Buku Pembaruan Hukum Pajak

169

Transcript of Buku Pembaruan Hukum Pajak

Page 1: Buku Pembaruan Hukum Pajak
Page 2: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)

Muhammad Djafar Saidi

Pembaruan hukum pajaklMuhammad Djafar Saidi-Ed. I-I.-Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

xii, 326 hIm., 21 cmBibliografi: hIm. 321ISBN 978-979-769-142-4

I. Pajak dan perpajakan-Aspek hukum

Hak cipta 2007, pada Penulis

1. Judul343.04

07-1-9

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2007.0950 RAJDr. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H.PEMBARUAN HUKUM PAJAK

Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada,Jakarta

Desain cover oleh Stephen Rinaldy

Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RAJAGRAFINDO PERSADA

Kantor Pusat:JI. Pelepah Hijau IVTN.I. No. 14-15, Kelapa Gading Permai, Jakarta 14240Tel/Fax : (021) 4520951 - 4529409E-mail: [email protected] Http : / / www.rajagrafindopersada.com

Perwakilan: .

Bandun g-40243 JI.H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202.Yogyakarta-Pondok Soragan Indah Blok A-I, JI. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul,Telp. (0274) 625093. Surabaya-6011 8. JI. Manyar j aya Blok. B229 A. Komp. WahanaWisma Permai, Telp. (031) 5949365. Palembang-30137, JI. Kumbang IIINo. 4459 Rt.78, Kel. Demang Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Padang-25156, Perum. Palm GriyaIndah11 No.A. 9, KorongGadangTaruko,Telp. (0751)498443.Medan-2021 5,JI.AmaliunNo. 34/68, Telp. (061) 7323082. Makasar-9022I, JI. ST. Alauddin Blok A 9/3, Komp.Perum Bumi Permata Hijau, Telp. (041I) 861618. Banjarmasin-70114,JI. Bali No. 33Rt. 9, Telp. (0511) 52060. Bali, JI. Trengguli No. 80 Penatih, Denpasar Telp. (0361 )8607995

Kupersembahkan buku ini kepada Istri yang tercintaHj. Rohana Huseng, SoHo, MoHo,

dan Putri-putraku tersayangEka Merdekawati, S.H., 50S, Arief Kumiawan, SoH. ,

dan Sri Sukmawati.

Page 3: Buku Pembaruan Hukum Pajak

vii

_ Kata Pengantar

A tas rakhmat Allah yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim, buku inidapat diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup lama,

tersusun secara sederhana dengan kalimat yang bersahaja.Tujuannya adalah agar mudah dibaca, dipahami, dan dipraktikkanoleh pejabat pajak dan pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakanperaturan perundang-undangan perpajakan, khususnya di kalanganmahasiswa, baik di tingkat strata satu , strata dua , dan strata tiga.

Kiranya buku ini dapat mengantar kepada pembaca dan setiaporang yang memerlukannya, dengan penuh harapan semoga dapatmemperoleh tempat dalam hati pembacanya. Selain itu, diharapkanpula sebagai sumbangsih bagi perkembangan hukum pajak yangakhir-akhir ini mengalami pembaruan yang sangat mendasar.Pembaruan tersebut bermula pada tahun 1983 dalam rangkamenata kembali substansi "Hukum Pajak" yang berada dalam

berbagai Undang-undang Pajak dengan meninggalkan warisanPemerintah Hindia Belanda.

Disadari bahwa buku ini tidak menampung secara keseluruhansubstansi hukum pajak sehingga akan menyusul buku kedua yangberjudul Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian SengketaPajak. Di samping itu, segala kritikan dan saran dalam rangka

Page 4: Buku Pembaruan Hukum Pajak

viii Pembaruan Hukum Pajak ix

penyempurnaan buku ini diterima dengan ucapan terima kasih.Semoga Allah Swt. membalasnya dengan penuh berkah-Nya.

Akhirnya, diucapkan terima kasih kepada Penerbit PTRajaGrafindo Persada Iakarta yang bersedia menerbitkan buku ini.

Makassar, 05 Februari 2007

PenuIis,

Kata Pengantar

Daftar Isi

vii

Bab 1. PENDAHULUANA. PengertianB. Sumber Hukum PajakC. Kedudukan Hukum PajakD. Tujuan Hukum PajakE. Ruang Lingkup Hukum Pajak

BAB 2. PAJAK DAN RETRIBUSIA. PengertianB. Penggolongan Pajak dan RetribusiC. Fungsi Pajak dan Retribusi

BAB 3. OBJEK PAJAKA. PengertianB. Objek Pajak PenghasilanC. .Objek Pajak Pertambahan NilaiD. Objek Pajak Penjualan atas Barang MewahE. Objek Pajak Bumi dan BangunanF. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

BangunanG. Objek Bea MeteraiH. Objek Pajak Daerah

114

121719

23232733

353536425154

576064

Page 5: Buku Pembaruan Hukum Pajak

x Pembaruan Hukurn Pajak Daftar Isi xiBAB 4. WAJIB PAJAK 67 BAB 8. UTANG PAJAK 153

A. Pengertian 67 A. Pendahuluan 153B; Wajib Pajak Penghasilan 69 B. Timbulnya Utang Pajak 155C. Wajib Pajak Pertambahan Nilai 71 C. Berakhirnya Utang Pajak 163D. Wajib Pajak Penjualan atas Barang Mewah 74E. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan 75 BAB 9. PENGEMBALIAN KELEBIHANF. Wajib Bea Perolehan Hak atas Tanah dan PEMBAYARAN PAJAK 179

Bangunan 77 A. Pendahuluan 179

G. Wajib Bea Meterai 79 B. Surat Ketet apan Pajak Nihil 180H. Wajib Pajak Daerah 80 C. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar 1811. Kewajiban Wajib Pajak 81 D. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan

J. Hak Wajib Pajak 85 Pembayaran Pajak 184

K. Penanggung Pajak 88 BAB 10. PENAGIHAN PAJAK 187BABS. PEJABAT PAJAK 91 A. Hak Mendahulu 187

A. Pendahuluan 91 B. Dasar Penagihan Pajak 192

B. Wewenang Pejabat Pajak 94 C. Penagihan secara Biasa 198

C. Kewajiban Pejabat Pajak 110 D. Penagihan Seketika dan Sekaligus 224

D. Larangan Pejabat Pajak 116 E. Penagihan secara Paksa 226

BAB6.F. Perlawanan terhadap Surat Paksa 239

SURAT PEMBERITAHUAN 121A. Pendahuluan 121 BAB 11. PEMBUKUAN 247

B. Fungsi Surat Pemberitahuan 127 A. Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan 247

C. Surat Pemberitahuan Masa 129 B. Syarat-syarat Penyelenggaraan Pembukuan 248

D. Surat Pemberitahuan Tahunan 131 C. Prinsip Pembukuan 250

E. Surat Pemberitahuan Objek Pajak 134 D. Penyimpanan Dokumen 253

F. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah . 135 BAB 12. PEMERIKSAAN 255

BAB 7. PEMUNGUTAN PAJAK 137 A. Pengertian 255

A. Dasar Hukurn 137 B. Tujuan Pemeriksaan 256

B. .. Yurisdiksi Pemungutan Pajak 140 C. Ruang Lingkup Pemeriksaan 258

C. Sistern Pemungutan Pajak 143· D. Kewajiban yang Diperiksa 259

D. Pelirnpahan Wewenang Pemungutan Pajak 148 E. Penyegelan 261

E. Pembagian Hasil Pajak 149

Page 6: Buku Pembaruan Hukum Pajak

xii Pembaruan Hukum Pajak

BAB 13. SANKSI ADMINISTRASIA. Pengertian

B. Sanksi Administrasi Berupa BungaC. Sanksi Administrasi Berupa DendaD. Sanksi Administrsai Berupa Kenaikan

BAB 14. PAJAK GANDAA. PengertianB. Pajak Ganda NasionalC. Pencegahan Pajak Ganda NasionalD. Pajak Ganda InternasionalE. Pengenaan Pajak Ganda InternasionalF. Pencegahan Pajak Ganda Internasional

BAB 15. PENGAMPUNAN PAJAKA. PendahuluanB. Syarat-syarat Pengampunan PajakC. Tujuan Pengampunan Pajak

BAB 16. LEMBAGA KEBERATANA. Pendahuluan

B. Kedudukan Lembaga KeberatanC. Kompetensi Lembaga KeberatanD. Pemasukan Surat KeberatanE. Pihak-pihak yang BersengketaF. Surat Keputusan Keberatan

DAFTAR PUSTAKA

BIODATA PENULIS

265265266273277

281281282283284285288

291291293295

299299300303308311316

321

325

D'" Pendahuluan

I,"

A. Pengertian

Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum memiliki istilah yangberbeda-beda karena penggunaan bahasa yang menyebabkannya,Dalam literatur berbahasa Inggris, hukum pajak disebut tax law.Kemudian, dalam bahasa Belanda disebut belasting reeht. Sementaraitu, dalam literatur berbahasa Indonesia digunakan istilah selainhukum pajak juga hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak denganhukum fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanyasekadar membicarakan tentang pajak sebagai objek kajiannya,sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangannegara sebagai objek kajiannya.

Pengertian hukum pajak pada garis besarnya dapat dibagidalam arti luas dan dalam arti sempit. Hukum pajak dalam artiluas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak . Hukum pajakdalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yangmengatur hubungan antara pejabat pajak dengan wajib pajak yangmemuat sanksi hukum. Mengingat, bahwa hukum pajak sebagaibagian ilmu hukum tidak melepaskan sanksi hukum di dalamnyaagar pejabat pajak maupun wajib pajak menaati kaidah hukumsebagai sub~tansinya. Dalam arti, terhadap pejabat pajak maupun

Page 7: Buku Pembaruan Hukum Pajak

2 Pembaruan Hukum Pajak BAB 1: Pendahuluan 3

wajib pajak yang tidak menaati hukum pajak, negara dapat

menerapkan sanksi hukum yang terdapat di dalamya. Sanksi hukum

yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasi dan sanksi

pidana.

Di samping pengertian hukum pajak tersebut di atas, Rochmat

Soemitro (1979;24-25) mengemukakan bahwa hukum pajak ialah

suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara

pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar

pajak. Dengan lain perkataan, hukum pajak menerangkan siapa­

siapa wajib pajak (subjek pajak) dan kewajiban-kewajiban mereka

terhadap pemerintah, hak-hak pernerintah, objek-objek apa yang

dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan, dan

sebagainya. Berbeda halnya dengan yang dikemukakan oleh Santoso

Brotodihardjo (1995; 1) bahwa hukum pajak yang juga disebut

hukum fiskal adalah keseluruhan peraturan yang meliputi

wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan

menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara

sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur

hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau

badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak

(selanjutnya sering disebut wajib pajak).

Di samping itu, Bohari (2004;29) berpendapat bahwa hukum

pajak adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan

antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai

pembayar pajak. Dengan lain perkataan, hukum pajak menerang­

kan: 1) siapa-siapa wajib pajak (subjek pajak) : 2) objek-objek apa

yang dikenakan pajak (objek pajak); 3) kewajiban wajib pajak

terhadap pemerintah; 4) timbulnya dan hapusnya utang pajak;

5) cara penagihan pajak; dan 6) cara mengajukan keberatan dan

banding pada peradilan pajak. Selain itu juga, Erly Suandy (2000 ;13)

mengatakan bahwa hukum pajak merupakan bagian dari hukum

publik, yang mengatur hubungan antara penguasa sebagai

pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak (wajib

pajak).

Pada Undang-Undang Nornorf Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah ketiga

kalinya, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

(UU KUP), tidak ditemukan adanya pengertian hukum pajak,

melainkan hanya kedudukannya sebagai "ketentuan umum" bagi

peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP

merupakan "kaderwet" yang berfungsi sebagai payung terhadap

undang-undang pajak yang sifatnya sektoral, Dalam arti bahwa UU

KUP tidak memuat pengertian hukum pajak yang dapat merangkum

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam suatu

sistem hukum pajak Indonesia.

Keberadaan pengertian hukum pajak sangat memegang

fungsi bagi mereka yang terkait dengan penegakan hukum pajak,

baik terhadap penegakan di luar maupun di dalam lembaga

peradilan pajak. Dalam arti bahwa pengertian hukum pajak

dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam meng­

gunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum

pajak. Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi wajib pajak

dalam melaksanakan kewajiban dan menggunakan hak dalam

rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai konsekuensi

dari penegakan hukum pajak.

Penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan pajak hanya

dilakukan oleh pejabat pajak dengan menggunakan wewenang dan

melaksanakan kewajiban berupa menerbitkan surat ketetapan pajak

dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak.

Kernudian, penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan

dilakukan melalui lembaga peradilan pajak maupun lembaga yang

ada dalam lingkungan peradilan umum. Penegakan hukum pajak

Page 8: Buku Pembaruan Hukum Pajak

4 Pembaruan Hukum Pajak BAB 1:Pendahuluan 5

melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengket apajak dan dilakukan dalam Lembaga Keberat an, Pengadilan Pajak,

dan Mahkamah Agung atau hanya Pengadilan Pajak dan MahkamahAgung. Sementara itu, penegakan hukum pajak melalu i lembaga

yang ada dalam lingkungan peradilan umum tertuju padapenyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan

Negeri , Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agun g.

B. Sumber Hukum Pajak

Dalam ilmu hukum telah dikenal sumber hukum dalam bentuk

tertulis dan tidak tertulis yang meliputi: 1) peraturan perundang­undangan; 2) kebiasaan; 3) traktat; 4) yurisprudensi; dan 5) doktrin.Walaupun hukum pajak merupakan bagian ilmu hukum, hukum

pajak tidak mengenal sumber hukum yang tidak tertulis karenaberdasarkan pengertian hukum pajak, kaidah hukum pajak hanyalahir karena tertulis dan tidak dilakukan secara kebiasaan. Dengan

demikian, kebiasaan sebagai sumber hukum pad a umumnya tidakdikenal dalam hukum pajak.

IHukum pajak sebagai hukum positifmerupakan bagian hukum

nasional yan g berlaku dengan memiliki sumber hukum. Akan

tetapi, sumber hukum yang dimiliki oleh hukum pajak hanya

bersumber pada sumber hukum tertulis yang berkaitan di bidang

perpajakan karen a keberadaan hukum pajak hanya didukung oleh

peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai produklegislatif dan ditindaklanjuti oleh pihak eksekutif dan yudikatif

dalam rangka penegakannya. Hukum pajak tidak memiliki sumberhukum yang tidak tertulis karena kebiasaan tidak dikenal dalam

perpajakan. Di samping itu, Pancasila merupakan sumber hukumdasar nasional yang menjiwai peraturan perundang-undangan di

bidang pe rpaj akan sehingga memegang peranan penting dalampengembangan sumber hukum tertulis. Pancas ila memiliki

kedudukan sebagai alat penguji terhadap sumber hukum tertulis,

apakah terjadi pertentangan atau persesuaian dengan Pancasilatermaksud. Dengan demikian, Pancasila merupakan tolok ukuruntuk menentukan kebe naran substansi hukum yang terkandung

dalam setiap Undang-undang Pajak yang hendak dibe rlakukan.

Sumber hukum pajak yang sifatnya tertulis terdiri dari: 1) UUD

1945; 2) perjanji nan perpajakan; 3) yurisprundensi perpajakan; dan4) doktrin perpajakan. Untuk lebih jelasnya mengenai sum ber

hukum pajak yang sifatnya ter tulis tersebut, dapat diu raikan sat uper satu sebagaimana berikut di bawah ini .

1. Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak

diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang ber bunyi "segalapajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang."Ketentuan ini mengandu ng asas legalitas yang mel etakkan

kewenangan pada negara untuk memungut pajak kalau negaramembutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang­

undang. Sebena rnya tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyatme lalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan

Presiden yang diatur dengan undang-undang. Demikian pula dalam

pidato William Piu dan Karl of Chathan di lnggris yang menga takan"No taxa tion without representation" (t idak ada paj ak tanpa

persetujuan parlemen) .

Pelaksanaan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 telah dit etapkan

dalam berbagai Undang-undang Pajak, baik yang hanya sekadarmemuat ketentuan form al, ketentuan materil, maupun gabungan

antara ketentuan formal dan ketentuan materi!. Adapu n Undang­undang Pajak yang dim aksud di antaranya:

a. Und ang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 ten tang Ketentuan

Page 9: Buku Pembaruan Hukum Pajak

6

j. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan

Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPDSP) ;

Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan

mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal

ini dapat dilihat pada Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi "pajakdan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur de~gan

undang-undang." Pasal 23A UUD 1945 tetap melanjutkan asas

legalitas yang awalnya dari Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 . Sekalipun

demikian, terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanya

pajak melainkan pungutan yang bersifat memaksa harus pula diatur

dengan undang-undang. Hal irii merupakan suatu perkembangan

positif agar tidak sewenang-wenang membebankan pungutan yang

bersifat rnemaksa kepada warga negara tanpa diatur dengan

undang-undang sebagai perwujudan dari negara hukum.

Semua Undang-undang Pajak tersebut tetap diberlakukan

walaupun ketentuaninduknya telah mengalami pergantian dari

Pasal23 ayat (2) UUD 1945 menjadi Pasal23A UUD 1945 . Dasar

hukum keberlakuannya adalah Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945

hasil amandemenyangmenyatakanbahwa se gala peraturan

perundang-undangan yang adamasih tetap berlaku selama belum

diadakan yang baru menurutUndang-Undang Dasar ini . Hal ini

bertujuan untuk menjaga kekosongan atau kevakuman hukum di

bidang perpajakan sebagai konsekuensi dariamandemen UUD

1945. Sebenarnya Undang-undang Pajak sebagai sumber hukum

pajak tetap diakui eksistensinya walaupun telah berubah ketentuan

induknya (Pasal 23 ayat (2) UUD 1945). Di. samping itu, telah

pula ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak (UU PENJAK) sebagai penjabaran Pasal23A UUD

1945 yang mencabut Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997

tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak .

Pembaruan Hukum Pajak

Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah

ketiga kalinya, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2007 (UU KUP);

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan sebagaimana telah diubah ketiga kalinya, terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) ;

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah sebagaimana telah diubah kedua kalinya,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU

PPN);

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi

dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 (UU PBB);

e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1994 (UU BM);

f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (UU BPHTB);

g. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2006 (UU KPB);

h. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU

CK) .

i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Dae rah

dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (UU PDRD);

BAB 1: Pendahuluan 7

Page 10: Buku Pembaruan Hukum Pajak

8 Pembaruan Hukum Pajak SAS 1: Pendahuluan 9

Walaupun Undang-undang Pajak masih diberlakukan, tidak

tertutup kemungkinan akan ditinjau kembali untuk disesuaikandengan substansi yang terkandung dalam Pasal 23A UUD 1945 .Peninj auan kemb ali Undang-undang Pajak searah dengan tujuan

reformasi agar hukum tidak hanya memihak kepada pejabat pajak,

tetapi juga terhadap wajib pajak selaku pembayar pajak . Dalamarti bahwa Und ang-undan g Pajak harus menempatkan pejabat

pajak, den gan wajib pajak pada posisi yang sama dalam pemenuhankewenangan atau kewajiban dan hak masing-masing.

2. Perjanjian Perpajakan

Perjanjian dapat pula disebut sebagai traktat yang diadakanoleh dua pihak atau lebih, maupun antara dua negara atau lebih,yakni sebagai sumber hukum pada umumnya. Khususnya dalamhukum pajak, perjanjian perpajakan merupakan sumber hukumpajak yang tertul is sebagai hasil perjanjian dua negara atau lebih.

. Perjanjian perpajakan bertujuan untuk mencegah terjadinya pajak

ganda internasional (international double taxation) yang menimbulkanbeban tinggi terhadap wajib pajak.

Sekalipun perjanjian perpajakan merupakan sumber hukum

pajak yan g si fatnya tertulis untuk mencegah terjadinya pajak

ganda internasional, kadangkala pajak ganda internasional tidakdapat terhindarkan dalam penegakan hukum pajak. Mengingat,

bahwa tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan

negara lain yang menyebabkan mudah terjadi pengenaan pajakganda internasional. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara

yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak

internasional agar wajib pajak dari tiap negara yang bersang­kutan tidak dikenakan pajak ganda.

Pada hakikatnya, perjanjian perpajakan merupakan perjanjiandua negara atau lebih yang bertujuan untuk mencegah pengenaan

pajak ganda internasional. Dalam arti bahwa pengenaan pajak ganda

dapat dihindari dengan men ggun akan upaya hukum berupaperjanjian perpajakan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih .Di samping itu, untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak

dan penyelundupan pajak internasional (international tax avoidanceand tax evasion). Terkait dengan perjanjian perpajakan, menurut laja

Zakaria (2005;25), dilihat dari sudut kepentingan negara majumaupun kepentingan negara yang sedan g berkemb ang, dapat ditarik

kesimpulan bahwa fungsi perjanjian perpajakan adalah:

a. untuk penghindaran pajak ganda (avoidance of double taxation)dan pencegahan penyelundupan pajak (preventifoffiscal evasion);

b. khusus dilihat dari sudut kepentingan negara yang sedangberkembang, untuk mendorong arus penanaman modal,teknologi, keahlian, dan perdagangan ke negaranya;

c. khusus dilihat dari kepentingan wajib pajak, adanya suatukepastian (certainty) untuk beberapa hal penting;

d. dapat mempermudah dan memperlancar transaksi ekonomi

an tarn egara sehingga diharapkan dapat memajukan per­

dagangan internasional;

l ' , adanya pemecahan mengenai alokasi pen ghasilan dengan

memberikan suatu metode pemajakan yang disederhanakan;

I. adanya pembagian penerimaan negara di antara negara-negarayang paling berkaitan dalam pemajakan suatu penghasilan

(sharing of taxation) ;

g. adanya pencapaian suatu tingkat pem ajakan yang pantas:

i1 . mcmpertinggi kerja sama antarnegara di bidang teknik,

ckonomi. dan kultural;

mcnambah pengalaman teknis dan memperluas pengetahuan,khususnya dalam hukum pajak internasional bagi pejabat-

Page 11: Buku Pembaruan Hukum Pajak

10

4. Doktrin Perpajakan

Doktrin atau pendapat ahli hukum merupakan pula sumberhukum pada umumnya. Agar doktrin ini dapat menjadi sumberhukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks dibidang perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak. Tidaksemua ahli hukum merupakan ahli hukum di bidang perpajakan.Mengingat substansi hukum yang terkandung dalam hukum

mengenai perkara pajak yang meliputi sengketa pajak dan tindakpidana pajak yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap .Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalahPutusan Pengadilan Pajak maupun Mahkamah Agung yang telahmempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang berseng­keta, sedangkan putusan pengadilan yang terkait dengan tindakpidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam lingkungan Per­adilan Umum maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyaikekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, yurisprudensiperpajakan kedua jenis pengadilan boleh diharapkan menunjang

perkembangan hukum pajak di masa me~datang.

Sumber hukum pajak dalam konteks yurisprudensi perpajakandapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Republik IndonesiaNomor 208.K/TUN/1998, tanggal 22 November 1998 . Kaidahhukum dalam putusan tersebut adalah "Gugatan atau bantahanwajib pajak terhadap pelaksanaan surat paksa yang diterbitkan olehKepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing harusdiajukan kepada Badan Peradilan Pajak." Dan selama "Badan" inimasih belum terbentuk, gugatan/bantahan tersebut diajukan kePengadilan Negeri dan bukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negaraex Pasal23 ayat (2) dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun1994 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pembaruan Hukum Pajak

pejabat yang berwenang dari kedua negara yang bersangkutan(pengembangan sumber daya manusia).

Dalam praktik selama ini Indonesia telah melakukan perjanjianperpajakan dengan negara lain untuk memberikan perlindunganhukum kepada wajib pajak yang berada di negara luar Indonesia.Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalahdalam bentuk "Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda (P3B)", baikperjanjian itu bersifat bilateral maupun bersifat multilateral.Perjanjian perpajakan yang dilakukan oleh Indonesia dengan negaralain adalah mengenai tarif atas bunga, dividen, dan royalti yangdibayarkan kepada wajib pajak yang terlibat dalam perjanjiantermaksud. Negara yang terlibat dalam perjanjian pencegahanpajakberganda dengan Indonesia, antara lain Polandia, Belgia, Belanda,Inggris, jerman, Kanada, Filipina, Thailand, dan ]epang.

Contoh kasus yang dikemukakan oleh]aja Zakaria (2005;53)berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh, tarif pemotongan pajakpenghasilan atas bunga yang dibayarkan kepada subjek pajak luarnegeri adalah sebesar 20% dari bunga bruto. Sementara itu,berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perjanjian PenghindaranPajak Ganda antara Indonesia dengan Polandia, besarnya tarifpemotongan adalah 10% dari jumlah kotor bunga. Berdasarkanasas hukum lex specialis derogate legi generalis, yang diberlakukanadalah tarif bunga yang tercantum dalam ketentuan Pasal 11 ayat(2) Perjanjian Penghindaran Pajak Ganda tersebut.

3. Yurisprudensi Perpajakan

Tak dapat disangkali bahwa yurisprudensi merupakan salahsatu sumber hukum pada umumnya dan juga dikenal dalam hukumpajak dengan sebutan yurisprudensi perpajakan. Dalam arti,yurisprudensi perpajakan merupakan sumber hukum pajak yangtertulis. Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan

SAS 1: Pendahuluan 11

Page 12: Buku Pembaruan Hukum Pajak

12 Pembaruan Hukum Pajak SAS 1: Pendahuluan 13

pajak sangat memiliki perbedaan yang prinsipil dengan hukum

lainnya karena hukum pajak memiliki ciri khas yang tersendiri .Doktrin perpajakan hanya dapat lahir kar ena pendapat ahlihukum pajak dan bukan ahli hukum pada umumnya.

Meskipun pendapat ahli hukum pajak merupakan sumber

hukum pajak, hal ini untuk masa kini belum dapat diharapkanuntuk menunjang pengembangan hukum pajak. Kelangkaan ahli

hukum pajak merupakan salah satu faktor penghambatperkembangan hukum pajak. Sekalipun terdapat kelangkaan ahli

hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalamperkembangan hukum pajak, tidak berarti hukum pajak mengalamikesulitan dalam perkembangannya karena doktrin perpajakan hanya

merupakan salah satu sumber hukum pajak dan masih ada sumberhukum pajak lainnya, seperti Undang-undang Pajak, traktatperpajakan, dan yurisrudensi perpajakan.

C. Kedudukan Hukum Pajak

Sebagaimana dikatakan oleh Sri Pudyatmoko (2002;35) bahwasistem hukum yang berkembang di Indonesia merupakan sistem

hukum yang berasal dari sistem hukum Romawi, di masaeksistensinya pada warisan yang ditinggalkan oleh Pemerintah

Belanda. Sistem hukum Romawi menarik garis pemisahan yang

tegas antara hukum privat dengan hukum publik. Sistem ini seringdisebut sebagai civil law system atau sistem Eropa Kontinental.

Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan

antara sesama warga negara dalam kedudukan yang sederajat,seperti masalah perkawinan, kewarisan, keluarga, dan perjanjian.Sementara itu, hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti

hubungan antara warga negara dengan negara. la berurusan denganhal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan sertabagaimana negara itu melaksanakan tugasnya. Di luar sistem ini,

misalnya di Inggris, tradisi tersebut tidak diikuti tetapi yan g

digunakan adalah the common law. Dengan adanya sist em yan g

berlaku di Inggris ini , baik perorangan maupun badan negaralpemerintah tunduk pada satu macam sistem hukum saja. Olehkarena itu, di Inggris tidak ada pengadilan yang secara khusus

berwenang mengadili perkara yang berhubungan dengan negara.

Demikian pula perjanjian yang dibuat antara warga negara dengannegara tunduk pada hukum yang sama yang mengatur perjanjian

antara sesama warga negara.

Pembagian hukum sesuai civil law system ke dalam hukum privat

dan hukum publik memberikan pemahaman mengenai pemisahanyang tegas hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat danke dalam hukum publik. Hukum yang masuk ke dalam bagian

hukum privat, misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukumperkawinan, dan sebagainya. Kemudian, hukum yang masuk kedalam hukum publik, misalnya hukum rata ne gara, hukum

administrasi (hukum rata usaha negara), hukum pidana, dan hukuminternasional. Berdasarkan pembagian hukum tersebut, ternyata

hukum pajak tidak menampakkan diri sebagai hukum yang berdirisendiri karena berada dalam kandungan hukum administrasi.

Sekalipun hukum pajak tidak menampakkan diri sebagai

hukum yang berdiri sendiri, tetap merupakan bagian tak terpisah­

kan dari hukum administrasi dalam konteks hukum publik. Sebagai­mana dikatakan oleh Munawir (1985; 12) bahwa dilihat dari

lingkungannya, hukum pajak merupakan sebagian dari hukum

publik, tegasnya anak bagian dari hukum tata usaha negara. Halyang sama dikemukakan pula oleh Bohari (2004;29), yaitu bahwahukum pajak merupakan salah satu bagian dari hukum administrasi

(hukum tata usaha negara). Demikian pula pendapat Wirawan B,Ilyas (2001;9) yang menyatakan bahwa dalam literatur ternyatahukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi, yang

Page 13: Buku Pembaruan Hukum Pajak

14 Pembaruan Hukum Pajak BAB 1: Pendahuluan 15

merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala carakerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaganegara serta aparaturnya dalam melaksanakan tu gas administrasi .

Lain halnya Chidir Ali (1993;28) yang mengatakan sebaliknya"hukum pajak" merupakan lapangan hukum yang masih sangat

impopuler, namun hukum pajak yang belum lama oleh beberapasarjana, antara lain Prof.Adriani menganggap menj adi suatu cabangilmu pengetahuan berdiri sendiri , akhir-akhir ini maju pesat,

sebagai objek studi ilmu hukum, dengan nama hukum pajak. Halini dipertegas oleh Bohari (2004;29) yang mengatakan bahwa ada

aliran yang menghendaki supaya hukum pajak menjadi ilmupengetahuan yang berdiri sendiri terlepas dari hukum administrasidengan alasan-alasan bahwa hukum pajak: 1) mempunyai tugasyang bersifat lain daripada pajak dapat dipergunakan sebagai alatuntuk menentukan politik perekonomian; dan 2) mempunyai

istilah-istilah tersendiri untuk lapangan tersendiri.

Berbeda halnya pendapat Santoso Brotodihardjo (1995; 1) yang

menyatakan bahwa hukum pajak memuat unsur-unsur hukum tatanegara dan hukum pidana dengan acara pidananya. Dalam lapanganlain dari hukum administrasi negara, unsur-unsur tadi tidak begitu

tampak seperti dalam hukum pajak ini, juga peradilan administrasi­

nya diatur dengan sangat rapinya. Iustru inilah, ditambah dengan

luas lapangannya karena erat hubungannya dengan kehidupanekonomi, dalam abad ini banyak sarjana hukum, sarjana ekonomi,

dan para cerdik pandai lainnya yang mencurahkan perhatiannya

yang cukup terhadap hukum pajak ini, yang kini dalam beberapa

negara telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Juga RochmatSoemitro (dalam Munawir, 1985;13) mengatakan bahwa dari skema

tersebut jelas bahwa hukum pajak merupakan salah satu bagian

dari hukum publik. Jika hukum publik itu mengatur hubunganantara pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya, hukum

pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungutpajak dengan rakyatnya sebagai wajib pajak.

Ternyata pendapat Rochmat Soemitro ter sebut di atas terlebihdahulu didukung oleh skema mengenai pembagian hukum ke dalamhukum publik dan hukum privat. Di dalam pemb agian hukum itu

tampak bahwa hukum pajak berdampingan dengan hukum tatanegara, hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum inter­nasional ke dalam hukum publik. Dalam arti bahwa dalam

pembagian hukum ke dalam hukum publik, ternyata hukum pajakbukan merupakan bagian hukum administrasi, melainkan berdiri

sendiri bersama dengan hukum administrasi. Demikian pulapendapat Erly Suandy (2000; 12-13) yang menyatakan bahwaternyata dari skema yang dibuatnya menempatkan hukum pajakmerupakan bagian dari hukum publik bersama-sama denganhukum tat a negara, hukum administrasi, hukum internasional, dan

hukum pidana.

Walaupun ternyata hukum pajak berdiri sendiri berdam­pingan dengan hukum adrninistrasi, tidak ada alasan-alasan yang

mendukungnya. Seyogianya, pemisahan tersebut harus didukungoleh alasan-alasan secara keilmuan mengapa hukum pajak

ditempatkan pada kedudukan yang sama dengan hukum adminis­trasi mengingat alasan-alasan sangat diperlukan dan merupakan

renungan bagi pihak-pihak yang tidak setuju kedudukan hukum

pajak sama dengan hukum administrasi.

Secara kenyataan dan tak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan

perkembangan dan kebutuhan negara akan pajak, Undang-undangPajak mengalami perubahan (tax reform). Sebagai konsekuensi

pembaruan Undang-undang Pajak ternyata tidak disadari bahwa

hukum pajak telah memisahkan diri dari hukum administrasi.Secara tegas dikatakan bahwa hukum pajak bukan lagi bagianhukum adrninistrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian

Page 14: Buku Pembaruan Hukum Pajak

16 Pembaruan Hukum Pajak BAB 1: Pendahuluan 17

ilmu hukum. Dasar pemisahan hukum pajak dari hukum adrninis­

trasi dapat ditinjau dari lima faktor berikut.

1. Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum

administrasi.

2. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian

hukum administrasi adalah ketetapan yang bersegi satu yang

ditetapkan oleh pejabat rata usaha negara (administrasi

negara) .

3. Subjek hukum pajak adalah wajib pajak, sedangkan subjek

hukum administrasi adalah pejabat tata usaha negara yang

menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa.

4. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut

Pengadilan Pajak, sedangkan penyelesaian sengketa adrninis­

trasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha

Negara.

5. Hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa

pajak adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum

acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha

adalah hukum acara peradilan tata usaha negara.

Sebagai disiplin ilmu hukum yang telah memisahkan diri

dengan hukum administrasi, ternyata hukum pajak mengandung

aspek hukum tata negara, hukum administrasi, hukum pidana, dan

hukum internasional sehingga tidak dapat digolongkan ke dalam

pembidangan hukum klasik. Dalam arti, substansi hukum pajak

menimbulkan pembidangan dalam hukum pajak ketatanegaraan,

hukum pajak administrasi, hukum pajak kepidanaan (tindak pidana

pajak), hukum pajak formal (hukum penyelesaian sengketa pajak),

dan hukum pajak internasional. Hukum pajak kepidanaan, hukum

pajak formal, dan hukum pajak internasional yang sudah ber­

kembang menjadi suatu disiplin ilmu hukum tersendiri yang telah ·

diajarkan pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Substansi yang terkandung dalam hukum pajak menampakkan

atau memperlihatkan ciri khas sebagai bagian ilmu hukum yang

meru pakan hukum fungs ional lfunctionale rechtsvakken) dengan

fungsi mengatur pendapatan dan perekonomian negara/daerah .

Un tuk mencapai fungsi tersebut, hukum paj ak mempunyai

ins tru men berupa sanksi administrasi dan sanksi kepidanaan ya~g

dapat diterapkan dalam penegakannya. Instrumen tersebut dapat

digunakan secara selektifdan kalau perlu, secara simultan terhadap

wajib pajak dan pejabat pajak yang tidak menaatinya.

D. Tujuan Hukum PajakSebagaimana diketahui bahwa hukum be rtujuan untuk

mewujudkan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum, bukan

hanya dalam bentuk kaidah yang tertulis, tetapi harus tercermin

dalam pelaksanaannya. Demikian pula halnya terhadap hukum

pajak yang diadakan oleh negara sebagai hukum positif yang

mengandung pula tujuan berupa keadilan, kemanfaatan, atau

kepastian hukum. Ketiga tujuan hukum pajak tidak hanya sekadar

tert ulis atau sebagai kaidah hukum tertulis dalam Undang-undang

Pajak, tetapi harus kelihatan dalam penerapannya sehingga hukum

pajak betul-betul merupakan hukum fungsional yang mengabdi

kepada negara sebagai negara hukum dengan penampakan tujuan

keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak.

Hukum pajak tidak selalu dapat mewujudkan tujuannya berupa

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara sekaligus dalam

suatu penyelesaian sengketa pajak. Kenyataannya bahwa keadilan

dengan kemanfaatan, keadilan dengan kepastian hukum, kernan­

faatan dengan kepastian hukum kadangkala terjadi pertentangan

sehingga tidak mencerminkan keadilan, kemanfaatan, ataukepastian hukum dalam keputusan penyelesaian sengketa pajak.

Page 15: Buku Pembaruan Hukum Pajak

18 Pembaruan HukumPajakSAS 1:Pendahuluan 19

Pihak-pihak yang merasa dirugikan akan menggunakan upaya

hukum untuk melawan keputusan tersebut agar keinginannya dapat

dikabulkan. Sekalipun tujuan hukum pajak tidak dapat terlaksana

secara keseluruhan, diupayakan agar keadilan dan kernanfaatan,

keadilan dan kepastian hukum, atau kemanfaatan dan kepastian

hukum tercermin dalam keputusan termaksud.

Tujuan hukum pajak berupa keadilan dapat tercermin dalam

pengenaan pajak atau tidak kepada wajib pajak, karena dianggap

memiliki objek pajak, tetapi tidak tergolong sebagai objek kena

pajak, berarti wajib pajak yang bersangkutan tidak kena pajak.

Apalagi kalau wajib pajak sama sekaIi tidak memiIiki objek pajak

karena secara hukum dinyatakan paiIit. Maka tidak adil kalau wajib

pajak tersebut dikenakan pajak. Bagi kemanfaatan sebagai tujuan

hukum pajak tercermin dari penggunaan pajak untuk mernbiayai

pemerintahan dan pembangunan dalam upaya rnengurangi batas

pemisah antara orang kaya dengan orang miskin . Pajak yang

dipungut dari wajib pajak tentunya dikembaIikan ke dalam

masyarakat agar dapat dinikmati oleh wajib pajak maupun yang

bukan wajib pajak.

Kepastian hukum sebagai tujuan hukum pajak dapat diterap­

kan dalam hal penagihan pajak maupun dalam penyelesaian

sengketa pajak. Berhubungan karena penagihan pajak tidak boleh

dilakukan oleh siapa pun kecuaIi yang te lah ditentukan, termasuk

pu la bentuk dan jangka waktu yang harus dipenuhi agar tergolong

sebagai penagihan pajak yang sah. Demikian pula dalam

penyelesaian sengketa pajak terdapat lembaga peradilan pajak

yang .berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Di

samping itu, terdapat persyaratan yang haru s dipenuhi wajib pajak

untuk mengajukan keberatan, banding, dan gugatan. SebaIiknya,

pihak yang menyelesaikan sengketa pajak harus pula menaati

persyaratan penyelesaian sengketa pajak yang telah ditentukan agarputusannya boleh diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. .

E. Ruang Lingkup Hukum Pajak

Hukum pajak sebagai bagian dari ilmu hukum memiliki ruang

lingkup berlakunya maupun materi yang dikandungnya. Ditinjau

dari berlakunya, hukum pajak dibedakan atas hukum pajak nasional

dan hukum pajak internasional. Ditinjau dari rnaterinya, hukum

pajak dibedakan atas hukum pajak materil dan hukum pajak formal.

Hukum pajak nasional adalah hukum pajak yang ditetapkan

ole h suatu negara dan berIaku dalam wilayah negara yang

menetapkannya. Dalam hukum pajak nasional terdapat hukum

pajak daerah yang ditetapkan oleh suatu daerah tertentu dalarn

wilayah negara dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan.

Sementara itu, hukum pajak internasional adalah hukum pajak yang

ditetapkanoleh dua negara atau lebih dan berIaku pada wilayah

yang terikat dari perjanjian yang diadakan untuk itu. Hukum pajak

internasional dapat dibedakan atas hukum pajak internasional

dalam ani sempit dan hukum pajak internasional dalam ani luas.

Dalam kaitan ini, menurut Erly Suandy (2000;151-152),

hukum pajak internasional dalam ani sempit merupakan keseluru­

han kaidah pajak yang berdasarkan hukum antarnegara seperti

traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan lain sebagainya, dan

berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima

baik oleh negara-negara, mempunyai tujuan mengatur soal

perpajakan antara negara-negara yang saIing mempunyai

kepentingan. Hukum pajak internasional dalam ani sempit ini

semata-rnata berdasarkan sumber-sumber asing. Hukum pajak

internasional dalam ani luas ialah keseluruhan kaidah, baik yang

berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum

pajak yang diterirna, baik oleh negara-negara maupun kaidah-kaidah

nasional yang mempunyai sebagai objeknya pengenaan pajak dalam

mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, yang mungkin

dapat menimbulkan bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.

Page 16: Buku Pembaruan Hukum Pajak

20 Pembaruan Hukum Pajak BAB 1:Pendahuluan 21

Mengenai ruang lingkup hukum pajak yang meliputi hukum

pajak materil dan hukum pajak formal dapat dikaji berdasarkan

Undang-undang Pajak sebagai bagian dari hukum positif. Hukum

pajak materil adalah kumpulan kaidah hukum yang merigaturten tang keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa­

peristiwa hukum yang terkait dengan objek pajak, subjek pajak,

wajib pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, masa pajak, dan

tahun pajak. Hukum pajak materil tidak dapat berdiri sendiri lepas

dari hukum pajak forma!. Hukum pajak materil tidak memiliki

kepastian hukum tatkala tidak dapat dilaksanakan dan untuk

melaksanakannya diperlukan keberadaan hukum pajak forma!.

Kaidah hukum pajak materil dapat ditemukan atau dijumpai dalam

berbagai Undang-undang Pajak, rnisalnya, secara keseluruhan

kaidah hukum materil terdapat dalam UU PPh, dan UU PPN serta

sebagian hanya dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU

BM, dan UU PDRD karena juga berisikan kaidah hukum forma!.

Dalam arti, ada percampuran antara kaidah hukum materil dengan

kaidah hukum formal dalam Undang-undang Pajak tersebut.

Hukum pajak formal adalah kumpulan kaidah hukum yang

mengatur ten tang bagaimana cara melaksanakan dan memper­

tahankan hukum pajak materi!. Sebenarnya hukum pajak formal

berupaya untuk menjamin agar kaidah hukum pajak materil

ditegakkan. Hukum pajak formal pada hakikatnya bersifat mengabdi

pada hukum pajak rnateril, artinya keberadaan hukum pajak formal

menyesuaikan dengan kebutuhan yang dikehendaki untuk

berlakunya hukum pajak materil secara efektif. Maka keberadaan

hukum pajak formal memegang peranan penting. Hukum pajak

formal dan hukum pajak materil memiliki keterkaitan yang tidak

dapat dipisahkan dalam kerangka penegakan hukum pajak.

Sekalipun memiliki keterkaitan dalam penegakan hukum pajak,

keduanya tetap harus dibedakan karena kaidah hukum yangdikandungnya berbeda pula.

Kaidah hukum pajak formal dapat d iternukan secara

keseluruhan dalam UU KUP dan sebagian hanya terdapat dalam

UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK. UU BM, serta UJ PDRD.

Hal ini disebabkan karena Undang-undang Pajak tersebut berisikan

pula ketentuan hukum pajak materi!. Seyogianya kaidah hukum

pajak formal hanya diatur dalam satu undang-undang yang berisi­

kan tentang pendaftaran, surat pemberitahuan, tata cara dan ternpat

pembayaran pajak, penagihan pajak secara biasa, penagihan secara

seketika dan sekaligus, penagihan secara paksa, kuasa hukurn,pengajuan keberatan dan penyelesaiannya, pengajuan banding dan

I

penyelesaiannya, pengajuan gugatan dan penyelesaiannya, serta

pengajuan peninjauan kembali dan penyelesaiannya. Begitu pula

halnya terhadap kaidah hukum pajak materil dapat dituangkan

dalam satu undang-undang yang berisikan tentang objek pajak,

subjek pajak, wajib pajak, masa pajak, tarif pajak, cara menghitung

pajak. Tujuannya adalah untuk memudahkan penerapannya bagi

wajib pajak, advokat, pengacara, pejabat pajak, kepolisian,

kejaksaan, dan hakim, baik hakim pengadilan pajak maupun hakim

dalam lingkungan peradilan umum.

Pemisahan secara tegas hukum pajak materil dengan hukum

pajak formal ke dalam masing-rnasing Undang-undang Pajak sangat

diperlukan saat kini mengingat bahwa pemisahan tersebut sebagai

konsekuensi untuk menghindari perubahan-perubahan terhadap

setiap Undang-undang Pajak yang hanya berlaku dalam jangka

waktu tidak terlalu lama. Sebenarnya pemisahan itu untuk memberi

penegasan bahwa hukum pajak materil perlu dibuat atau disusun

secara khusus dalam satu Undang-undang Pajak, begitu pula halnya

terhadap hukum pajak forma!.

Page 17: Buku Pembaruan Hukum Pajak

23

Pajak dan Retribusi

A. Pengertian

Kalau menelusuri literatur yang berkenaan dengan hukumpajak, dapat dijumpai atau ditemukan berbagai definisi tentangpajak. Pengertian pajak lebih banyak menitikberatkan pada aspekekonomis daripada aspek hukumnya, walaupun yang merumuskanadalah berpendidikan ilmu hukum, terlebih lagi kalau yangbersangkutan tidak berpendidikan ilmu hukum. Dengan demikian,pengertian pajak beraneka ragam tergantung dari sudut kajian bagimereka yang merumuskannya.

Berkaitan dengan definisi pajak, Feldmann (1945;52) mengata­kan bahwa belasting zijn aan de overhead, volgens algemene door haarvastgestelde normen, verschuldigde afdwingbare praestaties waar geen tegen­prestatie tegenstaat, en ultsluitend dienende totdekking van publiekeultgaven (pajak adalah prestasi yang terutang pada penguasa dandipaksakan secara sepihak menurut norma-norma yang ditetapkanoleh penguasa itu sendiri, tanpa ada jasa balik dan semata-mataguna menutup pengeluaran-pengeluaran umum) . Kemudianmenurut Adriani (1948;22) belasting, de beffing, wear door de overheldzich door middle van juridische dwangmiddelen verchaft, om de publiekebutgaven te bestriden, zulkezonder enige prestatie daartegenovertestellen

Page 18: Buku Pembaruan Hukum Pajak

24 Pembaruan Hukum Pajak SAS 2: Pajak dan Retribusi 25

(pajak ialah pungutan 01eh pemerintah dengan paksaan yuridis,

untuk mendapatkan alat-alat penutup bagi pengeluaran­pengeluaran umum (anggaran belanja) tanpa adanya jasa timbal .khusus terhadapnya) . Juga Anderson (1951 ;21) mengemukakan

bahwa Tax isa compulsory contribution, levied by the state (in the broadsense) upon person's property income and privilegesfor purposes ofdefrayingthe expences of goverment (pajak adalah pembayaran yang bersifatmemaksa kepada negara yang dibebankan pada pendapatan

kekayaan seseorang yang diutamakan untuk membiayai pengelua­ran pemerintah).

~ Selain itu, Soeparman Soemahamidjaja (1964 ;3) mengemuka­kan bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang,yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum,

guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasakolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Demikian pulahalnya oleh Rochmat Soemitro (1977;22) yang mengatakan

bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkanundang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa

timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan danyang digunakan untuk membiayai penggunaan umum.

Bohari (2004; 25-26) mengatakan bahwa melihat definisi yang

dikemukakan oleh para sarjana tersebut, maka "unsur-unsur" yang

terdapat dalam definisi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian

kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa

pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.

2. Perpindahan atau penyerahan iuran itu bersifat wajib, dalamani bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan, dengan

sendirinya dapat dipaksakan. Artinya, utang itu dapat ditagihdengan menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita.

3. Perpindahan itu berdasarkan undang-undang atau peraturanyang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya

pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atauperaturan, ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.

4. Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk.

Artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi darinegara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari negara,seperti hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat

negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan

pengajaran dan sebagainya tidak ditunjuk secara langsungkepada individu pembayar pajak, tetapi ditunjukkan secarakolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.Buktinya orang miskin yang tidak membayar pajak pun dapatmenikmati prestasi dari negara. Bahkan orang miskin mungkin

lebih banyak menggunakan prestasi dari negara dibandingkandengan orang kaya seperti dalam hal penggunaan sarana

kesehatan.

5. Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara digunakan untuk

membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat,seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai

negeri termasuk ABRI, dan seterusnya.

Kernudian, lima belas tahun setelah itu, Rochmat Soemitro

(1992;12-13) memandang bahwa pajak dapat ditinjau dari aspekekonomis dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek

ekonomis adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor

publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengantidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat

ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umumdan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat ataupencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangannegara. Sementara itu , pengertian pajak dari aspek hukum adalah

Page 19: Buku Pembaruan Hukum Pajak

26 Pembaruan Hukum Pajak SAS 2: Pajak dan Retribusi 27

perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan

sesearang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan aleh

undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang

kepada (kas) negara yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan

suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan

pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat (pendarong atau

penghambat) untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan

negara.

Pajak adalah pungutan aleh pejabat pajak kepada wajib pajak

tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa sehingga

penagihannya dapat dipaksakan. Sebenarnya pajak merupakan

pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana tersirat dalam Pasal

23A UUD 1945 . Pajak dipungut aleh pajak pejabat sebagai pih ak

yang mewakili negara tanpa tegenprestasi secara langsung kepada

wajib pajak. Sifat yang dimiliki aleh pajak adalah memaksa yang

terjelma dari aspek penagihannya dengan ancaman hukuman

berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan.

Selain pajak dikenal pula retribusi yang merupakan saudara

kembar dari pajak yang tidak memberikan tegenprestasi secara

langsung kepada wajib retribusi. Di dalam Pasal 23A UUD 1945

secara tegas diatur mengenai pajak, tetapi berbeda dengan retribusi

yang tidak diatur secara tegas. Sekalipun demikian, retribusi sangat

dibutuhkan aleh negara dalam kerangka memberikan pelayanan

secara langsung kepada masyarakat. Retribusi dalam Pasal 23A

UUD 1945 merupakan bagian dari "pungutan yang bersifat

mernaksa" yang dibutuhkan aleh negara karena itu diatur dengan

undang-undang.

Pengertian retribusi dalam literatur sangat kurang, bahkan

baleh dikatakan tidak ada literatur secara khusus yang membahas­nya . Retribusi menurut Munawir (1985;3) ialah iuran kepada

pernerintah yang dapat dipaksakan dan dapat jasa balik secara

langsung dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekanamis karena

siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak

dikenakan iuran, misalnya retribusi pasar dan retribusi air minum.

Pendapat Munawir tersebut di atas perlu dilakukan perbaikan, yaitu

bahwa paksaan dalam retribusi tidak hanya bersifat ekanamis,

melainkan memuat pula paksaan secara yuridis berupa sanksi

administrasi maupun sanksi kepidanaan. .'

Pengertian retribusi tersebut di atas ternyata ditinjau dari aspek

eka namis bukan dari aspek hukum, padahal yang dibutuhkan

ada lah pengertian retribusi yang ditinjau dari aspek hukum.

Sebenarn ya harus ada perbedaan mencalak yang dapat membeda­

kan pengertian retribusi dari aspek ekanamis dengan aspek hukum

sehingga kelihatan perbedaannya secara prinsipil. Retribusi adalah

pungutan aleh Pejabat Retribusi kepada Wajib Retribusi yang

bersifat memaksa dengan tegenprestasi secara lan gsung dan dapat

dipaksakan penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk

memaksakan penagihan retribusi tidak berbeda dengan pajak,

berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan.

B. Penggolongan Pajak clan RetribusiSecara hukum, pajak dan retribusi dapat dilakukan peng­

galangan berdasarkan kebutuhan negara dalam membiayai

pemerintahan dan pembangunan di masa kini dan mendatang.

Mengingat pajak dan retribusi merupakan sumber pendapatan

negara maupun daerah, penggalangannya perlu dilakukan

berdasarkan sifat-sifat maupun ciri-ciri yang dimilikinya. Seba­

gaimana dikatakan aleh Munawir (1985;16), cara penggalangan

dapat didasarkan atas sifat-sifat maupun ciri-ciri tertentu yang

terdapat dalam masing-masing pajak dan retribusi.

Page 20: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Apabila kriteria-kriteria tersebut di atas dijadikan patokanuntuk mengetahui penggolongan pajak, berdasarkan penggolongan­nya ternyata pajak terdiri dari:

1. pajak dalam arti luas dan pajak dalam arti sempit;

2. pajak negara dan pajak daerah;

3. pajak objektif dan pajak subjektif; dan

4. pajak langsung dan pajak tidak langsung.

Penggolongan pajak tersebut tidak mutlak sifatnya karena

boleh saja mengalami perubahan tergantung pada kriteria-kriteriayang digunakan. Perubahan itu boleh berkurang atau boleh pulabertambah sesuai kondisi dan kebutuhan di masa mendatang.

Pajak dalam arti luas adalah semua jenis pajak yang dipungutoleh pernerintah pusat, terrnasuk bea materai, bea dan cukai, dan

pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkanperaturan perundang-undangan perpajakan. Sernentara itu, pajakdalarn arti sernpit adalah pajak yang dipungut oleh pernerintahpusat (tanpa bea rnaterai, bea rnasuk dan cukai) dan pajak yangdipungut oleh pernerintah daerah berdasarkan peraturan per­

undang-undangan perpajakan di bidang pajak daerah.

Pajak negara adalah pajak yang diadakan oleh negara sertapenagihannya dilakukan oleh pejabat pajak yang ditugasi rnengelola

pajak-pajak negara. Yang rnenjadi ukuran pernbedaan antara pajak

negara dengan pajak daerah adalah dari aspek penagihannya bukanpada aspek pernungutannya karena ada pajak negara, tetapi

pernungutannya diIakukan oleh aparat kelurahan atau desa,misalnya pajak bumi dan bangunan. ]urnlah objek pajak negararelatif tidak terbatas, tetapi negara harus teliti dalarn rnenentukan

objek pajak yang dapat dikenakan pajak. Pajak yang tergolongsebagai pajak negara adalah:

2928 Pembaruan Hukum Pajak BAB 2: Pajak dan Retribusi

I. pajak penghasilan;

pajak pertambahan nilai barang dan jasa;

3. pajak penjualan atas barang rnewah;

4. pajak bumi dan bangunan;

5. bea rnaterai;

6. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan;

7. bea masuk; dan

8. cukai;

Pajak daerah adalah pajak yang diadakan oleh daerah serta

penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak yang ditugasi rnengelolapajak-pajak daerah. Objek pajak daerah terbatas jurnlahnya karenaobjek yang telah rnenjadi objek pajak negara tidak boleh digunakan

oleh daerah. Lapangan pajak daerah adalah lapangan pajak yangbel urn digunakan oleh negara, agar tidak terjadi pajak ganda

nasional yang dapat mernberatkan wajib pajak. Dengan dernikian,penentuan objek pajak daerah harus diperhatikan terlebih dahulu

objek pajak negara.

Kemudian, pajak daerah sebagaimana dirnaksud dalarn Pasal2 ayat (1) dan ayat (2) UU PDRD rneliputi pajak daerah provinsi

dan pajak daerah kabupaten/kota. Pajak daerah provinsi sebagaikewenangan daerah provinsi untuk ditetapkan dalarn bentuk

peraturan daerah terdiri dari:

1. pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;

2. bea baIik nama kendaraan berrnotor dan kendaraan di atas

air;

3. pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan

4. pajak pengambilan dan pernanfaatan air bawah tanah dan air

permukaan.

Page 21: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Semen tara i t u, pajak daerah kabu pa ten /kota seb agaikewenangan kabupateri/kota untuk ditetapkan dal am bentuk

peraturan daerah terdiri dari:

1. pajak ho tel;

2. pajak restoran;

3. pajak hiburan;

4. pajak reklame;

5. pajak penerangan jalan;

6. pajak pengambilan bahan galian golongan C; dan

7. pajak parkir.

Pajak langsung adalah pajak yang penagihannya dilakukansecara berkala (periodik) berdasarkan perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pejabat pajak menerbitkan surat tagihan pajak, suratketetapan pajak kurang bayar, dan surat ketetapan pajak kurangbayar tambahan. Pengenaan pajak langsung terkait dengan adanya

tatbestand oleh wajib pajak dalam jangka waktu tertentu (satu tahuntakwim) , sepe rti Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, sertaBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pajak t idak langsung adalah pajak yang penagih annya

dilakukan secara tidak berkala (insidentil) dan pada umumnya tidak

berdasarkan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar,dan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan. Dikatakan

demikian karena ada pula pajak tidak langs ung yang ditagih dengan

menggunakan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang

bayar, dan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan. Sebagaicontoh, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan [ asa dan PajakPenjualan atas Barang Mewah.

Penggolongan ret ribusi berbeda dengan penggolongan pajakkarena pada re tribusi terdapat imb alan langsung kepada pih ak-

pihak yang menggunakan objek ret ribusi yang telah ditentukan .

Objek retribusi sebagaimana dimaksud dala m Pasal 18 ayat (1)

UU PORD terdiri dari :

d. jasa tersebut layak un tuk dikenakan retribusi.

e. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional

mengenai penyelenggaraannya.

f. Retribusi dapat dipu ngut secara selektif dan efisien, serta

meru pakan salah sa tu su mber pendapatan daerah yang

potensial.

31BAB2:Pajak danRetribusi

I. jasa umum;

jasa usaha; dan

3. peri zinan tertentu.

Berdasarkan objek retribusi tersebut, retribusi dibagi atas tiga

golongan, sebagai berikut.

I. Retribusi jasa umum, dengan kriteria sebagai berikut.

a. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifatbukan retribusi jasa usaha atau retribusi perizinan tertentu.

Misalnya, pelayanan kes ehatan dan pel ayanan per­

sampahan.

b. j asa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerahdalam rangka pelaksanaan desentralisasi . Misalnya,penyewaan aset yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah

daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkelkendaraan, tempat pencucian mobil, dan penjualan bibit.

c. [asa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi

atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di

samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan

umum.

Pembaruan Hukum Pajak30

Page 22: Buku Pembaruan Hukum Pajak

2. Retribusi jasa usaha, dengan kriteria sebagai berikut.

a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan

jasa atau perizinan tertentu.

b. jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial

yang seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi

belum memadai atau terdapatnya harta yang dirniliki/

dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan seeara penuh

oleh pemerintah daerah.

3. Retribusi perizinan tertentu, dengan kriteria sebagai berikut.

a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan

yang diserahkan kepada daerah dalam rangka as as

desentralisasi.

b. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi

kepentingan umum.

c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan

izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak

negatif dari pemberian izin tersebut telah ditetapkan.

Penggolongan retribusi tersebut di atas tidak bersifat final

karena daerah masih diberikan wewenang untuk menentukan

retribusi, sepanjang diatur dalam peraturan daerah. Kewenangan

daerah untuk menambah retribusi dilakukan dengan kewenangan

otonominya dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan .

Sekalipun masih berwenang memungut retribusi, daerah tidak

boleh melanggar kriteria yang telah ditentukan. Pelanggaran kriteria

yang telah ditentukan mengakibatkan peraturan daerah yang

mengatur retribusi batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapat

dibatalkan.

Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam kajian hukum pajak

u-rnyata pajak memiliki fungsi yang berbeda dengan retribusi.

Fungsi pajak dapat berupa fungsi anggaran (fungsi budgeter) dan

fungs i mengatur (fungsi regulerend) , sedangkan fungsi retribusi

hanya memiliki fungsi anggaran (fungsi budgeter). Dalam arti,

rct ribusi tidak memiliki fungsi mengatur (fungsi regulerend)scbagaim ana yang terdapat pada pajak. Hal ini berarti bah~arctr ibusi tidak dapat digunakan untuk mengendalikan kehidupan

masyarakat sebagaimana yang dikehendaki oleh pemerintah (baik

pcmerintah pusat maupun pemerintah daerah) . Retribusi hanya

scmata-rnata untuk mengisi kas negara maupun daerah sebagai

pcnggantian yang telah dikeluarkan dalam upaya penyediaan sarana

pelayanan kepada masyarakat. Dengan dernikian, pemerintah

dilarang memungut retribusi kepada masyarakat tatkala tidak

mernanfaatkan sarana pelayanan yang telah disediakan. Misalnya,

tcrhadap masyarakat yang tidak menggunakan pasar sebagai tempat

me lakukan kegiatan ekonomi, pemerintah dilarang memungut

ret ribusi pasar.

Kedua fungsi pajak tidak mutlak harus beriringan dalam

pelaksanaan nya, bergantung pada kemauan politik pemerintah pada

saat itu. Dalam arti bahwa kehendak politik pernerintah untuk

menekan tidak terjadi kejahatan dalam masyarakat. Maka, fungsi

yang digunakan adalah fungsi mengatur dengan eara meningkatkan

tarif pajak sehingga masyarakat tidak dapat membelinya. [ika

penghasilan negara maupun daerah hendak ditingkatkan, fungsi

anggaran yang diterapkan dengan eara menjaring sebanyak­

banyaknya wajib pajak. Dalam praktik bernegara, ternyata kedua

fungsi pajak tersebut diterapkan seeara bersamaan untuk rnewujud­

kan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan

dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

32 Pembaruan Hukum Pajak

g. pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa

tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang

baik.

BAB 2: Pajak dan Retribusi

C. Fungsi Pajak clan Retribusi

33

Page 23: Buku Pembaruan Hukum Pajak

34 Pembaruan Hukum Pajak 35

Berbeda dengan fungsi retribus i yang pada dasarnya tidakmemiliki fungsi mengatur, kecuali hanya memiliki fungsi untukmengisi kas negara atau daerah karena retribusi hanya sebagaipenggantian atas jasa yang dised iakan oleh negara atau daerah.Hal ini yang membedakan antara pajak dengan retribusi dari aspekhukum yang dalam pelaksanaannya kadangkala tidak tampak secarajelas sehingga penagihannya disamakan dengan pajak.

Objek Pajak

A. Pengertian

Objek pajak merupakan bagian terpenting yang dibicarakanatau dipersoalkan dalam hukum pajak materil. Objek pajakdika takan sebagai bagian terpenting karena wajib pajak tidakdikenakan pajak kalau tidak memiliki, menguasai, atau menikmatiobjek pajak yang tergolong sebagai objek kena pajak sebagai syarat­syarat objektifdalam pengenaan pajak. Objek yang dapat dikenakanpajak dalam masyarakat sangat beraneka ragam bergantung padakebijakan pembuat undang-undang untuk menjaringnya sebagaiobjek pajak.

Objek pajak adalah segala sesuatu yang karena undang­undang dapat dikenakan pajak. Kata "dapat" dikenakan pajakmengandung makna bahwa objek pajak boleh atau tidak boleh kenapajak. Pengenaan pajak terhadap suatu objek harus dipertimbang­kan secara maksimal agar tidak menimbulkan permasalahan dalammasyarakat. Oleh karena itu , penentuan suatu objek untuk dikena­kan pajak lebih dahulu dilakukan penelitian sehingga dapatmenciptakan kemanfaatan bagi negara maupun daerah selaku pihakyang membutuhkan pajak . Hal ini dipertegas Rochmat Soemitro(1986;99) yang menyatakan bahwa yang dapat dijadikan objek pajak

Page 24: Buku Pembaruan Hukum Pajak

36 Pembaruan Hukum Pajak SAS 3: Objek Pajak 37

banyak sekali macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam masyarakatdapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan,

maupun peristiwa. Dalam bahasa Jerman disebut sebagai"tatbestand", misalnya sebagai berikut.

1. Keadaan, misalnya kekayaan seseorang pada suatu saattertentu, memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi,

memiliki tanah atau barang tak bergerak lainnya, men empatirumah tertentu (kebanyakan secara statis/tetap).

2. Perbuatan , misalnya melakukan penyerahan barang karena

perjanjian, mendirikan rumah atau gedung, mengadakanpertunjukan atau keramaian, memperoleh penghasilan,bepergian ke luar negeri.

3. Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh

secara mendadak, anugerah yang diperoleh karena secara takterduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di luar kehendakmanusia.

Ternyata objek yang dapat dikenakan pajak terlalu banyak,

tergantung dari pembuat undang-undang untuk menjaringnya,sepanjang objek itu tid ak melanggar kesusilaan dan kesopanan

dalam masyarakat. Dalam arti, masih terdapat pembatasan yang

harus ditaati oleh pembuat undang-undang untuk menentukansuatu objek sebagai objek pajak. Sekalipun ada pernbatasan, berarti

pembuat undang-undang tetap dibolehkan untuk menentukan

objek yang dapat dikenakan pajak dan objek tidak dikenakan pajak.

Hal semacam ini yang tergambar dalam tiap-tiap Undang-undangPajak yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang.

B. Objek Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan sebagai salah satu pajak negara memilikiobjek yang dapat dikenakan pajak, yakni "penghasilan". Pengertian

pcnghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah se tiapi.unbahan kemampuan ekonomis yang dit erima atau diperoleh

wajib pajak, baik yang berasal da ri Indonesia maupun di luarIndones ia, yang dapat dipakai untuk kon sumsi at au untuk

mcnambah kekayaan wajib pajak yang bersan gkut an, deng an nama.lan dalam bentuk apa pun, termasuk:

I. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan ataujasa yang diterima atau dip erol eh termasuk gaji, upah, tun­

jangan, honorarium, komi si, bonus, gratifikasi, uang pensiun,

atau imbalan dalam bentuk lainn ya, kecuali dit entukan laindalam undang-undang ini;

hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan peng­hargaan;

3. laba usaha;

l. keunt ungan karena penjualan atau karena pen galihan hartatermasuk:

a. keuntungan-keuntungan karena pengalihan harta kepada

perseroan dan badan lainnya sebagai pengganti saham ataupenyertaan modal;

b. keuntungan karena dip erol eh pers eroan, persekutuan, dan

badan lainnya karena pengalihan hart a kepada pemegangsaham, sekutu, atau anggota;

c. keuntungan karena likuidasi , penggabungan, peleburan,

pernekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha ;

d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah ,

bantuan, sumbangan kecu ali yan g diberikan kepa dakeluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,

dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badansosial atau pengusaha kecil termasuk kop erasi yangditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

Page 25: Buku Pembaruan Hukum Pajak

38 Pembaruan Hukum Pajak BAB 3: Objek Pajak 39

hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan

sebagai biaya;

6. bunga termasuk premiun, diskonto, dan imbalan karena

jaminan pengembalian utang:

7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk

dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan

pembagian sisa hasil usaha koperasi;

8. royalti;

9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta;

10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai denganjumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14. premi asuransi;

15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota­nya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas;

16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang

belum dikenakan pajak.

Pengertian penghasilan tersebut di atas tidak memerhatikan

adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanyatambahan kemampuan ekonomis. Dalam hubungan ini menurutRochmat Soemitro (1985;63), segala sesuatu yang diterima ataudiperoleh wajib pajak baik berupa uang, barang, atau nikmat pada

prinsipnya merupakan penghasilan yang kena pajak .

Pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4ayat (1) UU PPh hanya berpatokan pada penambahan kemampuan

.konomis bukan pada sumber penghasilan itu sepdiri. Dilihat dari

mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak,penghasilan dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu:

I. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan

pekerjaan bebas seperti, gaji, honorarium, penghasilan daripraktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan

sebagainya;

2. penghasilan dari usaha dan kegiatan:

3. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak atau hartatak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa , keuntungan,

penjualan harta, atau hak yang tidak digunakan untuk usaha,dan lain sebagainya;

4. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, danlain sebagainya.

Terhadap penghasilan berupa deposito dan tabungan-tabunganlainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di

bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan

atau tabungan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan

pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. Sebenarnya bungadeposito dan tabungan-tabungan lainnya serta penghasilan lainnya

yang diperoleh wajib pajak yang bertujuan untuk menambah

kekayaan wajib pajak adalah objek pajak penghasilan. Akan tetapi,pelaksanaan pengenaan pajaknya akan diatur oleh pemerintah

dalam bentuk peraturan pemerintah. Semua jenis penghasilan yangterdapat pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah objek pajak, tetapipengenaan pajak ada yang secara langsung dan ada pul a harusbergan tung pada peraturan pemerintah.

Page 26: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Walaupun penghasilan merupakan objek pajak, tidak semua

penghasilan dikenakan pajak penghasilan karena dalam Pasal 4 ayat(3) UU PPh telah ditentukan secara limitatif mengenai penghasilan

tidak termasuk objek pajak penghasilan. Adapun objek pajak yang

tidak dikenakan pajak penghasilan adalah:

1. bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badanami! zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau

disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang

berhak;

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garisketurunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau

badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha keciltermasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang

bersangkutan:

3. warisan;

4. harta termasuk setoran tunai yang dterima oleh badansebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1) hurufb sebagai

pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan ataujasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau

kenikmatan dari wajib pajak atau pernerintah:

6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadisehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,

asuransi jiwa , asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperolehperseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi,badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari

penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan danbertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan: dan

b. bagi perseroan terbatas, bad an usaha milik negara dan

badan usaha milik daerah yang menerima dividen,

kepemilikan saham pada badan yang memperoleh dividen

paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor danharus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan sahan

tersebut.

8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yangpendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yangdibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun

sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidangtertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;

10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dariperseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham­

saham, persekutuan, perkumpulan, firrna, dan kongsi;

11. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaanreksadana selama lima tahun pertama sejak pendirian

perusahaan atau memberikan izin usaha;

12. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal

ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yangdidirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,

dengan syarat badan pasangan usaha tersebut;

a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yangmenjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang

ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, atau

b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

40 Pembaruan Hukum PajakSAS 3: Objek Pajak 41

Page 27: Buku Pembaruan Hukum Pajak

C. Objek Pajak Pertambahan Nilai

Penghasilan sebagaimana tersebu t merupakan objek pajak,tetapi tidak dikenakan pajak penghasilan mengingat penentuan

suatu objek pajak masuk ke da lam kategori kena pajak atau tidakkena pajak harus berdasarkan dengan undang-undang, kecualiada pendelegasian undang-undang kepada peraturan yang lebih

rendah . Dengan demikian , tid ak tertu tup kemungkinan dapat

bertambah atau berkurang obje k pajak penghasilan yang tidakdiken akan Pajak Penghasilan.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan satu di antara dua jenispajak yang diatur dalam UU PPN . Selain Pajak Pertambahan Nilaiterdapat pul a Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang merupakan

satu kesatuan sebagai pajak ata s konsumsi di dalam negeri.Sekalipun sebagai satu kes atuan, terdapat perbedaan secaraprinsipil, khususnya di bidan g objek yang dapat dikenakan pajak.

Objek Pajak Pertamb ahan Nilai secara tegas diatur dalam Pasal4 ayat (1) UU PPN, yang menyatakan bahwa Pajak PertambahanNilai dikenakan atas:

1. penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang

dilakukan oleh pengusaha;

2. impor barang kena pajak;

3. penyerahan jas a kena pajak di dalam daerah pabean yangdilakukan oleh pen gus aha;

4. pem anfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerahpabean di dalam daerah pabean;

5. pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam

daerah pabean;

6. ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

43BAB 3: ObjekPajak

Untuk lebih jelas mengenai substans i bagi pengenaan Pajak

Pcrtambahan Nilai, satu per satu dikaji secara mendalam denganbcrpatokan pada UU PPN. Hal ini bertujuan unt uk lebih memberipcma haman mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas

kcgiatan yang terkait dengan Barang Kena Pajak dan ]asa Kena Pajak.

Dengan demikian, diharapkan tidak mengalami kesulitan dalammem pelajari dan melaksanakan UU PPN.

1. Penyerahan Barang Kena Pajak

Untuk lebih memahami pengertian barang kena pajak, terlebih

dahulu diutarakan tentang barang kena pajak yang meliputi barangber wujud dan barang tidak berwujud. Barang berwujud yangmenuru t sifa t atau hukumnya dapat berupa barang bergerak danbarang tidak bergerak, sedangkan barang tidak berwujud adalahbarang yang tidak kelihatan dan tidak dapat dipegang, misalnyahak merek, hakpaten, dan hakcipta. Barang kena pajak tidak mutlak

haru s kena Pajak Pertambahan Nilai karena UU PPN memberipengecualian untuk itu. ]enis barang kena pajak yang tidak dikena­

kan Pajak Pertambahan Nilai, walaupun dilakukan penyerahan didaerah pabean oleh pengusaha, adalah:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambillangsung dari sumbernya;

b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan olehrakyat ban yak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran,

rumah makan, warung, dan sejenisnya;

d. uang, emas batangan, dan surat-sura t berharga.

Hal yar:g termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang KenaPajak berdasarkan UU PPN, me liputi:

a. penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian;

Pembaruan Hukum Pajak42

Page 28: Buku Pembaruan Hukum Pajak

44 Pembaruan HukumPajak BAB 3: Objek Pajak 45

b. pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjia n sewa

beli dan perjanjian leasing;

c. penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau

melalui juru lelang;

d. pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas barang

kena pajak;

e. persediaan barang kena pajak dan aktiva menurut tujuan

semula tidak untuk diperjualbe likan , yang masih tersisa pada

saat pembubaran perusahaan, sepanjang pajak pertambahan

nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat

dikreditkan;

f. penyerahan barang kena pajak da ri pusat ke cabang atau

sebaliknya dan penyerahan barang kena pajak antarcabang;

g. penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi.

Selain yang tertera di atas, masih ada penyerahan barang kena

pajak, tetapi tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang

kena pajak karena tidak semua barang kena pajak yang diserahkan

oleh pengus aha di dalam daerah pabean merupakan objek kena

pajak pe rtambahan nilai. Adapun penyerahan barang kena pajak,

tetapi tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena

pajak adalah:

a. penyerahan barang kena pajak kepada makelar sebagaimana

dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. penyerahan barang kena pajak untuk jaminanutang piutang;

c. penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau

sebaliknya dan penyerahan barang kena pajak antarcabang

dalam hal pengusaha kena pajak memperoleh izin pemusatan

te mp at pajak terutang.

Ketiga jeni s penyerahan barang kena pajak yang tidak termasuk

.la larn pengertian penyerahan barang kenapajakbukan objek k~na

Il:ljak Pert am bahan Nila i. Siapa pun yang rr:elaku!<qll penyerahan

harang kena pajak baik dari luar da erah pabeanmaupun didalarri.

.laerah pabean tidak kena Pajak Pertarnbahaf Nilai . Hal ini

.limaksudkan untuk memberi kepastian hukumterhadap penyera­

han barang kena pajak sebagairiiana dimaksud.dalam PasallA UU

PPN.

2. Impor Barang Kena Pajak

UU PPN tidak hanya mengenakan Pajak Pert ambahan Nilai

rcrhadap penyerahan barang ken a pajak di dalam daerah pabean

yang dilakukan oleh pengusaha, tetapi termasuk pula impor barang

kcna pajak. Lain perkataan bahwa impor ba rang kena pajak

meru pakan objek kena Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 1 angka 9

VU PPN menegaskan bah wa impor barang kena pajak adalah setiap

kegiatan memasukkan barang dari luar daerah pabean ke dalam

daerah pabean. Pengusaha yang melakukan kegi atan di bidang

impor barang kena pajak dinamakan "impor tir" . Rochmat Soemitro

(1987;32) mengatakan bahwa importir adalah pengusaha (orang

atau badan) yang mempunyai pekerjaan memasukkan barang, baik

barang konsumsi, barang modal atau bahan ke wilayah Republik

Indonesia, da lam lingkungan usaha atau pekerjaannya. Kegiatan

memasukkan barang disebut impor, sedangkan "indentor" adalah

orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di

In don esia, yang dalam lingkungan usaha atau pekerjaannya

menyur uh importir un tuk mengimpor barang untuk dan atas nama

kepentingannya.

Impor barang kena pajak berbeda dengan penyerahan barang

kena pajak karena tidak ada impor barang kena pajak yang tidak

termasuk dalam pengertian kena Pajak Pertambahan Nilai , seperti

halnya penyerahan barang kena pajak dan penyerahan jasa kena

Page 29: Buku Pembaruan Hukum Pajak

pajak. Dalam arti, tidak boleh ada penafsiran lain mengenai impor

barang kena pajak, selain yang terdapat dalam UU PPN. Penafsiranyang terdapat dalam UU PPN merupakan penafsiran autentik yangtid ak boleh diragukan kebenarannya.

3. Penyerahan jasa Kena Pajak

Pengusaha yang melakukan penyerahan jasa kena pajak didalam daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai .]asa kenapajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan

atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,kernudahan, atau hak tersedia untuk dipakai termasuk konstruksiyang dilakukan untuk menghasilkan barang kena pajak karenapesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari

pemesan yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Penyerahan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pemberianjasa kena Pajak Pertambahan Nilai . Kegiatan pemberian jasa kenapajak dilakukan oleh pengusaha, walaupun bukan merupakan

pengusaha kena pajak. Siapa pun yang melakukan penyerahan jasakena pajak di dalam daerah pabean, termasuk pengusaha kena pajakdikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha kena pajak

mengandung arti yang luas dibandingkan dengan pengusaha karena

pengusaha hanya bagian dari pengusaha kena pajak. Hal yangtermasuk dalam pengertian penyerahan jasa kena pajak adalah jasa

kena pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau

jasa kena pajak yang diberikan secara cuma-cuma.

Tidak semua penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan olehpengusaha di dalam daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan

Nilai karena UU PPN memberikan pengecualian untuk tidakdikenakan Pajak Pertambahan Nilai .]asa yang tidak dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai, walaupun penyerahannya di dalam daerahpabean yang dilakukan oleh pengusaha adalah:

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

Hak merek, hak paten, dan hak cipta merupakan barang kenapajak yang tidak berwujud tatkala dimanfaatkan dari luar daerah

47BAB 3: Objek Pajak

jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;

jasa di bidang pelayanan sosial;

jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha

dengan hak opsi;

jasa di bidang keagamaan;

jasa di bidang pendidikan;

jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak

tontonan:

h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;

j. jasa di bidang tenaga kerja;

k. jasa di bidang perhotelan;

l. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalan­

kan pemerintahan secara umum.

Pengecualian pada jasa kena pajak sebagaimana tersebut di

atas bertujuan untuk memberi kepastian hukum dalam pengenaanPajak Pertambahan Nilai terhadap pengusaha kena pajak. Sebalik­

nya, pengusaha kena pajak dapat memanfaatkan fasilitas yang telah

disediakan oleh UU PPN agar dalam melakukan usaha ataupekerjaannya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pengecuali­

an ini mencerminkan keadilan bagi pengusaha kena pajak untuk

melakukan usaha atau pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa

menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai .

I.

I' ,

d.

!!.

I ,

,I ,

11,

Pembaruan Hukum Pajak46

Page 30: Buku Pembaruan Hukum Pajak

5. Pemanfaatan jasa Kena Pajak

Selain pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dikenal

pula pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam

daerah pabean dalam UU PPN. Pemanfaatan jasa kena pajak dari

luar daerah pabean di dalam daerah pabean dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai tanpa melihat siapa yang memanfaatkannya

karena setiap kegiatan yang memanfaatkan jasa kena pajak dari

luar daerah pabean di dalam daerah pabean dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai.

pabean di dalam daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Siapa pun yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud

dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean wajib membayar

Pajak Pertambahan Nilai. Pernanfaatan barang kena pajak tidak

berwujud didasarkan atas suatu perbuatan hukum berupa perjanjian

yang dilakukan di daerah pabean antara pemilik barang kena pajak

tidak berwujud dengan pengguna barang kena pajak tidak

berwujud. Pengguna sebagai pihak yang memanfaatkan barang kena

pajak tidak berwujud adalah selaku pihak yang dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai bukan pemiliknya.

Berbeda halnya kalau barang kena pajak tidak berwujud berasal

dari dalam daerah pabean dan dimanfaatkan di dalam daerah pabean

pula, baik pihak pemilik maupun pihak yang memanfaatkan,

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena pihak pemilik barang

kena pajak tidak berwujud pada awalnya telah dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai, kemudian disusul dengan pihak yang rnernan­

faatkan barang kena pajak tidak berwujud berdasarkan suatu

perjanjian. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap kedua

belah pihak bukan merupakan pengenaan pajak ganda nasi anal

karena wajib pajak yang berbeda satu dengan lainnya.

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap pihak-pihak yang

mcrnanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam

.lacrah pabean tidak dapat terhindarkan karena secara hukummerupakan wajib pajak. Misalnya, Saudara Labaco, tenaga pengajar

Pakultas Hukum Universitas Hasanuddin di Makassar, memanfaat­

kan jasa kena pajak dari pen gusaha Ali Baba yang berkedudukan di

Singapura. Atas pemanfaatan jasa kena pajak tersebut, terutang

11ajak Pertambahan Nilai . Pihak yang wajib membayar Pajak

Pertambahan Nilai adalah saudara Labaco di Makassar sebagai pihak

yang memanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean bukan pengusaha Ali Baba yang berkedudukan

di Singapura.

49BAB 3: Objek Pajak

6. Ekspor Barang Kena Pajak

Ekspor barang kena pajak juga merupakan objek kena Pajak

Pertambahan Nilai tatkala dilakukan 01eh pengusaha kena pajak.

Ketika ekspor barang kena pajak hanya dilakukan 01eh pengusaha

yang bukan pengusaha kena pajak, ekspor barang kena pajak

tersebut tidak kena Pajak Pertambahan Nilai. Ekspor adalah setiap

kegiatan mengeluarkan barang dari dalam daerah pabean ke luar

daerah pabean. Pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor

barang kena pajak disebut "eksportir".

Pengusaha kena pajak yang melakukan kegiatan ekspor barang

kena pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%

(nol persen). Pengenaan pajak dengan tarif 0% (nol persen)

terhadap pengusaha kena pajak sebagai pelaksanaan tujuan hukum

pajak berupa "kernanfaatan". Tujuannya agar pengusaha kena pajak

dapat melakukan persaingan sehat secara hukum dengan pengusaha

asing untuk memasarkan barang kena pajak yang diekspor. Sekali­

pun demikian, pengusaha kena pajak tersebut tetap mencantum­kannya dalam surat pemberitahuan yang akan disampaikan pad a

Pembaruan Hukum Pajak48

Page 31: Buku Pembaruan Hukum Pajak

50 Pembaruan Hukum Pajak SAS 3:Objek Pajak 51

kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat dikukuhkan sebagaipengusaha kena pajak.

Tatkala dikaji secara hukum mengenai substansi yang ter­

kandung dalam PasaI 4 ayat (1) UU PPN, ternyata terdapat syarat­

syarat penyerahan barang kena pajak dan penyerahan jasa kena

pajak agar dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Syarat-syarat

penyerahan barang kena pajak sebagai berikut.

a. Barang bewujud yang diserahkan merupakan barang kenapajak.

b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan pulabarang kena pajak.

c. Penyerahan barang kena pajak dilakukan di dalam daerahpabean.

d. Penyerahan barang kena pajak dilakukan dalam rangka kegiatanusaha atau pekerjaannya.

Sementara itu, syarat-syarat penyerahan jasa kena pajak untuk

dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut.

a. ]asa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak.

b. Penyerahan jasa kena pajak dilakukan di dalam daerah pabean.

c. Penyerahan jasa kena pajak dilakukan dalam rangka kegiatanusaha atau pekerjaannya.

Berdasarkan syarat-syarat penyerahan barang kena pajak dan

syarat-syarat penyerahan jasa kena pajak, dapat diketahui per­

samaan dan perbedaannya. Bahkan kedua syarat tersebut dapat

mengalami perkembangan berdasarkan pesatnya perkembangan

hukum pajak yang mengatur di bidang ekonomi dan perdagangandi masa kini dan mendatang.

I) . Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Pajak Penjualan at as Barang Mewah merupakan pula satu di

.uuara dua jenis pajak yang diaturdalam UU PPN. Dalam arti bahwa

I JU PPN selain Pajak Pertambahan Nilai juga diatur pula Pajak

I'('njualan atas Barang Mewah. Sekalipun dernikian, pengenaan

I'ajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dapat diterapkan sebelum

I'njak Pertambahan Nilai dikenakan kepada pihak yang ber-

angkutan karena barang mewah hanya melekat pada barang kena

pajak, tidak berdiri sendiri sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak

Pcnjualan atas Barang Mewah.

Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa barang kena

pajak tergolong barang mewah atau tidak tergolong barang mewah

diatur pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN. Adapun kriteria

barang kena pajak tergolong barang mewah adalah sebagai berikut.

I. Barang kena pajak bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

Barang kena pajak tersebut dikonsumsi oleh masyarakat

tertentu.

3. Pada umumnya barang kena pajak tersebut dikonsumsi oleh

masyarakat yang berpenghasilan tinggi; atau

4. Barang kena pajak tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan

status, atau

5. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral

masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti

minuman alkohol.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai salah satu jenis

pajak yang diatur dalam UU PPN memiliki objek yang dapat

dikenakan pajak. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang

dapat dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya melekat

pada barang kena pajak yang tergolong mewah. Tidak semua barang

Page 32: Buku Pembaruan Hukum Pajak

52 Pembaruan Hukum Pajak SAS 3: Objek Pajak 53

kena pajak dapat dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,kecuali yang tergolong mewah dan penyerahan dilakukan olehpengusaha yang menghasilkan barang kena pajak tersebut di dalamdaerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. PengenaanPajak Penjualan atas Barang Mewah hanya satu kali, yaitu padawaktu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah. Lainperkataan bahwa objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalahpenyerahan yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkanbarang kena pajak yang tergolong mewah di dalam daerah pabeandalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Terdapat kriteria pem­batasan bagi yang dapat dikenakan Pajak Penjualan atas BarangMewah hanya pada pengusaha yang menghasilkan barang kenapajak yang tergolong rnewah, tidak termasuk pengusaha yang tidakmenghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah, walaupunmelakukan penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewahdi dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Tolok ukur pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewahterhadap penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yangdilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajakyang tergolong mewah di dalam daerah pabean dalam kegiatanusaha atau pekerjaannya terletak pada "rnenghasilkan". Termasukdalam pengertian menghasilkan barang kena pajak yang tergolongmewah sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal5 ayat (1) UU PPNadalah kegiatan berikut.

1. Merakit, yakni menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatubarang menjadi barang setengah jadi, seperti merakit rnobil,barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya.

2. Memasak, yakni mengolah barang dengan cara memanaskanbaik dicampur bahan lain atau tidak.

3. Mencampur, yakni mempersatukan dua atau lebih unsur (zat)untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain .

I . Mengemas, yakni menempatkan satu barang ke dalam suatubenda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untukmeningkatkan pemasarannya.

r, • Membotolkan, yakni memasukkan minuman atau benda cairke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu.

Tolok ukur ini tidak bersifat statis, melainkan bersifat dinamisbcrdasarkan perkembangan di masa kini dan mendatang dalamrangka menjaring sebanyak-banyaknya wajib pajak. Akan tetapi,pcrkembangan itu tidak boleh melanggar tujuan hukum pajak,scperti keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum karena pajakberdasarkan Pasal 23A UUD 1945 harus diatur dengan undang­undang, berarti harus ada persetujuan DPR sebagai wakil wajibpajak di Dewan Perwakilan Rakyat.

Impor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakanpula Pajak Penjualan atas Barang Mewah selain Pajak PertambahanNilai. Berarti impor barang kena pajak yang tergolong barangmewah merupakan pula objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah.Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah meliputi penyerahanbarang kena pajak yang tergolong barang mewah dan impor barangkena pajak yang tergolong barang mewah pula.

Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas imporbarang kena pajak yang tergolong barang mewah tidak memerhati­kan siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut dan tidakmemerhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus­menerus atau hanya sekali saja. Boleh dikenakan Pajak Penjualanatas Barang Mewah bergantung pada yang melakukan impor barangkena pajak yang tergolong barang mewah. Bahkan kalau pengusahakecil yang tidak dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak yangmelakukan impor barang kena pajak yang tergolong barang mewahdikenakan pula Pajak Penjualan atas Barang Mewah, padahal dalamUU PPN diterangkan bahwa pengusaha kecil yang tidak dikukuhkan

Page 33: Buku Pembaruan Hukum Pajak

54 Pembaruan Hukum Pajak BAB 3: Objek Pajak 55

sebagai pengusaha kena pajak tidak boleh dikenakan pajak, baikPajak Pertambahan Nila i maupun Pajak Penjualan atas BarangMewah . Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya dikenakan satukali, yaitu pada waktu penyerahan barang kena pajak yang tergolongbarang mewah di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha ataupekerjaan pengusaha yang bersangkutan atau impor barang kenapajak yang tergolong barang mewah yang diIakukan oleh siapa saja.Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai pajak konsumsi dalammasyarakat bertujuan untuk menekan konsumen aga r tidakmempertontonkan kekayaannya secara berIebihan.

E. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah "bumidan atau bangunan". Keduanya dapat berdiri sendiri maupun secarabersama-sama sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak Bumi danBangunan. Bumi sebagai objek pajak adalah permukaan bumi dantubuh bumi yang ada di bawahnya. Pengertian permukaan bumimeIiputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wiIayahIndonesia. Sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan, bumi terikatpada klasifikasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Akantetapi , klasifikasi tersebut dapat berubah berdasarkan per­kembangan di masa mendatang.

Klasifikasi bumi adalah pengelompokan bumi menurut nilaijualnya dan digunakan sebagai pedoman dan untuk memudahkanpenghitungan Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang. Dalammenentukan klasifikasi bumi perIu diperhatikan faktor-faktor antaralain :

1. letak;

2. peruntukan;

3. pemanfaatan;

4. kondisi Iingkungan, dan lain-lain.

Kemudian, bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan1\ lnlah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetapp.ula tanah dan atau perairan yang diperuntukkan sebagai ternpatunggal dan atau tempat usaha. Rochmat Soemitro (1987;9) ber­

""Ildapat bahwa adakalanya orang atau badan memiliki rumah yang.ula di atas tanah orang lain seh ingga pemilik rumah terpisah dariIxmilik tanah. UU PBB memungkinkan orang yang memiliki rumaht1 j atas tanah orang lain dikenakan pajak tersendiri terIepas daripajak yang dikenakan pada pemiIik tanah. Dalam keadaan demikian,scbenarnya dianut asas pemisahan horizontal (horizontal schriding).intara pemiIik tanah dan pemiIik rumah yang ada di atas tanahynng bersangkutan.

Bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan dalampcngertian yang seluas-luasnya meIiputi:

I . jalan lingkungan yang terIetak dalam suatu kompleksbangunan seperti hotel, pabrik, emplasemennya, dan lain-lainyang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunantersebut;

2. jalan tol ;

3. kolam renang;

4. pagar mewah;

5. tempat olahraga;

6. galangan kapal, dan dermaga;

7. taman mewah;

8. tempat penampungan/kilang minyak, air, gas, dan pipaminyak;

9. fasiIitas lain yang memberikan manfaat.

Kemud ian, kriteria untuk menentukan pengenaan Pajak Bumidan Bangunan terhadap bangunan bergantung pada klasifikasinya.

Page 34: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Klasifikasi bangunan adalah pengelompokan bangunan rnenurutnilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman untuk memudahkan

penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi

bangunan harus diperhatikan faktor-faktor antara lain:

1. bahan yang digunakan;

2. rekayasa;

3. letak;

4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

Sehubungan dengan faktor-faktor klasifikasi bangunan di atas,

bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan dapat dikategori­kan ke dalam bentuk:

1. bangunan tidak bertingkat (susun) yang terbuat dari betondan batu:

2. bangunan bertingkat (bersusun) yang terbuat dari beton danbatu:

3. bangunan semi permanen;

4. bangunan terbuat dari kayu dan bambu.

Tidak semua bumi dan atau bangunan merupakan objek pajak

yang boleh dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan karena ada

pengecualian terhadap bumi dan atau bangunan tidak dikenakan

Pajak Bumi dan Bangunan. Ketentuan itu terdapat pada Pasal 3

ayat (1) UU PBB yang menegaskan bahwa objek tidak kena PajakBumi dan Bangunan:

1. digunakan sernata-mata untuk melayani kepentingan umum

di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudaya­

an nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperolehkeuntungan;

2. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yangsejenis dengan itu;

F. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunanBea Perolehan Hak atas Tanah dan Ban gunan dapat pula

disebut sebagai Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Ban gunan

karena UU BPHTB yan g m en gaturnya membuka peluang untuk

57BAB 3: Objek Pajak

~ . merupakan hutan lindung, hutan sua ka alam, hutan wisat a,

tama n nasional, tanah penggembalaan yan g dikuasai oleh desa,

da ri tanah negara yang belum dibebani su atu hak;

4. diguna kan oleh perwakil an diplomatik, kon sulat berdasarkan

asas perlakuan timbal balik;

5. digunakan oleh bad an atau perwakilan organisasi internasional

yang ditentukan oleh Menteri Keuan gan.

Sem entara itu , terhadap bumi dan atau ban gunan yang diguna­

kan oleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan, penentuan

pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan diatur lebih lanjut dengan

peraturan pemerintah. Sekalipun pemerintah berwenang untuk

mene n tukan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap objek

yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan, tetap

teri kat pada asas kelayakan dan kepatuhan menurut hukum. Dalam

arti bahwa pemerintah harus memerhatikan klasifikasi bumi dan

bangunan dalam menetapkan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

te rhadap objek yang digunakannya mengingat tidak ada ketentuan

yang memberi pengecualian agar bumi dan atau bangunan yang

dig unakan tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan

dem ikian, pemerintah tetap dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan

terhada p bumi dan atau bangunan yang digunakan untuk menye­

lenggarakan pemerintahan karena pemerintah merupakan pula

badan hukum publik yang boleh dikenakan pajak sehingga terjarin g

sebagai wajib pajak yang wajib menaati UU PBB.

Pembaruan Hukum Pajak56

Page 35: Buku Pembaruan Hukum Pajak

58 Pembaruan Hukum Pajak BAB 3: Objek Pajak 59

menggunakan salah satu dari keduanya. Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan. Lain perkataan bahwa Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan

terhadap perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan

diperolehnya hak atas tanah dan bangunan. Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan berbeda dengan Pajak Bumi dan

Bangunan, walaupun keduanya menggunakan istilah tanah (bumi)

dan bangunan sebagai objek yang boleh dikenakan pajak.

Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah

perolehan hak yang melekat pada tanah dan bangunan, sedangkan

objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah fisik tanah dan bangunan

itu sendiri. Pasal 2 ayat (2) UU BPHTB, menetapkan bahwa

perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai objek pajak

meliputi:

1. Pemindahan hak karena:

a. jual beli;

b. tukar-rnenukar:

c. hibah;

d. hibah wasiat;

e. waris;

f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

h. penunjukan pembeli dalam lelang;

i. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap;

J. penggabungan;

k. peleburan usaha;

1. pemekaran usaha;

m. hadiah.

2. Pemberian hak baru karena:

a. kelanjutan pelepasan hak;/

b. di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah dan bangunan adalah hak atas tanah termasuk

hak pengelolaan beserta bangunan di atasnya, sebagaimana diai:ur

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun. Hak atas tanah dan bangunan

berdasarkan kedua undang-undang tersebut di atas adalah:

1. hak milik;

2. hak guna usaha;

3. hak guna bangunan;

4. hak pakai;

5. hak milik atas satuan rumah susun;

6. hak pengelolaan.

Perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak selalu merupakan

objek yang dapat dikenakan pajak karena ada ketentuan yang

menentukan bahwa objek itu bukan merupakan objek kena Bea

Pero lehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pasal 3 ayat (1) UU

BPHTB yang menegaskan bahwa objek pajak yang tidak dikenakan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak

yang diperoleh:

1. perwakilan diplornatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan

timbal balik;

2. negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

Page 36: Buku Pembaruan Hukum Pajak

G. Objek Bea Meterai

Bea Meterai merupakan pula jenis dari pajak yang merupakanpajak langsung yang dibebankan kepada yang menggunakandokumen dalam melakukan perbuatan hukum. Bea Meterai adalahpajak yang dikenakan atas dokumen yang digunakan oleh orangpribadi atau badan dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu, objekBea Meterai adalah dokumen yang digunakan untuk melakukanperbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar peradilan .D.okumen menurut Pasal 1 ayat (2) huruf a UU BM, adalah kertas

3. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetap­kan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidakmenjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsidan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;

4. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karenaperbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

5. orang pribadi atau badan karena wakaf;

6. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentinganibadah.

Selain itu, pengenaan pajak objek Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan yang diperoleh karena waris, hibah wasiat,dan pemberian hak pengelolaan berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU .BPHTB,diatur dengan peraturan pemerintah. Hal ini berarti bahwapemerintah berwenang untuk mengatur prosedur atau tata carapengenaan pajak terhadap waris, hibah wasiat, dan hak pengelolaandalam bentuk peraturan pemerintah. Substansi yang termuat dalamperaturan pemerintah tersebut antara lain berisi tentang tata caramenghitung besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunanatas objek pajak yang diperolehnya karena waris , hibah wasiat, danpemberian hak pengelolaan.

61BAB 3: Objek Pajak

yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud ten tangpcrbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak­pihak yang berkepentingan.

Ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) huruf a UU BM, memberikanbatasan mengenai dokumen yang dapat menjadi objek BeaMeterai.Sebenarn ya segala sesuatu yang tidak berisikan tulisan, atauberisikan tulisan, tetapi tidak mengandung arti dan maksud tentangperbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi orang pribadi seseorangatau badan yang berkepentingan tidak termasuk dalam pengertiandokumen. Sebagai contoh, potret, walaupun mengandung arti danmaksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi orangpribadi atau badan dalam potret tersebut, tidak berisikan tulisansehingga tidak termasuk dalam pengertian dokumen.

Dikenakan Bea Meterai at as dokumen yang berbentuksebagaimana dimaksud dalam Pasa12 ayat (1) UU BM adalah :

1. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengantujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenaiperbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata.Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-suratlainnya tersebut (antara lain surat kuasa, surat hibah, suratpernyataan), mempunyai kewajiban untuk membayar BeaMeterai terhadap surat tersebut;

2. akta-akta notaris termasuk salinannya;

3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabar Pembuat Akta Tanahtermasuk rangkapnya;

4. surat yang memuat jumlah uang yang:

a. menyebutkan penerimaan uang;

b. menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uangdalam rekening di bank;

Pembaruan Hukum Pajak60

Page 37: Buku Pembaruan Hukum Pajak

62

a. surat penyimpanan uang;

b. konosemen;

c. surat angkutan penumpang dan barang;

d. keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen

sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hurufb, dan huruf

c,

e. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

f. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan

pengirim;

g. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat­

surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai

huruf f.

2. segala bentuk ijazah; termasuk dalam pengertian segala bentuk

ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat

keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan,

kursus, dan penataran;

3. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan

pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan

kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan

pembayaran itu;

4. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas

pemerintah daerah, dan bank;

5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan

lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas

pemerintah daerah, dan bank. Bank yang dimaksud dalam

angka 5 ini adalah bank yang ditunjuk oleh pemerintah untuk

menerima setoran pajak, bea dan cukai;

6. tanda penerima uang yang dibuat untuk keperluan intern

organisasi;

Pembaruan Hukum Pajak

c. berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;

d. berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau

sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;

5. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek ;

6. efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Juga dikenakan Bea Meterai at as dokumen yang digunakan

sebagai alat pembuktian di muka pengadilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasa12 ayat (3) UU BM, yaitu:

1. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;

2. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasar­

kan tujuannya jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan

oleh orang lain dari maksud semula.

Dalam kaitan pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen

tersebut di atas, menurut Marihot P. Siahaan (2004;69) bahwa

besarnya Bea Meterai yang terutang terkait dengan dokumen yang

digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan adalah

sebesar Rp6.000,00, sementara apabila dokumen yang dimaksud

berkaitan dengan penyerahan uang, besarnya Bea Meterai yang

terutang didasarkan pada besarnya nominal penyerahan uang

dimaksud . Apabila nominal penyerahan uang kurang dari

Rp250.000,00, tidak terutang Bea Meterai . Sementara itu, apabila

nominal penyerahan uang sama dengan atau lebih dari

Rp250.000,00, besarnya Bea Meterai terutang adalah Rp3.000,00

dan apabila nominal penyerahan uang sama dengan atau lebih dari

Rp1.000.000,00, besarnya Bea Meterai terutang adalah Rp6 .000 ,00.

Walaupun dokumen merupakan objek Bea Meterai, berdasar­

kan Pasal 4 UU BM ternyata ada dokumen yang tidak dikenakan

Bea Meterai atas:

1. dokumen yang berupa:

BAB 3: Objek Pajak 63

Page 38: Buku Pembaruan Hukum Pajak

H. Objek Pajak Daerah

Pajak daerah yang meliputi pajak daerah provinsi dan pajak

daerah kabupaten/kota merupakan kajian hukum pajak. Pajak

Daerah memiliki objek yang dapat dikenakan pajak dan tidak

dikenakan pajak, bergantung pada pengaturan dalam peraturandaerah yang bersangkutan. Karena UU PDRD secara tegas tidak

mengatur mengenai objek pajak daerah, tidak berarti bahwa pajak

daerah tidak memiliki objek pajak mengingat objek pajak daerahmerupakan salah satu substansi dalam hukum pajak materil yangdiberlakukan di daerah.

Penentuan objek pajak daerah merupakan kewenangan daerahuntuk menetapkannya dan merupakan bagian terpenting dalamperaturan daerah yang mengatur ten tang pajak daerah. Kewenangan

7. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uangtabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan­badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

8. surat gadai yang diberikan oleh perusahaan jawatan pegadaian;

9. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengannama dan dalam bentuk apa pun.

Walaupun dokumen tersebut di atas telah ditetapkan tidak

dikenakan Bea Meterai, dalam praktik, kalau dokumen itu

digunakan dalam suatu sengketa atau perkara di muka pengadilanyang terkait dengan dokumen itu, dikenakan Bea Meterai dengancara pemeterain kemudian. Pemeteraian kemudian dilakukanterhadap foto kopi atas dokumen yang digunakan dalam sengketa

atau berperkara di muka pengadilan. Dengan demikian, pengenaanBea Meterai terhadap suatu dokumen dapat dilakukan dengan caramenggunakan benda meterai berupa kertas meterai danpemeteraian kembali.

65BAB 3: Objek Pajak

c1 aerah menetapkan objek pajak daerah merupakan suatu bentukdelegasi kewenangan dari UU PDRD kepada pembuat peraturan

daerah. Sekalipun merupakan delegasi kewenangan, peraturandaerah yang mernuat tentang objek pajak tidak boleh mengambil­

alih objek pajak negara agar tidak terjadi pajak ganda nasional.

Objek pajak daerah pada dasarnya meliputi objek kena pajak

dan objek tidak kena pajak. Pengaturan semacam ini bertujuanuntuk memberi keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukumterhadap suatu objek yang dikelompokkan ke dalam objek kena

pajak atau dikelompokkan ke dalam objek tidak kena pajak. Dengandemikian, terdapat suatu perlindungan hukum terhadap objek kena

pajak maupun objek tidak kena pajak.

Pembaruan Hukum Pajak64

Page 39: Buku Pembaruan Hukum Pajak

67

.. Wajib Pajak

A. Pengertian

Hukum pajak tidak berbeda dengan hukum lainnya yangrnerniliki subjek hukum selaku pendukung kewajiban dan hak .Dalam hukum pajak, bukan subjek pajak sebagai pendukungkewajiban dan hak melainkan adalah wajib pajak. Secara hukum,subjek pajak dengan wajib pajak memiliki perbedaan karena subjekpajak bukan subjek hukum, melainkan hanya wajib pajak sebagaisubjek hukum mengingat subjek pajak tidak memenuhi syarat­syarat, baik syarat subjektif atau syarat objektif untuk dikenakanpajak sehingga bukan subjek hukum. Sebaliknya, wajib pajak padaawalnya berasal dari subjek pajak yang dikenakan pajak karename men uh i syarat-syarat subjektif dan objektif yang telahditent ukan. Dengan demikian, ada keterkaitan antara subjek pajakdengan wajib pajak, walaupun keduanya dapat dibedakan secarahukum karena keberadaan wajib pajak bermula dari subjek pajak.

Menurut ketentuan Pasall angka 1 UU KUp, wajib pajak adalahorang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukankewajiban perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotonganpajak tertentu. Kemudian, pengertian badan adalah sekumpulan

Page 40: Buku Pembaruan Hukum Pajak

orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yangmelakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yangmeliputi perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerahdengan nama dan dalam bentuk apa pun , firma, kongsi, koperasi,dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasimassa, organisasi politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga,bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya (Pasall angka 2 UUKUP). Sementara itu, pada Pasal 1 ayat (1) UU PPh, bahwa yangmenjadi subjek pajak untuk Pajak Penghasilan adalah:

1. a. orang pribadi ;

b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuanmenggantikan yang Berhak;

2. badan;

3. bentuk usaha tetap.

Kalau pengertian wajib pajak dikaji secara mendalamsebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU KUp,ternyata wajib pajak hanya untuk melaksanakan kewajibanperpajakan dengan tidak memiliki hak perpajakan. Wajib pajaksebagai subjek hukum tidak hanya untuk memiliki kewajibanperpajakan, tetapi memiliki pula hak di bidang perpajakan,digunakan atau tidak hak tersebut bergantung pada wajib pajakyang bersangkutan. Selain itu, pemotong atau pemungut pajaktermasuk pula dalam pengertian wajib pajak. Pada hakikatnya,pemotong atau pemungut pajak yang berada pada orang pribadiatau badan yang melakukan pemotongan atau pemungutan pajakdari wajib pajak bukan dalam kategori sebagai wajib pajak. Orangpribadi atau badan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat objektifkarena pajak yang dipotong atau dipungut tidak boleh dikategorikansebagai objek pajak, melainkan adalah pajak dari wajib pajak yangdikenakan pemotongan atau pemungutan pajak. Pemotong atau

B. Wajib Pajak Penghasilan

pcrnungut pajak adalah tepat kalau dimasukkan dalam kategoriscbagai petugas pajak bukan merupakan wajib pajak.

Pengertian wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 1 UU KUP harus diubah dengan menampakkan pencerminanscbagai pendukung kewajiban dan hak di bidang perpajakan karenatelah memenuhi syarat-syarat objektif dan subjektif sebagaimanadikenal dalam hukum pajak. Wajib pajak tidak boleh diabaikan ataud ikesam p in gkan haknya sebagai salah satu unsur untukmemperoleh perlindungan hukum. Hak yang dimiliki oleh wajibpajak merupakan sarana hukum untuk mendapatkan perlindunganhukum dari kesewenang-wenangan pejabat pajak dalam upayaunt uk menegakkan hukum pajak .

69BAB 4: Wajib Pajak

Wajib pajak dalam UU PPh terdiri dari wajib pajak dalam negeridan wajib pajak luar negeri. Dikatakan oleh Rochmat Soemitro(1986;92) bahwa wajib pajak dalam negeri adalah subjek pajakdalam negeri yang memenuhi syarat-syarat objektif, artinyamemenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam UU PPh.Wajib pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang bertempattinggal atau menetap di Indonesia. Wajib pajak dalam negeridikenakan pajak di tempat ia bertempat tinggal atau berkedudukan(jika mengenai badan) . Kemudian, wajib pajak dalam negeridikenakan pajak atas semua penghasilan yang diterima ataudiperolehnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun yangdite rima di luar negeri. jadi dikenakan atas apa yang disebut worldwide income. Orang asing yang berada di Indonesia untuk jangkawaktu secara berturut-turut yang lebih dari 183 hari dianggapsebagai wajib pajak dalam negeri dan wajib memenuhi kewajibandan haknya selaku wajib pajak dalam negeri .

Pembaruan Hukum Pajak68

Page 41: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Lebih lanjut, dikatakan oleh Rochmat Soemitro (1986;92-93)

bahwa wajib pajak yang meninggalkan Indonesia untuk jangkawaktu yang tidak lebih dari satu tahun masih merupakan wajibpajak dalam negeri dan masih dikenakan pajak di Indonesia. Pejabat

diplomatik dan pegawai kedutaan Republik Indonesia, yang karena

jabatannya berada di luar Indonesia (asal bukan staflokal), masihmerupakan wajib pajak dalam negeri sebab berdasarkan "asas

eksteri toriali tas", mereka dianggap bertempat tinggal di wilayah

Republik Indonesia dan wajib puIa membayar pajak penghasilanapabila penghasilannya melebihi penghasilan tidak kena pajak.Sebaliknya, wakil-wakil diplomatik atau konsuler asing yang

bertempat tinggal di Indonesia, bukan merupakan wajib pajakdalam negeri, berdasarkan "asas eksteritorialitas" tersebut. ]ikaorang luar negeri melakukan usaha sendiri di Indonesia melalui

wakilnya, seperti seorang akuntan yang mempunyai kantor akuntandi Indonesia (milik pribadi, profesi), ia akan dikenakan pajak

sebagai wajib pajak dalam negeri, atau setidak-tidaknya badan usaha

itu dikenakan pajak sebagai "bentuk usaha tetap" yang jugamerupakan wajib pajak dalam negeri.

Wajib pajak luar negeri menurut Rochmat Soemitro (1986 :93-

94) adalah subjek pajak luar negeri yang memperoleh atau

menerima penghasilan yang berasal dari wilayah RepublikIndonesia atau yang mempunyai kekayaan yang terletak di wilayah

Republik Indonesia. Wajib pajak luar negeri hanya dikenakan pajak

dari penghasilan yang diterima atau diperoleh atau berasal dari(surnber-sumber yang ada di) wilayah Republik Indonesia. Wajib

pajak luar negeri tidak wajib memasukkan surat pemberitahuandan baginya tidak berlaku penghasilan tidak kena pajak, dan pula

baginya susunan dan besarnya keluarga tidak mempunyai pengaruhatas besarnya jumlah pajak. Pembayaran-pembayaran berupa bunga,dividen, royalti, sewa-sewa, dan sebagainya yang dibayarkan olehbadan yang berkedudukan di Indonesia, langsung dipotong Pajak

c. Wajib Pajak Pertambahan NilaiWajib pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan]asa disebut "pengusaha kena pajak",Pengusaha kena pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksudpada angka 3 yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan

atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak berdasarkan

UU PPN dan perubahannya, tidak termasuk pengusaha kecil yang

batasannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan,kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadipengusaha kena pajak (Pasal 1 angka 4 UU KUP). Selanjutnya,

Pasal 1 angka 3 UU KUP menegaskan pengusaha adalah pengusahaberupa orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalamke gia t an usaha atau pekerjaannya menghas ilkan bar an g,

71BAB 4: Wajib Pajak

Penghasilan berdasarkan Pasal 26 PPh ada sumbernya oleh badanyang membayar jumlah tersebut. Dan pemotongan PajakPenghasilan sebesar 20% ini merupakan pungutan final yang tidak

dapat dikreditkan.

Wajib pajak, baik dalam negeri maupun luar negeri tidak

memiliki kedudukan hukum yang sama dalam UU PPh. Wajib pajakdalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan terhadap seluruh

penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik di Indonesiamaupun di luar Indonesia dan kepadanya diwajibkan mengisi dan

menyampaikan surat pemberitahuan. Sementara itu, wajib pajakluar negeri dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final hanyaterhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia

ser ta tidak diwajibkan mengisi dan menyampaikan suratpemberitahuan. Sekalipun tidak dalam kedudukan hukum yangsama, antara wajib pajak dalam negeri dengan wajib pajak luarnegeri tetap berkewajiban mematuhi ketentuan dalam UU PPh,

khususnya mengenai pelunasan pajak.

Pembaruan Hukum Pajak70

Page 42: Buku Pembaruan Hukum Pajak

mengimpo r barang, mengekspor barang, melakukan usahaperdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luardaerah pabean, me lakukan usaha jasa, atau mem anfaatkan jasa

dari luar daerah pabean.

Kernudian, pengusaha kena pajak menurut Pasal 1 angka 15

UU PPN, adaIah pen gusaha sebagaimana dimaksud daIam angka

14 yang meIakukan penyerahan barang kena pajak da n ataupenyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak berdasarkan

undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha keci I yangbatasannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan,

kecuaIi pengusaha keciI yang memiIih untuk dikukuhkan sebagaipengusaha keciI. Selanjutnya, PasaI 1 angka 14 UU PPN rnenegas­kan pengusaha adaIah orang pribadi atau badan sebagaimana

dimaksud daIam an gka 13 yang daIam kegiatan usaha ataupekerj aannya menghasiIkan barang, mengimpor barang,mengekspor barang, meIakukan usaha perdagangan, memanfaat­kan barang tidak berwujud dari Iuar daerah pab ean, meIakukan

usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari Iuar daerah pabean.

Secar a hukum, terdapat sinkronisasi pengert ian antarapengusaha kena pajak yang terdapat dalam UU KUP dengan UU

PPN. Sebenarnya tidak ada pertentangan antara UU KUP deng an

UU PPN tentang peng ertian pengusaha kena pajak. Maka, wajibpajak yang terikat pada Pajak Pertambahan NiIai adaIah Pengusaha

Kena Pajak yang meIakukan:

1. penyerahan barang kena pajak di daIam daerah pabean;

2. impor barang kena pajak;

3. penyerahan jasa kena pajak di daIam daerah pabean;

4. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerahpabean di dalam daerah pabean;

5. pernanfaatan jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah

pab ean di dalam daerah pabean: atau

6. ekspor barang kena pajak.

Dalam kaitan pen gu saha kena pajak, Untung Sukardji

(2002;123) mengatakan bahwa pengertian pengusaha kena pajak

ini ternyata kemudian diperluas dalam Pasal 2 ayat (1) PeraturanPemerintah Nomor 143 Tahun 2000 yang menetapkan bahwa

termasuk dalam pengertian pengusaha yang melakukan penyerahanbarang kena pajak dan/atau jasa kena pajak adalah pen gusaha yang

sejak semula bermaksud melakukan penyerahan barang kena pajakdan/ atau penyerahan jasa kena pajak. Ketentuan ini mengisyaratkanbahwa pengusaha yang belum memulai kegiatan penyerahan, tetapi

dari kegiatan persiapan seperti pembeIi an barang mod al, pembelianbahan baku , dan lain-lainnya sudah dapa t diketahui bahwapengusaha ini berniat akan melakukan kegiatan penyerahan barang

kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak. Oleh karena itu,ter hadap mereka dimungkinkan untuk melaksanakan kewajibandi bidang Pajak Pertambahan Nil ai antara la in kewajiban

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena

pajak.

Pada hakikatnya bahwa Pasal2 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 143 Tahun 2000 tidak memperluas pengertian pengusaha

kena pajak, ba hkan tidak memiliki kekuatan hukum untuk

diberlakukan kepada pengusaha kena pajak karena PeraturanPemerintah Nomor 143 Tahun 2000 adalah peraturan pelaksanaan

yang tidak boleh menyimpang dari substansi hukum dalam UUPPN. Kalau terjadi perluasan pengertian pengusaha kena pajak ,

pera turan tersebut tidak boleh diberlakukan karena melanggar asashukum "lex superior derogat legi inferiori". Dengan de mikian,

pengertian pengusaha kena pajak yang terdapat pad a Pasall angka

72 PembaruanHukum Pajak BAB 4: Wajib Pajak 73

Page 43: Buku Pembaruan Hukum Pajak

D. Wajib Pajak Penjualan atas Barang MewahWajib Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah orang atau

badan yang biasanya disebut sebagai pengusaha. Pengusaha ini

memiliki ciri khas karena melakukan penyerahan barang kena pajak

yang tergolong barang mewah. Scbagaimana yang diatur pada Pasal5 ayat (1) UU PPN bahwa di samping pengenaan pajak sebagaimanadimaksud dalam Pasal4, dikenakan juga pajak penjualan atas barang

I', UU PPN tetap diberlakukan dan bukan yang terdapat pada Pasalnyat (1) Peraturan Perner intah Nomor 143 Tahu n 2000.

Pengusaha kecil adalah pengusaha tidak kena pajak sepanjang

memenuhi batasan yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,keeuali bila dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Pengusaha

kecil menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/

2000 adalah pengusaha yang dalam satu tahun buku melakukanpenyerahan:

1. barang kena pajak dengan jumlah peredaran bru to tidak lebih

dari Rp360.000 .000,OO; atau

2. jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bru to tidak lebihdari Rp180.000.000,OO.

Pengusaha keeil yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha

kena pajak bukan wajib Pajak Pertambahan Nilai sehingga tidakmerniliki kewajiban dan hak dalam pelaksanaan UU PPN. Bahkan

seba liknya, pengusaha keeil tersebut dilarang untuk me lakukanperbuatan hukum di bidang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya

memungut pajak dan atau membuat faktur pajak. Tatkala larangantersebut dilanggar, pengusaha keeil tersebut wajib dikenakan sanksiadministrasi sebagaimana ditentukan da lam UU PPN. Hal ini

dimaksudkan agar pengusaha keeil tidak melakukan perbuatan

hukum selama belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

mewah terhadap : a) penye raha n barang kena pajak yang tergolongmewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang

kena pajak yang tergolong mewah tersebut di da lam daerah pabeandalam kegiatan usaha atau peke rjaannya; dan b) impor barang kena

pajak yang tergo long mewah .

Seeara hukum, dikatakan bahwa wajib Pajak Penjualan atas

Barang Mewah adalah pengusaha yang mclaku kan penyerahanbarang kena pajak yang tergolong barang mewah dan /atau impor

barang kena pajak yang tergolong barang mewah. Dalam arti bahwabarang kena pajak yang diserahkan dan/ atau yang diimpor tergolongbarang mewah mengingat kemewahan yang me lekat pada barangkena pajak termaksud yang menjadi kri teri a untuk dikenakan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah.

75SAS 4: Wajib Pajak

E. Wajib Pajak Bumi clan BangunanUntuk memahami siapa yang merupakan wajib Pajak Bumi

dan Bangunan, maka terlebih dahulu harus dikaji seeara hukum

mengenai ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB.Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PBB menegaskan bahwa yangmenjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang seeara nyata

mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat

atas bumi, dan/atau merniliki, menguasai, dan/atau memperolehmanfaat bangunan. Kemudian, ketentuan Pasal4 ayat (2) UU PBB

mengatur bahwa subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (l)yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.

Wajib Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Pasal4 ayat (1)

dan ayat (2) UU PBB adalah orang atau badan yang dikenakan

Pajak Bumi dan Bangunan karena seeara nyata:

1. mempunyai hak atas bumi (tanah): dan /atau

2. memperoleh manfaat atas bumi (tanah): dan/atau

Pembaruan Hukum Pajak"1

Page 44: Buku Pembaruan Hukum Pajak

3. memiliki bangunan; dan/atau

4. menguasai bangunan; dan/atau

5. memperoleh manfaat bangunan.

Apabila adaobjek pajak yang belum diketahui siapa subjekpajak atas objek pajak tersebut, pejabat pajak berwenangmenetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Kewenangan pejabatpajak untuk menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak benujuanagar objek pajak itu dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Akantetapi, subjek pajak tersebut dapat memberikan keterangan kepadapejabat pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajakdimaksud, sebagai contoh adalah:

1. Subjek pajak bernama Ali Baba yang memperoleh manfaat ataumenggunakan bumi dan/atau bangunan milik Rudy, bukankarena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukankarena perjanjian. Maka Ali Baba dapat ditetapkan sebagaiwajib pajak berdasarkan alasan bahwa Ali Baba memperolehmanfaat atau menggunakan bumi/bangunan milik Rudy.

2. Terhadap suatu objek pajak yang masih dalam sengketa dipengadilan tentang siapa pemiliknya, orang atau badan yangmemanfaatkan atau menggunakan objek te rsebut dapatditetapkan sebagai wajib pajak .

3. Subjek pajak yang dalam jangka waktu lama berada di luarwilayah letak objek pajak, sedangkan pengurusan objek pajakitu dikuasakan secara sah kepada orang atau badan, orang atau

badan yang diberi kuasa dapat ditetapkan sebagai wajib pajak.

Tatkala keterangan yang diajukan oleh wajib pajak memperolehpersetujuan, pejabat pajak berkewajiban membatalkan penetapansebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimasurat keterangan termaksud. Apabila setelah jangka waktu satubulan sejak tanggal diterima keterangan dari wajib pajak, pejabat

pajak tidak memberikan keputusan, keterangan yang diajukan itudianggap disetujui . Sebaliknya, bila keterangan yang diajukan olehwajib pajak tidak memperoleh persetujuan , pejabat pajakmene rbitkan keputus an penolakan dengan disertai alasan­

alasannya.

F. Wajib Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunanBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dapat pul a

disebut dengan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.Sea Perolehan Hak atas Tanah dan Sangunan tidak berbeda denganpajak lainnya karena memiliki pula wajib pajak sebagaimana yangtelah ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU SPHTS, yaitu wajibSea Perolehan Hak atas Tanah dan Sangunan adalah subjek pajaksebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayarbeaperolehan hak atas tanah dan bangunan menurut undang-undang ini.Pengen ian subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Sangunanmenurut Pasal4 ayat (1) UU SPHTS adalah orangpribadi atau badanyang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atastanah dan bangunan dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah danSangunan sebanyak lima belas jenis berdasarkan UU SPHTS.Dalam ani, terdapat lima belas kriteria sehingga wajib Sea Pero­lehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikategorikan selaku wajibpajak. Dengan demikian, berkewajiban membayar Sea PerolehanHak atas Tanah dan Bangunan yang terutang karena:

1. perolehan hak atas tanah dan bangunan yang disebabkan jualbeli dalam status selaku pembeli;

2. perolehan hak atas tanah dan bangunan yang disebabkan tukar­menukar;

3. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah;

77BAB 4: Wajib PajakPembaruan Hukum Pajak76

Page 45: Buku Pembaruan Hukum Pajak

14. perolehan hak atas tanah dan bangunan disebabkan hadiah;

15. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena penunjukanpembeli dalam lelang.

Kewajiban wajib pajak pada saat perolehan hak atas tanah danbangunan adalah melakukan pelunasan Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan karena telah terutang Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan. Saat Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan yang terutang belum terbayar lunas, perolehan hak atastanah dan bangunan dapat tertunda karena pejabat yang berwenang

4. pero lehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasia t;

5. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris;

6. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemasukandalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemisahanhak yang mengakibatkan peralihan;

8. perolehan hak atas tanah dan bangunan disebabkan peralihanhak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyaikekuatan hukum tetap;

9. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemberian hakbaru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;

10. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemberian hakbaru atas tanah di luar pelepasan hak;

11. perolehan hak atas tanah dan bangunan disebabkanpenggabungan usaha;

12. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena peleburanusaha;

13. perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemekaranusaha;

G. Wajib Bea Materai

79BAB 4: Wajib Pajak

tidak memberi pengesahan perolehan hak tersebut. Sebenarnyapelunasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangu nan yangterutang menentukan proses perolehan hak atas tanah danbangunan bagi wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah danbangunan. Setelah terjadi pelunasaan Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan, berarti tidak ada hambatan atau kendala hukumyang memengaruhi proses peralihan hak.

Dalam UU BMtidak secara tegas ditentukan bahwa siapa yangmerupakan wajib pajak untuk Bea Meterai yang berkewajibanmembayar lunas Bea Meterai yang terutang. Wajib Bea Meteraihanya tersirat dalam Pasal2 UU BM,yang menyatakan bahwa orangpribadi atau badan yang memanfaatkan dokumen yang terutangBea Meterai adalah wajib pajak yang berkewajiban membayar BeaMeterai yang terutang. Wajib Bea Meterai adalah subjek pajak yangmemanfaatkan dokumen yang terutang Bea Meterai. Wajib BeaMeterai boleh terjadi karena hanya satu pihak atau lebih dari satupihak, bergantung pada keadaan pada saat dokumen yang terutangBea Meterai dimanfaatkan yang bersangkutan.

Terkait dengan wajib Bea Meterai boleh ditetapkan perumpa­maan sebagai berikut.

1. Bila dokumen dibuat oleh satu pihak, misalnya kuitansi, BeaMeterai terutang oleh penerima kuitansi.

2. Kalau dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, misalnyasurat perjanjian di bawah tangan, masing-masing pihakterutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.

3. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukanlain, Bea Meterai terutang oleh pihak atau pihak-pihak yangditentukan oleh mereka.

Pembaruan Hukum Pajak78

Page 46: Buku Pembaruan Hukum Pajak

80 Pembaruan Hukum Pajak BAB 4: Wajib Pajak 81

H. Wajib Pajak DaerahDalam UU PDRD tidak secara tegas diatur mengenai siapa

yang termasuk subjek pajak sehingga tidak diketahui secara pastiyang menjadi wajib pajak daerah . Pajak daerah meliputi pajakdaerah provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota. Maka, wajibpajak dari tiap pajak daerah juga berbeda pula, bergantung padaobjek yang dikenakan pajak daerah. Wajib pajak daerah provinsiadalah subjek pajak yang menggunakan objek pajak daerah provinsiyang dikenakan pajak . Akan tetap i, tidak selalu subjek pajak daerahprovinsi merupakan wajib pajak, hanya yang diwajibkan membayarpajak karena telah memenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat­syarat objektif karena wajib pajak daerah provinsi memiliki ,menguasai, atau memanfaatkan objek yang dikenakan pajak.

Demikian pula halnya, terhadap pajak daerah kabupaten/kotayang tidak jelas mengenai siapa yang menjadi subjek pajak,khususnya siapa yang menjadi wajib pajak yang berkewajibanmembayar pajak daerah yang terutang. Wajib Pajak DaerahKabupaten/Kota adalah subjek pajak yang dibebankan kewajibanuntuk membayar pajak karena memiliki, menguasai, atau meman­

faatkan objek yang dikenakan pajak .

Penentuan wajib pajak daerah, baik di tingkat provinsi maupundi tingkat kabupaten/kota merupakan kewenangan daerah untukmenetapkan dan merupakan bagian terpenting dalam peraturandaerah yang mengatur tentang pajak daerah. Kewenangan daerahmenetapkan wajib pajak merupakan suatu bentuk delegasikewenangan dari UU PDRD kepadapernbuat peraturan daerah(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama dengan kepala daerah).Sekalipun merupakan delegasi kewenangan, tetapi peraturan daerahtentang pajak daerah tidak boleh menyimpang dari UU PDRDdalam menentukan subjek pajak yang pada akhirnya sebagai wajib

pajak.

I. Kewajiban Wajib PajakTelah ditegaskan bahwa wajib pajak merupakan subjek hukum

dalam konteks hukum pajak karena telah memenuhi syarat-syaratsubjektif dan syarat -syarat objektifuntuk dikenakan pajak. Sebagaisubjek hukum, wajib pajak diwajibkan untuk memenuhi kewajibanyan g tersebar dalam Undang-undang Pajak yang memuatketentuan-ketentuan yang bersifat formal. Apabila kewajiban yangdibebankan kepada wajib pajak tidak dilaksanakan, dapat dikenakansanksi hukum, yang meliputi sanksi administrasi berupa bunga,denda, atau kenaikan serta sanksi pidana yang terdapat dalamUndang-undang Pajak.

Kewajiban wajib pajak yang harus dilaksanakan sebagaimanayang ditentukan, antara lain sebagai berikut.

1. Wajib pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor DirektoratJenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalatau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikannomor pokok wajib pajak . Fungsi nomor pokok wajib pajakmerupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yangdipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajibpajak. Oleh karena itu, kepada setiap wajib pajak hanyadiberikan satu nomor pokok wajib pajak. Selain itu, nomorpokok wajib pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertibandalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasiperpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumenperpajakan, wajib pajak diwajibkan mencantumkan nomorpokok wajib pajak yang dimilikinya. Terhadap wajib pajak yangtidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan nom or pokokwajib pajak dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang­undangan perpajakan.

2. Wajib pajak wajib melaporkan usahanya pada KantorDirektorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi

Page 47: Buku Pembaruan Hukum Pajak

tcrn pat tinggal atau ternpat kedudukan pengusaha, dankegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan sebagaipengusaha kena pajak, dan kepadanya diberikan keputusanpengukuhan pengusaha kena pajak. Fungsi pengukuhanpengusaha kena pajak, selain digunakan untuk identitaspengusaha kena pajak yang sebenarnya, juga berguna untukmelaksanakan kewajiban dan hak di bidang Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta untukpengawasan administrasi perpajakan. Terhadap pengusahayang telah memenuhi syarat sebagai pengusaha kena pajak,tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagaipengusaha kena pajak dikenakan sanksi sesuai peraturanperundang-undangan perpajakan.

3. Wajib pajak wajib mengambil sendiri surat pemberitahuan ditempat-ternpat yang ditetapkan oleh pejabat pajak yang mudahdijangkau oleh wajib pajak. Hal ini dimaksudkan agar wajibpajak tidak memperoleh kesulitan untuk mendapatkan suratpemberitahuan dalam menunaikan kewajibannya.

4. Wajib pajak wajib mengisi dengan jelas, benar, dan lengkapserta ditandatangani sendiri surat pemberitahuan, kemudianmengembalikan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak,dilengkapi dengan lampiran-lampiran. Misalnya, laporankeuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan­keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnyapenghasilan kena pajak . Pada prinsipnya, setiap wajib pajakuntuk Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan suratpemberitahuan . Dengan pertimbangan efisiensi ataupertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkanwajib pajak untuk Pajak Penghasilan yang dikecualikan darikewajiban menyampaikan surat pernberitahuan, misalnyawajib pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh

penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak karenakepentingan tertentu diwajibkan memiliki nomor pokok wajibpajak.

5. Membuat faktur pajak merupakan kewajiban pengusaha kenapajak. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yangdibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahanbarang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak, atau buktipungutan pajak karena impor barang kena pajakyangdigunakan oleh Direktorat jenderal Bea dan Cukai. Laranganmembuat faktur pajak oleh bukan pengusaha kena pajakdimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutanpajak yang tidak semestinya. Oleh karena itu, terhadapnyadikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pulaterhadap pengusaha kena pajak yang wajib membuat fakturpajak, tetapi tidak dilaksanakan, tidak selengkapnya mengisifaktur pajak, atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepatwaktunya, dikenakan pula sanksi berupa denda administrasi.

6. Wajib pajak diwajibkan untuk membayar atau menyetor pajakdi tempat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Utangpajak mutlak harus dibayar atau disetor pada kas negaramelalui kantor pos dan atau bank badan usaha milik negaradan atau bank badan usaha milik daerah atau tempatpembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

7. Pajak yang terutang wajib dibayar lunas oleh wajib pajakdengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapanpajak. Hal ini dimaksudkan agar wajib pajak menghitung danmenetapkan sendiri pajak yang terutang tanpa diterbitkan suratketetapan pajak sebagai perwujudan selfassessment sistem yangdianut dalam Undang-undang Pajak (UU PPh, UU PPN, danUU BPHTB).

H' Pembaruan Hukum Pajak BAB 4: Wajib Pajak 83

Page 48: Buku Pembaruan Hukum Pajak

8. Wajib pajak berkewajiban untuk menyelenggarakan dan/atau

memperlihatkan pembukuan atau pencatatan-pencatatan

maupun data yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.

Pembukuan merupakan suatu proses pencatatan yang

dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan

informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,

penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan

penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun

laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada

setiap tahun pajak berakhir.

9. Wajib pajak wajib memberi kesempatan kepada pemeriksa

pajak untuk melakukan pemeriksaan untuk memasuki tempat

atau ruangan yang dianggap perlu.

10. Wajib paj ak berkewajiban untuk menunjuk wakil bagi wajib

pajak badan yang bertanggung jawab tentang pelaksanaan

kewajiban perpajakan. Penunjukan ini tidak memerlukan surat

kuasa khusus karena secara tegas telah ditentukan dalam UU

KUP.

11. Wajib pajak wajib menunjuk kuasa hukum untuk mewakili

wajib pajak di luar maupun di dalam lembaga peradilan pajak,

baik lembaga keb eratan, pengadilan pajak, dan Mahkamah

Agung. Penunjukan kuasa hukum wajib dilengkapi dengan

surat kuasa khusus karena tanpa surat kuasa khusus tersebut,

dianggap tidak sah secara hukum.

Kewajiban wajib pajak sebagaimana dimaksud di atas tidak

bersifat final yang berarti setiap saat dan waktu dapat berubah.

Hal ini dimaksudkan agar kewajiban wajib pajak dapat mengalami

perubahan yang signifikan dalam upaya penegakan hukum pajak.

J. Hak Wajib PajakRochmat Soemitro (1986;91) merigatakan bahwa ber­

dampingan dengan kewajiban adalah hak. Wajib pajak mempunyai

hak yang wajib diindahkan oleh pihak administrasi pajak. Hak­

hak wajib pajak dapat digunakan atau dimanfaatkan pada saat-saatterten tu . Jika hak-haknya dilanggar oleh pihak administrasi pajak,

wajib pajak dapat mengajukan masalah ini ke hadapan pejabat

at asan orang yang melanggar haknya, atau bila perlu, mengajukan­

nya ke hadapan peradilan administrasi (sekarang lembaga peradilan

pajak) .

Hak wajib pajak tidak berbeda dengan kewajibannya karena

hak wajib pajak diatur bukan hanya dalam satu Undang-undang

Pajak, melainkan tersebar dalam berbagai Undang-undang Pajak.

Undang-undang Pajak yang mengatur tentang hak wajib pajak

merupakan Undang-undang Pajak dalam kategori sebagai bagian

dari hukum pajak formal. Adapun hak wajib pajak sebagaimana

yang tersebar dalam Undang-undang Pajak, antara lain sebagai

berikut.

1. Memperoleh nomor pokok wajib pajak atau keputusan

pengukuhan pengusaha kena pajak pada saat setelah rnelapor­

kan diri ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.

2. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian surat

pemberitahuan kepada pejabat pajak.

Jika permohonan itu dikabulkan, wajib pajak diberi kesempatan

untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian surat

pemberitahuan.

3. Menerima tanda bukti pemasukan surat pemberitahuan.

Surat pemberitahuan yang dimasukkan oleh wajib pajak dan

dianggap telah lengkap, wajib pajak diberi tanda bukti

penerimaan dari pejabat yang ditunjuk.

84 Pembaruan Hukum Pajak BAB 4: Wajib Pajak 85

Page 49: Buku Pembaruan Hukum Pajak

86 Pembaruan Hukum Pajak SAS 4: Wajib Pajak 87

4. Melakukan pernbetulan sendiri surat pemberitahuan yang telahdimasukkan.

[angka waktu untuk melakukan pembetulan surat pem­beritahuan adalah dua tahun sesudah berakhirnya masa pajak,

bagian tahun pajak atau tahun pajak, dengan syarat bahwapejabat pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

5. Mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pem­bayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.

Iika permohonan itu dikabulkan, wajib pajak diberi kesempatanuntuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasukkekurangan pembayaran, paling lama dua belas bulan yangpelaksanaannya ditetapkan dengan keputusan pejabat pajak.

6. Menerima tanda bukti setoran pajak sebagai bukti bahwa wajibpajak telah mernbayar lunas pajak yang terutang.

7. Mengajukan permohonan perhitungan atau pengembaliankelebihan pembayaran pajak serta memperoleh kepastian

ditetapkannya surat keputusan pengembalian kelebihan pajak.

8. Mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah

hitung yang terdapat dalam surat ketetapan pajak dalam

penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Atas permohonan tersebut, pejabat pajak dalam jangka waktu

dua belas bulan sejak tanggal permohonan diterima harus

memberi keputusan atas permohonan pembetulan. Jika bataswaktu tersebut terlampaui, pejabat pajak tidak menerbitkan

suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukandianggap diterima;

9. Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusansanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan.

10. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untukmemenuhi kewajiban dan menjalankan haknya menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

11. Mengajukan surat keberatan dan mohon kepastian terbitnya

surat keputusan atas surat keberatannya.

Keberatan wajib pajak mutlak ada surat keputusan keberatan

yang diterbitkan oleh pejabat pajak untuk memberi kepastianhukum berupa diterima atau ditolak keberatan tersebut.

12. Mengajukan permohonan banding atas surat keputusankeberatan pada Pengadilan Pajak.

Jika surat keputusan keberatan itu memuat materi yangmerugikan wajib pajak, surat keputusan keberatan itu dapatdiajukan banding pada Pengadilan Pajak untuk memohon

keadilan mengenai sengketanya.

13. Mengajukan gugatan terhadap tindakan pejabat pajak sepertimenerbitkan surat tagihan pajak, dan lain-lain pada PengadilanPajak untuk memohon keadilan atas kesewenang-wenangan

dalam menjalankan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

14. Menunjuk kuasa hukum untuk mewakili dalam persidangan,

baik di Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, maupun

Mahkamah Agung.

Hak-hak wajib pajak sebagaimana tersebut di atas tidak secara

limitatif diatur dalam satu ketentuan tertentu, melainkan tersebar

dalam Undang-undang Pajak yang memuat ketentuan yang bersifatform al. Hak-hak wajib pajak tidak boleh diabaikan atau

dikesampingkan untuk tidak dikabulkan pejabat pajak yang telahmelakukan perbuatan melanggar hukum atas tidak dipenuhinyahak-hak wajib pajak, boleh dipersoalkan di hadapan hukum.

Page 50: Buku Pembaruan Hukum Pajak

K. Penanggung Pajak

Dalam hukum pajak dikenal istilah penanggung pajak, selainwajib pajak maupun pemotong atau pemungut pajak. Penanggungpajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab ataspembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hakdan memenuhikewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan. Sebenarnya penanggung pajak bukan merupakan wajibpajak, melainkan hanya menggantikan kedudukan wajib pajakuntuk membayar lunas pajak yang terutang dari wajib pajak.Sekalipun terjadi pergantian kedudukan dar i wajibpajak kepadapenanggung pajak, secara materiil tanggung jawab pe1unasanjum1ah pajak yang terutang tetap berada da1am tanggung jawabwajib pajak yang bersangkutan.

Wajib pajak sebagai subjek hukum memiliki kewajiban danhak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan da1amhukum pajak.Kadangka1awajibpajak tidak mampu me1aksanakan kewajiban danhaknya sehingga dapat diwakilkan kepada pihak lain sebagaipenanggung pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus untukme1akukan perbuatan hukum. Wajib pajak yang boleh diwakili olehpenanggung pajak ada1ah wajib pajak berada da1am kedudukansebagai :

1. anak yang be1um dewasa dan be1um nikah diwaki1i 01ehwa1inya;

2. orang tidak sehat (gila atau pemabuk) berada da1ampengampuan diwaki1i 01eh pengampunya;

3. orang berada da1am kurate1e diwakili 01eh kuratornya;

4. badan diwakili oleh direksi atau pengurusnya, termasuk da1ampengertian pengurus ada1ah orang yang secara nyata memilikiwewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau meng­ambil keputusan da1am menjalankan perusahaan.

5. badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran ataulikuidasi, 01eh kurator atau likuidator, atau orang atau badanyang dibebani untuk melakukan pemberesan;

6. suatu warisan yang belum terbagi oleh sa1ah seo rang ahliwarisnya, pe1aksa na wasiatnya atau yang mengurus harta

peningga1annya.

Pada hakikatnya, penanggung pajak bukan merupakan wajibpajak, berarti yang memiliki utang pajak ada1ah wajib pajak bukanpenanggung pajak. Keterlibatan penanggung pajak untuk membayarlunas utang pajak yang dimiliki oleh wajib pajak hanya sekadartanggung jawab. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan dalam UUPPDSP yang menjadi sasaran penagihan secara paksa hanyapenanggung pajak, sedangkan wajib pajak terlepas dari jangkaunhukum. Seyogianya ketentuan-ketentuan da1am UU PPDSP agarmencantumkan kata "wajib pajak atau penanggung pajak" da1amtiap ketentuannya. Bagaimana ha1nya ka1au wajib pajak tidakmemiliki penanggung pajak, sedangkan ketentuan da1am UUPPDSP hanya menggunakan kata "penanggung pajak" . Berartiketentuan tersebut merupakan ketentuan yang hanya di atas kertasdan tidak dapat diterapkan.

89BAB 4: Wajib PajakPembaruan Hukum Pajak88

Page 51: Buku Pembaruan Hukum Pajak

91

Pejabat Pajak

A. Pendahuluan

Sebelum dilakukan pembaruan pajak tax reform pada tahun1983, selalu terdengar ucapan atau sebutan tentang fiskus (fiscus)dalam hubungan dengan perpajakan. Setelah dilakukan pembaruanpajak, sebutan fiskus masih perlu dipertahankan atau dilakukanpula pergantian yang tepat penggunaannya. Istilah fiskus menurutChidir Ali (1993;3 I) berasal dari bahasa latin, yang berarti keranjangyang berisi uang atau kantong uang. Dengan kata lain, fiskus adalahsuatu keranjang uang, yang bertalian dengan perbendaharaan ataupendapatan. Oleh karena itu, jika diteruskan ialah yang ber­hubungan dengan uang atau urusan-urusan keuangan pada

umumnya.

Selanjutnya, dikatakan oleh Chidir Ali (1993;31-32) bahwadahulu kala, pada zaman raja-raja Romawi berkuasa, kata fiskustersebut dimaksudkan dengan kantong raja, kemudian kata fiskusini diartikan dan diidentifikasi dengan kas negara sebab pada abad­abad pertengahan tidak ada perbedaan pengertian antara kas rajadengan kas negara sehingga mempuyai arti keranjang uang negara,bukan dalam arti pengertian negara tingkat sekarang ini, melainkandalam pengertian negara masih bertipe monarkhi di mana persoalan

Page 52: Buku Pembaruan Hukum Pajak

92 93Pembaruan Hukum Pajak

keuangan sepenuhnya ada di tangan raja . Raja ini memiliki suatutempat atau wadah, yaitu keranjang untuk uang . Di samping itu,

raja juga memungut pajak in natura yang berupa hasil-hasil bumi.Iadi, persoalan pemasukan dan pengeluaran uang untuk per­belanjaan negara itu menjadi persoalan raja sendiri.

Lebih lanjut, Chidir Ali (199 3;32) mengatakan bahwa dengantimbulnya kebiasaan, maka fiskus diidentikkan dengan kas negara,yang bahkan akhir-akhir ini kare na kas negara hanya dapat diisi

dengan uang rakyat, fiskus itu pun diidentikkan dalam pengertianalat-alat negara yang diberi tugas memasukkan uang rakyat itu. Iadi,

pengertian tentang fiskus ini telah dipribadikan,serta dianggap sebagaipendukung kewajiban dan hak. Anggapan yang seperti ini lain tidakmerupakan anggapan teori organ seperti yang dikemukakan oleh

Cicero, yang menyatakan negara dengan individu dan menganggapnegara sebagai semangat yang menjiwai tubuh manusia. Pendeknyapada pengertian dew asa ini, seluruh aparaturperpajakan sebagai wakilnegara yang disebut fiskus.

Jelaslah bahwa penggunaan kata fiskus tertuju pada pejabatpajak yang memiliki wewenang, kewajiban, dan larangan dalamrangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan.Akan tetapi, Undang-undang Pajak yang memuat ketentuan formal,

baik UU KUp, UU PBB, UU BPHTB, UU PDRD, UU PPDSp, dan

UU PENJAK tidak mengatur secara tegas siapa sebenarnya yangdimaksud dengan pejabat pajak. Sekalipun pejabat pajak tidak diatur

secara tegas Und ang-undang Pajak, dalam UU PENJAK ditemukan

suatu ketentuan yang mengatur tentang "pejabat yang berwenang".Ketentuan itu terdapat pada Pasal 1 an gka 1 UU PENJAK, bahwapejabat yang berwenang adalah DirekturJenderal Pajak, DirekturJenderalBea dan Cukai, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjukuntuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.Berdasarkan ketentuan ini, pejabat yang berwenang adalah:

BAB 5: Pejabat Pajak

1. Direktur Jenderal Pajak;

2. Direktur Ienderal Bea dan Cukai ;

3. gubernur dan bupati/walikota; atau

4. pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan

perundang-undangan perpajakan.

DirekturJenderal Pajak sebagai pejabat yang berwenang karena

ditugasi mengelola pajak negara sehingga memiliki wewenang,kewajiban, dan larangan dalam melakukan pengelolaan pajaknegara. Terhadap Direktur jenderal Bea dan Cukai sebagai pejabat

yang berwenang karena ditugasi mengelola Bea dan Cukai, memilikiwewenang, kewajiban, dan larangan dalam melakukan pengelolaanBea dan Cukai. Gubernur dan bupati/walikota sebagai pejabat yangberwenang karena ditugasi mengelola pajak daerah provinsi dan

bupati/walikota karena ditugasi mengelola pajak daerah kabupaten/kota yang memiliki wewenang, kewajiban, dan larangan dalammelakukan pengelolaan pajak daerah tersebut. Kernudian, pejabatyang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan

perpajakan sebagai pejabat yang berwenang hanya sekadar untukmemban tu pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh Direktur[e nderal Pajak, Direktur Bea dan Cukai , serta gubemur dan bupati/

walikota, baik dalam bentuk delegasi maupun mandat.

Penyebutan sebaga i pejabat yang berwenang terhadap DirekturJenderal Pajak, Direktur jenderal Bea dan Cukai , gubernur, dan

bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan perpajakan tidak tepat karena yangdikelola adalah pajak negara dan pajak daerah. Kalau demikianhalnya, sebutan yang tepat digunakan adalah "pejabat pajak" yangmemiliki wewenang, kewajiban, dan larangan yang bersumber dari

hukum pajak. Selain itu, pejabat pajak digunakan untuk mernbeda­kan dengan pejabat tata usaha negara sebagai pihak yang memilikiwewenang, kewajiban, dan larangan yang terkait dengan ketetapan

Page 53: Buku Pembaruan Hukum Pajak

B. Wewenang Pejabat PajakSebagaimana telah dikemukakan bahwa Direktur Ienderal

Pajak sebagai pejabat pajak yang berwenang mengelola pajak negara

memiliki wewenang, kewajiban, dan larangan yang berbeda denganpejabat pajak yang mengelola pajak daerah. Hal ini disebabkan

karena wewen ang, kewajiban , dan larangan pejabat pajak yangmengelola pajak negara banyak tersebar dalam Undang-undangPajak, sepe rti UU KUp, UU PBB, dan UU BPHTB. Sementara itu,

wewenang, kewajiban, dan larangan pejabat pajak yang mengelolapajak daerah , baik pajak daerah provinsi maupun pajak daerahkabupaten/kota hanya terdapat dalam UU PDRD.

pajak sebagaimana yang digunakan dalam hukum administrasi.

Walaupun keduanya sebagai administrasi negara, pejabat pajakdengan pejabat rata usaha negara memiliki perbedaan mengenaiwewenang, kewajiban, dan larangan. Perbedaan itu disebabkan

karena peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan berbedapula .

Pejabat yang ditunjuk oleh pejabat pajak untuk melaksanakanperaturan perundang-undangan perpajakan adalah Kepala Kantor

Pelayanan Pajak (meliputi Pajak Penghasilan. Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah), Kepala Kantor

Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (terrnasuk Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan), Kepala Kantor Bea dan Cukai, serta

Kepala Dinas Pendapatan Daerah yang meliputi provinsi dan

kabupaten/kota. Pejabat yang ditunjuk oleh pejabat pajak hanyaberwenang, berkewajiban, dan menaati larangan dalam melaksana­kan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkanpelimpahan wewenang, baik bersifat delegasi maupun mandat.Dengan demikian , penunjukan pejabat untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan per­panjangan tangan dari pejabat pajak agar sasaran dapat tercapai.

95SAS 5: Pejabat Pajak

1. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak

Pejabat pajak berwenan g menerbitkan surat ketetapan pajakdalam kait annya den gan penyetoran dan penagihan pajak, baik

pajak negara (kecuali Bea Meterai, Bea Masuk dan Cukai) maupunpajak daerah . Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang

meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajakkurang bayar tarnbahan, surat ketetapan pajak lebih bayar, atausurat ketetapan pajak nihi l. Surat ketetapan pajak yang dit erbitkan

oleh pejabat pajak karena kewenangannya sebagai pen gelola pajak

negara tersebut terdiri dari :

a. surat ketetapan pajak kurang bayar;

b. surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan;

c. surat ketetapan pajak lebih bayar;

d. surat ketetapan pajak nihil.

Keempat jenis surat ketetapan pajak tersebut di ata s, diper­

untukkan untuk pemungutan dan penagihan pajak yang terkaitdengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nila i dan PajakPenjualan atas Barang Mewah, sebagaimana diatur dalam UUKUP. Khusus terhadap pemungutan dan penagihan Pajak Bumi .

dan Bangunan, pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajak

negara tersebut, berwenang menerbitkan:

a. surat pemberitahuan pajak terutang;

b. surat ketetapan pajak.

Pemungutan dan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan tidak

men genal adanya surat ketetap an pajak kuran g bayar, sur atketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak lebihbayar, dan surat ketetapan pajak nihil. Dalam arti bahwa pejabat

pajak yang ditugasi mengelola Pajak Bumi dan Bangunan tidakmenerbitkan jenis-jenis surat ketet apan pajak ters ebut di atas .

Pembaruan Hukum Pajak94

Page 54: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Karena UU PBB tidak memperinci ten tang surat ketetapan pajaksebagaimana yang terdapat dalam UU KUP dan UU BPHTB. Padahakikatnya Pajak Bumi dan Bangunan tidak berbeda dengan PajakPenghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

sebagai pajak negara. Perbedaannya hanya terletak pada sistemyang dianut seperti halnya Pajak Penghasilan, Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang menganut sistem selfassessment,sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan hanya menganut sistemofficial assessment.

Terhadap pemungutan dan penagihan Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan, pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajaknegara tersebut berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak yangterkait dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan samadengan yang diberlakukan pada Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Suratketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang

diterbitkan oleh pejabat pajak dalam kaitan dengan pemungutandan penagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah:

a. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanKurang Bayar;

b. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanKurang Bayar Tambahan;

c. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanLebih Bayar;

d. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanNihil.

Sementara itu, pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajakdaerah berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak yang terkait

2. Menerbitkan Surat Tagihan Pajak

Surat tagihan pajak yang diterbitkan oleh pejabat pajak, baik

yang berwenang mengelola pajak negara maupun pajak daerahbukan merupakan bagian dari surat ketetapan pajak. Surat tagihan

pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksiadministrasi berupa bunga dan atau denda. Surat tagihan pajakdengan surat ketetapan pajak memiliki persamaan dan perbedaandalam penerapannya. Persamaannya adalah surat tagihan pajak

dengan pemungutan dan penagihan pajak daerah, baik pajak daerahprovinsi maupun pajak daerah kabupaten/kota sebagaimana yang

diatur dalam UU PDRD. Adapun jenis surat ketetapan pajak yangterkait dengan pemungutan dan penagihan pajak daerah tersebutadalah;

a. surat ketetapan pajak daerah;

b. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar;

c. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan;

d. surat ketetapan pajak daerah lebih bayar;

e. surat ketetapan pajak daerah nihil.

Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut di atas, ternyata

pajak daerah memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan

Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan. Ciri khas tersebut berupa adanya

surat ketetapan pajak daerah sehingga jumlah jenis surat ketetapanpajak yang dapat diterbitkan oleh pejabat pajak yang ditugasimengelola pajak daerah sebanyak lima. Sekaliptrn terdapat per­

bedaan yang mencolok mengenai jenis surat ketetapan pajak yang

digunakan untuk melakukan pemungutan dan penagihan pajak,tidak berarti pajak daerah tidak menganut sistem selfassessment.

97BAB 5: Pejabat PajakPembaruan Hukum Pajak96

Page 55: Buku Pembaruan Hukum Pajak

3. Menerbitkan Keputusan

Pejabat pajak tidak hanya berwenang menerbitkan surat

ketetapan pajak dan surat tagihan pajak, tetapi berwenang pula

menerbitkan keputusan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang

Pajak. Keputusan dapat diterbitkan karena atas permohonan wajib

pajak maupun secara jabatan karena perintah Undang-undang

Pajak. Hal ini berlaku bagi pejabat pajak yang berwenang mengelola

pajak negara dan pajak daerah. Adapun keputusan yang dapat

diterbitkan oIeh pejabat pajak yang berwenang mengelola pajak

negara, khususnya pada Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:

a. keputusan pengukuhan pengusaha kena pajak;

b. keputusan pengurangan ketetapan pajak;

mcrniliki kedudukan yang sama dengan surat ketetapan pajak,

bcrarti utang pajak yang tercantum dalam surat tagihan pajak

maupun dalam surat ketetapan pajak boleh ditagih dengan surat

paksa. Perbedaannya adalah surat tagihan pajak tidak boleh diajukan

keberatan, sedangkan surat ketetapan pajak dapat diajukan

keberatan.

Kewenangan pejabat pajak menerbitkan surat tagihan pajak

berlaku untuk semua jenis pajak, baik pajak negara (kecuali Bea

Meterai, Bea Masuk dan Cukai) maupun pajak daerah. Dalam arti,

surat tagihan pajak merupakan dasar penagihan Pajak Penghasilan,

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak at as Tanah dan

Bangunan, serta pajak daerah. Akan tetapi, dalam UU BPHTB

digunakan istilah Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, sedangkan untuk UU PDRD digunakan istiIah Surat

Tagihan Pajak Daerah. Walaupun terdapat perbedaan dari aspek

penamaan, fungsi yang dimiliki tidak berbeda secara hukum.

99

a. keputusan penyitaan;

b. keputusan lelang;

BAB 5: Pejabat Pajak

c. keputusan pernbatalan ketetapan pajak;

d. keputusan angsuran pembayaran pajak;

e. keputusan penundaan pembayaran pajak;

f. keputusan pengurangan sanksi administrasi:

g. keputusan penghapusan sanksi administrasi;

h. keputusan pengembalian pendahuluan keIebihan pajak;

i. keputusan pemberian imbaIan bunga; atau

j. keputusan penagihan seketika dan sekaligus.

Sementara itu, untuk Pajak Bumi dan Bangunan hanya dikenaI

keputusan penunjukan subjek pajak sebagai wajib pajak terhadap

objek pajak yang tidak jeIas siapa pemiliknya. Wewenang untuk

menerbitkan keputusan itu, dalam keterkaitan pengenaan Pajak

Bumi dan Bangunan atas objek pajak yang bersangkutan, sedangkan

keputusan yang diterbitkan dalam melaksanakan UU BPHTB adalah

"Keputusan Pengembalian KeIebihan Pembayaran Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan." Hal yang sama terdapat puIa daIam

UU PDRD. Dengan demikian, UU PBB dan UU BPHTB, dan UU

PDRD sama sekali tidak mengenal keputusan sebagaimana yang

terdapat daIam UU KUP.

Selain Keputusan tersebut di atas, pejabat pajak masih ber­

wenang menerbitkan keputusan daIam kaitan penagihan pajak

dengan surat paksa. Kewenangan itu tidak termasuk daIam ruang

lingkup UU KUP, UU PBB, UU BPHTB, dan UU PDRD, meIainkan

berada dalam ruang lingkup pelaksanaan UU PPDSP. Pejabat pajak

dalam melakukan penagihan pajak dengan menggunakan surat

paksa terhadap wajib pajak atau penanggung pajak berwenang

menerbitkan berupa:

Pembaruan Hukum Pajak8

Page 56: Buku Pembaruan Hukum Pajak

100 Pembaruan Hukum Pajak BAB 5: Pejabat Pajak 101

c. keputusan pencegahan;

d. keputusan penyanderaan.

Keputusan pejabat pajak mengenai penagihan pajak dengan

menggunakan surat paksa diberlakukan untuk semua jenis pajak,

baik pajak negara (kecuali Bea Meterai) maupun pajak daerah.

Bila wajib pajak atau penanggung pajak membayar lunas jumlah

pajak yang terutang, termasuk sanksi administrasi dan ditambah

biaya penagihan pajak sebelum diterbitkan keputusan lelang.

Sebenarnya keputusan yang terdapat dalam UU PPDSP tidak

mutlak diterbitkan oleh pejabat pajak karena saat wajib pajak atau

penanggung pajak telah menyelesaikan kewajibannya berupa

membayar lunas jumlah pajak yang terutang termasuk sanksi

administrasi dan ditambah biaya penagihan pajak.

4. Melakukan Pemeriksaan

Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 24 UU KUP adalah

serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah

data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan

pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam

rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Pemeriksaan sebagai wewenang pejabat pajak untuk

memeriksa dalam rangka mengawasi pemenuhan kewajiban,perpajakan yang dilaksanakan oleh wajib pajak, untuk:

a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib

pajak;

b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan;

Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (pemeriksaan kantor)

atau di tempat wajib pajak (pemeriksaan lapangan) yang ruang

lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu

maupun tahun berjalan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap

wajib pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain

sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak. Pelaksanaan

pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban

perpajakan wajib pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran

surat pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan

kewajihan perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau

kegiatan usaha sebenarnya dari wajib pajak.

Pejabat pajak melakukan pemeriksaan hanya tertuju pada wajib

pajak yang terikat pada Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai

dan Pajak Penjualan at as Barang Mewah serta pajak daerah.

Sebenarnya pemeriksaan pajak yang terkait dengan pembukuan

atau pencatatan tidak berlaku bagi wajib pajak yang terikat pada

Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan. Hal disebabkan karena wajib pajak yang terikat pada

Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak at as Tanah dan

Bangunan tidak diwajibkan membuat atau melakukan pembukuan

atau pencatatan

Tata cara pemeriksaan diatur dengan arau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan. Salah satu bagian dari tata cara

pemeriksaan adalah mengatur tentang kewajiban menyampaikan

surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak. Di

samping itu, memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk

hadir dalam pembahasan akhir temuan hasil pemeriksaan dalam

batas waktu yang ditentukan. Apabila dalam pemeriksaan ternyata

wajib pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal29 ayat (3) UU KUp, penghitungan pajak penghasilan

kena pajak dilakukan secara jabatan. Dalam hal ini, pejabat pajak

tidak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan

kepada wajib pajak dan pemberian kesempatan kepada wajib pajak

untuk hadir dalam pembahasan akhir temuan hasil pemeriksaan

dalam batas waktu yang ditentukan.

Page 57: Buku Pembaruan Hukum Pajak

5. Melakukan Penyegelan

Wajib pajak yang diperiksa oleh petugas pajak wajib memberi­

kan kesempatan untuk memasuki ternpat atau ruang yang

dipandang perlu dan memberi bantuan gun a kelancaran pemeriksa­

an.Iika petugas pajak beranggapan bahwa wajib pajak menghalang­

halangi kelancaran pemeriksaan, pejabat pajak berwenang

melakukan penyegelan. Penyegelan ditujukan pada ternpat atau

ruangan tertentu, barang bergerak atau barang tidak bergerak yang

digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat

untuk menyimpan buku-buku, catatan-catatan, atau dokumen­

dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang

dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line.

Penyegelan dilakukan oleh petugas pajak untuk mengamankan

atau mencegah hilangnya buku-buku, catatan-catatan, dandokumen-dokumen tersebut. Oleh karena itu, wajib pajak dilarang

melakukan pengrusakan penyegelan yang telah dilakukan oleh

pemeriksa pajak, termasuk memindahtangankan barang-barang

yang telah disegel. Terkecuali pada saat itu terjadi keadaan yang

sifatnya memaksa (force majeur) sehingga memerlukan ternpat yang

dipandang am an dari gangguan, misalnya terjadi kebakaran atau

terjadi banjir yang dapat merusak barang-barang yang telah disegel.

Wewenang untuk melakukan penyegelan hanya ditujukan

kepada wajib pajak yang terikat pada Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Sebenarnya penyegelan yang dilakukan oleh pejabat pajak karena

wajib pajak tersebut tidak mematuhi ketentuan yang berlaku.

Sementara itu, terhadap wajib pajak yang terikat pada Pajak Bumi

dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

tidak dilakukan penyegelan karena tidak diatur dalam UU PBBdan

UU BPHTB. Demikian pula halnya dalam UU PDRD yang tidak

mengatur tentang penyegelan sehingga wajib pajak yang terikat

103102 Pembaruan Hukum Pajak BAB 5: Pejabat Pajak

pada pajak daerah tidak akan dilakukan penyegelan oleh pejabat

pajak. I

6. Mengangkat Pejabat untuk MelaksanakanPeraturan Perundang-undangan Perpajakan

Pejabat pajak tidak hanya berwenang menerbitkan surat

ketetapan pajak, surat tagihan pajak, keputusan, dan termasuk

pembetulannya, tetapi berwenang pula mengangkat pejabat untuk

melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan .

Pengangkatan pejabat dimaksudkan agar terdapat efisiensi kerja

untuk lebih memantapkan pelaksanaan peraturan perundang­

undangan perpajakan sebagai tanggung jawabnya. Pejabat yang

diangkat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan

perpajakan merupakan pembantu bagi pejabat pajak yang meng­

angkatnya.

DirekturJenderal Pajak, sebagai pejabat pajak yang mengelola

pajak negara, berwenang mengangkat pejabat untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang pajak negara.

Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan di bidang Pajak

Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang memberi peluang bagi pejabat

pajak untuk mengangkat pejabat yang dimaksud. Pejabat yang boleh

diangkat adalah mereka yang berstatus pegawai negeri sipil dalam

lingkungan Direktorat [enderal Pajak, seperti Kepala Kantor

Pelayanan Pajak yang meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Per­

tambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan termasuk Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kernudian, Direktur

Jenderal Bea dan Cukai sebagai Pejabat Pajak yang mengelola BeaMasuk dan Cukai, berwenang pula mengangkat pejabat untuk

Page 58: Buku Pembaruan Hukum Pajak

melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang pabeandan cukai . Pejabat yang diangkat adalah mereka yang berstatus

sebagai pegawai negeri sipil dalam lingkungan Direktorat Bea danCukai, seperti Kepala Kantor Bea dan Cukai , dan lain-lain. Begitu

pula, gubernur, bupati/walikota sebagai pejabat pajak yangmengelola pajak daerah, berwenang pula mengangkat pejabat

untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidangpajak daerah. Pejabat yang diangkat adalah mereka yang berstatuspegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri,

seperti Kepala Dinas Pendapatan Daerah, dan lain-lain.

Pejabat yang diangkat untuk melaksanakan peraturan per­undang-undangan perpajakan berwenang melaksanakan tugassebagaimana yang ditugaskan dalam surat pengangkatannya.

Pejabat yang diangkat harus bertanggung jawab kepada pejabatpajak yang mengangkatnya karena kewenangan yang dimiliki hanyaberdasarkari mandatyang setiap saat wajib dipertanggungjawabkankepada si pemberi mandat. Wewenang yang harus dilaksanakan

adalah wewenang yang dimandatkan dalam surat pengangkatannyasebagai pejabat yang melaksanakan peraturan perundang-undanganperpajakan. Sekalipun wajib bertanggung jawab kepada si pemberi

mandat, pejabat yang diangkat tidak boleh tidak wajib rnelaksana­

kan wewenang yang dipercayakan kepadanya untuk melaksanakanperaturan perundang-undangan perpajakan.

Wewenang pejabat pajak mengangkat pejabat untuk melak­sanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak hanya

dikenal dalam UU KUp, melainkan terdapat dalam UU PBB, UU

BPHTB, UU PDRD, dan UU PPDSP. Pejabat pajak yang mengelolaPajak Daerah berwenang mengangkat pejabat yang ada di daerah,

seperti Kepala Dinas Pendapatan Daerah sebagai pejabat untukmelaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidangpajak daerah.

105104 Pembaruan Hukum Pajak BAB 5: Pejabat Pajak

7. Mengangkat Petugas Pajak

Selain pejabat yang diangkat untuk melaksanakan peraturanperundang-undangan perpajakan, pejabat pajak (Direktur Jenderal

Pajak) berwenang pula mengangkat petugas pajak . Petugas pajaktidak selalu harus dari lingkungan Direktorat Jenderal Pajak,

melainkan diperbolehkan berasal dari luar lingkungan Direktorat

jenderal Pajak. Oleh karena itu, petugas pajak boleh berstatussebagai pegawai negeri sipil dalam lingkungan DeparternenKeuangan atau Departemen Dalam Negeri . Selain itu , boleh pula

tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil, misalnya konsultanpajak, akuntan publik, dan sebagainya. Pengangkatan petugas pajakdilakukan oleh pejabat pajak untuk memperlancar pelaksanaan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

Petugas pajak yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajakmelaksanakan tugas tertentu untuk memberi pelayanan secara

maksimal kepada wajib pajak agar tidak mengalami kesulitan atauhambatan untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya.

Dalam pelaksanaan tugasnya, petugas pajak tidakboleh melanggarhak-hak wajib pajak . Adapun tugas yang wajib dilaksanakan oleh

petugas pajak yang berasal dari lingkup Direktorat jenderal Pajak

adalah:

a. menghitung dan menetapkan pajak yang terutang;

b. memberi surat setoran pajak;

c. melakukan pemeriksaan.

Sebagai contoh, pelaksanaan tugas oleh petugas pajak yangberasal dari lingkungan Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai

berikut.

a. Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkanpajak tidak sesuai dengan Undang-undang Pajak yang berlakusehingga merugikan negara, petugas pajak yang bersangkutan

Page 59: Buku Pembaruan Hukum Pajak

8. Mengangkat Juru Sita Pajak

Bukan hanya petugas pajak yang boleh diangkat oleh pejabat

pajak, tetapi te rmasuk pula juru sita pajak untuk melaksan akanperaturan perundang-undangan perpajakan, khu susnya peraturanperundang-undangan di bidang penagihan pajak dengan sur at

paksa. juru sita pajak men uru t Pasal 1 angka 6 UU PPDSP adalahpelaksana tind akan penagiha n pajak yang meIiputi penagihanseketika dan sekaligus, pemberi tahuan su rat paksa, penyitaan, danpenyand eraan . Dengan dernikian, tugas yang melekat pada juru

dapat dikenakan sanksi ses uai dengan ketentuan peraturanperu ndang-undangan yang berlaku.

b. Petu gas pajak ya ng den gan sengaja menyalahgunakan

wewenang dan atau melanggar hak-hak wajib pajak yang diaturdalam peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat

diadu kan ke unit Internal Depart emen Keuangan.

Berdasarkan contoh ters ebu t di at as, petugas pajak perlumeningkatkan diri dalam rangka membe rikan pelayanan kepada

wajib paj ak, khususnya mengenai cara menghitung dan atau

menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Jikadalam pelaksanaan tugas, terdapat kerugia n pada keuangan negara,petugas pajak dapat dikenakan sank si hukum sesuai undang­undang yang berlaku. Misalnya, mengganti kerugian yang dialamioleh negara dan/atau sanksi yang berhubungan dengan tindakpidana korupsi ,

Petugas pajak yang tidak berstatus pegawai negeri sipil berarti

bukan berasal dari Iingkungan Direktorat [enderal Pajak hanyadiangkat oleh peja bat pajak (Direktur [enderal Pajak) untukmembantu pelaks anaan perat uran perundang-undangan perpaja­

kan. Mereka yang diangkat sebagai petugas pajak adaIah ahIi bahasa,akuntan, konsu ltan pajak, pengacara, dan lain-lain.

106 Pembaruan Hukum Pajak BAB 5: Pejabat Pajak 107

sita pajak bersumber dar i UU PPDSP untuk melakukan penagihan

seke tika dan sekaligus, menyamp aikan sura t paksa, penyitaan, dan

penyanderaan.

Dalam hukum pajak, juru sita pajak meliputi juru sita pajak

bagi pajak negara dan jur u sita pajak bagi pajak daerah . juru sitapajak bagi pajak negara diangkat dan diberhentikan oleh pejabat

pajak yang ditugasi mengelal a pajak negara dan juru sita pajakbagi pajak daerah diangkat dan diberhentikan oleh pejabat pajak

yang ditugasi mengelola pajak dae rah . Keberadaannya merupakankon sekuensi dari pembagian paj ak berdasarkan kewenangan

penagihannya yang meIiputi pajak negara dan pajak daerah.Pelaksanaan tugas juru sita pajak bagi pajak negara dan juru sitapajak bagi pajak daerah tidak terjadi tumpah tindih karena jenispajak yang ditagih dengan surat paksa berbeda sama sekali sehingga

boleh berbarengan melakukan penagihan pajak secara paksa kepadawajib pajak atau penanggung pajak agar memenuhi kewajibannyasebagaimana yang telah dit entukan.

Sebelum juru sita pajak memangku jabatannya, terlebih dahulu

mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaandi hadapan pejabat pajak yang mengangkatnya. Pengucapan sumpahatau janji yang didasarkan atas agama atau kepercayaan juru sita

pajak tid ak hanya sekadar diucapkan melainkan mengikat secara

hukum dalam pelaksanaan tugas. Melanggar sumpah atau janjiberarti melakukan suatu pelanggaran hukum yang berakhir pada

pengenaan hukuman, baik hukuman disipIin maupun hukuman

badan.

Sumpah at au janji yang diucapkan oleh juru sita pajakmerupakan suatu manifestasi kerja untuk melakukan perbuatan

hukum deng an tidak melanggar hukum. Sumpah atau janji jurusita pajak sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU PPDSP adalah

sebagai berikut:

Page 60: Buku Pembaruan Hukum Pajak

juru sita pajak melaksanakan tugas di wilayah kerja pejabatpajak yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain oleh MenteriKeuangan. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan tugas juru sita pajak

tidak selalu berdasarkan wilayah kerja pejabat pajak yang meng­angkatnya karena boleh saja di wilayah kerja lain yang ditentukanoleh Menteri Keuangan. Dengan demikian, penempatan juru sita

pajak merupakan wewenang Menteri Keuangan, sedangkanpenempatan juru sita pajak bagi pajak daerah dilakukan olehgubernur atau bupati/walikota.

Setelah juru sita pajak diambil sumpah atau janji oleh pejabatpajak yang mengangkatnya, juru sita pajak harus melaksanakantugas, antara lain:

a. melaksanakan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;

b. menyampaikan dan memberitahukan surat paksa;

c. melaksanakan penyitaan atas barang-barang wajib pajakmaupun penanggung pajak berdasarkan surat perintahpenyitaan;

d. melakukan penyanderaan atas diri wajib pajak atau penang­

gung pajak berdasarkan surat perintah penyanderaan.

Untuk memperlancar pelaksanaan tugas juru sita pajak,

te rleb ih dahulu harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal

sebagai juru sita pajak dan harus diperlihatkan kepada wajib pajakmaupun penanggung pajak. Fungsi kartu tanda pengenal juru sita

pajak sebagai kartu identitas untuk memudahkan pelaksanaan tugasyang diembannya, agar wajib pajak maupun penanggung pajak tidak

ragu-ragu terhadap juru sita pajak yang bersangkutan. Sebaliknya,

kartu tanda pengenal tersebut sebagai upaya untuk mencegah agarjuru sita pajak tidak melakukan perbuatan melanggar hukumterhadap wajib pajak maupun penanggung pajak. Misalnya,melakukan kompromi pajak dan bahkan melakukan tindak pidana

korupsi di bidang perpajakan karena menyalahgunakan jabatannya

sebagai juru sita pajak.

Dalam melaksanakan tugasnya, juru sita pajak berwenangmemasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membukalemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat

usaha dan melakukan penyitaan di tempat kedudukan, atau ditempat tinggal wajib pajak maupun penanggung pajak, atau di

tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek

sita. Selain itu, dalam pelaksanaan tugasnya, juru sita pajak dapatmeminta bantuan kepada kepolisian, kejaksaan, Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemerintah daerah seternpat,Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Ienderal Perhubungan Laut,

Pengadilan Negeri, bank atau pihak lain . Tujuannya adalah untuk

mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan tugas dalam upayamenegakkan hukum pajak bagi wajib pajak maupun penanggung

pajak yang tidak menaati ketentuan pelaksanaan surat paksa.

108 Pembaruan Hukum Pajak

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untukmemangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, denganmenggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan ataumenjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatudalam jabatan saya ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atautidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian. Sayabersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan memper­tahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang­Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang dan serta yang berlakubagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa sayasenantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksamadan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakankewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnyaseperti layaknya bagi seorang juru sita pajak yang berbudi baik danjujur, menegakkan hukum dan keadilan".

BAB 5: Pejabat Pajak 109

Page 61: Buku Pembaruan Hukum Pajak

c. Kewajiban Pejabat PajakPejabat pajak tidak hanya memiliki wewenang, tetapi juga

memiliki kewajiban dalam rangka pelaksanaan peraturan per­undang-undangan perpajakan. Kewajiban pejabat pajak merupakanbagian dari penegakan hukum pajak dan tersirat di dalamnya berupaperlindungan hukum wajib pajak. Jika kewajiban tersebut tidakdilaksanakan tepat pada waktu yang ditentukan, diberikan imbalanbunga sebagai kompensasi kerugian yang dialami oleh wajib pajak.Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pejabat pajak adalahmenerbitkan surat keputusan, baik karena jabatan maupun karenapermohonan wajib pajak, seperti berikut ini.

1. Memberi Keterangan Tertulis

Wajib pajak kadangkala mengalami kesulitan untuk mengaju­kan keberatan karena tidak didukung oleh keterangan yang bolehmembenarkan mengenai keberatannya. Apabila, timbul keraguanketidaksempurnaan surat keberatannya, wajib pajak berhakmengajukan permohonan kepada pejabat pajak untuk memintaketerangan tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak. Hal inididasarkan pada Pasa125 ayat (6) UU KUPyang menegaskan apabiladiminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,Direktur jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secaratertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitunganrugi, pemotongan, atau pemungutan pajak.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasa125 ayat (6) UUKUP terdapat pula pada Pasal 15 ayat (5) UU PBB dan Pasal 16ayat (6) UU BPHTB. Hal ini berarti bahwa hukum pajak tetapmenjamin perlindungan hukum wajib pajak. jiwa wajib pajakmerasa kekurangan keterangan, wajib pajak berhak mengajukanpermohonan untuk meminta keterangan-keterangan yang dianggap

111BAB 5: Pejabat Pajak

perlu untuk melengkapi surat keberatannya. Pejabat pajak yangmengelola pajak negara berkewajiban memberi keterangan­keterangan yang diperlukan. Lain halnya bagi pejabat pajak yangmengelola pajak daerah tidak berkewajiban memberi keterangan­keterangan yang terkait pengajuan keberatan yang dilakukan oleh

wajib pajak karena tidak diatur dalam UU PDRD.

Demikian pula halnya terhadap kesulitan yang dialami wajibpajak untuk mengajukan permohonan banding, wajib pajak berhakmengajukan permohonan tertulis untuk meminta keterangantertulis hal-hal yang menjadi dasar terbitnya keputusan keberatan.Hal ini didasarkan bahwa apabila diminta oleh wajib pajak untukkeperluan pengajuan permohonan banding, Direktur jenderal Pajakwajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadidasar diterbitkannya keputusan keberatan.

Bila wajib pajak merasa tidak puas atas keputusan pembetulanyang diterbitkan oleh pejabat pajak wajib pajak berhak mengajukanpermohonan untuk meminta hal-hal yang menjadi dasar menolakatau menerima sebagian permohonan wajib pajak. Hal ini didasar­kan bahwa apabila diminta oleh wajib pajak, pejabat pajak wajibmemberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar menolakatau menerima sebagian permohonan wajib pajak. Keputusanpembetulan yang diterbitkan oleh pejabat pajak yang ditugasimengelola pajak negara hanya mengenai:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupabunga, denda, dan kenaikan yang terutang menurut ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksitersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan

karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yangtidak benar;

Pembaruan HukumPajak110

Page 62: Buku Pembaruan Hukum Pajak

c. mengurangkan atau mernbatakan surat tagihan pajak yangtidak benar;

d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan. pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

1) penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan;

2) pembahasan akhir dengan wajib pajak.

Hakikat yang terkandung di dalamnya bertujuan agar wajibpajak dapat mengetahui unsur keadilan keputusan pembetulan yangditerbitkan oleh pejabat pajak yang didasarkan atas permohonanwajib pajak. Di samping itu, terdapat pula suatu bentuk per­lindungan hukum wajib pajak kalau terdapat kesewenang­wenangan yang dilakukan oleh pejabat pajak yang mengelola pajaknegara dalam melakukan pembetulan, baik karena berdasarkanjabatannya maupun karena atas permohonan wajib pajak.

2. Menerbitkan Keputusan Pembetulan

Dalam praktik, kadangkala pejabat pajak menerbitkan suratketetapan pajak , surat tagihan pajak, atau keputusan yang tidakbenar karena ketidaktelitian sehingga membebani kewajiban bagiwajib pajak yang tidak bersalah. Atau, wajib pajak sendiri melaku­kan kesalahan dalam pemenuhan kewajiban berupa memasukkansurat pemberitahuan kepada pejabat pajak. Oleh karena itu, hukumpajak menyediakan sarana hukum bagi pejabat pajak untukmembetulkan surat ketetapan pajak, surat tagihan pajak, ataukeputusan yang telah diterbitkan, baik karena secara jabatannyamaupun karena permohonan wajib pajak. Kalau pejabat pajakmembetulkan surat ketetapan pajak, surat tagihan pajak, ataukeputusan berdasarkan jabatannya, keputusannya tidak terikat padajangka waktu kapan hendak ditetapkannya. Berbeda halnya kalaudengan permohonan wajib pajak, pejabat pajak terikat pada jangka

waktu yang ditentukan untuk membetulkan surat ketetapan pajak,surat tagihan pajak, atau keputusan yang telah diterbitkan.

Pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajak negara, khususnyaPajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah berwenang melakukan pembetulan ataspermohonan wajib pajak tatkala dalam penerbitannya terdapatkesalahan tulis dan atau kesalahan hitung. Yang boleh dibetulkankarena kesalahan atau kekeliruan, adalah:

a. surat ketetapan pajak yang meliputi surat ketetapan pajakkurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan,surat ketetapan pajak lebih bayar, dan surat ketetapan pajaknihil;

b. surat tagihan pajak;

c. keputusan pengurangan ketetapan pajak;

d. keputusan pembatalan ketetapan pajak;

e. keputusan pengurangan sanksi administrasi; _

f. keputusan penghapusan sanksi administrasi;

g. keputusan keberatan;

h. keputusan pemberian imbalan bunga; atau

i. keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

Ruang lingkup pembetulan yang dilakukan oleh pejabat pajakhanya terbatas pad a kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari :

a. kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupanama, alamat, nomor pokok wajib pajak, nomor suratketetapan pajak, jenis pajak, masa pajak atau tahun pajak, dantanggal jatuh tempo; atau

b. kesalahan hitung, yaitu kesalahan yang berasal dari pen­jumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan ataupembagian suatu bilangan.

113BAB 5: Pejabat PajakPembaruan Hukum Pajak112

Page 63: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Pengertian membetu lkan dapat berarti menambah, mengu ­rangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan ataukekeliruannya. Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahanhitung, wajib pajak boleh mengajukan lagi permohonan pembetulankepada pejabat pajak atau dapat melakukan sendiri pembetulanitu karena jabatannya.]angka waktu pembetulan hanya enam bulansejak tanggal permohonan wajib pajak diterima oleh pejabat pajakharus menerbitkan keputusan pembetulan termak sud. Hal inidimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada wajibpajak yang mengajukan permohonan perribetulan tersebut.

Pembetulan keputusan juga dikenal dalam UU PDRD, yangdilakukan oleh pejabat pajak yang mengelola pajak daerah, baikatas permohonan wajib pajak maupun karena jabatannya. Yangdapat dibetulkan oleh pejabat pajak yang mengelola pajak daerah

adalah:

a. surat ketetapan pajak daerah;

b. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar;

c. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan; atau

d. surat tagihan pajak daerah.

Di samping itu, pejabat pajak tersebut berwenang pula melaku­

kan tindakan hukum berupa:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupabunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menu rutperaturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam halsanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak ataubukan karena kesalahannya; atau

b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak

benar.

Tindakan hukum· yang dilakukan oleh pejabat pajak yangmen gelol a pajak daerah bertujuan untuk memberikan pe r-

lindungan hukum kepada wajib pajak sebelum terjadi sengketapajak. Sebenarnya tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabatpajak yang mengelola pajak daerah harus didasarkan atas per­mohonan wajib pajak yang mengalami kerugian dalam pemenuhanhak dan kewajibannya.

3. Menerbitkan Keputusan Keberatan

Tatkala terjadi sengketa pajak di tingkat lembaga keberatan,pejabat pajak berwenang memeriksa dan rnernutus, jika suratkeberatan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Dalamarti, kewajiban bagi pejabat pajak untuk menerbitkan suratkeputusan keberatan atas keberatan wajib pajak maupun pemotongatau pemungut pajak terhadap suatu surat ketetapan pajak yangditerbitkan oleh pejabat pajak. Kewajibanuntuk menerbitkan suratkeputusan keberatan diatur pada Pasal 26 ayat (1) UU KUP yangmenyatakan bahwa Direktur ]enderal Pajak dalam jangka waktupaling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima,harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Ketentuanyang sama ditemukan pula pada Pasal 16 ayat (1) UU PBB, Pasal17 ayat (1) UU BPHTB, dan Pasal 14 ayat (1) UU PDRD. Hal inimenunjukkan bahwa ada sinkronisasi antara UU KUPdengan UUPBB, UU BPHTB, dan UU PDRD mengenai jangka waktupemberian sura t keputusan kebera tan terhadap surat keberatanyang diajukan oleh wajib pajak maupun pemotong atau pemungutpajak.

Kewajiban menerbitkan surat keputusan keberatan merupakantanggung jawab pejabat pajak yang berwenang memeriksa danmemutus surat keberatan dari wajib pajak maupun dari pemotongatau pemungut pajak . Surat kepu tus an keberatan tidak bolehmelampaui jangka waktu yang telah dite nt ukan karena dapatberakibat bila jangka waktu yang ditentukan telah kedaluwarsa,

115BAB 5: Pejabat PajakPembaruan Hukum Pajak114

Page 64: Buku Pembaruan Hukum Pajak

keberatan wajib pajak maupun pemotong atau pemungut pajak

sebagaimana yang tercantum dalam surat keberatan dianggapditerima secara hukum. Surat keputusan keberatan merupakansurat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau

terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pemotong atau

pemungut pajak yang diajukan oleh wajib pajak.

Menerbitkan surat keputusan keberatan tidak hanya merupa­

kan kewajiban pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajak negara,tetapi merupakan pula kewajiban pejabat pajak yang ditugasi

mengelola pajak daerah. Sebenarnya surat keputusan keberatan

merupakan jawaban terhadap keberatan yang dituangkan dalamsurat keberatan. Surat keputusan keberatan tidak mutlak harusditerima dan bahkan boleh ditolak karena tidak memenuhi syarat­

syarat yang ditentukan untuk pengajuan suatu surat keberatan.

D. Larangan Pejabat PajakPejabat pajak, termasuk yang diangkat untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan perpajakan, memegang perananpenting dalam rangka penegakan hukum pajak. Dalam pelaksanaan

wewenangnya, pejabat pajak telah banyak mengetahui rahasia

perpajakan wajib pajak, baik karena wajib pajak memberitahukanatau melaporkan melalui surat pemberitahuan. Bahkan karena

petugas pajak melaksanakan tugas pemeriksaan di tempat tinggal

atau di tempat kedudukan wajib pajak. Ataukah juru sita pajak

melaksanakan tugas menyampaikan surat paksa maupun tindakan

pelaksanaan surat paksa kepada wajib pajak maupun penanggung

pajak.

Kerahasiaan wajib pajak maupun penanggung pajak tetap

terjamin untuk tidak dibocorkan atau tidak diketahui oleh pihakketiga. Oleh karena itu, hukum pajak berkewajiban memberi

perlindungan dengan menyiapkan perangkat hukum untuk itu .

Perangkat hukum yang dimaksudkan telah ditentukan sebagaiberikut.

1. Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain

segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya

oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untukmenjalankan ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan.

2. Larangan tersebut di atas berlaku pula terhadap tenaga ahli

yang ditunjuk oleh pejabat pajak untuk membantu dalampelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan.

3. Dikecualikan dari larangan tersebut di atas adalah: a) pejabatdan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahlidalam sidang pengadilan; dan b) pejabat dan tenaga ahli yangmemberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkanoleh Menteri Keuangan.

4. Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenangmemberi izin tertulis kepada pejabat dan tenaga-tenaga ahli

yang bersangkutan agar memberikan keterangan, memper­

lihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak kepadapihak yang ditunjuknya.

5. Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara

pidana atau perkara perdata atas permintaan hakim sesuaidengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Menteri

Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepadapejabat dan tenaga ahli yang bersangkutan, bukti tertulis danketerangan wajib pajak yang ada padanya.

6. Permintaan hakim tersebut di atas, wajib menyebut namatersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang

117SAS 5: Pejabat PajakPembaruan Hukum Pajak116

Page 65: Buku Pembaruan Hukum Pajak

118

diperlihatka n kepada pihak ter tentu yang ditunj uk oleh MenteriKeilangan. Dalam surat izin yang diterbitkan oleh MenteriKeuangan harus dicantumkan nama wajib pajak, nama pihak yangditunjuk dan nama pejabat pajak, pejabat yang diangkat, ataupetugas pajak yang diizinkan untuk memberikan keterangan ataumemperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak.Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-halyang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan. Berarti untuk kepen­tingan negara, Menteri Keuangan harus berinisiatif menerbitkanizin.

]ika terjadi pemeriksaan di pengadilan, baik dalarn perkarapidana maupun perkara perdata yang berkaitan dengan perpajakan,Menteri Keuangan menerbitkan izin pembebasan atau kewajibankerahasiaan kepada pejabat pajak, pejabat yang diangkat, ataupetugas pajak maupun juru sita pajak atas berdasarkan permintaanhakim ketua sidang . Izin tersebut bertujuan untuk membantumengungkapkan perkara pidana atau perkara perdata yang memilikiketerkaitan dengan perpajakan yang sementara dalam prosesperadilan. Sebenarnya hakim ketua sidang wajib berinisiatifmeminta izin dari Menteri Keuangan agar dibolehkan mengungkap­kan kerahasiaan perpajakan yang diketahui oleh pejabat pajak,pejabat yang diangkat , atau petugas pajak maupun juru sita pajaktermaksud. Permintaan hakim ketua sidang kepada MenteriKeuangan harus secara tegas menyebut nama tersangka atau namatergugat, termasuk keterangan-keterangan yang dirninta terkaitdengan perbuatan hukum yang menyangkut bidang perpajakan.

11 9BAB 5: Pejabat PajakPembaruanHukum Pajak

diminta serta kaitan perkara pidana atau perkara perdata yangbersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.

Pejabat pajak, termasuk petugas pajak dan juru sita pajak yangdiangkat dilarang mengungkapkan kerahasiaan perpajakan wajibpajak termasuk pula pemotong atau pemungut pajak. Kerahasiaanperpajakan yang dilarang untuk diungkapkan atau diberitahukankepada pihak lain, antara lain:

1. surat pernberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yangdilaporkan oleh wajib pajak;

2. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;

3. dokumen dan atau data yang dipero leh dari pihak ketiga yangbersifat rahasia; dan

4. dokumen dan atau rahasia wajib pajak sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

Larangan untuk tidak mengungkapkan kerahasiaan wajib pajakuntuk pihak lain dikecualikan tatkala pejabat pajak, pejabat yangdiangkat, dan petugas pajak bertindak sebagai saksi atau saksi ahlidalam pengadilan. Larangan ini hanya bersifat sernentara, yaknipada saat persidangan pengadilan dan tidak termasuk di luarpersidangan pengadilan. Demikian pula halnya terhadap keteranganyang diberitahukan kepada pihak lain yang ditetapkan oleh MenteriKeuangan hanya tertuju pada identitas wajib pajak dan informasiyang bersifat umum tentang perpajakan kepada antara lain lembaganegara atau Instansi Pemerintah yang berwenang melakukanpemeriksaan di bidang keuangan negara . PengecuaIian larangantersebut tidak memerlukan izin dari Menteri Keuangan .

Lain halnya kalau untuk kepentingan negara, misalnya daIamrangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka mengadakankerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan ataubukti tertulis dari atau tentang wajib pajak dapat diberikan atau

Page 66: Buku Pembaruan Hukum Pajak

121

.. Surat Pemberitahuan

A. Pendahuluan

Dalam hukum pajak terdapat suatu sarana hukum yang meng­

hubungkan antara wajib pajak dengan pejabat pajak dalam rangkapenegakan hukum pajak. Sarana hukum tersebut adalah suratpemberitahuan yang disediakan oleh pejabat pajak untuk digunakanbagi wajib pajak melaporkan jumlah pajak yang terutang. Sebagai­mana dikatakan oleh Rochmat Soemitro (1986;66) bahwa surat

p.emberitahuan merupakan bentuk kerja sama antara wajib pajakdengan Direktorat]enderal Pajak untuk menentukan besarnya pajak

yang terutang.

Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak

digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pemba­

yaran pajak, objek pajak, dan atau bukan objek pajak, dan atauharta dan kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang­

undangan perpajakan. Tidak semua jenis pajak yang berlakuboleh menggunakan surat pemberitahuan. Hal ini tergantungdari jenis pajak itu sendiri. Surat pemberitahuan laz imnya

diguna~an hanya pajak langsung seperti Pajak Penghasilan danPajak Bumi dan Bangunan, sedangkan pada pajak tidak lang­sung pada umumnya tidak menggunakan surat pemberitahuan.

Page 67: Buku Pembaruan Hukum Pajak

122 Pembaruan Hukum Pajak BAB 6: Sural Pemberilahuan 123

Dikatakan "pada umumnya" karena ada pula pajak tidak langsungyang menggunakan surat pemberitahuan, seperti Pajak Per­

tambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah . Pajak tidaklangsung yang tidak menggunakan surat pemberitahuan adalah BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta Bea Meterai.

Penggunaan surat pemberitahuan merupakan bagian dari selfassessment system yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajakuntuk menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutangkepada pejabat pajak yang menerbitkan surat pemberitahuan itu.

Selfassessment system merupakan pengganti official assessment systemsebagaimana yang diterapkan terhadap pajak langsung pada masasebelum terjadi perubahan Undang-undang Pajak pada tahun 1983.

Sekalipun terjadi perubahan official assessment system menjadi selfassessment system, jika kesadaran hukum wajib pajak maupun pejabatpajak tidak mengalami perubahan ke arah positif, perubahan itu

tidak memiliki makna yang signifikan terhadap penegakan hukumpajak, baik pada masa kini maupun ke depan.

Setiap wajib pajak harus mengambil sendiri surat pernberi­

tahuan di tempat yang telah ditentukan oleh pejabat pajak ataumengambil dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs

Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir suratpemberitahuan. Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih

baik, pejabat pajak boleh mengirimkan surat pemberitahuan kepada

wajib pajak. Wajib pajak yang telah menerima surat pemberitahuan

wajib mengisi dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa

Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuanmata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya

ke Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar ataudikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh pejabat pajak .

Wajib pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untukmenyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asingdan rnata uang selain rupiah, wajib menyampaikan surat pem-

beritahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain rupiah

yang diizinkan, dan pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkanperaturan Menteri Keuangan. Dikecualikan dari kewajiban

menyampaikan surat pemberitahuan kepada pejabat pajak adalah

wajib Pajak Penghasilan tertentu, yakni:

1. wajib pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh

penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak;

2. wajib pajak luar negeri yang menerima atau memperolehpenghasilan di Indonesia dikenakan Pajak Penghasilan secara

final.

Akan tetapi, karena kepentingan tertentu, wajib Pajak Peng­

hasilan tersebut di atas, diwajibkan memiliki nomor pokok wajibpajak. Sebenarnya nomor pokok wajib pajak merupakan identitas

wajib pajak yang setiap saat dapat digunakan untuk kepentinganpengurusan surat-surat yang terkait dengan kegiatannya, baik yang

berkaitan maupun yang tidak terkait dengan perpajakan.

Hal yang dimaksud dengan mengisi surat pemberitahuan

adalah mengisi formulir surat pemberitahuan, dalam bentuk kertasdan atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelassesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara

itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap dan jelas dalam mengisi

surat pemberitahuan adalah sebagai berikut.

1. Benar adalah benar dalam perhitungannya, termasuk benar

dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan,dalam penulisannya, dan sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya.

2. Lengkap adalah memuat semua unsur yang berkaitan denganobjek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam

surat pemberitahuan.

Page 68: Buku Pembaruan Hukum Pajak

3.

124

Penyampaian surat pemberitahuan merupakan perbuatan

hukum yang dilakukan oleh wajib pajak sehingga persyaratan yangtelah ditentukan wajib dilaksanakan sebagaimana mestinya. ]ikasurat pemberitahuan tidak disampaikan berdasarkan jangka waktu

yang ditentukan atau jangka waktu perpanjangan penyampaiansurat pemberitahuan, wajib pajak tersebut diberikan surat teguran.

Wajib pajak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan ataumenyampaikan surat pemberitahuan, tetapi tidak benar, terhadapwajib pajak tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa denda.

Bahkan selain sanksi administrasi berupa denda dapat pula dikena­kan sanksi pidana karena menimbulkan kerugian pada pendapatannegara.

Bentuk dan isi suatu surat pemberitahuan serta keterangandan atau dokumen yang wajib dilampirkan, dan cara yang digunakanuntuk menyampaikan surat pemberitahuan diatur dengan atauberdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dimaksudkan

agar terdapat keseragaman dan mempermudah pengisian sertapengadministrasiannya, bentuk dan isi suatu surat pemberitahuan,keterangan, dokurnen yang harus dilampirkan dan cara yangdigunakan untuk menyampaikan surat pemberitahuan. Bagi wajib

pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib dilengkapidengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta

keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitungbesarnya penghasilan kena pajak.

Wajib pajak wajib menaati ketentuan-ketentuan mengenai

tata cara pengisian maupun jangka waktu penyampaian surat

pemberitahuan. Sebenarnya surat pemberitahuan dianggap tidakdisampaikan oleh wajib pajak apabila:

1. tidak ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasa hukumnya;

2. tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dakumen;

125BAB 6: Sural PemberilahuanPembaruan Hukum Pajak

]elas adalah melaporkan asal-usul ata u sumber objek pajakdan unsurt-unsur lain yang harus dilaporkan dalam suratpemberitahuan.

Surat pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap,dan jelas tersebut wajib disampaikan kepada pejabat pajak tempatwajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang

ditetapkan oleh pejabat pajak. Oleh karena itu, pejabat pajak dapatmenetapkan tempat pendaftaran dan atau ternpat pelaporan usaha

selain tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak atau

temp at pendaftaran pada kantor pejabat pajak yang wilayah kerjanyameliputi tempat tinggal dan kantor pejabat pajak yang wilayahkerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi wajib pajakarang pribadi atau pengusaha tertentu.

Penandatanganan surat pemberitahuan boleh dilakukan secarabiasa atau dengan tanda tangan stempel atau tanda tanganelektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan

hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur denganPeraturan Direktur ]enderal Pajak. Dalam hal wajib pajak merupa­kan badan maka surat pemberitahuan ditandatangani oleh pengurusatau direksi.]ika surat pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh

arang lain bukan wajib pajak, wajib dilampirkan surat kuasa khusus.

Surat pemberitahuan yang disampaikan secara langsung oleh wajibpajak kepada pejabat pajak wajib diberi tanggal dan bukti

penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu. Lain halnya kalau

surat pemberitahuan dikirim melalui kantor pas secara tercatatatau dengan cara lain akan diatur dengan Keputusan Direktur]enderal Pajak . Tanda bukti dan tanggal penerimaan untuk

penyampaian surat pemberitahuan sepanjang surat pemberitahuantersebut lengkap dianggap sebagai tanda bukti dan tanggalpenerimaan.

Page 69: Buku Pembaruan Hukum Pajak

126 Pembaruan Hukum Pajak BAB 6: Sural Pemberitahuan 127

3. menyatakan lebih bayar disampaikan setelah dua tahunsesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atautahun pajak, dan wajib pajak telah ditegur secara tertulis; atau

4. disampaikan setelah pejabat pajak menerbitkan surat ketetapanpajak.

Surat pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh wajibpajak kepada pejabat pajak harus diberi tanggal penerimaan olehpejabat yang ditunjuk dan kepada wajib pajak diberikan buktipenerimaan. Sebenarnya pemberian tanggal penerimaan suratpemberitahuan bertujuan untuk memberikan kepastian hukumbahwa surat pemberitahuan yang disampaikan sebelum atausesudah jangka waktu yang ditentukan . Penyampaian suratpemberitahuan tidak hanya boleh dilakukan secara langsung, tetapiboleh pula dikirim melaluikantor pos dengan tanda bukti pengiri­man surat atau dengan cara lain sepanjang tidak bertentanganperaturan Direktur Jenderal Pajak. Tanda bukti dan tanggalpengiriman surat untuk penyampaian surat pemberitahuandianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjangtelah lengkap surat pemberitahuan tersebut

Kadangkala surat pemberitahuan yang telah disampaikanternyata mengandung ketidakbenaran, misalnya terdapat kesalahanhitung atau kesalahan tulis. Maka, dengan kemauan sendiri wajibpajak berhak membetulkan surat pemberitahuan tersebut denganmenyampaikan pernyataan tertulis, dengan persyaratan bahwapejabat pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam halpembetulan surat pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar,pembetulan surat pemberitahuan harus disampaikan paling lamadua tahun sebelum kadaluarsa penetapan. Oleh karena itu, wajibpajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalamlaporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian surat pem­beritahuan yang telah disampaikan, yang mengakibatkan:

1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar:

2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil;atau

3. jumlah harta menjadi lebih besar, tetapi jurnlah rugi berdasar­kan ketentuan perpajakan tidak menjadi lebih besar.

Kejujuran wajib pajak sangat menentukan dalam pengisiansurat pemberitahuan karena surat pemberitahuan yang telahdisampaikan kepada pejabat pajak merupakan tanggungjawab wajibpajak . Akibat hukum yang timbul dari surat pemberitahuan yangtelah disampaikan itu adalah perbuatan hukum yang menimbulkansanksi hukum kalau di dalamnya terjadi kesalahan. Misalnya, suratpemberitahuan yang telah disampaikan itu batalnya demi hukumatau dapat dibatalkannya, bergantung pada substansi hukum pajakyang terlanggar.

B. Fungsi Surat Pemberitahuan

Surat pemberitahuan merupakan sarana hukum dalam hukumpajak yang digunakan oleh wajib pajak untuk menghitung danmelaporkan pajak yang terutang, baik mengenai Pajak Penghasilan,Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.Oleh karena itu, surat pemberitahuan memiliki fungsi yangberbeda-beda, tergantung dar i jenis pajak yang dilaporkannya olehwajib pajak. Lain perkataan bahwa fungsi surat pemberitahuanhanya bergantung pada jenis pajak yang terlapor dalam suratpemberitahuan itu sendiri.

Fungsi surat pemberitahuan bagi wajib Pajak Penghasilanadalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung­jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutangdan untuk melaporkan tentang:

1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan

Page 70: Buku Pembaruan Hukum Pajak

sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihaklain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak;

2. penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objekpajak;

3. biaya hidup untuk wajib pajak orang pribadi;

4. harta dan kewajiban;

5. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotong­an atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalamsatu masa pajak, yang ditentukan peraturan perundang­undangan perpajakan yang berlaku.

Fungsi surat pemberitahuan bagi pemotong atau pemungutpajak adalah sebagai sarana melaporkan dan mempertanggung­jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.Kernudian, fungsi surat pemberitahuan terhadap pengusaha kenapajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan memper­tanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilaidan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutangdan untuk melaporkan tentang:

1. pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran;

2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakansendiri oleh pengusaha kena pajak dan atau melalui pihak laindalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Karena surat pemberitahuan memiliki fungsi sebagai saranauntuk melaporkan jumlah pajak yang terutang, surat pem­beritahuan boleh dijadikan sebagai alat bukti surat kalau terjadisengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat pajak dalambentuk sengketa pajak. Penggunaan surat pemberitahuan sebagaialat bukti surat boleh pada tingkat keberatan, banding, atau gugatan

c. Surat Pemberitahuan Masa

melalui lembaga keberatan dan Pengadilan Pajak yang berwenangmemeriksa dan mernutus sengketa pajak.

129BAB 6: SuralPemberilahuan

Pada hakikatnya surat pemberitahuan masa merupakan bagiandari surat pemberitahuan. Surat pemberitahuan masa adalah suratpem beritahuan suatu masa pajak . Kernudian, yang dimaksuddengan masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengansatu bulan takwin atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengankeputusan Menteri Keuangan paling lama tiga bulan takwim. Suratpemberitahuan masa digunakan oleh wajib pajak untu k melaporkanjumlah pajak yang terutang kepada pejabat pajak mengenai PajakPenghasilan, Pajak Pertamb ahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah untuk satu masa pajak. Sebenarnya sura t pem­beritahuan masa merupakan sarana hukum bagi wajib pajak untukmelaporkan pajak yang terutang untuk suatu masa pajak, baikmengenai Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai danPajak Penjualan atas Barang Mewah.

Rochmat Soemitro (1986;68) mengatakan bahwa kalau wajibpajak tidak satu tahun menjadi wajib pajak karena baru datang diIndonesia setelah tahun pajak mulai, atau meninggalkan Indonesiaatau meningal dunia, pajaknya dihitung dari masa pajak yang kurangdari satu tahun. Untuk itu, wajib pajak wajib memasukkan suratpemberitahuan masa. Penghasilan yang diterima atau diperolehdalam masa pajak itu harus diberit ahu kan dalam sura t pem­beritahuan rnasa, dan selanjutnya dihitung penghasilan setah undengan mengalihkan penghasilan dalam masa pajak itu dengansuatu pecahan yang pembilangnya dua belas dan penyebutnya samadengan jumlah bulan dari masa pajak itu.

Surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang­kurangnya memuat jumlah dasar pengenaan pajak, jumlah pajak

Pembaruan Hukum Pajak128

Page 71: Buku Pembaruan Hukum Pajak

keluaran, jumlah pajak masukan yang dapat dikred itkan, dan jumlah

kekurangan atau kelebihan pajak. Apabi la surat pemberitahuan

masa Pajak Pertambahan Nilai tidak atau kurang memuat syarat­

syarat yang ditentukan, berarti surat pemberitahuan masa Pajak

Pertambahan Nilai tidak dapat dikategorikan secara lengkap.

Dengan demikian, surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan

Nilai tidak sah menurut hukum pajak dengan konsekuensi peng­

usaha kena pajak berkewajiban menyampaikan kembali surat

pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai kepada pejabat pajak

di tempat tinggal atau tempat kedudukannya.

]angka waktu penyampaian surat pemberitahuan masa, baik

surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan maupun surat

pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai adalah paling lama dua

puluh hari seteIah akhir masa pajak. Apabila surat pemberitahuan

masa tersebut tidak disampaikan sesuai jangka waktu yang

ditentukan, wajib pajak dikenakan sanksi administrasi. Terhadap

surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan

sanksi administrasi berupa denda sebesar RpSOO.OOO,OO. Untuk

surat pemberitahuan masa lainnya (terrnasuk surat pemberitahuan

masa Pajak Penghasilan) dikenakan sanksi administrasi berupa

denda sebesar RpIOO .OOO,OO. Pengenaan sanksi administrasi

berupa denda tidak dilakukan terhadap wajib pajak dengan kriteria

tertentu, misalnya:

1. wajib pajak usaha kecil;

2. wajib pajak orang pribadi yang memiIiki penghasilan neto

kurang dari penghasilan tidak kena pajak;

3. wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan di

Indonesia telah dikenakan pajak yang bersifat fina l.

Kadangkala pada surat pemberitahuan masa yang telah

disampaikan ternyata terdapat kesalahan tulis atau kesalahan

hitung. Maka, dengan kemauan sendiri , wajib pajak berhak rnern-

D. Surat Pemberitahuan Tahunan

betulkan surat pemberitahuan yang telah disam paikan dengan

me nyampaika n pernyataan tertulis, dengan per syaratan bahwa

pejabat pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Akan tetapi,

bila pembetulan surat pemberitahuan masa menyatakan rugi atau

lebih bayar. Pembetu lan surat pemberitahuan masa harus disampai­

kan paling lama dua tahun sebelum kadaluarsa penetapan.

131BAB 6: Sural Pemberilahuan

Selain surat pemberitahuan masa dikenal pula surat pemberi­

tahuan tahunan sebagaimana yang diatur dalam VU KUP. Surat

pemberitahuan tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu

tahun pajak atau bagian tahun pajak. Kemudian, pengertian tahun

pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender, kecuali bila wajib

pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun

takwim. Sementara itu, pengertian bagian tahun pajak merupakan

bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.

Surat pemberitahuan tahunan hanya dikenal dalam Pajak

Penghasilan, yang terdiri dari surat pemberitahuan tahunan wajib

pajak orang pribadi dan surat pemberitahuan tahunan wajib pajak

badan. ]angka waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan

Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi adalah paling lama

tiga bulan setelah berakhir tahun pajak. Kemudian, jangka waktu

penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak PenghasiIan wajib

pajak bad an adalah paling lama ernpat bulan seteIah berakhir tahun

pajak.]ika selama jangka waktu itu wajib pajak penghasiIan tersebut

tidak memenuhinya karena berada dalam keadaan memaksa (forcemajeur), maka wajib pajak berhak memohon perpanjangan jangka

waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak

Penghasilan untuk paling lama dua bulan dengan cara tertulis atau

dengan cara lain (elektronik) . Penyampaian pemberitahuan itu

harus di tujukan kepada pejabat pajak dengan tetap berdasarkan

Pembaruan Hukum Pajak130

Page 72: Buku Pembaruan Hukum Pajak

pada ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Apabila..wajib pajak tidak memenuhi jangka waktu penyampaian surat

pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan, walaupun telahdilakukan perpanjangan jangka waktu masih tetap tidak dapat

dipenuhi, wajib pajak yang bersangkutan diberikan surat teguran.

Surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan sekurang­

kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah

penghasilan kena pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kreditpajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta hak dan

kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi wajib

pajak orang pribadi. Untuk wajib pajak yang wajib menyelenggara­kan pembukuan wajib melengkapi laporan keuangan berupa neracadan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yangdiperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.

Wajib pajak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuantahunan Pajak Penghasilan dalam jangka waktu yang ditentukan,

atau jangka waktu perpanjangan telah berakhir tidak pulamenyampaikan surat pemberitahuan tersebut dikenakan sanksi

administrasi. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesarRp1.000.000,OO untuk surat pemberitahuan tahunan Pajak Peng­

hasilan badan. Kemudian, sebesar Rp250.000,OO untuk suratpemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi.

Jika wajib pajak membetulkan sendiri surat pemberitahuan

tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,

dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan

atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyam­paian surat pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggalpernbayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

Yang dimaksud dengan sebulan adalah jumlah hari dalam bulantakwim yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 junisampai dengan 21 juli pada tahun yang sarna, sedangkan yang

dimaksud bagian dari bulan misalnya 22 [uni sampai 5 juli pada

tahun yang sama.

Wajib pajak boleh membetulkan surat pemberitahuan tahunan

yang telah disampaikan, dalam hal wajib pajak menerima surat

ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan

pembetulan, atau putusan banding tahun pajak sebelumnya atau

beberapa tahun pajak sebelumnya. Pembetulan itu menyatakan rugifiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam

surat pemberitahuan tahunan yang akan dibetulkan terse but, dalam

jangka waktu tiga bulan setelah menerima surat-surat tersebut diatas, dengan syarat bahwa pejabat pajak belum melakukan tindakan

pemeriksaan.

Dalam kaitan Pajak Penghasilan, yang diwajibkan menyampai­

kan surat pemberitahuan tahunan hanya wajib pajak dalam negeri,

baik wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan karenasemua penghasilan yang diterima merupakan objek Pajak Peng­hasilan. ·Oleh karena itu, wajib pajak luar negeri tidak wajib

menyampaikan surat pemberitahuan tahunan karena penghasilan

yang diterima atau diperoleh di Indonesia telah dikenakan PajakPenghasilan secara final. Sekalipun tidak diwajibkan menyampaikan

surat pemberitahuan tahunan, wajib pajak tersebut tetap harus

menaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Juga terhadap wajib pajak dalam negeri yang menerima ataumemperoleh penghasilan selama satu tahun pajak tidak melebihi

batas penghasilan tidak kena pajak, wajib pajak yang bersangkutan

tidak diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan tahunan.

Demikian pula wajib pajak dalam negeri yang tidak menerima ataumemperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan dari satu majikan.

132 Pembaruan Hukum Pajak BAB 6: Sural Pemberilahuan 133

Page 73: Buku Pembaruan Hukum Pajak

134 Pembaruan Hukum Pajak SAS 6:Sural Pemberilahuan 135

E. Surat Pemberitahuan Objek Pajak

Terjadinya hubungan hukum antara wajib Pajak Bumi dan

Bangunan dengan pejabat pajak yang mengelola pajak negaradisebabkan karena surat pemberitahuan objek pajak. Surat

pemberitahuan objek pajak adalah surat yang digunakan olehwajib pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan

UU PBB. Surat pemberitahuan objek pajak harus diisi secara

lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh wajib pajakdan disampaikan kepada pejabat pajak yang mengelola Pajak

Bumi dan Bangunan di tempat tinggal atau tempat kedudukannya.

Penyampaian surat pemberitahuan objek pajak adalah selambat­lambatnya tiga puluh hari setelah tanggal diterima surat pembe­ritahuan objek pajak oleh wajib pajak.

Wajib pajak yang pernah dikenakan Ipeda tidak wajib men­daftarkan objek pajaknya, kecuali bila memperoleh surat pem­beritahuan objek pajak, wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap

serta ditandatangani dan disampaikan kepada pejabat pajak yang

menerbitkannya. Surat pemberitahuan objek pajak berbeda dengansurat pemberitahuan masa maupun surat pemberitahuan tahunan

karena surat pemberitahuan objek pajak tidak memuat jumlah pajak

yang terutang yang wajib dibayar lunas dalam jangka waktu yang

ditentukan. Itulah sebabnya Rochmat Soemitro (1986;32) mengata­

kan bahwa memasukkan surat pemberitahuan objek pajak bukan

merupakan perbuatan hukum karena dengan dimasukkan surat

pemberitahuan objek pajak itu tidak dengan sendirinya menimbul­

kan utang pajak, seperti dalam Pajak Penghasilan dengan sistemselfassessment.

UU PBBtidak menganut sistem selfassessment, melainkan hanya

menganut sistem official assessment. Kelihatannya sistem officialassessment sangat tepat terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunanyang tidak diketahui siapa wajib pajaknya sehingga pejabat pajak

dapat rnenetapkan subjek pajak tersebut sebagai wajib pajak. Wajibpajak yang telah ditetapkan berkewajiban membayar lunas atas

Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang pejabat pajak masihterlibat dalam penentuan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang

harus dibayar oleh wajib pajak.

Jika surat pemberitahuan objek pajak yang disampaikan olehwajib pajak telah kadaluarsa atau setelah ditegur tidak dikernbalikan

dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran, pejabatpajak berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak secara jabatan.

Dalam surat ketetapan pajak tersebut memuat sanksi administrasi

berupa denda sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. Wajib pajakyang tidak mengembalikan surat pemberitahuan objek pajakternyata menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan

pidana penjara paling lama dua tahun atau ditambah denda palingtinggi lima kali pajak yang terutang.

F. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah

Pajak daerah mengenal pula surat pemberitahuan, tetapiberbeda dengan surat pemberitahuan objek pajak yang dikenal pada

Pajak Bumi dan Bangunan. Surat pemberitahuan pajak daerah

memiliki persamaan dengan surat pemberitahuan masa maupunsurat pemberitahuan tahunan. Hal ini diketahui dari pengertian

surat pemberitahuan Pajak Daerah, yaitu surat yang oleh wajib

pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau

pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak,

dan/atau harta dan kewajiban menurut ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan daerah. Surat pemberitahuan

pajak daerah pada hakikatnya adalah sarana hukum yang digu­nakan oleh wajib pajak untuk menjalin hubungan hukum dengan

pejabat pajak yang mengelola pajak daerah.

Page 74: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Wajib pajak memenuhi kewajiban berupa membayar lunaspajak daerah yang terutang dengan menggunakan surat pem ­beritahuan pajak daerah. Akan tetapi, pelunasan pajak daerah yangterutang tidak selalu ditempuh hanya menggunakan surat pem­beritahuan pajak daerah. Kadangkala pajak daerah yang terutangdapat ditagih dengan menggunakan surat ketetapan pajak daerahkurang bayar, dan atau surat ketetapan pajak daerah kurang bayartambahan. Dengan demikian, penerapan surat pemberitahuan pajakdaerah pada hakikatnya bahwa pajak daerah menganut pula sistemselfassessment. Hal ini dimaksudkan agar tidak melibatkan pejabatpajak yang mengelola pajak daerah dalam penentuan jumlah pajakdaerah yang terutang sehingga wajib pajak melakukan perhitungandan pelaporannya tepat sasaran.

Pengisian dan penyampaian surat pemberitahuan objek pajakwajib berpedoman pada tata cara pengisian dan pelaporan yangditetapkan oleh pejabat pajak yang mengelola pajak daerah. ]ikaterjadi penyimpangan pengisian maupun pelaporan surat pem­beritahuan objek pajak, surat pemberitahuan objek pajak dikategori­kan sebagai batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Hal ini sebagaikonsekuensi terhadap surat pemberitahuan objek pajak sebagaisarana hukum yang digunakan oleh wajib pajak untuk menyampai­kan dan melaporkan jumlah pajak daerah yang terutang kepadapejabat pajak yang mengelola pajak daerah.

137

A. Dasar Hukum

Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak yang hendak dilakukan agar tidakmenimbulkan polemik hukum di kalangan wajib pajak denganpejabat pajak, terlebih dahulu diketahui dan dipahami mengenaidasar hukum mengapa negara berkehendak memungut pajakkepada warganya. Pemungutan pajak oleh negara tanpa memilikidasar hukum yang sah, berarti negara melalui pejabat pajakmelakukan perampasan dan bahkan merupakan perampokan bagikekayaan warganya sebagai wajib pajak. Sebenarnya pemungutanpajak tidak boleh dilakukan oleh negara sebelum ada hukum yangmengaturnya karena negara Indonesia adalah negara hukum.

Awalnya, pengaturan pajak diatur dalam Pasal23 ayat (2) UUD1945 yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negarahams berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini mengandungkonsekuensi secara mendalam terhadap negara tatkala memerlukanpajak untuk membiayai tujuannya sebagaimana tercantum dalamalinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pajak yang diperlukan ituharus berdasarkan undang-undang, berarti pemungutan pajak yangtidak didasarkan pada undang-undang tidak boleh dilakukan.Sebenarnya Pasal23 ayat (2) UUD 1945 tersirat asas legalitas yang

Pembaruan Hukum Pajak136

Page 75: Buku Pembaruan Hukum Pajak

tidak membenarkan pemungutan pajak kalau belum ada undang­undang yang mengaturnya.

Setelah UUD 1945 diamendemen, Pasal23 ayat (2) UUD 1945

diganti dengan Pasal23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa pajakdan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara tegas

memisahkan antara pajak dengan pungutan lain yang bersifatmemaksa. Termasuk dalam pengertian pungutan lain yang bersifat

memaksa adalah retribusi, iuran, dan lain sebagainya. Di sampingitu, asas legalitas tetap ada bahkan dipertegas keberadaannya

sehingga negara dalam melakukan pemungutan pajak tidakbertentangan dengan dasar hukum yang menjiwainya.

Pada hakikatnya Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasarkonstitusional bagi negara untuk memungut pajak dan pungutan

lain yang bersifat memaksa kepada warganya termasuk warganegara asing yang bertempat tinggal atau berkedudukan di

Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan ataumemiliki hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi,serta memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat terhadap

bangunan, serta memperoleh peralihan hak atas tanah danbangunan. Ketentuan ini mengandung alasan pembenaran

pemungutan pajak oleh negara sehingga tidak dianggap melakukanperampasan atau perampokan kekayaan wajib pajak.

Undang-undang Pajak sebagai penjabaran ketentuan Pasal23ayat (2) UUD 1945 yang telah diubah dan diganti oleh Pasal23A

UUD 1945 merupakan dasar hukum yang bersifat operasionalpemungutan pajak, kecuali Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002

ten tang Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak tidak terkait dengan

pemungutan pajak, melainkan pengadilan pajak merupakan suatuLembaga Peradilan Pajak yang menyelesaikan sengketa pajak antarawajib pajak dengan pejabat pajak atau antara sesama wajib pajak.

Pemungutan pajak dilakukan oleh petugas pajak dalamIingkungan Direktorat Jenderal Pajak, kecuali bila ditentukan laindalam Undang-undang Pajak . Hal ini bukan merupakan suatu

penyimpangan, melainkan suatu pembenaran yang dapat diper­

tanggungjawabkan secara hukum karena pemungutan pajak tidakselalu dilakukan oleh petugas pajak, sepanjang Undang-undang

Pajak memberikan kekhususan kepada orang pribadi atau badan

untuk memungut pajak seperti halnya yang terjadi pada pernungut­

an Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah di

Iingkungan Departemen Dalam Negeri. Demikian pula pada PajakPenghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah yang dilakukan oleh pemotong atau pemungut pajakkarena UU KUP memberikan legitimasi untuk melakukanpemotongan atau pemungutan pajak. Sebenarnya yang paling

Dengan dernikian, tidak semua Undang-undang Pajak yang berlaku

merupakan dasar hukum yang bersifat operasional pemungutanpajak, tergantung dari substansi hukum yang dikandungnya.

Dalam pemungutan pajak terdapat asas bahwa yang berwenang

melakukan pemungutan pajak adalah negara yang tidak bolehdilimpahkan kepada pihak swasta. Hanya pemerintah termasuk

aparatnya selaku wakil negara yang berwenang melakukanpemungutan pajak, sedangkan pihak swasta tidak diperkenankan

atau dilarang melakukan pemungutan pajak karena masalah pajak

melibatkan rakyat sebagai wajib pajak pada umumnya untukmenyerahkan sebagian kekayaannya kepada negara sehingga tidakada ketentuan hukum yang berlaku, yang membolehkan pihak

swasta melakukan pemungutan pajak. Kecuali bila di masa men­datang terdapat pemikiran untuk melibatkan pihak swasta sebagaipemungut pajak. Maka, hal itu wajib ditetapkan terlebih dahuludalam Undang-undang Pajak dengan berbagai persyaratan untukitu ,

139BAB 7: Pemungutan PajakPembaruan Hukum Pajak138

Page 76: Buku Pembaruan Hukum Pajak

1. Berdasarkan Asas Sumber

B. Yurisdiksi Pemungutan Pajak

mendasar adalah dasar hukum yang memberi wewenang untukmelakukan pemungutan pajak sehingga bukan merupakan pelang­

garan hukum bagi yang melakukan pemotongan atau pemungut an

pajak.

141SAS 7: Pemungutan Pajak

Bangunan terjadi di Indonesia sehingga Indonesia berhak

memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. jenis pajakini bertujuan untuk mengatur perolehan hak atas tanah dan

bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan , baik

sebagai warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang

bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Dengan

demikian, penerapan asas sumber dalam pemungutan pajak sangatmemegang peranan penting dalam pengembangan hukum pajak

di masa mendatang.

2. Berdasarkan Asas Kewarganegaraan

Literatur yang berkaitan dengan hukum pajak menggunakan

istilah yang berbeda-beda, tergantung dari konteks yang lebih baik

dalam penggunaannya. Yurisdiksi pemungutan pajak berdasarkanasas kewarganegaraan dapat pula menggunakan istilah yurisdiksipemungutan pajak berdasarkan asas kebangsaan. Akan tetapi,

dalam pembahasan ini digunakan istilah asas kewarganegaraanuntuk menunjukkan betapa pentingnya asas kewarganegaraandaripada asas kebangsaan dalam pemungutan pajak.

Berdasarkan asas kewarganegaraan, yurisdiksi pemungutan

pajak dikenakan pajak bukan objek pajak, melainkan status ataukedudukan warga negara dari setiap orang pribadi yang berasal

dari negara yang mengenakan pajak. Walaupun orang pribadi yang

bersangkutan tidak bertempat tinggal atau berkedudukan pada

negara yang hendak melakukan pemungutan pajak, terhadap orang

pribadi itu yang merupakan warga negaranya, dilakukan pemungu­tan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya, untuk Indonesia

yang menganut asas kewarganegaraan, pemungutan pajak yangdilakukan bukan hanya warga negara yang bertempat tinggal atau

berkedudukan di Indonesia, tetapi termasuk pula yang bertempattinggal atau berkedudukan di luar Indonesia.

Pembaruan Hukum Pajak

r

Menurut yurisdiksi pemungutan pajak berdasarkan asas

sumber bahwa pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dengan

sumber ata u tempat objek pajak itu berada. ]ika objek pajak ituberada di negara Indonesis, negara Indonesia berwenang memungut

pajak kepada orang pribadi atau badan yang memiliki objek pajak

termaksud. Misalnya, terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan

yang berada di Indonesia, negara Indonesia memiliki kewenanganuntuk mengenakan dan memungut Pajak Bumi dan Bangunan bagi

wajib pajak yang memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat

atas objek pajak yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

Hal yang sama dapat pu la terjadi pada Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bang unan karena Perolehan Hak atas Tanah dan

Negara dalam melakukan pemungutan pajak terikat pada

yurisdiksi dari negara yang bersangkutan. Yurisdiksi adalah ruang

lingkup penggunaan wewenang untuk memungut pajak padawarganya maupun warga negara asing yang bertempat tingal atau

berkedudukan di negara tersebut sehingga tidak menimbulkanpembebanan berat bagi yang kena pajak. Secara tegas maupun

secara tersirat dalam hukum pajak diatur mengenai pengelompokanyurisdiksi pemungutan pajak. Pengelompokan yurisdiksi pemungu­

tan pajak tersebut bertujuan untuk menghindari pengenaan pajakyang bersifat ganda, baik nasional maupun internasional.

140

Page 77: Buku Pembaruan Hukum Pajak

3. Berdasarkan Asas Tempat Tinggal

Kebalikan dari yurisdiksi pemungutan pajak berdasarkan asaskewarganegaraan adalah yurisdiksi pemungutan pajak berdasarkan

asas tempat tinggal. Menurut yurisdiksi ini, pemungutan pajakdilakukan oleh negara berdasarkan tempat tinggal atau kedudukan

wajib pajak. Kewenangan negara memungut pajak pada wajib pajak

yang bertempat tinggal atau berkedudukan pada negara yang

bersangkutan. Konsekuensinya adalah segala objek pajak yangdimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak yang ber­

tempat tinggal atau berkedudukan pada negara yang bersangkutan

dikenakan pajak.

Sebagai contoh, warga negara Malaysia yang bertempat tinggalatau berkedudukan di Indonesia dengan memiliki, menguasai, atau

Asas kewarganegaraan ini diterapkan dalam UU PPh, yaitu

pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan kepada warga negaraIndonesia, baik yang bertempat tinggal atau berkedudukan di

Indonesia maupun yang berternpat tinggal atau berkedudukan diluar Indonesia. Ini berarti, hukum pajak mengikuti warga negaranya

di mana pun berada untuk dapat dikenakan Pajak Penghasilan.Sebagai bukti dalam UU PPh, bahwa wajib pajak orang pribadi

yang bertempat tinggal atau berkedudukan pada Kantor KedutaanIndonesia di Malaysia dikenakan Pajak Penghasilan karena Kantor

Kedutaan Indonesia di Malaysia merupakan wilayah teritorialIndonesia sebagai tempat atau kedudukan wajib pajak orang pribadi

menerima atau memperoleh penghasilan yang dapat dikenakanPajak Penghasilan. Terhadap wajib pajak orang pribadi tersebutberkewajiban mengisi secara benar, jelas, lengkap, dan ditanda­

tangani serta menyampaikan surat pemberitahuan, baik suratpemberitahuan masa maupun surat pemberitahuan tahunan kepadapejabat pajak yang telah ditentukan.

c. Sistem Pemungutan PajakBukan hanya yurisdiksi pemungutan pajak, tetapi Juga

mengenai sistem pemungutan pajak diatur dalam hukum pajak.Sistem pemungutan pajak tidak mengikat negara untuk diterapkan,

melainkan negara yang menentukan sistem pemungutan pajak yangdigunakan atau diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak.Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara dengan tidak

mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam berperan sertadi bidang pembiayaan negara dalam melakukan tugas yangdiembannya.

143BAB 7: Pemungutan Pajak

memanfaatkan objek Pajak Bumi dan Bangunan, dikenakan PajakBumi dan Bangunan. Demikian pula halnya terhadap warga negara

Singapura yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesiayang memperoleh atau mendapat penghasilan di Indonesia. Maka,

atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan. Atau warga

negara Ameriksa Serikat yang bertempat tinggal atau berkedudukandi Indonesia yang memiliki, menguasai, atau memanfaatkan hoteldi Indonesia. Maka, warga negara Amerika Serikat tersebut

dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Pengenaan Pajak Bumi dan

Bangunan karena hotel maupun tanah tempat berdirinya hoteltersebut merupakan objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana

dimaksud dalam UU PBB.

Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut di atas ternyatadiadopsi dalam rangka pemungutan pajak selama ini, baik terhadappajak langsung maupun pajak tidak langsung. Sebenarnya

pemungutan pajak terhadap pajak langsung maupun pajak tidaklangsung menggunakan kombinasi dari ketiga asas pemungutanpajak tersebut di atas, walaupun tidak secara tegas dinyatakandalam Undang-undang Pajak yang bersangkutan. Sebagai contoh,

pada UU PPh yang melakukan pemungutan pajak denganmenggunakan asas sumber dengan asas kewarganegaraan.

Pembaruan Hukum Pajak142

Page 78: Buku Pembaruan Hukum Pajak

1. Sistem Self Assessment

Sebenarnya sistern pemungutan pajak merupakan bagian darirata cara pemungutan pajak yang selama ini diatur dalam tiap-tiapUndang-undang Pajak. Walaupun banyak jenis pajak yang dipungutoleh negara, yang menentukan adalah tata cara bagaimana yangdigunakan oleh negara untuk melakukan pemungutan pajak . Tatacara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung darisistem pemungutan pajak yang digunakan. Sebenarnya, sistempemungutan pajak hanya bergantung pada kehendak negara untukmenerapkannya dalam tiap-tiap Undang-undang Pajak, sepanjanghal itu masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukum yangbersifat responsif.

Sistem pemungutan pajak yang selama ini dikenal dan diterap­kan dalam pemungutan pajak sebagaimana tercermin dalamUndang-undang Pajak, sebagai berikut.

Dalam sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yangtidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak, kecuali hanya memberi­kan pelayanan dengan cara bagaimana wajib pajak menggunakanhak tersebut. Sistem self assessment mengandung konsekuensiterhadap pejabat pajak dan wajib pajak dalam kaitan penerapannya.Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif.Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitung­kan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang.Keaktifan wajib pajak sangat dibutuhkan untuk memenuhikewajiban berupa mengisi secara benar, jelas, lengkap, danmenandatangani surat pemberitahuan, baik surat pemberitahuanmasa maupun surat pemberitahuan tahunan sebagai sarana hukumuntuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetorpajak yang terutang. Sebaliknya, pejabat pajak hanya sekadarmemberikan bimbingan agar wajib pajak memenuhi kewajiban dan

145SAS 7: Pemungutan Pajak

2. Sistem Official Assessment

Menurut sistem official assessment, pejabat pajak memilikiwewenang dalam menentukan jumlah pajak yang wajib dibayarlunas oleh wajib pajak. Campur tangan pejabat pajak dalampenentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak tidak dapatterhindarkan karena sistem ini menitikberatkan pada keterlibatanpejabat pajak dalam upaya menerbitkan ketetapan pajak yangberisikan utang pajak dan bahkan kalau perlu memuat sanksihukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak merupakaninisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek pajak yang diterima,dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak.

Penerapan sistem official assessment dalam Undang-undangPajak dapat dilihat pada UU PBByang memberi kepercayaan kepadapejabat pajak untuk menentukan pajak yang wajib dibayar lunasoleh wajib pajak terhadap objek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau

menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Sekalipun pejabat pajak hanya memberi bimbingan kepadawajib pajak untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya,kalau terjadi pelanggaran dalam pemenuhan kewajiban danmenjalankan hak, pejabat pajak berwenang mengenakan sanksihukum berdasarkan tingkat pelanggaran hukum yang dilakukanoleh wajib pajak. Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuanjumlah pajak yang terutang sebagai beban yang dipikul oleh wajibpajak, melainkan hanya mengarahkan cara bagaimana wajib pajakmemenuhi kewajiban dan menjalankan hak agar tidak terjadipelanggaran hukum. Penerapan sistem selfassessment dapat diternu­kan dalam Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, PajakPenjualan at as Barang Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, dan pajak daerah.

Pembaruan Hukum Pajak144

Page 79: Buku Pembaruan Hukum Pajak

3. Sistem Semi Self Assessment

dimanfaatkannya. Dalam kaitan ini, Rochmat Soemitro (1986;5)mengatakan bahwa pemerintah berpendapat, untuk sementara

waktu sistem self assessment belum dapat diterapkan secara penuh,mengingat tingkat pendidikan sebagian besar rakyat belum dapat

menerimanya. Akan tetapi, oleh DPR diusulkan supaya lambat laun

sistem ini diterapkan juga pada Pajak Bumi dan Bangunan.

Berdasarkan sistern semi selfassessment, ada kerja sama antara

wajib pajak dengan pejabat pajak untuk menentukan jumlah pajak

yang wajib dibayar lunas 01eh wajib pajak kepada negara. Wajibpajak pada awal tahun pajak menentukan sendiri jumlah pajak yangterutang untuk tahun berjalan sebagai angsuran yang disetor

sendiri. Pada akhir tahun pajak ditentukan kembali 01eh pejabatpajak yang sebenarnya berdasarkan data yang disampaikan olehwajib pajak. Pejabat pajak dalam hal ini, bertindak sebagai pengawas

terhadap wajib pajak untuk menilai sejauhmana kejujuran wajib

pajak untuk melaporkan jumlah pajak yang terutang.

Sistem semiselfassessment sebagai salah satu sistem pemungu­

tan pajak yang dikenal dalam hukum pajak, tetapi kenyataannya

tidak diterapkan dalam Und ang-undang Pajak. Sistem semi selfassessment memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan bahkan dapatmenimbulkan kompromi pajak antara wajib pajak dengan pejabat

pajak pada akhir tahun pajak . Kalau terjadi kompromi pajak, fungsi

pajak untuk mengisi kas negara mengalami hambatan atau kendala

sehingga hambatan perlu ditiadakan. Kegagalan fungsi pajak untukmengisi kas negara berarti kegagalan untuk membiayai pelaksanaan

tugas negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

serta makmur dalam. keadilan .

147BAB 7: Pemungutan Pajak

4. Sistem With Holding

Selain sistern selfassessment, sistem official assessment, dan sistem

semiselfassessment di kenal pula sistem withholding dalam pemungu­tan pajak . Sistem with holding memberi kepercayaan kepada pihak

ketiga untuk melakukan pemungutan pajak atas objek pajak yang

diterima atau diperoleh wajib pajak dalam kegiatan usaha atau

pekerjaannya. Dengan kata lain, pihak ketiga ditempatkan sebagaipihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak

tertentu dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak.

Sebenarnya wajib pajak dan pejabat pajak tidak boleh melakukanintervensi mengenai jumlah pajak yang dipotong atau dipungutoleh pihak ketiga karena Undang-undang Pajak memberikan

kepercayaan untuk melakukan pemotongan atau pemungutanpajak. Pejabat pajak hanya berwenang melakukan kontrol atau

pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan atau pemungutanpajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah ditentukan.

Penerapan sistem with holding dalam Undang-undang Pajak

dapat dilihat pada Pajak Penghasilan Pasal 21. Juga dalam PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang mewah dan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangun an, Bea Meterai, serta

Bea Masuk dan Cukai . Pemotongan atau pemungutan pajak yang

dilakukan oleh pihak ketiga pada Pajak Penghasilan Pasal21, Pajak

Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bea Meterai, serta Bea

Masuk dan Cukai tidak melibatkan pejabat pajak, melainkan atas

inisiatif pemotong atau pemungut pajak berdasarkan ketentuan

yang diatur dalam Undang-undang Pajak. Pemotong atau pemungutPajak tidak boleh melakukan pelanggaran hukum dalam melakukan

pemotongan atau pemungutan pajak, termasuk dalam melakukan

pelaporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada pejabat pajak.

Pembaruan Hukum Pajak146

Page 80: Buku Pembaruan Hukum Pajak

D. Pelimpahan Wewenang Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak negara tidak selalu dilakukan oleh petugas

pajak yang diangkat oleh pejabat pajak dalam lingkungan DitektoratIenderal Pajak, tetapi kadangkala dilakukan oleh pihak-pihak yang

khusus diangkat berdasarkan ketentuan hukum pajak yang ber­

laku. Pajak Bumi dan Bangunan sebagai pajak negara, yang

pemungutannya seyogianya dilakukan oleh petugas pajak dalam

lingkungan DirektoratJenderal Pajak, dilimpahkan kepada gubernur

kepala daerah dan/atau bupati/walikota. Pelimpahan wewenang

untuk memungut Pajak Bumi dan Bangunan didasarkan pada Pasal14 UU PBB yang menyatakan bahwa "Menteri Keuangan dapat

melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada gubernur kepala

daerah tingkat I dan/atau bupatilwalikotamadya kepala daerahtingkat Il." Kernudian, dalam penjelasannya dikatakan bahwa

"pelimpahan wewenang penagihan pajak kepada gubernur kepala

daerah tingkat I dan/atau bupati/walikotamadya kepala daerahtingkat II, bukan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak,

sedangkan pendataan objek pajak dan penetapan pajak yang

terutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan. Dalam haljumlah pajak yang terutang sebagaimana yang tercantum dalam

surat pemberitahuan pajak terutang tidak sesuai dengan objek pajak

di lapangan, pemungut pajak tidak dibenarkan mengubah jumlah

pajak yang terutang, tetapi harus melaporkan hal tersebut kepada

Menteri Keuangan, yang dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak."

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU PBB dan Penjelasannya,

ternyata wewenang untuk memungut Pajak Bumi dan Bangunantelah dilimpahkan kepada gubernur kepala daerah dan/atau bupati/

walikota. Pelimpahan wewenang itu tidak mencakup penagihan

Pajak Bumi dan Bangunan karena penagihan dengan pemungutanpajak memiliki substansi hukum yang berbeda. Penagihan pajaktertuju pada wewenang untuk menerbitkan surat pemberitahuan

E. Pembagian Hasil Pajak

149BAB 7: Pemungutan Pajak

Hasil pajak negara yang telah dipungut maupun ditagih dibagi

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengingatobjek pajak dan wajib pajak selaku pihak yang membayar pajakbertempat tinggal atau berkedudukan di daerah. Pembagian hasil

pajak terutang, surat ketetapan pajak, dan surat tagihan pajakterhadap Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang dan wewenang

ini berada pada pejabat pajak. Kernudian, pemungutan Pajak Bumidan Bangunan hanya tertuju pada kegiatan memungut pajak yang

dilakukan oleh petugas pajak. Dengan kata lain, tidak ada

pemungutan pajak tanpa didasarkan pada penagihan pajak daripejabat pajak karena pejabat pajak yang menerbitkan dasarpenagihan pajak, seperti surat pemberitahuan pajak terutang, surat

ketetapan pajak, atau surat tagihan pajak.

Pertimbangan dilimpahkannya wewenang pemungutan Pajak

Bumi dan Bangunan kepada gubernur kepala daerah atau bupati/walikota kepala daerah adalah karena memiliki aparat atau petugas

di tingkat kelurahan maupun desa. Aparat atau petugas tersebutmemiliki data yang lengkap ten tang objek Pajak Bumi dan Bangunanserta wajib Pajak Bumi dan Bangunan yang bertempat tinggal di

kelurahan atau desa tersebut.

Secara hukum, istilah "daerah tingkat I" dan "daerah tingkat

II" tidak ada lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 ten tang Pemerintahan Daerah. Pasal 14 UU PBB beserta

Penjelasannya harus ditinjau kembali untuk disesuaikan berdasar­kan perkembangan hukum yang berlaku. Begitu pula istilah

walikotamadya telah diganti dengan istilah walikota sebagai simbol

kepala pemerintahan wilayah administrati£ Hal ini dimaksudkan

agar UU PBB tetap dapat menyesuaikan perkembangannya dalam

menunjang pembangunan di daerah.

Pembaruan Hukum Pajak148

Page 81: Buku Pembaruan Hukum Pajak

pajak negara telah memperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan

Rakyat dengan Presiden yang ditetapkan dalam berbagai Undang­undang Pajak. Hal ini berarti hasil dari Pajak Negara telah dinikmatioleh rakyat di daerah dalam bentuk pembiayaan pemerintahan dan

pembangunan di daerahnya masing-masing. Hasil pajak negara

yang diserahkan kepada daerah melalui Dana Alokasi Umum(DAU) wajib dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah. Sebenarnya pencantuman tersebut bertujtian agar rakyat,

baik selaku wajib pajak maupun bukan wajib pajak dapat menge­

tahui adanya penyerahan hasil pajak negara kepada daerahnya.

Hasil pajak negara yang dapat dibagi adalah hasil dari Pajak

Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan. Sementara itu, yang belum dapat dibagiadalah hasil Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, tanpa pertimbangan yang jelas berdasarkan hukum.Seyogianya, hasil dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah dapat pula dibagi karena objek pajak yang bolehdikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah terdapat pula di daerah. Sebagai contoh, pengusaha kenapajak yan g bertempat ti nggal atau bertempat kedudukan diMakassar melakukan penyerahan barang kena pajak yang tergolong

barang mewah di Makassar sebagai daerah pabean. Maka, peng­

usah a kena pajak tersebut dikenakan pajak, baik Pajak PertambahanNilai maupun Pajak Penju alan atas Barang Mewah di Makassar.

Atau seseorang di Makassar melakukan impor barang kena pajak

yang terg olong barang mewah dari Amerika Serikat. Maka, yang

bersangkutan sel ain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai , jugadiken akan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Makassar.

Pembagian hasil Pajak Penghasilan antara pemerintah pusatdengan pemerintah daerah hanya yang terkait dengan Pajak

Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atau dipungut oleh pemberi

kerja. Tata cara pembagian ada lah 80% unt uk pemerintah pusatdan 20% untuk pemerintah daerah. Kemudian pembagian antara

pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentukperaturan pemerintah. Dalam hal ini masih terdapat campur tangan

pemerintah pusat untuk mengatur pembagian hasil dari Pajak

Penghasilan Pasal 21 yang diperoleh pemerintah daerah, baikpemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupa­ten/kota.

Sementara itu, pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunanantara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, didasarkanatas perimbangan sebesar 10% untuk pemerintah pusat dan sebesar

90% untuk pemerintah daerah setelah dikurangi sebesar 10%sebagai biaya pemungutan. Selanjutnya, dilakukan lagi pembagiansebesar 20% untuk pemerintah daerah provinsi dan 80% untuk

pemerintah daerah kabupaten/kota. Hasil pembagian itu sebagaipendapatan daerah yang setiap tahunnya ditetapkan dalamanggaran pendapatan dan belanja daer ah yang bersangkutan.

Kemudian, pembagian hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

dengan perimbangan sebesar 20% untuk pemerintah pusat dansebesar 80% untuk pemerintah daerah. latah sebesar 80% untuk

pemerintah daerah dibagi antara pemerintah daerah provinsi

dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. pemerintah daerah

provinsi memperoleh bagian sebesar 16% dari 80%, untuk

pemerintah daerah kabupaten/kota memperoleh bagian sebesar64% dari 80%.

Pembagian hasil pajak negara merupakan komitmen pemerin­

tah pusat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Apalagidengan otonomi daerah sebagai kehendak rakyat yang wajibdiupayakan agar terlaksana sebagaimana mestinya men gingat kalau

150 Pembaruan Hukum Pajak BAB 7: Pemungutan Pajak 151

Page 82: Buku Pembaruan Hukum Pajak

152 Pembaruan Hukum Pajak 153

dari hasil pajak daerah yang diharapkan, pernerintah daerah tidakrnarnpu rnelaksanakan otonorni daerah, kecuali daerah tertentusaja yang rnerniliki surnber daya rnanusia dan surnber daya alarnyang sangat potensial dapat diolah secara rnaksirnal untukrnenutupi kekurangan pernbiayaan yang dihadapi oleh daerah yangbersangkutan.

Utang Pajak

A. Pendahuluan

Pada hakikatnya, istilah utang pajak tidak berbeda dengan pajakyang terutang sebagai suatu kewajiban yang wajib dibayar lunasoleh wajib pajak dalarn jangka waktu yang ditentukan. Kedua istilahtersebut dapat dilihat dalarn berbagai literatur yang terkait denganhukum pajak. Di samping itu, ditemukan pula pada penggunaannyayang berbeda dalam Undang-undang Pajak, khususnya pada UUKUP dan UU PPDSP.

Istilah utang pajak digunakan dalam UU PPDSP denganpen gerti an bahwa utang pajak adalah pajak yang masih harusdibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, ataukenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau suratsejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan .Sementara itu, istilah pajak yang terutang digunakan dalam UUKUP dengan pengertian bahwa pajak yang terutang adalah pajakyang harus dibayar pad a suatu saat, dalam masa pajak, dalamtahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan keten­tuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Page 83: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Kedua pengertian mengenai utang pajak tersebut memiliki

perbedaan secara prinsipil. Akan tetapi, perbedaannya tidak

merupakan suatu perluasan pengertian utang pajak, melainkanhanya ketidaksesuaian antara UU KUP dengan UU PPDSP. Kalau

terjadi semacam ini, dalam penerapannya digunakan asas hukum

yang mengatakan bahwa aturan khusus mengesampingkan aturanyang umum (lex specialis derogat legi generali) .

Penggunaan asas hukum tersebut wajib dimaklumi bahwa UU

KUP merupakan suatu "ketentuan-ketentuan umum" yang menjadi

dasar bagi Undang-undang Pajak lainnya, termasuk UU PPDSP

sebagai "ketentuan-ketentuan khusus" mengenai penagihan pajak

dengan menggunakan surat paksa. Asas hukum ini perlu dikem­

bangkan untuk memberi pemahaman bagi wajib pajak maupun

pejabat pajak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkait

dengan penagihan pajak sebagai bagian dari penegakan hukum

pajak. Hakikat yang terkandung dalam UU KUP memuat ketentuan­

ketentuan yang bersifat umum tentang penagihan pajak, sedangkan

UU PPDSP memuat ketentuan-ketentuan khusus tentang penagi­han pajak yang terkait dengan surat paksa.

Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian

utang pajak dengan pajak yang terutang, disarankan yang paling

tepat digunakan adalah pengertian utang pajak yang terdapat pada

Pasal 1 angka 8 UU PPDSP. Pertimbangannya adalah lebih luas

cakupannya dibandingkan dengan pengertian utang pajak sebagai­

mana dimaksud dalam UU KUP karena memasukkan sanksi

.administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan sebagai bagian

dari utang pajak, berarti tidak hanya pajak yang kurang terbayar

melainkan termasuk pula sanksi administrasi itu sendiri. Utang

pajak dengan pajak yang terutang dapat disinkronisasikan men­

jadi satu kesatuan dalam suatu pengertian yang mengandung

substansi hukum yang sangat luas jangkauannya agar tidakmembingungkan wajib pajak dalam pelaksanaannya.

Dalam keterkaitan ini, menurut R. Santoso Brotodihardjo

(1995; 109), sifat utang pajak pelunasannya dapat dipaksakan secara

langsung dengan cara-cara yang dilindungi oleh hukum pajak.

Misalnya, penyitaan yang disusul dengan penjualan barang-barang

itu di muka urnum, bahkan paksaan badan yang dinamakan

penyanderaan (gijzeling) memang sangat diperlukan, yaitu merata­

kan beban sehingga dapat dirasakan keadilannya oleh masyarakat.

]adi, dengan cara memaksa negara memikulkan kewajiban kepada

wajib pajak untuk menyerahkan sebagian kekayaannya. Dengan

demikian, timbullah suatu kewajiban yang konkret untuk melaku­

kan suatu prestasi kepada negara. Lain perkataan, kini timbullah

suatu perikatan yang berdasarkan undang-undang.

B. Timbulnya Utang Pajak

Mengenai timbulnya utang pajak terdapat perbedaan pendapatatau persepsi di kalangan ahli hukum pajak karena sudut pandang

yang dijadikan sebagai pokok bahasan yang berbeda pula. Perbedaan

itu sebagai wacana terbaik dalam perkembangan hukum pajak di

masa kini maupun di masa mendatang. Perbedaan pendapat atau

persepsi mengenai timbulnya utang pajak dikategorikan sebagai

salah satu sumber hukum pajak yang berada pada tataran doktrin

di kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat tersebut diterima

sebagai suatu perkembangan positif di bidang perpajakan.

Lebih lanjut, dikatakan oleh R. Santoso Brotodihardjo

(1995; 113) bahwa timbulnya utang pajak tidaklah selalu dinyatakan

dengan jelas di dalam undang-undangnya, pada saat manakah

terjadi suatu utang pajak, melainkan dicurahkannyalah semua

perhatian kepada timbulnya keharusan untuk membayarnya.

Demikian itu adalah karena dalam praktik sehari-hari, saat yang

disebut ini jauh lebih penting. Begitu pula yang dikatakan oleh

RochmatSoemitro (1988;1-2) bahwa utangpajakadalah utangyang

155BAB 8: Utang PajakPembaruan Hukum Pajak1')·\

Page 84: Buku Pembaruan Hukum Pajak

156 Pembaruan Hukum Pajak BAB 8: Utang Pajak 157

timbulnya secara khusus, karena negara (kreditor) terikat dan tidakdapat memilih secara bebas, siapa yang akan dijadikan debiturnya.Hal ini terjadi karena utang pajak timbul karena undang-undang.

Kapan timbulnya utang pajak merupakan kajian dari hukumpajak untuk menentukannya, tetapi dalam hal ini terdapat dua teoriyang membicarakannya, yakni teori materil dan teori formi!. Keduateori ini sangat memperoleh perhatian di kalangan ahli hukum pajakuntuk dikaji berdasarkan hukum pajak sehingga boleh menunjangpengembangan hukum pajak di masa kini dan mendatang. Teorimateril dan teori formil mempersoalkan bagaimana cara timbulnyautang pajak, apakah karena bunyi Undang-undang Pajakatau karenatindakan pejabat pajak.

1. Teori Materil

Prof. P.]. Adriani (dalam R. Santoso Brotodihardjo, 1995;114)sebagai pelopor dari teori materil mengatakan bahwa utang pajaktimbul karena telah memenuhi syarat tatbestand yang terdiri darikeadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, atau perbuatan-perbuatan tertentusehingga tidak memerlukan campur tangan pejabat pajak untukmenerbitkan surat ketetapan pajak. Keberadaan surat ketetapanpajak hanya sekadar untuk melakukan penagihan pajak dan tidakmenimbulkan utan g pajak .

Surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh pejabat pajakbukan yang menimbulkan utang pajak, melainkan hanya karenamemenuhi syarat tatbestand yang terdapat dalam Undang-undangPajak. Sekalipun utang pajak timbul bukan karena surat ketetapanpajak, surat kete tapan pajak tetap memiliki fungsi menurut teoriini. Berdas arkan teori ma teril, surat ketetapan pajak memilikifungsi, yaitu:

a. dasar penagihan pajak; dan

b. rnenentukan jumlah utang pajak.

Dalam kaitan ini, Rochmat Soemitro (1988;3) mengemukakanbahwa kalau kita menganalisis lebih lanjut, teori materil itumengelompokkan bahwa utang pajak timbul karena Undang­undang Pajak sendiri. Utang pajak menurut dasar itu timbul dengansendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh Undang-undangPajak (Pajak Penghasilan pada akhir tahun), sekalipun dipenuhisyarat-syarat subjektif dan syarat-syarat objektif. Arti "dengansendirinya" yaitu untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukancampur tangan atau perbuatan hukum dari pejabat pajak, asalsyarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang Pajaktelahterpenuhi. Utang pajak terhadap pajak langsung lazimnya timbulsecara periodik pada saat yang berlainan. Kelemahan teori materilini adalah pada saat utang pajak itu timbul, tidak diketahui denganpasti, atau belum diketahui dengan pasti berapa besarnya utangpajak karena kebanyakan wajib pajak tidak memahami danmenguasai ketentuan Undang-undang Pajak sehingga kurangmampu menerapkannya.

Kalau dikaji teori materil secara mendalam pendapat ke dalamUndang-undang Pajak, terkait dengan Pasal 12 ayat (1) UU KUP.Menurut ketentuan ini, setiap wajib pajak wajib membayar pajakyang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanyasurat ketetapan pajak. Kernudian, dalam penjelasannya dikatakanbahwa pada prinsipnya pajak yang terutang pada saat timbulnyaobjek pajak yang dapat dikenakan pajak, namun untuk kepentinganadministrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:

a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong olehpihak ketiga;

b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yangdipotong oleh pemberi kerja atau yang dipungut oleh pihaklain atau kegiatan usaha, atau oleh pengusaha kena pajak atau

Page 85: Buku Pembaruan Hukum Pajak

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah;

c. pada akhir tahun pajak, untuk Pajak Penghasilan.

[umlah pajak terutang yang telah dipotong, ataupun yang harusdibayar sendiri oleh wajib pajak setelah tiba saat atau masapelunasan pernbayaran, oleh wajib pajak wajib disetor ke kas negaramelalui kantor pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atauBank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yangditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sebenarnya pejabat pajak tidakberkewajiban menerbitkan surat ketetapan pajak atau semua suratpemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak. Terbitnya suatusurat ketetapan pajak hanya terbatas pada wajib pajak tertentu yangdisebabkan oleh ketidakberesan dalam pengisian surat pernberi­tahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkanoleh wajib pajak.

Saat timbulnya utang Pajak Penghasilan, yakni pada saatpenghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dikenakanpajak. Untuk kepentingan administrasi perpajakan, saat terutang­nya pajak penghasilan adalah: 1) pada suatu saat; 2) pada akhirmasa; dan 3) pada akhir tahun. Wajib pajak yang bersangkutanwajib membayar lunas utang pajaknya sebelum pejabat pajakmelakukan penagihan pajak. Kernudian, saat timbulnya utang PajakPertambahan Nilai, yakni pada saat pengusaha kena pajakmelakukan kegiatan usaha atau pekerjaan yang dapat dikenakan

pajak, seperti:

a. penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean;

b. impor barang kena pajak;

c. penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean;

d. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerahpabean di dalam daerah pabean;

e. pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam

daerah pabean;

f. ekspor barang kena pajak.

Mengenai saat timbulnya utang Pajak Penjualan atas BarangMewah, yakni pada saat penyerahan barang kena pajak yangtergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha kena pajakyang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong barang mewahdi dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.Atau siapa pun yang melakukan impor barang kena pajak yangtergolong barang mewah, baik dilakukan secara terus-menerus

maupun hanya sekali saja.

Juga teori materil dianut pula pada Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (1)

UU BPHTB bahwa "wajib pajak wajib membayar pajak yangterutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapanpajak." Oleh karena itu, saat timbulnya utang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan untuk:

a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;

b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani­

nya akta:

c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan

peralihan haknya ke kantor pertanahan;

e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah

sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak

tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta:

g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan lelang;

h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yangmempunyai kekuatan hukum yang tetap;

158 Pembaruan Hukum Pajak BAB 8: Utang Pajak 159

Page 86: Buku Pembaruan Hukum Pajak

1. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan men­daftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan;

j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari

pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatanganinya danditerbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah tanggal

ditandatanganinya dan diterbitkannya surat keputusanpemberian hak;

1. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda­tanganinya akta:

m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda­tanganinya akta:

n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda­tanganinya akta:

o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Demikian pula halnya terhadap pajak daerah yang menganutteori materil sebagaimana yang tersirat dalam ketentuan Pasal 7

ayat (1) UU PDRD bahwa pajak dibayarsendiri oleh wajib pajak. Ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) UU PDRD

menunjukkan bahwa pajak yang terutang tidak melibatkan pejabatpajak untuk menentukannya. Sebenarnya timbulnya utang pajak

daer ah karena UU PDRD yang menentukannya, bukan perbuatanhukum dari pejabat pajak.

Secara tegas dika ta kan bahwa Pajak Pen ghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak da erah

menganut teori materil tentang timbulnya utang pajak. Berartidalam hukum pajak, telah dikurangi keterlibatan pejabat pajakuntuk menentukan utang pajak, baik Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak

2. Teori Formil

Teori formil tentang timbulnya utang pajak merupakan kebali­kan dari teori materil. Teori formil dipelopori oleh Mr. Steinmetz

(dalam R. Santoso Brotodirdjo, 1995; 114) yang mengatakan bahwatimbulnya utang pajak bukan karena Undang-undang Pajak.Walaupun telah dipenuhi tatbestand, karena pejabat pajak belum

161BAB 8: Utang Pajak

Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,serta pajak daerah. Sekalipun telah berkurang keterlibatannya, tidak

berarti bahwa pejabat pajak tidak berperan dalam penegakan hukum

pajak dan memberiperlindungan hukum kepada wajib pajak.

Bagaimana halnya terhadap Undang-undang Pajak yang tidak

secara tegas mengatur ketentuan yang sama halnya dengan

ketentuan yang terdapat dalam Pasal12 ayat (1) UU KUp, Pasa110ayat (1) UU BPHTB, dan Pasa17 ayat (1) UU PDRD dapat dikelom­

pokkan sebagai yang menganut teori materil, misalnya UU BM,

UU KPB, dan UU CK. Berdasarkan kajian hukum pajak, UU BM.UU KPB, dan UU CK menganut pula teori materil ten tang

timbulnya utang pajak. Artinya, teori materil tentang timbulnyautang pajak dianut pula oleh Bea Materai, Bea Masuk, dan Cukai.

Sebenarnya teori materil tentang timbulnya utang pajakmemberi keringanan tugas pejabat pajak dalam melakukanpengawasan terhadap wajib pajak untuk memenuhi kewajiban dan

menjalankan hak-haknya sebagaimana yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan. Pejabat pajak,berdasarkan teori materil tentang timbulnya utang pajak, hanya

bertugas melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajibpajak. Tatkala dalam melakukan pemeriksaan ternyata ditemukan

ketidakpatuhan wajib pajak, pejabat pajak berwenang menjatuhkansanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan atas jumlah

pajak yang terutang.

Pembaruan Hukum Pajak160

Page 87: Buku Pembaruan Hukum Pajak

menerbitkan surat ketetapan pajak, belum timbul utang pajak.

Sebenarnya menurut teori formil, utang pajak timbul karena

perbuatan hukum dari pejabat pajak yang menerbitkan surat

ketetapan pajak terhadap wajib pajak. Berdasarkan teori formil

tentang timbulnya utang pajak, surat ketetapan pajak memiliki

fungsi yang di antaranya:

a. menimbulkan utang pajak;

b. dasar penagihan pajak ;

c. menentukan jumlah pajak yang terutang.

Terkait dengan teori formil, menurut Rochmat Soemitro

(1988;3) , utang pajak timbul karena Undang-undang Pajak pada

saat pejabat pajak menerbitkan surat ketetapan pajak. ]adi, selama

belum ada surat ketetapan pajak, belum ada utang pajak, walaupun

syarat-syarat subjektif dan syarat-syarat objektif serta waktu telah

terpenuhi . Keuntungan teori formil adalah pada saat utang pajak

timbul karena yang menentukan besarnya pajak itu adalah pejabat

pajak yang menguasai ketentuan-ketentuan Undang-undang Pajak.

Kelemahan teori formil ini ialah bahwa besar sekali kemungkinan­

nya utang pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya dan bahwa teori formil ini tidak dapat diterapkan

terhadap pajak tidak langsung karena pajak tidak langsung tidak

menggunakan surat ketetapan pajak.

Teori formil ten tang timbulnya utang pajak hanya diterapkan

dalam Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB, bahwa "tahun pajak yang

digunakan adalah jangka waktu satu tahun takwim", sedangkan

"saat yang menentukan utang pajak adalah menurut keadaan objek

pajak pada tanggal 1 ]anuari" . Kemudian, dalam penjelasan

ketentuan Pasal8 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB, ditentukan bahwa

"jangka waktu 1 (satu) tahun takwim adalah dari 1]anuari sampai

dengan 31 Desernber" dan "karena tahun pajak dimulai pada

C. Berakhirnya Utang PajakSebagaimana telah dikemukakan bahwa timbulnya utang pajak

bukan hanya telah dipenuhinya tatbestand, tetapi juga karena

perbuatan hukum pejabat pajak. Perbu atan hukum yang dilakukan

163BAB 8: Utang Pajak

tanggal 1 ]anuari, keadaan objek pajak pad a tanggal tersebut

merupakan yang menentukan pajak yang terutang" . Sebagai contoh,

adalah:

a. objek pajak pada tanggal 1 ]anuari 2005 berupa tanah dan

bangunan, pada tanggall 0 ]anuari 2005 bangunannya terbakar

maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek

pajak pada tanggal 1 ]anuari 2005, yaitu keadaan sebelum

bangunan tersebut terbakar;

b. objek pajak pada tanggall ]anuari 2005 berupa sebidang tanah

tanpa bangunan di atasnya. Pada tanggal 10 ]anuari 2005

dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah

berdiri suatu bangunan, pajak yang terutang untuk tahun 2005

tetap dikenakan pajak berdasarkam keadaan pada tanggal 1

]anuari 2005. Sementara itu, bangunannya baru dikenakan

pajak pada tahun 2006.

Kemudian, pada ketentuan Pasalll ayat (1) UU PBBditegas­

kan "pajak yang terutang berdasarkan surat pemberitahuan pajak

terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib

dibayar lunas selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal

diterimanya surat pemberitahuan pajak terutang oleh wajib pajak. "

Keterlibatan pejabat pajak dalam menentukan utang Pajak Bumi

dan Bangunan, menunjukkan suatu kepastian hukum bahwa Pajak

Bumi dan Bangunan menganut teori formil. Sementara itu,

substansi hukum yang terkandung dalam Pasal8 ayat (1) dan ayat

(2) UU PBB hanya sekadar untuk menentukan tahun pajak dan

saat timbulnya utang Pajak Bumi dan Bangunan.

Pembaruan Hukum Pajak162

Page 88: Buku Pembaruan Hukum Pajak

164 Pembaruan Hukum Pajak BAB 8: Utang Pajak 165

oleh pejabat pajak ters ebut adalah menerbitkan surat ketetapanpajak atau surat tagihan pajak sebagaimana ditentukan dalamUndang-undang Pajak. Demikian pula halnya bagi berakhirnyautang pajak karena berbagai sarana hukum yang tersedia dalamUndang-undang Pajak. UU KUP maupun Undang-undang Pajaklainnya menetapkan berbagai cara yang dilakukan untuk mengakhiriutang pajak, misalnya pembayaran , pembayaran dengan cara lain,kompensasi, peniadaan, pembebasan, dan kedaluwarsa.

1. Pembayaran

Pembayaran secara lunas dalam bentuk sejumlah uang yangdilakukan oleh wajib pajak, penanggung pajak, atau kuasahukumnya merupakan faktor yang menyebabkan berakhirnya utangpajak. Sebagaimana ditegaskan oleh Rochmat Soemitro (1988;45),yang diwajibkan membayar utang pajak adalah wajib pajak, yaknisubjek pajak yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Akantetapi, pembayaran pajak dapat pula dilakukan oleh pihak ketigayang tidak berkepentingan dengan ketentuan bahwa pihak ketigatersebut bertindak atas nama wajib pajak (bahkan tidak perlu adapersetujuan atau surat kuasa khusus dari wajib pajak, karenamenguntungkan wajib pajak/tidak merugikan wajib pajak) denganmaksud untuk membebaskan wajib pajak dari perikatan pajak.

Pembayaran adalah perbuatan hukum yang dilakukan olehwajib pajak, penanggung pajak, atau kuasa hukumnya untukmengakhiri utang pajaknya dengan cara membayar dalam bentuksejumlah uang ke kas negara. Dalam hubungan ini SantosoBrotodihardjo (1995;125) mengemukakan bahwa dalam hubungandengan hukum pajak yang dimaksud ialah pembayaran dengan matauang, bahkan lebih tegas lagi, dengan mata uang dari negara yangmemungut pajak ini, jadi untuk negara kita dengan rupiah karenajumlah uang pajak ditentukan dalam mata uang rupiah pula. ]adi,

jika ada utang pajak dibayar dengan uang asing (seperti halnya diNederland dibayar kepada pejabat pajak Indonesia dengan uanggulden), ini harus ditafsirkan bahwa pejabat pajak telah berkenanmengizinkan demikian. Perlu ditekankan bahwa pembayaran untukmelunasi utang pajak ini harus dilakukan di kas negara dan tidak

boleh pada pejabat pajak, termasuk petugas pajak lainnya.

UU KUP secara tegas mengatur bahwa pajak dapat dibayarlunas melalui pos wesel dan jika hal ini dilakukan, menurutRochmat Soemitro (1988;44-45), wajib diperhatikan hal-hal sebagaiberikut. Pos wesel wajib dialamatkan kepada Kepala Kantor KasNegara, dan dalam pos wesel wajib dengan jelas disebut nama,alamat, dan nomor pokok wajib pajak, jenis dan tahun pajak,besarnya pembayaran pajak. Pembayaran pajak melalui pos weselyang dialamatkan kepada pejabat pajak adalah tidak benar karenapejabat pajak dilarang dan tidak berhak menerima pembayaranpajak dalam bentuk apa pun. Lebih lanjut dikatakan oleh RochmatSoemitro (1988;45-46) bahwa pembayaran lazimnya dilakukan olehdebitur (wajib pajak yang bersangkutan) . Dalam pajak langsung,dilakukan oleh wajib pajak yang namanya tercantum pada suratketetapan pajak. Utang pajak tidak langsung, seperti PajakPertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, BeaMeterai, Bea Masuk dan Cukai pembayarannya wajib dilakukanoleh wajib pajak yang ditentukan oleh Undang-undang Pajak (tanpadiketah ui siapa namanya) seperti pengguna dokumen danpengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kenapajak atau pemberi jasa kena pajak, yang selanjutnya diberi hakoleh Undang-undang Pajak untuk melimpahkan pajak (yang telahdibayar itu) kepada pihak ketiga (pembeli atau konsumen) . ]adi,dalam pajak tidak langsung, pembayaran pajak harus diartikan lebihlanjut, yaitu siapa yang bertanggung jawab atas pembayarannya(arti nya dikenakan denda apabila pajak tidak dibayar) dan siapayang akhirnya harus memikul beban pajak. ]adi, dalam pajak tidak

Page 89: Buku Pembaruan Hukum Pajak

langsung, orang yang membayar pajak/yang menanggung pem­bayarannya, dan orang yang memikul pajaknya, terdapat pada duaorang yang berlainan. Sementara itu, dalam pajak langsung, baikyang membayar/menanggung pajak dan orang yang memikulbeban, ada pada satu orang yang sama.

2. Pembayaran dengan Cara Lain

Pelunasan pajak tidak selalu dilakukan dengan cara membayardalam bentuk uang, tetapi Undang-undang Pajakmemperkenankanpembayaran dengan cara lain. Dalam ani, pembayaran yangdigunakan oleh wajib pajak bukan dalam bentuk uang melainkandengan cara suatu perbuatan hukum yang diperkenankan dalamhukum pajak . Dengan demikian, pembayaran dengan cara lain(tidak menggunakan uang sebagai alat bayar) tidak merupakansuatu pelanggaran hukum karena diperkenankan oleh Undang­undang Pajak.

Sebagaimana dikatakan oleh Rochmat Soemitro (1988;58),pembayaran pajak dalam bentuknatura pada masa kini tidak lazimlagi. Pembayaran pajak tidak selalu dilakukan dengan membayarsejumlah uang ke kas negara. Ada cara pembayaran lain, sepertiterdapat pada UU BM. Dalam UU BM, pajak tidak dibayar dengansejumlah uang, melainkan dengan menggunakan kertas meteraiatau meterai tempel sesuai dengan ketentuan yang diatur dalamUU BM.Ketentuan dalam UU BMmen entukan bagaimana caranyamenggunakan kertas meterai atau meterai tempel itu sehinggakertas meterai atau meterai tempel itu setelah dipakai tidak lagidapat dipakai untuk kedua kalinya.

Kemudian, dikatakan lagi oleh Rochmat Soemitro (1988;59)bahwa cara lain lagi ialah "nazegeling" atau "perneteraian kembali",untuk dokumen/tanda yang ternyata besarnya tidak atau kurangdibayar dengan menunjukkan dokumen itu kepada pegawai kantor

pos untuk dibubuhi meterai, yang kemudian dicap dengan stempelkantor pas . Pada pemeteraian kembali itu , denda yang terutanguntuk pelanggaran itu harus sekalian dibayar, kalau tidak pegawaikantor pos tidak akan melakukan "nazegeling" tersebut.

167SAS 8: Utang Pajak

3. Kompensasi

Hukum pajak mengenal pula cara lain untuk berakhirnya utangpajak dalam bentuk kompensasi, yang dilakukan oleh wajib pajakdengan pejabat pajak selaku penagih pajak . Kelebihan pembayaranpajak dapat terjadi karena berbagai hal, seperti perubahan Undang­undang Pajak, kekeliruan pembayaran, adanya pemberianpengurangan, dan sebagainya. Oleh karena itu, kelebihan pem­bayaran pajak merupakan hak wajib pajak dan dapat dikreditkan.Setelah wajib pajak memperhitungkan kredit pajak dengan utangpajak yang timbul, ternyata terdapat kelebihan pembayaran pajakyang dapat dikompensasi dengan utang pajak yang timbul di masamendatang.

Kredit pajak dalam UU PPh terjadi karena kelebihan pem­bayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh wajib pajak. KreditPajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajakditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihanpajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak ataukurang dibayar ditambah dengan pajak yang dipotong ataudipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayaratau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalianpendahuluan kelebihan pajak, dikurangkan dari pajak yang terutang.Kredit pajak yang terjadi pada Pajak Penghasilan yang dapatdikompensasi dengan utang pajak yang timbul dari Pajak Peng­hasilan adalah:

a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan;

b. pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha;

Pembaruan Hukum Pajak166

Page 90: Buku Pembaruan Hukum Pajak

168 Pembaruan Hukum Pajak BAB 8: Utang Pajak 169

c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen,royalti, sewa, dan imbalan lainnya;

d. pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri;

e. pemotongan pajak atas penghasilan yang bersumber diIndonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak Iuar negeriselain bentuk usaha tetap.

Kemudian, kredit pajak yang terkait dengan Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak masukanyang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalianpendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajakyang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yangterutang. Kredit pajak yang terjadi pada Pajak Pertambahan Nilaidan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat dikompensasidengan utang pajak, apabila pajak masukan Iebih besar daripadapajak keluaran dalam suatu masa. Pajak masukan adalah PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yangsudah dibayar oIeh pengusaha kena pajak karena perolehan barangkena pajak dan atau penerima jasa kena pajak dan atau pemanfaatanbarang kena pajak tidak bewujud dari Iuar daerah pabean dan ataupemanfaatan jasa kena pajak dari Iuar daerah pabean dan atau imporbarang kena pajak.

Kompensasi sebagai upaya untuk mengakhiri utang pajak wajibdiajukan oIeh wajib pajak kepada pejabat pajak mengingatkompensasi hanya dapat dilakukan kalau terdapat kelebihanpembayaran pajak dengan utang pajak yang timbul pada tahun pajakyang berjalan atau pada tahun pajak di masa depan. Utang pajaktidak boleh dikompensasikan dengan utang biasa karena utangpajak berada dalam konteks hukum publik, sedangkan utang biasaberada dalam konteks hukum privat. Sebagai contoh, wajib pajak"Ali Baba" memiliki utang Pajak Penghasilan pada tahun 2005sebanyak Rp750.000.000,00, tetapi sebaliknya memiliki tagihan

kepada negara sebanyak Rp750 .000.000,00 karena telah menyerah­kan barang-barang kepada negara. Dalam haI ini kompensasi tidakdilarang karena negara berutang dalam kapasitasnya tunduk padahukum privat, sedangkan wajib pajak berutang pada negara tundukpada hukum pajak sebagai bagian hukum publik.

4. Peniadaan

Peniadaan juga merupakan cara untuk mengakhiri utang pajak,sebagaimana dikatakan oIeh Rochmat Soemitro (1988;49-50)bahwa peniadaan sebagai upaya untuk mengakhiri utang pajakdikenaI dalam hukum pajak. Pajak yang terutang hanya dapatditiadakan karena alasan tertentu, umpamanya karena sawah kenamusibah bencana alam (banjir, serangan hama, dan sebagainya)atau karena dasar penetapannya tidak benar. Dengan peniadaanutang ini, perikatan pajak menjadi berakhir sehingga wajib pajaktidak Iagi mempunyai kewajiban membayar pajak yang terutang.

Dalam konteks ini, wajib pajak sangat diharapkan berperanserta untuk memohon kepada pejabat pajak agar utang pajak yangdimiliki boleh ditiadakan dengan pertimbangan-pertimbangan yangdapat diterima oIeh pejabat pajak. Tatkala permohonan dikabulkan,wajib pajak tidak Iagi memiliki utang pajak atau hanya sebagianyang harus dibayar karena pengurangan tidak secara keseluruhan.Peniadaan utang pajak hanya dapat terjadi karena berdasarkanpermohonan wajib pajak yang dikabulkan oIeh pejabat pajak dapat

berupa sebagai berikut.

a. Peniadaan sebagian utang pajak adalah perbuatan hukum oIehpejabat pajak untuk melakukan pengurangan atas sejumlah

utang pajak yang seyogianya dibayar.

b. Peniadaan secara keseluruhan utang pajak adalah perbuatanhukum oIeh pejabat pajak untuk meniadakan seluruh utangpajak yang seharusnya dibayar.

Page 91: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Tata cara peniadaan utang dan penetapan besarnya peniadaanutang pajak akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan .Walaupun pejabat pajak berwenang meniadakan utang pajak, tetapberpedoman pada tata cara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.Hal ini berarti bahwa pejabat pajak tidak boleh melakukan ataumengambil kebijakan lain, selain yang telah ditentukan oleh MenteriKeuangan. Peniadaan utang pajak yang dilakukan oleh pejabat pajak,seyogianya berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yangtelah ditentukan dalam Undang-undang Pajak.

Pertimbangan-pertirnbangan yang digunakan oleh pejabatpajak untuk meniadakan utang Pajak Penghasilan sebagaimanaditentukan dalam UU PPh adalah sebagai berikut.

a. Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan hartawarisan dan tidak mempunyai ahli waris.

b. Wajib pajak menghilang sehingga tidak dapat ditemukan.

c. Wajib pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi (pailit) .

Kemudian, pertimbangan-pertirnbangan yang digunakan olehpejabat pajak untuk meniadakan utang Pajak Bumi dan Bangunansebagaimana ditentukan dalam UU PBB adalah:

a. karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannyadengan wajib pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentulainnya. Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannyadengan wajib pajak, yang dapat berupa;

1) lahan pertanian yang sangat terbatas;

2) lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai konsekuensiperubahan lingkungan dan dampak positif pembangunanserta yang pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntuk­kannya, dan;

3) bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai ataudimiliki oleh wajib pajak;

b. dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain

yang luar biasa, seperti;

1) gempa bumi, banjir, tanah longsor, atau:

2) sebab lain yang luar biasa, misalnya kebakaran, kekeringan,wabah penyakit tanaman, dan hama tanaman lainnya.

Demikian pula mengenai pertimbangan-pertimbangan yang

digunakan oleh pejabat pajak untuk meniadakan utang BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Pasal20 ayat(1) UU BPHTB dan Penjelasannya, adalah sebagai berikut.

a. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan

objek pajak

Contoh:

1) wajib pajak tidak mampu secara ekonomis memperolehhak baru melalui program pemerintah di bidang perta­

nahan;

2) wajib pajak orang pribadi menerima hibah dari orangpribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalamgaris keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat

ke bawah.

b. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab­

sebab tertentu

Contoh:

1) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melaluipembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti

ruginya di bawah nilai jual objek pajak;

2) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagaipenggantian atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintahuntuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan

khusus;

170 Pembaruan Hukum Pajak BAB 8: Utang Pajak 171

Page 92: Buku Pembaruan Hukum Pajak

172

Ketentuan yang mengatur ten tang pembebasan yang terkait

dengan utang pajak terdapat dalam ketentuan UU PPN . Ketentuan

pada Pasal 8 ayat (2) UU PPN menegaskan "atas ekspor barangkena pajak yang tergolong barang mewah dikenakan pajak dengan

tarif 0% (nol persen)." Sebenarnya berdasarkan ketentuan tersebut

di atas, berarti pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor barang

kena pajak yang tergolong barang mewah diberikan pembebasandari pengenaan Pajak Penjualan at as Barang Mewah. Tujuan

pembebasan dimaksud agar pengusaha kena pajak dapatmeningkatkan kegiatan ekspornya ke negara lain sehingga hanya

dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

Pembebasan utang pajak yang terkait dengan Pajak Pertamba­

han Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak melibatkancampur tangan pejabat pajak. Hal ini disebabkan karena UU PPNsecara tegas mencantumkan dalam ketentuannya mengenai

pembebasan dengan menggunakan istilah pengenaan tarif 0% (nolpersen). Berdasarkan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah tersebut, berarti barang kena pajakyang diekspor dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilaidan PajakPenjualan atas Barang Mewah.

Pembaruan Hukum Pajak

3) Wajib pajak yang terkena dampak kritis ekonomi dan

moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomi­an nasional sehingga wajib pajak harus melakukanrestrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengankebijaksanaan pemerintah.

c. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan

sosial atau pendidikan yang semata-rnara tidak untuk mencarikeuntungan. Sebagai contoh, tanah dan atau bangunan yang

digunakan antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah

yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari

keuntungan, rumah sakit swasta, dan institusi pelayanan sosialmasyarakat;

Dalam hubungan ini, Rochmat Soemitro (1988;50) mengemu­kakan bahwa peniadaan utang pajak tidak berlaku dengansendirinya atau dianggap berlaku dengan sendirinya, melainkan

harus ada perbuatan hukum dari pihak negara (pejabat pajak) dan

ini pun sering harus didasarkan pada permintaan yang didasarkanpada permohonan wajib pajak.

5. Pembebasan

BAB 8: Utang Pajak 173

Utang pajak dapat pula berakhir karena pembebasan sebabpembebasan merupakan sarana hukum pajak untuk melepaskan

tanggung jawab wajib pajak berupa membayar pajak. Pembebasan

hanya diperuntukkan terhadap wajib pajak yang secara nyatadikenakan pajak, tetapi tidak memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dalam Undang undang Pajak untuk diberikan pembeba­san. Sekalipun dernikian, wajib pajak tetap wajib menaati Undang­

undang Pajak yang memberikan pembebasan sehingga tidak terjadipelanggaran hukum yang berakibat dapat dikenakan sanksi hukumpajak.

6. Kedaluwarsa

, "Wewenang u~1tuk melakukan penagihan pajak berada padanegara yang diwakili oleh pejabat pajak yang mengelola pajak

negara maupun yang mengelola pajak daerah. Wewenang untuk

menagih pajak mempunyai jangka waktu tertentu sebagai bentukkepastian hukum yang tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan.

Apabila wewenang penagihan pajak telah terlampaui jangka waktuyang ditentukan, pejabat pajak tersebut tidak lagi berwenangmelakukan penagihan pajak karena telah kedaluwarsa. RochmatSoemitro (1988;53) mengatakan kedaluwarsa adalah berakhirnya

Page 93: Buku Pembaruan Hukum Pajak

174 Pembaruan Hukum Pajak BAB 8: Utang Pajak 175

perikatan, baik untuk menagih utang, atau kewajiban untuk mern­bayar utang karena lampaunya jangka waktu tertentu, sesuai denganapa yang ditetapkan dan cara-cara yang ditentukan dalam Undang­

undang Pajak.

Oleh karena itu, kedaluwarsa juga merupakan salah satu carauntuk berakhirnya utang pajak yang dimiliki oleh wajib pajak. Utangpajak dikategorikan sebagai kedaluwarsa jika telah lewat jangkawaktu penagihannya sebagaimana yang ditentukan dalam Undang­undang Pajak yang bersangkutan, baik dalam UU KUp, UU PBB,UU BPHTB, dan UU PDRD. Dalam arti, kedaluwarsa suatu utangpajak boleh berbeda-beda dan boleh pula sama waktunya, ter­gantung dari undang-undang pajaknya. Kalau terdapat perbedaanjangka waktu kedaluwarsa suatu penagihan pajak, tidak berartisebagai suatu penyimpangan, melainkan hanya sebagai ketentuan

khusus terhadap ketentuan umum yang berlaku.

Kedaluwarsaan penagihan Pajak Penghasilan, Pajak Pertarnba­

han Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terikat padajangka waktu yang ditentukan dalam UU KUP. Kedaluwarsaanpenagihan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah adalah sepuluh tahun. Akan tetapi,berdasarkan kepentingan negara, jangka waktu tersebut di atasboleh berubah menjadi lima tahun. Perubahan jangka waktu darisepuluh tahun kepada lima tahun, wajib ditetapkan dalam UU KUP.Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi antara jangka waktukedaluwarsa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai danPajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Pajak Bumi danBangunan, BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta PajakDaerah. Namun, dengan perkembangan yang ada, kedaluwarsaan­nya adalah lima tahun. Dasar pertimbangan perubahan kedaluwar­

saan jangka waktu tersebut adalah sebagai berikut.

"Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, kedaluwarsasetelah lampau waktu lima tahun terhitung sejak penerbitansurat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, suratketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusanpembetulan, surat keputusan keberatan, dan putusanbanding."

Ketentuan ini mencerminkan kepastian hukum bahwa jangkawaktu kedaluwarsaan utang pajak setelah lampau waktu lima tahun.Akan tetapi, terbuka kemungkinan kedaluwarsa penagihan pajakdapat melampaui lima tahun, apabila;

a. Wajib pajak atau penanggung pajak diterbitkan dan diberitahu­kan surat paksa karena tidak melakukan pembayaran utangpajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.Kedaluwarsa penagihan pajak tersebut dihitung sejak tanggaldiberitahukan surat paksa tersebut.

b. Wajib pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan caraberikut.

1) Mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pem­bayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pem­bayaran. Dalam hal seperti itu kedaluwarsa penagihandihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran ataupenundaan pembayaran utang pajak diterima oleh pejabatpajak yang ditugasi mengelola Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2) Mengajukan permohonan pengajuan keberatan. Kedaluwar­sa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohon­an wajib pajak diterima oleh pejabat pajak yang ditugasimengelola Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai danPajak Penjualan atas Barang Mewah .

Page 94: Buku Pembaruan Hukum Pajak

176

adalah setelah melampaui jangka waktu lima tahun terhitung sejaksaat terutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan

tindak pidana di bidang perpajakan daerah. Kedaluwarsaanpenagihan pajak tersebut tertangguh menurut Pasal 31 ayat (2)UU PDRD apabila:

a. diterbitkan surat teguran dan surat paksa; atau

b. ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsungmaupun tidak langsung.

Secara tegas dikatakan bahwa kedaluwarsaan penagihan pajak,baik pajak negara maupun pajak daerah adalah lima tahun, kecuali

bila ada perbuatan hukum yang dilakukan aleh wajib pajak maupunpejabat pajak sehingga baleh melampaui lima tahun. Hal ini, berartibahwa kepastian hukum mengenai kedaluwarsaan penagihan pajak

adalah kepastian hukum yang bersifat semu. Dalam arti, bahwajangka waktu lima tahun tersebut baleh dipermainkan aleh pejabatpajak sehingga pajak yang terutang baleh melampaui jangka waktulima tahun.

Pembaruan Hukum Pajak

3) Melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalam

hal seperti itu kedaluwarsa penagihan dihitung sejaktanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.

c. Diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar atau surat

ketetapan pajak kurang bayar tambahan terhadap wajib pajakkarena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan

tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan negaraberdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu kedaluwarsa

penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan

pajak tersebut.

d. Dalam hal wajib pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak

tanggal penerbitan surat perintah penyidikan tindak pidanadi bidang perpajakan.

Kedaluwarsaan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan serta BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang tidak secara

tegas ditentukan dalam UU PBB maupun UU BPHTB. Hal ini berartiutang pajak yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan sertaBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikategarikan sebagai

kedaluwarsa adalah lima tahun. Penentuan jangka waktu kedalu­

wars a tersebut berpatokan pada UU KUP yang mernuat ketentuan­

ketentuan umum perpajakan yang wajib diikuti aleh undang­

undang pajak lainnya. Sebenarnya UU KUP sebagai Kaderwet wajibditerapkan dalam UU PBB dan UU BPHTB tatkala ketentuan itu

tidak diatur dalam UU PBB dan UU BPHTB. Dengan dernikian,kedaluwarsaan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang adalah lima

tahun dan bahkan baleh melampaui lima tahun.

Berbeda halnya dengan kedaluwarsaan pajak daerah yangterutang secara tegas ditentukan dalam Pasal31 ayat (1) UU PDRD

BAB 8: Utang Pajak 177

Page 95: Buku Pembaruan Hukum Pajak

179

.. Pengembalian KelebihanPembayaran Pajak

A. Pendahuluan

Tidak selamanya kelebihan pembayaran pajak dapatdikompensasikan dengan pajak yang terutang pada tahun pajakyang bersangkutan. Kadangkala kelebihan pembayaran pajakdimohon pengembaliannya karena wajib pajak tidak memiliki utangpajak. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusimerupakan sarana hukum yang dapat digunakan oleh wajib pajakuntuk memohon pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Agar pengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak ber­tentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undanganperpajakan, wajib pajak wajib mengikuti tata cara pengajuanpermohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Per­mohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak wajib dibuatdalam bentuk tertulis dan diajukan kepada pejabat pajak di tempattinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. Permohonan tersebutwajib memuat alasan-alasan yang benar dengan melampirkan suratpemberitahuan atau surat setoran pajak yang membuktikan adanyakelebihan pembayaran pajak .]ika tata cara pengajuan permohonanpengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak dilanggar olehwajib pajak, pejabat pajak berkewajiban menerbitkan SuratKeputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan PembayaranPajak.

Page 96: Buku Pembaruan Hukum Pajak

B. Surat Ketetapan Pajak Nihil

Sebaliknya, wajib pajak yang tidak memiliki pajak yangterutang maupun kelebihan pembayaran pajak, pejabat pajak

berwenang menerbitkan surat keretapan pajak nihil. Suratkeputusan kelebihan pembayaran pajak tidak boleh diberikan

kepada wajib pajak yang tidak memiliki kelebihan pembayaran

pajak, agar tidak terjadi pelanggaran hukum yang dapat menimbul­kan kerugian pendapatan negara.

Walaupun telah diajukan permohonan pengembalian kelebihan

pembayaran pajak kepada pejabat pajak di tempat tinggal atautempat kedudukan wajib pajak, pejabat pajak tidak secara langsungmengabulkan permohonan tersebut. Perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pejabat pajak adalah melakukan pemeriksaan untukmembuktikan adanya kelebihan pembayaran pajak sebagaimana

yang dimohonkan. Pemeriksaan itu meliputi penghitungan jumlah

pajak yang sebenarnya terutang dengan pembayaran pajak yangtelah dilakukan oleh wajib pajak. Jika dari hasil pemeriksaanditemukan bahwa jumlah pajak yang terutang sama dengan jumlah

pajak yang dibayar, berarti tidak ada kelebihan pembayaran pajak.

Dalam hal ini, pejabat pajak menerbitkan surat ketetapan pajaknihil sebagai tanggapan atas permohonan pengembalian kelebihanpembayaran pajak dari wajib pajak.

Surat ketetapan pajak nihil adalah surat ketetapan pajak yang

menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah

kredit pajak atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kreditpajak . Surat keretapan pajak nihil bukan merupakan dasar

penagihan pajak, melainkan hanya menunjukkan bahwa wajib pajaktidak memiliki utang pajak maupun kredit pajak. Surat ketetapanpajak nihil tidak boleh memuat hal-hal yang merugikan wajib pajakkarena dapat diajukan keberatan pad a lembaga keberatan.

181BAB 9: Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pada hakikatnya, surat ketetapan pajak nihi l tidak mengubah

keadaan yang telah ada sebelumnya mengingat keadaan yang telahada hanya dipertegas kembali melalui surat ketetapan pajak nihil.Dalam arti, surat ketetapan pajak nihil tidak memuat mengenai

utang pajak yang wajib dibayar lunas maupun sanksi administrasi

berupa bunga, denda, atau kenaikan. Itulah sebabnya tidak dikate­gorikan sebagai dasar penagihan pajak, baik Pajak Penghasilan,Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah.

Selain surat ketetapan pajak nihil dikenal pula surat ketetapanpajak lebih bayar dalam perhubungan hukum antara wajib pajak

dengan pejabat pajak. Surat ketetapan pajak lebih bayar adalah suratketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaranpajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yangterutang atau seharusnya tidak terutang. Perhubungan hukum itu

timbul karena adanya permohonan tertulis dari wajib pajak yang

ditujukan kepada pejabat pajak di tempat tinggal atau tempatkedudukan wajib pajak tersebut. Permohonan itu bertujuan agarkelebihan pembayaran pajak dapat dikembalikan berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

Setelah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran

pajak diterima oleh pejabat pajak, dilakukan pemeriksaan dan

bahkan melakukan penelitian kebenaran pembayaran pajak yangdilakukan oleh wajib pajak. Sasaran pemeriksaan maupun penelitian

tertuju pada surat pemberitahuan yang menyatakan lebih bayaryang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan

pembayaran pajak. Jika terdapat kebenaran yan g seb en arnyabe rdasarkan hasil pemeriksaan maupun pen elitian atas suratpemberitahuan tersebut, pejabat pajak menerbitkan sura t ketetapanpajak lebih bayar, apabila untuk:

C. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

Pembaruan Hukum Pajak180

Page 97: Buku Pembaruan Hukum Pajak

1. Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah

pajak yang terutang;

2. Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar darijumlah pajak yang terutang. Apabila terdapat pajak yang

dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, yang

dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlahpajak keluaran setelah dikurangi pajak yang dipungut oleh

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut;

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar

lebih besar dari jumlah pajak yang terutang.

Jika wajib pajak setelah menerima surat ketetapan pajak lebihbayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak,wajib mengajukan permohonan tertulis secara benar, jelas, dan

lengkap sehingga tidak mengalami hambatan atau kendala. Suratketetapan pajak lebih bayar masih dapat diterbitkan lagi jikaberdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayarjumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah

ditetapkan.

Surat ketetapan pajak lebih bayar bukan merupakan dasar

penagihan pajak, melainkan hanya menunjukkan bahwa wajib pajakmemiliki kelebihan pembayaran pajak, baik Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah. Suratketetapan pajak lebih bayar tidak boleh memuat hal-hal yang dapat

merugikan wajib pajak karena dapat diajukan keberatan pada

Lembaga Keberatan. Hal-hal yang dapat merugikan wajib pajakadalah tidak diperkenankannya kelebihan pembayaran pajak untukdiminta kembali atau dilarang dikompensasi dengan pajak terutang

untuk tahun pajak di masa mendatang.

Setelah dilakukan pemeriksaan atas permohonan pengembali­an kelebihan pembayaran dari wajib pajak, pejabat pajak wajib

menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat dua belas bulan

sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Maksud suratpermohonan telah diterima secara lengkap adalah dalam arti bahwasurat pemberitahuan telah diisi secara benar dan jelas, dalam bahasa

Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan

mata uang rupiah dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasahukumnya. Kemudian, surat ketetapan pajak yang diterbitkanberdasarkan hasil pemeriksaan atas pengembalian kelebihan

pembayaran pajak dapat berupa;

1. surat ketetapan pajak kurang bayar; atau

2. surat ketetapan pajak lebih bayar; atau

3. surat ketetapan pajak nihil.

[angka waktu paling lambat dua belas bulan tersebut dimak­sudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonanwajib pajak atau pengusaha kena pajak tersebut. Jika batas waktu

terlampaui dan pejabat pajak tidak memberikan suatu keputusan,permohonan itu dianggap dikabulkan dan surat ketetapan pajak

lebih bayar wajib diterbitkan dalam waktu paling lama satu bulansetelah jangka waktu tersebut berakhir. Apabila surat ketetapanpajak lebih bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu satu

bulan, wajib pajak diberikan imbalan bunga sebesar dua persen

sebelum dihitung sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampaisaat diterbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar.

Terhadap wajib pajak yang sementara dalam proses penyi­

dikan karena terdapat dugaan melakukan tindak pidana di bidangperpajakan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran

pajak tidak dilakukan pemeriksaan. Permohonan yang tidakdiperiksa berarti berakibat tidak diterbitkan surat ketetapan pajakyang dapat berupa surat ketetapan pajak kurang bayar, surat

ketetapan pajak lebih bayar, atau surat ketetapan pajak nihil. Halini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bahwa wajib pajak

182 Pembaruan Hukum Pajak BAB 9: Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak 183

Page 98: Buku Pembaruan Hukum Pajak

D. Pengembalian Pendahuluan KelebihanPembayaran Pajak

Berdasarkan hasil pemeriksaan pejabat pajak terhadap suratpermohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib

pajak yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan atau ber­dasarkan Peraturan Menteri Keuangan, dapat diterbitkan suratkeputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Suratkeputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak adalah surat

tersebut terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakanberdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum te tap . Berdasarkan putusan pengadilan tersebut dapatterungkap bahwa wajib pajak memiliki jumlah pajak yang terutangyang melebihi dari jumlah pajak yang telah dibayar (tidak ada

kelebihan pembayaran pajak) .

Berbeda halnya bila pemeriksaan bukti permulaan tindakpidana perpajakan tidak dilanjutkan ke tahap penyidikan, atau

dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak diteruskan ke tahap

penuntutan. Ataukah dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntu­tan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukumberdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatanhukum tetap, wajib pajak tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak

lebih bayar. Di samping itu, wajib pajak diberikan imbalan bungasebesar dua persen sebulan untuk paling lama dua puluh empatbulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 24 sampaidengan saat diterbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar, dan

bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Pemberian imbalanbunga sebesar dua persen sebulan kepada wajib pajak merupakan

kompensasi atas kerugian yang dialami oleh wajib pajak selamadalam proses penyidikan sampai pada tahap pu tusan pengadilantersebut.

184 Pembaruan HukumPajakSAS 9: Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak 185

keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pen dah uluan

kelebihan pajak untuk wajib pajak tertentu. Wajib pajak yang dapatdiberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak

ada lah:

1. wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas;

2. wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha ataupekerjaan bebas dengan peredaran usaha dan jumlah lebih

bayar sampai dengan jumlah tertentu;

3. wajib pajak bad an dengan peredaran usaha atau jumlah lebih

bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau

4. pengusaha kena pajak yang menyampaikan surat pem­beritahuan yang berisikan lebih bayar Pajak Pertambahan Nilai

dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampaidengan jumlah tertentu.

Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian fasilitas per­

cepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pejabat pajak

dapat melakukan pemeriksaan terhadap permohonan wajib pajakdan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengem­

balian pendahuluan kelebihan pajak. Surat ketetapan pajak yang

dapat diterbitkan adalah surat kete tapan pajak kurang bayar, surat

ketetapan pajak lebih bayar, atau surat ketetapan pajak nihil.

Page 99: Buku Pembaruan Hukum Pajak

187

A. Hak Mendahulu

Dalam hukum pajak terdapat ketentuan yang menempatkan

negara dalam kecludukan istimewa yang terkait dengan penagihanpajak. Kedudukan istimewa yang dimiliki oleh negara adalah hakmendahulu (prejerensi) terhadap penagihan utang pajak dibanding­kan dengan utang biasa (utang perdata) karena proses timbulnya

utang pajak berbeda dengan utang biasa. Utang pajak timbul karenaproses yang terkait dengan hukum publik, sebaliknya utang biasa

timbul karena berada dalam proses hukum privat. RochmatSoemitro (1988 ;95) mengatakan hak mendahulu itu timbul karena

bersamaan adanya tagihan antara utang pajak dengan utang biasa

dan debitur tidak cukup atau tidak mampu membayar utang­utangnya. Kalau terjadi demikian, utang pajak diberi kedudukan

yang lebih utama daripada utang biasa selain utang pajak mengingat

pajak-pajak hasilnya digunakan untuk kepentingan umum, untukmelangsungkan kehidupan negara dan bangsa Indonesia clan

seterusnya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera adil clanmakmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan pemikiran ini

sudah jelas bahwa kepentingan umum harus dimenangkan daripadakepentingan pribadi/individu masing-masing.

Penagihan Pajak

Page 100: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Ruang lingkup hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksiadministrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan serta biaya

penagihan pajak. Hak mendahulu yang dimiliki oleh negaraditujukan hanya terhadap tagihan pajak atas barang-barang, baikbarang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak

milik wajib pajak atau penanggung pajak. Pelunasan utang pajak

harus diawali dari barang-barang milik wajib pajak kemudianberpindah kepada barang-barang milik penanggung pajak kalau

wajib pajak didampingi oleh penanggung pajak. Berbeda halnyabila wajib pajak telah dinyatakan pailit, barang-barang milik

penanggung pajak yang menjadi sasaran penagihan pajak sebagaijaminan pelunasan ut ang pajak. Hak mendahulu tidak boleh

dikesampingkan hanya karena untuk memberikan prioritaspenyelesaian utang biasa yang tidak termasuk sebagai utang pajak.

Dalam kaitan ini, Rochmat Soemitro (1988;96) mengemuka­kan bahwa badan-badan diwakili oleh para pengurusnya dan badanyang sedang dalam proses pembubaran diwakili oleh orang ataubadan yang dibebani dengan pemberesan likuidasi. Warisan yang

belum terbagi diwakili oleh salah seorang ahli warisnya atau olehpelaksana surat wasiatnya atau oleh orang yang mengurus hartapeninggalannya. Anak yang masih belum dewasa atau orang-orang

yang berada di bawah pengampuan diwakili oleh walinya. Sudah

barang tentu, harta wajib pajak atau badan itu yang dijadikantanggungan pembayaran pajak. Akan tetapi, kalau barang-barang

wajib pajak atau badan yang menjadi wajib pajak, tidak mencukupi

untuk membayar pajak-pajaknya, sejauhmana harta kekayaan

orang-orang yang menjadi wakil (penanggung pajak) wajib pajakdapat ikut disita untuk memenuhi utang pajak wajib pajak yangkurang dibayar. penanggung pajak sebagai wakil wajib pajak ber­tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng (hoofdeijikaansprakelji) at as pembayaran pajak wajib pajak yang terutang,kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan pejabat pajak

Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau likuidasi,kurator, likuidator, atau orang atau badan yang dibebani untuk

melakukan pemberesan dilarang membagikan harta perusahaandalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang sahamatau kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untukmembayar utang pajak perusahaan itu.

bahwa mereka dalam kedudukannya yang benar-benar tidak

mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutangtersebut. Hal ini harus mendapatkan perhatian yang khusus danpejabat pajak dalam hal ini harus berhati-hati, dalam melaksanakan

hak mendahulu terhadap barang-barang milik wakil (penanggung

pajak) wajib pajak, supaya kesulitan menegakkan hukum pajakdapat dihindarkan.

Sebenarnya pendapat tersebut di atas bertujuan agar pejabatpajak dalam menggunakan hak mendahulu terhadap barang-barang

milik wajib pajak atau penanggung pajak tidak mengalami kesulitandalam pelaksanaannya. Sebelum hak mendahulu dilaksanakan,pejabat pajak berkewajiban mengetahui secara pasti bagaimanakedudukan barang-barang milik wajib pajak atau penanggung pajak

dalam kaitannya selaku wakil wajib pajak, apakah termasuk sebagaibarang-barang tanggungan atau bukan termasuk barang-barangtanggungan terhadap utang pajak wajib pajak yang bersangkutan.Hak mendahulu negara untuk tagihan pajak melebihi segala hakmendahulu lainnya, kecuali terhadap tagihan-tagihan, berupa:

1. biaya perkara yang hanya disebabkan suatu penghukumanuntuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidakbergerak;

2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang­barang dan/atau;

3. biaya perkara yang hanya disebabkan pelelangan dan penye­suaian suatu warisan.

189BAB 10: Penagihan PajakPembaruan Hukum Pajak188

Page 101: Buku Pembaruan Hukum Pajak

190 Pembaruan Hukum Pajak SAS 10: Penagihan Pajak 191

Sebelumnya, hak untuk menagih pajak, te rmasuk bunga,denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak, kedaluwarsa setelahsepuluh tahun terhitung sejak dite rbitkan surat tagihan pajak, suratketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayartambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusankeberatan, dan putusan banding yang memuat penambahan jumlahutang pajak yang harus dibayar. Seyogianya , jangka waktu keda­luwarsaan tersebut di atas, dapat dipersingkat hanya setelah limatahun terhitung sejak diterbitkan surat tagihan pajak atau suratketetapan pajak. Perubahan jangka waktu dari sepuluh tahun kepadalima tahun, wajib ditetapkan dalam UU KUP. Hal ini dimaksudkanagar terjadi sinkronisasi antara jangka waktu kedaluwarsaan hakmendahulu negara terhadap utang pajak, baik terhadap PajakPenghasilan, Pajak Peretambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan, serta Pajak Daerah.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa Pengadilan Pajak tidakhanya menerbitkan putusan banding, tetapi menerbitkan pulaputusan gugatan sebagai jawaban atas gugatan yang diajukan olehwajib pajak. Kadangkala suatu putusan gugatan menambah jumlahpajak yang seharusnya dibayar oleh wajib pajak karena yang digugatadalah jumlah pajak yang tercantum dalam surat paksa tersebut.Dengan demikian, perlu pula dicantumkan putusan gugatan yangmenyebabkan menambah jumlah pajak yang terutang merupakandasar penagihan pajak. Termasuk pula putusan peninjauan kembaliyang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang harus dibayardari Mahkamah Agung sebagai jawaban atas peninjauan kembali

yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Kedaluwarsa penagihan pajak, termasuk bunga, denda,

kenaikan, dan biaya penagihan pajak tertangguh, apabila:

1. diterbitkan surat paksa ; pejabat pajak menerbitkan surat paksa

dan memberitahukan surat paksa kepada wajib pajak ataupenanggung pajak yang tidak melakukan pembayaran utangpajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.Kedaluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggaldiberitahukan surat paksa tersebut;

2. ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsungmaupun tidak langsung; kedaluwarsa penagihan pajak bolehmelampaui lima tahun, apabila:

a) mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pem­bayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembaya­ran . Dalam hal seperti itu kedaluwarsa penagihan dihitungsejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaanpembayaran utang pajak diterima oleh pejabat pajak;

b) mengajukan permohonan pengajukan keberatan. Dalam halseperti itu kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggalsurat permohonan wajib pajak diterima oleh pejabat pajak;

c) melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalamhal seperti itu kedaluwarsa penagihan dihitung sejaktanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.

3. diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar atau suratketetapan pajak kurang bayar tambahan; terdapat suratketetapan pajak kurang bayar atau surat ketetapan pajak kurangbayar tambahan yang diterbitkan terhadap wajib pajak karenamelakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindakpidana lain yang dapat merugikan pendapatan negara berdasar­kan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatanhukum tetap. Dalam hal seperti itu kedaluwarsa penagihandihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut;

4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;dalam hal wajib pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di

Page 102: Buku Pembaruan Hukum Pajak

192

UU PPh dan UU PPN tidak mengatur mengenai dasar penagi­han Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah karena kedua tersebut hanya memuat ketentuanmateril dan tidak me ngatur ketentuan formal tentang penagihan

pajak . Adapun mengenai das ar penagihan Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdapatdalam UU KUP terdiri dari:

1. surat tagihan pajak;

2. surat ketetapan pajak kuran g bayar;

3. surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan;

4. surat keputusan pembetulan , surat keputusan keberatan, danputusan banding serta putusan peninjauan kembali yang

menyebabkan bertambahnya jumlah pajak yang harus dibayar.

Dasar penagihan pajak yang terdapat dalam UU KUp, seyogia-nya mengalami penambahan berdasarkan pembaruan hukum pajak.

Penambahan das ar penagihan pajak meliputi putusan gugatan danputusan peninjauan kembali yan g menyebabkan bertambahnya

jumlah pajak yang masih harus dibayar. Hal ini berlaku bukan hanyauntuk Pajak Peng hasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, tetapi termasuk pula Pajak Bumi

dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, BeaMasuk, Cukai, dan pajak daerah. Dengan demikian, dasar penagi­han pajak yang terdapat dalam UU KUP adalah:

1. surat tagihan pajak;

2. surat ketetapan pajak kur ang bayar;

3. surat kete tapan pajak kurang bayar tambahan; dan

4. surat kep utusan pernbetulan, surat keputusan keberatan,

putusan banding, pu tu san gugatan dan putusan peninjauankem bali yang menyebabkan bertambahnya jum lah pajak yangmasih harus dibayar.

Pembaruan Hukum Pajak

bidang perpajakan, keda luwarsa penagihan dihitung sejak

tan ggal penerbi tan surat perintah penyidikan tindak pidanadi bidang perpajakan .

Ketentuan mengenai kedaluwarsaan hak negara untuk rnelaku­

kan penagihan pajak, bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihanpajak bersifat final. Dalam arti, penagihan pajak yang dilakukan

oleh pejabat pajak tidak boleh dikompromikan dengan cara lainkepada wajib pajak atau penanggung pajak, kecuali ada ketentuanyang membenarkan sebagaimana yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan. Sekalipun ada pengecualiandalam rangka penagihan pajak, bukan merupakan kompromi pajakyang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Kompromi pajak merupakan bagian dari penghindaran pajak yangbertentangan dengan hukum pajak sehingga yang melakukan dapatdikenakan sanksi hukum yang terdapat dalam peraturan perun­dangan-undangan yang berlaku.

B. Dasar Penagihan Pajak

Penagihan pajak yang dilakukan oleh pejab at pajak wajibdidasarkan pada suatu ketentuan pembenaran bahwa penagihan

pajak merupakan perbuatan hukum yang tidak bertentangan denganhukum pajak .]ika perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki

dasar yang sah, berarti telah terjadi perbuatan yang bertentangandengan hukum pajak. Oleh karena itu, Undang-undang Pajak

senantiasa memuat ketentuan yang memberikan pembenaran

perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak kepada wajibpajak . Pembenaran terhadap perbuatan hukum yang dilakukan olehpejab at pajak dalam rangka melakukan penagihan pajak tidak boleh .

meny impang atau bertentangan dari ketentuan ten tang "dasarpenagihan pajak. "

BAB 10: Penagihan Pajak 193

Page 103: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan berbeda den gandasar pen agihan Pajak Penghasi lan, Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penju alan atas Barang Mewah. Dasar penagihan Pajak Bumidan Bangunan diatur pada Pasal 12 UU PBB bahwa surat pern­beritahuan pajak terutang, surat ketetapan pajak, dan surat tagihan

pajak merupakan dasar penagihan pajak. Berdasarkan ketentuantersebut, dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan, meliputi:

1. surat pemberitahuan pajak terutang;

2. surat ketetapan pajak;

3. surat tagihan pajak.

Surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, dan

putusan banding, yang menyebabkan bertambahnya jumlah pajakyang harus dibayar tid ak termasuk das ar penagihan Pajak Bumi

dan Bangunan. Dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan tersebutperlu ditinjau kembali dan m emasukkan surat keputusan

pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, putusangugatan, dan putusan peninjauan kembali yang menyebabkan

bertambahnya jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayardijadikan pula dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan karenaketi ga dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan tidak dapat

mengikuti perkemban gan dan kemajuan wajib Pajak Bumi dan

Bangunan dan bahkan tidak menjangkau masalah hukum yangterkait den gan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Misalnya,

wajib Pajak Bumi dan Bangunan menerima surat keputusan

keberatan yang menyebabkan bertambahnya jumlah Pajak Bumidan Bangunan yang harus dibayar, tetapi karena hal ini tidak

termasuk sebag ai dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan. WajibPajak Bumi dan Bangunan tidak memil iki kewajiban untukmembayar tambahan Pajak Bumi dan Bangu nan yang terutang

berdasarkan surat keputusan keberatan termaksud.

Tidak dimasukkannya surat kepu tusan pembetulan, suratkepu tusan keberatan, putusan ban ding, putusan gugatan, danputusan peninja uan kembali yang menyebabkan bertambahnya

jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yan g harus dibayar, berartipejabat pajak membatasai diri untuk melakukan penagihan Pajak

Bumi dan Bangunan yang terutang. Dalam arti, UU PBBrnernerlu­kan perubahan sangat mendasar untuk mengikuti perkembangandan mengantipasi ke depan masalah Pajak Bumi dan Bangunan

yang setiap saat boleh saja muncul ke permukaan karena terdapatindikasi bahwa Wajib Pajak Bumi dan Bangunan lebih rnengingin­kan pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang setelah

melalui Lembaga Peradilan Pajak.

Dasar penagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunansebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPHTBadalah

surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanKurang Bayar, surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan Kurang Bayar Tambahan, surat tagih an Bea PerolehanHak atas Tanah dan Bangunan, dan surat keputusan pembetulan,

surat keputusan keberatan, putusan banding yang menyebabkanbertambahnya jumlah pajak yang harus dibayar. Berdasarkanketentuan tersebut, dasar penagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan meliputi:

1. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

kurang bayar;

2. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

kurang bayar tambahan;

3. surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

atau

4. surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan,putusan banding yang menyebabkan bertambahnya jumlah BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangun an .

194 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak 195

Page 104: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Putusan PengadiIan Pajak yang terkait dengan penyelesaiansengketa pajak dalam bentuk "gugatan" yang menambah jumlahpajak yang terutang bukan merupakan dasar penagihan BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . Begitu pula putusanpeninjauan kembali yang menyebabkan bertambahnya jumlah BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan bukan pula merupakandasar penagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Halini perlu dimasukkan sebagai dasar penagihan Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan karena terbuka peluang bagi Wajib BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan untuk mengajukanpeninjauan kembali terhadap Putusan PengadiIan Pajak padaMahkamah Agung, apakah itu putusan banding atau putusanterhadap suatu gugatan yang menambah jurnlah pajak yang

terutang.

Lain halnya terhadap UU PDRD karena tidak ada satuketentuan yang mengatur secara tegas mengenai dasar penagihanpajak daerah. Akan tetapi, bila berpatokan pada Pasal 11 ayat (2)UU PDRD bahwa surat ketetapan pajak daerah , surat ketetapanpajak daerah kurang bayar, surat ketetapan pajak daerah kurangbayar tambahan, surat tagihan pajak daerah , dan surat keputusanpernbetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding yangmenyebabkan bertambahnya jumIah pajakyang harus dibayar, wajibdibayar lunas dalarn jangka waktu satu bulan sejak tanggalditerbitkannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, dasar penagihan

pajak daerah meliputi:

1. surat ketetapan pajak daerah;

2. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar;

3. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambah an;

4. surat tagihan pajak daerah; dan

5. Surat keputusan pernbetulan, surat keputusan keberatan,

putusan banding yang menyebabkan bertambahnya jumlahpajak daerah yang harus dibayar.

]ika mencermati dasar penagihan pajak daerah tersebut di atas,ternyata putusan Pengadilan Pajak yang terkait dengan gugatandan putusan peninjauan kembali yang menyebabkan bertambahnyajumIah pajak daerah yang harus dibayar bukan merupakan dasarpenagihan pajak daerah. Agar terdapat keseragaman sebagai satukesatuan yang tak terpisahkan, perlu dilakukanperubahan terhadapdasar penagihan pajak daerah yang terdapat pada Pasal11 ayat (2)UU PDRD. Perubahan tersebut memasukkan putusan gugatan danputusan peninjauan kembali yang menyebabkan bertambahnyajurnlah pajak yang harus dibayar adalah dasar penagihan pajakdaerah ke depan .

Penagihan pajak dengan menentukan jangka waktu satu bulansejak tanggal diterbitkan yang diberlakukan pada PajakPenghasilan,Pajak Perta!!1bahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,dan pajak daerah, tidak mencerminkan perlindungan hukumkepada wajib pajak . Pelunasan bagi Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, danpajak daerah yang terutang terhitung pada saat diterbitkan bukanpada saat sejak diterima dasar penagihan pajak oleh wajib pajakkarena boleh saja terjadi dasar penagihan Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, danpajak daerah diterbitkan pada tanggal 01 Maret 2006, tetapi petugaspajak menyampaikan kepada wajib pajak pada tanggal 30 Maret2006. Hal ini menunjukkan bahwa ada kelalaian atau kesengajaandari petugas pajak agar wajib pajak tidak melunasi utang pajaknyadalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan dasar penagihanpajak tersebut sebab jangkawaktu yang telah ditentukan telah habisatau setidak-tidaknya sisa satu hari lagi sehingga tidak adapersiapan bagi wajib pajak membayar lunas jumlah pajak yangterutang tersebut.

196 Pembaruan Hukum PajakBAB 10: Penagihan Pajak 197

Page 105: Buku Pembaruan Hukum Pajak

1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

Tidak semua jenis pajak boleh ditagih dengan menggunakan

surat pemberitahuan pajak terutang. Surat pemberitahuan menurutPasal 1 angka 5 UU PBB adalah surat yang digunakan oleh

Direktorat [enderal,Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak

terutang kepada wajib pajak. ]enis pajak yang ditagih denganmenggunakan surat pemberitahuan pajak terutang adalah PajakBumi dan Bangunan. Lain perkataan bahwa Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea

bentuk pengawasan terhadap pejabat pajak dalam rangka pelaksana­

an penagihan pajak.

Tata cara penagihan secara biasa kepada wajib pajak oleh

pejabat pajak wajib berpedoman pada ketentuan yang tersedia

dalam hukum pajak. Dalam arti, hukum pajak telah menentukan

cara bagaimana pejabat pajak untuk bertindak agar wajib pajakmembayar lunas utang pajaknya tanpa ada un sur paksaan atau

tekanan yang dialami oleh wajib pajak mengingat penagihan secarabiasa bertujuan agar w~jib pajak memiliki kehendak atau kemauan

untuk membayar lunas pajaknya yang terutang sebelum dilakukanpenagihan dengan surat paksa.

Penagihan secara biasa dilakukan oleh pejabat pajak dengan

menggunakan instrumen hukum pajak sebagaimana yang terdapatdalam Undang-undang Pajak. Sarana hukum pajak yang terkaitdengan penagihan pajak secara biasa dapat berupa surat pemberi­tahuan pajak terutang, surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak,

surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurangbayar tambahan. Dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan

keberatan, putusan banding, putusan gugatan, atau putusanpeninjauan kembali yang menambah jumlah pajak terutang yang

harus dibayar.

198 Pembaruan Hukum Pajak

Sebaliknya, penagihan pajak dengan menentukan jangka waktusatu bulan sejak diterima oleh wajib pajak sangat memerhatikanperlindungan hukum kepada wajib pajak karena yang diperhitung­

kan adalah pada saat wajib pajak menerima dasar penagihan pajakbukan pada saat atau tanggal diterbitkannya. Misalnya, surat

tagihan Pajak Bumi dan Bangunan diterbitkan oleh pejabat pajak

pada tanggal 01 Maret 2006, tetapi petugas pajak menyampaikankepada wajib pajak pada tanggal30 Maret 2006, maka yang menjadi

dasar perhitungan ada lah pada tanggal 30 Maret 2006, kemudian

diperhitungkan dengan jangka waktu satu bulan termaksud .Perlindungan hukum kepada wajib pajak yang terkait dengan dasar

penagihan pajak adalah dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan

serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

c. Penagihan secara BiasaPenagihan secara biasa adalah tindakan pejabat pajak kepada

wajib pajak karena tidak membayar lunas pajaknya yang terutang

tanpa paksaan secara nyata. Dalam arti pejabat pajak melakukanpenagihan secara biasa kepada wajib pajak saat telah memilikijumlah pajak yang terutang dan tidak terbayar lunas. Pelaksanaan

penagihan tersebut wajib berpedoman pada ketentuan yang menjadi

dasar penagihan pajak sebagaimana ditentukan dalam Undang­undang Pajak. ]ika dalam pelaksanaannya terdapat pelanggaran

hukum pajak yang dilakukan oleh pejabat pajak karena kekeliruan

atau kesengajaan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak kurang

bayar atau surat tagihan pajak boleh dipersengketakan melaluiLembaga Peradilan Pajak. Surat ketetapan pajak kurang bayar boleh

dipersengketakan keabsahannya pada Lembaga Keberatan dalambentuk keberatan, sedangkan surat tagihan pajak dapat diper­

sengketakan keabsahannya pada Pengadilan Pajak dalam bentukgugatan . Pengajuan keberatan atau gugatan merupakan suatu

BAB 10: Penagihan Pajak 199

Page 106: Buku Pembaruan Hukum Pajak

200 Pembaruan Hukum Pajak SAS 10: Penagihan Pajak 201

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah tidakrnengenal surat pernberitahuan pajak terutang sebagai dasarpenagihannya. Pajak Burni dan Bangunan yang terutang sebagai­rnana yang tercanturn dalam surat pernberitahuan pajak terutangdar i pejabat pajak yang berdasarkan data yang diperoleh dari suratpernberitahuan objek pajak yang dirnasukkan oleh wajib pajaksehubungan rnas ih ada carnpur tangan pejabat pajak dalampenentuan jurnlah Pajak Burni dan Bangunan yang terutang danwajib dibayar lu na s da lam jangka waktu enarn bulan sejakditerirnanya sura t pernberitahuan pajak terutang oleh wajib pajak.Carnpur tangan pejabat pajak untuk rnenentukan Pajak Burni danBangunan yang terutang karena UU PBB belurn rnenerapkan sistem

selfassessment.

Jika wajib pajak telah rnenerirna surat pernberitahuan pajakterutang dari petugas pajak, kewajibannya adalah rnernbayar lunasPajak Burni dan Bangunan yang terutang, baik secara rnenyicilrnaupun secara sekaligus sepanjang masih dalarn jangka waktu yangditentukan. Akan tetapi, bila jangka waktu telah terlarnpaui danwajib pajak belum pula rnernbayar lunas Pajak Burni dan Bangunanyang terutang, dikenakan sanksi adrninistrasi. Sebaliknya, wajibpajak yang beranggapan bahwa jurnlah Pajak Burni dan Bangunanyang terutang atau sanksi adrninistrasi tidak benar, wajib pajakberhak rnengaju kan keberatan terhadap surat pernberitahuan pajakterutang. Keberatan dari wajib pajak wajib diajukan kepada pejabatpajak dengan harus rnernerhatikan dan rnenaati syarat-syarat

pengajuan keberatan tersebut.

2. Surat Tagihan Pajak

Pejabat pajak berwenang rnenerbitkan surat tagihan pajakdalarn rangka penagihan pajak. Surat tagihan pajak adalah suratuntuk rnelakukan tagihan pajak dan atau sanksi adrninistrasi berupa

bunga dan atau denda. Surat tagihan pajak diterbitkan untukrnenagih pajak yang terutang dalarn kaitannya dengan PajakPenghasilan, Pajak Pertarnbahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah, dan Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang.Dernikian pula terhadap Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan yang terutang ditagih dengan rnenggunakan SuratTagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kernudian,terhadap pajak daerah, baik pajak daerah provinsi rnaupun pajakdaerah kabupaten/kota yang terutang ditagih dengan rnengguna­kan surat tagihan pajak daerah.

Mengenai kapan saatnya pejabat pajak rnenerbitkan surattagihan pajak yang terkait dengan Pajak Penghasilan, PajakPertarnbahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah , SuratTagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau surattagihan pajak daerah, tergantung dari Undang-undang Pajak yangbersangkutan karena tiap Undang-undang Pajak secara tegasmengatur tentang kapan saat diterbitkannya sehingga diketahuidan dipahami kalau ada perbedaan yang ditirnbulkannya. Hal iniperlu dikaji rnelalui hukurn pajak, agar perbedaan yang ditirnbulkandapat ditiadakan sehingga pada akhirnya rnerupakan satu kesatuanyang rnenciptakan keadilan bagi wajib pajak atau penanggung pajak.

Surat tagihan pajak diterbitkan oleh pejabat pajak untukrnenagih Pajak Penghasilan, Pajak Pertarnbahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah yang terutang apabila:

a. Pajak Penghasilan dalarn tahun berjalan tidak atau kurangdibayar;

b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pernbayaran pajaksebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;

c. wajib pajak dikenakan sanksi adrninistrsai berupa bunga danatau denda;

Page 107: Buku Pembaruan Hukum Pajak

202 Pembaruan Hukum Pajak

d. pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena

pajak, tetapi membuat faktur pajak;

e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena

pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur

pajak tetapi tidak tepat waktu;

f. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena

pajak yang tidak membuat faktur pajak secara lengkap

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN,

selain;

1) identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (5) huruf b UU PPN; atau

2) identitas pembeli serta nama dan tanda tangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal13 ayat (5) hurufb dan huruf g UU

PPN, dalam hal penyerahan dilakukan oleh pengusaha kena

pajak eceran;

g. Pengusaha kena pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai

dengan masa penerbitan faktur pajak;

h. Pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dan telah diberi­

kan pengembalian pajak masukan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (6a) UU PPN.

Surat tagihan pajak yang telah diterima oleh wajib pajak terkait

dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah wajib dibayar lunas dalam jangka

waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan oleh pejabat pajak yang

bersangkutan. Bila jangka waktu itu telah terlampaui tetapi belum

juga dibayar lunas, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, '

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang ditambah

sanksi administrasi tersebut dapat ditagih dengan surat paksa.

Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang ditambah dengan

sanksi administrasi berupa denda ditagih dengan menggunakan

BAB 10: Penagihan Pajak 203

surat tagihan pajak oleh pejabat pajak yang wajib dibayar lunas

selarnbat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterimanya surat

tagihan pajak oleh wajib Pajak Bumi dan Bangunan. Lain perkataan

bahwa surat tagihan pajak yang ada dalam UU PBB diterbitkan

oleh pejabat pajak apabila:

1. Pajak Bumi dan Bangunan tidak atau kurang dibayar; dan,2. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan sanksi adrninistrasi

berupa denda.

jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang dalam surat

tagihan pajak wajib dibayar lunas selambat-lambatnya satu bulan

sejak tanggal diterimanya surat tagihan pajak oleh Wajib Pajak Bumi

dan Bangunan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui

tetapi belum juga terlunasi , Pajak Bumi dan Bangunan yang\

terutang dapat ditagih dengan surat paksa.

UU BPHTB tidak menggunakan istilah surat tagihan pajak

melainkan yang digunakan adalah surat tagihan Bea Perolehan Hak

at as Tanah dan Bangunan. Pasal 1 angka 4 UU BPHTB menegaskan

bahwa surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sariksi

administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat tagihan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diterbitkan oleh

pejabat pajak tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 ayat

(1) UU BPHTB apabila:

a. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang

tidak atau kurang dibayar;

b. Darihasil pemeriksaan surat setoran Bea Perolehan Hak at as

Tanah dan Bangunan terdapat kekurangan pembayaran pajak

sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;

c. Wajib Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan

sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

Page 108: Buku Pembaruan Hukum Pajak

204 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak 205

Surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

yang diterbitkan oleh pejabat pajak untuk menagih Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang wajib dibayar lunas

dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak diterima oleh

wajib Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. ]ika jangka

waktu tersebut terlampaui ternyata belum juga terbayar lunas, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dapat

ditagih dengan surat paksa.

Dalam UU PDRD digunakan istilah surat tagihan pajak daerah

bukan surat tagihan pajak atau surat tagihan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan sebagaimana lazimnya yang digunakan

untuk Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, serta

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Akan tetapi, bila

dikaji melalui hukum pajak maka pada hakikatnya memiliki tujuan

yang sarna, yakni untuk menagih pajak dan atau sanksi administrasi

berupa bunga dan atau denda sebagaimana yang diatur dalam Pasal

1 angka 21 UU PDRD.

Pejabat pajak menerbitkan surat tagihan pajak daerah sebagai­

mana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) UU PDRD, apabila:

a. pajak daerah dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

b. dari hasil penelitian surat pemberitahuan pajak daerah ter­

dapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis

dan atau salah hitung;

c. wajib pajak daerah dikenakan sanksi administrasi berupa

bunga dan atau denda.

]umlah pajak daerah yang terutang sebagaimana tercantum

dalam surat tagihan pajak daerah harus dilunasi daIam jangka waktu

paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkannya. ]ika jangka

waktu tersebut terlampaui, tetapi jumlah utang pajak daerah belum

juga terbayar lunas, dapat ditagih dengan surat paksa. Surat tagihan

pajak, surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,

dan surat tagihan pajak daerah, jika dikaji melalui hukum pajak,

ternyata memiliki fungsi yang sama sebagai dasar penagihan pajak.

Adapun fungsinya adalah untuk menagih jumlah pajak yang ter­

utang dengan tambahan sanksi administrasi berupa bunga dan atau

denda.

3. Surat Ketetapan Pajak

Penagihan pajak yang terutang dengan menggunakan surat

ketetapan pajak hanya diperuntukkan bagi Pajak Bumi dan

Bangunan maupun pajak daerah. Surat ketetapan pajak ditujukan

pada Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang diterbitkan oleh

pejabat pajak, sedangkan untuk pajak daerah yang terutang diguna­

kan surat ketetapan pajak daerah yang diterbitkan oleh pejabat pajak

sebagai salah satu dasar penagihannya. Sementara itu, terhadap

Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan tidak mengenal surat ketetapan pajak sebagai dasar

penagihannya.

Pejabat pajak menerbitkan surat ketetapan pajak yang terkait

dengan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10 ayat (2) UU PBB, dalam hal-hal sebagai berikut.

a. Apabila surat pemberitahuan objek pajak tidak disampaikan

selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah tanggal diterima­

nya surat pemberitahuan objek pajak oleh subjek pajak dan

setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana

ditentukan dalam surat teguran.

b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain

ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah

pajak yang dihitung berdasarkan surat pemberitahunan objek

pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.

Page 109: Buku Pembaruan Hukum Pajak

206 Pembaruan Hukum Pajak SAS 10: Penagihan Pajak 207

Pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak wajib dibayar

lunas selambat-larnbatnya satu bulan sejak tanggal diterimanya

surat ketetapan pajak oleh wajib pajak dan tidak dapat ditagih

dengan surat paksa karena menurut Pasal13 UU PBBhanya jumlah

pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak yang tidak dibayar

pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa. Seyogianya jumlah

Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang dalam surat ketetapan

pajak boleh ditagih dengan surat paksa untuk mencegah agar wajib

Pajak Bumi dan Bangunan tidak melakukan penghindaran pajak,

baik untuk sementara waktu maupun untuk jangka waktu yang

lama.

Terhadap pajak daerah terdapat ketentuan bahwa pajak daerah

dipungut berdasarkan penetapan pejabat pajak atau dibayar sendiri

oleh wajib pajak. Kemudian, wajib pajak memenuhi kewajiban pajak

yang dipungut dengan menggunakan surat ketetapan pajak daerah

atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Tata cara penerbitan

surat ketetapan pajak daerah diatur dengan keputusan Kepala ,

Daerah selaku pejabat pajak. Surat ketetapan pajak Daerah yang

menyebabkan jumlah Pajak Daerah yang harus dibayar bertambah

wajib dibayar lunas dalam jangka waktu paling lama satu bulan

sejak tanggal diterbitkannya. Pajak daerah yang terutang dan

tercantum dalam surat ketetapan pajak daerah yang tidak dibayar

lunas dalam jangka waktu yang ditentukan, dapat ditagih dengan

surat paksa.

Surat ketetapan pajak sebagai salah satu dasar penagihan pajak,

baik dalam Pajak Bumi dan Bangunan maupun pajak daerah

memiliki perbedaan secara prinsipil. Perbedaannya adalah surat

ketetapan pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan tidak dapat ditagih

dengan surat paksa, sedangkan surat ketetapan pajak daerah boleh

ditagih dengan surat paksa. Dengan demikian, tidak selamanya

surat ketetapan pajak sebagai dasar penagihan pajak dapat ditagih

dengan surat paksa karena Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang

dan tercantum dalam surat ketetapan pajak tidak ditagih dengansurat paksa.

4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pen­

jualan atas Barang Mewah, Bea Perolehan Hak at as Tanah dan

Bangunan, serta pajak daerah yang terutang ditagih dengan

menggunakan surat ketetapan pajak kurang bayar, kecuali terhadap

Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang. Surat ketetapan pajak

kurang bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan

besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah

kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi,

dan jumlah yang masih harus dibayar. Pejabat pajak berwenang

menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar dalam jangkawaktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya

masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, dalam hal-halapabila:

a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yangterutang tidak atau kurang dibayar:

b. surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah

ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya

sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;

c. berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak

seharusnya dikompesasikan selisih lebih pajak atau tidakseharusnya dikenakan tarif nol persen;

d. kewajiban untuk mengadakan pembukuan atau pencatatan

tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajakyang terutang;

Page 110: Buku Pembaruan Hukum Pajak

208 Pembaruan Hukum PajakBAB 10: Penagihan Pajak 209

e. kepada wajib pajak diterbitkan nomor pokok wajib pajak dan

atau dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak secara jabatan.

]ika jangka waktu lima tahun telah lewat tidak berarti bahwa

pejabat pajak tidak berwenang lagi menerbitkan surat ketetapan

pajak kurang bayar. Kewenangan menerbitkan surat ketetapan pajakkurang bayar masih dibolehkan dalam hal wajib pajak seteIah jangka

waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan atau tindak pidana lainnya. Tindak pidana yang dilaku­kan oleh wajib pajak tersebut menimbulkan kerugian pada pen­

dapatan negara berdasarkan putusan pengadiIan yang telahmempunyai kekuatan hukum tetap. Tata cara penerbitan surat

ketetapan pajak kurang bayar menurut Pasal 13 ayat (6) UU KUPdiatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Hal

ini berarti bahwa Menteri Keuangan memperoleh wewenangberdasarkan pendelegasian dari UU KUP untuk mengatur tata cara

penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar. Oleh karena itu,pejabat pajak tidak boleh melanggar atau menyimpang dari tatacara penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar tersebut.

Pajak Pengh asiIan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Pen­

jualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana tercantum

dalam surat ketetapan pajak kurang bayar wajib dibayar lunas dalamjangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya. ApabiIa

jangka waktu tersebut telah terIampaui ternyata Pajak PenghasiIan,

Pajak Pertambahan NiIai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

yang terutang, tetapi ternyata belum terbayar lunas maka penagi­

hannya dilakukan dengan surat paksa.

UU BPHTB menggunakan surat ketetapan Bea Perolehan Hak '

atas Tanah dan Bangunan kurang bayar, bukan suratketetapan pajak

kurang bayar. Pada hakikatnya, surat ketetapan Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan kurang bayar dengan surat ketetapanpajak kurang bayar adalah sama dari aspek hukum pajak. Pengertian

surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kurang

bayar menurut Pasal1 angka 5 UU BPHTB,adalah surat keputusan

yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlahkekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi,

dan jumlah yang masih harus dibayar. Kalau dikaji melalui hukum

pajak, ternyata bahwa surat ketetapan pajak kurang bayar dengansurat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kurang

bayar memiIiki fungsi yang sama, yakni untuk menagih utang pajak

yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak.

Kapan suatu surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan kurang bayar dite rbitkan oleh pejabat pajak. Menurut

ketentuan pada Pasal 11 ayat (1) UU BPHTB, dalam jangka waktulima tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur]enderal Pajak

dapat menerbitkan surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan kurang bayar apabila berdasarkan hasiI pemeriksaanatau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang

dibayar. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU BPHTB, pejabat pajakmenerbitkan surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan kurang bayar dalam jangka waktu lima tahun sesudahsaat terutangnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,

apabiIa berdasarkan:

a. hasiI pemeriksaan ternyata jumlah Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan yang terutang kurang dibayar; atau

b. keterangan lain ternyata jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan yang terutang kurang dibayar.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang

sebagaimana yang tercantum dalam surat ketetapan Bea PerolehanHak atas Tanah dan Bangunan wajib dibayar lunas dalam jangka

waktu paling lama satu bulan sejak diterima oleh Wajib Bea Perole­han Hak atas Tanah dan Bangunan.]ika jangka waktu tersebut telahterIampaui, tetapi ternyata belum terbayar lunas, Bea Perolehan

Page 111: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dapat ditagih dengansurat paksa.

Pejabat pajak berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak

daerah kurang bayar untuk menagih pajak daerah yang terutang.Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar menurut Pasal 1 angka

17 UU PDRD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besar­

nya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekuranganpembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah

yang masih harus dibayar. Kapan surat ketetapan pajak daerah

kurang bayar diterbitkan oleh pejabat pajak menurut Pasal 9 ayat(1) huruf a UU PDRD, dalam jangka waktu lima tahun sesudahsaat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan surat

ketetapan pajak daerah kurang bayar apabila:

a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yangterutang tidak atau kurang dibayar;

b. surat pemberitahuan pajak daerah telah disampaikan kepada

kepala daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegursecara tertulis;

c. kewajiban mengisi surat pemberitahuan pajak daerah tidak

dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.

Pajak daerah yang terutang sebagaimana tercantum dalam

surat ketetapan pajak daerah kurang bayar, wajib dibayar lunasdalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbit­

kannya. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, tetapi

ternyata belum terbayar lunas, pajak daerah yang terutang dapat

ditagih dengan surat paksa.

Pajak Bumi dan Bangunan tidak menggunakan surat ketetapan

pajak kurang bayar sebagai dasar penagihannya. Agar tidak terjadikekosongan hukum atau kevakuman hukum terhadap penagihanPajak Bumi dan Bangunan, seyogianya Pajak Bumi dan Bangunan

211210 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak

menggunakan surat ketetapan pajak kurang bayar sebagai dasarpenagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini, bertujuan untuk

menselaraskan Pajak Bumi dan Bangunan dengan Pajak Peng­hasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak

daerah.

5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

Pejabat pajak berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak

kurang bayar tambahan jika telah dilakukan penagihan pajak

berdasarkan surat ketetapan pajak kurang bayar. Sebenarnya tidakada penagihan pajak melalui surat ketetapan pajak kurang bayar

tambahan tanpa didahului penagihan pajak dengan surat ketetapan

pajak kurang bayar. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahanadalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas

jumlah pajak yang telah ditetapkan. Surat ketetapan pajak kurangbayar tambahan diterbitkan tatkala terdapat tambahan PajakPenghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah yang terutang, sebelumnya tidak tercantum dalam

surat ketetapan pajak kurang bayar.

Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan diterbitkan oleh

pejabat pajak dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat pajak

terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun

pajak, bila ditemukan data baru dan atau data yang semula belumterungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang

terutang. Lain perkataan bahwa walaupun ditemukan data barudan atau data yang semula belum terungkap dalam pemeriksaan,

tetapi data tersebut tidak mengakibatkan penambahan jumlah pajakyang terutang, berarti pejabat pajak yang tidak berwenang menerbit­kan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan sebab yangmenjadi persyaratan untuk diterbitkan surat ketetapan pajak kurang

Page 112: Buku Pembaruan Hukum Pajak

bayar tambahan adalah bukan hanya ditemukan data baru dan atau

data yang belum terungkap, tetapi terjadi pula penambahan utang

pajak. Berarti harus ada hubungan kausal antara sebab dan akibatdari data baru yang ditemukan dan atau data yang belum terungkap

dengan penambahan jumlah pajak yang terutang.

Apabila jangka waktu lima tahun sesudah saat pajak terutang,

berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, biladitemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap

yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang telah

lewat, pejabat pajak masih berwenang menerbitkan surat ketetapanpajak kurang bayar tambahan bila memenuhi persyaratan yang

ditentukan. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah dalam hal

wajib pajak setelah jangka waktu lima tahun tersebut dipidana

karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindakpidana lainnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tata cara penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar tarn­bahan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Hal ini berarti bahwa Menteri Keuangan memperoleh wewenangberdasarkan pendelegasian dari UU KUP untuk mengatur rata cara

penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan. Olehkarena itu, pejabat pajak tidak boleh melanggar atau menyimpang

dari tata cara penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayartambahan tersebut.

Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pen­jualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana yang ,

tercantum dalam surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan

wajib dibayar lunas dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggalditerbitkan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, tetapiternyata Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah yang terutang tidak terlunasi maka

penagihannya dapat dilakukan dengan surat paksa.

UU BPHTB tidak menggunakan surat ketetapan pajak kurangbayar tambahan, melainkan yang digunakan adalah surat ketetapan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kurang bayartambahan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 UU BPHTB, surat

ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kurangbayar tambahan adalah surat keputusan yang menentukan

tambahan atas jumlah pajak telah ditetapkan. Kalau dikaji

berdasarkan hukum pajak, ternyata antara surat ketetapan pajakkurang bayar tambahan dengan surat ketetapan Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan kurang bayar tambahan mempunyai

fungsi yang sarna, yakni sebagai dasar untuk menagih tambahan

pajak yang terutang.

Kapan saatnya surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan kurang bayar tambahan diterbitkan oleh pejabat

pajak. Menurut ketentuan pada Pasal12 ayat (1) UU BPHTB, dalamjangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak Direktur[enderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan kurang bayar tambahan apabila

ditemukan data baru dan atau data yang semula belurn terungkap

yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelahditerbitkan surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan kurang bayar. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang terutang sebagaimana tercantum dalam surat

ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kurangbayar tambahan wajib dibayar lunas dalam jangka waktu paling

lama satu bulan sejak diterima oleh Wajib Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan. Apabila jangka waktu tersebut telah

terlampaui, tetapi ternyata Bea Perolehan Hak at as Tanah danBangunan yang terutang tidak terlunasi, penagihannya dapatdilakukan dengan surat paksa.

212 Pembaruan Hukum Pajak SAS 10: Penagihan Pajak 213

Page 113: Buku Pembaruan Hukum Pajak

214 Pembaruan Hukum Pajak SAS 10: Penagihan Pajak 215

Dalam UU PDRD digunakan isti lah yang hampir sama dengan

istilah yang digunakan dalam UU KUp,yakni surat ketetapan pajakdaerah kurang bayar tambahan. Surat ketetapan pajak daerah

kurang bayar tambahan menurut Pasal 1 angka 18 UU PDRD adalahsurat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak

yang telah ditetapkan. Surat kete tapan pajak daerah kurang bayartambahan diterbitkan oleh pejabat pajak un tuk menagih pajakdaerah yang terutang, baik pajak daerah provinsi maupun pajak

daerah kabupaten/kota.

Kapan saatnya pejabat pajak menerbitkan sura t ketetapan pajakdaerah kurang bayar tambahan? Menurut ketentuan pada Pasal 9ayat (1) hurufb UU PDRD, dalam jangka waktu lima tahun sesudah

saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan suratketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan apabila ditemukandata baru dan atau data yang belum terungkap yang menyebabkan

penambahan jumlah pajak yang terutang. Pajak daerah yangterutang sebagaimana yang tercantum dalam surat ketetapan pajak J

daerah kurang bayar tambahan wajib dibayar lunas dalam jangkawaktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkannya. Apabila

jangka waktu tersebut telah terlampaui, tetapi ternyata pajakdaerah yang terutang tidak terlunasi, penagihannya dapat dilaku­

kan dengan surat paksa.

Pajak Bumi dan Bangunan tidak menggunakan surat ketetapan

pajak kurang bayar tambahan sebagai dasar penagihannya. Agar

tidak terjadi kekosongan hukum atau kevakuman hukum terhadap

penagihan Pajak Bumi dan Bangunan, seyogianya Pajak Bumi danBangunan menggunakan surat ketetapan pajak kurang bayartambahan sebagai dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal

ini bertujuan untuk menyelaraskan Pajak Bumi dan Bangunandengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, serta pajak daerah.

6. Surat Keputusan Pembetulan

Dalam hukum pajak, surat keputusan pembetulan terdiri atassurat keputusan pembetul an yang tidak menyebabkan bertambah­

nya jumlah pajak yang wajib dibayar dan surat keputusan pem­

betulan yang menyebabkan bertambahnya jumlah pajak yang wajibdibayar. Surat keputusan pembetulan yang tidak menyebabkan

bertambahnya jumlah pajak yang wajib dibayar bukan merupakandasar penagihan pajak . Surat keputusan pembetulan yang menye­

babkan bertamba hnya jumlah pajak yang wajib dibayar merupakandasar penagihan pajak. Termasuk dalam hal ini, adalah PajakPenghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta

pajak daerah. Khusus bagi Pajak Bumi dan Bangunan tidakmengenal surat keputusan pembetulan yang menyebabkan ber­tambahnya jumlah pajak yang wajib dibayar sebagai dasarpenagihannya.

Surat keputusan pembetulan adalah surat yang membetulkankesalahan tulis dan atau kesalahan hitung, yang terdapat dalamsurat ketetapan pajak, surat tagihan pajak, surat keputusan kebera­

tan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, SuratKeputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan

Pengurangan ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembatalan

ketetapan pajak, Surat Keputusan Pengembalian PendahuluanKelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

Sementara itu, pengertian surat keputusan pembetulan menurut

Pasal 1 angka 10 UU BPHTB, adalah surat keputusan untukmembetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan

dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yangterdapat dalam surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan kurang bayar, surat ketetapan Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan kurang bayar tambahan, surat ketetapan Bea

Page 114: Buku Pembaruan Hukum Pajak

BAB 10: Penagihan Pajak 217

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih bayar, atau suratketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan nihil yangdiajukan oleh wajib pajak. Kemudian, terhadap surat keputusanpembetulan, menurut Pasal 1 angka 22 UU PDRD, adalah suratkeputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitungdan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalamperaturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapatdalam surat ketetapan pajak daerah, surat ketetapan pajak daerahkurang bayar, surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan,surat ketetapan pajak daerah lebih bayar, surat ketetapan pajakdaerah nihil, atau surat tagihan pajak daerah.

Ketentuan tersebut di atas memiliki perbedaan secara prinsipilmengenai pengertian surat keputusan pembetulan. Sekalipunterdapat perbedaan secara prinsipil, tetap merupakan dasarpenagihan pajak, baik Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilaidan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan, serta Pajak Daerah. Surat keputusan pem­betulan yang menyebabkan bertambahnya jumlah Pajak Penghasi­lan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas BarangMewah yang wajib dibayar lunas dalam jangka waktu satu bulansejak tanggal diterbitkan. Apabila jangka waktu tersebut telahterlampaui, tetapi ternyata tidak terbayar lunas, penagihannya dapatdilakukan dengan surat paksa. Sementara itu, bagi surat keputusanpembetulan yang menyebabkan bertambahnya jumlah BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang wajib dibayar lunasdalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak diterima olehWajib Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. ]ika jangkawaktu itu telah terlampaui, tetapi ternyata tidak terbayar lunas,dapat ditagih dengan surat paksa. Surat keputusan pembetulanyang menyebabkan bertambahnya jumlah pajak daerah yang wajibdibayar maka pelunasannya dalam jangka waktu paling lama satubulan sejak tanggal diterbitkannya. Apabila jangka waktu tersebut

216 Pembaruan Hukum Pajak telah terlampaui, tet api ternyata tidak terbayar lunas, penagih annya

dapat dilakukan dengan surat paksa.

Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal surat keputusanpembetulan yang menyebabkan bertambahnya jumlah pajak yangharus dibayar, sebagai dasar penagihannya. Agar tidak terjadikekosongan hukum atau kevakuman hukum terhadap penagihanPajak Bumi dan Bangunan, seyogianya Pajak Bumi dan Bangunanmengenal surat keputusan pembetulan yang menyebabk.anbertambahnya jumlah pajak yang harus dibayar sebagai dasarPenagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini, bertujuan untukmenyelaraskan Pajak Bumi dan Bangunan dengan Pajak Peng­hasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas BarangMewah, Bea Perolehan Hak ata s Tanah dan Bangunan, serta pajak

daerah.

7. Surat Keputusan Keberatan

Lembaga Keberatan yang menyelesaikan sengketa pajakberwenang menerbitkan surat kepu tusan keberatan. Surat keputu­san keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap suratketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan pajakoleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak . Pengertian suratketetapan pajak tersebut di atas meliputi surat ketetapan pajakkurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, suratketetapan pajak lebih bayar, dan surat ketetapan pajak nihil. Suratketetapan pajak tersebut diperuntukkan bagi Pajak Penghasilan,Pajak Pertambahan Nilai , dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Sementara itu, surat keputusan keberatan menurut Pasal 1angka 11 UU BPHTB adalah surat keputusan atas keberatan ter­hadap surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunankurang bayar, surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan kurang bayar tambahan, surat ketetapan Bea Perolehan

Page 115: Buku Pembaruan Hukum Pajak

218 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak 219

Hak atas Tanah dan Bangunan lebih bayar, atau surat ketetapan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan nihil yang diajukanoleh wajib pajak . Kemudian surat keputusan keberatan menurut

Pasal 1 angka 23 UU PDRD adalah surat keputusan atas keberatanterhadap surat ketetapan pajak daerah, surat ketetapan pajak daerahkurang bayar, surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan,

surat ketetapan pajak daerah lebih bayar, surat ketetapan pajakdaerah nihil, atau terhadap pemotongan atau pemungutan olehpihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.

Ketentuan tersebut di atas memiIiki persamaan substansimengenai surat keputusan keberatan, kecuaIi pemotongan ataupemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan oleh

pihak ketiga tidak terdapat dalam pengertian surat keputusankeberatan berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU BPHTB. Walaupun

demikian, substansi pengertian surat keputusan keberatan tidak

menyimpang dari hakikat suatu keputusan Lembaga PeradilanPajak, khususnya Lembaga Keberatan yang memeriksa danmemutus sengketa pajak tersebut.

[enis surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Lembaga

Keberatan sebagai konsekuensi memeriksa dan memutus sengketapajak, dapat berupa:

a. menerima sebagian atau seluruhnya;

b. menolak; atau

c. menambah jumlah pajak yang terutang.

Dari ketiga jenis keputusan Lembaga Keberatan tersebut diatas, sebagai dasar penagihan pajak adalah surat keputusankeberatan yang memiIiki diktum berupa menambah jumlah pajak

yang terutang. Sebaliknya, terhadap surat keputusan keberatan yangmemiIiki diktum berupa menerima sebagian atau seluruhnya, ataumenolak keberatan bukan merupakan dasar penagihan pajak. Dari

ketiga jenis surat keputusan keberatan yang boleh diterbitkan oleh

Lembaga Keberatan, ternyata bahwa surat keputusan keberatanyang menambah jumlah utang pajak memiliki kekhususan

tersendiri karena adanya penambahan jumlah pajak yang tercantumdalam surat keputusan keberatan yang wajib dibayar lunas.

Penambahan jumlah utang pajak wajib dibayar luhas dalam jangkawaktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkan atau diterima

oleh wajib pajak. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui,tetapi ternyata tidak terbayar lunas, penagihannya dapat dilakukan

dengan surat paksa.

Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal surat keputusankeberatan yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang wajibdibayar, sebagai dasar penagihannya. Agar tidak terjadi kekosonganhukum atau kevakuman hukum terhadap penagihan Pajak Bumidan Bangunan, seyogianya Pajak Bumi dan Bangunan mengenal

surat keputusan keberatan yang menyebabkan penambahan jumlahpajak yang wajib dibayar, sebagai dasar penagihan Pajak Bumi danBangunan. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan Pajak Bumi dan

Bangunan dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai danPajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan, serta pajak daerah.

8. Putusan Banding

Bukan hanya surat keputusan keberatan yang menyebabkan

bertambahnya jumlah pajak yang wajib dibayar sebagai dasarpenagihan pajak, tetapi putusan banding merupakan pula dasar

penagihan pajak saat putusan itu memuat penambahan jumlahpajak yang wajib dibayar oleh wajib pajak. Maksud putusan bandingadalah putusan Lembaga Peradilan Pajak atas banding terhadap

surat keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 12 UU BPHTB, putusan

Page 116: Buku Pembaruan Hukum Pajak

banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas

banding terhadap surat keputusan keberatan yang diajukan olehwajib pajak. Kemudian, Pasal1 angka 24 UU PDRD adalah putusan

badan peradilan pajak atas banding terhadap surat keputusankeberatan yang diajukan oleh wajib pajak.

Ketentuan tersebut di atas memiliki substansi hukum yang

sama tentang pengertian putusan banding yang ditetapkan oleh

lembaga peradilan pajak, kecuali UU BPHTB masih menggunakanBadan Penyelesaian Sengketa Pajak sebagai Badan Peradilan Pajak.

Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang ditetapkan denganUndang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 telah dicabut dan diganti­kan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak (UU PENJAK). Dengan demikian, BadanPenyelesaian Sengketa Pajak yang tercakup dalam pengertian

putusan banding sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 12UU BPHTB seyogianya diganti dengan Badan Peradilan Pajak ataulebih terfokus lagi digunakan Pengadilan Pajak.

Putusan banding sebagai salah satu putusan Pengadilan Pajak

merupakan jawaban atas surat keberatan yang diajukan oleh wajib

pajak kepada Pengadilan Pajak. Dikatakan demikian karena masihada putusan Pengadilan Pajak berupa putusan gugatan terhadap

surat gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Dengan demikian,

Putusan Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Peradilan Pajak terdiri

atas putusan banding sebagai jawaban surat keberatan dan putusangugatan sebagai jawaban surat gugatan yang diajukan oleh wajib

pajak.

Jenis putusan Pengadilan Pajak sebagai Lembaga PeradilanPajak menurut Pasal 80 ayat (1) UU PENJAK, dapat berupa:

a. menolak;

b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;

c. menambah pajak yang harus dibayar;

d. tidak dapat diterima;

e. membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung; danatau

f. membatalkan.

Dari keenam jenis putusan Pengadilan Pajak tersebut di atas,terkait dengan putusan banding, putusan banding yang menambahpajak yang wajib dibayar adalah dasar penagihan pajak. Pajak yangdimaksud adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan, pajak daerah, serta bea masuk dan cukai . Hal iniperlu dicermati bahwa putusan banding maupun putusan gugatan,kedua-duanya merupakan putusan yang diterbitkan oleh Pengadilan .Pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak sekalipun harus dilaku­

kan perubahan secara mendasar terhadap dasar penagihan pajakyang diberlakukan pada masa mendatang.

Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal putusan bandingyang menambah jumlah pajak yang harus dibayar sebagai dasarpenagihannya. Agar tidak terjadi kekosongan hukum atau kevaku­

man hukum terhadap penagihan Pajak Bumi dan Bangunan,

seyogianya Pajak Bumi dan Bangunan mengenal pula putusan

banding yang menambah jumlah pajak yang wajib dibayar sebagai

dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini bertujuan untuk

menyelaraskan Pajak Bumi dan Bangunan dengan Pajak Peng­

hasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pajak daerah,serta bea masuk dan cukai.

Penambahan utang pajak bagi Pajak Penghasilan, Pajak Per­tambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai­mana tercantum dalam putusan banding wajib dibayar lunas dalam

221BAB 10: Penagihan PajakPembaruan Hukum Pajak220

Page 117: Buku Pembaruan Hukum Pajak

222 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak 223

jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Terhadappenambahan utang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunansebagaimana tercantum dalarn putusan banding wajib dibayar lunasdalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak diterima olehwajib pajak. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, tetapibelurn terbayar lunas, penagihannya dapat dilakukan dengan surat

paksa.

9. Putusan Gugatan

Pengadilan Pajak tidak hanya menerbitkan putusan banding,tetapi menerbitkan pula putusan gugatan sebagai jawaban atas suratgugatan yang diajukan oleh wajib pajak atas gugatan terhadap surattagihan pajak atau surat paksa dan tindakan pelaksanaan surat paksaitu sendiri. Putusan gugatan terdiri dari putusan yang menyebabkanbertarnbahnya jurnlah pajak yang harus dibayar dan merupakandasar penagihan pajak . Sementara itu , terhadap putusan gugatanyang tidak rnenyebabkan bertambahnya jumlah pajak yang harusdibayar bukan rnerupakan dasar penagihan pajak. Pajak yang )dimaksud adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai danPajak Penjualan atas Barang Mewah , Pajak Burni dan Bangunan,Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bea masuk dan cukai,

serta pajak daerah.

Putusan gugatan yang menyebabkan bertambahnya jumlah

pajak yang harus dibayar seyogianya dicantumkan dalarn UU KUPsehingga dapat mernayungi jenis pajak yang berlaku. Sebenarnyaputusan gugatan yang rnenyebabkan bertarnbahnya jumlah pajakyang harus dibayar rnerupakan koreksi terhadap jurnlah pajak yangtercantum dalarn surat tagihan pajak rnaupun dalam surat paksa. ,Penarnbahan jurnlah pajak yang harus dibayar bukan ditetapkan .oleh pejabat pajak, melainkan ditetapkan oleh Hakim Pengadilan

Pajak.

Putusan gugatan yang menyebabkan bertambahnya jumlahpajak yang harus dibayar, wajib dibayar lunas dalam jangka waktusatu bulan sejak diterima oleh yang dibebani kewajiban untuk itu .Hal ini bertujuan, di sarnping untuk memberikan kepastian hukumbahwa kapan kedaluwarsa pelunasannya, juga untuk mernberikankesempatan kepada yang dibebani kewajiban agar dapat membayarsecara menyicil dalarn jangka waktu tersebut. Sekalipun demikian,pihak yang dibebani kewajiban untuk membayar lunas jurnlah pajakyang terutang wajib mernatuhi jangka waktu yang telah ditentukan.

10. Putusan Peninjauan Kembali

Mahkamah Agung sebagai Lernbaga Peradilan yang melakukanpengawasan terhadap Pengadilan Pajak, berwenang memeriksa danrnernutus sengketa pajak yang diajukan peninjauan kembali olehpihak-pihak yang tidak puas atas Putusan Pengadilan Pajak, baikputusan banding rnaupun putusan gugatan. Putusan MahkamahAgung atas peninjauan kembali menurut Pasa174 Undang-UndangNomo r 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA) terhadapputusan Pengadilan Pajak dapat berupa menolak atau mengabulkanpermohonan peninjauan kernbali. Dalam hal ini, Mahkamah Agungmenerbitkan putusan peninjauan kembali sebagai jawaban ataspermohonan peninjauan kembali terrnaksud.

Putusan peninjauan kernbali adalah putusan Mahkarnah Agungatas perrnohonan peninjauan kernbali yang diajukan oleh wajibpajak atau oleh pejabat pajak terhadap putusan banding atauputusan gugatan dari Pengadilan Pajak. Putusan peninjauan kernbaliyang rnenarnbah jurnlah pajak yang terutang rnerupakan dasarpenagihan pajak . Pajak yang dirnaksud adalah Pajak Penghasilan,Pajak Pertarnbahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,Pajak Burni dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan, bea rnasuk dan cukai , serta pajak daerah. Putusan

Page 118: Buku Pembaruan Hukum Pajak

224 Pembaruan Hukum Pajak

keadaan yang "rnendesak" dan untuk menjaga kemungkinan terjadi­nya sesuatu yang akan mengakibat pajak yang terutang tidak dapatditagih, pejabat pajak diberi wewenang untuk menerbitkan suratperintah penagihan seketika dan sekaligus. Sebagaimana di­

maklumi, bahwa salah satu tugas juru sita pajak adalah melaksana­kan penagihan seketika dan sekaligus sampai tuntas.

Penagihan pajak yang dilakukan dengan cara penagihan

seketika dan sekaligus merupakan tindakan penagihan pajak yang

dilakukan oleh juru sita pajak kepada wajib pajak atau penanggungpajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran yang meliputiseluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, atau tahunpajak. Sebelum dilakukan penagihan seketika dan sekaligus, terlebihdahulu juru sita pajak wajib dilengkapi surat perintah penagihan

seketika dan sekaligus dan diperlihatkan kepada wajib pajak ataupenanggung pajak yang dikenakan penagihan seketika dan sekaligustersebut. Tujuannya adalah agar penagihan seketika dan sekaligustidak diragukan keabsahannya dari aspek penerapan hukum pajak

karena setiap saat penagihan seketika dan sekaligus dapat dinyata­kan batal demi hukum atau dapat dibatalkan karena tidak sesuai

ketentuan hukum pajak.

Pada hakikatnya, penagihan seketika dan sekaligus merupakan

pengecualian dari penagihan pajak secara biasa. Penagihan seketika

dan sekaligus boleh terjadi tanpa ada sarana hukum berupa penagi­han pajak secara biasa. Atau sementara pejabat pajak menggunakan

sarana hukum berupa penagihan pajak secara biasa, kemudian

secara mendesak wajib pajak atau penanggung pajak dikenakanpenagihan seketika dan sekaligus sehingga tidak lagi menunggu

jatuh tempo pembayaran pajak. Hal ini tidak bertentangan ataumenyimpang dari ketentuan hukum pajak yang memberikan

peluang bagi pejabat pajak untuk rnelakukannya.

Dasar pertimbangan sehingga dilakukan penagihan seketikadan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran

peninjauan kembali yang menyebabkan bertanbahnya jumlah pajakyang harus dibayar, wajib dibayar lunas dalam jangka waktu satu

bulan sejak tanggal diterima oleh yang dibebani kewajiban untukitu. ]angka waktu tersebut kiranya dapat digunakan untuk rnern­bayar secara menyicil jumlah pajak yang terutang, tatkala tidak

mampu membayar lunas.

Untuk Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah tidak termasuk sebagai

dasar penagihannya. Agar tidak terjadi kekosongan hukum ataukevakuman hukum terhadap penagihan Pajak Bumi dan Bangunan,Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah,

maka seyogianya Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah mengenal putusan

peninjauan kembali yang menambah jumlah pajak yang harusdibayar sebagai dasar penagihannya. Hal ini, bertujuan untuk

menselaraskan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan, serta pajak daerah dengan Pajak Penghasilan,Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

D. Penagihan Seketika clan Sekaligus

Pajak yang terutang, selain ditagih secara bias a, dapat pula

ditagih dengan cara penagihan seketika dan sekaligus sebagai sarana

hukum pajak yang boleh digunakan untuk melakukan penagihan

pajak dalam rangka pengamanan keuangan negara dari sektor pajakyang dilakukan oleh pejabat pajak dan dilaksanakan oleh juru sita

pajak. Penagihan pajak secara seketika dan sekaligus merupakan

tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh juru sita pajakkepada wajib pajak atau penanggung pajak tanpa menunggu tanggaljatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dan

semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Moeljo Hadi(2001 ;4) mengatakan bahwa jika terjadi suatu peristiwa atau

SAS 10: Penagihan Pajak 225

Page 119: Buku Pembaruan Hukum Pajak

226 Pembaruan HukumPajak BAB 10: Penagihan Pajak 227

pajak yang dilakukan oleh pejabat pajak terhadap wajib pajak atau

penanggung pajak karena:

a. wajib pajak atau penanggung pajak akan meninggalkan

Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;

b. wajib pajak atau penanggung pajak memindahtangankan

barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka

menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau

pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c. terdapat tanda-tanda bahwa wajib pajak atau penanggung pajak

akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan

usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindah­

tangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya,

atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e. terjadi penyitaan atas barang wajib pajak atau penanggung J

pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

Dalam kaitan ini, Moeljo Hadi (2001;42) mengemukakan

bahwa surat perintah dari penagihan seketika dan sekaligus diterbit-

kan sebelum penerbitan surat paksa. Logika hukum penagihan

seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo

pembayaran dimaksudkan ialah dalam rangka pengamanan

penerimaan negara di sektor pajak.

E. Penagihan secara Paksa

Wajib pajak atau penanggung pajak yang tidak membayar lunas

utang pajaknya (utang pajak meliputi pula sanksi administrasi

berupa bunga, denda, atau kenaikan dan ditambah biaya penagihan

pajak) walaupun telah diberikan surat teguran dan bahkan telah

dilakukan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan

penagihan secara paksa. Lain perkataan bahwa penagihan secara

paksa tidak dapat dilakukan terhadap wajib pajak atau penanggung

pajak kalau belum diberikan surat teguran atau dilaku kan penagihan

seketika dan sekaligus. Salah satu dari kedua hal tersebut merupa­

kan syarat yang harus diperhatikan dan ditaati oleh pejabat pajak

dalam upaya melakukan penagihan secara paksa kepada wajib pajak

atau penanggung pajak. Dengan demikian, sahnya penagihan secara

paksa wajib didahului dengan surat teguran atau telah dilakukan

penagihan seketika dan sekaligus terh adap wajib pajak atau

penanggung pajak.

Penagihan secara paksa terdapat unsur yang bersifat memaksa

bagi wajib pajak atau penanggung pajak untuk membayar lunas

utang pajaknya. Un sur paksaan itu dimiliki oleh pejabat pajak dan

digunakan untuk memaksa wajib pajak atau penanggung pajak.

Un sur paksaan yang digunakan oleh pejabat pajak bukan rnerupa­

kan suatu pelanggaran hukum, melainkan dibenarkan oleh hukum

pajak karena didasarkan atas perintah Undang-undang Pajak, yakni

UU PPDSP. Unsur paksaan yang dimaksud adalah paksaan yang

tercantum dalam surat paksa maupun paksaan pada saat pelaksana­

an tindakan yang terkait dengan surat paksa dan dilaksanakan oleh

juru sita pajak dengan berpatokan pada UU PPDSP.

1. Surat Paksa

Pejabat pajak dapat memaksakan kehendaknya tanpa menyim­

pang atau melanggar dari ketentuan-ketentuan penagihan pajak

dengan surat paksa agar wajibpajak atau penanggung pajak

membayar lunas utang pajaknya. Unsur paksaan yang dapat

digunakan oleh pejabat pajak adalah menerbitkan surat paksa

terhadap wajib pajak atau penanggung pajak yang tidak menaati

ketentuan-ketentuan dalam UU PPDSP. Surat paksa adalah surat

perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Page 120: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Pengertian surat paksa tersebut tidak berbeda dengan pengertiansurat paksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 UUPPDSP bahwa surat paksa adalah ketetapan pajak yang ditetapkanoleh pejabat pajak yang berisikan perintah kepada wajib pajakatau penanggung pajak untuk membayar lunas utang pajaknyadan biaya penagihan pajak dalam jangka waktu tertentu.

Terkait dengan ini, Rochmat Soemitro (1988;80-81) mengata­kan bahwa surat paksa dalam hukum pajak adalah suatu ketetapanpajak tertulis dari pejabat pajak yang mempunyai titel executorial(art inya berkepala "Derni keadilan berdasarkan Ketuhanan YangMaha Esa") sehingga mempunyai kekua tan hukum yang samaseperti putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang pasti(Bahasa Belanda = inkract van gewijsde, artinya tidak dapat ditentangatau dilawan lagi dengan cara hukum apa pun, tidak dapat diajukanbanding atau kasasih), yang mengandung perintah kepada wajibpajak atau penanggung pajak yang namanya tertulis dalam suratpaksa itu untuk membayar lunas pajak-pajak yang disebut dalamsurat paksa itu dalam jangka waktu yang ditentukan dalam suratpaksa itu, dengan ancaman sita apabila pembayaran ini tidakdilakukan. Dalam kaitan ini, Bohari (1995 ;92) mengemukakanbahwa surat paksa adalah surat perintah (ketetapan) yang dikeluar­kan oleh instansi yang berwenang "atas nama keadilan" untukmembayar suatu jumlah pajak yang disebutkan dalam surat paksaitu dalam jangka waktu tertentu.

Sahnya secara hukum suatu surat paksa tatkala yang menerbit­kan adalah pejabat pajak dengan berisikan hal-hal di antaranya:

a. nam a wajib pajak atau penanggung pajak;

b. nomor pokok wajib pajak atau penanggung pajak;

c. alamat wajib pajak atau penanggung pajak;

d. jenis pajak yang terutang;

e. tahun pajak;

f. jumlah pajak yang terutang ditambah dengan biaya penagihanpajak;

g. keterangan yang menjadi dasar penagihan pajak dan perintahmembayar; dan

h. ditandatangani dan diterbitkan oleh pejabat pajak.

Surat paksa diberitahukan oleh juru sita pajak dengan pernyata-,an dan penyerahan salinan surat paksa kepada wajib pajak atau'penanggung pajak . Pemberitahuan surat paksa dituangkan dalamberita acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggalpemberitahuan surat paksa, nama juru sita pajak, nama yangmenerima, dan ternpat pemberitahuan surat paksa . Pemberitahuansurat paks a kepad a orang pribadi oleh juru sita pajak kepada:

a. wajib pajak atau penanggung pajak di tempat tinggal, tempatusaha, atau di tempat lain yang memungkinkan ;

b. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yangbekerja di tempat usaha wajib pajak atau penanggung pajakapabila wajib pajak atau penanggung pajak yang bersangkutantidak dapat dijumpai;

c. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang meng­urus harta peninggalannya apabila wajib pajak telah meninggaldunia dan harta warisan belum dibagi; atau

d. para ahli waris, apabila wajib pajak meninggal dunia dan hartawarisan telah terbagi.

]ika wajib pajak berstatus sebagai badan, surat paksa diberi ­tahukan oleh juru sita pajak kepada:

a. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggungjawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yangbersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempatlain yang bersangkutan; atau

229BAB 10: Penagihan PajakPembaruan Hukum Pajak228

Page 121: Buku Pembaruan Hukum Pajak

230 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak 231

b. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badanyang bersangkutan apabila juru sita pajak tidak dap at

menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam angka

1 di atas .

Wajib pajak atau penanggung pajak yang telah diberikan surat

paksa secara sah menurut hukum pajak wajib membayar lunas

utang pajaknya sebagaimana yang tercantum dalam surat paksaitu. Pelunasan utang pajak tersebut ditambah dengan biaya

penagihan pajak wajib dibayar lunas dalam jangka waktu dua kali

dua puluh empat jam. Terhadap wajib pajak atau penanggung pajak

yang tidak ada kehendak untuk membayar lunas utang pajaknyadalam jangka waktu tersebut, pejabat pajak berwenang menerbitkan

surat perintah penyitaan atas barang-barang milik wajib pajak atau

penanggung pajak.

2. Penyitaan

Upaya yang bersifat memaksa dalam tindakan pelaksanaan

'surat paksa menurut hukum pajak adalah penyitaan. Penyitaanmenurut Pasal 1 angka 14 UU PPDSP adalah tindakan juru sita

pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijad ikan

jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perun­

dang-undangan. Seyogianya pengertian penyitaan tidak hanya

mencantumkan penanggung pajak, tetapi juga wajib pajak sebagai

satu kesatuan yang bertanggung jawab atas pelunasan pajak yang

terutang. Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak berdasarkan

tugas dari pejabat pajak untuk menguasai barang-barang milik wajibpajak atau penanggung pajak, guna dijadikan jaminan terhadap

utang pajak yang belum terbayar.

Penyitaan yang dilakukan oleh juru sita pajak wajib didasarkan

atas surat keputusan penyitaan yang diterbitkan oleh pejabat pajakyang berwenang untuk itu karena tanpa surat keputusan penyitaan

, berarti penyitaan yang dilakukan oleh juru sita pajak merupakan

suatu pelanggaran hukum pajak . Konsekuensinya bahwa penyitaan

yang dilakukan oleh juru sita pajak beradadalam konteks bataldemi hukurn, berarti dari semula. perbuatan itu dianggap tidak

pernah ada secara hukum. Akhirnya, pejabat pajak maupun juru

sita pajak wajib mempertanggungjawabkan, baik kepada atasanyang lebih tinggi dan bahkan di hadapan lembaga peradilan yangberwenang menyelesaikannya tatkala wajib pajak atau penanggung

pajak mengajukan masalahnya kepada lembaga peradilan tersebut.

Penyitaan dilaksanakan oleh juru sita pajak dengan disaksikanoleh sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, pendudukIndonesia, dikenal oleh juru sita pajak dan dapat dipercaya. Setiappenyitaan, juru sita pajak wajib membuat berita acara pelaksanaan

sita yang ditandatangani oleh juru sita pajak yang bersangkutan,wajib pajak atau penanggung pajak, dan saksi-saksi . Dalam hal wajibpajak atau penanggung pajak merupakan badan, berita acarapelaksanaan sita ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan,

kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau pegawaitetap perusahaan tersebut.

Walaupun dalam penyitaan ternyata wajib pajak atau penang­gung pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan

syarat bahwa seorang saksi berasal dari pem erintah daerah setern­

pat. Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh wajibpajak atau penanggung pajak, berita acara pelaksanaan sita ditanda­

tangani oleh juru sita pajak dan saksi-saksi. Berit a acara pelaksanaan

sita tetap mempunyai kekuatan hukum rnengikat, walaupun tidak

ditandatangani berita acara pelaksanaan sita oleh wajib pajak ataupenanggung pajak yang mengalami penyitaan. Salinan berita acarapelaksanaan sita dapat ditempelkan pada barang-barang bergerak

atau barang-barang tidak bergerak yang disita, atau di tempatbarang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak yangdisita dan atau di ternpat-tempat umum. Atas barang-barang yang

Page 122: Buku Pembaruan Hukum Pajak

232 Pembaruan Hukum PajakBAB 10: Penagihan Pajak 233

dis ita boleh pula ditempel ata u diberi sege l sita oleh juru sita pajak

yang melaksanakan penyitaan.

Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik wajib pajak atau

penanggung pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha,

tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang penguasaan­

nya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak

tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu berupa:

a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasaan, uang tunai, dan

deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham,

atau surat berharga lainnya, dan piutang, penyertaan modal

pada perusahaan lain dan atau:

b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal

dengan isi kotor tertentu.

Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang-barang

yang disita diperkirakan cukup untuk membayar lunas utang pajak J

yang mengalami tunggakan sehingga tidak terbayar lunas. Dalam

hal ini, juru sita pajak sangat berperan untuk menafsirkan nilai

harga dari barang-barang milik wajib pajak atau penanggung pajak

yang telah disita. Tatkala hasil penyitaan tidak cukup untuk mem­

bayar lunas jumlah pajak yang terutang, tetap diperbolehkan untuk

melakukan penyitaan tambahan tanpa surat perintah penyitaan dari

pejabat pajak yang bersangkutan . Sekalipun juru sita pajak

diperbolehkan melakukan penyitaan tambahan, tetapi tidak boleh

melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan penyitaan

tambahan tersebut. Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan oleh

juru sita pajak, apabila:

a. nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi utang

pajak dan biaya penagihah pajak; atau

b. hasillelang barang-barang yang telah disita tidak cukup untuk

melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Barang-barang yang telah disi ta dapat dititipkan kepada wajib

pajak atau penanggung pajak, kecuali kalau juru sita pajak ber­

pendapat lain bahwa barang-barang yang disi ta perlu disimpan di

kantor pejabat pajak, atau di tempat lain . jika barang-barang yang

disita dititipkan kepada wajib pajak atau penanggung pajak, wajib

pajak atau penanggung pajak tersebut dilarang:

a. memindahkan hak, memindahtangankan, rnenyewakan,

meminjamkan, atau merusak barang-barang yang telah disita;

b. membebani barang-barang yang telah disita dengan hak

jaminan untuk pelunasan utang tertentu:

c. membebani barang-barang bergerak yang telah disita dengan

fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; danatau

d. merusak, mencabut, atau menghilangkan salinan berita acara

pelaksanaan sita atau segel sita yang telah ditempel padabarang-barang sitaan.

Sebaliknya, ada pula barang-barang bergerak milik wajib pajak

atau penanggung pajak yang tidak boleh disita karena dikecualikan

oleh UU PPDSP.Jika dilakukan penyitaan, maka penyitaan tersebut

dapat dibatalkan karena telah melanggar ketentuan-ketentuan yang

mengecualikan itu. Barang-barang bergerak milik wajib pajak atau

penanggung pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

1. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang

digunakan oleh wajib pajak, penanggung pajak, dan keluarga

yang menjadi tanggungan;

2. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan

beserta peralatan memasak yang berada di rumah;

3. perlengkapan wajib pajak atau penanggung pajak yang bersifat

dinas yang diperoleh dari negara;

Page 123: Buku Pembaruan Hukum Pajak

3. Pencegahan

Pencegahan merupakan pula upaya paksa dalam tindakan

pelaksanaan surat paksa. Pence gahan me nur ut Pasal 1 angka 17UU PPDSP ada lah larangan yang bersi fat sementara terhadap

penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah negaraRepublik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai denganperaturan perundang-undangan yan g berIaku. Ketentuan inimengandung kekurangan karena tidak mencantumkan wajib pajaksebagai salah satu yang dapat dicegah untuk tidak keluar wilayah

4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan wajib

pajak atau penanggung pajak dan alar-alar yang digunakanuntu k pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;

5. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untukmelaksanakan pekerjaan dan usaha-usaha sehari-hari dengan

jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp20 .000 .000,00; atau

6. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh wajib pajakatau penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungan­nya.

Di samping barang-barang bergerak milik wajib pajak ataupenanggung pajak dikecualikan dari penyitaan, ada pula barang­

barang yang tidak boleh disita karena telah disita oleh PengadilanNegeri atau instansi lain yang berwenang. Tindakan juru sita pajak

terhadap barang-barang yang telah disita tersebut adalah menyam­paikan surat paksa kepad a Pengadilan Negeri atau instansi lain

yang berwenang tersebut. Pengadilan Negeri atau instansi lain yang

berwenang dapat menyatakan bahwa barang-barang yang telahdisita adalah sebagai jaminan pelunasan utang pajak dan biayapenagihan pajak sehingga pada akhirnya, ditentukan pembagian

hasil penj ualan barang-baran g yan g dimaksud berdasarkan

ketentuan hak mendahulu negara untuk tagihan pajak.

negara Repu blik Indonesia. Secara hu kum, wajib pajak ada lahpenanggung pajak, tetapi pe nanggung pajak bukan mer upakan

wajib pajak. Oleh karena it u, pengertian pencegahan adalahlarangan yang bersifat sementara terhadap wajib pajak atau penang ­gung pajak untuk keluar dari wilayah negara Republik Indonesia

berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang­

undangan yang berlaku.

Pencegahan hanya boleh dilakukan terhadap wajib pajak atau

penanggung pajak yang memiliki jumlah utang pajak sekurang­

kurangnya Rp100.000 .000 ,00 dan diragukan iktikad baiknya dalammembayar lunas utang pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 29UU PPDSP. Kalau dikaji secara hukum, ternyata ada dua persyaratanyang harus dipenuhi agar pencegahan dapat dilakukan. Apabilahanya salah satu syarat yang terpenuhi, berarti pencegahan tidak

dapat dilakukan karena termasuk dalam pengertian perbuatanmelanggar hukum. Adapun kedua persyaratan untuk sahnya

pencegahan adalah:

a. memiliki jumlah utang pajak sekurang-kurangnya

Rp100 .000.000,00; dan

b. diragukan iktikad baiknya da lam membayar lunas utang

pajaknya.

[ika hanya salah satu unsur terpenuhi, pencegahan tidak boleh

dilakukan terhadap wajib pajak atau penanggung pajak karena Pasal29 UU PPDSP mensyaratkan bahwa kedua persyaratan tersebut

wajib terpenuhi kemudian dapat dilakukan pencegahan terhadap

wajib pajak atau penanggung pajak yang bersangkutan.

Di samping itu, pencegahan boleh dilakukan bila telah ada

keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri at asperrriintaan pejabat pajak atau atasan pejabat pajak tersebut.Menteri yang dimaksud dalam hal ini adalah Menteri Keuanganyang berwenang menerbitkan keputusan pencegahan atas wajib

234 Pembaruan HukumPajakSAS 10: Penagihan Pajak 235

Page 124: Buku Pembaruan Hukum Pajak

236 Pembaruan Hukum Pajak SAS 10: Penagihan Pajak 237

pajak atau penanggung pajak. Untuk sahnya keputusan pencegahanterhadap wajib pajak atau penanggung pajak, keputusan yang

diterbitkan oleh Menteri Keuangan memuat sekurang-kurangnya:

a. identitas wajib pajak atau penanggung pajak yang dikenakan

pencegahan;

b. alasan untuk melakukan pencegahan; dan

c. jangka waktu pencegahan.

]angka waktu pencegahan adalah paling lama enam bulan dan

dapat diperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan. Per­

panjangan jangka waktu tersebut bertujuan agar wajib pajak ataupenanggungpajak, secepatnya melunasi utang pajaknya agar

pencegahan yang sementara dijalani tidak diperpanjang lagi .Keputusan pencegahan disampaikan kepada wajib pajak atau

penanggung pajak yang dikenakan pencegahan, MenteriKehakiman, pejabat yang memohon pencegahan, atasan pejabat

yang bersangkutan, dan kepala daerah setempat. Ketentuan ini tidaksesuai dengan perkembangan yang ada karena Menteri Kehakiman

telah berubah menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.Di samping itu, bukan hanya penanggung pajak, tetapi wajib pajak

harus pula dicantumkan dalam ketentuan tersebut.

Pencegahan terhadap wajib pajak atau penanggung pajak tidak

mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan

penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasa131 UU PPDSP.

Ketentuan ini sangat tepat keberadaannya pada masa kini dan

mendatang karena bertujuan agar wajib pajak atau penanggungpajak tidak beranggapan kalau telah dilakukan pencegahan berarti

utang pajak tidak ada lagi. Lain perkataan bahwa pencegahan tidakmenghapus utang pajak, melainkan sebagai paksaan agar wajib

pajak atau penanggung pajak membayar lunas utang pajaknyasebelum dilakukan penyanderaan atau sementara menjalanipencegahan.

4. Penyanderaan

Hukum pajak tidak hanya mengenal adanya hukuman badankarena terbukti melakukan tindak pidana pajak, tetapi mengenal

pula penahanan atas diri wajib pajak atau penanggung pajak sebagai

konsekuensi dari tindakan pelaksanaan surat paksa. Penahanan atas

diri wajib pajak atau penanggung pajak disebut sebagai "penyande­

raan". Penyanderaan menurut Pasal1 angka 21 UU PPDSP adalahpengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak

dengan menempatkannya di tempat tertentu. Ketentuan ini

seharusnya mencantumkan wajib pajak dan tidak hanya penang­

gung pajak agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan di

masa kini dan mendatang."

Tujuan penyanderaan adalah agar wajib pajak atau penanggungpajak atau keluarganya membayar lunas utang pajak yang selamaini terutang. Penyanderaan mengandung konsekuensi tidak

bebasnya wajib pajak atau penanggung pajak untuk berhubungan

dengan keluarganya. Penyanderaan sebagai upaya paksa dalamhukum pajak tidak termasuk dalam kategori pelanggaran hak asasi

wajib pajak atau penanggung pajak, karena penyanderaan dilakukan

atas ketidakpatuhan wajib pajak atau penanggung pajak untuk

melunasi utang pajaknya.

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap wajib pajak atau

penanggung pajak yang memiliki utang pajak sekurang-kurangnyaRp100.000.000,00 dan diragukan iktikad baiknya dalam membayar

lunas utang pajak. Sahnya penyanderaan menurut hukum jika

kedua persyaratan untuk melaksanakan penyanderaan telah

terpenuhi berdasarkan UU PPDSP. Dalam arti, bila hanya satupersyaratan yang terpenuhi berarti penyanderaan tidak sah sehingga

perbuatan berupa penyanderaan yang dilakukan oleh juru sita pajakbatal demi hukum atau dapat dibatalkan. Oleh karena itu, perbuatanberupa melaksanakan penyanderaan atas diri wajib pajak atau

Page 125: Buku Pembaruan Hukum Pajak

penanggung pajak merupakan perbuatan melanggar hu kum.Penyanderaan wajib berdasarkan surat perintah penyanderaan yangditerbitkan oleh pejabat pajak setelah mendapat izin tertulis dariMenteri atau jika memuat sekurang-kurangnya:

a. identitas wajib pajak atau penanggung pajak yang disandera;

b. alasan-alasan penyanderaan;

c. izin penyanderaan;

d. lamanya penyanderaan; dan

e. tempat penyanderaan.

Meskipun juru sita pajak sebagai pelaksana surat perintahpenyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat pajak, dalam melaksa­nakan penyanderaan harus menaati keterituan-ketentuan yangterkait dengan penyanderaan. Hal ini dimaksudkan agar penyan­deraan yang dilakukan tidak melanggar hukum sebagaimana yangditentukan dalam hukum pajak sehingga tidak ada sanggahan daripihak yang merasakan dirugikan, seperti wajib pajak, penanggungpajak, atau pihak ketigakarena penyanderaan tidak boleh dilaksana­kan dalam hal wajib pajak atau penanggung pajak sernentaraberibadah, sementara mengikuti sidang resmi, atau sedang meng­ikuti pemilihan umum.

Jangka waktu penyanderaan paling lama enam bulan dan dapatdiperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan. Perpanjanganjangka waktu tersebut tidak selalu dilaksanakan kalau wajib pajakatau penanggung pajak pada saat disandera dapat melunasi utangpajak dan biaya penagihan pajak. Kecuali pada penyanderaan tahappertama belum melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak,perpanjangan penyanderaan untuk jangka waktu enam bulankemudian dilakukan oleh pejabat pajak berdasarkan suratkeputusan perpanjangan penyanderaan. Dalam hal ini, wajib pajakatau penanggung pajak wajib tetap berada dalam tempatpenyanderaan semula.

F. Perlawanan terhadap Surat Paksa

Surat paksa yang telah diterbi tkan oleh pejabat pajak dandilaksanakan oleh juru sita pajak boleh dilakukan perlawanan oleh

239BAB 10: Penagihan Pajak

Kadangkala penyanderaan terhadap wajib pajak atau penang­gung pajak tidak menghabiskan jangka waktu enam bulan atautidak diperpanjang untu k kedua kalinya karena ada faktor-faktoryang menyebab kan berakhirnya penyanderaan tersebut. Faktor­faktor yang menyebabkan wajib pajak atau penanggung pajak yangdisandera dapat dilepaskan adalah:

a. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayarlunas;

b. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintahpenyanderaan telah berakhir;

c. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyaikekuatan hukum tetap; dan

d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuanganatau gubernur kepala daerah .

Penyanderaan terhadap wajib pajak atau penanggung pajaktidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinyapelaksanaan penagihan pajak. Hal ini didasarkan atas anggapanbahwa pajak yang terutang hanya pada negara bukan pada orangperorangan sebagai utang biasa (utang perdata) . Demikian pulamengenai penagihan pajak tidak boleh dihentikan karena rnerupa­kan wewenang pejabat pajak yang bersumber dari UU PPDSPsebagaimana telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya diDewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden. Kesepakatan tersebutmenciptakan suatu kaidah hukum yang wajib untuk ditaati dalampelaksanaannya, baik terhadap wajib pajak atau penanggung pajakdi pihak lain, dan di lain pihak pejabat pajak dengan juru sita pajak.

Pembaruan Hukum Pajak238

Page 126: Buku Pembaruan Hukum Pajak

pihak-pihak yang beranggapan dirugikan karena tidak sesuai denganketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Perlawanan itu ber­

tujuan untuk memulihkan keadaan yang sebenarnya dikategorikantelah menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran hukum

yang dilakukan, baik oleh pejabat pajak atau juru sita pajak.

Perlawanan itu dapat berupa: a) perlawanan secara material; dan

b) perlawanan secara formal.

Moeljo Hadi (2001;34) mengatakan bahwa pada prinsipnya

surat paksa yang diberitahukan secara resmi pada wajib pajak atau

penanggung pajak tidak dapat ditentang (dilawan), dilihat dari segimaterialnya, baik dengan cara atau sarana hukum apa pun.Demikian pula Rochmat Soemitro (1986;76) mengatakan bahwa

surat paksa itu sama dengan keputusan hakim dan mempunyaikekuatan hukum yang tetap, dan segera dapat dilaksanakan (inkracht van gewijsde gegane vonnis). Artinya, tidak ada upaya hukum

lainnya yang dapat digunakan untuk melawan surat paksa itu.Iadi,surat paksa secara material tidak dapat ditentang, tetapi jika

terdapat kekurangan-kekurangan formal, surat paksa masih dapat

ditentang.

Surat paksa tidak dapat dilawan oleh wajib pajak atau

penanggung pajak dari segi materialnya karena dipandang sebagai

suatu keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.Hal ini didasarkan karena surat paksa itu berkepala "Demi KeadilanBerdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan fungsi eksekutorial

yang dimilikinya.

juru sita pajak sebagai pelaksana surat paksa yang diikutidengan tindakan pelaksanaan surat paksa berupa penyitaan, lelang,

pencegahan, dan penyanderaan dapat dilakukan perlawanan secara

hukum, berarti tidak boleh dilawan dengan cara kekerasan denganmenggunakan kekuatan fisik karena tindakan-tindakan yangdilakukan oleh juru sita pajak dalam kaitan surat paksa dan tindakan

241240 Pembaruan Hukum Pajak

BAB 10: Penagihan Pajak

pelaksanaannya juga berpatokan pada hukum pajak, hukum pajak

yang merupakan barometer untuk menentukan apakah tindakan­tindakan tersebut tetap berada da lam koridor hukum atau tidak.

Hukum pajak sangat berperan dalam menentukan keabsahan

tindakan yang dilaksanakan oleh juru sita pajak maupun perlawanan

terhadap tindakan tersebut.

Perlawanan terhadap tindakan-tindakan juru sita pajak yangterkait dengan surat paksa dapat dilakukan oleh wajib pajak,

penanggung pajak, atau pihak ketiga mengingat perlawanan

tersebut merupakan suatu hak yang terdapat dalam UU PPDSp,bukan hanya sekadar retorika belaka untuk memberikan pem­benaran yang dilakukan oleh wajib pajak, penanggung pajak, atau

pihak ketiga. Sekalipun wajib pajak, penanggung pajak, atau pihakketiga melakukan perlawanan terhadap surat paksa dan tindakanpelaksanaan surat paksa tersebut, tetap wajib pajak atau penang­

gung pajak berkewajiban membayar lunas utang pajak dan biayapenagihan pajak, berarti kewajiban itu tetap melekat dan tidak

hapus karena akibat dari perlawanan.

1. Perlawanan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak

Telah dikemukakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh

wajib pajak atau penanggung pajak terhadap surat paksa dantindakan pelaksanaan surat paksa merupakan suatu hak, bukan

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) UU

PPDSP dan Pasal 40 ayat (1) UU PENJAK. Perlawanan itu harus

ditujukan kepada Pengadilan Pajak, bukan pada Pengadilan TataUsaha Negara, atau Pengadilan Negeri . Muatan perlawanan adalahpenyampaian surat paksa atau tindakan pelaksanaan surat paksa

seperti rata cara penyampaian surat paksa, jumlah utang pajak yangtercantum dalam surat paksa, surat keputusan perintah penyitaan,dan surat keputusan pengumuman lelang ketika:

Page 127: Buku Pembaruan Hukum Pajak

242 Pembaruan Hukum Pajak BAB 10: Penagihan Pajak 243

a. surat paksa tidak disampaikan kepada wajib pajak ataupenanggung pajak, atau pihak-pihak yang diperkenankanmenerima surat paksa tersebut;

b. surat paksa memuat jumlah utang pajak dan biaya penagihanpajak tidak sebagaimana mestinya;

c. surat paksa dikirim melalui pos wesel, walaupun tercatat:

d. surat paksa tidak ditandatangani oleh pejabat pajak yangmenerbitkan;

e. penyitaan dilakukan terhadap barang-barang yang dikecualikandari penyitaan;

f. penyitaan dilakukan terhadap barang-barang yang dilarangdisita;

g. pengumuman lelang dan pelaksanaannya tidak sesuai yangditentukan.

Bentuk perlawanan yang boleh dilakukan oleh wajib pajak atau \penanggung pajak adalah mengajukan "gugatan" pada PengadilanPajak. Gugatan merupakan salah saru upaya hukum yang bersifatbiasa untuk digunakan oleh wajib pajak atau penanggung pajakdalam rangka melawan surat paksa dan tindakan pelaksanaan suratpaksa (tidak termasuk mengenai penyanderaan) . Sekalipun telahtersedia upaya hukum biasa (gugatan), wajib pajak ataupenanggung pajak yang menggunakan haknya wajib memenuhisyarat-syarat sahnya suatu gugatan sebagaimana yang telahditentukan. ]ika salah satu syarat -syarat sahnya suatu gugatan tidak

terpenuhi, berarti gugatan wajib pajak atau penanggung pajakditolak oleh hakim yang berwenang mengadilinya.

Selain perlawanan terhadap tata cara penyampaian suratpaksa dan muatan yang tercantum di dalarnnya, wajib pajak ataupenanggung pajak berhak pula mengadakan perlawanan mengenaisurat keputusan perintah penyitaan. ]ika juru sita pajak melaku-

kan pelanggaran hukum karenamenyita barang-barang wajib pajakatau penanggung pajak yang dikecualikan atau dilarang untuk disita.Sementara itu, perlawanan ditujukan kepada surat keputusanpengumuman lelang, jika pengumuman lelang tersebut tidak sesuai

dengan rata cara mengumumkan lelang .

Perlawanan wajib pajak atau penanggungpajak terhadap surat

keputusan perintah penyanderaan berbeda dengan perlawananterhadap surat keputusan penyitaan dan surat keputusan pengurriu­man lelang. Perlawanan terhadap surat keputusan penyanderaanditujukan pada Pengadilan Negeri dan bukan pada Pengadilan Pajak,walaupun pada awalnya adalah sengketa pajak mengenai utangpajak dan biaya penagihan pajak. Kernudian, perlawanan bolehdilakukan pada saat wajib pajak atau penanggung pajak beradadalam kedudukan sebagai sandera. Bentuk perlawanan adalahmengajukan pula "gugatan" pada Pengadilan Negeri dalam wilayahhukum di mana penyanderaan itu dilaksanakan. Lain perkataanbahwa pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan,yakni pada saat wajib pajak atau penanggung pajak disanderasampai berakhir penyanderaan sebab , wajib pajak atau penanggungpajak tidak berhak lagi mengajukan gugatan terhadap pelaksanaanpenyanderaan setelah berakhir masa penyanderaan.

]ika perlawanan terhadap pelaksanaan penyanderaan diajukanberdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan dan dapat dibukti­kan dalam persidangan pengadilan sehingga dikabulkan dan telahmemiliki kekuatan hukum tetap, wajib pajak atau penanggung pajakberhak memohon pemulihan nama baik dan bahkan berhakmenuntut ganti kerugian atas tindakan yang dilakukan oleh pejabatpajak beserta juru sita pajak yang besangkutan. Akan tetapi, bilagugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,misalnya gugatan diajukan setelah berakhir masa penyanderaan,perlawanan wajib pajak atau penanggung pajak dinyatakan ditolak

Page 128: Buku Pembaruan Hukum Pajak

karena jangka waktu pengajuan gugatan mengenai pelaksanaan

penyanderaan telah keda luwarsa menurut hukum.

2. Perlawanan Pihak Ketiga

Pihak ketiga dalam hal ini adalah bukan wajib pajak ataupenanggung pajak termasuk ahli warisnya. Begitu pula bukan pihak

ketiga sebagai pemotong atau pemungut pajak menurut peraturan

perundang-undangan perpajakan, melainkan pihak ketiga yangdirugikan atas peIaksanaan penyitaan yang dilakukan oIeh juru sita

pajak. Sebagai contoh, juru sita pajak meIakukan penyitaan terhadap

barang-barang miIik pihak ketiga karena barang-barang itudititipkan pada wajib pajak atau penanggung pajak sebeIumpenyitaan dilaksanakan. Berarti ada kesalahan objek penyitaan yang

seharusnya tidak boIeh disita karena bukan milik wajib pajak atau

penanggung pajak.

PerIawanan pihak ketiga diIakukan daIam bentuk "gugatan"pula yang disampaikan kepada Pengadilan Negeri daIam wilayah

hukum di mana barang-barang tersebut disita. Gugatan itu harusberintikan mengenai "kepernilikan barang-barang yang disita"

sebagai bukan milik wajib pajak atau penanggung pajak. PengadiIanNegeri yang menerima gugatan pihak ketiga wajib memberitahukan

secara tertulis kepada pejabat pajak atau juru sita pajak tentanggugatan itu. ]ika gugatan telah diterirna, pejabat pajak wajib

menangguhkan peIaksanaan sita hanya terhadap barang-barang

yang digugat kepemiIikannya. Pengajuan gugatan kepemilikan

barang-barang yang disita dilakukan sebeIum peIaksanaan leIang.Ketika Petugas LeIang teIah menunjuk seorang pembeIi sebagai

pemenang leIang daIam proses IeIang yang sementara berlangsung,gugatan tidak boIeh diajukan Iagi terhadap kepemiIikan barang­

barang yang teIah dijuaI. HaI ini dimaksudkan untuk memberikepastian hukum dan meIindungi kepentingan pembeIi IeIang

karena pihak ketiga tidak menggunakan haknya untuk mengajukangugatan pada PengadiIan Negeri tersebut sebelum IeIang dilaksana­kan.

245SAS 10: Penagihan Pajak

Untuk mencegah kesaIahan penyitaan barang-barang yangdisita, wajib bagi juru sita pajak mempertanyakan kepemilikanbarang-barang yang akan disita agar tidak terjadi perbuatan

meIanggar hukum yang berakhir pada gugatan pihak ketiga sebagaipemiIik barang-barang yang disita. DaIam arti, penyitaan yang

dilaksanakan oIeh juru sita pajak terdapat kesaIahan objek penyitaan

karena yang disita bukan milik wajib pajak atau penanggung pajak,meIainkan milik pihak ketiga yang tidak terIibat atau tersangkutmengenai penagihan pajak. OIeh karena itu, pihak ketiga wajib

memperoIeh perIindungan hukum at as perbuatan meIanggarhukum yang dilakukan oIeh pejabat pajak atau juru sita pajak daIammelaksanakan penyitaan. Dengan demikian, penyitaan terhadapbarang-barang yang diIakukan oIeh juru sita pajak harus dicermatisecara saksama sehingga tidak terjadi kesaIahan daIam meIakukanpenyitaan.

Pernbaruan Hukum Pajak244

Page 129: Buku Pembaruan Hukum Pajak

247

I[JCIpP Pembukuan

A. Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan

Ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU KUP mewajibkankepada wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan. Pern­bukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secarateratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yangmeliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, sertajumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yangditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca danlaporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Kewajibanmenyelenggarakan pembukuan hanya ditujukan kepada wajib pajakyang terkait dengan UU PPh dan UU PPN. Sebaliknya, wajib pajakyang terkait dengan UU PBB dan UU BPHTB tidak diwajibkanmenyelenggarakan pembukuan karena kedua Undang-undang Pajaktersebut tidak mewajibkannya.

Terkait dengan Pasal 28 ayat (1) UU KUp, wajib pajak yangdiwajibkan menyelenggarakan pembukuan adalah wajib pajak orangpribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas danwajib pajak badan di Indonesia. Kewajiban menyelenggarakanpembukuan tidak berlaku mutlak bagi wajib pajak karena berdasar­kan Pasal 28 ayat (2) UU KUP terdapat dua golongan wajib pajak

Page 130: Buku Pembaruan Hukum Pajak

B. Syarat-syarat Penyelenggaraan PembukuanWajib pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan

atau melakukan pencatatan, terlebih dahulu harus menaati syarat­syarat yang ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar pembukuan ataupencatatan yang dibuatnya tidak bertentangan dengan syarat -syarattersebut. Adapun syarat-syarat penyelenggaraan pembukuan ataupencatatan adalah:

yang diperkenankan melakukan pen catatan (bukan pembukuan)seluruh kegiatannya. Adapun kedua golongan wajib pajak adalah:

1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha ataupekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan per­undang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitungpenghasilan neto dengan menggunakan norma penghitunganpenghasilan neto;

2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usahaatau pekerjaan bebas.

Kemudian, wajib pajak yang tidak diwajibkan menyelenggara­kan pembukuan maupun melakukan pencatatan adalah:

1. wajib pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikanSurat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;

2. wajib pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan; dan

3. wajib pajak untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan.

Sebenarnya pembukuan maupun pencatatan merupakanpetunjuk bagi wajib pajak untuk menentukan jumlah pajak yangterutang atau dijadikan dasar pengenaan pajak yang terutang.Kemudian dapat pula dijadikan sebagai alat bukti surat jika terjadisengketa pajak, baik di luar maupun di dalam Lembaga PeradilanPajak. Misalnya, pada Lembaga Keberatan atau Pengadilan Pajak.

1. dise lenggarakan dengan memerhatikan iktikad baik danmencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;

2. diselenggarakan di Indonesia;

3. menggunakan huruf latin, angka arab, dan satuan mata uangrupiah; dan •

4. disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yangdiizinkan oleh Menteri Keuangan.

Terhadap bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuanganhanya tertuju pada bahasa Inggris. Dalam arti, bahwa bahasa asingselain bahasa Inggris dilarang digunakan dalam penyelenggaraanpembukuan atau pencatatan. Wajib pajak yang menggunakanbahasa Inggris dalam pembukuan atau pencatatannya wajibmenyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor PelayananPajak tempat wajib pajak terdaftar, paling lama tiga bulan setelahdimulainya tahun buku yang diselenggarakan dalam bahasa Inggristersebut. ]ika suatu pembukuan atau pencatatan menggunakanbahasa asing, selain bahasa Inggris berarti pembukuan ataupencatatan tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapatdibatalkan karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan.

Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenaiharta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualandan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yangterutang. Berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan makadapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan serta Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah . Agar Pajak Per­tambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapatdihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat mengenai:

1. jumlah harga perolehan atau nilai impor;

2. jumlah harga jual atau nilai ekspor;

3. jumlah harga jual dan barang yang dikenakan Pajak Penjualanatas Barang Mewah;

249BAB 11: PembukuanPembaruan Hukum Pajak248

Page 131: Buku Pembaruan Hukum Pajak

250 Pembaruan Hukum Pajak BAB 11 : Pembukuan 251

4. jumlah pembayaran atas pernanfaatan barang kena pajak tidak

berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan

atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean; dan

5. jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak

dapat dikreditkan.

Pembukuan wajib diselenggarakan dengan cara atau sistem

yang lazim digunakan di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar

Akuntansi Keuangan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan per­

undang-undangan perpajakan. Berbeda haInya dengan pencatatan

yang tidak terikat pada Standar Akuntansi Keuangan karena hanya

memuat data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran

atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar

untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk peng­

hasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang

bersifat final. Pencatatan oIeh wajib pajak orang pribadi yang

melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran

atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya.

Sementara itu, bagi wajib pajak orang pribadi yang hanya menerima

penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya

hanya mengenai penghasilan bruto, pengurangan, dan penghasilan

neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian,

pencatatan meliputi puIa penghasilan yang bukan objek pajak dan

atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

.C. Prinsip Pembukuan

Pembukuan diseIenggarakan dengan prinsip taat asas (konsis­

ten) dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Dalam arti, prinsip

taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas tidak berlaku

bagi pencatatan yang dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP. Prinsip taat asas

merupakan prinsip yang sama digunakan dalam metode pem­

bukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah laba

atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya

dalam penerapan:

1. stelsel pengakuan penghasilan;

2. tahun buku;

3. metode penilaian persedian; dan

4. metode penyusutan dan amortisasi.

Stelsel akrual adalah suatu rnetode penghitungan penghasilan

dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan

biaya diakui pada waktu terutang. ]adi tidak tergantung kapan

penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan

penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian

pekerjaan yang umumnya digunakan di bidang konstruksi dan

metode lainnya yang digunakan di bidang usaha tertentu, seperti

Build Operate andTransfer (BOT), Real Estate, dan lain-lain.

Stelsel kas (stelsel campuran) adalah suatu metode yang peng­

hitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya

yang dibayar secara tunai, Menurut stelsel ini, penghasilan dapat

dianggap sebagai penghasilan, tatkala benar-benar telah diterima

secara tunai daIam suatu periode tertentu, serta biaya dapat

dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar secara tunai

.dalam suatu periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh

perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya

transportasi, hiburan, restoran yang tenggang waktu antara

penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung

lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang

atau jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari

langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang,

jasa, dan biaya kegiatan lainnya.

Page 132: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Berdasarkan cara ini, penggunaan stelsel kas dapat mengakibat­kan penghi tungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitubesarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan denganmengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu,untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam penggunaan stelselkas harus memerhatikan hal-hal antara lain:

1. penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harusmeliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yangbukan tunai. Dalam menghitung harga pokok penjualan harusdiperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan;

2. dalam memperoleh data yang dapat disusutkan dan hak-hakyang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan daripenghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan danamortisasi;

3. penggunaan stelsel kas harus dilakukan secara taat asas .

Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harustaat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya,misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilandan biaya (metode kas atau akrual) , metode penyusunan aktivatetap, metode penilaian persediaan, dan sebagainya. Namundemikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkandengan persyaratan telah mendapat persetujuan dari pejabat pajak.Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada pejabat pajaksebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan denganmenyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima sertaakibat-akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan mengakibatkan perubahandalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metodedari kas kepada akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaanmetode pengakuan penghasilan atau peng akuan biaya itu sendiri.Misalnya, dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan

D. Penyimpanan Dokumen

253BAB 11 : Pembukuan

penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutantertentu. Contoh, wajib pajak dalam tahun 2005 menggunakanmetode penyusutan garis lurus (straight line method). Kemudian,pada tahun 2006, wajib pajak bermaksud mengubah metodepenyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldomenurut (declining balance method) . Untuk keperluan tersebut, wajibpajak wajib meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pejabatpajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2006 denganmenyebutkan alasan-alasan dilakukannya perubahan metodepenyusutan dan akibat dari perubahan tersebut. Perubahan periodetahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan ataukerugian wajib pajak. Oleh karena itu, perubahan wajib pulamemperoleh persetujuan dari pejabat pajak.

Tahun pajak sama dengan tahun takwim (tahun kalender) ,kecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak samadengan tahun takwim. Tatkala wajib pajak menggunakan tahunbuku yang berbeda dengan tahun takwim, maka penyebutan tahunpajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnyatermasuk enam bulan pertama atau lebih . Contoh, a) pembukuandiselenggarakan pada tanggal 1 ]uli 2005 sampai dengan tanggal30 ]uni 2006, tahun pajaknya adalah tahun 2005, atau b)pembukuan diselenggarakan pada tanggal 1 Oktober 2005 sampaidengan tanggal 30 September 2006,tahun pajaknya adalah tahun

2006 .

Pembukuan atau pencatatan yang bersumber dari data yangterdapat pada buku -buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumenyang menjadi dasarnya serta dokumen lainnya termasuk hasilpengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronikatau secara program aplikasi on-line, wajib disimpan selama sepuluh

Pembaruan Hukum Pajak252

Page 133: Buku Pembaruan Hukum Pajak

254 Pembaruan Hukum Pajak 255

tahun di Indonesia. Penyimpanannya di ternpar kegiatan atauternpar tinggal wajib pajak orang pribadi, atau di temp at kedudukan

wajib pajak badan. Hal ini dimaksudkan, tatkala pejabat pajak akanmenerbitkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan ataupencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segeradisediakan.

Kurun waktu sepuluh tahun penyimpanan buku-buku, catatan­catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuanatau pencatatan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai

batas kedaluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.Penyimpanan buku-buku; catat an-catatan, dan dokumen-dokumen

yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen laintermasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-linewajib

dilakukan dengan memerhatikan faktor keamanan, kelayakan, dankewajaran penyimpanannya.

m" Pemeriksaan

A. Pengertian

Jika ada dugaan bahwa wajib pajak berupaya untuk melakukan

penghindaran pajak secara illegal, pejabat pajak wajib melakukantindakan hukum yang dibenarkan oleh hukum pajak. Salah satubentuk tindakan hukum yang dibenarkan adalah pemeriksaan.Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, men gum­

pulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya. Pemeriksaantidak boleh menyimpang dari ketentuan yang menjadi dasarnya,

agar tidak menimbulkan kerugian bagi wajib pajak yang diperiksa.Sebaliknya, wajib pajak berkewajiban memberi keterangan Iisan

maupun ket erangan tertuIis yang terkait dengan kewajiban yang

telah ditentukan, misalnya memperIihatkan pembukuan ataupencatatan yang diselenggarakan selama ini.

Pelaksanaan pem eriksaan diupayakan agar pejabat pajak yang

melakukan pemeriksaan maupun wajib pajak yang diperiksa te tapberpegang pada keterbukaan dan kejujuran. Hal ini dimaksudkanagar terhindar dari kompromi pajak yang dapat menimbulkan

kerugian bagi negara. Dengan demikian, terIaksan anya pemeriksaansecara benar berarti terjalin kerja sama yang baik untuk mene gakkanhukum pajak tanpa melalui proses peradilan.

Page 134: Buku Pembaruan Hukum Pajak

B. Tujuan Pemeriksaan

1. menerapkan teknik-teknik pem eriksaan yang lazim digunakan

dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan pemerik­

saan lengkap;

2. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan

Pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat pajak terhadap wajib

pajak yang diperiksa pada hakikatnya memiliki tujuan yang hendak

dicapai . Pejabat pajak dalam ran gka pengawasan kepatuhan

pemenuhan kewajiban perpajakan, berwenang melakukan pemerik­

saan untuk:

1. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban wajib pajak;

2. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan.

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban

wajib pajak dapat dilakukan dalam hal:

1. surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran

pajak dan atau rugi;

2. surat pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan

tidak pada waktu yang telah ditetapkan;

3. data dan atau keterangan dalam surat pemberitahuan menyim­

pang dari kewajaran dan kelaziman;

4. ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut

huruf b tidak dipenuhi.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan

kewajiban perpajakan wajib pajak dilakukan dengan menelusuri

kebenaran surat pernberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan

pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, yang dilakukan dengan

cara:

257BAB 12: Pemeriksaan

kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup

pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan,

yang dinamakan pemeriksaan sederhana.

Sementara itu, tujuan lain pemeriksaan yang dilakukan oleh

pejabat pajak dapat berupa, antara lain:

1. pemberian nomor pokok wajib pajak secara jabatan:

2. penghapusan nomor pokok wajib pajak;

3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena

pajak;

4. wajib pajak mengajukan keberatan;

5. pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan

penghasilan ne to;

6. pencocokan data dan atau alat keterangan;

7. penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil;

8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan

Nilai;

9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;

10. pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan per­

pajakan untuk tujuan lain selain tersebut di atas .

Tujuan lain pemeriksaan tersebut di atas, hanya sekadar untuk

memberikan pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Sementara

itu, yang mewujudkan pelayanan yang terbaik adalah kewajiban

pejabat pajak sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan. Sekalipun pelayanan yang terbaik

diperuntukkan kepada wajib pajak, tidak berarti bahwa kehendak

atau kemauan wajib pajak wajib dilaksanakan oleh pejabat pajak

karena kadangkala wajib pajak hanya untuk mempersulit atau

menghambat pelayanan yang diberikan oleh pejabat pajak tersebut.

Pembaruan Hukum Pajak256

Page 135: Buku Pembaruan Hukum Pajak

258 Pembaruan Hukum Pajak SAS 12: Pemeriksaan 259

C. Ruang Lingkup Pemeriksaan

, Pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat pajak dapat dilakukandi kantor (pemeriksaan kantor) atau di tempat wajib pajak

(pemeriksaan lapangan) yang ruang Iingkup pemeriksaannya dapatmeIiputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan. Pernerik­

saan dilakukan terhadap wajib pajak , termasuk terhadap instansipemerintah dan badan lain sebagai pemotong atau pemungut pajak.

Sebenarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat pajakterhadap wajib pajak, baik pemeriksaan kantor maupun perneriksa­

an lapangan pada hakikatnya dikehendaki agar ketaatan wajib pajaktidak mengalami kemunduran dalam memenuhi kewajibannya.Dengan demikian, wajib pajak yang diperiksa tidak perlu berangga­

pan bahwa pemeriksaan tersebut adalah untuk mengungkapkanketidakbenaran yang pada dasarnya tidak demikian halnya.

Ruang Iingkup pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat pajakterhadap wajib pajak, terdiri dari sebagai berikut.

1. Pemeriksaan kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu,

baik tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya yangdilakukan di Kantor Direktorat Ienderal Pajak. Pemeriksaankantor hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan

sederhana. Pemeriksaan ini dilaksanakan dalam jangka waktu

ernpat minggu dan dapat diperpanjang menjadi paling lama

enam minggu.

2. Pemeriksaan lapangan yang meliputi suatu jenis pajak tertentu

atau seluruh jenis pajak dan atau tujuan lain baik tahunberjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di

ternpat wajib pajak . Pemeriksaan lapangan dapat dilaksanakandengan pemeriksaan lengkap (pemeriksaan lapangan lengkap)atau pemeriksaan sederhana (pemeriksaan lapangan seder­

hana). Pemeriksaan lapangan lengkap dilaksanakan dalamjangka waktu dua bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling

lama delapan bulan sedangkan pemeriksaan lapangan seder­

hana dilaksanakan dalam jangka waktu satu bulan dan dapatdiperpanjang menjadi dua bulan.

Ruang lingkup pemeriksaan tidak hanya sekadar pembatasan

dalam melaksanakan perneriksaan, tetapi pembatasan tersebuttidak boleh dilanggar oleh pemeriksa. Hal ini untuk menghindari

agar tidak ada pengaduan maupun gugatan dari wajib pajak yangterlanggar haknya dalam pemeriksaan tersebut. Pengaduan maupun

gugatan merupakan salah satu bentuk ketidakpuasan wajib pajakterhadap pejabat pajak yang melakukan pemeriksaan.

Pejabat pajak dapat menunjuk seseorang atau lebih sebagaipetugas pajak sebagai pemeriksa (pemeriksa pajak) yang melakukan

pemeriksaan. Pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh pejabat pajakharus berasal dari pegawai negeri sipil di lingkungan Direktoratjenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh pejabat pajak

yang diberi tugas, wewenang dan tanggungjawab untuk rnelaksana­kan pemeriksaan pajak . Selain itu, pemeriksa pajak untuk melaku­kan perneriksaan, berkewajiban memiliki pendidikan teknis yangcukup dan keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Pemeriksa pajak

yang ditunjuk oleh pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaanterhadap wajib pajak, sebelum melakukan pemeriksaan terlebih

dahulu wajib memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapidengan surat perintah pemeriksaan. Hal ini dimaksudkan agar wajib

pajak yang diperiksa tidak memiliki keraguan akan tujuan dari

pemeriksaan tersebut. Oleh karena itu, pemeriksa pajak berkewaji­

ban menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada wajibpajak.

D. Kewajiban yang Diperiksa

Setelah pemeriksa pajak sebagai pemeriksa memenuhikewajibannya, wajib pajak yang diperiksa, wajib pula memenuhi

Page 136: Buku Pembaruan Hukum Pajak

260 Pembaruan Hukum PajakBAB 12: Pemeriksaan 261

kewajiban hukumnya. Adapun kewajiban wajib pajak yang diperiksaadalah:

1. memperlihatkan dan atau meminj amkan buku atau catatan,

dokumen yan g menjadi dasarnya dan dokumen lain yang

berhubungan dengan penghas ilan yang diperoleh, kegiatanusaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang

pajak;

2. memberikan kes empatan untuk memasuki tempat atau

ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan buku­buku, catatan-cat atan, dokumen-dokumen, barang bergerak

dan baran g tid ak bergerak yan g dap at memberi petunjuktentang keadaan usaha wajib pajak dan atau tempat-ternpat

lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan diternpat-ternpat tersebut;

3. menyerahkan sekurang-kurangnya data yang berkaitan denganperedaran usaha , aliran uang, aliran barang, laporan bulananrekening koran bank , saham dan harta yang dimiliki baik di

dalam negeri maupun di luar negeri;

4. memberikan keterangan lain yang dipe rlukan, mis alnya data

pihak keti ga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak

yang diperiksa.

)ika pemeriksa pajak telah mel akukan pemeriksaan terhadapwajib pajak yang diperiksa, diwajibkan membuat laporan pemerik­

saan. Laporan pemeriksaan yang dibuat, wajib berpedoman padapedoman laporan pem eriksaan pajak yang telah dit etapkan olehMenteri Keuangan. Adapun pedoman laporan pem eriks aan pajak

sebagai berikut.

1. Laporan pemeriksaan pajak disus un secara ringkas dan jelas ,

memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan perneriksaan,mernuat kesimpulan pem erik sa pajak yang didukung temuan

yang kua t ten tang ada atau ti dak adanya penyimpangan

terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan

memuat pula pen gungkapan informasi lain yang terkait.

2. Laporan pemeriksaan pajak yang berkaitan dengan pengungka­

pan penyimpangan surat pemberitahuan harus memerhatikankertas kerja perneriksaan, antara lain mengenai.

a. berbagai faktor perbandingan; .

b. nilai absolut dari penyimpangan;

c. sifat penyimpangan;

d. petunjuk atau temuan adanya penyimpangan;

e. pengaruh penyimpangan; dan

f. hubungan dengan permasalahan lainnya.

3. Laporan pemeriksaan pajak harus didukung oleh daftar yanglengkap dan rinei sesuai dengan tuju an pemeriksaan.

Sebenarnya kewajiban yang dipe riksa dan pemeriksa tersebut

merupakan bagian dari sistem selfassessment yang selama ini dianutoleh UU KUP karena sistem self assessment hanya memberi

kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan

jumlah pajak yang terutang kepada Direktorat )enderal Pajak.

Sekalipun demikian, pemeriksa pajak yang melakukan pemeriksaanberkewajiban bekerja secara jujur, bert anggung jawab, dan tidak

melakukan perbuatan yang tercela dalam menegakkan sistem selfassessment tersebut.

E. Penyegelan

Sebagaimana diketahui bahwa wajib pajak yang diperiksaberkewaj iban memberi kemudahan bagi pemeriksa untuk rnelaku­kan pemeriksaan ter hadap wajib pajak atau kuasanya yang padasaat dilakukan pemeriksaan tidak bersedia memberi kesempa tan

Page 137: Buku Pembaruan Hukum Pajak

262 Pembaruan Hukum Pajak SAS 12: Pemeriksaan 263

kepada pemeriksa pajak untuk memasuki tempat-ternpat atauruangan-ruangan tertentu atau terhadap barang bergerak atau tidakbergerak, yang diduga disimpan di dalamnya buku-buku, catatan­catatan, maupun dokumen-dokumen. Termasuk yang diselenggara­kan secara program on-line, sehingga buku-buku, catatan-catatandokurnen-dokumen yang diperlukan tidak dapat diperoleh, wajibpajak atau kuasanya itu dianggap menghalang-halangi pelaksanaanpemeriksaan.

]ika terjadi keadaan demikian itu, pejabat pajak dapat melaku­kan penyegelan karena hal-hal berikut.

1. Wajib pajak atau kuasanya tidak memberi kesempatan kepadapemeriksa pajak untuk membuka atau memasuki tempat atauruangan yang diduga digunakan untuk menyimpan buku-buku,catatan-catatan, dokumen-dokurnen, barang bergerak danbarang tidak bergerak yang dapat memberi petunjuk tentangkegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak.

2. Wajib pajak atau kuasanya menolak memberi bantuan gunakelancaran pemeriksaan.

3. Wajib pajak atau kuasanya tidak berada di tempat pada saatdilakukan pemeriksaan.

4. Pegawai wajib pajak menolak memberi bantuan guna kelanca­ran pemeriksaan.

5. Petugas pajak sebagai pemeriksa memerlukan upaya pengama­nan sebelum pemeriksaan selesai.

Penyegelan adalah tindakan menempelkan kertas segel padaternpat atau ruangan yang diduga digunakan untuk menyimpan .buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen, barang bergerakdan barang tidak bergerak yang dapat memberi petunjuk tentangkegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak yang diperiksa.Tujuan penyegelan agar tempat atau ruangan tersebut tidak berubah

sehingga buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen, barangbergerak dan barang tidak bergerak tidak dipindahtangankan,dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsu­kan. Penyegelan.dilakukan dengan cara menempelkan kertas segeldengan berbagai cara, sehingga buku-buku, ' catatan-catatan,dokurnen-dokumen, barang bergerak dan barang tidak bergerakyang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha ataupekerjaan wajib pajak yang diperkirakan berada di t~mpat atauruangan yang disegel tidak dapat dipindahkan, dilepas, dimasuki,atau dibuka tanpa merusak kertas segel. Kertas segel yang ditempel,wajib dibubuhi tanda tangan dari pemeriksa pajak dan diberistempel instansi yang melakukan penyegelan. Selain itu, penyegelanyang dilakukan, wajib disaksikan oleh dua orang saksi, salah satudi antara saksi tersebut adalah wajib pajak yang diperiksa ataukuasanya, atau pegawainya tatkala wajib pajak yang diperiksa ataukuasanya tidak berada di ternpat.

Pelaksanaan penyegelan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak,wajib dibuatkan berita acara penyegelan. Berita acara penyegelandibuat dan ditandatangani oleh pemeriksa pajak dan dua orangsaksi. Ketika ada saksi menolak menandatangani berita acarapenyegelan, pemeriksa pajak berkewajiban mencatat penolakantersebut dalam berita acara penyegelan dengan menyebutkanalasannya. Berita acara penyegelan dibuat paling sedikit dua rangkapdan lembar kedua diserahkan kepada wajib pajak atau kuasanyaatau pegawai wajib pajak yang diperiksa. Penyegelan tempat atauruangan dapat dibuka oleh pemeriksa dalam bentuk:

1. setelah ada izin dari wajib pajak atau kuasanya atau pegawaiwajib pajak yang diperiksa;

2. dilakukan dengan secara paksa.

Penyegelan dibuka dengan cara membuka kertas segel dandilakukan secepatnya pada jam kerja, tatkala wajib pajak atau

Page 138: Buku Pembaruan Hukum Pajak

264 Pembaruan Hukum Pajak 265

kuasanya atau pegawai wajib pajak yang diperiksa telah memberiizin kepada pemeriksa pajak untuk membuka atau memasukitempat atau ruangan yang disegel. Setelah penyegelan dibuka,pemeriksa pajak berkewajiban membuat berita acara pembukaankertas segel. Berita acara tersebut dibuat dan ditandatangani olehpemeriksa pajak dan dua orang saksi. Apabila ada saksi yangmenolak untuk menandatangani berita acara pembukaan kertassegel, pemeriksa pajak mencatat penolakan tersebut dalam beritaacara pembukaan kertas segel dengan menyebutkan alasannya.Berita acara pembukaan kertas segel dibuat paling sedikit duarangkap dan lembar kedua diserahklan kepada wajib pajak yangdiperiksa atau kuasanya atau pegawai wajib pajak.

Tenggang waktu penyegelan adalah enam hari terhitung padahari penempelan kertas segel tersebut. Setelah tenggang waktuenam hari, ternyata wajib pajak atau kuasanya atau pegawai wajibpajak yang diperiksa tetap tidak memberi izin kepada pemeriksapajak untuk membuka atau memasuki ruangan yang disegel gunamelakukan pemeriksaan pajak, perneriksa pajak berwenangmembuka secara paksa dan memasuki tempat atau ruangan yangdisegel serta melakukan pemeriksaan.

Bila kertas segel yang ditempelkan di tempat atau ruanganyang disegel tersebut rusak, pemeriksa pajak berkewajibanmembuat berita acara kerusakan tersebut dan melaporkan kepadaKepolisian Negara dan atau pemerintah daerah setempat. Sebenar­nya pemeriksa pajak dalam menjalankan tugasnya berwenangmeminta bantuan dari Kepolisian Negara dan atau pemerintahdaerah setempat. Hal ini dimaksudkan agar tugas yang dibebankanuntuk memeriksa wajib pajak tidak mengalami rintangan ataukendala yang dikehendaki oleh wajib pajak yang bersangkutan.

Sanksi Administrasi

A. PengertianHukum pajak memuat instrumen hukum berupa sanksi

administrasi yang dapat digunakan oleh pejabat pajak terhadapwajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yangditentukan dalam Undang-undang Pajak . Sanksi administrasisebagai upaya untuk memaksa wajib pajak agar menaati ketentuan­ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban di bidangperpajakan. Sekalipun sanksi administrasi sebagai upaya untukmemaksa wajib pajak, pejabat pajak tidak boleh sewenang-wenangmenerapkannya agar tidak terjadi perbuatan melanggar hukum

pajak yang dilakukan oleh pejabat pajak tersebut.

Sanksi administrasi diperuntukkan bagi wajib pajak yangmelakukan pelanggaran hukum pajak yang bersifat administratif.Sanksi administrasi tidak tertuju kepada fisik wajib pajak, melain­kan hanya berupa penambahan jumlah pajak yang terutang karenaada sanksi administrasi yang harus dibayar oleh wajib pajak. Sanksiadministrasi terhitung pada saat dikenakan kepada wajib pajakdengan jangka waktu tertentu sebagaimana yang ditentukan dalamUndang-undang Pajak. ]angka waktu yang ditentukan itu sebagaisuatu kepastian hukum yang tidak boleh dilanggar, baik oleh pejabatpajak maupun wajib pajak yang terkena sanksi administrasi.

Page 139: Buku Pembaruan Hukum Pajak

B. Sanksi Administrasi Berupa Bunga

Sanksiadministrasi berupa bunga merupakan salah satu jenissanksi administrasi yang dapat dikenakan kepada wajib pajak saatmelakukan pe langgaran hukum pajak yang terkait dengan

Tidak semua Undang-undang Pajak yang mem uat ketentuanformal, mengatur tentang sanksi administrasi. Sanksi administrasi

hanya dapat temukan dalam UU KUp, UU PBB, UU BPHTB, dan

UU PDRD. Sebaliknya Undang-undang Pajak yang memuatketentuan formal, tetapi tidak mengatur mengenai sanksi adrninis­trasi adalah UU PPDSP.

Sanksi administrasi bukan merupakan bagian dari utang pajaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 UU KUP bahwa

pajak yang teru tang adalah pajak yang harus dibaya r pada sua tusaat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun

pajak menurut kete ntuan peraturan perundang-undangan perpaja­kan. Akan tetapi, menurut Pasal 1 angka 8 UU PPDSP bahwa utang

pajak adalah pajak yang masi h harus dibayar term asuk sanksiadministrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum

dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenis nya berdasarkanketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan ketentuan pad a Pasal 1 angka 8 UU PPDSP ter­nyata sanksi administrasi merupakan bagian tak terpisahkan denganutang pajak. Pada hakikatnya, Pasal 1 angka 8 UU PPDSP merupa­

kan ketentuan khusus terhadap ketentuan umum yang terdapatdalam ketentuan UU KUP. Dengan demikian, utang pajak tidakhanya jumlah pajak yang tidak dibayar ata u kurang dibayartermasuk pula sanks i administrasi. Hal ini dimaksudkan agar

wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya tidak melampauijangka waktu yang ditentukan sehingga terhindar dari penge­naan sanksi administrasi.

267BAB 13: Sanksi Administrasi

pelaksanaan kewajiban. Kewajiban wajib pajak yang terkait dengansanksi administrasi berupa bunga adalah pem bayaran secara lun aspajak dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana yangtercantum dalam dasar penagihan pajak. Lain perkataan ketika pajak

yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran,

pada saat it u pejabat pajak berwenang melakukan penagihan pajakdisertai pengenaan sanksi administrasi beru pa bu nga.

Sanksi administrasi berupa bunga sebag aimana diatur dalamPasal 13 ayat (2) UU KUP dikenakan terhadap jumlah kekurangan

Pajak PenghasiIan, Pajak Pertambahan NiIai dan Pajak Penjualannatas Barang Mewah yang terutang dalam surat ketetapan pajakkurang bayar, karena berdasarkan hasiI pemeriksaan atau kete­

rangan lain pajak yang terutang kurang dibayar. Sanksi administrasiberupa bunga sebesar dua persen sebulan, untuk selama-Iamanya24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnyamasa pajak, bagian tahun pajak, atau tah un pajak sampai dengan

diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar. Ketentuan yangsama terdapat pula pada Pasal 11 ayat (2) UU BPHTB, tetapi hanyadiberIakukan untuk jumlah kekurangan Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Banguan yang terutang dalam surat ketetapan BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Apabila berdasarkan hasil

pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang kurang dibayar,dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen

sebulan. Sanksi administrasi berupa bunga tersebut untuk jangka

waktu paling lama 24 bulan, dihitung mu lai saat terutangnya BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sampai dengan diterbitkan

surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Hal y.ang sama tersebut di atas, terdapat dalam Pasal 9 ayat(2) UU PDRD yang berarti pengenaan sanksi administrasi berupabunga sebesar dua persen sebulan dihitung dari pajak daerah yangkurang atau terIambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24

Pembaruan Hukum Pajak266

Page 140: Buku Pembaruan Hukum Pajak

268 Pembaruan Hukum Pajak BAB 13: Sanksi Administrasi 269

bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak daerah. Pengenaansanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen sebulan

tercantum dalam surat ketetapan pajak daerah kurang bayar yangditerbitkan oleh pejabat pajak. Sanksi administrasi berupa bunga

tersebut bersama dengan jumlah kekurangan pajak daerah yang

terutang harus dibayar lunas dalam jangka waktu yang ditentukan.

Kemudian, ketentuan pada Pasal13 ayat (5) UU KUPberisikan

pengenaan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% darijumlah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. Saatwajib pajak setelah jangka waktu lima tahun tersebut dipidana

karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindakpidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar

48% sebulan tercantum dalam surat ketetapan pajak kurang bayarbersama dengan jumlah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang

dibayar.

Sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 ayat (3) UU KUP diperuntukkan bagi jumlah

kekurangan pajak yang terutang dikenakan sanksi administrasi

berupa bunga sebesar dua persen sebulan. Sanksi administrasi

berupa bunga tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 bulan,

terhitung sejak saat terutang pajak atau bagian tahun pajak atau

tahun pajak sampai dengan diterbitkan surat tagihan pajak. Surat

tagihan pajak yang diterbitkan, memuat jumlah kekurangan pajakyang terutang ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga

sebesar dua persen sebulan dan wajib dibayar lunas dalam jangka

waktu yang ditentukan.

Substansi hukum mengenai pengenaan sanksi administrasi

berupa bunga yang terdapat pada Pasal 14 ayat (3) UU KUP jugaditemukan pada Pasal 13 ayat (2) UU BPHTB, bahwa jumlah BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang tidak atau

kurang dibayar dalam surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar

dua persen sebulan. Sanksi administrasi berupa bunga tersebutuntuk jarigka waktu paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengenaan sanksi

administrasi berupa bunga sebesar dua persen sebulan, merupakanpenambahan jumlah utang Bea Pero lehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang wajib dibayar lunas dalam jangka waktu yangditentukan dalam surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan.

Demikian pula halnya dalam Pasal 10 ayat (2) UU PDRD

bahwa jumlah kekurangan pajak daerah yang terutang dalam surattagihan pajak daerah dikenakan sanksi administrasi berupa bungasebesar dua persen setiap bulan untuk paling lama lima belas bulan

sejak saat terutangnya pajak daerah. ]umlah kekurangan pajakdaerah yang terutang dalam surat tagihan pajak daerah apabila

pajak daerah dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, atau

dari hasil penelitian surat pemberitahuan pajak daerah terdapat

kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salahhitung. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen

tersebut, wajib dibayar lunas bersama dengan jumlah kekurangan

pajak daerah yang terutang dalam jangka waktu yang ditentukandalam surat tagihan pajak daerah termaksud.

Pajak daerah yang tercantum dalam surat ketetapan pajak

daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempopembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa sebesar duapersen sebulan, dan penagihan melalui surat tagihan pajak daerah

Page 141: Buku Pembaruan Hukum Pajak

270 Pembaruan HukumPajak BAB 13: SanksiAdministrasi 271

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 aya t (3) UU PDRD.Sekalipun dalam surat ketetapan pajak daerah memuat pajak

daerah yang wajib dibayar, tetapi sampai pada saat jatuh tempopembayaran ternyata wajib pajak tidak membayar lunas, akibat darikesengajaan ata u kelalaiannya sehingga dikenakan sanksi

administrasi berupa bunga sebesar dua persen sebulan. Pajakdaerah yang tidak atau kurang dibayar bersama dengan sanksiadministrasi berupa bunga sebesar dua persen sebulan wajib

dibayar lunas dalam jangka waktu yang ditentukan dan pe nagihan­nya berdasarkan surat tagihan pajak daerah.

Terhadap pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dantelah diberikan pengembalian pajak masukan dikenakan sanksi

administrasi berupa bunga sebesar dua persen per bulan dari jumlahPajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.Sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen per bulan,dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian

Kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah sampai dengan terbitnya surat

tagihan pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

Pengenaan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% darijumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan PasallS

ayat (4) UU KUp, dikenakan kepada wajib pajak setelah jangka

waktu lima tahun telah lewat. Dalam hal, wajib pajak setelah jangkawaktu lima tahun tersebut dipidana, karena melakukan tindak

pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkanputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% tercantum dalam

surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan yang peruntukan

kepada wajib pajak penghasilan atau pengusaha kena pajak sebagaiwajib Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas BarangMewah.

Diken akan sanksi adminis trasi beru pa bunga sebesar dua

persen sebulan untuk seluru h masa, yang dihitung dari tanggalja tuh te mpo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggalditerbitkannya surat tagihan pajak, dan bagian dari bu lan dihitung

penuh satu bulan berdasarkan Pasal19 ayat (1) UU KUP. Pengenaansanksi administrasi beru pa bunga dua persen ini, apabila Pajak

Penghasilan dan atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah yang masih harus dibayar menurut surat keteta­

pan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayartambahan pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurangdibayar. Begitu pula tambahan jumlah Pajak Penghasilan atau PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yangmasih harus dibayar berdasarkan surat keputusan pembetulan,

surat keputusan keberatan, putusan banding atau putusanpeninjauan kembali pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau

kurang dibayar.

Kemampuan wajib Pajak Penghasilan atau pengusaha kenapajak kadangkala terbatas untuk melunasi jumlah pajak yang

terutang pada waktu yang telah ditentukan, apalagi kalau wajibPajak Penghasilan atau pengusaha kena pajak berada dalam keadaanyang memaksa (overmacht) sehingga kewajiban itu tidak dapat

dipenuhinya. Oleh karena itu, Undang-undang Pajak memberikan

pengecualian berupa diperbolehkan mengangsur atau menundapembayaran Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dalam jangka waktu yang

disepakati antara wajib pajak dengan pejabat pajak. Terkait denganitu , menurut Pasal 19 ayat (2) UU KUp, wajib Pajak Penghasilan

atau pengusaha kena pajak yang diperbolehkan mengangsur ataupenunda pembayaran Pajak Penghasilan atau Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dikenakan sanksi

administrasi berupa bunga dua persen sebulan, dan bagian daribu lan dihitung penuh satu bulan.

Page 142: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Ketentuan yang sama dengan di atas terdapat pula dalam UU

PDRD, yang berarti diperuntukkan untuk pajak daerah. Pasal 11ayat (3) UU PDRD menegaskan, kepala daerah atas permo honan

wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapatmemberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk mengangsur

atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesardua persen sebulan. Ketentuan ini tidak mengatur mengenai kapan

berakhir jangka waktu pengenaan bunga sebesar dua persen sebulanterhadap wajib pajak daerah yang diperbolehkan mengangsur atau

menunda pembayaran pajak daerah yang terutang karena tidakada batasan jangka waktu pengenaan bunga tersebut, berart iberakhirnya pengenaan bunga sebesar dua persen sebulan pada

saat tidak lagi mengangsur atau menunda pembayaran pajak daerahyang terutang. Selain itu, persyaratan yang harus dipenuhi wajibpajak agar boleh mengangsur atau menunda pembayaran pajakdaerah harus berdasarkan keputusan kepala daerah.

Bukan hanya pelunasan pajak yang terutang boleh dilakukanpenundaan, tetapi termasuk kewajiban wajib pajak untuk menyam­

paikan surat pemberitahuan kepada Direktorat ]enderal Pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukannya. Dalam hal ini, wajibpajak tersebut wajib mengaj ukan permohonan tertulis un tu k

menunda penyampaian surat pemberitahuan. Permohona n itu

harus dilengkapi dengan pernyataan mengenai penghitungan

sementara pajak yang teru tang dalam jangka waktu satu tahun pajak

dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilanatau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah yang terutang.

]ika permohonan dikabu lkan berarti wajib Pajak Penghas ilan

ata u pengusaha kena pajak diperbolehkan men unda penyampaiansurat pemberitahuan dan penghitungan sementara Pajak Peng­hasilan atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

c. Sanksi Administrasi Berupa Denda

Selain sanksi administrasi berupa bunga, dikenal pula sanksiadministrasi berupa denda yang dapat dikenakan kepada wajib pajak

yang tidak menaati ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Pengenaan sanksi ini dilakukan oleh pejabat pajakdalam rangka menegakkan hukum pajak. Sanksi administrasi

berupa denda tidak diterapkan untuk semua jenis pajak, hanya PajakPenghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, serta Pajak Bumi dan Bangunan. Sementara itu,pajak yang tidak mengenal sanksi administrasi berupa denda adalah

273BAB 13: Sanksi Administrasi

Barang Mewah yang terutang kurang dari jumlah Pajak Penghasilan

atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas BarangMewah yang sebenarnya terutang. Dalam hal ini, berdasarkan Pasal

19 ayat (3) UU KUPatas kekurangan pembayaran Pajak Penghasilanatau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah yang terutang dikenakan sanksi administrasi. Sanksiadministrasi yang dimaksud adalah berupa bunga sebesar dua

persen sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban

menyampaikan surat pemberitahuan sampai dengan tanggal

dibayarnya kekurangan tersebut, dan bagian dari bulan dihitungpenuh satu bulan. Saat berakhirnya penyampaian surat pem­

beritahuan adalah tergantung dari kebijakan pejabat pajakdengan tidak bertentangan hukum pajak.

UU PBBtidak mengatur mengenai sanksi administrasi berupabunga yang boleh dikenakan kepada wajib Pajak Bumi danBangunan. Dalam arti, sanksi administrasi berupa bunga tidakdikenal dalam pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan

dernikian, wajib Pajak Bumi dan Bangunan tidak akan dikenakan

sanksi administrasi berupa bunga, sebagaimana halnya denganwajib pajak yang tunduk pada UU KUp, UU BPHTB,dan UU PDRD.

Pembaruan Hukum Pajak272

Page 143: Buku Pembaruan Hukum Pajak

274 Pembaruan HukumPajak BAB 13: Sanksi Administrasi 275

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta pajak daerah.

Lain perkataan bahwa UU BPHTB dan UU PDRD tidak mengatursanksi administrasi berupa denda dan karena itu wajib pajak yangmelakukan pelanggaran hukum terhadap pelaksanaan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta pajak daerah tidak

dikenakan sanksi administrasi berupa denda, melainkan sanksiadministrasi berupa bunga atau kenaikan.

Pengenaan sanksi administrasi berupa denda terhadap wajibpajak atau pengusaha kena pajak yang terikat pada Pajak

Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU KUP. Sanksiadministrasi berupa denda dikenakan karena tidak menyampaikan

surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan,termasuk jangka waktu perpanjangan penyampaian surat pem­beritahuan, untuk:

1. surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai sebesarRp500.000,OO;

2. surat pemberitahuan masa lainnya sebesar RplOO.OOO,OO;

3. surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan wajib pajakbad an, sebesar RplOOO.OOO,OO;

4. surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan wajib pajakorang pribadi, sebesar RplOO.OOO,OO.

Sanksi administrasi berupa denda karena tidak menyampaikansurat pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan, tidak

selalu harus dikenakan kepada wajib pajak, baik wajib pajak dariPajak Penghasilan, Pajak Pert am bah an Nilai Barang dan ]asa,serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Hal ini merupakan

pengecualian dari ~uatu keadaa n yang tidak dapat dihindarkandan hukum pajak harus mengantisipasi keadaan tersebut. Adapunkeadaan yang harus diantisipasi adalah sebagai berikut.

1. Wajib pajak orang pribadi telah meninggal dunia.

2. Wajib pajak orang pribadi sudah tidak melakukan kegiatan

usaha atau pekerjaan bebas.

3. Wajib pajak orang pribadi bukan warga negar§. Indonesia yangtidak tinggal lagi di Indonesia.

4. Bentuk usaha tetap tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesiakarena pailit atau telah dibubarkan.

5. Wajib pajak tidak melakukan kegiatan usaha lagi, walaupun

belum dinyatakan bubar sesuai dengan ketentuan yang ber­

laku.

6. Bendahara tidak melakukan pembayaran lagi karena telah

diberhentikan dari jabatan itu.

7. Wajib pajak terkena bencana, yang pengaturannya merupa­

kan kewenangan Menteri Keuangan.

8. Wajib pajak lain yang menurut Menteri Keuangan akan diatur

dengan atau berdasarkan peraturannya.

Pengecualian untuk tidak dikenakan sanksi administrasi

berupa denda tersebut di atas, pada hakikatnya merupakanperwujudan dari "keadilan" sebagai salah satu fungsi hukum pajak.

Pencerminan keadilan dalam hukum pajak menunjukkan responsif

terhadap perkembangan di masa kini dan mendatang. Dengan

dernikian, keberadaan pengecualian tersebut membuktikanbahwa hukum pajak mengalami pembaruan untuk mengantisipasi

perkembangan ke depan agar tetap fleksibel sifatnya.

Kemudian sanksi administrasi berupa denda yang terdapatdalam PasallO ayat (3) dan ayat (4) UU PBBhanya dperuntukkan

bagi wajib pajak yang terikat pada Pajak Bumi dan Bangunan. Sanksiadministrasi berupa denda tercantum dalam surat ketet apan pajakyang diterbit kan oleh pejabat pajak. Adapun sanksi administrasi

Page 144: Buku Pembaruan Hukum Pajak

berupa denda sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (3) UU

PBB, sebesar 25% dihitung dari pokok pajak (jumlah Pajak Bumi

dan Bangunan yang terutang dalam surat ketetapan pajak) bila suratpemberitahuan objek pajak tidak disampaikan dan setelah ditegur

secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam

surat teguran tersebut. Kernudian sanksi administrasi berupa dendasebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (4) UU PBB, sebesar

25% dari selisih Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang berdasar­

kan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak

Bumi dan Bangunan yang terutang lebih besar dari jumlah PajakBumi dan Bangunan yang dihitung berdasarkan surat pern­

beritahuan objek pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.

Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang berdasarkan surat

pemberitahuan pajak terutang harus dilunasi selambat-lambatnya

enam bulan sejak tanggal diterima surat pemberitahuan pajakterutang oleh wajib pajak, sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan

yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak harus dibayarlunas selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterima surat

ketetapan pajak oleh wajib pajak. Ketika jangka waktu tersebuttidak dipenuhi oleh wajib pajak, berdasarkan Pasalll ayat (3) UU

PBB dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar dua

persen sebulan, dihitung dari saat jatuh tempa sampai dengan hari

pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi

administrasi ini dicantumkan dalam surat tag ihan pajak yang

diterbitkan oleh pejabat pajak.

Sanksi administrasi berupa denda tidak dikenal dalam UUBPHTB, berarti bahwa Wajib Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan tidak akan dikenakan sanksi admi nist rasi berupa denda

oleh pejabat pajak. Demikian pula halnya terh adap wajib pajakdaerah karena UU PDRD tidak mengatur m engenai sa nksiadministrasi berupa denda. Berbeda halnya terhadap wajib Pajak

D. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan

Penghasi lan dan pengusaha kena pajak dapat dikeriakan sanksi

administrasi berupa denda.

277SAS 13: Sanksi Administrasi

Selain sanksi administras i beru pa bu nga dan de nda, juga

dikenalsanksi administrasi berupa kenaikan yang dapat dikenakan

kepada wajib pajak oleh pejabat pajak dalam rangka menegakkanhukum pajak. Pengenaan sanksi administ rasi berupa kenaikan

hanya tertuju kepada wajib pajak yang tidak mem bayar lunas jumlahpajak yang terutang. Pada hakikatnya, sanksi adm inistrasi berupa

kenaikan bertujuan agar wajib pajak t idak beru paya untukmelakukan penghindaran pembayaran pajak karen a dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pasal 13 ayat 3 UU KUP memuat san ksi administrasi berupa

kenaikan yang dikenakan kepada wajib pajak yang tidak membayarlun as jumlah Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam surat

ketetapan pajak kurang bayar, sebesar:

a. lima puluh persen dari pajak pen ghasil an yang tidak atau

kurang dibayar dalam satu tahun pajak;

b. seratus persen dari pajak penghasilan yang tidak ata u kurangdipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang

disetor, dan dipotong atau dipungut , tetapi tidak atau kurang

disetorkan:

c. se ratus persen dari Pajak Pertambahan Nilai da n PajakPenjual an atas Barang Mewah yang tidak ata u kurang dibayar..Bes arnya sanksi administrasi berupa kenaikan men uru t

Penjelasan ketentuan Pasa l 13 ayat (3) UU KUp, berbeda-beda 'menurut jen is pajaknya. Untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayarsendiri wajib pajak, sanksi kenaikan sebesar lima puluh per sen,

PembaruanHukum Pajak276

Page 145: Buku Pembaruan Hukum Pajak

278 Pembaruan Hukum Pajak SAS 13: Sanksi Administrasi 279

untuk jenis Pajak Penghasi lan yang dipotong oleh orang ataubadan lain sanksi kenaikan sebesar seratus persen. Sementara itu,

untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah sanksi kenaikan sebesar seratus persen. Ketentuanini memberikan klasifikasi terhadap jenis pajak yang dikenakan

sanksi administrasi berupa kenaikan. Hal ini dimaksudkan agar

ada kepastian hukurn, baik terhadap wajib pajak maupun pejabatpajak yang menjatuhkan sanksi tersebut.

Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar seratus persen

dikenakan terhadap jumlah pajak yang terutang, baik PajakPenghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualanat as Barang Mewah dalam surat ketetapan pajak kurang bayartambahan berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU KUP. Apabiladitemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap

yang mengakibatkan penambahan utang pajak yang terutang.Ketentuan yang sama terdapat pula dalam Pasal 12 ayat (2) UUBPHTB. Sanksi administrasi berupa kenaikan dicantumkan dalamsurat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunankurang bayar tambahan karena ditemukan data baru dan atau data

yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahanjumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan setelah

diterbitkan surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan. Kenaikan sebagai sanksi administrasi sebesar seratus

persen dari jumlah kekurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang terutang dikenakan kepada wajib Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan. Akan tetapi, bila wajib Bea PerolehanHak at as Tanah dan Bangunan melaporkan sendiri mengenai

data baru dan atau data yang semula belum terungkap yangmenyebabkan penambahan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan yang terutang, sebelum dilakukan tindakan

perneriksaan, tidak dikenakan sanksi administrasi berupa kenai ­kan.

Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar seratus persen

dari jumlah kekurangan pajak daerah sebagaimana dimaksud dalamPasal 9 ayat (3) UU PDRD, tatkala jumlah kekurangan pajak daerahyang terutang dalam surat ketetapan pajak daerah kurang bayar

tarnbahan. Pelunasan kekurangan pajak daerah yang terutangbersama dengan sanksi administrasi sebesar seratus persen harus

dalam jangka waktu yang ditentukan.

Selain itu, pengenaan secara bersama sanksi administrasi

berupa kenaikan dengan sanksi administrasi berupa bunga terdapat

dalam Pasal9 ayat (5) UU PDRD.Jumlah kekurangan pajakdaerahyang terutang dalam surat ketetapan pajak daerah kurang bayarsebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dikenakansanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak

daerah ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar duapersen sebulan. Pengenaan kedua sanksi administrasi tersebut

dihitung dari pajak daerah yang kurang atau terlambat dibayaruntuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat

terutangnya pajak daerah.

Sanksi administrasi berupa kenaikan tidak dikenal dalam UU

PBB, berarti wajib Pajak Bumi dan Bangunan tidak dikenakan sanksiadministrasi berupa kenaikan. Oleh karena itu, pejabat pajak tidak

berwenang mengenakan sanksi administrasi berupa kenaikan

kepada wajib Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan dernikian, wajibPajak Bumi dan Bangunan terhindar dari pengenaan sanksi

administrasi berupa kenaikan.

Page 146: Buku Pembaruan Hukum Pajak

281

Pajak Ganda

A. Pengertian

Pajak ganda merupakan puIa objek kajian yang tidak berbedadengan objek kajian Iainnya daIam hukum pajak. Pajak ganda seIaIudipersoaIkan bagi negara-negara yang Iebih mengutamakan fungsipemungutan pajaknya bersifat budgetair karena hanya semata-rnata

untuk mengisi kas negara. Anggapan yang mengutamakan fungsibudegtair tidak salah, meIainkan perIu dipertimbangkan bahwafungsi mengatur (regulerent) yang boIeh didahuIukan agar kesejah­

teraan dapat terwujud daripada memiskinkan rakyat. Bila haI inidilakukan oleh tiap negara, kemungkinannya tidak ada pajak ganda.

Pajak ganda adalah pajak yang dipungut Iebih dari satu kaIi

atas objek pajak yang sama dengan wajib pajak yang sama pula.Rochmat Soemitro (1988;74) mengemukakan sering terjadi bahwa

untuk objek yang sama terjadi pungutan ganda, artinya untuk satuobjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama atau yang

jenisnya sama dua kaIi atau Iebih pada wajib pajak yang sama.

Pemungutan pajak boIeh diIakukan oleh dua daerah atau lebihdalam suatu negara, begitu puIa pajak yang dipungut oIeh satu

negara atau lebih dari satu negara berdasarkan pengaturan negarayang bersangkutan. Pajak ganda pada prinsipnya boleh terjadidalam bentuk Pajak Ganda Nasional dan Pajak Ganda InternasionaI.

Page 147: Buku Pembaruan Hukum Pajak

282 Pembaruan Hukum Pajak SAS 14: Pajak Ganda 283

B. Pajak Ganda Nasional

Kedaulatan yang ada pada negara dapat diwujudkan dalam

suatu bentuk yang mengikat pada rakyat maupun penduduk dalam

negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Indonesia adalah negara

yang berdaulat berdasarkan UUD 1945, berarti kedaulatan yang

dimiliki Indonesia harus berdasarkan UUD 1945 karena kalau tidak

demikian, berarti suatu penyimpangan terhadap pelaksanaan

kedaulatan itu sendiri. Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa

pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

diatur dengan undang-undang. Dalam arti, Indonesia memiliki

kedaulatan untuk mengatur pajak dan pungutan yang bersifat

memaksa dalam bentuk undang-undang. Pembentukan undang­

undang sebagaimana dimaksud pada Pasal23A UUD 1945 diharap­

kan pengenaan pajak yang bersifat ganda dapat dihindari, karena

secara tegas melanggar hak asasi wajib pajak dalam berperanserta

membiayai pelaksanaan pemerintahan negara.

Pajak Ganda Nasional terjadi karena tidak ada ketidaktelitian

bagi pembuat undang-undang, pada saat pembahasan terhadap

rancangan undang-undang di bidang perpajakan sehingga

menjadi undang-undang yang mengikat wajib pajak maupun pejabat

pajak. Pajak Ganda Nasional adalah pajak yang dikenakan oleh

negara atas objek pajak yang sama dengan wajib pajak yang sama

pula. Pemungutan pajak yang dilakukan negara (pajak negara)

dengan daerah dalam negara (pajak daerah) atas objek pajak yang

sama dengan wajib pajak yang sama merupakan pula Pajak Ganda

Nasional. Pengenaan Pajak Ganda Nasional sangat memberatkan

wajib pajak, sekalipun telah ditegaskan bahwa wajib pajak memiliki

kewajiban kenegaraan dan peran sertanya da lam membiayai

pelaksanaan pemerintahan negara. Hal ini perlu dipertimbangkan

untuk mencegah agar tidak ada pengenaan Pajak Ganda Nasional

ketika negara hanya menggantungkan surnber pembiayaannyaberasal dari sektor perpajakan.

Bagi negara yang mengenakan pajak kepada warganya maupun

penduduk dalam negara dengan pajak negara, berkewajiban

meniadakan pengenaan pajak daerah yang objek pajak sama dengan

wajib pajak yang sama pula. Itulah sebabnya dalam hukum pajak

diatur mengenai lapangan pajak negara dengan lapangan pajak

daerah, baik pajak daerah provinsi maupun pajak daerah

kabupaten/kota. Hakikatnya adalah agar Pajak Ganda Nasional

tidak terjadi dalam pengaturan dan pengenaannya dalam undang­

undang, berarti kalau ada Pajak Ganda Nasional, penyebabnya

adalah pengaturan dan pengenaannya yang ditetapkan dengan

undang-undang.

c. Pencegahan Pajak Ganda Nasional

Pajak Ganda Nasional sangat memengaruhi wajib pajak untuk

tidak taat karena dibebani kewajiban yang bersifat ganda pula, hal

ini wajib dicegah sebelum memperoleh prates atau sanggahan dari

wajib pajak yang dirugikan. Pencegahan Pajak Ganda Nasional,

tergantung dari kemauan politik pembuat undang-undang untuk

melakukan perubahan dan bahkan kalau perlu mengganti Undang­

undang Pajak yang melahirkan Pajak Ganda Nasional. Misalnya,

pengenaan pajak terhadap objek pajak dan wajib pajak harus

ditetapkan secara tegas dan jelas sehingga tidak ada penafsiran lain

yang boleh digunakan selain penafsiran autentik.

Hakikat yang terkandung pada pencegahan Pajak Ganda

Nasional adalah untuk memberikan keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dalam upaya untuk

menghindari Pajak Ganda Nasional. Sebenarnya Pajak Ganda

Nasional dapat dicegah kalau ada pemahaman mengenai kewajiban,

hak, dan wewenang di pihak lain, serta di lain pihak keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum bukan hanya "kalirnat yang

dapat dibaca" tetapi harus diterapkan dalam pemungutan pajak.

Page 148: Buku Pembaruan Hukum Pajak

284 Pembaruan Hukum Pajak BAB 14: Pajak Ganda 285

Dengan demikian, Pajak Ganda Nasional tidak akan ada selama

Undang-undang Pajak yang dibuat berdasarkan kemauan politik

pembuat undang-undang untuk mensejahterakan rakyat padaumurnnya, dan khususnya terhadap wajib pajak .

D. Pajak Ganda Internasional

Pajak Ganda 1nternasional merupakan bagian tak terpisahkandengan Pajak Ganda Nasional karena kedua-duanya sebagai satukesatuan tak terpisahkan dalam kajian hukum pajak. Pajak GandaInternasional menurut Rochmat Soemitro (1988;75) terjadi kalau

dua negara, masing-masing mengenakan pajak yang sama, atauyang sejenisnya sarna, pada saat yang sama atas objek yang samapada wajib pajak yang sama, atau yang dipikul oleh wajib pajakyang sama. Begitu pula halnya pendapat Wirawan B.Ilyas (2001;85)

bahwa Pajak Ganda Internasional umumnya terjadi karena pad a. dasarnya tidak ada Hukum 1nternasional yang mengatur hal

tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara ataulebih. Oleh karena itu, Erly Suandy (2000; 153) mengatakan Pajak

Ganda Internasional adalah pajak yang dikenakan lebih dari satukali terhadap objek yang sama oleh lebih dari satu negara, dengankata lain Pajak Ganda Internasional timbul karena; a) ada lebih

dari satu negara yang memungut pajak, dan b) dikenakan terhadapobjek pajak yang sama.

Berdasarkan pengertian Pajak Ganda Internasional, ]aja Zakaria(2005;8) mengatakan dari urai an-uraian di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa dalam pengertian Pajak Ganda Internasionalterdapat unsur-unsur, di antaranya;

1. terdapat dua negara (atau lebih) yang mengenakan pajak;

2. pajak tersebut dikenakan terhadap subjek pajak yang sama;

3. objek pajak yang dikenakan adalah sama;

4. adanya kesamaan mengenai jenis pajak yang dikenakan;

5. pajak tersebut dikenakan dalam periode (masa) yang identik.

Sementara itu , Rochmat Soemitro (1988;76) mengatakan PajakGanda Int ern asional merupakan masalah yang menjad i perhatian

banyak negara di dunia karen a perd agan gan internasional danperalihan teknologi makin maju sehingga wajib pajak di satu negara

memperoleh juga penghasilan di negara lain. Bila terj adi PajakGanda, maka pada lazimnya negara tempat sumber pen ghasilanmempunyai hak utama untuk mengenakan hasil yang keluar dari

sumber negaranya (source principle). Maka, negara tempat tin ggalharus memberi prioritas kepada negara sumber dan pajak di tempattinggalnya pada waktu penetapan, harus dikurangi dengan kreditdari pajak yang dikenakan di negara domisili harus menjadiperhatian dari bagian penagihan dan harus diminta tanda-tanda

pembayaran pajak di negara sumber tersebut.

Terjadinya Pajak Ganda Internasional karena tidak ada suatu

hukum yang berlaku secara umum bagi negara untuk digunakansebagai dasar pemungutan pajak. Hal ini disebabkan bahwa tiapnegara memiliki kedaulatan tersendiri untuk mengatur danmemungut pajak kepada wajib pajak, walaupun berada di luar

negaranya. Agar tidak terjadi Pajak Ganda Internasional merupakankewajiban hukum bagi negara-negara untuk melakukan upaya

pencegahan Pajak Ganda Internasional. Oleh karena itu, kewajibannegara-n egara untuk meniadakan Pajak Ganda Internasional dengan

menggunakan saluran hukum yang tersedia.

E. Pengenaan Pajak Ganda Internasional

Rachmanto Surahmat (2000;21) mengatakan pengenaan Pajak

Ganda secara Internasional pada dasarnya merupakan akibat dariperbedaan prinsip-prinsip perpajakan Internasional yang dianutoleh setiap negara. Perbedaan prinsip tersebut mengakibatkan

Page 149: Buku Pembaruan Hukum Pajak

2. Konflik karena Perbedaan Definisi Penduduk

1. Konflik antar Asas Domisili dengan AsasSumber

Penyebab terjadinya pengenaan pajak berganda biasanya ber­

temunya asas domisili dengan asas sumber. Negara domisili menge­nakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya,sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang

berasal dari negara tersebut. Dalam hal ini terjadi konflik antara

world-wide income principle dan konsep kewenangan atas wilayah.

287SAS 14: Pajak Ganda

Sebagai contoh, seorang warga negara Amerika Serikat bekerja diperusahaan minyak yang melakukan kegiatan eksplorasi diIndonesia, Untuk itu harus tinggal di Indonesia. Berdasarkan

definisi "subjek pajak dalam negeri" orang Amerika Serikatterisebut dianggap sebagai "penduduk" Indonesia, Oleh karena

itu, ia dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya dari Indonesiamaupun dari luar negeri.

Dari sudut pandang Undang-undang Pajak di Amerika Serikat,

orang tersebut tetap dianggap sebagai penduduk Amerika Serikat,walaupun tidak tinggal di Amerika Serikat. Amerika Serikat

mengenakan pajak atas seluruh penghasilannya. ]adi, jelas bahwatelah terjadi pengenaan pajak berganda karena orang yang samadianggap sebagai penduduk di dua negara. Konflik mengenaipenduduk ganda ini (dual residence) biasanya terjadi atas orangpribadi. Tidak demikian halnya dengan bad an hukum, karenabiasanya pengurus suatu badan (hukum) berada di negara di mana

badan tersebut didirikan.

3. Perbedaan Definisi tentang Sumber Penghasilan

Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pengenaan pajak

berganda adalah bila dua negara atau lebih memberlakukan suatu

jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dariwilayahnya. Hal ini berakibat penghasilan yang sama dikenakan

pajak di dua negara. Misalnya, suatu badan yang merupakan"penduduk" negara A, mempunyai badan usaha tetap (BUT) di

negara B, dan mengembangkan suatu teknologi yang kemudian

diberikan kepada BUT lainnya yang berada di negara C. Negara Cmenganggap bahwa ia berhak mengenakan pajak at as imbalanuntuk teknologi tersebut sebab sumbernya adalah di mana

teknologi tersebut dimanfaatkan. Sebaliknya, negara B akanmengenakan imbalan tersebut sebagai laba usaha.

Pembaruan Hukum Pajak

Seseorang pribadi atau badan pada saat yang bersamaan dapat

dianggap sebagai penduduk dari dua negara. Hal ini boleh terjadi

karena definisi "penduduk" kedua negara tersebut berbeda.

Keadaan ini memperburuk pengenaan Pajak Berganda sebab pajak

"penduduk" tersebut ditetapkan dua kali.

Konflik ini tampak lebih nyata bila salah satu negara menganut

asas kewarganegaraan sebagai kriteria kedua dalam menentukanapakah seseorang merupakan penduduk negara tersebut. Kebanya­

kan negara, kecuali Amerika Serikat, tidak menganut asas kewarga­negaraan karena hal itu menimbulkan pengenaan pajak berganda.

konflik yurisdiksi an tara satu negara dan negara lainnya. Walaupun

setiap negara mempunyai metode pencegahan pajak ganda secaraunilateral, hal ini tidak sepenuhnya menjamin tidak terjadinya

pengcnaan Pajak Berganda.

Konflikyurisdiksi ini menurut Rachmanto Surahmat (2000;23)

berasal dari kenyataan bahwa setiap negara bebas menentukan

sendiri yurisdiksi pajaknya di luar wilayahnya. Biasanya pengenaanpajak berganda disebabkan oleh tiga jenis konflik yurisdiksi, yaitu

sebagai berikut.

286

Page 150: Buku Pembaruan Hukum Pajak

288 Pembaruan HukumPajak SAS 14: Pajak Ganda 289

Contoh lainnya, pada Pasal 26 ayat (1) UU PPh yang mengaturbahwa apabila wajib pajak dalam negeri membayar imbalan kepada"pe nduduk luar negeri" seh ubungan dengan jasa yang dilakukan­

nya, imbalan tersebut harus dipotong PPh sebesar dua puluhpersen. Cakupan ketentuan tersebut sangat luas karena walaupun

dil aku kan di luar negeri, jasa tersebut tetap dia nggap se bagaipenghasilan yang sumbernya ada di Indonesia berdasarkan UU PPh.

Sebaliknya, menuru t negara di mana "penduduk luar nege ri" yangmemberikan jasa tersebut berada, sum ber penghas ilan itu beradadi negaranya. Dalam hal ini, imb alan atas jasa tersebut diken akanpajak di dua negara.

F. Pencegahan Pajak Ganda InternasionalTelah dikemukakan bahwa Pajak Ganda Internasional dapat

dicegah dengan menggunakan saluran hukum yang telah ditentu­kan . Pencegahan Pajak Ganda Internasional tidak boleh men ge­

sampingkan asas -asas hukum pengenaan pajak, karena mengan­dung prinsip yang sangat mendalam dalam pengenaan pajak yangdilakukan tiap negara.

Pencegahan Pajak Ganda Internasional menurut Rochm at

Soemitro (1988; 75-7 6) dapat dilaku kan dengan menggunakan duacara, yakni "unilateral" dan "bilateral". Cara unilateral ialah cara

yang dil akukan sendiri oleh negara yang bersangku tan dengan

memasukkan cara pencegahan pajak gan da itu dalam Undan g­

un dang Pajak nasionalnya sendiri , berdasarkan prinsip-prinsippencegah an Pajak Ganda Internasional , tanp a bantuan negara lain

yang bersangkutan. Cara bilateral ialah mencegah Pajak GandaInternasional dengan mengadakan "Tax treaty for the avoidance ofdouble taxation". Untuk keperluan ini dua nega ra yang berkepen­

tingan merencanakan draft pencegahan pajak ganda, yang jikadisetujui oleh kedua belah pihak di paraf draftnya oleh ketua

delegasi, yang kemudian olch masing-masing delegasi dikirim kenegaranya unt uk diratifikasi dan dipertukarkan dcngan negara pihak

lain sehingga perjanjian itu me ngika t seluruh rakyat negara itu .Jika antara dua negara sudah ada perjanjian internasional tcntang

pencegahan pajak ganda, maka peraturan yang telah disetujui oleh

kedua negara yang bers angkut an, dit erapkan (bilateral) , sedangkanketentuan unilateral yang terd apat dalan Und ang-undang Pajak

masing-masing (bila ada) tid ak diterapkan.

Pencegahan Pajak Ganda Internasional boleh diupayakan secara

sepihak boleh pula diupayakan dengan dua pihak atau lebih. Upayasecara sepihak tidak melibatkan pihak lain dilakukan oleh negarayang bersangkutan dengan memuat ketentuan-ketentuan yang

mencegah pajak ganda tersebut. Karena hal ini merupakan per­wujudan kedaulatan negara terhadap ketentuan-ketentuan hukum

yang diberlakukan terhadap wajib pajak dalam negaranya sendiri.Upaya dengan dua pihak atau lebih ditetapkan dalam suatu bentukperjanjian yang diadakan untuk mencegah pengenaan Pajak Ganda

Internasional. Perjanjian itu dapat bersifat bilateral maupun bersifatmultilateral, tergantung kepentingan negara-negara yang meng­hendaki pencegahan pengenaan Pajak Ganda Internasional itu.

Perjanjinan yang bersifat bilateral adalah perjanjian yang diadakan

hanya dua negara yang membicarakan upaya-upaya pencegahan

Pajak Ganda Internasional yang melibatkan warganya rnasing­

masing. Perjanjian yang bersifat multilateral adalah perjanjian yang

diadakan lebih dari dua negara yang membicarakan upaya-upayapencegahan Pajak Ganda Internasional yang melibatkan kepen­

tingan warganya terhadap negara lain sebagai peserta perjanjian

termaksud.

Upaya-upaya pencegahan pengenaan Pajak Ganda Inter­nasional secara unilateral dalam Undang-undang Pajak Nasional,tidak hanya ada dalam ketentuan UU PPh, tetapi juga terdapatda lam ketentuan UU PPN . Ketentuan UU PPh yang memuat

Page 151: Buku Pembaruan Hukum Pajak

290 Pembaruan Hukum Pajak 291

keterituan pencegahan Pajak Ganda Imernasional terdapat padaPasal24 UU PPh . Sementara itu, ketentuan UU PPN yang memuat

ket~ntuan pencegahan Pajak Ganda Internasional terdapat padaPasal9 UU PPN. Kedua ketentuan tersebut sangat terkait dengankredit pajak yang boleh dikompensasikan dengan utang pajak yang

dimiliki oleh wajib pajak sebagai akibat dari penghasilan yangditerima atau melakukan kegiatan berupa Penyerahan Barang KenaPajak atau Penyerahan ]asa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean

dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Meskipun dernikian, cara unilateral masih memiliki kebaikanyang ban yak dibandingkan kelemahan yang dikandungnya. Hal iniditegaskan oleh ]aja Zakaria (2005;10) bahwa kebaikan

(keuntungan) dari cara penghindaran pajak ganda secara unilateraladalah pembuatan ketentuannya yang relatif lebih mudah karenatidak perlu melibatkan atau tergantung kepada negara lain. Disamping itu, penerapannya pun mudah karena sepenuhnya ber­dasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang Nasional. Kerugian­

nya adalah terdapat aspek-aspek Pajak Ganda Internasional yangtidak dapat dipecahkan secara sepihak (unilateral). Misalnya, pajakganda yang timbul sebagai akibat adanya kependudukan yang

rangkap (dual residence) tidak dapat dipecahkan secara unilateral

karena menyangkut kepentingan dan sistem serta hukum pajaknegara lain. Di samping itu, ketentuan penghindaran pajak ganda

unilateral umnumnya hanya mengatur penghindaran pajak untuk

wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer) tidak mengaturpenghindaran pajak untuk wajib pajak luar negeri (non-residenttaxpayer).

Pengampunan Pajak

A. Pendahuluan

Dalam negara Indonesia yang berdasarkan UUD 1945,Presiden merupakan satu-satunya yang berwenang memberikanpengampunan atas hukuman yang dikenakan atau dijatuhkan olehbadan peradilan kepada seseorang atau lebih karena melakukanperbuatan melanggar hukum. Pemberian pengampunan olehPresiden disebut "grasi" sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat(1) UUD 1945 yang melibatkan Mahkamah Agung.

Hal yang sama juga djumpai dalam hukum pajak, adanyapengampunan pajak yang boleh dil aku kan sepanjang tidakbertentangan dengan hakikat yang dikandung Pasal23A UUD 1945.

Pengampunan pajak boleh saja dilakukan, tetapi dengan syarat­

syarat bahwa harus diatur dengan undang-undang, yang berartimelibatkan dua pihak antara rakyat yang diwakili Dewan Perwakilan

Rakyat dengan Presiden. Sebaliknya, yang selama ini pernah terjadiadalah hanya dilakukan oleh satu pihak, yakni Presiden tanpamelibatkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat,sehingga tidak ditetapkan dalam bentuk undang-undang.

Pada tahun 1984 Presiden memberi pengampunan pajakterhadap wajib pajak yang memiliki utang pajak. Pengampunan

Page 152: Buku Pembaruan Hukum Pajak

292 Pembaruan Hukum PajakBAB 15: Pengampunan Pajak 293

pajak tersebut ditetapkan dalam bentuk "Keputusan PresidenNomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak". Akan tetapi,tidak lama kemudian dilakukan perubahan terhadap KeputusanPresiden tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 72Tahun 1984 ten tang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 26Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak (KEPRES). Perubahanditujukan pada jangka waktu pengampunan pajak dari selambat­lambatnya 31 Desember 1984 menjadi selambat-lambatnya 30 ]uni1985.

Setiap orang pribadi atau badan dengan nama dan dalambentuk apa pun, baik yang telah menjadi wajib pajak maupun belumterdaftar menjadi wajib pajak boleh memperoleh pengampunanpajak. Pengampunan pajak ditujukan terhadap pajak yang belumpernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungutberdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.]enis pajakyang memperoleh pengampunan pajak sebagaimana ditetapkansecara limitatif dalam Pasal 1 ayat (2) Kepres tersebut, yaitu:

1. pajak pendapatan atas pendapatan yang diperoleh dalam tahunpajak 1983 dan sebelumnya;

2. pajak kekayaan atas kekayaan yang dimiliki pada tanggal 1]anuari 1984 dan sebelumnya;

3. pajak perseroan atas laba yang diperoleh dalam tahun pajak1983 dan sebelumnya;

4. pajak atas bunga, dividen dan royalti yang terutang atas bunga,dividen dan royalty yang dibayarkan atau disediakan untukdibayarkan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983;

5. MPO wapu yang terutang dalamn tahun 1983 dan sebelum­nya;

6. pajak pendapatan buruh (PPd, 17 a) yang terutang dalamtahun pajak 1983 dan sebelumnya;

7. pajak penjualan yang terutang dalam tahun 1983 dan sebe­lumnya.

Pengampunan pajak yang diadakan pada tahun 1984 agar wajibpajak dengan mudah untuk melaporkan diri pada pejabat pajakuntuk didata ulang dalam rangka memberlakukan Undang-undangPajak yang baru pada saat itu. Termasuk dalam arti Undang-undangPajak yang baru adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang­Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, danUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak PertambahanNilai Barang dan ]asa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.Ketiga Undang-undang Pajak ini diberlakukan pad a tanggal 1]anuari 1984.

B. Syarat-syarat Pengampunan PajakUntuk memperoleh pengampunan pajak, setiap wajib pajak

harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. ]ika syarat­syarat tidak terpenuhi, pengampunan pajak dengan sendirinyagugur. Mengenai syarat-syarat pengampunan pajak sebagaimanadiatur dalam Pasa12 ayat 0) Kepres, adalah :

1. mendaftarkan diri pada Kantor Inspeksi Pajak dalam wilayah

wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan, bagi yangbelum mempunyai nomor pokok wajib pajak;

2. menyampaikan pernyataan tertulis mengenai jenis pajak clantahun pajak yang dimintakan pengampunan;

3. menyampaikan daftar kekayaan per I ]anuari 1984 yang bagiwajib pajak orang pribadi yag tidak menyelenggarakanpembukuan;

4. menyampaikan neraca per I ]anuari 1984 yang benar bagi wajibpajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan danwajib pajak badan;

Page 153: Buku Pembaruan Hukum Pajak

294 Pembaruan Hukum PajakBAB 15: Pengampunan Pajak 295

5. mengisi surat pemberitahuan dengan sebenarnya mengenaipenghasilan tahun 1984 bagi wajib pajak Pajak Penghasi lan,

kekayaan per 1]anuari 1984 dan pemungutan pajak penjualanserta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas BarangMewah yang terutang dalam tahun 1984;

6. mengisi dengan benar surat pemberitahuan mengenai segalajenis pajak untuk dan pada tahun-tahun 1985, 1986, dan tahun1987.

Pernyataan dalam rangka pengampunan pajak tersebut harus

disampaikan ke Kantor Inspeksi Pajak dalam wilayah wajib pajakbertempat tinggal atau berkedudukan.]angka waktu penyampaian­nya selambat-Iarnbatnya pada tanggal 30 ]uni 1985. Apabilapernyataan itu disampaikan langsung oleh wajib pajak ke Kantor

Inspeksi Pajak harus diberi tanda bukti penerimaan. Bagi wajibpajak yang mengirim pernyataannya dengan pos tercatat, resipengiriman pernyataan tersebut dianggap sebagai tanda buktipenerimaan. Penyampaian daftar kekayaan harus disertai tanda

bukti setoran uang tembusan. ]angka waktu penyampaiannya keKantor Inspeksi Pajak dalam wilayah wajib pajak bertempat tinggal

atau berkedudukan, juga selambat-Iambatnya pada tanggal30 ]uni1985.

Mengenai tanda bukti uang setoran sebagai suatu kewajiban

bagi wajib pajak, adalah sebagai berikut.

1. Wajib pajak yang pada tanggal ditetapkannya keputusan ini

telah menyampaikan surat pemberitahuan pajak pendapatan/

pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984,dikenakan uang tembusan dengan tarif satu persen dari jumlahkekayaannya yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah

pajak yang dimohonkan pengampunan.

2. Wajib pajak yang pada tanggal ditetapkannya keputusan inibelum menyampaikan surat pemberitahuan pajak pendapatanl

I

pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984,dikenakan uang tembusan dengan tarif sepuluh persen dari

jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitungjumlah pajak yang dimohonkan pengampunan.

]umlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung

jumlah pajak yang dimohonkan pengampunan adalah kekayaanbersih yang tercantum dalam daftar kekayaan/neraca per 1]anuari1984 yang benar, dengan jumlah kekayaan bersih yang terdapat

dalam surat pemberitahuan pajak pendapatan/pajak perseroan

tahun 1983 dan pajak kekayaan 1984. Terhadap jumlah kekayaantersebut dimasukkan dalam modal perusahaan. Peningkatan modalsaham sebagai akibat pertambahan modal perusahaan dibebaskandari Bea Meterai modal. Penambahan nilai saham dan/atau

pemberian saham baru kepada pemegang saham sebagai akibatpertambahan modal perusahaan dibebaskan dari pengenaan PajakPenghasilan.

c. Tujuan Pengampunan Pajak

Tiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan olehpihak yang berwenang, pada dasarnya memiliki tujuan tertentu

yang hendak dicapai. Demikian pula halnya mengenai pengampu­nan pajak yang ditetapkan dalam bentuk Kepres Nomor 26 Tahun

1984 sebagaimana telah diubah dengan Kepres Nomor 72 Tahun

1984. Kepres ini ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan dengan

menerbitkan suatu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 3451KMK.04/1984 tanggal 27 bulan April tahun 1984 yang memuattata cara untuk mengajukan pengampunan pajak .

Terkait dengan pengampunan pajak maka Rochmat Soemitro(1988;90) mengatakan dalam rangka untuk melaksanakan suatusistem perpajakan baru yang lebih mantap yang berlandaskandukungan sepenuhnya dari masyarakat, dipandang perlu untuk

Page 154: Buku Pembaruan Hukum Pajak

296 Pembaruan Hukum Pajak BAB 15: Pengampunan Pajak 297

memberikan kesempatan kepada seluruh anggota masyarakat, baik

yang telah terdaftar maupun yang selama ini belum memunculkan

diri sebagai wajib pajak. Untuk mendapatkan pengampunan ataspajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakanatau dipungut dalam tahun pajak 1983 dan tahun-tahun sebelum­

nya.

Wajib pajak yang menyampaikan pernyataan ke KantorInspeksi Pajak dalam wilayah wajib pajak bertempat tinggal atau

berkedudukan untuk memperoleh pengampunan pajak terhadappajaknya, dibebaskan dari pengusutan fiska!. Hakikatnya adalah

memberi perlindungan hukum atau jaminan hukum kepada wajibpajak untuk tidak dilakukan pengusutan fiskal terhadap hartakekayaannya, bila menyampaikan pernyataan pengampunan pajakatas pajaknya untuk tahun 1983 dan tahun-tahun sebelumnya,

dengan cara mengisi surat pemberitahuan untuk segala jenis pajakyang dimohonkan pengampunan.

Wajib pajak yang menyampaikan pernyataan ke KantorInspeksi Pajak dalam wilayah wajib pajak bertempat tinggal atau

berkedudukan, mengenai kekayaannya dalam rangka pengampunanpajak tidak dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana

dalam bentuk apa pun terhadap wajib pajak . Hakikatnya adalahmemberi perlindungan hukum atau jaminan hukum bahwa

kekayaan wajib pajak tidak dilakukan penyidikan dan bahkan

penuntutan pidana dalam bentuk apa pun sepanjang wajib pajakmelaporkan ke Kantor Inspeksi Pajak dalam wilayah bertempat

tinggal atau berkedudukan untuk dimohonkan pengampunan pajak.

Wajib pajak yang sedang atau sementara dalam prosespemeriksaan untuk keperluan perpajakan, atau wajib pajak yangdalam proses penyidikan telah diketahui jumlah utang pajak yangsebenarnya, terhadap jumlah utang pajak yang telah diketahui itutidak dapat diberikan pengampunan. Hal ini bertujuan untuk

mcngetahui tingkat kejujuran sebagai bagian dari kesadaran hukumwajib pajak yang memohon pengampunan pajak. Hakikat peng­

ampunan pajak adalah untuk menjaring sebanyak-banyaknya wajibpajak sebagai faktor penunjang pelaksanaan Undang-undang Pajakyang baru pada saat itu. ~

Page 155: Buku Pembaruan Hukum Pajak

299

D" Lembaga Keberatan

A. Pendahuluan

Pejabat pajak dalam melaksanakan wewenangnya berupamenerbitkan surat ketetapan pajak dalam kaitan penagihan pajaksecara biasa, kadangkala menimbulkan kerugian bagi wajib pajak.Begitu pula halnya, terhadap pemotongan atau pemungutanpajak yang dilakukan oleh pemotong atau pemungut pajak yangbertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemungut pajaktertentu tidak memberi bukti pemotongan atau pemungutanpajak kepada wajib pajak.

Keberatan merupakan upaya hukum biasa dalam hukum pajakyang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk memohon keadilanatas kerugian, baik yang dilakukan oleh pejabat pajak maupun olehpemotong atau pemungut pajak yang melakukan pemotongan ataupemungutan pajak. Demikian pula, pemotong atau pemungut pajaktertentu berhak mengajukan keberatan tatkala mengalami kerugianatas tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalambentuk keberatan. Keberatan bukan merupakan kewajibanmelainkan hak yang diberikan oleh hukum pajak kepada wajib pajak,termasuk pemotong atau pemungut pajak sebagai upaya untukmendapatkan atau memperoleh perlindungan hukum melalui

Page 156: Buku Pembaruan Hukum Pajak

300 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 301

Lembaga Keberatan . Sebagai suatu hak, maka penggunaankeberatan bergantung pada kehendak atau kemauan wajib pajak

untuk menggunakan atau tidak karena tidak ada sanksi hukumyang boleh dikenakan bila keberatan itu tidak digunakan.

Sebenarnya keberatan tidak dapat digunakan oleh wajib pajak

(terrnasuk pemotong atau pemungut pajak tertentu) untukmemperoleh perlindungan hukum di luar Lembaga Keberatan

mengingat Lembaga Keberatan merupakan bagian dari LembagaPeradilan Pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa

pajak yang diajukan dengan tata cara keberatan. Keberatan tidakboleh disalahgunakan oleh wajib pajak dalam kaitannya untukmemperoleh perlindungan hukum melalui Lembaga Keberatan.

Dalam arti, wajib pajak harus menaati syarat-syarat pengajuankeberatan sebagaimana yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan

agar penggunaan keberatan oleh wajib pajak tepat pada sasaranberupa memperoleh perlindungan hukum dalam penyelesaiansengketa pajak terhadap perlakuan pejabat pajak maupun pemotong

atau pemungut pajak.

B. Kedudukan Lembaga Keberatan

Hukum pajak tidak hanya sekadar menyediakan sarana hukum

yang digunakan oleh pejabat pajak untuk menegakan hukum pajakdi luar Lembaga Peradilan Pajak, tetapi tersedia pula melalui

Lembaga Peradilan Pajak yang berwenang memeriksa dan memutus

sengketa pajak. Lembaga Peradilan Pajak terdiri dari Lembaga

Keberatan dan Pengadilan Pajak yang berpuncak kepada MahkamahAgung sebagai Lembaga Peradilan yang melakukan pengawasan

terhadap lembaga-lembaga peradilan bawahan. Lembaga Keberatandan Pengadilan Pajak tidak berada dalam satu kesatuan secara utuhdalam satu Undang-undang Pajak, melainkan diatur secaratersendiri pada Undang-undang Pajak yang berbeda. Pengaturan

Lembaga Keberatan terdapat dalam ketentuan UU KUp, UUPBB, UU BPHTB, UU PORO, UU KPB, dan UU CK sedangkan

Pengadilan Pajak diatur dalam UU PENJAK.

Lembaga Keberatan sebagai bagian dari lembaga peradilan

pajak diatur secara tersirat dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UUKUp, Pasal 15 ayat (1) UU PBB, Pasal 16 ayat (1) UU BPHTB,

Pasal 13 ayat (1) UU PORO, Pasal 93 ayat (1) UU KPB, dan Pasal41 ayat (1) UU CK. Mengingat, bahwa Lembaga Keberatan tidak

dapat dipisahkan dengan Pengadilan Pajak sebagai pilar untuk

menyelesaikan sengketa pajak yang berawal dari penagihan pajak

secara biasa sebagai bagian dari penegakan hukum pajak. LembagaKeberatan yang terdapat dalam hukum pajak sebagai sarana hukum

pajak, pada mulanya hanya terdiri dari:

1. Lembaga Keberatan yang merneriksa dan memutus sengketapajak negara, yang meliputi sengketa Pajak Penghasilan,sengketa Pajak Pertarnbahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, sengketa Pajak Bumi dan Bangunan, sengketaBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sengketa Bea

Masuk, dan sengketa Cukai;

2. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketa

pajak daerah provinsi; dan

3. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketa

pajak daerah kabupaten/kota.

Lembaga Keberatan berada pada pejabat pajak yang telah

dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakanperaturan perundang-undangan perpajakan, Misalnya KepalaKantor Wilayah maupun Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. KepalaKantor Pelayanan Pajak berwenang mengelola Pajak Penghasilan,Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Page 157: Buku Pembaruan Hukum Pajak

302 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 303

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan berwenangmengelola Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan.

Berdasarkan pelimpahan wewenang tersebut maka KepalaKantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala KantorPelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, berwenang memeriksa dan

memutus sengketa pajak negara, sedangkan sengketa pajak daerahtetap berada pada kewenangan kepala daerah. Dengan demikian,

Lembaga Keberatan yang menyelesaikan sengketa pajak, terdiri dari;

1. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketaPajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah;

2. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketa

Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan;

3. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketapajak daerah provinsi; dan

4. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketapajak daerah kabupaten/kota.

Di samping itu, dikenal pula Lembaga Keberatan yang ber­

wenang memeriksa dan memutus sengketa yang berhubungandengan Bea Masuk dan Cukai. Adapun Lembaga Keberatan yangdimaksud adalah:

1. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketaBea Masuk;

2. Lembaga Keberatan yang memeriksa dan memutus sengketaCukai.

Lembaga Keberatan tersebut di atas berada dalam strukturpemerintahan negara di bidang eksekutif dan bukan berada di

bidang yudikatif. Lembaga Keberatan yang berwenang memeriksa

dan memutus sengketa pajak yang berkaitan dengan pajak negaraberada dalam lingkungan Direktorat [enderal Pajak DepartemenKeuangan . Kemudian, Lembaga Keberatan yang berwenang

memeriksa dan memutus sengketa pajak yang berkaitan denganpajak daerah berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.

Walaupun kedua Lembaga Keberatan berada dalam kekuasaaneksekutif, tetapi sangat penting kedudukannya dalam penegakanhukum pajak. Lembaga Keberatan merupakan filter untuk

menjaring sejauhmana kebenaran tindakan pejabat pajak maupunpemotong atau pemungut pajak dalam menegakkan hukum pajakdi luar Lembaga Peradilan Pajak.

C. Kompetensi Lembaga Keberatan

Sebagaimana dimaklumi bahwa Undang-undang Pajak (UUKUp, UU PBB, UU BPHTB, UU PDRD, UU KPB, dan UU CK)

tidak mengatur secara tegas mengenai kedudukan LembagaKeberatan, tak terkecuali mengenai kompetensinya. LembagaKeberatan sebagai bagian tak terpisahkan dengan LembagaPeradilan Pajak berkewajiban untuk penegakan hukum pajak dan

memberi perlindungan hukum kepada wajib pajak. Untuk menegak­kan hukum pajak dan memberi perlindungan hukum kepada wajib

pajak, Lembaga Keberatan harus memiliki kompetensi, sebagailandasan untuk melaksanakan wewenang yang ditentukan dalam

Undang-undang Pajak tersebut.

Pada hakikatnya, kompetensi Lembaga Peradilan Pajak terdiri

atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatifberhubungan dengan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa

pajak sesuai dengan wilayah hukumnya. Kemudian kompetensiabsolut adalah kewenangan mengadili suatu sengketa pajakmenurut objek atau materi sengketa pajak termaksud Lembaga

Page 158: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Keberatan merupakan bagian dari Lembaga Peradi lan Pajak,

Lembaga Keberatan me mi liki pula kompetensi relatif dan

kompetensi absolut.

1. Kompetensi Relatif Lembaga Keberatan

Kompetensi relatifLembaga Keberatan ditentukan oleh batas

wilayah hukum berlakunya pajak yang menjadi kewenangannya.

Lembaga Keberatan dinyatakan berwenang untuk memeriksa dan

memutus sengketa pajak tatkala pajak yang disengketakan berlaku

dalam wilayah hukumnya. Dengan demikian, kompetensi relatif

Lembaga Keberatan tidak selalu sama tergantung dari wilayah

hukum berlakunya pajak yang menjadi objek persengketaan oleh

para pihak yang bersengketa.

Kompetensi relatif Lembaga Keberatan sebagaimana tersirat

da lam Pasa125 ayat (1) UU KUp, Pasa115 ayat (1) UU PBB, Pasal

16 ayat (1) UU BPHTB, Pasal 93 ayat (1) UU KPB, dan Pasal 41

ayat (1) UU CK meliputi seluruh wilayah hukum Indonesia. Oleh

karena, pajak yang disengketakan adalah pajak negara yang berlaku

untuk seluruh wilayah hukum Indonesia, seperti Pajak Penghasilan,

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, Bea Masuk, dan Cukai. Akan tetapi, kompetensi relatif

Lembaga Keberatan di ata s mengalami perubahan sebagai akibat

adanya pelimpahan wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah,

Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak

Bumi dan Bangunan. Konsekuensinya adalah kompetensi relatif

Lembaga Keberatan hanya terbatas pada wilayah -hukum Kantor

Wilayah, Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak Bumidan Bangunan.

Kompetensi relatif Lembaga Keberatan sebagaimana tersirat

dalam Pasal13 ayat (1) UU PDRD tidak meliputi seluruh wilayah

305304 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan

hukum Indonesia, karena pajak daerah hanya berlaku untuk daerah

provinsi atau daerah kabupaten/kota berdasarkan peraturan daerah

yang bersangkutan. Kompetensi relatif Lembaga Keberatan untuk

pajak daerah provinsi hanya meliputi wilayah hukum berlakunya

pajak daerah provinsi, misalnya pajak daerah provinsi Sulawesi

Selatan, kompetensi relatif Lembaga Keberatan hanya dalam

wilayah hukum Sulawesi Selatan. Sedang kompetensi relatif

Lembaga Keberatan untuk pajak daerah kabupaten/kota, wilayah

hukumnya lebih sempit daripada wilayah hukum Lembaga

Keberatan untuk pajak daerah provinsi, misalnya pajak daerah

Kota Makassar, wilayah hukumnya hanya wilayah hukum Kota

Makassar sebagai bagian wilayah hukum Sulawesi Selatan.

2. Kompetensi Absolut Lembaga Keberatan

Kompetensi absolut Lembaga Keberatan berkaitan dengan

kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak

menurut objek atau materi sengketa pajak yang diajukan kepadanya.

Adapun objek atau materi sengketa pajak yang diajukan adalah

perbuatan hukum pejabat pajak maupun pemotong atau pemungut

pajak. Kompetensi absolut Lembaga Keberatan adalah keberatan

yang timbul dalam bidang perpajakan antara pejabat pajak dengan

wajib pajak termasuk pemotong atau pemungut pajak, atau sesama

wajib pajak (wajib pajak dengan pemotong atau pemungut pajak,

baik di bidang pajak negara maupun di bidang pajak daerah.

Timbulnya sengketa pajak dalam bentuk keberatan adalah sebagai

akibat diterbitkannya surat pemberitahuan pajak te rutang, surat

ketetapan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan

pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar,

atau surat ketetapan nihil oleh pejabat pajak atau akibat pemotong­

an atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemotong atau

pemungut pajak.

Page 159: Buku Pembaruan Hukum Pajak

306 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 307

Kompetensi absolut lembaga keberatan yang berka itan dengansengketa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diajukan keberatan adalahatas suatu:

a. surat ketetapan pajak kurang bayar;

b. surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan;

c. surat ketetapan pajak lebih bayar;

d. surat ketetapan pajak nihil; atau

e. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkanketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Perkataan "suatu" tersebut di atas dimaksudkan bahwa satukeberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun

pajak. Misalnya Pajak Penghasilan tahun pajak 2004 dan tahun pajak2005 keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu suratkeberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diaju­kan dua buah surat keberatan. Hal ini, bertujuan untuk rnernudah­

kan bagi wajib pajak dalam menyusun secara benar dan jelas suratkeberatan yang akan diajukannya. Demikian pula halnya, di per­

sidangan memudahkan bagi pejabat pajak untuk memeriksa danmemutuskan sengketa pajak secara berkeadilan, berrnanfaat, dan

mewujudkan kepastian hukum terhadap yang dipersengketakan.

Kompetensi absolut Lembaga Keberatan yang berkaitandengan sengketa Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang dapat diajukan keberatan adalah

tidak sama. Dalam arti, bahwa objek atau materi sengketa PajakBumi dan Bangunan berbeda dengan sengketa Bea Perolehan Hak

atas Tanah da~ Bangunan. Objek atau materi sengketa Pajak Bumidan Bangunan yang dapat diajukan keberatan, atas:

a. surat pemberitahuan pajak terutang;

b. surat ketetapan pajak.

Sementara itu, sengketa Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan yang dapat diajukan keberatan adalah atas suatu:

a. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunankurang bayar;

b. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunankurang bayar tambahan;

c. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunanlebih bayar;

d. surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan nihil.

Kernudian, kompetensi absolut Lembaga Keberatan yangberkaitan dengan pajak daerah, baik pajak daerah provinsi maupunpajak daerah kabupaten/kota yang dapat diajukan keberatan adalahatas suatu:

a. surat ketetapan pajak daerah;

b. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar;

c. surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan;

d. surat ketetapan pajak daerah lebih bayar;

e. surat ketetapan pajak daerah nihil;

f. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yangberlaku.

Kompetensi absolut Lembaga Keberatan yang berwenang

memeriksa dan memutus sengketa pajak daerah provinsi berada

pada gubernur kepala daerah, sedangkan yang berwenangmemeriksa dan memutus sengketa pajak daerah kabupaten/kotaberada pada kepala daerah. Akan tetapi, wewenang tersebut dapat

dilimpahkan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah berdasarkan

pelimpahan wewenang secara mandat. Dalam arti, Kepala DinasPendapatan Daerah memperoleh wewenang dan wajib diper­tanggungjawabkan kepada kepala daerah yang bersangkutan.

Page 160: Buku Pembaruan Hukum Pajak

308 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 309

D. Pemasukan Surat Keberatan

Sehubungan adanya pelimpahan wewenang dari pejabat pajak. kepada pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturanperundang-undangan perpajakan (Kepala Kantor Wilayah, KepalaKantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumidan Bangunan), pemasukan surat keberatan harus berpatokan padajenis pajak yang dipersengketakan. Kalau jenis pajak yang diseng­ketakan adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai danPajak Penjualan atas Barang Mewah maka surat keberatan harusditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KantorPelayanan Pajak. Tatkala jenis pajak yang disengketakan adalah PajakBumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan maka surat keberatan harus ditujukan kepada KepalaKantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

Keberatan wajib pajak harus diajukan secara tertulis dalambahasa Indonesia dan bukan bahasa Inggris, jerman, Belanda, danlain-lain. Dalam surat keberatan dikemukakan mengenai jumlahpajak yang terutang, atau jumlah pajak yang dipotong ataudipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajakdengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungandimaksud. Batas waktu pemasukan surat keberatan ditentukandalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak(surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurangbayar tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar, atau suratketetapan pajak nihil), pemotongan atau pemungutan pajak olehpihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) UUKUp, dengan maksud agar wajib pajak memiliki waktu yang cukupmemadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.Apabila ternyata jangka waktu tiga bulan tersebut tidak dapatdipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaan wajibpajak (force majeur), tenggang jangka waktu selama tiga bulan

tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang.Keberatan yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, bukanmerupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dantidak diterbitkan surat keputusan keberatan.

Penyusunan surat keberatan memerlukan bukti-bukti konkretagar dapat diterima secara keseluruhan keberatan wajib pajak. Olehkarena itu, Pasal 25 ayat (6) UU KUP meletakkan hak bagi wajibpajak untukmerninta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkandan sebaliknya meletakkan kewajiban kepada pejabat pajak untukmemenuhi permintaan wajib pajak. Bilamana hak wajib pajaktersebut tidak dikabulkan oleh pejabat pajak, ternyata Undang­undang Pajak tidak memberi penjelasan lebih lanjut, apakah dapatatau tidak dipersengketakan pada Lembaga Keberatan atau diPengadilan Pajak karena merupakan kewajiban bagi pejabat pajakuntuk memberikan atau memenuhi permohonan wajib pajak, untuksementara waktu dapat digugat melalui peradilan tata usaha negara,bahkan dapat diajukan sebagai tersangka dalam peradilan umum.

Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawaiDirektorat Ienderal Pajak yang ditunjuk untuk itu, atau tandapengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengirimansurat atau melalui cara lain yang telah ditentukan, adalah sebagaibukti surat tentang penerimaan surat keberatan. Jangka waktupenyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan suratdimaksud. Jika surat keberatan dari wajib pajak tidak memenuhisyarat-syarat yang telah ditentukan, sebelum berakhir batas waktupemasukan surat keberatan, wajib pajak masih berhak memperbaikisurat keberatannya.Iangka waktu penyelesaian keberatan dihitungsejak tanggal diterimanya surat keberatan yang telah diperbaikidan memenuhi syarat-syarat sebagai surat keberatan.

Bukti surat penerimaan surat keberatan dapat digunakan oleh

III III

Page 161: Buku Pembaruan Hukum Pajak

310 Pembaruan Hukum Pajak SAS 16: Lembaga Keberatan 311

wajib pajak sebagai bentuk pengawasan untuk mengetahui kapanberakhir jangka waktu dua belas bulan. Berhubung karena, dalam

jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal surat keberatanditerirna, Lembaga Keberatan wajib menerbitkan Surat KeputusanKeberatan. Hal ini merupakan salah satu bentuk peran serta wajib

pajak dalam melakukan pengawasan terhadap penegakan hukum

pajak.

Terhadap wajib pajak yang mengajukan surat keberatankepada Lembaga keberatan dalam jangka waktu pelunasan pajak

yang terutang, atas jumlah pajak yang belum terbayar tersebut,tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitansurat keputusan keberatan. Hal ini menunjukkan "kernanfaatan"

fungsi hukum pajak yang tidak berpatokan pada saat keputusankeberatan dibacakan oleh pejabat pajak yang memutus danmemeriksa sengketa pajak itu. Dalam arti, pelunasan pajak yangterutang terhitung pada saat tanggal penerbitan surat keputusankeberatan. Kemudian, jumlah pajak yang belum dibayar padasaat pengajuan surat keberatan tersebut tidak boleh digolongkan

sebagai utang pajak.

Akan tetapi, bila surat keberatan wajib pajak ditolak atauhanya dikabulkan sebagian (bukan seluruhnya) , berarti wajib

pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%.

Sanksi administrasi berupa denda tersebut dihitung dari jumlahpajak berdasarkan keputusan keberatan yang dikurangi dengan

pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Walau­

pun dernikian, bila wajib pajak mengajukan surat banding kepadaPengadilan Pajak, sanksi administrasi tersebut tidak dikenakan.Sebenarnya pengenaan sanksi atau tidak dikenakan sanksi kepada

wajib pajak merupakan pencerminan fungsi hukum pajak berupa

"kepastian hukurn" bagi wajib pajak maupun pejabat pajak sebagaipihak yang terkait dalam penegakan hukum pajak.

Pengajuan surat keberatan di atas berlaku untuk semua jenispajak, yang meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilaidan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan,Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bea Masuk, Cukai,

pajak daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota. Walau­

pun UU PBB, UU BPHTB, dan UU PDRD mengatur mengenai hal

yang sama dengan UU KUP berdasarkan asas hukum (lex superiorderogate legi inferiori) aturan yang lebih tinggi mengesampingkanaturan yang lebih rendah.

E. Pihak-pihak yang Bersengketa

Berhubung karena Lembaga Keberatan merupakan bagian dariLembaga Peradilan Pajak, perlu diketahui bahwa Lembaga

Keberatan menyelenggarakan peradilan pajak secara murni atautidak. Dalam hal ini, harus ditetapkan tolok ukur untuk menentu­

kan Lembaga Keberatan sebagai penyelenggara peradilan pajaksecara murni atau tidak. Tolok ukur yang digunakan adalah unsur­unsur peradilan pajak secara murni, terdiri dari:

1. pajak sebagai suatu perselisihan hukum yang konkret;

2. perselisihan hukum yang konkret itu diterapkan hukum pajakyang bersifat abstrak dan mengikat secara umum;

3. sekurang-kurang dua pihak yang bersengketa atau berperkara;

4. adanya pihak yang berwenang memeriksa dan memutus dan

tidak terlibat sebagai pihak yang bersengketa (berperkara) yangberasal dari aparatur peradilan pajak.

Apabila ada unsur-unsur peradilan pajak tersebut di atasyang tidak sesuai yang diterapkan dalam Lembaga Keberatan,

peradilan pajak yang diselenggarakan oleh Lembaga Keberatanadalah menyelenggarakan peradilan pajak tidak murni. Sebaliknya,jika Lembaga Keberatan menyelesaikan sengketa pajak dengan

Page 162: Buku Pembaruan Hukum Pajak

312 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 313

memenuhi tolok ukur tersebut di atas, Lembaga Keberatan menye­

lenggarakan peradilan pajak secara murni. Dalam kaitan ini,

Rochmat Soemitro (1976;56) menggunakan istilah sebagai

peradilan doleansi yang menyelesaikan sengketa pajak oleh hakim

doleansi pada Kantor Inspeksi Pajak, yang memutuskan surat

keberatan.

Setelah diketahui unsur-unsur peradilan pajak secara murni

maka pihak-pihak yang bersengketa pada Lembaga Keberatan dapat

pula ditentukan berdasarkan objek atau materi yang

dipersengketakan berdasarkan Pasal25 ayat (1) UU KUp, Pasal15

ayat (1) UU PBB, Pasal 16 ayat (1) UU BPHTB, Pasal 13 ayat (1)

UU PDRD, Pasal 93 ayat (1) UU KPB, dan Pasal41 ayat (1) UU

CK, yakni;

1. Pejabat Pajak dengan Wajib Pajak

Perselisihan antara pejabat pajak dengan wajib pajak dalam

Lembaga Keberatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri

karena wajib pajak menerima surat ketetapan pajak (misalnya surat

ketetapan pajak kurang bayar) yang diterbitkan oleh pejabat pajak.

Surat ketetapan pajak kurang bayar yang diterima oleh wajib pajak

menimbulkan kerugian karena tidak sesuai dengan jumlah pajak

yang kurang dibayar. Atas kerugian tersebut wajib pajak mengajukan

surat keberatan terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar yang

telah diterbitkan oleh pejabat pajak termaksud. Dalam hal ini,

pejabat pajak merupakan salah satu pihak yang bersengketa ber­

lawanan dengan wajib pajak. Selain itu, pejabat pajak tersebut

merupakan pula pemutus terhadap penyelesaian keberatan yang

diajukan oleh wajib pajak. Penyelesaian dengan cara ini terkait

dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta pajak daerah.

jika dicermati penyelesaian keberatan tersebut di atas, maka

pejabat pajak memiliki dua kapasitas, baik sebagai salah satu pihak

yang terlibat dalam sengketa maupun sebagai pihak yang ber­

wenang memeriksa dan memutus sengketa pajak tersebut. Bahkan

karena kapasitasnya sebagai pihak yang memeriksa dan memutus

sengketa pajak itu maka berwenang pula menerbitkan surat

keputusan keberatan. Keterlibatan pejabat pajak sebagai salah satu

pihak yang bcrsengketa maupun sebagai pihak yang berwenang

memeriksa dan memutus sengketa tersebut adalah perwujudan

dari peradilan pajak tidak murni. Hal ini, disebabkan karena tidak

terpenuhi unsur keempat dari peradilan pajak secara murni, yakni

pihak pemutus merupakan pula pihak yang bersengketa.

2. Pejabat Pajak dengan Pemotong atau PemungutPajak

Pada hakikatnya, pemotong atau pemungut pajak merupakan

pula wajib pajak, retapi kapasitasnya bukan merupakan pembayar

pajak yang memiliki objek pajak yang dikenakan pajak, melainkan

sebagai penyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut dari wajib

pajak tersebut. Pemotongan atau pemungutan pajak yang telah

dilakukan wajib disetor ke kas negara atau kas daerah. Sebenarnya,

pemotong atau pemungut pajak tidak dapat dikategorikan sebagai

wajib pajak karena tidak memenuhi persyaratan untuk dikenakan

pajak. Pemotong atau pemungut pajak sebagai wajib pajak hanya

dikenal dalam Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta pajak daerah, baik pajak

daerah provinsi maupun pajak daerah kabupaten/kota. Dengan

demikian, Pajak .Bum i dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan tidak dikenal perselisihan antara pejabat pajak

dengan pemotong atau pemungut pajak karena tidak diatur dalam

UU PBB dan UU BPHTB.

Page 163: Buku Pembaruan Hukum Pajak

314 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 315

Perselisihan antara pejabat pajak pemotong atau pemungutpajak karena tindakan pejabat pajak menerbitkan surat ketetapanpajak (misalnya surat ketetapan pajak nihil). Di dalam suratketetapan pajak nihil ditegaskan bahwa pemotong atau pemungutpajak telah menyetor pajak berdasarkan jumlah pajak yang dipotongatau dipungut sehingga tidak ada pajak yang terutang maupunkelebihan pembayaran pajak. Kenyataannya, bahwa pemotong ataupemungut pajak telah menyetor pajak yang melebihi dari jumlahpajak yang dipotong atau dipungut ke kas negara atau kas daerah.

Sebenarnya yang harus diterbitkan oleh pejabat pajak adalahsurat ketetapan pajak lebih bayar yang menunjukkan bahwa adakelebihan setoran pajak yang dilakukan oleh pemotong ataupemungut pajak. Karena kesalahan menerbitkan surat ketetapanpajak, pemotong atau pemungut pajak mengajukan keberatankepada Lembaga Keberatan agar memperoleh keadilan atas tindakanyang dilakukan oleh pejabat pajak. Kesalahan yang dilakukan olehpejabat pajak menimbulkan kerugian pada pemotong ataupemungut pajak yang seyogianya kelebihan penyetoran pajakboleh diminta kembali. Ataukah dikompensasikan dengan pajakyang terutang pada tahun pajak di masa mendatang.

Dalam kaitan ini pejabat pajak memiliki pula dua kapasitasyang berbeda satu dengan lainnya. Kapasitas pertama, pejabat pajaksebagai salah satu pihak yang bersengketa berhadapan denganpemotong atau pemungut pajak . Kapasitas kedua, pejabat pajaksebagai pihak yang berwenang menyelesaikan keberatan denganmenerbitkan surat keputusan keberatan terhadap surat keberatanyang diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak yang bersang­kutan . Kalau demikian halnya, penyelesaian keberatan yangdilakukan pada Lembaga Keberatan merupakan pula peradilan pajaktidak murni. Dikatakan sebagai peradilan pajak tidak murni, karenapejabat pajak selain sebagai salah satu pihak yang bersengketa juga

sebagai pemutus terhadap surat keberatan yang diajukan kepada­nya. Hal ini, disebabkan karena tidak terpenuhi unsur keempatperadi lan pajak secara murni, yakni pihak pemutus merupakan pula

pihak yang bersengketa.

3. Wajib Pajak dengan Pemotong atau PemungutPajak

Surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak terhadappemotong atau pemungut pajak karena pemotong atau pemungutpajak dalam melaksanakan kewajibannya melanggar ketentuandalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.Sebagai contoh, pemotong atau pemungut pajak melakukanpemotongan atau pemungutan pajak kepada wajib pajak melebihiyang seharusnya dipotong atau dipungut. Atau pemotong ataupemungut pajak melakukan pemotongan atau pemungutan pajakdengan tidak memberikan bukti pemotongan atau pemungutanpajak kepada wajib pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya.

Kalau terjadi demikian, maka wajib pajak yang telah dikenakanpemotongan atau pemungutan pajak berhak mengajukan suratkeberatan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan olehpernotong atau pemungut pajak kepada Lembaga Keberatanpejabat. Pihak-pihak yang bersengketa dalam hal ini adalah wajibpajak yang dikenakan pemotongan atau pemungutan pajak denganpemotong atau pemungut pajak. Sementara itu, pejabat pajak

berada dalam kapasitas sebagai pihak pemutus yang berwenangmenerbitkan surat keputusan keberatan. Sebenarnya pejabat pajakbukan merupakan salah satu pihak yang bersengketa melainkansebagai pihak yang memeriksa dan memutus surat keberatan yangdiajukan oleh wajib pajak. Tatkala dicermati penyelesaian keberatanantara wajib pajak dengan pemotong atau pemungut pajak, ternyatabahwa Lembaga Keberatan menyelenggarakan peradilan pajak

Page 164: Buku Pembaruan Hukum Pajak

316 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 317

secara murni karena terdapat pemisahan secara tegas antara pihak­pihak yang bersengketa dengan pihak pemutus yang berwenangmemeriksa dan memutus sampai pada menerbitkan surat keputu­san keberatan sehingga tidak benar kalau dikatakan bahwa LembagaKeberatan sebagai salah satu Lembaga Peradilan Pajak hanyasekadar melaksanakan peradilan pajak tidak murni.

Lembaga Keberatan sebagai penyelenggara peradilan pajaksecara murni hanya terhadap keberatan yang terkait dengan PajakPenghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah, serta pajak daerah, baik pajak daerah provinsimaupun pajak daerah kabupaten/kota. Terhadap Pajak Bumi danBangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tidakakan terjadi karena tidak dikenal adanya pemotong atau pemungutpajak dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, dan UU CK.

F. Surat Keputusan Keberatan

Bila surat keberatan telah memenuhi syarat-syarat yangditentukan, pejabat pajak melakukan pemeriksaan dan memutusnyadengan berpatokan pada hukum pajak. Dalam perneriksaan, wajibpajak diperbolehkan menyampaikan alasan tambahan ataupenjelasan tertulis tatkala beranggapan bahwa surat keberatan yangdiajukan itu , masih memiliki kekurangan atau tidak sempurna.Bahkan dapat menghadiri persidangan untuk memberikan kete­rangan atau penjelasan mengenai keberatan yang dimohonkannya.Hal ini, dimaksudkan untuk memudahkan bagi pejabat pajak dalammenentukan keputusan terhadap keberatan yang diajukan olehwajib pajak maupun pemotong atau pemungut pajak .

Selain itu, wajib pajak harus pula membuktikan ketidak­benaran surat ketetapan pajak (misalnya surat ketetapan pajakkurang bayar atau surat ketetapan pajak nihil) yang dijadikan dasar

keberatannya. Surat ketetapan pajak kurang bayar ters ebut terkait

dengan kewajiban wajib pajak mengenai hal-hal:

1. surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktuyang ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidakdisampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam

surat teguran;

2. tid ak men yelenggarakan pembukuan atau pencatatan: atau

3. menghalangi pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas

pemeriksa.

Set elah pemeriksaan dilakukan, pejabat pajak berwenangmenerbitkan surat keputusan keberatan sebagai jawaban akhir darisengketa paj ak di tingkat Lembaga Keberatan. Pejabat pajakmenerbitkan surat keputusan keberatan dengan tetap berdasarkanpada surat keberatan, fakta-fakta hukurn, dan alat bukti yangterungkap dalam persidangan agar surat keputusannya rnencermin­kan keadilan, kernanfaatan, dan kepastian hukum yang didambah­kan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini dimaksudkan agarpihak-pihak yang bersengketa dapat berkesimpulan bahwa LembagaKeberatan sebagai bagian dari Lembaga Peradilan Pajak dap at

memberikan perlindungan hukum.

]angka waktubagi pejabat pajak menerbitkan surat keputusankeberatan adalah dua belas bulan sejak tanggal diterimanya suratkeberatan tersebut. Dalam arti , surat keputusan keberatan harusditerbitkan sebelum berakhir jangka waktu dua belas bulan. Apabilatelah lewat jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal diterimanyasurat keberatan, tetapi pejabat pajak tidak menerbitkan suratkeputusan keberatan, surat keberatan yang diajukan oleh wajibpajak, baik kepada pejabat pajak yang menerbitkan surat ketetapanpajak maupun pemotong atau pemungut pajak tersebut dit erimademi hukum. Berarti , pejabat pajak tidak boleh lagi melakukan

Page 165: Buku Pembaruan Hukum Pajak

318 Pembaruan Hukum Pajak BAB 16: Lembaga Keberatan 319

pemeriksaan mengenai keabsahan materi atau objek yang

dipersengketakan sebagaimana yang tercantum dalam surat

keberatan dimaksud.

Kalau pemeriksaan surat keberatan telah selesai, berarti pejabat

pajak wajib menerbitkan surat keputusan keberatan terhadap wajib

pajak yang mengajukan keberatan. Surat keputusan keberatan yang

diterbitkan oleh pejabat pajak dapat berisikan diktum, yaitu:

1. menerima seluruhnya, dalam hal ini wajib pajak telah menge­

mukakan alasan-alasan yang didukung dengan bukti-bukti

yang meyakinkan secara keseluruhan yang dipersengketakan

dalam surat keberatannya sehingga pejabat pajak menerima

keseluruhan tuntutan wajib pajak yang tercantum dalam surat

keberatannya;

2. menerima sebagian, apabila dari keseluruhan alasan-alasan

yang dikemukakan oleh wajib pajak dalam surat keberatannya,

ternyata hanya sebagian dari alasan-alasan tersebut diterima

dan sebagian pula ditolak oleh pejabat pajak;

3. tidak dapat diterima, jika alasan yang dikemukakan dalam

persidangan tidak diterima oleh pejabat pajak selaku pernutus:

4. menolak keberatan, jika surat keberatan tersebut diajukan

bukan kepada pejabat pajak yang menerbitkan surat ketetapan

pajak tersebut (kompetensi absolut):

5. menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. Hal ini dapat

terjadi karena alasan-alasan yang dikemukakan oleh wajib pajak

maupun alat bukti, menimbulkan keyakinan bagi pejabat pajak

bahwa utang pajak yang dipersengketakan lebih besar daripada

yang tercantum dalam surat keberatan.

Dari kelima jenis surat keputusan keberatan tersebut di atas,

surat keputusan keberatan yang memiliki diktum berupa menam­bah besarnya jumlah utang pajak merupakan dasar penagihan

pajak. Wajib pajak yang tidak menerima surat keputusan keberatan

karena pertimbangan tidak mencerminkan keadilan, kemanfaatan,

atau kepast ian hukum, ber hak m engaju ka n bandi ng pada

Pengadilan Pajak yang berkedudukan di Ibukota Negara Indonesia(Iakarta). .

Page 166: Buku Pembaruan Hukum Pajak

321

Daftar Pustaka

Ali, Chidir. 1993. Hukum Pajak Elementer. Bandung: PT Eresco .

Bohari. 2004. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Brotodihardjo, Santoso, 1995. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung:PT Eresco. .

Hadi, Moeljo. 2001 . Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat PaksaOleh [urusita Pajak Pusat dan Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Harahap, Abdul Asri. 2004. Paradigma Baru Perpajakan IndonesiaPerspektif Ekonomi-Politik. Jakarta: Integritas Dinamika Press.

Hutagaol, John. 2000. Pemahaman Praktis Perjanjian PenghindaranPajak Berganda Indonesia Dengan Negara-Negara diKawasan Eropa.Jakarta.

Ilyas, Wirawan B. 2001. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.

Inayah, Gazi. 2003 . Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak .Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Munawir. 1985. Pokok-pokok Perpajakan. Yogyakarta: Liberty.

Pudyatmoko, Y.Sri. 2002. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Andi.

Page 167: Buku Pembaruan Hukum Pajak

Rusjdi, Muhammad. 2003 . KUP Ketentuan Umum dan TatacaraPerpajakan. Jakarta: PT lndeks .

Saidi , Muhammad Djafar. 1987. Pengantar Hukum Pajak Indonesia.Ujung Pandang: Lembag a Penerbitan Universitas Hasanuddin.

--. 2006. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaiansengketa Pajak. Makassar: Disertasi, Pascasarjana Universitas

Hasanuddin.

Siahaan, Marihot P. 2004. Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban DanPenagihan Pajak Dengan Surat Paksa . Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

-----. 2005. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan BangunanTeori dan Praktik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

----.2006. Bea Meterai di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Soemitro, Rochmat. 1976. Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajakdi Indonesia. Bandung: PT Eresco.

----. 1979. Dasar-dasar Hukum dan Pajak Pendapatan 1944.Bandung: PT Eresco.

----- 1986. Asas dan Dasar Perpajakan I. Bandung: PT

Eresco.

Suherman, Ade Maman . 2004. Pengantar Perbandingan SistemHukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Surahmat, Rachmanto. 2000. Persetujuan Penghindaran Pajak Ber­ganda Sebuah Pengantar. Jakart a: PT RajaGrafindo Persada.

Zak aria, jaja. 2005. Perjanjian Penghindaran Pc~jak Berganda SertaPenerapannya di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

----.2005. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap

(BUT). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

322 Pembaruan Hukum PajakDaftar Pustaka 323

----- 1987. Pajak Pertambahan Nilai 1984. Bandung: PT

Eresco.

--- -.1988. Asasdan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT Eresco.

----- 1991 . Pajak Ditinjau dari Segi Hukum. Bandung: PT

Eresco.

1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: PT

Eresco.

Suandy, Erly. 2000. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.

Page 168: Buku Pembaruan Hukum Pajak

325

Biodata Penulis

--r-

t~.L~ ~!. Buku ini ditulis oleh Muhamrnad Djafar Saidi,

lahir di Pare-pare, tanggal 11 November 1952.Pendidikan mulai dari Sekolah Dasar, Sekol ahMenengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atasditempuh di tempat kelahiran. Hijrah ke Makassar

pada tahun 1973 untuk melanjutkan pendidikan pada FakultasHukum Universitas Hasanuddin dan selesai tahun 1980. Kemu dian

pendidikan Magister di bidang Ilmu Hukum Pajak pada PascasarjanaUniversitas Hasanuddin pada tahun 1997 dan selesai tahun 2000 ,

dan di tingkat Doktoral dalam bidang Ilmu Hukum Pajak padatahun 2000 dan selesai tahun 2006. Selama ini mengabdi pada

Almamater dari tahun 1980 sampai kini dan Program Pascasar­jana Universitas Hasanuddin pada tahun 2000 sampai sekarang.

Pembaruan Hukum Pajak merupakan salah satu karya ilmiahyang dihasilkan, karena sebelumnya telah dihasilkan karyaberupa: 1) Pengantar Hukum Pajak Indonesia, pada tahun 1987; dan

2) Hukum Lingkungan, pada tahun 1989 . Keduanya diterbitkanoleh lembaga penerbitan (Lephas) Univer sitas Ha sanuddin.

Page 169: Buku Pembaruan Hukum Pajak

326 Pembaruan Hukum Pajak

Substansi yang termuat dalam Pembaruan Hukum Pajak adalahhukum pajak materiel yang mengalami pembaruan berdasarkan

perkembangan Undang-undang Pajak, kecuali mengenai Lern­baga Keberatan. Dengan demikian, untuk memahami mengenai

hukum pajak materiel maka Pejabat Pajak, Wajib Pajak, dan Maha­siswa perlu mencermati buku ini.

/

(