Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

28
a Sepenggal Perjuangan Memastikan Negara Hadir Melindungi Petani Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria Warga Kedung Galih Menentang Pembangunan Pusdiklat Brimob SUARA PEMBARUAN AGRARIA Menyoal “Reforma Agraria” Jokowi-JK hal ... 2 hal ... 8 hal ... 18 hal ... 20 Edisi : XV / Juni - Agustus 2015 Proyek Infrastruktur Merampas Hak Rakyat Atas Tanah

description

Proyek infrastruktur merampas hak rakyat atas tanah

Transcript of Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

Page 1: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

a

Sepenggal Perjuangan Memastikan Negara Hadir Melindungi Petani

Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria

Warga Kedung Galih Menentang Pembangunan Pusdiklat Brimob

SUARAPEMBARUAN AGRARIA

Menyoal “Reforma Agraria” Jokowi-JK

hal ... 2 hal ... 8 hal ... 18 hal ... 20

Edisi : XV / Juni - Agustus 2015

Proyek Infrastruktur

Merampas Hak Rakyat Atas Tanah

Page 2: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

Daftar Isi

Laporan Utama

Proyek Infrastruktur Merampas Hak Rakyat Atas Tanah 2

Liputan Khusus

Sepenggal Perjuangan Memastikan Negara Hadir Melindungi Petani 8

Menyoal “Reforma Agraria” Jokowi-JK 14

Dunia Dalam

Konsultasi dan Evaluasi CSO tentang Kebijakan Pembangunan Perkebunan 16

Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria 18

Dinamika

Warga Kedung Galih Menentang Pembangunan Pusdiklat Brimob 20

Lagi, Kekerasan TNI di Urut Sewu 21

Profil

Ubed: Pendamping Masyarakat Sekitar Hutan Perhutani di Desa Pacet, Mojokerto, Jatim 23

Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas dukungan dari Ford Fondation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwujudan Pembaruan Agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat [email protected] atau dikirim via pos ke alamat redaksi.

Page 3: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

Penanggung Jawab:Iwan Nurdin

Pemimpin Redaksi:Dewi Kartika

Dewan Redaksi:Adi W, Yahya Zakaria, DD Shineba, Adang Satrio,

Diana, Roy SilalahiLayout:

SyamsudinAlamat Redaksi:

Kompleks Liga Mas Indah Jl Pancoran Indah 1,

Blok E3 No. 1, Pancoran, Jakarta Selatan 12760

Telp 021-7984540 Fax 021-7993834

Email: [email protected] Website:

www. kpa.or.id

Pada edisi ke-9, Suara Pembaruan Agraria kali ini, redaksi akan memuat isu-isu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Laporan Utama mengulas Judisial Review UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (RUU Perlintan) yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 09 Juli 2013. Lalu pertanyaan kritis yang timbul adalah, sejauh mana undang-undang tersebut melindungi dan memberdayakan petani? Yang mana persoalan lahan pertanian atau lebih tepatnya tanah yang dimiliki adalah permasalahan utama dari petani Indonesia, namun persoalan tanah justeru tidak masuk dalam konsiderans Undang-Undang tersebut. Padahal UUPA 1960 sebagai induk dari UU tersebut bermaksud mengakhiri ketidakadilan agraria dan mewujudkan tanah bagi mereka yang benar-benar menggarap tanah.

Untuk Laporan khusus ini kami mengangkat tentang pembangunan infrastruktur yang merampas tanah rakyat. Seiring dengan meluasnya proyek Master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur, seringkali terjadi konflik yaitu sebanyak 215 konflik agraria (45,55%). Dalam tulisan tulisan ini juga dibahas mengenai solusi pembangunan infrastruktur yang tidak menyengsarakan rakyat.

Pada rubrik Dunia Dalam kami menyajikan laporan dari kegiatan-kegiatan yang selama periode ini dilakukan oleh KPA diantaranya, Konsultasi dan Evaluasi CSO tentang Kebijakan Pembangunan Perkebunan dan Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria.

Selamat membaca

Salam Reforma Agraria!

Edisi : XV / Juni - Agustus 2015Tiada Demokrasi Tanpa REFORMA AGRARIA Sejati

SUARAPEMBARUAN AGRARIA

Sepenggal Perjuangan Memastikan Negara Hadir Melindungi Petani

Proyek Infrastruktur

Merampas Hak Rakyat Atas Tanah

Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria

Warga Kedung Galih Menentang Pembangunan Pusdiklat Brimob

SUARAPEMBARUAN AGRARIA

Menyoal “Reforma Agraria” Jokowi-JK

hal ... 2 hal ... 8 hal ... 18 hal ... 20

Edisi : XV / Juni - Agustus 2015

Page 4: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

2

Laporan Utama

Kata “Infrastruktur” sekarang ini bagaikan mantra sakti dari seorang penyihir jahat yang mampu menghipnotis

pemerintahan di negara-negara Asia. Tidak akan ada kemajuan sebuah bangsa tanpa membangun infrastruktur, seperti jalan tol, rel kereta, pelabuhan dagang/peti kemas, pembangkit listrik dan jaringan telekomunikasi. Dengan dibangunnya semua infrastruktur tersebut kegiatan-kegiatan ekonomi negeri akan semakin masif, perdagangan semakin maju, mobilitas penduduk akan semakin mudah. Sekilas tidak ada yang salah dengan premis tersebut, seperti pepatah Cina; bangunlah jalan maka kemajuan bangsa akan diraih, namun itu hanyalah kulit dari buah yang bernama penjarahan sumber-sumber penghidupan rakyat. Proyek infrastruktur tidak hanya berdampak pada perampasan tanah yang semakin masif terjadi, tetapi juga hanya memberikan keuntungan kepada Pemodal Besar.

Mega-proyek Infrastruktur saat ini menjadi pilihan akumulasi kapital terbesar ketika perdagangan barang dan instrumen investasi lain sedang mengalami kebuntuan akumulatif akibat krisis yang terjadi di negara-negara industri maju, melibatkan

Proyek InfrastrukturMerampas Hak Rakyat Atas Tanah

“Proyek infrastruktur tidak hanya berdampak pada

perampasan tanah yang semakin masif

terjadi, tetapi juga hanya memberikan keuntungan kepada Pemodal Besar”

Adhi Wibowo

Page 5: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

3

Laporan Utama

dana publik yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Data statistik perdagangan barang Amerika dan negara-negara Eropa menurun drastis, begitupun dengan Cina yang pertumbuhan ekonominya ditopang oleh industri ekspor saat ini sedang merosot, bahkan angka pertumbuhan ekonominya terendah sejak 10 tahun terakhir. Mereka butuh pasar baru ketika pasar lama sedang sekarat, pasar itu bernama Asia dan Infrastruktur.

AIIB sebuah lembaga finansial regional yang membiayai pembangunan infrastruktur di Asia. Inisiatif pembentukannya disampaikan secara langsung oleh Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping pada saat Pertemuan Tingkat Pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali pada Oktober 2013. Seperti gayung bersambut, Secara resmi, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim telah menyambut lembaga baru tersebut, mengatakan bahwa negara-negara berkembang memerlukan sekitar US$1 triliun per tahun untuk pendanaan infrastruktur, jauh dari kemampuan sektor swasta untuk mendanainya. Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Takehiko Nakao juga telah menyambut bank baru tersebut, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, AIIB bukanlah rival, melainkan sebagai partner. Lebih lanjut ia mengatakan lembaga itu dapat secara substansial mendorong pendanaan yang tersedia sambil memaksa reformasi birokrasi. Tidak hanya lembaga lembaga keuangan, negara negara maju seperti Inggris, Prancis, Jerman, Swiss dan Australia juga menyatakan dukungannya untuk bergabung. Hanya Amerika Serikat yang sampai saat ini masih menahan diri.

Pada tanggal 29 Juni 2015, bertempat di Balai Agung Rakyat Beijing 57 negara menandatangani persetujuan mendirikan Bank Investasi Infrastruktur Asia atau AIIB yang diinisiasi oleh Cina. Cina memegang

20.6 persen suara, kedua India 7.5 persen, kemudian disusul Rusia 5.92 persen, lalu pada urutan ke-tujuh Indonesia yang akan menanamkan modal 672,1 juta dollar AS atau setara Rp 8,9 triliun dengan nilai tukar Rp 13.300 per dollar AS. Indonesia menjadi penanam modal terbesar ke-8 di AIIB dengan begitu bisa mendapat suntikan maksimum modal berupa pinjaman berbunga rendah dalam jangka panjang.

Bank Raksasa dan Kapital Finansial

Secara prinsip kerja AIIB tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya; Bank Dunia, IMF dan ADB. Negara-negara anggota menyetorkan sejumlah modal, lalu modal tersebut akan dikonversi menjadi hak suara. Dengan begitu negara yang menyetorkan modal lebih banyak daripada yang lain akan mendapatkan hak monopoli setiap keputusan yang diambil dalam lembaga tersebut, termasuk menentukan siapa yang menduduki jabatan tingkat tertinggi di jajaran eksekutifnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Direktur WB dan IMF silih berganti berasal dari kalau bukan dari Amerika berarti dari Negara Eropa Barat, meskipun beberapa jajaran eksekutifnya mengakomodir orang-orang di luar negara maju, seperti saat Sri Mulyani diangkat menjadi salah satu direktur Bank Dunia.

Bagaimanapun juga baik IMF, Bank Dunia, ADB maupun AIIB adalah sebuah bank. Bank dalam definisi dewasa ini bukan hanya sebagai alat menyimpan uang namun juga alat melipat-gandakan uang, dengan pertama-tama mengubahnya dulu menjadi “Kapital”. Selain bank-bank yang beranggotakan negara terdapat juga Lembaga-lembaga keuangan non-bank atau institusi finansial seperti JP Morgan, Morgans Stanley, Goldman & Sacks dan juga kita mengenal Lehman & Brothers yang jatuh pada krisis 2008. Sementara itu di dalam negeri terdapat Recapital, Bhakti Investama dll. Mereka menghimpun dana dari

Page 6: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

4Pengerjaan proyek jalan tol Becakayu

berbagai pihak yang sebagian besar dananya juga diinvestasikan untuk membiayai proyek infrastruktur.

Penggabungan kapital bank dengan kapital industri, kemudian mereka membagi dunia dalam batasan yang mereka buat sendiri. Kompetisi bebas yang dulu ada pada mereka kini telah berubah menjadi monopoli dan kartel. Pada tahapan tertingginya, Kapital akan menjadi satu kekuatan monopoli yang dominan. Dengan kekuatan monopolinya, ia mampu membuat setiap negara berdaulat bertekuk lutut dihadapannya, dibawah syarat-syarat yang sangat memberatkan. Di setiap negara yang sedang mengalami krisis, bank-bank raksasa tersebut datang bak pahlawan memberikan tawaran yang menggiurkan berupa suntikan dana yang sangat besar, namun pahlawan tersebut ternyata hanyalah serigala berbulu domba, suntikan dana diberikan dengan syarat-syarat tertentu malah membuat kehidupan

sehari-hari rakyat lebih susah dari saat krisis itu sendiri. Tujuan mereka hanyalah ingin membuat

ekonomi politik negara tersebut semakin

terbuka dan

menjalankan agenda liberalisasi di bidang ekonomi serta mengambil keuntungan dari suatu bantuan yang bernama utang. Pengalaman nyata dapat kita rasakan saat krisis moneter ‘98 atau yang baru-baru ini terjadi di Yunani.

Tabel dibawah ini merupakan data negara produksi baja terbesar, hampir semua negara tersebut di tabel berikut mendukung pendirian AIIB. Menurut data World Steel Association lebih dari juta orang bekerja di sektor ini, belum lagi terhitung industri pendukungnya.

Cina merupakan negara yang sangat berkepentingan dalam monopoli kapital infrastruktur ini, karena besarnya industri baja dan konstruksi dalam negerinya, diikuti beberapa negara dalam Uni Eropa. Proyek infrastruktur sangat tergantung pada industri baja, begitupun juga sebaliknya. Dalam hal ini industri baja sangat berkaitan erat dengan kapital yang ada di dalam AIIB. Dalam pernyataan resminya ADB memperkirakan pembangunan negara-negara Asia membutuhkan investasi $8 triliun untuk infrastruktur dari 2010 sampai 2020 hanya agar ekonominya bergerak maju. Negara-negara Kapitalis yang saat ini sedang mengalami resesi membutuhkan obat mujarab untuk membangkitkan ekonominya, investasi di sektor infrastruktur dapat menjadi angin segar bagi akumulasi kapital.

Page 7: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

5

Dalam kondisi yang demikian, ekspor kapital untuk membangun infrastruktur ke negara-negara Asia mampu memberikan imbal hasil yang berlipat ganda. Mengapa demikian? Pada kenyataannya Asia adalah negara-negara yang harga propertinya masih murah dan perekonomianya selalu dipuja-puja akan menjadi pasar yang berkembang (emerging market). Alasan lainnya adalah mandeknya perdagangan barang-barang akibat menurunnya daya beli masyarakat yang terus tergerus oleh krisis.

Bagaimana seharusnya Infrastruktur dibangun?

Menolak sepenuhnya pembangunan infrastruktur secara serampangan adalah sama halnya menolak kemajuan itu sendiri. Kita menyaksikan pembangunan infrastruktur yang begitu megah; gedung-gedung besar menjulang tinggi, bandar udara dan pelabuhan yang sangat besar, jalan tol menjular, jembatan dan rel kereta yang sangat panjang, namun tepat disampingnya gubuk-gubuk penduduk miskin yang kumuh dan tak layak huni, mereka adalah orang-orang yang dalam hidupnya hampir tidak pernah menikmati hasil pembangunan. Bagaimana bisa kemajuan pembangunan tidak mampu memajukan peradaban? Jawabannya sederhana, pembangunan itu memang tidak ditujukan untuk kemajuan peradaban seluruh

masyarakat tapi ditujukan untuk akumulasi kapital yang lebih besar dari kongsi-kongsi dagang para kapitalis. Pertama-tama mereka menciptakan kota-kota yang megah yang terpencar-pencar, lalu mereka membangun perhubungan dari kota-kota yang terpencar itu untuk memudahkan distribusi barang-barang mereka. Mereka juga membangun perhubungan dari pelosok-pelosok negeri yang paling jauh jaraknya agar mendapatkan sumber-sumber bahan mentah yang berlimpah, di sana dibangun perkebunan, pertambangan dan mengeksploitasi segala apa yang ada di dalam bumi, mengolahnya lalu membawanya ke kota.

Karena pembangunan infrastruktur ditujukan untuk akumulasi kapital, maka sifatnya juga melekat kepadanya; yaitu sifat bawaan dari kapital; kepemilikan pribadi dan individualisme. Pembangunan jalan tol lebih diutamakan daripada angkutan umum massal kereta api, yang akan memicu masyarakat dan saling berlomba-lomba membeli mobil pribadi yang berarti juga akan semakin banyak mengkonsumsi sumber daya energi fosil yang semakin terbatas. Mega proyek tol Trans Jawa dan Sumatra menjadi prioritas paling utama pemerintahan ini.

Pertama, Jalur-jalur perhubungan dibuat untuk menghapuskan kesenjangan ekonomi antar wilayah, antara desa dan kota, bukan

Crude steel production (million metric tons):

Rank(2013)

Country/Region 2008 2009 2010 2011 2012 2011 2014

— World 1326.5 1,219.7 1,413.6 1,490.1 1552.9 1649.3 1674 (est.)1 China 500.3 573.6 626.7 683.3 724.7 779.0 822.698— European Union (27) 198.2 139.3 172.8 k177.7 168.6 165.6 169.2972 Japan 118.7 87.5 109.6 107.6 107.2 110.6 110.6663 United States 91.4 58.2 80.6 86.2 88.6 87.0 88.1744 India 57.8 62.8 68.3 72.2 77.3 81.2 86.5306 South Korea 53.6 48.6 58.5 68.5 69.3 66.0 71.5435 Russia 68.5 60.0 66.9 68.7 70.6 69.4 71.4617 Germany 45.8 32.7 43.8 44.3 42.7 42.6 42.943

Page 8: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

6

menjadi relasi yang menundukkan desa pada kekuasaan kota, yang ini berarti bahwa pembangunan infrastruktur mampu me-majukan tingkat ekonomi pedesaan, me-mudahkan distribusi produk hasil-hasil pertanian pedesaan langsung dari para produsennya. Sehingga memotong mata rantai distribusi yang berliku. Perlu juga dilakukan modernisasi dalam alat-alat di sektor pertanian untuk m e n d a p a t k a n hasil kerja yang setinggi-tingginya. M o d e r n i s a s i ini dipadukan dengan Industri pengolahannya, terutama untuk h a s i l - h a s i l perkebunan, misal perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik pengolahan gula.

Kedua, Proyek Infrastruktur harus memperhat ikan s o s i o - e ko n o m i m a s y a r a k a t . Selama ini proyek i n f r a s t r u k t u r seringkali menggusur lahan produktif rakyat, terutama di sektor pertanian, juga lahan subur untuk pertanian beralih fungsi menjadi jalan tol, kawasan industri dan infrastruktur lainnya. Data KPA mencatat sepanjang 2014, sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik ini juga melibatkan sedikitnya 105.887 Kepala Keluarga. Konflik agraria menjadi semakin tinggi seiring dengan meluasnya proyek Master plan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur. Di sektor infrastruktur telah terjadi konflik paling banyak yaitu sebanyak 215 konflik agraria (45,55%).

Untuk daerah dengan lahan perkebunan yang luas seperti Sumatra dan dan Sulawesi

yang dibutuhkan adalah infrastruktur p e n g a n g k u t a n berbasis kereta api dalam skala besar, sehingga p e n g a n g k u t a n hasil perkebunan menjadi semakin mudah. Untuk daerah Jawa yang padat penduduk harus ada pemisahan jaringan kereta api antar kota dan dalam kota (trem, metro, commuter line).

Ketiga, Proyek infrastruktur harus mampu menjamin kemajuan bagi p e r a d a b a n masyarakat banyak. Infrastruktur yang

dibangun harus bersifat sosial dan ditujukan untuk kesejahteraan umum masyarakat yang lebih besar. Untuk tujuan ini peningkatan infrastruktur juga harus dibarengi dengan program industrialisasi nasional yang terencana secara demokratis, bukan industri nasional yang terkonsentrasi pada para pemodal. Untuk penyediaan lahan bagi infrastruktur ini memang harus menyediakan ribuan hektar tanah, untuk itu perlu untuk dilakukan penataan ulang agraria dalam satu program nasional yang terencana.

Proyek Infrastruktur harus memperhatikan sosio-ekonomi masyarakat. Selama ini proyek

infrastruktur seringkali menggusur lahan produktif rakyat, terutama di sektor pertanian, juga lahan

subur untuk pertanian beralih fungsi menjadi jalan tol, kawasan industri

dan infrastruktur lainnya. Untuk daerah dengan lahan perkebunan

yang luas seperti Sumatra dan dan Sulawesi yang dibutuhkan

adalah infrastruktur pengangkutan berbasis kereta api dalam skala besar, sehingga pengangkutan

hasil perkebunan menjadi semakin mudah.

Page 9: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

7

Infrastruktur yang demikian hanya bisa dibangun dengan tidak mengikuti logika kapitalisme, karena logika itu berkebalikan dengan logika kemajuan masyarakat banyak. Para pemodal membangun infrastruktur untuk semakin memudahkan sirkulasi kapital, di sisi lainnya mereka mendorong negara untuk memangkas subsidi sektor publik dan mengalihkannya untuk membangun infrastruktur yang sesuai dengan bayangan mereka sendiri. Mereka memaksakan syarat-syarat eksistensinya kepada masyarakat di negara-negara Asia. Pembangunan infrastruktur yang semacam ini tidak akan pernah menyelesaikan problem kemiskinan yang ada di dalam masyarakat, karena memang tidak pernah diniatkan untuk itu. AIIB dibentuk atas dasar logika tersebut.

Dilandasi oleh kebuntuan akumulasi kapital akibat krisis yang terjadi di negara-negara Industri maju butuh jalan keluar, pembukaan pasar baru dan ekspor kapital yang saat ini telah berlangsung, sedang berlangsung dan masih terus akan berlangsung ke negara-negara Asia menjadi jalan keluarnya. Suatu kondisi yang masih sama, dengan metode yang tidak jauh berbeda sejak 500 tahun yang lalu ketika bangsa Eropa datang ke Tanjung Harapan, menyusuri jalur sutera perdagangan hingga akhirnya sampai ke Hindia Timur. Proyek besar-besaran infrastruktur pertama kali di tanah Jawa “jalan raya pos” dibangun oleh Herman Willem Daendels, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36 untuk mempertahankan daerah jajahannya dan mempermudah pengangkutan hasil bumi dari berbagai daerah di Jawa, terutama Jawa Barat untuk dikirim ke pelabuhan di Cirebon dan selanjutnya dibawa ke negeri Eropa.

Cina kini telah menjadi satu kekuatan imperialis, bersanding dengan negara-negara industri maju yang terdahulu. Bersama-sama mereka membangun satu Lembaga kapital

monopilistik. AIIB tak ubahnya seperti World Bank dan ADB sebagai salah satu media akumulasi kapital. Sebagai konsekuensi dari menyatukan dirinya dalam pasar internasional maka ekonomi merekapun pasti rapuh, yang suatu saat dapat meruntuhkan bangunan ekonomi mereka sendiri, seperti yang terjadi baru-baru ini, pasar saham Cina jatuh hingga 30%. Ekspor kapital dianggap sebagai cara yang paling efektif, sementara kelas borjuasi kita menganggap ini adalah kesempatan, sebuah mental yang tidak pernah berubah sejak dari jaman dulu, bergantung pada pinjaman, bergantung pada modal asing. Ini tidak mengherankan, karena memasang sejak kelahirannya dicangkokkan oleh ekspor kapital dari negara-negara imperialis. Dan pemerintahannya meniru manajemen gaya VOC, korup dan bermental pedagang yang mengobral diskon tanpa syarat dan ketentuan apapun.

Dengan vulgar mereka mengatakan bahwa proyek infrastruktur akan mampu membawa kemajuan, menyerap angkatan kerja dan menggerakkan ekonomi. Kita harus mampu menolak asumsi ini, pembangunan tersebut tidak lain hanyalah sebuah jalan keluar dari kebuntuan dan kemandekan akumulasi kapital mereka sendiri dan kita hanya menjadi laboratorium bagi penyelamatan krisis yang mereka alami, eksploitasi yang lebih dalam atas sumber-sumber penghidupan rakyat dan buruh Indonesia. Membangun dari apa yang kita miliki, karena kita memiliki lebih dari yang kita butuhkan.

Page 10: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

8

Liputan Khusus

Perjuangan panjang para Petani yang tergabung dalam berbagai serikat tani dan organisasi masyarakat sipil yang mendukung serta

memajukan perwujudan reforma agrarian sejati dalam melahirkan produk hokum yang berpihak kepada Petani terus digelorakan, meski terus juga menemui kendala-kendala yang tak bisa dikatakan ringan. Salah satunya adalah pengalaman mendorong serta mengawal lahirnya satu program legislasi nasional yakni Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Sejak awal, sebenarnya para petani yang tergabung dalam berbagai serikat tani dan Organisasi Masyarakat Sipil yang mendukung serta memajukan perwujudan reforma agrarian sejati telah melakukan sejumlah aksi dan lobby kepada para pemangku kepentingan pembuat Undang-Undang baik eksekutif maupun legislative untuk segera melahirkan Undang-Undang tentang Hak Asasi Petani.

Mengapa UU Hak Asasi Petani?

Pada tahun 2001, tepatnya 4 (empat) tahun sejak tumbangnya rezim Orde Baru yang dikendalikan Soeharto, ditengah kebebasan berkumpul dan berserikat yang baru dihirup secara bebas oleh organisasi-organisasi rakyat dari berbagai sektor, petani, buruh, LSM/NGO/OMS dan tidak ketinggalan juga Mahasiswa, termasuk didalamnya juga adalah diskursus tentang masalah-masalah kerakyatan yang selama ini dipasung oleh rezim militeristik Orde Baru, salah satunya adalah menyeruaknya isu-isu kerakyatan yang selama 32 Tahun dipendam

Sepenggal Perjuangan Memastikan Negara Hadir Melindungi Petani

“Harus ada perhatian lebih terhadap kelompok rentan yang bekerja di pedesaan, khususnya petani kecil, orang tak bertanah, nelayan, pemburu, dan peramu. Oleh karenanya, harus dilakukan adopsi deklarasi hak asasi petani sebagai sebuah instrumen hak asasi manusia di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)” Hal tersebut disampaikan oleh Komite Penasehat Dewan HAM PBB dalam pertemuan Sesi ke-19 Dewan HAM PBB yang digelar sejak tanggal 27 Februari-23 Maret 2012 di Jenewa, Swiss.

Oleh : Ridwan Darmawan, SH

Page 11: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

9

serta menjadi isu pokok gerakan, Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik-konflik laten Agraria!

Berdasarkan hal itu, Komnas HAM beserta Organisasi-Organisasi Tani atau serikat tani yang lahir secara formal pada era reformasi beserta para pegiat, penganjur dan pendukung gerakan reforma agraria bersama mahasiswa menggelar Konferensi Nasional Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani yang kemudian melahirkan Naskah deklarasi Hak Asasi Petani sekaligus juga gagasan mengenai pentingnya dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Pada pokoknya Deklarasi hak Asasi Petani tersebut berisi tentang Hak-Hak yang sejatinya harus dilindungi oleh Negara, diantaranya : (1). Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki petani; (2). Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak; (3). Hak atas Tanah dan Teritori; (4). Hak atas Benih, Pengetahuan dan Praktek Pertanian Tradisional; (5). Hak atas Permodalan dan Sarana Produksi Pertanian; (6). Hak atas Informasi dan Teknologi Pertanian; (7). Kebebasan untuk Menentukan Harga dan Pasar untuk Produksi Pertanian; (8). Hak atas Perlindungan Nilai-nilai Pertanian; (9). Hak atas Keanekaragaman Hayati; (10). Hak atas Pelestarian Lingkungan; (11). Kebebasan Berkumpul, Berpendapat dan Berekspresi; (12). Hak untuk Mendapatkan Akses terhadap Keadilan

Sejalan dengan perjuangan mewujudkan cita-cita tersebut, IHCS, SPI beserta organisasi internasional La Via Campisena (Gerakan Petani Dunia), FIAN International dan CETIM memandang perlu untuk mendorong deklarasi rakyat tentang Hak Asasi Petani tahun 2001 menjadi Deklarasi Internasional Hak Asasi Petani. Melalui momentum pertemuan PBB dalam merespon krisis pangan dunia implikasinya terhadap

pemajuan Hak Atas Pangan, Pelapor Khusus Hak Atas Pangan Oliver De Schutter, yang merekomendasikan dalam laporannya dimuka sidang Dewan HAM PBB melalui dokumen sidang ( A / H R C / 1 9 / 5 9 ) tentang perlunya sebuah intrumen PBB mengenai Hak Asasi Petani. Inisiatif Schutter ini kemudian diakomodir dalam dokumen resmi hasil studi final yang dilakukan oleh Komite Penasehat Dewan

HAM PBB yang telah dimulai sejak tahun 2008 dan sekaligus menjadi dokumen lobby resmi Dewan HAM PBB dan diamini oleh delegasi pemerintah Indonesia, Venezuela, Bolivia, Senegal, Ekuador, Kuba, Afrika Selatan, dan Ghana.

IHCS sebagai salah satu unsur delegasi masyarakat yang bekerja untuk pemajuan dan pembelaan hak atas pangan dan hak asasi petani dalam tim advokasi hak asasi petani ini menyampaikan bahwa Dewan HAM PBB harus membuat prosedur khusus yang baru untuk meningkatkan promosi dan perlindungan hak asasi petani dan masyarakat

Sejak awal, sebenarnya para petani yang tergabung dalam

berbagai serikat tani dan Organisasi Masyarakat Sipil yang

mendukung serta memajukan perwujudan reforma agrarian

sejati telah melakukan sejumlah aksi dan lobby kepada para

pemangku kepentingan pembuat Undang-Undang

baik eksekutif maupun legislatif untuk segera melahirkan

Undang-Undang tentang Hak Asasi Petani.

Page 12: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

10

yang bekerja di daerah pedesaan, di mana hak atas tanah harus diakui dalam hukum internasional Hak Asasi Manusia. Instrumen baru ini harus mengakui hak-hak yang tercantum dalam instrumen internasional yang ada, untuk meningkatkan koherensi dan visibilitas. Instrumen baru tersebut juga harus mengakui hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan, antara lain hak atas tanah, benih dan alat-alat produksi. Adapun salah satu rekomendasi IHCS dalam studi tentang pemajuan hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan, adalah bahwa perhatian lebih harus diberikan pada pembaruan agraria yang bermanfaat bagi pemilik tanah skala kecil dan mempromosikan perlindungan kepemilikan dan akses terhadap tanah bagi rakyat di pedesaan, terutama bagi perempuan.

Berdasarkan hal tersebut, demi

menyinkronkan serta membumikan sinyal positif dari kesadaran akan pentingnya dilahirkan sebuah intrumen Hak Asasi Petani sebagaimana digambarkan diatas, IHCS bersama sejumlah organisasi tani dan Masyarakat Sipil mendorong agar Negara melahirkan Undang-Undang tentang Hak Asasi Petani dengan merujuk pada dokumen Naskah Deklarasi Hak Asasi Petani yang dilahirkan oleh gerakan rakyat bersama Komnas HAM pada Tahun 2001.

Bersamaan dengan itu, Pada Tahun 2012, di DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang merupakan Program Legislasi Nasional Prioritas, sehingga kami berusaha mengadvokasi RUU tersebut dengan harapan meski Judul Undang-Undangnya berbeda dengan yang menjadi cita-cita bersama, akan tetapi substansi yang terkandung didalamnya berupa adopsi

Page 13: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

11

Semenjak Republik Indonesia hendak didirikan sudah dibangun kerangka hukum agar kekayaan alam yang salah satunya adalah tanah, bisa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itulah kemudian pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat tentang perlunya Hak Menguasai Negara atas kekayaan alam guna melindungi tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) yang menjadi operasionalisasi dari pasal 33 UUD 1945, adalah basis regulasi untuk merubah secara revolusioner hukum agraria yang berwatak kolonial menjadi hukum agraria nasional yang anti terhadap kolonialisme dan feodalisme.

Berkaitan dengan soal landreform, sesungguhnya UUPA 1960 bermaksud mengakhiri ketidakadilan agraria dan mewujudkan tanah bagi mereka yang benar-benar menggarap tanah. Menurut data Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), pada tahun 2007 hampir 70 % aset nasional Indonesia dikuasai oleh 0,02 % penduduk, dan lebih dari 50% dari aset itu adalah tanah pertanian (beserta kandungannya).

Sementara itu, berdasarkan sensus pertanian 2013, jumlah keluarga tani selama sepuluh tahun terakhir susut menjadi 5,04 juta keluarga. Pada periode yang sama, jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Artinya terjadi formalisasi. Namun yang mengkhawatirkan adalah jumlah petani gurem terus meningkat. (Harian Kompas, Selasa 03 September 2013, halaman `18).

Berangkat dari data diatas, semakin menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen

Bahwa dengan mengatur soal landreform, sesungguhnya UUPA

1960 bermaksud mengakhiri ketidakadilan agraria dan

mewujudkan tanah bagi mereka yang benar-benar menggarap

tanah. Menurut data Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), pada tahun 2007 hampir 70 % aset nasional

Indonesia dikuasai oleh 0,02 % penduduk, dan lebih dari

50% dari aset itu adalah tanah pertanian.

menyeluruh terhadap Dokumen Naskah Deklarasi Hak Asasi Petani tahun 2001 yag sudah sangat jelas menggambarkan tentang hak-hak yang harus dilingdungi dan kewajiban Negara untuk mewujudkannya.

Lahirnya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Melanggar Konstitusi!

Pada tanggal 09 Juli 2013, DPR RI telah mengesahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (RUU Perlintan) menjadi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131. Bahwa pertanyaan kritis yang timbul adalah, sejauh mana Undang-Undang tersebut melindungi dan memberdayakan petani? Yang mana persoalan lahan pertanian atau lebih tepatnya tanah yang dimiliki adalah permasalahan utama dari petani Indonesia, namun persoalan tanah justeru tidak masuk dalam konsideran Undang-Undang tersebut.

Page 14: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

12

menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian. Diketahui pula bahwa dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata 90 persen bekerja yang berarti mereka bekerja keras tapi tetap miskin.

Bahwa di dalam bagian “MENIMBANG” Undang-Undang tersebut, persoalan tanah tidak dimasukkan dalam permasalahan yang dihadapi petani sehingga Undang-Undang a quo tidak secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. Undang-Undang a quo hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar, dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani. Itupun dalam Pasal 59 Undang-Undang a quo, tanah yang diredistribusikan kepada petani tidak menjadi Hak Milik petani, melainkan hanya berupa Hak Sewa, Izin Pengusahaan, Izin Pengelolaan, atau Izin Pemanfaatan.

Bahwa Hak Sewa, dalam artian petani penggarap membayar sewa ter-hadap negara adalah melanggar prinsip dari Hak Menguasai Negara, karena berarti menjadikan negara menjadi pemilik tanah yang tanahnya disewa oleh petani.

Padahal mengenai konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas menafsirkan mengenai “Hak Menguasai Negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara

merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad);

Bahwa pembatasan hak atas tanah petani yang diperoleh melalui redistribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin adalah merupakan bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bahwa konsep petani menyewa tanah kepada Negara adalah suatu konsep yang menghidupkan kembali praktek feodalisme, yang mana negara menjadi tuan tanah dan petani menjadi penggarap. Konsep sewa menyewa akan menyulitkan untuk memperoleh peng-hidupan yang layak karena mengingat petani sebagai kelompok rentan yang tidak akan mampu membayar sewa. Hal ini akan membawa petani dalam perangkap lintah darat dan sistem ijon. Sisa-sisa penghisapan

feodalisme inilah yang sesungguhnya hendak diberantas oleh UUPA 1960.

Selanjutnya mengenai kelembagaan Petani, dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang a quo telah menyatakan pembentukan Kelembagaan Petani harus dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Hal ini memungkinkan terbentuknya lembaga petani yang berbagai macam sesuai dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat petani.

Sementara itu, berdasarkan sensus pertanian 2013,

jumlah keluarga tani selama sepuluh tahun terakhir susut menjadi 5,04 juta keluarga.

Pada periode yang sama, jumlah perusahaan

pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Artinya terjadi

formalisasi. Namun yang mengkhawatirkan adalah jumlah petani gurem terus

meningkat. (Harian Kompas, Selasa 03 September 2013)

Page 15: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

13

Sementara Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang a quo telah memberikan bentuk kelembagaan petani. Hal ini mengabaikan bentuk kelembagaan petani yang lain yang sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang a quo, misalnya: Serikat Petani, Kelembagaan Subak (Bali), kelompok perempuan tani, dan lain sebagainya.

Bahwa pertentangan antara Pasal 69 Ayat (2) dengan Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang a quo telah menyebabkan ketidak pastian hukum bagi kelembagaan petani, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang a quo, adalah praktek dari korporatisme Negara. Yaitu pemerintah memfasilitasi terbentuknya dan menentukan bentuk lembaga petani. Bahwa Korporatisme negara di masa lalu dilakukan oleh Rezim Militer Orde Baru, yaitu pemberlakukan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara. Artinya, petani hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan.

Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak oleh pemerintah, mengakibatkan petani yang tergabung dalam lembaga petani yang berbeda dari yang disebutkan oleh Undang-Undang a quo berpotensi untuk tidak diberdayakan dan dilindungi oleh Negara utamanya pemerintah. Sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap petani, karena tidak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama berdasarkan Undang-Undang a quo.

Atas dasar penelaahan kritis tersebut, kemudian IHCS bersama-sama Serikat Tani dan Organisasi pejuang, penggerak reforma agrarian membulatkan tekad untuk mengajukan permohonan Judiacial Review ke Mahkamah Konstitusi dan pada tanggal 11

Oktober 2013 mendaftarkan Permohonan tersebut dengan pokok Permohonan sebagai berikut : 1). Memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 59, Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Asasi Petani, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945; 2). Menyatakan Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Asasi Petani, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131 sepanjang frasa “berkewajiban” bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; 3). Menyatakan ketentuan Pasal 59 dan Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Asasi Petani, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; 4). Menyatakan ketentuan Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Asasi Petani, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131 sepanjang frasa “berkewajiban” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

Setelah melalui serangkaian proses sidang yang membutuhkan waktu satu tahun lebih, pada tanggal 5 November 2014, Mahkamah Konstitusi akhirnya membacakan putusannya dan mengabulkan permohonan Judicial Review atas UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diajukan oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa, WALHI, FIELD dan lain-lain.

Page 16: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

14

Tak berlebihan kiranya jika pemerintahan Jokowi-JK diistilahkan “jatuh ke lubang

yang sama” dalam konteks reforma agraria. Sebab, sebagian besar intensi pemerintah dalam merumuskan program redistribusi lahan tidak senafas dengan cita reforma agraria yang tertuang dalam UUPA 1960. Sebagaimana pendahulunya, rezim SBY-Boediono yang melabeli program redistribusi lahan pada eranya sebagai “reforma agraria” tanpa mengindahkan prinsip-prinsip pokok reforma agraria, kini Jokowi-JK juga melabeli program redistribusi 9 juta hektar tanah sebagai “reforma agraria”. Meski belum diimplementasikan secara efektif, namun banyak pihak menaruh keraguan besar, program “reforma agraria” Jokowi-JK akan menuai kegagalan yang sama.

Keraguan-keraguan tersebut bukanlah tanpa alasan, mengingat banyak aspek yang harus disiapkan secara matang dan terencana oleh Jokowi-JK agar reforma agraria sebagaimana tersirat dalam UUPA 1960 mampu ditegakan di republik ini. Memang bukan hal mudah, mengingat reforma agraria bukanlah sebuah kebijakan “konvensional” semata, melainkan sebuah gerakan sosial yang menyaratkan adanya integrasi pemerintah dan masyarakat. Dengan prasyarat tersebut, berbagai langkah Jokowi-JK hingga saat ini dinilai belum cukup inovatif dan visioner.

Menyoal “Reforma Agraria” Jokowi-JK

Melalui diskusi yang diselenggarakan KPA dan Bina Desa pada tanggal 1 April 2015 beberapa kelemahan dari program “reforma agraria” Jokowi-JK terkuak, mulai dari orientasi, perencanaan hingga strategi. Meski banyak temuan-temuan lain, namun secara umum, ketiga hal tersebut yang dinilai menjadi permasalahan pokok dari kebijakan redistribusi 9 juta hektar atau yang diklaim sebagai “reforma agraria”. Tak hanya itu, untuk mengukur keselarasan dengan berbagai nilai pokok UUPA 1960 ketiga hal tersebut cukup untuk menjadi indikator.

Membaca Orientasi

Ragam literatur dari pakar agraria telah menunjukan bahwa orientasi paling dasar dari reforma agraria ialah perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Seluruh aspek, mulai dari tanah, air hingga udara harus ditata ulang sesuai dengan semangat kemerdekaan bangsa ini. Baik Soekarno dan Hatta keduanya sejalan bahwa monopoli sumber kesejahteraan rakyat tidak diperkenankan karena hal tersebut merupakan praktik dari kolonialisme. Hingga kini, orientasi tersebut kekal bersemayam dalam UUPA 1960.

Selain perombakan struktur, pengurangan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja,

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari 2 tulisan yang disarikan dari diskusi yang diselenggarakan oleh KPA, Bina Desa dan organisasi yang tergabung dalam KNPA, berjudul “Plus-Minus Rencana Redistribusi Tanah Pemerintahan Jokowi-JK” tanggal 1 April 2015 di Jakarta. Pembicara utama, Iwan Nurdin, Budiman Sudjatmiko dan Gunawan Wiradi dengan penanggap Sediono Tjondronegoro dan Dwi Astuti.

Page 17: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

15

mempertahankan sumber-sumber ekonomi, pengurangan sengketa, perbaikan kualitas hidup, hingga peningkatan ketahanan pangan menjadi orientasi lain yang tak kalah penting dari reforma agraria. Jika dikontekstualisasikan pada “reforma agraria” Jokowi-JK, maka ragam orientasi tersebut menguap, karena redistribusi 9 juta hektar belum terindikasi mengarah pada perwujudan berbagai orientasi tersebut. Bahkan, cenderung hanya sebagai program pengurangan angka kemiskinan konvensional, yakni dengan membagi tanah pada buruh tani dan tani gurem.

Berbagai permasalahan agraria yang masih merundung banyak sektor juga belum menjadi prioritas dari Jokowi-JK, sehingga program redistribusi 9 juta hektar seolah “menutup mata” terhadap ribuan konflik, tingginya praktik rente hingga lemahnya penegakan hukum agraria. Padahal, seluruh persoalan tersebut saling berkelindan dan harus menjadi “satu paket” dengan proses redistribusi lahan. Tanpa itu, langkah-langkah yang dilakukan Jokowi-JK tidak bisa diklasifikasikan mengarah pada reforma agraria.

Kaburnya Perencanaan

Selama lebih dari 6 bulan Jokowi-JK memimpin, perencanaan guna mendorong perwujudan reforma agraria sangat minim. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada. Hanya kebijakan redistribusi 9 juta hektar satu-satunya manifestasi dari usaha tersebut, meski secara orientasi masih terlalu kabur. Dalam konteks kebijakan, redistribusi 9 juta hektar tergolong sebagai kebijakan incremental, yakni melanjutkan dari kebijakan sebelumnya di era SBY,

dimana dari segi jumlah tanah tidak jauh berbeda dari target di era sebelumnya. KPA mencatat, target redistribusi tanah di era SBY terdiri dari 1 juta hektar tanah tanaman, 8,1 juta hektar hutan produksi dan 7 hektar tanah terlantar. Saat Jokowi-JK menetapkan 9 juta hektar, maka jumlah tersebut sudah termasuk dalam target dari kebijakan SBY yang belum rampung terlaksana. Budiman Sudjatmiko mengakui bahwa identifikasi jumlah tanah objek redistribusi dilaksanakan sejak era SBY. Sehingga, pemerintahan Jokowi-JK cenderung hanya melanjutkan.

Proses penetapan objek-objek tanah yang prematur mengindikasikan bahwa perencanaan tidak matang. Sama halnya dengan perencanaan implementasi, belum terlihat adanya pengaturan yang jelas terkait subjek redistribusi tanah hingga access reform. Kemudian, dalam hal kelembagaan, pemerintahan Jokowi-JK terkesan tidak menggalang “koalisi pro-reform” dari berbagai kementrian terkait, serta tidak melibatkan secara aktif dari organisasi tani. Dampaknya, sebagian besar kementerian diluar kementerian ATR cenderung kontraproduktif dengan gagasan redistribusi. Bahkan, kementerian kehutanan merasa keberatan dilibatkan dalam proses implementasi dan menolak tanah hutan dijadikan salah satu objek redistribusi.

Page 18: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

16

Dunia Dalam

Jakarta/KPA - Menurut catatan Kementerian Pertanian selama 2013 sektor perkebunan mampu

menyumbang devisa dari perolehan ekspor senilai 21,4 miliar dolar AS dengan volume sebanyak 23,3 juta ton. Dari angka tersebut hasil ekspor subsektor perkebunan terbesar disumbang komoditi sawit sebesar 11,5 miliar dolar AS, karet 5,27 miliar dolar AS, kakao 780 juta dolar AS, dan kopi 920 juta dolar AS hingga triwulan III tahun lalu. Sebagai upaya agar keuntungan yang diperoleh tidak saja dinikmati oleh perusahaan perkebunan maka Pemerintah melalui Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 telah mengamanatkan kepada para pelaku perusahaan perkebunan untuk menyelenggarakan kemitraan dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Tetapi dalam prakteknya pola kemitraan yang telah diatur oleh pemerintah tersebut masih banyak mengalami persoalan.

Berangkat dari kondisi itulah KPA bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan OXFAM pada Jum’at (28/8) mengadakan diskusi terfokus dengan tema “Konsultasi dan Evaluasi CSO tentang Kebijakan

Konsultasi dan Evaluasi CSO tentang Kebijakan Pembangunan Perkebunan

Page 19: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

17

Pembangunan Perkebunan dan Pola Kemitraan di Indonesia”. Diskusi yang menghadirkan Direktur Sawit Watch Jefri Gideon Saragih, Indriati Herdiyanto Peneliti Litbang Kementerian ATR/BPN RI dan Perwakilan Oxfam-Novib sebagai pemantik diskusi tersebut mengambil tempat di Ruang Rapat Lantai 9, Gedung Widya Graha LIPI.

Pada sesi pertama, Jefri Gideon Saragih dengan materi ” Pola Kemitraan Petani Plasma dan Perusahaan Inti di Perkebunan Sawit ”, menyampaikan tiga hal pokok yaitu Pola-pola kemitraan diperkebunan sawit, Tahapan pembangunan kebun plasma PIR dan KKPA, dan Persoalan kemitraan petani plasma dan perusahaan inti. Khusus untuk persoalan kemitraan antara petani plasma dan perusahaan inti terdapat persoalan yang selama ini banyak terjadi yaitu pengadaan lahan untuk perkebunan, persoalan petani plasma, Persoalan KUD/Koperasi Plasma. Sementara itu Indriati Herdiyanto menyampaikan bahwa berdasarkan Permentan No. 98/2013 terkait Prosedur Perizinan dan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Perkebunan, pihak Kementerian ATR/BPN merasa memiliki kewajiban untuk mengadakan penelitian tentang Ketentuan pembangunan perkebunan inti plasma pada tanah-tanah HGU. Penelitian tersebut pada intinya untuk mendapatkan data tentang luasan penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat pasca dikeluarkanya Peraturan Menteri Pertanian tersebut. Terakhir perwakilan dari OXFAM-Novib menyampaikan konsep Pendekatan “Fair and Green Growth dalam pola hubungan kemitraan.

Selanjutnya pada sesi kedua diskusi yang dihadiri peserta aktif dari Sawit Watch, Sajogyo Institute, TUK Indonesia, API, Litbang Kementerian ATR/BPN, LIPI, IHCS, Bina Desa, Pusaka dan Oxfam dilanjutkan untuk menggali lebih dalam lagi pengalaman-pengalaman lapangan dari para narasumber dan peserta sekaligus juga merumuskan pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk mendorong pelaksanaan pola hubungan kemitraan yang ada lebih berpihak kepada petani plasma. (Jwo)

Page 20: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

18

Dunia Dalam

Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria merupakan

tema dari acara pertemuan Dewan Pakar KPA yang diselenggarakan di Hotel Grand Cemara, Jakarta, pada tanggal 27 Mei 2015. Acara tersebut dihadiri oleh dewan pakar KPA, tim kerja sekretariat nasional KPA serta perwakilan dari Right Resources Initiative. Beberapa agenda pokok yang dibahas dalam pertemuan tersebut meliputi perkembangan kebijakan-kebijakan pertanahan, program redistribusi 9 juta hektar beserta rancangan peraturan perundangan.

Terkait kebijakan pertanahan, dalam diskusi mengemuka beragam persoalan yang masih menghantui sektor pertanahan, seperti tumpang tindihnya peraturan perundangan, tingginya angka konflik, hingga kaburnya RUU pertanahan yang saat ini dalam proses legislasi di DPR RI. Tak hanya itu, inisiasi program redistribusi 9 juta hektar Jokowi-JK juga dinilai berpotensi memperumit serta memperburuk kondisi tersebut jika implementasinya tidak dilaksanakan dengan baik.

Sebagai salah satu program dalam Nawa Cita, redistribusi 9 juta hektar ditujukan bagi pengurangan angka kemiskinan, serta kesenjangan sosial, yang mana selama ini tercatat cukup tinggi. Ragam

peraturan perundangan pun dirancang untuk memuluskan pelaksanaan, berbentuk Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Namun, Perpres maupun Permen tidak memiliki rancang bangun yang baik, sebab poin-poin pokok dalam proses redistribusi tidak diatur secara jelas dan rinci, seperti kelembagaan, penerima manfaat hingga lahan-lahan objek redistribusi.

Dalam pertemuan tersebut, baik dewan pakar KPA, maupun tim kerja KPA mengkritisi kedua rancangan Perpres dan Permen, yang mana poin pokoknya adalah program redistribusi 9 juta hektar beserta rancangan peraturan perundangannya belum mencerminkan reforma agraria sejati. Sehingga, tidak layak untuk dilabeli ataupun diklaim sebagai reforma agraria oleh pemerintah, mengingat beberapa prinsip dasar reforma agraria sebagaimana termanifestasikan dalam UUPA 1960 tidak tercermin dalam program tersebut.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah program 9 juta hektar ternyata tidak seluruhnya berupa redistribusi, melainkan sebagian merupakan proyek sertifikasi, layaknya Prona ataupun land administration project dari World Bank. Sehingga, dari jumlah 9 juta hektar, hanya sebagian yang diredistribusikan pada masyarakat. Tak hanya itu, indikasi

Konsinyering Kebijakan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria

Page 21: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

19

menghidupkan kembali proyek transmigrasi juga terlihat dalam program tersebut, dimana subjek redistribusi dominan merupakan warga Jawa, namun objek-objek redistribusi terdapat di luar Jawa. Padahal, pemerintah selama ini belum melakukan evaluasi terkait pemberian izin-izin penguasaan lahan pada berbagai perusahaan secara luas di Jawa. Sehingga, transmigrasi bukanlah langkah yang tepat selama tidak dilakukan evaluasi menyeluruh, terutama terkait pemberian izin penguasaan lahan di Jawa.

Aspek kelembagaan juga dievaluasi dalam pertemuan tersebut, karena Kementerian ATR/BPN yang menjadi ujung tombak dalam implementasi dinilai belum memiliki kelembagaan yang baik. Indikasinya, Kementerian ATR/BPN hingga saat ini belum berperan secara dominan, terutama dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan secara khusus dan agraria secara

umum. Bahkan, Kementerian ATR/BPN seolah masih dengan kewenangan yang terbatas sebagaimana dimasa lalu sebagai lembaga yang hanya mengurusi terkait administrasi pertanahan. Padahal, saat ini BPN telah bertransformasi menjadi kementerian dengan kewenangan yang lebih luas.

Dengan pertimbangan soal-soal tersebut, maka dalam pertemuan dewan pakar KPA disimpulkan bahwa program redistribusi 9 juta hektar bukanlah reforma agraria dan pemerintah tidak boleh melabeli program tersebut dengan nama reforma agraria. Kemudian, KPA akan terus mendorong mendorong Jokowi-JK merealisasikan reforma agraria sejati, sekaligus menyiapkan rencana aksi redistribusi 9 juta hektar agar mampu berjalan mendekati titik ideal. Praktiknya, KPA akan memberikan roadmap reforma agraria kepada Jokowi-JK, sekaligus menyusun rancangan Peraturan Presiden tandingan.

Page 22: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

20

Rencana Brimob Polda Jatim yang ingin menjadikan lahan bekas perkebunan

Ubalan Jaman Belanda seluas 29,8 hektar menjadi tempat Pusdiklat masih mendapatkan penentangan dari masyarakat warga dusun Kedung Galih Desa Bareng Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang Jatim. Pada tanggal 03 Juli 2015 yang lalu masyarakat melakukan konsolidasi dengan kemasan buka puasa bersama dihadiri oleh tokoh masyarakat dusun Kedung Galih, KPA Jatim dan komunitas Front Nahdliyin Jombang.

Dalam pertemuan tersebut membicarakan tentang: Pertama; menyikapi adanya pemanggilan beberapa warga oleh anggota Brimob yang berjaga di Posko lokasi lahan sengketa beberapa hari terakhir ini. Kedua; rencana penguatan konsolidasi warga yang dibantu dalam proses pendampingan secara langsung oleh komunitas Front Nahdliyin Jombang, dan KPA Jatim berperan untuk lobby di kanwil ATR/BPN Jatim serta stake holder nasional. Ketiga: warga merencanakan pemetaan partisipatif agar mengetahui luas lahan yang dan mengetahui obyek lahan yang diklaim oleh pihak Brimob, karena disinyalir

ada kekeliruan penunjukan lokasi obyek lahan bekas perkebunan Ubalan. Keempat; rencana audensi dengan pemerintahan daerah Jombang sembari menunggu janji Komnas HAM (Imdadun Rahmat)yang akan turun lokasi setelah hari raya Idul fitri.

Saat ini warga masih sering menghadapi tindakan intimidasi dari pihak Brimob. Intimidasi tersebut dalam bentuk pemanggilan ke posko penjagaan Brimob di lokasi, dan upaya perampasan tanaman tebu milik warga dalam bentuk bagi hasil 50:50 dengan Brimob, apabila warga tidak mau dengan tawaran Brimob tersebut, pihak Brimob melalui kepala dusun Kedung Galih akan melakukan penebangan secara sepihak dengan mendatangkan orang dari luar dusun Kedung Galih desa Bareng. Namun, warga menolak skema bagi hasil tersebut, sebagai upaya perlawanan warga melakukan penebangan tanaman tebu yang usianya saat ini sudah waktunya panen dengan cara serentak bergiliran, sekaligus melakukan pengawalan dalam pengangkutan hasil panen sampai ke lokasi penampungan pabrik gula yang dituju.

Agar upaya penebangan dan penganggkutan ini berjalan dengan baik, warga mendapatkan pengawalan dari beberapa pihak seperti KPA Jatim, Front Nahdliyin Jombang dan media pers.

Warga Kedung Galih Menentang Pembangunan Pusdiklat Brimob

Page 23: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

21

Lagi, Kekerasan TNI di Urut Sewu

Pada 22 Agustus 2015 bentrok kembali terjadi di tanah Urut Sewu, Kebumen.

Petani yang menolak pemagaran lahan konflik digebuki tentara bersenjata lengkap. Empat menderita luka berat dan belasan lainnya mengalami luka ringan.

Kejadian ini berawal dari demonstrasi warga yang menolak pemagaran areal konflik. Massa demonstran berjumlah sekitar 150 orang. Namun, saat warga berorasi, personel tentara bersenjata lengkap semakin banyak berdatangan ke lokasi dengan menggunakan beberapa truk. Mereka langsung mengepung warga. Tanpa peringatan terlebih dulu, Tentara langsung memukuli para petani dengan pentungan. Massa pun kocar-kacir menyelamatkan diri. Namun, pihak tentara terus mengejar mereka hingga ke jalan utama Jalur Lintas Selatan-Selatan (JLSS).

Empat orang yang menderita luka berat, yakni Widodo Sunu Nugroho, Ratiman, dan Prayogo ketiganya dari Desa Wiromartan,

serta Rajab dari Desa Petangkuran. Widodo Sunu yang juga Kepala Desa Wiromartan bahkan harus dirujuk ke RSUD Kebumen karena mengalami pendarahan di kepala dan retak tangan.

Tanah yang menjadi konflik di daerah Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) terletak di antara muara Kali Lukulo DesaAyamputih di sebelah barat, sampai dengan muara Sungai Wawar Desa Wiromartan. Secara total, daerah yang berkonflik ini memiliki panjang kurang lebih 22,5 km dan lebar 500 meter dari bibir pantai. Warga yang terlibat dalam konflik ini berasal dari beberapa desa sepanjang pantai Kebumen Selatan, yaitu: Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit).

Page 24: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

22

Sejarah konflik di Urut Sewu

Dikutip dari selamatkanbumi.com, pada tahun 2008, Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi. Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), nomor: B/1461/IX/2008, tertanggal 25 September 2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk penambangan pasir besi.

Di tahun yang sama, keluar izin eksplorasi MNC di beberapa desa: Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) para pamong desa yang hadir menolak perusahaan tambang. Hanya Desa Winomartan, melalui kepala desa yang saat itu mendukung rencana penambangan sepanjang menguntungkan masyarakat.

Januari 2011, izin eksploitasi (IUP operasi produksi) MNC keluar. Pemerintah memberikan IUP produksi 10 tahun tanpa sosialisasi. Dalam surat izin produksi, dinyatakan luasan lahan 591,07 hektar, dengan 317,48 hektar tanah milik TNI-AD.

Warga aksi besar-besaran, sampai blokade dan dibalas pemukulan dan penembakan

TNI-AD pada April 2011. Mei 2011, TNI-AD mencabut izin eksploitasi pasir besi. Ini berdasarkan surat Kodam IV Diponegoro, kepada Direktur PT. Niagatama Cemerlang, nomor B/6644/2011, April 2011, soal pemberitahuan MNC tak diizinkan oleh TNI survei lapangan, mengurus izin pertambangan pasir besi di Mirit.

Pemda mengubah RTRW, peruntukan kawasan Urut Sewu menjadi wilayah pertambangan biji besi, latihan uji coba senjata berat, pertanian dan pariwisata. Warga protes, menuntut Urut Sewu jadi kawasan pertanian dan pariwisata. MNC pun masuk lagi, dan ditolak habis-habisan oleh warga Mirit, hingga hengkang pada Mei 2012, meskipun izin belum dicabut.

Pada Desember 2013, pemagaran tanah warga pada jarak 500 meter dari garis pantai di Pesisir Urut Sewu, merambah dua desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan. Pemagaran mendapatkan penolakan keras dari warga hingga Sabtu (22/8/15) kemarin kekerasan kembali terjadi.

Konflik agraria di Urut Sewu harus segera diselesaikan secara tuntas agar tidak ada lagi korban warga masyarakat karena konflik ini berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka.

Page 25: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

23

Profil

Sofyan Ubaidi Anom atau biasa dipanggil dengan nama “Ubed” dilahirkan di

Mojokerto, 1 Januari 1980 Lulusan S1 Komunikasi Universitas Islam Majapahit Mojokerto. Saat ini perjuangan Ubed tergabung di dalam FPR (Forum Perjuangan Rakyat) yang berada di daerah Sendi, Pacet, Mojokerto, Jatim.

Awal pengenalannya dengan gerakan rakyat tani pada saat aktif di organisasi kemahasiswaan, pada saat itu Ubed bersama teman-temannya aktif melakukan assesmen pada kelompok-kelompok masyarakat marjinal. “Maka pilihan saya ketika melihat adanya ketidak adilan sosial pada masyarakat petani tak bertanah dikawasan sekitar hutan, bahwa masyarakat petani sekitar

hutan sebenarnya bisa memanfaatkan hasil hutan tersebut utk meningkatkan kesejahteraan ekonominya, berangkat dari itulah saya mulai mendampingi petani sekitar hutan untuk memperjuangkan hak atas tanah untuk bercocok tanam, tentu dengan pembentukan organisasi

yang kuat dan didukung data riwayat tanah yang dimiliki” tegasnya.

Saat itu Ubed melihat akar masalah sebab-sebab kemiskinan petani di kawasan hutan dan kultur masyarakat sekitar hutan dan usaha untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, kemudian ia merasa tergugah melihat adanya ketidak-adilan sosial, petani penggarap lahan di kawasan hutan (PERHUTANI). Konflik masyarakat adalah dengan Perum Perhutani unit II Jawa Timur, KPH Pasuruan, BKPH Pacet, pada saat itu pihak perusahaan melakukan intimidasi dengan melaporkan pengurus organisasi kepada Polres Mojokerto, dan 11 orang sempat diperiksa atas tuduhan perambahan hutan.

Ubed: Pendamping Masyarakat Sekitar Hutan Perhutani di Desa Pacet, Mojokerto, JatimSofyan Ubaidi Anom

Page 26: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

24

Pada awalnya Pihak perhutani mengajak masyarakat sekitar hutan untuk mengelola lahan kawasan hutan dengan PBHM melalui skema tumpang sari, namun hanya boleh ditanami selama dua tahun, sesudah itu petani tidak boleh bertani di lahan tersebut dan masih diberi tanggung jawab untuk membesarkan tanaman tegakkan milik perhutani dengan sistem bagi hasil, 70% untuk perhutani dan 30% untuk petani penggarap.

Upaya yang pernah ia lakukan bersama para petani melakukaan melalui inisiatif konsep pengelolaan dasar hutan dan pelestarian kawasan hutan secara terintegrasi, dengan dijelaskan secara detail dalam partisipasi guna lahan. Advokasi non-litigasi mediasi dengan pemda Kabupaten Mojokerto yang menghasilkan hasil pansus DPRD Kabupaten Mojokerto pada tahun 2008, bahwa tanah eks desa Sendi, Pacet Mojokerto di kembalikan pada rakyat, meskipun sampai saat hasil pansus tersebut belum dilaksanakan oleh Bupati Mojokerto. Masyarakat tetap menguasai dan mengelola lahan yang dikuasai, yakni tanah seluas 254,2 ha dengan melibatkan 236 kk rumah tangga petani.

L a n g k a h - l a n g k a h yang akan dilakukan kedepan, melakukan pengelolaan lahan yang dikuasai secara maksimal dan men-dukung upaya-upaya penyelesaian konflik lahan sesuai dengan peluang kebijakan ke-kinian.

Beberapa kesulitan ditemui ketika berada di lapangan seperti p e n g i n t e g r a s i a n kedalam kultur

masyarakat petani yang dilatarbelakangi oleh sumber daya manusia yang berbeda-beda, karena faktor minimnya akses pendidikan pengetahuan menjadi tantangan tersendiri, ditambah kondisi sosial politik masyarakat desa yang apatis, merupakan tugas tersendiri untuk menggugah kesadaran petani dalam kerangka menjadikan masyarakat petani yang terorganisir dan mampu menyelesaikan akar permasalahan yang dihadapinya.

Dalam melakukan perjuangannya pihak keluarga sangat mendukung karena ia memang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang aktif dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, bahkan menjealng akhir hayat ibu saya berpesan dalam syair lagu pendek: “Selamat anakku berpisah… saatnya telah tiba… mari kita mohon pada… Tuhan Yang Maha Esa… semoga dikuatkan iman… dalam diri menderita… hanya itu pesan bunda… untuk anakku sayang...”. Saat ini Ubed masih akatif mendampingi masyarakat di sekitar kawasan hutan Pacet dan Mojokerto Jawa Timur, ia juga menjadi pengurus KPA Wilayah Jawa Timur.

Page 27: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

25

Page 28: Suara Pembaruan Agraria Edisi-15 Jun-Ags 2015

26

PROYEK INFRASTRUKTUR

Pembangkit Listrik

Kerata Api

Jalan Tol

BandaraInternasional

Proyek pembangunan infrastruktur “demi kepentingan umum” berdampak pada masifnya perampasan tanah rakyat kecil. Di sisi lain, proyek ini memberikan keuntungan berlipat ganda kepada pemodal besar”