Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

17
SUMBER DAYA MANUSIA SERTA EKSPLOITASI LINGKUNGAN Pengantar Kalimantan Barat dikenal sebagai daerah rawan kerusuhan sosial terutama konflik antar-kelompok etnis yang berulangkali terjadi. Selain konflik antar-kelompok etnis, di Kalimantan Barat kerap pula terjadi konflik sosial vertikal antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri perkayuan dan perkebunan seperti perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), dan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun). Konflik-konflik sosial ini tak banyak diperhatikan oleh para pengamat sosial karena tak pernah merebak dalam skala besar sebagaimana konflik antar- kelompok etnis seperti kasus Sanggau Ledo (1997) dan Sambas (1999) yang mengorbankan ratusan jiwa. Padahal, frekuensi dan persebaran konflik sosial antara masyarakat adat melawan perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola dan mengekploitasi sumber daya alam, jauh lebih tinggi dan merata di seluruh pelosok Kalimantan Barat. Di seantero pelosok Kalimantan Barat, telah bertahun-tahun komunitas masyarakat memperjuangkan hak penguasaan mereka atas sumber daya alam di sekitar pemukimannya. Kehidupan

description

Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Transcript of Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Page 1: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

 

SUMBER DAYA MANUSIA SERTA EKSPLOITASI LINGKUNGAN

 

 

Pengantar

Kalimantan Barat dikenal sebagai daerah rawan kerusuhan sosial terutama konflik antar-

kelompok etnis yang berulangkali terjadi. Selain konflik antar-kelompok etnis, di

Kalimantan Barat kerap pula terjadi konflik sosial vertikal antara masyarakat adat dengan

perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri perkayuan dan perkebunan

seperti perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan

Tanaman Industri (HPHTI), dan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun). Konflik-

konflik sosial ini tak banyak diperhatikan oleh para pengamat sosial karena tak pernah

merebak dalam skala besar sebagaimana konflik antar-kelompok etnis seperti kasus

Sanggau Ledo (1997) dan Sambas (1999) yang mengorbankan ratusan jiwa. Padahal,

frekuensi dan persebaran konflik sosial antara masyarakat adat melawan perusahaan

swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola dan mengekploitasi

sumber daya alam, jauh lebih tinggi dan merata di seluruh pelosok Kalimantan Barat.

Di seantero pelosok Kalimantan Barat, telah bertahun-tahun komunitas masyarakat

memperjuangkan hak penguasaan mereka atas sumber daya alam di sekitar

pemukimannya. Kehidupan masyarakat adat tak dapat dilepaskan dari lingkungan alam

sekitarnya, terutama hutan. Mereka berladang, mencari rotan, mengumpulkan madu lebah

dan tengkawang, mencari kayu gaharu dan berburu rusa atau babi di hutan. Selama

ratusan bahkan ribuan tahun, masyarakat adat beradaptasi dengan lingkungan, dan

mereka percaya bahwa tanah itu merupakan anugerah Tuhan untuk mereka.

Pemerintahan Orde Baru memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dalam program

pembangunan. Awalnya, pemerintah mengandalkan kenaikan devisa negara melalui hasil

ekspor minyak, tetapi ketika anjloknya harga minyak di pasar dunia, pemerintah

mengalihkan perhatiannya pada sektor ekonomi kehutanan. Hutan dianggap sebagai

“tambang minyak” yang baru sehingga pemerintah memacu upaya eksploitasi sumber

daya hutan secara maksimal. Kemudian muncullah berbagai produk perundang-undangan

Page 2: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

yang bertujuan untuk melegalisasi dan melegitimasi eksploitasi sumber daya alam

tersebut. Pemerintah menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral

seperti UU Pokok Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Penataan Ruang sebagai

instrumen utama dalam pengambilalihan sumber-sumber daya hutan milik komunitas-

komunitas adat dan secara kolutif serta nepotis diserahkan kepada perusahaan-perusahaan

swasta tertentu maupun BUMN.

 

Kearifan Masyarakat Adat

Menurut mitologi penciptaan alam semesta yang berlaku pada beberapa sub-suku

Dayak, dinyatakan bahwa ada kesatuan alam semesta yang tak terpisahkan, yakni dunia

atas tempat burung Enggang berasal dan dunia bawah (hutan) tempat burung Enggang

bertengger menjelaskan adanya nilai penting hutan bagi kehidupan masyarakat adat.

Hasil adaptasi masyarakat adat dengan hutan itu telah merasuk ke dalam struktur sosio-

kultural masyarakat adat. Sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa hutan

merupakan jiwa dan darah orang Dayak (Edi Petebang, 1999).

Berlakunya mitos tak berarti masyarakat adat berperilaku irrasional. Masyarakat adat

di Kalimantan Barat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani peladang adalah

petani yang rasional sebagaimana petani-petani lainnya di seluruh dunia. Setiap perilaku

ekonominya dalam mengolah tanah, menanam dan melakukan usaha perladangan secara

berpindah-pindah dilakukan dengan perhitungan rasional. Michael R. Dove (1985) yang

meneliti secara bertahun-tahun pola pertanian ladang berpindah (slush and burn

cultivation) menyimpulkan bahwa pola perladangan yang dipraktekkan oleh masyarakat

adat di Kalimantan Barat adalah merupakan hasil adaptasi paling baik dan paling rasional

yang dilakukan oleh masyarakat adat terhadap lingkungan alam dan sosialnya.

Rasionalitas masyarakat adat dapat dipahami dalam konteks keseimbangan yang

mereka bangun dari keterbatasan tenaga kerja dan sumber daya alam yang tersedia.

Pilihan sebagai peladang adalah tindakan yang paling rasional dalam arti perilaku

ekonomi mereka efisien dan efektif dalam konteks sosial-ekonomi mereka. Hal ini

terbukti bahwa mereka dapat menciptakan kelestarian sistem sosial-ekonominya selama

ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Hasil penelitian Michael R. Dove (1985)

membuktikan bahwa sistem perladangan yang dikembangkan oleh masyarakat adat di

Page 3: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Kalimantan Barat tidak merusak kelestarian sumber daya alam yang dapat diperbaharui

(renewable resources) berupa hutan dan kesuburan tanahnya. Masyarakat adat telah

berhasil mengembangkan ecological wisdom yang selama ini dipegang teguh sebagai

pedoman dalam pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan.

 

Marjinalisasi Masyarakat Adat

Semenjak beroperasinya perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN yang

mengeksploitasi sumber daya alam terutama hutan di lingkungan masyarakat adat, maka

akses warga masyarakat adat terhadap hutan menjadi semakin sempit bahkan di beberapa

tempat menjadi terputus sama sekali. Fenomena yang terjadi secara merata pada semua

komunitas adat di Kalimantan Barat adalah semakin mengecilnya pola rotasi ladang

berpindah yang dikerjakan oleh masyarakat adat. Dahulu ketika hutan masih tersedia

secara luas, rotasi perputaran ladang berpindah itu dapat mencapai 12 kali perpindahan

ladang, artinya satu keluarga orang adat akan kembali menggarap ladang yang sama

setelah 12 kali berpindah ladang. Namun, saat ini sudah turun menjadi 6 kali dan bahkan

di beberapa tempat sudah menjadi 3 kali. Hal ini terjadi karena pertambahan jumlah

penduduk secara alami, ditimpali oleh pertambahan penduduk karena migrasi, dan

pengambilalihan lahan hutan oleh perusahaan-perusahaan besar serta BUMN di

Kalimantan Barat.

Dalam kerangka pemikiran ekonomi politik model Orde Baru, sistem ekonomi

Kalimantan Barat diintegrasikan dengan sistem ekonomi nasional dan global melalui

proses pembangunan dan modernisasi. Perekonomian Kalimantan Barat mengalami

proses transformasi di bawah tekanan ekspansi kekuatan-kekuatan perusahaan nasional

dan asing (Multi National Corporation) yang terjalin erat dengan elit politik di tingkat

nasional. Kekuatan-kekuatan itu muncul dalam bentuk ekspansi kapital melalui berbagai

investasi-investasi di berbagai sektor, terutama sektor industri perkayuan (Loekman

Soetrisno et al., 1998).

Eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan Barat berlangsung secara sistematis dan

dalam skala besar. Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan dipersiapkan

untuk melegitimasi pengurasan sumber daya alam tersebut (Sandra Kartika dan Candra

Gautama, eds, 1999).

Page 4: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Masyarakat adat sebagai penduduk asli (indigenous people) Kalimantan Barat justru

diabaikan dalam program pembangunan daerah, khususnya dalam hal alokasi

pemanfaatan tanah. Stepanus Djuweng (1997) mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada

Tata Guna Tanah Kesepakatan di Kalimantan Barat, namun yang ada hanyalah

“perampasan” wilayah masyarakat adat yang secara sepihak dinyatakan sebagai tanah

negara. Tanah tersebut sebelumnya secara kultural menjadi bagian tak terpisahkan dari

masyarakat adat setempat. Tanah bagi masyarakat Dayak bernilai lebih dari sekedar

faktor produksi pertanian namun bermakna kultural, sosial, politik, spiritual dan masa

depan anak cucu mereka.

Secara politik, Orde Baru melakukan dominasi dan hegemoni secara sistematis dalam

hampir semua pengambilan keputusan politik, sehingga keterlibatan masyarakat adat

dalam aspek ini hampir tidak ada. Orang-orang daerah tidak dipandang

merepresentasikan kepentingan daerah, melainkan kepentingan pusat. Kekuatan eksternal

hadir dalam bentuk ekspansi birokrasi pembangunan yang dirancang dari pusat nyaris

tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Loekman Soetrisno (1998) menyebut

fenomena ini sebagai delegitimasi lembaga negara, karena kehadiran lembaga birokrasi

negara di daerah tidak berkaitan dengan kepentingan hidup warga masyarakat.

Seluruh wilayah di Kalimantan Barat menjadi bagian dari wilayah ekspansi lembaga-

lembaga kapital dalam negeri dan asing. Lembaga-lembaga kapital itu hadir dalam wujud

HPH, HPHTI, dan perusahaan-perusahaan lainnya yang tidak terpaut secara nyata dengan

kehidupan masyarakat. Terjadi ketidakseimbangan dalam hubungan lembaga negara dan

kapital pusat terhadap Kalimantan Barat. Sumber daya alam dieksploitasi secara

maksimal, namun hasilnya bukan untuk kepentingan orang Kalimantan Barat.

Propinsi Kalimantan Barat sebagai daerah tujuan dan penerima migran juga menjadi

daerah frontier bagi ekspansi kapital yang melakukan usaha-usaha eksploitatif atas

sumber-sumber daya alam dengan cara menyita lahan hutan yang amat luas di bawah

dukungan negara. Ekspansi kapital memasuki daerah frontier ini terus maju menggulung

wilayah yang dianggap atau dinyatakan kosong atau bebas klaim. Tak jarang wilayah

yang dinyatakan kosong itu sesungguhnya merupakan wilayah adat penduduk sub-sub

suku asli. Semakin lama lebensraum atau ruang hidup masyarakat adat Dayak makin

menyempit.

Page 5: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan tahun 1997 areal HPH di Kalimanatan

Barat kian meluas. Pembukaan hutan itu pada umumnya tidak disertai dengan komitmen

politik dan ekonomi untuk memberikan kompensasi atas pengabaian hak, kepentingan,

dan nilai hutan bagi berbagai komunitas adat Dayak. Seandainya komitmen itu ada,

misalnya program HPH Bina Desa, komitmen itu pada umumnya sangat terbatas sifatnya.

Maka, dapat dimengerti jika proses pembukaan hutan itu telah mengguncang lebensraum

masyarakat adat, bahkan dasar religiositas masyarakat adat Dayak yang percaya bahwa

umat manusia berasal dari dunia atas yang disimbolkan pada burung Enggang dan dunia

bawah tempat burung Enggang itu bertengger dan hidup, yaitu hutan.

 

Kelangkaan SDA & Perluasan Konflik

Marx menyatakan bahwa semakin terdapat ketidakadilan dalam distribusi sumber-

sumber langka yang ada dalam suatu sistem sosial, maka akan terjadi kecenderungan

yang semakin kuat ke arah konflik kepentingan antara segmen dominan dan sub-ordinat.

Semakin segmen sub-ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang

sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan

legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber daya yang semakin langka

(Turner, Jonathan H., 1998).

Pada masa lalu, masyarakat Dayak telah mengembangkan sistem distribusi sumber

daya alam, ekonomi, dan politik berdasarkan hukum adat. Komunitas orang Dayak di

Kalimantan Barat disebut binua atau kampong yang dipimpin oleh seorang Timanggong

merupakan self governing community. Suatu binua atau kampong merupakan satu

kesatuan hukum, ekonomi dan politik. Binua atau kampong tidak menjadi sub-ordinat

dari kelompok sosial lainnya, setiap binua atau kampong bersifat otonom karena

memiliki sistem politik sendiri dan memiliki serta mengelola sumber daya alam sendiri

yang sering disebut tanah ulayat atau tanah kampong.

Binua sebagai self governing community hancur semenjak pemberlakuan UU Nomor 5

Tahun 1979. Binua-binua atau kampong-kampong digabungkan menjadi desa

administratif. Tanah-tanah ulayat milik komunitas binua atau kampong diklaim sebagai

tanah negara dan hak komunitas binua atau kampong untuk memiliki serta mengelola

sumber daya alam di sekitarnya menjadi hilang. Semenjak saat itulah komunitas-

Page 6: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

komunitas binua atau kampong menjadi sub-ordinat dari birokrasi pemerintahan daerah.

Terjadilah proses “negaranisasi”, sehingga terbangun dasar legitimasi politik untuk

menguasai sumber-sumber daya alam milik komunitas binua atau kampong.

Pemerintah membangun basis legitimasi penguasaan sumber daya alam dengan

perundang-undangan yang bersifat sektoral. Pemegang HPH memanfaatkan dengan baik

perundang-undangan tersebut untuk mengekploitasi sumber daya alam. Celakanya, fungsi

sosial kelembagaan adat yang dikembangkan oleh masyarakat adat Dayak atas dasar

hubungan manusia dengan lingkungan hutan sebagai kawasan hidup dan religio magis

tidak dihormati oleh pemegang HPH dan investor yang masuk di daerah tersebut.

Pemegang HPH yang tujuan utamanya mengejar kepentingan materi tanpa

mempedulikan kepentingan penduduk setempat. Jadi, tidaklah mengherankan apabila

tindakan sewenang-wenang pemegang konsesi HPH itu mengundang reaksi keras dan

kadang-kadang disertai tindak kekerasan dari penduduk yang merasa hak hidupnya

dirampas (Boedhi Santoso, 1999).

Keberingasan sosial sesungguhnya merupakan akibat logis dari tekanan lingkungan

yang melanda masyarakat Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

perkembangan lingkungan global. Pertambahan penduduk pada awal abad ke-21 yang

sangat pesat itu berarti semakin banyak mulut yang memerlukan makan. Karena itu,

masyarakat manusia dipacu untuk memperluas lahan pertanian atau meningkatkan

intensitas pengolahan lahan guna memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, persediaan

sumber daya maupun mutu lingkungan dengan cepat merosot (natural depletion).

Manusia harus mengorbankan hutan cadangan dan resapan air, sehingga mempercepat

kemerosotan kesuburan tanah pertanian dan menganggu keseimbangan lingkungan atau

ecological equilibrium (Boedhi Santoso, 1999).

Menurut Boedhi Santoso (1999), dalam persaingan memperebutkan sumber daya dan

lingkungan hidup, mereka yang memiliki keunggulan modal, teknologi, dan organisasilah

yang akan keluar sebagai pemenang. Sebagian besar penduduk asli Kalimantan Barat

hidup dalam kemiskinan yang tidak hanya terbatas pada kekurangan modal, namun juga

dalam pilihan strategi untuk memperebutkan sumber daya yang diperlukan guna

menyangga hidup mereka. Akibatnya, sebagian besar sumber daya yang diperlukan untuk

memenuhi hajat hidup orang banyak justru dikuasai oleh sejumlah kecil pengusaha kaya

Page 7: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

yang memiliki modal besar, teknologi canggih, kekuasaan politik dan organisasi yang

kuat. Orientasi produksi dari pemegang HPH, HPHTI dan PIR Perkebunan adalah

kebutuhan pasar, sedangkan orientasi produksi masyarakat adat atau petani peladang

berpindah adalah kebutuhan rumah-tangganya atau ekonomi subsisten.

Tekanan keterbatasan lingkungan (environmental scarcity) dan ketidakberdayaan

sebagian besar penduduk sekitar hutan dalam memperebutkan sumber daya alam dapat

memancing pertikaian sosial yang disertai dengan tindak kekerasan (violent conflict) di

Kalimantan Barat. Berbagai konflik dan tindak kekerasan telah terjadi antara pihak

masyarakat adat Dayak melawan perusahaan-perusahaan yang mengelola sumber daya

hutan di Kalimantan Barat.

Konflik sosial yang berlangsung di Kalimantan Barat selama ini mengingatkan pada

hipotesis Homer-Dixon (1994) tentang keberingasan sosial (violent conflict) yang

disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang semakin tinggi angkanya dalam

waktu yang semakin cepat. Sementara itu, terjadi proses kelangkaan lingkungan akibat

ekploitasi sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) secara

berlebihan. Sehingga terjadi penurunan kapasitas produksi sumber daya yang dapat

diperbaharui. Konsekuensinya, muncul dua gejala sosial. Pertama, terjadi migrasi dan

pengungsian penduduk dari area yang telah mengalami kerusakan lingkungan ke daerah

perkotaan atau daerah lain yang memungkinkan mereka memperoleh sumber daya yang

baru. Migrasi ke kota akan menimbulkan masalah yang serius di daerah perkotaan:

meningkatnya kepadatan penduduk, akses terhadap sumber daya yang kecil, merebaknya

sektor informal, tumbuh suburnya pemukiman kumuh dan seterusnya. Sedangkan migrasi

ke daerah yang memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang baru, seperti ke daerah

dataran tinggi dan hutan, akan menyebabkan dan menambah kerusakan lingkungan di

area baru tersebut. Gejala sosial kedua ialah terjadi penurunan produktivitas ekonomi

atau marjinalisasi ekonomi. Ini terjadi karena sumber daya yang menjadi tumpuan hidup

penduduk telah rusak sebagai akibat dari aktivitas perusahaan yang mengekploitasi

sumber daya secara berlebihan.

Proses marjinalisasi ekonomi pada gilirannya akan menimbulkan dua persoalan:

Pertama, menurunnya pendapatan ekonomi yang akan diikuti pula oleh melemahnya

kapasitas institusi-institusi sosial lokal dalam memecahkan masalah sosial ekonomi.

Page 8: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Kedua, terjadinya gejala derivasi relatif yang akan sangat potensial dalam memunculkan

kerusuhan sosial (social riot).

Menurut James C. Scott (1976), masyarakat petani pada umumnya akan melakukan

perlawanan atau sikap reaktif dan pada hal tertentu bersikap defensif terhadap masuknya

kekuatan kapital dari luar. Sikap demikian akan muncul apabila keberadaan lembaga

kapital itu dianggap akan menganggu kemapanan sosial dan terutama mengancam

keamanan subsistensi mereka.

 

Penurunan Kapasitas Negara

Kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui merupakan hasil dari tiga kasus.

Pertama, penurunan lingkungan mengurangi jumlah sumber daya yang tersedia, seperti

penggundulan hutan, penyusutan panen, dan kerusakan habitat ikan. Kedua, pertumbuhan

jumlah penduduk akan mengurangi ketersediaan sumber daya alam per kapita, sementara

itu tumbuh permintaan akan sumber daya alam per kapita yang meningkat sesuai dengan

pertumbuhan income per kapita. Ketiga, ketidakmerataan distribusi sumber daya alam di

tangan beberapa orang (pemilik maupun penguasa) akan memperbesar kelangkaan

struktural.

Ada tiga argumen yang dapat menjelaskan bahwa kelangkaan SDA yang dapat

diperbarui akan mengikis/menggerogoti kemampuan negara (state capacity) dan

meningkatkan kemungkinan konflik masyarakat sipil.

Pertama, kelangkaan mendorong permintaan politik dan keuangan di pemerintahan.

Kerusakan sumber daya alam yang absolut mengharuskan adanya teknologi atau alat

rehabilitasi sumber daya alam yang sangat mahal. Semakin turunnya pendapatan kaum

elite yang menggantungkan income-nya pada eksploitasi sumber daya alam, dapat

semakin memiskinkan penduduk yang kehidupannya bergantung pada sumber daya alam.

Mereka yang miskin ini terdorong untuk melakukan migrasi menuju daerah slum

(kumuh) atau berpindah ke daerah lain yang rawan habitatnya. Semua ini akan semakin

mempercepat dan memperluas proses kerusakan sumber daya alam yang dapat

diperbarui.

Kedua, kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui akan merugikan atau

berdampak negatif terhadap produktivitas ekonomi secara umum, misalnya penurunan

Page 9: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

supply bahan dasar industri kehutanan. Padahal, legitimasi negara berlandaskan

keberlangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Maka, muncul rasa

ketidakpuasan terhadap negara, timbul konflik antara berbagai elemen sosial

kemasyarakatan. Semua itu mendorong ke arah kehancuran tata sosial dan pengikisan

kapasitas negara dalam merespon semua permasalahan tersebut.

Ketiga, kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui akan menganggu

kemampuan negara untuk beradaptasi terhadap tekanan dan kondisi yang baru. Semua

negara telah menetapkan kebijakan dan pilihan institusionalnya yang dianggap paling

baik untuk melayani kepentingan negara, pilihan itu dibuat pada waktu yang lalu. Kondisi

dan tantangan yang dihadapi negara, - kelangkaan sumber daya, perubahan struktur sosial

ekonomi, dan perubahan faktor lainnya -, kemampuan negara untuk beradaptasi selalu

terperangkap oleh kebijakan politik, ekonomi dan institusional yang ditentukan pada

masa lalu. Menghadapi tantangan baru, negara tidak dapat bereaksi secara jernih.

Peningkatan kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui akan menghalangi

kemampuan negara untuk beradaptasi, ada beberapa pemahaman atau penalaran hal itu.

Pertama, kelangkaan selalu mendorong ke arah peningkatan permintaan dari berbagai

aktor (petani, pekerja kota, industri bergantung sumber daya alam, pengamat lingkungan

hidup) pada negara (untuk memberikan subsidi, menanamkan investasi rehabilitasi

sumber daya alam, penciptaan taman nasional, dan lain-lainnya). Kedua, kelangkaan

secara berkala meningkatan percecokan sosial dan konflik antar kelompok sosial,

menurunkan kemampuan negara untuk mengajak berbagai aktor yang berbeda

(komunitas lokal yang berbasiskan hutan dan perusahaan perkayuan seperti Hak

Penguasaan Hutan) untuk berkerjasama dalam bentuk yang inovatif. Terakhir, sumber

daya alam akan semakin langka, hal itu menjadi persoalan yang sulit bagi negara untuk

memperoleh win-win solution bagi konflik lingkungan, ketika salah satu aktor

memperoleh keuntungan yang lebih banyak sedangkan aktor yang lain justru kehilangan

lebih banyak lagi dari akses mereka terhadap sumber daya alam.

 

Penutup

Semenjak anjloknya harga minyak tanah di pasar dunia. Pemerintah menganggap

sumber daya hutan merupakan pengganti minyak tanah sebagai sumber devisa negara.

Page 10: Sumber Daya Manusia Serta Eksploitasi Lingkungan

Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah konsentrasi eksploitasi sumber daya

alam yakni sebagai sasaran beroperasinya perusahaan perkayuan (logging company),

perusahaan agriculture seperti sawit, dan daerah resettlement bagi para transmigran.

Kebijakan transmigrasi ini dikaitkan dengan kepentingan perusahaan agribisnis di luar

pulau Jawa untuk memperoleh tenaga kerja murah yang tidak dapat dipasok oleh

komunitas penduduk lokal, namun selain itu juga dimaksudkan untuk memperlemah

sistem dan legitimasi penguasaan sumber daya alam oleh penduduk asli (local indigenous

communities). Sumber daya alam yang dahulu dikuasai oleh penduduk lokal, kemudian

diklaim dalam penguasaan negara untuk kemudian dibagi-bagi kepada perusahaan-

perusahaan pemegang konsensi HPH.

Proses kelangkaan sumber daya alam terjadi ketika akses penduduk lokal terhadap

sumber daya alam di sekitarnya dirampas oleh negara dan diberikan kepada perusahaan-

perusahaan pemegang konsesi. Kelangkaan sumber daya alam yang dirasakan oleh

penduduk lokal ini telah memicu berbagai bentuk resistensi terhadap perusahaan-

perusahaan yang dianggap telah merampas akses mereka terhadap sumber daya alam di

sekitarnya.