Strategi Waktu dalam Narasi Injil Yohanes

16
STRATEGI WAKTU DALAM NARASI YOHANES Martin Suhartono, SJ. PENGANTAR: Uraian di bawah ini didasarkan pada hasil studi penulis yang tak diterbitkan, A Quest for Time in the Gospel of John, disertasi PhD pada Fakultas Ketuhanan, Universitas Cambridge, 1994. Akan diulas lebih dahulu dasar-dasar metodologis yang melatar belakangi pendekatan penulis, kemudian bagaimana masalah waktu dalam Injil Yoh itu telah dan akan didekati, dan akhirnya bagaimana waktu itu ditampilkan dalam strategi Yoh. Hanya beberapa aspek studi itu yang bisa dihadirkan di sini dan bukan keseluruhan studi tersebut, baik dalam hal jangkauan maupun argumen-argumen yang diajukan. I. LATAR BELAKANG METODOLOGIS 1. Berbagai pendekatan terhadap teks: Dalam kegiatan baca-membaca, orang pada umumnya beranggapan ada kontak langsung antara pembaca kisah dengan pengarang kisah. Seakan dengan membaca kisah itu pembaca dapat langsung “melongok” bagaikan lewat sebuah “jendela” ke dunia pengarang kisah. Tampaknya faham inilah yang berada di balik penyelidikan kritis historis terhadap KS. Teks KS dijadikan sarana untuk mendapatkan informasi tentang dunia Yahudi kuno (PL) atau pun dunia dan masyarakat Laut Tengah pada abad pertama Masehi (PB). Selain realitas sosio-historis yang mau dicapai lewat teks itu, teks dianggap juga merujuk secara langsung pada realitas obyektif di dunia teologis (realitas tentang Tuhan) maupun moral (norma tingkah laku) pada masa PL/PB. Dalam pendekatan ini, dunia pengarang di balik/belakang teks itulah yang diperhatikan. Pendekatan naratif terhadap teks menyadarkan orang bahwa ternyata ada suatu dunia lain selain “dunia pengarang” dan “dunia pembaca”, yaitu “dunia tekstual”. Dunia tekstual ini tak selalu mengungkapkan dunia pengarang secara langsung, seakan sebuah jendela, karena selain dipertanyakan adanya hubungan langsung antara bahasa dan realitas, makin disadari juga peranan kreatif pengarang dalam mengolah bahan tulisannya, selain tentu saja maksud-maksud komunikatif atau retoris pengarang terhadap pembacanya. Dalam pendekatan ini, teks dilihat sebagai “cermin” yang mengungkapkan kehidupan sang pembaca teks di depan teks; lewat teks, orang belajar mengenal diri dan kehidupannya sendiri. Pendekatan ekstrem analisa naratif terhadap suatu kisah memotong sama sekali “dunia tekstual” itu dari dunia pengarang maupun dunia pembaca. Dunia tekstual dianggap berdiri sendiri dengan hubungan relasional yang ada antar tokoh, latar, narrator dan elemen-elemen

description

In Indonesian language, "Temporal strategy in the narration of the Gospel of John", originally a paper presented by Martin Suhartono, S.J. to the members of both Faculties of Theology of University of Sanata Dharma and University of Duta Wacana, Yogyakarta, March 1997. It is based on his unpublished PhD Dissertation submitted to the Faculty of Divinity, University of Cambridge, 1994, A Quest for Time in the Gospel of John, under the supervision of Dr. Andrew N. Chester.

Transcript of Strategi Waktu dalam Narasi Injil Yohanes

STRATEGI WAKTU DALAM NARASI YOHANES

Martin Suhartono, SJ.

PENGANTAR:

Uraian di bawah ini didasarkan pada hasil studi penulis yang tak diterbitkan, A Quest for Time in

the Gospel of John, disertasi PhD pada Fakultas Ketuhanan, Universitas Cambridge, 1994.

Akan diulas lebih dahulu dasar-dasar metodologis yang melatar belakangi pendekatan penulis,

kemudian bagaimana masalah waktu dalam Injil Yoh itu telah dan akan didekati, dan akhirnya

bagaimana waktu itu ditampilkan dalam strategi Yoh. Hanya beberapa aspek studi itu yang bisa

dihadirkan di sini dan bukan keseluruhan studi tersebut, baik dalam hal jangkauan maupun

argumen-argumen yang diajukan.

I. LATAR BELAKANG METODOLOGIS

1. Berbagai pendekatan terhadap teks:

Dalam kegiatan baca-membaca, orang pada umumnya beranggapan ada kontak langsung antara

pembaca kisah dengan pengarang kisah. Seakan dengan membaca kisah itu pembaca dapat

langsung “melongok” bagaikan lewat sebuah “jendela” ke dunia pengarang kisah. Tampaknya

faham inilah yang berada di balik penyelidikan kritis historis terhadap KS. Teks KS dijadikan

sarana untuk mendapatkan informasi tentang dunia Yahudi kuno (PL) atau pun dunia dan

masyarakat Laut Tengah pada abad pertama Masehi (PB). Selain realitas sosio-historis yang

mau dicapai lewat teks itu, teks dianggap juga merujuk secara langsung pada realitas obyektif di

dunia teologis (realitas tentang Tuhan) maupun moral (norma tingkah laku) pada masa PL/PB.

Dalam pendekatan ini, dunia pengarang di balik/belakang teks itulah yang diperhatikan.

Pendekatan naratif terhadap teks menyadarkan orang bahwa ternyata ada suatu dunia lain

selain “dunia pengarang” dan “dunia pembaca”, yaitu “dunia tekstual”. Dunia tekstual ini tak

selalu mengungkapkan dunia pengarang secara langsung, seakan sebuah jendela, karena selain

dipertanyakan adanya hubungan langsung antara bahasa dan realitas, makin disadari juga

peranan kreatif pengarang dalam mengolah bahan tulisannya, selain tentu saja maksud-maksud

komunikatif atau retoris pengarang terhadap pembacanya. Dalam pendekatan ini, teks dilihat

sebagai “cermin” yang mengungkapkan kehidupan sang pembaca teks di depan teks; lewat teks,

orang belajar mengenal diri dan kehidupannya sendiri.

Pendekatan ekstrem analisa naratif terhadap suatu kisah memotong sama sekali “dunia

tekstual” itu dari dunia pengarang maupun dunia pembaca. Dunia tekstual dianggap berdiri

sendiri dengan hubungan relasional yang ada antar tokoh, latar, narrator dan elemen-elemen

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 2

narasi lainnya, atau lebih ekstem lagi (Kritik Formalis), dengan sistem-sistem “bawah sadar”

yang mengatur narasi sebagaimana tercermin dalam unsur-unsur linguistik kisah (Kritik

Strukturalis). Tidak dipersoalkan lagi di sini intensi pengarang maupun reaksi pembaca.

Pendekatan analisa tanggapan pembaca (Reader Response Criticism) mendekati kisah

dari sudut reaksi pembaca. Sebagaimana dibedakan dunia real dari dunia tekstual, di sini

dibedakan pula pembaca real dari pembaca tersirat (implied reader). Berbeda dengan pembaca

real, manusia konkret terdiri dari daging dan darah, pembaca tersirat adalah abstrak, perlu

dikonstruksi berdasarkan kisah itu sendiri. Konsep itu menjawab pertanyaan: Pembaca macam

apakah yang diandaikan oleh pengarang? Pengarang di sini pun bukanlah pengarang real yang

bisa mati, melainkan pengarang yang diandaikan oleh kisah itu, jadi tak bisa mati, atau

pengarang tersirat (implied author). Dalam bentuk ekstrem, pendekatan ini memotong dunia

pembaca (yang tak real) dari dunia tekstual maupun dunia pengarang (real).

2. Waktu dan Narasi:

Ricoeur menghindari bentuk-bentuk ekstrem pendekatan terhadap teks. Ia berpendapat

(menuruti A. -J. Greimas) bahwa narativitas adalah prinsip pengatur segala wacana (entah narasi

atau bukan): sesuatu dikisahkan tentang sesuatu. Narasi memiliki peranan mediatif, menjadi

pengantara dari sesuatu kepada sesuatu. Terhadap realitas yang digambarkannya, narasi punya

fungsi konstitusional maupun transformasional, bukan sekedar “jiplakan plek persis” realitas.

Dengan demikian mau tak mau harus diamati tiga pihak tersebut yaitu: yang diperantarakan,

yang menjadi perantara, dan yang dituju oleh perantaraan itu.

Menurut Ricoeur, yang dimediasikan oleh teks adalah suatu pengalaman keberadaan

manusia di dunia, jadi suatu pengalaman temporal; di sini ia merujuk pada Heidegger (Sein und

Zeit). Ia berpendapat bahwa hanya narasilah yang dapat memecahkan teka-teki (aporia) tentang

waktu sebagaimana dialami dan direnungkan oleh manusia. Ada tiga aporia yang disebut

Ricoeur: konflik antara waktu eksternal (kosmologis) dan waktu internal (psikologis),

keberagaman dan kesatuan waktu (masa lalu, sekarang, akan datang), dan ketakterungkapan

waktu. Menurut Ricoeur, narasi memecahkan problem waktu itu bukan secara teoretis,

melainkan secara poetis. Secara poetis, maksudnya sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles,

yaitu dengan merujuk pada kemampuan bahasa untuk mencipta dan menciptakan kembali. Jadi

problem waktu diselesaikan dengan dikonfigurasikan dalam narasi.

Ricoeur mengulas teorinya dengan mengajukan tiga model pemahaman terhadap waktu

dan narasi (lihat Temps et récit, tiga volume, 1983-1985). Yang pertama, Mimesis I (time

prefigured): bidang kehidupan/pengalaman manusia yang “menjerit” untuk dikisahkan. Yang

kedua, Mimesis II (time configured), teks yang lewat emplotment (pengaluran) berfungsi sebagai

perantara (mediasi) antara bidang kehidupan sebelum dan sesudah teks. Yang ketiga, Mimesis III

(time refigured), yang diambil alih oleh pembaca. Penulis akan bicara tentang “time

transfigured”, dalam arti yang terjadi bukanlah pengambilalihan pasif terhadap Mimesis I,

melainkan sudah merupakan hasil interaksi antara Mimesis II dan pembaca, jadi seakan-akan

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 3

diubah secara kreatif dan mengubah juga “waktu” sang pembaca. Waktu diubah dari sisi

sebelum teks ke sisi sesudah teks lewat daya konfigurasi teks/kisah. Istilah “mimetik” di sini

janganlah diartikan secara pasif, seperti imitasi atau ‘copy’, ‘replika identik’, melainkan secara

dinamis dalam arti “menghadirkan”.

Meminjam kategori A.A. Mendilow (Time and the Novel, 1952), Ricoeur menganggap

semua narasi sebagai “kisah waktu” (tales of time) karena perubahan situasi dan tokoh terjadi di

dalam waktu, memerlukan waktu. Tetapi ada juga “kisah tentang waktu” (tales about time)

karena dalam kisah itu pengalaman temporal itulah yang justru dipersoalkan. Ricoeur mengulas

karya-karya Virginia Woolf (Mrs. Dalloway, 1925), Thomas Mann (Der Zauberberg, 1924;

terjem. Ing., The Magic Mountain, 1927), Marcel Proust (À la recherche du temps perdu, 1914-

1927; terjem. Ing., Remembrance of Things Past, 1922-1930). Novel-novel tentang waktu ini

mengkonfigurasikan pengalaman tentang waktu yang ditawarkan kepada pembaca sebagai cara

berada di dunia. Ia berharap, opus magnum-nya tentang narasi dan waktu itu bisa berguna dalam

merenungkan “keabadian” dan “kematian”.

Kerangka pemikiran Ricoeur tentang hubungan narasi dan waktu amat berguna untuk

mendalami masalah waktu dalam narasi Yohanes. Ia sendiri tidak memberikan suatu metode

yang siap pakai bagi tafsir Kitab Suci itu sendiri, melainkan faham-faham dasar yang dapat

dijadikan batu pijakan maupun perspektif penelitian. Dalam penelitian itu sendiri, unsur-unsur

kritik narasi (plot, tokoh, narator, latar, waktu, ironi dll.) dapat menjadi alat pembantu dalam

memahami fenomen waktu dalam narasi Yohanes. Untuk memperoleh pemahaman menyeluruh,

teori tentang narasi dan teks Yohanes selayaknya dipandang sebagai mitra sejajar, yang saling

menantang, dan bukannya satu (di)tunduk(kan) kepada yang lain.

II. WAKTU DALAM YOHANES

1. “Waktu” sebagai tema dalam penafsiran Injil Yohanes:

Waktu menjadi inti pokok persoalan yang digeluti pengarang Yoh. Hoskyns dalam tafsir Injil

Yohanes (1940) mengatakan bahwa problem Yohanes bukanlah sekedar “a problem” melainkan

“the Problem of all problems” karena menyangkut hubungan antara waktu dan keabadian.

Sampai saat ini telah banyak usaha dijalankan untuk mendalami masalah waktu dalam Yoh.

Disertasi G. Ferraro menyoroti masalah “saat” atau “jam” (hôra) (L’«ora» di Cristo nel

quarto vangelo, 1974). Ada juga artikel tentang konsep tujuh hari dalam Yoh (T. Barrosse,

dalam CBQ 21/1959; L.P. Trudinger, dalam EvQ 44/1972), cara menghitung jam dalam Yoh (N.

Walker, dalam NT 4/1960), selain juga penggunaan konsep waktu dalam Yoh (J.E. Bruns, dalam

NTS 13/1966; J.O. Tuñi, dalam EstEcl 57/1982; R. Kiefer, dalam NTS 31/1985) serta

hubungannya dengan eskatologi (S. Pancaro, dalam Biblica 50/1969). Bahwa keprihatinan

tentang waktu dalam Yohanes bukan hanya obsesi modern dapat dilihat dari tafsir Krisostomus,

Sirilus dari Alexandria, Agustinus, dan Albertus Magnus tentang hôra dalam Yohanes (G.

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 4

Ferraro di Rassegna di Teologia 13/1972, Agustinianum 15/1975, Studia Patavina 23/1976,

Nicolaus 6/1978, Gregorianum 66/1985).

Studi kontemporer tentang waktu dalam Yohanes dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Pertama-tama ada minat akan kronologi Yohanes, lebih-lebih mengingat bahwa Injil-injil

Sinoptik hanya menyebutkan satu hari raya Paska sedangkan Yohanes paling sedikit tiga;

menurut Sinoptik, berbeda dari Yohanes, perjamuan terakhir Yesus dilangsungkan bertepatan

dengan saat perjamuan Paska Yahudi (E. Ruckstuhl, Chronology of the Last Days of Jesus,

1965). Yang dipersoalkan, sistem kalender manakah, atau sistem penghitungan waktu yang

bagaimanakah, yang dianut oleh Yohanes? Sistem Romawi (jam dihitung dari tengah malam ke

tengah malam), sistem Yahudi (dari saat matahari terbit ke saat matahari terbenam), ataukah

sistem Qumran? (Bruns; Walker; lihat juga: A. Jaubert, dalam J.H. Charlesworth (ed.), John and

Qumran, 1972).

Keprihatinan akan kronologi ini selain didasarkan pada minat akan ketepatan historis,

tertuju pula pada usaha penggalian makna-makna terdalam yang mungkin diberikan oleh

pengarang Injil pada keterangan-keterangan waktu (mis. “jam ke sepuluh”, Yoh 1:39; “jam ke

enam”, Yoh 19:14). Dari ungkapan-ungkapan waktu yang digunakan, “Saat Yesus” dianggap

sebagai puncak seluruh kejadian yang dikisahkan dalam Injil Yohanes. Kehadiran hari-hari raya

Yahudi dalam Yohanes menimbulkan dugaan bahwa Injil tersebut berlatar-belakangkan

perayaan liturgis, entah itu lingkaran tiga tahun bacaan dalam sinagoga (A. Guilding, The Fourth

Gospel and Jewish Worship, 1960), entah itu lingkaran lima puluh hari bagi para calon baptis di

gereja-gereja di Asia Kecil pada abad kedua (M.D. Goulder, dalam Studia Evangelica, VII,

1982).

Bagaimana pun pendapat orang tentang latar-belakang liturgis ini, hari-hari raya Yahudi

dianggap memberikan struktur penentu dalam narasi Yohanes dan punya peranan pokok dalam

kristologi Yohanes karena di situ Yesus ditampilkan sebagai pengganti yang dirayakan pada

hari-hari itu. Pada hari raya Paska (Yoh 2:13; 6:4; 11:55) Yesuslah yang menjadi Domba Paska

yang disembelih; pada hari raya Pondok Daun (Yoh 7:2) Dialah yang menganugerahkan Roh

Kudus; pada hari raya Penahbisan Bait Allah (Yoh 10:22), Dialah Bait Allah yang akan

dihancurkan (Yoh 2:21; 11:48); di hari Sabbat, Yesuslah yang menyempurnakan karya Bapa

(Yoh 5:17) dan memberikan cahaya kepada dunia (Yoh 9).

Selain petunjuk-petunjuk kronologis, ungkapan-ungkapan lain tentang waktu menjadi

pusat perhatian juga, misalnya: adverb waktu seperti “sekarang” (nyn) “sampai sekarang” (heôs

arti), “belum” (oudepô), maupun istilah yang berkaitan dengan waktu (“abadi”, “awal”, “siang

dan malam”). Diselidiki juga persepsi waktu yang dapat disimpulkan dari pemakaian kata kerja

dalam Yohanes (berhubungan dengan tenses, moods, dan gerakan). Tujuan penyelidikan

bukanlah klasifikasi kategori-kategori lexikal atau gramatikal melainkan nilai teologis persepsi

Yohanes tentang waktu.

Konsep Yohanes tentang waktu diharapkan dapat membantu pemahaman orang akan

sejarah; apakah Yohanes menampilkan Yesus sebagai pemenuhan terakhir segala sesuatu,

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 5

dengan implikasi pemusnahan perkembangan linear sejarah keselamatan, seperti dimengerti oleh

Rudolf Bultmann dalam komentarnya (1941)? Ataukah, peristiwa Yesus ditampilkan sebagai

pusat sejarah keselamatan, jadi tanpa mengesampingkan perkembangan horisontal, seperti

diusulkan oleh Oscar Cullmann (O. Cullmann, dalam NTS 11 /1964-1965)? Eskatologi Injil

Yohanes, yang diduga berpola “realised eschatology”, atau “present eschatology”, sudah sejak

lama dipertentangkan dengan eskatologi Sinoptik yang diduga berpola futuristik; masalahnya

ternyata tak sesederhana itu (P. Ricca, Die Eschatologie des Vierten Evangeliums, 1966).

Pencetus ide “realised eschatology” sendiri, C.H. Dodd, mencabut istilah itu dan lebih suka

dengan ungkapan Jerman “sich realisierende Eschatologie” (The Interpretation of the Fourth

Gospel, 1953).

Dalam ungkapan-ungkapan tentang waktu, makna teologis dianggap lebih penting

daripada ketepatan waktu kronologis; ungkapan-ungkapan itu berfungsi sebagai batu loncatan

untuk pengertian yang lebih mendalam akan siapakah Yesus itu. Gail O’Day, dalam analisanya

tentang waktu naratif dalam Yoh 13-17, menyimpulkan: “The Fourth Evangelist uses temporal

figures to evoke theological reality” (G.R. O’Day, Semeia 53/1991). Skema tujuh hari tampak

merupakan inclusio antara awal dan akhir perjalanan karya Yesus dan ditafsirkan sebagai tanda

bahwa Yesus membentuk suatu Ciptaan Baru. Ada suatu usaha untuk membaca Injil Yohanes

bukan secara linear tapi melingkar dalam skema tujuh hari yang didasarkan pada struktur

konsentris yang mengambil kisah Yesus berjalan di atas air sebagai pusat Injil (B. Barnhart, The

Good Wine. Reading John from the Center, 1993) berdasarkan struktur literer yang diusulkan

oleh P.F. Ellis (The Genius of John) Dalam segala hal, Yesus dianggap mengalahkan waktu.

Krisostomus menulis dalam tafsir Injil Yohanes bahwa Yesus, sebagai Pencipta Waktu, tidak

tunduk pada waktu. Walaupun demikian, ketegangan antara waktu dan keabadian tetap ada dan

terukir dalam kerangka narasi Injil Yohanes (R. Célis, dalam Bulletin du Centre Protestant

d’Études 42/1990).

Ungkapan-ungkapan waktu bukan hanya berguna bagi kristologi Yohanes, melainkan

juga bagi paham Yohanes tentang gereja. Menurut A. Feuillet, peristiwa-peristiwa yang

dikisahkan oleh Yohanes secara hakiki bersifat eklesial; Yohanes bicara tentang waktu Yesus,

namun sebenarnya ia menunjuk pada waktu gereja (Études Johannique, 1962). Pengalaman

waktu dalam Yohanes dipandang sebagai kunci untuk memahami pengalaman waktu dan sejarah

dalam umat kristen perdana (G. Klein, dalam ZThK 68/1971). Faham-faham filsafat Heidegger

dan Gadamer melatarbelakangi studi F. Mussner karena mulai timbul kesadaran akan implikasi

“jarak waktu” (Zeitabstand) Penginjil Keempat terhadap “cara pandang”nya (Sehweise); yang

terancam adalah keabsahan pewartaan Injil Yohanes tentang Yesus Sang Kristus yang

kemungkinan besar telah dipengaruhi oleh jarak waktu yang ada antara penulisan Injil dan

Yesus yang historis (Die johanneische Sehweise und die Frage nach dem historischen Jesus,

1965). Dipengaruhi juga oleh hermeneutika Gadamer, T. Onuki berpendapat bahwa implikasi-

implikasi itu mempengaruhi cara kita menafsirkan Injil Yohanes; Injil itu harus ditafsirkan

dalam konteks “peleburan cakrawala-cakrawala pandangan” (fusion of horizons) antara

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 6

cakrawala situasi Yesus (dengan para rasul-Nya) dan cakrawala komunitas Penginjil sesudah

Paska (Gemeinde und Welt im Johannesevangelium, 1984).

Tanpa bekal kecanggihan hermeneutika modern pun, para exeget sudah lama sampai

pada pengertian akan pentingnya dua tingkatan waktu dalam membaca Injil Yohanes; X. Léon-

Dufour sudah sejak lama mengusulkan “deux temps de lecture” (dalam RSR 39 /1951-52) dan

baru-baru ini diteguhkan pula oleh John Ashton dengan “two levels of understanding”

(Understanding the Fourth Gospel, 1991). Paham filosofis maupun exegetis akan dua tingkatan

waktu ini diperkuat pula oleh studi biblis yang mendasarkan diri pada pendekatan sosiologis;

J.L. Martyn melihat bahwa kisah kehidupan Yesus diproyeksikan pada situasi aktual kelompok

yang disebut “komunitas Yohanes”, yang sebagai suatu sekte bertentangan dengan komunitas

induk Yahudi (History and Theology in the Fourth Gospel, 1968; lihat juga W.A. Meeks, dalam

JBL 91/1972). Dalam seluruh pendekatan ini, pengalaman waktu yang diandaikan ada dalam

Yohanes adalah dialektika masa lampau dan masa sekarang, bukan masa depan dan masa

sekarang.

Berbeda dari orientasi lexikal, historis, filosofis, teologis dan sosiologis di atas, ada

penyelidikan lain yang menerapkan metode-metode kritik sastra modern yang memusatkan diri

pada teks itu sendiri. Jadi, sehubungan dengan Kitab Suci, teks akhirlah yang menjadi obyek

analisa pendekatan ini, dan bukan sumber-sumber atau tradisi-tradisi di belakang suatu teks,

bukan pula proses penulisannya. Singkatnya, dalam exegese naratif perhatian diarahkan pada

“the how” dan bukan “the what” suatu kisah (lihat R. Alter, The Art of Biblical Narrative, 1981;

A. Berlin, Poetics and Interpretation of Biblical Narrative, 1983; M. Sternberg, The Poetics of

Biblical Narrative, 1985).

Dalam salah satu bab bukunya, R.A. Culpepper melukiskan aspek-aspek waktu dalam

narasi Yohanes seperti “urutan waktu” (order), “keberlangsungan waktu” (duration) dan

“keterulangan waktu” (frequency) (Anatomy of the Fourth Gospel, 1983). Usaha Culpepper ini

didasarkan pada analisa G. Genette tentang penggunaan waktu dalam karya sastra Marcel

Proust, A la recherche du temps perdu (Figures III, 1972). Genette membedakan dua tingkatan

waktu, antara temps raconté dan temps racontant, atau disebut oleh Culpepper (mengikuti

terjemahan karya Genette ke dalam bahasa Inggris) masing-masing, story time dan narrative

time. Genette mengambil alih distingsi yang diusulkan oleh G. Müller antara erzählte Zeit dan

Erzähltzeit (Morphologische Poetik, 1968) meskipun kemudian mengolahnya dalam konteks

filosofis yang berbeda. Dalam konteks poetika morfologis Müller, distingsi itu terbuka pada

suatu tingkatan waktu yang lain, yaitu “waktu kehidupan” (die Zeitlichkeit des Lebens, the

temporality of life), sedangkan dalam naratologi strukturalis Genette, distingsi hanya tinggal

terkungkung dalam teks saja. Müller tak begitu jelas membedakan antara tingkatan waktu kedua

dan ketiga, sedangkan Genette memusnahkan yang ketiga. Keterarahan kepada tingkatan waktu

yang ketiga ini dijajagi lebih lanjut oleh Ricoeur dengan tri-skemanya tentang waktu (Temps et

récit).

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 7

Istilah story time dan narrative time mengandaikan orang kenal pembedaan dalam

naratologi strukturalis antara yang disebut dalam bahasa Perancis histoire (story) dan récit

(narrative); story adalah yang ditandakan (the signified, the “what”) sedangkan narrative adalah

yang menandakan (the signifier, the “how”). Menurut Genette sendiri, pasangan histoire/récit

(story/narrative) tidak punya arti bila tidak dimasukkan dalam kesatuan dasar

histoire/récit/narration (story/narrative/narrating): histoire (story) adalah keseluruhan peristiwa

yang diceritakan (“the totality of the narrated events”), récit (narrative) adalah uraian, lisan atau

pun tertulis, yang menceritakan peristiwa-peristiwa itu (“the discourse, oral or written, that

narrates them”), dan narration (narrating) adalah tindakan, nyata atau pun fictive, yang

menghasilkan uraian tersebut, dengan kata lain, tindakan bercerita itu sendiri (“the real or fictive

act that produces that discourse -in other words, the very fact of recounting”) (Narrative

Discourse Revisited, 1992). Waktu yang diceritakan (narrated time, temps raconté, erzählte

Zeit; atau story time) adalah waktu peristiwa-peristiwa yang diceritakan bila dihitung dalam

tahun, bulan, hari dll., sedangkan waktu untuk bercerita (time of narrating, temps racontant,

Erzählzeit, atau narrative time) adalah waktu tindakan bercerita, waktu narasi, yang praktis

bersifat spasial: panjang teks bila dihitung dalam halaman, baris, dan kata.

Tetap dengan tema waktu dalam narasi, M. Davies membedakan tiga waktu: waktu yang

digunakan pembaca untuk membaca, waktu narator dan waktu kisah (the time of the story).

Berbeda dengan pengertian umum dalam naratologi, ia mengartikan “narrator” sebagai “real

author” dan the time of the story pada Davies tak sama dengan story time pada Culpepper;

karena itu, waktu narator terjadi setelah kemartiran Petrus dan waktu kisah mencakup tanggal,

keberlangsungan waktu, retrospeksi, antisipasi, penggunaan perfect tense, dan waktu para murid

Yesus (Rhetoric and Reference in the Fourth Gospel, 1992). Meminjam “bentuk-bentuk waktu”

(time-shapes) dari analisa D.L. Higdon tentang novel-novel modern Inggris, Mark Stibbe

melihat pula berbagai-bagai rupa waktu dalam Yohanes: process time, retrospective time,

barrier time, dan polytemporal time (John as Storyteller. Narrative Criticism and the Fourth

Gospel, 1992; John, 1993). Cara Yohanes menyampaikan berlangsungnya Hari Raya Pondok

Daun (7:2: “pesta sudah dekat”, 7:14: “di tengah-tengah pesta”, 7:37: “hari terakhir pesta”)

menggambarkan waktu dalam proses; narator maupun tokoh-tokoh cerita dalam Yohanes yang

menengok ke belakang dengan menyebutkan hal-hal yang terjadi sebelumnya merupakan contoh

waktu retrospektif; ungkapan-ungkapan tentang “saat Yesus” yang belum tiba menunjuk pada

waktu pembatas (semacam deadline); sedangkan campuran antara perspektif waktu lampau,

sekarang, masa depan, historis maupun mitologis, seperti dalam Wejangan Terakhir Yesus

merupakan waktu majemuk.

Disertasi J.L. Staley (The Print’s First Kiss: A Rhetorical Investigation of the Implied

Reader in the Fourth Gospel, 1988) merupakan penerapan Reader Response Criticism dan

dipengaruhi oleh refleksi W.J. Ong tentang akibat-akibat peralihan dari kebudayaan yang lebih

asli dan primer, yaitu kebudayaan lisan, ke kebudayaan cetak (Orality and Literacy: The

Technologizing of the Word, 1982). Salah satu tujuan Staley adalah memusatkan perhatian pada

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 8

proses temporal membaca dan akibat-akibat retoris proses tersebut. “Temporalitas” di sini

dipahami sebagai aliran waktu (temporal flow) pengalaman membaca pembaca yang tersirat

(implied reader) yang harus dibedakan dari pembaca yang sesungguhnya (actual reader), atau

juga, linearitas suatu teks atau urutan narasi.

Waktu membaca yang sesungguhnya dapat saja dibalik, tapi waktu teks, kedudukan

waktu si pembaca tersirat, tidak; pembaca yang sesungguhnya dapat saja membaca dari belakang

ke depan, sedangkan pembaca yang tersirat haruslah mengikuti linearitas teks dari depan ke

belakang. Menurut Staley, keterbatasan pembaca tersirat ini justru digunakan oleh pengarang

tersirat (yang harus dibedakan dari pengarang yang sesungguhnya) untuk mencapai maksud-

maksud retoris tertentu. Staley melangkah lebih jauh daripada Culpepper; ia bukan hanya

mengamati dan mendefinisikan urutan waktu dalam narasi, melainkan juga menganalisa akibat-

akibat retorisnya pada pembaca (lebih merupakan fisiologi bila dibandingkan dengan anatomi

Culpepper)

Minat akan tema “waktu” tidak hanya muncul dalam penyelidikan Injil Yohanes.

Berulang kali konsep waktu dalam Kitab Suci digali orang, seluruhnya maupun dalam masing-

masing kitab (G. Delling, Das Zeitverständnis des neuen Testaments, 1940; J.M. Robinson, The

Problem of History in Mark, 1968; J. Muilenburg, dalam HarvardThR 54/1961; S.J. DeVries,

Yesterday, Today and Tomorrow. Time and History in the Old Testament, 1975), atau juga

dalam pengalaman kristiani (J.L. Russell, dalam J.T. Fraser, ed., The Voices of Time, 1968; G.

Pattero dalam P. Ricoeur, Cultures and Time, 1976; H. Bourgeois, P. Gibert, and M. Jourjon,

L’expérience chrétienne du temps, 1987).

Skema waktu menentukan bagaimana pandangan orang tentang sejarah keselamatan;

yang umum dianut orang adalah skema “janji - pemenuhan” (W.G. Kümmel, Promise and

Fulfilment, 1957; J. Marsh, The Fullness of Time, 1952). Kristus selalu dilihat sebagai pusat

waktu (O. Cullmann, Christ and Time: The Primitive Christian Conception of Time and History,

1964). Kerapkali konsep biblis tentang waktu dianggap sebagai sesuatu yang unik, dan

dipertentangkan dengan konsep Yunani tentang waktu; orang Ibrani dianggap memiliki

pandangan tentang waktu sebagai sesuatu yang linear, sedangkan orang Yunani diduga melihat

waktu sebagai sesuatu yang siklis (T. Boman, Hebrew Thought Compared with the Greek,

1960). Karena itu, orang kerap mempertentangkan antara kairos, yang dianggap merujuk pada

waktu kualitatif (waktu Ibrani atau biblis; waktu yang ditentukan Allah) dan chronos, yang

dianggap sebagai waktu kuantitatif (waktu Yunani atau sekular; waktu manusiawi yang

berurutan). Meskipun pembedaan ini telah dikritik habis-habisan secara dasariah (J. Barr,

Biblical Words for Time, 1962; P. Ricoeur, dalam Archivio di filosofia 1/1985; B.J. Malina,

dalam CBQ 51/1989), namun tetap diulang-ulang dalam exegese (K.J. Vanhoozer, Biblical

Narrative in Paul Ricoeur; Stibbe, John as Storyteller).

Penyelidikan tentang waktu dalam antropologi, sejarah, filsafat, psikologi dan sosiologi

secara dasariah mempertanyakan penerapan persepsi waktu manusia modern ke manusia dari

kebudayaan kuno. Dalam salah satu model antropologi, setiap masyarakat dianggap memiliki

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 9

suatu prioritas dalam preferensi waktu, yaitu, waktu yang diperhatikan oleh orang bila

menghadapi suatu masalah vital, apakah mereka mengacu pada masa lampau, masa sekarang,

ataukah masa depan (Malina, CBQ 51/1989, mengacu pada model preferensi orientasi nilai yang

dikembangkan oleh F.R. Kluckhohn dan F.L. Strodtbeck)? Jadi, bila latar belakang persepsi

waktu orang-orang Mediterania abad pertama diperhatikan, diharapkan orang dapat sampai pada

suatu perspektif baru dalam pemahaman akan pengertian Perjanjian Baru tentang waktu. B.J.

Malina, misalnya, berpendapat bahwa dalam masa Perjanjian Baru tak ada ketegangan antara

“sekarang” dan “belum”; tekanan ada pada “sekarang” secara umum; “belum” merupakan

keprihatinan masyarakat-masyarakat berorientasikan masa depan (CBQ 51/1989).

Pendapat Malina itu pun tampaknya perlu dipertanyakan. Dalam penelitian macam-

macam disiplin ilmu dapat diamati bahwa pengalaman maupun persepsi waktu dalam

masyarakat primitif tidaklah homogen; ada berjenis-jenis aspects, forms, shapes waktu.

Masyarakat Yahudi begitu menghitung peredaran waktu (linear) sambil sekaligus pula

mempertahankan aspek siklis maupun keabadian momen-momen liturgis yang dirayakan.

Penghayatan waktu orang Bali tak dapat dikategorikan sebagai “motionless present” saja, seperti

dikatakan C. Geertz, karena mereka dapat pula berpikir secara linear progressif dan dengan

menggunakan paling sedikit lima sistem kalender (A. Gell, The Anthropology of Time, 1992, hal.

69-77).

Jelaslah dari uraian di atas bahwa ada banyak pengertian yang diterapkan pada “waktu”

itu sendiri. Diperlukan suatu pandangan yang lebih komprehensif terhadap persoalan “waktu”

sesuai dengan hakekat waktu yang melingkupi segala hal. Selain itu, menanggapi tantangan R.

Kysar (The Fourth Evangelist and His Gospel. An Examination of Contemporary Scholarship,

1975), diperlukan suatu usaha untuk menggali kategori-kategori dasariah dalam Yohanes yang

diharapkan dapat menjadi pegangan untuk memahami pikiran dan bahasa si penginjil.

2. Mencari pendekatan terhadap waktu dalam narasi Yohanes:

Waktu biasa dibicarakan dalam berbagai disiplin ilmu dari salah satu dari dua perspektif yang

sesungguhnya saling melengkapi: yang satu berhubungan dengan hakekat waktu, sedangkan

yang lain dengan peranan waktu. Pendekatan pertama bersifat esensialis dan yang kedua

fungsionalis. Manakah yang sepatutnya dianut?

Sebelum pertanyaan di atas dapat dijawab, orang perlu mengamati lebih dahulu teks

yang hendak diselidiki. Perlu dicari petunjuk-petunjuk dalam Injil Yohanes sendiri yang

memungkinkan orang tahu kurang lebih hubungan Injil itu dengan waktu. Injil Yohanes tidak

memberikan baik definisi tentang apakah waktu itu maupun deskripsi tentang peranan waktu.

Meskipun demikian, bayangan waktu tampak melingkupi Injil Yohanes, bukan sebagai suatu

subyek tematis, bukan sebagai suatu fungsi tersirat, melainkan sebagai musuh untuk ditaklukkan

dan sekaligus pula sebagai sahabat yang harus direbut hatinya.

Pengamatan yang mendalam akan menunjukkan bahwa Injil Yohanes merupakan

ungkapan pergumulan dengan waktu. Tema-tema yang berhubungan dengan Yakub banyak

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 10

bermunculan dalam Injil Yohanes (1:47, 51; 4:5); bukan mustahil bahwa gambaran pergulatan

Yakub dengan Yahweh melatarbelakangi pergulatan si penulis Injil dengan waktu. Dengan

melihat hubungan antara Injil Yohanes dengan waktu dalam perspektif ini, diharapkan dikotomi

antara pendekatan esensialis dan fungsionalis dapat diatasi.

Asumsi dasar penyelidikan penulis adalah pandangan bahwa pengalaman temporal

terlibat secara dasariah dalam saat pembuatan Injil Yohanes (the moment of production of the

Gospel) dan akibatnya terukir dan tercermin pada hasil akhir proses pembuatan itu. Pengalaman

temporal macam apakah yang terlibat dalam saat pembuatan Injil Yohanes?

Yang temporal pada umumnya dialami dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa

hidup karena peristiwa itu terjadi dan berkembang dalam waktu. Narasi melukiskan peristiwa-

peristiwa. Jadi faham tentang pengalaman temporal dapat diperoleh dari pengamatan terhadap

cara pengisahan peristiwa-peristiwa dalam suatu narasi. Dari cara sang pengarang mengatur

peristiwa-peristiwa dalam kisahnya, orang dapat memperoleh suatu gambaran tentang

bagaimana pengarang tersebut memandang pengaturan peristiwa dalam kehidupan nyata.

Pengaturan peristiwa-peristiwa dalam suatu narasi tercermin, antara lain, dalam cara si

pengarang mengatur unsur-unsur narasi. Kalimat majemuk, kalimat tunggal, dan kata-kata diatur

baik dengan menggunakan penghubung maupun tanpa penghubung (asyndetik). F. Blass dan A.

Debrunner (A Greek Grammar of the New Testament, # 462, # 460) mengamati bahwa Injil-Injil

Sinoptik secara konsisten menggunakan penghubung sedangkan Injil Yohanes tidak demikian.

Namun dalam Injil Yohanes, tidak digunakannya penghubung tidak menimbulkan kesan terburu-

buru (seperti kesan yang ditimbulkan oleh Markus dengan pemakaian euthys, “segera”),

melainkan perasaan mengalir yang lancar dan enak.

Kelancaran narator dalam mengisahkan peristiwa-peristiwa didukung pula oleh

penguasaan narator terhadap urutan peristiwa; petunjuk-petunjuk waktu dengan rapi disebarkan

dalam narasi, menuntun pembaca dari satu peristiwa ke peristiwa lain: urutan “keesokan

harinya” (1:29, 35, 43), tekanan pada “dekat” (2:13; 6:4; 7:2; 11:55), “saat”/”jam” (a.l., 1:39;

2:4; 4:52), dan kesadaran akan datangnya “saat” Yesus yang tak terhindarkan. Penguasaan

terhadap petunjuk waktu ini menunjukkan adanya kesadaran pengarang akan keberlaluan waktu.

Kesadaran semacam itu tercermin juga dalam penggunaan rumusan meta touto/tauta

(TIB: “sesudah itu”) sebagai konyungsi penuh, suatu pemakaian yang kerap ditemui secara khas

pada Yohanes (#459). Lebih penting lagi dalam hubungan dengan saat pembuatan Injil adalah

pemakaian “catatan kaki” (sering disebut juga “parentesis”, “komentar narator”), yang

merupakan ciri mencolok Injil Yohanes; ada sekitar 180 ayat yang dapat digolongkan sebagai

catatan kaki (yang umum dikenal misalnya 2:22; 7:39; 9:22; 19:35; 21:23b). Tak tergantung dari

mana asal catatan kaki ini, entah dari sang Penginjil sendiri ataupun dari redaktor kemudian,

komentar narator ini merupakan perwujudan keberlaluan waktu antara saat ketika peristiwa-

peristiwa yang dikisahkan dalam Injil terjadi dan saat ketika peristiwa-peristiwa itu dikisahkan

(kembali). Sesuai juga dengan kesadaran akan berlalunya waktu, tampak jelas dua aspek

pengalaman ini, yaitu “sebelum” dan “sesudah”.

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 11

Hipotesa ganda yang diajukan dalam penelitian penulis adalah: pembuatan Yoh

merupakan merupakan usaha, pertama-tama, untuk memperoleh kembali apa yang “sebelum”

itu, dan kedua, untuk mengantisipasi apa yang “sesudah” itu. Tesis penelitian penulis adalah:

pembuatan Yoh merupakan usaha untuk memberikan struktur dan mengorganisasikan momen

aktual pembuatan itu, dan hal ini terjadi sejauh momen itu menyatukan dan menghadirkan apa

yang “sebelum” dan “sesudah” momen aktual itu.

Fenomen catatan kaki jelas-jelas menunjukkan bahwa Yoh ditulis setelah suatu peristiwa

terjadi, peristiwa yang pada saat penulisan dianggap merupakan sesuatu yang secara dasariah

penting bagi kejadian-kejadian selanjutnya, sedemikian penting sehingga perlu dikisahkan dan

dengan demikian dibaca kembali di masa-masa selanjutnya. Jelas sekali Yoh diatur oleh proses

seleksi dalam pengisahan yang diatur oleh strategi retoris tertentu (bdk. 20:30-31). Maka momen

aktual pembuatan itu bukan hanya dipandang sebagai momen di masa lampau, pada saat Injil

Yoh de facto dituliskan, melainkan juga masa-masa selanjutnya, ketika Injil itu di buat (kembali)

dalam pembacaan dan dengan demikian strategi retoris itu mempengaruhi pembaca.

Dalam Yoh, waktu diulurkan secara retrospektif ke awal mula (1:1) dan secara prospektif

ke akhir jaman (5:28). Kesadaran akan berlalunya waktu itu bila diamati bukan hanya mencakup

yang “sebelum” dan “sesudah”, melainkan juga “momen aktual” pembuatan (kembali) Yoh,

dengan kata lain, mencakup juga distingsi “masa lalu”, “sekarang”, dan “masa depan”. Perhatian

Yoh terhadap waktu itu bukanlah demi waktu itu sendiri, melainkan demi apa yang dihadirkan

oleh masing-masing momen waktu itu. Apakah yang dihadirkan ini menurut Yoh?

Dalam konteks ini jalan penelitian dipengaruhi oleh pengalaman pribadi penulis. Penulis

saat itu sedang mengalami apa yang disebut oleh Frank Kermode dalam The Sense of an Ending

(1967) sebagai “kebutuhan pada suatu saat hidup untuk menjadi bagian, atau terhubung pada

suatu awal dan akhir” (h. 3) yang melahirkan hasrat “mengenal bentuk kehidupan sehubungan

dengan perspektif waktu” (h. 3).

Aristoteles dalam Problemata (XVII, 916a34) melaporkan bahwa Alcmaeon, seorang

tabib dari Croton, mengamati bahwa orang meninggal dunia karena tak dapat menggabungkan

“awal” (archê) dengan “akhir” (telos). Saat itu penulis bagaikan tersentak dari keberlangsungan

hidup sehari-hari ketika sesuatu yang mengakhiri waktu, yaitu Sang Kematian, tampak begitu

nyata akibat kematian mendadak ayah penulis pada awal riset penulis di Inggris. Bagaikan ritus

pengusiran setan, upaya mengungkapkan pengalaman ini dalam suatu tulisan merupakan usaha

untuk -meminjam istilah Paul Ricoeur tentang fungsi narasi- mengusir “ketaksesuaian”

(discordance) dan menegakkan “kesesuaian” (concordance) dalam hidup, atau -secara idealistis-

mengubah “dunia yang amburadul” (chaos) menjadi “dunia yang teratur” (cosmos) atau -paling

sedikit- melihat suatu cosmos dalam chaos.

Maka dari itu, berdasarkan pengalaman pribadi dan pengenalan terhadap Yoh

dirumuskan bahwa pencarian Yoh terhadap ketiga momen waktu itu diungkapkan dalam istilah:

destiny, yang menghadirkan masa depan; origins, yang menghadirkan masa lalu; dan immediacy,

yang menghadirkan masa kini.

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 12

III. STRUKTURISASI WAKTU DALAM YOHANES

1. Pembauran antara awal dan akhir:

Dalam Yoh bisa diamati tiga bagian pokok: prolog, isi, dan epilog. Orang menduga bahwa

Prolog kecil (1:1-18) berasal dari himne/kidung liturgis berisi pujian terhadap Logos yang

kemudian ditambahkan pada isi (seperti Prakata pada buku). Banyak juga yang berpendapat

bahwa bab 21 bukan ditulis oleh yang menulis Yoh 1-20. Berdasarkan pendekatan naratif,

masalah ini tak dipersoalkan; apalagi dari kritik stilistik seseorang bisa sampai pada dua

kesimpulan yang bertolak belakang. Akan dilihat bagaimana antara Awal dan Akhir ada suatu

kesesuaian yang besar dari sudut ruang dan waktu, suasana, situasi tempat, tokoh Yesus, tokoh

Petrus, tokoh Murid yang anonim atau yang dikasihi, dll.

Epilog Yoh diakhiri dengan suatu visi akan ketakterbatasan ruang (21:25: “tak cukuplah

dunia memuat ...) sedangkan Prolog Yoh diawali dengan ketakterbatasan waktu (1:1: “pada

permulaan ...”). Yang pertama berhubungan dengan kehadiran sang Sabda (ho logos) sedangkan

yang terakhir berhubungan dengan kemungkinan kehadiran kitab-kitab (ta biblia), jadi secara

tersirat dengan realitas sang Kitab (to biblion), yaitu teks Injil Yohanes sendiri. Tak

mengherankan bila prosentase kata-kata langsung Yesus dibandingkan keseluruhan teks

Yohanes jauh lebih besar bila dibandingkan dengan yang terdapat dalam Sinoptik.

Prolog Yoh tak bisa dibatasi hanya pada 1:1-18. Bagian integral Prolog itu adalah

kesaksian Pembaptis, jadi Prolog bisa diperluas sampai 1:51.

Selain itu dapat dilihat bahwa Epilog (21:1-25) seakan-akan mencerminkan kembali

Prolog dalam arti luas ( 1:1-51); ada semacam inklusio berdasarkan unsur-unsur berikut:

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 13

Prolog Besar (1:1-51) Epilog (21:1-25)

-Berangkat dari luar waktu & ruang -(Kembali ke luar waktu & ruang?)

(pada awal mula) (ambiguitas tujuan Yesus dan Petrus)

-Tempat: Sungai Yordan & Tepi sungai -Tempat: Danau Galilea & Tepi danau

-Waktu: sebelum Paska -Waktu: sesudah Paska

-Suasana: konflik gelap dan terang -Suasana: malam dan pagi

-Pembaptis menunjuk pada Yesus -MD menunjuk pada Yesus (21:7)

-Petrus disebut “anak Yohanes” (1:42) -Petrus disebut “anak Yohanes” (21:15)

-Petrus menjadi “Karang” -Petrus menjadi “Gembala”

-Perintah Yesus: “Ikutilah Aku!” (1:43) -Perintah Yesus: “Ikutilah Aku!” (21:22)

-Diawali dengan situasi -Diakhiri dengan situasi:

Peristiwa 3 orang: Yesus berjalan diikuti Peristiwa 3 orang: Yesus berjalan diikuti:

-kata ”berbalik .... melihat” (1:38) -kata ”berbalik... melihat” (21:20)

-kata ”... mengikuti” (1:38) -kata ”... mengikuti” (21:20)

-sebutan Yesus: ”Guru” (1:38) -sebutan Yesus: ”Tuhan” (21:21)

-Yesus bertanya (1:38) -Yesus ditanya (21:21)

“apa yang kau cari” “apa halnya dengan dia?”

-kata ”... datang” (1:39) -kata ” .... datang” (21:22)

-Yesus diikuti oleh: -Yesus diikuti oleh:

1. saudara Petrus (Andreas) 1. Petrus

2. anonim (hampir pasti: MD) 2. Murid yang Dikasihi

-kata “... tinggal “ (1:39) -kata “...tinggal” (21:22).

Selain unsur-unsur di atas, dapat juga diamati adanya sirkularitas lain di dalam kisah

Yoh. Baik awal kisah karya Yesus (1:1 - 2:11) maupun akhir karya Yesus (12-19) ditandai oleh

periode tujuh hari. Jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada situasi dan unsur-unsur situasi yang

sejajar antara akhir dan awal. Strategi pembauran ini mengajak pembaca untuk kembali lagi ke

awal setelah sampai pada akhir dan seterusnya. Dengan kata lain, kisah injil itu tak pernah

selesai!

Akhir Yoh tak dapat dikategorikan sebagai “closed ending”, melainkan “open ending”.

Berdasarkan analisa naratif (didukung pula oleh kritik sumber), dapat dilihat bahwa kisah pada

Epilog memuncak dan bermuara pada pernyataan Yesus yang bangkit tentang nasib Murid yang

Dikasihi. Berbeda dengan kesimpulan umum bahwa Yoh pasti ditulis setelah MD itu wafat, dari

teks itu sendiri tak dapat disimpulkan apa-apa tentang saat wafat MD. Bahkan dapat dilihat

bahwa nasib MD itu dibiarkan “menggantung”, ambigu. Peralihan kata ganti “dia”, “kami”,

“saya” pada akhir Injil (21:24-25) disoroti dari tehnik narasi “trick of double reference” (J.L

Staley mengutip Sternberg) semakin mengaburkan lagi nasib MD itu. Peralihan narator itu tak

dapat lagi dilihat sebagai bukti akan adanya tangan-tangan redaksional di situ (seperti

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 14

disimpulkan dalam kritik teks), melainkan sebagai strategi narator meyakinkan dan melibatkan

pembaca dalam strategi retorisnya.

Close reading terhadap Yoh 21 menghadirkan suatu ambiguitas nasib bagi murid yang

dikasihi Yesus. Kematian muncul kembali pada akhir, setelah seakan-akan dikalahkan di dalam

kisah. Bukan hanya masalah mati/tidaknya MD, melainkan juga bayangan akan kematian Petrus,

yang diinsinuasikan pada akhir Injil. Berakhir dengan ambiguitas ini, pembaca dipaksa kembali

menelusuri kisah dari awal, dan menemukan suatu poros narasi yang menurut pengarang Yoh

dapat menyelesaikan ambiguitas tentang masalah hidup dan mati itu. Salah satu kunci adalah

keterangan narator bahwa kematian Petrus adalah sekaligus pemuliaan Allah. Bagaimanakah

sesuatu yang mewaktu (temporal), atau bahkan meniadakan waktu seperti halnya kematian,

dapat mempunyai pengaruh (atau bahkan mendatangkan) keabadian?

2. Pengalaman Paska sebagai poros narasi dan hidup:

Untuk memahami suatu kisah, penting diamati plot kisah tsb. Plot dapat dilihat dari berbagai

segi, a.l. dari struktur kisah itu. Pembagian struktur Yoh yang biasa dianut adalah pembagian

yang diusulkan oleh Raymond E. Brown dalam komentarnya (1966), yaitu:

1. Kitab Tanda-tanda (Yoh 1-12)

2. Kitab Kemuliaan (Yoh 13-21)

Dari satu segi skema ini memang sederhana, tapi bila diamati ternyata ada kemungkinan orang

salah tafsir seakan “tanda” Yoh (mukjizat) bisa dipisahkan dari “kemuliaan” yang mau

ditandakan, lih. Yoh 2:11: jelas bagaimana dalam “tanda pertama” di Kana, kemuliaan Yesus

sudah dinyatakan dan dipahami oleh para murid.

Dari narasi tampaknya wafat Yesus di salib mau dihadirkan sebagai tanda par

excellence. Dengan begitu ada tujuh tanda Yoh: perubahan air menjadi anggur (bab 2),

penyembuhan putra perwira (4), penyembuhan orang lumpuh (5), pergandaan roti (6),

penyembuhan orang buta (9), pembangkitan Lazarus (11), wafat/kebangkitan Yesus. Semua

tanda ini ditandai oleh angka “tujuh”. Dari urut-urutan hari pada pekan awal karya Yesus (1:19-

51) maupun pada akhir karya Yesus (setelah 12:1) tampaknya tanda pertama di Kana (yang

disebut sebagai “arketipe tanda”, 2:11, jadi bukan sekedar sebagai yang “pertama”) dan tanda

par excellence dijatuhkan pada hari ketujuh.

Selain itu, dalam terjemahan Jerusalem Bible dilihat struktur lain, yaitu pembagian Yoh

berdasarkan pesta-pesta Yahudi yang disebutkan dalam Yoh:

1. Pesta Paska (2:13)

2. Pesta anonim (5:1)

3. Pesta Paska (6:4)

4. Pesta Pondok Daun (7:2)

5. Pesta Penahbisan Bait Allah (10:22)

6. Pesta Paska (11:55)

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 15

Pembagian ini kelihatan menarik, namun bila alur kisah dan elemen-elemen kisah

diperhatikan, akan tampak bahwa kejadian-kejadian dalam kurun waktu Pesta Pondok Daun

dihubungkan secara erat dengan peristiwa penyembuhan bab 5 (lihat: 7:23-25). Dapat diamati

pula bagaimana kisah penyembuhan orang buta (bab 9) meneruskan tema Pesta Pondok Daun

(tema cahaya), dan bagaimana pula kurun waktu Penahbisan Bait Allah (bab 10) dikaitkan

dengan Pondok Daun (skisma pada 7:43; 9:16; 10:19; pelemparan batu pada 8:59; 10:31) dan

semua ini dikaitkan dengan bab 11 (pelemparan batu, 11:8). Jadi tampak bagaimana periode

kedua meliputi bab 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Di situ tampak bagaimana usaha orang-orang

Yahudi untuk membunuh Yesus (5:18) akhirnya memuncak dalam keputusan resmi Sanhedrin

untuk memusnahkan Yesus (11:53). Periode itu diawali dengan seruan “berdirilah” terhadap

orang yang lumpuh (5:8) dan memuncak pada pembangkitan Lazarus (11).

Pesta anonim pada 5:1 selalu menjadi bahan perdebatan. Ada macam-macam usul, segala

macam pesta pernah diusulkan sebagai calon: Tahun Baru, Pondok Daun, Pentakosta, dan Paska.

Namun macam-macam usul ini mengalami kesulitan, justru karena dari kisah terlihat kesatuan

waktu yang erat antara bab 5-11: kejadian-kejadian itu berturutan dalam waktu singkat. Bahkan

pernah diusulkan untuk mengubah susunan bab, jadi bab 6 datang setelah bab 5, sehingga

dengan demikian 5:1 adalah Pesta Paska yang dimaksudkan dalam 6:4 (Paska sudah dekat).

Biasanya pada hari Paska, Yesus ke Yerusalem, hanya setelah 6:4 (pada tempatnya yang

sekarang) saja Yesus tidak ke sana; ia baru ke Yerusalem lagi pada Paska berikut (12:1).

Keanehan ini diterangkan oleh Thomas Aquinas dengan mengatakan bahwa tentu saja, sebagai

manusia, Yesus harus tunduk pada aturan Yahudi (minimal tiga kali ke Yerusalem: Paska,

Pentakosta, Pondok Daun), tapi dia juga Allah karena itu tak perlu taat!

Berdasarkan penelitian momen kisah, tema maupun argumen filologis, diusulkan

membaca kata enggys pada 6:4 bukan sebagai acuan ke masa depan (“sudah dekat” “akan segera

datang”), melainkan sebagai acuan ke masa lalu (“baru saja lewat”) seperti pernah diusulkan

juga oleh Ireneaus. Dengan demikian maka kesatuan waktu bab 5-11 maupun tema tetap dapat

dipertahankan.

Maka dari itu struktur yang diajukan dalam penelitian adalah membaca Yoh dalam

kerangka tiga pesta Paska. Siklus Paska I melibatkan pula saat-saat 1:19-2:11 dan sampai 4:54:

inklusio dari Kana ke Kana. Siklus Paska II melibatkan peristiwa bab 5 sampai dengan bab 11:

inklusio dari Yerusalem ke Yerusalem. Baik Siklus I dan II dapat dilihat sebagai gerakan dari

Betania (seberang Yordan) sampai Betania (dekat Yerusalem). Dan Siklus Paska III terjadi di

Yerusalem. Jadi sekitar dua tahun narrated time dikisahkan dalam 11 bab time of narrating (1-

11); dua hari dalam 1 bab (12) dan satu hari dalam 6 bab (13-19). Dalam saat-saat menjelang

wafat Yesus, waktu tampak seakan melambat, bahkan berhenti (15-17).

Dibaca berurutan dengan Paska sebagai poros narasi akan dialami bagaimana dalam

quest for destiny datangnya “saat” Yesus itu selalu diantisipasi (enggys) dan dengan demikian

pembaca diajak mengalami pula nasib/misi protagonis dalam hidupnya. Dalam quest for origins

pembaca akan diajak pula menggapai masa lalu, bukan sekedar sebagai masa lalu, namun

Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 16

sebagai archê hidupnya. Dan akhirnya, dalam quest for immediacy, lewat tehnik kronologisasi

(perhatian penuh pada linearisasi waktu) dan detemporalisasi (misal peleburan saat kematian,

kebangkitan, kenaikan, Pentakosta, bahkan Parousia), lebih-lebih lewat ungkapan “kai nyn

estin” (yang lebih berarti “inilah dia” dan bukan “dan kinilah saatnya”) dapat dilihat bagaimana

teks itu sendiri mencoba menghadirkan pada pembaca masa mana pun apa yang sebenarnya tak

dapat diperantarai, karena itu tampak juga bagaimana dikotomis eskatologi (atau futuristis atau

sudah terjadi) tak perlu ada.

Teks yang percaya pada strategi retorisnya sendiri sebagaimana terungkap dalam tujuan

penulisan Injil (Yoh 20:30-31) pada akhirnya harus menarik pembaca pada kehadiran Dia yang

tak jelas berada di mana dan mau ke mana (ambiguitas posisi Yesus pada Epilog, Yoh 21), serta

harus mengakui keterbatasannya sebagai teks yang hanya berfungsi sebagai kesaksian (21:24-

25). Dengan demikian pembaca diajak kembali pada peringatan Yesus kepada para ahli Taurat

pada Paska II, yaitu agar mereka melampaui teks tertulis dan sampai pada Dia sendiri (5:39) dan

baru dengan demikian orang sampai pada hidup kekal. Paska II unik di dalam narasi karena

hadir hanya sebagai acuan ke masa lalu (6:4: Paska baru saja lewat).

PENUTUP

Demikianlah lewat tiga aspek pencarian itu, pembaca, yang pada awal teks, sudah dihadapkan

pada sesuatu yang di luar waktu, “Pada awal mula adalah ....” (1:1); dan dalam sepanjang kisah

Yohanes, berjumpa dengan kenyataan bahwa yang di luar waktu itu kemudian dapat dijumpai di

dalam waktu, “dan Sabda menjadi daging” (1:14); akhirnya, pada akhir teks, diharapkan

mengalami bahwa yang di luar maupun di dalam waktu akhirnya menyatu di dalam dirinya,

bagaikan mata air yang mengalir, menghidupi dan mengarahkan kehidupan temporal si

pembaca, “mata air yang mengalir ke kehidupan kekal” (4:14; cf. 20:30; 7:38). Di sinilah orang

sampai pada pengalaman Roh Kudus menurut Yohanes. Dengan demikian tampak pula dasar-

dasar pengalaman Trinitarian dalam penghayatan waktu Yohanes: Bapa sebagai Origins, Roh

sebagai Destiny, dan Yesus yang Tersalib/Bangkit sebagai Immediacy.

(Bahan ini disampaikan secara lisan pada Pertemuan Dosen-dosen Alkitab Protestan-Katolik VI

yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia & Fakultas Teologia Universitas Kristen

Duta Wacana di Wisma Syantikara, Yogyakarta, 6-9 Agustus 1995, dan kemudian dituliskan

dalam bentuk makalah untuk dibacakan pada pertemuan dosen FTW/FT USD, Yogyakarta 11

Maret 1997)