sejarawan Indonesia tidak diterbitkan dan
dikembangkan dalam pengembangan untuk menghasilkan rumusan konsep dan teori.
Dalam hal ini Sartono telah mengembangkan kajiannya tentang petani dan gerakan
sosial dengan menghasilkan kerangka konsep dalam hal ini tipologi yang akan
diperlihatkan di bawah. Setelah Soegijanto Padmo tidak ada lagi penerus kajian sejarah
ekonomi atau sejarah sosial di Universitas Gadjah Mada (UGM). Justru dari Universitas
Indonesia (UI) lah, yang selama ini hanya dikenal berfokus pada tema politik dan
periode kontemporer, pengembangan studi Sartono dilanjutkan. Dalam kategori yang
sama dengan kajian Sartono, Mohammad Iskandar, dosen Sejarah Universitas Indonesia
(UI) menulis disertasi mengenai perlawanan petani terhadap praktik kolonial di tanah
partikelir di Ciomas, Bogor pada 1886.
24 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018
Iskandar (2006) tidak menggunakan istilah “pemberontakan” seperti Sartono,
tetapi dengan konsep “aksi kolektif” (collective action). Dengan kesadaran
menggunakan teori-teori sosiologi Charles Tilly, Iskandar memilih metodologi
“strukturistik” yang ditawarkan Christhoper Lloyd (1993). Dalam kajian Iskandar,
petani diperlihatkan berperan aktif dalam upaya mengubah struktur, berbeda dari
penggambaran Sartono bahwa pemberontakan petani sebagai akibat dari perubahan
struktur. Dalam kajian Iskandar, petani Ciomas (Bogor) memandang struktur tidak
cocok lagi karena tidak membawa harapan hidup yang lebih baik. Dampak
Pemberontakan Petani Banten karya Sartono tidak sebesar akibat peristiwa yang dikaji
Iskandar. Akibat peristiwa Ciomas Bogor membuat suara pemerintah dan parlemen
terpecah bahkan menimbulkan polemik berkepanjangan selama dua tahun. Akhir dari
itu semua Otto van Rees dicopot dari jabatan gubernur jenderal (Zuhdi dalam
Marihandono ed. 2008:18).
Terdapat hal menarik tentang studi sejarah yang selama ini dikatakan bahwa
yang dikembangkan di UI adalah sejarah politik dan periode kontemporer, ternyata juga
dikembangkan sejarah sosial-petani. Sesungguhnya tradisi sejarah sosial di UI sudah
diletakkan dasarnya oleh Ong Hok Ham, yang memperoleh gelar doktor dari
Universitas Yale Amerika Serikat pada 1975. Dua murid Pak Ong adalah Iman Hilman,
hanya sampai jenjang magister yang diambil di UGM, dan Iskandar. Pada disertasi
Iskandar di UI (2006) ini bolehlah disebut sebagai karya yang hendak meneruskan
tradisi sejarah sosial-ekonomi di UI. Lalu bagaimana perkembangan yang terjadi di
UGM dalam kajian sejarah sosial khususnya tentang petani?
Dalam perkembangan studi sejarah sosial dan terutama ekonomi yang telah
dikembangkan Sartono di UGM kemudian tampaknya kurang diminati. Padahal dalam
perkembangannya pendekatan sejarah sangat diharapkan untuk studi Ilmu Ekonomi.
Untuk kepentingan ilmu sejarah sendiri, pendekatan ekonomi atau bahkan tema
ekonomi perlu pula ditulis oleh sejarawan. Thee Kian Wie adalah sejarawan ekonomi
yang reputasinya diakui secara internasional namun tidak ada penerusnya. Sejarah
ekonomi terancam ‘terhenti’ dan akan hilang dalam sejarah Indonesia. Seperti dikatakan
Thee sendiri sejarawan yang berminat pada sejarah ekonomi memang rendah. Untuk ini
kita perlu memetakan kembali karya sejarawan Indonesia dengan tema ekonomi dalam
konteks sejarah Indonesia. Memang harus diakui bahwa sangat minim sejarawan
25 Indonesia yang memilih ekonomi sebagai tema kajiannya. Dari yang sedikit itu
misalnya adalah Soegijanto Padmo dan dengan beberapa pengecualian juga
Kuntowijoyo keduanya dari UGM. Sepeninggal kedua sejarawan itu belum ada lagi
yang mengambil tema ekonomi dalam penulisan sejarah Indonesia. Sebetulnya ada
sejarawan dari generasi yang lebih muda setelah Soegijanto Padmo, yang juga guru
besar dari UGM, Prof. Bambang Purwanto, yang meskipun disertasi doktornya
mengenai sejarah ekonomi tetapi kemudian lebih banyak tertarik mengkaji historiografi
(Rahardjo, 2017:xxvii—xxviii).
Adalah menarik untuk disimak dengan perkembangan di UGM belakangan ini
terkait pergeseran fokus dari sejarah sosial (petani) abad ke-19 ke sejarah politik dalam
periode kontemporer. Gejala yang tampak ini mungkin sudah menjadi petunjuk akan
terjadinya pergeseran itu. Pada akhir tahun lalu, tampaknya sudah terdapat kesepakatan
kerjasama antara UGM dengan tiga Lembaga riset di Belanda untuk melakukan
penelitian bersama bertajuk “ Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945—
1950”. Adapun tim peneliti dari UGM dipimpin Prof. Bambang Purwanto dan Dr.
Abdul Wahid. Pembiayaan sebesar kira-kira Rp 67 Milyar untuk riset selama empat itu
akan didanai oleh pemerintah Kerajaan Belanda (Kompas, 8 Februari 2018: 7).
Rupanya tidak banyak, kalau bukan minim sejarawan Indonesia yang melakukan
pengembangan teori dan konsep, sebagaimana telah dilakukan Sartono Kartodirdjo.
Karir akademik seorang doktor sejarah dalam pengembangan teori dan konsep
sesungguhnya sangat diharapkan. Perjalanan akademik itu biasanya dapat diamati
sesudah seorang doktor menyelesaikan disertasinya. Dalam kaitan itulah Prof. Sartono
terus mengingatkan agar jangan menjadi doktor “pohon pisang”, artinya yang “hanya
sekali berbuah” setelah itu tidak produktif lagi.Oleh karena umumnya disertasi tidak
diterbitkan sehingga tidak dibaca oleh “peer-group”nya, atau bahkan disertasi itu sering
tidak diketahui keberadaannya lagi. Selain Sartono, dua sejarawan terkemuka Indonesia
yang memberi contoh dalam hal pengembagangan akademikdengan mengemukakan
pemikiran teoretis dan konseptual adalah Taufik Abdullah dan Adrian Bernard (A.B.)
Lapian.
Dalam salah satu penjelasan, Taufik mengemukakan bahwa Indonesia dibentuk
karena “ingatan kolektif” persebaran agama Islam di nusantara. Dari Samudera Pasai
agama Islam dibawa ke pesisir Jawa, dari Demak ke Banjarmasin, tiga Datuk—
26 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Patimang, Di Tiro, dan Ri Bandang-- yang mengislamkan Sulawesi Selatan dari
Minangkabau, sedangkan Islam Hitu dan Bacan dibawa dari Gresik. Begitulah jika
direntang akan membentuk ingatan kolektif dalam jaringan nusantara. Dalam memberi
kata pengantar buku Dami N. Toda, Taufik mengemukakan seunik apapun sejarah
Manggarai,mengenai masa lampau Manggarai adalah juga bagian dari denyut sejarah
maritim Indonesia. Karena pertama, dalam cerita asal usul pendiri kerajaan Manggarai
adalah perantau yang datang dari negeri lain. Kedua, adanya hubungan hirarkis antara
pusat-pusat kekuasaan, yang satu sebagai petuanan dari kerajaan yang lain, tetapi
hubungan ini tak pernah stabil; ketiga,memperlihatkan faktor ingatan kolektif dalam
sejarah Manggarai, bukan hanya dengan Bima atau Goa-Tallo tetapi juga dengan
Minangkabau (Toda, 1999).
Bertolak dari kenyataan bahwa Jawa masih menjadi pusat denyut kehidupan
begitu pula soal historiografi,maka suatu upaya untuk menguak ‘pulau sejarah’ bagi
kajian sejarah di luar Jawa menjadi mendesak untuk dikerjakan. Melalui sejarah maritim
hal itu dimungkinkan munculnya metodologi alternatif yang ‘baru’. Melalui sejarah
maritim pula keindonesiaan dalam arti keragaman daerah akan terwadahi. Dalam
dekade belakangan ini sudah semakin marak kajian sejarah luar Jawa. Seperti dikatakan
Taufik Abdullah kini sudah sangat janggal kehilatan kalau ada buku buku sejarah
berjudul “Indonesia” tetapi perhatiannya hanya Jawa saja (Abdullah 1999:6). Pada
waktu yang kurang belih bersamaan kajian tentang “pulau-pulau sejarah yang
terabaikan” di Indonesia pun telah dilakukan. Dalam konteks itu penulis sendiri
mengkaji tentang sejarah Buton dalam abad XVII sampai XVIII (Zuhdi, 2010 &
2018b).
Pengalaman Taufik dalam merumuskan suatu konsep sejarah untuk
menunjukkan bahwa sejarawan memberi sumbangan, menarik untuk dikemukakan
dalam kaitan ini.2 Ketika Taufik diminta memberi ceramah di Universitas Wisconsin,
sebetulnya sampai beberapa hari menjelang kuliah diberikan, belum ada ide apa yang
hendak disampaikan. Ia memang diberi kebebasan mengenai pokok bahasan khususnya
sejarah Indonesia abad XIX, yang dikuasai Taufik. Di sinilah seorang sejarawan
ditantang untuk tidak hanya menyampaikan rangkaian fakta, seperti Taufik sering
2 Wawancara dengan Taufik Abdullah di Hotel Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, 2 November 2017.
27 mengutip ungkapan “one damned after another”, tetapi pentingnya konsep untuk
menangkap gejala yang tidak selalu dikemukakan secara deskriptif. Kemudian dari
buku yang dibaca Taufik menjumpai kata “schakel examen”, maka dari situlah ia
mengemukakanistilah “schakel society” sebagai konsep untuk menjelaskan dan
memaknai suatu situasi kolonial di Sumatera Barat pasca Perang Paderi (1837).
Ternyata tidak serta merta daerah Minangkabau dapat ditaklukkan dalam arti secara
menyeluruh. Ketika Belanda memulai menerapkan administrasi pemerintahannya,
masih dihadapkan pada perlawanan yang terus berlanjut khususnya di Batipuh, pusat
kaum reformis Paderi. Menghadapi kenyataan itu, Belanda menjadikan Batipuh kembali
ke sistem adat asli, dengan pembagian daerah menjadi empat nagari. Ini adalah awal
Belanda untuk mewadahi pertumbuhan organ-organ masyarakat dan tuntutan politik
pada kekuasaan kolonial. Periode antara peristiwa kekalahan Paderi dan Pemberontakan
anti pajak 1908 dipandang sebagai masa ketika penguasa dan yang dikuasai mencoba
menciptakan suatu lingkungan yang membuat mereka dapat mengakui kehadirannya
masing-masing. Dari kenyataan sosio-historis seperti itulah konsep “schakel society”
dapat diterima. Belanda sengaja menyingkirkan pemimpin agama dari kehidupan politik
(pemerintahan) dengan memperkenalkan sistem sekolah modern. Bagi anak orang
kebanyakan Minang, hanya bersekolah dasar 3 tahun. Hanya melalui “ujian
penghubung” (schakel examen), hanya sedikit dari lulusan Sekolah Tiga Tahun dapat
meneruskan ke sekolah modern (Kweekschool) misalnya. Dari kata “schakel” artinya
“penghubung” dalam talian gagasan Taufik dapat juga bermakna sebagai ‘suasana
peralihan’ dari dua ‘dunia’ yang berbeda “Eropah/Belanda” dan “Minang/Melayu”,
namun dalam kehidupan nyata keduanya berada dalam lingkungan fisik yang sama
yakni di Sumatera Barat.
Orang terakhir dari triumvirat sejarawan Indonesia terkemuka penyumbang
konsep sejarah adalah Adrian Bernard Lapian. Lapianmenerapkan teori Fernand
Braudel sebelum merumuskan sendiri konsep sejarah ketika ia menulis sejarah kawasan
Laut Sulawesi abad XIX. Lapian mengemukakan terlebih dahulu struktur geografi,
dalam hal ini dapat disebut sebagai pendekatan geografi dalam kajian sejarah. Meskipun
tidak seluas dan sedalam kajian Fernand Braudel mengenai “dunia Mediteranea” (Laut
Tengah), Lapian terlebih dahulu mengemukakan unsur-unsur geografi antara lain ciri-
ciri laut, iklim, kondisi pantai Laut Sulawesi. Lapian mengemukakan konsep “orang
28 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 laut-bajak laut-raja laut”, merupakan konsep yang telah memberi sumbangan besar
terhadap historiografi Indonesia. Lapian mengemukakan tiga kekuatan atau disebutnya
sebagai agensi bahari, yang secara garis besar berupa tipe ideal : Orang Laut, Bajak
Laut, Raja Laut (Lapian, 2009:225).
Kehidupan Orang Laut bersifat lokal dan beraktivitas di sekitar pemukimannya.
Dengan struktur sosio-politis dan organisasinya yang masih berada pada tingkat awal,
orang laut berusaha mengatasi segala gangguan dan pelanggaran yang terjadi di
wilayah lautnya, kecuali jika menghadapi kekuatan yang lebih besar. Dalam
perkembangan itu apakah mereka akan masuk ke dalam orbit Bajak Laut atau Raja, atau
menghindar, yang jika terus menerus mereka lakukan maka sampailah pada bagian-
bagian terpencil misalnya di muara sungai, yang disebut sebagai daerah ‘terasing’.
Sedangkan kekuatan bahari tipe Bajak Laut dalam penjelasan Lapian merupakan
kehidupan yang didukung oleh masyarakat dengan struktur lebih mantap dengan
pemimpin yang berwibawa. Eksistensi Bajak Laut sesungguhnya tudak dapat
dilpisahkan dari konteks Raja Laut. Itu karena jika dilihat dari perspektif Raja Laut,
Bajak Laut merupakan ‘masyarakat yang berada di luar sistem (outlaw), mereka adalah
penjahat dan perompak yang beroperasi di laut. Lapian megutip teori tentang
kemerosotan kedaulatan negara. Jika Bajak laut tidak mampu dikendalikan maka
mereka justru akan menggantikan Raja Laut (Lapian, 2009: 226).
Pembahasan mengenai agensi secara implisit membawa Lapian berdialog secara
teoretis dengan Anthony Giddens. Dengan teori strukturasinya, Giddens mengemukakan
dualitas struktur yang dihadapi setiap agensi; sebagai kendala di satu sisi atau peluang
bagi perubahan struktur, di sisi lain. Dengan demikian tampak di sini bahwa sejarawan
telah menyumbang deskripsi yang kemudian dikonseptualisasikan oleh ahli sosiologi.
Dalam kerangka lebih luas, Lapian menunjukkan pendapat bahwa bajak laut di
nusantara sebagai penjahat perlu koreksi.
Secara lebih teoretis, A.B. Lapian (1992) telah mempertegas “sistem laut” (sea
system) sebagai tawaran untuk mengkaji sejarah nusantara (sebagai) sejarah bahari,
yang nota bene sejarah Indonesia. Turunan dari teori itu adalah konsep yang kemudian
dikemukakannya seperti “hintersea” (1994) yang lebih tepat untuk menyebut suatu
daerah pedalaman (hinterland) dalam kaitan sejarah kepulauan Indonesia. Pendekatan
“sea system” pada sejarah Indonesia menempatkan wilayah kepulauan sebagai suatu
29 yang lebih komprehensif dengan menempatkan “laut” sebagai “inti” (heart-sea).Dalam
perbincangan poros maritim dunia sebagaimana digagas pemerintah Jokowi dengan
kebijakan yang dikeluarkan tentang kebijakan laut Indonesia tahun 2017, pada dasarnya
telah diletakkan dasarnya oleh Lapian (Zuhdi, 2015b:25).
3. Metodologi dan Sumber Lokal
Dimengerti secara longgar, metodologi tidak sekedar perangkat metode untuk
mengetahui cara kerja, atau sebagaimana Sartono katakan “to know how to know”.
Metodologi juga mengenai pengertian suatu pendekatan dalam hal penggunaan ilmu-
ilmu lain terutama ilmu sosial seperti dilakukan Sartono sendiri. Untuk merumuskan
teori atau setidaknya konsep-konsep yang diperoleh dari pengalaman kajian sendiri
yang dapat digunakan sejarah Indonesia agaknya akan dipermudah jika kita menggali
sumber lokal dari begitu luasnya daerah yang merekam pengalaman masyarakat
Indonesia. Tidak untuk mengatakan bahwa sumber asing dikesampingkan tetapi
perlunya memanfaatkan sumber dari dalam merupakan kebutuhan mendesak untuk
menulis sejarah Indonesia secara lebih komprehensif. Sesungguhnya tidak ada yang
salah pada “Indonesia sentris” sebagai perspektif untuk mengangkat sejarah Indonesia.
Anjuran van Leur tetap relevan setidaknya untuk melihat segi-segi yang tidak
ditampakkan oleh sudut pandang Eropa atau Belanda.
Sebetulnya akan merupakan hal ideal jika selain tidak mengikuti “jejak
Belanda”, juga tidak menggunakan sumber ciptaannya dalam menuliskan sejarah
Indonesia, tetapi apa mungkin, dan apakah harus dengan sikap ekstrim seperti itu?
Tulisan ini mengemukakan hal yang lebih realistis meskipun timbul obsesi untuk
sepenuhnya mengenyampingkan sumber Eropah. Dengan kerangka konsep yang telah
dikemukakan Lapian, problematik konsep maupun teori mulai dapat diatasi dengan
terus menggali sumber lokal yang kerap disebut historiografi tradisional. Setidaknya
untuk mengimbangi atau kalau bukan malahan untuk menggantikan sebagian besar
sumber asing--karena pertimbangan teori yang hendak dibangun sendiri--maka sumber
tradisional, apakah naskah maupun tradisi lisan, hendaknya menjadi dasar pijakan.
Arah dan pengembangan teori sejarah akan mantap apabila semakin banyak
dilakukan studi kasus yang dihasilkan dan apalagi jika didukung dengan penggunaan
sumber lokal. A.B. Lapian pernah mengemukakan betapapun tingkat kesulitan tetap
30 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 harus diatasi, untuk tidak mengikuti “jejak Belanda” (follow the Dutch trail) sebagai
“arahan” menulis sejarah Indonesia. Setelah komoditas rempah tidak lagi sebagai
primadona, VOC/Belanda meninggalkan kawasan itu dan sejarah bergerak ke barat, ke
Jawa dan Sumatera karena kepentingannya akan sektor perkebunan dan pertambangan.
Masa lalu Maluku ‘seolah-olah’ hilang dalam sejarah Indonesia.Kenyataan itu
menunjukan minim kajian sejarah di kawasan Indonesia Timur padahalberkarakter
kemaritiman besar (de groote oost). Dalam perkembangan setelah dari Maluku sejarah
bergeser ke Jawa (Cultuurstelsel) pertanyaannya apakah sejarah Maluku sudah tidak ada
yang dapat dikaji lagi.Seperti di bawah ini A.B. Lapian dalam memberi pengantar buku
Adnan Kamal “Kepulauan Rempah-rempah”:
“Pengetahuan kita tentang sejarah Maluku Utara sangat terbatas. Umumnya
diketahui bahwa pada abad ke-16 orang Portugis datang, disusul oleh orang
Spanyol, dan kemudian orang Belanda. Berikut ada adu kekuatan negara-negara
Barat untuk menguasai daerah penghasil rempar-rempah ini. Juga diketahui
sedikit tentang perlawanan Pangeran Nuku pada akhir anad ke-18 dan awal abad
ke-19. Tetapi sejak VOC terlibat dengan perang perang suksesi di Mataram,
apalagi sesudah harga rempah-rempah menurun di Eropa, Belanda lebih banyak
memperhatikan pulau Jawa saja dan kemudian di paro akhir abad ke-19
membuka perkebunan di Sumatera. Maka kesan umum seolah-olah sejarah
Maluku Utara berhenti” (Lapian dalam Kamal, 2010:xix).
Bertolak dari pandangan itu, lebih lanjut Lapian mengemukakan bahwa
penulisan sejarah Indonesia hanya membuntuti arah perhatian Belanda, dari Maluku ke
Jawa, lalu ke Sumatera. Hanya sewaktu-waktu perhatian beralih ke daerah lain misalnya
Belanda menghadapi perlawanan Makasar abad ke-17 atau Banjarmasin pada tahun
1860-an atau ke Lombok 1894 dan dapat ditambah pada daerah lain. Jadi sesungguhnya
kisah sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan lebih banyak mengikuti perhatian
pemerintah Batavia (Ibid). Bertolak dari argumentasi di atas maka suatu orientasi dan
perspektif ‘baru’ untuk suatu penulisan sejarah Indonesia perlu semakin dipertegas.
Metodologi dalam arti sederhana adalah mengenai konsep dan kerangka kerja
sejarawan dalam mempraktikkan metode riset dan mengeksplorasiterkait penggunaan
31 sumber. Dalam hal ini, ekstrapolasi teori hanya akan terjadi dengan penerapan
metodologi. Betapapun hebatnya suatu teori dan metodologi, dalam riset sejarah hanya
akan berhenti di atas kertas tanpa dikerjakan dengan sumbernya. Pembicaraan sumber
yang dimaksud di sini adalah semua bahan yang dihasilkan oleh masyarakat setempat
yang mendiami kepulauan. Jenis sumber ini disebut sebagai ‘historiografi tradisional’,
yang dipertentangkan dengan ‘historiografi modern’. Ciri yang disebut pertama
umumnya ditulis dalam bentuk naskah yang kemudian disalin dari generasi ke generasi.
Mengenai hal ikhwal masa lampau sering ditulis menggunakan metafora dan bersifat
mitos. Mengutip Vansina, Taufik Abdullah mengatakan bahwa historiografi tradisional
merupakan pantulan kenyataan. Jadi bukan kenyataan itu sendiri, tetapi sesuatu “yang
diinginkan” yang dianggap sebagai “kewajaran sejarah”. Sedangkan historiografi
modern dikerjakan dengan metode kritis dan menggunakan berupa arsip/dokumen untuk
mendapatkan “kepastian sejarah” melalui fakta sejarah yang merupakan representasi
“apa yang sesungguhnya terjadi”.
Apakah sumber atau historiografi tradisional dapat digunakan sepenuhnya? Pada
umumnya sejarawan menggunakan kedua jenis sumber tersebut dengan
membandingkan atau saling melengkapi satu sama lain. Dapatkah atau absyah kah jika
hanya menggunakan sumber tradisional saja? Atau apakah kredibiltas historiografi
tradisional baru akan diterima jika dibandingkan atau didukung oleh sumber modern?
Dalam kaitan ini patut dikemukakan ada kategori; pertama, mereka yang sepenuhnya
bertumpu pada sumber naskah; kedua, yang bertolak dari naskah sebagai sumber
penulisan; ketiga adalah mereka yang menggunakan naskah untuk mendukung sumber
arsip/dokumen sezaman. Kategori pertama umumnya para ahli filologi, sedangkan dua
terakhir para sejarawan.
Tidak seperti ahli filologi pada umumnya, Hoesein Djajadiningrat, memiliki
“rasa hayat sejarah” yang tinggi. Dengan menganalisis secara kritis sumber naskah
sejarah Banten, dialah doktor pertama orang Indonesia yang berhasil menulis disertasi
dan dipertahankan di Universitas Leiden pada 1913. Bersumber sepenuhnya pada
naskah yang dalam hal ini dikategorikan sebagai historiografi tradisional, Hoesein
menerapkan metode sejarah dan mengajukan unsur prinsip sejarah yakni soal
menetapkan waktu. Hoesein melakukan tinjauan historis atas keterangan kronik tentang
sejarah Banten. Hoesein sangat paham akan perbedaan mana sejarah dan bukan sejarah.
32 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Itu dapat diketahui, karena selain bab mengenai tinjauan historis dibahas pula dalam bab
yang lain mengenai “tradisi-tradisi yang secara historis tidak dapat diuji akan
diperbandingkan dengan tradisi-tradisi yang bersamaan dari kronik-kronik lain”
(Djajadiningrat, 1983:2) Salah satu unsur yang dipraktikkannya adalah mengenai kapan
naskah ditulis agar tidak terjadi anakronistis. Dengan memperbandingkan sejumlah
naskah mengenai sejarah Banten misalnya, Djajadiningrat mampu untuk menetapkan
fakta yang konteks pada masanya, sehingga berani mengatakan mana yang “benar” dan
mana yang “keliru”.
Kesejarawanan Hoesein tampak ketika ia “meluruskan” kisah di dalam
Wawacan Sajarah Haji Mangsurmengenai konflik Sultan Haji dengan Sultan Agung,
ayahnya. Dalam wawacan itu, bukanlah Sultan Haji yang sesungguhnya, tetapi ada
seorang asing dari Pulo Putri (Majeti) yang telah merampas pakaian Sultan Haji dalam
perjalanan pulang dari Mekah di pulau tersebut, sehingga ia bias menyamar menjadi
Sultan Haji. Akan halnya Sultan Haji versi wawacan itu, ialah yang kemudian kembali
ke Banten dan berdiam di Cimanuk dengan nama Haji Mangsur. Argumentasi Hoesein
mengatakan untuk “ angkatan yang kemudian yang tidak mau tahu tentang permusuhan
antara bapak lawan anak, memberikan gambaran tersebut. Buat sejarah yang lebih tua,
karya ini tidak berarti” (Djajadiningrat, 1983:15). Dengan tegas Hoesein mengatakan
bahwa kisah tentang Sultan Haji dalamwawacan itu, palsu.
Sejarawan yang mencoba bertolak dari sumber naskah dandidukung dengan
sumber lainnya dapat diambil contoh dari negeri jiran Malaysia. Mardiana Nordin,
sejarawan dari Universiti Malaya menggunakan sumber naskah antara lainTuhfat al-
Nafis,Hikayat Raja-Raja Riau, dan Hikayat Johor Serta Pahang, sebagai sumber
historiografi tradisional untuk mendeskripsikan politik kerajaan Johor dalam abad
XVIII-XIX. Dikatakan Mardiana bahwa meneliti manuskrip dengan disiplin sejarah
mudah, karena umumnya naskah dikerjakan sebagai kajian sastra, yang berisi terutama
unsur mitos dan anakronisme (Nordin, 2008:11). Dalam kaitan ini Mardiana berusaha
menggunakan sumber historiografi tradisional dengan dibandingkan dnegan sumber lain
dan berhasil merekonstruksi sistem politik kerajaan Johor.
Dami N. Toda (1999) bertolak dari sumber sejarah lokal Manggarai
menghasilkan karya sejarah bagus yang dapat mengoreksi kekeliruan pengetahuan yang
dibangun oleh Belanda, seperti banyak dijumpai di tempat lain, disebut konstruksi
33 kolonial (Taufik Abdullah Prakata dalam Toda). Hal menarik dan penting terkait buku
Toda adalah dalam pengembangan teori dan penggunaan sumber sejarah lokal naskah
dan tradisi lisan. Sumber lokal yang disebut sebagai historiografi tradisional memberi
peluang dan dapat digunakan untukmendekonstruksi pengetahuan sejarah Indonesia
yang selama ini diterima (accepted history). Dalam kaitan ini karya Toda
memperlihatkan kekeliruan perspektif luar tentang sejarah Manggarai (Nusa Tenggara
Timur).
Dalam perspektif Bima, sebuah kesultanan besar di ujung timur Pulau Sumbawa,
Manggarai merupakan bagian dari kekuasaannya. Bima secara begitu saja memasukkan
Manggarai ke dalam kekuasaannya dengan menarik garis batas “Pota Nanga Ramo”
sebagai pemetaan wilayah Manggarai dalam penulisan Belanda – Bima tentang
Manggarai. Dalam hal ini pihak Belanda jauh sebelum berkontak langsung dengan
Manggarai telah mencantumkan pengaplingan peta tanah dan pengakuan souverenitas
Bima oleh Belanda atas Manggarai. Oleh karena Bima kemudian menjadi wilayah
kekuasaan Belanda maka otomatis pematokan wilayah itu pun dikaitkan dengan
“pemilikan” otomatis menjadi wilayah koloni Hindia Belanda berdasarkan “kekuasaan”
(opperheerschappij) Belanda atas Bima (Toda, 1999:14)
Argumentasi Dami N.Toda berhasil untuk mendekonstruksi pengetahuan tentang
Manggarai yang dikelirukan itu. Dalam laporan Belanda berdasarkan kisah Bima
dikatakan bahwa Manggarai sebagai ‘barang’ hadiah bayaran mas kawin yang
berpindah pemilik pada peristiwa perkawinan antara putra Bima dengan putri Gowa
(Sulawesi Selatan) pada 1727, tetapi kontradiktif tentang siapa menyerahkan sebagai
mas kawin. Gowa membayarkan Manggarai sebagai mahar kepada Bima, artinya
Belanda mengakui Manggarai sebelumnya berada di bawah pemilikan Gowa. Selain itu
terdapat pula tulisan yang berlawanan bahwa Manggarai dihadiahkan Bima kepada
Gowa sebagai mas-kawin dalam peristiwa itu (Toda, 1999:15). Pokok yang hendak
dikemukakan di sini ialah bagaimana menempatkan Manggarai sebagai suatu lokalitas
yang memiliki sejarah dengan perspektifnya sendiri, meskipun tidak dapat dilepaskan
dari pandangan pihak luar. Begitulah jika sejarah sering dihasilkan oleh sang pemenang
atau yang kuat, tetapi bukan berarti tidak pernah terjadi perubahan. Sejarah Manggarai
diketahui melalui historiografi Gowa dan Bima, kemudian masuk ke dalam
penggambaran Belanda. Ketiga “pusat kekuasaan” yang menghasilkan penulisan sejarah
34 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 sebagai “berita pikiran” masing-masing utuh pada dirinya dan terikat pada ikatan hirarki
kekuasaan, apalagi setelah Gowa ditaklukkan Speelman pada 1667. Taufik Abdullah
menganalisis keterhubungan antarpihak terkait Manggarai, bahwa klaim Bima atas
Manggarai didukung Gowa, sebagai pertuanan Gowa atas Bima dan kemudian VOC-
Belanda pemegang hegemoni atas wilayah timur ini (Abdullah dalam Toda, 1999:8).
Seperti dikatakan Taufik Abdullah, Dami N. Toda mengajak kita menjelajahi
“pulau-pulau sejarah yang terabaikan” ketika masalah geografi dan tradisi lokal dan
tradisi lisan “dipertemukan” dengan historiografi luar dalam kaitan ini maka kita
dihadapkan pada corak “realitas” dan “bayangan realitas” di dalam “kewajaran sejarah”
ditemukan “kepastian sejarah” bagaimana di balik mitos yang berbenturan fakta dapat
ditegakkan?
Paparan yang telah cukup banyak dikemukakan di atas, tampaknya selaras
dengan upaya yang telah ditunjukkan makalah Seminar Nasional 60 Tahun Seminar
Sejarah Nasional 1957 di Yogyakarta, untuk“Menemukan Historiografi
Indonesiasentris” (Margana, et.al., 2017). Hanya sayangnya kumpulan makalah tersebut
tidak cukup diberi kerangka dan ‘benang merah’ mengenai “indonesiasentris.
Indonesia sentris merupakan perspektif yang terus menerus dieksplorasi ke dalam kerja
metodologis dan teoretis yang tak pernah usai. Dalam kaitan ini tampak ada semacam
tanggapan terhadap apa yang pernah dikemukakan oleh Bambang Purwanto mengenai
gagalnya Indonesiasentris? (2006). Perspektif kemaritiman dengan penggunaan sumber
lokal/tradisional dapat memberi sumbangan bagi pengembangan metode untuk tujuan
itu. Analisis terhadap kabanti (syair) Ajonga Yinda Malusa dan Kanturuna Mohelana
(penyalin dan terjemahan Zahari tt), seperti dipaparkan di bawah ini diharapkan dapat
mendukung sekaligus pemaknnaan terhadap “Indonesiasentris”. Dari kedua sumber ini
dapat diungkapkan sejarah dari sudut pandang suatu komunitas di nusantara sebagai
pemilik masa lampau yang sah, sebagai hadapan atas ‘pandangan luar’ (atau
eropasentris) yang sering dianggap suatu ‘kebenaran’ dan lebih daripada itu menjadi
dominan.
Penggalan syair Ajonga Yinda Malusa(“Pakaian yang Tidak Luntur”):
Kaapaka karana tongko indapo Karena waktu belum ada
Tee Walanda ipiya malona yitu Dengan Belanda beberapa waktu lalu
35 Adika timbu tajagani Taranate Musim Timur kita menjaga Ternate
Tajagani Gowa tongkona adika bara Menjaga Gowa waktunya musim Barat
Dari jenis sumber tradisional di atas memperlihatkan dimensi temporal juga.
Dapat ditangkap maknanya yaitu sebelum kehadiran dan pertolongan VOC/Belanda,
Buton sendiri yang harus menghadapi ancaman Ternate dan Gowa. Penggalan di bawah
ini menunjukkan kondisi setelah pertolongan Belanda itu.
Samatangkana loji imataneyo Setelah kuat loji di Timur
Amarosomo kota isukanayo Teguh tertiblah benteng di Barat
Amatangkamo mboorena lipu siy Sudah kuat kedudukan negeri ini
Akosaromo labu rope labu wana Bernamalah berlabuh haluan berlabuh buritan
Jika “Indonesiasentris” merupakan perspektif yang mewadahi pandangan sejarah
lokal, maka kabantiKanturuna Mohelana (“Pedoman Berlayar”) menjadi sumber
otentik Buton dalam “memandang dirinya” dan mengekspresikan masa lalunya.
Gambaran mengenai Buton dalam “menempatkan dirinya” di dalam sejarah dapat
dibaca dari penggalan kabanti di bawah ini.
Motodikana inuncana kuruani Yang tertulis di dalam Qur’an
Yitumo duka nabita akooni Di situlah nabi kita bersabda
Apaincanamo sababuna tana siy Menyatakan sebabnya tanah ini
Tuamo siy awwalina wolio Demikian ini awalnya Wolio
Tidak berhenti sampai di situ, ternyata masih dapat dibaca lagi bahwa dengan
“kebebasan kultural”, orang Buton juga “berhak” menyatakan dirinya tidak kalah tinggi
dibanding dengan kedudukan orang lain.
Inda kumondoa kupetula-tulaa keya Tidak selesai kuceritakan
Soo kudingki awwalina tia siy Hanya kusinggung awalnya seperti ini
Taoakana akosaro butuni Sebabnya bernama Butuni
36 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Aaboorasimo pangkati kalangaana Menempati pangkat yang tinggi
Gambaran sekilas di atas untuk menunjukkan betapa penting dan menariknya upaya
untuk mengungkapkan sumber lokal bagi suatu rekontruksi sejarah apakah nasional atau
regional dari banyaknya komunitas yang beragam di kepulauan ini.
4. Pemetaan dan Arah Perkembangan
Seiring dengan upaya keperluan menulis sejarah untuk kepentingan bangsa yang
merupakan rekomendasi Seminar Sejarah Nasional pertama (SNI, 1957) tema
kemaritiman sudah dirancang oleh sebuah tim yang diketahui A.B. Lapian dengan
anggota Lily Manus, Uka Tjandrasasmita, dan Hasan Muarif Ambary. Hasil kerja tim
menjadi bagian buku SNI Jilid III dalam Bab “Pelayaran dan Perdagangan Nusantara”.
Dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS, 2010) pun tema maritim tidak muncul,
alasannya sama seperti dalam SNI, IDAS bukan buku sejarah maritim. Keduanya lebih
bertema politik secara luas mengenai Indonesia. Singgih Tri Sulistiyono telah menulis
pengantar sejarah maritim Indonesia, yang sifatnya masih terbatas sebagai hasil laporan
riset Departemen Pendidikan Nasional (2004).
Dalam pengamatan hingga kini belum sampai sepuluh karya disertasi (doktor)
sejarawan Indonesia. Jika disebut secara berurutan tentu A.B. Lapian disebut pertama
(1987), satu dasawarsa kemudian Edward Poelinggomang (1991, diterbitkan 2002)
mengenai Pelabuhan Bebas Makassar abad ke-19;Masyhurimengenai kehidupan
nelayan di pantai utara Jawa (1995, diterbitkan 1996); Gusti Asnan (1998 diterbitkan
2007) mengenai pelayaran pantai barat Sumatera; Susanto Zuhdi(1999 diterbitkan 2010
& 2018) mengenai model kerajaan maritim Buton; Singgih Trisulistyono (2003, belum
diterbitkan) tentang peran Laut Jawa dalam proses integrasi ekonomi nasional; Sutejo
Kuwat Widodo (2005 diterbitkan 2007) tentang Pelabuhan Perikanan di Pekalongan;
Agustinus Supriyono (2008 belum terbit) mengenai buruh pelabuhan Semarang.
Setelah itu muncul beberapa disertasi namun sayangnya belum diterbitkan, antara lain:
Endang Susilowati (2004) tentang Pelabuhan Banjarmasin 1880-1990 pasang surut
pelayaran perahu rakyat; Indriyanto (2010) tentang Pelabuhan Surabaya; Didik
Pradjoko (2015) tentang Laut Sawu seteru-sekutu antarkekuatan kerajaan lokal di
Larantuka abad ke-19.
37
Pemetaan historiografi sejarawan maritim Indonesia yang relative sedikit itu
dikaitkan dengan arah dan perspektif “keindonesiaan” tampak masih terbatas pada
kawasan dan tema tertentu. Perspektif dan tema sejarah maritim sesungguhnya masih
terbuka luas untuk dikaji misalnya pada masyarakat pesisir baik dari aspek sosial-
ekonomi dan budaya masyarakat kepulauan. Kajian petani garam di pesisir Jawa dan
Madura seperti yang dilakukan Dr. Yety Rochwulaningsih, dalam pidato
pengukuhannya sebagai Guru Besar Sejarah dan Sosiologi Maritim pada Universitas
Diponegoro (2017) membuka perspektif ‘baru’ dalam pengembangan sejarah maritim
Indonesia.Dengan menggunakan pendekatan sosiologi, Prof. Yety mengemukakan
permasalahan petani garam yang terpinggirkan dan nasib Indonesia yang justru masih
tergantung impor garam. Padahal negeri ini memiliki laut luas dan garis pantai
terpanjang kedua di dunia.
Dalam perkembangannya tema mengenaikajian maritim sudah lebih banyak
ditemukan dalam IDAS daripada dalam buku Sejarah Nasional Indonesia. Di dalam
IDAS yang terdiri atas 8 jilid plus satu buku kronik, merupakan karya ‘monumental’
sejarawan Indonesia, setidaknya dilihat dari keterlibatan hampir seratus sejarawan dari
Tanah Air. Karya ini merupakan salah satu hasil rekomendasi Konferensi Nasional
Sejarah 2001. Dikerjakan dalam waktu yang panjang buku ini baru dapat diluncurkan
pada 2010. Umumnya karena dengan alasan mahal—dengan harga 5 juta rupiah--buku
ini tidak banyak diketahui apalagi dibaca. Aspek kemaritiman lebih banyak dijumpai
dalam IDAS (jilid 4) dibanding dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI). R.Z.Leirissa
menulis Bab 1 “Eropa Menemukan Asia Tenggara” (4-19); & Bab 2 “Verenigde Oost
Indische Compagnie” (21-41).; bab 3 Uka Tjandrasasmita “Persaingan di Pantai Barat
Sumatera”; Singgih Bab 4 “Pasang Surut Jaringan Makassar Hingga Masa Akhir
Dominasi Kolonial Belanda” (70-85); Singgih Bab 5 “Dinamika Kemaritiman dan
Integrasi Negara Kolonial” (86-125).
Dengan pemetaan kasar di atas tampaknya masih minim dan belum merata akan
kesempatan dan peluang untuk melakukankajian sejarah maritim di Indonesia. Belum
lagi masalah dalam hal belum adanya Perguruan Tinggi/Universitas seperti di
Kalimantan yang memiliki jurusan/Prodi Sejarah. Satu-satunya Prodi Sejarah di
Pontianak dimiliki oleh STIK PGRI. Bukan saja Kalimantan merupakan pulau terbesar
ketiga di Indonesia tetapi juga karena memiliki karakter banyaknya sungai unsur yang
38 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 tidak mungkin dipisahkan dari kemaritiman, maka sesungguhnya sudah sangat
mendesak untuk membuka Prodi Studi Sejarah.
5. Konsep Ruang Sejarah dan Pengembangan Teori
Pendekatan pasca-struktural (post-structuralism) dan terutama postmodernism yang
mendeskonstruksi sejarah karena pada umumnya hanya ditopang oleh fakta keras
dengan sumber arsip dan dokumen (resmi), perlu dipertimbangkan untuk
mengeksplorasi metodologi yang dibicarakan ini. Posmodernisme secara umum ditandai
oleh reaksi kesadaran diri untuk menghadapi semua wahana yang digunakan oleh aliran
“enlightenment” yang perhatiannya pada “kemajuan” (notion of progress) sebagai
produk budaya modernisme. Sedangkan pos-strukturalisme, dipahami dalam konteks
menyerang strukturalis yang menggunakan Bahasa –an sich—dianggap mewakili
kenyataan. Penggunaan bahasa dalam kerangka semiotiksebagai mekanisme referensial
yang berhubungan dengan “knowing”, “telling”, dan “meaning” harus dipertanyakan
kembali. Meminjam ungkapan Barthes “meaning is always unstable” (Munslow :206-
9).
Sejarah Indonesia pada dasarnya belum merepresentasikan masa lalu dari begitu
banyak pulau, terlebih dari kenyataan itu kehidupan masyarakatnya yang sering
dilukiskan dengan karakter pulau beserta lautnya, memberi peluang untuk
mengembangkan teori. Angin, air pasang surut, riak gelombang bagi masyarakat
kepulauan tidak hanya ditanggapi sebagai gejala alam melainkan juga makna bagi
kehidupannya. Oleh karena factor sejarah, gejala alam itu memberi makna lain dari
kehidupan,yang pada umumnya lebih digambarkan dengan tema politik dan narasi
besar. Kalaupun dibicarakan, politikyang dimaksud merupakan urusan atau kepentingan
masyarakat pulau yang terabaikan termasuk narasi yang tak muncul atau dimunculkan
ke permukaan. Oleh karena banyaknya rumpang pengetahuan mengenai pulau, yang
belum dikaji dan sebelum semua selesai dilakukan maka perlunya dirumuskan teori
yang kemudian diturunkan ke dalam konsep dan pendekatan sebagai pola yang dapat
digunakan untuk kajian yang masih ditunggu.
Bertolak dari konsep “ingatan kolektif” sebagai ditegaskan Taufik Abdullah
bahwa pada dasarnya masyarakat kepulauan diintegrasikan oleh kemaritimannya, maka
pola-pola pemahaman atas gejala sejarahnya dapat dirumuskan. Dalam kaitan itu maka
39 secara teoretik atau setidaknya kerangka konseptual boleh diajukan “ dalam perspektif
sejarah maritim, Indonesia adalah memori kolektif bangsa yang merajut pulau-
pulaunya”, hanya sayangnya masih banyak ‘pulau sejarah’ dan “sejarah pulau yang
terbaikan” (Zuhdi 2014 dalam lipatan depan buku). Jika teori harus dibangun dari titik
tolak pandang (point of view) atau pandangan dunia (world view) di lokasi mana gejala
hendak ditangkap dan diberikan makna, tiada lain dari geografi dan karakter kepulauan
itu sendiri. Kalau begitu maka historiografi maritim Indonesia hendaknya berorientasi
danbertolak seperti yang diungkapkan oleh penyair Kenya Ngugi Thiong ‘O “from what
base do we look at the world”. Bertolak dari geografi kepulauan dengan peran sistem
laut sebagai factor integratif sebag dikemukakan Lapian, maka Indonesia tidak hanya
ditanggapi sebagai kondisi fisiknya saja melainkan juga makna yang sering kali
metaforis.
Marshall Sahlins melalui bukunya “Islands of History” (1985) telah memberi
peluangbagi pengembangan teori sejarah maritim Indonesia. Sebagai ahli antropologi
yang mengkaji kehidupan masyarakat di Kepulauan Hawaiitampaknya ia sadar akan
pentingnya dimensi kesejarahan masyarakat lokal. Seharusnya terjadi pula hal yang
sebaliknya dilakukan sejarawan untuk memanfaatkan pendekatan antropologi untuk
kajian sejarah. Konsep antropologi yang paling relevan dalam studi dan penulisan
sejarah adalah sistem nilai dalam kebudayaan sebagai struktur pemaknaan terhadap
fakta sejarah. Seperti dikatakan Sartono Kartodirdjo bahwa menafsirkan fakta tidak
dapat dilepaskan dari ikatan kebudayaan (kultuurgebundenheit). Kaitan antara sejarah
dan budaya dijelaskan Sahlins dengan ungkapan begini: sejarah adalah gejala yang
secara budaya tertata, sedangkan budaya adalah struktur yang secara historis
direproduksi oleh tindakan (Zuhdi, 2018b:8-9).
Kontrak perjanjian yang dibuat Kesultanan Buton dan VOC/Belanda dari masa
ke masa dalam dua abad itu sesungguhnya merupakan rangkaian peristiwa yang dalam
konsep Sahlins merupakan fakta sejarah yang tertata dalam struktur budaya yakni
pemaknaan saling menguntungkan di antara keduanya. Buton terlindungi dari serangan
Gowa dan Ternate karena kehadiran VOC, sedangkan VOC diuntungkan karena
mendapatkan budak dan menguasai jalur strategis ke Kepulauan Maluku. Budaya dalam
arti struktur tidak berarti stabil karena terjadi berbagai peristiwa perlawanan sehingga
bisa terguncang atau bahkan runtuh sebagian atau keseluruhannya. Dalam arti positif
40 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 budaya sebagai struktur dapat direproduksi dalam bentuk ‘baru’ atau bentuk modifikasi
oleh karena adanya peristiwa yang digerakkan oleh individu atau kelompok sosial
tertentu. Begitulah ketika terjadi pembangkangan Sultan Himayatuddin karena justru
tidak mengatasi peristiwa perompakan kapal VOC di perairan Baubau 1752, bahkan
sultan berada di pihak perompak, maka struktur yang dijalin lama porak poranda.
Perang Buton pun meletus pada 1755, setelah tiga tahun tarik ulur yang tak
berkesudahan atas janji Buton untuk menyerahkan seribu budak tak terpenuhi, sebagai
hukuman atas tindakan Himayatuddin. Benteng Wolio dan kota Baubau diserang hebat
oleh pasukan yang dipimpin Kapten Reisweber pada 24 Februari 1755. Sapati (perdana
menteri) dan kapitalao (kepala staf angkatan laut) Buton gugur dan ratusan orang tewas
dalam serbuan pasukan Kompeni itu. Peristiwa itu diingat dalam syair Ajonga Yinda
Malusa karya pujangga Buton Abdul Ganiyu, sebagai Zamani Kaheruna Walanda
(zaman huru hara Belanda) (Zuhdi & Effendy 2015a:83).
Bagi Buton Kompeni Belanda dianggap sebagai pengabsyah legitimasi
kedaulatan di satu sisi, tetapi juga sebagai pengancam karena terus menerus
merongrongnya dalam hal kebutuhan untuk mendapatkan budak, di sisi lain. Secara
keseluruhan bagaimanapun Buton mengakui dengan kehadiran VOC, posisi Buton
sebagai negara yang digambarkan sebagai “perahu” terombang ambing antara tarikan
Gowa dan Ternate menjadi stabil. Dalam periode panjang struktur pengalaman
menghasilkan ketajaman intuisi orang Buton tanggap akan gejala alam; jika angin barat
(rope) berhembus maka akan datang serangan Gowa sedangkan angin timur (wana)
berembus tanda serangan Ternate akan datang. Kestabilan “perahu Buton” terwujud
ketika dapat berlabuh (di) haluan dan berlabuh (di) buritan. Begitulah dalam syair
Kabanti Ajonga Yinda Malusa, kondisi itu disebut sebagai “Labu Rope Labu Wana”
(Zuhdi 2018b: 2).
Dari pengalaman ancaman yang silih berganti dalam tempo yang panjang—dua
abad—telah membentuk “ingatan kolektif” yang kemudian menjadi “kesadaran
kolektif” orang Buton Labu Rope Labu Wana dapat disebut sebagai konsep dalam
konteks teori yang dapat menjelaskan bentuk keterancaman dan dinamika pemertahanan
diri bagi suatu komunitas atau entitas politik, yang umumnya masih banyak dijumpai di
negeri kepulauan, khususnya kawasan timur Indonesia.
41 KESIMPULAN
Metodologi dan teoriilmu sejarah akan berkembang jikaterdapat keberlanjutan diskusi
mengenai persoalan historiografi dengan berbagai studi kasus,baik secara langsung atau
tidak langsung, meneruskan dan memantapkan atau memperluas dan memperincinya ke
dalam aspek-aspek tertentu. Secara geografis masih banyak rumpang di banyak
kawasan kepulauan yang belum dikaji, masih banyak ‘pulau sejarah’ yang terabaikan
dan sebagai konsekuensinya merupakan keharusan untuk mengungkap “sejarah pulau”
nya. Arah yang pengembangan kajian sejarah maritim ke kawasan timur menjadi sangat
relevan, dalam konteks banyak kawasan yang belum tersentuh studi kemaritiman, yang
sesungguhnya tidak hanya dalam ranah sejarah, atau dari ilmu sosio-humaniora secara
sendiri-sendiri atau dengan berkolaborasi.
Justru berkolaborasi dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya, memungkinkan Ilmu
Sejarah mengembangkan kajian yang lebih komprehensif dan mampu merumuskan
teori. Triumvirat sejarawan terkemua Indonesia—Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah,
A.B. Lapian,-- telah mendemonstrasikan pencetusan dan pengembangan teori sejarah.
Dalam kaitan dengan sejarah maritim yang dibicarakan ini suatu upaya untuk
menerapkan pemikiran di atas mulai digarap, beberapa disertasi sejarawan maritim
Indonesia, yang dikemukakan di atas menjadi bukti.Penulis sendiri telah mencoba
“berteori” dalam kasus “sejarah Buton yang terabaikan” ini. Dengan mengemukakan
Labu rope labu wana, bukan hanya berarti untuk memahami sikap manusia Buton,yang
dibentuk oleh kesadaran akan ruang sejarah tetapi juga sebagai “teori” sejarah maritim
yang dapat diterapkan pada wilayah kepulauan.
Jika Benedetto Croece mengatakan bahwa “sejarah yang benar” adalah sejarah
kontemporer, apa yang sesungguhnya dimaksudkan adalah bahwa “sejarah selalu
kontemporer”. Artinya sejarah selalu relevan dengan masa kini, karena sejarawan ingin
menghadirkan ‘kembali’ masa lampau itu. Jika garis waktu ingin diproyeksikan ke
depan, maka masa lampau sebagai bahan utama sejarah yang dapat digunakan untuk
merumuskan kebijakan bagi masadepan yang lebih baik. Pertanyaannya kemudian,
fakta sejarah seperti apa yang dianggap relevan dengan kekinian bangsa Indonesia?
Jawaban perlu diletakkan dalam landasan dan pandangan terhadap lingkungan dunia
dan dunia kehidupan dari masyarakat pemilik sejarah.Sejarawan maritim ditantang tidak
hanya mampu menghasilkan kajian dalam arti pengembangan metodologi dan teori,
42 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 tetapi juga bagi masyarakat-bangsa dalam bentuk rumusan kebijakan, serta bagi
kemanusiaan yang menghargai hakikat kehidupan damai dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. 1971. “Kata Pengantar”, dalam P. de Roo de Faille. Dari Zaman
Kesultanan Palembang. Jakarta: Bhratara.
Abdullah, T. 1995. Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah. Pidato Pengkuhan Guru
Besar dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra UGM, pada tanggal 27
November.
Abdullah, T.. 2009. Indonesia Towards Democracy. Singapore, ISEAS.
Amal, A.M. 2010. Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Asnan, G. 2008. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Braudel, F.1966.The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip
II. Berkeley: University of California Press.
Giddens, A. 2005. “The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration:
Elements of the Theory of Structuration”, dalam Gabrielle M. Spiegel (ed.).
Practicing History New Directions in Historical Writing after the Linguistic
Turn. 121-142.
Iskandar, M. 2006. “Aksi Kolektif Petani Ciomas Tahun 1886 Dampak Politis Bagi
Pemerintahan Hindia Belanda”. Disertasi. Depok: FIB Universitas Indonesia.
Kartodirdjo, S. 1978. Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in
the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Kualalumpur: ISEAS
Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lapian, A.B. 1994. “Some Explorations in the History of the Maritime World of
Southeast Asia”, Makalah disampaikan dalam IAHA Conference Tokyo, 5-8
September.
Lapian, A.B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Studi Kawasan Laut Sulewesi
Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu. 2008.Pelayaran dan Perniagaan
Nusantara Abad ke-16 dan 17. Depok, Komunitas Bambu.
Lloyd, C. 1993. The Structures of History. Oxford: Blackwell.
43 Margana, S. et.al. (ed.).2017. Menemukan Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Masyhuri. 1996. Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa
dan Madura 1850—1940. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama bekerja sama
dengan Perwakilan KITLV.
Munslow, A. 2006. Historical Studies, Second Edition. Cambridge: Routledge.
Nordholt, S., Bambang Purwanto, Ratna Saptari. 2008. Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia. Jakarta: KITLV dan Penerbit Obor.
Notosusanto, N. dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1977. Sejarah Nasional
Indonesia, Jilid 3. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Nursam, M. 2008. Sejarah Yang memihak: Mengenang Sartono Kartodirdjo.
Yogyakarta: Ombak.
Poelinggomang, E.L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Purwanto, B. 1992. “From Dusun to Market: Native Rubber Cultivation in Southern
Sumatra”. PhD Thesis. London: SOAS University of London.
Purwanto, B. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Rahardjo, D.2017. Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi
Politik Sumitro Djojohadikusumo. Jakarta: LP3ES.
Rochwulaningsih, Y. 2007. “Membongkar Ketidakadilan Struktural Dalam Usaha
Garam Rakyat Melalui Perspektif Sosiologi Sejarah Guna Mewujudkan
Kesejahteraan Petambak Garam dan Swasembada Garam Nasional”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro,
Semarang 25 Maret.
Sahlins, M. 1985. Islands of History. Chicago: Chicago University Press.
Supriyono, A. 2008. “Buruh Pelabuhan Semarang: Pemogokan-pemogokan pada zaman
kolonial Belanda, Revolusi dan Republik 1900-1965. Disertasi. Amsterdam:
Vrije Universiteit.
Suryo, Dj. (ed.). 2010. Indonesia Dalam Arus Sejarah,Jilid 4. Editor Umum Taufik
Abdullah dan A.B. Lapian. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Toda, D.N. 1999. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah.
44 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Tri Sulistiyono, S. 2003. The Java Sea Network: Patterrns in the Development of
Interregional Shipping and Trade in the Progress of National Economic
Integration in Indonesia, 1870s—1970s. Proefschrift Universiteit Leiden.
Tri Sulistiyono, S. 2004. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Vos, R.1993. Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightroep of
Diplomacy in the Malay World, 1740-1800. Leiden, KITLV.
Widodo, S.K. 2005. Ikan Layang Terbang Menjulang. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro bekerjasama dengan The Toyota Foundation.
Zahari, A.M. Ajonga Yinda Malusa, tt.
Zahari, A.M. Kanturuna Mohelena tt.
Zuhdi, S. 2018a. “Belajar Dari Sejarah Perjuangan Bangsa”, Kompas, 27 Januari
2018:7.
Zuhdi, S. 2008. “Metodologi Strukturistik dalam Historiografi Indonesia: Sebuah
Alternatif”, dalam Djoko Marihandono (ed.). Titik Balik Historiografi di
Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Zuhdi, S. 2010. Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana. Jakarta:
Rajawali Grafindo, 2010.
Zuhdi, S. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.
Zuhdi, S. 2015b. “Budaya Bahari Sebagai Wajah Utama Masa Depan Negara Maritim
Indonesia”, Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-75, FIB-UI, Depok, 8 Desember.
Zuhdi, S. 2018b. “Buton dan Kesadaran Pada Ruang Sejarah”. Orasi Ilmiah 65 Tahun
Prof. Dr. Susanto Zuhdi: Tiga Dekade Arungi Sejarah Bahari. Depok, 4 April
Departemen Sejarah FIB-UI.
Zuhdi, S. dan Muslimin R. Effendy. 2015a. Perang Buton vs Kompeni-Belanda 1752-
1776. Mengenang Kepahlawanan La Karambau. Depok: Kobam.
Zuhdi, S. 2006. “Konsep Tanah-Air Dalam Perspektif Sejarah Indonesia”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar tetap, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Kampus
Salemba 25 Maret.
Zuhdi, Susanto. 2016. Cilacap 1830—1942: Bangkit dan Jatuhnya Sebuah Pelabuhan
di Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak, sebelumnya diterbitkan (KPG 2002)
45
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
KE ARAH PENULISAN SEJARAH (SENI) TARI MAENGKET MINAHASA: TANTANGAN KETERSEDIAAN HISTORIOGRAFI
Ivan Robert Bernadus Kaunang
Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi
Pos-el: [email protected]
ABSTRACT This article aims at discribing the challange of historiography availability, the factors that inhibit the availability of souces for Maengket Dance, and how the srategy toward the historiography availability which adeguate about Maengket Dance can be used in the development of historiography which is not just limited to the historical writing of Maengket Dance, but wider to the historical writing of other performance arts. Heuristic step becomes special in historical method in an effort to find and search for sources. A qualitative interpretive approach was employed to get a description of the link to the purpose of writing. The scarce of historical records became the challange for the availability of historiography of Minahasa Maengket Dance. This thing was related with the historical background of Minahasa as a region which has no standard letter of alphabet as other etnic groups in Indonesia that participate in giving the scarcity of historical sources of Maengket Dance. So it is important to open academic room for paying more attention to Maengket Dance as subject of research that participate in enriching historiography and treasure of culture art in Indonesia Keywords: historiography, Maengket Dance, Minahasa
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tantangan ketersediaan historiografi, faktor yang menghambat ketersediaan sumber Tari Maengket, dan bagaimana strategi ke arah ketersediaan historiografi yang memadai tentang Tari Maengket untuk dapat digunakan dalam pengembangan historiografi yang tidak saja terbatas pada penulisan sejarah Tari Maengket, tetapi lebih luas lagi pada penulisan sejarah seni-seni pertunjukan lainnya. Langkah heuristik menjadi khas dalam metode penelitian sejarah dalam upaya mencari dan menemukan sumber. Pendekatan kualitatif interpretatif digunakan untuk mendapatkan deskripsi kaitan dengan tujuan penulisan. Kelangkaan catatan sejarah menjadi tantangan ketersediaan historiografi Tari Maengket Minahasa. Hal ini terkait dengan latar historis Minahasa sebagai daerah yang tidak memiliki aksara baku sebagaimana sukubangsa lainnya di Indonesia yang turut memberi kelangkaan sumber tentang sejarah Tari Maengket. Dengan demikian penting dibuka ruang-ruang akademik untuk memberikan perhatian lebih terhadap Tari Maengket
46 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018
sebagai subjek penelitian yang turut memperkaya historiografi dan khazanah budaya berkesenian di Indonesia. Kata Kunci: historiografi, Tari Maengket, Minahasa
PENDAHULUAN
Penulisan sejarah atau historiografi memiliki banyak pengertian. Dari semua pengertian
tersebut, mengandung maksud dan tujuan pada setiap tulisan, baik karya sejarah
maupun yang bukan tulisan sejarah. Disebut sebagai sebuah tulisan sejarah atau bukan,
akan terkait langsung dengan metode dan pendekatan penelitian dan penulisan. Dibalik
dari semua tulisan/karya, bagi historiografi yang utama adalah sejauhmana sebuah
tulisan dapat memberikan data/informasi yang dibutuhkan. Historiografi pada akhirnya
sebagai tujuan akhir dari karya sejarah yang dapat memberikan gambaran, informasi,
keterangan, kondisi, dan ketersediaan data/sumber bagi suatu tema tulisan sejarah, baik
berupa buku (text book) maupun berupa cerita-cerita (legenda, mitologi), nyanyian-
nyanyian, syair, puisi, pantun, novel, cerpen, dsb.
Untuk mendapatkan sebuah data/sumber berkaitan dengan tema tertentu tidaklah
mudah, seperti halnya mendapatkan data/sumber berkaitan dengan kesenian rupa, tari,
musik, dan sejenisnya. Seni-seni tertentu, seperti dalam pembahasan ini, yakni
ketersediaan historiografi seni tari Maengket di Minahasa, tidaklah mudah. Hal ini
kaitannya dengan sifat kesenian itu sendiri. Tari adalah seni gerak, dan ekspresinya
dalam bentuk gerakan bukan dalam bentuk tulisan. Terkadang seni gerak atau tarian
dapat ditemukan dalam sebuah tulisan tetapi dalam bentuk syair nyanyian pengiring tari,
bentuk koreografer atau bentuk-bentuk formasi tari. Sangat jarang ditemukan sebuah
karya tulis seni tari, apalagi tari itu adalah tari-tari tradisi pada suatu masyarakat yang
tidak memiliki tulisan atau aksara baku sebagaimana dikenal umum dalam tulisan abjad
A sampai Z.
Minahasa sebagai salah satu sukubangsa (dibaca bangsa) dari sekian ratus suku-
sukubangsa di Indonesia adalah salah satu yang tidak memiliki aksara baku. Banyak
kisah dan peristiwa dari sukubangsa Minahasa masih memerlukan interpretasi dan tafsir
atas begitu banyak simbol-simbol dan tanda-tanda, seperti yang terukir dalam wadah
batu-batuan. Beberapa di antaranya telah diberi makna oleh para pengkaji pendahulu
dengan berbagai alasan yang ditemukan dalam proses penelitian, seperti goresan-
47 goresan dipusat peradaban Minahasa, Watu Pinawetengan. Pemahaman yang sama
dapat ditemukan jika interpretasi arti dan makna terhadap sesuatu tanda dan simbol
memiliki latar emosional yang dapat diterima oleh pemilik budaya setempat. Sebaliknya
terdapat perbedaan pendapat terhadap sesuatu hal jika pemenuhan aspek historis dan
kultural belum dapat dicapai oleh peneliti dan pengkaji tanda dan simbol dimaksud
secara emik.
Apa yang dikemukakan di atas adalah dinamika dari latar historis Minahasa
sebagai suatu daerah, selain tidak memiliki aksara baku sebagaimana sukubangsa
lainnya di Indonesia yang memiliki huruf dan adanya tulisan-tulisan awal dari berbagai
ketersediaan catatan-catatan, dan terbukanya tabir kesejarahan suatu pokok bahasan
tertentu. Kelangkaan catatan sejarah menjaditantangan ketersediaan historiografi Tari
Maengket Minahasa. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tantangan ketersediaan
historiografi, faktor-faktor yang menghambat ketersediaan sumber Tari Maengket, dan
bagaimana strategi ke arah ketersediaan historiografi yang memadai tentang Tari
Maengket untuk dapat digunakan dalam pengembangan historiografi yang tidak saja
terbatas pada penulisan sejarah Tari Maengket, tetapi lebih luas lagi pada penulisan
sejarah dari seni-seni pertunjukan lainnya.
Metode sejarah menjadi ciri dalam langkah-langkah penelitian terutama langkah
heuristik dalam mencari dan menemukan sumber, dan benar-benar menemukan.
Penemuan sumber dilakukan baik melalui perpustakaan maupun observasi search
internet sebaran sumber terkait lainnya. Setelah sumber diperoleh dan diinventarisir,
klasifikasi sumber dengan pendekatan kualitatif interpretatif, kemudian dilanjutkan
dengan deskriptif. Berdasarkan bentuk penyajiannya sumber data berupa buku teks
seperti, tesis, disertasi, dan makalah-makalah hasil seminar yang sebagian di antaranya
disatukan dalam prosiding seminar nasional maupun internasional, sebagiannya lagi
dalam bentuk sajian jurnal penelitian.
PEMBAHASAN
1. Ruang Intelektual: Tantangan Ketersediaan Historiografi Tari Maengket
Minahasa
48 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 Sampai saat ini, sepanjang pengetahuan penulis yang aktif melakukan pendampingan di
komunitas-komunitas kelompok diskusi budaya, dan bergaul aktif di dewan kesenian
daerah, serta beberapakali menjadi tim yuri lomba seni budaya khususnya Tari
Maengket di daerahtermasuk ditunjuk sebagai salah satu fasilitator di daerah bersama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) Jakarta bekerjasama dengan
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado dalam pengusungan TM sebagai salah
satu warisan budaya dunia di tahun (2012) masalah utama yang dihadapi adalah
ketersediaan data/sumber pendukung Tari Maengket.
Menilik sejarah Tari Maengket, tidak bisa lepas dari sejarah daerah Minahasa
yang dalam konteks historiografi pada umumnya di generasi kekinian dan sebelumnya,
hanya memanfaatkan tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh arsiparis barat. Jika
diamati dengan seksama sejarah publik kaitannya dengan Tari Maengket yang beredar
di media sosial adalah Tari Maengket Imbasan atau tulisan dan karya yang telah melalui
interpretasi atas karya-karya sebelumnya.Sebagai sebuah seni gerak atau tari, proses
perkembangannya sangat dinamis mengikuti kondisi sosial budaya suatu masyarakat.
Ekspresi seni Tari Maengket kekinian tidak lagi original yang mengusung keaslian
sebuah tari sebagaimana awalnya tari itu lahir. Apa yang nampak dalam Tari Maengket
sekarang adalah sebuah ekspresi seni tari yang telah mengalami proses adaptasi dari
zaman ke zaman dalam konteks budaya keminahasaan.
Tantantangan ketersediaan tulisan yang representatif dalam sebuah buku, jika
dibanding dengan karya tari-tarian tradisi di Jawa dan Sumatera, khusus di Minahasa
Sulawesi Utara masih tertinggal jauh. ketertinggalan itu disebabkan oleh banyak faktor
baik dari dalam maupun luar. Faktor dari dalam seperti kurangnya ruang partisipasi
intelektual para pangkaji tari-tari tradisi khususnya di daerah Minahasa, kurangnya
seminar, diskusi, dan sejenis yang membahas khusus tentang Tari Maengket. Begitupun
keterlibatan instansi teknis yang memiliki peran dalam mengembangkan kebudayaan di
daerah, seperti Balai Pelestarian Nilai Tradisi (BPNB) Manado – Sulawesi Utara,
Taman Budaya, Dinas Pendidikan dan, Dinas Kebudayaan, termasuk Perguruan
Tinggi/Universitas. Pada umumnya didapati berkaitan dengan ruang cipta karsa Tari
Maengket ini ditempatkan dalam ruang-ruang pementasan atraksi wisata dan daya tarik
untuk kegiatan pariwisata, dan kegiatan seremonial lainnya.
49 Produksi dan distribusi Tari Maengket sebagai salah satu tarian tradisional yang
menjadi bagian representasi diri/identitaas keminahasaan lebih banyak dibuka ruangnya
pada acara seremonial semata bukan pada kajian-kajian kearah ketersediaan
historiografi Tari Maengket. Festival dan lomba Tari Maengket banyak didapati dan
dilaksanakan oleh sejumlah instansi, dan sering menjadi trendi pada bulan-bulan
tertentu, seperti misalnya Hari Ulang Tahun kota kabupaten di Minahasa (Kabupaten
Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Manado, Kota
Bitung, Kota Tomohon); kegitan-kegiatan yang diarahkan untuk mengisi kekosongan
suatu acara seremonial-resepsi, yang diakhiri dengan menyajikan atraksi Tari Maengket
sebagai pelengkap suasana meriahnya suatu kegiatan acara.
Tidak disadari lagi oleh seniman yang memproduksi dan mendistribusi Tari
Maengket sebagai salah satu tarian sakral bukan untuk seremonial, namun dengan
pengaruh globalisasi dan kegiatan pariwisata, Tari Maengket ini menjadi ikon utama
dalam banyak kegiatan. Pariwisata dengan industri pariwisatanya telah mendorong
munculnya berbagai sanggar-sanggar seni Tari Maengket sebagian besar di antaranya
jatuh bangun dalam menghidupkan organisasi sanggarnya. Hanya sanggar-sanggar seni
yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang mapan yang mampu bertahan
dalam eforia memanfaatkan kendaraan memajukan kebudayaan di daerah melalui seni
Tari Maengket Minahasa. Sanggar-sanggar seni yang memiliki modal sosial yang kuat
adalah sanggar yang para pimpinannya memiliki jabatan tertentu di pemerintahan atau
di instansi/lembaga swasta. Modal sosial seperti konsep ini memungkinkan sistem
relasional yang mutual simbiosis mengemuka. Sanggar-sanggar seni Tari Maengket
seperti inilah yang akan sering tampil karena kekuatan jaringan sosial yang
direpresentasikan melalui pimpinannya. Begitupan sistem kerjanya praktik berkesenian
dengan sanggar-sanggar seni Tari Maengket lainnya yang memiliki modal ekonomi
yang mapan.
Eforia lainnya terjadi pada tingkat tinggi, justru sanggar-sanggar seni yang
memiliki kemapanan modal inilah yang menkomodifikasi Tari Maengket sesuai dengan
keinginan sanggar dan panggung. Perubahan-perubahan dalam banyak aspek dalam seni
Tari Maengket terjadi dan tidak bisa dielakkan, karena tidak ada satu instansipun atau
lembaga yang dapat memberikan koreksi terhadap penampilan busana tari dan asesories
lainnya, jenis penggunaan musik pengiring, dan lainnya.
50 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 Dari fenomena seputar eksistensi Tari Maengket yang dikemukakan
sebelumnya, ternyata ada begitu banyak tema-tema kajian yang dapat dikembangkan
oleh peneliti Tari Maengket. Hambatannya, mungkin disebabkan belum mendapatkan
akses dan minat, serta adanya ruang terbuka yang mengarahkan untuk melakukan kajian
yang berfokus pada Tari Maengket. Hal ini juga terkait dengan infrastuktur yang
memberikan stimulus seperti ketersediaan Perguruan Tinggi yang menjadikan aspek-
aspek seni dan budaya daerah, locus lokalitas menjadi trendi penelitian. Program studi
seni harusnya menjadi pelopor walaupun hanya satu-satunya di daerah ini, akan tetapi
trendi berkesenian di daerah ini terkesan pada praktik atau atraksi (lomba, festival dan
atraksi hiburan lainnya) bukan pada penelitian-penelitian yang menghasilkan karya
tulis. Dengan demikian dorongan kearah ketersediaan historiografi yang memadai untuk
menambah perbendaharaan historiografi Tari Maengket terkesan lambat.
2. Historiografi Yang Tersebar: Inventarisasi Tari Maengket
Pekerjaan heuristik dalam mencari dan menemukan data/sumber Tari Maengket dan
kesenian Minahasa pada umumnya masih sangat langka. Tulisan ini berusaha
menghadirkannya untuk tujuan inventarisasi dan penjelajahan pustaka atau pendataan
dengan memilah sumber atas beberapa klasifikasi teks buku, karya tesis, disertasi, jurnal
hasil penelitian dan sejenisnya.Berikut ini inventarisr historiografi Tari maengket yang
tersebar berdasarkan urutan tahun dan sejauh yang dapat dijangkau oleh penulis.
Secara umum informasi Tari Maengket dapat dikatakan masih sangat kurang dan
dapat dihitung “dengan jari”, artinya secara langsung dapat kita sebut beberapa referensi
yang representatif dalam bentuk karya yang dipublikasikan untuk 5-10 tahun terakhir.
Jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya terasa sangat sulit untuk mendapatkan
sumber tulisan, pada umumnya berupa hasil foto kegiatan seremonial Tari Mengket,
observasi lapangan dan wawancara informan. Beberapa catatan historiografi Tari
Maengket umumnya tersebar di bagian bab atau sub-bab dalam sebuah buku ketika
membahas kesenian di daerah. Sebagai contoh dalam buku Sigarlaki, dkk (1977/78)
Sejarah Daerah Sulawesi Utarayang diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah (P3KD) yang dalam beberapa halaman terpisah sub-bab
menyinggung sedikit tentang Tari Maengket sebagai tari tradisi, tarian asli daerah
Minahasa ketika panen padi tiba yang biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus dan
51 September. Dijelaskan juga soal Tarian Maengket Marambak yang dikhususkan untuk
pesta rumah baru (peresmian), kemudian menjelaskan sedikit tentang perkembangan
Tari Maengket pada masa pendudukan Jepang yang dilarang oleh pemerintah Jepang,
dan yang justru berkembang kesenian musik lainnya seperti musik bambu dan musik
kolintang yang lebih diarahkan untuk menghibur tentara Jepang.
Proyek sejenis di tahun berikutnya dalam payung P3KD Depdikbud adalah
inventarisasi buku historiografi Tari Maengket, dengan pembuatan ensiklopedi musik
dan tari yang pernah dilakukan di Sulawesi Utara tahun 1978/79. Penelitian dan
pencatatan musik dan tari berhasil mencatat sejumlah kesenian baik yang masih
mempertahankan tradisinya maupun yang sudah terpengaruh oleh perkembangan zaman
(modernisasi).
Dalam ensiklopedi ini, selain tari-tarian tradisional dan moderen lainnya, Tari
Maengket termasuk dalam pencatatan, sayangnya yang dicatat tidak lagi Tari Maengket
“asli” original tetapi sudah Tari Maengket Imbasan atau tari yang telah mengalami
banyak perubahan sesuai dengan tanggapan masyarakat dan perkembangan
kebudayaandiwaktu itu. Maengket Imbasan adalah jenis tari yang telah mengalami
variasi dan modernisasi, baik dari ragamnya, tata geraknya termasuk lirik lagunya. Tari
Maengket modernisasi adalah Tari Maengket yang telah dipengaruhi Tari Jajar (tari
baris-berbaris), pengaruh musik dan irama dansa Barat, Mars, Wals, Foxtrot dan
sejenisnya (Ticoalu, 1978/79: 188).
Mengenai sejarah Tari Maengket sebagai sebuah tari tradisi awalnya adalah
tarian sakral dan berfungsi ritual yang hadir bersamaan dengan musim panen padi tiba.
Dalam perkembangannya Tari Maengket telah menjadi seni tontonan yang berfungsi
rekreatif yang tadinya berfungsi untuk kebutuhan ritual adat. Sejak tahun 1925 Tari
Maengket mulai berubah fungsinya: dari fungsi sakral menjadi fungsi hiburan rekreatif,
ketika Tari Maengket dipanggungkan pada saat festival permainan rakyat dan pacuan
kuda di lapangan Sario Manado. Kegiatan festival ini menjadi ajang pertemuan dan
mempererat seluruh kawanua (kawan se-wanua/se-kampung) di seluruh tanah Minahasa
(Ticoalu, 1978/79: 187-188).
Isi ensiklopedi ini untuk Tari Maengket, selain sedikit memberikan informasi
sejarah, asal-usul penamaan dan artinya, yang utama dan terbanyak adalah keterangan
sejarah perkembangan festival Tari Maengket dalam berbagai perlombaannya dari tahun
52 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 1950 – 1970. Sesudah tahun 1970, maka Tari Maengket mulai ditata dalam bentuknya
seperti yang berkembang sekarang ini (Ticoalu, 1978/79: 189).
Berbarengan dengan kemajuan dan kebangkitan kesenian tradisi yang pada
tahun-tahun tertentu menjadi trendi, usaha-usaha berkesenian dilakukan oleh instansi
terkait seperti Dinas Pendidikan Nasional dengan diadakannya lomba-lomba kesenian
dengan mengikutsertakan Tari Maengket sebagai salah satu tema lomba. Biasanya
sebelum diadakan lomba ada sosialisasi pelatihan pelatih dan yuri pertandingan yang
diikuti oleh para guru. Dari sini diperoleh data historiografi yang bersifat makalah-
makalah lepas yang memberikan informasi tentang Tari Maengket.
Beberapa makaah yang memperkuat historgrafi Tari Maengket, antara lain:
Tulisan Ogi (1982) “Seni Tradisional Maengket” Makalah Bahan Bimbingan dan
Penyuluhan Kesenian Guru-Guru SD se-Kotamadya Manado, 26 Juli – s/d 4 Agustus di
Taman Budaya Manado; Posumah (1985) “Masa Depan Maengket dalam Pembinaan
dan Pengembangannya, Taman Budaya Manado; Posumah (2005) “Diskusi Nilai
Budaya Luhur dalam Kesenian Maengket” Makalah yang dibawakan di Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Manado.
Selanjutnya, ada kumpulan makalah terkait Tari Maegket yang dirangkum
menjadi satu bundel yang diinisiasi oleh Taman Budaya Manado-Sulut. Beberapa
makalah walaupun tidak membahas khusus Tari Maengket tetapi beberapa catatan
kesenian musik turut menjadi bagian historiografi Tari Maengket. Begitupun kumpulan
materi pelatihan Tari Maengket tingkat lokal dan nasional yang dilaksanakan oleh
Panitia Festival Seni Budaya Sulawesi Utara di Jakarta. Beberapa makalah yang
berhasil didapatkan penulis, antara lain: Anonim (1985) “Hasil Sarasehan Tari
Maengket se Manado Minahasa dan Bitung” 18 Juni. Taman Budaya; Anonim (2006)
“Materi Pelatihan Pelatih Tari Maengket” Oktober. Sulawesi Utara; Tahun yang sama
(2006) “Buku Panduan Seminar Nasional Tari Maengket, Sabtu 24 Juni. Jakarta Nam
Centre; Gerungan (2006) “Penjurian dan Pedoman Dasar Juri/Pembanding dalam
Festival Maengket”; Loho (2006) “Sastra Tari Maengket Versi Tombulu”; Matindas
(2006) “Peran Maengket dalam Pengembangan Masyarakat, Peran Masyarakat dalam
Pengembangan Maengket”; Mewengkang (2006) “Pakaian Tari Maengket Atribut dan
Tatarias”; Parengkuan (2006) Seni Tradisi dari Minahasa, Senarai Kisah Seuntai
53 Sastra”; dan Wenas (2006) “Sejarah Maengket”. Semua tulisan ini terangkum dalam
buku panduan seminar nasional.
Walaupun kumpulan makalah ini ditulis hanya beberapa halaman saja, dan
umumnya tidak melebihi 10 halaman, tetapi makalah-makalah ini telah memberikan
khazanah pengetahuan historiografi Tari Maengket dari berbagai perspektif ide. Dari
sini, seharusnya ruang intelektual, dan bangku-bangku akademik dapat
memanfaatkannya dalam kajian-kajian pengembangan lainnya. Namun sayangnya oleh
karena berbagai faktor sehingga belum menjadi perhatian.
Historiografi lainnya, karya Lumempouw (2002) dalam jurnal ilmiah
Masyarakat Linguistik Indonesia (LMI) membahas Penggunaan Bahasa dalam Tarian
Maengket sebagai Pengungkap Pola Pikir Etnik Tonsea. Tulisan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi bahasa daerah yang digunakan sebagai pengungkap pola pikir etnik
Tonsea; menjelaskan makna-makna budaya yang terkandung dalam bahasa itu dan
menklasifikasi relasi kehidupan etnik Tonsea dalam tarian Maengket.Tulisan ini
berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara sejumlah informan sehingga
penelusuran referensi yang digunakan kaitannya dengan Tari Maengket tidak ada sama
sekali, dan hal ini menjadi kesulitan lain peneliti selanjutnya untuk mengembangkan
penelitian. Simpulan penelitian ini, lirik syair Tari Maengket mencerminkan pola pikir
etnik Tonsea di bidang kehidupan agama, pertanian, dan sistem kekerabatan.
Karya Sri Sunarmi (2004) berjudul Tari Maengket: Perspektif Pemikiran di
Balik Ritual Pergaulan di Minahasa. Penelitian ini berupa tesis magister dengan fokus
kajian seni pertunjukan dengan menitikberatkan pada teknik penyajian Tari Maengket
dalam tiga babak yag ditampilkan sekaligus. Dari tampilan tari ini, kemudian dilihat
aspek-aspek pesan yang tergambar dari sajian tari ini dari unsur-unsur ritus yg
terkandung didalamnya, bentuk-bentuk simbol sebagai pesan, komunikasi verbal
melalui nyanyian tari yang memiliki makna vertikal yang ditujukan kepada Yang Maha
Kuasa, dan makna horisontal kaitan dengan kebersamaan, kekeluargaan antar
masyarakat Minahasa. Tesis ini menggunakan pendekatan fenomenologi, etno-art,
hermeneutik dan simbolik. Simpulan karya ini menunjukkan bahwa Tari Maengket
telah menjadi budaya populer, tari-tarian muda mudi untuk pergaulan.
Selanjutnya berupa laporan penelitian dari Suoth (2005) dengan judul “Kajian
Nilai Budaya Tarian Maengket”. Penelitian ini merupakan salah satu proyek penelitian
54 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 bagi fungsional di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Manado. Dari
judulnya, jelas yang menjadi fokus adalah nilai budaya, disamping penjelasan lainnya
dengan adanya pembagian kelompok umur dalam setiap lomba Tari Maengket, yakni
klasifikasi anak-anak, remaja dan kelompok orang dewasa. Aspek sejarah menjadi
tinjauan latarbelakang namun tidak begitu mendalam, dalam artian hanya sebagai
gambaran umum untuk jalan masuk pada fokus kajian nilai budaya. Simpulannya Tari
Maengket telah menjadi alat hiburan dan menjadi budaya populer dari kampung ke
kampung di daerah Minahasa dalam berbagai kegiatan masyarakat.
Di tahun yang sama karya Rumengan (2005) “Seni Pertunjukan dalam
Perspektif Sejarah” yang turut menyinggung bahasan Tari Maengket dari aspek
kesenian, seperti melodinya, aspek atmosfir vokal etnis Minahasa umumnya yang ada
dalam nyanyian Tari Maengket. Tema kajian lainnya dalam judul yang sama pada
tekanan bahwa masyarakat Minahasa menjadikan nyanyian sebagai salah satu bagian
kehidupan budayanya. Bahwa seluruh aspek kehidupan manusia Minahasa tidak bisa
lepas dari nyanyian sebagai salah satu ritus. Dengan kata lain seluruh aspek kehidupan
tradisi manusia Minahasa tidak ada yang tidak diikuti dengan bernyanyi. Mungkin yang
dimaksud dengan kalimat ini adalah, permohonan-permohonan yang diajukan manusia
Minahasa sesungguhnya dilakukan dengan perkataan berirama sehingga disebut
nyanyian. Karya ini juga menyinggung perkembangan musik Minahasa yang telah
mengalami hibriditas atau percampuran dengan adanya pengaruh gaya musik Portugis
dan Spanyol yang mulai diperkenalkan sejak abad ke-17 oleh para missiologi dengan
lagu-lagu rohani khas gregorian (seperti credo ave Maria), musik barat Iberian
termasuk musikal pengaruh instrumen gitar, ukulele, biola dan sejenisnya.
Dijelaskan lebih jauh bagaimana pengaruh musik Barat terhadap musik-musik
pribumi, musik tradisi di Minahasa turut dipengaruhi atmosfir vokal dengan kekhasan
tangga nada diatonis dalam Tari Maengket yang juga ada dalam musik-musik barat
lainnya seperti fash polka, charamba yang dalam musik lokal di Minahasa disebut
musik karambangan atau musik kobong/kebun; musik petani. Maju pesatnya industri
musik menempatkan musik-musik tradisi seperti Tari Maengket juga berbenah diri
menjadikan nyanyian-nyanyiannya menjadi populer yang dikemas dalam banyak rupa
untuk bersaing dengan “genre-genre” musik pop lainnya.
55
Selanjutnya karya penulis sendiri (2008) “Komodifikasi Tari Maengket
Minahasa: Tradisi ke Pasar”. Tulisan ini diterbitkan dalam Jurnal Kajian Budaya
Volume 5 No.9/2008 yang kemudian menjadi inspirasi dan dilanjutkan menjadi
disertasi pada program doktor kajian budaya di Universitas Udayana Denpasar-Bali
tahun 2010. Disertasi ini diberi judul “Komodifikasi Tari Maengket Minahasa di Era
Globalisasi, kemudian dibukukan dengan memodifikasi beberapa bab yang tadinya
delapan bab. Ketika diedit untuk menjadi sebuah buku yang representatif, termasuk
mengeluarkan bab khusus tentang metode penelitian, maka menjadi 12 bab, dan
diterbitkan dengan judul yang baru: “Maengket Kristalisasi Politik Identitas ke-
Minahasa-an”.
Buku ini merupakan salah satu buku monumental dan representatif dari
historiografi Tari Maengket sebelumnya. Disebut demikian, karena historiografi
sebelumnya barulah bersifat penjelasan dan gambaran umum, dengan pendekatan
positivistik kaitan dengan tujuan tematis yang diangkat dan terbatas pembahasannya.
Sebelumnya dapat dikatakan belum ada buku tentang Tari Maengket. Pada umunya
tulisan dan karya Tari Maengket yang ada, hanya makalah-makalah lepas atau menjadi
bagian (sub-bab) dalam sebuah buku. Kelebihan dari buku ini selain pendekatannya
kajian budaya, alat-alat analisisnya dengan menggunakan beberapa teori posmoderen,
seperti teori komodifikasi, teori budaya populer, teori dekonstruksi, dan teori
representasi.
Karya ini mengkaji kaitannya dengan Tari Maengket, seperti gambaran umum
daerah Minahasa dan kesenian yang berkembang dari masa ke masa, potensi kesenian,
baik kesenian musik dan tari turut juga diikutkan dengan sejarahnya. Perkembangan
Tari Maengket dibahasa tuntas, dari bentuk sakral ke profan, dari bentuk desa ke bentuk
hiburan kota, dari atraksi ritual menjadi atraksi wisata, serta kontestasi dan perebutan
ruang komodifikasi dan ideologi dari banyak organisasi yang berkecimpung dalam seni
Tari Maengket. Hal-hal seperti ini dibahas dalam fenomena festival ke festival dan
sejumlah lomba, pertandingan dan eksebisi Tari Maengket dalam berbagai ruang dan
tempat, termasuk klaim-klaim kaitan dengan eksistensi Tari Mengket dari sejumlah
sanggar dan organisasi/lembaga pemerintah maupun swasta.
Aspek-aspek tari kaitan dengan elemen-elemen Tari Maengket, mulai dari
busananya, gerak tari, lirik dan nyanyian, musik pengiring, tempat pementasan serta
56 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 estetikanya tidak luput dari pembahasan, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan perubahan bentuk, makna, dampak, dan nilai budayanya.
Di tahun yang sama, terbit juga sebuah karya dari disertasi Rumengan (2010) di
program pascasarjana Insitut Seni Indonesia Yogyakarta yang dibukukan atas volume 1
dan II, masing-masing berjudul: “Maengket: Seni Tradisional Orang Minahasa,
Perkembangan dan Permasalahannya”; Maengket Seni Tradisional Orang Minahasa.
Estetika, Struktur Musik, Tari, Sastera”.
Menilik perkembangan historiografi Tari Maengket, gairah penulisan Tari
Maengket mulai muncul, tertama ketika dua buku monumenta itu hadir ke publik
pembaca, walaupun sebelumnya sudah ada historiografi Tari Maengket dari para
praktisi dan penikmat tari melalui Taman Budaya dan penulis sendiri. HistoriografiTari
Maengket, baik dalam bentuk makalah-makalah disejumlah seminar nasional-
internasional, dan dalam jurnal ilmiah,sebagian di antaranya dapat di downloud dari
internet, di antaranya:Kaunang (2015) “Turistifikasi Tari Maengket Minahasa”;
“Kemasan Tari Maengket dalam Menunjang Industri Kreatif Minahasa Sulawesi Utara
di Era Global”; (2017) “Tari Maengket Minahasa sebagai Cerminan Multikultural dan
Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda”. Selanjutnya, Tumurang “Fungsi Tari
Maengket di Kota Tomohon Provinsi Sulut”; Rattu “Penggunaan Media pada Maengket
Era Global”; dan “Kearifan Lokal pada Maengket sebagai Identitas Minahasa”; Rattu
(2017) “Peran Pergelaran Maengket dalam Membingkai Kebhinekaan di Bumi
Nusantara”.
Dari sejumlah karya historiografi Tari Maengket yang disebutkan, terlihat
adanya perkembangan ketersediaan historiografi, namun jika ditilik dari penulis dan
referensi yang digunakan tidak ada perkembangan, karena pada umumnya tulisan yang
ada adalah turunan dari referensi yang terdahulu, hanya saja tema kajian dan analisis
yang berbeda. Secara ontologis objek kajian sama dan yang membedakannya adalah
epitemologis kaitannya dengan pendekatan dan teknik analisis serta tujuan yang
diharapkan dari sebuah karya.
KESIMPULAN
Tari Maengket sebagai sebuah kesenian tari tradisi memiliki daya pikat untuk lebih
banyak dikaji di ruang-ruang akademik walaupun terkesan belum banyak diminati. Di
57 sisi yang lain, ke arah ketersediaan historiografi Tari Maengket sudah menunjukkan
referensi yang memadai untuk melangkah ke tema-tema lain yang lebih menantang.
Inventarisasi historiografi Tari Maengket menunjukkan persebaran tulisan yang
beragam walaupun referensi yang digunakan terbatas atau belum menunjukkan
referensi baru atau masih pustaka turunan. Begitupun penulis masih terbatas pada
beberapa orang dan belum meluas sebagai tema kajian yang menarik dan masif jika
dibanding dengan kesenian tari di daerah lainnya. Walaupun begitu, proses peminggiran
dan vokalitas kajian Tari Maengket dibanding dengan kajian-kajian kesenian tari
lainnya di Indonesia sudah dapat dibandingkan dan menutup kemungkinan adanya
kesenjangan perkembangan budaya lokal yang dapat mempengaruhi kebudayaan
nasional sebagai jati diri bangsa.
Tema-tema kajian pada umumnya seputar seni, kajian budaya, kajian bahasa
dengan pendekatan linguistik antropologi, dan tradisi lisan. Pada umumnya masih dalam
rumpun kajian sosial budaya, sosial humaniora. Belum banyak didapati adanya kajian
diluar tradisi budaya yang ada, seperti karyaMangantar (2016) “Representasi Tari
Maengket pada Desain Arsitektur”. Karya ini menjadikan pola tari sebagai ruang desain
arsitek.
Ke depan, penting ruang-ruang akademik memberi perhatian lebih terhadap
tema kajian yang fokus pada Tari Maengket sehingga temua-temuan baru dapat
diperoleh dan turut memperkaya khazanah budaya berkesenian di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. “Buku Panduan, Seminar Nasional Tari Maengket”. Sabtu, 24 Juni.
Panitia Seminar Nasional Tari Maengket, Jakarta: Nam Centre.
Anonim. 2006. “Materi Pelatihan Pelatih Tari Maengket” Oktober. Sulawesi Utara:
Panitia Festival Seni Budaya.
Gerungan, D. 2006. “Penjurian & Pedoman Dasar Juri/Pembanding dalam Festival
Maengket”dalam Anonim Materi Pelatihan Pelatih Tari Maengket Sulawesi
Utara. Jakarta: Panitia Festival Seni Budaya Sulawesi Utara. hlm. 56-65.
Rattu, J.A. 2012. “Penggunaan Media pada Maengket Era Global” Prosiding the 4th.
International Conference on Indonesian Studies: Unity Diversity and Future”
58 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018
dalam https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-38.pdf (diakses April
2018).
Rattu, J.A. t.t. “Kearifan Lokal pada Maengket sebagai Identitas Minahasa” Prosiding
the 5th. International Conference on Indonesian Studies: Etnicity and
Globalization. (diakses, April 2018).
Rattu, J.A. 2017. “Peran Pergelaran Maengket dalam Membingkai Kebhinekaan di
Bumi Nusantara” dalam Prosiding Seminar Nasional Membingkai Kebhinekaan di
Bumi Nusantara: Kerjasama Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi
Utara dan Laboratorium Fispol Unsrat Manado. Hotel Aryaduta, 26-29 April, hlm.
425 – 437.
Kaunang, I.R.B. 2008. “Komodifikasi Tari Maengket di Minahasa: Tradisi ke Pasar”
dalam Jurnal Kajian Budaya Vol. 5 No. 9 Januari, hlm. 95-108.
Kaunang, I.R.B. 2010. Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an).
Denpasar Bali: Intan Cendekia Yogyakarta kerjasama dengan Program Magister
dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana Bali.
Kaunang, I.R.B. 2012. “Kemasan Tari Maengket dalam Menunjang Industri Kreatif
Minahasa Sulawesi Utara di Era Global” Laporan Penelitian Unggulan Unsrat,
DIPA Unsrat. Dimuat dalam Jurnal LPPM Unsrat Bidang EkoSosBudKum.
Volume 2 No. 1 Tahun 2015, hlm. 89-106.
Kaunang, I.R.B. 2015. “Turistifikasi Tari Maengket Minahasa di Sulawesi Utara” dalam
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/2015/05/18/turistifikasi-tari-
maengket-minahasa-sulawesi-utara/ (diakses April 2018).
Kaunang, I.R.B. 2017. “Tari Maengket Minahasa sebagai Cerminan Multikultural dan
Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda” dalam Prosiding Seminar Nasional
Membingkai Kebhinekaan di Bumi Nusantara: Kerjasama Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB) Sulawesi Utara dan Laboratorium Fispol Unsrat Manado. Hotel
Aryaduta, 26-29 April 2017. Hlm.254-265.
Lumempouw Femmy, 2002. “Penggunaan Bahasa Dalam Tarian Maengket sebagai
Pengungkap Pola Pikir Etnik Tonsea” dalam Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah
Linguistik Indonesia. Tahun 20, Nomor 2. Agustus. Jakarta: Masyarakat
Linguistik Indonesia Bekerjasama denga Yayasan Obor Indonesia, hlm. 159-171.
59 Mangantar, H.V. 2016. “Representasi Tari Maengket pada Desain Arsitektur Manado
Art Center” dalam Jurnal Matrasain Vo. 13 No. 2. Juli. Hlm. 57-69.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmm/article/viewFile/14537/14110 (diakses
April 2018).
Tumurang, M.M.“Fungsi Tari Maengket di Kota Tomohon Provinsi Sulut” dalam
http://digilib.isi.ac.id/2441/8/JURNAL.pdf (diakses April 2018)
Ogi, L. 1982. “Seni Tradisional Maengket” Makalah Bahan Bimbingan dan Penyuluhan
Kesenian Guru-guru SD se- Kotamadya Manado, 26 Juli s/d 4 Agustus. Manado:
Taman Budaya Manado, hlm. 1-7.
Rumengan, P. 2010. Maengket Seni Tradisional Orang Minahasa: Estetika, Struktur
Musik, Tari, Sastera; Permasalahan dan Perkembangan.Vol I, II. Yogyakarta:
Pascasarjana ISI Yogyakakarta.
Sigarlaki, A. (dkk.). 1977/78. Sejarah Daerah Sulawesi Utara. Sulut: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (P3KD).
Ticoalu, L. 1978/79. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulawesi Utara. Sulut: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (P3KD).
60
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
MENJADI SEPERTI DHALANG LAKI-LAKI: KIPRAH NYI SUHARNI SABDOWATI DALAM DUNIA SENI PEDHALANGAN
Dhanang Respati Puguh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
Pos-ell: [email protected]
ABSTRACT
This article discusses the career of Nyi Suharni Sabdowati in the art of pedhalangan. It is compiled using historical methods and utilizing the oral history sources, news and articles in the newspapers and magazines, articles in scientific journals, photos, as well as relevant books. According to the facts collected, it successfully reconstructed the career journey of Nyi Suharni Sabdowati. Since her childhood, she has been lived in a family which engaged in the field of art. Her interest and talent in the arts have prompted her to learn various types of Javanese performing arts, such as kethoprak, karawitan, wayang suluh, and wayang kulit purwa. Finally, wayang kulit purwa is a field that she has been pursued. After having studied from several prominent dhalang, especially Ki Nartosabdho, she succeeded becoming a prominent female dhalang in terms of ability and popularity to equal with the male dhalang. Keywords: Nyi Suharni Sabdowati, Ki Nartosabdho, art of pedhalangan, wayang kulit purwa.
ABSTRAK
Artikel ini membahas perjalanan karier Nyi Suharni Sabdowati dalam dunia seni pedhalangan. Artikel ini disusun dengan menggunakan metode sejarah dan memanfaatkan sumber sejarah lisan, berita dan artikel surat kabar dan majalah, artikel dalam jurnal ilmiah, foto, serta buku-buku yang relevan. Berdasar pada fakta-fakta yang dikumpulkan, berhasil direkonstruksi perjalanan karier Nyi Suharni Sabdowati. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang berkecimpung dalam bidang seni. Minat dan bakatnya dalam bidang seni telah mendorongnya untuk belajar berbagai jenis seni pertunjukan Jawa, seperti kethoprak, karawitan, wayang suluh, dan wayang kulit purwa. Akhirnya, wayang kulit purwa merupakan bidang yang ditekuninya. Setelah berguru kepada beberapa dhalang terkemuka, khususnya Ki Nartosabdho, ia berhasil tampil menjadi dhalang wanita terkemuka yang dari segi kemampuan dan popularitas dapat menyamai dhalang laki-laki. Kata Kunci: Nyi Suharni Sabdowati, Ki Nartosabdho, seni pedhalangan, wayang kulit purwa.
61
PENDAHULUAN
Seni pedhalangan merupakan salah satu cabang seni pertunjukan tradisi yang sangat
populer di Jawa hingga saat ini. Popularitas seni pedhalangan di kalangan masyarakat
Jawa ditunjukkan dengan minat masyarakat Jawa untuk menggelar dan menyaksikan
pertunjukan wayang kulit purwa baik di pedesaan maupun di perkotaan untuk berbagai
kepentingan, baik ritual, hiburan pribadi maupun presentasi estetis (tontonan).
Pertunjukan itu masih mendapatkan minat dari masyarakat luas apalagi yang menjadi
dhalang adalah para dhalang terkenal seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono,
Ki Purbo Asmoro, dan Ki Enthus Susmono (Kayam, 2001). Berdasar realitas itu, tidak
mengherankan apabila dunia seni pedhalangan identik dengan dunia laki-laki, karena
laki-lakilah yang banyak menjadi dhalang dan tampil sebagai dhalang terkenal yang
sangat populer di kalangan masyarakat. Dhalang laki-lakilah yang menerima jumlah
permintaan pentas (tanggapan) yang banyak dengan honorarium yang sangat tinggi.
Pertanyaannya adalah apakah benar dunia seni pedhalangan hanya merupakan dunia
laki-laki dan menjadi milik laki-laki? Jawabannya adalah “tidak”. Dunia seni
pedhalangan juga merupakan dunia perempuan. Menurut tradisi dan sejarah,
perempuan telah hadir dan menjadi bagian dari dunia seni pedhalangan secara aktif.
Menurut tradisi lisan, kehadiran dan eksistensi perempuan dalam dunia seni
pedhalangan paling tidak telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Pada masa
itu dikenal adanya pasangan suami istri yang keduanya adalah dhalang, yaitu Ki dan
Nyi Mulya Lebda Jiwa. Oleh karena sangat populer di kalangan masyarakat keduanya
kemudian dijadikan sebagai abdi dalem kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Agung
dan diberi nama Ki dan Nyi Panjangmas. Mereka sangat mahir dan berwibawa dalam
dunia seni pedhalangan pada zamannya. Dalam dunia seni pedhalangan, keduanya
dianggap sebagai cikal bakal dhalang yang masing-masing berkiprah di lingkungan
keraton dan pedesaan. Ki Panjangmas berkiprah dan mengembangkan seni pedhalangan
di dalam keraton dan Nyi Panjangmas berkiprah dan mengembangkan seni pedhalangan
di luar keraton atau di wilayah pedesaan. Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila gaya seni pedhalangan Ki Panjangmas berpengaruh terhadap tradisi
pedhalangan keraton, sedangkan gaya seni pedhalangan Nyi Panjangmas berpengaruh
62 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 terhadap tradisi seni pedhalangan di pedesaan (Soetrisno melalui Soetarno, dkk.,
2007:215; Tanaja, 1971). Sebagian dhalang mengaku keturunan atau masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan kedua tokoh dhalang itu. Penulis pernah mendengar,
bahwa dhalang terkenal Ki Anom Suroto konon merupakan keturunan dari Nyi
Panjangmas. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sampai saat ini ia, kerabat,
dan keturunannya menjadi dhalang terkenal.
Di daerah-daerah pedesaan Jawa Tengah sampai dengan abad ke- 20 masih
dijumpai adanya pasangan suami istri dhalang. Sebagai contoh, adalah orang tua
seniman akademis terkemuka Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S. Kar.; keduanya adalah
dhalang di wilayah Boyolali. Ayahnya juga keturunan Ki Panjangmas dan ibunya juga
ahli dalam bermain karawitan (Supanggah, 2011: iii). Dengan demikian, apabila
ayahnya menerima permintaan pentas, maka ibunya berperan sebagai pemain gender
(penggender) mengiringi pergelaran wayang kulit purwa suaminya. Fenomena ini
sangat lazim dijumpai dalam dunia seni pedhalangan Jawa.
Kehadiran perempuan dalam dunia seni pedhalangan ini terus berlanjut sampai
sekarang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perempuan-perempuan yang menekuni
dunia seni pedhalangan melalui belajar kepada orang tua atau kerabat, kursus-kursus
seni pedhalangan, dan pendidikan formal pada level sekolah menengah atas (SMKN 8
Surakarta) dan perguruan tinggi (Institut Seni Indonesia Surakarta) (Puguh, 2015).
Namun demikian, para perempuan yang menekuni dunia seni pedhalangan itu dari segi
popularitas kalah pamor dengan para dhalang laki-laki. Saat ini, kita hampir tidak
mendengar adanya dhalang perempuan yang populer di masyarakat luas. Dalam sejarah,
setelah Nyi Panjangmas, walaupun terdapat dhalang-dhalang perempuan, dari segi
popularitas tampaknya hanya ada dua dhalang perempuan yang hadir dan eksis dalam
dunia seni pedhalangan, yaitu Nyi Suharni Sabdowati dari Sragen dan Nyi Rumiyati
Panjangmas dari Kartasura. Keduanya pernah hidup pada masa yang bersamaan. Nyi
Suharni Sabdowati telah meninggal dunia pada 2006, sedangkan Nyi Rumiyati
Panjangmas saat ini tinggal di Jakarta dan menjadi guru spiritual para seniman Jawa.
Kehadiran dan eksistensi dhalang perempuan merupakan sebuah fenomena yang
menarik untuk mendapat perhatian dalam sebuah kajian.
Nyi Suharni Sabdowati telah menjadi perhatian dari dua sarjana seni pertunjukan,
yaitu: Sugeng Nugroho (2003/2004) dan Suwondo (2003, 2011). Kedua sarjana seni
63 pertunjukan itu menempatkan Nyi Suharni Sabdowati sebagai dhalang penganut dan
epigon gaya Ki Nartosabdho. Berbeda dari kajian yang telah dilakukan, tulisan ini
membahas ketokohan Nyi Suharni Sabdowati (1936-2006) sebagai dhalang perempuan.
Untuk membahas hal tersebut, tulisan ini dipandu dengan beberapa pertanyaan, yaitu:
siapa Nyi Suharni Sabdowati? bagaimana kiprah dan pencapaiannya dalam dunia seni
pedhalangan? dan mengapa ia dapat eksis dalam dunia seni pedhalangan pada masa
hidupnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tulisan ini disusun dengan
menggunakan metode sejarah (Jeremy dan MacRaild, 2007) dan memanfaatkan
berbagai sumber, yaitu pengalaman penulis bergaul dan mewawancarai Nyi Suharni
Sabdowati, berita dan artikel surat kabar dan majalah, artikel dalam jurnal ilmiah, foto,
serta buku-buku yang secara khusus membahas tentang Nyi Suharni Sabdowati, dan
buku tentang seni pedhalangan yang relevan dengan tulisan ini.
PEMBAHASAN
1. Lingkungan Sosial: Seni Tradisi Jawa dan Proses Menjadi Dhalang
Beberapa sumber menyebutkan, bahwa bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan
nama Suharni Sabdowati dilahirkan pada Senin Pon, 19 Maret 1936 di Gondang Sragen.
Ia adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri, Budiharja dan Supartiyem.
Sejak kecil ia tumbuh dalam lingkungan seni. Pada 1938, ketika belum memiliki
pekerjaan tetap, ayahnya bersama seorang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan ndara
Bok mendirikan perkumpulan kethoprak dengan nama Kridha Budhaya yang
mengadakan pentas secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain (kethoprak
kelilingan). Sejak saat itulah ia diperkenalkan dengan dunia seni, karena diajak oleh
orang tuanya ke berbagai kota di Jawa Timur untuk mementaskan kethoprak yang
dikelola oleh orang tuanya. Keadaan ini hanya berlangsung selama tiga tahun, karena
pada 1941 orang tuanya kembali ke Gondang Sragen. Ayahnya memutuskan
perkongsiannya dengan ndara Bok dan memisahkan diri dari kehidupan kethoprak.
Kemudian ia menjadi pegawai negeri sipil di Kantor Penerangan Sragen, sementara
ibunya berdagang dan bertani (Suwondo, 2011:14-17; Triwikromo, Suara Merdeka, 27
November 1997: XII).
64 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Keterpisahannya dengan dunia kethoprak tidak menyurutkan minatnya terhadap
seni tradisi Jawa, khususnya wayang kulit purwa. Hal ini ditunjukkan dengan
kegemarannya menonton pergelaran wayang kulit purwa sampai selesai (tancep kayon).
Bahkan, pada saat menonton pergelaran itu ia selalu berada pada panggung di belakang
dhalang. Dari kegemaran menonton pergelaran wayang kulit purwa ini, ia mulai kenal
dengan para penabuh gamelan (pangrawit), repertoar-repertoar gendhing yang sering
digunakan dalam pergelaran wayang kulit purwa, dapat memainkan sebagian instrumen
gamelan (ricikan), serta menirukan keplok dan senggakan para pangrawit. Pada saat itu
pula, ia mulai ikut-ikutan merokok (Suwondo, 2011:20-21; Triwikromo, Suara
Merdeka, 27 November 1997: XII).
Pada usia delapan tahun (1944) ia masuk Sekolah Rakyat. Kegemarannya
menonton pergelaran wayang kulit purwa tidak terhenti ketika ia mulai menempuh
pendidikan formal. Bahkan, ia sering bolos sekolah karena ingin menonton pergelaran
wayang kulit purwa pada siang dan malam hari di daerahnya ketika ada orang-orang
memikiki hajat. Ketika ayahnya diangkat menjadi Kepala Jawatan Penerangan
Kecamatan Gondang pada awal kemerdekaan Indonesia, ia juga mendapatkan tugas
untuk memainkan wayang suluh yang bertujuan untuk memberikan penerangan kepada
masyarakat pedesaan. Hal ini sangat menggembirakan Suharni, karena ia dapat
mengikuti ayahnya ketika mementaskan wayang suluh. Keadaan ini semakin
menumbuhkan minat dan kegemarannya terhadap seni khususnya seni pewayangan. Ia
mulai membeli wayang kardus dan ketika mengembala kambing ia memanfaatkan
bahan-bahan tumbuhan untuk dibentuk menjadi wayang. Kegandrungannya terhadap
wayang juga terlihat dari perilakunya yang menjadikan apa yang dipegangnya sebagai
wayang (Suwondo, 2011:22-23; Triwikromo, Suara Merdeka, 27 November 1997: XII).
Kecintaannya terhadap dunia seni diwujudkan dengan membentuk kelompok seni,
yaitu Paguyuban Seni Karawitan Putri dan Paguyuban Seni Jawi dengan segala
aktivitasnya. Sehubungan dengan hal itu, agar dianggap berprestasi ia juga pernah
mengumpulkan sekitar 80 anak untuk menari bersama secara kolosal. Untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan seni itu ia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Dari aktivitasnya itu ia menjadi “kembang desa” dalam bidang seni, khususnya seni
tradisi Jawa.
65 Pada 1961, Suharni yang dianggap memiliki kemampuan dalam bidang seni
tradisi Jawa ini dipilih oleh teman-temanya untuk mementaskan wayang suluh selama
tiga jam. Pemilihan itu ternyata tidak hanya dilandasi oleh pertimbangan
kemampuannya dalam bidang seni, tetapi di kemudian hari terungkap bahwa ia dipilih
untuk menandingi dhalang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang pada saat itu
juga berpentas di daerah Gondang. Walaupun belum pernah tampil memainkan wayang
suluh, dengan bekal melihat pertunjukan wayang suluh yang dimainkan oleh ayahnya,
ia menyanggupi permintaan teman-temannya. Akhirnya, ia berhasil mementaskan
wayang suluh dan mendapat banyak pujian (Triwikromo, Suara Merdeka, 27 November
1997: XII). Pujian itu antara lain karena ia tampil dengan warna suara seperti dhalang
laki-laki. Menurutnya, suaranya yang mirip dengan suara laki-laki itu diperoleh melalui
latihan-latihan yang telah dilakukan sejak ia mengenal pertunjukan wayang kulit purwa
dan sering menirukan senggakan-senggakan yang dilakukan oleh para pangrawit laki-
laki. Ada dua cara yang bisa ditempuh untuk menghasilkan suara laki-laki. Pertama,
jangan sekali-kali menggunakan nada-nada kecil seperti penyuaraan sindhen; dan
kedua, apabila sudah menjadi dhalang wedok jangan menjadi sindhen (Triwikromo,
Suara Merdeka, 18 Desember 1997: XII).
Ketertarikannya untuk menjadi dhalang semakin besar. Pada zaman itu masih
kental kepercayaan, bahwa untuk menjadi dhalang terkenal harus memiliki dukungan
dari “orang pintar” (kasepuhan) atau memiliki ilmu kasepuhan; tidak boleh kosong
(kothong). Di kalangan dunia seni pedhalangan, ilmu kasepuhan itu dapat dianggap
dapat mendukung profesi sebagai dhalang. Atas anjuran teman-temannya, ia diminta
untuk memohon restu dari dukun. Suharni tergiur dengan anjuran itu. Ia kemudian pergi
ke Padepokan Mbah Sura, di Desa Nginggil Purwodadi. Ia memberikan kesaksian,
bahwa suasana di padepokan mirip dengan pasar malam di tengah hutan. Setelah dua
hari berusaha dengan berbagai cara, akhirnya ia berhasil bertemu dengan mbah Sura. Ia
ditanya oleh mbah Sura tentang maksud kedatangannya. Ia menjawab, bahwa ia
memohon doa dan restu karena ingin menjadi dhalang kondhang (terkenal) pendukung
Bung Karno. Ia bertekad ingin menandingi ketenaran dhalang Letre yang berafiliasi
kepada Lekra. Menurutnya, ini merupakan permintaan yang aneh dan berbeda dari
ribuan orang yang datang ke mbah Sura. Akhirnya, Mbah Sura memberikan restu
kepada Suharni yang dimanifestasikan dalam bentuk barang, yaitu: penthung (tongkat
66 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 kayu), kolor (celana hitam kombor), dan iket wulung (ikat kepala berwarna hitam). Di
kemudian hari ia kaget, karena ketika terjadi peristiwa G 30 S 1965, kemudian
terdengar berita bahwa Mbah Sura itu anggota Partai Komunis Indonesia (PKI); dan
barang-barang yang diberikan kepadanya merupakan simbol PKI, yaitu penthung (P),
kolor (K), dan iket (I). Saat itu ia tidak tahu dan tidak berpikir, karena yang terdapat di
benaknya adalah mbah Sura itu tokoh kasepuhan (“Dhalang Harus Banyak Belajar dan
Srawung”).
Setelah bertemu mbah Sura, setiap tampil di panggung ia mengenakan pakaian
satin hitam, membawa penthung, dan memakai iket wulung seperti seorang warok dari
Ponorogo. Kemudian ia dijuluki 'dhalang wandu', karena selain suaranya persis pria, ia
senang mengenakan celana panjang; pakaian yang tidak lazim bagi para perempuan
pada waktu itu. Suharni menjadi dhalang wayang suluh selama setahun (“Dhalang
Harus Banyak Belajar dan Srawung”).
Gambar 1. Nyi Suharni Sabdowati bersama sanak keluarga, dan anggota Condhong
Raos berfoto di depan toko milik keluarganya di Gondang Sragen [Dasawarsa 1970].
Sumber: Foto Koleksi Keluarga Ki Nartosabdho
67 2. Mengukuhkan Eksistensi: Dari Dhalang Wayang Suluh ke Dhalang Wayang
Kulit Purwa
Kesuksesan sebagai dhalang wayang suluh mendorong Suharni untuk menekuni dunia
wayang kulit purwa sejak 1966. Keinginannya untuk menekuni dunia wayang kulit
purwa ini muncul setelah banyak orang menyarankan agar ia menjadi dhalang wayang
kulit purwa, karena memiliki suara seperti laki-laki. Keinginannya untuk menjadi
dhalang wayang kulit purwa semakin kuat setelah para dhalang senior di wilayah
Sragen, seperti Ki Ganda Suwarna, Ki Ganda Lagiyana, Ki Sudarman Gandadarsana, Ki
Ganda Buwana, dan guru dhalang-nya Ki Ganda Sutikna memberikan dukungan.
Kemudian, ia juga belajar mendhalang kepada Ki Sudarman Gandadarsana. Ia juga
membaca pakem pedhalangan yang berisi pedoman lengkap pertunjukan wayang kulit
purwa semalam suntuk, yaitu Kangsa Adu Jago dan Wahyu Makutha Rama yang berisi
sulukan, janturan, pocapan, antawacana (dialog). Kedua lakon itulah yang kali pertama
ia hafal (“Dhalang Harus Banyak Belajar dan Srawung”). Ia juga memelajari konsep-
konsep dasar estetika pertunjukan wayang kulit purwa agar dapat menghasilkan
pertunjukan yang berkualitas dan memukau penonton, yaitu nuksma dan mungguh
(Sunardi, 2013). Sembari belajar melalui pakem pedhalangan itu, ia juga semakin giat
memantapkan suaranya agar benar-benar memiliki suara seperti dhalang laki-laki. Suara
laki-laki sangat diperlukan karena banyak adegan dalam pertunjukan wayang kulit
purwa yang membutuhkan suara khas laki-laki, seperti suara tokoh-tokoh laki-laki,
adegan perang, suara raksasa, dan kera. Hal ini juga didasari oleh suatu kenyataan,
bahwa ketika dhalang laki-laki memainkan tokoh perempuan, ia juga berusaha untuk
menirukan suara perempuan (Triwikromo, Suara Merdeka, 18 Desember 1997: XII).
Setelah memiliki bekal yang cukup dalam memainkan wayang kulit purwa ia
mendapatkan kesempatan untuk unjuk kemampuan. Debut sebagai dhalang wayang
kulit purwa diawalinya pada 1967 di rumah Sami, Desa Sambungmacam, Kecamatan
Sambungmacan Sragen, dengan lakon Kangsa Adu Jago (“Dhalang Harus Banyak
Belajar dan Srawung”). Ayahnya senang. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadikan
dhalang sebagai profesi. Sudah barang tentu gaya pedhalangan Ki Sudarman
Gandadarsana yang merupakan subgaya Sragenan sangat berpengaruh pada gaya
pedhalangan Suharni.
68 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Ketika Ki Nartosabdho mendapat panggilan untuk pentas di Sragen, Suharni
menyempatkan diri untuk menonton pergelaran wayang kulit purwa dhalang terkenal
itu. Ia melihat sesuatu yang lain dari pakeliran Ki Nartosabdho yang memiliki kekhasan
dan memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi. Setelah menonton pergelaran
itu, ia sangat kesengsem dan muncul keinginan untuk dapat berguru (nyantrik)
kepadanya. Nyantrik adalah salah satu sistem pendidikan dhalang yang dilakukan
dengan cara nyuwita atau ngenger kepada dhalang tertentu yang menjadi idola
(Groenendael, 1987:42-44; Sumanto, 1997:57-60). Pemilihan dhalang sebagai guru
biasanya didasari atas dasar pada kemampuan dan popularitasnya. Dhalang yang
memiliki kemampuan seperti empu dan maestro serta memiliki popularitas, biasanya
menjadi idola bagi para dhalang pemula yang sedang merintis kariernya. Keinginan
Suharni ini dapat dipahami, karena pada saat itu, Ki Nartosabdho telah berhasil
melakukan perubahan unsur-unsur pakeliran untuk menegaskan identitas pedhalangan-
nya, baik dalam catur (narasi dan dialog), sulukan (nyanyian yang disajikan dhalang),
gendhing (musik iringan pergelaran), keprakan, tata panggung, penggarapan karakter
wayang, dan dalam waktu kemudian pembuatan lakon banjaran (biografi) dengan
memanfaatkan unsur-unsur pedhalangan dan karawitan dari daerah lain (Sumanto,
2002: 120; Puguh dan Utama, 2009). Di kemudian hari pembaruan-pembaruan yang
dilakukannya membawa pengaruh yang besar dalam dunia seni pedhalangan wayang
kulit purwa. Lakon banjaran yang dibuatnya kemudian juga menginspirasi para
dhalang generasi berikutnya untuk mengembangkannya. Berdasar studi yang dilakukan
oleh Sugeng Nugroho (2012:Bab III), saat ini paling tidak telah berkembang berbagai
jenis lakon banjaran yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: Banjaran
Wantah, Banjaran Jugag, dan Banjaran Kalajaya.
Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya, ia menemui Ki Nartosabdho di
kediamannya, Jalan Anggrek X No. 7 Semarang. Setelah bertemu dengan Ki
Nartosabdho, ia menyatakan keinginannya. Pada saat itu, Ki Nartosabdho mengatakan,
bahwa apakah tidak keliru memilih dirinya sebagai guru mengingat di Surakarta yang
notabene sebagai pusat kebudayaan Jawa dan dari segi geografis berdekatan dengan
Sragen terdapat para dhalang yang mumpuni. Berdasar kesaksian Nyi Suharni
Sabdowati kepada penulis pada 1993/1994, ketika penulis melakukan wawancara dalam
rangka pengumpulan data untuk penelitian tentang potensi wayang dalam
69 pembangunan, diperoleh informasi bahwa ketika ia akan nyantrik kepada Ki
Nartosabdho ia tidak mendapat kepastian tentang penerimaan atau penolakan sebagai
cantrik. Pada saat ia pamit, ia mendapatkan secarik kertas yang berisi notasi angka
(kepatihan) lelagon Mbok Ya Mesem berlaras slendro sanga miring dengan penulisan
angka-angka yang banyak coretan miringnya. Adapun liriknya sebagai berikut.
E e e mbok ya mesem, mrengut pedahe apa,
E e e mbok ya ngguyu, susah pedahe apa,
Panjalukku dhik tetepa ing janji,
Aja ewa aja tansah cuwa,
Nadyan aku uga tan selak ing janji,
E mesema tansah dakenteni,
Yo bareng angudi luhuring kagunan,
Watone tumemen mesthi kasembadan.
(Sugiarto dkk., 1998/1999: 15).
Terjemahan:
E e e sebaiknya tersenyum, bermuram durja apa faedahnya,
E e e sebaiknya tertawa, bersusah apa faedahnya,
Permintaanku dik, tetaplah pada janji,
Jangan enggan jangan selalu kecewa,
Sesungguhnya aku juga tidak akan mengingkari janji,
E ... tersenyumlah, selalu aku tunggu,
Ayo bersama-sama memelajari dengan tekun keluhuran seni,
Dengan kesungguhan hati pasti akan tercapai.
Setelah menerima notasi lagu itu ia merasa disepelekan. Akan tetapi, setelah mendapat
penjelasan dari pelatih karawitan di daerahnya dan menyimak serta memaknai lirik
lagunya, ia baru mengerti dan sadar bahwa Ki Nartosabdho memberikan respons yang
positif terhadap lamarannya untuk berguru kepadanya. Sejak saat itu, ia mulai membeli
kaset-kaset rekaman komersial wayang kulit purwa oleh Ki Nartosabdho yang
diproduksi oleh perusahaan rekaman pemerintah, Lokananta dan beberapa perusahaan
swasta. Salah satu rekaman kaset wayang kulit purwa yang dibelinya berjudul
70 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Gathutkaca Sungging, yang diproduksi Lokananta pada 1973 (Yampolsky, 1987:218).
Kaset-kaset rekaman itu ditranskrip, dihafalkan, dan dilafalkan berulang-ulang seperti
pelafalan yang dilakukan oleh Ki Nartosabdho sebagaimana terdengar melalui rekaman
pita kaset. Dengan cara seperti itu ia dapat menirukan gaya pedhalangan Ki
Nartosabdho. Setelah terasa mantap, dalam setiap pergelaran ia mencoba menyajikan
pedhalangan gaya Nartosabdho. Lakon pertama yang ditampilkan adalah Gathutkaca
Sungging yang diikuti dengan lakon-lakon lainnya. Namun, tidak semua lakon ia
sajikan secara sama persis seperti yang dilakukan oleh gurunya. Selain menampilkan
lelagon-lelagon populer karya Ki Nartosabdho, ia juga memanfaatkan lagu-lagu yang
dibawakan oleh Waljinah untuk mendukung pergelarannya, khususnya untuk adegan
gara-gara.
Peniruan terhadap gaya pedhalangan Ki Nartosabdho ini membuat Suharni
terkenal. Berita tentang peniruan gaya pedhalangan ini juga terdengar oleh Ki
Nartosabdho. Ia selalu menanyakan tentang kebenaran informasi tersebut. Setelah
mendapatkan jawaban dari berbagai pihak, khususnya para anggota Condhong Raos dan
seniman dhalang yang lain, pada 1975 Ki Nartosabdho mengundang Suharni untuk
pentas di rumahnya. Menurut ingatan penulis, Nyi Suharni diminta untuk pentas dalam
rangka resepsi pernikahan anak tetangga Ki Nartosabdho yang bertempat tinggal di
antara kedua rumahnya, yaitu Jalan Anggrek X Nomor 9 Semarang. Sebagaimana
diketahui, Ki Nartosabdho memiliki dua rumah di Jalan Anggrek X yaitu Nomor 7 dan
11 Semarang. Jalan Anggrek X Nomor 7 digunakan untuk kediaman Ki Nartosabdho
dan Jalan Anggrek X Nomor 11 digunakan sebagai rumah tinggal sanak saudara,
anggota Condhong Raos apabila akan pentas dan rekaman, sekaligus sebagai studio
rekaman. Pada saat itu, Ki Nartosabdho-lah yang menyelenggarakan dan bertindak
sebagai tuan rumah resepsi pernikahan anak tetangganya, Citrapanembang, seorang
pengrawit RRI Semarang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Nyi Suharni. Ia
memilih Gathutkaca Sungging, sebuah lakon yang sudah sering dipentaskannya. Ia juga
mempersiapkan diri sebaik-baiknya karena ingin membuktikan di hadapan orang yang
dianggap sebagai gurunya, bahwa dirinya tidak kalah dengan dhalang-dhalang laki-laki
(Suwondo, 2011:45).
Ternyata tidak mudah untuk mewujudkan suatu keinginan dapat tampil dengan
baik di rumah seorang maestro seni karawitan dan pedhalangan itu. Pentas di rumah
71 seorang seniman besar membuat rombongan karawitan Nyi Suharni grogi; diminta
untuk memainkan Ladrang Temanten Laras Pelog Pathet Barang, sebuah repertoar
yang sudah sangat jamak dalam dunia seni karawitan Jawa pun tidak mampu. Sajian
repertoar ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada
mempelai berdua. Nyi Suharni memberi kesaksian, bahwa yang terdengar bukan
Ladrang Temanten, tetapi ‘ladrang kematian’, sebuah ungkapan betapa buruk nasib
yang menimpa rombongan karawitan-nya. Rombongan Nyi Suharni baru dapat
memainkannya, setelah Ki Nartosabdho turun tangan dengan memberi aba-aba kepada
para pengrawit. Setelah para pengrawit dapat memainkan musik kembali, Nyi Suharni
dapat memulai dan menyajikan lakon Gathutkaca Sungging dengan penuh totalitas.
Pergelaran itu dapat memikat hati Ki Nartosabdho. Setelah usai pergelaran ia
mendapatkan ucapan selamat dan penghargaan dengan penyematan nama ‘Sabdowati’
di belakang namanya, menjadi Suharni Sabdowati. Pemberian tambahan nama ini juga
disaksikan oleh sanak keluarga Ki Nartosabdho dan para anggota Condhong Raos.
Pemberian nama ini sekaligus juga merupakan pengakuan dari Ki Nartosabdho, bahwa
secara formal Nyi Suharni telah diakui sebagai muridnya (Triwikromo, Suara Merdeka,
4 Desember 1997: XII).
Gambar 2. Nyi Suharni duduk berdampingan dengan Ibu Nartosabdho ketika akan
pentas di kediaman Ki Nartosabdho pada 1975.
Sumber: Foto Keluarga Ki Nartosabdho
72 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Ketika berguru (nyantrik) kepada Ki Nartosabdho, penulis yang pada waktu itu
masih duduk di bangku sekolah dasar pernah melihat dengan mata kepala sendiri,
bahwa ia sangat hormat dan mampu mengambil hati gurunya dengan tindakan dan
perilaku yang patut dilakukan oleh seorang murid (cantrik) kepada gurunya. Ia sering
mengipasi ketika sang guru merasa kegerahan, membantu memijit kakinya apabila sang
guru terlihat sangat lelah, atau mengambil dan menyulut rokok apabila sang guru akan
merokok. Penulis juga pernah melihat ia membantu menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga sang guru, dan bergaul dengan kerabat dan para seniman (pangrawit atau
penabuh gamelan dan pesindhen atau penyanyi wanita) anggota Paguyuban Karawitan
Condhong Raos yang dipimpin oleh Ki Nartosabdho. Selain itu, ia juga rajin
mendengarkan dan mentranskrip rekaman audio pergelaran Ki Nartosabdho. Di luar
acara permintaan pentas (tanggapan) yang diterima sendiri, ia sering mengikuti
pergelaran-pergelaran yang disajikan oleh gurunya di berbagai daerah, baik berangkat
menonton sendiri maupun berangkat bersama rombongan Condhong Raos yang menjadi
pengiring tetap pergelaran Ki Nartosabdho sebagaimana tampak dalam Gambar 3.
Gambar 3. Nyi Suharni Sabdowati, Ibu Tumini Nartosabdho, dan para anggota
Condhong Raos dalam suatu perjalanan menuju kediaman pihak pengundang Ki
Nartosabdho [dasawarsa 1970].
Sumber: Foto Koleksi Keluarga Ki Nartosabdho
73
Upaya-upaya untuk mewarisi kemampuan mendhalang seperti gurunya juga
dilakukan dengan cara-cara yang menurut pandangan masyarakat moderen dianggap
tidak rasional, yaitu ia juga mengumpulkan puntung rokok sisa gurunya yang kemudian
digunakannya untuk merokok. Cara-cara seperti ini juga lazim dilakukan oleh para
dhalang yang ingin mewarisi kemampuan sang guru. Sebagai contoh para dhalang dari
Klaten yang sedang merintis dan memperbaiki karier sebagai dhalang juga pernah
melakukan hal seperti itu. Penulis pernah mendengar cerita, bahwa ketika Ki
Nartosabdho menghadiri undangan resepsi khitanan atau pernikahan dari kerabat
dhalang di Klaten, sebelum kudapan yang disuguhkan kepadanya disantap habis atau
bahkan baru disantap satu atau dua sendok makan, diminta oleh salah seorang dhalang
tuan rumah untuk diberikan kepada anak atau kerabatnya yang menjadi dhalang dengan
maksud mendapatkan berkah dari Sang Maestro. Hal ini juga pernah terjadi pada sosok
Ki Nartosabdho sendiri. Ketika ia nyantrik kepada Ki Pujo Sumarto, Sunarto (nama asli
Ki Nartosabdho sebelum menjadi dhalang) menunggu dengan sabar Sang Guru
menyelesaikan makannya dengan harapan akan mendapatkan sisa makanan yang akan
diberikan oleh Sang Guru.
Nama Nyi Suharni Sabdowati semakin melejit setelah ia mendapatkan
kesempatan untuk pentas siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan
Semarang pada 1977 atas rekomendasi Ki Nartosabdho. Hal ini dapat dipahami, karena
radio merupakan teknologi siaran lintas batas yang pertama dan salah satu alat
komunikasi penting di Indonesia pada saat itu. Radio merupakan media moderen yang
memiliki jangkauan paling luas dan sangat efektif sebagai sarana untuk menggapai
popularitas (Puguh, 2015: 304). Dengan kata lain, siaran RRI menjadi sarana untuk
meningkatkan karier atau menjadi dhalang terkenal dan memiliki nama besar (van
Groenendael, 1987:203). Keberhasilan siaran di RRI juga bermakna pengakuan
pemerintah Indonesia terhadap eksistensi seorang dhalang. Selama nyantrik kepada Ki
Nartosabdho pergaulannya semakin luas. Hal ini juga dimanfaatkan olehnya untuk
belajar (ngangsu kawruh) dan meningkatkan kompetensinya sebagai dhalang. Setelah
Ki Nartosabdho wafat pada 1985, kegiatan ini terus berlanjut. ia juga belajar pada
dhalang-dhalang besar, para seniman, dan tokoh-tokoh politik agar pakeliran-nya lebih
berbobot.
74 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018
3. Pencapaian
Upaya-upaya sepanjang perjalanan meniti karier sebagai dhalang wayang kulit purwa
telah membuahkan hasil. Setelah berguru (nyantrik) kepada maestro dhalang Ki
Nartosabdho, Nyi Suharni Sabdowati semakin dikenal luas oleh masyarakat dan sering
mendapatkan panggilan pentas (tanggapan). Dalam sebulan pada masa kejayaannya Nyi
Suharni Sabdowati mendapat panggilan pentas sebanyak 15 kali di berbagai daerah.
Pada 1977 daerah pementasan Nyi Suharni Sabdowati tidak hanya di daerah Sragen,
tetapi sudah meluas di kota-kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bagi
dhalang perempuan, jumlah itu merupakan suatu yang luar biasa, karena para dhalang
perempuan yang lain seperti Nyi Rumiati dari Kartasura, Nyi Bardiati dari Klaten, dan
Sufiah dari Kebumen hanya menerima panggilan pentas sebanyak dua sampai tiga kali
dalam sebulan. Dari segi imbalan ia juga menerima honorarium yang lebih banyak dari
para dhalang perempuan yang lain, bahkan menyamai para dhalang laki-laki terkenal di
daerah namun masih di bawah honorarium yang diterima oleh gurunya, Ki Nartosabdho
(Suwondo, 2011:86-87). Berdasar jumlah panggilan pentas dan honorarium yang
diterimanya itu, dapat dikatakan ia telah mencapai popularitas seperti dhalang laki-laki
terkenal.
Ketokohannya sebagai dhalang perempuan ini juga ditunjukkan dari adanya
pengakuan para dhalang laki-laki. Sejumlah dhalang memberikan kesaksian, bahwa
Nyi Suharni Sabdowati memiliki kemampuan seperti dhalang laki-laki. Oleh karena
kemampuannya itu, ia juga pernah mendapat kesempatan untuk pentas pada forum Rebo
Legen yang diadakan oleh Ki Anom Suroto. Rebo Legen merupakan sebuah acara
pergelaran wayang kulit purwa yang diselenggarakan secara rutin di rumah kediaman
Ki Anom Suroto di Surakarta untuk memeringati hari kelahirannya (Sarwanto, 2012:
43). Bukti lain dari adanya pengakuan itu adalah ia sering disandingkan dengan dhalang
laki-laki dalam suatu pergelaran wayang kulit purwa yang melibatkan lebih dari satu
dhalang. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan beberapa bukti, antara lain pada
peringatan hari kelahiran Ki Nartosabdho ke-77 pada 25 Agustus 2002, Nyi Suharni
Sabdowati yang notabene adalah murid Ki Nartosabdho mendapatkan kesempatan
untuk berada satu panggung pertunjukan wayang kulit purwa bersama dhalang terkenal
dari Karang Pandan, Ki Manteb Soedharsono dan dhalang terkenal dari Semarang, Ki
75 Djoko Hadiwidjojo. Keduanya juga pernah berguru kepada Ki Nartosabdho. Pada saat
itu, mereka menampilkan lakon Kresna Duta di Radio Republik Indonesia Semarang
(“Tiga Dalang Pentas Bareng di RRI”). Tentang pemilihan lakon Kresna Duta ini perlu
mendapatkan keterangan tambahan. Kresna Duta merupakan lakon favorit Ki
Nartosabdho, karena lakon ini pernah disajikan dalam sebuah pergelaran di Gedung
Pemuda Jakarta pada April 1958 dan disiarkan oleh RRI Jakarta yang mengantarkannya
menjadi dhalang terkenal (Sumanto, 2002:46). Dengan demikian, dapat
diinterpretasikan bahwa pemilihan lakon itu dilatarbelakangi oleh pertimbangan tersebut
sekaligus sebagai simbol penghormatan kepada sang guru. Ketokohannya sebagai
dhalang perempuan juga membawa berkah tersendiri bagi Nyi Suharni Sabdowati,
karena ia selalu mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam acara-acara yang
memiliki kaitan dengan dunia perempuan, sebagai contoh peringatan Hari Kartini pada
21 April dan Hari Ibu pada 22 Desember.
Gambar 4. Nyi Suharni didampingi oleh Ki Manteb Soedharsono dan Ki Djoko
Hadiwidjojo sedang menerima gunungan/ kayon sebagai simbol pergelaran dimulai
dalam rangka peringatan hari kelahiran Ki Nartosabdho ke 77 pada 25 Agustus 2002 di
RRI Semarang.
Sumber: http://www.gemari.or.id/cetakartikel.php?id=741 (10 Juli 2016).
Selain menerima permintaan pentas (tanggapan) yang bersifat komersial, pada
1987 Nyi Suharni Sabdowati atas prakarsa dan biaya sendiri pergi ke daerah-daerah
transmigrasi di Sumatra untuk menghibur masyarakat transmigran. Kegiatan yang
diselenggarakan dengan bekerja sama dengan Tim Safari Ganasidi ini berhasil
76 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 menggelar pementasan wayang kulit purwa di Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Selain
itu, pada 1996 ia berkunjung ke Merauke untuk menjenguk anaknya. Di Merauke ia
bekerja sama dengan para dhalang dan pangrawit yang berada di daerah transmigrasi
untuk menyelenggarakan pentas wayang kulit purwa. Selama di Merauke ia berhasil
menyelenggarakan pentas wayang kulit purwa sebanyak 14 kali (Suwondo, 2011:93-
94).
Kiprah Nyi Suharni Sabdowati dalam dunia seni pedhalangan menjadi semakin
lengkap setelah ia mendapatkan kesempatan untuk mendhalang di Melbourne Australia
pada 10 Mei 2003. Pergelaran diadakan di Basement Theatre –Sidney Myer Asia
Center, University of Melbourne dengan diiringi oleh Melbourne Community Gamelan.
Sebelumnya ia juga diminta untuk menyajikan wayang kulit purwa bagi murid-murid
sekolah pada 8 Mei 2003 dengan lakon Bima Bungkus yang digelar di Renaissance
Theatre Kew High School, Melbourne (http://www.aiaa.org.au/calendar/cal2003.html,
10 Juli 2016).
Di kalangan masyarakat, Nyi Suharni Sabdowati juga dikenal sebagai dhalang
yang lucu dan mampu memberikan hiburan yang segar bagi para penontonnya. Salah
seorang penggemarnya memberi kesaksian, bahwa Nyi Suharni Sabdowati telah
mengabdikan hidupnya pada dunia seni yang ditekuninya, yaitu pedhalangan wayang
kulit purwa. Dalam video yang berisi fragmen pergelaran Nyi Suharni yang berjudul
“Manusia Versus Kuda dan Manusia Versus Sepeda” Nyi Suharni Sabdowati berhasil
mengundang tawa para penontonnya. Ia telah berhasil menjadi dhalang perempuan
cemerlang yang telah memberikan hikmah dan kegembiraan kepada masyarakat
(“Mengenang Dalang Bu Harni Penghibur Cemerlang”).
Konsistensi Nyi Suharni Sabdowati dalam mengikuti gaya pedhalangan Ki
Nartosabdho mengukuhkan dirinya sebagai murid dan pengikut Ki Nartosabdho. Tidak
mengherankan apabila Sugeng Nugroho (2003/2004) menyematkan sebutan kepada Nyi
Suharni Sabdowati sebagai Duplikat Ki Nartosabdo dan Suwondo (2003 dan 2011)
memberikan sebutan Suharni Sabdowati sebagai Penganut Gaya Nartosabdo.
Konsistensinya terhadap gaya pedhalangan Ki Nartosabdho mengakibatkan dirinya
dapat eksis dalam dunia seni pedhalangan, karena setelah Ki Nartosabdho wafat tidak
ada seorang dhalang pun yang secara konsisten mengikuti gaya Ki Nartosabdho kecuali
77 dirinya. Penampilan Nyi Suharni Sabdowati dapat mengobati kerinduan penggemar Ki
Nartosabdho yang sampai dengan dasawarsa 1990 jumlahnya masih banyak.
Sampai dengan menjelang akhir hayatnya pada 2006 Nyi Suharni Sabdowati
masih bergelut dalam dunia seni pedhalangan walaupun sudah tidak aktif seperti pada
masa kejayaannya. Ia juga berperan dalam mengembangkan seni karawitan dengan
mendirikan group, serta membina campursari. Oleh karena pengabdiannya dalam dunia
seni tradisi Jawa, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah yaitu Piagam Bhakti
Budaya.
KESIMPULAN
Suharni Sabdowati adalah perempuan yang memiliki bakat dalam bidang seni. Sejak
kecil ia sudah mengenal dan kemudian berkecimpung dalam dunia seni tradisi Jawa,
khususnya seni pedhalangan. Bakat seni dan suaranya yang seperti suara laki-laki
dijadikan sebagai modal untuk menekuni dunia seni pedhalangan dan menjadikan
dhalang wayang kulit purwa sebagai profesinya. Di bawah bimbingan para dhalang di
Sragen dan kemudian menjadi cantrik Ki Nartosabdho yang dijalaninya dengan penuh
kesungguhan, kerajinan, dan kedisiplinan, akhirnya Nyi Suharni Sabdowati berhasil
tampil seperti dhalang laki-laki, tidak hanya dalam hal suara dan kualitas
pergelarannya, tetapi juga dalam hal popularitas dan honorarium yang diterimanya.
Selama ini, kita sering mendengar bahwa para dhalang terkenal adalah laki-laki. Nyi
Suharni Sabdowati adalah satu-satunya dhalang perempuan yang memiliki karakter
suara, penampilan, popularitas, dan honorarium seperti dhalang laki-laki terkenal. Ia
dapat eksis dalam dunia seni pedhalangan karena konsisten mengikuti gaya
pedhalangan Ki Nartosabdho dengan penambahan kreativitas yang disesuaikan dengan
selera masyarakat pada zamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J. dan D.M. MacRaild. 2007. Studying History. New York: Palgrave Macmillan.
“Dalang Harus Banyak Belajar dan Srawung”,
http://www.gemari.or.id/cetakartikel.php?id=741 (diunduh 10 Juli 2016).
http://www.aiaa.org.au/calendar/cal2003.html (diunduh 10 Juli 2016).
78 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Kayam, U. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media dan Pusat Studi
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Nugroho, S. 2003/2004. “Nyi Suharni Sabdowati Dalang Wanita Duplikat Nartosabda”,
Seni Pertunjukan Indonesia, 12.
Nugroho, S. 2012. Lakon Banjaran: Tabir dan Liku-likunya (Wayang Kulit Purwa Gaya
Surakarta. Surakarta: ISI Press.
Puguh, D.R. 2015. “Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan Tradisi Keraton: Politik
Kebudayaan Jawa Surakarta, 1950an-1990an”. Disertasi pada Program Studi
Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada.
Puguh, D.R. dan M.P. Utama, (ed.). 2009. Pedhalangan Gagrag Nartosabdhan.
Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang.
Sarwanto. 2012. Kehadiran Anom Suroto dan Rebo Legen bagi Masyarakat Pecinta
Wayang. Surakarta: ISI Press,
SKY, “Mengenang Dalang Bu Harni Penghibur Cemerlang”,
http://www.langitperempuan.com/mengenang-dalang-bu-harni-penghibur-
cemerlang/ (diunduh 10 Juli 2016).
Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko. 2007. Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta
dan CV Cendrawasih.
Sugiarto, A., dkk., 1998/1999. Kumpulan Gendhing Jawa Karya Ki Nartosabdho.
Semarang: Proyek Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Jawa Tengah.
Sumanto. 2002. Nartosabdo: Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan (Sebuah
Biografi). Surakarta: STSI Press.
Sumanto.1997. “Pendidikan Dalang: Hambatan dan Tantangannya”, Wiled: Jurnal Seni,
Th. II (Maret). Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Sunardi. 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang.
Surakarta: ISI Press.
Supanggah, R. 2011. Dunia Pewayangan di Hati Seorang Pengrawit. Surakarta: ISI
Press.
Suwondo. 2011. Suharni Sabdowati Penganut Gaya Nartasabda. Sukoharjo: CV
Cendrawasih.
79 Suwondo. 2003. “Pengaruh Nartosabdo terhadap Gaya Pakeliran Suharni Sabdowati
Sragen”, Harmonia, Vol. IV No. 2/ Mei – Agustus
Tanaja, R. 1971. Riwajat Pangeran Pandjangmas, Leluhuripun Para Dalang Karaton
Mataram – Kartasura – Surakarta. Surakarta: Penerbitan Pribadi R. Tanaja.
“Tiga Dalang Pentas Bareng di RRI”, Suara Merdeka, 23 Agustus 2002 dalam
http://www.suaramerdeka.com/harian/0208/23/nas12.htm (diunduh 10 Juli 2016).
Triwikromo, T. 1997. “Nyi Suharni Sabdowati: Bermula dari Dalang Wayang Suluh”,
Suara Merdeka, 27 November.
Triwikromo, T. 1997. “Proses Kreatif Nyi Suharni Sabdowati: Belajar dari Kaset Ki
Nartasabda”, Suara Merdeka, 4 Desember 1997.
Triwikromo, T. 1997. “Nyi Suharni Sabdowati: Memperoleh Suara Kera Melalui
Mimpi, Suara Merdeka, 18 Desember.
Van Groenendael, V.M.C. 1987. Dalang di Balik Wayang. Terjemahan Pustaka Utama
Grafiti. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Yampolsky, P. 1987. Lokananta: A Discography of the National Recording Company of
Indonesia 1957-1985. Madison, Wisconsin: Center For Southeast Asian Studies
University of Wisconsin.
80
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
POLITIK PEMERINTAHAN DAN KEBIJAKAN ATAS RUANG DALAM
PENETAPAN IBUKOTA-BARU KABUPATEN MADIUN:
MENEMUKAN POSISI CARUBAN 1830—2017
Agus Suwignyo dan Baha’Uddin
Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Pos-el: [email protected], [email protected]
ABSTRACT The transfer of the capital city of Madiun regency from Madiun city to Mejayan area in Madiun regency in 2010 leaves the issue of the predicate and name of the regency's new capital. The government has established "Mejayan", the capital of Mejayan District, as the new capital of Madiun regency. But some people who call themselves "Caruban residents" demand that "Caruban" be the name of the new capital regency. The reason for this is "Caruban" as the name of the initial administrative structure in the region, which was once a district. This article examines the issue of the new capital-designation of Madiun regency by tracking Caruban's position in the governmental structure of Madiun. Using the primary sources of government documents from the colonial period to the present day, the article shows that Caruban, instead of Mejayan, is a more appropriate name for the new capital of Madiun regency. Nevertheless, the use of Caruban as the name of the capital requires also a change in urban area development plan in a number of districts directly under the capital city of the regency. The article formulates a number of policy recommendations on the issue. Keywords: government politics, capital city, Caruban, Madiun Regency
ABSTRAK
Pemindahan ibukota Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke daerah Mejayan di Kabupaten Madiun pada tahun 2010 menyisakan persoalan tentang sebutan dan nama ibukota-baru kabupaten itu. Pemerintah telah menetapkan “Mejayan”, yaitu ibukota Kecamatan Mejayan, sebagai ibukota-baru Kabupaten Madiun. Namun sejumlah orang yang menyebut diri “penduduk Caruban” menuntut agar “Caruban” dijadikan nama ibukota-baru kabupaten. Alasannya, “Caruban” merupakan nama awal struktur administrasi di wilayah itu, yang dulunya berupa distrik. Artikel ini mengkaji persoalan sebutan ibukota-baru Kabupaten Madiun dengan menelusuri posisi Caruban dalam struktur pemerintahan di Madiun. Dengan memakai sumber-sumber primer berupa dokumen pemerintah sejak masa kolonial hingga sekarang, artikel menunjukkan bahwa Caruban, alih-alih Mejayan, adalah
81
nama yang lebih tepat bagi ibukota-baru Kabupaten Madiun. Meskipun demikian, pemakaian Caruban sebagai nama ibukota menuntut juga perubahan rencana tata-ruang pengembangan kawasan pusat perkotaan di sejumlah wilayah kabupaten yang langsung berada di bawah cakupan ibukota kabupaten. Artikel merumuskan sejumlah rekomendasi kebijakan atas persoalan tersebut. Kata kunci: politik pemerintahan, ibukota, Caruban, Kabupaten Madiun
PENDAHULUAN
Pada tahun 2010 ibukota Kabupaten Madiun dipindahkan oleh pemerintah dari wilayah
Kota Madiun ke daerah Kecamatan Mejayan di wilayah Kabupaten Madiun.
Pemindahan ibukota Kabupaten Madiun ke luar dari Kota Madiun disebabkan antara
lain oleh perkembangan pesat Kota Madiun. Kota Madiun, yang merupakan tempat
awal kedudukan dan asal-mula berkembangnya pemerintahan
KabupatenmaupunKaresidenan, sekarangtelah berubah status administrasinyamenjadi
Kotamadya Madiun. Selain itu, Kota Madiun dari waktu ke waktu telah menjadi
semakin padat dibandingkan pada masa-masa sebelumnya akibat peningkatan jumlah
penduduk. Kota Madiun semakin membutuhkan ruang-ruang aktivitas di dalam lingkup
luas geografisnya yang tidak mungkin bertambah. Dengan demikian, pemindahan
ibukota Kabupaten Madiun keluar wilayah Kota Madiun antara lain bertujuan untuk
melonggarkan ruang aktivitas politik dan pemerintahan baik bagi pemerintah Kota
Madiun maupun bagi pemerintah Kabupaten Madiun sendiri. Selain itu, dari perspektif
Pemerintah Kabupaten Madiun,pemindahan ibukota kabupaten juga dilandasi oleh
pertimbangan ekonomi menyangkut pendapatan asli daerah dan pemanfaatan peluang-
peluang pengembangan di daerah yang belum terlalu padat.
Meskipun memberi peluang pengembangan potensi ekonomi dan memperluas
ruang gerak aktivitas kepemerintahan, pemindahan ibukota menimbulkan gejolak sosial
yang berkaitan dengan nama maupun sebutan bagi ibukota-baru Kabupaten Madiun.
Sekelompok orang menuntut agar “Caruban”, dan bukan “Mejayan”, dijadikan nama
ibukota-baru Kabupaten Madiun. Kelompok orang itu menyebut diri mereka sebagai
“penduduk Caruban”. Mereka mengajukan alasan bahwa “Caruban” telah memiliki akar
historis dalam nomenklatur administrasi sebagai pusat pemerintahan kabupaten.
Argumen ini didasarkan pada posisi politik Caruban padamasa kerajaan dan masa
kolonial.
82 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018
Pada peta wilayah Kabupaten Madiun sekarang, nama “Caruban” tidak
ditemukan sebagai sebuah lokasi yang memiliki titik koordinat. Kabupaten Madiun,
dengan cakupan wilayah membentang dalam 15 kecamatan pada tahun 2010, juga tidak
lagi memiliki daerah administrasi pada level kecamatan yang disebut “Caruban”.
Meskipun demikian, nama “Caruban” masih dipakai oleh masyarakat sebagai nama
sejumlah lokasi, misalnya nama stasiun bis dan lokasi rumah sakit pemerintah. Dengan
kata lain, nama “Caruban” masih hidup dalam ingatan aktif dan pemakaian sehari-hari
oleh masyarakat. Tuntutan sejumlah orang agar “Caruban” dijadikan nama ibukota-baru
Kabupaten Madiun menimbulkan pertanyaan tentang “Caruban” sebagai kelompok
entitas politik dan kultural sekaligus. Bagaimana jurang antara status politik dan ingatan
sosial masyarakat tentang kedudukan “Caruban” itu dijelaskan secara historis?
Artikel ini mengkaji posisi dan kedudukan Caruban dalam struktur politik
pemerintahan di Kabupaten Madiun sejak masa kolonial hingga sekarang. Secara
khusus, artikel menelusuri kedudukan “Caruban” sebagai pusat pemerintahan dan
perubahan kedudukan tersebut seiring dengan pembaruan-pembaruan struktur
pemerintahan yang mengenai Kabupaten Madiun. Pemindahan ibukota pemerintahan
sering menimbulkan permasalahan seperti yang dikaji dalam artikel ini. Perebutan ruang
menjadi bagian politik pemerintahan yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan.
Persoalan muncul karena politik pemerintahan atas ruang tidak sejalan dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat akan hal itu.
Persoalan “Caruban” dalam peristiwa penetapan ibukota-baru Kabupaten
Madiun adalah contoh konkrit tentang administrasi ruang. Persoalan tersebut
menunjukkan bahwa transformasi politik pemerintahan dapat menciptakan maupun
meniadakan keberadan struktur kepemerintahan yang telah ada dan “hidup” dalam
ingatan masyarakat. Dengan kata lain, proses pengambilan kebijakan tentang ruang
sering didasarkan pada pertimbangan kekuasaan dan mengabaikan aspek masyarakat.
Kajian tentang posisi “Caruban” sebagai “ruang” dalam tata-pemerintahan di Kabupaten
Madiun menambah panjang daftar studiyang telah ada tentang kasus-kasus pemindahan
pusat pemerintahan. Meskipun demikian, kajian ini menambah bibliografi tentang
Madiun secara keseluruhan. Hingga saat ini belum ada studi yang secara khusus
mengkaji Caruban.
83
Upaya menguak sejarah Caruban sebagai pusat pemerintahan di Kabupaten
Madiun perlu merujuk beberapa periode berdasarkan sumber-sumber yang tersedia.
Secara garis besar, sejarah Caruban seperti halnya sejarah Kabupaten Madiun dapat
dibagi ke dalam tiga periode politik, yaitu masa pemerintahan awal kerajaan-kerajaan,
masa Hindia Belanda, dan masa Republik Indonesia. Dalam kasus Caruban dan Madiun,
ketiga periode tersebut kira-kira merentang dari waktu antara abad ke-14 hingga tahun
1830 untuk periode pemerintahan awal, tahun 1830—1942 untuk periode Hindia
Belanda, dan antara 1945—sekarang untuk periode Republik Indonesia. Dalam
periodisasi itu terdapat satu celah periode yang kosong, yaitu masa Jepang (1942-1945)
akibat keterbatasan sumber. Untuk mengungkap sejarah pada setiap periode diperlukan
sumber-sumber tertulis yang kredibel dan bersifat primer, artinya sumber yang berasal
dari periode yang dikaji. Paparan berikut menguraikan Caruban sebagai pusat
pemerintahan Kabupaten Caruban dan kemudian Distrik Caruban.
PEMBAHASAN
1. Pemerintahan Awal Caruban: Kendala Sumber Primer
Kesulitan terbesar dalam mengungkapkan sejarah Caruban pada masa-masa awal
(sebelum masa pemerintahan kolonial) adalah hampir tiadanya sumber tertulis dari masa
itu. Sumber tertulis yang tersedia berasal dari Bapak Muhammad Amin Somaatmojo,
berupa catatan pribadi, dan dari arsip dokumentasi kelompok “Gerakan Caruban
Menggunggat 2017”. Demikian ditulis oleh sejarawan Sri Margana dalam tulisannya
“Melawan Kekuasaan Kompeni: Dari Penyerbuan Batavia hingga Perang Suksesi III,
1601—1755” (dalam buku Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan
dari Awal Abad XIV hingga Awal Abad XXI, penulis Sri Margana, Agus Suwignyo,
Abdul Wahid, Baha’Uddin dan Uji Nugroho[Madiun & Yogyakarta: Pemkab Madiun &
Departemen Sejarah FIB UGM], hlm. 78—82).
Informasi terbatas dari sumber tertulis non-primer itu menguraikan silsilah
bupati-bupati Caruban dari awal abad ke-18, yaitu dari masa pemerintahan Bupati
Raden Cakrakusma II di awal 1700an, hingga tahun 1867 yaitu berakhirnya
pemerintahan Bupati KBRT Jayengrana. Bupati KBRT Jayengrana disebut di dalam
catatan Bapak Muhammad Amin Somaatmojo yang dikutip Sri Margana sebagai
“bupati terakhir” Caruban. Pernyataan “bupati terakhir” menyiratkan bahwa setelah
84 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 tahun 1867 Caruban tidak lagi dipimpin oleh seorang bupati. Jika posisi “wedono”
adalah jabatan untuk sebuah cakupan wilayah distrik dan “bupati” untuk kabupaten,
maka dapat diasumsikan bahwa Caruban secara administratif kepemerintahan tidak lagi
sebuah kabupaten setelah 1867. Meskipun demikian, asumsi atas sumber terbatas non-
primer tersebut perlu dibandingkan dengan data dari sumber-sumber lain, khususnya
sumber tertulis primer atau yang berasal dari periode yang dikaji.
2. Caruban pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1830—1942
Perkembangan Setelah Perang Jawa
Laporan Pemerintah Kolonial tentang Residensi Madiun tahun 1839 memaparkan
secara rinci kedudukan Caruban dan perubahan pusat-pusat pemerintahan di Madiun
kala itu, sekitar 10 tahun setelah berakhirnya Perang Jawa/Perang Diponegoro. Laporan
tersebut terdapat dalam bundel Arsip Madiun No. 2 (koleksi badan Arsip Nasional
Republik Indonesia, ANRI).
Menurut Algemeen Verslag der Residentie Madioen 1839 itu, Karesidenan
Madiun sampai dengan 1830 merupakan wilayah Monconegoro dari Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Setelah berakhirnya Perang Jawa, Madiun
diserahkan oleh kerajaan-kerajaan itu kepada pemerintah (Hindia Belanda).
Dalam struktur pemerintahan Mancanegara, kekuasaan dipegang oleh Bupati
Wedono dan Bupati (yang terakhir ini berada di bawah yang pertama), keduanya
diangkat oleh Kerajaan dan bertugas menjalankan fungsi sebagai wakil pemerintahan
kerajaan di wilayah tersebut.Ketika Madiun diserahkan kepada pemerintah Hindia
Belanda, terdapat 2 Bupati Kepala (Hoofd Regent yaitu Bupati Wedono) dan 11 Bupati
wakil Kasunanan Surakarta, dan 1 Bupati Kepala dan 8 Bupati sebagai wakil
Kasunanan Surakarta.
Para Bupati Wedono dan Bupati wakil Kasunanan Surakarta mengepalai wilayah
Distrik atau Kabupaten:
1. Caruban
2. Tandingan (Bupati Wedono)
3. Ponorogo (Bupati Wedono)
4. Polorejo
5. Arjowinangun
85 6. Sumoroto
7. Pedanten
8. Plalangan
9. Pacitan
10. Pangul
11. Lorok
Bupati Wedono dan Bupati wakil Kasultanan Yogyakarta mengepalai Distrik atau
Kabupaten:
1. Madiun
2. Magetan
3. Maospati
4. Kariten
5. Tungol
6. Banget
7. Purwodadi
8. Genengan
9. Nyuneng
Sebelum serah-terima kepada pemerintah Hindia Belanda, keputusan
kepemerintahan atas penduduk dipegang oleh kepala desa (Bekkels), yang bekerja di
bawah Bupati dengan pengawasan harian oleh Demang.
Setelah serah-terima, seluruh wilayah—kecuali tiga kabupaten—disatukan
menjadi karesidenan dengan Resolusi Gubernur Jendral 31 Agustus 1830. Karesidenan
tersebut terdiri atas wilayah-wilayah sebagai berikut:
1. Madiun
2. Maospati
3. Purwodadi
4. Pangul
5. Magetan
6. Gorang gareng
7. Jogorogo
8. Caruban
9. Ngawi
86 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 10. Ponorogo
11. Padanten
12. Sumoroto
13. Pollo Rejo
14. Polangan
15. Pacitan
16. Lorrok
17. Tungul
Dengan Resolusi 6 Juni 1832 No. 1, Pacitan dipisahkan dari Karesidenan
Madiun. Dan sesuai penjelasan Asisten Residen, pengurangan jumlah kabupaten di
wilayah karesidenan terus dilakukan. Dengan Resolusi Gubernur Jendral 6 Juni 1832
dan 22 Maret 1833 No. 1 dan No. 6, pengurangan jumlah kabupaten dilanjutkan dengan
penghapusan kabupaten Pedanten, Gorang gareng, Tungul.
Akhirnya, dengan Keputusan Gubernur Jendral 1 Januari 1839 No. 3, sebuah
organisasi baru struktur pemerintahan menetapkan bahwa Karesidenan Madiun terdiri
atas 4 Kabupaten saja, yaitu
1. Kabupaten Madiun, memiliki 50.075 jiwa penduduk
2. Kabupaten Magetan, memiliki 46.013 jiwa penduduk
3. Kabupaten Ngawi, memiliki 58.298 jiwa penduduk
4. Kabupaten Ponorogo, memiliki 94.340 jiwa penduduk
Selanjutnya terkait batas-batas wilayah Karesidenan Madiun, penetapannya
adalah sebagai berikut. Bekas kabupaten Jogorogo dan Purwodadi di dalam struktur
baru dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Ngawi sedangkan bekas kabupaten
Sumoroto dan Arjowinangun masuk ke dalam Kabupaten Ponorogo.
Dengan demikian, Karesidenan Madiun memiliki batas-batas yaitu di sebelah
utara berbatasan dengan Rembang dan Semarang, di sebelah timur berbatasan dengan
Kediri, di sebelah selatan dengan Pacitan dan di sebelah barat dengan Surakarta. Jumlah
penduduk Karesidenan Madiun keseluruhan mencapai 265.592 jiwa, yang tersebar ke
wilayah yang luas seluruhnya 1800 pal persegi. Wilayah ini berasal dari bekas 17
kabupaten yang sekarang (setelah reorganisasi berdasarkan Keputusan Gubernur Jendral
1 Januari 1839 No. 3) diringkas menjadi 4 kabupaten.
87
3. Caruban dalam Reorganisasi Pemerintahan Madiun 1900—1942
Pada awal abad keduapuluh, pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi
struktur pemerintahan di seluruh wilayah yang dikelolanya di Indonesia. Reorganisasi
itu secara hukum berlangsung dalam dua tahap, yaitu reorganisasi melalui Undang-
Undang Desentralisasi 1906, dan Undang-Undang Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah
1922. UU Desentralisasi 1906 melahirkan apa yang disebut Dewan Wilayah
(Gewestelijksraad). UU Restrukturisasi 1922 melahirkan pembagian wilayah ke dalam
struktur Provinsi, di antaranya lahirnya Provinsi Jawa Timur. Meskipun kedua
gelombang reorganisasi pemerintahan di awal abad keduapuluh dimaksudkan untuk
menata sistem besar birokrasi pemerintah, dampaknya pada implementasi di tingkat
bawah terasa hingga ke kampung dan desa.
Di wilayah Karesidenan Madiun, reorganisasi dan restrukturisasi pemerintahan
mengakibatkan berubahnya cakupan wilayah baik di bawah kabupaten maupun di
bawah distrik. Pemindahan cakupan wilayah hingga ke tingkat distrik di dalam
kabupaten di Karesidenan Madiun, mengakibatkan antara lain berubahnya pusat
pemerintahan beberapa distrik, khususnya di wilayah Kabupaten Pacitan dan Kabupaten
Ponorogo.
Secara khusus, Distrik Caruban di Kabupaten Madiun tidak mengalami
perubahan dalam hal pusat pemerintahan. Pemerintahan Distrik Caruban—dalam arti
kedudukan Wedono Caruban—tetap berada di Mejayan, nama sebuah tempat yang juga
merupakan pusat pemerintahan Onderdistrik Mejayan. Namun, Distrik Caruban
mengalami penciutan wilayah dalam konteks reorganisasi pemerintahan tahun 1900.
Sebagaimana tertuang di dalam arsip Algemeene Secretarie, perubahan pembagian
administratif residensi Madiun di awal abad keduapuluh ditetapkan oleh Staatsblad
1900 no. 306. Produk hukum dari pemerintah pusat di Batavia ini telah membentuk
distrik dan onderdistrik secara seakurat mungkin berdasarkan proporsi luasan wilayah
dan jumlah jiwa penduduk.
Tabel 1 menampilkan cakupan wilayah Afdeeling atau Karesidenan Madiun, yang
dicuplik di sini hanya pada bagian Kabupaten Madiun. Tabel 1 menunjukkan bahwa
Kabupaten Madiun pada awal abad keduapuluh terdiri dari 4 wilayah distrik dan 13
wilayah onderdistrik. Keempat wilayah administrasi distrik itu adalah Distrik Bagi yang
88 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 pemerintahannya bertempat di Kota Madiun, Distrik Caruban yang pemerintahannya
bertempat di Mejayan, Distrik Uteran dengan pemerintahan berkedudukan di Purworejo,
dan Distrik Kanigoro dengan pusat pemerintahan di Kleco.
Tabel 1: Nomenklatur Kepemerintahan Afdeeling Madiun sebelum dan setelah
Reorganisasi Administrasi, 27 Januari 1905
Afdee
ling
Regent-
schap
Controle afdeeling District Onderdistrict
sebelum sesudah sebelum sesudah sebelum sesudah
Ma-
diun
Madiun Madiun Madiun Bagi (Kota
Madiun
Bagi (Kota
Madiun)
1. Madiun
2. Nglames
3. Babadan
1. Madiun
2. Balerejo
3. Juwan
Caruban
(Mejayan)
Caruban
(Mejayan)
1. Mejayan
2. Saradan
3. Pilangken-
ceng
1. Mejayan
2. Saradan
(Tempat
kedudukan
Asisten
Wedono
Ngablak
3. Pilangken-
ceng
Uteran
(Padukuhan
Purworejo di
Desa Geger)
Uteran
(Dukuh
Purworejo
di Desa
Geger)
1. Uteran
2. Kebonsari
3. Dalopo
4. Dagangan
1. Uteran
2. Kebonsari
3. Dalopo
4. Dagangan
Kanigoro
(Padukuhan
Kleco di
Desa
Wungu)
Kanigoro
(Dukuh
Kleco di
Desa
Wungu
5. Kleco
6. Gemarang
7. Gondosuli
5. Kleco
6. Gemarang
7. Gondosuli
(tempat
kedudukan
Asisten
Wedono
Cermo)
(Sumber: Penjelasan Residen Madiun atas Usulan Penataan Pemerintahan Wilayah 27
Januari 1905, Algemeene Secretarie No. 1271 (ANRI), hlm. 1
89
Jika diamati lebih detil, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa Mejayan yang
menjadi pusat pemerintahan Distrik Caruban, sekaligus merupakan sebuah wilayah
onderdistrik, yaitu satu cakupan administrasi di bawah distrik. Artinya, pusat
pemerintahan Distrik Caruban adalah sebuah wilayah yang cakupannya cukup luas dan
tidak hanya pada titik keramaian Mejayan. Hal ini diperkuat dengan data pada Tabel 1,
sebagaimana nanti akan diulas.
Selanjutnya melalui reorganisasi desa dan kampung dalam wilayah distrik
diputuskan bahwa 8 desa di Distrik Caruban harus dipisahkan dan lalu digabungkan ke
dalam Distrik Kanigoro. Sayangnya, 8 desa mana saja yang dipindahkan wilayah
Distrik Caruban ke Distrik Kanigoro tidak disebutkan. Bagi penduduk yang berkaitan
dengan hal ini, ada bahaya besar bahwa mereka sekarang memiliki jarak lebih besar
dengan semua urusan di ibukota, dari kepala distrik dan kepala onderdistrik. Bagi
wedono Caruban penjelasan mengecilnya wilayah administrasi ini tidak memberikan
penerangan apa-apa, tetapi nantinya ia akan memerintah luasan wilayah pemerintahan
yang hanya mencakup wilayah yang dulu.
Khususnya terkait kepentingan pengelolaan irigasi di Caruban Selatan dan
untuk urusan tugasnya secara umum, perubahan wilayah ini mengandung kesalahan
tertentu. Akibatnya, ke-8 desa yang dimaksud akan memiliki posisi yang jauh berkurang
dalam pemerintahan khususnya dalam hal kewenangan inspeksi. Dengan alasan itu ke-8
desa tersebut sebaiknya tetap dimasukkan ke dalam distrik Caruban, di bawah
onderdistrik Mejayan (Algemeene Secretarie No. 1271, hlm. 4-5). Pada Peta 1 tampak
luasan geografis Distrik Caruban, yang di dalamnya terdapat Onderdistrik Mejayan,
Onderdistrik Saradan dan Onderdistrik Pilangkenceng.
90 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018
Peta 1: Wilayah Distrik Caruban, Meliputi Onderdistrik Mejayan, Saradan dan
Pilangkenceng
(Sumber peta: KITLV)
Reorganisasi 1905 juga menghasilkan pembagian wilayah desa dan kampung.
Di Distrik Caruban, reorganisasi tersebut mengakibatkan penambahan jumlah desa dari
semula 79 desa menjadi 89 sebagaimana tampak pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan
bahwa sebagai sebuah Distrik, Caruban mencakup 3 wilayah onderdistrik dengan pusat-
pusat keramaian dan pemerintahannya sendiri. Dengan kata lain, Caruban sebagai suatu
wilayah pemerintahan mencakup seluruh wilayah pusat pemerintahan di semua
onderdistrik. Pusat pemerintahan Distrik Caruban terletak tidak hanya di satu titik
Onderdistrik Mejayan, tetapi juga di Saradan dan Pilangkenceng. Secara khusus,
Onderdistrik Saradan memiliki makna penting karena merupakan tempat kedudukan
Asisten Wedono Caruban. Demikian juga Pilangkenceng. Tiga wilayah onderdistrik
tersebut (yaitu Mejayan, Saradan dan Pilangkenceng) secara bersama-sama membentuk
kesatuan wilayah Caruban.
91
Seperti telah disinggung, Caruban sendiri pada awal abad keduapuluh adalah
salah satu dari 4 distrik di Kabupaten Madiun. Pada saat itu—yaitu pada awal abad
keduapuluh—ibukota Kabupaten Madiun berada di Distrik Bagi dengan titik pusat
keramaian di Kota Madiun. Menurut Staatsblad GG NI No. 306 berdasarkan Besluit
GG van NI 16 November 1900 No. 3tentang pengurangan personil pemerintahan,
Distrik Bagi dipimpin oleh seorang Patih sedangkan Distrik Caruban, Distrik Uteran
dan Distrik Kanigoro dipimpin masing-masing oleh seorang Wedono.
Sementara itu Onderdistrik Madiun, Mejayan, Uteran dipimpin masing-masing
oleh seorang Patih atau Wedono sedangkan Onderdistrik Nglames, Babadan, Saradan,
Pilangkenceng, Kebonsari, Dolopo dan Dagangan dipimpin masing-masing oleh
seorang Asisten-Wedono. Hal ini diperkuat dengan data dari Regeering Almanak, yaitu
buku daftar para pejabat pemerintah. Regeering Almanak (RA) yang dapat diakses
dalam penelitian ini, yaitu Regeering Almanak edisi tahun 1891 sampai dengan 1933,
menunjukkan antara lain bahwa Caruban dipimpin oleh seorang Wedono. Artinya,
Caruban merupakan sebuah wilayah administrasi distrik.
Keberadaan Patih sebagai kepala pemerintahan di Onderdistrik Mejayan dan
Asisten-Residen masing-masing di Onderdistrik Saradan dan Onderdistrik
Pilangkenceng menegaskan bahwa Mejayan sebagai onderdistrik lebih kompleks
persoalannya di mata pemerintah kolonial daripada Saradan dan Pilangkenceng. Namun
itu tidak bermakna bahwa Mejayan merupakan satu-satunya pusat dari administrasi
pemerintahan Caruban.
Tabel 2: Reorganisasi Wilayah Kampung dan Desa di Kabupaten Madiun, 1905
District —
Onderdistrict
Susunan kampung dan desa yang ada
saat ini* (tahun 1905)
District
—
Onderdist
rict
Susunan baru kampung dan desa yang
disetujui
92 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018
Caruban
— Mejayan
1. Mejayan
2. Batu
3. Krajan
4. Pompa-
wijayan
5. Karanglor
6. Gempol
7. Mrahu
8. Buduran
9. Kayo
10. Maran
11. Pelemkidul
12. Sumberrejo
13. Banjang
14. Klitik
15. Kaliabu
16. Sokasari
17. Majorejo
1. Pandean
2. Ngetrep
3. Sendon
4. Wonoasri
5. Plempung-
rejo
6. Pandansari
7. Kahuman
8. Patian
9. Pagaden
10. Dermo
11. Muningan
12. Kaligunting
13. Blimbing
14. Klejo
15. Kunjen
Caru
ban —
Mejayan
1. Mejayan
2. Batu
3. Krajan
4. Campurjayan
5. Karanglo
6. Gempol
7. Mrahu
8. Buduran
9. Kayo
10. Maron
11. Pelemkidul
12. Sumberrejo
13. Banjong
14. Klitik
15. Kaliabu
16. Sukosari
17. Mojorejo
18. Pandean
19. Ngetrep
20. Skudon
21. Wonoasri
1. Plumpung-rejo
2. Pandansilo
3. Kahuman
4. Patian
5. Pagaden
6. Dermo
7. Kuningan
8. Kaligunting
9. Blimbing
10. Kleco
11. Kuncen
12. Santan
13. Blabakan
14. Kedung-
dawung
15. Dukuhan
16. Gunalan
17. Jatirejo
18. Jatisari
19. Ngadirejo
Caruban
— Saradan
33. Pulung
1. Sumbersari
2. Ngepeh
3. Padran
4. Klumutan
5. Bongsopatro
6. Sumber-
bendo
7. Pajaran
8. Klangon
9. Bandungan
43. Sokarejo*
43. Sambirejo*
43. Sidarejo*
1. Sumber-agung
2. Kenep
3. Bener
4. Pelemlor
5. Siwalan
6. Bajulan
7. Ngablak
Caru
ban —
Saradan
41. Pulung
1. Sumbersari
2. Ngekeh
3. Patian
4. Klumutan
5. Bongso-patro
6. Sumberbendo
7. Pajaran
8. Klangon
9. Bandungan
51. Sakarejo
1. Sambirejo
2. Sidarejo
3. Sumber-agung
4. Kenep
5. Bener
6. Pelemlor
7. Siwalan
8. Bajulan
9. Ngablak
93
Caruban
— Pilang-
kenceng
51. Pilang-
kenceng
1. Salencongan
2. Krapyak
3. Jekak
4. Bagasem
5. Wonoayu
6. Wungu
7. Krebel
8. Klaung-
banteng
9. Luworo
10. Ngengar
11. Gandul
12. Watulor
13. Sumberbelik
14. Sumur
66. Kepanjen
1. Muneng
2. Puhti
3. Sumbang
4. Ngale
5. Duren
6. Bulu
7. Dawuhan
8. Kenongo
9. Sumber-gandu
10. Plagan
11. Kedung-
maron
12. Pengklek
13. Jatus
Caru
ban —
Pilang-
kenceng
61. Pilang-
kenceng
1. Klencongan
2. Krapyak
3. Jetak
4. Bagasem
5. Wanaayu
6. Wungu
7. Krekeb
8. Kedung-
banteng
9. Luwaro
10. Ngengar
11. Gandul
12. Wateslor
13. Sumber-belik
14. Sumur
76. Kepanjen
1. Muneng
2. Puhti
3. Sumbang
4. Ngale
5. Duren
6. Bulu
7. Dawuhan
8. Kenongo
9. Sumber-gandu
10. Plagan
11. Kedung-maran
12. Pengklik
13. Jakser
(Sumber Tabel: Penjelasan Residen Madiun atas Usulan Penataan Pemerintahan
Wilayah 27 Januari 1905, Algemeene Secretarie No. 1271 (ANRI), hlm. 1
4. Kedudukan Caruban pada Masa Republik Indonesia
Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terdapat beberapa perubahan peraturan yang
mengatur mengenai administrasi kewilayahan di Indonesia. Peraturan baru yang muncul
telah menyebabkan perubahan istilah teknis yang digunakan sebagai penyebutan
pemerintahan daerah yang otonom, yang diistilahkan dengan “Pemerintahan Daerah
Swatantra.” Sedangkan daerahnya disebut, “Daerah Swatantra “ yang terbagi atas tiga
tingkatan: 1.) Daerah Swatantra Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya. 2.) Daerah
Swatantra Tingkat II, termasuk Kotapraja. 3.) Daerah Swatantra Tingkat III. Dalam hal
ini, Kabupaten Madiun termasuk dalam Daerah Swantara Tingkat II.
Selain perubahan-perubahan dalam struktur administrasi pemerintahan, terdapat
pula sejumlah perubahan penting menyangkutorganisasi kewilayahan di Kabupaten
Madiun yang berlangsung pada dekade 1950-an. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 tahun 1950 tentang pemerintahan daerah kabupaten di Djawa Timur,Madiun
merupakan kabupaten yang menjadi bagian dari Karesidenan Madiun bersama empat
94 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 lima kabupaten lain meliputi; Magetan; Ngawi; Ponorogo; dan Pacitan, dan satu
kotapraja dengan status kota besar yakni Madiun. Adapun detail mengenai jumlah
kawedanan, kecamatan, desa dan populasi pada tiap-tiap kabupaten diuraikan dalam
tabel 3 berikut:
Tabel 3. Komposisi Daerah dan Populasi di Karesidenan Madiun Tahun 1950
Kabupaten/Kota Banyaknya
Kawedanan Kecamatan Kalurahan Populasi
Madiun (Kabupaten) 4 13 221 511.227 Madiun (Kotapraja) - 1 12 82.901 Magetan 3 13 236 419.494 Ngawi 4 13 215 456.771 Ponorogo 5 19 303 583.536 Pacitan 4 12 164 345.572
Sumber: Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Provinsi Djawa Timur, 1953,
hlm 132-3.
Dalam hal penataan administrasi wilayah, Bupati meneruskan susunan lama—
dengan dasar UUD 1945 bab aturan peralihan, pasal II.Empat orang wedana, sebagai
pembantu bupati, bertugas untuk memimpin kawedanan yang meliputi Madiun, Uteran,
Kanigoro, dan Caruban. Masing-masing wedana tadi dibantu oleh beberapa asisten
wedana atau camat yang jumlahnya disesuaikan dengan banyaknya kecamatan yang ada
dalam suatu lingkup kawedanan. Secara keseluruhan terdapat 13 orang asisten wedana
di kabupaten Madiun. Setiap asisten wedana atau camat membawahi sejumlah kepala
desa yang masing-masing bertugas mengepalai satu kelurahan.
Pada 17 Juli 1958 presiden menyetujui pengesahaan usul undang-undang yang
mengatur mengenai perubahan batas kota praja Madiun dan Daerah Swantantra Tingkat
II Madiun. Perubahan ini berkaitan dengan penetapan Kotamadya Madiun,atau yang
pada masa kolonial lebih akrab disebut sebagai staadsgemeente Madiun, sebagai Kota
Besar berdasar Undang-undang No. 22 tahun 1948. Adapun cakupan dari wilayah
Kotapraja Madiun diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 16 tahun 1950 yang
95 terbit di Yogyakarta.Karena perubahan tersebut, pemerintah merasa perlu melakukan
perluasan wilayah kotapraja Madiun agar dapat menyesuaikan perkembangan yang ada.
Perluasan wilayah ini dilakukan dengan menambahkan delapan desa yang
berbatasan dengan Kotapraja, yang secara administratif sebenarnya masih merupakan
bagian di wilayah Kabupaten Madiun. Dengan demikian mengurangi cakupan wilayah
Kabupaten Madiun. Adapun desa-desa tersebut meliputi: Mangunhardjo, Winongo,
Redjomulyo, Modjoredjo, Bandjaredjo, Demangan, Djosenan, dan Kuncen.Dalam
melakukan perubahan ini, DPRD-S dan Pemerintah Daerah Swatantra II Madiun sudah
memberikan persetujuan, demikian pula dengan penduduk dari desa-desa yang
bersangkutan. Konsekwensinya, jumlah desa di wilayah Kabupaten Madiun yang pada
awal tahun 1950 adalah 221 berkurang menjadi 213 desa.
Perubahan lain yang terjadi menyangkut organisasi kewilayahan adalah adanya
penghapusan Karesidenan dan Kawedanan. Dalam tata administrasi wilayah
berdasarkan sistem yang dianut di Republik Indonesia, posisi kawedanan dan
karesidenan memang menunjukan masih adanya pengaruh dari sistem kolonial yang
mengadopsi dual system yang berlaku dalam binnenland bestuur (pemerintahan dalam
negeri).Adapun dual system kolonial membagipemerintahan dalam negeri dalam dua
institusi besar yakni Europesche Bestuur (pemerintahan Eropa), dan Indische Bestuur
(pemerintahan bumiputra).
Dalam Europeesche Bestuur terdapat unit administrasi berupa karesidenan yang
dipimpin seorang residen, afdeeling yang dipimpin oleh asisten residen, di bawahnya
terdapat pejabat yang dinamakan controleur dan aspirant resident. Adapun
pemerintahan bumiputra tersusun atas regent (bupati) membawahi kabupaten
(regentschap) yang dalam bekerja dibantu oleh patih atau asisten bupati, wedana atau
demang yang membawahi suatu distrik, dan asisten wedana membawahi onderdistrik.
Struktur kolonial ini tidak paralel dengan struktur nasional RI, dan dapat menimbulkan
kerancuan karena institusi Europesche Bestuur—dimana terdapat karesidenan di
dalamnya—tidak lagi diadopsi.
Penghapusan Karesidenan dan Kawedanan ini berdasar pada Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1963. Peraturan ini lahir oleh karena pemberlakuan
Undang-undang Penyerahan Pemerintahan Umum,yang mengatur mengenai penyerahan
tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang para Pejabat Pamong Praja antara lain
96 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 penyerahan tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang para Residen dan Wedana
masing-masing kepada Pemerintah Daerah/Kepala Daerah tingkat I dan kepada
Pemerintah Daerah/Kepala Daerah tingkat II. Dengan diberlakukannya peraturan ini
maka dianggap perlu untuk menghapuskannya wilayah Keresidenan dan Kewedanaan.
Melalui peraturan tersebut, pemerintah menyatakan semua Karesidenan dan
Kawedananan atau wilayah Pemerintahan yang setingkat, dengan nama apapun juga,
diseluruh wilayah Indonesia dihapus.Dalam riil pelaksanaan penghapusan itu secara
daerah demi daerah dilakukan dengan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan
Otonomi Daerah atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Daerah
tingkat I yang bersangkutan. Pelaksanaannya paling lambat sudah selesai pada akhir
tahun 1965.
Sebelum dikeluarkannya peraturan mengenai penghapusan kawedanan dan
karesidenan ini, Kabupaten Madiun merupakan bagian dari Karesidenan Madiun.
Dalam Kabupaten Madiun terdapat empat kawedanan. Setelah dilaksanakannya
penghapusan, kewenangan karesidenan diserahkan kepada pemerintah Daerah Tingkat I
dan Kabupaten Madiun menjadi salah satu kabupaten yang langsung berada di bawah
pemerintah provinsi Jawa Timur. Adapun empat kawedanan di Kabupaten Madiun juga
turut dihapuskan, sehingga Kabupaten Madiun secara langsung membawahi 13
kecamatan. Dengan perubahan ini, sebagai ganti karesidenan dan kawedanan yang
dihapus, kemudian dibentuk pembantu gubernur untuk tingkat I, dan pembantu bupati
untuk tingkat II.Demikian juga yang terjadi dengan kawedanan di Madiun.Status
kawedanan yang dihapuskan kemudian dijadikan Pembantu Bupati yang berlaku mulai
tanggal 25 Oktober 1963 sampai dengan 7 Mei 1999.
Dihapuskannya Kawedanan ini secara langsung berdampak pada hilangnya 4
wilayah administrasi kawedanan yang ada di wilayah Kabupaten Madiun termasuk
didalamnya adalah Caruban. Berbeda dengan Kawedanan lainnya yang mempunyai
wilayah ditingkat desa, Kawedanan Caruban benar-benar hilang karena tidak
mempunyai nama wilayah Caruban pada tingkat desa ataupun dusun. Status Caruban
kemudian berubah menjadi wilayah pembantu bupati Madiun sampai tahun 1990an.
97 Gambar 1: Gapura Masuk Kota Caruban
Sumber: madiunkab.go.id
5.Caruban Sebagai Memori Kolektif Masyarakat
Meskipun Kawedanan Caruban sebagai administrasi kewilayahan di Kabupaten Madiun
sudah dihapus pada tahun 1963, namun Caruban sebagai memori kolektif masyarakat
tidak pernah hilang bahkan sampai saat ini.Hal itu terlihat pada penyebutan tempat-
tempat penting yang ada di wilayah ini, masyarakat masih menyematkan nama Caruban
menyertai dibelakangnya, misalnya Terminal Caruban, Pasar Caruban, Stadion Caruban
dan sebagainya.Bahkan pada gapura masuk ke wilayah Caruban masih terpampang
dengan jelas nama Kota Caruban, setidaknya sampai awal Februari tahun 2017.
Gambar 2. Terminal Caruban
Sumber: mejayan-madiun.blogspot.com
98 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018
Nama Kota Caruban juga dengan jelas masih digunakan ketika pemerintah
Kabupaten Madiun melakukan kebijakan rintisan untuk memindahkan ibukota
Kabupaten Madiun, dari Pangongangan yang secara administratif masuk ke dalam
wilayah Kota Madiun ke Kota Caruban. Kebijakan ini sudah dirintis pada masa Bupati
Madiun dijabat oleh Drs. Bambang Koesbandono (1983-1988). Kota Caruban sudah
dirintis menjadi Kota Binaan sejak tahun 1985. Kebijakan merintis pemindahan ibu kota
yang dilakukan oleh Kabupaten Madiun pada waktu itu juga dilakukan oleh beberapa
kabupaten lain di Jawa Timur yaitu Kabupaten Probolinggo yang merintis Kraksaan,
Kabupaten Malang yang merintis Kepanjen, Kabupaten Blitar yang merintis Wlingi,
dan Kabupaten Kediri yang merintis Pare.
Gambar 3. Rumah Sakit Umum Daerah Caruban
Sumber: rsudcaruban.madiunkab.go.id
Bupati Drs. Bambang Koesbandono mengeluarkan 3 kebijakan utama dalam
rangka melakukan rintisan Kota Caruban menjadi Kota Binaan, yaitu:
a. Penataan Kota Caruban
Pada periode tahun 1980-an tata ruang Kota Caruban terkesan kurang mendapatkan
perhatian pemerintah daerah, sehingga kondisinya agak semrawut. Salah satunya adalah
karena ditengah jalan utama Caruban terdapat rel kereta api/lori pengangkut tebu dari
perkebunan tebu ke Pabrik Gula Redjo Agung. Selain aspek keselamatan, kondisi ini
99 tentu saja juga mengganggu kelancaran lalu lintas di Caruban. Oleh karena itulah
kemudian Bupati Madiun melakukan koordinasi dengan Komisaris PT Radjawali,
perusahaan BUMN induk dari PG Redjo Agung, untuk menutup jalan kereta
pengangkut tebu itu. Permintaan Bupati Madiun yang disertai dengan alasan kuat dan
proyeksi ke depan pengembangan Caruban itu akhirnya dipenuhi. Jalan kereta api/lori
yang melintas di jalan utama Caruban akhirnya dibongkar pada waktu itu.
b. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Untuk mewujudkan adanya Pendapatan Asli Daerah untuk Caruban, BupatiDrs.
Bambang Koesbandono membangun Pasar Caruban Baru. Pada 19 April1987 Bupati
Drs. Bambang Koesbandono meresmikan pembangunan Pasar Caruban Baru dengan
melakukan peletakan batu pertama. Proyek Pasar Caruban Baru dibangun dengan
menggunakan dana Inpres Pasar Nomor 10 tahun 1983. Lokasi Pasar Caruban baru
yang berada di tengah kota itu kemudian berkembang pesiar dan menjadi urat nadi
perdagangan masyarakatnya. Tidak hanya menjadi indikator perkembangan
perekonomian masyarakat Caruban namun juga bagi wilayah disekitarnya.
c. Membuat Penanda Wilayah
Penanda wilayah ini kemudian diwujudkan dengan membangun batas Kota Caruban
dibeberapa titik, antara lain di Klitik, Wonoasri, dan Kaligunting, Mejayan.Nama Kota
Caruban juga masih digunakan secara resmi oleh pemerintah Kabupaten Madiun dalam
beberapa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kebijakan rintisan pemindahan
ibu kota ke Kota Caruban. Misalnya pada tahun 1990 pemerintah daerah Kabupaten
Madiun menyusun Rencana Induk Kota (RIK) Caruban yang berisi tentang masterplan
rencana pembangunan dan pengembangan Kota Caruban. Pada tahun 1993/1994, RIK
itu kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya peraturan daerah tentang Rencana
Umum Tata Ruang Kota (RTRK) Caruban yang kemudian diteruskan dengan adanya
Peraturan daerah Rencana Detil Tata Ruang Kota Caruban.
Pada tahun yang sama fasilitas umum penting yaitu Rumah Sakit Umum Daerah
Caruban dibangun dan setahun kemudian mulai beroperasi melayani kesehatan
masyarakat Caruban dan sekitarnya. Beberapa kantor penting dan fasilitas umum
lainnya kemudian juga dibangun di wilayah Caruban seperti gedung DPRD Kabupaten
100 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 Madiun, terminal, stasiun, dan beberapa bangunan penting lainnya. Semua fasilitas
umum dan pemerintahan tersebut dengan jelas masih menggunakan nama Caruban di
belakang nama resminya seperti Rumah Sakit Umum Daerah Caruban, Terminal
Caruban, dan Stasiun Caruban.
Hal yang sama juga masih terjadi pada awal tahun 2000an. Dalam Sub Satuan
Wilayah Pembangunan (SSWP) Kabupaten Madiun, Kota Caruban akan dikembangkan
dan ditingkatkan fungsinya sebagai pusat pemerintahan/ibukota kabupaten. Dengan
fungsi sebagai pusat pemerintahan/ibukota kabupaten, maka akan diikuti oleh fungsi-
fungsi yang lain yang akan menjadikan Kota Caruban sebagai pusat kegiatan utama di
wilayah Kabupaten Madiun. Fungsi-fungsi tersebut antara lain yaitu : (1) pusat
pelayanan sosial, (2) pusat perdagangan dan (3) pusat kegiatan industri dan
pergudangan.
Dengan peningkatan fungsi tersebut diharapkan akan terjadi pula peningkatan
interaksi sosial ekonomi di dalam kota, sehingga akan berpengaruh pada perkembangan
Kota Caruban itu sendiri secara keseluruhan. Dengan demikian Kota Caruban akan
menjadi pusat utama bagi wilayah Kabupaten Madiun. Hal ini berarti bahwa Kota
Caruban menjadi identitas tersendiri bagi Kabupaten Madiun.
Pemilihan Kota Caruban sebagai calon pusat pemerintahan/ibukota kabupaten
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1) Kota Caruban
merupakan kota terbesar di wilayah Kabupaten Madiun, 2). Kota Caruban mempunyai
daya dukung lahan dan keseimbangan lingkungan, 3). Kota Caruban mempunyai tata
guna lahan dan jaringan jalan, dan 4). Kota Caruban mempunyai ketersediaan fasilitas
dan utilitas umum.
Kota merupakan tempat bermukimnya sejumlah penduduk yang memiliki, pola
hubungan rasional, ekonomis dan individualistis. Dalam kaitan tersebut, kota selain
berfungsi sebagai wadah juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan penduduk yang
bersifat heterogen, yaitu antara lain pusat perdagangan, pusat perindustrian, pusat
pelayanan sosial dan pusat pemerintahan. Dalam konteks Kota Caruban, sampai awal
tahun 2000-an, fungsi yang diembannya adalah sebagai pusat perdagangan dan
pelayanan sosial, sedangkan fungsi lainnya khususnya sebagai pusat pemerintahan
belum nampak nyata. Hal ini disebabkan Kota Caruban tidak berstatus sebagai kota
administratif. Dalam perkembangan yang direncanakan, Kota Caruban akan
101 ditingkatkan fungsinya sebagai pusat pemerintahan (ibukota) Kabupaten Madiun sesuai
Peraturan Daerah Kabupaten Madiun No. 21 Tahun 1998 tentang Evaluasi/Revisi
RUTRK/RDTRK Caruban.
Nama Caruban juga diakui oleh pemerintah pusat ketika pada tahun 1994 Kota
Caruban berhasil mendapatkan penghargaan sertifikat kebersihan dan keindahan kota
untuk kategori kota kecil. Pembenahan dalam berbagai komponen seperti dijelaskan
diatas kemudian membuahkan hasil lagi pada tahun 1995 dan 1996 ketika Kota Caruban
berhasil menyabet penghargaan Adipura secara berturut-turut. Bahkan pada tahun 2017,
Kota Caruban juga berhasil meraih Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan untuk kategori kota kecil.Adipura tahun 2017 yang diterima oleh Caruban
merupakan Adipura ke-10 sepanjang keikutsertaan Caruban dalam penghargaan
kebersihan kota di Indonesia ini.
Dari penjelasan diatas dapat diambil disimpulkan bahwa walaupun secara
administrasi kewilayahan dan juga secara legal formal wilayah Caruban sudah dihapus
oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1963 namun dalam aktualisasi kehidupan sehari-
hari masyarakat tidak pernah hilang. Lebih dari itu Nama Caruban juga masih
digunakan dalam dokumen-dokumen resmi dan fasilitas umum yang dibangun oleh
pemerintah Kabupaten Madiun dalam rangka kebijakan rintisan pemindahan ibu kota.
Hal yang ambigu adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, yang secara administrasi telah menghapus Caruban tetapi dalam
konteks lain masih mengakuinya secara resmi seperti terlihat pada penghargaan Adipura
yang diraih oleh Caruban dalam kategori kota kecil.
KESIMPULAN
Status Caruban sebagai “daerah mancanegara” Kasunanan Surakarta, berakhir setelah
wilayah itu bersama 19 wilayah mancanegara lainnya di Madiun diserahkan pada tahun
1830 oleh pihak Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta kepada pemerintah
Hindia Belanda menyusul berakhirnya Perang Jawa/Perang Diponegoro. Setelah
penyerahan itu, Caruban khususnya dan Madiun secara keseluruhan berada di bawah
sistem hukum dan pemerintahan Hindia Belanda.
Status Caruban sebagai “Kabupaten” menurut sistem administrasi pemerintahan
mancanegara Kasunanan Surakarta, berakhir menyusul penyederhanaan wilayah
102 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 administrasi dari 17 kabupaten dalam sistem mancanegara pada Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta itu, menjadi hanya 4 kabupaten di bawah Karesidenenan
Madiundalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Besluit (Surat
Keputusan) Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1839 No. 3.
Sejak penyederhanaan sistem administrasi Hindia Belanda menjadi 4 kabupaten
pada 1839, status administrasi Caruban adalah Distrik di dalam Kabupaten Madiun.
Distrik Caruban dipimpin oleh seorang Wedono, berkedudukan di Onderdistrik
Mejayan. Dari perspektif negara kolonial, status distrik wilayah Caruban berlangsung
hingga 1942. Pada awal abad keduapuluh, Distrik Caruban mencakup luas wilayah 3
onderdistrik, yaitu Onderdistrik Mejayan, Onderdistrik Saradan dan Onderdistrik
Pilangkenceng. Onderdistrik Mejayan dipimpin oleh seorang Patih. Onderdistrik
Saradan dan Pilangkenceng dipimpin masing-masing oleh seorang Asisten-Wedono.
Meskipun kedudukan Wedono Distrik Caruban berada di Onderdistrik Mejayan,
namun seluruh tiga onderdistrik di wilayah Distrik Caruban (yaitu Mejayan, Saradan
dan Pilangkenceng) merupakan kesatuan pusat pemerintahan Distrik Caruban terutama
karena jalinan birokrasi pemerintahan ketiga onderdistrik itu. Wilayah administrasi
Kawedanan Caruban, yang menggantikan secara langsung penamaan “Distrik Caruban”
pada masa kolonial,hilang secara resmi dari kewilayahan di Kabupaten Madiun ketika
pemerintah Indonesia menghapus nomenklatur “kawedanan” dari sistem administrasi
dan tata negara Republik Indonesia. Hal ini secara langsung berdampak pada hilangnya
4 administrasi kawedanan yang ada di wilayah Kabupaten Madiun termasuk didalamnya
adalah Caruban.
Meskipun secara legal formal wilayah Caruban sudah dihapus oleh pemerintah
Indonesia, namun secara sosiologis Caruban tidak pernah hilang sampai saat ini.
Bahkan nama Caruban masih dipakai dalam dokumen-dokumen resmi dan fasilitas
umum pemerintah Kabupaten Madiun. Dalam konteks pemerintah pusat, unit
administrasi Kota Caruban masih diakui dengan penghargaan Adipura untuk Caruban
dalam kategori sebagai kota kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Algemeene Secretarie 1271 (ANRI)
Algemeen Verslag der Residentie Madioen 1839 (ANRI).
103
Karya Darma, 22 Juli 1996.
Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Provinsi Djawa Timur, 1953
Lembar Negara Republik Indonesia, Nomor 66 1958.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1963.
Regeering Almanak 1893—1933.
Sek Neg RI, Seri Produk Hukum, Koleksi ANRI No. 265.
Siaran Pers Pemda Tingkat II Madiun Nomor: 485/590/432.19/1987.
Staatsblad van Gouverneur Generaal van Nederlands Indie No. 306 Besluit GG van NI
16 November 1900 No. 3
Sri Margana, Agus Suwignyo, Abdul Wahid, Baha’Uddin dan Uji Nugroho. 2017.
Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Awal Abad XIV
hingga Awal Abad XXI.Madiun & Yogyakarta: Pemkab Madiun & Departemen
Sejarah FIB UGM.
Solopos, edisi 3 Agustus 2017.
Undang-undang No. 6 tahun 1959 dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia No. 15
tahun 1959, aturan pelaksanaan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 1963,
Lembaran-Negara Republik Indonesia No. 96 tahun 1963.
Undang-undang Nomor 12 tahun 1950
Undang-undang No. 16 tahun 1950
104
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
RAJA KECIL YANG MENJADI PEGAWAI PEMERINTAH: PASANG SURUT
PENGHASILAN PARA BUPATI DI KARESIDENAN BESUKI PADA PERIODE 1870-1930-AN
Retno Winarni
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
Pos-el: [email protected]
ABSTRACT
This article aims at answering the questions of: (1) when and how was the process of fluctuation of the salary of the regents in Besuki residency, (2) what factors caused the fluctuations of their salary, (3) what did the colonial authorities and the regents do to response the salary fluctuation. Regents were small kings and representative of king in their own territories. Regent was the ruler of the land, meaning the owner of lands and everything on it. The consequence was that regent could might become rich because of their lucrative income coming from taxes, givings, and percentages of compulsory services. They also recieved percentages from the Cultivation System. This condition changed and declined when the colonial authority modernized the native bureaucracy with a policy that the transformation of their status from a feodal ruler to a government official impacted on the decline in their incomes. But gradually with the position-linked salaries and incentives they obatined, the regents were able to maintain their luxurious life style and lived affluently. Keywords: regents, fluctuation, incomes, luxury, Besuki residency
ABSTRAK Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan (1) Kapan dan bagaimana proses pasang surut penghasilan para bupati Karesidenan Besuki (2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pasang surut tersebut (3) Apa yang dilakukan pemerintah dan para bupati akibat terjadinya pasang surut penghasilan bupati. Bupati adalah raja-raja kecil dan wakil raja di daerahnya masing-masing. Bupati adalah penguasa bumi, artinya pemilik tanah beserta isinya. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bupati bisa kaya raya dan hidup mewah, karena penghasilan mereka melimpah berasal dari pajak, upeti, pajak pacumpleng, persentase dari penyerahan wajib. Kemudian juga persentase dari Sistem Tanam Paksa. Kondisi ini mengalami surut ketika pemerintah colonial melakukan modernisasi pada birokrasi pemerintahan pribumi, dengan kebijakan bahwa perubahan atatus bupati sebagai penguasa feodalkemudian berubah
105
menjadi pemerintah berdampak pada menurun drastis penghasilan para bupati, tetapi lambat laun dengan mendapatkan tunjangan yang berkaitan dengan jabatan para bupati tidak terpuruk, terbukti para bupati tetap bisa hidup mewah. Kata kunci: bupati, pasang surut, penghasilan, kemewahan, karesidenan Besuki
PENDAHULUAN
Bupati adalah raja-raja kecil dan wakil raja di daerahnya masing-masing.. Kata bupati
secara etimologis berarti penguasa bumi, artinya pemilik tanah lengkap beserta isinya
(Nina Lubis, 1998:79). Pengertian ini mengandung implikasi bahwa bupati mempunyai
kekuasaan penuh dan berhak memanfaatkan sumber daya alam maupun sumberdaya
manusia untuk kepentingannya. Bupati berhak memungut pajak hasil tanah,
memanfaatkan hasil tanah dan memanfaatkan penduduknya untuk bekerja padanya
(verplichte diensten)(Van Vollenhoven, 1918:717).
Para bupati dari tanah di bawah kekuasaannya bisa mendapatkan penghasilan
dari hasil penyewaaan tanah. Para petani yang mendapatkan jatah tanah dari para bupati
diwajibkan membayar sewa tanah berupa hasil produksi, memungut pajak tanah dan
pajak pacumpleng. Besaran pajak tanah tergantung dari hasil produksinya, sedangkan
pajak pacumpleng besarnya sekitar 1/6 atau 1/7 gulden untuk tiap rumah. Para petani
biasanya membayar pajak pacumpleng dalam bentuk hasil kebunnya. Beberapa tempat
memungut pajak tambahan untuk setiap denda dagang atau kontribusi bagi kelahiran
atau perkawinan bagi anak-anak bupati (Raffles, 2008:94). Kondisi ini berubah setelah
kekuasaan VOC secara politik semakin kuat dan menguasai bekas-bekas wilayah raja-
raja di Jawa, maka kedudukan raja sebagai penguasa tertinggi digantikan oleh VOC.
VOC yang telah berhasil menguasai bekas Kerajaan Blambangan menetapkan
bahwa, masing-masing daerah tetap berada di bawah pimpinan pejabat pribumi.
Kompeni beranggapan bahwa dirinya sebagai pengganti raja Jawa di wilayah ujung
timur Jawa, maka dengan cara yang sama VOC memerintah daerahnya yaitu menurut
leenstelsel (sistem peminjaman tanah) dengan hak memungut hasil atau pajak kepada
penguasa pribumi.
Wilayah yang kemudian menjadi Karesidenan Besuki pada zaman VOC dikelola
dengan dua macam cara yaitu dengan menyewakan beberapa bidang tanah luas kepada
pihak swasta terutama kepada orang-orang Cina kaya dan daerah yang dikuasai VOC
106 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 serta diperintah oleh para kepala pribumi, yaitu Kabupaten Puger dan Kabupaten
Banyuwangi. Kedua daerah ini oleh VOC diwajibkan menyetorkan hasil bumi, maka
dibuatlah kontrak dengan kedua bupati tersebut. Bupati Puger Prawirodiningrat,
berdasarkan kontrak yang disepakati diwajibkan menyetorkan beberapa jenis barang.
Barang-barang yang diminta tersebut adalah 2 pikul lilin, 2 pikul kardamon
(kapulaga), 2 pikul lada berekor; 10 pikul lada merah dan 2 pikul benang sutera.
Barang-barang tersebut diserahkan tanpa bayaran. Selain itu Kompeni masih menuntut
penyerahan berupa 2 pikul benang kasar, 15 pikul kopi dan 20 pikul tali. Barang-barang
tersebut dibeli oleh VOC dengan harga yang sudah ditentukan oleh VOC (Wijayanti,
2001:56-57)
Bupati Banyuwangi, Raden Tumenggung Wiroguna menurut ketentuan yang
disepakati dengan Kompeni sejak tahun 1774, ia diwajibkan membayar beberapa
penghasilan sebagai pajak. Barang barang tersebut berupa 40 koyang beras gratis, 88
pikul indigo seharga 165 Ringgit Spanyol per pikul dengan pembagian 82,5 Ringgit
untuk Kompeni, 16,5 Ringgit untuk petani dan sisanya 65 Ringgit Spanyol sebagai jatah
bupati. Gua sarang burung disewakan kepada orang Cina sebesar 850 Ringgit Spanyol
pertahun. Sebesar 600 Ringgit Spanyol diserahkan oleh bupati kepada Kompeni dan
sisanya 250 Ringgit Spanyol menjadi bagian bupati. Zeetollen (pajak kelautan) juga
digadaikan kepada orang Cina seharga 300 Ringgit Spanyol pertahun (Wijayanti, 2001:
58)
Soemarsaid Moertono mengatakan bahwa selain pungutan teratur, kadang-
kadang pada waktu tertentu misalnya waktu menikahkan anaknya bupati sebagai
penguasa bisa memungut barang-barang lain, misalnya kelapa, tenaga atau barang
lainnya. Pungutan ini disebut pundhutan. Sumber dana lain berasal dari bea retribusi
pasar atau pelabuhan (Moertono, 1985:146). Jika kekurangan uang, VOC menganjurkan
kepada para bupati untuk menyewakan desa-desa di wilayahnya kepada pihak swasta
(Wijayanti, 2001:58). Kondisi ini berubah ketika VOC bangkrut dan kemudian Jawa
diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan Daendels dipercaya untuk memerintah di
Jawa. Pembaharuan tersebut salah satunya adalah model penggajian kepada para bupati.
Pembaharuan penggajian para bupati berkaitan dengan perubahan status bupati dari
status bupati sebagai penguasa feodal menjadi pegawai pemerintah.
107
Daendels berusaha mengadakan modernisasi dalam bidang pemerintahan,
termasuk yang menyangkut kedudukan para bupati. Usaha modernisasi dilakukan oleh
Daendels dengan menerbitkan resolusi dan instruksi yang ditujukan kepada para bupati
di daerah Gubernemen. Instruksi tersebut berisi pernyataan bahwa para bupati di
wilayah ujung timur Jawa dinyatakan sebagai pegawai kerajaan dengan gaji tetap dan
pasti, oleh karena itu berdasarkan resolusi dan instruksi tersebut, hak-hak bupati untuk
memungut penghasilan dari desa dibatasi. Para bupati hanya boleh memungut 1/10 hasil
panen padi, pajak kepala dan pajak-pajak lain dari desa yang dibenarkan menurut adat
(Kartodirdjo, 1987:13). Dengan demikian, jika dibandingkan dengan pada zaman VOC,
penghasilan para bupati sudah sangat berkurang.
Demikian juga pada zaman Raffles dan Komisaris Jenderal. Kebijakan tentang
perpajakan, antara Thomas Stamford Raffles dengan para Komisaris Jenderal tidak jauh
berbeda. Mereka berdua berusaha tidak melibatkan para bupati dalam pemungutan
pajak tanah. Penanganan pemungutan pajak tanah, Raffles menunjuk petinggi sebagai
pejabat pribumi yang bertugas mengumpulkan pajak tanah. Para petinggi kemudian
menyetorkan hasil pemungutan pajak tanah langsung kepada kolektor pajak atau kepada
residen.
Para Komisaris Jenderal demikian juga. Menurut pasal 10 Staatsblad van
Nederlandsch Indie tahun 1818 yang kemudian diperbarui dengan Staatsblad van
Nederlandsch Indie tahun 1819 pasal 20, pajak tanah yang berupa hasil bumi dan uang
diserahkan kepada petugas yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Hasil bumi disetorkan
ke gudang-gudang terdekat dari desa mereka. Pajak dalam bentuk uang menurut
ketentuan pasal 11 dan pasal 14, Staatsblad van Nederlandsch Indie 1819 pasal 20, para
kepala desa harus menyetorkan pajak sendiri secara langsung kepada residen atau
kolektor. Tidak seorang pun yang berhak menerima hasil pemungutan pajak tanah desa
kecuali residen atau kolektor (Staatsblad van Nederlandsch Indie 1819 pasal 20). Hal
ini berarti bahwa meskipun para bupati dan para pejabat pribumi masih tetap menerima
persentase dari hasil pemungutan pajak, tetapi karena para bupati tidak berhak secara
langsung memungut pajak dari petani maka penghasilan para bupati menjadi sangat
berkurang.
Sampai zaman Komisaris Jenderal, di Kabupaten Banyuwangi tidak
diberlakukan pembayaran pajak tanah. Di Kabupaten ini para Komisaris Jenderal
108 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 mempertahankan penanaman wajib kopi dan membebaskan penduduk dari beban pajak
seperti yang pernah ditetapkan Raffles pada masa-masa sebelumnya. Sebagai pengganti
pajak tanah yang harus dibayar petani, petani dilibatkan dalam penanaman kopi dan
perawatan tanaman tersebut (Wijayanti, 2001:141-143). Dari kopi yang diserahkan
kepada pemerintah, petani mendapatkan bagian yang sudah dipotong pajak. Dari
penyerahan hasil tanaman kopi petani, Bupati Banyuwangi mendapatkan besaran
persentase yang telah ditentukan. Perubahan sistem penggajian ini berpengaruh terhadap
kehidupan sosial ekonomi para bupati di Karesidenan Besuki. Artikel ini membahas
pasang surut penghasilan para bupati dan dampaknya bagi kehidupan para bupati di
Karesidenan Besuki periode 1830-an-1930-an. Artikel ini bertujuan untuk menjawab
permasalahan (1) Bagaimana proses pasang surut penghasilan para bupati Karesidenan
Besuki (2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pasang surut tersebut (3)
Apa yang dilakukan pemerintah dan para bupati akibat terjadinya pasang surut
penghasilan bupati.
PEMBAHASAN
1. Satu Kesempatan Meraup Keuntungan: Sistem Tanam Paksa
Para bupati pada zaman Tanam Paksa selain mendapatkan penghasilan dari pajak, juga
persentase dari hasil Tanaman Paksa yang disetorkan kepada pemerintah. Persentase ini
merupakan penghasilan ekstra para bupati selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
(1830-1870). Persentase dari hasil Tanam Paksa juga bisa disebut bonus untuk para
kepala pribumi. Besar kecilnya bonus tersebut tergantung dari besar kecilnya hasil
produksi tanaman yang disetorkan para bupati (Ong Hok Ham, 1997: 218), maka pada
zaman pelaksanaan Sistem Tanam Paksa bagi kalangan elite bangsawan di seluruh Jawa
merupakan suatu masa yang benar-benar menguntungkan. Para bupati seringkali
mendapat keuntungan yang besar dari pembayaran persentase atas penyerahan-
penyerahan hasil bumi tersebut(Ricklefs, 2005: 186-187). Hal ini menyebabkan para
bupati dan pejabat lain termotivasi untuk tidak mengembalikan sisa dari hasil yang
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda setelah dipotong pajak. Para bupati
bahkan seringkali berusaha agar tanah yang harus ditanami lebih luas dari yang sudah
ditentukan dengan harapan untuk memperbesar hasil produksi tanaman ekspor(
109 Kartodiedjo, et al, 1976:8). Logikanya semakin luas tanah yang ditanami untuk tanaman
paksa, semakin tinggi persentase yang diterima para bupati.
Gambaran yang jelas bahwa selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa beberapa
jenis tanaman wajib ditanam di Karesidenan Besuki. Pada tahun 1837, ada 6 jenis
tanaman yang dibudidayakan di Karesidenan Besuki. Tanaman tersebut adalah indigo,
tebu, kopi, teh, cochineal, chinamon dan sutera, akan tetapi yang membutuhkan tanah
paling luas adalah tebu(Elson, 1994). Penanaman tebu dimulai pada 1830 secara besar-
besaran dengan menggunakan tanah sawah seluas 700 bahu, dan pada tahun-tahun
berikutnya dikembangkan terus sehingga menjadi penanaman tebu yang cukup luas
(ANRI Besuki 2a5, 1882).
Pusat penanaman tebu selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Karesidenan
Besuki, masih tetap di sepanjang daerah pantai utara. Distrik Panarukan dan Distrik
Besuki adalah tempat yang mula-mula penanaman tebu dan indigo dilakukan. Budidaya
kopi berkembang di Distrik Bondowoso, Distrik Penanggungan dan Distrik Wringin
(Nawiyanto, 2001:19) karena pada tahun 1830-an daerah pemukiman penduduk masih
terbatas di sepanjang pantai utara, sedangkan daerah bagian pedalaman masih berupa
hutan belantara. Daerah pedalaman masih sulit dicapai karena jalan darat masih belum
dibangun. Selain itu di Distrik Besuki dan Distrik Panarukan tanahnya subur (Wijayanti,
2001:19).
Dam Sluice dibangun pada tahun 1832. Pembangunan Dam ini menyebabkan
peningkatan hasil produksi tebu. Pada 1835 produksi tebu hanya 76.450 pikul, tahun
1840 menjadi 115.090 pikul, pada tahun 1849 menjadi 199.482 pikul (ANRI,Besoeki
4.2, 1840). Luas lahan penanaman tebu juga mengalami peningkatan. Pada 1830 luas
lahan yang ditanami tebu hanya 700 bahu, pada 1835 luas tanaman tebu meningkat
menjadi 3819 bahu, tahun 1840 seluas 4515 bahu dan pada tahun 1850 meningkat
menjadi 6650 bahu, sedangkan lahan untuk Tanam Paksa indigo, tebu, kopi, teh,
chochenil, chinamon, sutera (silk), dan tembakau juga semakin luas
110 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Tabel 1 : Luas Tanah untuk Budidaya Tanaman Untuk Tanam Paksa di
Karesidenan Besuki Dari Tahun 1837-1844 (bahu)
No Jenis Tanaman 1837/Bahu 1844/Bahu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Indigo
Tebu
Kopi
Teh
Chocineal
Chinamon
Silk (sutera)
Tembakau
237
400
150
35
3
-
16
-
2.081
3.151
175
-
85
30
-
-
Sumber: R.E. Elson, Village Java Under The Cultivation System 1830 1870 (Sydney:
Allen And Unwin, 1994).
Tabel tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan yang signifikan luas
tanah untuk penanaman tebu di Karesidenan Besuki antara tahun 1837 dengan tahun
1844, misalnya pada tahun 1830, lahan yang digunakan untuk tanaman tebu seluas 700
bahu, tapi berdasarkan data Elson pada tahun 1837, lahan yang digunakan untuk
penanaman tebu paksa hanya 400 bahu. Dalam hal ini diduga bahwa sebelum Sistem
Tanam Paksa diberlakukan, sudah ada usaha budidaya tebu di Karesidenan Besuki yang
dilakukan oleh pengusaha swasta, baik oleh orang-orang Cina maupun orang Belanda.
Tanaman lain yang dikembangkan di Karesidenan Besuki Pada zaman Tanam
Paksa adalah indigo. Dari tahun 1837-1844, terjadi perluasan lahan penanaman indigo
yang cukup signifikan, dari 237 bahu pada tahun 1837 menjadi 2081 bahu yang
digunakan untuk penanaman indigo. Data tersebut menunjukkan bahwa tanaman indigo
di Karesidenan Besuki cukup luas, namun demikian pada dasawarsa 1840-an, kopi dan
gula terbukti sebagai tanaman yang paling menguntungkan dan menjadi sumber utama
bagi pendapatan negara induk(Soegijanto Padmo, 1967: 92). Tanaman ekspor lainnya
yang dicoba dibudidayakan di Karesidenan Besuki adalah tembakau, tetapi ternyata
percobaan ini tidak berhasil (Soegijanto Padmo, 1967:92). Bondowoso dan Jember saja
111 tanaman tembakau berkembang dengan baik (Soerjadi, 1974: 63), sedangkan tanaman
lainnya seperti kayu manis dan murbei tidak begitu penting.
Upaya meningkatkan hasil produksi tanaman dagang untuk pasaran Eropa,
penanaman sering melebihi luas tanah yang sudah ditentukan, dan melebihi tenaga
yang digunakan untuk penanaman padi. Tanaman yang sangat memberatkan adalah
indigo (Gonggrijp, 1967:92). Tanaman indigo dicoba ditanam di daerah Besuki dan
Jember (Soerjadi, 1975:63). Tanaman indigo sangat memberatkan karena untuk
penanaman indigo tenaga laki-laki dari beberapa desa diwajibkan bekerja di ladang-
ladang indigo yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka selama tujuh bulan terus
menerus. Selama bekerja, mereka harus makan atas biaya sendiri. Setibanya kembali di
kampung halaman biasanya mereka mendapati tanaman padi mereka sudah hampir
musnah (Gonggrijp, 1967: 92).
Bupati menerima berapa dari persentase hasil tanaman yang disetorkan kepada
pemerintah, tetapi melihat jumlah produksi Tanaman Paksa di Karesidenan Besuki
tahun 1830-1850, dapat dibayangkan betapa besar persentase yang diperoleh para bupati
di Karesidenan Besuki.
Tabel 2 Jumlah Produksi Tanam Paksa di Karesidenan Besuki Tahun 1830-1850
No. Jenis Tanaman 1830 1840 1849
1.
2.
3.
Gula (dalam pikul)
Kopi (dalam pikul)
Nila (pon Amsterdam)
76.450
20.537
1.057
115.000
71.447
56.567
199.482
133.953
13.000
Sumber: I Nyoman Suaryana, “Perubahan Sosial di Karesidenan Besuki Tahun 1830-
1850” Thesis S2 (Yogyakarta: Program Studi Sejarah, fakultas Pasca Sarjana UGM,
1984), hlm. 69
Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah tanaman paksa yang disetorkan
kepada pemerintah, dari tahun ke tahun terjadi pertambahan yang signifikan. Hanya nila
(indigo) yang mengalami penurunan,karena pada 1850-an sudah banyak digunakan
pewarna kain sintetis, sehingga pemerintah mengurangi areal penanaman indigo.
Jumlah setoran tanaman yang bertambah besar sangat menguntungkan para pejabat
112 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 pribumi, namun demikian persentase dari tanaman paksa ini hanya dinikmati para
bupati sampai 1870.
Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, dan perkebunan kolonial dijual kepada
modal swasta, maka cultuur-procenten (bonus) bagi para bupati juga hilang secara
resmi (Ong Hok Ham,1997:218). Penghapusan penanaman wajib dimulai dari
penanaman tingkat kedua, mulai dari lada, teh, cochenille dan tembakau. Penanaman
tebu paksa dihapus secara bertahap, dimulai pada tahun 1870 dan dihapus secara
keseluruhan pada tahun 1890. Tanaman kopi yang paling lama dipertahankan, namun
pada tahun 1915, seluruh penanaman wajib termasuk penanaman kopi diputuskan untuk
dihapus (Burger, 1962:208).
Para bupati selain mendapat persentase dari Tanam Paksa, juga bisa
menyewakan tanah lungguh (Simbolon, 1995:116), terutama kepada pengusaha swasta
baik Cina maupun Eropa. Pada awal abad ke-19 di Karesidenan Besuki sudah ada
perkebunan-perkebunan milik swasta, misalnya perkebunan tebu di Kabupaten Besuki
dan perkebunan kopi di Afdeeling Bondowoso.
2. Penghasilan dari Warisan Adat: Tanah Apanage yang Menjanjikan
Sistem apanage semula muncul dari konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah di
seluruh kerajaan. Para raja menjalankan pemerintahannya dibantu seperangkat pejabat
dan keluarganya, sebagai imbalannya mereka diberi tanah apange. Tanah tersebut
merupakan tanah jabatan, sehingga mereka, para pejabat (patuh) berhak mendapat
layanan kerja dari petani dan mendapat sebagian hasil dari tanah-tanah apanage
(Suhartono, 1991:2).
Apanage berasal dari kata appanare (Latin) yang berarti roti. Roti ini yang akan
memberikan kehidupan bagi pemiliknya, yaitu pemilik apanage. Tanah apanage pada
zaman kerajaan diberikan kepada sentana dan narapraja sebagai siti gadhuhan yang
sifatnya sementara, yaitu selama birokrat itu menduduki jabatan dalam pemerintahan
kerajaan. Para sentana dan narapraja ini sering disebut lurah patuh dan biasanya hanya
disebut dengan patuh saja. Para patuh ini berhak memungut sebagian hasil dari tanah
lungguh. Kata lungguh berarti kedudukan dalam birokrasi kerajaan (Suhartono,
2001:73)
113 Sistem apanage di Madura disebut sistem percaton. Penerima percaton inilah
yang mengatur desa percaton atau sawah percaton, atau kedua-duanya (Wolf, 1966: 50-
52), sehingga sistem tanah percaton dan tanah apange atau tanah lungguh pada
esensinya hampir sama. Sistem apanage di Karesidenan Besuki lebih cocok disebut
dengan tanah lungguh atau tanah bengkok (Condronegoro dan Wiradi, 2008:57), kecuali
di Kabupaten Banyuwangi. Sistem apanage di Karesidenan Besuki awal mulanya dapat
ditelusuri di Kabupaten Blambangan. Sebelum wilayah ini dibagi VOC menjadi
Blambangan bagian timur, Blambangan bagian utara dan Blambangan bagian barat,
wilayah ini merupakan kesatuan dalam satu kerajaan yaitu Kerajaan Blambangan, maka
dari itu lembaga-lembaga yang ada di Blambangan tidak jauh berbeda dengan kerajaan
lain. Lembaga-lembaga yang ada di Keraton Blambangan masih tetap berlaku meskipun
status Blambangan bagian timur telah berubah dari kerajaan menjadi sebuah kabupaten.
Kerajaan Blambangan sudah runtuh sejak 1767 dan VOC yang berhasil
menguasai Blambangan menganggap dirinya pengganti raja-raja Blambangan. Mas Alit
1774 diangkat sebagai Bupati Banyuwangi sehingga status Blambangan merosot dari
sebuah kerajaan berubah menjadi kabupaten, tetapi lembaga dan tradisi yang ada tetap
berlaku. Hal ini dibuktikan bahwa bupati tetap memiliki tanah apanage (tanah
lungguh). Tanah dalem Raden Tumenggung Wiroguna I terletak di sekitar Dusun Pakis,
sebuah dusun yang terletak di pesisiran dekat kota Banyuwangi sekarang. Gaji model
ini dapat dibandingkan dengan model gaji yang berlaku di daerah Vorstenlanden.
Bentuk gaji di daerah Vorstenlanden menurut ketentuan adalah sejumlah desa dijadikan
tanah apanage bagi penguasa pribumi. Pemegang apanage bisa mengambil sebagian
penghasilan dari tanah tersebut setelah menyerahkan sejumlah tertentu yang ditetapkan
VOC (Breman, 1980:15).
Kabupaten Banyuwangi menerapkan cara seperti tersebut diatas. Bupati dan
para pejabat lainnya tinggal di kota kabupaten, maka untuk mengurus tanah lungguh
mereka, diangkat para bekel agung. Bekel agung kemudian mengangkat sejumlah
pejabat, termasuk petinggi. Bekel agung memungut sebagian hasil panen dari tanah
yang diberikan kepadanya, dan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada bupati.
Hasil panen ini biasanya dibawa ke nagari (ibukota) sambil menghadap pada waktu-
waktu yang sudah ditentukan. Kewajiban menghadap ke dalem (istana) biasanya
114 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 dilakukan pada bulan pertama tahun baru Jawa dan pada upacara ulang tahun penobatan
bupati (Breman 1980:42).
Bupati Pertama Besuki, Raden Adipati Ario Prawiro Adiningrat (1818-1844)
digaji dengan uang kontan, namun untuk efisiensi, karena keuangan karesidenan sedang
defisit, bupati juga menerima gaji berupa tanah (De Stoppelar, tt: 12-14). Gaji dan upah
yang berwujud tanah jabatan ini dikerjakan oleh penduduk dengan kerja wajib dan
petani penggarap tanah mempunyai kewajiban untuk menyetorkan pajak (Davelaar,
1891:1-3).
Sawah-sawah untuk pejabat ada dua jenis yaitu sawah untuk penguasa pribumi
seperti bupati, patih, wedana dan asisten wedana, yang bertempat tinggal di kota-kota
dan para lurah atau kepala desa dan pejabat desa yang bertempat tinggal di desa-desa
(Tjondronegoro dan Wiradi, 2008:57). Pemilikan tanah jabatan (tanah lungguh)
menurut peraturan bersifat temporer. Para bupati bisa menikmati hasil bumi dan kerja
petani hanya selama bupati tersebut menduduki jabatan. Para bupati selanjutnya akan
menyewakan tanah mereka kepada kepala desa. Salah satu dari sikep atau kuli kenceng
dari desa akan ditunjuk sebagai bekel yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak
(Ge Prince, 2000: 264-265)
Tabel 3: Distribusi Tanah Bengkok (sawah) di Karesidenan Besuki Tahun 1868
Regentschap
Desa Yang di-
survey
Jumlah desa
yang punya
tanah
jabatan
(bengkok)
Jumlah desa
yang punya
tanah jabatan
(bengkok)
milik komunal
Jumlah desa
yang punya
tanah jabatan
khusus
disisihkan untuk
kepala desa
Probolinggo
Besuki
Banyuwangi
26
36
6
14
9
2
9
-
-
-
9
2
Sumber: Eindresume I, hlm. 87-88 Lampiran A, Dalam Sediono M.P Tjondronegoro
dan Gunawan Wiradi (ed), op.cit., hlm. 58
115
Tabel di atas menunjukkan bahwa, tanah bengkok yang diberikan kepada pejabat
dan pegawai di Karesidenan Besuki tidak luas. Hal ini dapat diketahui bahwa dari 36
desa yang disurvey di Kabupaten Besuki hanya ada 9 desa yang mempunyai tanah
bengkok. Karesidenan Besuki tidak mempunyai tanah komunal, sedangkan jumlah desa
yang memiliki tanah jabatan yang disisihkan untuk kepala desa hanya sebanyak 9 desa.
Dengan demikian rata-rata dari jumlah desa yang mempunyai tanah jabatan 1/4 dari
tanah yang disurvey. Berapa jumlah keseluruhan dari tanah jabatan, harus diketahui
lebih dulu berapa jumlah desa di seluruh Kabupaten Besuki. Data dari tahun 1879
menunjukkan bahwa Kabupaten Besuki memiliki 147 desa (Regerings Almanak van
Nederlandshe Indie, 1879:201), sehingga jumlah desa yang memiliki tanah jabatan
1/4x147: 36 3/4 desa. Demikian juga dengan tanah bengkok, 1/4x147: 36 3/4 desa,
namun berpijak dari data diatas, sulit untuk menentukan seberapa luas tanah yang
digunakan untuk para pejabat dan tanah bengkok perdesa.
Di Banyuwangi dari 6 desa yang disurvey, tanah jabatan hanya 2 desa, dan tanah
bengkok khusus kepala desa hanya 2 desa. Jadi sama dengan Kabupaten Besuki, jumlah
desa yang mempunyai tanah jabatan dan tanah bengkok adalah 1/3 dari jumlah desa
yang disurvey, maka apabila Banyuwangi memiliki dua distrik, yaitu distrik
Banyuwangi, 57 desa dan distrik Rogojampi, 50 desa (Regerings Almanak van
Nederlandshe Indie tahun 1879: 201-202), dengan demikian dapat diperkirakan desa
yang memiliki tanah jabatan dan tanah bengkok adalah 1/3x107: 35 2/5 atau mungkin
bisa dibulatkan sekitar 35 desa, sebab berdasarkan data yang ditemukan oleh FA
Sutjipto menunjukkan bahwa Banyuwangi memiliki tanah jabatan dan tanah bengkok
dalam jumlah yang cukup besar.
Tanah jabatan tersebut dapat diperinci sebagai berikut, dari jumlah seluruh tanah
sawah di Kabupaten Banyuwangi sebanyak 8416 bahu, 222 bahu adalah tanah-tanah
untuk para pejabat pemerintahan dan para ulama pribumi, 191 bahu untuk orang-orang
yang bekerja kepada para kepala pribumi, 579 bahu untuk para petinggi yang jumlahnya
76 orang. 128 bahu untuk para modin yang jumlahnya 76 orang, 239 bahu untuk para
kuwu yang berjumlah 142 orang, sedangkan 6967 bahu untuk para pengayah yang
berjumlah 3644 orang. Tanah yang masih ada untuk para pejabat dari tingkat yang lebih
rendah lagi (Tjiptoatmodjo, 1983: 235).
116 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018
Para kepala desa dan pegawai desa mendapat penghasilan dari hasil hutan, hasil
bumi, hewan, tenaga warga desa dan iuran, sumbangan berupa uang atau barang, uang
penebas kerja dari warga desa, uang paseksen, lumbung desa, dan persen dari
pemungutan pajak negara. Tanah bengkok itu selain berupa sawah, juga berupa tegal,
kebun nipah, kebun teh, tambak atau balong. Kepala desa berhak mendapatkan bantuan
para warga desa ketika megerjakan tanah bengkok, akan tetapi ia wajib memberi makan
para warga desa yang bekerja tersebut. Tanah-tanah bengkok tersebut selain berasal dari
tanah bukaan baru dari tanah hutan belukar, bengkok seringkali juga diambilkan dari
tanah desa yang sudah ada. Karesidenan Besuki memiliki tanah bengkok sekuas 2.404
bahu (Kartohadikusumo,1953:194). Menurut Van Vollenhoven, tanah-tanah apanage
(lungguh, bengkok) dapat ditukar bahkan dapat dijual beberapa tahun maupun
digadaikan, sehingga para bupati bisa memperoleh uang kontan dari hasil penjualan
tanah atau hasil menggadaikan tanah-tanah bengkok mereka (Van Vollenhoven,
1910:235).
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa, menyebabkan pemerintah kolonial berusaha untuk mengurangi penyimpangan-
penyimpangan oleh para bupati dengan cara mengurangi kekuasaan para bupati. Usaha
pemerintah ini bersamaan dengan munculnya ide-ide liberal yang bertujuan membatasi
kekuasaan sewenang-wenang para bupati, maka pada tahun 1867 pemerintah selain
mencabut persentase dari hasil tanam paksa pemerintah juga mencabut tanah-tanah
apanage pejabat dan pegawai (Palmier, 1969:17-18). Hal ini bertepatan dengan
kedatangan para pengusaha swasta terutama pengusaha dari Belanda yang
membutuhkan jaminan tersedianya tanah luas dan kemudahan memperolehnya. Itu
sebabnya, kendala-kendala politis dan administrasi sebisa mungkin diminimalisasi
untuk mendukung proses perolehan tanah yang relatif mudah. Perangkat-perangkat
birokrasi harus dirampingkan dan piranti hukum pertanahan diorientasikan kepada
liberalisasi dalam persewaan tanah untuk melicinkan jalan bagi pengusaha untuk
menyewa tanah dari penduduk negara jajahan (Simarmata, 2002:17-18).
Cara tersebut ternyata tidak cukup, dalam hal ini jaminan perolehan tanah harus
juga lebih diperkuat. Unsur negara kemudian difungsikan untuk membantu kelancaran
perolehan tanah. Struktur penguasaan tanah feodalistik yang menunjukkan hubungan
raja dengan tanah, dipakai oleh pemerintah kolonial untuk menjustifikasi hubungan
117 domein-nya dengan tanah. Bersama hilangnya sistem kerajaan, pemerintahan kolonial
dinyatakan sebagai pengganti yang sah dari sistem kerajaan, sekaligus mewarisi
hubungan magisnya dengan tanah (Simarmata, 2002:18).
Realisasinya, tanah-tanah jabatan para kepala pribumi tersebut secara resmi
dihapuskan pada tahun 1870 (Kartodirdjo, et al, 1987:34-35). Akibatnya tanah lungguh
para pejabat tersebut yang tinggal hanya tanah-tanah jabatan untuk para pejabat desa,
yang masih berlaku sampai sekarang. Usaha pemerintah membebaskan tanah dari
penguasa pribumi bertujuan untuk menciptakan pasar bebas bagi komoditas dan untuk
memudahkan berkembangnya usaha-usaha swasta di Hindia Belanda yang didanai
dengan modal besar dari Eropa, khususnya di bidang perkebunan untuk tanaman ekspor
(Wignjosubroto, 2005:37).
Pelaksanaan reorganisasi agraria menyebabkan bupati tidak lagi sebagai pemilik
tanah di daerahnya. Kebijakan ini tidak hanya berpengaruh terhadap penghasilan para
bupati tetapi juga terjadi perubahan hubungan politik antara bupati dengan rakyatnya.
Sebelumnya, model hubungan antara bupati dengan bawahan dan rakyatnya adalah
hubungan feodal, dimana hubungan tersebut didasarkan atas peminjaman tanah. Dalam
sistem feodal, gaji para bawahan bupati adalah anugerah dari bupati, sehingga para
bawahan tersebut sangat tergantung kepada bupati, dan bupati juga bisa menarik
kembali tanah-tanah gaji tersebut sewaktu-waktu, tetapi setelah para bawahan bupati
digaji oleh pemerintah kolonial, kedudukan para bawahan bupati semakin kuat, mereka
tidak lagi merasa terancam kedudukannya karena para bupati tidak lagi bisa
mengangkat dan memecat bawahannya sekehendak hatinya.
Sementara itu, hubungan antara bupati dengan rakyatnya juga berubah. Rakyat
dalam sistem feodal, berperan sebagai peminjam tanah milik para bupati, sehingga
sebagai imbalan dari tanah yang dipinjamkan, para petani wajib menyetorkan dalam
jumlah tertentu dari hasil tanah tersebut dan dikenakan kerja wajib pancen di rumah
pejabat, termasuk kepada para bupati, dan tanah tersebut bisa ditarik sewaktu-waktu dan
diberikan kepada orang lain bila bupati menghendaki. Misalnya ketika bupati
membutuhkan pengerahan tenaga kerja yang banyak maka para bupati tidak segan-
segan membagi lagi tanah-tanah yang sudah dipinjamkan kepada seorang petani
kemudian diberikan kepada patani-petani baru, sehingga tersedia tenaga kerja yang
118 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 dibutuhkan. Reorganisasi agraria menyebabkan hak milik atas tanah petani dilindungi
oleh undang-undang, sehingga kedudukan tanah menjadi kuat.
3. Kemerosotan Status dan Penghasilan
Weber mengatakan, bahwa salah satu ciri birokrasi pemerintahan modern adalah, para
pegawai menerima kompensasi keuangan regular yang biasanya berupa gaji tertentu dan
jaminan hari tua yang diberikan sebagai uang pensiun. Gaji para pegawai tidak diukur
menurut pekerjaan yang diselesaikan, tetapi berdasarkan status, yaitu berdasarkan
semacam fungsi (pangkat) dan lebih dari itu, mungkin saja, menurut lamanya masa
kerja. Jaminan yang relatif besar bagi penghasilan pegawai, maupun imbalan
penghargaan sosial, membuat jabatan menjadi posisi yang diidamkan Weber, 2009:
244).
Weber juga mengatakan, bahwa dalam birokrasi modern, para pegawai
dipersiapkan menjalani karir dalam urut-urutan hirarkis kedinasan. Mereka merambat
dari posisi rendah, tidak begitu penting, dan dibayar sedikit, menuju posisi lebih tinggi.
Rata-rata pegawai ditetapkan secara mekanis berdasarkan promosi, baik untuk jabatan
maupun untuk menetapkan gaji. Kondisi ini ditetapkan berdasarkan senioritas atau
kadang-kadang sesuai dengan tingkatan yang dicapai dalam ujian keahlian, yang
memberi efek permanen pada karir pegawai. Disini berarti berlaku kualifikasi hak atas
jabatan dan keamanan ekonomi pegawai (Weber, 2009: 245). Berkaitan dengan hal ini
dalam usaha untuk menciptakan birokrasi pemerintahan modern, pemerintah kolonial
menggaji para pejabat pribumi dengan uang kontan.
Sistem penggajian dengan uang kontan sebenarnya sudah dilakukan di
Karesidenan Besuki sejak pengangkatan Bupati Pertama Besuki pada tahun 1818. Cara
penggajian ini di kemudian hari juga berlaku bagi bupati-bupati di kabupaten lain, yaitu
Panarukan, Bondowoso, dan Banyuwangi. Gaji Bupati Besuki sejumlah f.12.000
setahun atau f.1000 per bulan dan Bupati Probolinggo sebesar f. 8.400 setahun atau f.
700 sebulan (ANRI,No.bundel 2a/1, 1823). Rintisan penggajian dengan uang kontan
kepada para bupati tersebut nampaknya belum didasarkan pada kualifikasi keahlian,
pendidikan atau masa kerja tertentu, tetapi berdasarkan status, di mana jabatan politis
tertinggi yaitu bupati diisi tanpa referensi pada sertifikat keahlian, pendidikan maupun
119 masa kerja tertentu, namun demikian rintisan pembentukan birokrasi pemerintahan
modern sudah dimulai meskipun masih banyak kendala di dalam pelaksanaannya.
Bupati dalam birokrasi pemerintahan modern, berkedudukan sebagai pegawai
pemerintah, maka para bupati mendapatkan gaji yang telah ditentukan jumlahnya.
Peraturan pada tahun 1867 menetapkan bahwa tanah lungguh para bupati dihapus.
Kompensasi atas tanah jabatan yang dihapus, pemerintah menaikkan gaji bupati dan
pejabat lainnya. Pemerintah tahun 1874 menentukan bahwa jumlah gaji Bupati
Banyuwangi yaitu 10800 gulden per tahun (Staatsblad van Nederlandsch- Indie, tahun
1874: 104). Gaji tersebut bila dibandingkan dengan gaji para wedana bisa menjadi 5 kali
lipat. Gaji Bupati Bondowoso f.1200 perbulan atau f.14400, per tahun. Bupati Besuki
f.1200 atau f.14400, yang sebelumnya f.12000 pertahun atau f.1000 per bulan. Bupati
Panarukan belum diketahui, tetapi dimungkinkan sama besarnya dengan gaji para
Bupati Besuki. Sementara gaji para pejabat dan pegawai dalam birokrasi pemerintahan
pribumi dapat diketahui dari keputusan pemerintah untuk daerah masing-masing.
Ketika Kabupaten Banyuwangi dimasukkan ke dalam cakupan Karesidenan
Besuki pada tahun 1882, pemerintah menetapkan pula jumlah gaji yang bisa diterima
oleh bupati dan pejabat lainnya dari pemerintah Hindia Belanda di Kabupaten
Banyuwangi. Dalam daftar tersebut ditetapkan bahwa gaji Bupati Banyuwangi adalah
3x gaji Patih Banyuwangi dan hampir lima 5x gaji para wedana (kepala distrik) dan
hampir 10x gaji kepala onder distrik. Besaran gaji ini bisa dibandingkan dengan gaji
Patih Zelfstandig Jember. Meskipun kekuasaan Patih Jember sama dengan kekuasaan
Bupati Banyuwangi, kenyataannya gaji Patih Jember sama dengan gaji Patih Kabupaten
Banyuwangi, yaitu f 240/bulan atau f.3000/tahun (Staadsblad van Nederlandsch-Indie,
No18, Tahun 1883).
Pada tahun 1901 pemerintah menetapkan gaji Bupati Bondowoso sebesar 15.600
gulden pertahun (Staadsblad van Nederlandsch-Indie, No18, Tahun 1901),
sebelumnya gaji Bupati Bondowoso 14.400 gulden pertahun. Jadi kenaikan gaji Bupati
Bondowoso adalah 100 guden per bulan. Kenaikan gaji Bupati Bondowoso ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa penghapusan Kabupaten Besuki dan
dicakupkannya wilayahnya ke dalam wilayah kekuasaan Bupati Bondowoso, maka
wilayah kekuasaan Bupati Bondowoso semakin luas, sehingga tugas dan kewajibannya
pun semakin berat.
120 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018
Ketika memasuki abad ke-20, meskipun para bupati berstatus sebagai pegawai
pemerintah tetapi seiring dengan proses modernisasi pemerintahan yang berjalan justru
kekuasaan para bupati secara perlahan pulih kembali. Meningkatnya kekuasaan para
bupati membawa konsekuensi meningkat pula penghasilan para bupati. Penghasilan
tersebut berupa tunjangan-tunjangan jabatan yang dipegang oleh para bupati.
Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 23 Januari 1925
No 12, para pejabat pribumi masih mendapatkan tunjangan-tunjangan sesuai dengan
jabatannya, misalnya Bupati Bondowoso, Bupati Panarukan, dan Bupati Banyuwangi
mendapat tunjangan jabatan sebesar f. 150 setiap bulan, sedangkan Patih Selfstandige
Jember mendapat tunjangan jabatan sebesar f.100 setiap bulan (Staadsblad van
Nederlandsch-Indie, No.43, Tahun 1925 Bijlage C).
Tunjangan lain yang bisa dinikmati oleh para bupati adalah tunjangan jabatan
sebagai Kepala Bank Daerah (Kartodirdjo, 1978: CXXXV). Meskipun berapa jumlah
tunjangan resmi sebagai Kepala Bank Daerah ini belum jelas, tetapi jelas akan
menambah penerimaan bulanan dari para bupati. Selain tunjangan sebagai Kepala Bank,
para bupati semestinya juga mendapatkan persentase dari laba tahunan yang diperoleh
Bank Daerah dan Perkreditan lain milik pemerintah.
Penerapan desentralisasi pemerintahan kabupaten menyebabkan terjadinya
perubahan status kabupaten menjadi kabupaten otonom, sehingga pemerintahan
kabupaten berhak mengelola keuangannya sendiri. Dalam hal ini sumber pendapatan
Kabupaten adalah (1). Hasil pemungutan pajak sendiri antara lain pajak mercon, anjing,
iklan dan tontonan; (2). retribusi misalnya uang rooi dan potong hewan;(3). keuntungan
kekayaan dari kabupaten misalnya sewa tanah;(4). keuntungan dari perusahaan daerah
(pasar, rumah potong hewan)(5). tambahan persentase dari hasil pemungutan pajak
pendapatan, pajak tanah, pajak upah, verponding, pajak pegawai, pajak potong hewan
(6). pajak kendaraan bermotor.(7). bantuan tahunan dari pemerintah (Surianingrat,
1983: 157-158).
Perpindahan kewenangan pengelolaan berbagai macam pajak dari pemerintah
Hindia Belanda kepada pemerintah kabupaten tentu saja para bupati dan pejabat
pribumi yang lain, selain mendapatkan persentase dari berbagai pajak tersebut, juga
mendapatkan persentase dari retribusi, persewaan tanah, perusahaan daerah dan juga
bantuan pemerintah. Pada tahun 1927, penyerahan secara resmi wewenang pengelolaan
121 hutan negara dari pejabat Eropa kepada Bupati-bupati Panarukan, Bondowoso dan Patih
Jember(Staatsblad van Nederlandsch Indie, No. 11518, 3 Oktober 1927), juga
wewenang penentuan denda dengan uang terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
pegawai maupun prajurit ( Staatsblad van Nederlandsch Indie, No. 11518, 3 Oktober
1927). Pemberian wewenang pengelolaan hutan di daerahnya masing-masing tidak
menutup kemungkinan bahwa para bupati memperoleh persentase dari pengelolaan ini.
4. Berbagai Tindakan Menghadapi Penyurutan Penghasilan Para Bupati
Penghapusan berbagai sumber ekonomi Berdasarkan logika, akan menimbulkan
kemerosotan penghasilan para bupati, oleh karena itu untuk mengimbangi berkurangnya
sumber penghasilan para bupati, pemerintah kolonial kemudian juga menerbitkan
peraturan-peraturan lain agar berkurangnya sumber penghasilan para bupati tetap bisa
mencukupi kebutuhannya. Beberapa sumber ekonomi bupati yang hilang, secara logika
akan menyebabkan terjadi kemerosotan perekonomian para bupati. Para bupati, dengan
gaji yang sudah pasti jumlahnya akan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya, karena gaji yang diterima tidak bisa direntang untuk kebutuhan satu bulan,
sehingga tidak jarang para bupati terjerat hutang pada rentenir, terutama orang-orang
Cina atau Arab (Sutherland, 1983: 62). Hal ini berkaitan dengan kebutuhan bupati yang
bermacam-macam, misalnya untuk membiayai keluarga besarnya, membiayai
perjamuan makan dengan pejabat Belanda, membeli barang-barang pada pelelangan
barang-barang milik pejabat Belanda yang akan pindah tugas, dan biaya-biaya lain yang
menguras keuangan bupati (Sutherland, 1983: 62).
Dampak berkurangnya sumber penghasilan para bupati tersebut, pada tahun
1877 (Bijblad 4043) pemerintah Hindia Belanda memerintahkan kepada pegawai-
pegawai Eropa supaya menahan kesukaan para bupati “berpesta,” karena pesta dalam
pelantikan-pelantikan, kenaikan pangkat, pemberian gelar kebangsawanan, perkawinan
dan khitanan, atau hajat-hajat lain menyebabkan para bupati banyak hutangnya, ketika
peredaran uang bertambah, mereka tidak dapat mempertahankan cara hidupnya yang
lama tanpa terancam keruntuhan keuangannya. Dampaknya, sebagian besar dari biaya
untuk pesta-pesta itu sering kali dibebankan kepada rakyatnya. Mereka harus
menyumbang bupati dengan makanan atau barang-barang yang diperlukan untuk pesta-
pesta tersebut (Burger, 1962: 211-212).
122 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018
Peraturan tersebut diberlakukan dengan melihat kenyataan bahwa para pejabat
pribumi di Jawa demam pesta, sedangkan pemuasan hasrat itu sering memaksa mereka
untuk berhutang hingga memberatkan serta menimbulkan kemiskinan. Pesta-pesta
tersebut tidak hanya dalam perayaan lebaran, tetapi timbul juga pada peristiwa-peristiwa
kehidupan keluarga, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Pada
kesempatan ini pejabat pribumi membebani diri dengan kewajiban-kewajiban yang
penepatannya biasanya tidak diperhitungkan dengan jumlah penghasilannya (Gobee dan
Adriaanse, 1991: 8).
Larangan mengadakan pesta-pesta tersebut berkaitan dengan kondisi ekonomi
para buapti akibat adanya penghapusan hak-hak feodal yang merupakan sumber
penghasilan para bupati, bahwa karena cultuurstelsel lama kelamaan ditinggalkan,
terhapus pula hak-hak istimewa para bupati, yang tadinya dipertahankan bersama
cultuurstelsel dan tetap mereka nikmati. Tahun 1867 hak apanage dihapuskan, dan
pada 1882 semua hak untuk memperoleh hadiah dan layanan pribadi (pancen)
ditiadakan (Lombard, 1996:107, Burger, 1957: 62-63), hilangnya sistim presentase
(Kartodirdjo, 1972: 8), dan pelarangan kepada para bupati dan kepala-kepala distrik di
Jawa dan Madura terlibat dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan (Staatsblad van
Nederlandsch-Indie. No 244, Tahun 1886). Gaji para bupati sebenarnya cukup besar,
misalnya tahun 1874, ditentukan gaji Bupati Banyuwangi 10.800 gulden pertahun
(Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Tahun 1874:104).
Jumlah gaji mereka bila dibandingkan dengan gaji para wedana bisa menjadi 5
kali lipat, pada tahun 1901 gaji Bupati Bondowoso sebesar 15.600 gulden pertahun
((Staatsblad van Nederlandsch-Indie,N0 20 1901), namun karena banyak kewajiban
sosial yang harus dipenuhi, maka pemerintah kolonial memperhitungkan bahwa gaji
sebesar itu mungkin tidak cukup untuk menutup kebutuhan-kebutuhannya. Namun
demikian, realitasnya para bupati di Karesidenan Besuki tetap mampu mempertahankan
gaya hidupnya seperti pada masa lalu. Dalam lingkup kabupaten, para bupati tetap bisa
hidup megah, walaupun tidak semegah bupati zaman VOC, tetapi masih mampu
mendatangkan kesan bahwa mereka tetap raja-raja kecil dan orang kaya di daerahnya.
Kesempatan pertama dimana bupati dapat mempertontonkan kekayaan, selera dan
kedermawanannya, adalah pada pesta pelantikan bupati. Pada pelantikan ini bupati
yang dilantik akan menyediakan makanan, minuman dan hiburan pada sebuah resepsi,
123 yang pertama-tama diperuntukkan orang-orang Eropa setempat, orang-orang Cina dan
priyayi, kemudian baru untuk rakyat umum (Staatsblad van Nederlandsch- Indie no 120
tahun 1901).
Kesempatan lain yang membuktikan bahwa para bupati di Karesidenan Besuki
masih mampu menunjukkan kemampuan ekonominya adalah ketika perayaan hari-hari
besar atau perayaan hari besar keagamaan yaitu hari raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul
Adha. Para bupati dalam kesempatan ini akan mengadakan perjamuan untuk para
pembesar atau para birokrat BB, kolega sesama PP, kerabat dekat maupun jauh dan
rakyat yang berkunjung ke kabupaten.
Keluarga bupati biasanya hidup dalam keluarga besar, yang terdiri atas keluarga
inti yaitu bupati, istri bupati, dan anak-anak bupati, beserta dengan saudara-saudara
dekat maupun jauh yang tinggal di rumah bupati. Hal ini dapat dilihat dari besarnya
rumah tempat tinggal bupati yang sangat besar, dengan kamar yang banyak sekali (hasil
penelitian di bekas kediaman bupati di Kabupaten Besuki dan Bondowoso), dan
kebiasaan para bupati yang suka berpoligami dan mempunyai anak yang banyak sekali
(Lihat lampiran 8 tentang silsilah para Bupati di Karesidenan Besuki). Misalnya di
Kabupaten Banyuwangi yaitu Mas Ngabehi Sumberwaru (Wirya Danu Adinigrat, anak
Suradiwiryo) yang dikemudian hari menjadi Bupati V Banyuwangi (1832-1867).
Tumenggunggung Mas Wirya Danu Adiningrat mempunyai 19 orang anak laki-laki dan
perempuan, yang salah satunya yaitu Astrakusumo yang nantinya menjadi Bupati VII
Banyuwangi (1888-1889) (Utomo, 1993:108-109). Para bupati dapat mempertahankan
gaya hidup dan menyiasati perubahan sumber ekonominya karena peraturan-peraturan
pemerintah tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Cultuurstelsel lama kelamaan ditinggalkan dan dihapus, disertai dengan
penghapusan pula hak-hak istimewa para bupati dan para pejabat birokrasi
pemerintahan pribumi, yang tadinya dipertahankan bersama cultuurstelsel itu tetap
mereka nikmati. Hal ini berkaitan dengan penghapusan Tanam Paksa yang tidak
dilakukan secara serentak, baik jenis tanaman maupun tahun pelaksanaan
penghapusannya. Penghapusan Tanaman Paksa mulai diberlakukan dari tanaman yang
kurang penting yaitu lada, teh, cochenile dan tembakau. Penghapusan Tanaman Paksa
tebu juga tidak dilakukan serentak, tetapi dimulai sejak tahun 1870 dan selesai tahun
1890. Tanaman kopi baru dihapus pada tahun 1915 (Burger, 1962 :208). Di
124 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Karesidenan Besuki tanaman-tanaman lada, teh, cochenile dan tembakau bukan
merupakan tanaman penting. Tanaman tembakau bahkan merupakan tanaman yang
gagal dibudidayakan pada zaman Tanam Paksa, tanaman tebu dan kopi merupakan
tanaman yang berhasil di Karesidenan Besuki. Persentase dari tanaman tebu memang
mengalami penurunan, tetapi sampai tahun 1890, para bupati masih berkesempatan
mendapatkan persentase dari tanaman tebu dan tanaman kopi, yang berlangsung sampai
tahun 1915.
Uraian tersebut di atas, jika dicermati bisa dikatakan bahwa meskipun
pemerintah dalam rangka modernisasi birokrasi pemerintahan pribumi telah menghapus
berbagai sumber penghasilan dari para bupati, tetapi tidak semua kebijakan pemerintah
tersebut menyebabkan ekonomi para bupati terpuruk. Realitanya meskipun berbagai
pungutan dilarang oleh pemerintah, namun tidak semua ketentuan pemerintah ini benar-
benar dipatuhi, sehingga tidak ditemukan data yang menunjukkan para bupati bi
Karesidenan Besuki mengalami keterpurukan ekonominya. Misalnya keluarga Bupati
Bondowoso juga mempertahankan tanah-tanah keluarga yang terletak di berbagai desa
(wawancara dengan EM Guntur, Sekretaris Paguyubab Keluarga Ronggo Bondowoso,
Mei 2011 di Bondowoso), bahkan yang terletak di kota Bondowoso (wawancara dengan
Sutrisnowati, Mei 2011, di Bondowoso).
Penghasilan tidak resmi bisa diperoleh para bupati dari sektor lain, misalnya
pembangunan pertanian membuka peluang bagi para bupati dan pejabat pribumi yang
lain. Karesidenan Besuki merupakan daerah di tempat mana perkebunan swasta
berkembang dengan baik. Perusahaan perkebunan ini membutuhkan terjaminnya
kepentingan ekonominya, maka para pengusaha sangat membutuhkan bantuan para
bupati untuk memperoleh tanah dan tenaga kerja, sehingga para pengusaha tidak segan-
segan menyuap bupati. Pada tahun 1890-an Jember merupakan pusat dari sejumlah
skandal tembakau (Sutherland, 1983:62-63). Hal ini tidak menutup kemungkinan juga
terjadi di tempat lain, misalnya di Kabupaten Bondowoso yang terdapat perkebunan
tembakau dan kopi yang luas, di Kabupaten Panarukan yang merupakan tempat
perkebunan tebu yang sangat luas atau di Kabupaten Banyuwangi sebagai pusat
perkebunan kopi.
Para bupati selain itu masih mendapatkan penghasilan yang berupa barang baik
yang resmi maupun tidak resmi. Misalnya, ada ketentuan resmi bahwa setiap satu ekor
125 sapi atau kerbau yang disembelih bupati akan mendapatkan kepala dan kulitnya,
sedangkan dari penyerahan tidak resmi bisa berasal dari para pejabat di bawahnya yang
menginginkan dia dipromosikan menjadi pejabat yang lebih tinggi. Mengingat bahwa
dalam pengangkatan pejabat maupun kenaikan pangkat dari para pejabat, para Residen
meminta rekomendasi dari para bupati. Atau apabila bupati mempunyai hajat, kadang-
kadang berbagai kebutuhan akan bisa dicukupi dari apa yang diserahkan oleh orang-
orang yang mempunyai pamrih terhadap bupati atau kadang-kadang juga berasal dari
pegawai atau bawahannya.
Pada awal abad ke-20, para bupati juga berusaha untuk menanggapi efisiensi
yang diserukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat diketahui misalnya
bangunan tempat tinggal bupati Jember yang dibangun pada abad ke-20, tidak luas, dan
dibangun model Eropa, serta dengan kamar-kamar yang tidak terlalu banyak. Hal ini
mengisyaratkan bahwa yang tinggal di rumah Bupati Jember tidak banyak.
Kemungkinan hanya terdiri dari keluarga inti dan para pembantunya (Hasil penelitian di
bekas kediaman Bupati Jember).
Selain itu dengan terbukanya bagi para bupati terhadap gagasan Barat, maka
berubah pula bentuk-bentuk lahiriah pergaulan. Misalnya seorang bupati, pada zaman
dahulu di dalam iring-iringannya selalu membawa kuda tunggangan, tikar, dan tempat
sirihnya, tetapi pada tahun-tahun awal abad ke-20, mobil, kursi empuk dan tempat
rokok lebih diutamakan. Dahulu seorang kontrolir baru dianggap berpendidikan kalau
pandai menari Jawa, tetapi pada awal abad ke-20 seorang wedana belajar sungguh-
sungguh main tenis, main bola sodok, dan berdansa-dansa Barat (Burger, 1962: 66).
Gambaran di Bondowoso, Raden Adipati Ario Kertosubroto (1891-1911) adalah
bupati yang kaya. Pada masa pemerintahannya ia membangun rubah kabupaten yang
sangat megah yang masih ada sampai sekarang (2012)(Penelitian di rumah Bupati
Bondowoso, Mei 2011). Ia mempunyai kesenangan-kesenangan yang berciri feodal. Ia
senang sekali berburu, menembak celeng (babi hutan) atau binatang buas yang lain, dan
setiap malam minggu di Kabupaten Bondowoso diadakan pesta yang dihadiri para
pejabat Belanda, dan para pegawai bawahannya. Dalam pesta ini diadakan wayangan
atau beksan (ledhekan/tayuban) dengan disertai minum-minuman keras (Soerjadi,
1975:70). Pemenuhan kegemaran ini tentu saja memerlukan biaya yang besar.
126 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018
Di zaman lain, Raden Tumenggung Ario Senthot Sastro Prawiro masih mampu
menyelenggarakan peringatan hari pengangkatannya menjadi Bupati Bondowoso
dengan meriah pada tahun 1924 ( foto-foto peringatan pengangkatan R.T Sastroprawiro,
Bupati Bondowoso, 1924). Bupati Bondowoso lainnya yaitu Herman Hidayat, yang
memerintah tahun 1925-1937 adalah Bupati Bondowoso yang kebarat-baratan, selain
cukup kaya. Ia sering mengadakan pesta dansa Barat dan minum minuman keras di
kabupaten. Ia juga mempunyai kesenangan (hobi) mengoleksi mobil, yang tentunya
memerlukan beaya yang besar. Pada tahun 1937 ia meninggal dunia di dalam mobilnya.
Bupati Panarukan R.A.A Sudibiokusumo (1925-1943), mampu menyelenggarakan pesta
perkawinan yang meriah pada tahun 1925 (Ibid: 74).
Selain itu berbeda dengan bupati pada birokrasi pemerintahan tradisional yang
harus membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya, dalam birokrasi modern pada
prinsipnya, dalam lingkungan PP dipisahkan antara biro (urusan kantor) dari domisili
pribadi pejabat dan pada umumnya, birokrasi memisahkan aktivitas resmi sebagai
sesuatu yang berbeda dari wilayah kehidupan pribadi. Konsekuensinya uang dan
perlengkapan publik terpisah dari kekayaan pribadi pejabat. Atau dengan kata lain
urusan dinas terpisah dari urusan rumah tangga (Weber, 2009: 237). Dengan demikian
gaji yang tinggi dan berbagai tunjangan yang diterima para bupati bisa digunakan untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya saja.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa penghasilan para bupati di
Karesidenan Besuki mengalami pasang dan surut secara perlahan, tetapi bukan
peristiwa yang terjadi secara alami, tetapi ada kaitannya dengan peristiwa besar dan
peraturan pemerintah. Contohnya, ketika VOC menguasai wilayah bekas kerajaan
Blambangan, seperti kebijakan yang dilakukan di tempat lain, VOC memberlakukan
kebijakan penyerahan wajib (kontingenten dan leveransir), VOC menyerahkan
pelaksanaan kebijakan ini kepada birokrat pribumi (bupati dan bawahannya). Bupati
dalam hal ini yang bertugas mengumpulkan penyerahan yang berupa hasil bumi dan
perkebunan dari penduduk. Dari penyerahan ini bupati mendapatkan persentase, dan
kadang-kadang mendapatkan bonus dari sisa yang wajib diserahkan. Dalam teori bupati
wajib mengembalikan kelebihan dari yang wajib diserahkan oleh petani, tetapi bupati
127 jarang mengembalikannya. Demikian halnya yang terjadi pada zaman Tanam Paksa,
sehingga para bupati kaya raya dan hidup mewah.
Bupati menjadi kaya raya karena kebijakan demikian juga surutnya penghasilan
bupati juga karena kebijakan. Penghasilan bupati mengalami masa surut sejak tahun
1870-an, ketika Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan modernisasi pada
birokrasi pemerintahan peribumi. Kebijakan modernisasi merubah status para bupati
dari penguasa feudal menjadi pegawai semata-mata. Perubahan ini berimplikasi pada
penghasilan bupati, karena sebagai pegawai pemerintahan mereka mendapatkan gaji dan
tunjangan berupa uang kontan dengan jumlah pasti, dengan kehilang hak-hak feudal,
termasuk kehilangan tanah apanage, dan kerja wajib, serta penyerahan-penyerahan
lainnya dari penduduk.
Akibat dari kebijakan modernisasi tersebut adalah penghasilan para bupati
mengalami kemerosotan, maka untuk mengantisipasi agar bupati tidak jatuh miskin
pemerintah Hindia Belanda mengimbangi dengan kebijakan yang bisa menahan agar
para bupati tidak terpuruk secara ekonomis. Kebijakan tersebut misalnya melarang para
bupati mengadakan pesta-pesta besar pada peristiwa-peristiwa tertentu, agar tidak
menguras keuangan kabupaten, memisahkan keuangan kabupaten dengan keuangan
pribadi bupati. Hasilnya, para bupati awalnya memang mengalami kemerosotan
ekonomi tetapi berbagai kebijakan di waktu-waktu selanjutnya menyebabkan secara
perlahan juga menyebabkan perekonomian bupati menjadi stabil.
DAFTAR PUSTAKA
ANRI, Besoeki 4.2 “Algemene verslag van de Residentie Besoeki jaar 1840.”
ANRI, No. bundel 2a/1,”Algemeen verslag den Residentie Bezoeki over den jare
1823”
ANRI Besuki 2a5. “Algemeen verslaag van de Residentie Bezoe-ki over het jaar
1832”. passim.
Regerings Almanak van Nederlandsh Indie, tahun 1879.
Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1818 dan 1819.
Staatsblad van Nederlansch- Indie, No 244. Tahun 1886.
Staatsblad van Nederlandsch- Indie, tahun 1874.
Staatsblad van Nederlandsch Indie, No 11518 Tertanggal 3 Oktober 1927
128 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Staatsblad van Nederlandsch Indie No 11520 Tertanggal 3 Oktober 1927
Staadsblad van Nederlandsche-Indie No 120, tahun 1901,
Staadsblad van Nederlandsche-Indie, No 120, tahun 1882.
Staatsblad van Nederlandsch Indie, No 43 Tahun 1925 Bijlage C.
Staatsblad van Nederlandsch- Indie, tahun 1874.
Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (terj. Prayudi). Jakarta:
Pradnya Paramita, 1962.
Burger, D.H. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa (terj. Soedjito
Sosrodihardjo).Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara, 1957.
Breman, J. 1980. ”The Village on Java and The Early Colonial State” CASP I.
Rotterdam: Erasmus University, 1980.
Elson, R.E. Village Java Under The Cultivation System 1830-1870. Sydney: Allen And
Unwin, 1994.
Gobee E dan C. Adriaanse. 1991 Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Jakarta: Seri Khusus
INIS Jilid IV.
De Stoppelaar, J.W. t.t. Blambangansch Adatrect. Wegennigen: H Veenman & Zonen.
Tjiptoatmodjo, F.A. S. 1983. “Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad XVII
Sampai Medio Abad XIX” Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ge Prince. 2000. “Kebijakan Ekonomi di Indonesia, 1900-1942” dalam J. Thomas
Linblad (ed), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru.
Jakarta: LP3ES.
Gonggrijp, G.F.E 1967. Sejarah Ekonomis Indonesia (terj. Dharmono Hardjowidjono).
Yogyakarta: Tp.
Palmier, L. 1969. Social Status and Power in Java. New York: Humanities Press Inc.
Jan Davelaar, W.A.J. 1891. “Midden Personen Tusschen de Districts Beambten en Desa
Hoofden of Java” dalam TBG, Vol XXXIV. Batavia: Albucht & Rush.
Kuntowijoyo. 1988. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris: Madura 1830-1940.
Yogyakarta: Pusat Antar Universitas-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.
Lombard, D. 1996, Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, S. et al.(ed). 1978. Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur
dan Tanah Kerajaan). Jakarta: ANRI.
129 Nawiyanto. 2001.“Agricultural Development In A Frontier Region Of Java: Besuki,
1870- The Early 1990s” M.A Thesis .The Australian National University.
Lubis, N.H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat
Komunikasi Kebudayaan Sunda.
Ong Hok Ham, “Negara Dan Politik”, Dalam Taufik Abdullah, et al, (ed), Konggres
Nasional Sejarah Tahun 1996 Sub Tema Komparatif Dan Dinamika
Regional.Jakarta: Depdikbud RI, 1997.
Simbolon, P. 1995.Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wijayati, P.A. 2001. Tanah dan Sistem Perpajakan Kolonial Pada Masa Inggris
Yogyakarta: Tarawang.
Soerjadi, R.Ng. 1974. “Sejarah Besuki”. Bondowoso: Tp.
Ricklefs. M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Simarmata, R. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh
Negara. Yogyakarta: Insist.
Kartodirdjo, S. 1972. “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad -19 dan
Abad -20,” dalam Lembaran Sejarah, No 8, Juni.
Kartodirdjo, et al., S. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Kartodirdjo, S. et al.,1976. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Depdikbud.
Wignjosubroto, S. 2005. Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir
Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media Publishing.
Condronegoro, S.M.P. dan Gunawan Wiradi (ed.). 2008. Dua Abad Penguasaan
Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa .Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Padmo, S. 2004. Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia.Yogyakarta: Aditya
Media.
Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau:
Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVII Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
130 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Raffles, T.S. 2008. The History of Java (terj. Eko Prasetyaningrum et al) Yogyakarta:
NARASI.
Suhartono, 1991.Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-
1920. Yogya: PT Tiara Wacana..
Suhartono. 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media.
Surianingrat, B. 1983. Pamong Praja dan Kepala Wilayah. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Kartohadikusumo, S. 1953. Desa. Yogyakarta: Tp.
Sutherland, H. 1983.Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Ensiklopedi. 1986. Ensiklopedi Umum.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Van Vollenhoven, C. 1918. Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie Eerste deel Leiden:
E. J. Brill.
Wolf, E.R. 1966. Peasants. Englewood Cliffs, New Jersey: Practice Hall.
Van Vollenhoven, C. 1910. Adatrecht bundel, bezorgd door de commissie voor het
adatrecht. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Weber, M. 2009. Sosiologi (Terj. Nurkholis dan Tim Penerjemah Promothea)
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
131
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
DALAM KEMURAHAN MERU BETIRI: KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PENYANGGA HUTAN
MERU BETIRI TAHUN 1972-1997
IG. Krisnadi dan Dewi Salindri
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Pos-el: [email protected]
ABSTRACT
This article examines the socio-economic conditions of Meru Betiri forest buffer community. The discussion covers the potential of Meru Betiri area, population, livelihoods, facilities and infrastructure, economic activities of buffer-zone community, farming and livestock, tile industry, crafts, collection of forests products like firewood, bamboo, bee honey and wildlife hunting. Meru Betiri's natural generosity has not prospered the people in the buffer villages. The lacks of development of road infrastructure and facilities, low level of education form the causes of poverty in the buffer-zone villages. Poverty and low levels of education shape the perceptions in exploitative forest use, impacting forest destruction, biodiversity extinctions and causing natural disasters. Meru Betiri has changed its role, from protecting and giving "blessings" in the form of natural mercy to causing disaster to the people in buffer villages. Keywords: Meru Betiri, natural resources, buffer village, encroachments
ABSTRAK
Artikel ini mengkaji kondisi sosial-ekonomi masyarakat penyangga hutan Meru Betiri. Pembahasan mencakup potensi kawasan Meru Betiri, penduduk, mata pencaharian, sarana dan prasarana kegiatan ekonomi masyarakat penyangga, aktivitas pertanian dan peternakan, industri genteng, kerajinan gedhek, dan berbagai aktivitas merambah hutan seperti mencari kayu bakar, bambu, madu lebah dan berburu satwa. Kemurahan alam Meru Betiri belum menyejahterakan penduduk di desa-desa penyangga. Minimnya sentuhan pembangunan prasarana dan sarana jalan, tingkat pendidikan rendah merupakan penyebab kemiskinan penduduk di desa-desa penyangga.Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah, membentuk persepsi dalam pemanfaatan hutan yang eksploitatif, berdampak terhadap kerusakan hutan,
132 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018
kepunahan anekaragam hayati, dan menimbulkan berbagai bencana alam. Meru Betiri berubah peran, dari melindungi dan memberi “berkah” berupa kemurahan alam, berubah memberi musibah bagi penduduk di desa-desa penyangga. Kata kunci: Meru Betiri, sumberdaya alam, desa penyangga, perambahan hutan
PENDAHULUAN
Kajian tentang kehidupan masyarakat di pinggiran hutan Meru Betiri pernah dilakukan
beberapa peneliti. Rukiyat (1976) dalam Survey Suaka Margasatwa Meru Betiri Jawa
Timur, Indonesia mengkaji tindak-perambahan dan penjarahan hutan oleh masyarakat
penyangga hutan berdampak bencana alam dan gangguan satwa.Syafi’i dan Kasim
(1981)dalam Tingkat Pendapatan dan Keadaan Sosial MasyarakatSekitar Hutan di
Daerah Mandilis Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember,mengkaji aspek
sosial-ekonomi masyarakat pinggiran hutan Meru Betiridi Dusun Mandilis. Kedua
peneliti bersepakat, kondisi masyarakatmiskin di Dusun Mandilis, sebagai penyebab
tindak penjarahan hutan. Sementara itu, Maksum (1999) dalam Studi Persepsi
Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Meru Betiri, memberi gambaran
lengkap tindak-penjarahan hutan Meru Betiri dilakukanmasyarakat pinggiran hutan,
aparat keamanan dan pengusaha. Ia beranggapan, faktor pendorong terjadi perusakan
hutan adalah aspek ekonomi, politik, hukum, budaya dan geografis. Keterlibatan aparat
penegak hukum dalam perusakan hutan,semakin mempersulit upaya konservasi
(Indrawan, 2012:89-92).
Kajian-kajian tersebut lebih bersifat antropologis maupun sosiologis, dan lemah
dalam wawasan historis. Kajian tentang Dalam Lindungan Meru Betiri: Kehidupan
Sosial-ekonomi Masyarakat Penyangga Hutan di Kawasan Meru Betiri Tahun 1972-
1997 secara diakronis dan berwawasan historis akan melengkapi dan memperkaya
khasanah penulisan sejarah lingkungan khususnya sejarah sosial-ekonomi masyarakat
penyangga hutan di kawasan Meru Betiri.
Upaya pemanfaatan hutan di Jawa sebagai sumber devisa negara dimulai sejak
masa Kerajaan Mataram Hindu (Abad 7 Masehi). Di dalam berita Fa-shien disebutkan,
Kerajaan Holing memanfaatkan hasil hutan seperti penyu, emas, perak, cula badak dan
gading gajah sebagai barang cindera matatamu-tamu kerajaan, sehingga kerajaan ini
telah mengelola hutan sekalipun bersifat eksploitatif. (Marwati, 1984:93-94). Semasa
Kerajaan Majapahit (1292-14780), pengelolaan hutandiserahkan Juruwana, dibantu
133 Pengalasanyang bertanggung jawab atas pekerjaan pengadaan kayu untuk kebutuhan
kerajaan. Pekerjaan penebangan pohon jati dan peremajaan hutan jati diserahkan
Kalang Wadung (Ayu, 2012:4).
Kedatangan VOC di Nusantara (1602), pengelolaan hutan lebih terorganisir
guna memperoleh manfaat ekonomi optimal bagi kepentingannya. Pentingnya nilai
kayu jati di pasaran Eropa, menggerakkan keinginan VOC menguasai hutan jati di Jawa
dengan dikeluarkan Plakat 8 September 1803 yang mengatur semua hutan kayu di Jawa
berada di bawah pengawasan VOC sebagai domain (hak milik VOC) dan regalia (hak
istimewa raja dan para penguasa). Di dalam plakat disebutkan larangan menebang atau
menguasai hutan, bagi yang tidak mematuhi aturan, dikenakan hukuman badan.
Terbitnya plakat tersebut menunjukkan VOC berkuasa atas hutan di Jawa, dan menjadi
“malapetaka” bagi rakyat Jawakarena kehilangan hak ulayat atas hasil hutan (Ayu,
2012:5).
Setelah VOC bubar(1799), Gubernur Jenderal Daendeles melakukan
peremajaan hutan jati di Jawa yang rusak akibat eksploitasi (VOC). Berdasarkan
Staatsblad tahun 1829, perbaikan kawasan hutan rusak dilakukan menggunakan
cabutan anakan pohon jati dari hutan alam berjarak tanam lima meter setiap tanaman
jati. Penduduk pinggiran hutan dilibatkan dalam kegiatan memelihara dan menjaga
tanaman jati dari kerusakan, perusakan, pencurian dan perambahan kawasan hutan.
Sebagai imbalan, mereka diperbolehkaan memanfaatkan kayu limbah dalam hutan
(Ayu, 2012:5).Buurman tahun 1883 memperkenalkan sistem tumpangsari untuk
peremajaan hutan jati di Jawa dengan melibatkan penduduk di pinggiran hutan untuk
menanami kembali bekas hutan yang sudah ditebang habis. Di dalam sistem ini, petani
(pesanggem) diberi kesempatan menanam tanaman pangan diantara tanaman pokok
(Jati) seperti padi gogo, jagung, lombok, dantanaman yang dilarang adalah ketela
pohong, tembakau, berbagai jenis tanaman merambat yang tumbuh lebih cepat daripada
tanaman pokok. Setelah dua tahun, petani diwajibkan menyerahkan andilnya kepada
pihak kehutanan dengan keadaan tanaman hutan sehat dan baik, selanjutnya petani
memperoleh andil di tempat lain dengan sistem sama (Ayu, 2012:6).
Pemerintah Hindia Belanda selain mengelola hutan jati di Jawa untuk
memperoleh keuntungan ekonomi, juga mengelola hutan rimba sebagai Hutan Lindung
yang memberi manfaat penting bagi segenap kehidupan. Salah satu upaya perlindungan
134 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 hutan yang dilakukannya adalah kawasan Hutan LindungMeru Betiri berdasarkan
Besluit van den Directur van Landbouw Neverheiden Handel pada 29 Juli 1931
Nomor: 7347/B, dan Besluit Directur van Economiche Zaken pada 28 April 1938
Nomor : 5751. Kawasan ini pada tahun 1967 ditunjuk sebagai calon Suaka Alam, dan
selanjutnya ditetapkan sebagai Suaka Margasatwapada 6 Juni 1972 berdasarkan SK.
Menteri Pertanian Nomor : 276/Kpts/Um/ 6/1972 dengan tujuan utama untuk
perlindungan satwa jenisPanthera Tigris Sondaicalyang dikenal sebagai Harimau Jawa
(Anonim, 1995:5). Kawasan Suaka Margasatwa yang semula seluas 50.000 ha, pada
tahun 1982 diperluas menjadi 58.000 ha berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor:
529/Kpts/Um/6/1982, pada 21 Juni 1982. Perluasan ini mencakup wilayah Perkebunan
Bandealit dan Sukamade Baru seluas 2.155 ha, dan kawasan hutan lindung di sebelah
utara dan kawasan perairan laut sepanjang Pantai Selatan seluas 845 ha. Pada
perkembangan berikutnya yaitu dengan diterbitkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian
Nomor 736/Mentan/X/1982 pada 14 Oktober 1982 Suaka Margasatwa Meru Betiri
dinyatakan sebagai calon Taman Nasional Meru Betiri. Pernyataan ini dikeluarkan
bersamaan diselenggarakan Kongres Taman Nasional se-dunia ke-3 di Denpasar, Bali.
Akhirnya kawasan ini memperoleh status sebagai Taman Nasional Meru Betiri
berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Kehutanan Nomor: 277/Kpts-VI/1997 pada 23
Mei 1997 seluas 58.000 ha dengan rincian 37.585 ha berada di wilayah Kabupaten
Jember, dan seluas 20.415 ha berada di Kabupaten Banyuwangi (Anonim, 1995:5-6).
Memasuki fase pemerintahan Soeharto (1966-1998), kebijakan nasional
pengelolaan hutan dengan memperbolehkan sektor swasta untuk menebang dan
mengekspor kayu bulat (log) didasarkan pada UU N0.1/1967 dan UU No.6/1968
tentang investasi asing dan dalam negeri, dan UU Kehutanan No.5/1967 dan PP No.
21/1970 mengenai dasar hukum dibolehkan melakukan konsesi Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) selama 20-25 tahun, pemotongan kayu log dan industri kehutanan
(plywood). Kebijakan semacam ini sekalipun sektor kehutanan dapat meningkatkan
sumber devisa negara terbesar kedua setelah minyak, namun harus dibayar mahal
dengan terjadinya eksploitasi penebangan kayu log secara besar-besaran pada tahun
1970-an yang berakibat kerusakan hutan, dan hilangnya “hak-hak hutan adat”
sertatermarginalkan sektor sosial ekonomi masyarakat pinggiran hutan (Herman,
2011:35-41). Kondisi semacam ini dialami masyarakat penyangga hutan di kawasan
135 Meru Betiri. Kemurahanalam Meru Betiri, semestinyadapat mensejahterakan
masyarakat pinggiran hutan,namun kebijakan pengelolaan hutan rezim Orde Baru yang
lebih berpihak kepada investor,ditambah berbagai aturan konserversi hutan, tidak
memberikan kontribusi berarti bagi tingkat kelayakan hidup dan kesejahteraan hidup
bagi komunitas masyarakat pinggiran hutan. Bentuk pengelolaan seperti itu,
menyebabkan komunitas masyarakat pinggiran hutan tidak memiliki posisi tawar dan
kuasa terhadap hutan yang justru berada di sekitarnya. Bahkan Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) telah ditawarkan pemerintah dinilai belum optimal
memberi manfaat bagi masyarakat pinggiran hutan untuk memperbaiki
nasibnya(Hendro, 2003:44-45).
Mengingat terbatasnya ruang, dari sekian banyak permasalahan terjadi di
kawasanMeru Betiri sejak ditetapkan kawasan ini berstatus sebagai Hutan Lindung
(1931), Suaka Margasatwa (1972), maupun sebagai Taman Nasional Meru Betiri
(1997), baik yang menyangkut aspek ekonomi, budaya, hukum, keamanan, politik
maupun geografi, tidak mungkin dibahas satu-persatu. Pada kesempatan ini
pembahasan difokuskan aspek ekonomi khususnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat
penyangga hutan di kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri (1972-1997).
PEMBAHASAN
1. Potensi Kawasan Meru Betiri
Informasi tentang kawasan hutan Meru Betiri pertama kali terekamdalam arsipRuy Vaz
Pereira (1544).Arsip itu merekampengalaman hidup Juru Taman Paulusketika menjadi
prajurit Demak bernama Gelar. Ia ditugaskan Sultan Demak, Trenggono untuk pergi ke
Kerajaan Blambangan sebagai mata-mata. Namun secara tidak disengaja bertemu Idayu
(Ibu kandung) dan Wiranggaleng (Ayah Angkat) di dalam hutan belantara yang banyak
harimau di wilayah Kerajaan Blambangan (Pramoedya, 1995:746-751).Sekalipun arsip
itu tidak menyebut namaMeru Betiri, namun Kerajaan Blambangan yang berada di
Semenanjung Blambangan, dan kawasan hutan Meru Betiri termasuk Mrawan, Garahan
sampai Puger di sebelah barat, dan Kesilir di sebelah timur termasuk wilayah
kekuasaannya, bahkan wilayahnya seluruh Eks-Karesidenan Besuki sampai ke
Pasuruan. (Anonim,1976: 104-105). Kawasan tersebut dilaporkan oleh Boomgaard
136 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 (1876) sebagai kawasan hutan (Wilayah Besuki)yang menjadi “surga bagi harimau dan
babi hutan.” Bahkan keberadaan harimau di kawasan ini dianggap sebagai “teror” bagi
manusia dan bertanggungjawab atas merosotnya populasi satwa besar serta
bertanggungjawab atas ditinggalkan sejumlah desa di Sumberwaru dan Baluran
(Nawiyanto, 2012:76). Pemerintah Hindia Belanda melegalkan perburuan harimau sejak
akhir abad XIX dan berjalan terus hingga populasi harimau semakin sedikit.Tahun
1940-an “teror” harimau telah menghilang di sebagian besar Jawa(Nawiyanto,
2012:77), bahkan populasinyahanya bisa dijumpai di pegunungan terpencil seperti di
hutan Gunung Betiri(Anonim, 1976:9). R. Van der Veen dan Hoogerwef (ahli botani),
pada tahun 1971 melakukan penelitian di Meru Betiri, dan melaporkan di kompleks
Gunung Betiri terdapat 8 ekor Harimau Jawa, dan merekomendasikan kepada
pemerintah Indonesia untuk melindungi populasi Harimau Jawa yang terancam punah
(Anonim, 1976: 10). Pada 6 Juni 1972 kawasanHutan Lindung Meru Betiri ditetapkan
sebagai Suaka Margasatwa untuk melindungi Harimau Jawa (Panthera Tigris
Sondaical) dari ancaman kepunahan berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor:
276/Kpts/Um/6/1972 pada 6 Juni 1972. (Anonim, 1999:23-26).
Upaya perlindungan satwa jenis Harimau Jawa di kawasan Suaka Margasatwa
Meru Betiri belum menunjukkan hasil nyata. Kegiatan foto trap dilakukan John
Seidensticker (1984)menunjukkan keberadaan Harimau Jawa di kawasan ini
diperkirakan tinggal 5 ekor. Namun ketika dilakukan beberapa kegiatan inventarisasi
satwa (1990-1994) dilengkapi foto trap, tidak menemukan bukti keberadaannya,
sehingga pihak pengelola kawasan beranggapan, keberadaan satwa Harimau Jawa
punah. (Anonim, 1995:8-10).Akhirnya, tujuan Suaka Margasatwa Meru Betiri diperluas
untuk melindungi berbagai jenis flora dan fauna dari kepunahan akibat ulah manusia.
Kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri membentang dari Teluk Meru-puncak
Gunung Betiri (58.000 ha). Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini berada di
Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Adapun batas-batas kawasan meliputi: sebelah
utara berbatasan dengan PT. Perkebunan Nusantara XII, Kebun Malangsari dan hutan
Perum Perhutani, sebelah timur berbatasan Desa Kalisanen, kawasan PT. Perkebunan
Nusantara XII Kebun Sumberjambe, PT. Perkebunan Treblasala dan Desa Sarongan,
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, sebelah selatan berbatasan Samudera
Indonesia, sebelah barat berbatasan kawasan hutan Perum Perhutani PT. Perkebunan
137 Nusantara XII Kebun Kalisanen, Kebun Kota Blater, Desa Sanenrejo, Desa Andongrejo
dan Desa Curahnongko (Anonim, 1995:4).
Menurut hasil penelitian Hoogerwerf tahun 1971, di kawasan Suaka
Margasatwa Meru Betiri terdapat 5 tipe vegetasi (pantai, hutan mangrove, hutan rawa
dataran rendah, rheophyte, hutan tropis), 364 jenis flora, 14 diantaranya dilindungi,
dan 181 jenis fauna, 41 diantaranya dilindungi (Sutikto, 1998:1). Anekaragam hayati
flora, fauna di kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri menjadi obyek penelitian bagi
para peneliti, dan berperan sebagai laboratorium alam untuk pengembangan ilmu
pengetahuan berwawasan konservasi. Selain itu kawasan ini memiliki panorama alam
indah dilengkapi aneka flora dan satwanya yang atraktif (Wisata Penyu Pantai
Sukamade, Pantai Bandealit, Pantai Rajegwesi, Wisata Banteng dan aneka satwa lain di
Nanggelan, Baluran, Teluk Penyu,Teluk Permisan), sehingga kawasan ini sangat cocok
untuk rekreasi dan berpotensi sebagai pengembangaan pariwisata.
2. Penduduk, Matapencaharian, Sarana dan Prasarana Kegiatan Ekonomi
Pemukiman penduduk penyangga hutan Meru Betiri menempati tanah seluas 196.294
ha (0,338%) dari seluruh luas kawasan (58.000 ha) meliputi 4 desadi wilayah
Kabupaten Banyuwangi (Sarongan, Kandangan, Kebonrejo, Kalibaru Kulon), dan8
desa di wilayah Kabupaten Jember (Andongrejo, Curahnongko, Wonoasri, Sanenrejo,
Curahtakir, Mulyorejo, Pace, Sidomulyo). Pemukiman tersebut tersebar di Kebun Pantai
Bandealit (1.048 ha), di Lodadi (2.020 ha), di Sumbersalak-Darungan Pantai Bandealit
(7.125 ha), di Desa Sarongan (156.532 ha), di Dusun Rajegwesi (29.569 ha) (Anonim,
1995: 13). Berikut data persebaran penduduk desa-desa penyangga hutan Meru Betiri
seperti dalam tabel berikut.
Tabel: 1 Persebaran Penduduk Desa-desa Penyangga Hutan di Kawasan Meru Betiri
Tahun 1996
No. Nama Desa Luas
(Km
Persegi)
Jumlah Penduduk Jumlah
(Jiwa)
Kepadatan
Laki-
laki
Perempuan
A Kab. Jember
138 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 1. Curahnongko 283.390 2.883 2.833 5.716 20.17
2. Curahtakir 77.863 5.517 5.908 11.425 14.67
3 Andongrejo 262.790 2.683 2.826 5.509 20,96
4. Sanenrejo 88.946 2.889 2.981 5.870 47.70
5 Wonoasri 6.180 4.841 4.765 9.606 0.64
6 Mulyorejo 192.245 5.558 5.589 11.147 17.25
7 Pace 93.972 2.780 2.905 5.685 16.53
8 Sidomulyo 107.516 3.542 3.630 7.172 14.99
B Kab. Banyuwangi
9 Sarongan 27.001 2.892 2.978 5.870 21.74
10 Kandangan 18.064 18.064 4.205 8.628 47.76
11 Kebonrejo 33.221 3.975 3.994 7.969 4.17
12 Kalibaru Kulon 37.962 13.119 13.284 26.403 1.44
Sumber: Anonim, 2011. Laporan Kegiatan Penyusunan Baseline Data Model Desa
Konservasi Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Dirjen Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri, hlm. 8.
Mata pencaharian penduduk penyangga hutan Suaka MargasatwaMeru Betiri
sebagian besar bertani sistem tadah hujan, karena selain daerahnya berdataran tinggi
juga belum tersedia fasilitas irigasi (Sarengat, 23 Oktober 2013). Sebagian besar yang
tinggal di Dusun Bandealit (Desa Curahtakir) dan di Dusun Sukamade (Desa
Sarongan)bekerja sebagai buruh di PT Perkebunan Bandealit dan PT Perkebunan
Sukamade Baru. Mereka yang tinggal di pinggiran Pantai Bandealit dan Rajegwesi
bekerja sebagai nelayan, dan merekayang tinggal di Dusun Krajan, Desa Sarongan
sebagian besar bertani, dan sebagian lain bekerja membuat gula kelapa (Sunaryo, 23
Oktober 2013).
Kondisi tempat tinggal penduduk di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri
secara umum tidak layak huni menempati rumah berfentilasi buruk, berdinding bambu,
berlantai tanah dan lembab. Tiang rumah sebagian terbuat dari bambu dan kayu, atap
rumah berupa genteng (Ruslan 20 0ktober 2013). Sebagian besar rumah memiliki kamar
tidur tidak berpintu, hanya ditutup kain kelambu (Jumriah 20 ktober 2013). Berikut
139 disajikan data jumlah penduduk dan kondisi rumah warga desa-desa penyangga hutan
Meru Betiri seperti dalam tabel berikut.
Tabel 2 Jumlah Penduduk dan Kondisi Rumah Warga di Desa-desa Penyangga Hutan
Meru Betiri di Wilayah Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Tahun 1996
No Keterangan Curah
nong-
ko
Sanen-
rejo
Ando
ng-
rejo
Wono-
asri
Curahta
kir
Jumlah
1 Penduduk 5.716 5.870 5.509 9.606 11.425 38.126
2 Kepala Keluarga 1.700 1.485 1.292 1.894 2.579 8.950
3 Rumah Bata-ubin 552 135 229 802 314 2.032
4 Rumah Semi Bata-ubin 372 59 633 950 544 2558
5 Rumah Gedhek 79 1.234 225 - 1.814 3.352
R A T I O
6 Penduduk/Rmh/Orang 5,69 3,82 5,86 4,37 3,82 4,46
7 Kepala Keluarga/Rumah
(KK)
1,69 1,04 1,19 1,08 0,97 1,13
8 Jumlah Rumah Gedhek (%) 7,88 86,41 20,70 0,00 67,89 42,21
Sumber:Sutikto, T, dkk. 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru Betiri
Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan Lembaga
Penelitian Universitas Jember, hlm. 36.
Tabel tersebut menunjukkan, kondisi rumah di tiap-tiap desa penyangga hutan Meru
Betiri di wilayah Kecamatan Tempurejo menjadi salah satu indikator
kekurangmampuan penghuninya, sekalipun masih ada faktor-faktor lain yang
menentukan. Diantara ke-5 desa tersebut, warga Desa Sanenrejo paling banyak
menghuni rumah-rumah gedhek (86,41%), disusul warga Desa Curahtakir sebanyak
(67,89%). Kedua desa ini (1996) termasuk kategori desa miskin di Kabupaten Jember
(Sunaryo, 20 Oktober 2013).
Kondisi prasarana dan sarana baik fisik maupun non-fisik merupakan modal
dasar masayarakat di desa-desa kawasan penyangga hutan Meru Betiri untuk
140 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 melaksanakan aktivitas perekonomian. Namun kondisi prasarana dan sarana tersebut
(1997) belum memadai dalam menunjang kegiatan perekonomian warga, sehingga ikut
menciptakan kemiskinan masyarakatnya. Desa Sanenrejo memiliki prasarana
perdagangan terbesar berupa toko, kios atau lainnya sebanyak 74 buah (81,08%). Desa
Andongrejo dan Wonoasri tidak memiliki pasar, Penduduk kedua desa ini pada
umumnya memanfaatkan pasar di lokasi desa terdekat, dan kedua desa ini memiliki
prasarana perdagangan yang relatif kecil, sehingga pelayanan kebutuhan penduduk baik
sebagai konsumen maupun produsen menjadi terhambat dan akses aktivitas
perekonomiannya melemah, karena akan terjadi biaya transaksi tinggi (Jumari, 11
Nopember 2013). Sarana jalan yang digunakan sebagai penunjang aktivitas
perdagangan di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri di wilayah Kecamatan
tempurejo sampai tahun 1997 pada umumnya hanya memiliki jalan berjenis makadam
dan tanah, dan ada satu desa yang mempunyai jalan beraspal (4 km) yaitu Desa
Wonoasri.
Kondisi jalan setiap desa penyangga hutan Meru Betiri di wilayah Kecamatan
Tempurejo, sebagian besar berupa jalan makadam rata-rata berkisar 72%-88%, jalan
tanah berkisar sepanjang 23 km (88,46%), jalan tanah 3 km (11,54%), dan jalan
beraspal sepanjang 4 km. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan aktivitas
perekonomian di kawasan Meru Betiri berupa jalan, alat transportasi, pertokoan, kios,
pasar, juga sarana dan prasarana keuangan formal yang tersedia adalah berupa Bank
Perkreditan Rakyat. Bank ini terdapat di Desa Curahnongko, Desa Sanenrejo dan Desa
Curahtakir, sedangkan dua desa lain, Wonoasri dan Desa Andongrejo belum
memilikinya (Ponirin, 21 Oktober 2013). Keberadaan prasarana keuangan yang tidak
memadai mengakibatkan kebutuhan keuangan penduduk terpenuhi atas jasa keuangan
informal (Ijon, rentenir). Sementara itu keberadaan Koperasi Unit Desa di desa-desa
penyangga hutan Meru Betiri sampai tahun 1997 hanya terdapat di Desa Curahnongko
(Sunaryo 20 Oktober 2013). Keberadaan Ijon atau rentenir di desa-desa penyangga
hutan kawasan penyangga hutan Meru Betiri dirasa sangat memberatkan warga desa,
karena tingkat bunga tinggi sampai 20% dan bunga berbunga. Menurut Kepala Dusun
Mandilis, Desa Sanenrejo, Sarengat (20 Oktober 2013), warga setempat terpaksa
memanfaatkan jasa keuangan informal tersebut karena belum tersedia lembaga fasilitas
keuangan formal seperti Koperasi Unit Desa.
141
3. Mereka yang Bertani dan Beternak
Sebagian besar penduduk di desa-desa kawasan hutan Meru Betiri bekerja sebagai
petani dengan kepemilikan lahan sangat sempit bahkan sebagian besar diantara mereka
tidak mempunyai lahan garapan atau mereka hanya bekerja sebagai buruh tani. Berikut
disajikan data tataguna dan pemanfaatan lahan di desa-desa penyangga hutan Meru
Betiri tahun 1997 seperti dalam tabel berikut.
Tabel 3 Tataguna dan Pola Pemanfaatan Lahan di Desa-desa Penyangga Hutan Meru
Betiri Tahun 1997
Kabupaten/
Kecamatan /
Desa
Jumlah Luas Pemilikan lahan (Ha) Luas
pemilikan
lahan(Ha/KK) KK Sawah Hutan
Perke-
bunan Tegal
Bangun
an/
halaman
Lainnya
Kab. Banyuwangi
Kec. Pesanggaran
Desa Sarongan 1.491 278,6 12.25 1.097,1 185,75 103.75 15 1,6
Desa Kandangan 2.716 471,4 11.114,
9 5.974,2 171 165 19 6,9
Kec. Kalibaru
Desa Kebonrejo 3.336 220 4.154,9 859.769,
5 10 1.899,77 0 2,5
Desa Kalibaru
Kulon 1.826 255 0 143 188 15,48 0,8 2.428,2
Kab. Jember
Kec. Tempurejo
Desa Andongrejo 1.361 60,174 2.5 2,5 170,02 33,51 1.0137 20,1
Desa Curahnongko 1.716 60,274 2.5 2.114 153,42 9.142 6 16,5
Desa Wonoasri 2.948 0 0 207,9 248,37 127,199 37,9 0,2
Desa Sanenrejo 1.657 355,7 6 0 180,12
1 87,050 29,9 5,5
142 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018
Desa Curahtakir 4.375 234 3896,5 2.81 183 139 529,6 2,3
Kec. Sempolan
Desa Mulyorejo 3.321 15 0 2.634 1.874 73,00 255 1,5
Desa Pace 5.863 103 0 1.439 468 190 2.927 0,9
Desa Sidomulyo 2.817 150 0 1.511 639 112 2.733 1,8
J u m l a h 33.427 2.203,
2
42.416,
4
877.702,
1 4.470,7 12.087,8 7.556,9 2.488.1
Rata-rata 2.785,6 183,6 3.534,7 73.141,9 372,6 1.007,3 630,6 207,3
Sumber :Anonim, 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri 1995-2020
(Buku I). Jember: Proyek Pengembangan Taman Nasional Meru Betiri Tahun
Anggaran 1994/1995, hlm.45.
Berdasarkan tabel tersebut diketahui,Desa Kebonrejo sebagai desa yang
memiliki jumlah KK terbanyak (3336 KK), dan memiliki areal hutan (4.154,9 ha),
kebun (859.769,5 ha) bangunan/halaman (1.899,7), areal sawah (220 ha), sehingga
setiap KK di desa ini hanya memiliki lahan seluas 2,5 ha. Sementara itu Desa Wonoasri
yang terdiri 2948 K, sebagian besar wilayahnya terdiri atas hutan (248,37 ha), tegal
(248,37 ha), dan bangunan/halaman (127,199 ha) dan tidak memiliki sawah teknis dan
hutan, sehingga kepemilikan lahan setiap KK di desa ini paling sedikit (0,2 ha) jika
dibandingkan ke-12 desa lainnya. Desa Andongrejo yang terdiri atas 1.361 KK
memiliki sawah 60,174 ha, hutan 2,5 ha, dan kebun 2,5 ha dan tegalan 170,02, 33,51
ha, setiap KK memiliki lahan paling seluas (20,1 ha) jika dibanding ke-12 desa lainnya.
Berapa rata-rata penghasilan petani di desa-desa penyangga hutan Suaka
Margasatwa Meru Betiri? Upaya menghitung pernah dilakukan Tim Peneliti Universitas
Jember (1997). Perhitungan menunjukkan hasil produksi tanaman pangan di desa-desa
penyangga hutan Meru Betiri (1997) secara keseluruhan setiap tahun sebesar Rp
6.203.855,200. Namun prediksi total pendapatan bersih di sektor pertanian tanaman
pangan hanya 25% dari pendapatan kotor. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat produktivitas
lahan kurang menguntungkan dan faktor biaya produksi tinggi. Jika dikonversi dengan
luasan setiap hektar per tahun dapat menghasilkan pendapatan bersih setiap petani
dalam setiap tahun sebesar Rp. 1.888.344,25.(Sutikto,1998:46-47).Rata-rata
143 kepemilikan tanah setiap petani seluas 2.073 ha (Lihat Tabel 3), maka rata-rata
penghasilan bersih setiap petani dalam satu tahun Rp 3.914.54 atau Rp.32.621 daalam
setiap bulannya. Penghasilan ini berada jauh di bawah UMR Jawa Timur tahun 1997
sebesar Rp. 132.500 (UMR Propinsi Jawa Timur Tahun 1997, Bappenas).Walaupun
demikian, petani masih mempunyai penghasilan tambahandari usaha ternak, buruh tani
atau menjual tenaga dari berbagai pekerjaan yang ditawarkan. Tingkat upah buruh tani
pada saat itu (1997) sebesar Rp.4000 per hari, namun tidak sepanjang tahun buruh tani
dapat bekerja, karena tenaga kerjanya dibutuhkan pada saat musim tanam atau musim
panen (Sutikto,1998:47).
Sektor peternakan banyak dimanfaatkan oleh warga penyangga hutan Meru
Betiri, walaupun belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pekerjaan utama. Mereka
masih memanfaatkan sektor peternakan sebagai pekerjaan sampingan. Jenis ternak yang
terbanyak sapi, kambing, ayam. Sapi dan kambing menjadi jenis hewan ternak paling
diminati, karena banyak tersedia lahan rumput. Populasi ternak terbanyak terdapat di
Desa Sanenrejo sebanyak 15899 ekor, dan Desa Andongrejo sebanyak 10309 ekor.
Pada umumnya masyarakat kurang mampu secara ekonomi memelihara sapi dengan
cara menggaduh atau bagi hasil dengan pemilik sapi. Menurut Bunasir (20 Oktober
2013), di dalam sistem gaduh terdapat aturan yang disepakati secara turun-temurun,
pihak pemilik ternak menyediakan hewan ternak untuk dipelihara pihak penggaduh.
Pihak pemilik hewan ternak menerima hasil terlebih dahulu dari anak hewan ternaknya,
sedangkan pihak penggaduh menerima hasil ternak berikutnya. Jika hewan ternaknya
beranak lebih dari satu, maka hasilnya dibagi dua dengan pihak penggaduh (Saswoko,
21 Nopember 2013). Di kawasan penyangga hutan Suaka Margasatwa Meru Betiri
tersedia lahan rumput luas, berpotensi untuk dibudidayakan ternak sapi atau kambing.
Namun sistem pengelolaan ternak yang masih tradisional masih dianggap sebagai
pekerjaan sampingan.Hasil penelitian Tim Unej tahun 1997 menunjukkan perhitungan
kasar per tahun usaha ternak sapi sebagai berikut: Modal per ekor Rp. 400.000,- dengan
biaya pemeliharaan Rp.150,- karena rumput tidak beli, setelah dipelihara setahun
diperkirakan terjual Rp. 1.000.000,- sehingga laba kotor per ekor Rp. 450.000.
(Sutikto,1998:47). Jika budidaya ternak dilakukan dengan sistem gaduh, maka hasilnya
Rp.450.000 dibagi dua=Rp 225.000 untuk pemilik sapi, dan Rp. 225.000 untuk
penggaduh. Atau dengan sistem bagi hasil anak lembu yang harganya pada saat itu
144 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 (1997) ditaksir per ekor berkisar antara Rp.100.000-Rp.125.000,-(Paeman, 11
Nopember 2013).
4. Industri Genteng
Industri genteng di desa-desa kawasan penyangga hutan Suaka Margasatwa Meru Betiri
dapat dijumpai di Desa Sanenrejo tepatnya di Dusun Krajan dan Dusun Mandilis.
Industri genteng di kedua dusun tersebut dapat berkembang didukung oleh tersedianya
bahan baku berupa tanah liat dan kayu bakar yang memadai. Jenis genteng yang
diproduksi di kedua dusun di Desa Sanenrejo adalah genteng pres atau genteng
karangpilang.
Proporsi biaya terbesar jenis industri ini terletak biaya tenaga kerja sekitar 52 %
dari total biaya keseluruhan yang dibutuhkan. Sedangkan proporsi terbesar kedua
terletak di sektor faktor produksi kayu bakar yang menyerap lebih kurang 24 % dari
total biaya keseluruhaan. Sedangkan serapan biaya atas komponen yang dibutuhkan,
maka di sektor tenaga kerja akan memberikan tambahan pendapatan bagi penduduk
setempat dan sekaligus mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Selain faktor tenaga
kerja dan bahan baku, faktor lainnya adalah harus tersedia bahan kayu bakar.
Ketersediaan kayu bakar cukup banyak dan dengan harga yang relatif murah. Hal ini
akan menyebabkan rendahnya harga jual genteng. Harga kayu bakar yang murah
disebabkan lokasi industri genteng yaitu Desa Sanenrejo sebagai salah satu desa yang
berada di kawasan penyangga hutan Meru Betiri yang banyak menyediakan bahan kayu
bakar.
Industri genteng di Desa Sanenrejo melibatkan 360 pengrajin dengan jumlah
tungku sebanyak 60 buah. Setiap tungku rata-rata dikelola oleh tiga tenaga kerja.
Sepanjang tahun rata-rata setiap tungku pembakar dapat beroperasi sebanyak lebih
kurang enam puluh kali pembakaran dengan perincian pada saat musim kemarau (April-
Oktober) setiap tungku dapat beroperasi enam kali dalam sebulan. Pada musim
penghujan sebanyak tiga kali dalam sebulan. Dalam setahun di Desa Sanenrejo terjadi
360 kali pembakaran dengan rata-rata kapasitas sekali pembakaran adalah 4000 buah
genteng, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 1.440.000 unit genteng. Jenis
produksi genteng terbagi atas dua jenis yaitu genteng pres dan genteng karangpilang.
Total produksi setahun 37% diantaranya adalah jenis genteng karangpilang (9.000.000
145 buah per tahun), sedangkan sisanya adalah jenis genteng pres sebanyak 5.400.000 buah
per tahun.Harga per unit genteng pres rata-rata Rp.70, dan genteng karang pilang Rp140
per unit. Omset penjualan dalam setahun adalah sekitar Rp.1.360.000.000, jika nilai
omset ini dikurangi biaya produksi sebesar Rp.824.175, maka margin keuntungan yang
diterima sekitar 40 %nya (Rp 561.825.000). Jika dirata-rata setiap pengrajin genteng di
Desa Sanenrejo akan mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp. 1.560.625 per tahun,
sehingga jika dibandingkan dengan sektor pertanian, sektor industri genteng lebih besar
memberikan pendapatan warganya.
5. Pengrajin Gedhek
Industri kerajinan gedhek di desa-desa penyangga Suaka Margasatwa Meru Betiri
berjumlah sebanyak 18 orang tersebar di Desa Andongrejo 4 pengrajin, Desa Sanenrejo,
dan Desa Curahtakir sebanya 10 pengraajin. Industri pembuatan gedhek banyak
tergantung sektor tenaga kerja (65,7%) dan bahan baku bambu (34%). Industri gedhek
tergantung tingat skillpengrajin dan ketersediaan bahan baku. Pengrajin gedhek
memperoleh bahan baku tidak melalui pembelian, melainkan mencari ke hutan. Setelah
bahan didapat, pengrajin memproses menjadi anyaman bambu. Total jumlah produksi
dalam unit per tahun 3.744 lembar dengan harga jual antara Rp 2500 – Rp. 3000 per
lembar. Omset penjualan dalam setahun keuntungan diperoleh Rp 11.2322.000. Total
biaya sebesar Rp 6.522.000, sehingga keuntungan diperoleh dalam setahun Rp
4.680.000 (41,6%). Sebenarnya nilai penjualan diterima pengrajin sama dengan
pendapatan bersih, karena tidak ada biaya bahan baku dan tenaga kerja. Meskipun hasil
kelihatan besar dan menjanjikan, namun kebutuhan pasar tidak menjanjiikan, sehingga
penghasilan pengrajin tidak optimal (Paeman 11 Nopember 2013).
Di Desa Andongrejo diperkirakan setiap pengrajin dalam setahun hanya
menghasilkan sebesar Rp 624.000 atau jika dikonversikan per hari, maka pendapatan
rata-rata pengrajin per hari sebesar Rp 1.750. Pendapatan tersebut terlalu kecil untuk
dijadikan andalan memenuhi menghidupi keluarga. Berkenaan dengan itu, pada
umumnya tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini berlatar belakang pendidikan
rendah, usia lanjut, wanita dan pada umumnya tidak memiliki lahan sawah dan selain
membuat kerajinan bambu, merekaa bekerja sebagai buruh tani atau mencari tambahan
146 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 penghasilan di hutan. Alasan mereka membuat gedhek adalah karena relatif tidaak
membutuhkan tenaga yang besar, sehari ke hutan, sehari membuaat gedhek di rumah.
Dalam setahun untuk memenuhi kebutuhan pengrajin gedhek di kawasan pengangga
hutan Meru Betiri dibutuhkan bahan baku berupa bambu Wuluh sebanyak 112.320
batang. Sementara itu, untuk membuat selembar gedhek dibutuhkan 30 batang bambu
Wuluh. Jika satu batang bambu seharga Rp 10.000, maka kebutuhan bambu dalam
setahun seharga Rp. 11.232.000. Tingkat kebutuhan bahan baku bambu yang sedikit,
dipengaruhi oleh faktor rendahnya permintaan gedhek. Hal ini diperjelas jika
dibandingkan dengan kemampuan pencari bambu dalam sehari umumnya bisa mencapai
300 batang.
6.Mencari Kayu Bakar di Hutan
Pengambilan kayu bakar oleh penduduk di kawasan hutan Meru Betiri tidaksulit, karena
kayu bakar yang diambil bekas kayu-kayu tebangan di hutan jati yang berbatasan
langsung dengan desa-desa sekitarnya. Pengambilan kayu bakar di hutan diantaranya
untuk keperluan industri rakyat (Pembuatan genteng, tempe, tahu)maupun untuk
konsumsi rumah tangga. Kebutuhan terbesar kayu bakardigunakan untuk industri
genteng. Di Desa Sanenrejo terdapat usaha pembuatan genteng yang membutuhkan
18.000 meter kubik untuk setiap tahun atau setara dengan Rp.225.000.000 (Sutikto dkk.
1998:70). Transportasi untuk membawa kayu bakar biasa dilakukan dengan
menggunakan sepeda yang mempunyai daya angkut maksimal 0,4 meter kubik (Paidi 11
Nopember 2013). Jumlah kebutuhan kayu bakar setahun jika disetarakan sama dengan
45.000 sepeda. Jika diasumsikan bahwa setiap orang (sepeda) hanya sekali dalam sehari
mengangkut kayu bakar maka tenaga kerja pencari kayu bakar yang terlibat khususnya
untuk memasok kebutuhan industri genteng di Desa Sanenrejo rata-rata sejumlah 125
orang dengan pendapatan rata-rata per hari Rp. 5.000 (Sutikto dkk. 1998:68)..
Pengambilan kayu bakar yang melalui Desa Sanenrejo umumnya tidak sampai keluar
kawasan penyangga, umumnya pengambilan untuk keluar dari kawasan penyangga
hutan melewati Desa Andongrejo dan Curahnongko. Di desa tersebut tidak terdapat
pengepul kayu bakar, sehingga cara keluarnya kayu bakar dapat dilihat secara jelas
dengan beriring-iringan sepeda dengan tujuan daerah industri genteng di Ambulu dan
sekitarnya ataupun untuk keperluan konsumsi rumah tangga di daerah daerah yang
147 dilewatinya (Paidi 11 Nopember 2013). Penjualan kayu bakar yang keluar kawasan
penyangga hutan Meru Betiri sulit untuk diperkirakan besarnya, namun berdasarkan
pengamatan di lapangan tidak kurang dari enam puluh sepeda melalui jalur Andongrejo
yang diperkirakan setara dengan 24 meter kubik dalam sehari (Sutikto dkk.1998:69).
Menurut seorang pencari kayu bakar di hutan, Tomiri (11 Nopember 2013),
pencarian kayu bakar dapat dilakukan sepanjang tahun, tetapi pengambilannya lebih
disesuaikan dengan permintaan pasar. Saat ramai adalah pada musim kemarau terutama
industri genteng dapat berproduksi secara optimal, di musim hujan proses produksi
berkurang yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi permintaan kayu bakar.
Pekerja-pekerja yang terlibat dalam pencarian kayu bakar pada umumnya saat musim
kemarau, sedangkan pada saat musim penghujan, sebagian diantara mereka berhenti
mencari kayu bakar, dan bekerja sebagai buruh tani yang memperoleh upah lebih
banyak.
Selain warga di pinggiran hutan mencari kayu bakar di hutan untuk kebutuhan
industri rakyat, mereka pergi ke hutan mencari kayu bakar bukan sekedar untuk
memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan untuk dijual. Kebutuhan kayu bakar untuk
konsumsi rumah tangga (memasak)mencapai 108.273,6 meter kubik senilai dengan Rp
1.353.420.000 untuk setiap tahunnya. Dari sejumlah itu (108.273,6 meter kubik),
54,30% (58.886,64 meter kubik) senilai Rp 734.907.060 berasal dari kawasan hutan.
(Sutikto dkk. 1998:71)
7. Mengambil Bambu di Hutan.
Jumlah populasi bambu sulit dideteksi secara tepat dikarenakan pengambilan sebagian
besar digunakan untuk bahan yang diperdagangkan dan para pencari bambu rata-rata
masuk hutan 6-7 kali seminggu, berangkat pagi pulang sore dan frekuensi pengambilan
bambu dilakukan sepanjang tahun (Paeman 11 Nopember 2013). Apabila persediaan
tanaman bambu di daerah penghasil bambu menipis/habis, maka para pencari bambu
semakin masuk ke hutan untuk mencari bambu. Cara pengangkutan bambu diangkut
dengan sepeda yang disiapkan di pinggir kawasan hutan. Pekerjaan ini menjadi
prospektif bagi warga, karena hasil hutan tersebut sudah mempunyai penampung khusus
desa-desa sekitarnya. Berikut disajikan data hasil perambahan hutan bambu oleh
148 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 penduduk penyangga hutan Meru Betiri di wilayah Kecamatan Tempurejo Kabupaten
Jember seperti dalam tabel berikut.
Tabel 4 Hasil Bambu Perambah Hutan Di Desa-desa Penyangga Hutan Meru Betiri
Di Wilayah Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Tahun 1997
No Desa Jumlah
Pengepul
Hasil/Mg
(Btg.pgl)
Hasil/Thn
(Batang)
Harga/Btg
(Rp)
Hasil/Thn
(Rp)
1 Curahnongko 1 40.000 1.760.000 12.5 22.000.000
2 Sanenrejo 2 80.000 3.520.000 12.5 44.000.000
3 Andongrejo 1 40.000 1.760.000 12.5 22.000.000
4 Curahtair 10 120.000 5.280.000 12,5 66.000.000
5 Wonoasri - - - - -
Jumlah 14 280 12.320.000 154.000.000
Sumber: Sutikto, T, dkk. 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru
Betiri Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan
Lembaga Penelitian Universitas Jember, hlm. 73.
Tabel tersebut menunjukkan jumlah pengepul bambu di seluruh kawasan
penyangga Meru Betiri di wilayah Kecamatan TempurejoKabupaten Jember sebanyak
14 orang (Paeman 11 Nopember 2013). Yang terbanyak dari Desa Curahtakir (10
pengepul).Total hasil hutan Bambu yang diperjual-belikan dalam setahun adalah
sebanyak 12.320.000 batang seharga 154.000.000, sehingga jika dikonversikan dalam
sehari maka dibutuhkan sebanyak 34.222 batang, dan jika setiap pencari bambu dalam
sehari menghasilkan 300 batang, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut
diprediksikan sekitar 114 orang pencari bambu dengan pendapatan rata-rata setiap
pencari bambu Rp.3750 per hari.
Pencarian bambu pada umumnya melewati Desa Sanenrejo dan Curahtakir,
diperkirakan hal ini terjadi dari kawasan penyangga hutan Meru Betiri umumnya bambu
diangkut dengan truk yang mempunyai kapasitas angkut sebesar 1000 batang
(Paemanan 11 Nopember 2013). Pengambilan bambu dilakukan sepanjang tahun,
namun pada musim penghujan jumlah pencari bambu cenderung menurun, karena yang
149 menjadi pencari bambu cenderung lebih memilih sektor pertanian sebagai buruh tani
sebagai andalan pekerjaannya. Berbeda dengan pencari kayu bakar yang sebagian
berasal dari luar daerah kawasan, para pencari bambu sebagian besar berasal dari
daerah penyangga hutan Meru Betiri.Kebutuhan Bambu Wuluh untuk konsumsi industri
gedhek sangat kecil, hal ini terkaitkan produktivitasnyajuga sedikit. Untuk keperluan
industri gedhek dalam setahun hanya dbutuhkan sebesar lebih kurang 1.173.176 batang
atau senilai Rp.11.731.768 (Sutikto dkk.1998:72). Untuk memenuhi kebutuhn bambu
bagi pengusaha gedhek umumnya tidak melalui pengepul tetapi bahan baku diperoleh
dengan mencari di hutan. Rincian konsumsi Bambu Wuluh berdasarkan jumlah
pengepul yang ada di kawasan penyangga hutan Meru Betiri dapat dilihat pada tabel
berikut.
Penduduk di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri mencari bambu jenis Bubat
digunakan untuk glantang pada pengeringan tembakau Besuki Na Oost. Oleh karena itu
pengambilan bambu sangat tergantung pada permintaan produsen tembakau Besuki Na
Oost. Seorang pengambil bambu Bubat setiap hari rata-rata mendapatkan 75 batang
dengan harga per batang Rp 50, sehingga Jadi pengambil bambu Bubat per
harimemperoleh pendapatan sebesar 75 batang x Rp 50 = Rp 3.750, sedangkan waktu
yang digunakan untuk pergi ke hutan 4-5 kali per minggu. Penduduk di desa-desa
penyangga hutan di Meru Betiri mencari bambu jenis Lampar digunakan sebagai bahan
pembuat sujen tembakau. Pengambilan bambu Lampar sebanyak 20 batang per hari
untuk tahun 1997. Cara membawa dengan mengalirkan lewat Sungai. Dari 20 batang
bambu tersebut akan menghasilkan sujen seberat 50 kg. Harga 1 kuintal antara Rp
5.000-6.000, sedangkan per minggunya rata-rata mengambil sebanyak 3-4 kali dengan
waktu yang dibutuhkan 8-9 jam (Sutikto dkk. 1998:72).
8.Perambah Hutan Madu Lebah
Madu lebah yang diambilpenduduk di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri dikenal
sebagai madu berkualitas baik, dan dikenal sebagai Madu Curahnongko. Pengambilan
madu dilakukan antara Juni-Oktober. Berikut disajikan penghasilan perambah madu
lebah hutan di kawasan penyangga Meru Betiri di wilayah Kecamatan Tempurejo tahun
1997 seperti dalam tabel berikut.
150 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 Tabel 5 Penghasilan Perambah Madu Lebah Hutan di Kawasan Meru Betiri Tahun
1997
No Desa Jumlah
Peramba
h
Frekuensi/
Mg (Kali)
Hasil Frek
(Botol)
Waktu
(Bulan)
Hrg/btl
(Rp)
Hasil/Thn (Rp)
1 Curahnongk
o
8 2 6 4-6 5.000 9.600.000
2 Sanenrejo 3 3 7 4-6 5.000 6.300.000
3 Andongrejo 6 3 7 4-6 5.000 12.600.000
4 Curahtair 10 2 5 4-6 5.000 10.000.000
5 Wonoasri 3 2 6 4-6 5.000 3.600.000
Jumlah 30 12 31 - - 42.100.000
Sumber: Sutikto, T, dkk. 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru
Betiri Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan
Lembaga Penelitian Universitas Jember, hlm. 82.
Tabel berikut menunjukkan di kawasan penyangga hutan Meu Betiri terdapat 30 pencari
madu hutan yang dalam setahun diperkirakan mencapai pendapatan sebesar Rp.
42.100.000 (8.420 botol per 5.894 liter). Setiap minggu hasil setiap perambah antara
Rp.60.000 sampai dengan Rp.100.000. Suatu pendapatan besar, tetapi pencarian madu
tersebutsangat sulit dan kadangkala menginap di hutan. Madu hutan per botol dijual Rp.
5000, jika seminggu menghasilkan 12 botol, maka telah menghasilkan Rp. 60.000.
9.Berburu Satwa
Penduduk di kawasan penyangga hutan Meru Betiri banyak menangkap satwa liar di
hutan khususnya burung. Hal ini didorong banyakpermintaan burungjenis tertentu yang
jarang dijumpai di tempat lain. Nilai ekonomi satwa liar semakin tinggi apabila dalam
memperoleh jenis satwa yang semakin sulit dicari. Konsumen langsung maupun
pedagang burung yang berada di luar kawasan mendatangi masyarakat yang berada di
kawasan penyangga hutan untuk membeli burung yang diminati. Berikut disajikan data
151 berbagai jenis satwa liar di kawasan hutan Meru Betiri yang diburu oleh penduduk
pinggiran hutan seperti dalam tabel berikut.
Tabel 6 Daftar Jenis Satwa Di Kawasan Meru Betiri Diburu Tahun 1997
No Jenis Satwa Asal Satwa Daerah
Pemasaran
Harga
(Ribuan)
1 Cucak Hijau Bandealit, Pondokrejo,
Curah-nongko
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
50-75
2 Cucak
Gadung/Sekar
gading
Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
40-50
3 Bunglor Batu Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
100-150
4 Bunglor
Merah
Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali,
Jakarta
100-150
5 Burung Hantu Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
40-50
6 Tekek Udang Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
20-30
7 Tekek Buto Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
20-30
8 Trenggiling Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
10-40
152 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 9 Kera Bandealit, Curahnongko Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
25-50
10 Rajawali
(Garuda
Coklat)
Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
75-100
11 Ayam Hutan Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Malang,
Surabaya, Bali
40-50
12 Kijang/Rusa Bandealit, Curahnongko Jember,
Surabaya.
13 Ular Phyton Bandealit, Curahnongko,
Curahtakir, Sanenrejo
Jember,
Surabaya.
50-100
14 Macan Rem-
rem/Kucing
Hutan
Curahtakir, Sanenrejo Jember,
Surabaya.
25-40
Sumber: Wawancara dengan Pemikat Burung Pujiono 12 Nopember 2013.
Tabel tersebut menunjukkan Jenis burung yang paling banyak diminati oleh masyarakat
adalah jenis Bunglor Merah dengan harga sekitar Rp.100.000 – Rp. 150.000 yang masih
bakalan. Burung tersebut berasal dari daerah Andongrejo (Bande Alit), Curahnongko
dengan daerah pemasaran umumnya dijual ke Jember, Malang, Surabaya, Bali. Selain
Bunglor Merah, terdapat jenis burung lain yang banyak dipesan oleh penggemar seperti
jenis Cucak Hijau dengan harga lebih murah (Rp50.000-Rp.75.000) jika dibandingkan
dengan jenis Bunglor Merah.Selain burung, satwa lain yang diburu Trenggiling dengan
nilai jual Rp 10.000 - Rp.40.000. Macan Remrem (Rp 25.000 – Rp.40.000). Para
pemikat burung satwa tersebut menggunakan cara tradisional, sehingga waktu
penangkapannya lama dan memerlukan cara tersendiri dengan tingkat keberuntungan
tinggi. Bahkan seringkali para pemikat burung melakukan penangkapan burung pada
malam hari dan penuh resiko. Namun omset satwa secara total sulit diprediksi, karena
data sulit dilacak.
153 KESIMPULAN
Kawasan hutan Meru Betiri selain memberikan tempat perlindungan bagi para
penduduk yang tinggal di desa-desa pinggiran hutan (desa-desa penyangga),
kemurahan alam (flora, fauna, mineral) Meru Betiri memberikan sumber
penghidupanbagi penduduk yang tinggal di desa-desa penyangga.Pengrajin genteng di
Dusun Mandilis dan Dusun Krajan, Desa Sanenrejo bisa mendapatkan bahan baku
pembuatan genteng dengan mudah dan murah berupa tanah liat dan kayu bakar yang
melimpah dari kawasan ini. Pengrajin gedhek dari Desa Sanenrejo, Andongrejo,
Curahtakhir pergi ke hutan mencari bahan baku untuk pembuatan gedhek berupa bambu
yang telah tersedia di kawasan hutan Meru Betiri.
Penduduk di desa-desa penyangga, memanfaatkan kemurahan hutan Meru Betiri
dengan melakukan perambahanhutan. Mereka pergi ke hutan mencari kayu bakar untuk
dijual ke pengrajin genteng di Desa Sanenrejo, atau untuk keperluan rumah tangga.
Selain itu mereka mencari bambu ke hutan untuk dijual kepada para pengepul bambu
yang selanjutnya dijual lagi kepada pengusaha tembakau. Madu lebah hutan dan rumput
melimpah yang disediakan hutan Meru Betiri dapat menghidupi penduduk yang tinggal
di desa-desa penyangga. Bahkan kawasan ini memberikan kemurahan berupa aneka
satwa liaryang hidup di dalamnya untuk diburu dan hasilnya dijual ke pasar-pasar satwa
di Jember, Malang, Surabaya, Bali.
Kemurahan alam Meru Betiri belum mensejahterakan penduduk di desa-desa
penyangga. Minimnya sentuhan pembangunan prasarana dan sarana jalan,berdampak
kawasan ini terisolasi dari ibu kota desa. Rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya
prasarana dan sarana kegiatan ekonomi, sebagai faktor penyebab kemiskinan penduduk
di desa-desa penyangga. Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah, membentuk
persepsipenduduk desa-desa penyangga dalam pemanfaatan hutan yang eksploitatif. Hal
ini berdampak terhadap kerusakan hutan, dan kepunahan anekaragam hayati, serta
menimbulkan berbagai macam bencana alam. Meru Betiri berubah peran, dari
melindungi dan memberi “berkah” berupa kemurahan alam yang diberikannya, berubah
memberi musibah bagi penduduk di desa-desa penyangga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku dan Artikel
154 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 Ananta Toer, Pramoedya, 1995. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra.
Anonim, 1976. Suaka Margasatwa Meru Betiri, Jember: Sub-Balai Perlindungan dan
Pelestarian Alam, Jawa Timur II-Jember.
Anonim, 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri 1995-2020 (Buku I).
Jember: Proyek Pengembangan Taman Nasional Meru Betiri Tahun
Anggaran 1994/1995.
Anonim, 1999. Informasi Kawasan Konservasi di Jawa Timur. Surabaya: Balai
Konservasi Sumber Daya Alam IV.
Anonim, 2011. Laporan Kegiatan Penyusunan Baseline Data Model Desa Konservasi
Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Kemnterian Kehutanan Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balaai Taman Nasional Meru
Betiri.
Bappenas, 1997. Upah Minimal Regional (UMR) Tahun 1997, Propinsi Jawa Timur,
dalam https://www.bappenas.go-id, diunduh 21 Pebruari 2018.
Departemen Kehutanan, tanpa tahun terbit. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Reencana
Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Tanpa kota dan badan
penerbit.
Departemen Kehutanan, 1988. Deskripsi Kawasan Konservasi Lingkup Balai
Konservasi Sumber Daya Alam IV. Malang, tanpa badan penerbit.
Poeponegoro, M.D dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia II .
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PN Balai Pustaka.
Hidayat, H. 2011. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Indrawan, M. dkk. 2012. Biologi Konservasi (Edisi Revisi). Jakarta: CONSERVATION
International-Indonesia, PILI, Yayasan WWF Indonesia, Uni Eropa, dan
YABSHI-Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia.
Maksum, M. (dkk.) 1999. Studi Persepsi Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional
Meru Betiri. Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan &
Kawasan Universitas Gadjah Mada.
Nawiyanto, 2012. Pengantar Sejarah Lingkungan (Buku Ajar). Jember: UPT
Penerbitan UNEJ.
155 Ruhiyat, Y. (dkk.). 1976.Laporan Survey Su8aka Margasatwa Meru Betiri Jawa Timur,
Indonesia. Bandung: Lembaga Ekologi Unversitas Pajajaran.
Sumartono, H. & Andang Subaharianto, 2003, Strategi Survival Komunitas Masyarakat
Hutan (Studi Kasus di Desa Sumberjati Kecamatan Silo Kabupaten
Jember). Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Sutikto, T. (dkk.). 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru Betiri
Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan
Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Syafi’i, I. & Subowo Kasim, 1981. Tingkat Pendapatan dan Keadaan Sosial
Masyarakat Sekitar Hutan di Daerah andilis Sanenrejo Kecamatan
Tempurejo Kabupaten Jember. Jember: Kerjasama Jurusan Sosial-
ekonomi Pertaanian, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Jember
dengan Word Wildlifs Funds, The Netherland, Sub. Balai Perlindungan
dan Pelestarian Alam Jawa Timur II di Jember.
Utari, A.D.. 2012. Penerapan Strategi Hutan Rakyat Opsi Penyelamatan Kehancuran
Hutan Negara. Yogyakarta: Cakrawala.
2. Daftar Wawancara
Bunasir, Buruh Tani dan Penggaduh Sapi, Warga Dusun Mandilis Desa Sanenrejo,
Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, 21 Oktober 2013.
Jumari, Pedagang Warga Dusun Krajan, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo,
Kabuapeten Jember.
Jumriah, Buruh Tani, Warga Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo,
Kabupaten Jember, 11 Nopember 2013.
Paeman, Buruh Tani, Penggaduh Sapi, Pengrajin Gedhek,Warga Dusun Mandilis, Desa
Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember,11 Nopember
2013).
Paidi, Pencari Kayu Bakar Warga Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan
Tempurejo, Kabupaten Jember, 11 Nopember 2013.
Ponirin, Kaur Ekonomi dan Pembangunan Desa Sanenrejo, 21 Oktober 2013.
156 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 Pujiono, Pemikat Burung, warga Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan
Tempurejo, Kabupaten Jember, 12 Nopember 2013.
Ruslan, Ketua RT 01, RW 02, Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo,
Kabupaten Jember, 20 0ktober 2013.
Sarengat, Kasun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember,
23-10- 2013.
Saswoko, Pencari Rumput, Warga Dusun Mandilis, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten
Jember, 21 Nopember 2013.
Sunaryo, Sekdes Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, 23 Oktober
2013.
157
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
PENGENDALIAN WABAH FLU BURUNG DI PROVINSI JAWA TIMUR PERIODE 2004-2012
Nurman Candra Setiansyah
Alumnus Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
Pos-el: [email protected]
ABSTRACT
This article discusses the control of avian influenza outbreaks in East Java in the period of 2004-2012. It deals with three major problems: 1) the oubreak of avian influenza in East Java; 2) the impact of the spread of avian influenza; 3) the government’s preventive and curative efforts to contain the disease. It employed a historical method with theoretical inspirations from public policy analysis process. It is argued that the sucess story of avian influenza control in the East was due the quick and systematic response to the problem. The government was able to push the communities engaging the poultry sector to change from traditional practice to a more modern one. The government of East Java made a quick response because the local economy relied much on the poultry and poultry products, which were also distributed to other regions in Indonesia. Keywords: avian influenza, impact, government response, poultry community, East Java
ABSTRAK Artikel ini membahas tentang pengendalian wabah flu burung di Jawa Timur pada periode 2004-2012. Pembahasan berkaitan dengan tiga masalah utama: 1) masuk dan mewabahnya flu burung di Jawa Timur; 2) dampak dari penyebaran flu burung; 3) upaya preventif dan kuratif pemerintah untuk mengendalikan wabah. Tulisan menggunakan metode historis dengan inspirasi teoritis dari proses analisis kebijakan publik. Diargumentasikan bahwa kisah sukses pengendalian flu burung di Timur adalah karena respons cepat dan sistematis terhadap masalah tersebut. Pemerintah mampu mendorong masyarakat yang melibatkan sektor perunggasan untuk berubah dari praktik tradisional ke praktik yang lebih modern. Pemerintah Jawa Timur membuat respon cepat karena ekonomi lokal sangat bergantung pada unggas dan produk unggas, yang juga didistribusikan ke daerah lain di Indonesia. Kata kunci: flu burung, dampak, respons pemerintah, masyarakat peternak, Jawa Timur
158 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018
PENDAHULUAN
Flu burung (avian influenza) merupakan salah satu wabah penyakit yang
menggemparkan dan meresahkan masyarakat. Perlu diketahui bahwa penyakit ini tidak
hanya menjangkiti wilayah Asia dimana kasus Flu Burung paling banyak ditemukan
namun juga seluruh dunia. Penyakit Flu Burung merupakan wabah yang fatal bagi
unggas, dengan risiko kematian mencapai 90% (Depkominfo, 2008:1). Dengan
demikian tentu wabah ini sangat membahayakan dan mengancam peternakan unggas
domestik, seperti ayam, itik dan burung puyuh. Secara tidak langsung penyakit Flu
Burung dapat mengancam perekonomian, di antaranya harga unggas dan produk unggas
yang menurun, peluang ekspor menjadi kecil karena kekhawatiran importir atau regulasi
pemerintah negara tujuan, peningkatan biaya produksi, dan pengurangan jumlah tenaga
kerja. Indonesia merupakan negara dengan angka produksi dan konsumsi produk
unggas yang besar.
Selain mengancam perekonomian, wabah flu burung juga mencemaskan karena
dapat menyebabkan kematian pada manusia. Menurut WHO (2013), data menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus flu burung pada manusia
tertinggi di dunia, yakni 192 kasus. Angka ini masih diperparah dengan kematian
manusia akibat flu burung sejumlah 159 (WHO, 2013) Sementara itu data pada unggas
tercatat sebanyak 43 kasus di 43 desa pada 30 kabupaten/kota di 12 provinsi dan
menyebabkan kematian unggas sebanyak 1355 ekor (1010 ekor ayam kampung, 140
ekor ayam layer dan puyuh 175 ekor).
Terdapat beberapa kemungkinan terburuk yang dikhawatirkan akibat adanya
pandemi Flu Burung, antara lain adalah: Menimbulkan angka kesakitan dan kematian
dengan prediksi 30% populasi terserang penyakit dan 5% kematian dari jumlah
penderita, Berkurangnya kemampuan pelayanan kesehatan dikarenakan jumlah
penderita melebihi kemampuan pelayanan, Kelumpuhan ekonomi diakibatkan oleh
terganggunya kegiatan perekonomian, dan Gangguan kamtibmas yang dapat mengarah
pada kekacauan sosial (Depkominfo, 2008:39)
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki populasi
unggas yang besar. Unggas tidak hanya dibudidayakan secara korporatif namun juga
159 dalam skala kecil di rumah-rumah penduduk dan digunakan untuk konsumsi pribadi
masing-masing keluarga. Hasil dari unggas seperti telur dianggap sebagai bahan
makanan yang bergizi dan mudah didapat di masyarakat Jawa Timur terutama mereka
yang bermukim di wilayah pedesaan.
Kajian mengenai flu burung menarik untuk diteliti karena, peristiwa merebaknya
wabah Flu Burung beserta penanganannya merupakan kajian yang menarik. Pertama
karena melibatkan manusia dan kehidupannya. Flu Burung dalam hal ini harus dilihat
sebagai suatu ancaman terhadap eksistensi spesies Homo sapiens, baik berupa ancaman
terhadap kelangsungan jenisnya, maupun ancaman terhadap kemampuannya
menyelenggarakan kehidupan sosial. Ancaman terhadap kelangsungan jenisnya tidak
lain adalah kematian akibat infeksi virus H5N1 HPAIV (Highly Pathogenic Avian
Influenza Virus) dan penularan virus yang dapat menyebabkan wabah yang meluas dan
berpotensi mendatangkan kasus kematian selanjutnya. Ancaman terhadap manusia
antara lain berupa lesunya perekonomian, munculnya regulasi–regulasi tertentu yang
merintangi hubungan antarmasyarakat (seperti larangan berkunjung ke suatu wilayah
tertentu atau yang dikenal sebagai travel warning) yang berdampak luas secara
multidimensi, berkurangnya interaksi sosial akibat sakit atau dijauhi anggota
masyarakat karena ketakutan berlebih, dan lain–lain permasalahan yang dapat
ditimbulkan sebagai dampak wabah flu burung.
Kedua, fakta bahwa masalah wabah flu burung bukan hal baru bila dilihat secara
luas, karena wabah ini telah dilaporkan sejak akhir abad XIX di Eropa (Alexander dan
Brown, 2009:17) Namun, penelitian dari spesialis tentang unggas dan kesehatan
manusia mulai meneliti mengenai flu burung dan penyebaran di manusia baru terjadi
pada akhir abad ke XX. Hal tersebut dikarenakan pelaporan dan pencatatan kasus flu
burung hingga akhir abad XX sangat sedikit dikarenakan flu burung dianggap sebagai
penyakit flu biasa pada unggas. Penularan penyakit ini ke manusia juga baru terjadi
pada tahun 1997.
Dalam kajian ini ada beberapa pokok masalah yang akan dikaji, yaitu:
Bagaimana masuk dan penyebaran wabah flu burung terjadi di Provinsi Jawa Timur?,
Dampak-dampak apakah yang telah diakibatkan oleh wabah flu burung?, dan Apa
langkah preventif dan kuratif yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam
mengendalikan dan mencegah wabah flu burung di Provinsi Jawa Timur? Tujuan yang
160 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 akan dicapai dalam penulisan ini adalah Mendeskripsikan bagaimana masuk dan
berkembangnya flu burung di Jawa Timur, Menjelaskan dampak-dampak yang telah
diakibatkan dari penyebaran Flu Burung dan mengkaji langkah-langkah preventif dan
kuratif yang dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah flu burung.
Tulisan ini merupakan kajian sejarah. Oleh karena itu, metode yang paling tepat
digunakan adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottchalk, metode sejarah adalah
proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalaan masa lampau.
Ada empat tahapan dalam metode sejarah, yaitu pengumpulan sumber-sumber
(heuristik), kritik sumber (kritik intern dan kritik ekstern), penafsiran sumber
(interpretasi), dan sintesis sejarah (historiografi) (Gottschalk,1975:32).
Tahap pertama heuristik adalah proses pengumpulan sumber-sumber sejarah
sesuai dengan topik yang dikaji. Sumber sejarah tersebut terbagi menjadi dua, yaitu
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber Primer yang dugunakan adalah sumber
yang berupa lisan berupa wawancara dengan peternak unggas yang mengalami dampak
kejadian flu burung pada 2004-2012. Selain wawancara dengan peternak yang terkena
dampak flu burung, sumber primer penulis menggunakan koran dan majalah yang
sezaman dengan periode penulisan artikel. Koran dan majalah tersebut berupa edisi
cetak dan digital. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan adalah buku dan literatur
yang sesuai dengan topik yang dibahas. Sumber tersebut meliputi jurnal, laporan
penelitian, peraturan yang diterbitkan pemerintah, buku-buku baik buku digital maupun
buku cetak yang ada di perpustakaan. Salah satu perudang-undangan yang dipakai
adalah Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Penanganan Flu
Burung dalam Mengantisipasi Pandemi Influenza Pada Manusia Di Jawa Timur
Tahapan kedua dari metode yang digunakan adalah kritik sumber. Kritik sumber
terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik ekstern digunakan
untuk meneliti keaslian sumber dengan cara meneliti gaya bahasa, jenis tulisan, bahan
yang dipakai dan lain-lain. Sedangkan kritik intern digunakan untuk memverifikasi
informasi tersebut sesuai dengan fakta sejarah. Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu
proses menganalisis data yang didapat. Proses tersebut juga disebut penafisran sejarah.
Tahap terakhir adalah historiografi. Tahap ini merupakan penyusunan fakta-fakta yang
dianggap valid dan kredibel menjadi kisah sejarah yang kronologis dan membentuk
kesatuan yang utuh. Penafsiran data diperoleh dari fakta-fakta yang tekumpul dan
161 dihubungkan dengan prinsip 5W+1H yaitu what untuk menanyakan siapa pelaku dalam
kajian tersebut, where untuk menanyakan tempat kejadian, who untuk menanyakan
siapa pelaku dalam kejadian tersebut, when untuk menanyakan kapan peristiwa itu
terjadi, why untuk menanyakan alasan peristiwa itu terjadi dan untuk mengkritisi apa
yang terjadi, how untuk menanyakan bagaimana peristiwa itu terjadi.
PEMBAHASAN
1. Masuk dan Berkembangnya Flu Burung di Jawa Timur
Flu Burung dalam perjalanan penyebaran di Indonesia juga masuk dan menyebar ke
wilayah Jawa Timur. Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki
penduduk terbanyak di Indonesia. Jawa Timur memiliki penduduk 37.565.706 jiwa.
Provinsi Jawa Timur terletak pada 7 º 12’ - 8 º 48’ Lintang Selatan dan 111º - 114 º 4’
Bujur Timur. Provinsi Jawa Timur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara: Laut Jawa dan Pulau Kalimantan, Sebelah Timur: Selat Bali dan Pulau
Bali, Sebelah Selatan: Samudera Hindia, Sebelah Barat: Provinsi Jawa Tengah (Badan
Pusat Statistik, 2010: 15).
Secara pasti, tidak bisa diketahui asal mula masuknya virus Flu Burung di Jawa
Timur di wilayah mana, namun pada 2004 sudah banyak kematian unggas. Kematian
terjadi mendadak dan dialami banyak unggas baik di peternakan unggas maupun.
Daerah dengan potensi produk unggas terbesar merupakan daerah dengan kematian
tertinggi di Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur memiliki kelembapan udara yang tinggi
yakni hingga 90% dan temperatur udara rata-rata tahunan berkisar antara 19 º Celcius
hingga 29 º Celcius. Suhu yang sejuk inilah membuat unggas mudah berkembang,
sehingga Jawa Timur memiliki produksi unggas yang termasuk besar di Indonesia.
Adanya faktor ini, penghasil unggas dan produk unggas, membuat penyebaran Flu
Burung di Jawa Timur sangat cepat.
Diduga flu burung di Jawa Timur masuk melalui migrasi unggas yang singgah
di Jawa Timur. Unggas-unggas yang bermigrasi ini berasal dari wilayah Indonesia
sendiri maupun unggas dari negara lain yang kebetulan melintasi wilayah Jawa Timur.
Unggas yang singgah ini kadangkala ada yang membawa virus Avian Influenza,
sehingga menjadi perantara masuknya flu burung di Jawa Timur. Beberapa jenis unggas
162 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 yang menyebarkan flu burung antara lain adalah burung laut, kalkun, burung-burung
liar seperti pelikan, walet, itik dan sebangsanya. Masyarakat juga memiliki kebiasaan
melakukan kegiatan beternak hewan-hewan konsumsi.
Kegiatan beternak selain untuk konsumsi sehari-hari juga digunakan sebagai
salah satu penghasilan baik penghasilan utama maupun penghasilan tambahan. Kegiatan
beternak hewan sudah dimulai sejak awal masa prasejarah. Pada awalnya mereka
memenuhi kebutuhan akan daging konsumsi mengandalkan dengan perburuan. Namun
lambat laun mereka mempunyai inisiatif untuk mengembangbiakkan dengan
menangkap hewan buruan dari alam liar kemudian mengembangbiakkannya. Dengan
adanya hal tersebut kebutuhan akan daging konsumsi terpenuhi tanpa harus berburu di
alam liar. Masyarakat Jawa Timur juga melakukan kebiasaan serupa secara turun
temurun.
Hewan yang dibudidayakan masyarakat Jawa Timur untuk konsumsi dan
sumber pendapatan adalah unggas seperti ayam, bebek, burung puyuh, burung dara,
selain kambing, domba, sapi, kerbau dan babi. Dalam pembudidayaannya masyarakat
menyiapkan tempat tertentu diluar wilayah pemukiman. Hal tersebut dilakukan untuk
mengantisipasi limbah baik bekas pakan dan minum atau kotoran menggangu
lingkungan masyarakat. Namun kebanyakan untuk ternak dalam skala kecil masyarakat
Jawa Timur melakukannya disekitar rumah-rumah mereka sendiri. untuk hewan besar
seperti hewan ternak berkaki empat kandang diletakkan agak menjauh dari rumah
utama, tetapi masih tetap satu lingkup dengan tempat tinggal. Sedangkan untuk unggas
biasanya akan diletakkan di luar kandang dan dibiarkan terbuka di pekarangan baik
depan maupun belakang rumah.
Banyaknya budaya masyarakat yang melakukan ternak unggas di Jawa Timur
membuat Jawa Timur sebagai salah satu provinsi yang menghasilkan produk unggas.
Salah satu wilayah penghasil unggas terbesar adalah wilayah Blitar. Hingga tahun 2012
populasi unggas yang ada di wliayah seluruh wilayah Blitar kurang lebih 26.000.000
ekor, merupakan populasi unggas tertinggi di Jawa Timur. Selain memiliki populasi
unggas yang tinggi, Kabupaten Blitar juga sebagai penghasil produk unggas yakni
Telur. Hingga 2014, produksi telur di kabupaten Blitar mengalahkan produksi telur di
Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut karena poplasi unggas yang ada di seluruh Jawa Barat
hanya setara dengan populasi unggas 1 kecamatan di wilayah Blitar.
163
Secara geografis memang Jawa Barat lebih mendukung dalam sektor
peternakan, namun jumlahnya masih kalah dengan wilayah Blitar. Banyaknya ternak di
wilayah Blitar dikarenakan banyak penduduknya bekerja pada sektor peternakan. Selain
digunakan untuk konsumsi dan komersial, unggas terutama burung banyak dipelihara
untuk kesenangan pemilik. Burung-burung tersebut dipelihara untuk hiburan yakni
suara merdu kicauannya. Burung kicau tersebut juga dilombakan dalam beberapa
periode. Selain burung juga ada ayam jantan atau jago yang diternak khusus untuk
sabung ayam yang masih banyak ditemukan di Jawa Timur.
Kebiasaan meletakkan unggas terutama ayam bebas di pekarangan rumah
masyarakat Jawa Timur sudah dilakukan sejak dahulu dan turun temurun. Hal tersebut
banyak ditemukan di wilayah desa desa yang masih banyak menjaga warisan generasi
terdahulu. Mereka beternak skala kecil dengan sekitar 10 hingga 20 ekor setiap
rumahnya. Namun dibalik keunggulan beternak unggas dalam lingkup rumah tangga ini
memiliki kelemahan yakni kotoran ayam yang tercecer di sekitar tempat tinggal
masyarakat. Unggas yang dibiarkan bebas tidak bisa diatur dalam mengeluarkan
kotoran. Kotoran unggas ini bisa menjadi sumber penyebaran bebrbagai penyakit dan
rawan untuk terkontaminasi dengan manusia jika tidak hati-hati. Lingkungan rumah
juga menjadi tercemar dengan kotoran unggas. Jika unggas yang diternak semakin
banyak maka kotoran yang dihasilkan juga akan banyak.
Dalam sejarahnya, Jawa Timur pernah menjadi pandemi penyakit flu. Namun
epidemi flu ini hanya flu yang menyerang manusia pada umumnya.Pandemi tersebut
terjadi tahun 1918. beberapa wilayah kota di Jawa Timur memiliki korban akibat flu di
atas rata-rata. Menurut Brown (1987:239) beberapa wilayah seperti Blitar,
Tulungagung dan Trenggalek pada tahun 1918 memiliki korban di atas rata-rata ,
kemudian pada endemi flu burung wilayah tersebut juga memiliki banyak korban akibat
Flu Burung. Korban yang didapat dari flu burung di wilayah tersebut baik berupa hewan
unggas maupun manusia yang terjangkiti.
Daerah rawan flu burung di Jawa Timur lainnya adalah wilayah Lamongan.
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu Kabupaten yang berada di wilayah utara
Propinsi Jawa Timur dengan karakteristik daratan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo.
Kabupaten Lamongan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tuban, Bojonegoro,
Jombang, Mojokerto dan Gresik. Dilihat dari letak geografisnya Kabupaten Lamongan
164 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 memegang peranan yang sangat penting dalam jalur lalu lintas perdagangan unggas
serta sebagai tempat budidaya usaha perungasan yang menyediakan sebagian besar
kebutuhan daging unggas di-pasar kota-kota di Jawa Timur (BPS Lamongan, 2010:3).
Kabupaten Lamongan juga merupakan wilayah penyangga Kota Surabaya.
Letaknya yang strategis sebagai penghubung jalur lalu lintas perdagangan unggas antar
Kabupaten, maka sangat dimungkinkan Kabupaten Lamongan juga mengalami wabah
penyakit hewan menular seperti flu burung. Selain jalur transportasi kendaraan darat,
jalur irigasi pertanian sungai Bengawan Solo merupakan sumber penularan yang bisa
membawa virus flu burung ini masuk ke wilayah Kabupaten Lamongan. Hal ini karena
masyarakat memilih untuk membuang bangkai ayam yang mati ke aliran sungai.
Membuang bangkai ayam tersebut akan mempercepat penyebaran virus ini. Bangkai
unggas yang hanyut di sepanjang aliran sungai kemudian akan menjadi sarana
persebaran, dan jika berhenti kemudian akan terjadi kontak dengan manusia dan unggas
(Susanto, 2013:12)
Perilaku masyarakat yang masih mempercayai mitos juga menjadi faktor
pendukung penyebaran flu burung. Ada suatu kepercayaan di masyarakat tradisonal,
temasuk masyarakat Mojokerto, bahwa kotoran bebek di kandang tidak boleh
dibersihkan. Kotoran bebek bisa mencegah bebek terkena penyakit, terutama pada
kakinya. Mereka akan membersihkan kotoran di kandang bebek tersebut jika bebek
sudah habis terjual. Hal tersebut belum ada penelitian mengenai kotoran unggas, tetapi
perilaku tersebut malah mempermudah penularan flu burung melalui kotoran unggas.
Penyebaran flu burung didukung juga dengan adanya distribusi produk unggas
yang telah terkontaminasi dengan flu burung. Sebagian kecil peternak memilih tidak
mengobatinya jika ayamnya yang sakit. Mereka memilih untuk menjual ayamnya
walaupun dengan harga murah atau disembelih daripada mati. Penjual tersebut
berprinsip jika sakitnya hanya ringan mereka akan menyembelihnya dan kemudian
memakannya. Diduga penyebaran ini karena unggas yang terlihat sehat disembelih
kemudian beredar di pasaran dan masyarakat.
Pada dasarnya unggas terlihat sehat sebetulnya bisa juga terinfeksi virus flu
burung. hal tersebut dikarenakan lamanya masa inkubasi virus flu burung di unggas
yang berkisar 3-5 hari. Virus tersebut sebenarnya bisa mati dengan dimasak pada suhu
tinggi. Produk unggas teridikasi flu burung yang dikonsumsi terdapat di beberapa
165 wilayah, seperti di Jember dan Mojokerto. Pada wilayah Jember, produk unggas
konsumsi tersebut ditemukan di pasar-pasar tradisional. Diduga daging unggas tersebut
berasal dari sebuah peterkanan ayam berada di Pakusari, Jember. Menurut pengakuan
peternakan tersebut. Mereka terlanjur menjual daging ayam potong dikarenakan mereka
belum tahu jika penyakit tersebut sangat berbahaya. Mereka mengira penyakit tersebut
hanya penyakit biasa seperti yang terjadi pada unggas sebelumnya (Surya, 2009:11).
2. Dampak Flu Burung Di Jawa Timur
Flu burung yang menyerang Jawa Timur memberikan dampak yang sangat banyak baik
kepada unggas maupun manusia. Rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya merupakan salah
satu rujukan pasien Flu Burung. Dalam catatannya merawat hingga tiga belas orang
dengan dugaan tertular penyakit Flu Burung. Dari tiga belas korban tersebut, ada dua
korban yang berhasil diselamatkan oleh Rumah Sakit Dr. Soetomo. Korban yang
berhasil diselamatkan kembali pulih sediakala setelah diberikan perawatan kesehatan
beberapa waktu.
Korban meninggal salah satunya adalah korban yang berasal dari Desa Perning,
Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Korban yang berinisial WH berusia 39 tahun,
pada awalnya menderita demam tinggi. Dalam investigasi yang dilakukan oleh tim
penanganan Flu Burung, di sekitar rumah korban banyak ditemukan unggas yang mati
mendadak, termasuk ayam peliharan korban sebanyak 2 (dua) ekor mati mendadak
Korban sebelumnya telah dirawat secara intensif selama lima hari.
Korban lain yang positif terjangkit Flu Burung juga berasal dari Kabupaten
Mojokerto, namun berbeda desa dan kecamatan dengan sebelumnya. Korban berasal
dari Desa Mojotamping, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto. Pasien berinisial
NA berusia 20 tahun tesebut awalnya sudah 12 hari dirawat secara intensif di ruang
isolasi Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Diduga korban tertular dari desa tetangga
korban. Dalam desa tetangga korban tersebut ditemukan ribuan burung puyuh yang mati
mendadak.
Selain dari Kabupaten Mojokerto, ada salah satu korban meninggal akibat Flu
Burung berasal dari Tulungagung. Korban adalah seorang perempuan berusia dua puluh
satu (21) tahun didiagnosis mengalami Flu Burung. Korban memiliki gejala
demam,kehilangan kesadaran dan sulit bernafas. Di lingkungan rumah korban terdapat
166 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 peternakan yang banyak unggas ternaknya mati mendadak. Kabupaten Tulungagung
juga merupakan salah satu sentra penghasil unggas yang memiliki potensi besar.
Letaknya yang berdekatan dengan Kabupaten Blitar juga menjadi perhatian tim
penanganan Flu Burung. Setelah adanya kematian korban dari Tulungagung, beberapa
orang tim ahli dikirim ke lokasi tempat tinggal korban untuk menyelidiki Flu burung
tersebut.
Flu burung memberikan dampak serius kehidupan ekonomi dan kehidupan
sehari-hari masyarakat. Masyarakat yang kehidupannya menggantungkan pada unggas
sangatlah terpukul dengan adanya Flu burung. Mereka mengaku mengalami kerugian
dalam jumlah besar karena unggas yang mati akibat flu burung adalah unggas yang siap
panen. Salah satu peternak menyebutkan bahwa mereka menghabiskan seluruh unggas
yang ada dikandang ternak mereka karena ketakutan akan menyebarnya Flu Burung.
Peternak lainnya mengungkapkan bahwa ia mengalami kerugian yang sangat besar.
Peternakannya memusnahkan seluruh unggasnya yang terkena Flu burung, kemudian ia
memutuskan untuk menutup selamanya usaha ternak yang telah dilakukan. Hal tersebut
disebabkan kekurangan modal untuk merintis kembali.(Wawancara dengan Dedi
Laksmana, Blitar, 23 Mei 2017)
Kabupaten Tulungagung juga terdapat kasus kematian unggas mendadak. Salah
satu tempatnya adalah di Desa Tenggur, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten
Tulungagung. Pada tahun 2004, Supangat, salah satu peternak ayam di Tenggur yang
menjadi korban mengaku dalam dua bulan terakhir ini, tiga belas ribu ekor ayamnya
mati. Bahkan, dalam 15 hari terakhir, dari 2.500 ekor ayam, kini tinggal 50 ekor ayam.
Ayam-ayam tersebut mati karena terserang penyakit yang mirip Flu burung. Di
antaranya kaki berwarna merah, jengger kebiruan, serta pendarahan di dada atau
tembolok ayam. Gejala yang diderita oleh unggasnya mirip dengan kejadian matinya
ayam Arab di Kabupaten Kediri.
Penurunan produksi unggas di Jawa Timur juga dipengaruhi Flu burung. Banyak
unggas yang siap panen tiba-tiba mati mendadak dan dimusnahkan secara sukarela oleh
peternak karena ada gejala mengarah Flu burung. Peternak lebih memilih
memusnahkan unggas yang masih gejala Flu burung, namun beberapa peternak nekat
memotong dan menjual unggas mereka yang sakit mendadak. Mereka beralasan jika
dimasak akan hilang sendiri penyakit yang ada di daging unggas tersebut.
167 Para penyalur unggas untuk luar daerah Jawa Timur juga terkena pengaruh
dampak Flu burung. Mereka dilarang oleh otoritas daerah tujuan distribusi memasukkan
unggas. Selain unggas, juga terdapat larangan memasukkan pakan unggas dari Jawa
Timur. Hal tersebut karena pakan merupakan salah satu media penularan Flu burung.
Salah satu wilayah yang menerapkan larangan pemasukan unggas dari Jawa Timur
adalah Provinsi Sulawesi Tengah. Sebanyak delapan puluh persen bibit ayam yang
berada di Sulawesi Tengah berasal dari wilayah Jawa Timur. (Tempo,2004:2)
Hasil produksi unggas mengalami penurunan mulai tahun 2006 hingga 2009.
Hal tersebut terjadi ketika awal penyebaran Flu burung di Jawa Timur. Penurunan yang
sangat besar antara tahun 2007 hingga 2008 (Badan Pusat Statistik, 2008:270) Pada
tahun 2007 memang flu burung di Jawa Timur sedang marak-maraknya, bahkan ada
korban meninggal pada tahun tersebut. Banyak unggas yang dimusnahkan baik secara
sukarela maupun oleh instansi terkait. Guna mengatasi hal tersebut pemerintah Jawa
Timur melakukan penanganan seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil dari
penanganan tersebut dapat terlihat dari tabel di atas. Pada tahun 2010 produksi daging
unggas telah meningkat kembali. Hal tersebut menjadi bukti bahwa upaya penanganan
flu burung yang dilakukan pemerintah dibantu seluruh lapisan masyarakat Provinsi
Jawa Timur berhasil mengurangi korban flu burung.
3. Penanganan Flu Burung oleh Pemerintah Jawa Timur
Pemerintah Jawa Timur melakukan penanganan terhadap wabah flu burung mengacu
pada penetapan flu burung sebagai kejadian luar biasa (KLB). Penetapan KLB flu
burung dilakukan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2005. Hal
tersebut ditetapkan karena adanya penyebaran flu burung yang menimbulkan korban
yang banyak serta adanya korban manusia. Korban flu burung di Indonesia merupakan
tertinggi di dunia. Korban tersebut meliputi manusia maupun matinya unggas.
Sebelumnya, pemerintah juga menetapkan bahwa Jawa Timur juga merupakan wilayah
endemis flu burung pada 24 Januari 2004. Hal tersebut dikarenakan banyaknya unggas
yang mati mendadak setelah terserang penyakit flu burung. Pemerintah Jawa Timur
kemudian pada tahun 2007 mengeluarkan peraturan yang menginstruksikan menangani
flu burung untuk mennghindari adanya korban dari manusia. Peraturan tersbebut
tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2007 Tentang
168 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 Penanganan Flu Burung Dalam Mengantisipasi Pandemi Influenza Pada Manusia Di
Jawa Timur.
Untuk menangani pasien yang telah terjangkiti dan diduga Flu Burung di Jawa
Timur, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menetapkan rumah sakit rujukan untuk
penderita Flu Burung. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan
Penanganan Flu Burung (Avian influenza). Penetapan rumah sakit rujukan
memudahkan untuk menganani pasien penderita Flu Burung dan lebih mudah
melakukan pengawasan terhadap penyebaran flu burung pada manusia. Rumah sakit
yang dijadikan rujukan pasien flu burung di Jawa Timur pada awalanya merupakan
rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Hal tersebut dilakukan karena membuat
rumah sakit baru tidak akan cepat menangani pasien Flu Burung, sehingga diputuskan
memakai rumah sakit yang sudah ada sebelumnya. Dari rumah sakit yang ada di Jawa
Timur ada delapan buah rumah sakit yang ditetapkan. Rumah sakit tersebut dilakukan
peningkatan sarana,prasarana dan sumberdaya manusia agar sesuai dengan penanganan
flu burung. Rumah sakit rujukan tersebut bukan hanya sebagai tempat penanganan
pasien flu burung, namun juga berfungsi sebagai pusat data dan penanggulangan flu
burung.
Dalam perkembangannya, pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyiapkan
rumah sakit lain yang akan dijadikan rumah sakit rujukan tambahan terkait meluasnya
Flu Burung. Rumah sakit rujukan yang dipersiapkan yaitu RSUD dr. Hariyono
Ponorogo, RSUD Gambiran Kediri, RSUD dr. Sosodoro Bojonegoro, RSUD dr. Moh.
Saleh Probolinggo dan RSUD Pamekasan. Selain rumah sakit rujukan, pemerintah juga
menyiagakan Puskesmas yang berada di wilayah hingga kecamatan untuk menerima
pasien Flu Burung (Lampiran Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3, 2007:8)
Surabaya sebagai kota terbesar di Jawa Timur dan pintu masuk utama arus
barang keluar dan masuk. Hal tesebut membuat Surabaya rawan akan penyebaran dan
penularan Flu Burung. Walikota Surabaya saat itu, mengeluarkan peraturan walikota,
yakni Peraturan Walikota Surabaya Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pengendalian
Pemeliharaan Dan Peredaran Unggas. Peraturan ini mnegacu pada peraturan gubernur
yang sudah disahkan sebelumnya dan peraturan tentang pemotongan dan penampungan
unggas di Surabaya. Peraturan tersebut mengatur tentang pemeliharaan unggas di kota
169 Surabaya.
Penduduk Surabaya sendiri juga memiliki banyak peliharaan unggas di sekitar
pemukiman mereka. Hal tersebut membuat flu burung rawan menginfeksi ke manusia.
Untuk mengatasi hal tersebutlah pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan peraturan
walikota tersebut. Dalam peraturan walikota tersebut, pemerintah kota Surabaya
sepenuhnya melarang pemeliharaan unggas untuk konsumsi. Masyarakat diharuskan
meniadakan unggas yang sudah terlanjur mereka pelihara secara sukarela. Peniadaan
tersebut bisa berupa menjual unggasnya, mengkonsumsi dengan diolah secara baik
ataupun memusnahkan unggasnya. Dalam peraturan tersebut, untuk pemotongan,
penampungan dan penjualan unggas harus mendapat izin dari dinas terkait, dalam hal
ini Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Surabaya
(Peraturan Walikota Surabaya Nomor 11, 2007).
Peraturan tersebut tidak serta merta membatasi pemeliharaan unggas di
Surabaya, terutama para penghobi unggas. Dalam rangka memfasilitasi masyarakat
yang memiliki hobi terhadap unggas peliharaan, pemerintah Kota Surabaya tetap
menjamin para penghobi untuk memelihara unggasnya. Dalam peraturan tersebut
unggas hobi dapat dipelihara asalkan sesuai dengan peraturan yang diterbitkan. Menurut
peraturan walikota, para penghobi harus melakukan vaksinasi dan menempatkan unggas
peliharaannya terpisah dari rumah tempat tinggal. Vaksinasi dilakukan paling sedikit
tiga bulan sekali dan dapat dilakukan di dinas peternakan. Pembersihan kandang secara
berkala juga merupakan hal penting untuk menjaga unggas peliharaan terawat.
Pembersihan juga memperhatikan kebersihan sisa pakan dan air minum supaya tidak
mengundang unggas liar datang.
Wilayah Mojokerto merupakan salah satu wilayah yang terjangkit Flu Burung.
banyak unggas milik warga yang mati mendadak. Pemerintah Kota Mojokerto
mengeluarkan instruksi melalui walikotanya yakni, Instruksi Walikota Nomor 1 Tahun
2007. Dalam instruksinya akan dilakukan langkah antisipatif dengan penyemprotan dan
pemberian vaksin pada setiap hari Jumat bersamaan dengan program Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN). Untuk merealisasi program tanggap darurat Flu Burung ini,
akan dibentuk tim terpadu yang terdiri atas Dinas Kesehatan, kecamatan, kelurahan dan
masyarakat. Mereka akan melakukan langkah penyemprotan dan pemberian vaksin
secara intensif sembari memeriksa setiap kondisi unggas-unggas milik warga Kota
170 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 Mojokerto. Pemerintah kota Mojokerto tidak melarang warganya dalam memlihara
unggas baik untuk konsumsi maupun untuk hobi. Pemusnahan unggas secara massal
belum dilakukan karena pada tahun 2007 belum termasuk kategori darurat. Setelah
adanya korban jiwa di Mojokerto, pemerintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten
Mojokerto menetapkan status endemis di wilayah Mojokerto.
Upaya instansi lain dalam membantu pencegahan dan pemberantasan flu burung
juga di lakukan di Jawa Timur. Salah satunya adalah Komite Nasional Pengendalian Flu
Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI). Komnas
ini bekerja sama dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya melakukan simulasi
penanggulangan. Pelabuhan Tanjung Perak merupakan pintu masuk lalu lintas barang
yang utama di Provinsi Jawa Timur. Wilayah Jawa Timur sejak dahulu menjadi tempat
yang strategis dalam berbagai hal terutama perdagangan. Sejak zaman dahulu sudah
banyak tempat pusat perdagangan yang ada di wilayah Jawa Timur (Hadinoto :2).
Simulasi ini bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut, Universitas Airlangga,
RSAL dr Ramelan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Departemen Kesehatan, ASDP,
KPPP, Imigrasi, Ditjen Bea Cukai, PELNI, KPLP. Direktorat Jendral Bea dan Cukai
berperan dalam melakukan kontrol terhadap unggas yang masuk serta olahan-olahan
produk unggas yang berasal dari luar negeri. Maraknya makanan produk unggas impor
dari luar negeri juga menjadi fokus dalam menenggulangi flu burung. Dengan adanya
simulasi dan bekerja sama dengan Bea Cukai dan pelabuhan bisa melakukan karantina
jika ada unggas yang masuk pelabuhan Tanjung Perak jika ditemukan adanya indikasi
flu burung.
4. Penanganan Flu Burung Oleh Masyarakat
Peternak unggas di beberapa wilayah, seperti Blitar, memiliki inisiatif sendiri dalam
memberantas dan mencegah flu burung. Mereka membentuk kelompok diskusi peternak
unggas sendiri untuk berdiskusi mengenani perunggasan terutama penyakit yang ada
pada unggas. Kelompok tersebut memang tidak resmi dibina oleh dinas peternakan,
namun terbukti efektif dalam berbagi ilmu mengenai unggas. Selain membentuk
kelompok peternak, mereka juga berperan aktif mencari vaksin yang digunakan untuk
kekebalan unggas terhadap penyakit flu burung. Mereka mencari hingga ke luar kota
dan mencari informasi cara penanganan flu burung. Salah satu vaksin yang didapat
171 berasal dari wilayah Madiun. Seperti yang diketahui, memang wilayah Madiun tidak
terdapat adanya penyebaran flu burung (Wawancara dengan Dedi Laksmana Biltar 23
Mei 2017)
Selain vaksin buatan pabrik, para peternak juga membuat obat tradisional untuk
menghambat penyebaran flu burung pada unggas ternak mereka. Obat tradisional
tersebut juga berfungsi sebagai penambah kekebalan unggas terhadap flu burung. para
peternak menggunakan ramuan tradisional guna mensiasati mahalnya vaksin dan
antibiotik buatan pabrik serta belum adanya obat yang benar-benar bisa menyembuhkan
unggas dari flu burung. Selain vaksin buatan pabrik, para peternak juga membuat obat
tradisional untuk menghambat penyebaran flu burung pada unggas ternak mereka.
Obat tradisional tersebut juga berfungsi sebagai penambah kekebalan unggas
terhadap flu burung. para peternak menggunakan ramuan tradisional guna mensiasati
mahalnya vaksin dan antibiotik buatan pabrik serta belum adanya obat yang benar-benar
bisa menyembuhkan unggas dari flu burung. Warga Mojokerto, pasca penetapan
endemis flu burung masyarakat sudah sadar dan mengerti penanganan unggas yang
terkena flu burung. Satu kesadaran masyarakat terdapat di Kecamatan Sooko. Di Desa
Jampirogo banyak warga yang mengetahui cara mengantisipasi penyebaran virus flu
burung, misalnya dengan cara membersihkan kandang secara rutin.
Adanya kecemasan akan flu burung membuat masyarakat menjauhi sementara
berbagai produk unggas yang beredar di pasaran. Mereka takut akan adanya produk
unggas yang terkontaminasi flu burung beredar dan mereka konsumsi. Pada dasarnya,
seperti yang dijelaskan di bab sebelumnya, virus flu burung ini bisa mati jika produk
unggas tersebut direbus pada suhu di atas 60º Celcius, namun masyarakat lebih memilih
aman untuk tidak mengkonsumsi sementa produk unggas di Jawa Timur. Mereka
mengganti kebutuhan akan protein hewani dengan bahan makanan lain untuk sementara
waktu demi menghindari tertularnya penyakit flu burung. Beberapa masyarakat yang
mengerti akan pencegahan flu burung tetap mengkonsumsi unggas. Mereka memasak
produk unggas tersebut sesuai dengan ketentuan dan memilih produk unggas yang
masih terlihat segar di pasar. Mereka juga mensiasati dengan menyembelih sendiri
unggas hidup yang mereka beli, sehingga mereka menjadi lebih puas akan kebersihan
unggas yang akan mereka makan.
172 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 KESIMPULAN
Flu Burung merupakan sebuah penyakit yang baru dikenal di Jawa Timur maupun
Indonesia. Virus ini pada awalnya tersebar dari wilayah Eropa daratan, kemudian
menyebar ke wilayah lain melalui migrasi tahunan unggas. Flu Burung masuk ke
Indonesia pertama kali pada 2003. Jawa Timur dengan populasi unggas terbesar di
Indonesia menjadi daerah yang ditetapkan pandemi flu burung. Penularan penyakit
tersebut juga terjadi pada manusia. Korban jiwa virus flu burung di Jawa Timur
diakibatkan adanya kontak dengan unggas yang mati terkena flu burung. Selain kotak
dengan unggas, tata cara penanganan unggas mati juga menjadi salah satu penyebab
penularan ke manusia. Beberapa masyarakat masih membuang begitu saja unggas yang
mati.
Angka kematian unggas yang besar, mencapai 90%, membuat resah masyarakat.
Unggas yang mati terkena flu burung biasanya terjadi secara mendadak dan jumlah
yang besar. Hal tersebut karena unggas tersebut juga dipelihara secara luas di
masyarakat dalam skala kecil untuk konsumsi pribadi. Timbulnya korban manusia juga
menjadi keresahan masyarakat. Korban jiwa virus flu burung di Jawa Timur diakibatkan
adanya kontak dengan unggas yang mati terkena flu burung. Selain kotak dengan
unggas, tata cara penanganan unggas mati juga menjadi salah satu penyebab penularan
ke manusia. Selain adanya kepanikan dari manusia, juga menimbulkan keresahan dari
segi ekonomi. Banyaknya kerugian materiil disebabkan mati mendadaknya ayam yang
siap panen di peternakan ayam. Hal tersebut membuat perekonomian terganggu karena
besarnya potensi ekonomi dari perunggasan di Jawa Timur.
Keresahan yang terjadi di masyarakat tidak serta merta dibiarkan oleh
pemerintah Provinsi Jawa Timur. Instansi terkait seperti dinas peternakan dan dinas
kesehatan Provinsi Jawa Timur bergerak cepat dalam mengatasi penyebaran dan
mencegah flu burung. Selain adanya perintah dari pusat, hal tersebut dilakukan untuk
mengurangi keresahan masyarakat akibat dampak flu burung. Dinas terkait melakukan
langkah-langkah strategis dalam mengatasi flu burung, antara lain adalah pemberian
vaksin kepada unggas, pembersihan kandang-kandang unggas yang menjadi daerah
endemis di Jawa Timur, edukasi kepada peternak dan masyarakat tentang flu burung.
Langkah yang dilakukan terhadap unggas-unggas juga dibarengi dengan fasilitas
kesehatan untuk manusia yang tertular flu burung. Dinas kesehatan Jawa Timur
173 menyiapkan rumah sakit untuk rujukan pasien flu burung. Dari penanganan yang
dilakukan seluruh komponen masyarakat Jawa Timur, mendapatkan hasil meredanya
kasus Flu Burung di Jawa Timur. Kasus flu burung di Jawa Timur berkurang secara
signifikan pada tahun 2012. Diharapkan provinsi Jawa Timur bebas dari flu burung
sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
“Flu Babi + Flu Burung RI = Maut” dalam Koran Surya, 29 April 2009.
Alexander, D.J dan I.H Brown. History of Highly Pathogenic Avian Influenza 2009.
BPS. 2007. Jawa Timur Dalam Angka 2007. Surabaya: Badan Pusat Statistik Jawa
Timur, 2007
BPS. 2010. Lamongan Dalam Angka 2010. Lamongan: Badan Pusat Statistik
Lamongan,.
Budiardjo, M. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Depkominfo. 2008. Flu Burung, Ancaman dan Pencegahan. Jakarta: Departemen
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Handinoto. 2007. “Surabaya Kota Pelabuhan (‘Surabaya Port City’)” dalam Dimensi
Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1, Juli.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia.
Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 414/Menkes/SK/IV/2007
Tentang penetapan Rumah Sakit Rujukan Penanganan Flu Burung (Avian
Influenza).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1372/MENKES/SK/IX/2005
tertanggal 19 September 2005 tentang Penetapan Kejadia Luar Biasa (KLB) Flu
Burung (Avian Influenza).
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Owen, N.G. 1987. Death and Disease in Southeast Asia: Explorations in Social,
Medical and Demographic History. Inggris: Oxford University Press.
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Penanganan Flu Burung
174 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018
Dalam Mengantisipasi Pandemi Influenza Pada Manusia Di Jawa Timur.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2006 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu
Burung (Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza.
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pengendalian
Pemeliharaan Dan Peredaran Unggas.
Wawancara Dedi Laksmana, Blitar, 23 Mei 2017
175
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
ADAPTASI DAN PERUBAHAN NASIONALISME DI INDONESIA
Sri Ana Handayani
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Pos-el: [email protected]
ABSTRACT Nationalism has been a hot topic in Indonesia, in relation to events in the country concerning ethnical, religious and group issues. For this reason, a study on Indonesian nationalism from a historical perspective is important. This article empoyed a historical method consisting of four major stages, heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The approach used here is semiotics that analyzes word usage. The conclusion of this study is that the Indonetian nationalism during the colonial era had an anti-colonial nature. The nationalism that grew during the Old Order was an unfinished revolutionary nationalism which eventually led to national and regional turmoils in the country. Nationalism of the New Order era related to the stability of state and nation security with xenophobic attitude, more towards state-oriented nationalism rather than nation-oriented one. During the era of reform, nationalism tends to be associated with the economic needs, namely the creative economy. Thus, nationalism in Indonesia has experienced adaptation and change in meaning over time, from the symbol of resistance to a symbol of creative middle class growth. Keywords: nationalism, xenophobia, state-oriented, nation-oriented
ABSTRAK Nasionalisme menjadi perbincangan yang hangat di Indonesia, sehubungan dengan berbagai kejadian di tanah air yang berkaitan dengan isu-isu suku, ras, dan golongan. Untuk alasan ini kajian tentang nasionalisme dari perspektif historis sangat penting. Kajian ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah semiotika yang menganalisis penggunaan kata. Kesimpulan yang didapat dari kajian ini adalah nasionalisme yang tumbuh masa pergerakan merupakan nasionalisme anti penjajah. Nasionalisme yang berkembang masa Orde Lama adalah nasionalisme revolusi belum selesai yang pada akhirnya menimbulkan gejolak kebangsaan dan kedaerahan di Indonesia. Nasionalisme Orde Baru berkaitan dengan stabilitas keamanan negara dan bangsa dengan sikap xenophobia, lebih kearah state oriented dibandingkan dengan nation oriented. Pada Era Refomasi, nasionalisme cenderung dikaitkan dengan kebutuhan ekonomi, yaitu ekonomi kreatif. Dengan demikian, nasionalisme di Indonesia mengalami adaptasi dan perubahan makna dari waktu ke waktu, dari simbol perlawanan menjadi simbol pertumbuhan kelas menengah yang kreatif. Kata kunci: nasionalisme, xenophobia, berorientasi negara, berorientasi bangsa
176 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018
PENDAHULUAN
Sebagai negara kebangsaan, Indonesia mempunyai berbagai konsep yang berasal dari
Barat. Istilah nasionalisme sendiri menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh karena
memiliki akar yang panjang dalam perkembangan sejarah bernegara dan berbangsa bagi
masyarakat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia sendiri konsep nasionalisme baru
dipelajari sekitar awal abad ke-20 oleh para tokoh pergerakan nasional.
Konsep-konsep Barat banyak digunakan di Indonesia, kemudian diadaptasikan
dengan dengan pemahaman lokal, di satu sisi ada konsep yang berhasil diadaptasikan
dan diterima, di sisi lain ada konsep yang diadaptasikan tetapi tidak dapat diterima,
bahkan ada juga konsep Barat yang pada akhirnya justru dianggap sebagai hal yang
ditabukan untuk dibicarakan di ranah politik juga diranah sosial. Lombard mengatakan
bahwa istilah nasionalisme merupakan salah konsep Barat yang dapat diterima dalam
arti yang tepat oleh masyarakat Indonesia (Lombard, 2005:167).
Nasionalisme di Indonesia menarik untuk dikaji secara historis, karena dalam
perjalan waktu, istilah nasionalisme ini mengalami masa pasang surut dalam pengertian
politik maupun sosial. Pemetaan pemahaman nasionalisme di wilayah Indonesia
memerlukan keinginan politik dan sosial, karena hal ini akan menggambarkan seberapa
besar hasrat bangsa Indonesia untuk memahami konsep nasionalisme ditengah
gempuran berita-berita yang mengglobal.
Bangsa Eropa memahami arti nainalisme melalui proses yang panjang, diawali
dengan kebangkitan pemikiran masa renaisan sampai dengan masa pencerahan. Dalam
proses pencerahan terjadi perubahan pemikiran yang melahirkan berbagai revolusi
sosial, seperti yang terjadi di Perancis, dan Italia. Revolusi Perancis dipelopori dan
dipimpin oleh kaum nasionalis (Adisusilo, 2013:114). Kaum nasionalis menggulingkan
kekuasaan monarki dengan memobilisasi masa dan menggunakan prinsip egalite
(persamaan derajat), liberte (kebebasan), dan fertinite (persaudaraan) . Ketiga slogan ini
menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa mereka bersama-sama mempunyai hak
yang sama atas negara serta mempunyai tanggung jawab yang sama pula
(Adisusilo,2013:114).
177 Latar belakang pertumbuhan pemahaman nasionalisme di Indonesia berbeda
dengan negara-negara di Eropa, walaupun konsepnya sama akan tetapi nuansa
nasionalisme dibalut dengan anti kolonialisme. Hal ini berkaitan dengan perkenalan
konsep nasionalisme dalam era penjajahan Hindia Belanda. Dewasa ini penjajahan
asing tidaklah kentara secara nyata, akan tetapi merasuki seluruh kehidupan rakyat, baik
dalam hal ideologi, sosial budaya, maupun ekonomi. Retorika nasionalisme sudah
diganti oleh para politisi, pembisnis, dan bahkan cendekia dalam konteks yang berbeda
dengan konsep nasionalisme awal kemerdekaan. Nasionalisme menjadi perbincangan
hangat di antara mereka, bahkan nasionalisme diperbincangan lebih kepada state
oriented daripada nation oriented. Dalam situasi inilah nasionalisme Indonesia menjadi
topik yang memikat untuk diperbincangkan.
Tulisan ini merupakan kajian sejarah. Dengan demikian, metode penelitian yang
digunakan adalah metode sejarah. Metode sejarah mempunyai empat tahapan kerja,
yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Gottschalk,1987:3).Heuristik
merupakan tahapan pengumpulan sumber yang sesuai dengan tema. Sumber primer
diperoleh dari dokumen, koran sejaman yaitu Kompas, serta tulisan dari orang yang
mengalami langsung kejadian. Sumber sekunder berupa referensi kajian-kajian yang
berkaitan dengan nasionalisme. Sumber primer dan sekunder didapatkan dari
perpustakaan pribadi, ruang baca Jurusan Sejarah, dan ruang baca Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jember. Tahapan kritik merupakan tahapan untuk menentukan orisinalitas
dan otentitas dari sumber yang didapatkan oleh peneliti. Interpretasi merupakan analisis
dari berbagai peristiwa berdasarkan sumber. Historiografi merupakan gambaran atau
penuangan peristiwa dalam bentuk cerita.
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji nasionalisme ini adalah pendekatan
semiotika. Semiotika berarti menggambarkan dengan tanda, di mana dalam bahasa pun
ada sebuah makna.Nasionalisme merupakan konsep yang abstrak, akan tetapi
mempunyai makna tersendiri bagi orang-orang yang mengkajinya. Teori yang
digunakan dalam kajian ini adalah teori semiotika dari Marcel Danesi yang mengatakan
bahwa simbol mempunyai arti yang penting untuk merepresentasikan keseluruhan
situasi. Pengetahuan untuk merepresentasikan situasi fisik dalam kehidupan secara
simbolis adalah pencapaian benak manusia yang benar-benar luar biasa (Danesi,
2004:130).
178 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018
PEMBAHASAN
1. Nasionalisme Era Pergerakan Nasional
Masa pergerakan nasional merupakan masa yang sangat krusial bagi masyarakat
bumiputera, karena pada masa inilah bibit pemahaman berbangsa dan bernegara belum
begitu banyak dipahami. Bumiputera sebagai warga yang terjajah hanya mempunyai
prinsip bagaimana dapat bertahan hidup di negerinya sendiri. Kesenjangan budaya
antara masyarakat yang menjajah dengan terjajah mengakibatkan perbedaan pandangan
dalam memahami bernegara. Bernegara bagi bumiputera tidak terlepas dengan sistem
kekuasaan feodalis yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang abstrak dan sarat
dengan mitos, sementara pemerintah Hindia Belanda yang menjadi kolonialis
mengunakan sistem bernegara barat yang bersifat kongkrit (Anderson,1986).
Realitanya, sistem pemerintahan Hindia Belanda di wilayah jajahannya
menerapkan sistem pemerintahan yang bersifat dualisme. Disatu sisi pemerintah Hindia
Belanda menerapkan sistem birokrasi modern baik dalam sistem politik, ekonomi,
maupun kehidupan sosial, hal ini berkaitan dengan kepentingan kehidupan orang-orang
kulit putih yang berada di Hindia Belanda. Di sisi lain, pemerintah Hindia Belanda tetap
menerapkan sistem pemerintahan tradisional untuk untu keberlangsungan kekuasaan
dan kepentingan masyarakat bumiputera. Dalam perkembangannya selanjutnya,
pemerintahan Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan modern yang berbeda
dengan negeri induknya.
Politik pemerintahan Hindia Belanda berubah sekitar tahun 1870-an, karena ada
desakan dari para wirausahawan negeri Belanda yang menginginkan adanya pihak
swasta dalam mengelola kekayaan Hindia Belanda. Dengan kedatangan para usahawan
swasta ke Hindia Belanda untuk mengelola tanah dan kekayaan lain yang potensial,
maka pemerintah Hindia Belanda mulai melonggarkan aturan-aturan yang ketat, yang
berkaitan dengan sistem ekonomi tanam paksa. Ada perubahan dalam memaknai
kebebasan atau liberalis, walaupun masih terbatas di bidang kewirausahaan. Kebebasan
berusaha yang didominasi oleh orang kulit putih dan tetap yang memegang kendali
kegiatan tanaman ekspor, sementara bumiputera tetap dalam posisi yang tidak
menguntungkan. Memang ada perubahan, terutama buruh perkebunan, mereka tidak
179 lagi sebagai buruh yang wajib kerja tanpa bayaran, tetapi menjadi buruh yang menerima
upah. Sementara elite politik bumiputera belum banyak berubah dari pemikiran yang
bersifat feodalis tradisional.
Baru pada awal abad ke-20, kondisi bumiputera menjadi perhatian para politikus
Belanda yang beraliran humanis, Sejalan dengan desakan yang kuat dari golongan ini,
maka pemerintahan Hindia Belanda menerapkan kebijakan politik Etik atau politik
Balas Budi .
Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program politik etis atau balas budi.
Program yang berkaitan dengan irigasi, edukasi, dan imigrasi merupakan program untuk
meningkatkan taraf hidup bumiputera. Dari ketiga program yang dijalankan oleh
pemerintah Hindia Belanda, program pendidikan yang berjalan dengan cepat dan dapat
diterima oleh masyarakat bumiputera. Sentuh budaya cara berpikir orang Barat dengan
pendidikan bumiputera, membuka cakrawala baru tentang dunia yang mengglobal pada
waktu itu. Banyak hal-hal baru yang dapat dipelajari melalui pendidikan, masyarakat
yang sudah mengenyam pendidikan dapat mempelajari buku-buku yang sudah dicetak
dalam huruf latin dan menggunakan bahasa yang sekarang dapat dipahami. Cakrawala
baru inilah yang menentukan perubahan berpikir segelintir masyarakat bumiputera
untuk memahami arti kemerdekaan sebagai suatu bangsa.
Pendidikan modern telah melahirkan homines novi (orang baru), kaum ini berhasil
menaikkan status sosial dan prestise sosialnya. Golongan inilah yang memegang
peralihan penting dalam masa pergerakan nasional di Indonesia (Kartodirdjo, 1969:55).
Bumiputera yang telah mengenyam pendidikan dan masuk ke dalam golongan terpelajar
secara perlahan mulai mengenal bahasa di luar bahasa daerahnya terutama bahasa asing
Eropa (Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, dan sebagainya). Cukup menarik untuk
dikaji mengenai kosa kata dan konsep nation dan nationalism. Bahasan tentang bangsa
(nation) inilah yang pada akhirnya dapat mengerahkan masyarakat dan menghimpun
legitimasi bagi sebuah perjuangan kemerdekaan dengan mengatas namakan kepentingan
rakyat dalam pengertian bukan kepentingan pelajar yang terpelajar, tetapi bagi
kepentingan seluruh bumiputera, baik yang terpelajar maupun yang belum terpelajar.
Kosa kata seperti nasionalisme, Indonesia, merdeka, dan sebagainya pada awalnya
lebih banyak diserap dan digunakan oleh bumiputera (berasal dari berbagai daerah
Hindia Belanda) yang belajar di negeri Belanda. Para pelajar yang berada di Belanda
180 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 mendirikan perkumpulan pelajar dengan nama Indische Vereniging (Perhimpunan
Hindia) pada tahun 1908 (Nagazumi,1986:136). Sementara di Hindia Belanda, baru
segelintir orang yang mengenyam pendidikan modern yang sadar akan kedudukannya
sebagai bangsa yang dijajah. Untuk itu sebagian orang inilah yang mulai memikirkan
kosa kata yang mengenakan untuk perjuangannya di kelak kemudian hari, salah satunya
adalah Soekarno.
Bahasa daerah yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari tidak memungkinkan
adanya satu pemikiran akan suatu konsep baru dari Barat, dan hal ini yang cukup
menyulitkan bagi perkembangan pemahaman baru yang abstrak dalam perbedaan
bahasa bumiputera. Momentum yang sangat berharga adalah pada saat para pemuda
menyatakan kebersamaan dalam forum pertemuan organisasi pemuda yang
mengeluarkan sumpah kebersamaan dalam perjuangan, yaitu Sumpah Pemuda.
Momentum kebersamaan inilah yang pada dasarnya mempermudah membumikan kosa
kata Barat, salah satunya tentang kosa kata nasionalisme. Nasionalisme ini dipahami
sebagai cinta tanah air dan terbebas dari kekusaan asing (Lombard, 2005:136).
Nasionalisme yang lahir masa pergerakkan nasional ini melahirkan arti untuk
berbangsa dan bernegara yang merdeka dari kekuasaan Hindia Belanda. Dengan
demikian lahir berbagai pergerakkan berdasarkan agama, ideologi, golongan, dan
sebagainya yang pada intinya ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan Hindia
Belanda. Keberhasilan bangsa Indonesia membentuk negara kebangsaan melalui tokoh
proklamator Soekarno-Hatta dengan cara menyatakan diri sebagai bangsa yang
merdeka, pada tanggal 17 Agustus 1945. Nasionalisme kemerdekaan terbentuk seperti
yang dipahami dalam konteks positivis, yaitu perasaan yang sangat mendalam dan
kesetiaan individu hanya untuk Negara kebangsaan, nasionalisme ini merujuk kepada
pengertian keyakinan sekelompok orang mengenai bangsa (Kohn,1979).
2. Nasionalisme Era Orde Lama
Bangsa Indonesia memasuki babakan baru dalam kehidupan bernegara dan berbangsa
pada masa revolusi fisik. Pada masa revolusi fisik, berbagai rintangan datang, baik dari
pihak bangsa asing maupun bangsa Indonesia sendiri. Indonesia yang baru merdeka
berusaha untuk berdiri dan mempertahankan keinginan untuk tidak dikuasai oleh bangsa
asing. Jargon-jargon politik mulai tumbuh untuk mengubah mentalitas bangsa Indonesia
181 agar bertahan dalam berbagai kesulitan. Revolusi mulai didengungkan, dan diapahami
rakyat sebagai perlawanan terhadap penjajahan asing. Revolusi dan nasionalisme saling
bergema untuk mengobarkan semangat mempertahankan dan meraih kembali kebebasan
bernegara oleh bangsa sendiri. Pada akhirnya tahun 1950-an, Indonesia berhasil keluar
dari kemelut perjuangan bangsa dengan bangsa asing di satu sisi, dan berhasil
menyatakan bangsa dalam pilar besar dengan jargon revolusi.
Dalam perjalanan waktu, terjadi perpecahan politik antara Soekarno-Hatta, karena
adanya perbedaan pandangan dalam membangun bangsa. Hatta yang lebih tenang
menginginkan pendidikan politik bagi masyarakat secara bertahap, dan membangun
ekonomi rakyat melalui pinjaman yang terbatas. Di Sisi Lain, Soekarno menggunakan
slogan revolusi belum selesai, jadi pada intinya nasionalisme tetap memerangi
kolonialisme, leberalisme, dan imperialisme. Tanggal 1 Desember 1956 Hatta
mengundurkan diri sebagai wakil presiden, karena pandangan membangun bangsa di
antara keduanya semakin berbeda, bahkan Hatta merasa bahwa Seokarno sudah
menjurus kearah penguasaan tunggal (Noor, 2012:148-149).
Bangsa Indonesia yang masih terbuai dengan pemerintahan sendiri, pada awal
orde lama lebih memahami revolusi belum selesai, sehingga yang ada di dalam
benaknya adalah melenyapkan kolonialisme dan imperialism asing dalam hal ini
Amerika dan Eropa. Kebijakan pemerintah lebih kepada kebijakan politik memusuhi
dua kekuatan asing ini. Bahkan pada masa pemerintahan orde lama akhir apa yang
dinamakan NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis), tiga pilar kekuatan yang
dapat menyatukan bangsa dan menanggkal pengaruh impreialisme Barat. Bahkan,
pendapat Seokarno tentang revolusi belum selesai menyeret Indonesia ke dalam kancah
peperangan dengan Malaysia yang dianggap sebagai bagian dari imperialisme Inggris.
Pasang surut kekuasaan orde lama membawa bangsa Indonesia ke dalam
kemiskinan, karena slogan revolusi belum selesai yang dibangun adalah politik idologi,
yang mengarah kepada demokrasi terpimpin. Demokrasi Barat yang dipadukan dengan
feodalime timur. Beragam pendapat tentang konsep demokrasi terpimpin tidak
menyelesaikan permasalahan mendasar lainnya, yaitu kehidupan ekonomi bangsa.
Aspek ekonomi terpinggirkan dalam perjalanan amanah Undang-Undang Dasar 1945.
Aspek ekonomi melalui revolusi Banteng, berdiri di atas kaki sendiri, dan mengurangi
peran orang China yang terkenal dengan istilah Ali-Baba tidak terleasisasi. Bahkan,
182 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 bangsa Indonesia terjerat dalam inflasi yang sangat tinggi. Kondisi ekonomi dan politik
yang tidak kondusif, mengakibatkan pemberontakan dan demonstrasi besar-besaran dari
anak bangsa, terutama dari golongan mahasiswa.
Konsep nasonalisme yang dikaitkan dengan revolusi belum selesai mengalami
pergeseran makna. Hal ini dikarena kondisi ekonomi dan politik dalam negeri tidak
terkontrol secara seimbang. Tantangan semakin besar, karena bukan masalah
imperialisme dan kolonialisme semata, tetapi juga masalah ideologi lain yaitu
komunisme yang dianggap juga merongrong kewibawaan pemerintah. Kondisi ekonomi
yang semakin buruk dan pertentangan ideologi semakin komplek, menyeret bangsa
Indonesa dalam tragedi yang dikenal sebagai tragedi gerakan 30 September tahun 1965.
Tragedi inilah yang mengakhiri kekuasaan dan kekuatan orde lama, dan melahirkan
pemerintah yang baru yang di kemudian hari dikenal sebagai Orde Baru.
3. Nasionalisme Era Orde Baru
Orde Baru dibangun di atas luka bangsa karena adanya pertentangan ideologi yang
hampir memporakporandakan bangsa. Pertentangan ideologi yang keras, pada akhirnya
melumpuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengatasi permasalahan
bangsa yang kompleks, maka orde baru berusaha untuk merajut persatuan bangsa. Salah
satu dari kebijakannya adalah tidak memperbolehkan ideologi komunis berkembang di
Indonesia.
Pemerintah orde baru berusaha untuk memperbaki dan menegakkan kembali
kewibawaan negara dan bangsa melalui pembangunan yang dikenal dengan
modernisasi. Konsep revolusi belum selesai diubah dengan konsep pembangunan.
Pembangunan ini bertahap yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun (Pelita),
dari masyaragat agraris menuju masyarakat industri. Pembangunan menjadi gaung yang
sangat intens dalam mengubah masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang modern.
Pembangunan sebuah bangsa berkaitan dengan nasionalisme dan ketahanan
negara sebagai negara bangsa (nation state), yang memiliki kedaulatan atas atas wilayah
yang menjadi miliknya (Tirtosudarmo, 2011:22). Untuk membangun bangsa, maka
pemerintah Orde Baru mempunyai kebijakan yang bersifat sentralistik, karena ada
faktor yang melatarbelakanginya, antara lain:
183 1. Adanya kekhawatiran terhadap persatuan nasional dan munculnya kekuatan yang
memecah persatuan.
2. Sentralisasi diperlukan dalam rangka memelihara keseimbangan politik dan
keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara Jawa yan dihuni oleh
sebagian besar rakyat Indonesia dan luar Jawa yang memiliki sebagian besar sumber
Ekonomi.
3. Pengalaman politik yang dialami Indonesia sekitar tahun 1965, sehingga pemerintah
ingin tetap memegang kendali kebijaksanaan ekonomi.
Pemerintahan Orde Baru menggulirkan ideologi pembangunan atau
developmentalism melalui pelaksanaan berbagai program modernisasi dan
industrialisasi (Manam dan Thung Ju Lan, 2011:11). Bersamaan dengan penerapan
program pembangunan, persoalan nasionalisme tetap menjadi milik elite yang
cenderung dikaitkan dengan ketahanan negara. Secara ekonomi, bangsa Indonsia
mengalami perbaikan dibandingkan masa Orde Lama. Akan tetapi, keberhasilan
ekonomi tidak diimbangi dengan kebebasan berpendapat.
Pemerintah Orde baru membuat berbagai kebijakan baik dibidang politik, sosial,
maupun ekonomi cenderung dimaknai sepihak oleh pemerintah.dalam rangka
memperkokoh integrasi kekuasaan elite penguasa yang justru memperkokoh semua
unsur otoriter Orde Baru daripada suatu integrasi nasional. Stabilitas politik cenderung
mengarah kepada stabilitas kekuasaan tanpa memikirkan stabilitas pemerintahan,
sementara pertumbuhan ekonomi hanya dapat dinikmati oleh penguasa, segelintir elite
birokrat, serta para pengusaha yang dekat dengan kekuasaan (Haris, 2011:11).
Kebijakan yang diterapkan secara sentralistik di bidang ekonomi dan politik di
seluruh Indonesia dengan pendekatan modern, telah melumpuhkan berbagai kearifan
lokal yang dapat menunjang pembangunan itu sendiri. Di samping itu, kebijakan yang
seragam ditunjang dengan pendekatan keamanan yang represif, menindas, dan
menafikan aspirasi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik hampir tidak ada.
Pemerintah Orde Baru menerapkan strategi ganda disatu sisi kooporatisme negara, di
sisi lain depolitisasi massa.
Pembangunan ekonomi dengan tujuan kesejahteraan masyarakat belum tercapai
seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, karena kebijakan ekonomi
yang mengolah kekayaan sumber daya alam daerah belum diimbangi dengan hak atas
184 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 hasil bagi yang proposional dan adil dengan daerah bersangkutan. Pada dasarnya secara
makro perkembangan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru relative tinggi. Akan
tetapi, karena tidak imbang dalam pembagian produknya telah menimbulkan
ketimpangan pembangunan itu sendiri. Hasil dari pembangunan ekonomi hanya dapat
dirasakan oleh segelintir masyarakat yang erat dengan kekuasaan, birokrasi, serta
pengusaha yang dekat dengan penguasa.
Hegemoni pemerintah terhadap kehidupan politik masyarakat sangat kuat,
nasionalisme yang terbentuk menjadi state-oriented bukan nation_oriented. Rasa
kebangsaan dipupuk melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Program ini, diberlakukan bagi seluruh bangsa Indononesia sejak seseorang duduk
sebagai siswa sekolah menengah. Kesetiaan seseorang terhadap negara bangsa harus
ditunjukkan kepada kesetiaan seseorang terhadap pemimpin tanpa membantah.
Di bidang sosial budaya terjadi pergeseran pengertian gotong royong dan azas
kekeluargaan, di mana dalam birokrasi dan partai politik azas kekeluargaan berubah
menjadi keluarga sendiri yang berkuasa. Demikian juga yang lainnya. neologisme azas
yang mengandung kearifan lokal sangat berkurang. Bangsa yang menginginkan
kebebasan berpendapat tidak tersalurkan, karena dibatasi oleh berbagai peraturan
sepihak. Selain itu, tingkat korupsi yang tinggi di kalangan pejabat tinggi semakin tidak
tersentuh oleh hukum, karena aspek kekeluargaan dan eweh pakewuh.
Akan tetapi, di sisi lain nasionalisme terhadap banggsa sendiri dipupuk melalui
cara lain, seperi melalui anjuran dari atas (menteri), musik, dan budaya. Sekitar awal
tahun 1980-an, menteri perindustrian yang dijabat oleh Jendral M. Yusuf menggiatkan
cintailah produk dalam negeri. slogan cintailah produk-produk Indonesia, yaitu
membangkitkan rasa nasionalisme terhadap produk bangsa sendiri. Hal ini berjalan
karena bangsa Indonesia diserbu oleh produksi dari luar, bangsa Indonesia merasa
bergengsi tinggi apabila menggunakan produk dari luar. Dengan adanya slogan
mencintai produk sendiri. Diharapkan masyarakat akan membeli hasil karya anak
bangsa yang akan mendukung keberlangsungan perekonomian pengrajin lokal
khususnya. Bahkan, salah satu group band terkenal dari Bandung, yaitu Bimbo
mengeluarkan lagu yang berkaitan dengan nasionalisme yaitu cintailah produk
Indonesia melalui lagu Aku Cinta Buatan Indonesia. Semangat nasionalisme bukan
hanya di bidang politik saja, melainkan juga melalui teater, musik, dan budaya lainnya.
185 Nasionalisme era orde baru yang cenderung kearah state oriented, tidak
memberikan ruang yang bebas untuk kebebasan berpendapat karena Negara memegang
kontrol utama. Nasionalisme lebih diarahkan kepada kepatuhan terhadap pejabat,
birokrat, dan unsur atasan dengan alasan untuk keutuhan persatuan dan kesatuan
bangsa. Dalam rentang waktu sekitar 30 tahun orde baru berkuasa tumbuh dengan subur
korupsi, nepotisme, belenggu kebebasan berpendapat, dan kesenjangan sosial yang
semakin lebar menumbuhkan rasa ketidakpuasan segelintir masyarakat Indonesia yang
memahami cara berbangsa dan bernegara yang demokrasi. Hegemoni pemerintah
disegala bidang melahirkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan terutama dari
golongan generasi muda terhadap pemerintah Orde Baru, karena ruang demokrasi
semakin terbatas, eksplorasi rasa kebangsaan menjadi sangat berkurang.
Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia tidak dapat mengelak dari krisis moneter
yang mengglobal. Krisis ini melumpuhkan sendi perekonomian pemerintah Indonesia
yang berimbas pada tingkat inflansi yang sangat tinggi. Rakyat yang merasa tidak puas
dengan belenggu kebebasan secara politik, didera dengan kondisi ekonomi yang
menurun dratis, mengakibatkan demontrasi nasional dari seluruh golongan atau lapisan
masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa. Demontrasi nasional berhasil menggantikan
Orde Baru dengan Orde reformasi. Bagaimana nasonalisme dipahami oleh bangsa yang
berusaha untuk eksis di tengah gempuran krisis yang menghancurkan sendi-sendi
ekonomi yang telah dibangun satu dekade oleh pemerintahan Orde Baru.
4. Nasionalisme Era Reformasi
Eforia masyarakat atas keberhasilan mengganti sistem pemerintahan Orde Baru ke Orde
Reformasi membuat semangat reformasi diwarnai dengan berbagai usulan bernegara
dari berbagai pihak. Sistem pemerintahan dibenahi disesuaikan dengan pergerakkan
zaman. Gerakakan reformasi yang dimotori mahasiswa mengagendakan enam tujuan
utama, yaitu (1) adili Suharto dan kroni-kroninya, (2) Laksanakan amandemen UUD
1945, (3) hapuskan Dwi Fungsi ABRI, (4) Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya,
(5) tegakkan supermasi hukum, dan (6) ciptakan supermasi hukum. Dalam proses
perjalan berbangsa dan bernegara, tidak semua tuntutan gerakan reformasi terpenuhi.
Akan tetapi, bagaimana dengan perasaan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara yang terbungkus dalam nasionalisme?
186 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 Nasionalisme harus diletakkan dalam konteks zaman. Nasionalisme era reformasi
menghadapi tangtangan yang berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya, di mana
permasalahan yang dihadapi Negara semakin kompleks. Terlebih zaman reformasi
adalah zaman teknologi gawai yang menciutkan dunia dalam sebuah dunia maya. Berita
yang mudah diakses, pertemanan yang semakin maya, berita-berita yang mudah
diakses, sistem ekonomi melalui daring yang semakin membumi mengharuskan
masyarakat Indonesia harus melek teknologi. Generasi muda Indonesia dewasa ini
berpotensi mengalami pergeseran dalam konsep dirinya mengenai komunitas imajiner.
Ketika koneksitas teknis semakin kuat, maka ada kecenderungan konektisitas dalam
rasa dan berbangsa akan merenggang. Kemajuan teknologi dunia harus diimbangi oleh
nasionalisme, agar tidak terjebak dalam kelunturan nasionalisme itu sendiri.
Bagaimana generasi muda di Indonesia pada tahun 1928 mampu menciptakan
sistem keyakinan dan simbol dalam pertautan akar-akar sosiokultural yang melintas
batas keetnisan, geopolitik, geografi, bahasa yang membuka wawasan bangsa menuju
pembentukan nasionalisme kewargaan yang luas dan inklusif (Latif, 2017:6). Akan
tetapi, tantangan masyarakat Indonesia dalam membentuk nasionalisme era reformasi
berbeda dengan masa generasi sebelumnya, karena tantangan yang dihadapi berkaitan
dengan tarikan global kearah demokrasi di tengah gempuran teknologi canggih yang
semakin mengglobal.
Di tengah situasi yang semakin kompleks, masyarakat Indonesia harus dapat
berdiri atas kaki sendiri dalam membangun bangsa dan negara. Tantangan demokrasi ke
depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik dan politik pengakuan yang
menjamin hak individu maupun kesetaraan hak atas aneka kelompok budaya sehingga
dapat berdampingann secara damai dan produktif dalam republik Indonesia.
Dewasa ini, pemerintah mencanangkan nawa cita untuk mengubah mental bangsa
Indonesia secara cepat, tujuannya agar dapat mengikuti arus zaman tanpa tenggelam
dalam kekuatan asing dunia. Rencana yang sudah di atur dalam instruksi presiden tahun
2016 tentang gerakan nasional revolusi mental dalam lima program yang harus
digalakkan, yaitu:
1. Gerakan Indonesia melayani
2. Gerakan Indonesia bersih
3. Gerakan Indonesia tertib
187 4. Gerakan Indonesia mandiri
5. Gerakan Indonesia bersatu
Tujuan dari nawa cita ini adalah mengubah dan memperbaiki karakter bangsa,
sasaran utamanya adalah sumber daya manusia yang andal sejak dini dalam rangka
memperkuat daya saing bangsa. Adapun tujuan utamanya adalah mengikis habis budaya
birokrasi yang malas, budaya priyayi yang selalu ingin dilayani, budaya korupsi, budaya
disiplin, budaya kreatif, dan sebagainya (Toha, 2017:6).
Dunia sedang mengalami proses globalisasi yang digerakkan oleh ilmu
pengetahuan dan eknologi yang mampu melampaui batas ruang dan waktu. Dalam
proses globalisasi, ekonomi pasar akan mempengaruhi negara bangsa di dunia, Ekonomi
pasar akan mempengaruhi Indonesia secara nyata, maka dalam tataran tertentu, ekonomi
global dapat menghancurkan atau sebaliknya dapat menumbuhkan ekonomi suatu
negara bangsa, dalam arti bahwa ekonomi global atau pasar dapat mempengaruhi segi
ekonomi, politik, maupun masyarakat suatu bangsa yang dapat saja menjadi suatu
ancaman negara bangsa yang tidak siap menerima perubahan ekonomi pasar yang
sudah mengglobal. Di sinilah tantangan bangsa Indonesia, bagaimana membentuk
nasionalisme yang dapat mengimbangi bahkan mengungguli kekuatan bangsa lain.
Kemampuan Negara dan pemerintah dalam merawat, mengelola, dan terus
memperbarui nasionalisme sebagaimana imajinasi para pendahulunya sebagai pendiri
bangsa di wilayah Nusantara, tampaknya akan menjadi faktor kunci kearah mana
bangsa Indonesia akan menuju. Yudi Latif yang mengatakan bahwa dalam wawasan
Pancasila, kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai emansipatori (Latif,
2017:6). Sumber penindasan dapat datang dari homogenitas globalisasi maupun dari
partikularisasi lokalisme. Nasionalisme diharapkan dapat menjembatani perbedaan ini.
Diharapkan rasa kebangsaan Indonesia dengan dipandu nilai-nilai Pancasila dapat
mengantisipasi tantangan yang harus dihadapi dengan jalan menawarkan visi global
tanpa meninggalkan kearifan lokal.
KESIMPULAN
Nasionalisme dipinjam dari bahasa asing, akan tetapi dalam berkembangannya
pengertian nasionalisme menjadi membumi karena beberapa tokoh pergerakkan berhasil
memberi arti nasionalisme yang mengakar dengan tradisi lokal di berbabagai daerah di
188 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 Indonesia. Nasionalisme mengalami neologisme dalam perjalanan sejarah Bansa
Indonesia.
Pemahaman nasionalisme di Indonesia dari waktu ke waktu berubah, sesuai
dengan jiwa zamannya. Pada masa pergerakan nasional, nasionalisme dipahami sebagai
lawan dari kolonialisme dan imperialism yang pada waktu itu sedang merajai di belahan
dunia Timur.
Pada Masa kemerdekaan pun, konsep nasionalisme mengalami perubahan makna.
Masa Orde Lama nasionalisme lebih menekankan kepada pengertian revolusi belum
selesai yang berkaitan dengan tumbuhnya demokrasi terpimpin atau ke arah penguasaan
tunggal. Pada masa Orde Baru di mana konsep nasionalisme untuk membangun bangsa
itu lebih menekankan kepada stabilitas politik bangsa Indonesia, yang sangat tidak
menghendaki komunisme. Nasionalisme yang lahir lebih bersifat kepada ideologi
negara, di samping untuk membangun ekonomi bangsa menuju kesejahteraan
masyarakat. Era reformasi nasionalisme ditujukan untuk memujudkan cita-cita bangsa
yang tertuang dalam nawa cita. Berbagai aspek nasionalisme dikaitkan dengan
kecintaan terhadap negara. Nasionalisme dewasa ini adalah nasionalisme yang dapat
memadukan pengaruh global tanpa meninggalkan kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, S. 2013. Sejarah Pemikiran Barat dari yang KLasik sampai Modern. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Anderson, B.R.O’G. 1986. “The Idea of Power in Javanesse Culture”, dalam Claire Holt
(ed.), Culture and Politics In Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Gottschalk, L. 1987. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta,
Universitas Indonesia Press.
Kartodirdjo, S. 1969. “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial”,
dalam Lembaran Sejarah, No 4, Desember 1969. Yogyakarta: Seksi Penelitian
Djurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Kohn, H. 1979. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Latif, Y. 2017. “Respons Idealisme Muda”, dalam Kompas Sabtu 28 Oktober.
Lombard, D. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
189 Manam, M.A.dan Thung Ju Lan. 2011. “Nasionalisme dan Ketahanan Budaya
Indonesia sebagai Sebuah Problem Kontemporer”, dalam Thum Ju Land an
M’Azzam Manam, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya. Jakarta: LIPI bekerja
sama dengan Yayasan Obor.
Marcel, D. 2004. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Nagazumi, A. 1986. “Masa Awal Pembentukan Perhimpunan Indonesia Kegiatan
Mahasiswa Indonesiadi Negeri Belanda”, dalam Akira Nagazumi (ed.), Indonesia
dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Noor, Deliar. 2012. Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas.
Tirtosudarmo, R. “Nasionalisme dan Ketahanan Budaya: Beberapa Catatan dari
Prspektif Demografis”, dalam Thum Ju Lan an M’Azzam Manam (ed.),
Nasionalisme dan Ketahanan Budaya. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan
Yayasan Obor.
Toha, A. 2017. “Apa Kabar Revolusi Mental Jokowi?, dalam Kompas, Selasa 28
November.
JURNAL SEJARAH INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Hal 190-208, Mei 2018
ISSN : 2621-1580
REVITALISASI PEMBELAJARAN SEJARAH MELALUI KAJIAN NOVEL SEJARAH
Y.R. Subakti
Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma Pos-el : [email protected]
ABSTRACT In teaching their subjects, history teachers use more books and LKS as the source. The materials use scientific language and contain the facts of history in a brief and dense, making learners less interested and easily bored. This paper discusses the learning of history by using historical novels containing materials in accordance with the curriculum of history learning. Historical novels can help students as if experiencing their own events in the past making them more challenging and stimulating in learning. Learning history using novels can be done with a project-based learning approach that provides an opportunity for teachers to manage learning in the classroom by involving project work. Project work contains complex tasks based on problems and requires students to design, solve problems, make decisions, conduct investigations, and provide students with opportunities to work independently or in group. Bringing history novels into learning in the teacher's classroom has brought students to a new understanding of history. Historical novels can involve student emotions like the use of their cognitive ability when thinking of the history. Keywords: learning history, project-based approach, historical novels
ABSTRAK Dalam mengajar subyeknya, guru sejarah lebih banyak menggunakan buku paket dan LKS sebagai sumber. Bahan bahan ini menggunakan bahasa ilmiah dan berisi fakta-fakta sejarah secara singkat dan padat sehingga membuat peserta didik kurang berminat dan mudah bosan. Tulisan ini membahas pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sejarah yang memuat materi sesuai dengan kurikulum pembelajaran sejarah. Novel sejarah dapat membantu siswa seolah-olah mengalami sendiri peristiwa pada masa lalu sehingga lebih menantang dan merangsang dalam pembelajaran. Pembelajaran sejarah menggunakan novel dapat dilakukan dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Kerja proyek memuat tugas-tugas yang kompleks berdasarkan permasalahan dan menuntut siswa melakukan kegiatan merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan investigasi, serta memberikan kesempatan siswa untuk bekerja secara mandiri maupun kelompok. Dengan membawa novel sejarah ke dalam pembelajaran di kelas guru telah membawa siswa pada pemahaman baru tentang sejarah. Novel sejarah dapat melibatkan emosi siswa sebagaimana kognitifnya digunakan ketika memikirkan sejarah tersebut. Kata kunci: pembelajaran sejarah, pendekatan berbasis projek, novel sejarah
191 PENDAHULUAN
“Membosankan. Remeh. Formal. Hafalan sejak SD. Tidak paham makna dan
manfaatnya.” Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan trade-mark mata pelajaran
Sejarah. Sayang! Pendidikan Sejarah sering dianggap sia-sia karena dalam realitasnya:
dirasa sekadar pelajaran hafalan dan menjawab pertanyaan “yang diharapkan” oleh para
siswa, sehingga terjadi marjinalisasi mata pelajaran ini dari pihak manajemen sekolah,
orang tua, dan peserta didik sendiri. Pelajaran sejarah oleh peserta didik maupun para
pendidik dirasa sebagai pelajaran yang “kalah pamor” dan percuma karena belajar dan
mengajarkan sesuatu (teori) yang “tidak dapat diwujudkan”.
Edward Carr (1961:30) menyatakan, bahwa “history is a continuous process of
interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the
present and the past”, artinya sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus menerus
antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada padanya, suatu dialog yang tidak ada
akhirnya antara masa sekarang dengan masa silam”. Benjamin (1991:1-2) menguraikan
fungsi belajar sejarah:
By studying the record that previous generations have left, we can find
our about the kind of lives they led and how they faced their problems.
We can use what we learn about the experiences of people who lived
before us to help solve problems we face today. Though the modern
world is quite different from the societies in which our ancestor lived,
the story of their accomplishments and failuresnis only yardstick by
which we can measure the quality of our own lives and the success of our
social arrangements.
Wineburg (2007:6) menilai sejarah perlu diajarkan di sekolah karena memiliki
potensi untuk menjadikan manusia berkeperikemanusiaan. Lebih jauh Wineburg
menjelaskan bahwa jika dimanfaatkan dengan baik dengan menyelaraskan kebutuhan
kekinian dan mengabaikan yang tidak sesuai lagi, sejarah akan sangat berguna untuk
dipelajari sebagai sarana untuk belajar dari pengalaman kehidupan dengan tujuan
menatap masa depan agar lebih bermakna bagi kehidupan.
Melalui strategi yang tepat dalam memahami nilai-nilai sejarah, pembelajaran
sejarah dapat mempertinggi sikap kritis dan daya kreatif bangsa terutama untuk
192 menjawab berbagai tantangan bangsa pada masa kini. Pengajaran sejarah yang normatif
seperti ini dalam beberapa hal diakui oleh para ahli telah berperan dalam pewarisan
nilai-nilai luhur bangsa untuk memperkuat tujuan pendidikan. Mempelajari sejarah
bukannya sekedar untuk memahami masa lampau itu sendiri, tetapi bermakna dalam
pencarian pelajaran dan antisipasi masa kini dan mendatang. Hal ini sesuai pula dengan
ungkapan Seeley (dalam Wiriaatmadja, 2003:93) yang mempertautkan masa lampau
dengan sekarang dalam pemeonya ”We study history, so that we may be wise before the
event”.
Sebetulnya, seorang pendidik sejarah yang baik tidak hanya menguasai materi
sejarah dengan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global, tetapi juga mahir
menerapkan teknik dan metodologi mengajar agar relevan dengan tujuan-tujuan
pendidikan. Dalam menghadapi kehidupan saat ini, peserta didik tidak hanya
membutuhkan keterampilan intelektual saja, namun ia juga membutuhkan ketegaran,
keuletan, kesetiaan, kemampuan berinteraksi sosial, dan kemanusiaan sehingga
pendidikan sejarah di sekolah jangan hanya kental dengan pengembangan kegiatan
berpikir (ranah kognitif) dengan mengabaikan domain afektifnya dan pendidikan nilai.
Sangat kuat anggapan di kalangan siswa bahwa belajar sejarah tidak lain dari
belajar menghafal fakta-fakta. Pandangan yang demikian menyebabkan munculnya
sikap yang memperlihatkan rasa bosan, tidak tertarik pada bidang sejarah, dan merasa
belajar sejarah sebagai beban yang tidak ada gunanya. Banks (1985:226-227)
mengemukakan, mempelajari sejarah tidak hanya mempelajari apa yang tersurat dalam
buku-buku sejarah atau produk terhadap sejarah, tetapi bagaimana memecahkan
masalah sejarah tersebut melalui metodologi sejarah. Dengan demikian, siswa dapat
memahami mengapa kehidupan manusia selalu berubah (tidak ada yang abadi di dunia
ini kecuali perubahan).
Pada hakikatnya, pelajaran sejarah bukan hanya pelajaran yang menghafalkan
tokoh, tahun, dan tempat. Sebaliknya, sejarah selalu berhubungan dengan menafsirkan,
memahami, dan mengerti (Kuntowijoyo, 2008:2). Nilai terpenting dari pembelajaran
sejarah tersebut adalah ketrampilan pemahaman sejarah yang dapat diterapkan oleh
peserta didik, baik dalam kehidupan seharihari maupun dalam bidang lain seperti sosial,
budaya, dan politik.
193
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk dapat menafsirkan, memahami,
dan mengerti sejarah, guru sejarah lebih banyak menggunakan buku paket dan LKS
sebagai sumber. Bahasa yang digunakan dalam buku paket dan LKS ini merupakan
bahasa ilmiah yang cenderung akan membuat peserta didik mudah bosan. Buku paket
dan LKS yang diberikan kepada peserta didik berisi fakta-fakta peristiwa sejarah sejak
masa prasejarah hingga peristiwa kontemporer yang disajikan dengan singkat dan padat.
Buku paket dan LKS seolah memaksa peserta didik untuk menghafalkan semua materi
yang ada didalamnya. Akibatnya, selain membosankan, juga akan mengurangi minat
baca peserta didik.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan memberikan buku bacaan lainnya kepada peserta didik. Buku bacaan dengan
bahasa yang mudah dipahami dan memuat unsur sastra akan lebih menarik kepada
peserta didik. Buku bacaan seperti ini terdapat pada novel. Novel yang dimaksud disini
tentunya adalah novel sejarah yang memuat materi sesuai dengan kurikulum
pembelajaran sejarah. Novel sejarah akan lebih mudah dimengerti daripada sejarah
nonfiksi yang ilmiah karena bahasa yang digunakan lebih mudah dalam dipahami
(Howell, 2014:4).
Melalui novel sejarah diharapkan siswa lebih mampu mendalami setting sejarah
yang terjadi beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya. Dengan demikian siswa lebih
tertantang dan terangsang untuk mempelajari sejarah melalui bantuan novel sejarah.
PEMBAHASAN
1. Manfaat Novel dalam Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sejarah merupakan salah satu
pembelajaran afektif, sebab pembelajaran ini lebih menekankan pada internalisasi nilai.
Belajar afektif ciri khasnya terletak dalam belajar menghayati nilai dari objek-objek
yang dihadapi melalui alam perasaan, entah objek itu berupa orang, benda,
kejadian/peristiwa; ciri yang lain terletak pada belajar mengungkapkan perasaan dalam
bentuk ekspresi yang wajar. Dalam kajian psikologi belajar, sejak kecil orang harus
belajar menerima perasaannya sebagai bagian dari kepribadiannya sendiri. Dengan
194 demikian, dia mampu menguasai ungkapan perasaannya dan tidak kehilangan kontrol
rasional.
Pembelajaran sejarah dengan menggunakan media novel bisa menggunakan
teori belajar yang dikembangkan oleh Barbara K. Given, yaitu sistem pembelajaran
emosional. Given (2007: 79) memiliki keyakinan bahwa emosi negatif pasti
menghambat prestasi akademis, sementara emosi positif bisa meningkatkan perolehan
pengetahuan dan keterampilan. Emosi tidak dapat diabaikan dan sangat penting dalam
proses pembelajaran karena setiap emosi memotivasi siswa dapat mempengaruhi
kepribadian siswa dan pada akhirnya mempengaruhi kemampuan belajar mereka
(Given, 2007:119).
Sistem pembelajaran emosional harus dapat membantu siswa untuk
mengungkapkan gagasan dan aktivitas yang mereka sukai dan guru perlu memasukan
rencana pelajaran yang mengembangkan tujuan pribadi. Dalam pembelajaran emosional
guru harus mampu menyamakan langkah dengan emosi siswa, meskipun hal tersebut
memang tidak mudah. Given memberikan contoh pembelajaran emosional dalam
sejarah sebagai berikut. Ketika siswa belajar tentang tokoh sejarah, pembahasan di kelas
tentang bagaimana perasaan si tokoh dalam ketakutan, kesedihan, atau cita-cita apa
yang mendorongnya untuk bertindak- memberi sudut pandang emosional yang bisa
dirasakan siswa tanpa harus menarik perhatian terhadap dirinya sendiri. Selain itu
guru bisa menggunakan cerita (termasuk novel sejarah) untuk membantu anak-anak
mengenali beragam karakter. Cerita juga bisa mendukung kecakapan analitis remaja dan
memperhalus transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Siswa akan merasa
dibolehkan kembali mengenang masa lalu sambil membuat keterkaitan dengan tokoh-
tokoh cerita dengan cara yang lebih dewasa. Emosi bisa dibahas secara tidak langsung
melalui tokoh-tokoh itu sehingga siswa tidak merasa canggung (Given, 2007:126).
Sebuah karya sejarah, terkadang tidak saja bersumber pada data dan fakta
konvensional, seperti arsip, buku, ensiklopedi, surat, dan lain sebagainya, yang
kebanyakan hanya dapat menujukkan realitas di bagian permukaan saja. Akan tetapi,
harus pula dapat menggunakan sumber alternatif lain, terutama karya-karya sastra,
seperti novel, roman, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Memang karya sastra tidak
memisahkan unsur-unsur riil dan khayal. Namun demikian, sudah menjadi tugas
seorang sejarawan untuk memisahkan itu. Usaha mempergunakan berbagai karya sastra
195 lebih banyak membantu, daripada merugikan, terutama mendapatkan data sosial yang
sangat berharga dan tidak dapat didapatkan dari keterangan-keterangan sumber
konvensional yang terkadang hanya berupa data yang kaku sehingga tidak dapat
menggambarkan realitas yang terjadi pada masa lampau. Kekurangan itu sebenarnya
dapat diatasi menggunakan berbagai karya sastra. Novel, misalnya, walaupun ada nilai-
nilai yang bersifat khayal, namun pengambaran dalam novel adalah realitas yang
mewakili jiwa zamannya.
Esten (1990:40) mengungkapkan bahwa dengan memahami novel-novel sejarah
kita akan mendapatkan gambaran dari suatu proses perubahan sosial dan tata nilai, dan
kita akan melihat bahwa perkembangan novel-novel tersebut merupakan suatu
proses yang berpangkal dari perubahan sosial dan tata nilai tadi. Sastra sebagai sebuah
karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari
realitas kehidupan yang terjadi.
Fungsi novel sejarah juga berperan untuk menghidupkan akan gambaran masa
lalu yang menjadi pokok cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Novel
sejarah dapat membuat siswa memiliki kesempatan seolah-olah mengalami sendiri
peristiwa pada masa lalu, siswa dapat belajar bagaimana kebudayaannya, dan
membangun kepedulian pada sejarah. Novel sejarah memiliki kelebihan dalam hal
kedetilan dalam menyajikan data dan tema dan unsur-unsur lain yang perlu lebih di
explorasi. Konflik yang ada dalam sejarah menjadi riil kepada siswa sebab tokoh
didalamnya diperkenalkan pada dimensi manusia yang sebanarnya. Sukses dan
kekalahan mereka menimbulkan suatu tanggapan emosional dari pembaca. Tanggapan
ini dapat menggambarkan bahwa para siswa masuk dalam dunia masa lalu dan memiliki
perspektif dalam suatu dimensi historis.
Berikut beberapa pemahaman menghidupkan gambaran masa lalu dalam sejarah
melalui novel sejarah adalah :
a. Kesempatan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa pada masa lalu.
b. Membantu ”others” dalam sejarah dirasakan nyata dan hadir dalam kelas. Tujuan
novel sejarah adalah memungkinkan pembaca, melalui perspektif karakter-karakter
di dalam cerita, merasakan seolah-olah berada di tempat kejadian.
c. Menyelidiki berbagai kebudayaan dan berbagai pandangan tentang kejadian tertentu.
196 d. Memberikan makna pada berbagai pengalaman dalam sistem sosial, budaya, tempat
dan berbagai hal lainnya yang abstrak.
e. Memperdengarkan suara yang tidak terdengar dalam pola sejarah yang ”Grand
History”.
f. Mendapatkan pelajaran dari masa lalu mengenai rasa sedih, sakit, kekecewaan,
kemenangan, dan mimpi.
g. Media pengembangan daya imajinasi. Sejarawan, misalnya, hanya akan menarasikan
bahwa Gajahmada bepergian ke Bubat. Novelis akan bercerita lebih detail mengenai
apa yang dikenakan oleh Sang Mahapatih, apa pula yang dikendarai, dimakan, dan
dipikirkannya sepanjang perjalanan.
Beberapa contoh novel sejarah yang dapat dijadikan atau dimasukkan ke dalam proses
pembelajaran sejarah, sebagai berikut.
Ronggeng Dukuh Paruk. Karya Ahmad Tohari.
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dibuka dengan lanskap tatapan burung
(dalam arti sebenarnya, yakni sepasang burung bangau yang terbang di atas dukuh),
untuk memaparkan latar “sejarah” yang akan terjadi di sana. Ruang: Dukuh Paruk yang
dikelilingi ribuan hektar sawah kerontang. Waktu: dibuka di satu musim kemarau
panjang, sebelas tahun setelah 1946. Juga ditekankan bahwa penduduk dusun tersebut,
yang tinggal di dua puluh tiga rumah, berasal dari keturunan yang sama. Mereka terikat
persaudaraan darah dan daging. Ini penting untuk melihat, bagaimana peristiwa-
peristiwa yang terjadi, mencoba mencerai-beraikan ikatan persaudaraan ini.
Kedua tokoh utama segera diperkenalkan. Rasus, saat itu masih bocah berumur
tiga belas tahun. Ia digambarkan sebagai pemimpin di antara teman-temannya, paling
tidak digambarkan sebagai bocah paling cerdas. Ketika mereka kesusahan untuk
mencabut pohon singkong disebabkan tanah yang kering, sementara tak ada air untuk
melunakkan tanah, ia muncul dengan gagasan untuk mengencingi pangkal batang
singkong tersebut, dan berhasil mencabutnya.
Tokoh kedua, si gadis kecil Srintil. Ia masih berumur sebelas tahun ketika
pertama kali diperkenalkan. Tak seorang pun pernah mengajarinya berdendang atau
menari ronggeng, tapi ia bisa melakukannya nyaris sempurna. Itu membuat orang
197 percaya bahwa roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang merupakan semacam
wangsit di dunia ronggeng, dimana orang yang dirasukinya, dipercaya akan terpilih
menjadi ronggeng. Rasus dan Srintil bersahabat sejak kecil. Lebih dari itu, Rasus
tampak mulai “cemburu” ketika Srintil terpilih menjadi ronggeng, yang artinya Srintil
telah menjadi milik semua orang.
Meskipun cerita banyak berputar di sekitar kedua tokoh ini, terutama hubungan
asmara mereka yang tarik-ulur, tentu saja Ronggeng Dukuh Paruk memaparkan dunia
yang lebih luas dari itu. Hal paling penting, yang akan kita tengok ke depan, tentu saja
bagaimana novel ini menyikapi tragedi paling berdarah dalam sejarah Indonesia:
peristiwa penghancuran Partai Komunis Indonesia, dan pembantaian simpatisan mereka
yang terjadi kemudian.
Terlebih menyangkut kedua tokoh utama ini, keduanya harus terpisah oleh
sebuah peristiwa sejarah ini. Rasus, kelak akan diperkenalkan dengan identitasnya yang
baru sebagai tentara. Sangat menarik bagaimana seorang prajurit (dalam hal ini Rasus),
melihat dan terlibat dalam kasus tragedi 1965 ini. Sementara di sisi lain, juga akan
muncul Srintil dengan identitasnya yang juga baru, sebagai penari ronggeng untuk
propaganda kaum merah (Partai Komunis), dan bagaimana ia melihat dirinya di situasi
itu (http://ekakurniawan.net/blog/tragedi-1965-dalam-novel-ronggeng-dukuh-paruk-
3158.php)
Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari
Tahun 1964 merupakan kejayaan Ronggeng Dukuh Paruk, sekalipun Srintil tidak lagi
mau untuk melayani para lelaki, tapi dia mau untuk sekedar manggung. Dia bahkan
seringkali diundang untuk manggung dalam rapat-rapat. Ini berawal ketika Pak Bakar
orang dari Dawuan yang selalu berpidato dengan berapi-api, memberikan seperangkat
pengeras suara dan properti untuk keperluan Ronggeng. Sejak saat itu pula, satu-satunya
akses menuju Dukuh Paruk hiruk pikuk berlambang partai.
Perubahan yang begitu cepat di daerah Dukuh Paruk memuat Sakarya dan
Kartareja gamang, namun dia tidak bisa berbuat banyak karena Pak Bakar telah banyak
membantu kehidupan masyarakat. Dalam pidatonya Pak Bakar selalu menyisipkan hal-
hal berbau propaganda, seringkali pentas ronggeng juga berakhir dengan rusuh. Hal
198 inilah yang kemudian membuat Srintil dan grup ronggengnya memilih untuk tidak
mengiktui lagi acara-acara yang dilakukan oleh Pak Bakar.
Hingga suatu ketika, Sakarya mendapati cungkup makan Ki Secamenggala telah
dirusak orang. Hal ini semakin meruncing ketika ditemukan caping hijau. Caping hijau
bukanlah sesuatu yang digunakan oleh orang-orang Bakar, orang yang selama ini
diduga merusak cungkup makam. Demi menjaga kehormatan dan pelampiasan balas
dendam, maka Srintil masuk kembali ke rombongan Bakar.
Tahun 1965 keadaan menjadi tak terkendali, ekspansi tentara ke desa semakin sering,
rumah orang-orang Bakar dibakar. Kasak kusuk dan kerusuhan ini sampai juga di
Dukuh Paruk. Ternyata Bakar adalah orang PKI. Untuk menyelesaikan masalah, maka
Srintil dan Kartareja memutuskan untuk datang ke kantor polisi. Mereka menjelaskan
bahwa mereka hanya berkesenian dan sama sekali tidak terlibat kegiatan PKI. Bukannya
diperbolehkan kembali, mereka berdua ditahan. Hal ini membuat semangat Dukuh
Paruk mati, perempuan yang dibanggakan dan seorang tetua tidak lagi berada di tempat
mereka.
Yang terpukul dengan hal ini tentu Sakarya, namun semua itu hanyalah awal,
karena beberapa hari kemudian serombongan orang membakar Dukuh Paruk hingga
yang tersisa hanyalah puing-puing. Banyak orang yang menganggap Dukuh Paruk
sudah diambang kematian, apalagi Srintil saat ini tidak diketahui lagi dimana rimbanya.
Sakarya, Nyai Kartareja, Sakum, dan dua orang lainnya ikut ditahan.
Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur maju yaitu menceritakan dari
Srintil merasa kehilangan Rasus kemudian cerita berkembang ke arah dia tidak mau lagi
melayani para lelaki, namun dia kemudian menjadi gowok, dan ikut Pak Bakar
meronggeng dalam rapat-rapat. Tidak tahunya, Pak Bakar merupakan kader PKI,
sehingga dalam penumpasan gerakan PKI, Srintil pun ikut ditahan. Sumber
https://preteers.wordpress.com/2012/07/10/resensi-novel-lintang-kemukus-dini-hari-
ahmad-tohari/
Canting. Karya Arswendo Atmowiloto
“Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi, karena canting sekarang ini
bukan cap dulu yang dianggap budi luhung oleh sebagian besar pemakainya. Maka tak
ada pilihan lagi bagi Ni Jika ingin tetap hidup dan menghidupkan kembali usaha
199 ibunya, ia harus melebur diri; canting harus melebur dirinya; cara bertahan dan bisa
melejit, bukan dengan menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan
dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur dir. Ketika ia melepaskan cap canting,
ketika itulah usaha batiknya jalan. (dikutip dari
http://namamegapurnama.blogspot.co.id/2015/06/nilai-ideologi-dalam-karya-sastra-
novel.html)
Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni---
sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean---yang mencoba menekuni, walau harus
berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei,
bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.
Ca Bau Kan karya Remy Sylado
Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang perempuan asli Betawi bernama
Siti Noerhaijati yang biasa dipanggil Tinung dan 2 pria bernama Tan Peng Liang. Tan
Peng Liang yang pertama berasal dari Bandung , seorang rentenir yang kejam
sedangkan yang kedua berasal dari Semarang yang seorang pengusaha tembakau.
Awal kisah diawali ketika Tinung wanita muda yang sedang hamil harus
ditinggal mati oleh suaminya. Menyebabkan ia dibenci oleh mertuanya dan kemudian
diusir. Dan ia kembali pulang ke rumah orang tuanya. Dan iapun harus kehilangan
janinnya karena keguguran. Setelah itu ia disuruh kerja oleh ibunya yang tidak
menginginkan Tinung terus berdiam diri di rumah. Dan ia diajak oleh sepupunya yang
bernama sodah untuk menjadi seorang “Ca-Bau-Kan”. Seorang “Ca-Bau-Kan” yang
sering "menghibur" orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ia
bekerja sebagai seorang “Ca-Bau-Kan” di suatu tempat yang dinamakan Kali Jodo.
Karena ditempat ini sudah terlestari kebiasaan-kebiasaan imigran Tionghoa
mendapatkan jodoh.
Awal mulanya Tinung tidak ingin bekerja disini api karena terus didesak
akhirnya ia harus mau melayani pria-pria tiap malam. Sampai suatu malam ia bertemu
dengan Tan Peng Liang asal dari Bandung. Karena Tan Peng Liang tertarik terhadap
Tinung iapun mengajak Tinung untuk ikut bersamanya. Tinung pun mau walaupun pada
awanya ia menolak. Mereka tinggal satu rumah meskipun mereka belum menikah. Tan
Peng Lian yang seorang rentenir yang kejam membuat Tinung tidak betah tetap tinggal
200 disana karena ia harus menyaksikan penyiksaan teradap orang-orang yang tidak
membayar hutangnya. Sampai pada suatu hari ia menyaksikan penyiksaan anak buah
Tan Peng Liang memberikan penyiksaan yang sadis sampai orang itu mati terbunuh.
Tinung pun melarikan diri dari tempat itu. Dan itu membuat Tan Peng Liang marah dan
menyuruh anak buahnya untuk mencari Tinung. Akhirnya tinung ditemukan dan ia
mendapat sisaan dari Tan Peng Liang, Tan Peng Liang takut bila Tinung pergi ia akan
menceritakan kesadisannya kepada orang-orang. Tetapi pada akhirnya juga ia dapat
melarikan diri. Tinung yang sedang hamil saat itu kembali ke orang tuanya. Dan ia pun
diajak oleh sepupunya untuk menyanyi menghibur orang-orang. Tinung pun mau.
Tinung pun melahirkan. Tan Peng Liang pun dikabarkan sudah meninggal.
Kemudian ada seorang pria yang tertrik pada Tinung, ia adalah Tan Peng Liang
dari Semarang. Tinung merasakan hal yang sama pada tan Peng Liang.Tan Peng Liang
mengajak tinung ikut bersamanya, tetapi Tinung bingung karena ia mempunyai anak
yang masih bayi Tan peng Lian tidak keberatan dan ia pun menyuruh Tinung membawa
anaknya ikut bersama mereka. Tan Peng Lian pun mengajak Tinung pergi ke rumah
orang tuanya untuk mengenalkan Tinung. Mereka pun disetujui. Tan Peng Lian
sebelumnya sudah mempunyai istri yang kini sakit-sakitan dan dua orang anak. Anak-
anak Tan Peng Liang tidak menyukai Tinung, karena mereka merasa setelah ayahnya
menikahi Tinung mereka dan ibunya atau istri tan Peng Liang tidak mendapat perhatian
lagi dari Tan Peng Liang. Dan pada suatu saat ketika Tan Peng Liang pergi dan Tinung
sendiri dirumah, anak-anak Tan Peng Liang pergi mendatang Tinung ereka mencaci-
maki Tinung dan menyiksa Tinung serta mengusir Tinung. Tinung pun tidak berdaya
kemudian Tinung pun pergi meninggalkan rumah (disarikan dari
http://ginafirdiani.blogspot.co.id/2015/07/ringkasan-novel-ca-bau-kan-hanya-
sebuah.html).
Beberapa karya penting lainnya adalah karya karya Langit Kresna Hariadi
seperti Gajah Mada, Gajah Mada Hamukti Palapa, Gajah Mada Bergelut dalam
Kemelut Takhta dan Angkara. Ada juga karya seperti Bencana Jawa,
Suropati dan Robert Anak Suropati karya Abdul Muis,
Hulu Balang Raja karya Nur Sutan Iskandar,Burung-Burung Manyar karya YB. Man
gunwijaya, dan Para Priyayi karya Umar Kayam.
201 2. Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Novel Sejarah
Pemanfaatan novel sejarah bagi pembelajaran sejarah di kelas juga bisa dijadikan sarana
menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan peserta didik. Novel sejarah yang dipilih tentu
harus mengandung nilai-nilai kebangsaan. Sebagai contoh adalah novel-novel karya
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Menurut Khakim (2014:162) novel karya
Hamka tersebut memiliki nilai-nilai kebangsaan dan dapat menumbuhkan rasa cinta
terhadap tanah air. Novel karya Hamka ini tentu bisa dijadikan sebagai salah satu
alternatif novel untuk menumbuhkan nilai kebangsaan bagi peserta didik.
Pemanfaatan novel sejarah dalam pembelajaran sejarah bukan berarti
meninggalkan pemanfaatan buku teks dan LKS. Buku teks tetap menjadi salah satu
referensi utama bagi peserta didik. Menurut Kochar (2008:189) novel sejarah
merupakan bacaan pelengkap. Kochar mengatakan bahwa sebagai bahan bacaan
pelengkap, novel sejarah dapat memperluas wawasan sejarah bagi peserta didik. Guru
bisa memberikan tugas kepada peserta didik untuk membaca sebuah novel sejarah. Pada
pertemuan di kelas, guru memancing dengan beberapa kata kunci hingga memunculkan
diskusi dalam kelas. Pemanfaatan novel sejarah juga tidak harus menghilangkan semua
sumber belajar dan bahan ajar lainnya. Guru sejarah haruslah melakukan analisis
kebutuhan terlebih dahulu (Ramilury Kurniawan dalam
http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/download/1510/805)
Banyak model pembelajaran sejarah yang dapat dikembangkan dan diterapkan
dalam proses belajar mengajar di kelas. Dari berbagai model yang tersedia, kiranya
yang paling tepat dalam pembelajaran sejarah berbasis novel sejarah adalah
menggunakan model Project Based Learning(Model Pembelajaran Berbasis Proyek).
Model inimenggunakan proyek (kegiatan) sebagai inti pembelajaran. Dalam kegiatan
ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan sintesis informasi untuk
memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) (Ramilury
Kurniawan dalam http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-
budaya/article/download/1510/805).
Saat ini pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih terfokus pada hasil belajar
berupa pengetahuan (knowledge) semata. Itupun sangat dangkal, hanya sampai pada
tingkatan ingatan (C1) dan pemahaman (C2) dan belum banyak menyentuh aspek
aplikasi (C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Ini berarti pada umumnya,
202 pembelajaran di sekolah belum mengajak siswa untuk menerapkan, mengolah setiap
unsur-unsur konsep yang dipelajari untuk membuat (sintesis) generalisasi, dan belum
mengajak siswa mengevaluasi (berpikir kritis) terhadap konsep-konsep dan prinsip-
prinsip yang telah dipelajarinya. Sementara itu, aspek keterampilan (psikomotor) dan
sikap (attitude) juga banyak terabaikan.
a. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning)
Di dalam pelaksanaannya, model pembelajaran berbasis proyek memiliki langkah-
langkah (sintaks) yang menjadi ciri khasnya dan membedakannya dari model
pembelajaran lain seperti model pembelajaran penemuan (discovery learning model)
dan model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning model). Adapun
langkah-langkah itu adalah; (1) menentukan pertanyaan dasar; (2) membuat desain
proyek; (3) menyusun penjadwalan; (4) memonitor kemajuan proyek; (5) penilaian
hasil; (6) evaluasi pengalaman.
Model pembelajaran berbasis proyek selalu dimulai dengan menemukan apa
sebenarnya pertanyaan mendasar, yang nantinya akan menjadi dasar untuk memberikan
tugas proyek bagi siswa (melakukan aktivitas). Tentu saja topik yang dipakai harus pula
berhubungan dengan dunia nyata. Selanjutnya dengan dibantu guru, kelompok-
kelompok siswa akan merancang aktivitas yang akan dilakukan pada proyek mereka
masing-masing. Semakin besar keterlibatan dan ide-ide siswa (kelompok siswa) yang
digunakan dalam proyek itu, akan semakin besar pula rasa memiliki mereka terhadap
proyek tersebut. Selanjutnya, guru dan siswa menentukan batasan waktu yang diberikan
dalam penyelesaian tugas (aktivitas) proyek mereka.
Dalam berjalannya waktu, siswa melaksanakan seluruh aktivitas mulai dari
persiapan pelaksanaan proyek mereka hingga melaporkannya sementara guru
memonitor dan memantau perkembangan proyek kelompok-kelompok siswa dan
memberikan pembimbingan yang dibutuhkan. Pada tahap berikutnya, setelah siswa
melaporkan hasil proyek yang mereka lakukan, guru menilai pencapaian yang siswa
peroleh baik dari segi pengetahuan terkait konsep yang relevan dengan topik), hingga
keterampilan dan sikap yang mengiringinya. Terakhir, guru kemudian memberikan
kesempatan kepada siswa untuk merefleksi semua kegiatan dalam pembelajaran
203 berbasis proyek yang telah mereka lakukan agar di lain kesempatan pembelajaran dan
aktivitas penyelesaian proyek menjadi lebih baik.
b. Manfaat Penerapan Project Based Learning
Banyak sekali manfaat yang dapat diraih melalui penerapan model pembelajaran
berbasis proyek (Project Based Learning) ini, misalnya: (1) siswa menjadi pebelajar
aktif; (2) pembelajaran menjadi lebih interaktif atau multiarah; (3) pembelajaran
menjadi student centred); (4) guru berperan sebagai fasilitator; (5) mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa; (6) memberikan kesempatan siswa
memanajemen sendiri kegiatan atau aktivitas penyelesaian tugas sehingga melatih
mereka menjadi mandiri; (7) dapat memberikan pemahaman konsep atau pengetahuan
secara lebih mendalam kepada siswa; dsb.
3. Langkah-Langkah Penggunaan Novel Sejarah Dalam Pembelajaran
Penggunaan novel sejarah sepanjang digunakan bersamaan dengan buku teks dan
sumber primer telah membuat sejarah menjadi lebih menyenangkan dan berkaitan
dengan kehidupan siswa. Weiner (2001) mengungkapkan bahwa novel sejarah telah
membangun cara pandang dari masyarakat bawah yang banyak mengungkap
permasalahan kehidupan dan pengalaman mereka.
Demikian juga Wiriaatmadja (2002: 118-120) menguraikan beberapa
langkah yang perlu dilakukan dalam proses pembelajaran sejarah dengan
memanfaatkan novel sejarah, yaitu:
a. menentukan terlebih dahulu topik sejarah yang akan dibahas agar kita dapat
menseleksi novel sejarah yang relevan. Hal ini mengacu kepada kompetensi
dasar dari kurikulum yang berlaku
b. memberikan latar belakang sejarah bagi fiksi sejarah tadi,
c. membaca novel tersebut,
d. untuk menunjang telaah fiksi sejarah ini digunakan dengan berbagai kegiatan
pengayaan.
Sarah K. Herz (2007) membuat suatu rancangan yang dapat digunakan guru
untuk membantu penggunaan novel sejarah di dalam kelas sejarah. Menurutnya,
guru sejarah dapat menggunakan novel sejarah untuk memperjelas, menguatkan,
204
dan melakonkan tema dan peristiwa sejarah yang para siswa kesulitan mengingat
atau memahaminya. Roman sejarah dapat mempermudah memahami sejarah untuk
siswa yang kebingungan, tidak tertarik, atau tidak mau menerima buku teks sebagai
sumber pembelajaran
Ada beberapa hal yang harus guru dan siswa penting pahami sebelum
menggunakan novel sejarah dalam pembelajaran di kelas. Penting bagi guru dan
para siswa untuk mempertimbangkan beberapa petunjuk untuk mengevaluasi
ketelitian roman historis itu. Petunjuk untuk meneliti data dapat dibagi menjadi
empat utama ketegori yaitu: seting, karakter, alur cerita, dan tema.
1. Setting ( waktu dan tempat)
a. Adakah pengarang teliti dalam menguraikan periode historis tertentu di
dalam novelnya ?
b. Daftar beberapa detil yang menguraikan periode sejarah tertentu dan paralel
dengan studi tentang periode historis tertentu seperti keadaan geografi,
transportasi, seragam atau pakaian, adat istiadat, agama, tata sosial, dan
sikap sosial.
c. Apakah detil tempat yang terdapat dalam novel tersebut itu asli ?
d. Apakah uraian tempat terjadi peristiwa cocok pada periode historis tertentu?
2. Karakter
a. Adakah tokoh historis yang dikenali siswa? Buat daftarnya.
b. Apakah figur yang historis tersebut dideskripsikan secara panjang lebar
dalam novel tersebut?
c. Cek karakter yang dilukiskan dari tokoh sejarah tersebut kemudian
bandingkan dengan buku teks sejarah?
d. Apakah karakter khayalan sesuai dengan seting sejarahnya ?
e. Daftar karakter yang antagonis dan protagonis baik itu tokoh historis atau
tokoh khayalan dan tunjukan bagian dari roman yang mendukung ciri ini.
f. Jelaskan keterlibatan karakter itu di dalam peristiwa sejarah.
g. Bagaimana peran dalam setiap karakter dalam roman tersebut ?
3. Alur cerita
a. Apakah alur cerita memusatkan pada suatu peristiwa sejarah tertentu ?
205
b. Apakah tokoh sejarah di dalam roman tersebut mengambil bagian pada suatu
peristiwa sejarah terkenal?
c. Apakah konflik yang digambarkan itu riil atau khayal ?
d. Apakah tokoh tersebut melakonkan suatu momen sangat penting di dalam
sejarah?
e. Tema. Dengan tema tertentu, pengarang menggunakan orang-orang dan
peristiwa dari masa lalu untuk menerangkan beberapa kebenaran pada masa
lampau.
4. Ringkasan.
a. Menurut pendapatmu, mengapa pengarang memilih untuk menulis tentang
peristiwa historis tertentu tersebut?
b. Apakah pengarang memiliki cara pandang baru mengenai tokoh sejarah atau
peristiwa sejarah tersebut?
c. Mengapa ini dipertimbangkan sebagai suatu roman historis?
d. Apakah roman ini termasuk suatu roman sejarah yang baik atau jelek
berdasarkan pada definisi fiksi historis yang sebelumnya?
e. Apa yang kondisi sosial yang diungkapkan pengarang dalam novel tersebut?
f. Bagaimana komentar pengarang yang kamu pikirkan tentang kondisi sosial
tersebut?
g. Bagaimana menghubungkan kondisi sosial tersebut dengan kondisi zaman
ini?
h. Bagaimana karakter yang digambarkan dapat mengungkapkan tema novel
sejarah tersebut?
i. Apakah roman ini mencerminkan tema lebih dari satu?
j. Apakah ada lebih dari satu pandangan mengenai tema yang terdapat dalam
roman tersebut?
4. Hasil Penggunaan Novel Sejarah Dalam Pembelajaran Sejarah
Guru sejarah yang membawa novel sejarah ke dalam pembelajaran sejarah di kelas telah
membangun siswanya pada pemahaman baru tentang sejarah. Novel sejarah dapat
melibatkan emosi siswa sebagaimana kognitifnya digunakan ketika memikirkan sejarah
tersebut. Ada beberapa hal yang terjadi setelah guru menggunakan novel sejarah dalam
206 pembelajaran yang merupakan manifestasi dari menghidupkan kembali masa lampau
dalam pembelajaran sejarah.
Langkah-langkah tersebut meliputi: a) Siswa terbawa larut kedalam isi novel
tersebut. Siswa menjadi lebih senang terhadap sejarah. Siswa mulai untuk membuat
kesimpulan mengenai kondisi geografis, organisasi pemerintahan, keyakinan agama,
sikap sosial, tipe makanan, ukuran kota, alat transfortasi, distribusi kesejahteraan, kelas
sosial, dan hukum; b) Siswa mulai mempertanyakan kebenaran fakta sejarah yang
terdapat dalam novel sejarah tersebut sehingga melatih keterampilan berpikir kritis; c)
Siswa jauh lebih mengingat apa yang terdapat dalam isi novel tersebut dibanding apa
yang terdapat dalam buku teks sejarah; d) Siswa mendapatkan informasi sejarah lebih
mudah dibanding dari buku teks karena dipahami dari plot cerita, karakter, dan seting
novel sejarah tersebut; e) Siswa menjadi lebih sadar hubungan antara masa lalu dengan
keadaan masyarakat dimana dia tinggal; f) Siswa mulai melihat bagaimana mempelajari
masa lalu membantu mereka untuk memahami masa sekarang; g) Siswa mulai
memahami keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan,
menyadari resiko yang akan ditanggung dalam kehidupan sosial, siap menerima sebuah
kekalahan, dan memahami faktor-faktor yang dibutuhkan untuk sukses; h} Siswa mulai
menyadari proses dari suatu perubahan, kesadaran bahwa kehidupan saat ini pun akan
berubah, dan mereka mulai melatih diri untuk beradaptasi dengan perubahan.
KESIMPULAN
Novel sejarah dapat dijadikan sebagai bahan kajian sejarah di kelas. Novel dapat
dijadikan sebagai alat atau sarana untuk menghidupkan kembali akan gambaran masa
lalu yang menjadi pokok cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Novel
sejarah dapat membantu siswa merasa memiliki kesempatan seolah-olah mengalami
sendiri peristiwa pada masa lalu. Novel sejarah memiliki kelebihan dalam hal kedetilan
dalam menyajikan data dan tema dan unsur-unsur lain yang perlu lebih di explorasi.
Konflik yang ada dalam sejarah menjadi riil kepada siswa sebab tokoh didalamnya
diperkenalkan pada dimensi manusia yang sebanarnya. Sukses dan kekalahan dalam
konflik yang tertulis dalam novel menimbulkan suatu tanggapan emosional dari
pembaca. Tanggapan ini dapat menggambarkan bahwa para siswa masuk dalam dunia
masa lalu dan memiliki perspektif dalam suatu dimensi historis.
207
Pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran
yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas
dengan melibatkan kerja proyek. Kerja proyek memuat tugas-tugas yang kompleks
berdasarkan permasalahan (problem) yang sangat menantang, dan menuntut siswa untuk
melakukan kegiatan merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan
kegiatan investigasi, serta memberikan kesempatan siswa untuk bekerja secara mandiri
maupun kelompok. Hasil akhir dari kerja proyek tersebut adalah suatu produk yang
antara lain berupa laporan tertulis, presentasi atau rekomendasi.Melalui proses
pembelajaran proyek maka pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sebagai
salah satu sumber kajian, dapat merangsang siswa untuk lebih mencintai pelajaran
sejarah dan nilai-nilai keutamaan juga akan tertanam pada diri siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Atmowiloto, A. 2007. Canting. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Banks, J.A. 1985. Teaching Strategies for the Sosial Studies. New York: Longman
Benjamin. 1991. A Student Guide to History.New York: St. Martin Press
Given, B. K. 2007. Brain Based Teaching. Bandung: Kaifa.
Hariadi, L.K. Gajah Mada. Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara.
Hariadi, L.K. Gajah Mada. Hamukti Palapa.
Howell, J. 2014. Popularising History: Reigniting Pre-Service Teacher and Student
Interest in History via Historical Fiction. Australian Journal of Teacher
Education.
http://ekakurniawan.net/blog/tragedi-1965-dalam-novel-ronggeng-dukuh-paruk-
3158.php
Kayam, U. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Kemdikbub. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. BPSDMPK
dan PMP. Jakarta
Kuntowijoyo. 2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Mangunwijaya, Y.B. 1981. Burung-Burung Manyar. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mangunwijaya, Y.B. 1983. Roro Mendut-Pronocitro. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
208 Ramilury Kurniawan dalam http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/
article/download/1510/805
Sarah K. Herz http://www.yale.edu/ynhti/curriculum/units/1981/cthistory/
81.ch.10.x.html
Sylado, R. 1999. Ca Bau Kan. Hanya Sebuah Dosa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tohari, A. 1995. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tohari, A. 2007. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Weiner, R.G. 2001. History: Teaching and Methode. Texas Tech University
Wineburg, S. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa
Lalu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wiriaatmadja, R. 2002. Pendidikan Sejarah, Sikap Kebangsaan, Identitas Nasional,
Sejarah lokal, Masyarakat Multikulktural. Bandung: Historia Utama Press.