Strategi Waktu dalam Narasi Injil Yohanes
-
Upload
lie-chung-yen-aka-martin-suhartono -
Category
Documents
-
view
843 -
download
10
description
Transcript of Strategi Waktu dalam Narasi Injil Yohanes
STRATEGI WAKTU DALAM NARASI YOHANES
Martin Suhartono, SJ.
PENGANTAR:
Uraian di bawah ini didasarkan pada hasil studi penulis yang tak diterbitkan, A Quest for Time in
the Gospel of John, disertasi PhD pada Fakultas Ketuhanan, Universitas Cambridge, 1994.
Akan diulas lebih dahulu dasar-dasar metodologis yang melatar belakangi pendekatan penulis,
kemudian bagaimana masalah waktu dalam Injil Yoh itu telah dan akan didekati, dan akhirnya
bagaimana waktu itu ditampilkan dalam strategi Yoh. Hanya beberapa aspek studi itu yang bisa
dihadirkan di sini dan bukan keseluruhan studi tersebut, baik dalam hal jangkauan maupun
argumen-argumen yang diajukan.
I. LATAR BELAKANG METODOLOGIS
1. Berbagai pendekatan terhadap teks:
Dalam kegiatan baca-membaca, orang pada umumnya beranggapan ada kontak langsung antara
pembaca kisah dengan pengarang kisah. Seakan dengan membaca kisah itu pembaca dapat
langsung “melongok” bagaikan lewat sebuah “jendela” ke dunia pengarang kisah. Tampaknya
faham inilah yang berada di balik penyelidikan kritis historis terhadap KS. Teks KS dijadikan
sarana untuk mendapatkan informasi tentang dunia Yahudi kuno (PL) atau pun dunia dan
masyarakat Laut Tengah pada abad pertama Masehi (PB). Selain realitas sosio-historis yang
mau dicapai lewat teks itu, teks dianggap juga merujuk secara langsung pada realitas obyektif di
dunia teologis (realitas tentang Tuhan) maupun moral (norma tingkah laku) pada masa PL/PB.
Dalam pendekatan ini, dunia pengarang di balik/belakang teks itulah yang diperhatikan.
Pendekatan naratif terhadap teks menyadarkan orang bahwa ternyata ada suatu dunia lain
selain “dunia pengarang” dan “dunia pembaca”, yaitu “dunia tekstual”. Dunia tekstual ini tak
selalu mengungkapkan dunia pengarang secara langsung, seakan sebuah jendela, karena selain
dipertanyakan adanya hubungan langsung antara bahasa dan realitas, makin disadari juga
peranan kreatif pengarang dalam mengolah bahan tulisannya, selain tentu saja maksud-maksud
komunikatif atau retoris pengarang terhadap pembacanya. Dalam pendekatan ini, teks dilihat
sebagai “cermin” yang mengungkapkan kehidupan sang pembaca teks di depan teks; lewat teks,
orang belajar mengenal diri dan kehidupannya sendiri.
Pendekatan ekstrem analisa naratif terhadap suatu kisah memotong sama sekali “dunia
tekstual” itu dari dunia pengarang maupun dunia pembaca. Dunia tekstual dianggap berdiri
sendiri dengan hubungan relasional yang ada antar tokoh, latar, narrator dan elemen-elemen
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 2
narasi lainnya, atau lebih ekstem lagi (Kritik Formalis), dengan sistem-sistem “bawah sadar”
yang mengatur narasi sebagaimana tercermin dalam unsur-unsur linguistik kisah (Kritik
Strukturalis). Tidak dipersoalkan lagi di sini intensi pengarang maupun reaksi pembaca.
Pendekatan analisa tanggapan pembaca (Reader Response Criticism) mendekati kisah
dari sudut reaksi pembaca. Sebagaimana dibedakan dunia real dari dunia tekstual, di sini
dibedakan pula pembaca real dari pembaca tersirat (implied reader). Berbeda dengan pembaca
real, manusia konkret terdiri dari daging dan darah, pembaca tersirat adalah abstrak, perlu
dikonstruksi berdasarkan kisah itu sendiri. Konsep itu menjawab pertanyaan: Pembaca macam
apakah yang diandaikan oleh pengarang? Pengarang di sini pun bukanlah pengarang real yang
bisa mati, melainkan pengarang yang diandaikan oleh kisah itu, jadi tak bisa mati, atau
pengarang tersirat (implied author). Dalam bentuk ekstrem, pendekatan ini memotong dunia
pembaca (yang tak real) dari dunia tekstual maupun dunia pengarang (real).
2. Waktu dan Narasi:
Ricoeur menghindari bentuk-bentuk ekstrem pendekatan terhadap teks. Ia berpendapat
(menuruti A. -J. Greimas) bahwa narativitas adalah prinsip pengatur segala wacana (entah narasi
atau bukan): sesuatu dikisahkan tentang sesuatu. Narasi memiliki peranan mediatif, menjadi
pengantara dari sesuatu kepada sesuatu. Terhadap realitas yang digambarkannya, narasi punya
fungsi konstitusional maupun transformasional, bukan sekedar “jiplakan plek persis” realitas.
Dengan demikian mau tak mau harus diamati tiga pihak tersebut yaitu: yang diperantarakan,
yang menjadi perantara, dan yang dituju oleh perantaraan itu.
Menurut Ricoeur, yang dimediasikan oleh teks adalah suatu pengalaman keberadaan
manusia di dunia, jadi suatu pengalaman temporal; di sini ia merujuk pada Heidegger (Sein und
Zeit). Ia berpendapat bahwa hanya narasilah yang dapat memecahkan teka-teki (aporia) tentang
waktu sebagaimana dialami dan direnungkan oleh manusia. Ada tiga aporia yang disebut
Ricoeur: konflik antara waktu eksternal (kosmologis) dan waktu internal (psikologis),
keberagaman dan kesatuan waktu (masa lalu, sekarang, akan datang), dan ketakterungkapan
waktu. Menurut Ricoeur, narasi memecahkan problem waktu itu bukan secara teoretis,
melainkan secara poetis. Secara poetis, maksudnya sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles,
yaitu dengan merujuk pada kemampuan bahasa untuk mencipta dan menciptakan kembali. Jadi
problem waktu diselesaikan dengan dikonfigurasikan dalam narasi.
Ricoeur mengulas teorinya dengan mengajukan tiga model pemahaman terhadap waktu
dan narasi (lihat Temps et récit, tiga volume, 1983-1985). Yang pertama, Mimesis I (time
prefigured): bidang kehidupan/pengalaman manusia yang “menjerit” untuk dikisahkan. Yang
kedua, Mimesis II (time configured), teks yang lewat emplotment (pengaluran) berfungsi sebagai
perantara (mediasi) antara bidang kehidupan sebelum dan sesudah teks. Yang ketiga, Mimesis III
(time refigured), yang diambil alih oleh pembaca. Penulis akan bicara tentang “time
transfigured”, dalam arti yang terjadi bukanlah pengambilalihan pasif terhadap Mimesis I,
melainkan sudah merupakan hasil interaksi antara Mimesis II dan pembaca, jadi seakan-akan
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 3
diubah secara kreatif dan mengubah juga “waktu” sang pembaca. Waktu diubah dari sisi
sebelum teks ke sisi sesudah teks lewat daya konfigurasi teks/kisah. Istilah “mimetik” di sini
janganlah diartikan secara pasif, seperti imitasi atau ‘copy’, ‘replika identik’, melainkan secara
dinamis dalam arti “menghadirkan”.
Meminjam kategori A.A. Mendilow (Time and the Novel, 1952), Ricoeur menganggap
semua narasi sebagai “kisah waktu” (tales of time) karena perubahan situasi dan tokoh terjadi di
dalam waktu, memerlukan waktu. Tetapi ada juga “kisah tentang waktu” (tales about time)
karena dalam kisah itu pengalaman temporal itulah yang justru dipersoalkan. Ricoeur mengulas
karya-karya Virginia Woolf (Mrs. Dalloway, 1925), Thomas Mann (Der Zauberberg, 1924;
terjem. Ing., The Magic Mountain, 1927), Marcel Proust (À la recherche du temps perdu, 1914-
1927; terjem. Ing., Remembrance of Things Past, 1922-1930). Novel-novel tentang waktu ini
mengkonfigurasikan pengalaman tentang waktu yang ditawarkan kepada pembaca sebagai cara
berada di dunia. Ia berharap, opus magnum-nya tentang narasi dan waktu itu bisa berguna dalam
merenungkan “keabadian” dan “kematian”.
Kerangka pemikiran Ricoeur tentang hubungan narasi dan waktu amat berguna untuk
mendalami masalah waktu dalam narasi Yohanes. Ia sendiri tidak memberikan suatu metode
yang siap pakai bagi tafsir Kitab Suci itu sendiri, melainkan faham-faham dasar yang dapat
dijadikan batu pijakan maupun perspektif penelitian. Dalam penelitian itu sendiri, unsur-unsur
kritik narasi (plot, tokoh, narator, latar, waktu, ironi dll.) dapat menjadi alat pembantu dalam
memahami fenomen waktu dalam narasi Yohanes. Untuk memperoleh pemahaman menyeluruh,
teori tentang narasi dan teks Yohanes selayaknya dipandang sebagai mitra sejajar, yang saling
menantang, dan bukannya satu (di)tunduk(kan) kepada yang lain.
II. WAKTU DALAM YOHANES
1. “Waktu” sebagai tema dalam penafsiran Injil Yohanes:
Waktu menjadi inti pokok persoalan yang digeluti pengarang Yoh. Hoskyns dalam tafsir Injil
Yohanes (1940) mengatakan bahwa problem Yohanes bukanlah sekedar “a problem” melainkan
“the Problem of all problems” karena menyangkut hubungan antara waktu dan keabadian.
Sampai saat ini telah banyak usaha dijalankan untuk mendalami masalah waktu dalam Yoh.
Disertasi G. Ferraro menyoroti masalah “saat” atau “jam” (hôra) (L’«ora» di Cristo nel
quarto vangelo, 1974). Ada juga artikel tentang konsep tujuh hari dalam Yoh (T. Barrosse,
dalam CBQ 21/1959; L.P. Trudinger, dalam EvQ 44/1972), cara menghitung jam dalam Yoh (N.
Walker, dalam NT 4/1960), selain juga penggunaan konsep waktu dalam Yoh (J.E. Bruns, dalam
NTS 13/1966; J.O. Tuñi, dalam EstEcl 57/1982; R. Kiefer, dalam NTS 31/1985) serta
hubungannya dengan eskatologi (S. Pancaro, dalam Biblica 50/1969). Bahwa keprihatinan
tentang waktu dalam Yohanes bukan hanya obsesi modern dapat dilihat dari tafsir Krisostomus,
Sirilus dari Alexandria, Agustinus, dan Albertus Magnus tentang hôra dalam Yohanes (G.
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 4
Ferraro di Rassegna di Teologia 13/1972, Agustinianum 15/1975, Studia Patavina 23/1976,
Nicolaus 6/1978, Gregorianum 66/1985).
Studi kontemporer tentang waktu dalam Yohanes dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Pertama-tama ada minat akan kronologi Yohanes, lebih-lebih mengingat bahwa Injil-injil
Sinoptik hanya menyebutkan satu hari raya Paska sedangkan Yohanes paling sedikit tiga;
menurut Sinoptik, berbeda dari Yohanes, perjamuan terakhir Yesus dilangsungkan bertepatan
dengan saat perjamuan Paska Yahudi (E. Ruckstuhl, Chronology of the Last Days of Jesus,
1965). Yang dipersoalkan, sistem kalender manakah, atau sistem penghitungan waktu yang
bagaimanakah, yang dianut oleh Yohanes? Sistem Romawi (jam dihitung dari tengah malam ke
tengah malam), sistem Yahudi (dari saat matahari terbit ke saat matahari terbenam), ataukah
sistem Qumran? (Bruns; Walker; lihat juga: A. Jaubert, dalam J.H. Charlesworth (ed.), John and
Qumran, 1972).
Keprihatinan akan kronologi ini selain didasarkan pada minat akan ketepatan historis,
tertuju pula pada usaha penggalian makna-makna terdalam yang mungkin diberikan oleh
pengarang Injil pada keterangan-keterangan waktu (mis. “jam ke sepuluh”, Yoh 1:39; “jam ke
enam”, Yoh 19:14). Dari ungkapan-ungkapan waktu yang digunakan, “Saat Yesus” dianggap
sebagai puncak seluruh kejadian yang dikisahkan dalam Injil Yohanes. Kehadiran hari-hari raya
Yahudi dalam Yohanes menimbulkan dugaan bahwa Injil tersebut berlatar-belakangkan
perayaan liturgis, entah itu lingkaran tiga tahun bacaan dalam sinagoga (A. Guilding, The Fourth
Gospel and Jewish Worship, 1960), entah itu lingkaran lima puluh hari bagi para calon baptis di
gereja-gereja di Asia Kecil pada abad kedua (M.D. Goulder, dalam Studia Evangelica, VII,
1982).
Bagaimana pun pendapat orang tentang latar-belakang liturgis ini, hari-hari raya Yahudi
dianggap memberikan struktur penentu dalam narasi Yohanes dan punya peranan pokok dalam
kristologi Yohanes karena di situ Yesus ditampilkan sebagai pengganti yang dirayakan pada
hari-hari itu. Pada hari raya Paska (Yoh 2:13; 6:4; 11:55) Yesuslah yang menjadi Domba Paska
yang disembelih; pada hari raya Pondok Daun (Yoh 7:2) Dialah yang menganugerahkan Roh
Kudus; pada hari raya Penahbisan Bait Allah (Yoh 10:22), Dialah Bait Allah yang akan
dihancurkan (Yoh 2:21; 11:48); di hari Sabbat, Yesuslah yang menyempurnakan karya Bapa
(Yoh 5:17) dan memberikan cahaya kepada dunia (Yoh 9).
Selain petunjuk-petunjuk kronologis, ungkapan-ungkapan lain tentang waktu menjadi
pusat perhatian juga, misalnya: adverb waktu seperti “sekarang” (nyn) “sampai sekarang” (heôs
arti), “belum” (oudepô), maupun istilah yang berkaitan dengan waktu (“abadi”, “awal”, “siang
dan malam”). Diselidiki juga persepsi waktu yang dapat disimpulkan dari pemakaian kata kerja
dalam Yohanes (berhubungan dengan tenses, moods, dan gerakan). Tujuan penyelidikan
bukanlah klasifikasi kategori-kategori lexikal atau gramatikal melainkan nilai teologis persepsi
Yohanes tentang waktu.
Konsep Yohanes tentang waktu diharapkan dapat membantu pemahaman orang akan
sejarah; apakah Yohanes menampilkan Yesus sebagai pemenuhan terakhir segala sesuatu,
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 5
dengan implikasi pemusnahan perkembangan linear sejarah keselamatan, seperti dimengerti oleh
Rudolf Bultmann dalam komentarnya (1941)? Ataukah, peristiwa Yesus ditampilkan sebagai
pusat sejarah keselamatan, jadi tanpa mengesampingkan perkembangan horisontal, seperti
diusulkan oleh Oscar Cullmann (O. Cullmann, dalam NTS 11 /1964-1965)? Eskatologi Injil
Yohanes, yang diduga berpola “realised eschatology”, atau “present eschatology”, sudah sejak
lama dipertentangkan dengan eskatologi Sinoptik yang diduga berpola futuristik; masalahnya
ternyata tak sesederhana itu (P. Ricca, Die Eschatologie des Vierten Evangeliums, 1966).
Pencetus ide “realised eschatology” sendiri, C.H. Dodd, mencabut istilah itu dan lebih suka
dengan ungkapan Jerman “sich realisierende Eschatologie” (The Interpretation of the Fourth
Gospel, 1953).
Dalam ungkapan-ungkapan tentang waktu, makna teologis dianggap lebih penting
daripada ketepatan waktu kronologis; ungkapan-ungkapan itu berfungsi sebagai batu loncatan
untuk pengertian yang lebih mendalam akan siapakah Yesus itu. Gail O’Day, dalam analisanya
tentang waktu naratif dalam Yoh 13-17, menyimpulkan: “The Fourth Evangelist uses temporal
figures to evoke theological reality” (G.R. O’Day, Semeia 53/1991). Skema tujuh hari tampak
merupakan inclusio antara awal dan akhir perjalanan karya Yesus dan ditafsirkan sebagai tanda
bahwa Yesus membentuk suatu Ciptaan Baru. Ada suatu usaha untuk membaca Injil Yohanes
bukan secara linear tapi melingkar dalam skema tujuh hari yang didasarkan pada struktur
konsentris yang mengambil kisah Yesus berjalan di atas air sebagai pusat Injil (B. Barnhart, The
Good Wine. Reading John from the Center, 1993) berdasarkan struktur literer yang diusulkan
oleh P.F. Ellis (The Genius of John) Dalam segala hal, Yesus dianggap mengalahkan waktu.
Krisostomus menulis dalam tafsir Injil Yohanes bahwa Yesus, sebagai Pencipta Waktu, tidak
tunduk pada waktu. Walaupun demikian, ketegangan antara waktu dan keabadian tetap ada dan
terukir dalam kerangka narasi Injil Yohanes (R. Célis, dalam Bulletin du Centre Protestant
d’Études 42/1990).
Ungkapan-ungkapan waktu bukan hanya berguna bagi kristologi Yohanes, melainkan
juga bagi paham Yohanes tentang gereja. Menurut A. Feuillet, peristiwa-peristiwa yang
dikisahkan oleh Yohanes secara hakiki bersifat eklesial; Yohanes bicara tentang waktu Yesus,
namun sebenarnya ia menunjuk pada waktu gereja (Études Johannique, 1962). Pengalaman
waktu dalam Yohanes dipandang sebagai kunci untuk memahami pengalaman waktu dan sejarah
dalam umat kristen perdana (G. Klein, dalam ZThK 68/1971). Faham-faham filsafat Heidegger
dan Gadamer melatarbelakangi studi F. Mussner karena mulai timbul kesadaran akan implikasi
“jarak waktu” (Zeitabstand) Penginjil Keempat terhadap “cara pandang”nya (Sehweise); yang
terancam adalah keabsahan pewartaan Injil Yohanes tentang Yesus Sang Kristus yang
kemungkinan besar telah dipengaruhi oleh jarak waktu yang ada antara penulisan Injil dan
Yesus yang historis (Die johanneische Sehweise und die Frage nach dem historischen Jesus,
1965). Dipengaruhi juga oleh hermeneutika Gadamer, T. Onuki berpendapat bahwa implikasi-
implikasi itu mempengaruhi cara kita menafsirkan Injil Yohanes; Injil itu harus ditafsirkan
dalam konteks “peleburan cakrawala-cakrawala pandangan” (fusion of horizons) antara
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 6
cakrawala situasi Yesus (dengan para rasul-Nya) dan cakrawala komunitas Penginjil sesudah
Paska (Gemeinde und Welt im Johannesevangelium, 1984).
Tanpa bekal kecanggihan hermeneutika modern pun, para exeget sudah lama sampai
pada pengertian akan pentingnya dua tingkatan waktu dalam membaca Injil Yohanes; X. Léon-
Dufour sudah sejak lama mengusulkan “deux temps de lecture” (dalam RSR 39 /1951-52) dan
baru-baru ini diteguhkan pula oleh John Ashton dengan “two levels of understanding”
(Understanding the Fourth Gospel, 1991). Paham filosofis maupun exegetis akan dua tingkatan
waktu ini diperkuat pula oleh studi biblis yang mendasarkan diri pada pendekatan sosiologis;
J.L. Martyn melihat bahwa kisah kehidupan Yesus diproyeksikan pada situasi aktual kelompok
yang disebut “komunitas Yohanes”, yang sebagai suatu sekte bertentangan dengan komunitas
induk Yahudi (History and Theology in the Fourth Gospel, 1968; lihat juga W.A. Meeks, dalam
JBL 91/1972). Dalam seluruh pendekatan ini, pengalaman waktu yang diandaikan ada dalam
Yohanes adalah dialektika masa lampau dan masa sekarang, bukan masa depan dan masa
sekarang.
Berbeda dari orientasi lexikal, historis, filosofis, teologis dan sosiologis di atas, ada
penyelidikan lain yang menerapkan metode-metode kritik sastra modern yang memusatkan diri
pada teks itu sendiri. Jadi, sehubungan dengan Kitab Suci, teks akhirlah yang menjadi obyek
analisa pendekatan ini, dan bukan sumber-sumber atau tradisi-tradisi di belakang suatu teks,
bukan pula proses penulisannya. Singkatnya, dalam exegese naratif perhatian diarahkan pada
“the how” dan bukan “the what” suatu kisah (lihat R. Alter, The Art of Biblical Narrative, 1981;
A. Berlin, Poetics and Interpretation of Biblical Narrative, 1983; M. Sternberg, The Poetics of
Biblical Narrative, 1985).
Dalam salah satu bab bukunya, R.A. Culpepper melukiskan aspek-aspek waktu dalam
narasi Yohanes seperti “urutan waktu” (order), “keberlangsungan waktu” (duration) dan
“keterulangan waktu” (frequency) (Anatomy of the Fourth Gospel, 1983). Usaha Culpepper ini
didasarkan pada analisa G. Genette tentang penggunaan waktu dalam karya sastra Marcel
Proust, A la recherche du temps perdu (Figures III, 1972). Genette membedakan dua tingkatan
waktu, antara temps raconté dan temps racontant, atau disebut oleh Culpepper (mengikuti
terjemahan karya Genette ke dalam bahasa Inggris) masing-masing, story time dan narrative
time. Genette mengambil alih distingsi yang diusulkan oleh G. Müller antara erzählte Zeit dan
Erzähltzeit (Morphologische Poetik, 1968) meskipun kemudian mengolahnya dalam konteks
filosofis yang berbeda. Dalam konteks poetika morfologis Müller, distingsi itu terbuka pada
suatu tingkatan waktu yang lain, yaitu “waktu kehidupan” (die Zeitlichkeit des Lebens, the
temporality of life), sedangkan dalam naratologi strukturalis Genette, distingsi hanya tinggal
terkungkung dalam teks saja. Müller tak begitu jelas membedakan antara tingkatan waktu kedua
dan ketiga, sedangkan Genette memusnahkan yang ketiga. Keterarahan kepada tingkatan waktu
yang ketiga ini dijajagi lebih lanjut oleh Ricoeur dengan tri-skemanya tentang waktu (Temps et
récit).
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 7
Istilah story time dan narrative time mengandaikan orang kenal pembedaan dalam
naratologi strukturalis antara yang disebut dalam bahasa Perancis histoire (story) dan récit
(narrative); story adalah yang ditandakan (the signified, the “what”) sedangkan narrative adalah
yang menandakan (the signifier, the “how”). Menurut Genette sendiri, pasangan histoire/récit
(story/narrative) tidak punya arti bila tidak dimasukkan dalam kesatuan dasar
histoire/récit/narration (story/narrative/narrating): histoire (story) adalah keseluruhan peristiwa
yang diceritakan (“the totality of the narrated events”), récit (narrative) adalah uraian, lisan atau
pun tertulis, yang menceritakan peristiwa-peristiwa itu (“the discourse, oral or written, that
narrates them”), dan narration (narrating) adalah tindakan, nyata atau pun fictive, yang
menghasilkan uraian tersebut, dengan kata lain, tindakan bercerita itu sendiri (“the real or fictive
act that produces that discourse -in other words, the very fact of recounting”) (Narrative
Discourse Revisited, 1992). Waktu yang diceritakan (narrated time, temps raconté, erzählte
Zeit; atau story time) adalah waktu peristiwa-peristiwa yang diceritakan bila dihitung dalam
tahun, bulan, hari dll., sedangkan waktu untuk bercerita (time of narrating, temps racontant,
Erzählzeit, atau narrative time) adalah waktu tindakan bercerita, waktu narasi, yang praktis
bersifat spasial: panjang teks bila dihitung dalam halaman, baris, dan kata.
Tetap dengan tema waktu dalam narasi, M. Davies membedakan tiga waktu: waktu yang
digunakan pembaca untuk membaca, waktu narator dan waktu kisah (the time of the story).
Berbeda dengan pengertian umum dalam naratologi, ia mengartikan “narrator” sebagai “real
author” dan the time of the story pada Davies tak sama dengan story time pada Culpepper;
karena itu, waktu narator terjadi setelah kemartiran Petrus dan waktu kisah mencakup tanggal,
keberlangsungan waktu, retrospeksi, antisipasi, penggunaan perfect tense, dan waktu para murid
Yesus (Rhetoric and Reference in the Fourth Gospel, 1992). Meminjam “bentuk-bentuk waktu”
(time-shapes) dari analisa D.L. Higdon tentang novel-novel modern Inggris, Mark Stibbe
melihat pula berbagai-bagai rupa waktu dalam Yohanes: process time, retrospective time,
barrier time, dan polytemporal time (John as Storyteller. Narrative Criticism and the Fourth
Gospel, 1992; John, 1993). Cara Yohanes menyampaikan berlangsungnya Hari Raya Pondok
Daun (7:2: “pesta sudah dekat”, 7:14: “di tengah-tengah pesta”, 7:37: “hari terakhir pesta”)
menggambarkan waktu dalam proses; narator maupun tokoh-tokoh cerita dalam Yohanes yang
menengok ke belakang dengan menyebutkan hal-hal yang terjadi sebelumnya merupakan contoh
waktu retrospektif; ungkapan-ungkapan tentang “saat Yesus” yang belum tiba menunjuk pada
waktu pembatas (semacam deadline); sedangkan campuran antara perspektif waktu lampau,
sekarang, masa depan, historis maupun mitologis, seperti dalam Wejangan Terakhir Yesus
merupakan waktu majemuk.
Disertasi J.L. Staley (The Print’s First Kiss: A Rhetorical Investigation of the Implied
Reader in the Fourth Gospel, 1988) merupakan penerapan Reader Response Criticism dan
dipengaruhi oleh refleksi W.J. Ong tentang akibat-akibat peralihan dari kebudayaan yang lebih
asli dan primer, yaitu kebudayaan lisan, ke kebudayaan cetak (Orality and Literacy: The
Technologizing of the Word, 1982). Salah satu tujuan Staley adalah memusatkan perhatian pada
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 8
proses temporal membaca dan akibat-akibat retoris proses tersebut. “Temporalitas” di sini
dipahami sebagai aliran waktu (temporal flow) pengalaman membaca pembaca yang tersirat
(implied reader) yang harus dibedakan dari pembaca yang sesungguhnya (actual reader), atau
juga, linearitas suatu teks atau urutan narasi.
Waktu membaca yang sesungguhnya dapat saja dibalik, tapi waktu teks, kedudukan
waktu si pembaca tersirat, tidak; pembaca yang sesungguhnya dapat saja membaca dari belakang
ke depan, sedangkan pembaca yang tersirat haruslah mengikuti linearitas teks dari depan ke
belakang. Menurut Staley, keterbatasan pembaca tersirat ini justru digunakan oleh pengarang
tersirat (yang harus dibedakan dari pengarang yang sesungguhnya) untuk mencapai maksud-
maksud retoris tertentu. Staley melangkah lebih jauh daripada Culpepper; ia bukan hanya
mengamati dan mendefinisikan urutan waktu dalam narasi, melainkan juga menganalisa akibat-
akibat retorisnya pada pembaca (lebih merupakan fisiologi bila dibandingkan dengan anatomi
Culpepper)
Minat akan tema “waktu” tidak hanya muncul dalam penyelidikan Injil Yohanes.
Berulang kali konsep waktu dalam Kitab Suci digali orang, seluruhnya maupun dalam masing-
masing kitab (G. Delling, Das Zeitverständnis des neuen Testaments, 1940; J.M. Robinson, The
Problem of History in Mark, 1968; J. Muilenburg, dalam HarvardThR 54/1961; S.J. DeVries,
Yesterday, Today and Tomorrow. Time and History in the Old Testament, 1975), atau juga
dalam pengalaman kristiani (J.L. Russell, dalam J.T. Fraser, ed., The Voices of Time, 1968; G.
Pattero dalam P. Ricoeur, Cultures and Time, 1976; H. Bourgeois, P. Gibert, and M. Jourjon,
L’expérience chrétienne du temps, 1987).
Skema waktu menentukan bagaimana pandangan orang tentang sejarah keselamatan;
yang umum dianut orang adalah skema “janji - pemenuhan” (W.G. Kümmel, Promise and
Fulfilment, 1957; J. Marsh, The Fullness of Time, 1952). Kristus selalu dilihat sebagai pusat
waktu (O. Cullmann, Christ and Time: The Primitive Christian Conception of Time and History,
1964). Kerapkali konsep biblis tentang waktu dianggap sebagai sesuatu yang unik, dan
dipertentangkan dengan konsep Yunani tentang waktu; orang Ibrani dianggap memiliki
pandangan tentang waktu sebagai sesuatu yang linear, sedangkan orang Yunani diduga melihat
waktu sebagai sesuatu yang siklis (T. Boman, Hebrew Thought Compared with the Greek,
1960). Karena itu, orang kerap mempertentangkan antara kairos, yang dianggap merujuk pada
waktu kualitatif (waktu Ibrani atau biblis; waktu yang ditentukan Allah) dan chronos, yang
dianggap sebagai waktu kuantitatif (waktu Yunani atau sekular; waktu manusiawi yang
berurutan). Meskipun pembedaan ini telah dikritik habis-habisan secara dasariah (J. Barr,
Biblical Words for Time, 1962; P. Ricoeur, dalam Archivio di filosofia 1/1985; B.J. Malina,
dalam CBQ 51/1989), namun tetap diulang-ulang dalam exegese (K.J. Vanhoozer, Biblical
Narrative in Paul Ricoeur; Stibbe, John as Storyteller).
Penyelidikan tentang waktu dalam antropologi, sejarah, filsafat, psikologi dan sosiologi
secara dasariah mempertanyakan penerapan persepsi waktu manusia modern ke manusia dari
kebudayaan kuno. Dalam salah satu model antropologi, setiap masyarakat dianggap memiliki
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 9
suatu prioritas dalam preferensi waktu, yaitu, waktu yang diperhatikan oleh orang bila
menghadapi suatu masalah vital, apakah mereka mengacu pada masa lampau, masa sekarang,
ataukah masa depan (Malina, CBQ 51/1989, mengacu pada model preferensi orientasi nilai yang
dikembangkan oleh F.R. Kluckhohn dan F.L. Strodtbeck)? Jadi, bila latar belakang persepsi
waktu orang-orang Mediterania abad pertama diperhatikan, diharapkan orang dapat sampai pada
suatu perspektif baru dalam pemahaman akan pengertian Perjanjian Baru tentang waktu. B.J.
Malina, misalnya, berpendapat bahwa dalam masa Perjanjian Baru tak ada ketegangan antara
“sekarang” dan “belum”; tekanan ada pada “sekarang” secara umum; “belum” merupakan
keprihatinan masyarakat-masyarakat berorientasikan masa depan (CBQ 51/1989).
Pendapat Malina itu pun tampaknya perlu dipertanyakan. Dalam penelitian macam-
macam disiplin ilmu dapat diamati bahwa pengalaman maupun persepsi waktu dalam
masyarakat primitif tidaklah homogen; ada berjenis-jenis aspects, forms, shapes waktu.
Masyarakat Yahudi begitu menghitung peredaran waktu (linear) sambil sekaligus pula
mempertahankan aspek siklis maupun keabadian momen-momen liturgis yang dirayakan.
Penghayatan waktu orang Bali tak dapat dikategorikan sebagai “motionless present” saja, seperti
dikatakan C. Geertz, karena mereka dapat pula berpikir secara linear progressif dan dengan
menggunakan paling sedikit lima sistem kalender (A. Gell, The Anthropology of Time, 1992, hal.
69-77).
Jelaslah dari uraian di atas bahwa ada banyak pengertian yang diterapkan pada “waktu”
itu sendiri. Diperlukan suatu pandangan yang lebih komprehensif terhadap persoalan “waktu”
sesuai dengan hakekat waktu yang melingkupi segala hal. Selain itu, menanggapi tantangan R.
Kysar (The Fourth Evangelist and His Gospel. An Examination of Contemporary Scholarship,
1975), diperlukan suatu usaha untuk menggali kategori-kategori dasariah dalam Yohanes yang
diharapkan dapat menjadi pegangan untuk memahami pikiran dan bahasa si penginjil.
2. Mencari pendekatan terhadap waktu dalam narasi Yohanes:
Waktu biasa dibicarakan dalam berbagai disiplin ilmu dari salah satu dari dua perspektif yang
sesungguhnya saling melengkapi: yang satu berhubungan dengan hakekat waktu, sedangkan
yang lain dengan peranan waktu. Pendekatan pertama bersifat esensialis dan yang kedua
fungsionalis. Manakah yang sepatutnya dianut?
Sebelum pertanyaan di atas dapat dijawab, orang perlu mengamati lebih dahulu teks
yang hendak diselidiki. Perlu dicari petunjuk-petunjuk dalam Injil Yohanes sendiri yang
memungkinkan orang tahu kurang lebih hubungan Injil itu dengan waktu. Injil Yohanes tidak
memberikan baik definisi tentang apakah waktu itu maupun deskripsi tentang peranan waktu.
Meskipun demikian, bayangan waktu tampak melingkupi Injil Yohanes, bukan sebagai suatu
subyek tematis, bukan sebagai suatu fungsi tersirat, melainkan sebagai musuh untuk ditaklukkan
dan sekaligus pula sebagai sahabat yang harus direbut hatinya.
Pengamatan yang mendalam akan menunjukkan bahwa Injil Yohanes merupakan
ungkapan pergumulan dengan waktu. Tema-tema yang berhubungan dengan Yakub banyak
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 10
bermunculan dalam Injil Yohanes (1:47, 51; 4:5); bukan mustahil bahwa gambaran pergulatan
Yakub dengan Yahweh melatarbelakangi pergulatan si penulis Injil dengan waktu. Dengan
melihat hubungan antara Injil Yohanes dengan waktu dalam perspektif ini, diharapkan dikotomi
antara pendekatan esensialis dan fungsionalis dapat diatasi.
Asumsi dasar penyelidikan penulis adalah pandangan bahwa pengalaman temporal
terlibat secara dasariah dalam saat pembuatan Injil Yohanes (the moment of production of the
Gospel) dan akibatnya terukir dan tercermin pada hasil akhir proses pembuatan itu. Pengalaman
temporal macam apakah yang terlibat dalam saat pembuatan Injil Yohanes?
Yang temporal pada umumnya dialami dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa
hidup karena peristiwa itu terjadi dan berkembang dalam waktu. Narasi melukiskan peristiwa-
peristiwa. Jadi faham tentang pengalaman temporal dapat diperoleh dari pengamatan terhadap
cara pengisahan peristiwa-peristiwa dalam suatu narasi. Dari cara sang pengarang mengatur
peristiwa-peristiwa dalam kisahnya, orang dapat memperoleh suatu gambaran tentang
bagaimana pengarang tersebut memandang pengaturan peristiwa dalam kehidupan nyata.
Pengaturan peristiwa-peristiwa dalam suatu narasi tercermin, antara lain, dalam cara si
pengarang mengatur unsur-unsur narasi. Kalimat majemuk, kalimat tunggal, dan kata-kata diatur
baik dengan menggunakan penghubung maupun tanpa penghubung (asyndetik). F. Blass dan A.
Debrunner (A Greek Grammar of the New Testament, # 462, # 460) mengamati bahwa Injil-Injil
Sinoptik secara konsisten menggunakan penghubung sedangkan Injil Yohanes tidak demikian.
Namun dalam Injil Yohanes, tidak digunakannya penghubung tidak menimbulkan kesan terburu-
buru (seperti kesan yang ditimbulkan oleh Markus dengan pemakaian euthys, “segera”),
melainkan perasaan mengalir yang lancar dan enak.
Kelancaran narator dalam mengisahkan peristiwa-peristiwa didukung pula oleh
penguasaan narator terhadap urutan peristiwa; petunjuk-petunjuk waktu dengan rapi disebarkan
dalam narasi, menuntun pembaca dari satu peristiwa ke peristiwa lain: urutan “keesokan
harinya” (1:29, 35, 43), tekanan pada “dekat” (2:13; 6:4; 7:2; 11:55), “saat”/”jam” (a.l., 1:39;
2:4; 4:52), dan kesadaran akan datangnya “saat” Yesus yang tak terhindarkan. Penguasaan
terhadap petunjuk waktu ini menunjukkan adanya kesadaran pengarang akan keberlaluan waktu.
Kesadaran semacam itu tercermin juga dalam penggunaan rumusan meta touto/tauta
(TIB: “sesudah itu”) sebagai konyungsi penuh, suatu pemakaian yang kerap ditemui secara khas
pada Yohanes (#459). Lebih penting lagi dalam hubungan dengan saat pembuatan Injil adalah
pemakaian “catatan kaki” (sering disebut juga “parentesis”, “komentar narator”), yang
merupakan ciri mencolok Injil Yohanes; ada sekitar 180 ayat yang dapat digolongkan sebagai
catatan kaki (yang umum dikenal misalnya 2:22; 7:39; 9:22; 19:35; 21:23b). Tak tergantung dari
mana asal catatan kaki ini, entah dari sang Penginjil sendiri ataupun dari redaktor kemudian,
komentar narator ini merupakan perwujudan keberlaluan waktu antara saat ketika peristiwa-
peristiwa yang dikisahkan dalam Injil terjadi dan saat ketika peristiwa-peristiwa itu dikisahkan
(kembali). Sesuai juga dengan kesadaran akan berlalunya waktu, tampak jelas dua aspek
pengalaman ini, yaitu “sebelum” dan “sesudah”.
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 11
Hipotesa ganda yang diajukan dalam penelitian penulis adalah: pembuatan Yoh
merupakan merupakan usaha, pertama-tama, untuk memperoleh kembali apa yang “sebelum”
itu, dan kedua, untuk mengantisipasi apa yang “sesudah” itu. Tesis penelitian penulis adalah:
pembuatan Yoh merupakan usaha untuk memberikan struktur dan mengorganisasikan momen
aktual pembuatan itu, dan hal ini terjadi sejauh momen itu menyatukan dan menghadirkan apa
yang “sebelum” dan “sesudah” momen aktual itu.
Fenomen catatan kaki jelas-jelas menunjukkan bahwa Yoh ditulis setelah suatu peristiwa
terjadi, peristiwa yang pada saat penulisan dianggap merupakan sesuatu yang secara dasariah
penting bagi kejadian-kejadian selanjutnya, sedemikian penting sehingga perlu dikisahkan dan
dengan demikian dibaca kembali di masa-masa selanjutnya. Jelas sekali Yoh diatur oleh proses
seleksi dalam pengisahan yang diatur oleh strategi retoris tertentu (bdk. 20:30-31). Maka momen
aktual pembuatan itu bukan hanya dipandang sebagai momen di masa lampau, pada saat Injil
Yoh de facto dituliskan, melainkan juga masa-masa selanjutnya, ketika Injil itu di buat (kembali)
dalam pembacaan dan dengan demikian strategi retoris itu mempengaruhi pembaca.
Dalam Yoh, waktu diulurkan secara retrospektif ke awal mula (1:1) dan secara prospektif
ke akhir jaman (5:28). Kesadaran akan berlalunya waktu itu bila diamati bukan hanya mencakup
yang “sebelum” dan “sesudah”, melainkan juga “momen aktual” pembuatan (kembali) Yoh,
dengan kata lain, mencakup juga distingsi “masa lalu”, “sekarang”, dan “masa depan”. Perhatian
Yoh terhadap waktu itu bukanlah demi waktu itu sendiri, melainkan demi apa yang dihadirkan
oleh masing-masing momen waktu itu. Apakah yang dihadirkan ini menurut Yoh?
Dalam konteks ini jalan penelitian dipengaruhi oleh pengalaman pribadi penulis. Penulis
saat itu sedang mengalami apa yang disebut oleh Frank Kermode dalam The Sense of an Ending
(1967) sebagai “kebutuhan pada suatu saat hidup untuk menjadi bagian, atau terhubung pada
suatu awal dan akhir” (h. 3) yang melahirkan hasrat “mengenal bentuk kehidupan sehubungan
dengan perspektif waktu” (h. 3).
Aristoteles dalam Problemata (XVII, 916a34) melaporkan bahwa Alcmaeon, seorang
tabib dari Croton, mengamati bahwa orang meninggal dunia karena tak dapat menggabungkan
“awal” (archê) dengan “akhir” (telos). Saat itu penulis bagaikan tersentak dari keberlangsungan
hidup sehari-hari ketika sesuatu yang mengakhiri waktu, yaitu Sang Kematian, tampak begitu
nyata akibat kematian mendadak ayah penulis pada awal riset penulis di Inggris. Bagaikan ritus
pengusiran setan, upaya mengungkapkan pengalaman ini dalam suatu tulisan merupakan usaha
untuk -meminjam istilah Paul Ricoeur tentang fungsi narasi- mengusir “ketaksesuaian”
(discordance) dan menegakkan “kesesuaian” (concordance) dalam hidup, atau -secara idealistis-
mengubah “dunia yang amburadul” (chaos) menjadi “dunia yang teratur” (cosmos) atau -paling
sedikit- melihat suatu cosmos dalam chaos.
Maka dari itu, berdasarkan pengalaman pribadi dan pengenalan terhadap Yoh
dirumuskan bahwa pencarian Yoh terhadap ketiga momen waktu itu diungkapkan dalam istilah:
destiny, yang menghadirkan masa depan; origins, yang menghadirkan masa lalu; dan immediacy,
yang menghadirkan masa kini.
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 12
III. STRUKTURISASI WAKTU DALAM YOHANES
1. Pembauran antara awal dan akhir:
Dalam Yoh bisa diamati tiga bagian pokok: prolog, isi, dan epilog. Orang menduga bahwa
Prolog kecil (1:1-18) berasal dari himne/kidung liturgis berisi pujian terhadap Logos yang
kemudian ditambahkan pada isi (seperti Prakata pada buku). Banyak juga yang berpendapat
bahwa bab 21 bukan ditulis oleh yang menulis Yoh 1-20. Berdasarkan pendekatan naratif,
masalah ini tak dipersoalkan; apalagi dari kritik stilistik seseorang bisa sampai pada dua
kesimpulan yang bertolak belakang. Akan dilihat bagaimana antara Awal dan Akhir ada suatu
kesesuaian yang besar dari sudut ruang dan waktu, suasana, situasi tempat, tokoh Yesus, tokoh
Petrus, tokoh Murid yang anonim atau yang dikasihi, dll.
Epilog Yoh diakhiri dengan suatu visi akan ketakterbatasan ruang (21:25: “tak cukuplah
dunia memuat ...) sedangkan Prolog Yoh diawali dengan ketakterbatasan waktu (1:1: “pada
permulaan ...”). Yang pertama berhubungan dengan kehadiran sang Sabda (ho logos) sedangkan
yang terakhir berhubungan dengan kemungkinan kehadiran kitab-kitab (ta biblia), jadi secara
tersirat dengan realitas sang Kitab (to biblion), yaitu teks Injil Yohanes sendiri. Tak
mengherankan bila prosentase kata-kata langsung Yesus dibandingkan keseluruhan teks
Yohanes jauh lebih besar bila dibandingkan dengan yang terdapat dalam Sinoptik.
Prolog Yoh tak bisa dibatasi hanya pada 1:1-18. Bagian integral Prolog itu adalah
kesaksian Pembaptis, jadi Prolog bisa diperluas sampai 1:51.
Selain itu dapat dilihat bahwa Epilog (21:1-25) seakan-akan mencerminkan kembali
Prolog dalam arti luas ( 1:1-51); ada semacam inklusio berdasarkan unsur-unsur berikut:
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 13
Prolog Besar (1:1-51) Epilog (21:1-25)
-Berangkat dari luar waktu & ruang -(Kembali ke luar waktu & ruang?)
(pada awal mula) (ambiguitas tujuan Yesus dan Petrus)
-Tempat: Sungai Yordan & Tepi sungai -Tempat: Danau Galilea & Tepi danau
-Waktu: sebelum Paska -Waktu: sesudah Paska
-Suasana: konflik gelap dan terang -Suasana: malam dan pagi
-Pembaptis menunjuk pada Yesus -MD menunjuk pada Yesus (21:7)
-Petrus disebut “anak Yohanes” (1:42) -Petrus disebut “anak Yohanes” (21:15)
-Petrus menjadi “Karang” -Petrus menjadi “Gembala”
-Perintah Yesus: “Ikutilah Aku!” (1:43) -Perintah Yesus: “Ikutilah Aku!” (21:22)
-Diawali dengan situasi -Diakhiri dengan situasi:
Peristiwa 3 orang: Yesus berjalan diikuti Peristiwa 3 orang: Yesus berjalan diikuti:
-kata ”berbalik .... melihat” (1:38) -kata ”berbalik... melihat” (21:20)
-kata ”... mengikuti” (1:38) -kata ”... mengikuti” (21:20)
-sebutan Yesus: ”Guru” (1:38) -sebutan Yesus: ”Tuhan” (21:21)
-Yesus bertanya (1:38) -Yesus ditanya (21:21)
“apa yang kau cari” “apa halnya dengan dia?”
-kata ”... datang” (1:39) -kata ” .... datang” (21:22)
-Yesus diikuti oleh: -Yesus diikuti oleh:
1. saudara Petrus (Andreas) 1. Petrus
2. anonim (hampir pasti: MD) 2. Murid yang Dikasihi
-kata “... tinggal “ (1:39) -kata “...tinggal” (21:22).
Selain unsur-unsur di atas, dapat juga diamati adanya sirkularitas lain di dalam kisah
Yoh. Baik awal kisah karya Yesus (1:1 - 2:11) maupun akhir karya Yesus (12-19) ditandai oleh
periode tujuh hari. Jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada situasi dan unsur-unsur situasi yang
sejajar antara akhir dan awal. Strategi pembauran ini mengajak pembaca untuk kembali lagi ke
awal setelah sampai pada akhir dan seterusnya. Dengan kata lain, kisah injil itu tak pernah
selesai!
Akhir Yoh tak dapat dikategorikan sebagai “closed ending”, melainkan “open ending”.
Berdasarkan analisa naratif (didukung pula oleh kritik sumber), dapat dilihat bahwa kisah pada
Epilog memuncak dan bermuara pada pernyataan Yesus yang bangkit tentang nasib Murid yang
Dikasihi. Berbeda dengan kesimpulan umum bahwa Yoh pasti ditulis setelah MD itu wafat, dari
teks itu sendiri tak dapat disimpulkan apa-apa tentang saat wafat MD. Bahkan dapat dilihat
bahwa nasib MD itu dibiarkan “menggantung”, ambigu. Peralihan kata ganti “dia”, “kami”,
“saya” pada akhir Injil (21:24-25) disoroti dari tehnik narasi “trick of double reference” (J.L
Staley mengutip Sternberg) semakin mengaburkan lagi nasib MD itu. Peralihan narator itu tak
dapat lagi dilihat sebagai bukti akan adanya tangan-tangan redaksional di situ (seperti
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 14
disimpulkan dalam kritik teks), melainkan sebagai strategi narator meyakinkan dan melibatkan
pembaca dalam strategi retorisnya.
Close reading terhadap Yoh 21 menghadirkan suatu ambiguitas nasib bagi murid yang
dikasihi Yesus. Kematian muncul kembali pada akhir, setelah seakan-akan dikalahkan di dalam
kisah. Bukan hanya masalah mati/tidaknya MD, melainkan juga bayangan akan kematian Petrus,
yang diinsinuasikan pada akhir Injil. Berakhir dengan ambiguitas ini, pembaca dipaksa kembali
menelusuri kisah dari awal, dan menemukan suatu poros narasi yang menurut pengarang Yoh
dapat menyelesaikan ambiguitas tentang masalah hidup dan mati itu. Salah satu kunci adalah
keterangan narator bahwa kematian Petrus adalah sekaligus pemuliaan Allah. Bagaimanakah
sesuatu yang mewaktu (temporal), atau bahkan meniadakan waktu seperti halnya kematian,
dapat mempunyai pengaruh (atau bahkan mendatangkan) keabadian?
2. Pengalaman Paska sebagai poros narasi dan hidup:
Untuk memahami suatu kisah, penting diamati plot kisah tsb. Plot dapat dilihat dari berbagai
segi, a.l. dari struktur kisah itu. Pembagian struktur Yoh yang biasa dianut adalah pembagian
yang diusulkan oleh Raymond E. Brown dalam komentarnya (1966), yaitu:
1. Kitab Tanda-tanda (Yoh 1-12)
2. Kitab Kemuliaan (Yoh 13-21)
Dari satu segi skema ini memang sederhana, tapi bila diamati ternyata ada kemungkinan orang
salah tafsir seakan “tanda” Yoh (mukjizat) bisa dipisahkan dari “kemuliaan” yang mau
ditandakan, lih. Yoh 2:11: jelas bagaimana dalam “tanda pertama” di Kana, kemuliaan Yesus
sudah dinyatakan dan dipahami oleh para murid.
Dari narasi tampaknya wafat Yesus di salib mau dihadirkan sebagai tanda par
excellence. Dengan begitu ada tujuh tanda Yoh: perubahan air menjadi anggur (bab 2),
penyembuhan putra perwira (4), penyembuhan orang lumpuh (5), pergandaan roti (6),
penyembuhan orang buta (9), pembangkitan Lazarus (11), wafat/kebangkitan Yesus. Semua
tanda ini ditandai oleh angka “tujuh”. Dari urut-urutan hari pada pekan awal karya Yesus (1:19-
51) maupun pada akhir karya Yesus (setelah 12:1) tampaknya tanda pertama di Kana (yang
disebut sebagai “arketipe tanda”, 2:11, jadi bukan sekedar sebagai yang “pertama”) dan tanda
par excellence dijatuhkan pada hari ketujuh.
Selain itu, dalam terjemahan Jerusalem Bible dilihat struktur lain, yaitu pembagian Yoh
berdasarkan pesta-pesta Yahudi yang disebutkan dalam Yoh:
1. Pesta Paska (2:13)
2. Pesta anonim (5:1)
3. Pesta Paska (6:4)
4. Pesta Pondok Daun (7:2)
5. Pesta Penahbisan Bait Allah (10:22)
6. Pesta Paska (11:55)
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 15
Pembagian ini kelihatan menarik, namun bila alur kisah dan elemen-elemen kisah
diperhatikan, akan tampak bahwa kejadian-kejadian dalam kurun waktu Pesta Pondok Daun
dihubungkan secara erat dengan peristiwa penyembuhan bab 5 (lihat: 7:23-25). Dapat diamati
pula bagaimana kisah penyembuhan orang buta (bab 9) meneruskan tema Pesta Pondok Daun
(tema cahaya), dan bagaimana pula kurun waktu Penahbisan Bait Allah (bab 10) dikaitkan
dengan Pondok Daun (skisma pada 7:43; 9:16; 10:19; pelemparan batu pada 8:59; 10:31) dan
semua ini dikaitkan dengan bab 11 (pelemparan batu, 11:8). Jadi tampak bagaimana periode
kedua meliputi bab 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Di situ tampak bagaimana usaha orang-orang
Yahudi untuk membunuh Yesus (5:18) akhirnya memuncak dalam keputusan resmi Sanhedrin
untuk memusnahkan Yesus (11:53). Periode itu diawali dengan seruan “berdirilah” terhadap
orang yang lumpuh (5:8) dan memuncak pada pembangkitan Lazarus (11).
Pesta anonim pada 5:1 selalu menjadi bahan perdebatan. Ada macam-macam usul, segala
macam pesta pernah diusulkan sebagai calon: Tahun Baru, Pondok Daun, Pentakosta, dan Paska.
Namun macam-macam usul ini mengalami kesulitan, justru karena dari kisah terlihat kesatuan
waktu yang erat antara bab 5-11: kejadian-kejadian itu berturutan dalam waktu singkat. Bahkan
pernah diusulkan untuk mengubah susunan bab, jadi bab 6 datang setelah bab 5, sehingga
dengan demikian 5:1 adalah Pesta Paska yang dimaksudkan dalam 6:4 (Paska sudah dekat).
Biasanya pada hari Paska, Yesus ke Yerusalem, hanya setelah 6:4 (pada tempatnya yang
sekarang) saja Yesus tidak ke sana; ia baru ke Yerusalem lagi pada Paska berikut (12:1).
Keanehan ini diterangkan oleh Thomas Aquinas dengan mengatakan bahwa tentu saja, sebagai
manusia, Yesus harus tunduk pada aturan Yahudi (minimal tiga kali ke Yerusalem: Paska,
Pentakosta, Pondok Daun), tapi dia juga Allah karena itu tak perlu taat!
Berdasarkan penelitian momen kisah, tema maupun argumen filologis, diusulkan
membaca kata enggys pada 6:4 bukan sebagai acuan ke masa depan (“sudah dekat” “akan segera
datang”), melainkan sebagai acuan ke masa lalu (“baru saja lewat”) seperti pernah diusulkan
juga oleh Ireneaus. Dengan demikian maka kesatuan waktu bab 5-11 maupun tema tetap dapat
dipertahankan.
Maka dari itu struktur yang diajukan dalam penelitian adalah membaca Yoh dalam
kerangka tiga pesta Paska. Siklus Paska I melibatkan pula saat-saat 1:19-2:11 dan sampai 4:54:
inklusio dari Kana ke Kana. Siklus Paska II melibatkan peristiwa bab 5 sampai dengan bab 11:
inklusio dari Yerusalem ke Yerusalem. Baik Siklus I dan II dapat dilihat sebagai gerakan dari
Betania (seberang Yordan) sampai Betania (dekat Yerusalem). Dan Siklus Paska III terjadi di
Yerusalem. Jadi sekitar dua tahun narrated time dikisahkan dalam 11 bab time of narrating (1-
11); dua hari dalam 1 bab (12) dan satu hari dalam 6 bab (13-19). Dalam saat-saat menjelang
wafat Yesus, waktu tampak seakan melambat, bahkan berhenti (15-17).
Dibaca berurutan dengan Paska sebagai poros narasi akan dialami bagaimana dalam
quest for destiny datangnya “saat” Yesus itu selalu diantisipasi (enggys) dan dengan demikian
pembaca diajak mengalami pula nasib/misi protagonis dalam hidupnya. Dalam quest for origins
pembaca akan diajak pula menggapai masa lalu, bukan sekedar sebagai masa lalu, namun
Martin/Waktu dalam Yoh/hal. 16
sebagai archê hidupnya. Dan akhirnya, dalam quest for immediacy, lewat tehnik kronologisasi
(perhatian penuh pada linearisasi waktu) dan detemporalisasi (misal peleburan saat kematian,
kebangkitan, kenaikan, Pentakosta, bahkan Parousia), lebih-lebih lewat ungkapan “kai nyn
estin” (yang lebih berarti “inilah dia” dan bukan “dan kinilah saatnya”) dapat dilihat bagaimana
teks itu sendiri mencoba menghadirkan pada pembaca masa mana pun apa yang sebenarnya tak
dapat diperantarai, karena itu tampak juga bagaimana dikotomis eskatologi (atau futuristis atau
sudah terjadi) tak perlu ada.
Teks yang percaya pada strategi retorisnya sendiri sebagaimana terungkap dalam tujuan
penulisan Injil (Yoh 20:30-31) pada akhirnya harus menarik pembaca pada kehadiran Dia yang
tak jelas berada di mana dan mau ke mana (ambiguitas posisi Yesus pada Epilog, Yoh 21), serta
harus mengakui keterbatasannya sebagai teks yang hanya berfungsi sebagai kesaksian (21:24-
25). Dengan demikian pembaca diajak kembali pada peringatan Yesus kepada para ahli Taurat
pada Paska II, yaitu agar mereka melampaui teks tertulis dan sampai pada Dia sendiri (5:39) dan
baru dengan demikian orang sampai pada hidup kekal. Paska II unik di dalam narasi karena
hadir hanya sebagai acuan ke masa lalu (6:4: Paska baru saja lewat).
PENUTUP
Demikianlah lewat tiga aspek pencarian itu, pembaca, yang pada awal teks, sudah dihadapkan
pada sesuatu yang di luar waktu, “Pada awal mula adalah ....” (1:1); dan dalam sepanjang kisah
Yohanes, berjumpa dengan kenyataan bahwa yang di luar waktu itu kemudian dapat dijumpai di
dalam waktu, “dan Sabda menjadi daging” (1:14); akhirnya, pada akhir teks, diharapkan
mengalami bahwa yang di luar maupun di dalam waktu akhirnya menyatu di dalam dirinya,
bagaikan mata air yang mengalir, menghidupi dan mengarahkan kehidupan temporal si
pembaca, “mata air yang mengalir ke kehidupan kekal” (4:14; cf. 20:30; 7:38). Di sinilah orang
sampai pada pengalaman Roh Kudus menurut Yohanes. Dengan demikian tampak pula dasar-
dasar pengalaman Trinitarian dalam penghayatan waktu Yohanes: Bapa sebagai Origins, Roh
sebagai Destiny, dan Yesus yang Tersalib/Bangkit sebagai Immediacy.
(Bahan ini disampaikan secara lisan pada Pertemuan Dosen-dosen Alkitab Protestan-Katolik VI
yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia & Fakultas Teologia Universitas Kristen
Duta Wacana di Wisma Syantikara, Yogyakarta, 6-9 Agustus 1995, dan kemudian dituliskan
dalam bentuk makalah untuk dibacakan pada pertemuan dosen FTW/FT USD, Yogyakarta 11
Maret 1997)