struktur kayu
-
Upload
andy-ade-putra-siregar -
Category
Documents
-
view
397 -
download
2
Transcript of struktur kayu
KARYA TULIS
TEKNOLOGI PENGAWETAN KAYU PERUMAHAN DAN GEDUNG
DALAM UPAYA PELESTARIAN HUTAN
Oleh :
Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P.
NIP. 132 296 841
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2006
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan Syukur Alhamdulillah ke Hadirat Allah
SWT. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis ini.
Tulisan ini akan memaparkan tentang tinjauan Teknologi Pengawetan Kayu
Perumah dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, yang dalam tulisan ini
mencakup: Aspek Pengawetan Kayu, Pengawetan Kayu Bangunan untuk
Perumahan dan Gedung, serta Nilai Ekonomi Kayu dan Ketersediaannya di Hutan.
Bagian aspek pengawetan kayu akan memaparkan tentang: keawetan kayu,
keterawetan kayu, organisme perusak kayu, dan pengawetan kayu.
Pada bagian pengawetan kayu bangunan untuk perumahan dan gedung, akan
dipaparkan jenis kayu bangunan, komponen bangunan dari kayu, dan penerapan
pengawetan kayu di Indonesia.
Sedangkan bagian nilai ekonomi kayu dan ketersediaannya di hutan akan
memaparkan tentang nilai ekonomi kayu yang dimanfaatkan, laju deforestasi, dan upaya-
upaya pelestarian hutan.
Sangat disadari, bahwa dalam penyusunan tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu saran-saran dan masukan-masukan positif sangat diharapkan demi
penyempurnaan tulisan ini di masa-masa yang akan datang.
Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam penulisan ini
masih banyak kekurangan. Dan semoga paparan singkat dalam tulisa ini memberikan
manfaat bagi kita semua. Amin…
Medan, Oktober 2006
Penulis
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR …..………………………..…………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………… ii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………. iii
I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
II. ASPEK PENGAWETAN KAYU …………………………………. 2
A. Keawetan Kayu ………………………………………………… 2
B. Keterawetan Kayu ……………………………………………… 4
C. Organisme Perusak Kayu ……………………………………… 6
D. Pengawetan Kayu ……………………………………………… 12
III. PENGAWETAN KAYU BANGUNAN UNTUK GEDUNG DAN PERUMAHAN ………………………………
13
A. Jenis Kayu Bangunan dan Komponen Bangunan Dari Kayu … 13
B. Penerapan Pengawetan Kayu Di Indonesia …………..……….. 14
IV. NILAI EKONOMI KAYU DAN KETERSEDIAANNYA DI HUTAN …………………………………………………..……….
17
A. Nilai Ekonomi Kayu Yang Dimanfaatkan …………..………… 17
B. Nilai Kayu Awetan dan Pelestarian Hutan ………..…………… 19
V. KESIMPULAN …………………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 21
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kasifikasi Keawetan Kayu Berdasarkan Umur Pakai di Lapangan …….... 2 2. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Jamur …………………...… 3
3. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Rayap Kayu Kering ...…..... 3
4. Kasifikasi Keawetan Kayu Berdasarkan Percobaan Kuburan …….. 4 5. Persyaratan Retensi Dan Penembusan Bahan Pengawet Untuk
Kayu Bangunan Perumahan dan Gedung …………………………..
12
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
I. PENDAHULUAN
Kayu telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, karena kayu telah
banyak digunakan sebagai alat perlengkapan sehari-hari mengingat beberapa
karakteristik khas kayu yang tidak dijumpai pada bahan lain, yaitu: (1) tersedia
hampir di seluruh dunia, (2) mudah diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran,
(3) relatif mudah pengerjaannya, (4) penampilan sangat dekoratif dan alami, serta
(5) relatif ringan.
Kayu merupakan komponen penting dalam perumahan, khususnya untuk
kusen, pintu, jendela dan bagian-bagian lain dari suatu bangunan perumahan.
Penggunaan kayu juga semakin berkembang, tidak hanya menjadi komponen
kontruksi bangunan, namun juga sebagai bahan baku perangkat interior.
Banyaknya penggunaan kayu dan semakin tingginya minat masyarakat akan
produk-produk olahan kayu, membuat hasil hutan ini mampu menempati posisi
penting dalam peringkat kebutuhan masyarakat.
Di sisi lain, dari sekitar 4000 jenis kayu Indonesisa sebagian besar (80-
85%) berkelas awet rendah (III, IV, dan V) dan hanya sedikit yang berkelas awet
tinggi. Kayu tidak awet memiliki kelemahan antara lain dapat dirusak atau
dilapuk oleh organisme perusak kayu, akibatnya umur kayu menjadi menurun.
Padahal nilai suatu jenis kayu untuk keperluan banguna perumahan dan perangkat
interior sangat ditentukan oleh keawetannya. Karena bagaimanapun kuatnya kayu
tersebut penggunaannya tidak akan berarti jika umur pakainya pendek.
Fenomena inilah yang mendorong upaya untuk melakukan pengawetan
kayu, diantaranya dengan melapisi kayu menggunakan bahan beracun sehingga
kayu tidak terserang organisme perusak kayu. Kasus perusakan kayu oleh
organisme perusak tidak hanya menimbulkan masalah secara teknis namun juga
secara ekonomis. Selain itu kerusakan kayu oleh organisme perusak
mengakibatkan komponen bangunan harus diganti. Dengan kata lain laju
konsumsi kayu dan kebutuhan kayu akan semakin meningkat yang berakibat pada
laju penebangan hutan tidak bisa diminimalisasi dari tahun ke tahun.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
II. ASPEK PENGAWETAN KAYU
A. Keawetan Kayu
Salah satu kekurangan kayu adalah dapat dirusak oleh organisme hidup
seperti jamur, serangga, dan binatang laut yang hidup merombak komponen
utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta menurunkan kekuatan
kayu. Mereka menggerek kayu sebagai makanan maupun tempat tinggal. Usia
pakai kayu tergantung kepada kelas awet kayu terhadap faktor perusak.
Keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan kayu terhadap serangan
faktor perusak kayu dari golongan biologis. Keawertan alami kayu ditentukan
oleh zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak. Dalam hal ini
tiap jenis kayu mempunyai zat ekstrakrtif yang berlainan, sehingga
mengakibatkan ketahanan kayu terhadap faktor perusak juga berlainan. Pada
umumnya kayu gubal mempunyai keawetan yang lebih rendah dibanding kayu
teras, karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif.
Oey Djoen Seng (1964) dalam Djarwanto dan Abdurrahim (2000),
membagi kayu dalam lima kelas keawetan di Indonesia berdasarkan usia pakai
kayu pada berbagai kondisi tempat pemakaian, tanpa menyebutkan secara spesifik
jenis organisme yang menyebabkan kerusakan kayu tersebut. Kayu yang paling
tahan terhadap orngaisme perusak dinyatakan dalam kayu kelas awet satu yang
berarti memiliki keawetan tinggi, dan yang paling tidak tahan dinyatakan dalam
kelas awet lima yang berarti sangat rentan terhadap organisme perusak. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kasifikasi Keawetan Kayu Berdasarkan Umur Pakai di Lapangan
Kelas Awet Kondisi Tempat Kayu Dipakai I II III IV V
Selalu berhubungan dengan tanah lembab 8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat pendek
Sangat pendek
Hanya dipengaruhi cuaca, tapi dijaga supaya tidak terendam air dan tidak kekurangan udara
20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa tahun
Sangat pendek
Di bawah atap, tidak berhubungan denga tanah lembab dan tidak kekurangan udara
Tak terbatas
Tak terbatas
Sangat lama
Beberapa tahun
pendek
Di bawah atap, tidak berhubungan denga tanah lembab dan tidak kekurangan udara dan dipelihara dengan baik serta dicat dengan teratur
Tak
terbatas
Tak
terbatas
Tak
terbatas
20 tahun
20
tahun
Serangan rayap rtanah Tidak Jarang Cepat Sangat cepat
Sangat cepat
Serangan bubuk kayu kering Tidak Tidak Hampir tidak
Tidak berarti
Sangat cepat
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Mengacu pada tingkatan kelas keawetan kayu seperti pada Tabel 1,
berbagai penelitian menunjukkan bahwa keawetan kayu berbeda-beda tergantung
pada jenis organisme yang menyerangnya. Jadi kayu memiliki keawetan secara
khusus terhadap organisme tertentu. Ketahanan kayu terhadap berbagai
organisme perusak kayu berbeda-beda, dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia
yang melekat pada kayu yang bersangkutan, jenis organisme yang menyerang,
dan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan organisme perusak.
Martawijaya (1975) dalam Djarwanto dan Abdurrahim (2000), membagi
kayu ke dalam lima kelas awet secara umum, berdasarkan besarnya penurunan
berat kayu oleh jamur di laboratorium. Data selengkapnya dapat di lihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Jamur
Kelas Resistensi Penurunan Berat (%) I Sangat resisten Kecil atau tidak berarti II Resisten Rata-rata < 5 III Agak resisten Rata-rata 5 – 10 IV Tidak resisten Rat-rata 10 – 30 V Sangat tidak resisten Rata-rata > 30 Sedangkan Martawinata dan Sumarni (1978) dalam Djarwanto dan
Abdurrahim (2000), membagi kelas ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering
seperti tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Rayap Kayu Kering
Kelas Resistensi Jumlah Rayap Hidup (%)
Kehilangan Volume (mm3)
I Sangat resisten < 11,4 < 52,9 II Resisten 11,4 – 23,8 52,9 – 212,9 III Agak resisten 23,8 – 39,1 212,9 – 372,9 IV Tidak resisten 39,1 – 55,6 372,9 – 532,9 V Sangat tidak resisten > 55,6 > 532,9
Adapun sistem klasifikasi keawetan kayu yang dibuat berdasarkan
percobaan kuburan (graveyard test) oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan, yang dilaporkan oleh Martawijaya (1975) dalam Djarwanto dan
Abdurrahim (2000), mengelompokkan kayu ke dalam lima kelas seperti terlihat
pada Tabel 4.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Tabel 4. Kasifikasi Keawetan Kayu Berdasarkan Percobaan Kuburan Kelas Resistensi Penurunan Berat (%)
I Sangat awet > 8 II Awet 5 – 8 III Agak awet 3 – 5 IV Tidak awet 1,5 – 3 V Sangat tidak awet < 1,5
B. Keterawetan Kayu
Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan
pengawet, sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomi
menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu. Keterawetan
kayu sangat bervariasi; kayu gubal mempunyai keterawetan yang lebih tinggi
karena bagian ini sebelumnya berfungsi sebagi penyalur air dari akar ke daun,
sedangkan kayu teras mempunyai sifat keterawetan yang kurang baik, karena
terbentuknya tylosis serta deposit-deposit lainnya yang menutupi sel-sel kayu.
Jika kayu tidak awet dipakai untuk perumahan dan gedung maka usia
pakainya akan pendek, sehingga harus menggantinya dengan kayu yang baru.
Akibatnya konsumsi kayu sering melebihi kecepatan pertumbuhan pohon, dan
menyebabkan menyusutnya persediaan sumberdaya hutan kayu yang makin lama
terancam habis. Supaya kayu yang berkelas awet III, IV, dan V dapat digunakan
dengan baik dan lebih awet sebaiknya diawetkan terlebih dahulu dengan cara
pengawetan kayu.
Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau
bahan pengawet ke dalam kayu untuk meningkatkan kelas awet suatu jenis kayu.
Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet, diharapkan dapat
memperpanjang usia pakai kayu, minimal sama dengan usia pakai kayu kelas
awet I yang tidak diawetkan.
Bahan pengawet adalah bahan-bahan kimia yang apabila dimasukan ke
dalam kayu akan menyebabkan kayu menjadi tahan terhadap serangan faktor-
faktor perusak kayu golongan biologis. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya,
bahan pengawet kayu dapat digolongkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu
bahan pengawet berupa minyak, bahan pengawet larut minyak, dan bahan
pengawet larut air.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Dalam prakteknya yang dimaksud pengawetan kayu adalah perlakuan-
perlakuan kimia. Ada empat faktor penting yang senantiasa diperhatikan dalam
prose pengawetan kayu, yaitu: (1) Kondisi kayu yang diawetkan, (2) Bahan
Pengawet, (3) Cara pengawetan, (4) Perlakuan setelah pengawetan. Keempat
faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil pengawetan baik, secara sendiri-sendiri
maupun secara bersamaan.
Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya
saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam
kayu. Besarnya absorbsi dan penetrasi yang bisa dicapai ditentukan oleh: (1)
Struktur anatomi kayu, (2) Persiapan kayu sebelum diawetkan, (3) Metode
pengawetan, dan (4) Jenis dan konsentrasi bahan pengawet.
Menurut Barly dkk. (1995) dalam Djarwanto dan Abdurrahim (2000),
paling tidak ada empat faktor yang sangat berpengaruh terhadap sifat mudah
tidaknya kayu diawetkan atau lebih dikenal dengan sifat keterawetan kayu, yaitu:
(1) jenis kayu yang ditandai sifat yang melekat pada kayu seperti struktur anatomi,
permeabilitas, kerapatan, dan sebagainya, (2) keadaan kayu pada waktu
diawetkan, seperti bentuk kayu, gubal/teras, kadar air, dan sebagainya (3) metode
pengawetan yang diterapkan, dan (4) sifat bahan pengawet yang dipakai.
Setiap jenis kayu mempunyai struktur anatomi dan kerapatan nyang
beragam, bahkan keragaman ini tidak hanya pada antar jenis kayu yang berlainan
saja, tetapi juga terjadi pada antar bagian dari suatu jenis yang sama. Akibatnya
keterawetran setiap jenis kayu berbeda satu sama lainnya.
Keterawetan merupak sifat kayu yang penting, yang menunjukkan mudah
tidaknya suatu jenis kayu dimasuki larutan bahan pengawet. Sifat keterawetan
dapat diogunakan untuk menduga cara pengawetan yang efisien terhadap suatu
jenis kayu. Jenis kayu yang mempunyai keterawetan tinggi dapat diawetkan
dengan proses yang sederhana, sebaliknya kayu yang mempunyai sifat
keterawetan rendah harus diawetkan dengan prose vakum tekan dan mungkin
pula harus memakai pengukusan terlebih dahulu agar porinya terbuka sehingga
memberi kesempatan masuknya bahan pengawet kayu.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
C. Organisme Perusak Kayu
Kayu yang berkeawetan alami rendah, mudah diserang oleh organisme
perusak kayu berupa jamur, serangga dan binatang laut, tetapi akibat yang
ditimbulkan oleh organisme tersebut terhadap kayu tidak sama di setiap lokasi.
Pada bagian bangunan yang selalu lembab lebih banyak ditemukan serangan
jamur daripada serangan serangga, dan serangan setiap jenis serangga berbeda
pada setiap lokasi. Lingkungan hidup disekitarnya sangat berpengaruh terhadap
kesinambungan hidup organisme. Atas dasar kenyataan tersebut penanggulangan
organisme perusak kayu harus disesuaikan dengan kondisi serangan yang terdapat
pada lokasi kayu dipasang dan atas dasar pengetahuan hubungan antar organisme
perusak kayu dengan lingkungannya tersebut, mungkin dapat ditrerapkan metode
pengawetan yang sesuai, sehingga dapat dicapai hasil yang optimal dengan biaya
lebih kecil.
Secara garis besar, faktor penyebab kerusakan kayu dapat digolongkan
menjadi dua yaitu faktor biologis (hidup) dan faktor non biologis (mati).
1. Faktor Biologis
Dibandingkan dengan faktor nonbiologis, faktor biologis dianggap yang
paling dominan menimbulkan kerusakan kayu. Faktor biologis yang dimaksud
meliputi cendawan (jamur), serangga dan nematoda (cacing).
a. Cendawan (Jamur)
Cendawan atau lebih populer jamur adalah golongan tanaman tingkat
rendah yang tidak mempunyai klorofil (zat hijau daun). Karena tidak berklorofil
maka jamur tidak dapat memproduksi makanan sendiri. Oleh karena itu untuk
kelangsungan hidupnya jamur menumpang pada mahluk hidup lain.
Cendawan perusak kayu dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
cendawan pembusuk kayu dan cendawan pewarna kayu.
Cendawan Pembusuk Kayu
Cendawan pembusuk kayu merupakan penyebab utama kerusakan kayu.
Jenis cendawan ini merusak dinding sel kayu sehingga mengubah sifat fisik dan
sifat kimia kayu. Akibat serangan cendawan ini dapat mencapai titik kondisi yang
disebut sebagai decay (kayu busuk).
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Terdapat dua jenis cendawan pembusuk kayu yaitu pembusuk coklat dan
pembusuk putih. Cendawan pembusuk coklat secara selektif menyerang selulosa
dan hemiselulosa. Cendawan ini juga meninggalkan residu berwarna kecoklatan.
Akibanya kayu yang terserang berubah warnanya menjadi kecoklat-coklatan atau
kemerah-merahan. Di samping itu, akaibat serangan cendawan pembusuk coklat
kayu menjadi retak tegak lurus terhadap arah serat kayu.
Berbeda dengan cendawan pembusuk coklat, cendawan pembusuk putih
mempunyai kemampuan untuk merusak lebih dahsyat. Akibat serangan
cendawan jenis ini kayu menjadi berwarna lebih muda (pucat) dibandingkan kayu
warna normal. Jenis cendawan pembusuk kayu yang biasa ditemukan adalah
Paria incrasta dan Serpala lacrymans. Keduanya termasuk dalam kelas
Basidiomycetes.
Cendawan Pewarna Kayu
Cendawan pewarna kayu termasuk kelas Ascomycetes. Cendawan ini
sebenarnya tidak menurunkan tingkat kekuatan kayu, tapi menurunkan kualitas
kayu, terutama pada kayu yang akan digunakan sebagai bahan kayu lapis, mebel,
bahan baku pulp, dan industri korek api.
Cendawan pewarna kayu mudah sekali menyerang kayu yang disimpan di
tempat pengumpulan dan penimbunan kayu. Contoh spesies cendawan yang
sangat umum dijumpai adalah Cerotocytis pilifera.
b. Serangga Perusak Kayu
Kerusakan kayu oleh serangga terutama disebabkan oleh jenis rayap dan
kumbang bubuk. Serangan dapat terjadi pada pohon yang masih berdiri, kayu
bulat yang sudah ditebang, kayu gergajian, dan produk peralatan dari kayu di
dalam penyimpanan maupun dalam pemakaian.
Serangan ditandai dengan adanya lubang-lubang atau gerekan menyerupai
saluran di permukaan kayu. Akibatnya penampilan kayu kurang menarik dan
kekuatannya menjadi menurun.
Rayap
Berdasarkan tempat hidupnya, rayap perusak kayu dibedakan menjadi dua:
rayap kayu kering dan rayap bawah tanah. Rayap kayu kering dapat memasuki
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
kayu yang terbuka di atas tanah secara langsung dari udara. Untuk hidupnya tidak
memerlukan tempat yang lembab dan tidak perlu masuk ke dalam tanah.
Dinamakan rayap kayu kering karena jenis rayap ini masih mampu hidup dalam
kayu berkadar air relatif rendah sekitar 5-6 %. Adanya serangan dapat dikenali
dari stuktur kayu yang menjadi tidak rata dan meninggalkan kotoran berbentuk
butiran-butiran kecil.
Rayap bawah tanah masuk ke dalam kayu melalui dalam tanah atau
melalui lorong-lorong pelindung yang dibangunnya. Untuk hidupnya diperlukan
kelembaban tertentu secara tetap. Contoh spesies rayap tanah yang sangat umum
dijumpai adalah Coptotermes sp. Dan Macrotermes sp.
Kumbang bubuk
Seperti halnya rayap, kumbang bubuk kayu membuat lubang-lubang
dalam kayu untuk mendapatkan makanan dan sebagai tempat berlindung. Dalam
penyerangannya, kumbang bubuk kayu meninggalkan bagian-bagian kayu yang
tidak dicerna dalam bubuk halus. Larva kumbang bubuk menggerogoti kayu
secara tidak beraturan dan biasanya menyerupai saluran-saluran. Jika
serangannya hebat, biasanya hanya sedikit kayu yang tersisa.
Beberapa jenis kumbang bubuk yang menyerang kayu dalam berbagai
kondisi antara lain:
Kumbang perabot rumah tangga
Kumbang ini dalam bahasa latinnya disebut Anobium punctatum. Tubuhnyza
berwarna cokelat tua hampir mendekati hitam. Panjangnya sekitar 2-5 mm.
Larva (enthung) berwarna keputih-putihan, kecil, dan bengkok.
Kumbang penunggu bangkai
Kumbang penunggu bangkai (Xestobium rufovillosum) berwarna coklat
berbintik-bintik. Kepalanya agak lebar dan rata, panjang sekitar 6-8 mm.
Larva serupa dengan kumbang perabot rumah tangga, yaitu berwarna keputih-
putihan.
Lubang hasil gerekan berukuran lebih besar daripada lubang gerekan
kumbang perabot rumah tangga. Bubuk kayu yang dibornya mudah dikenali
karena mengandung butiran-butiran yang jelas sekali terlihat.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Kumbang zat tepung
Kumbang zat tepung (Lyctus brunneus) berwarna coklat kemerah-merahan
hingga hitam dengan panjang kurang lebih 2 mm. Larva kecil dan berwarna
keputih-putihan. Badan kumbang ini berupa dua bagian terpisah yang
dilengkapi dua buah antena yang melebar pada bagian ujungnya.
Kumbang bertanduk panjang
Kumbang bertanduk panjang (Hylotrupes bajulus) berukuran panjang 6-20
mm Bentuknya mudah dikenal dengan dua buah bintik mengkilat di atas
kepala dan rambut-rambut putih di sayapnya. Bubuk kayu yang dibornya
mengandung serpihan-serpihan kayu sangat kecil.
Kumbang penggerek semat
Kumbang penggerek semat (Ambrosia beetle) termasuk dalam keluarga
Scolytidae dan Platypodidae. Ukuranya panjang sekitar 4-8 mm. Larvanya
hanya hidup di dalam kayu yang belum dikeringkan. Kumbang ini juga
sebagai vektor (penyebar) jenis jamur yang meninggalkan noda hitam.
c. Cacing Laut (Marine Borers)
Penggunaan kayu yang berhubungan langsung dengan air laut atau air
payau, misalnya dermaga, dapat mengalami kerusakan akibat dari binatang
penggerek yang biasa dikenal dengan istilah cacing laut.
Berdasarkan ciri dalm struktur umum dan cara penyerangan kayu,
binatang penggerek kayu di laut dibedakan menjadi dua yaitu kerang penggerek
(Molluscan borers) dan kepiting penggerek (Crustacean borers)
Kerang penggerek
Terdapat tiga jenis kerang penggerek kayu yang paling penting yaitu
teredo, bankia, dan martesia. Jenis teredo dan bankia meliputi beberapa spesies
yang sepintas lalu bentuknya menyerupai cacing, begitu pula dalam sifatnya maka
secara umum dikenal sebagi cacing kapal, sedangkan jenis martesia bentuknya
menyerupai kerang.
Meluasnya serangan cacing kapal terjadi pada saat telur cacing menetas
menjadi larva. Larva-larva yang kecil dan halus ini berenang bebas dalam air dan
pada permukaan kayu yang terendam. Setelah mengalami periode perkembangan
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
yang sangat cepat, kerang penggerek dapat melekatkan diri pada kayu dan mulai
menyerang kayu dengan cara menggerek.
Setelah berada di dalam kayu, kerang penggerek akan bertambah besar
dengan cepat dan mengembangkan tubuhnya yang khas seperti cacing. Untuk
menyesuaikan dengan tubuhnya yang semakin membesar cacing kapal ini akan
membesarkan salurannya. Dalam kondisi yang cocok bagi pertumbuhannya,
cacing kapal dapat mencapai 1-4 kali dari ukuran normal, sedangkan diameternya
dapat mencapai 1 inci, tergantung pasa spesiesnya.
Selama cacing kapal berkembang di dalam kayu, lubang masuknya hanya
sedikit membesar sehingga meskipun dari luar tampak adanya sedikit lubang, tapi
bagian dalam kayu sudah banyak saluran dan lubang kayu yang menyerupai
sarang lebah. Akibat serangan cacing kapal ini, kekuatan kayu menjadi menurun
secara drastis.
Kerang penggerek jenis martesia bentuknya mirip dengan kerang kecil.
Tubuhnya sama sekali tertutup dalam suatu kulit berkatup dua, tetapi dalam
struktur umum dan dalam penyerangannya terhadap kayu mirip dengan cacing
kapal. Kerusakan kayu akibat serangan martesia cenderung lebih cepat jika
dibandingkan dengan kerusakan akibat cacing kapal.
Kepiting penggerek
Kepiting penggerek mempunyai struktur dan penampakan yang berbeda
dengan kerang penggerek demikian juga cara menyerang dan merusaknya
Kepiting penggerek dalam hidupnya dapat bergerak bebas, tidak pernah
mengalami kungkungan dalam kayu. Kerusakan yang ditimbulkan akibat
serangan kepiting penggerek relatif kecil jika dibandingkan dengan serangan
yang diakibatkan oleh cacing laut.
2. Faktor Non biologis
Faktor biologis yang berpengaruh adalah cuaca dan api.
1. Cuaca
Permukaan kayu yang berhubungan langsung dengan kondisi lingkungan
luar tanpa adanya perlindungan atau pelapisan bagian luar seperti cat dan vernis
dapat mengalami kerusakan. Kerusakan itu biasanya disebut pelapukan.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Jenis kerusakan ini berbeda dengan pelapukan akibat serangan cendawan
karena pelapukan jenis ini terjadi akibat kombinasi dari beberapa faktor seperti
cahaya, perubahan dimensi kayu,akibat hujan dan panas secara bergantian, serta
cendawan pembusuk lunak.
Pengguinaan kayu yang tidak di bawah naungan atap seperti sirap, pagar
papan, list plang, dan penggunaan lainnya yang tidak dicat lama-kelamaan
permukaannya akan menjadi kasar, berkerut-kerut, retak-retak kecil,yang kadang-
kadang meluas ke seluruh potongan kayu dan akhirnya permukaan kayu menjadi
rapuh.
2. Api
Api merupakan salah satu faktor nonbiotik, yang juga banyak
menyebabkan kerusakn kayu. Sifat mudah terbakar adalah hambatan utama
dalam penggunannya sebagai bahan bangunan. Kenyataan telah membuktikan
bahwa kayu adalah bahan bangunan primer yang akan terbakar dan menyala pada
suhu bakarnya. Karena itu, penggunaan kayu secara luas dan tanpa adanya batas
(sekat) dalam pembuatan konstruksi gedung atau bangunan lainnya perlu
dihindari. Sebab-sebab terbakarnya kayu yang tidak dilindungi pada suhu rendah
oleh sumber kebakaran tergantung pada spesiesnya, tetapi lebih ditentukan oleh
faktor seperti derajat kekeringan, suhu dari sumber panas, lamanya kena panas,
ukuran dan bentuk kayu, serta detail dari konstruksi.
D. Pengawetan kayu
Pengawetan kayu merupakan suatu cara untuk meningkatkan keawetan
kayu terhadap serangan faktor biologis penyebab kerusakan kayu. Caranya adalah
dengan memasukan bahan kimia beracun ke dalam kayu, yang mengganggu
kehidupan biologi tersebut sehingga kayu menjadi kebal terhadap serangan
organisme dan usia pakainya menjadi lebih lama dari sebelum diawetkan. Jenis
bahan pengawet yang beredar di pasaran ada berbagai macam, sehinga dalam
memilih bahan pengawet harus diperhatikan beberapa hal antara lain: efikasi
kayu terhadap organisme perusak, cara pengawetan yang akan dilakukan,
ketahanan melekat di kayu, sifat korositas, aman terhadap manusia dan hewan
ternak serta lingkungan, mudah penanganan dan harganya murah.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Cara pengawetan kayu berpengaruh terhadap hasil pengawetan kayu.
Secara umum pengawetan kayu dibagi ke dalam dua cara yaitu cara pengawetan
dengan tekanan dan tanpa tekanan. Cara pengawetan dengan tekanan
menggunakan peralatan tertutup seperti tangki yang mampu menahan tekanan
tertentu, seperti cara pengawetan secara sel penuh. Cara pengawetan tanpa
pengawetan dapat dilakukan dengan perendaman, difusi dan pelaburan.
Cara pengawetan dengan tekanan hasilnya biasanya lebih baik dari tanpa
tekanan, akan tetapi biaya dan peralatan yang digunakan lebih mahal. Cara ini
cocok dilakukan untuk mengawetkan kayu yang dalam pemakaiannya memilki
resiko kerusakan tinggi seperti bantalan kerta api, kayu dermaga, tiang listrik,
menara pendingin, pemakaian lain yang berhubungan langsung dengan tanah,
serta untuk mengawetkan kayu yang sulit ditembus bahan pengawet terutama
bahan pengawet yang tidak mudah luntur. Cara pengawetan tanpa tekanan pada
umunya hasilnya kurang begitu baik dibandingkan dengan cara tekanan karena
penembusannya lebih rendah namun masih dapat memenuhi syarat yang baik
retensi maupun penembusan tergantungan tujuan pemakaian.
Keberhasilan suatu bahan pengawetan kayu diukur berdasarkan besarnya
retensi dan penetrasi bahan aktif pengawet di dalam kayu yang diawetkan.
Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet yang harus dipenuhi untuk
pengawetan bahan kayu bangunan dan gedung dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Persyaratan Retensi dan Penembusan Bahan Pengawet untuk
Kayu Bangunan Perumahan dan Gedung. Retensi (kg/m3) Penembusan dalam kayu (m) No. Jenis Bahan
Pengawet Di bawah atap Di luar Vakum tekan Rendaman dingin Difusi BFCA 1 Koppers Formula 7 7,0 X X 10 12 2 Celsol Sd 7,0 X X 10 12 CCA 3 Tanalith CT 106 4,6 6,6 15 X X 4 Celcure a (P) 5,6 8,0 15 X X 5 Osmose K33 3,4 4,8 15 X X 6 Kemira K33 4,4 6,3 15 X X CCB 7 Wolmanit CB 7,5 10,7 15 10 X 8 Diffusol CB 6,0 8,6 15 10 X 9 Imparalit CKB 6,0 8,6 15 10 X CCF
10 Basilit CFK 6,0 8,6 15 10 x Sumber: Martawijaya dan Abdorrrohim (1984) dalam Djarwanto dan Abdurrahim (2000).
X = tidak disarankan
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
III. PENGAWETAN KAYU BANGUNAN UNTUK GEDUNG DAN PERUMAHAN
A. Jenis Kayu Bangunan dan Komponen Bangunan dari Kayu
Kayu umumnya banyak digunakan sebagai bahan bangunan (perumahan
dan perkantoran), jalan (bantalan rel kereta api dan jembatan), maupun fungsi
khusus lainnya (tiang telepon/listrik atau menara pendingin). Untuk bangunan
gedung dan perumahan, kayu yang biasa dipakai adalah jenis komersial dan
didominasi jenis-jenis seperti meranti, kapur atau kamper, keruing, kempas,
bangkirai dan kayu-kayu campuran dari luar jawa.
Persyaratan yang dituntut dari suatu bangunan, dalam hal ini perumahan
adalah :
a. Strukturnya kuat, kokoh dan aman dihuni
b. Tahan sampai umur pakai yang direncanakan
c. Ekonomis, dapat dijangkau masyarakat banyak
d. Fungsional, dapat dipergunakan secara nyaman untuk tempat tinggal
e. Penampilan dan bentuknya cukup menarik
Komponen bangunan dari kayu selain memenuhi syarat struktural
(kekuatannya) juga memenuhi umur pakai yang lama sesuai yang diharapkan.
Tindakan pengawetan terhadap komponen bangunan dari kayu akan
meningkatkan kayu dari kelas awet yang rendah menjadi kelas awet yang tinggi.
Metode pengawetan maupun jenis bahan pengawet yang dipakai akan tergantung
pada tujuan penggunaan komponen tersebut sehingga memenuhi prasyarat retensi
dan penetrasinya.
Kayu untuk kontruksi dibawah atap, seperti kuda-kuda dan rangka atap
(reng, usuk, gording), pengawetan secara sederhana dapat dipertimbangkan
asalkan kontruksi baik sehingga tidak bocor sewaktu hujan. Untuk yang
behubungan langsung dengan udara luar, seperti misalnya lis plang retensinya
harus cukup tinggi. Begitu juga untuk kerangka, balok-balok pemikul, kusen
daun pintu dan jendela, dinding, balok lantai dan papan lantai. Untuk kayu yang
berhubungan dengan pondasi diperlukan perhatian khusus dengan meningkatkan
retensinya, sehingga serangan rayap tanah dan pelapukan jamur dapat dihindari.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
B. Penerapan Pengawetan Kayu Di Indonesia
Bahan pengawet kayu merupakan pestisida yang berbahaya dan beracun
terhadap manusia dan lingkungan. Pemerintrah sangat memperhatikan hal
tersebut serta membuat peraturan untuk melindungi keselamatan manusia, dan
mahluk hidup bukan sasaran serta menghindari kontaminan lingkungan akibat
pemakaian bahan pengawet. Peraturan penggunaan pestisida telah diatur dengan
PP No. 7 tahun 1973 tentang “Pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan
penggunaan pestisida”.
Peredaran pestisida di Indonesia diatur oleh Surat Keputusan Meneri
Pertanian, yang dalam pelaksanaan pengawasannya dibantu oleh suatu komisi.
Untuk itu telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.
280/Kpts/Um/6/1973 tentang “Prosedur permohonan pendaftaran dan ijin
pestisida”, dan dalam pelaksanaannya Menteri Pertanian dibantu oleh Komisi
Pestisida (Kompes). Kompes berwenang menilai suatu efikasi pestisida, tingkat
keamanan terhadap manusia dan lingkungan dan persyaratan teknis lainnya dan
memberi masukan kepada Menteri Pertanian. Bahan pengawet yang dinilai oleh
Kompes sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan dengan toksisitas tinggi
serat bersifat persisten dilarang digunakan di Indonesia. Pada tanggal 26 Januari
1980 telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
59/Kpts/Um/1/1980 yang isinya melarang penggunaan pestisida yang
mengandung bahan aktif pentakhlorofhenol. Larangan tersebut diperkuat dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.
349/Kp/IX/1982 tanggal 14 September 1982 tentang larangan mengimpor,
memperdagangkan, dan mengedarkan pestisida pentakhlorofhenol dan garamnya.
Dengan kedua surat keputusan tersebut berarti di indonesia saat ini harus tidak ada
lagi bahan penmgawet yang mengandung pentakhlorofhenol baik yang
diperdagangkan maupun digunakan. Namun menurut Djarwanto dan Abdurrahim
(2000), berdasarkan pengamatan di beberapa lokasi penerbangan ramin,
menunjukkan masih terjadi pelanggaran secara sembunyi-sembunyi yang diduga
masuknya bahan pengawet tersebut tidak legal, karena Indonesia pada saat ini
belum mampu membuat bahan pengawet kayu.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
Penelitian mengenai pengawetan kayu telah mendorong lahirnya kebijakan
pemerintah, yang menunjukkan perhatian terhadap kelestrarian hutan (kayu)
sekaligus melindungi konsumen kayu dari kerugian akibat cepat rusaknya kayu
oleh organisme perusak. Pada tahun 1987 telah terbit Standar Kayu Bangunan
Indonesia No. SKBI.3.6.53.1987. UDC = 674. 0674 dan
SKBI.4.3.53.987.UDC=674.048.001.1 sebagai lampiran Surat Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum no. 38/Kpts/1987 sebagai lampiran Surat Keputusaan Menteri
Kehutanan no. 001/Kpts/1988. Sebagi penjabaran SKI telah terbit petunjuk teknis
pengawetan kayu bangunan perumahan. Khusus dibidang peningkatan kualitas
kayu yang langsung berkaitan dengan ke-PU-an telah terbit beberapa standar yaitu
SNI.03-24-04-1991 (tentang Tata Cara Pencegahan Rayap Pada Pembuatan
Bangunan Rumah dan Gedung), SNI.03-2405-1991 (tentang Tata Cara
Pencegahan Rayap Pada Pembuatan Bangunan Rumah dan Gedung dengan
Termisida), SKBI 4.3.53.1988 (tentang Spesifikasi Kayu Awet Untuk Perumahan
dan Gedung), dan SNI 03-3233-1992 (tentang Panduan Pengawetan Kayu Dengan
Cara Pemulasan, Pencelupan dan Perendaman).
Sampai berbagai peraturan diatas dikeluarkan, peraturan tentang
pengawetan kayu masih mengandung kelemahan sehingga perlu disempurnakan
antara lain :
a. Masih tercantumnya bahan pengawet yang dilarang yaitu PCP
(Pentaclorophenol).
b. Belum dicantumkan cara pengawetan dengan menggunakan metode
tekan/vakum, padahal metode ini sudah lama prakteknya di Indonesia.
c. Belum adanya ukuran baku contoh uji untuk pengujian penetrasi bahan
pengawet, serta pengujian laboratorium atau lapangan terhadap organisme
perusak kayu.
d. Untuk bahan pelarut minyak tidak ada daftar persyaratan retensi dan penetrasi.
e. Belum adanya petunjuk pengawetan untuk panel-panel kayu (kayu lapis,
papan partikel, papan serat dll).
SNI 03-3233-1992 disempurnakan lagi dengan SNI 03-3528-1994
(tentang Pengawetan Kayu Untuk Rumah dan Gedung) dan SNI 03-5010.1-1999
(tentang Pengawetan Kayu Untuk Perumahan dan Gedung) yang terbaru revisi
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
SNI 03-3528-1994, namun masih belum mencantumkan petunjuk pengawetan
untuk panel-panel kayu (kayu lapis, papan partikel, papan serat dll).
Dikeluarkannnya standar dan SK tersebut dimaksudkan agar dalam
pemakaian kayu tidak terjadi pemborosan sumberdaya hutan, dan untuk menekan
pentingnya konservasi sumberdaya hutan tersebut maka perlu diperkuat secara
politis oleh Keputusan Presiden.
GBHN tahun 1995 telah mengamanatkan pembangunan perumahan dan
pemukiman terus ditingktkan dan dikembangkan baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang merupakan salah satu tujuan pembangunan.
Dalam hal pembangunan perumahan tersebut berbagai kebijakan dan
langkah strategis telah dan perlu dicanangkan, termasuk pengaturan wilayah,
pengelolaan lahan pemukiman, pengaturan prasarana lingkungan, penyediaan
bahan bangunan dan industri kontruksi, pembiayaan serta kelembagaan
pendukung.
Sementara itu pengawetan kayu sebagai proses peningkatan kualitas kayu
bangunan, termasuk memperpanjang masa pakainya tidak diragukan lagi. Ditinjau
dari kepentingan makro, pengawetan kayu bangunan dapat memegang peranan
penting dalam : (1) perlindungan terhadap aset nasional berupa perumahan,
(2)peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan yang kian hari makin
menipis. Ditinjau dari segi masyarakat pemakai bangunan (konsumen),
pengawetan kayu bangunan memberi peluang untuk menikmati bangunan
berkualitas tinggi dalam jangka panjang. Sedangkan ditinjau dari kepentingan
dunia usaha (produsen), implementasi pengawetan dapat membuka peluang usaha
baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Namun pandangan ini
kurang memasyarakat dan sertifikasi kayu awetan masih belum menjadi orientasi
konsumen ketika menggunakan kayu untuk bangunan.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
IV. NILAI EKONOMI KAYU DAN KETERSEDIANYA DI HUTAN
A. Nilai Ekonomi Kayu yang Dimanfatkan
Keuntungan langsung yang diperoleh dari pengawetan kayu adalah
bertambahnya umur pakai kayu. Dengan bertambahnya usia pakai kayu maka
biaya pemakaian kayu rata-rata tiap tahun akan semakin murah karena tidak harus
sering mengganti kayu dengan yang baru. Dengan perlakuan pengawetan kayu,
selain menghemat pemakaian kayu secara fisik juga akan diperoleh penghematan
waktu, biaya serta tenaga renovasi bangunan. Secara ekonomis penghematan
tersebut dapat dihitung dan dinilai dengan besaran nilai uang, yaitu desngan
mencatat data yang diperlukan antara lain :
1. Usia pakai kayu sebelum diawetkan
2. Harga kayu sebelum diawetkan
3. Usia pakai setelah diawetkan
4. harga kayu setelah diawetkan yaitu harga kayu sebelum diawetkan ditambah
seluruh biaya pengawetan.
Biaya pengawetan kayu banyak dipengaruhi oleh tehnik pengawetan,
peralatan yang digunakan, jenis kayu, harga bahan pengawet, dan persyaratan lain
yang berhubungan dengan tujuan penggunaan akhir kayu awetan. Untuk
mengetahui kelayakan pengawetan kayu perlu dihitung biaya pemakaian rata-rata
pertahun per m3 dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
A = 1)1()1(−+
+n
n
rrr
x p
A = biaya rata-rata tahunan setiap m3 (Rp)
r = bunga bank (%)
n = usia pakai kayu (tahun)
p = harga kayu (Rp)
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus di atas, Abdurrahim (1994),
mengatakan bahwa secara ekonomis pengawetan kayu layak dilakukan jika bunga
bank kurang dari 30% pertahun. Keuntungan lain dari betambahnya usia pakai
yaitu penghematan pemakaian kayu dalam satuan waktu tertentu. Jika usia pakai
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
kayu meningkat menjadi dua kali sebelum diawetkan, maka penghematan
pemakaian adalah setengahnya (50%). Berdasakan berbagai hasil penelitian yang
dilakukan Puslitbang Hasil Hutan disimpulkan bahwa, kayu tidak awet dipakai
untuk perumahan dan gedung akan rusak dalam jangkja waktu 5 tahun sedangkan
kayu tidak awet untuk gedung dan perumahan yang diawetkan terlebih dahulu
paling tidak tahan sampai 15 tahun.
Dari kerbutuhan kayu untuk perumahan kayu untuk perumahan sebesar 4,5
juta m3/tahun, dengan kayu awet hanya 14,3%, maka kayu yang tidak awet untuk
perumahan sebesar 3,857 juta m3/tahun. Dalam jangka waktu 15 tahun pertama
kayu yang dibutuhkan untuk membangun dan mengganti rumah yang lapuk pada
kayu yang tidak diawetkan sebanyak 155,155 juta m3/tahun, sedangkan pada kayu
yang diawetkan hanya dibutuhkan sebanyak 57, 578 juta m3 untuk membangun
saja. Ini berarti dalam jangka waktu 15 tahun pertama kayu yang dibutuhkan
untuk mengganti kayu yang rusak sama dengan yang dibutuhkan untuk mengganti
rumah memakai kayu yang diawetan. Kayu yang dapat dihemat melalui
pengawetan dalam jangka waktu 15 tahun pertama sebesar 3,587 juta m3/tahun.
Jumlah ini sama dengan 7,137 juta m3 kayu bundar (dengan rendemen 50%), yang
setara dengan hutan seluas 51.420 ha dengan potensi 150 m3/ha. Dengan
demikian melalui pengawetan kayu perumahan kurang lebih 51.420 ha hutan alam
dapat dikonservasi setiap tahunnya. Pada 15 tahun kedua dan seterusnya
penghematan tersebut akan semakin besar. Sebagai gambaran penghematan pada
15 tahun kedua dan ketiga masing-masing 5,785 juta m3 dan 6,428 juta m3/tahun.
Semakin sempurna pengawetan kayu, peningkatan usia pakai semakai
tinggi dan pemakain kayu per satuan waktu tertentu semakin hemat. Jika laju
pemakaian kayu dapat ditekan maka laju ekploitasi hutan untuk pemakaian dalam
negeri semakin rendah, dan jika pemakian kayu dalam negeri dapat dihemat maka
ekspor kayu dapat ditingkatkan . Dengan demikian telah terjadi penghematan
sumberdaya hutan.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
B. Nilai Kayu Awetan dan Pelestarian Hutan
Bahan kayu meerupakan komponen penting dalam pembangunan
perumahan dan gedung, karena sifat keluwesannya hampir tidak dapat diganti
oleh bahan lain. Pesatnya pembangunan perumahan dan gedung mendorong laju
pemakaian kayu, sehingga jika tidak dikendalikan akan mengancam kelestarian
sumberdaya hutan akibat penebangan hutan yang besar-besaran serta sulit
dikendalikan.
Apabila kayu yang tidak awet yang dipakai untuk perumahan dan gedung
diawetkan terlebih dulu, maka dapat dihemat kayu 5,6 – 7,6 m3 per tahun, atau
setara dengan areal hutan seluas 38.000 – 51.000 Ha dengan potensi 150m3/ha
(Abdurrahim, 1994). Nilai ini setara dengan menekan laju deforestasi atau
menjaga hutan produksi dari jamahan tangan manusia dengan penebangan
sebesar 0,07 % pertahun, sehingga stok kayu di hutan bisa dijaga.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
V. KESIMPULAN
Pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung sudah sejak lama mendapat
perhatian dari pemerintah terbukti dengan keluarnya berbagai peraturan, namun
kesadaran masyarakat dalam hal ini masih rendah, dimana salah satu penyebabnya
adalah kurangnya minat konsumen untuk memakai kayu awetan.
Pemakaian kayu yang diawetkan untuk perumahan dan gedung dapat
menghemat pemakaian kayu sebesar 5,6 – 7,6 m3 per tahun, atau setara dengan
areal hutan seluas 38.000 – 51.000 Ha dengan potensi 150m3/ha.
Upaya pengawetan kayu memberikan keuntungan secara ekonomi. Disadari
atau tidak munculnya ilmu pengawetan kayu merupakan suatu terobosan penting
untuk menyelamatkan hutan dari eksploitasi tanpa henti dan menjadi solusi
menipisnya hutan.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S. 1994. Aspek Ekonomi Pengawetan Kayu. Diskusi Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.
Djarwanto dan S. Abdurrohim. 2000. Teknologi Pengawetan Kayu Untuk
Perpanjangan Usia Pakai. Buletin Kehutanan dan Perkebunan. Vol. I, No. 2. 2000.
Djuljapar, K. 1996. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta. Hunt, G. M dan G. A Garrat. 1994. Pengawetan Kayu (Terjemahan) Edisi
Pertama. Akademika Pressindo, Jakarta. Nandika, D. 1996. Sertifikasi Kayu Bangunan Awetan di Indonesia. Jurnal
Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Vol. IX. No. 1. 1996. Surjokusumo, S dan N. Nugroho. 1992. Rekayasa Pengawetan Kayu Bangunan
Untuk Gedung dan Perumahan. Makalah Seminar Asosiasi Pengawetan Kayu Indonesia (APKIN), tanggal 14 Desember 1992, Denpasar, Bali.
Ridwanti Batubara : Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan, 2006 USU Repository © 2006