Strategi Perikanan Lampung

276
STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA (STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG) TRI HARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

description

A Strategic Business Approach To Fishery Development in Lampung

Transcript of Strategi Perikanan Lampung

STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN

TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA (STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)

TRI HARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Integrasi

Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di

Teluk Lampung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2009

Tri Hariyanto NRP C561030204

ABSTRACT TRI HARIYANTO. 2009. Integrating Strategy on Development of Capture Fisheries and Aquaculture (Case Study in Lampung Bay). Under supervision of MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN, BUDHI HASCARYO ISKANDAR The objectives of this study were to asses the feasibility and development strategy for capture fisheries based on marine culture and described as follows: (1) to identify and formulate selection methods for potencial commodities for capture fisheries base on marine culture as well as financial feasibility, (2) to determinate development priority, (3) to arrange the development strategy and empowerment technique of institution in capture fisheries based on marine culture, and (4) to formulate an alternative development model for capture fisheries based on decisión support system (DSS). Development system was designed in decision support system based on computer program package called as CAP-AQUADEV. Potency of fish resources was carried out using descriptive survey method. Compatible land was carried out by weighted Selection of priority potencial commodity and determination of ideal fishing gear were performed using OWA method. Criteria applied to find out feasibility level were NPV, Net B/C, and IRR. Strategy análysis performed using AHP method. Analysis of element interrelationship using ISM method. Verification of the DSS CAP-AQUADEV in South Lampung Province showed that South Lampung Province, in term of marine fish resources was declining. Ideal fishing gear was fish trap. Potential commodity for capture fisheries based on marine culture was snapper. In term of financial perspective, those marine culture was suitable for condition and potency of development area and feasible to be implemented. Strategic analysis informed that development of capture fisheries based on marine culture was optimization the use of fish resources and marine culture. Determinative factors in development of capture fisheries based on marine culture were information about marine culture activity, infrastructure which support development of capture fisheries based on marine culture, and interrelationship. Meanwhile, the objective of capture fisheries based on marine culture development should be directed to increase fish production, local goverment income, and increase economic growth. The key elements of the players in development capture fisheries based on marine culture were fisherman of capture fisheries, fisherman of marine culture, and society. Bureaucracy amenity was the key elements of program requirement. Investment fund was the key elements for development constrain. The measure of the achievement was increasing amount and income of marine culture fisherman. Increasing investment was the key element of development program. Activities needed for action plan was coordination among sectors. Increasing fisherman income was key element of development succes. The key elements of change program was increasing income of marine culture fisherman. Fisherman of capture fisheries and marine culture were the key element of consumer elements. Keywords: capture fisheries, marine culture, ideal fishing gear, potential

commodity, feasibility, strategy, interrelationship, CAP-AQUADEV

RINGKASAN TRI HARIYANTO. 2009. Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung). Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN DAN BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Prospek pengembangan perikanan di Indonesia cukup baik, mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat makin menurunnya kualitas sumber daya alam (SDA). Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha budidaya. Oleh sebab itu, sosok integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan. Secara khusus tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) menganalisis potensi SDI, (2) menganalisis kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan, (3) menganalisis teknologi penangkapan ikan yang ideal, (4) mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial, serta kelayakan usahanya, (5) menyusun prioritas pengembangan, (6) menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan, dan (7) mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis Sistem Penunjang Keputusan (SPK).

Sistem pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budiaya yang terintergasi dirancang dalam statu program komputer dengan nama CAP-AQUADEV. Sub model potensi SDI dilakukan secara survei deskriptif, sub model kesesuaian lahan dilakukan dengan analisis kesesuaian lahan, sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial dirumuskan dengan ordered weighted averaging (OWA), sub model kelayakan dirumuskan dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR), sub model strategi dirumuskan dengan metode analytical hierarchy process (AHP), dan sub model kelembagaan dirumuskan dengan metode interpretative structural modelling (ISM).

Berdasarkan verifikasi model CAP-AQUADEV di Lampung Selatan, sub model potensi SDI menunjukkan adanya peningkatan trend Catch Per Unit Effort (CPUE).

Berdasarkan analisis pada sub model kesesuaian lahan diketahui bahwa pada dasarnya lahan perairan yang ada menunjukkan punya potensi untuk dikembangkan dan layak untuk kegiatan budidaya ikan

Berdasarkan analisis pada sub model pemilihan diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan yang ideal untuk dikembangkan di Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu, sedangkan komoditas potensial terpilih adalah ikan kerapu.

Berdasarkan analisis strategi (sub model strategi) diketahui bahwa pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya diprioritaskan untuk optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut. Pada analisis ini diketahui pula bahwa faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yaitu informasi mengenai kegiatan budidaya laut, sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan perikanan budidaya laut,

dan kelembagaan. Sedangkan tujuan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan daerah, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pada analisis keterkaitan antar elemen dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (sub model kelembagaan) diketahui bahwa pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Kemudahan birokrasi merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan pengembangan. Tujuan kunci dari program pengembangan adalah peningkatan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Keterbatasan modal merupakan unsur kunci dari kendala pengembangan yang harus diatasi. Nelayan dan pembudidaya merupakan unsur kunci dari unsur pengguna.

Model konseptual dalam sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya ini dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan kebijakan bagi para pengambil keputusan baik dilingkungan pemerintah daerah maupun pelaku usaha untuk mengembangkan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk membuat prioritas pilihan kebijakan dalam menentukan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial daerah serta strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.

Kata kunci : perikanan tangkap, perikanan budidaya, alat penangkapan ikan,

komoditas potensial, kelayakan, strategi, integrasi, CAP-AQUADEV

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA

(STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)

TRI HARIYANTO

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan

Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung ) Nama : Tri Hariyanto NIM : C 561030204

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si. Anggota

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Anggota

Mengetahui

Program Studi Teknologi Kelautan, Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 28 Desember 2009 Tanggal Lulus :

Disertasi ini kami persembahkan kepada : Kedua orang tuaku Drs Aris Moenandar dan Sih Kasanah (Alm)

yang telah mendidik, membimbing dan membesarkan serta menyayangi kami Kedua mertua tercinta Soekro Poerwodipoero (Alm) dan Buntarijah Soekro

Isteri tercinta : Rr Rita Kunsidiarti, anak-anakku tersayang : Adhyaksa Saktika Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria

Dewanto, yang selalu memberikan dorongan dan spirit dalam menyelesaikan studi dan bekerja.

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,

karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Strategi Integrasi Pengembangan

Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung)” ini

berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan – Institut

Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi bagi

pembangunan perikanan khususnya untuk Kabupaten Lampung Selatan. Penulis

dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada

Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta do’a dari

ayahanda Drs. Aris Moenandar dan ibunda Sih Kasanah (almh) yang paling

penulis hormati, serta isteri tercinta Rr Rita Kunsidiarti. .

Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, MSi

selaku Anggota Komisi Pembimbing Disertasi;

2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka;

3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan;

4. Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi

Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB;

5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. M, Fedi A. Sondita, MSc.. selaku

penguji luar pada Ujian Tertutup;

6. Dr. Ir. Made L Nurdjana,. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;

7. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;

8. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, yang selalu memberikan

dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi S3 Teknologi

Kelautan IPB;

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih

atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada :

1. Dr. Ir. M. Murdjani, MSc. Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut,

Lampung.

2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Propinsi Lampung;

3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan;

4. Dr. Agus Suherman, SPi, MSi, Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Diponegoro Semarang

5. Teman-teman seangkatan dan teman-teman dari Sekretariat Pascasarjana

IPB, khususnya Pak Jayana, Mbak Shinta, Mbak Hani, Mas Iwan dan lain-

lainnya dalam membantu penyelesaian administrative perkuliahan dan

disertasi ini;

6. Teman-teman se kantor khusus pada Rifki, Wahid, Andi dan Erie Suhaeri

yang selalu membantu dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini;

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi

Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan, IPB.

Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya

penentu kebijakan dan pelaku perikanan khususnya di daerah penelitian yaitu

Kabupaten Lampung Selatan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan di

bidang perikanan

Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi

contoh dan penyemangat bagi anak-anakku tersayang yaitu : Adhyaksa Saktika

Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria Dewanto dan

generasi penerus lainnya untuk mencapai jenjang pendidikan yang tertinggi.

Bogor, Desember 2009

Tri Hariyanto

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 02 Desember

1958 dari ayah Drs. Aris Moenandar dan ibu Sih Kasanah. Penulis merupakan

putra ke 3 dari 7 bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada Sekolah Dasar

Peterongan I di Semarang pada tahun 1971 dan penulis melanjutkan pada

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II di Semarang dan diselesaikan

pada tahun 1974. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan penulis pada tahun

1977 pada SMA Negeri III-IV di Semarang.

Penulis melanjutkan pandidikan tinggi mengambil jurusan Perikanan pada

Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Diponegoro dan diselesaikan

pada tahun 1984. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 dan

mengambil jurusan Manajemen Sumberdaya Manusia pada Fakultas Ekonomi,

Universitas Trisakti, Jakarta, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2003 penulis

melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi

Teknologi Kelautan.

Pada bulan Juli 1988, penulis menikah dengan Rr. Rita Kunsidiarti dan

dikarunia 3 putra, yaitu : Adhyaksa Saktika Drestanto, mahasiswa jurusan Ilmu

Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip, Anindita Fitria

Listyanti, mahasiswa jurusan Psikologi pada Fakultas Psikologi Undip dan

Adhyastantio Satria Dewanto yang masih di kelas I SMP.

Penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen

Pertanian pada tahun 1985 sebagai staff teknis pada Direktorat Penyuluhan.

Selama bekerja pada Direktorat Penyuluhan penulis pernah mengikuti berbagai

pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyuluhan. Pada tahun 1999 penulis

diangkat menjadi Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perbenihan, Ditjen

Perikanan, disini penulis juga mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang

perbenihan diantaranya di Philippina, Thailand dan China. Pada tahun yang

sama terjadi reorganisasi pada Departemen Kelautan dan Perikanan, penulis di

mutasi pada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya sampai dengan sekarang

dan pada tahun 2008 penulis mendapat kepercayaan dari pimpinan untuk

menjabat sebagai Direktur pada Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan,

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Selama di Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan penulis ikut berbagai

pertemuan internasional diantaranya COFI (Committee on Fisheries) di Roma,

NACA di Thailand dan APFIC (Asia Pacific Fisheries Committee) di Colombo.

Pada tanggal 3 Desember 2009 yang lalu penulis mendapat jabatan baru dan

telah dilantik menjadi Direktur Usaha Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya,

Departemen Kelautan dan Perikanan.

Berbagai penghargaan yang penulis dapatkan diantaranya pemenang

lomba lukis, pemenang Lomba Kartun di Semarang, pameran karikatur di

Semarang, pemenang lomba logo ISPIKANI (Ikatan Sarjana Perikanan

Indonesia) yang digunakan sebagai logo ISPIKANI sampai dengan sekarang dan

mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20 tahun dari

Presiden RI.

Bogor, Desember 2009

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii

1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 10 1.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 13 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 15 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................... 15 1.6 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 16 1.7 Hipotesis .............................................................................................. 16

2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 17

2.1 Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap ...................................... 17 2.2 Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya ..................................... 20 2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya .................... 24 2.4 Teori Sistem ........................................................................................ 32

2.4.1 Pengertian sistem ....................................................................... 32 2.4.2 Sistem manajemen ahli .............................................................. 34 2.4.3 Sistem penunjang keputusan ..................................................... 36 2.4.4 Sistem pakar............................................................................... 38

2.5 Penelitian Terdahulu............................................................................ 41

3 METODOLOGI ............................................................................................ 43

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 43 3.2 Tahap Penelitian ................................................................................. 43 3.3 Metoda Pengumpulan Data ................................................................. 44 3.4 Metode Pengolahan Data ................................................................... 45 3.5 Pendekatan Sistem .............................................................................. 59

3.5.1 Analisis kebutuhan .................................................................... 59 3.5.2 Formulasi permasalahan .......................................................... 62 3.5.3 Identifikasi sistem ..................................................................... 63

3.6 Konfigurasi Model ................................................................................ 66 3.6.1 Sistem manajemen dialog ........................................................ 67 3.6.2 Sistem manajemen basis data .................................................. 68 3.6.3 Sistem manajemen basis model ............................................... 68 3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat .................................................... 68

3.7 Model CAP-AQUADEV ....................................................................... 68

4 HASIL .......................................................................................................... 70

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 70 4.1.1 Letak geografis dan topografis ................................................... 70 4.1.2 Demografii .................................................................................. 74 4.1.3 Kondisi perikanan ...................................................................... 75

4.2 Perikanan Tangkap .............................................................................. 79 4.2.1 Produksi perikanan ..................................................................... 80 4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap ........................................... 80

xii

4.2.3 Kapal penangkap ikan ................................................................ 81 4.3 Perikanan Budidaya Laut ..................................................................... 82 4.4 Model CAP-AQUADEV ........................................................................ 84 4.4.1 Potensi sumberdaya ikan .......................................................... 84 4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA) .......................................................................................... 95 4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan ..................................... 98 4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya ..................................................................... 100 4.4.5 Kelayakan investasi ................................................................... 102 4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................... 103 4.4.7 Kelembagaan ............................................................................. 106

5 PEMBAHASAN ............................................................................................ 123

5.1 Kondisi Perikanan Tangkap ................................................................. 123 5.2 Perikanan Budidaya Laut ..................................................................... 125 5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya .............................................................................................. 128 5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan

Tangkap dan Perikanan Budidaya ....................................................... 129 5.4.1 Sub model potensi ...................................................................... 129 5.4.2 Sub model kesesuaian lahan ...................................................... 137 5.4.3 Sub model pemilihan .................................................................. 139 5.4.4 Sub model kelayakan ................................................................. 141 5.4.5 Sub model strategi ...................................................................... 142 5.4.6 Sub model kelembagaan ............................................................ 146

6 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 148

6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 148 6.2 Saran ................................................................................................... 149

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 151

LAMPIRAN ........................................................................................................ 158

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Matrik pengambilan dan analisa data penelitian ...................................... 45

2 Nilai skala banding berpasangan ............................................................. 55

3 Matriks elemen ......................................................................................... 55

4 Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor prioritas ..................................................................................................... 56

5 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 ........................................ 57

6 Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan ............................. 74

7 Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan tahun 2007 ................................................................. 75

8 Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai kagiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 .............................. 76

9 Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 ......................................................................... 77

10 Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 ...................................................................................... 77

11 Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan ................................... 78

12 Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga kerja perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998-1999 .................................. 79

13 Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006 .......................................................................................................... 81

14 Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan . 82

15 Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ....... 83

16 Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ................................................................... 83

17 Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ................................................................... 83

18 Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007 .......................................... 84

19 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 85

20 Catch, Effort dan CPUE ikan demersal .................................................... 85

21 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung ...... 87

22 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 87

23 Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil ............................................... 88

24 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung . 90

25 Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 90

xiv

26 Catch, Effort dan MSY crustacea ............................................................. 91

27 Tingkat pemanfaatan crustacea ............................................................... 92

28 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung ................ 93

29 Catch, Effort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung ........................... 93

30 Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung .................... 95

31 Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan ............................................ 96

32 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ............................................................... 99

33 Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan .............................. 99

34 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 100

35 Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya laut .............................................................................. 101

36 Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ................ 102

37 Skala prioritas komoditas potensial terpilih di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 102

38 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan .................................. 103

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan untuk

memenuhi kebutuhan konsumen ............................................................. 3

2 Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap ................... 4

3 Skema pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya ..................... 5

4 Diagram alir perumusan masalah penelitian ............................................ 13

5 Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli .................................... 35

6 Struktur sistem manajemen ahli ............................................................... 36

7 Struktur dasar sistem penunjang keputusan ........................................... 37

8 Struktur dasar sistem pakar ...................................................................... 39

9 Bagan alir proses penelitian ..................................................................... 44

10 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya .................................................................................... 64

11 Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................................. 65

12 Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 67

13 Perkembangan produksi ikan di kabupaten lampung selatan selama kurun waktu 2002-2006 ............................................................................ 80

14 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006 ...... 81

15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung .......................................... 82

16 Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 ........................... 84

17 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung .... 86

18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung ...................... 86

19 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung ................................................................................................... 89

20 Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung .......................... 89

21 Kurva produksi lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung ........... 91

22 Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung ............................. 92

23 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung ........ 94

24 Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung .......................... 94

25 Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di Teluk Lampung ..................................................................................... 96

26 Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung ..................................................................... 97

27 Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung ............... 98

xvi

28 Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 104

29 Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 107

30 Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................................................................................................... 108

31 Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 109

32 Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................. 110

33 Hirarki elemen kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 111

34 Grafik driver power dependence kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 111

35 Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 112

36 Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya 113

37 Hirarki elemen tujuan dari program pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ........................................................................... 114

38 Grafik driver power dependence elemen tujuan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................ 115

39 Hirarki elemen keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 115

40 Grafik driver power dependence keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 116

41 Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 117

42 Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 118

43 Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 119

44 Grafik driver power dependence pelaku pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................................. 119

45 Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 120

46 Grafik driver power dependence untuk pencapaian tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 121

47 Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan ......... 130

48 Tren produksi dan effort perikanan tangkap di Provinsi Lampung ........... 130

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi

penangkapan ikan di Teluk Lampung...................................................... 158

2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 160

3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 162

4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 165

5 Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 168

6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 169

7 Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 171

8 Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 172

9 Analisis keseuaian lokasi budidaya laut dengan karamba jaring apung . 174

10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan ................................................... 176

11 Pemilihan komoditas potensial ................................................................ 183

12 Analisis finansial budidaya udang vaname sederhana ........................... 190

13 Analisis finansial budidaya udang vaname semi intensif ........................ 193

14 Analisis finansial budidaya udang vaname intensif ................................. 196

15 Analisis finansial budidaya udang windu sederhana ............................... 199

16 Analisis finansial budidaya udang windu semi intensif ............................ 202

17 Analisis finansial budidaya udang windu intensif .................................... 205

18 Analisis finansial budidaya rumput laut ................................................... 208

19 Analisis finansial budidaya kerapu macan .............................................. 211

20 Analisis finansial budidaya bandeng ....................................................... 214

21 Analisis finansial pancing rawai .............................................................. 217

22 Analisis finansial pancing ulur ................................................................. 218

23 Analisis finansial jaring lingkar (pure seine) ............................................ 219

24 Analisis finansial jaring insang (gill net) .................................................. 220

25 Analisis Kelembagaan dengan ISM ...................................................... 221

26 Gambar dokumentasi Penelitian ............................................................. 241

27 Ilustrasi program CAP-AQUADEV .......................................................... 250

28 Surat Keterangan ................................................................................... 251

DAFTAR ISTILAH

Analisis kebutuhan Merupakan permulaan pengkajian dari suatu system, menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengembil keputusan terhadap jalannya system, dan dapat meliputi hasil suatu survey, pendapat ahli, diskusi, observasi lapang dan sebagainya.

Analytical Hierarchy Process (AHP)

Metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut.

Berkelanjutan Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.

CAP-AQUADEV Perangkat lunak computer yang dapat digunakan untuk perencanaan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi penulis di Email: [email protected]

CPUE

Catch Per Unit Effort, yaitu hasil tangkapan per satuan upaya, indeks kelimpahan.

Consistency Ratio (CR)

Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak.

Decision Support System (DSS)

System Penunjang Keputusan (SPK), yaitu system yang berfungsi mentransformasi data dan informasi menjadi alternative keputusan dan prioritasnya. DSS bermanfaat membantu pengembilan keputusan secara interaktif.

Expert (ahli) Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.

Input Indicator masukan, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.

Internal Rate of Return (IRR)

Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol.

Interpretative Structural Modeling (ISM)

Teknik permodelan interpretasi struktural, yaitu salah satu teknik permodelan berbasis komputer yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis yang merupakan proses pengkajian kelompok (group learning precess) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang

dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.

Kapal Perikanan Kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.

MSY Maximum sustainable yield, yaitu produksi maksimum berkelanjutan secara biologi, jumlah suatu hasil tangkapan maksimum yang dapat dipanen dari suatu sumber daya ikan tanpa mengganggu kelestariannya.

Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi.

Net Present Value (NPV)

Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.

Output Indicator keluaran, yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik.

Pendekatan sistem Suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian manajemen system dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai cirri dasar system yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu system.

Pengembangan Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.

Perikanan Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Perikanan Tangkap

Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

System Informasi Manajemen

Merupakan system yang berfungsi untuk menyediakan informasi yang efektif dan efisien bagi pihak manajemen dalam rangka memperlancar pelaksanaan fungsinya.

Sistem Manajemen Basis Data

Merupakan komponen SPK yang mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyimpanan data dalam basis data, menerima dan memperbaharui data dari basis data, dan sebagai pengendali atau pengelola basis data.

Sistem Manajemen Basis Model

Merupakan komponen SPK yang mempunyai empat fungsi pokok, yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model (laporan-laporan), untuk merubah, memperbarui model dan untuk memanipulasi data. Pada intinya, system manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan SPK.

Sistem Manajemen Dialog

Merupakan komponen SPK yang pberfungsi untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen sialog adalah menerima masukan dan memberiukan keluaran yang dikehendaki pengguna.

Software Serangkaian program, prosedur dan kemungkinan dokumen tertentu yang berhubungan dengan operasi sistem pengolahan data, software atau piranti lunak mencakup compiler, library routines, dan lain-lain.

Sumber Daya Ikan Potensi semua jenis ikan.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara Samudera

Hindia dan Pasifik. Negara ini mempunyai 17.504 pulau-pulau dengan luas

sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Panjang garis pantai Indonesia adalah sekitar

81.000 kilometer. Sekitar dua pertiga negara ini terdiri dari perairan laut.

Perairan Indonesia yang luas ini merupakan sumber daya kelautan dan

perikanan yang sangat besar. Lebih dari 10.000 spesies fauna dan flora tropis

hidup di perairan ini.

Pada tahun 1960-an, pada saat seluruh stakeholder perikanan sepakat

menyatakan bahwa potensi perikanan laut Indonesia sangat melimpah, ternyata

pernyataan tersebut didukung oleh data statistik perikanan tahun 1974. Produksi

perikanan tangkap Indonesia pada tahun 1960 baru 410.043 ton dan naik

722.512 ton pada tahun 1968. Jadi hasil tangkapan tersebut hanya 6,6% (1960)

dan 11,6% (1968) dari maximum sustainable yield (MSY) yang besarnya 6,2 juta

ton. Saat itu dinyatakan bahwa ikan perairan laut Indonesia masih melimpah.

Jumlah nelayan baru 870.137 orang pada tahun 1968 dan bahkan menurun

menjadi 841.627 orang pada tahun 1970, yang selanjutnya naik kembali menjadi

854.000 orang pada tahun 1973. Namun demikian pada tahun 2004 produksi

perikanan tangkap telah mencapai 4,5 juta ton atau telah dimanfaatkan sekitar

70,31% (Barani, 2005). Berdasarkan kondisi ini, perlu ada suatu upaya untuk

mempertahankan potensi sumber daya ikan (SDI) agar tidak terjadi overfishing.

Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada

berbagai perikanan tangkap di dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia

(FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh,

dan mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa hanya 25% dari sumber

daya yang masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total

produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah

dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur

ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Apabila sumber daya

perikanan mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian

penangkapan.

2

Produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan Indonesia

menunjukkan kecenderungan yang stagnasi. Dari total produksi perikanan

Indonesia, usaha perikanan tangkap masih memberikan sumbangan produksi

yang terbesar yaitu sekitar 76,0%, sedangkan sisanya berasal dari usaha

perikanan budidaya. Stagnasi produksi perikanan tangkap Indonesia terutama

disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya,

penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungan

khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta kerusakan lingkungan

perairan yang diakibatkan oleh pencemaran.

Evaluasi tingkat pemanfaatan empat kelompok sumberdaya ikan yang

berada di WPP-RI yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya

Ikan pada tahun 2006 berdasarkan hasil riset BRKP menunjukkan bahwa dua

puluh satu stok/sub stok ikan atau sekitar 55,3% dari 38 stok/sub stok ikan telah

dimanfaatkan penuh bahkan sebagian ada yang telah melebihi daya dukungnya.

Sementara itu, sembilan stok/sub stok ikan atau sekitar 23,7% belum dapat

ditentukan tingkat pemanfaatannya karena data/informasi belum mencukupi,

sehingga hanya delapan stok/sub stok ikan (sekitar 21%) yang pemanfatannya

memungkinkan untuk ditingkatkan pada beberapa WPP tertentu (Nurhakim,

2007)

Selama kurun waktu 1960-2006, produksi perikanan tangkap di perairan

umum daratan berfluktuasi antara 228.571-364.875 ton dengan rata-rata 290.260

ton per tahun dan sejak tahun 1995 mengalami stagnasi malahan cenderung

menurun. Di perairan umum daratan, produksi perikanan tangkap yang stagnan

ini diduga karena pengelolaan sumber daya ikan belum dilakukan secara

rasional, di beberapa kawasan terjadi penangkapan ikan yang intensif dan cara-

cara penangkapan yang merusak serta terjadinya degradasi lingkungan perairan.

Indikasi yang paling jelas dan mudah dilihat adalah hasil tangkapan yang terus

menurun, perubahan struktur populasi ikan dan ukuran individu ikan yang

semakin mengecil.

Dalam sektor perikanan budidaya (akuakultur) merupakan salah satu

kegiatan produksi selain kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan

(Gambar 1). Berbeda dengan penangkapan yang hanya memanen (berburu)

ikan dari alam (laut dan perairan umum, sungai, danau, rawa), dalam akuakultur

pemanenan ikan dilakukan setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan,

3

pengapuran, dan pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan,

pengelolaan air, penanggulangan/pemberantasan hama dan penyakit, serta

pemantauan (sampling) pertumbuhan dan populasi (Effendi, 2004).

Gambar 1. Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan

untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Effendi, 2004).

Produk akuakultur bisa langsung dijual ke konsumen dalam bentuk hidup

dan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi komoditas yang berbentuk

berbeda sama sekali, antara lain sosis, burger, dan baso ikan. Integrasi yang

kuat antara kegiatan akuakultur dan industri pengolahan biasanya menghasilkan

industri perikanan budidaya yang mantap, seperti budidaya ikan salmon dan lele

(catfish) di Amerika Serikat. Di Indonesia integrasi tersebut mulai terlihat dalam

industri budidaya patin dan ikan nila. Kedua ikan tersebut dibudidayakan hingga

mencapai ukuran 1 kg/ekor, dan kemudian di-fillet atau pemisahan daging dari

tulangnya (deboning) untuk dijadikan bahan baku industri makanan.

Selain itu, dewasa ini juga sudah banyak integrasi antara kegiatan

akuakultur dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking ikan di laut dan

perairan umum. Kegiatan restocking adalah menebar benih ikan di perairan

(danau, waduk, sungai, teluk, rawa) yang bertujuan meningkatkan stok (stock

enhancement) ikan di perairan tersebut dalam rangka konservasi dan menaikkan

Perikanan

Perikanan Tangkap Pengolahan Akuakultur (Perikanan Budidaya)

Konsumen

4

pendapatan para pelaku perikanan tangkap (nelayan). Kegiatan ini dilakukan

secara reguler dan terus menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan

dari kegiatan akuakultur (pembenihan) (Effendi,2004).

Gambar 2. Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap

(Effendi, 2004).

Di Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan

restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan konservasi

dan sosial. Kegiatan akuakultur (pembenihan) menjual benih kepada asosiasi,

koperasi nelayan atau pemerintah daerah yang melakukan restocking,

sementara nelayan melaporkan hasil tangkapannya untuk dikenai biaya (charge)

pembelian benih oleh asosiasi atau koperasi tersebut (Gambar 2). Perikanan

masa depan tampaknya akan banyak terjadi integrasi, baik antara akuakultur

dengan pengolahan maupun antara akuakultur dengan perikanan tangkap

ataupun integrasi ketiganya (Effendi, 2004).

Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun tidak disengaja

adalah perikanan tangkap berbasis budidaya, dimana benih yang dimasukkan ke

dalam perairan adalah benih yang tidak laku dijual maupun benih yang

produksinya berlebih. Banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu, bandeng

yang produksinya berlebih secara sukarela melakukan stocking pada perairan

sekitarnya, walaupun masih mengabaikan kaidah restocking yang sebenarnya.

Perikanan Tangkap(Nelayan)

Akuakultur (Pembenihan)

Asosiasi/koperasinelayan

5

Gambar 3. Skema pengelolaaan perikanan tangkap berbasis budidaya

Pada awal tahun 2000, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah

mencanangkan Culture Based Fisheries sebagai program utama yang bertujuan

untuk meningkatkan produktivitas pada suatu perairan dengan mengoptimalkan

peran serta masyarakat sebagai pengelola atau biasa disebut Community Based

Fisheries Management. Namun demikian keberhasilannya masih dapat

dikatakan jauh dari target yang diharapkan, sehingga perlu sosialisasi kepada

seluruh stakeholder tentang pentingnya pemahaman pengelolaan sumberdaya

perairan secara bersama. Menurut Jorgensen and Thompson (2007) Community

Based Fisheries Management adalah pemahaman tentang penjelasan suatu

bentuk pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan perairan dan perikanan

didasarkan oleh organisasi masyarakat lokal yang tergantung pada sumberdaya

tersebut. Menurut Nikijuluw (2002), bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan

berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian

wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk

mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu

mendefinisikan kebutuhan dan keinginannya, tujuan serta aspirasinya.

Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar, berdasarkan

hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan

6

budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan

budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke

ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan

pada areal tersebut antara lain ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang,

kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002).

Lebih lanjut disebutkan oleh Nurdjana et al (1998) bahwa komoditas

unggulan budidaya laut yang layak untuk dikembangkan antara lain adalah ikan

kerapu, ikan kakap putih, tiram mutiara, kerang darah, abalone, rumput laut ikan

hias laut, kerang hijau, teripang, tiram dan lobster. Luas perairan yang potensial

untuk budidaya laut adalah 312.773 km2, yang terdiri dari perairan untuk

budidaya ikan kakap putih seluas 213.428 km2, ikan kerapu 40.913 km2, kerang

darah dan tiram 37.878 km2, teripang 5.159 km2, tiram mutiara dan abalone

4.286 km2, serta rumput laut 11.109 km2. Luasan ini dirasakan belum akurat.

Untuk keperluan up-dating, luasan tersebut dievaluasi menggunakan metoda

yang dianggap lebih akurat.

Kawasan budidaya laut secara garis besar terdiri dari dua zone kawasan.

Kawasan bagian laut mencakup daerah budidaya, daerah alur lalu lintas orang

dan barang serta daerah penyangga. Kawasan darat antara lain diperuntukan

bagi daerah perumahan, daerah usaha, daerah operasional serta sarana dan

prasarana. Lahan budidaya laut merupakan faktor penting bagi pengembangan

budidaya laut karena terkait dengan faktor biofisik lingkungan yang berkenaan

dengan ketersediaan areal untuk pengembangan sarana budidaya laut baik

secara fisik maupun kecocokan pemanfataannya.

Faktor-faktor yang mendukung integrasi pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya, antara lain adalah:

(1) Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan akses jasa,

produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian dunia;

(2) Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang

memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan dan jenis

kehidupan air lainnya;

(3) Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang relatif

banyak merupakan faktor pendukung pengembangan perikakan tangkap

berbasis budidaya;

7

(4) Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan keikutsertaan

negara dalam zona perdagangan bebas regional, sehingga menyediakan

peluang yang lebih besar untuk memasukkan produk perikanan Indonesia

ke pasar global dan regional;

(5) Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui masyarakat

dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk perikanan Indonesia di pasar

ekspor;

(6) Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil perubahan

kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia. Sementara di pihak

lain, terjadi penurunan produksi ikan di negara-negara lain, sehingga

memperluas peluang Indonesia di pasar dunia.

Namun demikian, perkembangan pembangunan perikanan budidaya masih

dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan, baik yang bersifat eksternal

maupun internal, kendala tersebut antara lain adalah:

(1) Adanya globalisasi perdagangan dunia yang berdampak terhadap

pemasaran produk perikanan, antara lain berupa:

- Ekspor hasil perikanan yang semakin kompetitif.

- Ketatnya persyaratan mutu yang diterapkan negara pengimpor.

- Gencarnya isu lingkungan.

- Tuntutan pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries

(CCRF).

(2) Terbatasnya peraturan dan perundang-undangan yang mengatur

pembangunan perikanan budidaya

(3) Adanya ketidak-pastian dan ketidak-konsistenan dalam masalah penataan

ruang kawasan

(4) Kurangnya upaya penegakan hukum yang berkaitan dengan budidaya

perikanan

(5) Kurangnya akses pemasaran produk perikanan

(6) Kurangnya prasarana pemasaran dan fasilitas pasca produksi yang

memadai

(7) Belum memadainya teknologi yang tersedia untuk budidaya perikanan,

8

seperti teknologi penyediaan benih ikan laut

(8) Lambatnya penyediaan data dan informasi di bidang perikanan tangkap

dan budidaya. Hal ini sangat terkait erat dengan adanya keterbatasan

perangkat pendukung pengolahan data serta kualitas sumber daya

manusia (SDM) di bidang statistik perikanan

(9) Belum memadainya sarana produksi untuk pengembangan perikanan

tangkap berbasis budidaya

(10) Kurangnya pengetahuan para nelayan dan pembudidaya ikan mengenai

kaidah integrasi perikanan tangkap dan budidaya

(11) Belum efektifnya kelembagaan penyuluhan di bidang perikanan tangkap

dan budidaya, sehingga aliran informasi dan teknologi perikanan tangkap

budidaya menjadi terhambat dan bahkan terputus

(12) Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dan teknologi budidaya

(13) Mahalnya input produksi yang di impor

(14) Kurangnya ketersediaan aksesibilitas kredit untuk kegiatan usaha

penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan

(15) Kurangnya koordinasi dan sosialisasi program-program serta kegiatan

pembangunan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(16) Kurang kondusifnya faktor keamanan, sebagai akibat dari krisis ekonomi

yang berkepanjangan

Sumberdaya perairan Teluk Lampung telah dimanfaatkan untuk berbagai

kegiatan ekonomi masyarakat, di antaranya kegiatan penangkapan ikan,

pembudidayaan ikan, pariwisata dan transportasi. Kegiatan penangkapan dan

pembudidayaan ikan adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan sebagian besar

masyarakat golongan menengah ke bawah. Kurangnya pengetahuan,

terbatasnya keterampilan dan kemampuan manajemen usaha serta rendahnya

askses permodalan adalah permasalahan utama dalam pengembangan

masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu diperlukan intervensi dan upaya

pemerintah serta didukung strategi yang efektif dalam pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya di Teluk Lampung.

Perairan Teluk Lampung merupakan daerah penangkapan ikan yang

produktif dan memungkinkan dilakukannya operasi penangkapan ikan dengan

9

berbagai alat dan metode penangkapan (DKP Lampung, 2003) Kedalaman

perairan Teluk Lampung tidak terlalu dalam dan perairannya relative tenang,

nelayan dapat mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap sesuai dengan jenis

ikan yang menjadi target operasi penangkapannya.

Nelayan dan pembudidaya di sekitar Teluk Lampung memiliki akses

langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada di perairan Teluk

Lampung. Nelayan Lampung dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di

Teluk Lampung sedangkan pembudidaya dapat memanfaatkan perairan yang

memenuhi persyaratan teknis untuk pengembangan usaha budidaya laut dengan

mengembangan komoditas yang strategis di perairan tersebut.

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Selatan (2005), rumah

tangga perikanan laut Lampung Selatan terdiri dari 1.587 nelayan yang terdiri

dari 472 orang nelayan tanpa perahu, 715 orang nelayan perahu tanpa motor,

201 nelayan dengan kapal motor. Pembudidaya ikan terdiri dari budidaya laut

(442 orang), petambak (3.427 orang), budidaya air tawar (2.002 orang) dan mina

padi (108 orang). Produksi perikanan tangkap Kabupeten Lampung Selatan pada

tahun 2004 mencapai 25.867,6 ton, terdiri dari jenis ikan Peperek, manyung, ikan

biji nangka, kerapu, kakap, ikan kurisi, ikan ekor kuning, ikan kuro, teri, japuh ,

Lemuru, golok- golok/ parang- parang, Kembung , tenggiri, Layur, tongkol, dan

ikan lainnya.

Produksi perikanan budidaya laut di Lampung Selatan tahun 2006 adalah

1.569,28 ton atau naik 749,3 ton dari produksi tahun 2005. Produksi tahun 2006

tersebut terdiri atas kerapu bebek dan kerapu macan yang dihasilkan dari 264

RTP dengan 470 unit KJA. Unit KJA tersebut sebagian besar berlokasi di

Tanjung Putus dan Pulau Puhawang.

Usaha budidaya laut dengan KJA memerlukan modal usaha yang besar,

untuk itu pengembangan perikanan budidaya perlu dilakukan secara

komprehensif dengan mempertimbangkan dan memperhatikan aspek-aspek

terkait. Faktor yang perlu diperhatikan tidak hanya menyangkut hal teknis akan

tetapi juga mencakup aspek sosial dan budaya. Berbagai masalah telah

teridentifikasi terkait dengan pengembangan perikanan budidaya di Teluk

Lampung, diantaranya: konflik penggunaan lahan dengan perikanan tangkap dan

transportasi, sedimentasi perairan akibat pembukaan lahan pesisir dan lahan

atas untuk berbagai kegiatan, serta ketidakteraturan penempatan dan tata letak

10

KJA di kawasan budidaya.

Memperhatikan besarnya kendala dan permasalahan terkait

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya maka

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dijadikan alternatif

kegiatan ekonomi masyarakat yakni pengembangan kegiatan penangkapan ikan

di suatu kawasan dengan didukung penyediaan benih dari perikanan budidaya.

1.2 Perumusan Masalah

Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkembang seiring dengan

pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Intensitas pemanfaatan tersebut,

diiringi dengan penurunan mutu lingkungan akibat tekanan dari aktivitas di

daerah pesisir dan lahan atas. Kegiatan perikanan adalah salah satu kegiatan

yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, terdiri atas perikanan

tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan budidaya perairan payau (tambak)

sudah dimulai sejak zaman Majapahit dan Indonesia adalah bangsa pertama di

dunia yang mengembangkan usaha perikanan tambak (Schuster,1952 dalam

Dahuri, 2002), sehingga wajar bila Indonesia memiliki tambak yang sangat luas

yaitu sekitar 340.000 ha pada tahun 2001 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002).

Sementara itu, budidaya laut memang baru dimulai awal tahun 1980-an,

sehingga tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Banyak hasil yang

sudah dicapai dari hasil pembangunan perikanan budidaya laut dan payau

selama ini, namun demikian, produksi itu masih sangat kecil dibandingkan

dengan potensi yang kita miliki. Lebih dari itu, kegagalan panen karena

peledakan wabah penyakit, seperti white spot yang menyerang udang windu

dalam tambak pada awal 1999-an dan sampai sekarang pun belum terpecahkan

secara tuntas.

Oleh sebab itu, integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang

hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya laut

yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan,

dan berkelanjutan. Untuk merealisasikan integrasi ini, maka pola pembangunan

perikanan tangkap dan budidaya seyogyanya berdasarkan pada: (1) potensi SDI,

(2) kesesuaian lahan dan peruntukannya untuk kegiatan perikanan budidaya, (3)

kelayakan usaha dan (4) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya selama ini.

11

(1) Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan

SDI adalah sumber daya renewable yang mampu berkembang biak

sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang

baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini

berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol

dapat membahayakan SDI itu sendiri.

Secara garis besar di dalam pengelolaan perikanan dalam proses

pengaturannya ditempuh dua kelompok metode yang mendasarkan kepada : (1)

input kontrol yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan)

perikanan, dan (2) output kontrol, pengaturan terhadap luaran (output) dari

perikanan. Pengaturan melalui input kontrol termasuk diantaranya pembatasan

jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan

penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input kontrol

mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat

eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output kontrol dilakukan terhadap

hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil

tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin,

sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input

kontrol. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis,

misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada

pengaturan kuota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan

terhadap alat tangkapnya.

(2) Pembangunan Perikanan Budidaya Berbasis Wilayah dan Komoditas Unggulan

Keragaman kondisi biofisik wilayah pesisir dan laut Indonesia yang begitu

tinggi berimplikasi pada kesesuaian (suitability) untuk pengembangan perikanan

budidaya dengan komoditas yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Komoditas perikanan yang dihasilkan oleh usaha perikanan budidaya ini

tidak hanya dimaksudkan untuk pasar global guna memperoleh devisa, tetapi

juga di dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan (ketahanan pangan) dalam

negeri, sehingga rakyat menjadi semakin cerdas dan kuat. Komoditas unggulan

yang dimaksud di sini adalah komoditas-komoditas perikanan yang permintaan

(pasar) nya tinggi, baik pasar domestik maupun ekspor, atau harga jualnya

tinggi.

12

(3) Penguatan dan Pengembangan Teknologi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya.

Sampai saat ini teknologi yang digunakan untuk usaha budidaya laut di

Indonesia hanya sebatas pada jaring apung atau karamba laut (cage net),

sistem rakit, dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut

yang bersifat semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi mangrove

dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming seperti

yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang, Australia, dan

beberapa negara Pasifik Selatan, perlu diterapkan dengan beberapa

penyesuaian. Disamping itu selektifitas alat tangkap perlu juga dikembangkan

dalam rangka mempertahankan keseimbangan populasi yang ada.

(4) Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

Pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu wilayah pesisir umumnya

terfokus pada satu jenis, yaitu penangkapan ikan atau budidaya. Intensitas

penangkapan ikan yang semakin meningkat akan menurunkan potensi

sumberdaya ikan dan secara tidak langsung menurunkan kesejahteraan

masyarakat. Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan budidaya akan

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mempertahankan

kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan

melakukan restoking dari hasil budidaya.

13

Gambar 4. Diagram alir perumusan masalah penelitian

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan bahwa secara khusus,

permasalahan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya

dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana kesesuaian lahan pada wilayah

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya? (2) Bagaimana

perumusan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya, serta kelayakan usahanya?; (3) Bagaimana

perumusan cara pemilihan teknologi penangkapan (4) Bagaimanakah

perumusan penyusunan strategi pengembangan dan kelembagaan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya?; (5) Bagaimanakah kajian tersebut direkayasa

dalam sebuah model Sistem Penunjang Keputusan yang mendukung

rekomendasi, pengkajian ulang dan penerapan lain terkait dengan perubahan

situasional?

1.3 Kerangka Pemikiran

Prospek pengembangan bidang perikanan di Indonesia cukup baik,

mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala

14

kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil

penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat intensifnya

tingkat pemanfaatan, kemampuan pertumbuhan alami populasi ikan dan makin

menurunnya kualitas sumberdaya alam. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam

rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha

budidaya.

Selama ini perkembangan budidaya laut di Indonesia selalu dihadapkan

pada masalah antara lain: usaha yang masih tradisional, belum adanya pola

kemitraan yang saling menguntungkan benturan dengan kepentingan usaha lain

serta sulitnya ketersediaan benih dan input produksi lainnya yang berkualitas dan

kontinyu. Di samping itu, terjadinya penurunan mutu lingkungan budidaya pada

kawasan pengembangan budidaya laut akibat kegiatan lain disekitar kawasan

dan limbah dari kegiatan budidaya itu sendiri telah meningkatkan kematian dan

menurunya pertumbuhan ikan. Untuk itu pengembangan kegiatan budidaya laut

perlu dikembangkan atas pertimbangan ilmiah secara modern dan terpadu mulai

dari proses hulu sampai hilir dalam suatu kawasan budidaya laut.

Perikanan tangkap, terutama secara tradisional telah sejak lama

dikembangkan. Perikanan tangkap dengan alat-alat modern telah dikembangkan

sejak 30 tahun yang lalu. Potensi lestari perikanan Indonesia diperkirakan

sebesar 6,4 juta ton per tahun (Komnas Kajiskan dalam Nurhakim, 2007). Di

beberapa perairan Indonesia, perikanan tangkap telah mencapai titik jenuh dan

secara umum produksi perikanan tangkap sudah sulit dikembangkan. Perikanan

budidaya merupakan tumpuan harapan dalam pengembangan perikanan

Indonesia di masa mendatang. Untuk itu perlunya strategi integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebagai satu

alternatif dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Dalam melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya harus didahului dan memperhatikan potensi SDI, hasil survei

areal yang potensial untuk menentukan lokasi yang tepat sebagai kawasan

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dengan

mempertimbangkan faktor pendukung lainnya, seperti ketersediaan prasarana,

kondisi sosial ekonomi masyarakat, pelayanan perbankan, kepastian hukum dan

RUTRD di daerah. Pusat-pusat pengembangan yang akan dijadikan titik awal

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, karena

potensial dan posisinya yang sangat strategis untuk memacu integrasi

15

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di kawasan

pengembangan sekitarnya. Pemilihan jenis komoditas ditetapkan dengan

mengikuti permintaan pasar dan kesiapan teknologinya.

Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat

dilakukan dengan menggunakan strategi yang tidak hanya sekedar memecahkan

berbagai permasalahan tetapi juga mampu menimbulkan peluang dan insentif

bagi pembangunan yang sedang dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai

permasalahan nasional yang sedang dihadapi seperti devisa dan

ketenagakerjaaan.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini untuk mengkaji strategi integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Secara khusus

tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

(1) Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial

ataupun unggulan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, serta

kelayakan usahanya.(dilihat dari potensi SDI, kesesuaian lahan, teknologi

penangkapan ikan)

(2) Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(3) Mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya dengan lingkup sasaran pengembangan areal, produksi,

komoditas, serta sarana dan prasarana pendukung.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(1) Tersusunnya strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya

(2) Kontribusi untuk pengembangan metode analisis dalam memecahkan

masalah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(3) Sumber informasi mengenai konsep pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang

terkait dalam suatu sistem pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya.

16

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini antara lain meliputi kegiatan:

(1) Menganalisis potensi SDI, yaitu melakukan analisis untuk mengetahui

besarnya potensi sumber daya perikanan yang ada, tingkat eksploitasi

yang telah dicapai serta kemungkinan perkembangannya lebih lanjut sesuai

dengan potensi lestari (MSY).

(2) Inventarisasi dan pengumpulan data, yang terdiri dari data-data mengenai:

a. Potensi sumber daya lahan pengembangan budidaya laut

b. Keragaan pengembangan budidaya laut, yang mencakup: Kegiatan

budidaya laut yang telah dikembangkan, meliputi: ikan, crustacea,

molusca, rumput laut dan kekerangan, lokasi budidaya laut yang telah

dikembangkan, prospek dan peluang pasar masing-masing komoditas

budidaya laut, keragaan areal, produksi, komoditas, dan prasarana

pendukung yang telah dibangun dan permasalahan yang menghambat

pengembangan budidaya laut.

(3) Penentuan kesesuain lahan untuk pengembangan budidaya laut.

(4) Penentuan kelayakan usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(5) Pemilihan alat tangkap dan komoditas unggulan.

(6) Pengorganisasian dan kelembagaan di dalam pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya.

(7) Melakukan verifikasi model pada wilayah kajian.

1.7 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya memberikan kontribusi dalam optimalisasi pemanfaatan

sumberdaya perikanan guna peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas

kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri,

mendorong pertumbuhan industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat

memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap

Sumberdaya ikan merupakan sumber daya yang mampu berkembang biak

sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang

baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini

berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol

dapat membahayakan SDI itu sendiri. Jadi manfaat pengelolaan tidak lain adalah

agar terjamin kelestarian SDI sesuai dengan pesan didalam Kode Etik Perikanan

yang Bertanggung Jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries),

sehingga diharapkan generasi yang akan datang ikut menikmati dan

memperoleh manfaat dari SDI tersebut.

Potansi sumberdaya perikanan laut Indonesia menurut data estimasi

Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar 5.258.000 ton dengan bagian

terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil (small pelagics) yang mencapai 51,7 %

atau sekitar 3.235.800 ton (Dahuri, 2001). Jenis ikan lain yang juga banyak

terdapat di perairan Indonesia adalah jenis demersal dan pelagis besar, masing-

masing sekitar 28,54% dan 16,83% atau 1.786.400 ton per tahun dan 1.053.500

ton per tahun.

Perkembangan produksi perikanan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor

pendorong berupa peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana

penangkapan ikan. Peningkatan sarana ini berlangsung bersamaan dengan

motorisasi usaha penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap dengan

bahan sintetis. Namun demikian sesuai dengan code of conduct for responsible

fiheries pada artikel 6.3. bahwa pengembangan armada perikanan harus

mempertimbangkan ketersediaan sumber sesuai dengan kemampuan reproduksi

demi keberlanjutan pemanfaatannya. Hal ini jangan sampai terjadi kondisi

dimana lebih banyak kapal dari pada ikan yang hendak ditangkap yang berakibat

kerugian dari segi ekonomi perikanan, karena kapal ikan tidak dapat memperoleh

jumlah tangkapan yang memadai sehingga semua pihak tidak memperoleh

keuntungan yang layak.

Sebagai sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi,

eksploitasi sumberdaya perikanan laut di Indonesia menunjukkan peningkatan

sepanjang tahun. Pada tahun 1995, total pendaratan ikan di Indonesia mencapai

18

3.292.930 ton, dimana pendaratan ikan mendominasi seluruh pemanfaatan

sumberdaya perikanan laut, yaitu 2.752.838 ton, diikuti oleh jenis crustacea

203.441 ton, lalu jenis hewan lunak (mollusca) 98.445 ton dan jenis ikan lainnya

seperti penyu, teripang, ubur-ubur dan lainnya yang mencapai 126.661 ton

(Dahuri, 2001).

Beberapa jenis ikan yang termasuk kelompok ikan pelagis kecil antara lain:

Teri, Tembang, Siro, Lemuru, Layang, Kembung, Bawal Putih, Alu-alu, Tetengek,

Sunglir, Ikan terbang, Belanak, Julung-julung, Golok-golok dan Ekor Kuning

(Widodo et al., 1999).

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih secara

alami tetapi juga merupakan sumberdaya yang tak terbatas baik jumlah maupun

kemampuan regenerasinya. Untuk itu pemenfaatannya harus dilakukan secara

rasional yaitu dengan memperhatikan daya dukungnya. Pemanfaatan

sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya stok, kepunahan

populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) (Naamin et al.,

1991).

Pembangunan dibidang perikanan terutama dalam rangka pemanfaatan

sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang

dapat menjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/MSY). Hal ini

dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang

dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para pengusaha perikanan.

Berdasarkan kecenderungan produksi hasil tangkapan ikan yang meningkat dan

ada data hasil tangkapan yang tidak dicatat pada suatu wilayah perairan, maka

nilai dugaan potensi sumberdaya ikan yang dihasilkan dari hasil analisis adalah

minimal (under estimate). Hasil estimasi dengan pendekatan Surplus Production

Model (Schaefer) nilai MSY masih mungkin dilakukan walaupun memberikan nilai

yang lebih tinggi. MSY atau hasil tangkapan yang lestari adalah besarnya jumlah

stock ikan tertinggi yang dapat ditangkap secara terus menerus dari suatu

sumberdaya tanpa mempengaruhi kelestarian stock ikan tersebut.

Jones dalam Badrudin et al., (1991), menyebutkan bahwa prinsip

pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut:

(1) Pengendalian jumlah upaya penangkapan, dengan mengatur jumlah alat

tangkap yang ada sampai pada jumlah tertentu (maksimum).

19

(2) Pengendalian alat tangkap, ini dilakukan dengan tujuan agar usaha

penangkapan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai

umur dan ukuran tertentu.

Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dwiponggo (1983),

adalah:

(1) Tujuan yang bersifat fisik-biologi, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan

dalam level maximum sustainable yield (MSY)

(2) Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum

dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimal profit.

(3) Tujuan ysng bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang

maksimal. Seperti penyerapan tenaga kerja dan menghilangkan konflik

kepentingan diantara nelayan atau anggota masyarakat.

Upaya pengelolaan perikanan seyogyanya dilaksanakan sedini mungkin.

Para petugas perikanan baik di pusat maupun daerah didalam membuat

perencanaan pembangunan perikanan perlu memasukkan unsur sumber daya.

Pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya

stok, kepunahan populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya

(CPUE) (Naamin et al., 1991).

Pengelolaan sumberdaya perikanan dalam rangka pemanfaatan

sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang

dapat manjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/ MSY). Hal ini

dapat dicapai melalui sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang

dilakukan pemerintah bersama stakeholders terkait.

Jika upaya pengelolaan sudah terlambat akan sulit untuk memulai dan

memulihkan sumber daya ikan karena masalahnya sudah cukup kompleks.

Upaya pengelolaan tidak juga harus menunggu kelengkapan informasi yang

diperlukan dalam pengelolaan. Sesuai dengan prinsip kehati-hatian

(precautionary principle), upaya pengelolaan sebaiknya dilakukan sedini

mungkin.

Aplikasi pengelolaan perikanan dalam proses pengaturannya dapat

ditempuh melalui dua kelompok metode yang mendasarkan kepada: (1) input

control yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan)

perikanan, dan (2) output control, pengaturan terhadap luaran (output) dari

perikanan. Pengaturan melalui input control termasuk diantaranya pembatasan

jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan

20

penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input control

mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat

eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output control dilakukan terhadap

hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil

tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin,

sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input

control. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis,

misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada

pengaturan quota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan

terhadap alat tangkapnya.

Permasalahan perikanan tangkap baik itu berupa permasalahan sosial

ataupun kerusakan lingkungan dan menurunnya stok SDI, sebenarnya telah

lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai

sumber untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu, bobot permasalahan

yang timbul tidak seberat yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik

konflik sosial yang ditimbulkan akibat adanya kompetisi besar-besaran dalam

memperebutkan ikan yang menjadi tujuan tangkapan, maupun kerusakan

lingkungan serta punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah

menunjukkan indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup

generasi mendatang.

Ditinjau dari keberlangsungan dan kelestarian lingkungan bahwa segala

bentuk aktivitas yang sifatnya merusak lingkungan, sekalipun dalam jumlah yang

relatif kecil sebenarnya perlu dihindari termasuk dalam hal ini penggunaan alat

tangkap modifikasi dari alat tangkap trawl. Dalam hal yang lebih luas lagi perlu

dihindari penggunaan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.

2.2. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya

Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar

15,59 juta hektar, yang terdiri atas lahan budidaya budidaya air tawar 2,23 juta

hektar, budidaya air payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar.

Sedangkan pemanfaatanya hingga saat ini masing-masing baru mencapai 10,1%

untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau dan 0,01% untuk

budidaya laut. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari

ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.

Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain

21

ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone

serta rumput laut (Dahuri, 2002).

Pada tahun 2004 produksi perikanan budidaya nasional adalah 1,47 juta

ton dengan kenaikan rata-rata pertahun dari tahun 2000 adalah 10,36%. Jumlah

produksi tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen

perikanan budidaya ketiga terbesar setelah China dan India. Produksi perikanan

budidaya Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 didominasi oleh

produksi udang ditambak. Sedangkan persentase rata-rata kenaikan produksi

per tahun tertinggi adalah budidaya laut. Produksi budidaya laut mulai meningkat

hampir dua kali lipat pada tahun 2004 dari tahun 2003, hal ini terkait dengan

program pengembangan budidaya rumput laut. Nilai produksi perikanan

budidaya juga mengalami peningkatan dari Rp. 11,06 trilliun pada tahun 2000

menjadi Rp. 19,27 triliun pada tahun 2004, atau naik rata-rata 14,93% per tahun.

Kenaikan nilai produksi rata-rata tertinggi yaitu sebesar 32,94% pada budidaya

karamba.

Komoditas dominan dan mengalami perkembangan cukup pesat adalah

udang, yaitu dari 143.750 ton pada tahun 2000 menjadi 238.843 ton pada tahun

2004 atau mengalami kenaikan rata-rata per tahun 13,86%. Perkembangan

produksi udang yang cukup pesat ini didukung oleh adanya upaya introduksi

udang jenis baru yaitu udang putih atau vannamei yang berasal dari perairan sub

tropis. Sampai saat ini produksi udang nasional masih ditopang oleh produksi

udang vanname, terutama pada tambak-tambak intensif skala besar.

Selain dikonsumsi didalam negeri produksi perikanan budidaya Indonesia

juga terserap pada pasar luar negeri seperti negara-negara di Eropa, Amerika,

Jepang dan negara maju lainnya. Beberapa jenis komoditas perikanan budidaya

yang diekspor adalah udang, kerapu, nila, rumput laut, kepiting, patin, lele,

bandeng, kodok, abalone, ikan hias dan mutiara. Pertumbuhan ekspor perikanan

Indonesia didominasi oleh udang dan cakalang. Pada tahun 2000 volume ekspor

udang Indonesia sebesar 116.187 ton meningkat menjadi 139.450 ton pada

tahun 2004. Jika memperhatikan neraca ekspor-impor peroduk perikanan, maka

dapat disimpulkan bahwa masih terjadi surplus perdagangan komoditas

perikanan. Hal ini membuktikan bahwa bidang periknan tidak membebani neraca

pembayaran, bahkan sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh

devisa. Surplus perdagangan hasil perikanan untuk memperoleh devisa pada

22

tahun 2000 sebesar US$ 1,56 milyar dan terus mengalami peningkatan hingga

US$ 1,62 milyar pada tahun 2004.

Peningkatan produksi perikanan budidaya yang telah dicapai selama ini,

telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan konsumsi ikan per

kapita nasional dari 21,57 kg per kapita pada tahun 2000 menjadi 23,18 kg per

kapita pada tahun 2004. Disamping itu perkembangan perikanan budidaya juga

telah memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 5

(lima) tahun (2000 – 2004) mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,05% per

tahun. Jumlah pembudidaya ikan meningkat dari dari 2,18 juta orang pada tahun

2000 menjadi 2,46 juta orang pada tahun 2004. Tenaga kerja di perusahaan

perikanan budidaya, baik yang berstatus pemilik modan asing (PMA) maupun

pemilik modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan dari 3.151 orang

tenaga asing dan 154.173 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2000, meningkat

menjadi 4.719 orang tenaga kerja asing dan 187.124 orang tenaga kerja lokal

pada tahun 2004. Rumah tangga perikanan (RTP) budidaya secara keseluruhan

berjumlah 1,2 juta buah pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 1,4 juta buah

pada tahun 2004 dengan jumlah terbesar pada budidaya kolam, budidaya sawah

dan tambak.

Pemanfaatan potensi pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan

melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, pengelolaan

kesehatan ikan dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu

meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha perikanan budidaya.

Kegiatan budidaya perikanan di laut dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan

marikultur dan budidaya air payau. Untuk usaha marikultur biasanya

menggunakan jaring apung, sedangkan usaha budidaya air payau menggunakan

kolam dan petak tambak (Dahuri, 2002).

Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain

sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan

menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya yang diperkirakan dapat

dimanfaatkan bagi usaha budidaya serta peruntukkan lahan dan potensi konflik

dengan kegiatan lain disekitarnya. Oleh karena itu pengembangan usaha

budidaya adalah mengupayakan peningkatan produktivitas suatu lahan atau

perairan yang sudah terseleksi dengan menambahkan input-input teknologi yang

ada. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan dan tingkat produksi yang

dicapai berbeda di setiap daerah, sesuai dengan teknologi dan tingkat kesuburan

23

lahan atau perairan yang ada serta kemampuan masyarakat mengaadopsi

teknologi baru. Sehingga potensi produksi dalam usaha budidaya merupakan

produksi yang dapat dicapai dari lahan yang ada serta produksi dari lahan

potensial dengan perkiraan pada tingkat produktivitas tertentu yang mungkin

diterapkan.

Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu

mendayagunakan potensi yang ada, sehingga dapat mendorong kegiatan

produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta

mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan di

Indonesia secara keseluruhan. Pada pelaksanaannya pengembangan perikanan

budidaya harus dilakukan dengan memperhatikan CCRF (code of conduct for

responsible fisheries) antara lain dengan memperhatikan (1) kelestarian

lingkungan sumberdaya alam, pengembangan dilakukan secara berkelanjutan,

keamanan pangan, tidak memodifikasi genetik biota, eco-labelling dan

ketertelusuran.

Dalam upaya mensukseskan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan

dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden Republik Indenesia pada 11

Juni 2005, khususnya revitalisasi perikanan budidaya, maka pemerintah

menetapkan prioritas atau fokus kegiatan pengembangan spesies yang (1)

mempunyai permintaan besar baik pasar luar maupun dalam negeri, (2) dapat

dikembangkan secara menguntungkan, (3) mudah diadopsi pembudidaya, serta

(4) waktu produksi pendek yaitu pengembangan komoditas udang dan rumput

laut. Selain itu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga menetapkan 8

(delapan) komoditas lainnya sebagai komoditas unggulan karena mempunyai

potensi untuk ekspor, yaitu: patin, kerapu, nila, lele, gurame, bandeng, abalone

dan ikan hias.

Sesuai dengan visi pengembangan perikanan budidaya yaitu adalah

mewujudkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan sebagai

sumber pertumbuhan ekonomi andalan maka kebijakan pembangunan perikanan

budidaya adalah (1) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk ekspor,

(2) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk peningkatan konsumsi

ikan dalam negeri, dan (3) pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan

budidaya.

Pada pelaksanaanya kebijakan tersebut dikemas dalam 3 (tiga) program

pokok pengembangan perikanan budidaya yaitu (1) program peningkatan

24

produksi perikanan budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), (2) program

peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat

(PROKSIMAS), dan (3) program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya

perikanan budidaya (PROLINDA). Program tersebut ditunjung oleh 6 program

penunjang yaitu (1) pengembangan prasarana, (2) pengembangan sistem

perbenihan, (3) pengembangan sistem produksi, (4) pengembangan sistem

pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, (5) pengembangan sistem usaha

budidaya dan (6) pengembangan sistem administrasi dan kelembagaan.

Menurut Cholik et al (2005) bahwa membangun akuakultur nasional

haruslah berdampak positip pada hal sebagai berikut : tingkat konsumsi ikan oleh

masyarakat, tingkat pendapatan pembudidaya ikan, berkembangnya akuakultur

berkelanjutan dan peningkatan ekspor, pengurangan tekanan terhadap

sumberdaya ikan wilayah pantai, pengkayaan stock ikan di laut dan perairan

umum, pasok bahan baku bagi industri terkait dan pelestarian lingkungan hidup.

Pengembangan akuakultur harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan

sebagai pedoman dapat digunakan CCRF yang sudah diadopsi di banyak

negara. Akuakultur yang memiliki criteria tersebut merupakan akuakultur yang

akan menjadi tumpuan harapan bangsa.

2.3. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya

Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke-21 telah menunjukkan

kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsi

pangan dari daging merah (red meat) ke produk perikanan. Intensitas kegiatan

atau kesibukan di era kompetisi ketat cenderung meningkat, mengakibatkan

manusia tidak leluasa lagi memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan

konvensional yang dimasak dan dikonsumsi di tempat jauh dari tempat bekerja.

Aktivitas perjalanan lintas daerah, kultural, negara, senantiasa membutuhkan

makanan universal yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai

agama, kepercayaan dan budaya. Kecenderungan peningkatan angka harapan

hidup penduduk sebagai salah satu indikator penentu indeks kesejahteraan

(human development index), menuntut persiapan manusia menyongsong era

generasi berusia panjang (older generation era). Salah satu bahan makanan

yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah produk perikanan. Hasil olahan

produk ini dianggap lebih sehat dikonsumsi, netral, dan hasil olahannya sangat

beragam. Kebutuhannya di masa mendatang diprediksi melampaui 50%

25

kebutuhan protein hewani masyarakat dunia 3 g/kg berat badan per hari atau

sekitar 54 kg/kapita/tahun.

Pasokan ikan dunia saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan

di laut. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO (2002)

menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian

negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan

ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Bahkan

berdasarkan hasil penelitian oleh Komisi Stock Assessment pada tahun 2000

menunjukkan bahwa potensi lestari ikan perairan laut Indonesia mengalami

penurunan dari 6,18 juta ton/tahun menjadi 6,01 juta ton/tahun. Oleh karena itu,

alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya

(akuakultur).

Saat ini akuakultur tidak hanya berperan menopang pemenuhan kebutuhan

bahan pangan berupa protein hewani, akan tetapi juga dalam menyediakan

bahan baku bio-industri, dan upaya pelestarian spesies ikan yang terancam

punah (endangered species). Industri pengekstrak bahan aktif dari organisme

akuatik terutama laut, seperti berbagai jenis rumput laut, membutuhkan bahan

baku dalam jumlah yang besar dan cenderung terus meningkat. Berbagai jenis

biota akuatik yang dieksploitasi seperti ikan kerapu terhindar dari ancaman

kepunahan setelah berkembangnya kegiatan budidaya. Dalam pelestarian fungsi

lingkungan perairan, para pembudidaya ikan dapat menjadi ”pengamanan

swakarsa” dari ancaman perusak lingkungan seperti: pengebom dan

penggunaan racun dalam kegiatan penangkapan ikan; pembuangan limbah

industri ke perairan; penambangan karang. Harus disadari bahwa para

pembudidaya sangat berkepentingan dengan kualitas lingkungan yang

terpelihara.

Peran akuakultur dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam

mungkin tidak banyak disadari. Sumberdaya lahan pantai berpasir yang tidak

dapat dimanfaatkan untuk pertanian terbukti bermanfaat untuk tambak udang

dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down concrete. Selokan

air atau saluran irigasi sangat produktif dan efisien untuk kolam air deras dan

karamba ikan. Tambak-tambak garam yang awalnya berfungsi tunggal, melalui

modifikasi dan penerapan teknik akuakultur dapat berfungsi ganda yaitu

26

menghasilkan kista dan biomassa artemia, yang nilainya jauh lebih tinggi

daripada garam yang dihasilkan.

Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya perikanan

meliputi semua biota yang hidup di perairan tawar maupun laut. Indonesia

dengan perairan laut seluas 5,8 juta km2 merupakan salah satu negara yang

memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Soegiarto dan Polunin,

1981 dalam Dahuri, 2002). Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies

terbanyak di perairan laut Indonesia adalah moluska atau kekerangan (2.500

spesies) terdiri atas kelompok gastropoda (1.500 spesies) dan kelompok bivalve

(1.000 spesies), diikuti oleh kelompok ikan (lebih dari 2.000 spesies), kelompok

krustase (1.502 spesies). Kelompok lainnya adalah hewan karang (910 spesies),

sponge (850 spesies), tumbuhan (832 spesies), ekhinodermata (745 spesies),

burung (148 spesies), mamalia (29 spesies) dan reptil (6 spesies). Sampai saat

ini pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut, baik untuk usaha akuakultur

maupun bahan baku industri masih sangat kecil.

Walau akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat

sederhana, bercirikan pedesaan (rural farming activity) dan subsisten atau

sampingan, seperti tambak di Jawa Timur, budidaya ikan mas di Jawa Barat,

namun pada akhir abad 20 akselerasi perkembangan perikanan budidaya

menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju.

Perikanan budidaya bukan lagi budidaya yang konvensional, tetapi kegiatan

ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai

sektor. Berbagai IPTEK berkembang untuk mendukung pengembangan budidaya

menuju skala besar dan bernilai tambah tinggi. Investasi dalam usaha ini juga

melibatkan modal multinasional. Produk akuakultur telah membawa perubahan

besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat

harga yang relatif rendah dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera

konsumen, baik dari segi mutu maupun jumlah.

Guna mempertahankan stok atau potensi lestari sumberdaya ikan di

perairan laut perlu alternatif pengelolaan yang tepat, dalam hal ini dapat

memberikan kesempatan sumberdaya ikan melakukan pemulihan secara alami

dan mempertahankan pendapatan nelayan yaitu dengan pengembangan

perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan budidaya. Perikanan tangkap

berbasis budidaya ini pada prinsipnya adalah pengembangan budidaya ikan

untuk menunjang ketersediaan stok sumberdaya ikan di perairan umum atau laut

27

(De Silva et al., 2006). Tujuan dari sistem pengelolaan perikanan tangkap

berbasis budidaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau

pembudidaya dan sekaligus mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan

di alam.

Lebih lanjut di jelaskan De Silva et al. (2006), bahwa dalam pengelolaan

perikanan tangkap berbasis budidaya tersebut terlihat adanya interaksi antara

kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Pelaksanaan pengelolaan ini

melibatkan pembudidaya ikan atau kegiatan budidaya ikan pada tahap

penyiapan benih ikan untuk ditebar dan kegiatan penangkapan setelah ikan

mencapai ukuran tertentu. Kegiatan budidaya yang dilakukan dalam pelaksanaan

pengelolaan tersebut dalam bentuk kegiatan pembenihan ikan di hatchery,

dilanjutkan dengan pemeliharaan benih sampai siap ditebar dan dibudidayakan

dalam karamba jaring apung.

Kegiatan perikanan tangkap dalam pengelolaan ini berperan pada saat

pengaturan penangkapan ikan yang telah ditebar di perairan umum.

Penangkapan tersebut berdasarkan ukuran ikan, ikan yang dapat ditangkap

adalah ikan yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Sedangkan jumlah

penangkapan dalam sebenarnya tidak dibatasi sesuai jumlah ikan yang ditebar.

Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak

destruktif atau merusak dan disesuaikan dengan jenis dan habitat ikan yang di

tebar.

Sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya terlihat interaksi

mutualisme antara kegiatan budidaya (pembenihan, pendederan dan

pembesaran) dengan kegiatan penangkapan ikan di perairan umum tersebut.

Dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya,

kesejahteraan pembudidaya akan terjamin yaitu dari hasil usahan pembenihan

dan pembesaran, sementara itu tingkat kesejahteraan nelayan juga akan

meningkat dengan ketersediaan stok ikan di perairan yang terjamin dan

berkelanjutan (sustainable).

Besarnya tekanan terhadap sumberdaya perikanan baik dari kegiatan

penangkapan maupun perubahan dan penurunan mutu lingkungan pada suatu

kawasan perairan dapat dikendalikan diantaranya dengan kegiatan penebaran

kembali benih ikan atau restocking, perbaikan mutu lingkungan dan

pengendalian kegiatan penangkapan. Sedangkan dalam hal pengelolaan

sumberdaya pendekatan co-management terbukti lebih efektif. Karena dengan

28

pendekatan co-management seluruh stakeholders terkait dilibatkan dan merasa

memiliki kepentingan terhadap objek yang dikelola seperti sumberdaya

perikanan.

Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheries-

CBF) adalah salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan yang

menerapkan prinsip co-management yang pada pelaksanaannya melakukan

upaya penebaran kembali (restocking), pemeliharaan lingkungan perairan dan

pengendalian kegiatan penangkapan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan

pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu perairan oleh masyarakat

setempat dengan pembinaan dan stimulasi dari pemerintah. Rangkaian kegiatan

yang komprehensif tersebut oleh Lorenzen (1995) disebut sebagai adaptive

management yaitu pengelolaan berdasarkan aspek biologi ikan, biofisik perairan

dan pemberdayaan pelakunya.

Model perikanan tangkap berbasis budidaya telah diadopsi banyak negara

penghasil produk perikanan utama dunia dalam pemanfaatan sumberdaya

perairan untuk kegiatan perikanan seperti: China, Thailand, Vietnem, Philipina,

Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka. Upaya ini dilakukan untuk

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terdiri atas ikan dan

perairan habitatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang

hampir sejenis sudah menjadi kearifan lokal (local wisdom) di beberapa daerah

seperti Lebak-Lebung di Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat,

Sasi di Maluku dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sebahagian

kearifan lokal tersebut telah memudar atau kurang efektif karena pengaruh

modernisasi dan globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna

meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan tangkap

berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan.

Pada pelaksanaannya keberhasilan pengembangan perikanan tangkap

berbasis budidaya sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan pengelola

(organisasi, keanggotaan dan aturan), penetapan wilayah, penentuan jenis ikan

yang akan ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian kegiatan penangkapan

dan pengawasannya, serta untuk implementasinya di perairan laut yang bersifat

open acces maka model comunity-based fisheries management dapat

diterapkan. Model comunity-based fisheries management telah

direkomendasikan oleh Valbo-Jorgensen dan Thompson (2007) sebagai hasil

29

kegiatan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yang

dilaksanakannya di Bangladesh.

Program pemacuan stok dalam rangka peningkatan sumberdaya ikan

sudah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang, China dan Norwegia.

Pemacuan stok ikan di Jepang telah berdampak terhadap peningkatan produksi

sea bream sebesar 8% dan Blue crab sebesar 22 %. Laporan FAO tahun 1999

menyebutkan bahwa upaya pemacuan stok di perairan umum daratan di China

dan Vietnam dapat meningkatkan hasil penangkapan sebesar 20% dari total

hasil penangkapan sebesar 2 juta ton/tahun. Sedangkan di Norwegia berhasil

meningkatkan produksi ikan hingga 32%.

Penerapan teknik pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia yang berupa

penebaran dan introduksi ikan serta perlindungan sumberdaya ikan melalui

penetapan kawasan suaka perikanan telah lama dilakukan terutama di perairan

umum daratan sejak jaman penjajahan Belanda. Meskipun kegiatan introduksi

dan restoking ikan telah lama dilakukan, kontribusinya terhadap hasil tangkapan

belum menunjukkan hasil yang nyata bahkan di beberapa perairan berdampak

terhadap penurunan keragaman dan kelimpahan species lokal yang disebabkan

oleh kompetisi dan atau predasi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh

penerapannya yang tidak didasarkan atas hasil kajian ilmiah yang memadai dan

tidak dilakukan atas kaidah pendekatan kehati-hatian.

Hal tersebut berbeda dengan peningkatan kelimpahan stok ikan melalui

pengelolaan suaka perikanan yang dilakukan sejak sebelum penjajahan

Belanda, seperti suaka perikanan Danau Loa Kang dan Danau Batu Bumbun di

DAS Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola pada masa Kerajaan Kutai

Kartanegara, sekitar 500 tahun yang lalu. Suaka tersebut sangat berperan dalam

memasok benih ikan secara alami dan berperan dalam pelestarian sumberdaya

ikan. Dewasa ini, penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan suaka tersebut

telah luntur sehingga suaka yang ada tidak berfungsi optimal lagi.

Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, (2009) bahwa BRKP telah

melakukan penerapan pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia berbasis hasil

kajian ilmiah yang dirintis sejak tahun 2000 di perairan umum daratan dan laut. Di

perairan umum daratan, pelaksanaan pemacuan sumberdaya ikan terutama

dilakukan di perairan waduk dan danau. Di beberapa kawasan, penerapan

pemacuan sumberdaya ikan mulai mempertimbangkan aspek daya dukung

perairan, kesesuaian habitat dan jenis ikan, peluang kompetisi antara jenis ikan

30

tebaran dengan jenis ikan asli, jumlah padat tebar optimal, dan monitoring dan

evaluasi keberhasilan ataupun kegagalannya serta diikuti dengan

pengembangan kelembagaan pengelolaannya. Di perairan laut, penerapan

pemacuan sumberdaya ikan disertai penerapan teknik rehabilitasi habitat

terumbu karang.

Berbagai penerapan pemacuan sumberdaya ikan yang telah dilakukan

menunjukkan hasil yang menggembirakan antara lain:

a) Introduksi ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) di Waduk Wonogiri,

Jawa Tengah.

b) Introduksi udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di Waduk Darma, Jawa

Barat

c) Pengembangan suaka ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau

Singkarak, Sumatera Barat.

d) Introduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dari Danau Singkarak ke

Danau Toba, Sumatera Utara.

e) Penebaran kembali (restocking) ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk

Wadaslintang, Jawa Tengah

f) Penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Djuanda, Jatiluhur-

Jawa Barat

g) Rehabilitasi terumbu karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan

Jemeluk, Bali.

Introduksi ikan patin siam ukuran 10-15 gram per ekor dengan jumlah

total 45.000 ekor ke Waduk Wonogiri (luas 7.800 ha) dilakukan pada tahun 2002.

Ikan patin yang ditebarkan tersebut ternyata dapat melakukan pemijahan di

muara sungai yang masuk waduk sehingga dengan melindungi kawasan

pemijahan dan asuhannya, tidak diperlukan penebaran kembali benih patin.

Introduksi ikan ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap sebesar

112.215 kg (tangkapan ikan patin) senilai 785,5 juta rupiah pada tahun 2004 dan

pada tahun 2007, hasil tangkapan ikan patin meningkat menjadi 150.034 kg

senilai 1,3 milyar rupiah.

Introduksi udang galah di Waduk Darma menghasilkan produksi sebesar

337,65 kg senilai 13,5 juta rupiah meskipun udang galah yang ditebarkan hanya

26.500 ekor atau 26,5% dari jumlah optimum penebaran, yaitu sekitar 100.000

ekor. Apabila penebaran udang galah dilakukan secara optimum maka ditaksir

31

akan dihasilkan produksi senilai 70-140 juta rupiah per tahun yang akan

menambah pendapatan bagi 120 orang nelayan di perairan waduk tersebut.

Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan ikan bilih di habitatnya yang

asli (Danau Singkarak) telah pula diterapkan pembentukan suaka buatan di

Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk Danau Singkarak. Dari suaka

buatan tersebut ternyata dapat melestarikan induk ikan bilih sebanyak 3,3 juta

ekor per tahun dan benih ikan bilih sebanyak 5,46 juta ekor per tahun. Benih ikan

bilih ini masuk ke danau sebagai peremajaan stok ikan bilih yang akan ditangkap

nelayan.

Introduksi ikan bilih sebanyak 2.850 ekor, satu-satunya ikan endemik dari

Danau Singkarak dilakukan ke Danau Toba pada tahun 2003. Ikan bilih yang

ditebarkan mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik sehingga pada

tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mencapai 653,6 ton senilai 3,9 milyar

rupiah. Hasil tangkapan ikan bilih terus meningkat sehingga pada tahun 2007

produksinya mencapai 8.500 ton dan pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi

13.000 ton.

Pada tahun 2003-2004, penebaran kembali (restocking) ikan baung telah

pula dilakukan di Waduk Wadaslintang. Ikan baung adalah ikan asli di perairan

waduk ini dan ekonomis tinggi, namun populasinya menurun karena tekanan

penangkapan dan keterbatasan habitat pemijahannya. Upaya penebaran

kembali ikan baung ini telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 15%

dari total hasil tangkapan ikan.

Pada tahun 2008, berdasarkan rekomendasi hasil riset, telah dilakukan

penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda, Jawa Barat sebanyak 2,112 juta

ekor. Ikan bandeng tumbuh pesat dari ukuran rata-rata satu gram per ekor

menjadi 100-150 gram per ekor dalam waktu 3 bulan setelah penebaran. Selama

empat bulan penangkapan telah tercatat sebanyak 65 ton ikan bandeng senilai

455 juta rupiah pada tingkat harga nelayan.

Pemacuan sumberdaya ikan dalam bentuk rehabilitasi terumbu karang

yang dilakukan di perairan laut, seperti Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan

Teluk Jemeluk, Bali menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pemulihan

terumbu karang dan peningkatan kanekaragaman jenis ikan di perairan tersebut.

Belajar dari pengalaman empiris tersebut dengan rata-rata produksi

perikanan tangkap perairan umum daratan sebesar 290.880 ton dan perikanan

tangkap di laut sebesar 4,3 juta ton, maka dengan pemacuan stok target

32

peningkatan produksi perikanan tangkap yang dicanangkan sebesar 19,24%

dapat dicapai hanya melalui penerapan pemacuan stok di perairan umum

daratan saja. Pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap di perairan umum

daratan tersebut diprediksi akan mencapai sekitar 1,2 Juta ton.

Menurut Bell et al (2006), bahwa ada contoh keberhasilan dalam

pemacuan stock yang dilakukan di Jepang tentang perikanan scallop. Menurut Uki (2006), bahwa keberhasilan pemacuan stock yang dilakukan di

Jepang dalam pengkayaan stock di laut untuk peningkatan perikanan

scallop di Hokkaido, Jepang dengan memberikan kontribusi panen tetap

tahunan sebesar 300,000 ton per tahun. Panen tersebut menggambarkan

peningkatan kelipatan empat dalam penangkapan yang maksimum.

keberhasilan dari pengkayaan stok scallop di Hokkaido sebagai akibat :

metode yang simple dan efektif dalam penangkapan dan pembesaran

spat dalam jumlah besar; habitat yang ideal untuk pengembangan scallop;

rata-rata kelangsungan hidup spat sebesar >30%. Selanjutnya disebutkan

bahwa elemen yang luar biasa dalam perikanan ini adalah pengembangan

metode untuk penangkapan, pembesaran dan penebaran sebesar 2

milliar benih setiap tahun. Pemakaian spat yang liar tidak hanya untuk

bypass kebutuhan hatcheries, tapi juga menghilangkan resiko

pengenalan binatang genetic modifikasi. Biaya mengumpulkan dan

pembesaran spat dalam ukuran tertentu dilakukan oleh nelayan. Mereka

juga mengorganisir monitoring dan pengawasan populasi scallop dan

lingkungan pada 200 titik di area perikanan, menyesuaikan penangkapan

spat setiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan estimasi untuk

menebarkan benih, menghilangkan predator starfish, dan memberikan

pelatihan kepada anggota baru di koperasi.

2.4 Teori Sistem

2.4.1 Pengertian sistem

Sistem sebagai teori pertama kali dikembangkan oleh L.V. Bertalanffy yang

memperkenalkan pemikirannya tentang General System Theory (GST), ia

mendefenisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling

berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya keahlian generalis dan

33

pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.

(Pressman 1992 diacu dalam Agustedi 2000). Kesisteman adalah suatu meta

konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin

ini dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil. Pendekatan sistem

adalah mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh

(Eriyatno dan Fadjar, 2007). Marimin (2004), mendefinisikan sistem sebagai satu

kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain

yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks.

Pengertian tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan

antara bagian, ini menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi

kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain. Selain itu dapat

dilihat bahwa sistem berusaha mencapai tujuan. Pencapaian tujuan ini

menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus

perlu dikembangkan dan dikendalikan. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa

sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur

dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan.

Semua defenisi tentang sistem mencakup lima unsur utama yang terdapat

dalam sistem yaitu:

(1) Elemen-elemen atau bagian-bagian

(2) Adanya interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian

(3) Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen atau bagian-bagian

tersebut menjadi suatu kesatuan.

(4) Terdapat tujuan bersama, sebagai hasil akhir

(5) Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks

Elemen-elemen yang saling berinteraksi tersebut sering disebut sebagai

subsistem. Disebut demikian karena sebenarnya subsistem tersebut merupakan

suatu sistem yang mempunyai komponen-komponen tersendiri. Sebaliknya suatu

sistem dapat dikatakan sebagai subsistem dari suatu sistem lain yang lebih besar

(Simatupang, 1995).

Manetsch dan Park (1974), mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen

atau komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan terorganisir untuk

menghasilkan satu set tujuan. Tiga syarat agar pendekatan sistem dapat bekerja

dengan baik: (1) tujuan sistem ditentukan dengan pasti, (2) proses pengambilan

keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat dipusatkan dan (3)

memungkinkan perencanaan jangka panjang.

34

Dent dan Blackie (1979), menyebutkan bahwa penelitian sistem mencakup

dua hal, yaitu analisis komponen dan hubungannya serta proses sintesa yang

mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan sistem aslinya. Hal yang

penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan batas sistem agar dapat

membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Eriyatno (1998) berpendapat bahwa

pendekatan sistem memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah

dan merupakan alat yang memungkinkan untuk mengidentifikasikan,

menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem keseluruhan.

Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metode untuk memecahkan masalah

yang dilakukan dengan melalui pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap

proses. Tahap-tahap tersebut meliputi: evaluasi kelayakan, penyusunan model

abstrak, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem. Menurut

Cooper (1969), ada dua tahap dalam penyusunan model yaitu

mengidentifikasikan komponen-komponen yang penting dari sistem dan

menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari semua komponen.

Pendekatan sistem diperlukan untuk menyelesaikan persoalan dengan

melalui tahapan-tahapan dimana untuk menentukan tujuan dan permasalahan

diawali dengan penentuan kebutuhan-kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat.

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang

menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis dengan metode yang

logis untuk penanganan masalah dan merupakan alat yang memungkinkan untuk

mengidentifikasikan, menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem

keseluruhan (Marimin, 2004; Eriyatno dan Fadjar, 2007). Menurut Eriyatno dan

Fadjar (2007), dalam pendekatan sistem terdapat enam tahapan analisis

sebelum sampai kepada sintesa (rekayasa), yaitu: (1) analisis Kebutuhan; (2)

identifikasi sistem; (3) formulasi masalah; 4) pemodelan sistem; 5) verifikasi dan

validasi model, dan 6) implementasi. Langkah ke 1 sampai dengan ke 6

umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal dengan Analisa

Sistem.

2.4.2 Sistem manajemen ahli

Sistem manajemen ahli merupakan integrasi dari sistem penunjang

keputusan dan sistem pakar. Integrasi tersebut dapat berupa memasukan

sistem pakar ke dalam komponen-komponen sistem penunjang keputusan atau

dengan membuat sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari sistem

35

penunjang keputusan. Integrasi sistem pakar pada sistem penunjang keputusan

dapat dilakukan pada basis data, basis model, sistem dialog, maupun pada

rekayasa sistem dan pengguna. penggunaan sistem pakar di luar komponen

sistem penunjang keputusan dilakukan dengan menggunakan keluaran dari

sistem pakar sebagai masukan pada sistem penunjang keputusan atau

sebaliknya. disamping itu, sistem pakar juga dapat digunakan untuk melengkapi

proses pengambilan keputusan pada sistem penunjang keputusan (Turban,

1988).

Sistem manajemen ahli lahir dari perpaduan dua bentuk sistem yaitu sistem

penunjang keputusan dan sistem pakar (knowledge-based systems). sistem

manajemen ahli merupakan sistem yang menerapkan konsep framework untuk

melakukan analisis struktur terhadap proses pengambilan keputusan. hasil

analisa tersebut selanjutnya akan diproses di dalam suatu sistem pakar untuk

membantu pengguna dalam memecahkan masalah. teknik-teknik yang

mendukung sistem manajemen ahli dapat dilihat pada Gambar 5.

Eriyatno (1998) berpendapat bahwa sistem manajemen ahli dapat

didefinisikan sebagai gabungan interaktif dari tiga basis sumberdaya informasi,

yaitu sistem manajemen basis data (Data Base Management System), sistem

manajemen basis model (Model Base Management System), dan sistem

manajemen basis pengetahuan (Knowledge Base Management System). Ketiga

Basis Pengetahuan • Heuristik • Tatacara inferensi

Ilmu Manajemen • Manajemen Penelitian

& Pengembangan

Model Optimasi • Program Matematika • ProgramSasaran

Ganda

Perangkat Lunak • User Friendly • Integrated

Analisa Keputusan • Model preferensi

manusia • Model keputusan

normatif • Analisa utilitas atribut

ganda

SISTEMMANAJEMEN AHLI

Gambar 5. Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli (Eriyatno 1998).

36

basis informasi tersebut diolah dalam unit pemrosesan terpusat yang menerima

sinyal dari sistem manajemen dialog (Dialogue Management System) yang

bersifat interaktif dengan pengguna. Struktur dari sistem manajemen Ahli dapat

dilihat pada Gambar 6.

2.4.3.Sistem penunjang keputusan

Menurut Eriyatno (1998), sistem penunjang keputusan (SPK) adalah

konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan

para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Sistem penunjang keputusan

dimaksudkan untuk memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem sehingga

dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Karakterisasi pokok

yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan yaitu:

(1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan

(2) Adanya dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap berganda

(3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain

ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen, dan intelegensia

buatan

(4) Mempunyai kemampuan aditif terhadap perubahan kondisi dan

kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.

Eriyatno (1998) melanjutkan bahwa aplikasi sistem penunjang keputusan

selanjutnya mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu melalui pendekatan

sistem. Penggunaan sistem penunjang keputusan seyogyanya ditunjang oleh

Gambar 6 Struktur sistem manajemen ahli.

Pengguna

Sistem Manajemen Dialog

Struktur Komunikasi

Sistem Manajemen Basis Data

Sistem Manajemen Basis Model

Model-model

kuantitatif dalam pengambilan

keputusan

Sistem Manajemen Basis Pengetahuan

- “Query Generation” - Transformasi

Jawaban - Aturan yang berlaku

Pengguna Pengguna

37

berbagai studi lapangan dan penelitian kasus guna menelusuri validitas input dan

parameter-parameternya.

Landasan utama dalam pengembangan sistem penunjang keputusan untuk

model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk

menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan,

yaitu: (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model, dan (3) data.

Hubungan antar komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

Menurut Minch dan Burns (1983), sistem manajemen dialog adalah

subsistem dari sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung

dengan pengguna, yakni menerima masukan dan memberikan keluaran. sistem

manajemen basis data harus bersifat interaktif dan luwes dalam arti mudah

dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi, dan struktur elemen-elemen data.

sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk

mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang

tergabung dalam permodelan sistem penunjang keputusan.

Sistem pengolahan problematik adalah koordinator dan pengendali dari

operasi sistem penunjang keputusan secara menyeluruh. sistem ini menerima

masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk baku serta menyerahkan

keluaran ke sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Fungsi

utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan

antar sub sistem (Eriyatno,1998).

Data Model

Pengguna

Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)

Sistem Pengolahan Problematik

Sistem Manajemen Dialog

Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)

Gambar 7. Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno 1998).

38

Keen dan Morton (1978) dalam Marimin (2004), menyatakan bahwa

aplikasi Sistem Penunjang Keputusan akan bermanfaat bila terdapat kondisi

sebagai berikut:

(1) Data sangat banyak sehingga sulit untuk memanfaatkannya.

(2) Waktu untuk menentukan hasil akhir atau mencapai keputusan terbatas.

(3) Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan.

(4) Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan

solusi berdasarkan akal sehat.

2.4.4. Sistem pakar

Menurut Oxman (1985) dalam Marimin (2005), sistem pakar (Expert

System) merupakan perangkat lunak komputer yang menggunakan pengetahuan

(aturan-aturan tentang sifat dan unsur suatu masalah), fakta, dan teknik inferensi

untuk memecahkan masalah yang biasanya membutuhkan kemampuan seorang

ahli/praktisi. System pakar menggunakan informasi faktual dan observasi yang

didasarkan atas pengalaman dan intuisi ahli agar sistem pakar dapat bernalar

seperti manusia. Sistem pakar tidak memiliki solusi algoritma yang praktis.

Seringkali keputusan dibuat berdasarkan informasi yang tidak lengkap

berdasarkan pendapat dan intuisi, spekulatif, tidak pasti, dan kabur (fuzzy).

Menurut Marimin (2005), pengetahuan yang digunakan dalam sistem pakar

terdiri dari kaidah-kaidah (rules) atau informasi dari pengalaman tentang tingkah

laku suatu unsur dari suatu gugus persoalan. Kaidah-kaidah biasanya

memberikan deskripsi tentang kondisi yang diikuti oleh akibat dari prasyarat

tersebut. Sistem pakar dapat memberikan saran, kesimpulan, dan penjelasan

untuk menyelesaikan persoalan tertentu.

Sistim pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan

dan konsultasi. Bagian pengembangan sistem pakar digunakan oleh

penyusunnya untuk memasukan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem

informasi. Sedangkan bagian konsultasi digunakan untuk mendapatkan

pengetahuan ahli serta saran, nasehat ataupun justifikasi (Marimin, 2005).

39

Sistem pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan

Marimin (2005) melanjutkan, bahwa pada prinsipnya sistem pakar tersusun

dari beberapa komponen yang mencakup:

(1) fasilitas akuisisi pengetahuan

(2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system)

(3) mesin inferensi (Inference Engine)

(4) fasiltas untuk penjelasan dan justifikasi

(5) penghubung antara pengguna dengan sistem pakar (User interface)

Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya.

Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut disajikan pada Gambar 8.

Bagian terpenting dari Sistem Pakar adalah mekanisme inferensi yang berfungsi

untuk memanipulasi dan mengarahkan fakta, kaidah dan model yang disimpan

dalam sistem berbasis pengetahuan dalam rangka mencapai solusi atau

kesimpulan. Mekanisme inferensi terdiri dua strategi, yaitu (1) strategi penalaran

dan (2) strategi pengendalian. Strategi penalaran dikelompokan lagi menjadi

strategi penalaran pasti (Exact Reasoning Mechanism) dan strategi penalaran

tidak pasti (Inexact Reasoning Mechanism).

Gambar 8. Struktur dasar sistem pakar (Marimin, 2005).

AHLI Pengguna

Penghubung

Akuisisi ilmu pengetahuan

Sistem berbasispengetahuan

Dangkal

Mendalam

Statis Dinamis

MekanismeInferensi

Strategi

Penalaran

Strategi

Pengendalian

- Fakta - Aturan - Model

- Fakta - Aturan - Model

- Fakta - Aturan - Model

Fasilitas penjelasan

- Nasehat - Justifikasi - Konsultasi

40

Menurut Marimin (2005), strategi penalaran pasti meliputi modus ponens

dan modus tollens dan beberapa teknik resolusi. Kaidah modus ponens dapat

digambarkan sebagai berikut:

Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika

A maka B dan diketahui bahwa A benar,maka dapat diambil kesimpulan yang

sah bahwa B adalah benar.

Kaidah modus tollens pada prinsipnya merupakan kebalikan dari kaidah

modus ponens, dan dapat digambarkan sebagai berikut:

Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika

A maka B dan diketahui bahwa B adalah salah,maka dapat disimpulkan bahwa A

salah.

Strategi pengendalian yang sering digunakan dalam Sistem Pakar terdiri

dari mata rantai ke depan (Forward Chaining), mata rantai ke belakang

(Backward Chaining), dan gabungan dari kedua teknik pengendalian tersebut.

Ketiga teknik strategi pengendalian tersebut digunakan untuk melakukan

pencarian dan pembuktian bahwa suatu solusi dari suatu persoalan ada atau

benar.

Teknik mata rantai ke belakang melacak suatu kesimpulan sementara atau

akhir yang kemudian dilacak melalui fakta-fakta pendukung dan kaidah-kaidah

yang ada, serta untuk mendapatkan variabel pembentuk kesimpulan.

Sedangkan pada teknik mata rantai ke depan, kesimpulan suatu kasus dibangun

berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahui.

Dengan struktur dasar seperti telah dijelaskan di atas, Marimin (2005)

berpendapat bahwa sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk

menyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh

teknik kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), terutama untuk pemecahan

A B

A

B

A B

(not) B

(not) A

41

persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritme. Dalam penerapannya,

sistem pakar dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang bersifat

analitis (interprestasi dan diagnostik), sintesis, dan integrasi yang sesuai dengan

konsep sistem informasi dengan penerapan data dasar (modelisasi konseptual,

konsepsi fisik, restrukturisasi data dan administrasi dokumen).

2.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan analisa kelayakan

investasi diantaranya telah dilakukan oleh Hadisenjaya (1995) yang merancang

dan mengembangkan model FISHTool yang merupakan aplikasi sistem

penunjang keputusan untuk investasi pada industri tepung ikan. Model ini dibuat

untuk membantu menganalisa kelayakan pendirian industri tepung ikan ditinjau

dari aspek pasar, aspek teknis khususnya pemilihan lokasi, dan aspek finansial.

Kriteria investasi yang digunakan untuk mengukur kelayakan dalam model ini

adalah Payback Period, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return

(IRR).

Selanjutnya Agustedi (2000) merancang model Perencanaan Pembinaan

Agroindustri Hasil Laut Orientasi Ekspor dengan Pendekatan Wilayah yang

dikembangkan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menghasilkan suatu model

perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi eksport dengan

pendekatan wilayah yang antara lain meliputi analisis faktor-faktor pendukung

dan penghambat pembinaan agroindustri hasil laut, menganalisis struktur biaya

biaya usaha agro industri hasil laut. Penelitian juga menghasil satu perangkat

lunak AGROSILA sebagai suatu model berbasis komputer.

Penelitian Giyatmi (2005) dengan judul Sistem Pengembangan Agroindustri

Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi

Jawa Tengah. Penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengkaji dan

merumuskan cara pengelompokan wilayah untuk pengelompokan kawasan

pengembangan, mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas

potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan

usahanya di masing-masing kawasan pengembangan serta menyusun suatu

strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri

perikanan laut serta mengembangkan alternatif model pengembangan

agroindustri hasil laut berbasis sistem penunjang keputusan. Kajian ini

42

menghasilkan sistem pengembangan agroindustri perikanan laut yang dirancang

dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL.

CAP-AQUADEV ini dirancang untuk membantu para pengambil keputusan

di lingkungan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan ke depan. Hasil

akhir yang direkomendasikan yaitu (1) sub model potensi SDI, (2) sub model

kesesuaian lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub

model pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan usaha, (6) sub

model strategi, dan (7) sub model kelembagaan.

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 24 bulan, mulai dari Maret 2006 hingga

Maret 2008. Pengolahan, tabulasi, dan analisis data serta pembuatan perangkat

lunak komputer dilaksanakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (FPIK

IPB). Penelitian lapang di laksanakan di Kabupaten Lampung Selatan.

Kegiatan penelitian meliputi:

(1) Survei terhadap lokasi penelitian untuk analisis dan identifikasi masalah

terkait dengan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya serta

merancang percobaan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006 -April

2006.

(2) Studi pustaka untuk mendapatkan data-data pendukung dalam analisis

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, dilakukan bulan April

2007-Mei 2007 di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jakarta,

Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, lembaga-lembaga penelitian

terkait lainnya, FPIK IPB dan perguruan tinggi lain.

(3) Pengumpulan data utama terkait dengan integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya, dilakukan di Lampung Selatan,

Dinas Perikanan dan Kelautan Lampung, DKP, FPIK IPB, bulan Juni 2007–

Nopember 2007.

(4) Pengolahan data dan pembuatan perangkat lunak komputer CAP-

AQUADEV, dilakukan di FPIK IPB bulan Nopember 2007-Maret 2008.

(5) Penulisan laporan dan konsultasi (disertasi) bulan Agustus 2007–Maret

2008, dilakukan di FPIK IPB.

3.2. Tahap Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pelaksanaan penelitian ini melalui

tahapan:

(1) Pengambilan data primer dan sekunder;

(2) Analisis potensi SDI dan kondisi existing perikanan tangkap;

(3) Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya;

(4) Analisis pemilihan teknologi unggulan;

(5) Analisis pemilihan komoditas potensial;

44

(6) Analisis kelayakan usaha;

(7) Analisis kelembagaan

(8) Identifikasi elemen sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya; serta

(9) Perancangan software Cap-Aquadev.

Gambar 9. Bagan alir proses penelitian

Identifikasi elemen sistem pengembangan dimaksudkan untuk

mendapatkan elemen-elemen penting sistem yang digunakan untuk

perancangan model integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya. Permodelan sistem digunakan untuk merumuskan hubungan antara

masukan dan keluaran dan memprediksi hasil yang dimungkinkan. Pengumpulan

data digunakan untuk melakukan verifikasi model, yaitu di Lampung Selatan.

Perancangan sistem pengambilan keputusan berbasis komputer dimaksudkan

untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang rasional dalam integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya secara cepat dan

efektif.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian, data dikumpulkan melalui studi pustaka dan

survei lapang untuk mendapatkan data primer dan sekunder. Data sekunder

45

diperoleh dari beberapa literatur dan instansi terkait, baik di daerah maupun di

tingkat pusat. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara

mendalam (in-depth interview) atau dengan bantuan kuesioner terhadap pihak

terkait, seperti nelayan, pelaku usaha budidaya, tenaga kerja yang bergerak

pada usaha budidaya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Teknik

pengambilan contoh (expert survey) dilakukan dengan teknik pengambilan

contoh purposif (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang

keahlian sesuai bidang kajian.

3.4. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang telah

dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode yang tercakup dalam

Model CAP-AQUADEV. Konfigurasi Model CAP-AQUADEV terdiri dari Sub

Model Potensi SDI, Sub Model Kesesuaian Lahan Pengembangan Perikanan

Budidaya, Sub Model Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Layak

dikembangkan, Sub Model Pemilihan Komoditas Unggulan, Sub Model

Kelayakan Usaha, Sub Model Strategi integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya, Sub Model Kelembagaan pengembangan

perikanan tangkap berbasis budidaya.

Tabel 1. Matriks pengambilan dan analisa data penelitian

Tujuan Penelitian Metode Pengambilan Data

Metode Pengolahan dan Analisa Data

1. Kajian potensi SDI di Lampung Selatan

Survei lapang CPUE dan MSY

2. Kajian kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan.

Survei dan wawancara

Pembobotan

3. Kajian teknologi penangkapan ikan yang ideal dikembangkan di Lampung Selatan.

Suvei dan wawancara

OWA

4. Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Suvei dan wawancara

OWA

5. Kelayakan usaha Survei dan wawancara

NPV, IRR, B/C

6. Menyusun tahapan ataupun prioritas kegiatan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Questioner AHP

7. Menyusun strategi pengembangan cara pemberdayaan kelembagaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Suvei dan wawancara/ FGDM

ISM

46

Kajian Potensi SDI. Metode penelitian yang digunakan adalah survei

deskriptif. Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan fakta-fakta dan mencari

keterangan-keterangan tentang potensi sumber daya perikanan (tangkap),

mengidentifiksi permasalahan serta mencari keterkaitan dan hubungan-

hubungan, membuat prediksi, mendapatkan pembenaran dan implikasi dari

permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data-data tersebut sebagai

landasan untuk menyusun konsep pengelolaan perikanan. Pengelolaan

perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk:

(1) Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa

keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan.

(2) Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi

para pihak pengguna sumberdaya perikanan.

(3) Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait

dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan, terutama nelayan.

Konsep dasar yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa

pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya

dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan

tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan

alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass ikan. Oleh karena itu, upaya

pengelolaan diawali dengan pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat

diketahui. Bahwa analisis akan diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang

hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan pemantauan terhadap

upaya penangkapan, terutama untuk memantau apakah sudah terjadi eksploitasi

yang berlebih, dengan melihat hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran

yang tertangkap.

Kajian atau pendugaan potensi sumberdaya ikan menggunakan metode

surplus produksi dari Schaefer (1988) dalam FAO (1999), yang mendasarkan

pada asumsi bahwa Catch per Unit Effort (CPUE) meruipakan fungsi dari f yang

bersifat linier dengan rumus :

Sehingga;

47

Sedangkan:

Keterangan:

CPUE : cacth per unit effort

C : hasil tangkapan

f : effort/ upaya penangkapan

Ci : jumlah tangkapan periode ke-i

MSY : potensi lestari

Perhitungan nilai CPUE dihitung setelah melakukan standarisasi alat

tangkap. Alat tangkap yang dijadikan standar mempunyai nilai faktor daya

tangkap atau Fishing Power Indexs (FPI) sama dengan 1 (satu).

Berdasarkan hasil kajian stok dan pemantauan tersebut, dengan

memperhatikan aspek resiko yang mungkin timbul dan aspek lingkungan

(ekologi, sosial ekonomi dan budaya), maka akan dapat dibuat suatu peraturan

perikanan, terutama terkait dengan pengaturan upaya penangkapan (jenis alat,

jumlah alat, waktu dan lokasi) dan pengaturan hasil tangkapan (ukuran yang

boleh ditangkap dan jumlah atau kuota).

Kajian Potensi Budidaya Laut. Analisis pengembangan Budidaya Laut di

Lampung Selatan diawali dengan studi keadaan umum dan potensi perikanan

khususnya di seluruh wilayah Lampung Selatan, dan selanjutnya dirinci, terutama

yang berhubungan dengan potensi lahan pengembangan dari komoditi perikanan

laut dan kesinambungan usaha perikanan budidaya laut, gambaran tentang

usaha perikanan budidaya laut yang telah ada dan berkembang, serta teknologi

pembudidayaan yang digunakan.

Perumusan Cara Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang layak dikembangkan dan prioritas komoditas potensial dan produk unggulan.

Penentuan teknologi penangkapan ikan dan prioritas komoditas potensial

merupakan proses yang sangat penting mengingat keberadaan teknologi

penangkapan ikan dan komoditas dalam integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya dapat menjadi penentu keberlangsungan

48

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Di dalam penentuan jenis teknologi penangkapan ikan dan komoditas

potensial untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya di wilayah Lampung Selatan didasarkan pada beberapa kriteria.

Menurut Monintja (2000) kriteria untuk teknologi penangkapan ikan yang ramah

lingkungan adalah sebagai berikut: 1) selektivitas tinggi, 2) tidak destruktif

terhadap habitat, 3) tidak membahayakan nelayan (operator), 4) menghasilkan

ikan bermutu baik, 5) produk tidak membahayakan konsumen, 6) minimum hasil

tangkapan yang terbuang, 7) dampak minimum terhadap keanekaragaman

sumberdaya hayati, 8) tidak menangkap spesies yang di lindungi atau terancam

punah. Sedangkan kriteria yang diperlukan dalam pemilihan komoditi potensial

yang akan dikembangkan, diantaranya berupa nilai ekonomis komoditas,

peluang diversifikasi komoditas serta kelayakan budidaya (kesesuaian lahan).

Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA

Operator. Pemilihan prioritas alternatif ditentukan dengan metode Evaluasi

Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation atau IPE) dengan kaidah

Fuzzy Group Decision Making (FGDM). Sebagai alternatif, akan dipilih beberapa

jenis ikan berdasarkan rataan volume produksi selama sepuluh tahun terakhir.

Responden menilai setiap kriteria atau alternatif dengan skala Paling Rendah

(PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T), Sangat Tinggi

(ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect).

Pemilihan produk budidaya laut berpedoman pada pilihan parameter-

parameter dari setiap kriteria penentuan produk unggulan, di antaranya

berdasarkan kelayakan komoditas, ketersediaan dan tingkat kemudahan

teknologi, nilai ekonomis, peluang pasar, penyerapan tenaga kerja, dampak

ganda terhadap sektor lain, dampak terhadap lingkungan, dan kondisi budidaya

laut saat sekarang.

Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA

Operator. Pemilihan prioritas alternatif digunakan metode Evaluasi Pilihan Bebas

atau IPE dengan kaidah FGDM. Responden menilai setiap kriteria atau alternatif

dengan skala Paling Rendah (PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang

(S), Tinggi (T), Sangat Tinggi (ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect).

Perumusan Kelayakan Investasi. Dengan melihat manfaat finansial dan

ekonomi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

49

budidaya di Kabupaten Lampung Selatan, maka dilakukan studi kelayakan atas

investasi yang ditanamkan. Dalam rangka mencari usuran menyeluruh tentang

manfaat investasi digunakan berbagai macam kriteria investasi yang dinyatakan

dengan indeks. Indeks-indeks tersebut disebut sebagai “kriteria investasi”, di

mana setiap indeks menggunakan nilai kini (present value) yang telah didiskonto

dari arus manfaat dan biaya selama umur suatu usaha atau investasi.

Penilaian atas suatu investasi dilakukan dengan membandingkan semua

penerimaan yang diperoleh akibat investasi tersebut dengan semua pengeluaran

yang harus dikorbankan selama proses investasi dilaksanakan. Baik penerimaan

maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat dibandingkan

dan harus dihitung pada waktu yang sama. Dalam analisis ini akan dikembalikan

pada nilai kini (present value). Karena baik penerimaan maupun pengeluaran

berjalan bertahap, maka terjadi arus pengeluaran dan penerimaan yang

dinyatakan dalam bentuk arus tunai (cash flow).

Kriteria yang akan digunakan dalam studi kelayakan pada penelitian ini

didasarkan pada analisis biaya manfaat baik secara finansial maupun ekonomi.

Kriteria-kriteria yang digunakan adalah:

(1) Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan

jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus untuk

menghitung NPV adalah:

Atau

Keterangan:

NB : Net Benefit (Benefit – Cost).

B : Benefit yang telah di-discount.

C : Cost yang di-discount.

i : Discount factor.

n : Waktu (tahun).

50

Kriteria keputusan yang diambil dalam menentukan kelayakan

berdasarkan NPV adalah:

• Jika NPV > 0, berarti investasi dinyatakan menguntungkan atau layak untuk

dilakukan.

• Jika NPV < 0, berarti investasi dinyatakan tidak menguntungkan atau tidak

layak untuk dilaksanakan.

• Jika NPV = 0, maka investasi pada proyek tersebut hanya mengembalikan

manfaat yang persis sama dengan tingkat social opportunity cost of capital

(SOCC).

(2) Internal Rate of Return (IRR) IRR atau internal rate of return adalah suatu tingkat discount rate yang

menghasilkan net present value sama dengan nol. IRR merupakan suku bunga

maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam

keadaan batas untung rugi. Oleh karena itu juga dianggap sebagai tingkat

keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Asal setiap manfaat yang

diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan

mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur

proyek. Rumus untuk menghitung IRR adalah:

 

Keterangan:

i1 : tingkat discount rate yang dihasilkan NPV1. i2 : tingkat discount rate yang dihasilkan NPV2.

Proyek atau investasi dikatakan layak bila IRR > dari tingkat bunga berlaku.

Sehingga bila IRR ternyata sama dengan tingkat bunga yang berlaku, maka

NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga

yang berlaku, maka berarti nilai NPV < 0, berarti proyek tidak layak.

(3) Benefit Cost Ratio (B/C Rasio)

Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) merupakan perbandingan antara total

penerimaan kotor dan total biaya produksi. Rumus yang digunakan untuk

menghitung Net B/C adalah:

51

Kriteria keputusan yang diambil dalam menentukan kelayakan

berdasarkan perbandingan antara pendapatan kotor dan biaya produksi adalah:

1) jika B/C Ratio > 1, layak diterima;

2) jika B/C Ratio < 1, tidak layak diterima.

Perumusan Analisis Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Strategi integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya dirumuskan dengan teknik pengambilan

keputusan Analytical Hierarchy Process. Penyusunan strategi pada penelitian

dapat dilakukan di tahap awal. Penyusunan strategi pada penelitian dapat

dilakukan di tahap awal (fase identifikasi) atau di akhir (fase setelah kelayakan)

dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Dengan kata lain penyusunan strategi dapat bersifat kualitatif maupun deskriptif

analitik.

Fokus hirarki ini adalah Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan

Tangkap dan Perikanan Budidaya. Hirarki berikutnya merupakan faktor yang

berpengaruh dalam pengembangan, yaitu (1) SDI, (2) potensi lahan budidaya

laut, (3) SDM, (4) teknologi; (5) permodalan, (6) pasar, (7) kebijakan pemerintah,

(8) sarana dan prasarana, (9) informasi, dan (10) kelembagaan. Struktur

dibawahnya adalah tujuan pengembangan, yaitu (1) peningkatan produksi ikan,

(2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha, (4)

peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, (6)

peningkatan konsumsi ikan. Alternatif strategi yang ditawarkan dalam

pengembangan budidaya laut adalah (1) optimalisasi perikanan budidaya, (2)

optimalisasi perikanan tangkap, (3) pengelolaan perikanan tangkap berbasis

perikanan budidaya.

Proses penentuan alternatif kebijakan integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan menggunakan aplikasi

pendekatan proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP). Kriteria

untuk alternatif pengelolaan budidaya laut di Lampung Selatan adalah sebagai

berikut:

1) Aspek hukum; yaitu ditinjau dari aspek hukum, kebijakan yang di ambil tidak

bertentangan dengan hukum.

52

2) Aspek ekonomi; dari aspek ekonomi kebijakan yang di ambil bersifat

menguntungkan.

3) Aspek ekologis (lingkungan); dari aspek ekologis kebijakan yang di ambil

tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.

4) Aspek teknis; dari aspek teknis kebijakan yang di ambil bersifat secara teknis

efektif digunakan.

5) Aspek sosial; dari aspek sosial kebijakan yang di ambil dapat diterima

masyarakat nelayan.

Proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP) dirancang

untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat

dengan permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang di desain untuk

sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Analisis ini

merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu

model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, dan biasanya diterapkan

untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, maupun masalah-masalah

yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks

atau tidak berkerangka, pada situasi di mana data dan informasi statistik sangat

minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh

persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP juga banyak digunakan pada

pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber

daya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam

situasi konflik (Saaty, 1993 dan Marimin, 2004).

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan

dengan pendekatan sistem, di mana pengambil keputusan berusaha memahami

suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil

keputusan (Saaty, 1993).

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks

yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta

menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel di

beri nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara

relatif dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai

pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel

yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada

sistem tersebut (Marimin, 2004). AHP dan analisa kelayakan usaha sangat baik

digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam menentukan jenis

53

perlakuan terhadap lingkungan budidaya (Jadwiga, 2008). Selain itu model atau

software sudah lazim digunakan dalam penentuan prioritas untuk

memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih

yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009).

Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk

memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan

analisis menggunakan bioekonomi model. Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan

dengan analisis logis eksplisit, yaitu:

(1) Prinsip menyusun hirarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-

langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang

merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen

pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan

seterusnya secara hierarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah

menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan.

(2) Prinsip menetapkan prioritas Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu

aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemen-

elemen menurut relatif pentingnya.

(3) Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan,

dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten

dengan kriteria yang logis.

Langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty (1993) adalah:

(1) Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan.

(2) Membuat struktur hierarki dari sudut pandang manajerial secara

menyeluruh. Pada tingkat puncak dari suatu hierarki disebut fokus yang

terdiri atas hanya satu elemen. Fokus merupakan sasaran keseluruhan

yang sifatnya luas. Pada tingkat-tingkat berikutnya masing-masing dapat

memiliki beberapa elemen. Elemen-elemen dalam tingkat harus dari derajat

besaran yang sama. Tingkat terendah terdiri atas berbagai tindakan akhir

54

atau rencana-rencana alternatif, yang bisa memberikan kontribusi secara

positif ataupun negatif bagi pencapaian sasaran utama melalui

pengaruhnya pada berbagai kriteria yang ada diantara kedua tingkat

tersebut.

(3) Menyusun matriks banding berpasangan. Dari matriks banding

berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas

setiap kriteria yang berpengaruh terhadap fokus. Perbandingan

berpasangan yang pertama dilakukan pada fokus dan elemen satu tingkat

dibawahnya.

(4) Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan

perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah 3.

(5) Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang

diagonal utama. Angka pada skala banding berpasangan digunakan bila

baris lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus dibanding kolom,

maka digunakan angka kebalikannya. Bila membandingkan suatu elemen

dalam matriks dengan elemen itu sendiri, perbandingan itu harus memberi

bilangan 1, maka diagonal matriks diisi dengan bilangan-bilangan 1.

Melaksanakan langkah 3,4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam

hierarki.

(6) Sintesis berbagai pertimbangan untuk memperoleh suatu taksiran

menyeluruh dari prioritas relatis. Nilai-nilai dalam setiap kolom dijumlahkan

lalu membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom

tersebut untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi, yang

memungkinkan pembandingan antar elemen yang bermakna. Kemudian

merata-ratakan sepanjang baris dengan menjumlahkan semua nilai dalam

setiap baris dari matriks yang dinormalisasi dan membaginya dengan

banyaknya entri dari setiap matriks untuk mendapat Vektor Prioritas (VP).

Saaty (1993) mengatakan bahwa proses pada AHP adalah

mengidentifikasi, memahami, dan menilai intreraksi-interaksi suatu sistem

sebagai suatu keseluruhan. Dalam penilaian AHP dan pengisian matriks banding

berpasangan menggunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2).

Pengisian matriks hanya dapat dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari

kiri ke kanan bawah.

55

Tabel 2. Nilai skala banding berpasangan

Intensitas pentingnya Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu

3 Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain

5 Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain

Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan

Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan

kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

Sumber : Saaty (1993)

Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan,

maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel cij mempunyai karakteristik

sedemikian sehingga ;

Atau

Jika C1, C2, …,Cn adalah elemen yang akan dibandingkan, dan n adalah jumlah

elemen yang akan dibandingkan (Tabel 3).

Tabel 3. Matriks elemen

C1 C2 ….. Cn

C1 1 a12 …. A1n C2 1/a12 1 ….. A2n ….. ….. …. 1 …. Cn 1/a1n 1/a2n ….. 1

56

Analisis selanjutnya adalah menghitung nilai-nilai yang telah dihitung dari

setiap matriks untuk mendapatkan vektor prioritas (VP). Selain itu juga dilakukan

sintesis berbagai pertimbangan dan mendapatkan nilai konsistensi. Tabel 4. Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor

prioritas

C1 C2 … Cn Matriks Normalisasi VP

C1 1 A12 … A1n 1/J1 A12/J2 … A1n/Jn P1

C2 1/a12 1 … A2n A21/J1 1/J2 … A2n/Jn P2

… … … 1 …. … … … …. …

Cn 1/a1n 1/a2n … 1 An1/J1 An2/J2 … 1/Jn pn

Σ J1 J2 … Jn ΣVP Penghitungan nilai eigen Maks (λ maks) dengan rumus :

Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :

Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) adalah :

Keterangan:

RI : Indeks acak (random Indeks) dari matriks berordo 1 sampai 15 (Tabel Nilai Indeks Acak).

CR dikatakan mempunyai tingkat konsistensi yang tinggi dan dapat

dipertanggungjawabkan bila bernilai lebih kecil atau sama dengan 0,1. Hal ini

dikarenakan merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil

perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty ,1993).

57

Tabel 5 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15

N RI N RI N RI 1 0,00 6 1,24 11 1,51 2 0,00 7 1.32 12 1,48 3 0,59 8 1,41 13 1,56 4 0,90 9 1,45 14 1,57 5 1,12 10 1,49 15 1,59

Sumber : Saaty (1993)

Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP memberi suatu sarana yang berguna

untuk menstruktur hierarki, baik untuk perencanaan yang diproyeksikan

(deskriptif) maupun perencaan ideal (normative). Perhitungan dengan AHP ini

menggunakan bantuan software expert choice 2000.

Analisis Kelembagaan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Untuk mengkaji keterkaitan/hubungan konsteksual

antar elemen dan sub elemen dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya digunakan metode Interpretative Structural Modelling

(ISM). Elemen sistem pengembangan mencakup pelaku/lembaga yang berperan

dalam pengembangan, kebutuhan untuk pelaksanaan program, kendala

program, tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, dan aktivitas yang dibutuhkan

guna perencanaan tindakan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penggunaan teknik ISM adalah

sebagai berikut (Marimin, 2004):

(1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat

diperoleh melalui penelitian, brainstroming, dan lain-lain.

(2) Hubungan konstektual: Sebuah hubungan konstektual antar elemen

dibangun, tergantung pada tujuan dari permodelan.

(3) Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction

matrix/SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap

elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk

mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang

dipertimbangkan adalah:

V : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.

A : hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.

X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya).

O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.

58

(4) Pembuatan matriks reachability (reachability matrix/RM): Sebuah RM yang

dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah

matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan:

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan

Eji = 0 dalam RM;

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan

Eji = 1 dalam RM;

• Jika hubungan Ei terhadapa Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0

dan Eji = 0 dalam RM;

RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect

reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1.

(5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam

level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat

diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: reachability set (Ri),

adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei,

dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana

elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri =

Ri ∩ Ai, adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya

elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-

iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk

level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama.

Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level

yang berbeda.

(6) Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level

yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian

besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan

terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan

digraph.

(7) Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph

sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan

level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.

digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua

komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.

(8) Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan

memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh

59

sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-

elemen sistem dan alur hubungannya.

3.5 Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah

yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan

sistem operasional yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam

pendekatan sistem ini meliputi analisis kebutuhan, formulasi permasalahan dan

identifikasi sistem. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi

perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin terorganisir, adanya

penggunaan model matematika, berfikir secara kuantitatif, optimasi dan dapat

diaplikasikan dengan teknik simulasi serta dapat direkayasa dengan bantuan

komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun

penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah.

3.5.1 Analisis kebutuhan

Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya melibatkan berbagai pihak atau pelaku, baik yang secara langsung

maupun yang tidak langsung terkait dalam sistem. Masing-masing pelaku atau

lembaga memiliki kebutuhan. Analisis kebutuhan masing-masing pihak

merupakan permulaan pengkajian dalam sistem. Dalam tahap ini dicari secara

selektif apa saja yang dibutuhkan dalam analisis sistem. Sistem integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dalam

operasionalnya harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan pelaku yang

terlibat secara optimal. Keterkaitan kebutuhan antar pelaku diantaranya

menyangkut permodalan, teknologi, pemasaran, sarana prasarana, dan

kebijakan.

Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan komponen-komponen atau

pelaku yang berpengaruh dan berperan dalam sistem atau sub sistem.

Komponen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan

tujuannya masing-masing dan saling berintegrasi satu sama lain, serta

berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Dari analisis kebutuhan,

komponen-komponen yang berpengaruh adalah nelayan, pembudidaya ikan,

investor, pengusaha, pemerintah, konsumen, lembaga keuangan (bank) dan

lembaga pendidikan.

60

Para pelaku yang terlibat dalam integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya adalah:

(1) Nelayan

Merupakan kelompok masyarakat yang mata pencaharian utamanya mencari

ikan. Nelayan terdiri dari kelompok pemilik kapal atau perahu maupun

nelayan pekerja yang tidak mempunyai perahu. Nelayan merupakan pelaku

utama dalam perikanan tangkap dan akan terkena dampak langsung apabila

ada permasalahan dalam sistem perikanan tangkap.

(2) Pembudidaya ikan

Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha pembudidayaan

atau pembesaran ikan.

(3) Investor

Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan investasi atau

penanaman modal untuk usaha perikanan budidaya

(4) Pengusaha

Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha perikanan tangkap

dan perikanan budidaya.

(5) Pemerintah; yaitu lembaga otoritas lokal (Pemerintah Kabupaten Lampung

Selatan, Pemerintah Propinsi Lampung) maupun Pemerintah Pusat yang

mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(6) Lembaga Keuangan atau Perbankan; merupakan institusi keuangan baik

berupa bank atau lembaga keuangan lainnya yang dapat berperan sebagai

pemberi dana untuk keperluan investasi.

(7) Pembeli (konsumen ikan); adalah masyarakat yang melakukan transaksi

pembelian ikan. Konsumen terbagi menjadi konsumen rumah tangga dan

konsumen industri pengolahan ikan. Konsumen berperan penting dalam

pengembangan produksi ikan. Peningkatan jumlah konsumen akan memacu

peningkatan produksi ikan.

(8) Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan (riset), sebagai lembaga yang

melakukan kegiatan penelitian.

Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan pelaku-pelaku atau

elemen-elemen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem ataupun sub

sistem. Elemen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai

dengan tujuannya masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta

61

berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada (Eriyatno, 2003 dan

Marimin, 2004).

Pelaku yang terlibat dalam sistem integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya mencakup nelayan, pembudidaya ikan,

konsumen, lembaga keuangan atau perbankan, instansi pemerintah terutama

pihak perikanan dan instansi terkait lainnya di daerah dan di pusat. Analisis

kebutuhan dari masing-masing elemen tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Nelayan

Produktivitas nelayan meningkat.

Tersedianya sarana dan prasarana penangkapan.

Tersedianya modal berusaha.

Harga jual ikan layak dan stabil.

Permintaan terhadap hasil perikanan kontinyu.

Penguasaan teknologi yang baik.

Kesejahteraan keluarga meningkat.

(2) Pembudidaya ikan

Tersedianya sarana dan prasarana budidaya.

Tersedianya modal berusaha.

Harga jual ikan tinggi atau wajar.

Permintaan terhadap hasil budidaya kontinyu.

Pemasaran terjamin.

Produktivitas meningkat.

Kesejahteraan meningkat.

(3) Pengusaha

Pasokan bahan baku terjamin, harga rendah dan mutu baik.

Pemasaran produk terjamin dengan harga menguntungkan.

Tersedianya modal usaha dengan persyaratan peminjaman yang saling

menguntungkan.

(4) Pedagang atau Bakul

Mutu produk sesuai standar atau selera konsumen dengan harga

rendah.

Biaya produksi dan biaya transaksi rendah.

Harga jual menguntungkan dan permintaan konsumen tinggi.

Pasokan produk terjamin dari segi jumlah maupun waktu.

62

(5) Konsumen

Mutu produk sesuai selera konsumen dengan harga terendah.

Diversifikasi produk.

(6) Lembaga Pembiayaan usaha

Manajemen dan proposal agroindustri hasil laut yang layak.

Resiko penyaluran kredit kecil dan pengembalian kredit yang terjamin.

Bunga kredit atau bagi hasil usaha menguntungkan dan jumlah

nasabah meningkat.

(7) Instansi Pemerintah

Bertambahnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengusaha

perikanan.

Tidak terjadinya pencemaran lingkungan.

Meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan bagi PAD.

(8) Investor

Keuntungan tinggi.

Jenis komoditas yang ekonomis tinggi.

Tersedianya modal yang memadai untuk kegiatan perikanan tangkap.

Tersedianya modal yang cukup untuk kegiatan budidaya.

(9) Lembaga Pendidikan

Tingkat suku bunga yang representatif dan pembiayaan yang

menguntungkan.

Peningkatan jumlah nasabah.

Pengembalian kredit lancar.

Resiko penyaluran kredit kecil.

3.5.2 Formulasi permasalahan

Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan

berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhan akibat adanya

keterbatasan sumberdaya. Untuk melakukan pemecahan masalah maka

berbagai kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf

defenitif.

Keberhasilan dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya memerlukan perencanaan yang baik, pengalaman,

pengetahuan serta intuisi yang tepat dari pengambil keputusan. Sinergi

63

kepentingan antar pelaku dalam sistem diharapkan akan mengoptimalkan

pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya, yaitu pemanfaatan secara optimal sumber daya untuk

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi para pelaku, seperti peningkatan

daya saing, keuntungan usaha, pendapatan daerah, lapangan kerja, dan

konsumsi ikan.

Permasalahan yang paling mendasar dalam integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah menjaga kontinuitas bahan

baku, dalam hal ini jenis, volume, dan mutu ikan hasil tangkapan dan hasil

budidaya. Volume hasil tangkapan berfluktuatif dengan mutu yang juga tidak

konsisten, sementara budidaya selalu menginginkan kapasitas produksinya

konstan dengan mutu yang prima, sehingga diperoleh harga jual yang tinggi.

Kurangnya kemampuan SDM dalam mengadopsi teknologi budidaya ikan

menyebabkan produk mempunyai nilai tambah relatif kecil dengan pangsa pasar

yang relatif terbatas di pasar domestik. Sementara itu, kemampuan penanganan

produk sesuai dengan standar mutu internasional juga masih rendah. Hal ini

sering memperlemah daya saing produk di pasar internasional.

Keterbatasan mutu SDM juga memperlemah proses manajerial untuk

mengelola usaha secara profesional, sehingga memperlemah kemampuan untuk

mengakses modal untuk pengembangan usaha. Hal lain yan terkait adalah

lemahnya kemampuan mempresentasikan potensi bisnis perikanan budidaya di

hadapan investor atau pemodal untuk menghilangkan persepsi bahwa bisnis

perikanan budidaya beresiko tinggi.

Kurangnya dukungan yang memadai dalam penyediaan infrastruktur untuk

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, salah satu

penyebabnya adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku,

sehingga akan memperlemah struktur perikanan budidaya.

3.5.3 Identifikasi sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan-

pernyataan kebutuhan komponen aktor atau pelaku dalam sistem dengan

permasalahan-permasalahan yang telah diformulasikan. Identifikasi sistem dapat

digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input-output.

Dalam diagram sebab akibat digambarkan hubungan antar komponen sistem

yang terkait (Gambar 10). Melalui diagram sebab akibat sebagai suatu tahapan

64

dala konsepsualisasi sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya dapat ditunjukkan prediksi dan hipotesis tentang dinamika

dan perilaku sistem.

Gambar 10. Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

Tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM, permodalan,

teknologi, sarana dan prasarana dan potensi perikanan budidaya yang

berkesinambungan. Sebaliknya, berkembangnya perikanan budidaya laut akan

memberi manfaat balik untuk pemenuhan kebutuhan para pelaku, baik pelaku

usaha budidaya laut, maupun pemerintah. Kendala-kendala yang menyertai

dalam proses tersebut harus dipecah secara menyeluruh.

65

Alternatif pemecahan masalah dalam integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya diantaranya wilayah mampu mengidentifikasi

secara baik potensi yang dimiliki dan mampu membuat prioritas dalam

pencapaian tujuan. Penetapan sistem integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya sebagai suatu sistem tertutup memberikan

fasilitas adanya mekanisme pengendalian atau kontrol terhadap timbulnya suatu

output sistem yang tidak dikehendaki. Visualisasi diagram input-output sistem

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya disajikan

pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

SISTEM INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN

TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA

MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA

66

Diagram input-output menggambarkan masukan (input) dan luaran (output)

dari model yang dikembangkan. Input terdiri dari dua golongan, yaitu yang

berasal dari luar sistem (eksogen) atau input eksternal dan overt input yang

berasal dari dalam sistem (endogen) atau input internal. Input eksternal

merupakan masukan yang mempengaruhi sistem, akan tetapi tidak dipengaruhi

oleh sistem. Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya yang termasuk jenis input ini adalah globalisasi

perekonomian, populasi penduduk, nilai tukar uang, dan otonomi daerah.

Input internal yang berasal dari dalam sistem ini merupakan peubah yang

sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsi yang dikehendaki. Input

internal yang berasal dari dalam sistem ini terdiri dari input yang terkendali dan

input yang tidak terkendali. Input internal tak terkendali dalam sistem ini adalah

potensi perikanan tangkap, potensi perikanan budidaya, fluktuasi harga, dan

permintaan pasar. Input yang terkendali dapat bervariasi selama pengoperasian

sistem untuk menghasilkan kinerja sistem yang dikehendaki atau untuk

menghasilkan output yang dikehendaki. Peran input ini sangat penting dalam

mengubah kinerja sistem selama pengoperasian. Termasuk ke dalam jenis input

ini adalah wilayah budidaya laut, teknologi penangkapan ikan, teknologi budidaya

laut, modal usaha, serta upah dan nelayan.

Output terdiri dari dua, yaitu output yang dikehendaki dan output tak

dikehendaki. Output yang dikehendaki merupakan respon dari sistem terhadap

kebutuhan yang telah ditetapkan secara spesifik dalam analisis kebutuhan. Dan

output yang tidak dikehendaki yang merupakan hasil sampingan atau dampak

yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Output sistem

yang dikehendaki adalah peningkatan volume produksi, peningkatan volume

ekspor, peningkatan PAD dan PDB, peningkatan konsumsi ikan, peningkatan

kesempatan kerja, peningkatan jumlah unit usaha, meratanya distribusi

pendapatan masyarakat, dan berkembangnya lembaga pendukung.

Sedangkan output yang tidak dikehendaki merupakan kebalikannya.

Manajemen pengendali merupakan faktor pengendalian terhadap pengoperasian

sistem dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki dan berusaha

meminimumkan output tidak dikehendaki dengan input terkendali.

3.6 Konfigurasi Model

Sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya dirancang dalam suatu program komputer yang dinamakan CAP-

67

AQUADEV. Paket program dirancang dengan menggunakan bahasa

pemograman Visual Basic dan bahasa C yang terdiri dari tiga sistem utama, yaitu

sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data, dan sistem manajemen

basis model. Konfigurasi model sistem penunjang keputusan (SPK) disajikan

pada Gambar 12.

Gambar 12. Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

3.6.1 Sistem manajemen dialog

Sistem manajemen dialog merupakan rancangan pengaturan interaksi

antara model (program komputer) dengan pengguna (user) yang memuat input

dari pengguna berupa parameter, data dari pilihan skenario dan keluaran yang

diberikan dalam tabel atau pernyataan yang mudah dipahami.

Dialog dengan pengguna dipandu dengan adanya pilihan atau pertanyaan-

pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban-jawaban singkat. Input dari

pengguna dapat berupa angka, pertanyaan-pertanyaan, atau berupa skenario.

Output yang diberikan oleh program komputer berupa keterangan, tabel, atau

grafik yang mudah dipahami.

68

3.6.2 Sistem manajemen basis data Dalam suatu analisis, data merupakan komponen yang mutlak ada. Oleh

karena itu, data harus dikelola dan dikendalikan dalam suatu sistem manajemen

basis data. Pemeliharaan data ini dilakukan melalui fasilitas menu data,

menampilkan, menghapus dan mengganti data. Dalam konfigurasi paket

program yang akan dikembangkan dalam sistem diantaranya adalah data

komoditas, data alat tangkap, data struktur pembiayaan, data strategi dan data

kelembagaan.

3.6.3 Sistem manajemen basis model

Sistem manajemen basis model terdiri dari tujuh sub model utama, yaitu

sub model potensi, sub model kesesuaian lahan, sub model pemilihan alat

tangkap, sub model komoditas, sub model kelayakan, sub model strategi, dan

sub model kelembagaan. Masing-masing sub model tersebut sebagai sub-sub

sistem yang pada akhirnya membentuk sistem integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sistem manajemen basis model

umumnya menggunakan teknik-teknik pada Ilmu Manajemen (Management

Science) yang definisinya adalah aplikasi dari pendekatan ilmiah untuk

mendapatkan solusi pada persoalan manajemen dalam rangka membantu para

manajer untuk merumuskan keputusan yang lebih baik (Tailor dalam Eriyatno

dan Fadjar, 2007)

3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat Sistem pengelolaan terpusat adalah koordinasi dan pengendalian dari

operasi perangkat linak dan sistem pengambilan keputusan secara menyeluruh.

Sistem ini menerima masukan dari ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk baku

serta mengarahkan keluaran sub-sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku

pula.

3.7. Model CAP-AQUADEV

Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di

Teluk Lampung direkayasa melalui model CAP-AQUADEV ditujukan untuk

membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintah daerah

kabupaten atau kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam perikanan

tangkap dan perikanan budidaya serta stakeholder lainnya. Penggunaan model

CAP-AQUADEV didisain secara fleksibel, artinya model CAP-AQUADEV tidak

69

hanya dapat digunakan oleh Pemda Kabupaten atau Propinsi Lampung, tetapi

dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin

dipecahkan.

Hasil verifikasi model CAP-AQUADEV di Kabupaten Lampung Selatan

disajikan berurutan, yaitu: (1) sub model potensi SDI, (2) sub model kesesuaian

lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub model

pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan, (6) sub model strategi,

dan (7) sub model kelembagaan.

4 HASIL

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak geografis dan topografis

Secara geografis Kabupaten Lampung Selatan terletak pada posisi antara

1050 – 105045’ Bujur Timur dan 5015’ – 60 Lintang Selatan. Batas-batas wilayah

Kabupaten Lampung Selatan adalah:2

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Timur.

Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.

Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa.

Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.

Wilayah laut dan pesisir Kabupaten Lampung Selatan meliputi sebagian

besar dari Teluk Lampung (3.865 km2) dengan panjang garis pantai 140 km di

Teluk Lampung dan 45 km di Pesisir Timur sampai muara Way Sekampung

sebagai batas wilayah dengan Kabupaten Lampung Timur. Tidak kurang dari 51

pulau kecil terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, baik berpenghuni maupun

tidak, berukuran kecil maupun besar yakni mulai dari 1 ha hingga 6.000 ha

(Wiryawan et al, 2002)

Pesisir Kabupaten Lampung Selatan membentang dari muara Way

Sekampung di Kecamatan Sragi hingga Desa Bawang di Kecamatan Punduh

Pidada. Pesisir Kabupaten Lampung Selatan terletak di bagian utara dari Teluk

Lampung, sehingga ekosistem di daerah ini dipengaruhi oleh laut dan gunung.

Keuntungan yang didapat dengan lokasi seperti ini adalah di daerah pantai

terdapat sumber-sumber air tanah atau akuifer produktivitas tinggi sehingga

keberadaannya harus dijaga agar tetap dapat memberikan suplai yang cukup

untuk aktivitas masyarakat dan industri di daerah tersebut.

Pesisir dan laut Kabupaten Lampung Selatan termasuk pulau-pulau kecil

yang menyebar mempunyai potensi yang sangat beraneka ragam mulai dari

pasir besi, ikan laut, tambak udang, mineral, ekosistem mangrove, terumbu

karang, padang lamun, flora fauna lainnya serta pariwisata. Dengan batimetrinya

yang relatif dangkal, daerah ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda

antara daerah satu dengan daerah lainnya, kemudian antara satu sel dengan sel

lainnya. Dengan mengetahui potensi sumberdaya yang menonjol di daerah ini

dan selanjutnya isu-isu yang timbul maka dapat ditentukan arahan-arahan

71

pengembangan yang bisa dilakukan dan ditentukan sebagai acuan

pegembangannya ke depan.

Pantai Kabupaten Lampung Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan

Teluk Lampung. Pantai Timur yang hampir berorientasi utara-selatan

mempunyai tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dan dengan

relief yang datar dimana lerengnya bervariasi antara 0-3% dan elevasi 1 – 10 m.

Pantai yang datar ini hanya terdapat pada zona kurang dari 3 km. Pantai yang

terletak di Teluk Lampung terdiri dari dua bagian, yakni antara Tanjung Tua

(ujung paling selatan) ke arah barat laut sampai dengan Bandar Lampung.

Pantai yang satu lagi adalah dari Bandar Lampung ke Selat Legundi.

Menurut Wiryawan et al (2002), bahwa tipologi pantai antara Tanjung Tua

dan Kalianda umumnya berupa volkanik dengan lereng bawah volkan cukup

tertoreh, tuf dan lava intermedier. Reliefnya berupa pegunungan volkan dan

bergunung dengan lereng 8-15%. Antara Kalianda dan Bandar Lampung,

sebagian besar tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dimana

reliefnya datar dengan lereng 0-3% dan elevasi 1-10 m. Pada pantai antara

Bandar Lampung dengan Selat Legundi, pantainya terjal dan berlekak-lekuk

dengan tipologi pantai perbukitan sangat tertoreh, tuf dan lava intermedier,

lereng curam sampai sangat curam antara 30-75%. Diantara pantai yang terjal

ini, terdapat areal-areal yang sempit berupa alluvium dengan endapan marin

yang datar dengan lereng 0-3%.

Dasar perairan pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang terletak di Pantai

Timur Lampung yang mempunyai lereng yang landai dan dangkal. Pantai yang

terletak di Teluk Lampung mempunyai lereng dasar perairan yang relatif curam,

kecuali disekitar pantai Bandar Lampung dimana lereng dasar perairannya lebih

landai. Garis kedalaman 20 m terdapat pada jarak antara 100-500 m dari garis

pantai.

Tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung Selatan adalah tipe pasut

campuran dominasi pasut tunggal (Wyrtki, 1961). Berdasarkan peramalan pasut

yang dibuat oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL tahun 2000, indek F di

Panjang adalah 1,7. Hal ini berarti tipe pasutnya adalah campuran dominasi

pasut tunggal. Kisaran pasutnya bervariasi antara 0,4 m (saat pasang perbani)

sampai dengan 1,40 meter (saat pasang purnama). Hasil pengukuran di Pasut

selama 3 hari di Kuala Sekampung memperlihatkan kisaran Pasut rata-rata

adalah 1,47 m. Di pantai Bandar Agung dan Berundung kisaran pasut rata-rata

72

145 cm, sedangkan di Pantai Pematang Pasir kisaran pasut 140 cm. Dengan

demikian kisaran pasut rata-rata adalah 144,25 cm.

Kekuatan arus di perairan laut bervariasi antara 4,5 - 9,7 cm/detik atau rata-

rata 6,05 cm/detik. Arah arus merambat ke selatan atau barat daya dan

menyusur pantai. Ketinggian gelombang perairan di sepanjang pantai timur

hingga Tulang Bawang relatif kecil, yaitu 10-20 cm dengan gelombang rata-rata

1 gelombang/detik.

Suhu perairan di pantai berkisar antara 280 -29,30C atau rata-rata 28,60C.

Sedangkan salinitas perairan berkisar antara 33-33,5‰ atau rata-rata 33,12‰.

Wilayah Lampung Selatan yang pesisirnya merupakan habitat alami terumbu

karang meliputi perairan Teluk Lampung dan Selat Sunda. Berdasarkan

Wiryawan et al (2002) diketahui bahwa kondisi terumbu karang telah mengalami

gangguan akibat penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan

bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati di perairan Rangai telah

mencapai 30.4% di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang hidup

masih di atas 50% dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Padang Cermin,

Kalianda, Way Muli dan Bakauheni.

Terumbu karang di Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan

bentangan berkisar 20 m sampai 120 m dari bibir pantai sampai kedalaman 17-

20 m. Kebanyakan terumbu karang di perairan laut Lampung Selatan adalah

jenis fringing reefs, dengan luasan relatif 20-60 m. Pertumbuhan karang berhenti

pada kedalaman 10-17 m. Sejumlah terumbu karang tipe petch reefs tumbuh

dengan baik di sisi barat Teluk Lampung. Pendataan oleh CRMP (1998),

terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berada di Selat Sunda (Kepulauan

Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda), sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata

per lokasi agak rendah.

Ekosistem mangrove dibentuk oleh komunitas hutan bakau, terdapat di

pesisir dekat muara sungai dan banyak dipengaruhi oleh pasang surut, air sungai

dan pantai. Tumbuhan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan sebagian

besar didominasi oleh Api-api (Avicenia alba) dan Excoecaria agallocha. Selain

terdapat mangrove sejati juga terdapat mangrove semu yaitu dari jenis Avicenia

marina dan Nypa fruticans. Konsesi Avicenia marina tingkat semai banyak

terdapat di habitat kurang mantap seperti pantai timur yang telah banyak

dikonversi menjadi tambak udang. Di lokasi Way Sekampung-Bakauheni areal

hutan mangrove 840 ha, yang bervegetasi 140 ha. Sebagian areal merupakan

73

hutan pendidikan berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kepala Kanwil

Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Lampung dengan Rektor

Universitas Lampung. Di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin, komunitas

mangrove terdiri dari beberapa spesies (multispesies) yang didominasi oleh

spesies Rhizophora mucronata. INP berkisar antara 236 hingga 249 dengan

kerapatan berkisar antara 188 ind/ha hingga 530 ind/ha. Tingkat pertumbuhan

pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang dan pohon. Potensi tihang dan

pohon masing-masing bernilai 212 dan 278 m3/ha. Ketebalan mangrove antara 1

dan 1,5 km. Di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin tipe vegetasi konsesi

dengan jenis Rhizhophora mucronata sebagai jenis yang dominan dan memiliki

INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini sebesar 900 ind/ha, dan

dengan potensi tihang sebesar 754,7 m3/ha. Komunitas mangrove memiliki

ketebalan sekitar 4 km. Pada umumnya hamparan tambak berbatasan langsung

dengan laut, dan hanya di beberapa lokasi kecil (100x50 m) ditemui semaian

mangrove jenis bakau (Rhizhophora mucronata). Mangrove jenis Api-api

(Avicenia marina) yang tumbuh secara alami pada lahan hasil sedimentasi.

Wilayah laut Lampung Selatan yang memiliki persyaratan cukup baik bagi

pertumbuhan vegetasi lamun adalah di wilayah Padang Cermin, dimana kondisi

perairannya yang relatif bersih, dasar berpasir dan dangkal sehingga memiliki

penetrasi cahaya matahari yang baik sepanjang tahun. Jenis padang lamun yang

terbentuk adalah komunitas tunggal yang ditempati oleh jenis Thalassia

hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Cymodocea serrulata.

Ekosistem padang lamun di Padang Cermin merupakan wilayah penghasil udang

rebon dan secara alami telah berperan penting untuk perkembangbiakan

berbagai biota laut. Penyebaran ekosistem padang lamun di Padang Cermin

merupakan asosiasi dari formasi ekosistem mangrove, dengan terumbu karang.

Indikasi ini telah membentuk rangkaian sistem ekologi yang telah mendukung

keberadaan dan kelangsungan berbagai produk perikanan, terutama perikanan

tangkap.

74

4.1.2 Demografi

Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2005 adalah

1.142.435 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan

557.423 jiwa (Lampung Selatan dalam angka, 2006). Pertumbuhan penduduk

sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641

jiwa dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 0,99%. Proyeksi penduduk

Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata

tersebut, pada tahun 2007 diperkirakan sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6

jiwa/km2.

Kecamatan Natar merupakan kecamatan dengan penduduk paling padat

dengan kepadatan 750,54 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada

merupakan kecamatan dengan kepadatan yang paling rendah yaitu 107,70

jiwa/km2 (Tabel 6).

Tabel 6. Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan

No. Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatanjiwa/km2 Laki-laki Perempuan Total

1. Padang Cermin 37.703 34.797 72.500 228,252. Punduh Pidada 12.644 11.501 24.145 107,703. Kedondong 26.286 25.069 51.355 391,694. Way Lima 13.815 13.287 27.102 271,485. Gedung Tataan 36.875 35.972 72.847 750,546. Negeri Katon 27.689 28.496 54.185 354,877. Tegineneng 23.229 22.152 45.381 300,028. Natar 70.557 68.836 139.393 652,079. Jati Agung 42.450 39.119 81.569 495,9510. Tanjung bintang 47.682 42.898 90.580 388,6911. Katibung 36.234 34.373 70.607 317,6112. Merbau mataram 21.439 20.455 41.894 367,6813. Sodomulyo 34.114 33.645 67.759 420,9214. Candipuro 23.224 22.095 45.319 535,1215. Kalianda 34.081 32.899 66.980 414,9916. Rajabasa 10.716 10.013 20.729 206,4817. Palas 24.234 23.220 47.454 276,8818. Seragi 14.646 13.877 28.523 348,819. Penengahan 26.854 26.505 53.359 280,6720. Ketapang 20.540 20.214 40.754 375,27 Jumlah 585.012 557.423 1.142.435 359,17Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

75

Jumlah penduduk dirinci menurut kelompok umur di kecamatan Pesisir,

dianalisa berdasarkan pendekatan perhitungan dengan membandingkan

prosentase kelompok umur penduduk wilayah kabupaten, terhadap masing-

masing jumlah penduduk kecamatan pesisir, ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan tahun 2007

No. Kegiatan Umur (Th)

0-4 5-9 10-14 15-19

1 Penengahan 6.018 5.970 6.435 6.130

2. Rajabasa 2.338 2.319 2.449 2.381

3. Kalianda 7.555 7.495 8.077 7.696

4. Padang Cermin 8.178 8.112 8.743 8.330

5. Punduh pidada 2.723 2.701 2.911 2.774

Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

4.1.3 Kondisi perikanan

Kabupaten Lampung Selatan mempunyai SDI yang cukup besar sehingga

dapat menjadi modal dasar usaha untuk meningkatkan produksi perikanan.

Sumberdaya ikan tersebut terdapat di Perairan Timur Lampung Selatan, Teluk

Lampung, perairan payau dan tawar yang menyebar hampir di semua kecamatan

yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan evaluasi data pada

Dinas Perikanan dan Kelautan, diperkirakan Potensi Perikanan Tangkap yang

dapat dieksploitasi hingga batas potensi lestari sebesar 96.000 ton. Bila

dibandingkan dengan tingkat pemanfaatannya, maka data tersebut di atas masih

menunjukkan bahwa potensi SDI masih memberikan peluang besar untuk

diusahakan.

Selain potensi sumberdaya alam, Kabupaten Lampung Selatan didukung

pula oleh beberapa lembaga yang konsern di bidang kelautan maupun perikanan

antara lain lembaga pendidikan dan pengembangan seperti BBL, UNILA, dan

SMK. Disamping itu juga memiliki 1 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan), 6 unit

Tempat Pelelangan Ikan (TPI), 1 unit BBI Hias (Balai Benih Ikan Hias) Natar dan

1 unit BBI Palas, serta juga didukung oleh adanya UPR.

76

Kegiatan perikanan di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari kegiatan

penangkapan di laut, penangkapan di perairan umum, budidaya laut, budidaya

tambak atau air payau, budidaya kolam dan budidaya sawah dengan volume

produksi pada tahun 2007 adalah 27.025,05 ton. Kegiatan penangkapan ikan di

laut memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar 23.202,50 ton atau 85,85%

dari keseluruhan produksi perikanan. Kemudian diikuti oleh kegiatan budidaya air

payau/tambak dan budidaya kolam masing-masing sebesar 2.788 ton dan

805,20 ton (Tabel 8). Hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan

terdiri dari berbagai jenis ikan konsumsi, udang, cumi-cumi, kerang-kerangan,

ikan hias dan hewan lunak lainnya. Ikan konsumsi yang dominan tertangkap

yaitu teri, layang, tongkol, kembung, selar, peperek, cakalang, kue dan belanak.

Selain itu, jenis ikan konsumsi dalam persentase kecil yaitu manyung, kakap,

cucut, kuro, senangin, tenggiri, tuna, udang windu, udang putih, ubur-ubur dan

rajungan.

Tabel 8. Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai

kegiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007

No Kegiatan Potensi (ha) Pemanfaatan (ha)

Produksi (Ton)

1 Penangkapan di Laut MSY=97.485 Ton 24.856,25 Ton 23.202,50

2 Penangkapan di Perairan Umum

3.460 0,43 74,00

3 Budidaya Laut 4.750 370,00 144,00

4 Budidaya Air Tambak/Payau

4.625 4.050,00 2.788,00

5 Budidaya Kolam 1.550 1.008,00 805,20

6 Budidaya Sawah 24.000 175,00 11,35

Jumlah 27.025,05

Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka ,2007

Sedangkan perkembangan dari pemanfaatan potensi perikanan di

Kabupaten Lampung Selatan, dapat di lihat pada Tabel 9, dan perkembangan

produksi perikanan disajikan pada Tabel 10.

77

Tabel 9. Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007

No. Kegiatan perikanan Pemanfaatan (Ton) Naik/Turun 2006 2007 Selisih (%)

1 Perikanan tangkap 2. Budidaya laut 379 370 -9 2,37

3. Tambak 2.781 4.050 1.269 45,63

4. Perairan umum 50 - - - 5. Budidaya air tawar

(kolam) 991 1008 17 70

6. Mina padi 991 175 -816 82,34

Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

Tabel 10. Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007

No. Kegiatan perikanan Produksi (Ton) Naik/Turun

2006 2007 Selisih (%) 1 Perikanan tangkap 22.499,92 23.202,50 702,58 3,12

2. Budidaya laut 28,00 144,00 116,00 414,28

3. Tambak 2.884,00 2.788,00 -96,00 3,33

4. Perairan umum 72,40 74,00 1,60 2,21

5. Budidaya air tawar (kolam)

752,42 602,20 -147.22 19,56

6. Mina padi 11,35 752,42 741,07 6500,29

Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

Perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan didominasi oleh

budidaya air payau atau tambak udang. Tambak udang yang tersebar di

Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Kalianda, Rajabasa, Penengahan,

Palas dan Sidomulyo, berupa Tambak Inti Rakyat dan Pertambakan Rakyat.

Sedangkan benih udang untuk kegiatan tambak hampir seluruhnya diperoleh dari

pembenihan udang di Kalianda dan Rajabasa yang berjumlah ± 100 unit

pembenihan (hatchery). Pada tahun 1999, produksi backyard hatchery adalah

sebesar 720.500.000 ekor, meningkat 4,27% dari tahun 1998. produksi benur

tersebut belum termasuk produksi hasil PT. Central Pertiwi Bahari dan PT. Biru

78

Laut Khatulistiwa yang menghasilkan benur rata-rata tahunan sebesar

3.200.000.000 ekor (Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 1999).

Banyaknya lahan hutan mangrove yang dikonversi dan sistem pembuangan

tambak yang tidak optimal, merupakan permasalahan lingkungan utama dalam

usaha pertambakan di Lampung Selatan. Selain usaha budidaya tambak,

terdapat juga usaha budidaya mutiara di Teluk Lampung (lebih dari 5.000 ha)

yang diusahakan oleh dua perusahaan besar, yaitu PT. Kyoko Shinju dengan

produksi kerang mutiara masing-masing 140.000 dan 400.000 buah per tahun.

Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan

No. Lokasi Potensi Area (ha) Komoditas 1. Kalianda (Teluk Betung, Pulau

Sebuku, Pulau Sebesi) 739,5200,0 50,0 50,0 50,0

Mutiara Rumput laut

Kakap Kerapu

Beronang 2. Padang Cermin

(P. Legundi, P. Seuncal, Tanjung Putus, Sidodadi, Tembiki, Bawang, Puhawang, Kelagian).

3.260,5 250,0 50,0 50,0 50,0

Mutiara Rumput laut

Kakap Kerapu

Beronang Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung ,2007

Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RPT) yang berdomisili di Kabupaten

Lampung Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP (Tabel 12). Jumlah ini terdiri

dari RTP perikanan tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP

budidaya air payau atau tambak (3.427 RTP), RTP pembenihan benur (162

RTP), RTP budidaya air tawar atau kolam (2.002 RTP), RTP mina padi (108

RTP), RTP pembenihan air tawar (121 RTP),RTP pengolahan (527 RTP) dan

RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1998),

jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan

pada tiap jenis usaha perikanan.

Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam perikanan tangkap tahun 1999

sebanyak 6.605 tenaga kerja, dan merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar

dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.

79

Tabel 12. Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga kerja perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998 – 1999

No. Kegiatan RTP Tenaga Kerja 1998 1999 % 1998 1999 %

1. Perikanan Tangkap

3.606 3.642 1,00 6.530 6.605 1,15

2. Budidaya laut 419 442 5,49 1.260 1.314 4,29

3. Tambak 3.279 3.427 4,51 3.984 4.031 1,18

4. Perairan umum 70 74 5,71 1.438 1.498 4,17

5. Budidaya air tawar 1.907 2.002 4,98 2.430 2.762 13,17

6. Mina padi 96 108 12,50 826 864 4,60

Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 2000

4.2 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang penting di

Kabupaten Lampung Selatan karena kontribusinya yang cukup besar terhadap

PDRB. Di Teluk Lampung pada tahun 1999 produksi perikanan tangkap telah

mencapai 24.856,25 ton. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan berbagai

jenis ikan konsumsi, udang, cumi, kerang-kerangan, ikan hias dan hewan lunak

lainnya. Ikan-ikan pelagis besar, seperti tongkol (Euthynnus spp), madidihang

(Thunnus albacore) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) terdapat di lapisan atas

permukaan agak jauh dari pantai. Sedangkan ikan pelagis kecil, seperti tembang

(Sardinella fimbriata) dan kembung (Rastreflinger spp) ditemukan bergerombol di

perairan dekat pantai. Ikan-ikan demersal, seperti manyung (Tachyurus spp), pari

(Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis udang (Peneaus spp)

yang banyak tertangkap di dasar laut yang relatif dangkal dan berlumpur. Ikan-

ikan hias dan ikan-ikan karang, seperti kerapu (Epinephelus spp) lebih sering

ditemukan di kawasan terumbu karang. Cumi-cumi (Loligo spp) dan teri

(Stolephorus spp) biasa tertangkap oleh nelayan bagan karena senang

berkumpul di sekitar cahaya yang dinyalakan pada malam hari. Sedangkan

sumberdaya lain, seperti rumput laut, biasanya dikumpulkan oleh masyarakat

dengan tangan langsung di pantai.

80

4.2.1 Produksi perikanan

Perkembangan produksi ikan di Kabupaten Lampung Selatan selama

periode 2002-2006 disajikan pada Gambar 13.

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Jum

lah

(Ton

)

Gambar 13 Perkembangan produksi ikan Kabupaten Lampung Selatan selama

kurun waktu 2002-2006.

Berdasarkan data produksi ikan dapat diketahui bahwa produksi ikan

selama kurun waktu lima tahun tersebut terus mengalami peningkatan yang

cukup signifikan. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 2006 sebesar 28.382,5

ton dan produksi terendah dicapai pada tahun 2002 sebesar 14.160 ton.

4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap

Berbagai jenis alat tangkap (fishing gears) yang dioperasikan oleh nelayan

di Kabupaten Lampung Selatan sesuai dengan kebiasaan, keterampilan yang

dimiliki, kemampuan modal, dan serta musim, serta jenis–jenis ikan yang

ditangkap disajikan pada Tabel 13. Nelayan mengoperasikan alat tangkap

menggunakan armada kapal motor dan motor tempel, tetapi sebagian besar

nelayan masih menggunakan perahu tanpa motor yang terbuat dari kayu.

81

Tabel 13. Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006.

No Jenis Alat Tangkap Jumlah (Unit) 1 Payang 245 2 Pukat Pantai 124 3 Jaring insang hanyut 60 4 Jaring insang tetap 319 5 Bagan perahu 267 6 Bagan tancap 220 7 Rawai hanyut selain rawai tuna 191 8 Rawai tetap 407 9 Pancing lain 2.159

10 Sero 173 11 Bubu 484 12 Perangkap lain 87

Sumber: Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)

4.2.3 Kapal penangkap ikan

Kapal penangkap ikan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari

perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan kapal motor.

Perkembangan jumlah perahu atau kapal penangkapan ikan selama tahun 2002-

2006 di Kabupaten Lampung Selatan disajikan pada Gambar 14. Daerah operasi

penangkapan oleh nelayan Kabupaten Lampung Selatan adalah perairan Teluk

Lampung, perairan Pesisir Timur Lampung dan Selat Sunda.

0100200300400500600700800

2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Jum

lah

Pera

hu (U

nit)

Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor

Gambar 14. Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006.

82

Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung

4.3 Perikanan Budidaya

Perkembangan produksi perikanan budidaya khususnya budidaya laut

selama kurun waktu 2002-2006 di Kabupaten Lampung Selatan cenderung

mengalami peningkatan seperti disajikan pada Tabel 14, demikian juga untuk

perkembangan RTP budidaya laut dari tahun 2002 mengalami peningkatan

seperti disajikan pada Tabel 15.

Tabel 14. Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan

Tahun Produksi (ton)

2002 232,72003 302,52004 1.399,02005 820,52006 1.366,2

83

Tabel 15. Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan

Tahun Jumlah RTP

2002 172

2003 223

2004 232

2005 234

2006 264

Jenis ikan yang dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan adalah

ikan kerapu dan rumput laut. Perkembangan jumlah benih yang telah ditanam

untuk kegiatan budidaya laut disajikan pada Tabel 16, sedangkan untuk

perkembangan produksi dari kerapu dan rumput laut disajikan pada Tabel 17.

Tabel 16. Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di

Kabupaten Lampung Selatan

Tahun Jumlah (Ekor/Tangkai)

Kerapu Bebek Kerapu Macan Rumput Laut

2002 122.000 198.000 5.300 2003 253.000 259.000 16.900 2004 374.000 171.000 136.700 2005 450.000 271.000 925.000 2006 496.000 739.000 106.200

Tabel 17. Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan

Tahun Produksi (Ton)

Kerapu Bebek Kerapu Macan Rumput Laut

2002 135,8 33,0 63,9 2003 67,0 87,3 148,2 2004 55,0 142,0 1.202,0 2005 123,0 264,5 433,0 2006 82,7 221,7 1.061,8

84

4.4 Model CAP-AQUADEV

4.4.1 Potensi sumberdaya ikan

Sub model potensi SDI menggunakan metode survei deskriptif dengan

menganalisis hubungan catch per unit effort (CPUE). Hasil perhitungan dan

perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 disajikan pada Tabel 18

dan Gambar 16.

Tabel 18. Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007

Tahun Cacth (Ton) Effort (Trip) Y/f (Ton/Trip) 2001 1,015.00 24,700.00 0.042002 719.20 18,460.00 0.042003 1,510.20 31,515.00 0.052004 1,956.70 18,400.00 0.112005 1,560.00 33,600.00 0.052006 1,163.30 32,900.00 0.042007 1,265.90 33,800.00 0.04

Gambar 16. Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007.

Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 16, CPUE ikan di perairan Lampung

Selatan pada periode 2001-2007 cenderung berfluktuasi dengan trend negatif,

yaitu mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2004, namun pada tahun

2005 mengalami penurunan dan stabil hingga 2007.

85

(1) Status Pemanfaatan Ikan Demersal

Ikan demersal yang tertangkap di Teluk Lampung terdiri dari ikan manyung

(Tachyurus spp), pari (Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis

udang (Peneaus spp), alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu payang,

cantrang, dogol, pancing, bubu dan trap lainnya. Jenis- jenis alat tangkap yang

digunakan untuk menangkap ikan demersal seperti pada Tabel 19, berikut:

Tabel 19. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung Selatan.

No. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap1 2001 140 85 47 512 46 952 2002 209 99 72 743 86 743 2003 211 113 85 812 142 904 2004 221 127 107 916 131 1095 2005 250 141 123 2.165 320 1316 2006 245 155 132 2.159 484 1877 2007 248 169 122 1.851 421 361

Jumlah 1.524 889 688 9.158 1.630 1.047

Dari hasil observasi terlihat produksi atau hasil tangkapan ikan demersal

terendah 3.382.80 ton pada tahun 2001 dan tertinggi 5.213.40 ton pada tahun

2006. Kenaikan produksi ini kemungkuinan terkait dengan penurunan produksi

dari alat tangkap cantrang dan dogol yang merupakan alat tangkap utama yang

digunakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan.

Pada tahun 2006 terjadi penurunan trip atau hari operasi alat tangkap

cantrang dan dogol yang signifikan sehinga menaikkan produksi alat tangkap

payang yang merupakan alat tangkap sejenis.

Tabel 20. Catch, Effort dan CPUE ikan demersal

Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y) 2001 3,382.80 14,700 0.23 2002 4,231.60 15,025 0.28 2003 4,246.70 22,535 0.19 2004 4,586.00 21,740 0.21 2005 4,834.00 20,359 0.24 2006 5,213.40 19,600 0.27 2007 4,770.30 10,680 0.45

86

Mean 17805.57143 0.265891636 Stdev 4391.983487 0.085663496 intercept (a) 0.554453634 Slop (b) -1.62063E-05 Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0,5545 – 1.62063E-05x

Fungsi Produksi P( f ) = 0,5545 f – 1.62063E-05 f 2 Msy=-0.25xa2/b 4742.280693 f MSY 17106.13983

MSY SDI Demersal

400041004200430044004500460047004800

- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000

Effort (trip/tahun)

Catc

h (to

n/ta

hun)

Series1

MSY

Gambar 17. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung

Fungsi CPUE SDI Demersal

y = -2E-05x + 0.55R2 = 1

0.000.050.100.150.200.250.300.350.40

0 5000 10000 15000 20000 25000

Effort (trip)

Cac

th/ e

ffort

(ton)

Series1Linear (Series1)

MSY

Gambar. 18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung

Dari Tabel 19 diketahui bahwa MSY ikan demersal di Teluk Lampung

4742.280 ton/ tahun dengan effort optimum 17106 trip per tahun. Berdasarkan

nilai MSY tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan

demersal di Teluk Lampung sudah mengalami eksploitasi penuh (Fully

exploitated) mulai tahun 2002 sampai tahun 2004, dengan tingkat pemanfaatan

87

lebih dari 80% dari nilai MSY atau melebihi JTB. Pada tahun 2005 sampai tahun

2007 pemanfaatan sumberdaya ikan demersal Teluk Lampung lebih dari 100%,

hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal mengalami tangkapan

lebih (over fishing), seperti terlihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung

Tahun Produksi MSY Tk. Manfaat (%) 2001 3,382.80 4742.281 71.33 2002 4,231.60 4742.281 89.23 2003 4,246.70 4742.281 89.55 2004 4,586.00 4742.281 96.70 2005 4,834.00 4742.281 101.93 2006 5,213.40 4742.281 109.93 2007 4,770.30 4742.281 100.59

(2) Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil

Ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan teluk Lampung terdiri dari

ikan peperek, kembung, tenggiri, ikan ekor kuning, japuh, ikan kurisi dan layur.

Jenis alat tangkap yang digunakan terdiri daripukat pantai, pukat cincin, jarring

insang, jarring klitik, rawai dan pancing tonda, selengkapnya seperti terlihat pada

tebel berikut :

Tabel 22. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten

Lampung Selatan

Jenis Alat Tangkap Tahun Jumlah

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Pukat Pantai 93 108 95 95 130 124 261 906

Pukat Cincin 47 62 54 45 50 47 42 347

Jaring insang hanyut 72 74 105 65 70 60 265 711

Jaring lingkar 86 89 51 46 48 55 50 425

Jaring Klitik 12 14 8 27 30 35 26 152

Jaring insang tetap 190 154 238 230 336 319 320 1787

Rawai Tuna 95 85 79 52 69 89 88 557

Rawai Hanyut 92 128 198 201 188 191 190 1188

Rawai tetap 138 152 312 289 387 427 479 2184

Pancing tonda 72 69 62 70 53 48 69 443

Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pelagis

kecil di Kabupaten Lampung Selatan terendah pada tahun 2002 yaitu 719,2 ton

sedangkan tertinggi pada tahun 2004 sebesar 1.956,7 ton. Kenaikan produksi

88

atau hasil tangkapan yang signifikan ini terkait dengan kenaikan jumlah alat

tangkap yang cukup besar. Pada tahun 2002 terjadi penurunan hasil tangkapan

ikan pelagis kecil, hal ini terkait dengan penurunan jumlah effort terhadap ikan

pelagis kecil di Teluk Lampung. Pada tahun 2003 terjadi kenaikan effort yang

signifikan dari 18.460 trip pada tahun 2002 menjadi 31.515 trip, kenaikan jumlah

trip tersebut berpengaruh pada kenaikan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis

yang signifikan juga.

Tahun 2005 sampai 2007 terjadi penurunan produksi atau penangkapan

ikan pelagis walaupun jumlah effort yang berlangsung di Teluk Lampung

mengalami pertambahan. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa sumberdaya

perikanan pelagis kecil di Teluk Lampung telah mengalami penurunan bahkan

mungkin sudah mengalami full eksploitsi atau over fishing.

Tabel 23. Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil

Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y)

2001 1,015.00 24,700.00 0.04 2002 719.20 18,460.00 0.04 2003 1,510.20 31,515.00 0.05 2004 1,956.70 18,400.00 0.11 2005 1,560.00 33,600.00 0.05 2006 1,163.30 32,900.00 0.04 2007 1,265.90 33,800.00 0.04

Mean 27625 0.050508 Stdev 7005.265282 0.025043 intercept (a) 0.104612 Slop (b) -2E-06 Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0.105- 2E-06X Fungsi Produksi P( f ) = 0.105 f- 2E-06 f2 Msy=-0.25xa2/b 1396.931f MSY 26707.01

89

MSY Ikan Pelagis

1240126012801300132013401360138014001420

0 10000 20000 30000 40000

Effort (trip/tahun)

Cat

ch (t

on/ta

hun)

Series1

MSY

Gambar 19. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung

Fungsi CPUE SDI Pelagis

y = -2E-06x + 0.105R2 = 1

-0.010.020.030.040.050.060.070.08

- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000

Effort (trip)

Cact

h/Ef

fort

(ton)

Series1Linear (Series1)

MSY

Gambar 20. Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung

Dari Tabel 24. diketahui MSY ikan pelagis kecil di Teluk Lampung 1396,931

ton per tahun, dengan effort optimum 26707 trip per tahun. Produksi ikan pelagis

pada tahun 2001 dan 2002 masih di bawah nilai MSY atau tingkat

pemanfaatannya baru 70%. Pada tahun 2003 terjadi peningkatan upaya atau

effort terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang meyebabkan terjadinya

penigkatan produksi atau hasil tangkapan yang signifikan bahkan melebihi dari

nilai MSY.

Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung

sudah mengalami tangkap lebih atau over fishing mulai tahun 2003 sampai tahun

2005, dengan tingkat pemanfaatan mencapai lebih dari100%. Pada tahun 2006

dan 2007 terjadi penurunan produksi atau hasil tangkapan dibandingkan dengan

tahun 2004 atau tahun 2005, sedangkan effort yang berlangsung jumlahnya

90

relatif sama. Penurunan produksi ini semakin menegaskan bahwa sumberdaya

ikan pelagis kecil di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing. Sesuai hasil

penelitian Diantari dan Efendi (2005) yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan

kembung sudah mengalami full eksploitasi.

Tabel 24. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung

Tahun Produksi

(ton) MSY (ton) Tk.pemanfaatan (%)

2001 1,015.00 1396.931 72.66 2002 719.20 1396.931 51.48 2003 1,510.20 1396.931 108.11 2004 1,956.70 1396.931 140.07 2005 1,560.00 1396.931 111.67 2006 1,163.30 1396.931 83.28 2007 1,265.90 1396.931 90.62

(3) Status Pemanfaatan Krustacea

Jenis krustacea yang tertangkap di perairan Kabupaten Lampung Selatan

terdiri dari udang, lobster, rajungan dan jenis kepiting lainnya, sedangkan jenis

alat tangkap yang digunakan adalah pukat udang, tramel net, dan sero. Alat

tangkap krustacea umumnya mengalami penurunan jumlahnya dari tahun 2001

sampai tahun 2004 dan meningkat kembali tahun 2005 sampai dengan tahun

2007. Jenis alat tangkap yang paling banyak adalah sero, seperti tergambarkan

pada tabel 25.

Tabel 25. Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea di Kabupaten Lampung

Selatan

No. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero 1 2001 17 35 726 2 2002 17 23 876 3 2003 15 18 864 4 2004 13 56 1,139 5 2005 14 37 550 6 2006 14 26 895 7 2007 16 21 995 Jumlah 106 216 6,045

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan hasil tangkapan atau produksi

krustacea di Kabupaten Lampung Selatan tertinggi pada tahun 2004 yaitu

400,70 ton dan terendah pada tahun 2003 yaitu 28,40 ton. Kenaikan produksi

atau hasil tangkapan ini terkait dengan peningkatan jumlah effort yang dilakukan,

91

penurunan hasil tangkapan yang terjadi pada tahun 2004 sampai 2007, dari

400,70 ton menjadi 72,60 ton juga diikuti dengan penurunan effort yang

signifikan yaitu dari 6720 menjadi 1267 trip.

Pola hubungan antara produksi dan effort krustacea di perairan Lampung

Selatan berbanding terbalik dengan tren menurun, dimana produksi atau hasil

tangkapan perikanan krustacea semakin turun seiring dengan peningkatan effort

yang dilakukan. Tingkat hubungan atau korelasi antara produksi dengan effort

sangat erat yang ditandai dengan nilai koefisien korelasi 1 (satu), seperti pada

gambar 19.

Tabel 26. Catch, effort dan MSY crustacea

Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y)

2001 287.00 5,775.00 0.05 2002 32.50 1,864.00 0.02 2003 28.40 229.00 0.12 2004 400.70 6,720.00 0.06 2005 256.20 5,376.00 0.05 2006 145.80 4,873.00 0.03 2007 72.60 1,267.00 0.06

Mean 3729.143 0.055094 Stdev 2547.653 0.033942 intercept (a) 0.075678 Slop (b) -5.5E-06 Hubungan effort dan CPUE f(x) = 0.076 -5.5E-06X Fungsi Produksi f(x) =0.076f - 5.5E-06f2 Msy=-0.25xa2/b 259.3875 f MSY 6855.025

MSY SD Crustacea

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

- 2,000 4,000 6,000 8,000

Effort (trip/tahun)

Cat

ch (t

on/ta

hun)

Series1

Gambar 21. Kurva Produksi Lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung

MSY

92

Fungsi CPUE SD Crustacea

y = -6E-06x + 0.076R2 = 1

0.000.010.020.030.040.050.060.070.08

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

Effort (trip)

Cact

h/ e

ffort

(ton

)Series1Linear (Series1)MSY

Gambar 22. Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung

Nilai MSY perikanan krustacea di Kabupaten Lampung Selatan adalah

259,3875 ton/ tahun, effort optimum 6855 trip. Dari data hasil tangkapan

krustacea di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan

pada tahun 2001 dan tahun 2004 telah melampaui MSY atau mengalami over

fishing. Kemungkinan peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut terkait

dengan peningkatan aktivitas penangkapan masing- masing jenis alat tangkap.

Pada tahun 2005 sampai tahun 2007 terjadi penurunan produksi, pada tahun

tersebut juga terjadi penurunan effort atau aktifitas penangkapan terhadap

krustacea di Teluk Lampung. Kondisi ini sesuai dengan hasil perhitungan tingkat

pemanfaatan sumberdaya krustacea di Teluk Lampung yang menunjukkan pada

tahun 2001 dan 2004 tingkat pemanfaatan krustcea mencapai 110,65% dan

154,48% yang berarti melampaui potensi yang tersedia (over fishing).

Pada tahun 2005 tingkat pemanfaatan krustacea di Teluk Lampung

mencapai 98,77% yang berarti sama dengan potensi yang tersedia atau full

ekploitated. Sedangkan pada tahun- tahun berikutnya tingkat pemanfaatan

krustacea mengalami penurunan yang signifikan, kemungkinan hal ini sangat

terkait dengan penurunan effort yang dilakukan pada tahun- tahun tersebut.

Tabel 27. Tingkat pemanfaatan crustacea

Tahun Produksi MSY Tk.Manfaat (%) 2001 287.00 259.3875 110.65 2002 32.50 259.3875 12.53 2003 28.40 259.3875 10.95 2004 400.70 259.3875 154.48 2005 256.20 259.3875 98.77 2006 145.80 259.3875 56.21 2007 72.60 259.3875 27.99

93

(4) Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya Jenis ikan lainnya merupakan jenis ikan yang tertangkap dengan alat

tangkap yang tidak spesifik atau tidak mempunyai target spesifik, seperti bagan

dan alat tangkap lain. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan teri dan

udang rebon atau ikan- ikan kecil yang lainnya. Alat tangkap yang digunakan

dalam penangkapan ikan lainnya terdiri dari bagan perahu, bagan tancap, jaring

angkat dan alat lainnya.

Alat tangkap ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan paling banyak

bagan tancap sebanyak 1819 buah dan yang paling sedikit alat tangkap lainnya

dengan jumlah 783 buah. Pengoperasian alat tangkap ini umumnya statis pada

suatu tempat dan menggunakan bantuan lampu untuk menarik ikan atau udang

berkumpul di bawah lampu.

Tabel 28. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung

No. Tahun Bagan Perahu

Bagan Tancap Jaring Angkat Lain

Alat Lainnya

1 2001 115.00 292.00 192.00 137.00 2 2002 122.00 280.00 152.00 132.00 3 2003 115.00 286.00 105.00 130.00 4 2004 138.00 292.00 110.00 126.00 5 2005 243.00 235.00 149.00 95.00 6 2006 267.00 220.00 156.00 74.00 7 2007 233.00 214.00 135.00 89.00

Jumlah 1,233.00 1,819.00 999.00 783.00

Tabel 29. Catch, efort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung

Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y)

2001 2,691.70 17,250.00 0.16 2002 3,262.90 35,420.00 0.09 2003 2,188.50 19,445.00 0.11 2004 4,162.20 22,080.00 0.19 2005 5,822.50 48,600.00 0.12 2006 6,400.10 53,421.00 0.12 2007 2,449.90 37,740.00 0.06

Mean 33422.28571 0.121963 Stdev 14367.20739 0.040481 intercept (a) 0.163956 Slop (b) -1.3E-06 Hubungan Effort dan CPUE f(x) =0.164- 1.3E-06X Fungsi Produksi f(x) =0.164f – 1,3E-06f2 Msy=-0.25xa2/b 5348.723 f MSY 65245.75

94

MSY Ikan Lainnya

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

0 20,000 40,000 60,000 80,000

Effort (trip)

Catc

h (to

n/ta

hun)

Series1

Gambar 23. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung

Fungsi CPUE SDI Lainnya

y = -1E-06x + 0.164R2 = 1

-0.020.040.060.080.100.120.140.16

- 10,000.00

20,000.00

30,000.00

40,000.00

50,000.00

60,000.00

70,000.00

Effort (trip)

Cact

h/ e

ffort

(ton)

Series1Linear (Series1)

MSY

Gambar 24. Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung

Nilai MSY ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan adalah 5348,723

ton/ tahun dngan effort optimum 65246 trip. Dari data hasil tangkapan ikan

lainnya di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan

berfluktuasi dan cendeung meningkat mulai tahun 2001 sampai tahun 2007,

bahkan pada tahun 2005- 2006 produksi ikan lainnya telah melampaui nilai Msy

atau mengalami over fishing. Peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut

terkait dengan peningkatan aktifitas penangkapan masing- masing jenis alat

tangkap.

Pada tahun 2005 dan 2006 terjadi peningkatan upaya penangkapan ikan

lain di Kabupaten Lampung Selatan yang signifikan sehungga berpengaruh

terhadap produksinya yang melebihi MSY (over fishing). Tahun 2007 produksi

atau hasil tangkapan ikan jenis lainnya di Teluk Lampung mengalami penurunan

yang signifikan, sekitar 60% dari produksi tahun 2006, pada tahun tersebut juga

terjadi penurunan effort tetapi sekitar 30% dari effort tahun 2006. Kondisi pada

95

tahun 2007 mengindikasikan terjadinya penurunan sumberdaya ikan lainnya di

perairan Teluk Lampung. Hal ini berarti walaupun dalam perhitungan tingkat

pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya hanya 45,8%, tetapi effort yang dilakukan

tidak dapat serta merta ditingkatkan karena indikasi lainnya (CPUE)

menunjukkan tren yang menurun. Bisa juga tingkat pemanfaatn ikan lainnya

tahun 2007 tersebut merupakan kondisi terkini sumberdaya ikan lainnya di Teluk

Lampung hanya tinggal 45,8% saja.

Tabel 30. Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung

Tahun Produksi MSY Tk.manfaat(%) 2001 2,691.70 5348.723 50.32 2002 3,262.90 5348.723 61.00 2003 2,188.50 5348.723 40.92 2004 4,162.20 5348.723 77.82 2005 5,822.50 5348.723 108.86 2006 6,400.10 5348.723 119.66 2007 2,449.90 5348.723 45.80

4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA)

Sub model kesesuaian lahan untuk pengembangan perikanan budidaya

dilakukan dengan penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian. Potensi

lahan untuk pengembangan budidaya laut dengan KJA di perairan Kabupaten

Lampung Selatan tersebar dari pesisir pantai Kecamatan Kalianda sampai ke

Kecamatan Padang Cermin. Beberapa kawasan/lokasi tersebut sudah terdapat

kegiatan pembudidayaan ikan dengan KJA, seperti: Tarahan, Teluk Hurun dan

Tanjung Putus. Tanjung Putus adalah lokasi dengan kegiatan pembudidayaan

ikan dengan KJA terpadat. Kendala dan potensi permasalahan di lokasi-lokasi

tersebut berbeda satu sama lain, untuk itu perlu disusun kriteria yang dapat

dijadikan indikator untuk menilai secara total aspek-aspek terkait pengembangan

usaha KJA sehingga dapat ditentukan kelayakannya.

96

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

G a ya m

P ala s

Ja b u ng

A sa h a n

Ta ra h a n

P an ja n g

K eta p a ngK alia n da

B ak a u h en iB atu B a la k

P ad a n g C e rn an

B an d a r L am p u ng

S im p a n g K a lia nd a6°

00' 6°00'

5°50

' 5°50'

5°40

' 5°40'

5°30

' 5°30'

105 °0 0 '

105 °0 0 '

105 °1 0 '

105 °1 0 '

105 °2 0 '

105 °2 0 '

105 °3 0 '

105 °3 0 '

105 °4 0 '

105 °4 0 '

105 °5 0 '

105 °5 0 '

4 0 4 8

Ki lo m e ter

N

P E TA L O K AS I P E N E L IT IANT E L U K L A M P U NG

2

1

7

34

56

Keterangan gambar : ; lokasi alternatif pengembangan budidaya laut Gambar 25. Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di

Teluk Lampung

Hasil penilaian kelayakan terhadap 3 (tiga) kategori kriteria kesesuaian

seperti tampilkan pada Tabel 31 dan secara rinci matrik penilaian kelayakan

ditampilkan pada Lampiran 9.

Tabel 31. Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan

No. Alternatif Lokasi Nilai per Kategori Nilai Total KeteranganI II III

1. Kalianda 92 48 67 67 Kurang Layak2. Tarahan 86 54 69 69 Kurang Layak3. Teluk Hurun 70 66 67 67 Kurang Layak4. Ringgung 86 60 71 71 Kurang Layak5. Pulau Puhawang 82 90 81 81 Layak 6. Tanjung Putus 94 90 83 83 Layak 7. Pulau Sebesi 120 66 80 80 Layak

Nilai per kategori untuk setiap alternatif lokasi dihitung dengan mengalikan

bobot dengan skor. Dari hasil penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian

lahan untuk pengembangan perikanan budidaya di KJA sebagai salah satu

kegiatan perikanan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan

terlihat bahwa lokasi yang layak adalah Pulau Puhawang, Tanjung Putus dan

Pulau Sebesi sedangkan 4 (empat) lokasi lainnya kurang layak, yaitu: Kalianda,

Tarahan, Teluk Hurun dan Ringgung.

97

Perairan Pulau Sebesi dengan nilai 120 adalah lokasi dengan nilai tertinggi

untuk kriteria I (terdiri atas: aspek biofisik dan aseanografi perairan). Sedangkan

Teluk Hurun memiliki nilai terendah untuk kriteria I. Untuk kriteria II (yang terdiri

atas: kedalaman, keterlindungan dan substrat) lokasi yang memiliki nilai tertinggi

adalah Pulau Puhawang dan Tanjung Putus, sedangkan terendah adalah

Kalianda. Sedangkan untuk kriteria III (yang terdiri atas: aspek sosial ekonomi

dan budaya) lokasi yang memiliki nilai tertinggi adalah Pulau Puhawang dan

yang terendah adalah Kalianda dan Teluk Hurun.

Hasil analisis tersebut sesuai dengan hasil pemantauan BBPBL Lampung

kualitas air di 6 lokasi yang tersebar di Teluk Lampung seperti ditampilkan pada

Gambar 26 dan Gambar 27.

DO (ppm), Suhu (0C), pH, Sal (ppt) & TOM (ppm)

010203040506070

T.Putus

Puhaw

ang

Ringgun

gHurun

Taraha

n

Kalian

da

Lokasi

Nila

i

DOSuhupHSalTOM

Gambar 26. Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa

lokasi budidaya di Teluk Lampung.

Terlihat bahwa 4 (empat) parameter yaitu DO, pH, salinitas dan suhu dari 5

(lima) parameter di atas memiliki nilai yang relatif sama antar lokasi pengamatan.

Hanya nilai total organic metter (TOM) yang berbeda antar lokasi pengamanatan

yaitu Ringgung memiliki nilai TOM terendah yaitu 15 ppm dan Hurun memiliki

TOM tertinggi yaitu 65 ppm.

98

DIN dan Orto-PO4

00.050.1

0.150.2

0.250.3

0.350.4

T.Putus

Puhaw

ang

Ringgun

gHurun

Taraha

n

Kalian

da

Lokasi

Kon

sent

rasi

(ppm

)DINPO4

Gambar 27. Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung.

Dari 3 lokasi yang layak untuk pengembangan budiadya laut dengan KJA di

Kabupaten Lampung Selatan, hanya direkomendasikan 2 (dua) lokasi

diantaranya yang dapat ditetapkan sebagai lokasi budidaya KJA, karena Pulau

Sebesi telah ditetapkan sebagai Marine Protected Area (MPA) sehingga kegiatan

yang diperbolehkan dikawasan tersebut sangat terbatas. Disarankan perairan

Pulau Sebesi dapat dijadikan sebagai lokasi pengembangan kegiatan

pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya yang dapat

dikemas ramah lingkungan dan tidak mengganggu fungsi lokasi sebagai MPA.

4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan

Sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan yang layak

dikembangkan menggunakan metode OWA. Berdasarkan data dari Laporan

Tahunan Propinsi Lampung (2007) dipilih empat alternatif alat tangkap yang

mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi alat tangkap ideal yang

mampu mendukung perkembangan sektor perikanan tangkap berbasis budidaya

di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan jumlah perkembangan alat tangkap

selama kurun waktu 5 tahun. Perkembangan jumlah alat tangkap menurut jenis

alat tangkap yang ada di Kabupaten Lampung Selatan selama periode tahun

2002-2006 dapat dilihat pada Tabel 32.

99

Tabel 32. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006

Tahun Bubu Jaring Insang Pancing Sero 2002 0 354 743 82 2003 142 420 812 98 2004 131 378 916 90 2005 320 406 2.165 165 2006 484 379 2.159 173

Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)

Pemilihan teknologi penangkapan ikan didasarkan pada kriteria yang

disusun untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan, yaitu (1) selektivitas tinggi,

(2) tidak destruktif terhadap habitat, (3) tidak membahayakan nelayan (operator),

(4) menghasilkan ikan yang bermutu baik, (5) produk tidak membahayakan

konsumen, (6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) dampak minimum

terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, dan (8) tidak menangkap

spesies yang dilindungi. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat

kepentingan untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan disajikan pada Tabel

33. Dari hasil analsis diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan terpilih untuk

dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu (Tabel

35) yang mempunyai bobot atau skala tinggi.

Tabel 33. Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan

No. Kriteria Agregat 1. Selektivitas tinggi Sangat Tinggi

2. Tidak destruktif terhadap habitat Sangat Tinggi

3. Tidak membahayakan nelayan Tinggi 4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik Tinggi 5. Produk tidak membahayakan konsumen Tinggi 6. Minimum hasil tangkapan yang terbuang Tinggi 7. Dampak minimum terhadap keanekaragaman

sumber daya hayati Sangat tinggi

8. Tidak menangkap spesies yang dilindungi Tinggi

100

Tabel 34. Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung Selatan

No. Jenis Alat Tangkap Skala 1. Bubu (traps) Tinggi 2. Jaring insang (gillnet) Rendah 3. Pancing (lines) Sedang 4. Sero Sedang

Hariyanto et al (2009), menyatakan bahwa alat tangkap bubu yang

dimodifikasi merupakan alat yang ramah lingkungan dan cocok bagi perairan

Teluk Lampung, alat bubu yang dimodifikasi dengan ditambahkan umpan

menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dari bubu biasa (Thomas et al, 2005)

4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya

Sub model pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam

menentukan komoditas potensial yang diunggulkan. Sub model pemilihan

menggunakan metode independent preference evaluation (IPE) dengan kaidah

fuzzy group decision making (FGDM), yang dirancang untuk menentukan

prioritas alternatif berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan bobot

masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil

keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan atau prioritas alternatif.

Mengingat komoditas perikanan tangkap beragam jenisnya, sedangkan

komoditas yang dapat dibudidayakan dari hasil perikanan tangkap jenisnya

terbatas sehingga diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk

unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem budidaya laut, komoditas perikanan

akan menjadi bahan baku bagi kegiatan budidaya laut sehingga jumlah dan

kontinuitas menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlanjutan budidaya yang

dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan

adalah menentukan prioritas komoditas potensialnya. Selain jumlah dan

kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga

akan mempengaruhi keberlangsungan budidaya laut adalah mutu dan nilai

ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi budidaya

ikan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih empat jenis komoditas potensial

yang unggul untuk dibudidayakan yaitu ikan kerapu bebek, kerapu lumpur,

kerapu tikus dan kakap putih.

101

Untuk menentapkan produk unggulan budidaya laut pada suatu wilayah

harus memenuhi berbagai kriteria agar budidaya laut tersebut mampu

memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha budidaya, juga

bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat.

Terdapat delapan kriteria untuk menetukan produk unggulan budidaya. Kriteria

pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan ditentukan oleh pakar dan

pembobotannya ditentukan melalui metode OWA.

Pemilihan komoditas potensial yang akan dibudidayakan di Kabupaten

Lampung Selatan ditentukan berdasarkan delapan kriteria, yaitu (1) kelayakan

komoditas, (2) ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi, (3) nilai ekonomis,

(4) peluang pasar, (5) penyerapan tenaga kerja, dan (6) dampak ganda terhadap

sektor lain, (7) dampak terhadap lingkungan, dan (8) kondisi budidaya laut saat

ini. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk

pemilihan komoditas potensial dengan menggunakan metode OWA disajikan

pada Tabel 35.

Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di

Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan Laporan Tahunan Propinsi Lampung

selama 5 tahun terakhir adalah kerapu, rajungan, udang putih, dan udang yang

lainnya (Tabel 36).

Tabel 35. Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya laut

No. Kriteria Agregat 1. Kelayakan komoditas Sedang 2. Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi Tinggi 3. Nilai ekonomis Tinggi 4. Peluang pasar Tinggi 5. Penyerapan tenaga kerja Tinggi 6. Dampak ganda terhadap sektor lain Sangat Tinggi 7. Dampak terhadap lingkungan Sangat Tinggi 8. Kondisi budidaya laut sekarang Tinggi

102

Tabel 36. Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006

Tahun Kerapu Rajungan Udang Putih Udang Lain 2002 51,5 0 0 0 2003 59,4 262,9 39,8 223,1 2004 9,2 193,1 1.545,9 240,5 2005 18,0 210,6 1.018,6 803,4 2006 4,2 142,9 915,4 422,8

Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)

Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial

yang akan dikembangkan dengan sistem budidaya laut, maka diperoleh hasil

bahwa komoditas potensial yang dapat diunggulkan Kabupaten Lampung

Selatan adalah ikan kerapu (Tabel 37).

Tabel 37. Skala prioritas komoditas potensial terpilih Kabupaten Lampung

Selatan No. Jenis Komoditas Skala 1. Kerapu (Ephinephelus sp) Tinggi 2. Rajungan Rendah 3. Udang putih Sedang 4. Udang lain Sedang

4.4.5 Kelayakan investasi

Komoditas yang dapat dibudidayakan, ditangkap dan dibudidayakan serta

ditebar kembali dalam rangka pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya di pesisir dan perairan pantai Kabupaten Lampung Selatan perlu

diketahui kelayakan usahanya yaitu dengan menghitung parameter kelayakan

investasi.

Sub model kelayakan ini mengintegrasikan berbagai operasi dalam

penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, Net B/C dan IRR. Selain itu, sub

model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang,

analisis sensifitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga

operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan

dapat dilakukan dengan cepat. Kriteria yang digunakan adalah NPV, Net B/C,

dan IRR. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara

103

membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu: NPV

> 0; Net B/C > 1, dan IRR > 8%. Hasil kelayakan usaha disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38. Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan

No. Komoditas/Alat

Tangkap IRR NPV df 15 % B/C PBP

A. Komoditas Perikanan Budidaya 1 Vaname Sederhana 2.61 40.061.075,16 1.46 1,00 2 Vaname Semi Intensif 6.01 325.740.152,44 1.6 1,00 3 Vaname Intensif 8.91 889.587.773,06 1.49 1,00 4 Windu Sederhana 3.18 49.458.712,27 1.66 1,00 5 Windu Semi Intensif 5.45 294.335.390,45 1.85 1,00 6 Windu Intensif 2.83 270.771.212,94 1.44 1,00 7 Rumput Lut - 376.141.242,95 3.19 1,00 8 Kerapu Macan - 436.475.352,97 2.17 1,00 9 Bandeng - 94.888.117,18 1.35 1,00

Justifikasi Kelayakan >0,14 > 0 > 1,00 < 3 thn

B. Komoditas Perikanan Tangkap 10 Pancing Rawai 26.84 % 42.197.079 1,24 2,5 11 Pancing Ulur 20.41 % 34.818.970 1,12 2,7 12 Jaring Lingkar 25.85 % 279.075 1,288 -13 Jaring Insang 39.69 % 38.773.513 1,63 2,53

Justifikasi Kelayakan > 14 % > 0 > 1,00 < 3 thn

Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha perikanan

tangkap dan pembudidayaan ikan masih layak untuk diusahakan, karena

berdasarkan hasil analisis finansial dengan discount rate 15% menunjukkan nilai

NPV positif, Net B/C lebih besar dari satu, dan IRR diatas tingkat suku bunga

yang wajar (Lampiran 12 – Lampiran 24).

4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya

Dengan menggunakan teknik AHP pada sub model strategi, hirarki untuk

pemilihan alternatif strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya terdiri atas fokus, faktor, tujuan dan alternatif dapat

ditentukan prioritasnya. Elemen faktor penting yang mempengaruhi integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah (1) SDI, (2)

potensi lahan budidaya laut, (3) SDM, (4) teknologi, (5) permodalan, (6) pasar,

(7) kebijakan pemerintah, (8) sarana dan prasarana; (9) informasi, dan (10)

104

kelembagaan. Elemen tujuan yang hendak dicapai adalah (1) peningkatan

produksi ikan, (2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha,

(4) peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan

(6) peningkatan konsumsi ikan. Untuk pencapaian tujuan tersebut alternatif

strategi yang ditawarkan adalah (1) optimalisasi perikanan tangkap, (2)

optimalisasi perikanan budidaya, dan (3) pengembangan perikanan tangkap

berbasis budidaya.

Hasil analisis pakar menunjukkan (Gambar 24) bahwa faktor informasi

(0,1329), sarana dan prasarana (0,1295), kelembagaan (0,1246), kebijakan

pemerintah (0,1157) dan pasar (0,0987) masing-masing menempati urutan 1, 2,

3, 4 dan 5, artinya faktor tersebut merupakan faktor determinatif dalam integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Mengingat masih

rendahnya pengetahuan dan pemahaman stakeholders tentang integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya khususnya untuk

alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, maka

penyampaian informasi yang tepat dan memadai menjadi faktor terpenting.

Gambar 28. Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya.

Analisis AHP tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan skala prioritasnya,

tujuan yang hendaknya menjadi prioritas tujuan integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah peningkatan produksi ikan

STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA

105

(0,2927), peningkatan pendapatan nelayan (0,2016), peningkatan pertumbuhan

ekonomi (0,1841), perluasan kesempatan berusaha (0,1232) dan perluasan

lapangan kerja (0,1013). Tujuan untuk peningkatan produksi ikan sebagai

prioritas pertama integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya mengindikasikan bahwa secara umum pengembangan jenis perikanan

tangkap berbasis budidaya mampu meningkatkan produksi ikan dari sektor

budidaya laut untuk mendukung produksi dari sektor perikanan tangkap,

sehingga permintaan ikan akan tetap terpenuhi secara kontinue karena ditunjang

oleh adanya supplai benih dari kegiatan budidaya laut untuk ditebar. Peningkatan

produksi ikan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan

nelayan dan pembudidaya di Kabupaten Lampung Selatan.

Jadwiga (2008), menyatakan bahwa AHP dan analisa kelayakan usaha

sangat baik digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam

menentukan jenis perlakuan terhadap lingkungan budidaya . Selain itu model atau

software sudah lazim digunakan dalam penentuan prioritas untuk

memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih

yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009).

Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk

memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan

analisis menggunakan bioekonomi model

Pada hirarki penentuan alternatif strategi diperoleh hasil bahwa prioritas

alternatif strategi yang dibutuhkan untuk integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya adalah pengembangan perikanan tangkap

bersisi perikanan budidaya (0,4685), selanjutnya diikuti oleh optimalisasi

perikanan budidaya (0,3434) dan optimalisasi perikanan tangkap (0,1880).

Menurut pakar pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya

adalah alternatif strategi yang berada pada prioritas pertama dalam integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten

Lampung Selatan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sumberdaya perikanan

tangkap yang sudah menurun dan ketersediaan lokasi potensial untuk budidaya

laut. Untuk dapat melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya memerlukan upaya yang lebih besar terutama dalam hal

pengorganisasian, pembuatan aturan dan pembinaan pelaksanaanya. Karena

dalam

106

Pakar atau key person memilih pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya sebagai alternatif pertama dalam rangka integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan.

Alternatif Kedua dan Ketiga secara berurutan adalah optimalisasi perikanan

budidaya dan optimalisasi perikanan tangkap. Hal ini sesuai dengan hasil analisis

terhadap kesesuaian lahan untuk budidaya dan kajian terhadap sumberdaya ikan

di perairan Lampung Selatan. Untuk optimalisasi pengembangan perikanan

budidaya dari 7 (tujuh) alternatif lokasi yang dianalisis hanya 2 (dua) diantaranya

yang dinyatakan layak. Kedua lokasi tersebut adalah lokasi yang sudah terdapat

kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring Apung, sehingga

optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih banyak pada

penataan dan pengendalian lingkungan budidaya. Demikian juga dengan

sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi

fully exploited sampai dengan over expolitasi, hanya kelompok pelagis oseanik

kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih

mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi

perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada

pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap

untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari

perairan Teluk Lampung.

Implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya dengan kegiatan

penebaran benih ikan sebagai kegiatan utamanya dapat menjadi salah satu

upaya pengendalian tekanan terhadap sumberdaya perikanan dan mewujudkan

keberlanjutan usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan.

Kegiatan perikanan budidaya baik oleh unit kerja pemerintah maupun oleh

swasta dan perbenihan rakyat atau UPR mendukung penyediaan benih ikan

yang akan ditebar. Dalam hal pemanfaatanya perlu ditetapkan aturan

penangkapan di lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

Lokasi yang dapat disarankan sebagai lokasi pengembangan perikanan

tangkap berbasis budidaya adalah perairan Pulau Sebesi. Karena secara biofisik

perairan ini sesuai untuk pengembangan perikanan budidaya akan tetapi dengan

adanya status kawasan ini sebagai kawasan perlindungan laut maka hanya

kegiatan tertentu yang tidak mempengaruhi fungsi perlindungannya atau ramah

lingkungan yang dapat dikembangkan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis

budidaya adalah salah satu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan

107

ramah lingkungan karena tidak ada intervensi yang intensif terhadap sumberdaya

dan kualitas lingkungan seperti halnya perikanan tangkap dan perikanan

budidaya pada umumnya.

4.4.7 Kelembagaan

Sub model kelembagaan dirancang dengan metode ISM dan digunakan

untuk melakukan identifikasi struktur elemen atau unsur dalam sistem. Analisis

dilakukan terhadap elemen pengguna yang terpengaruh dari integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen kebutuhan

untuk pelaksanaan program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya, elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen

tujuan dari program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya, elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya, elemen aktivitas integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya, dan elemen pelaku integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

1. Elemen Pengguna yang terpengaruh dari Integrasi Pengembangan

Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pengguna

terdiri dari 5 sub elemen, dapat digambarkan dalam bentuk hirarki yang terbagi

dalam 3 level (Gambar 27) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik driver

power-dependence (Gambar 28).

Gambar 29. Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

108

Hirarki pada Gambar 29 menempatkan elemen pengguna pembudidaya

(E2), pengusaha (E3), dan eksportir (E4) pada level 1. Pedagang alat-alat

perikanan pada level 2 dan nelayan pada level 3. Elemen kunci dari elemen

pengguna adalah nelayan dan pembudidaya, hal ini berarti elemen pengguna

tersebut akan mendorong pengguna yang lain.

Gambar 30. Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang

terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Keterangan:

(1) Nelayan (2) Pembudidaya (3) Pengusaha (4) Eksportir (5) Pedagang alat-alat perikanan

Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik griver power-dependence

untuk elemen pengguna (Gambar 30) menunjukkan bahwa nelayan (E1)

menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai driver power (DP) yang

tertinggi (5). Hal ini berarti nelayan (E1) merupakan peubah bebas dan dalam hal

ini berarti memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar untuk

mempengaruhi pengguna lain, juga sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi

pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya, namun punya sedikit

ketergantungan terhadap program.

(5) (4)

(3)

(2)(1)

0

1

2

3

4

5

0 1 2 3 4 5

DEPENDENCE

DRIVER POWER

109

Sub elemen pembudidaya (E2) dan pengusaha (E3) memiliki daya

dorong yang juga kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling

berpengaruh dengan sub elemen yang lain. Eksportir (E4) dan pedagang alat-

alat perikanan (E5) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah

terikat atau dependent) yang berarti pengguna tersebut berdaya dorong rendah

dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. Hal ini juga dapat diartikan bahwa

pengguna tersebut bersifat dependent atau bergantung pada pengguna yang

lain.

2. Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Integrasi Pengembangan

Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan untuk pelaksanaan program

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terdiri dari

tujuh sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam empat level (Gambar

31).

Sub elemen stabilitas politik merupakan elemen yang menempati level 1.

Hasil tersebut memberi pengertian bahwa stabilitas politik merupakan kebutuhan

yang harus terpenuhi untuk mendorong integrasi perkembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya. Elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai

pilar utama yang menjamin keberlangsungan perikanan tangkap berbasis

budidaya.

Level 2 terdiri dari sub elemen kemudahan birokrasi (E2), permodalan (E5),

dan pemasrana yang terjamin (E7) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang

dibutuhkan bagi perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

Kebutuhan berikutnya adalah ketersediaan lahan budidaya (E3) dan teknologi

tepat guna (E6) yang berada pada level 3. Pemenuhan kebutuhan penting yang

juga harus diperhitungkan adalah suasana kondusif dan aman (E1).

110

Gambar 31. Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Hasil pengelompokkan elemen kebutuhan dalam grafik dependence driver

power (Gambar 32) menunjukkan bahwa suasana kondusif dan aman (E1)

berada dalam peubah bebas (sektor independent), hasil ini menunjukkan bahwa

peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki

sedikit ketergantungan terhadap pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya.

Gambar 32. Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(5) (2, 7)

(4)(3, 6)(1)

0

1

2

3

4

5

6

7

0 1 2 3 4 5 6 7

DEPENDENCE

DRIVER POWER

111

Sub elemen kemudahan birokrasi (E2), ketersediaan lahan budidaya (E3),

stabilitas politik dan moneter (E4), permodalan (E5), teknologi tepat guna (E6),

dan pemasaran yang terjamin (E7) yang berada dalam sektor III (linkage)

menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan

akan saling mempengaruhi dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya.

3. Elemen Kendala dalam Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap

dan Perikanan Budidaya

Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya disusun dari lima sub elemen yang terbagi dalam empat

level (Gambar 33) dan pengelompokkan dalam grafik driver power dependence

disajikan pada Gambar 34.

Gambar 33. Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya.

Keterbatasan modal (E1) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang

menempati level 1 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya sub elemen

ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam posisinya sebagai elemen

kunci, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang

dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya.

112

Gambar 34. Grafik driver power dependence kendala dalam integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Apabila kendala keterbatasan modal ini dapat diatasi, maka kendala yang

berada pada level 2 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaiaan

masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan kebutuhan modal.

Sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling

mempengaruhi terhadap elemen yang lain adalah keterbatasan modal (E1) yang

berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani

masalah tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat

kendala keterbatasan sarana dan prasarana (E2), yang berarti kendala tersebut

memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang

lain.

4. Elemen Perubahan yang mungkin terjadi dari Integrasi

Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen perubahan yang mungkin terjadi

terdiri dari 7 sub elemen yang terbagi dalam 3 level (Gambar 35) dan

digambarkan dalam bentuk grafik driver power dependence pada Gambar 36.

(4)(3, 4)

(2)

(1)

0

1

2

3

4

5

0 1 2 3 4 5

DEPENDENCE

DRIVER POWER

113

Gambar 35. Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Sub elemen yang menjadi elemen kunci pada elemen perubahan adalah

peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2) yang berada pada level 2

dan memiliki nilai DP tertinggi (5). Dalam posisinya sebagai variabel penentu,

penyelesaian perubahan ini akan mendorong penyelesaian perubahan lain yang

dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya. Apabila perubahan peningkatan pendapatan nelayan

pembudidaya bisa diatasi, maka perubahan sub elemen lainnya yang berada

pada level 1, 2, dan 3 diharapkan juga bisa berjalan dengan baik.

(6)

(4, 7) (3) (1, 5)

(2)

0

1

2

3

4

5

6

7

0 1 2 3 4 5 6 7

DEPENDENCE

DRIVER POWER

114

Gambar 36. Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Berdasarkan plot pada grafik driver power dependence (Gambar 34) terlihat

bahwa keterjaminan pasar produk budidaya (E4) dan penataan ruang laut (E7)

berada dalam sektor IV (peubah bebas atau independent), yang berarti bahwa

peubah ini mempunyai daya dorong kuat dengan nilai DP tinggi, tetapi memiliki

sedikit ketergantungan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya di

kawasan ini.

Sub elemen perubahan yang memiliki daya dorong kuat dan saling

mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah peningkatan jumlah nelayan

pembudidaya (E1), peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2),

peningkatan PAD (E3), dan peningkatan investasi yang berada dalam sektor III

(linkage), sehingga diperlukan prinsip kehati-hatian dalam menangani

perubahan-perubahan tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent)

terdapat perubahan pengembangan wilayah (E6) yang berarti perubahan

tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh elemen

yang lain.

5. Elemen Tujuan dari Program Integrasi Pengembangan Perikanan

Tangkap dan Perikanan Budidaya

Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tujuan terdiri dari 6 sub elemen

yang terbagi dalam 4 level (Gambar 37). Sub elemen tujuan yang menjadi

elemen kunci adalah peningkatan investasi (E5), karena memiliki nilai DP

tertinggi (6) dan berada pada level 1. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut

akan mendorong peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya

(E1) yang juga berada pada level 1, peningkatan PAD (E2) dan pengembangan

daerah (E3) pada level 2, optimalisasi potensi SDI (E6), serta sub elemen pada

level 4 yaitu keterjaminan pasar produk budidaya.

115

Gambar 37. Hirarki elemen tujuan dari program integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Jika dilihat dari hubungan driver power dependence elemen tujuan yang

diplotkan (Gambar 38), maka peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan

pembudidaya (E1), peningkatan PAD (E2), dan peningkatan investasi (E5)

bersifat linkage atau berada pada sektor III, yang berarti saling berpengaruh

dengan sub elemen lain.

Pengembangan daerah (E3) merupakan sub elemen yang berada di sektor

II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tujuan tersebut berdaya dorong

rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila

tujuan di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya tujuan di sub

elemen di sektor II ini.

Gambar 38. Grafik driver power dependence elemen tujuan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(5)

(1)

(2)

(6)

(3)

(4)

0

1

2

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6

DEPENDENCE

DRIVER POWER

116

6. Elemen Keberhasilan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap

dan Perikanan Budidaya

Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen keberhasilan

terdiri dari 8 sub elemen dan digambarkan dalam diagram model struktural dari

elemen keberhasilan (Gambar 39) dimana elemen keberhasilan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terbagi dalam 4

level.

Gambar 39 Hirarki elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan

tangkap dan perikanan budidaya.

Adapun sub elemen yang menjadi variabel penentu yang mempengaruhi

secara signifikan adalah peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2)

pada level 3 dengan nilai tertinggi DP (8). Hasil tersebut menunjukkan bahwa

peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan keberhasilan yang

memiliki peran lebih besar daripada keberhasilan lain dalam integrasi

engembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sub elemen tersebut

juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberhasilan

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keberhasilan peningkatan

pendapatan nelayan akan mendorong keberhasilan lain yang berada pada level

1, 2, dan 4 sebagai keberhasilan langsung dalam kegiatan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

117

Gambar 40. Grafik driver power dependence keberhasilan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Hasil klasifikasi yang digambarkan dalam grafik driver power dependence

elemen keberhasilan (Gambar 40) menunjukkan bahwa sub elemen penurunan

angka kemiskinan dan pengangguran (E1), peningkatan pendapatan nelayan

pembudidaya (E2), peningkatan harga ikan (E4), peningkatan volume dan nilai

produksi (E5), dan peningkatan pangsa pasar (E6), peningkatan investasi (E7)

yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub-sub elemen

tersebut memiliki daya dukung yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Peningkatan PAD dan PNBP (E3) berada dalam sektor peubah tidak bebas

atau dependent (sektor II). Dengan posisi tersebut berarti sub elemen tersebut

mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah

lainnya.

7. Elemen Aktivitas Yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan

Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

Elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya disusun dari 6 sub elemen dengan

hirarki yang terbagi dalam 4 level (Gambar 41).

(2)

(5) (6)

(7) (1)

(4)

(3)(8)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 1 2 3 4 5 6 7 8

DEPENDENCE

DRIVER POWER

118

Gambar 41. Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

Hirarki pada Gambar 39 menempatkan aktivitas koordinasi antar sektor

(E1) pada level 1, yang sekaligus menempatkan elemen tersebut sebagai

elemen kunci pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas yang

lain. Perumusan Perda (E2) dan kemudahan akses terhadap teknologi dan

informasi (E4) merupakan sub elemen pada level 2 yang perlu mendapat

perhatian karena aktivitas tersebut akan mendorong sub elemen aktivitas pada

level berikutnya.

Gambar 42. Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna

perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

(1)

(2)

(4)

(3)

(6)

(5)

0

1

2

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6

DEPENDENCE

DRIVER POWER

119

Berdasarkan plot grafik dependence driver power (Gambar 42)

menunjukkan sub elemen sosialisasi kelayakan perikanan budidaya (E6) berada

pada sektor IV yang berarti merupakan peubah bebas (independent) dan

memiliki kekuatan penggerak lebih besar dari sub elemen lain.

Perumusan Perda (E2), menciptakan iklim kondusif (E3), kemudahan akses

terhadap teknologi dan informasi (E4), serta monitoring dan pengelolaan

perikanan budidaya (E5) berada di sektor III, yang berarti sub-sub elemen

tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar dan merupakan sub-

sub elemen yang saling terikat dengan sub elemen yang lain (linkage) dalam

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

8. Elemen Pelaku Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang terdiri

dari 10 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 43)

dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik dependence driver power

(Gambar 44).

Gambar 43. Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya.

120

Gambar 44. Grafik driver dependence power pelaku integraasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Dari Gambar 43 diketahui bahwa elemen pelaku pengembangan terbagi

dalam 3 level. Sub elemen yang menjadi pelaku yang berada dalam level 1

adalah nelayan (E1), pembudidaya (E2), Pemkab (E4), Pemprov (E5), Pempus

(E6), camat (E8), dan lurah (E9).

Adapun sub elemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah

nelayan (E1), pembudidaya (E2), dan masyarakat (E10), yaitu pada level 1 (E1

dan E2) dan level 2 (E10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan (E1) dan

pembudidaya (E2) merupakan pelaku yang memiliki peran lebih besar dari

pelaku lain . Peran nelayan dan pembudidaya tersebut menunjukkan tindakan

yang dilakukan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan yang besar bagi

pelaksanaan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian

tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik dependence driver power

(Gambar 44) menunjukkan bahwa elemen nelayan, pembudidaya, Pemkab,

Pemprov, Pempus, camat, dan lurah menempati sektor III (linkage), yang berarti

pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang besar

dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hal

ini karena nelayan dan pembudidaya memiliki nilai driver power tertinggi,

(5, 6, 8, 9)

(4)

(1, 2)(7) (3)

(10)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

DEPENDENCE

DRIVER POWER

121

sehingga dapat menjadi pendorong yang sangat kuat bagi elemen-elemen yang

lain.

Elemen bank (E3), perguruan tinggi (E7) dan masyarakat (E10) menempati

sektor IV (independent) dan nilai DP yang cukup tinggi (E3 dan E7) dan tinggi

(E10). Hal ini berarti bank, perguruan tinggi dan masyarakat memiliki peran yang

besar untuk mempengaruhi pelaku yang lain dalam rangka integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

9. Elemen Tolok Ukur Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

Berdasarkan hasil analisis dengan ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian

tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya

terdiri dari 6 sub elemen yang terbagi dalam 5 level (Gambar 45).

Gambar 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

122

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

0

1

2

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6

DR

IVER

PO

WER

DEPENDENCE

Gambar 46. Grafik driver dependence power untuk pencapaian tujuan integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Pada level 1 terdapat sub elemen peningkatan PAD (E2) (Gambar 45).

Pada level 2 terdapat peningkatan harga ikan (E5). Level 3 diduduki oleh sub

elemen peningkatan investasi (E3), sedangkan pada level 4 terdapat sub elemen

peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) dan

pengembangan daerah (E4). Peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan

pembudidaya menempati level 4 dan merupakan elemen kunci sebagai tolok

ukur dalam pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya. Hal ini sejalan dengan prioritas tujuan dari integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang

diidentifikasikan sebelumnya, yaitu meningkatkan pendapatan nelayan.

Jika dilihat dari hubungan dependence driver power yang diplot pada

Gambar 46, maka sub elemen keterjaminan pasar (E4) dan peningkatan jumlah

dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) berada dalam sektor IV (peubah

bebas atau independent). hasil tersebut mengindikasikan bahwa sub-sub elemen

tersebut mempunyai kekuatan pendorong yang besar dalam integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Sub elemen peningkatan PAD (E2), peningkatan investasi (E3), dan

peningkatan harga ikan (E6) memiliki daya dorong yang kuat, serta bersifat

linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain.

Pengembangan daerah merupakan sub elemen yang berada di sektor II

(peubah terikat atau dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong

123

rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila

tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen

di sektor II ini.

5 PEMBAHASAN

Integrasi pengembangan perikanan budidaya dan perikanan tangkap di

Kabupaten Teluk Lampung terdiri atas 3 (tiga) alternatif program kegiatan yaitu

program optimalisasi panangkapan ikan, program optimalisasi pembudidayaan

ikan dan pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya.

Berikut akan dijelaskan hasil analisis seperti telah diuraikan pada Bab 4.

5.1 Kondisi Perikanan Tangkap

Dengan potensi (supply capacity) yang besar dan permintaan terhadap

produk dan jasa kelautan dan perikanan yang terus meningkat, maka sektor

kelautan dan perikanan berpeluang tinggi untuk menjadi salah satu soko guru

(prime mover) perekonomian nasional. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten

Lampung Selatan dari segi produksi ikan selama tahun 2002-2006 cenderung

mengalami peningkatan (Gambar 14). Perkembangan jumlah perahu atau kapal

penangkap ikan masih didominasi oleh perahu tanpa motor (Gambar 14), hal ini

menunjukkan bahwa perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Lampung

Selatan merupakan perikanan skala kecil, dengan alat tangkap dominan pada

tahun 2006 adalah pancing dan bubu (Tabel 32).

Alat tangkap ini menjadi populer di kalangan nelayan karena mudah

dioperasikan dan murah biayanya. Dilihat dari aspek peralatan tangkap

sebagian besar nelayan masih mempergunakan jenis peralatan yang sederhana

dengan daerah penangkapan masih di sekitar perairan pantai dan dekat dengan

tempat tinggal nelayan. Berbagai kendala penyebab kondisi sederhananya

armada dan alat tangkap yang keseluruhannya berpangkal dari ketidakmampuan

nelayan dalam memperoleh modal kerja dan masih rendahnya pengetahuan dan

keterampilan sumber daya manusia dari masyarakat nelayan, sehingga orientasi

kegiatan kenelayanan masih bersifat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sumberdaya perikanan tangkap yang terdapat diperairan Kabupaten

Lampung Selatan hampir sama dengan perairan di wilayah pengelolaan

perikanan (WPP) 572 lainnya, yaitu jenis ikan pelagis kecil yang bersifat neritik

yaitu kelompok ikan yang menggerombol dan bergerak relatif tidak jauh dari

pantai, ikan demersal dan udang serta ikan pelagis besar yang memiliki sifat

highly migratory.

125

Memperhatikan komposisi alat tangkap yang beroperasi di perairan

Kabupaten Lampung Selatan maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan

pelagis kecil, ikan demersal dan udang pada kedalaman < 100 m sudah

termanfaatkan bahkan mendekati over eksploitasi, sedangkan potensi

sumberdaya ikan pelagis kecil oseanik hampir belum termanfaatkan. Hal ini

mengingat kemampuan dan daya jelajah armada yang dioperasikan belum

mampu menjangkau ke perairan samudera yang lebih jauh ke tengah.

Pengembangan perikanan tangkap di Lampung Selatan dapat dilakukan

dengan melakukan modernisasi alat tangkap yang dominan dipergunakan oleh

nelayan, yaitu bubu. Modernisasi bubu dapat dilakukan dengan pembuatan

kontruksi bubu dari besi dengan penambahan umpan. Dengan peningkatan

teknologi bubu ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas nelayan. Sesuai

dengan penelitian Tomas (2004) bahwa penangkapan menggunakan bubu besi

dengan umpan menghasilkan tangkapan yang lebih banyak daripada bubu dari

bambu tanpa umpan. Peningkatan teknologi alat tangkap bubu ini sesuai dengan

kondisi sumberdaya krustasea yang baru termanfaatkan sebesar 27,99% pada

tahun 2007 (Tabel 27).

Pengembangan perikanan tangkap juga dapat dilakukan dengan

pengembangan alat tangkap bagan sebagai alat tangkap yang mempunyai target

ikan lainnya (seperti teri). Bagan yang perlu dikembangkan adalah bagan perahu,

hal ini terkait target penangkapan yang merupakan jenis ikan yang bergerombol

dan berpindah-pindah sesuai perubahan pasang surut dan arus air laut. Hal ini

sesuai dengan potensi ikan lainnya di Teluk Lampung yang sampai tahun 2007

masih termanfaatkan 45,8% (Tabel 30).

Sedangkan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pesisir

diperlukan upaya penambahan stok melalui kegiatan penebaran dan

pembatasan aktivitas penangkapan seperti: pembatasan musim penangkapan,

alat tangkap, lokasi dan atau penetapan kuota.

Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari

stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited),

eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan

kepunahan (collaps) (Mora et al, 2009). Kondisi ini juga terjadi pada perairan

Teluk Lampung, yang diindikasikan dengan penurunan ”catch per unit effort

(CPUE),sesuai pendapat Atmaja dan Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa

penurunan CPUE mengindikasikan penurunan biomassa seperti yang terjadi

126

pada perikanan cantrang di Tegal (Ernawati dan Sumiyono,2009) perikanan

pukat cincin di Kalimantan Barat (Hariati et al.,2009) dan ikan pelagis di Selat

Sunda (Atmaja dan Nugroho, 2005; Amri, 2008).

Penurunan potensi sumberdaya dapat diketahui dengan beberapa indikasi

yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, ukuran ikan yang

tertangkap semakin kecil- kecil dan hilangnya beberapa jenis ikan endemik

(Hartoto, 2000; Worm,2006; Mateus and Estupinan, 2002). McPhie dan

Campana (2009), menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad

dapat untuk menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh

ikan sebagai indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan

keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi

pengelolaan yang tepat dan komprehensip serta terintegrasi.

5.2 Perikanan Budidaya

Hingga saat ini tingkat pemanfaatan usaha perikanan budidaya masih

sangat rendah, padahal luas perairan yang sesuai untuk kegiatan budidaya

sangat luas, sehingga peluang pengembangan usaha perikanan budidaya di

tanah air masih sangat besar. Khususnya di perairan laut, peluang

pengembangan masih sangat terbuka di mana Indonesia memiliki perairan laut

yang potensial (sesuai) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia. Berdasarkan

pada perhitungan sekitar 5 (lima) km dari garis pantai ke arah laut, maka potensi

luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut

diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya tersebut

terbentang dari ujung barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.

Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia ke depan harus dilakukan

dengan memperhatikan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF),

antara lain dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: kelestarian lingkungan

SDA, pengembangannya dilakukan secara berkelanjutan, keamanan pangan

(food safety), tidak memodifikasi genetik biota (genetic modified organism),

ecolabelling, dan traceability.

Kabupaten Lampung Selatan memiliki potensi lahan yang merupakan

peluang untuk mengembangkan kegiatan budidaya laut, yaitu di Kalianda,

Tarahan, Hanura/Teluk Hurun, Ringgung, Tanjung Putus, Puhawang dan Pulau

Sebesi. Pemanfaatan lahan budidaya laut masih kecil bila dibandingkan dengan

potensi yang tersedia. Dari lahan yang tersedia untuk kegiatan budidaya laut di

127

Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas 18.775 ha, hanya 1,9 % (370 ha) yang

telah digunakan untuk kegiatan budidaya laut.

Kegiatan budidaya perikanan laut (mariculture) dengan beberapa jenis ikan

yang bernilai ekonomis tinggi di Kabupaten Lampung Selatan telah berkembang

pada beberapa lokasi. Kegiatan budidaya laut seperti ikan Kerapu (Epinephalus

spp) dan kerang mutiara sudah mulai dikembangkan melalui proyek budidaya

laut yang dirintis oleh BPPL Lampung Selatan. Ada beberapa unit keramba jaring

apung (KJA) yang dikelola oleh pengusaha perikanan di dalam skala usaha

besar. Sedangkan untuk masyarakat umum masih terbatas pada pemeliharaan

ikan dalam jaring tancap (keramba) yang dipasang di sekitar perairan pantai,

umumnya terdapat disamping rumah-rumah panggung nelayan, ikan yang

dipelihara adalah kerapu bebek dan kerapu macan. Usaha keramba ini telah

berjalan cukup lama namun perkembangannya sangat lambat hal dapat

disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) keterbatasan keterampilan dalam

hal penggunaan teknologi; (2) sulitnya mendapat benih dan pakan; (3) masih

rendahnya motivasi; dan (4) kurangnya modal untuk usaha.

Lokasi budidaya laut untuk proses pembesaran jenis ikan ekonomis penting

berupa keramba yang terbuat dari kayu dan jaring nylon sudah sangat

berkembang. Nelayan yang berumah di pinggir-pinggir pantai, umumnya

memanfaatkan lahan perairan pantai sebagai tempat keramba. Usaha

pembesaran ikan tersebut merupakan suatu cara untuk menabung uang bagi

keluarga nelayan di daerah ini. Kegiatan budidaya laut yang berkembang dan

diusahakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan dengan cara sederhana

yaitu menggunakan keramba untuk membesarkan benih ikan karang yang

bernilai ekonomi penting seperti kerapu.

Perkembangan produksi budidaya di Lampung Selatan memiliki trend yang

positif (naik), walaupun berfluktuasi setiap tahunnya (Tabel 10). Perkembangan

produksi budidaya laut ini juga diikuti oleh perkembangan RTP budidaya laut

yang jumlahnya juga mengalami kenaikan (Tabel 12). Jenis ikan yang

dibudidayakan di lampung Selatan masih didominasi oleh kerapu, yaitu kerapu

bebek dan kerapu macan, di mana dari tahun 2002-2006 jumlah benih yang

ditanam semakin bertambah (Tabel 16). Di samping itu berkembang pula usaha

budidaya rumput laut.

Namun kegiatan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan yang ada dan

berkembang bukanlah penebaran benih ikan, melainkan kegiatan budidaya laut

128

dalam keramba jaring apung, yaitu benih-benih dibesarkan di lahan-lahan yang

berpotensi untuk kegiatan budidaya laut dalam keramba jaring apung.

Sejalan dengan hal itu, di bidang perikanan budidaya diperlukan adanya

kesadaran baru dari masyarakat dan stakeholder, untuk memposisikan pola pikir

dan persepsinya, agar perikanan budidaya memiliki peran penting dalam

perekonomian nasional. Untuk itu, masyarakat dan stakeholder perikanan

budidaya, harus mampu memperluas cakupan komponen kegiatan usaha

perikanan budidaya dari hulu sampai ke hilir, sehingga aktivitas ekonomi

perikanan budidaya mencakup pula berbagai kegiatan manufaktur dan jasa yang

berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis perikanan budidaya. Dengan kata

lain, kegiatan perikanan budidaya harus mencakup pula kegiatan industri sarana

produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dalam suatu kesisteman yang

tangguh. Dalam kerangka itu dipandang perlu melakukan revitalisasi perikanan

budidaya sebagai upaya percepatan pembangunan perikanan.

Kegiatan pengembangan budidaya laut masih memerlukan suatu

perubahan budaya dari pelaku perikanan. Hal ini karena kegiatan budidaya

merupakan kegiatan kultivasi yang membutuhkan perhatian, waktu yang lebih

lama, input yang banyak, dan biaya yang lebih mahal. Di sisi lain ketidaktentuan

hasil panen merupakan kendala yang mungkin terjadi.

Pengembangan perikanan budidaya berjalan sangat lambat dikarenakan

adanya berbagai permasalahan yang dihadapi, diantaranya:

(1) Kendala lingkungan: sumber daya lahan yang terbatas atau sulit

dikembangkan untuk budidaya, terbatasnya jumlah dan kualitas air yang

tersedia, dan bencana alam, seperti banjir dan tsunami.

(2) Kendala sosial ekonomi dan budaya: terbatasnya sarana dan prasarana

produksi, fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan sehingga

menyulitkan perencanaan bisnis khususnya dalam membuat prediksi biaya

hasil (output) produksi, dan masih rendahnya kualitas SDM perikanan.

(3) Kendala kelembagaan: keterbatasan pelayanan penyuluhan oleh

pemerintah, organisasi petani ikan belum berkembang dengan baik oleh

karena kualitas SDM masih sangat rendah, dan masih lemahnya dukungan

dari lembaga keuangan bank dan non bank dalam hal dukungan

permodalan dan pengembangan usaha.

(4) Kendala teknologi: penyediaan teknologi pembenihan yang belum

sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi

129

benih, terbatasnya penyediaan pakan buatan, rendahnya penguasaan

teknik pembasmian penyakit di tingkat petani, belum adanya tata ruang

pengembangan budidaya laut, belum tercukupinya pasokan benih dan

sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan, serta belum

terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.

5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya

Pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya dilakukan

dalam rangka menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan guna

kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian sumberdaya perikanan itu

sendiri dan lingkungan adalah salah satu alternatif program pengembangan

perikanan yang sangat mengintegrasikan antara kegiatan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya.

Kegiatan ini masih tergolong baru untuk diaplikasi di perairan laut, selama

ini konsep ini diterapkan pada perairan umum di darat seperti: waduk dan

rawa/situ. Secara sederhana kegiatan ini terdiri atas: (1) penetapan lokasi dan

batas-batasnya, (2) pengorganisasian masyarakat yang terlibat (organsisasi dan

aturan), (3) penyusunan rencana kerja, (4) penebaran, (5) pengawasan, (6)

pemanenan dan (7) pemungutan iuran untuk dana penebaran kembali.

Benih ikan yang akan ditebar di lokasi pengembangan perikanan tangkap

berbasis budidaya di laut adalah jenis ikan yang non migratori, memiliki

pertumbuhan cepat, teknologi perbenihan telah dikuasi dan memiliki nilai

ekonomis penting, seperti: beberapa jenis ikan kerapu, kakap putih dan udang.

Lokasi penebaran ditetapkan dengan jelas batas dan wilayahnya. Lokasi

yang telah ditetapkan untuk dikelola dan ditebari ikan selanjutnya ditetapkan

secara adat (kearifan lokal) serta disosialisasikan secara luas kepada

masyarakat sekitar untuk menghindari gangguan dari aktivitas lain.

Selama masa pemeliharaan atau dari penebaran sampai panen anggota

kelompok secara bergantian mengawasai lokasi tersebut dari berbagai macam

gangguan dan melakukan berbagai upaya untuk perbaikan kualitas lingkungan

seperti transplantasi karang dan pembuatan terumbu karang buatan.

Beberapa lokasi dapat dikembangkan sebagai lokasi pengembangan

perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya, diantaranya Pulau Sebesi.

Secara biofisik perairan ini sangat sesuai dan berpotensi untuk pengembangan

perikanan budidaya laut, akan tetapi karena perairan tersebut sebelumnya telah

130

ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut (marine protected area) maka

kegiatan yang bisa dikembangkan pada kawasan tersebut adalah kegiatan

pemanfaatan terbatas, diantaranya perikanan tangkap berbasis perikanan

budidaya.

5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap

dan Perikanan Budidaya

Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam

mengelola kekayaan SDA yang dimilikinya. Agar SDA tersebut dapat

memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang

dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan

dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan

dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan

wilayah bertumpu pada sumber daya lokal (local based resources) diyakini

mampu memberikan manfaat pembangunan perikanan tangkap berbasis

budidaya secara berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan

perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang

mempertimbangkan seluruh aspek (holistic), berorientasi pada tujuan yang jelas

(cybernetics) dan dapat diaplikasikan (effective) (Eriyatno, 1999).

5.4.1 Sub model potensi Potensi SDI di Lampung Selatan menunjukkan bahwa CPUE cenderung

negatif, hal ini menunjukkan bahwa SDI sudah mengalami penurunan sehingga

perlu strategi pengelolaan yang tepat agar dapat mempertahankan atau bahkan

memulihkan sumberdaya yang ada.

Peningkatan pemanfaatan SDI dengan penambahan jumlah armada

penangkapan harus dilakukan dengan hati- hati. Berdasarkan data jumlah

armada penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan yang semakin

meningkat dengan pertambahan rata- rata tiap tahun 303 kapal per tahun,

sementara itu peningkatan CPUE rata – rata tiap tahun hanya 0,5 ton.

Dikawatirkan jika penambahan kapal yang beroperasi di Kabupaten Lampung

selatan tidak di batasi atau direncanakan dengan baik dapat mengakibatkan

CPUE di daerah tersebut akan tetap bahkan dapat mengalami penurunan.

131

Gambar 47. Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan.

Sifat laut yang open akses memungkinkan sumberdaya ikan yang ada di

Teluk Lampung bergerak ke perairan lainnya di luar Teluk dan tertangkap

nelayan di luar Teluk, sejalan dengan itu juga kemungkinan adanya nelayan dari

luar wilayah Teluk Lampung yang melakukan penangkapan ikan di dalam teluk,

juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan potensi sumber daya ikan di

perairan tersebut. Kemungkinan adanya kegiatan penangkapan ikan di wilayah

Teluk Lampung oleh nelayan dari luar sangat dimungkinkan karena secara

umum potensi perikanan tangkap di wilayah perairan propinsi Lampung

mengalami penurunan termasuk perikanan tangkap laut (Ditjen Perikanan

Tangkap, 2008); seperti terlihat pada gambar berikut :

Gambar 48. Tren produksi dan effort perikanan tangkap Provinsi Lampung .

Penurunan potensi sumber daya perikanan tangkap yang diindikasikan

dengan penurunan hasil tangkapan per unit alat tangkap (catch per unit effort)

merupakan fenomena dunia perikanan nasional bahkan internasional. Untuk

Perkembangan Jumlah Kapal di Kabupaten Lampung Selatan

y = 309.2x - 615697

0

1000

2000

3000

4000

5000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Jum

lah

Uni

t Pen

angk

ap

Ikan effort

Linear (effort)

CPUE Perikanan Tangkap Laut Prop. Lampung

0

5

10

15

20

25

2000 2002 2004 2006 2008

Tahun

CPUE

(ton

)

CPUELinear (CPUE)

132

menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap perlu

dilakukan suatu program terpadu dan berkelanjutan. Salah satunya adalah

dengan melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya,

dengan system ini ketersediaan dan kelestarian sumberdaya dapat di

pertahankan karena tujuan dari system ini selain meningkatkan produksi

(pembesaran) dan kesejahteraan masyarakat juga untuk melakukan pengkayaan

stok (restoking).

(1) Status Pemanfaatan Ikan Demersal

Hasil perhitungan terhadap nilai maximum sustainable yield (MSY)

sumberdaya perikanan demersal adalah 4742,281 ton per tahun dengan effort

optimum 17106 trip per tahun, seperti pada Gambar 15. Sedangkan tingkat

pemanfaatan SDI demersal di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing

sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 atau sudah melebihi dari MSY (Tabel 21).

Kondisi ini berkaitan dengan peningkatan effort terhadap sumberdaya ikan

demersal yang beroperasi di perairan Teluk Lampung mulai tahun 2001 (14.700

trip) dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 (22.535 trip) dengan tingkat

pemanfaatan atau produksi 89,55% dari potensi SDI demersal.

Tingkat eksploitasi SDI demersal sudah mencapai jumlah tangkapan yang

diperbolehkan (JTB) yaitu 80% dari nilai MSY, jadi sebenarnya mulai tahun 2003

tingkat pemanfaatan SDI demersal Teluk Lampung sudah mencapai eksploitasi

penuh (fully exploitated). Sementara aktifitas penangkapan terus berjalan

meskipun dengan effort yang menurun, jumlah effort terendah pada tahun 2007

yaitu 10.680 trip . Penurunan effort kemungkinan terkait dengan penurunan

potensi atau ketersediaan sumberdaya ikan yang sudah mengalami over fishing.

Penurunan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung juga diketahui dari tren

CPUE ikan demersal yang menurun dari tahun 2001 sampai tahun 2007.

(2) Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil

Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung

terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai tahun 2007, yang

terindikasi dari kenaikan jumlah effort atau trip penangkapan. Hasil analisa

potensi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa nilai MSY adalah

1396.931 ton per tahun dengan effort optimum 26707 trip per tahun, seperti

Gambar 17.

133

Berdasarkan nilai maximum sustainable yield, tingkat pemanfaatan

sumberdaya ikan pelagis Teluk Lampung mengalami over fishing pada tahun

2003 sampai tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 dan tahun 2007 status

sumberdaya ikan pelagis mengalami perbaikan menjadi fully exploited atau fully

operational, seperti pada Tabel 24.

Penurunan sumberdaya ikan pelagis pada tahun 2003 kemungkinan sangat

erat hubungannya dengan peningkatan effort yang terjadi pada tahun tersebut.

Pada tahun 2002 effort yang dilakukan di Teluk Lampung sebesar 18.600 trip

dan pada tahun 2003 berlangsung 32515 trip atau terjadi peningkatan effort

hamper 100%. Kondisi ini sebanding dengan hasil tangkapan atau produksi yang

dihasilkan dari 719,2 ton pada tahun 2002 menjadi 1510,2 ton.

Jumlah produksi tahun 2003 tersebut sudah melebihi nilai MSY (1396.931

ton) atau tingkat pemanfaatan SDI pelagis 108% dari potensi yang ada.

Sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan effort terhadap ikan pelagis tatapi

produksinya tetap meningkat dan melebihi nilai MSY demikian juga pada tahun

2005. Pada tahun 2006 sampai tahun 2007 tingkat pemanfaatan sumberdaya

ikan pelagis di Teluk Lampung lebih rendah dari nilai MSY (85 – 90%) tetapi

kondisi ini tidak menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis tersebut sudah

mengalami pemulihan.

Hasil perhitungan CPUE ikan pelagis pada tahun 2006 dan 2007 lebih kecil

dari nilai CPUE tahun 2005, kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi sumber

daya ikan pelagis di Teluk Lampung sudah mengalami penurunan. Sesuai

pernyataan Hatoto (2000), bahwa salah satu indikasi yang menunjukkan

sumberdaya perikanan sudah mengalami penurunan adalah terjadinya

penurunan produksi per satuan usaha/effort (CPUE).

(3) Status Pemanfaatan Krustacea Produksi krustacea di Teluk Lampung sampai dengan tahun 2007 paling

tinggi sama dengan nilai MSY (259,388 ton per tahun) dengan effort optimum

6855 trip per tahun, seperti terlihat pada Gambar 19.

Tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea mencapai kondisi over fising

(100%) pada tahun 2001 kemudian turun pada tahun 2002 dan 2003. Sementara

pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami over exploted atau mencapai lebih

100% dari potensi yang ada, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 mengalami

mengalami penurunan pemanfaatan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya

krustacea hanya 30%.

134

Penurunan produksi sumberdaya perikanan krustacea pada tahun 2007

lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah effort yang dilakukan di Teluk Lampung.

Effort atau upaya penangkapan yang dilakukan pada tahun 2007 sebesar 1267

trip atau 30% dari effort optimum. Dari hasil analisa tersebut, pemanfaatan

sumberdaya krustacea di Teluk Lampung masih dapat ditingkatkan dengan

menambah effort atau upaya penangkapan sebesar 60%. Kondisi ini didukung

data CPUE krustacea tahun 2007 yang menunjukkan peningkatan atau lebih

tinggi dari tahun 2006.

(4) Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya

Sumberdaya ikan lain terdiri dari ikan teri dan ikan jenis lain yang

tertangkap menggunakan alat tangkap bagan. Nilai MSY ikan jenis lainnya di

Teluk Lampung adalah 5348,72 ton per tahun dengan effort optimum 65245,75.

Hasil analisa pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung seperti

pada Gambar 21. Pada tahun 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di

Teluk Lampung masih di bawah nilai MSY yaitu 45% dari potensi sumberdaya

yang ada. Sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung sebenarnya sudah pernah

mengalami tangkapan lebih (over fishing) yitu pada tahun 2005 dan 2006, pada

tahun- tahun tersebut produksinya melebihi nilai MSY (120%).

Hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan jenis lain di Teluk

Lampung menunjukkan bahwa potensi sumberdaya tersebut sudah mengalami

penurunan yang diindikasikan dengan penurunan CPUE. Seperti yang terjadi

pada tahun 2007 walaupun tingkat pemanfaatannya 30% dari potensi yang ada,

tetapi dengan melihat nilai CPUE yang lebih kecil dari tahun 2006 menunjukkan

bahwa sudah terjadi penurunan potensi sehingga tidak memungkinkan untuk

dilakukan penambahan effort atau upaya penangkapan. Upaya yang perlu

dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan lain di Teluk Lampung

adalah dengan tidak menambah effort atau dilakukan pembatasan jumlah alat

tangkap dan frekuensi penangkapan atau trip.

Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari

stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited),

eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan

kepunahan (collaps) (Mora et al, 2009). Kondisi ini dapat diketahui dengan

beberapa indikasi yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun,

ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil-kecil dan hilangnya beberapa jenis

ikan endemik (Hartoto, 2000; Worm,2006). McPhie dan Campana (2009),

135

menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad dapat untuk

menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh ikan sebagai

indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan

keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi

pengelolaan yang tepat dan komprehensip dengan strategi pembangunan yang

dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Strategi pengembangan potensi daerah akan sangat tergantung pada

strategi pembangunan ekonomi yang dianut daerah. Dalam mengambangkan

potensi daerah tidak boleh dilupakan perlunya membangun yang sifatnya

berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang dilaksanakan di

daerah tidak boleh sampai menguras SDA dan merusak lingkungan. Fungsi

lingkungan dalam pembangunan harus tetap dipertahankan karena berfungsi

sebagai sumber bahan baku untuk industri, sebagai pengolah limbah alami

(natural assimilator) dan sebagai sumber kesenangan dan kenyamanan hidup.

Dalam hal ini pemerintah daerah harus tetap bertindak sebagai pengewas dalam

pembangunan, sehingga pembangunan yang terjadi di daerah tidak akan

merusak SDA dan lingkungan.

Seperti diketahui bahwa stock ikan di suatu perairan secara alami

dipengaruhi oleh pertumbuhan (growth), kematian alami (mortality),

penangkapan (catching) dan penambahan (restocking). Dari keempat faktor

tersebut penangkapan (catchment) yang dilakukan oleh manusia merupakan

yang paling berpengaruh terhadap kondisi stock ikan di suatu wilyah perairan.

Untuk itu perlu dilakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap pemanfaatan

sumber daya perikanan tangkap untuk menjamin kelestariannya.

Kegiatan penangkapan dengan teknologi modern yang dilakukan dengan

tidak memperhatikan kelestarian atau keberlanjutan dari sumber daya dapat

berakibat fatal, salah satunya terjadi lebih tangkap (over fishing) untuk jenis

sumber daya ikan tertentu.

Menyadari banyak sumber daya akuatik yang sudah mengalami lebih

tangkap dan bahwa kapasitas penangkapan yang ada dewasa ini

membahayakan konsevasi dan pemanfaatan yang rasional sumber daya, maka

pengubahan teknologi yang bertujuan pada peningkatan lebih lanjut kapasitas

penangkapan umumnya dipandang tidak diinginkan. Sebagai gantinya suatu

pendekatan bersifat kehati-hatian pada pengubahan teknologi yang ditujukan

untuk:

136

1. Meningkatkan konservasi dan kelestarian jangka panjang sumber daya

perikanan

2. Mencegah kerusakan yang takterbalikkan atau yang tidak bisa diterima oleh

lingkungan;

3. Meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh dari penangkapan

4. Meningkatkan keselamatan dan kondisi kerja para karyawan perikanan

Teknologi perikanan yang berbeda mempunyai efek yang berlainan

terhadap ekosisitem, komunitas penangkapan dan keselamatan para

penggunanya. Sebagai contoh, lebih tangkap yang terjadi pada sumber daya

akuatik adalah hasil dari efisiensi teknologi penemuan dan penangkapan ikan.

Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang bersifat kehati-hatian dalam

pengembangan teknologi perikanan guna menghindari perubahan mendadak

yang tidak direncanakan terhadap tekanan penangkapan. Termasuk dalam

memperkenalkan atau mengaplikasikan suatu alat atau teknologi baru, juga

harus menggunakan pendekatan kehati-hatian karena suatu teknologi perikanan

akan menghasilkan efek samping terhadap lingkungan dan spesies non-target.

Tujuan dari pengelolaan stok ikan adalah menjamin kelestarian dan

keberlanjutan dari sumber daya ikan sehinga dapat dimanfaatkan oleh generasi

berikutnya. Pengelolaan sumber daya tersebut dengan : close season fishing

(pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu), close area

(penutupan/pelarangan penangkapan ikan pada daerah tertentu), pembatasan

alat tangkap, dan sistem quota penangkapan.

(5) Close season fishing

Pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dilakukan

dengan memberlakukan sistem close season fishing atau penutupan/ pelarangan

aktifitas penangkapan pada musim tertentu. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan

siklus hidup dari ikan, karena pada musim tersebut ikan yang menjadi target

penangkapan dalam kondisi siap memijah atau masih dalam tahap pertumbuhan

yang masih memungkinkan ikan untuk tumbuh lebih besar atau ikan belum

mencapai ukuran ideal untuk ditangkap. Pada saat penutupan daerah

penangkapan perlu dilakukan pengawasan yang ketat dengan melibatkan

masyarakat di sekitar perairan Teluk Lampung atau Kelompok Pengawas

Masyarakat (POKWASMAS) apabila di sekitar Teluk sudah terbentuk kelompok

pengawas. Namun apabila belum ada kelompok pengawas masyarakat,

137

kelompok nelayan yang ada juga dapat difungsikan sebagai pengawas agar

penutupan pada musim tertentu lebih efektif dan efisien.

(6) Close area (penutupan daerah dari operasi penangkapan) Cara pengendalian eksploitasi sumber daya perikanan dapat dilakukan

dengan cara penutupan suatu wilayah atau daerah perairan tertentu. Close area

ini biasa diberlakukan pada daerah perairan yang merupakan daerah pemijahan

atau daerah asuhan/ tempat mencari makan anak- anak ikan, seperti daerah

perairan hutan mangrove dan padang lamun. Pelarangan penangkapan ikan di

daerah ekosistem tersebut secara langsung dapat mencegah kepunahan jenis

sumber daya ikan, karena proses regenerasi tetap dapat berlangsung.

Penutupan daerah tertentu ini diharapkan dapat memberikan peluang bagi

spesies ikan tertentu untuk berkembang biak secara alami tanpa diganggu oleh

aktivitas penangkapan. Melakukan pemijahan sesuai dengan sifat alamiahnya,

tumbuh dengan baik dengan memanfaatkan makanan yang ada disekitarnya.

Penutupan daerah penangkapan dimungkinkan juga memberikan peluang bagi

biota laut lainnya dapat tumbuh dengan subur dalam suatu ekosistem sehingga

proses siklus hidup berjalan secara alamiah.

(7) Pembatasan alat tangkap Tekanan eksploitasi daerah penangkapan di wilayah perairan Indonesia

tidak sama antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Pada suatu daerah

produksi perikanan masih tinggi/produktif, sedang di daerah yang lain telah

mengalami penurunan produksi. Salah satu faktor yang menyebabkan

penurunan produksi tangkap suatu daerah perairan adalah meningkatnya atau

tingginya armada penangkapan di daerah tersebut. Untuk daerah-daerah tertentu

yang sudah mengalami penurunan produksi dapat diberlakukan pembatasan

jumlah armada penangkapan untuk menghindari terjadinya tangkap berlebih

terhadap sumber daya perikanan. Pembatasan alat tangkap harus juga

disesuaikan dengan jumlah dan jenis stok yang ada dalam suatu perairan

dengan kata lain bahwa jumlah dan jenis stok yang ada juga harus dihitung

berdasarkan analisis yang tepat untuk menghindari pengambilan keputusan yang

salah. Apabila stok ikan demersal yang sudah mulai menurun pembatasan alat

tangkap harus diarahkan pada alat tangkap ikan demersal, demikian halnya ikan

138

pelagik kecil yang sudah mulai berkurang pembatasan alat tangkap dilakukan

pada alat tangkap yang tujuan penangkapannya pada ikan-ikan pelagik kecil.

Hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam pembatasan alat tangkap yang

boleh dioperasikan di laut Jawa.

(8) Sistem quota penangkapan Cara lainnya untuk mengendalikan atau melakukan pengelolaan stok

sumberdaya perikanan tangkap adalah dengan memberlakukan sistem quota

dalam penangkapan ikan. Sistem quota ini untuk membatasi jumlah

penangkapan yang diperbolehkan untuk suatu jenis ikan atau dalam suatu

wilayah perairan tertentu. Jumlah quota dapat ditentukan dengan analisis

pendugaan stok dalam wilayah tersebut untuk setiap jenis ikan. Sehingga jumlah

dan jenis hasil tangkapan yang diperbolehkan dapat dihitung berdasarkan

pendugaan stok yang ada. Pembatasan jumlah hasil tangkapan ini akan sulit

dilakukan tanpa dilandasai kesadaran yang kuat oleh para nelayan yang ada

disekitar perairan tersebut, mengingat tidak adanya pengawasan yang dilakukan

secara terus menerus. Disamping itu, pembatasan jumlah penangkapan ini akan

berdampak pada jumlah alat tangkap yang dipergunakan di wilayah tertentu dan

jumlah nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan. Dengan sistem ini

dapat menjamin tidak terjadi over fishing sumber daya perikanan di suatu wilayah

perairan tersebut, juga proses rekruitmen dan regenerasi dapat tetap

berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan.

5.4.2 Sub model kesesuaian lahan

Berdasarkan kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan,

maka pengembangan sistem perikanan tangkap berbasis budidaya laut

membutuhkan kajian kesesuaian lahan, yaitu yang sesuai untuk fungsi dan

peruntukkan budidaya laut yang akan dikembangkan.

Potensi sumber daya lahan pengembangan kawasan perikanan budidaya

dihitung berdasarkan pada ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan usaha budidaya. Pemahaman terhadap potensi lahan

pengembangan budidaya penting untuk dilakukan dalam rangka proses

penentuan perencanaan dan pengembangan budidaya, yang meliputi:

perencanaan desain, tata letak, teknologi yang akan dikembangkan, komoditas

139

yang diusahakan, target produksi, dan kebutuhan sarana dan prasarana yang

akan dibangun.

Salah satu tahapan dari pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya adalah pemilihan lokasi (site selection). Pemilihan lokasi ini mencakup

informasi tentang kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan status sumber

daya ikan endemik. Analisis kesesuaian lahan merupakan tahapan penting

dalam pemilihan lokasi pengembangan agar sesuai dengan kebutuhan jenis ikan

yang akan dikembangkan sehingga meningkatkan keberhasilan proses budidaya

dan pengkayaan stok ikan di lokasi tersebut. Sesuai dengan tahapan dari

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheseries)

antara lain pemilihan lokasi (site selection), pemilihan jenis (species selection)

dan penentuan ukuran ikan (stocking size); De Silva et al (2006).

Kajian kesesuaian lahan atau upaya perencanaan penggunaan lahan

sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui optimasi daya dukung dan

manfaat lahan berdasarkan kondisi lahan, potensi, dan sumber daya yang

berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang

menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan

(ruang kegiatan) di masa yang akan datang. Keadaan ini menunjukkan suatu

proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat

dijadikan masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Menurut Sitorus (2004), manfaat yang mendasar dari evaluasi sumber daya

lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu

serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya. Prinsip

memprediksi untuk menghasilkan nilai ekonomi wilayah di masa yang akan

datang adalah prinsip perencanaan tata ruang.

Ketersediaan sumber daya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas.

Bila pemanfaatan sumber daya lahan tidak distur dan direncanakan dengan baik,

maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat sumber daya lahan,

dan lebih jauh lagi akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai

ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan

yang akan terjadi malah kerusakan lingkungan (baik renewable maupun non-

renewable) yang justru akan menjadi cost yang never ending.

Sebaliknya bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui

optimasi kegiatan pemanfaatan SDA dan buatan yang ada dengan

memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah, dan memprediksi

140

pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang akan tercapai sinergi

antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan SDA, dengan fungsi lokasi, kualitas

lingkungan, dan estetika wilayah. Menurut Djakapermana dan Djumantri (2002),

pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan SDA,

buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah

yang terus berlanjut secara berkesinambungan.

Sumber daya lahan perikanan budidaya yang masih sangat luas dan belum

sepenuhnya dimanfaatkan, sudah seharusnya dapat dijadikan modal dasar, di

samping perlu perumusan strategi yang jitu terhadap setiap aspek yang

mempengaruhi usaha perikanan budidaya, untuk terus dibangun dan

dikembangkan, utamanya guna membangun daya saing dalam menghadapi era

pasar global dan industrialisasi, serta tuntutan pengelolaan sumberdaya

perikanan yang lebih bertanggung jawab. Untuk itu, pengembangan perikanan

budidaya ke depan harus mampu mendayagunakan besarnya potensi

sumberdaya lahan budidaya untuk dapat mendorong dan menghidupkan

kegiatan produksi yang berkelanjutan dan berbasis ekonomi rakyat, mendorong

dan meningkatkan perolehan devisa negara dari aktivitas ekspor hasil perikanan

budidaya, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan.

Terkait dengan proses desentralisasi ekonomi, perlu mempersiapkan dan

melaksanakan strategi pembangunan perikanan budidaya yang mampu

menggerakkan masyarakat pembudidaya ikan di seluruh daerah, agar secara

serempak mampu menjadikan potensi sumber daya lahan yang ada menjadi

kegiatan ekonomi yang bertumbuh dan didukung dengan upaya penumbuhan

prakarsa dan jiwa wirausaha, serta peningkatan kemampuan berusaha di

kalangan masyarakat pembudidaya ikan di daerah.

5.4.3 Sub model pemilihan

Sejak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan

Daerah, setiap daerah semakin dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi

potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengelola sumber daya

perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan. Keragamanan kondisi tiap daerah dalam hal sosio kultural tiap

masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim, serta

heterogenitas ketersediaan SDA menyebabkan pengembangan perikanan tidak

dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa

141

setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas perikanan sesuai dengan

kondisi dan potensi yang dimilikinya.

Keragaman kondisi biofisik wilayah laut yang begitu tinggi berimplikasi

kepada kesesuaian untuk budidaya komoditas perikanan berbeda dari satu

wilayah ke wilayah lainnya. Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap

berbasis budidaya tidak mungkin dilakukan seragam. Akan lebih tepat dan benar

bila pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan kepada

pendekatan wilayah sesuai dengan alat tangkap dan komoditas unggulan yang

dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan.

(1) Teknologi Penangkapan Ikan

Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang sesuai dengan alat

tangkap terpilih dari proses pemilihan alat tangkap ideal yang dilakukan yaitu alat

tangkap bubu (Tabel 35). Peranan teknologi penangkapan sangat menentukan

keberhasilan dalam memperoleh hasil tangkapan dengan kualitas ikan yang baik.

Teknologi penangkapan dari berbagai alat tangkap yang digunakan haruslah

sudah dipertimbangkan bahwa disain dan konstruksi alat tangkap telah

memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan,

sehingga kelestarian sumber daya akan tetap terpelihara dengan baik. Sehingga

hal penting berikutnya yang perlu diperhatikan dalam perencanaan

pengembangan perikanan tangkap adalah alat tangkap yang relevan dengan

komoditas unggulan dan kondisi wilayah.

Pola pemilihan dan pembinaan teknologi penangkapan ikan yang

menyesuaikan dengan komoditas potensial, yaitu bubu yang merupakan alat

tangkap terpilih dengan bobot tinggi, hal ini sesuai dengan jenis komoditas

unggulan perikanan tangkap yang akan dikembangkan atau dibudidayakan yaitu

ikan kerapu.

(2) Komoditas Potensial Implementasi sub model pemilihan komoditas potensial diperlukan agar

pengembangan dapat difokuskan pada komoditas potensialnya, sehingga dapat

direncanakan jenis budidaya laut yang tepat bagi komoditas tersebut dan

menghasilkan produk unggulan yang bersifat kompetitif dan strategis, artinya

selain memberikan peningkatan nilai tambah (added value), juga memberikan

nilai manfaat (benefit added) sebesar-besarnya.

142

Komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan

kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial adalah ikan kerapu.

Ikan kerapu mendapatkan bobot tinggi, hal ini berarti jenis ikan tersebut dapat

dijadikan komoditas unggulan perikanan tangkap berbasis budidaya di Lampung

Selatan (Tabel 37).

Pengembangan komoditas potensial ditetapkan untuk lebih memacu

kegiatan budidaya komoditas yang memiliki kriteria: bernilai ekonomis tinggi,

teknologi budidaya yang dapat diterapkan telah tersedia, permintaan luar negeri

dan lokal tinggi, serta dapat dibudidayakan dan dikembangkan secara massal.

5.4.4 Sub model kelayakan Hasil analisis kelayakan finansial finansial menunjukkan bahwa usaha

perikanan tangkap berbasis budidaya memberikan prospek kelayakan finansial.

Hasil ini penting diketahui oleh investor dan lembaga keuangan sebagai

penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai

bisnis dengan resiko tinggi.

Pengembangan usaha ditetapkan sebagai pendekatan kebijakan dengan

maksud agar seluruh usaha perikanan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat

pembudidaya ikan secara konsisten menggunakan prinsip-prinsip bisnis yang

profesional, sehingga setiap usaha perikanan budidaya akan menguntungkan,

dapat berdaya saing dan berkelanjutan. Di samping itu, melalui pendekatan

pengembangan usaha juga diharapkan dapat terbangun suatu kemitraan usaha

yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi. Oleh

karena itu, antar pelaku usaha perikanan budidaya sangat diharapkan terjadinya

saling berbagi peluang usaha (win-win opportunity) untuk membangun dan

mengembangkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi

usaha. Sebaliknya, dalam pengembangan usaha perikanan budidaya sangat

dihindari munculnya gejala untuk menang sendiri dan saling menghancurkan.

Dalam kaitan itu, maka pendekatan pengembangan usaha perikanan budidaya

akan dilakukan melalui 3 pola pengembangan, yaitu: (1) pola swadaya, (2) pola

unit pelayanan pengembangan (UPP), dan (3) pola kemitraan inti-plasma.

Pola swadaya diarahkan bagi masyarakat pembudidaya yang secara

mandiri memiliki kemampuan teknis dan permodalan untuk membangun dan

mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya. Bagi masyarakat

pembudidaya ikan yang termasuk dalam kategori pola swadaya ini, maka

143

diharapkan untuk dapat membangun kerjasama kemitraan antar pembudidaya

sejenis guna memperkuat daya saingnya.

Pola UPP dikembangkan dalam rangka membantu masyarakat

pembudidaya ikan skala kecil agar memiliki kemampuan teknis dan permodalan,

sehingga dapat meningkatkan daya saingnya. Dalam kaitan itu, maka bagi

masyarakat pembudidaya ikan skala kecil diarahkan untuk dapat bergabung

dalam wadah kelompok pembudidaya ikan (POKDAKAN). Sebagai wadah

pembinaan dan pelayanan pengembangan usaha POKDAKAN, maka pada

setiap kabupaten atau kota agar dibentuk UPP perikanan budidaya.

Pola kemitraan inti plasma diarahkan bagi usaha pembudidayaan ikan

skala besar yang mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya dengan

luas hamparan atau volume usahaPola kemitraan inti plasma ini dimaksudkan

untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui hubungan yang saling

ketergantungan dan saling menguntungkan antara inti dan plasma. Dengan

demikian, usaha perikanan budidaya skala besar akan mendapat dukungan dari

usaha perikanan budidaya skala rakyat dalam kemitraan usaha yang saling

menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi.

5.4.5 Sub model strategi Strategi pengembangan merupakan tindakan yang bersifat incremental

(senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut

pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pemakai (stakeholders atau

masyarakat) di masa depan. Dengan demikian, strategi pengembangan hampir

selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi.

Oleh karena itu, di dalam strategi pengembangan, pemerintah harus dapat

memastikan bahwa semua potensi daerah yang ada diarahkan bagi kepentingan

mensejahterakan masyarakat. Di samping itu, terjadinya akselerasi pemanfaatan

potensi daerah harus tetap mempertimbangkan perubahan pola msyarakat, dan

hal ini memerlukan kompetensi inti (core competencies). Pemerintah daerah

nampaknya harus mencari kompetensi inti ini sehingga pemanfaatan potensi

daerah dapat tercapai sesuai arah dan strategi pengembangannya, mengingat

tidak mudah untuk mengetahui potensi daerah.

Melalui analisis yang merupakan implementasi dari sub model strategi

teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan

perikanan tangkap berbasis budidaya, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan

144

alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut.

Prioritas utama alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis

budidaya adalah optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut,

diikuti dengan memperkuat perikanan tangkap dan budidaya yang ada. Prioritas

keputusan ini dapat dipahami bahwa pemanfaatan secara optimal dan lestari

potensi SDI dan budidaya laut merupakan upaya mendayagunakan sumber daya

perikanan dengan memperhitungkan potensi dan daya dukung wilayah perairan

untuk mendapatkan keuntungan tanpa merusak lingkungan dan kelangsungan

jenis hayati lainnya.

(1) Optimalisasi Perikanan Budidaya

Hasil analisis kesesuaian lokasi perikanan budidaya menunjukkan bahwa

terdapat dua lokasi pengembangan perikanan budidaya yang dinyatakan layak

yaitu Pulau Puhawang dan Pulau Tanjung Putus. Kedua lokasi tersebut adalah

lokasi yang sudah terdapat kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring

Apung, sehingga optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih

banyak pada penataan dan pengendalian lingkungan budidaya. Pada

perkembanganya pembudidaya di lokasi ini banyak yang mengalami kegagalan

usaha akibat adanya kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara.

Kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara pada suatu lokasi

dapat disebabkan oleh serangan hama-penyakit ikan dan penurunan mutu

lingkungan budidaya. Serangan hama-penyakit ikan akan meningkat seiring

dengan penurunan mutu lingkungan budidaya. Penurunan mutu lingkungan

budidaya dapat disebabkan oleh aktivitas lain disekitar lokasi budidaya dan dari

limbah kegiatan budidaya itu sendiri yaitu dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan,

limbah obat ikan dan bahan kimia yang digunakan serta limbah domestik

pembudidaya yang tinggal dan menjaga KJA.

Untuk itu optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di kedua lokasi

yang dinyatakan layak di atas adalah pengaturan tata letak dan jarak antar unit

KJA serta pengendalian lingkungan budidaya. Pengaturan tata letak dan jaraka

antar unit KJA sangat ditentukan oleh pola arus dan kedalaman perairan.

Sedangkan pengendalian lingkungan budidaya dapat dilakukan dengan

meningkatkan efektivitas dan efisiensi pakan, penggunaan obat ikan dan bahan

kimia yang tepat dan benar, serta pengelolaan limbah domestik pembudidaya

yang tinggal dan menjaga KJA.

145

(2) Optimalisasi Perikanan Tangkap Optimalisasi perikanan tangkap di perairan Lampung Selatan lebih

diarahkan pada pengendalian kegiatan penangkapan. Hal ini mengingat

sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi

fully exploited sampai dengan over fishing, hanya kelompok pelagis oseanik

kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih

mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi

perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada

pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap

untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari

perairan Teluk Lampung.

Upaya pengendalian penangkapan yang dapat dilakukan diantaranya

melalui pengatuan alat tangkap, lokasi dan waktu penangkapan serta penetapan

kuota. Disamping itu dengan implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya

maka ketersediaan stok pada lokasi tersebut dapat dikendalikan dan kegiatan

penangkapan sesuai aturan yang disepakati dapat berkelanjutan.

(3) Mendorong pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun,

sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumsi masyarakat ke

arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil

penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan

semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas

lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan

membesarkan anak.

Kecenderungan menurunnya peran perikanan tangkap dan tersedianya

sumber daya budidaya perikanan yang cukup besar merupakan alasan untuk

lebih mengembangkan perikanan budidaya. Guna mengatasi keadaan ini, maka

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya laut merupakan alternatif

yang cukup memberikan harapan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis

budidaya berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di

masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun.

Di samping itu pula, peran pemerintah untuk memberikan prioritas kepada

kegiatan budidaya perikanan laut untuk dikembangkan, serta menjaga kestabilan

dan keberlanjutan produksi ikan dari kegiatan penangkapan. Dengan begitu,

146

maka produksi budidaya di masa mendatang diproyeksikan akan meningkat

dengan harapan agar produksi penangkapan tidak mengalami penurunan.

Pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya penting untuk

diperhatikan karena kegiatan budidaya ikan lebih terjamin keberlanjutannya, di

mana penangkapan ikan dapat dikembangkan dengan dukungan utama dari

budidaya laut. Sesuai penelitian Baer et al (2007) bahwa penebaran ikan dapat

meningkatkan hasil tangkapan ( catch per unit effort/ CPUE), juga dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat yang sustainable (Hariyanto et al, 2009)

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan

perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dilakukan melalui: (1) peningkatan

produktivitas, (2) mengurangi atau menghapus sebab-sebab ekonomi biaya

tinggi, (3) menentukan batas konsumsi maksimal yang layak, (4) peningkatan

PAD, (5) memperbaiki kualitas SDM, (6) mempertahankan fungsi lingkungan,

dan (7) kerjasama antar daerah.

(1) Peningkatan produktivitas

Meningkatkan produktivitas bagi kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya)

dengan cara menggunakan input tertentu untuk menghasilkan lebih banyak

output. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa daerah (pemerintah

bersama seluruh warga masyarakat) harus selalu berusaha untuk

meningkatkan jumlah masukan (input) yang berkualitas yang digunakan

dalam setiap kegiatan. Tidak ada artinya kalau input yang digunakan hanya

bertambah tetapi dalam kuantitas saja dan tidak dalam kualitas.

(2) Mengurangi sebab-sebab ekonomi biaya tinggi

Ekonomi biaya tinggi, adanya pungutan resmi atau tidak resmi, terjadi dalam

setiap kegiatan; tidak hanya dalam bidang produksi dan distribusi perikanan,

tetapi juga dalam bidang konsumsi maupun pelayanan apa saja. Pegawai

pemerintah daerah harus terdiri dari orang-orang yang rela berkorban dalam

pelayanan, namun demikian harus pula diimbangi dengan jaminan hidup

layak agar tidak melakukan pelanggaran.

(3) Menentukan batas konsumsi maksimal yang layak

Sifat konsumtif dan materialistis yang dialami setiap masyarakat Indonesia

membuat masyarakat kita tidak pernah mengetahui batas kecukupannya,

147

sehingga semua orang bekerja keras dan berlomba untuk memenuhi semua

kebutuhannya. Padahal kita tahu bahwa macam dan jumlah kebutuhan itu

tidak ada batasnya; sedangkan alat pemuas kebutuhan justru terbatas.

(4) Peningakatan PAD

Tidak dapat diingkari bahwa modal dan dana sangat penting bagi ber-

hasilnya pengembangan potensi suatu daerah. Namun bukan berarti tanpa

modal kita lalu tidak dapat memanfaatkan potensi daerah sama sekali. Perlu

disadari pula bahwa sesungguhnya modal atau dana lebih merupakan faktor

pelengkap dan akibat dari pembangunan serta bukan merupakan sebab dari

pembangunan. Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa suatu

daerah akan menjadi miskin karena PAD nya kecil atau sedikit.

(5) Memperbaiki kualitas SDM

Yang dimaksud disini adalah SDM yang produktif, efisien dan bermoral.

Harus ada kemauan yang kuat dari manusia di daerah yang bersangkutan

untuk membangun, yang akan mendorong masyarakat untuk bekerja keras

dan mau berkorban dan mau melayani.

(6) Mempertahankan fungsi lingkungan

Lingkungan sebagai sumber bahan mentah yang akan diolah di semua

sektor kegiatan, sebagai sumber kesenangan dan rekreasi, serta sebagai

tempat asimilasi limbah secara alami harus terus dipertahankan kualitas

maupun kuantitasnya demi adanya pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development).

(7) Kerjasama antar daerah

Kerjasama antar daerah harus terus digalang demi meningkatkan efisiensi.

Dengan kerjasama daerah diharapkan akan terjadi spesialisasi antar daerah,

sehingga efisiensi dapat ditingkatkan bagi semua pihak yang bekerjasama.

Kerjasama ini dapat dalam bentuk perdagangan ataupun tukar-menukar

tenaga ahli, atau kerjasama bentuk lainnya.

5.4.6 Sub model kelembagaan Implementasi sub model kelembagaan yang berfungsi dalam proses

identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk

merevitalisasi perikanan tangkap berbasis budidaya menunjukkan elemen kunci

dari pengguna, kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan, keberhasilan, aktivitas,

pelaku, dan tolok ukur pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

148

Dari alternatif integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya yang direkomendasikan dari penelitian ini, perikanan tangkap berbasis

budidaya adalah alternatif yang perlu diintensifkan penanganan aspek

kelembagaannya. Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya pada

prinsipnya adalah mengelompokkan masyarakat penangkap ikan pada suatu

perairan untuk bersama-sama menyepakati aturan (Saphakdy et. al., 2009) dan

pelaksanaan kegiatan sampai pengawasan pelaksanaan aturan di wilayah atau

lokasi kegiatan tersebut. Untuk itu nelayan dan pembudidaya serta masyarakat

yang terlibat dan terkait perlu mendapat informasi dan pemahaman yang cukup

tentang kegiatan tersebut. Penyebarluasan informasi untuk masyarakat sekitar

lokasi perikanan tangkap berbasis budidaya perlu dilakukan untuk meminimalisir

konflik dengan kegiatan lain yang memanfaatkan perairan sekitar lokasi

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Di Jepang kelembagaan

yang tumbuh adalah asosiasi ataupun koperasi nelayan

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

(1) Potensi sumberdaya perikanan Lampung Selatan sudah mengalami

penurunan hal ini terlihat dari CPUE yang cenderung negatif. Semua

kelompok ikan yaitu ikan demersal, ikan pelagis kecil, crustacea,

sumberdaya ikan lainnya pernah mencapai tingkat pemanfaatan yang

sudah melebihi JTB bahkan MSY atau disebut over fishing.

(2) Kawasan budidaya di Pulau Puhawang dan Tanjung Putus dapat

direkomendasikan sebagai lokasi pengembangan perikanan budidaya laut

dengan karamba jaring apung (KJA). Memperhatikan kondisi

pemanfaatannya saat ini maka pengaturan tata letak unit KJA dan

pengendalian kualitas lingkungan budidaya adalah kegiatan yang perlu

dilakukan dalam rangka optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di

Lampung Selatan.

(3) Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha perikanan tangkap dan

perikanan budidaya layak untuk dikembangkan sesuai dengan kriteria

kelayakan finansial yang meliputi NPV, Net B/C dan IRR.

(4) Berdasarkan analisis strategi diketahui pengembangan perikanan tangkap

berbasis budidaya merupakan alternatif pertama untuk integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung

Selatan. Faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap

berbasis budidaya adalah informasi mengenai kegiatan budidaya laut,

sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan perikanan

budidaya laut dan kelembagaan. Tujuan pengembangan perikanan tangkap

berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan,

peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

(5) Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya di Lampung Selatan diarahkan pada pengembangan komoditas

kerapu dan pengembangan alat tangkap bubu untuk memanfaatkan

komoditas potensial tersebut. Untuk itu dukungan kegiatan budidaya dalam

kegiatan ini adalah penyediaan benih kerapu yang akan ditebar dari

kegiatan perbenihan.

150

(6) Pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong

pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Untuk

pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur

kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya.

Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam

pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan

nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan

pengembangan. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya

merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Kemudahan birokrasi

merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk

mendorong integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya.

(7) Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang

direkayasa melalui model CAP-AQUADEV berbasis komputer membantu

peningkatan efisiensi mekanisme pengambilan keputusan, sehingga dapat

dengan cepat mengantisipasi dinamika perubahan informasi. Model CAP-

AQUADEV mampu mengakomodasi kebutuhan pengambil keputusan untuk

membantu mengidentifikasi permasalahan yang hendak dikelompokkan,

mengidentifikasi dan membuat prioritas komoditas, teknologi penangkapan

ikan, strategi atau permasalahan lain yang hendak difokuskan, membantu

dalam analisis finansial beserta aspek kelembagaan.

6.2 Saran

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah:

(1) Diperlukan suatu kajian komprehensif mengenai sistem pembiayaan usaha

berbasis sumberdaya alam berdaya saing tinggi dan bersifat strategis.

(2) Diperlukan kebijakan yang jelas untuk mendukung pengembangan

perikanan tangkap berbasis budidaya bernilai tambah tinggi, mengingat

besarnya multiplier effect yang ditimbulkan. Terkait hal tersebut juga

diperlukan pembinaan kepada masyarakat secara terus menerus terhadap

penerapan teknologi perbenihan komoditas yang akan ditebar dan inovasi

teknologi perbenihan komoditas yang belum bisa dipijahkan secara buatan.

(3) Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam model sistem pengambilan

keputusan CAP-AQUADEV ini, diperlukan pengembangan seperti

memasukkan komponen manajemen berbasis pengetahuan (knowledge

based management).

DAFTAR PUSTAKA

Agustedi. 2000. Rancang Bangun Model Perencanaan dan Pembinaan

Agroindustri Hasil Laut Orientasi ekspor dengan Pendekatan Wilayah. (Disertasi). Bogor: IPB. 203 hlm.

Amri, K. 2008. Analisis Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.14 No.1. halaman 55 - 65. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Geographical Distribution And Status of Scads Population in The Water of the southern Part of sunda Shelf. Indonesian Fisheries Research Journal. Vol.11 No.1. Page 1-7. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Interaksi Antara Biomassa dengan Upaya Penangkapan: Studi Kasus Perikanan Pukat Cincin di Pekalongan dan Juana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.12 No.1. halaman 57 - 68. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Baer, K., J. Blasel and M. Diekmann.2007. Benefits of repeated stocking with adult, hatchery-reared brown trout, Salmo trutta, to recreational fisheries?. Fisheries Management and Ecology Volume 14 Issue 1, Pages 51 – 59. Fisheries Research Station Baden-Württemberg, Langenargen, Lake Constance, Germany.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. 2009. Dukungan Riset Bagi

Pelaksanaan Pemacuan Sumberdaya Ikan Di Indonesia. Forum Nasional Pemacuan Stok Indonesia. Purwakarta.

Badrudin,M., Priono, B., dan Amin,E. M. 1991. Potensi dan Penyebaran

Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Barani HM. 2005. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap:

Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan. [Ringkasan Disertasi]. Bogor: IPB. 26 hlm.

Bell Johann D.,  Bartley Devin M., Lorenzen Kai, Loneragan Neil R., 2006.

Restocking and stock enhancement of coastal fisheries: potential, problems and progress. Fisheries Research 80. 1-8 Scince Direct www. sciencedirect.com

Brandt. 1984. Fishing Catching Methods of the Word (3rd edition). England:

Fishing News Books Ltd. 418 pp. Cholic F., Jagatraya GA., Poernomo RP., Jauzi A. 2005. Akuakultur “Tumpuan

Harapan Masa Depan Bangsa”. PT. Viktoria Kreasi Mandiri. Jakarta. 415 hlm.

152

Coastal Resources Management Project 1998; Increasing Conservation and sustainable Use of Coastal Resources

Cooper, E.L. (1969) “Growth of Wild and Hatchery Strains of Brook Trout” in

Trans. of American Fisheries Society; Vol.90, No.4, pp424–438 Dahuri, R. 2001. Prospek dan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Wilayah

Pesisir Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Makalah Seminar. Universitas Pekalongan. Pekalongan.

Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pengembangan Indonesia Berbasis Kelautan.

Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: IPB. 233 hlm.

Dahuri R. 2004. Kebijakan Pakan Udang atau Ikan dan Penanganan

Permasalahan Antibiotika Pada Budidaya. Pidato Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Dalam Acara Pembukaan Temu Nasional. Jakarta.

Dent, J.B., and M.J. Blackie. 1979. Systems simulation in Agriculture.Applied

Science Publishers, London, England. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Strategi Nasional Implementasi

Code of Conduct for Responsible Fisheries. Jakarta. 107 hlm Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Pedoman Pembentukan

Kelembagaan Operasional dan Pemeliharaan Prasarana Budidaya. Jakarta. 47 hlm.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pola Pembiayaan Usaha Mikro

Kecil dan Menengah ”Alat Tangkap Jaring Lingkar (Purse Seine)”. Jakarta. 70 hlm.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil”

Pancing Ulur Berumpon. Jakarta. 61 hlm. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil”

Pancing Rawai. Jakarta. 58 hlm. De Silva S.S., Amarasinghe U.S., Nguyen T.T.T. 2006. Better Practice

Approaches for Culture Based Fisheries Depelovment in Asia. ACIAR. Australia. 96 pp.

Diantari. R. dan Efendi. E. 2005. Pengkajian Potensi dan Musim Penangkapan

Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Teluk Lampung.Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2001. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.

Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Potensi Perikanan Tangkap Indonesia.

Ditjen Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2002. Profil Kelautan dan

Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.

153

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Profil Kelautan dan

Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Rencana Tata Ruang

Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka, Laporan Akhir, CV GEBE Consultan, Lampung. 145 hlm.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2004. Profil Kelautan dan

Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 274 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2005. Profil Kelautan dan

Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2006. Profil Kelautan dan

Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 114 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2007. Profil Kelautan dan

Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. Direktorat Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. 2000.

Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Pesisir Lampung Untuk Kegiatan Usaha Masyarakat. Bogor. 150 hlm.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2002. Statistik Perikanan Budidaya. Dirjen Perikanan Tangkap. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2001 –

2006. Jakarta. 136 hlm. Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Edisi Satu. Jakarta: Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm. Dwiponggo. 1983. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia. Laporan

Penelitian Perikanan Laut nomor-2. BPPL. Jakarta. Effendi. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Ernawati, T dan Sumiyono,B. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan

Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari, Kota Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 69 – 77. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan efektivitas Manajemen.

Bogor: IPB Press. 147 hlm. Eriyatno dan Sofyar Fadjar. 2007. Ilmu Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk

Pascasarjana, IPB Press. 79 hlm. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama. 259 hlm. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan “Isu, Sintesis dan Gagasan”.

154

PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. 185 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible

Fisheries. Rome Italy. 41 pp. [FAO] Food Agriculture Organization. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis.

Jakarta. 438 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 2002. The State of World Fisheries and

Aquaculture. Rome: FAO Fisheries Department. 142 pp. Giyatmi. 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian

Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Propinsi Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: IPB. 225 hlm.

Gulland, J.A. 1986. A Manual of Methods for Fish Stock Assessment. F A O.

Roma. Hariati, T., Chodriyah, U., dan Taufik, M. 2009. Perikanan Pukat Cincin di

Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 79 - 91. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Pengembangan

Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Komoditas Potensial di Teluk Lampung, Jurnal Saintek Perikanan Volume 4 No 2 Tahun 2008, FPIK, Universitas Diponegoro, Semarang.

Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Analisis Integrasi

Pengembangan Perikanan tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Lampung Selatan), Jurnal Pusat Riset Perikanan Tangkap Tahun 2009, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan

Hartoto I. D. 2000. An Overview of Some Limnological Parameters and

Management Status of Fishery Reserves in Central Kalimantan. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.Kompleks LIPI Cibinong.

Jadwiga Ziolkowska. 2008. Evaluation of Agri-environmental Measures.

International Journal of Rural Management, Vol. 4, No. 1-2, 1-24. Humboldt University of Berlin.

Jorgensen J. V and Thompson P. M. 2007. Culture-base Fhiseries in Bangladesh

”A socio-economic perrspective. FAO. Rome. 41 hlm. Kitojo Wetengere. 2009. Socio-economic factors critical for adoption of fish

farming technology: The case of selected villages in Eastern Tanzania. International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 1 (3), pp. 028 - 037, August 2009 © 2009 Academic Journals. Institute of Social Work (ISW), P.O. Box 3375, Dar es Salaam, Tanzania.

Lampung Selatan Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Lampung Selatan Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. 2007, Dinas

155

Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Bamdar Lampung. Lewy. P and Nielsen A. 2003. Modelling stochastic fish stock dynamics using

Markov Chain Monte Carlo. ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil 2003 60(4):743-752. Danish Institute for Fisheries Research, Charlottenlund Slot 2920 Charlottenlund, Denmark.

Lorenzen K. 1995. Population Dynamic and Management of Culture Based

Fisheries. Fisheries management and Ecology. London – UK. 61-73 pp. Mateus, L. A. de F. and Estupiñán, G. M. B. 2002. FISH STOCK ASSESSMENT

OF PIRAPUTANGA Brycon Microlepis IN THE CUIABÁ RIVER BASIN, PANTANAL OF MATO GROSSO, BRAZIL. Brazilian Journal of Biology.Vol.62 No.1

McPHIE R. P.1 AND S. E. CAMPANA. 2009. Reproductive characteristics and

population decline of four species of skate (Rajidae) off the eastern coast of Canada. Journal of Fish Biology Volume 75 Issue 1, Pages 223 – 246. The Fisheries Society of the British Isles.

Manetsch dan Park. 1974. System Analysis and Simulation with Application to

Economic and Social System. Michigan: Michigan State University. 145 hlm.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

Jakarta: Grasindo. 197 hlm.

Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manjerial. IPB Press. Grasindo. Jakarta.

Masyarakat Perikanan Nusantara. 2006. 60 Tahun Perikanan Indonesia. PT. Victoria Kreasi Mandiri. 365 hlm.

Minch dan Burns. 1983. Conceptual Design of Decision Support System Utilizing Management Science Models. IEEE Transaction of System, Man and Cybernetics.

Monintja D. 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 156 hlm.

Mora C, Myers RA, Coll M, Libralato S, Pitcher TJ, U. Sumaila6, Dirk Zeller6, Reg Watson6, Kevin J. Gaston7, Boris Worm2. 2009. Management Effectiveness of the World's Marine Fisheries. PLoS. Journal.pbio.1000131.

Morten D. Skogen, Mette Eknes, Lars C. Asplin and Anne D. Sandvik.2009. Modelling the environmental effects of fish farming in a Norwegian fjord. Institute of Marine Research, Pb.1870, N-5817 Bergen, Norway.

Mulyadi S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafido Persada. Jakarta. 223 hlm.

Naamin, Widodo,J., dan Sadhotomo,S. 1991. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut

156

di Perairan Indonesia. Ditjenkan Puslitbang Perikanan- Puslitbang Oceanologi LIPI. Jakarta.

Nikijuluw, Victor PH, 2002, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo

Nurdjana ML, A Sudrajat, E Harris, BE Priyono, IBM Suastika, T Trimulyantoro, Sudiharno, IS Djunaedah, A Purnomo, E Danakusumah, K Sugama, T Permadi, S Siregar, R Eliza, dan Sudaryanto. 1998. Potensi Lahan Pengembangan Budidaya Pantai dan Laut Indonesia. Proyek Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta: Ditjen Perikanan, Departemen Pertanian.

Nurhakim, S. 2007. Buku Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset Perikanan Tangkap – BRKP.

Pascoe S, and Mardle S. 2001. Bioeconomic model, fisheries management, multi-objective modelling, goal programming, Common Fisheries Policy. European Review of Agriculture Economics Vol 28 (2) pp.161-185. Centre for the Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE), Southsea, UK.

Pressman TE. 1992. A Synthesis of System Inquiry and Easthern Mode of Inquiry. Journal System Research (9): hlm 47-65.

Pusar Riset Perikanan Tangkap – DKP. 2007. Wilayah Pengelolaan Perikanan “ Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan”: Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. 47 hlm.

Romimohtarto K., Juana S. 2005. Biologi Laut “Ilmu Pengentahuan Tentang Biota Laut”. Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta. 540 hlm.

Royce WF. 1996. Introduction to The Practice of Fisheries Science. Revised Edition. Academic Press Inc. USA. 448 hlm.

Saaty. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. 268 hlm.

Saphakdy, B., Phomsouvanh, A., Davy, B., Nguyen, T.T.T. and De Silva, S.S. 2009. Contrasting Community Management and Revenue Sharing Practices of Culture-Based Fisheries in Lao PDR. NACA. Aquaculture Asia Magazine Volume XIV No. 3, July - September 2009

Satria A., Umbari A., Fauzi A., Purbayanto A., Sutarto E., Muchsin I., Muflikhati I., Karim M., Saad S., Oktariza W., dan Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. 210 hlm.

Simatupang, 1995. Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Nelayan Dan Kaitannya Dengan Teknologi, Kelembagaan Dan Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah seminar nasional PERHEPI di Cisarua, Bogor

Thomas. 2004. Analisa Komparasi Bubu Dasar Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Nelayan di Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung, Bali. Tesisi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Turban. 1988. Decision Support and Expert System. New York: Mc Millan Publishing Company. 936 hlm.

157

Uki, N. 2006. Stock Enhancement of the Japanese scallops Patinopecten yessoensis in Hokkaido. Fisheries Research 80. 62-66. Scince Direct www. sciencedirect.com

Universitas Nusa Cendana dan Dinas Perindustrian NTT. 2006. Analisis Komoditas Unggulan dan Peluang Usaha (Budidaya Ikan Kerapu). Kupang.Nusa Tenggaa Timur.

Valbo-Jorgensen J. dan Thompson P. M. 2007. Culture-based Fisheris in Bangladesh: A sosio-economic perspective. FAO Fisheries Technical Paper No. 499. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma. 41 p.

Wahyudi, Wiryawan Budy, Handoko A.S. 1998.Penyelidikan Geologi Lingkungan Pesisir Lampung, Technical Report, Proyek Pesisir.

Widodo, J.,Sadhotomo, B., dan Merta, I.G.S. 1999. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

Wiryawan B, Marsden, Bill, Susanto H Adi, Mahi, A Kabul, Ahmad, Marizal, Poespitasari, H, 2002. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, Kerjasama Pemerintah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir – PKSPL, Institut Pertanian Bogor.

Worm B., Barbier B.E., Beaumont N., Duffy E. J., Folke C., Halpern S. B., Jeremy B. C. Jackson, Heike K. Lotze, Micheli F., Palumbi R. S., Sala E., Kimberley A. Selkoe., John J. Stachowicz, Reg Watson. 2006. Impacts of Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem Services.SCIENCE VOL 314 3 NOVEMBER 2006. Canada.

Wyrtki, K., 1961. Physical oceanography of the southeast Asian waters. University of California, NAGA Report, No. 2, 195 pp.

Eriyatno (2003) Cooper (1969) Ernst (1988) Hartris Widodo, J, Djamali, A, Aziz, KA, Priyono, B.E, Tampubolon, G.H, Naamin,

N, Nurhakim, S, Mertha, IGS, Uktolseja, J.C.B, Amarullah, M.H, Susanto, K, Sumiono, B, Boer, M, Mubarak, H. 1996. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

ari dan Eriyatno 2003 Simatupang, 1995 Dent dan Blackie 1979 Oxman 1985 Rauch Hindin 1988 Martin dan Oxman 1988 Hadisenjaya, 1995 Laporan Tahunan Propinsi Lampung, 2007 CRMP, 1998 Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

158

Lampiran 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung

Payang

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 3,382.80 140.00 14,700.00 2 2002 4,231.60 209.00 15,025.00 3 2003 4,246.70 211.00 22,535.00 4 2004 4,586.00 221.00 21,740.00 5 2005 4,834.00 250.00 20,359.00 6 2006 5,213.40 245.00 19,600.00 7 2007 4,970.30 248.00 10,680.00

cantrang

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 1,314.00 85.00 8,925.00 2 2002 1,533.00 99.00 10,412.00 3 2003 1,752.00 113.00 11,899.00 4 2004 1,971.00 127.00 13,386.00 5 2005 2,190.00 141.00 14,873.00 6 2006 1,752.00 155.00 16,360.00 7 2007 1,463.00 169.00 17,847.00

Dogol

No. TahunProduksi Per Alat

Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 303.50 47.00 4,230.00 2 2002 227.90 72.00 4,011.00 3 2003 234.70 85.00 4,137.00 4 2004 308.70 107.00 5,034.00 5 2005 234.70 123.00 5,370.00 6 2006 190.70 132.00 6,045.00 7 2007 116.70 122.00 6,254.00

Pancing

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 218.30 512.00 89,600.00 2 2002 331.10 743.00 92,612.00 3 2003 1,729.00 812.00 263,909.00 4 2004 2,511.00 916.00 146,560.00 5 2005 3,696.00 2,165.00 346,400.00 6 2006 4,191.20 2,159.00 345,440.00 7 2007 3,141.40 1,851.00 443,640.00

159

Bubu

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 21.20 46.00 5,520.00 2 2002 123.86 86.00 11,653.00 3 2003 367.20 142.00 35,804.00 4 2004 370.50 131.00 15,720.00 5 2005 459.70 320.00 38,400.00 6 2006 681.40 484.00 58,080.00 7 2007 522.20 421.00 56,076.00

Trap

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 64.20 95.00 11,400.00 2 2002 17.10 74.00 6,340.00 3 2003 47.80 90.00 7,543.00 4 2004 69.60 109.00 18,645.00 5 2005 150.00 131.00 26,897.00 6 2006 340.60 187.00 35,740.00 7 2007 664.10 361.00 43,320.00

Lampiran 2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung

160

ProduksiNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap

1 2001 3,382.80 1,314.00 303.50 218.30 21.20 64.20 2 2002 4,231.60 1,533.00 227.90 331.10 123.86 17.10 3 2003 4,246.70 1,752.00 234.70 1,729.00 367.20 47.80 4 2004 4,586.00 1,971.00 308.70 2,511.00 370.50 69.60 5 2005 4,834.00 2,190.00 234.70 3,696.00 459.70 150.00 6 2006 5,213.40 1,752.00 190.70 4,191.20 681.40 340.60 7 2007 4,770.30 1,463.00 116.70 3,141.40 522.20 664.10

TripNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap

1 2001 14,700 8,925 4,230 89,600 5,520 11,4002 2002 15,025 10,412 4,011 92,612 11,653 6,3403 2003 22,535 11,899 4,137 263,909 35,804 7,5434 2004 21,740 13,386 5,034 146,560 15,720 18,6455 2005 20,359 14,873 5,370 346,400 38,400 26,8976 2006 19,600 16,360 6,045 345,440 58,080 35,7407 2007 10,680 17,847 6,254 443,640 56,076 43,320

CPUENo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap

1 2001 0.230 0.147 0.072 0.002 0.004 0.0062 2002 0.282 0.147 0.057 0.004 0.011 0.0033 2003 0.188 0.147 0.057 0.007 0.010 0.0064 2004 0.211 0.147 0.061 0.017 0.024 0.0045 2005 0.237 0.147 0.044 0.011 0.012 0.0066 2006 0.266 0.107 0.032 0.012 0.012 0.0107 2007 0.447 0.082 0.019 0.007 0.009 0.015

StandarisasiNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap

1 2001 1.00 0.64 0.31 0.01 0.02 0.02 2 2002 1.00 0.52 0.20 0.01 0.04 0.01 3 2003 1.00 0.78 0.30 0.03 0.05 0.03 4 2004 1.00 0.70 0.29 0.08 0.11 0.02 5 2005 1.00 0.62 0.18 0.04 0.05 0.02 6 2006 1.00 0.40 0.12 0.05 0.04 0.04 7 2007 1.00 0.18 0.04 0.02 0.02 0.03

161

Trip standarNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap

1 2001 14,700.00 5,710.00 1,318.86 948.63 92.12 278.98 2 2002 15,025.00 5,443.17 809.20 1,175.63 439.79 60.72 3 2003 22,535.00 9,296.94 1,245.43 9,174.89 1,948.54 253.65 4 2004 21,740.00 9,343.55 1,463.40 11,903.43 1,756.36 329.94 5 2005 20,359.00 9,223.46 988.47 15,566.17 1,936.08 631.74 6 2006 19,600.00 6,586.72 716.94 15,757.00 2,561.75 1,280.50 7 2007 10,680.00 3,275.44 261.27 7,033.13 1,169.13 1,486.82

CPUE StandartNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap

1 2001 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 2 2002 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 3 2003 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 4 2004 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 5 2005 0.24 0.24 0.24 0.24 0.24 0.24 6 2006 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 7 2007 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45

Lampiran 3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung

Produksi

No. Tahun Pukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring insang hanyut

Jaring lingkar

Jaring Klitik

Jaring insang tetap

Rawai Tuna

Rawai Hanyut

Rawai tetap

Pancing tonda

1 2001 824.80 2,534.30 303.50 935.20 397.10 1,015.00 370.80 260.50 314.20 51.70 2 2002 1,816.90 4,909.00 227.90 1,084.20 195.30 719.20 265.67 384.70 317.00 102.45 3 2003 1,394.80 2,286.40 234.70 352.20 22.70 1,510.20 146.80 475.60 758.50 153.20 4 2004 998.00 1,239.10 308.70 343.70 50.80 1,956.70 47.90 476.20 614.60 137.80 5 2005 1,025.74 1,235.70 234.70 392.40 64.80 1,560.00 57.80 428.60 964.10 77.70 6 2006 1,024.70 1,030.60 190.70 410.80 66.30 1,163.30 65.20 331.20 984.80 54.00 7 2007 1,074.70 986.70 116.70 345.30 43.20 1,265.90 56.90 310.50 1,000.50 79.00

Trip

No. Tahun Pukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring insang hanyut

Jaring lingkar

Jaring Klitik

Jaring insang tetap

Rawai Tuna

Rawai Hanyut

Rawai tetap

Pancing tonda

1 2001 26040 5640 8640 13330 1860 24700 16625 16100 24150 56002 2002 32412 8716 8579 13465 2269 18460 13462 31290 27410 98763 2003 24752 4358 13900 8950 228 31515 10257 23114 38269 99934 2004 11400 5400 22400 9673 324 18400 6656 25728 33120 89605 2005 15600 6227 21100 9534 624 33600 7595 24064 30960 62246 2006 14880 5820 18000 8672 917 32900 6846 24448 37528 55437 2007 62040 4975 59940 5768 950 33800 9045 25634 57500 9643

CPUE

No. Tahun Pukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring insang hanyut

Jaring lingkar

Jaring Klitik

Jaring insang tetap

Rawai Tuna

Rawai Hanyut

Rawai tetap

Pancing tonda

1 2001 0.03 0.45 0.04 0.07 0.21 0.04 0.02 0.02 0.01 0.01 2 2002 0.06 0.56 0.03 0.08 0.09 0.04 0.02 0.01 0.01 0.01 3 2003 0.06 0.52 0.02 0.04 0.10 0.05 0.01 0.02 0.02 0.02 4 2004 0.09 0.23 0.01 0.04 0.16 0.11 0.01 0.02 0.02 0.02 5 2005 0.07 0.20 0.01 0.04 0.10 0.05 0.01 0.02 0.03 0.01 6 2006 0.07 0.18 0.01 0.05 0.07 0.04 0.01 0.01 0.03 0.01 7 2007 0.02 0.20 0.00 0.06 0.05 0.04 0.01 0.01 0.02 0.01

Standarisasi

No. Tahun Pukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring insang hanyut

Jaring lingkar

Jaring Klitik

Jaring insang tetap

Rawai Tuna

Rawai Hanyut

Rawai tetap

Pancing tonda

1 2001 0.77 10.93 0.85 1.71 5.20 1.00 0.54 0.39 0.32 0.22 2 2002 1.44 14.46 0.68 2.07 2.21 1.00 0.51 0.32 0.30 0.27 3 2003 1.18 10.95 0.35 0.82 2.08 1.00 0.30 0.43 0.41 0.32 4 2004 0.82 2.16 0.13 0.33 1.47 1.00 0.07 0.17 0.17 0.14 5 2005 1.42 4.27 0.24 0.89 2.24 1.00 0.16 0.38 0.67 0.27 6 2006 1.95 5.01 0.30 1.34 2.04 1.00 0.27 0.38 0.74 0.28 7 2007 0.46 5.30 0.05 1.60 1.21 1.00 0.17 0.32 0.46 0.22

Trip Standarisasi

No. TahunPukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring insang hanyut

Jaring lingkar

Jaring Klitik

Jaring insang tetap

Rawai Tuna

Rawai Hanyut

Rawai tetap

Pancing tonda

1 2001 20,071.49 61,672.13 7,385.67 22,758.07 9,663.42 24,700.00 9,023.41 6,339.26 7,646.05 1,258.12 2 2002 46,635.11 126,001.31 5,849.60 27,828.60 5,012.84 18,460.00 6,819.06 9,874.25 8,136.57 2,629.63 3 2003 29,106.82 47,712.82 4,897.74 7,349.74 473.71 31,515.00 3,063.44 9,924.87 15,828.45 3,196.99 4 2004 9,384.78 11,651.99 2,902.89 3,232.01 477.70 18,400.00 450.43 4,477.99 5,779.44 1,295.81 5 2005 22,092.86 26,615.08 5,055.08 8,451.69 1,395.69 33,600.00 1,244.92 9,231.38 20,765.23 1,673.54 6 2006 28,980.17 29,147.03 5,393.30 11,618.09 1,875.07 32,900.00 1,843.96 9,366.87 27,851.73 1,527.21 7 2007 28,694.89 26,345.26 3,115.93 9,219.64 1,153.46 33,800.00 1,519.25 8,290.47 26,713.72 2,109.33

CPUE Standart

No. Tahun Pukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring insang hanyut

Jaring lingkar

Jaring Klitik

Jaring insang tetap

Rawai Tuna

Rawai Hanyut

Rawai tetap

Pancing tonda

1 2001 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 2 2002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 3 2003 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 4 2004 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 5 2005 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 6 2006 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 7 2007 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04

165

Lampiran 4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah

Distandarisasikan di Teluk Lampung

Pukat Pantai

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 824.80 93.00 26,040.00 2 2002 1,816.90 108.00 32,412.00 3 2003 1,394.80 95.00 24,752.00 4 2004 998.00 95.00 11,400.00 5 2005 1,025.74 130.00 15,600.00 6 2006 1,024.70 124.00 14,880.00 7 2007 1,074.70 261.00 62,040.00

Pukat Cincin

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 2,534.30 47.00 5,640.00 2 2002 4,909.00 62.00 8,716.00 3 2003 2,286.40 54.00 4,358.00 4 2004 1,239.10 45.00 5,400.00 5 2005 1,235.70 50.00 6,227.00 6 2006 1,030.60 47.00 5,820.00 7 2007 986.70 42.00 4,975.00

Jaring insang hanyut

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 1,143.50 72.00 8,640.00 2 2002 1,106.80 74.00 8,579.00 3 2003 1,079.80 105.00 13,900.00 4 2004 1,808.90 65.00 22,400.00 5 2005 1,520.35 70.00 21,100.00 6 2006 1,231.80 60.00 18,000.00 7 2007 4,927.20 265.00 59,940.00

Jaring lingkar

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 935.20 86.00 13,330.00 2 2002 1,084.20 89.00 13,465.00 3 2003 352.20 51.00 8,950.00 4 2004 343.70 46.00 9,673.00 5 2005 392.40 48.00 9,534.00 6 2006 410.80 55.00 8,672.00 7 2007 345.30 50.00 5,768.00

166

Jaring Klitik

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 397.10 12.00 1,860.00 2 2002 195.30 14.00 2,269.00 3 2003 22.70 8.00 228.00 4 2004 50.80 27.00 324.00 5 2005 64.80 30.00 624.00 6 2006 66.30 35.00 917.00 7 2007 43.20 26.00 950.00

Jaring insang tetap

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 1,015.00 190.00 24,700.00 2 2002 719.20 154.00 18,460.00 3 2003 1,510.20 238.00 31,515.00 4 2004 1,956.70 230.00 18,400.00 5 2005 1,560.00 336.00 33,600.00 6 2006 1,163.30 319.00 32,900.00 7 2007 1,265.90 320.00 33,800.00

Rawai Tuna

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 370.80 95.00 16,625.00 2 2002 265.67 85.00 13,462.00 3 2003 146.80 79.00 10,257.00 4 2004 47.90 52.00 6,656.00 5 2005 57.80 69.00 7,595.00 6 2006 65.20 89.00 6,846.00 7 2007 56.90 88.00 9,045.00

Rawai Hanyut

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 260.50 92.00 16,100.00 2 2002 384.70 128.00 31,290.00 3 2003 475.60 198.00 23,114.00 4 2004 476.20 201.00 25,728.00 5 2005 428.60 188.00 24,064.00 6 2006 331.20 191.00 24,448.00 7 2007 310.50 190.00 25,634.00

167

Rawai tetap

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 314.20 138 24,150 2 2002 317.00 152 274103 2003 758.50 312 38,269 4 2004 614.60 289 33,120 5 2005 964.10 387 30,9606 2006 984.80 427 37,528 7 2007 1,000.50 479.00 57,500

Pancing tonda

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 51.70 72.00 5,600.00 2 2002 102.45 69.00 9,876.00 3 2003 153.20 62.00 9,993.00 4 2004 137.80 70.00 8,960.00 5 2005 77.70 53.00 6,224.00 6 2006 54.00 48.00 5,543.00 7 2007 79.00 69.00 9,643.00

Lampiran 5 Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung

168

Pukat Udang

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per

alat tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 132.80 17.00 4,760.00 2 2002 129.40 17.00 4,831.00 3 2003 102.80 15.00 4,692.00 4 2004 97.90 13.00 5,728.00 5 2005 63.60 14.00 4,629.00 6 2006 78.30 14 3,754.00 7 2007 68.20 16 4,185.00

Tramel net

No. TahunProduksi Per Alat

Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per

alat tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 287.00 35.00 5,775.00 2 2002 32.50 23.00 1,864.00 3 2003 28.40 18.00 229.00 4 2004 400.70 56.00 6,720.00 5 2005 256.20 37.00 5,376.00 6 2006 145.80 26.00 4,873.00 7 2007 72.60 21.00 1,267.00

Sero

No. TahunProduksi Per Alat

Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per

alat tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 1,337.00 726.00 27,050.00 2 2002 1,139.00 876.00 30,215.00 3 2003 916.20 864.00 21,854.00 4 2004 959.30 1,139.00 19,854.00 5 2005 501.20 550.00 16,600.00 6 2006 460.20 895.00 18,672.00 7 2007 654.80 995.00 17,498.00

Lampiran 6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung

169

ProduksiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero

1 2001 132.80 287.00 1,337.00 2 2002 129.40 32.50 1,139.00 3 2003 102.80 28.40 916.20 4 2004 97.90 400.70 959.30 5 2005 63.60 256.20 501.20 6 2006 78.30 145.80 460.20 7 2007 68.20 72.60 654.80

TripNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero

1 2001 4,760.00 5,775.00 27,050.00 2 2002 4,831.00 1,864.00 30,215.00 3 2003 4,692.00 229.00 21,854.00 4 2004 5,728.00 6,720.00 19,854.00 5 2005 4,629.00 5,376.00 16,600.00 6 2006 3,754.00 4,873.00 18,672.00 7 2007 4,185.00 1,267.00 17,498.00

CPUENo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero

1 2001 0.03 0.05 0.05 2 2002 0.03 0.02 0.04 3 2003 0.02 0.12 0.04 4 2004 0.02 0.06 0.05 5 2005 0.01 0.05 0.03 6 2006 0.02 0.03 0.02 7 2007 0.02 0.06 0.04

StandarisasiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero

1 2001 0.56 1.00 0.99 2 2002 1.54 1.00 2.16 3 2003 0.18 1.00 0.34 4 2004 0.29 1.00 0.81 5 2005 0.29 1.00 0.63 6 2006 0.70 1.00 0.82 7 2007 0.28 1.00 0.65

170

Trip StandarisasiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero

1 2001 2,672.20 5,775.00 26,903.05 2 2002 7,421.59 1,864.00 65,326.03 3 2003 828.92 229.00 7,387.67 4 2004 1,641.85 6,720.00 16,088.09 5 2005 1,334.56 5,376.00 10,516.98 6 2006 2,616.98 4,873.00 15,381.03 7 2007 1,190.21 1,267.00 11,427.43

CPUE StandarisasiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero

1 2001 0.05 0.05 0.05 2 2002 0.02 0.02 0.02 3 2003 0.12 0.12 0.12 4 2004 0.06 0.06 0.06 5 2005 0.05 0.05 0.05 6 2006 0.03 0.03 0.03 7 2007 0.06 0.06 0.06

Lampiran 7 Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung

171

Alat Lainya

No. TahunProduksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 107.40 137.00 1,840.00 2 2002 92.70 132.00 1,364.00 3 2003 87.20 130.00 1,254.00 4 2004 78.20 126.00 1,137.00 5 2005 73.90 95.00 1,038.00 6 2006 58.00 74.00 1,367.00 7 2007 46.10 89.00 1,076.00

Jaring Angkat Lain

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 179.10 192.00 37,320.00 2 2002 89.20 152.00 30,151.00 3 2003 41.40 105.00 17,263.00 4 2004 56.90 110.00 16,853.00 5 2005 89.30 149.00 24,741.00 6 2006 105.10 156.00 30,543.00 7 2007 97.90 135.00 29,547.00

Bagan Tancap

No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 2,895.70 292.00 61,320.00 2 2002 2,658.30 280.00 62,610.00 3 2003 2,872.30 286.00 65,548.00 4 2004 3,654.50 292.00 46,720.00 5 2005 2,609.80 235.00 40,500.00 6 2006 1,445.80 220.00 39,600.00 7 2007 1,256.50 214.00 37,976.00

Bagan Perahu

No. TahunProduksi Per Alat Tangkap

Jumlah Unit Penangkapan per alat

tangkap

Trip Produksi per alat tangkap

1 2001 2,691.70 115.00 17,250.00 2 2002 3,262.90 122.00 35,420.00 3 2003 2,188.50 115.00 19,445.00 4 2004 4,162.20 138.00 22,080.00 5 2005 5,822.50 243.00 48,600.00 6 2006 6,400.10 267.00 53,421.00 7 2007 2,449.90 233.00 37,740.00

Lampiran 8 Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah

distandarisasikan di Teluk Lampung

172

Produksi

No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya

1 2001 2,691.70 2,895.70 179.10 107.40 2 2002 3,262.90 2,658.30 89.20 92.70 3 2003 2,188.50 2,872.30 41.40 87.20 4 2004 4,162.20 3,654.50 56.90 78.20 5 2005 5,822.50 2,609.80 89.30 73.90 6 2006 6,400.10 1,445.80 105.10 58.00 7 2007 2,449.90 1,256.50 97.90 46.10

Trip

No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya

1 2001 17,250 61,320 37,320 1,8402 2002 35,420 62,610 30,151 1,3643 2003 19,445 65,548 17,263 1,2544 2004 22,080 46,720 16,853 1,1375 2005 48,600 40,500 24,741 1,0386 2006 53,421 39,600 30,543 1,3677 2007 37,740 37,976 29,547 1,076

CPUE

No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya

1 2001 0.16 0.05 0.00 0.06 2 2002 0.09 0.04 0.00 0.07 3 2003 0.11 0.04 0.00 0.07 4 2004 0.19 0.08 0.00 0.07 5 2005 0.12 0.06 0.00 0.07 6 2006 0.12 0.04 0.00 0.04 7 2007 0.06 0.03 0.00 0.04

Standarisasi

No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya

1 2001 1.00 0.30 0.03 0.372 2002 1.00 0.46 0.03 0.743 2003 1.00 0.39 0.02 0.624 2004 1.00 0.41 0.02 0.365 2005 1.00 0.54 0.03 0.596 2006 1.00 0.30 0.03 0.357 2007 1.00 0.51 0.05 0.66

173

Trip standarisasi

No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain

Alat Lainya

1 2001 17,250.00 18,557.35 1,147.78 688.28 2 2002 35,420.00 28,856.84 968.30 1,006.29 3 2003 19,445.00 25,520.62 367.84 774.78 4 2004 22,080.00 19,386.71 301.85 414.84 5 2005 48,600.00 21,783.82 745.38 616.84 6 2006 53,421.00 12,067.95 877.26 484.12 7 2007 37,740.00 19,356.02 1,508.12 710.16

CPUE Standart

No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya

1 2001 0.16 0.16 0.16 0.16 2 2002 0.09 0.09 0.09 0.09 3 2003 0.11 0.11 0.11 0.11 4 2004 0.19 0.19 0.19 0.19 5 2005 0.12 0.12 0.12 0.12 6 2006 0.12 0.12 0.12 0.12 7 2007 0.06 0.06 0.06 0.06

Lampiran 9 Analisis Keseuaian Lokasi Budidaya Laut dengan Karamba Jaring Apung

174

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7Kategori 1 40

Suhu (0C) 28 - 30 10 3 3 3 3 3 3 3 3 30 30 30 30 30 30 302 0 0 0 0 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0

Salinitas (ppt) 20 - 30 10 3 3 3 3 0 0 0 0 30 30 302 2 2 2 2 20 20 20 20 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0

DO (ppm) 8 - 10 15 3 3 3 45 0 0 0 0 0 452 2 2 2 0 30 0 30 0 30 01 1 1 0 0 15 0 15 0 0

DIN (ppm) nihi l 5 3 3 0 0 0 0 0 0 152 2 2 0 0 0 10 0 10 01 1 1 1 1 5 5 5 0 5 0 0

TOM (ppm) < 25 5 3 3 3 3 15 0 0 15 0 0 152 2 0 10 0 0 0 0 01 1 1 1 0 0 5 0 5 5 0

Ortho-P04 nihi l 5 3 3 3 3 3 3 15 15 15 0 0 15 152 2 0 0 0 10 0 0 01 1 0 0 0 0 5 0 0

Arus (cm/dt) 20 - 40 15 3 3 3 0 45 0 0 0 0 452 2 2 2 30 0 0 30 0 30 01 1 1 0 0 15 0 15 0 0

Polusi tidak ada 15 3 3 3 0 0 0 0 45 0 452 2 2 2 2 30 0 30 30 0 30 01 1 0 15 0 0 0 0 0

Alga blooms tidak ada 5 3 3 3 3 0 0 0 0 15 15 152 2 2 2 2 10 10 10 10 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0

Organisme pathogen tidak ada 5 3 3 3 0 15 0 0 0 0 152 2 2 2 2 2 10 0 10 10 10 10 01 0 0 0 0 0 0 0

Pergantian air cepat 10 3 3 3 3 0 0 0 0 30 30 302 2 2 2 2 20 20 20 20 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 100 230 215 175 215 205 235 300Nilai Kategori 1 92 86 70 86 82 94 120Kategori 2 30Kedalaman (m) 10 - 20 40 3 3 3 3 0 0 0 0 120 120 120

2 2 2 2 2 80 80 80 80 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0

Keterl indungan terl indung 40 3 3 3 3 0 0 120 0 120 120 02 2 0 0 0 80 0 0 01 1 1 1 40 40 0 0 0 0 40

Substrat pasir campur pecahan karang

20 3 3 3 3 3 0 60 0 0 60 60 60

2 2 2 40 0 0 40 0 0 01 1 0 0 20 0 0 0 0

Jumlah 100 160 180 220 200 300 300 220Nilai Kategori 2 48 54 66 60 90 90 66

Skor Bobot

(%)Kisaran

OptimumKategoriBobot x Skor per StasiunSkor per Stasiun

175

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7Kategori 3 30Aspek Legal Sesuai RUTRD 20 3 3 3 3 3 0 0 60 60 60 60 0

2 2 2 2 40 40 0 0 0 0 401 0 0 0 0 0 0 0

Kemudahan akses Mudah 20 3 3 0 60 0 0 0 0 02 2 2 2 40 0 40 40 0 0 01 1 1 1 0 0 0 0 20 20 20

Konfl ik Tidak ada 20 3 3 0 0 0 0 60 0 02 2 2 2 2 2 2 40 40 40 40 0 40 401 0 0 0 0 0 0 0

Keamanan Aman 20 3 3 3 3 0 0 0 0 60 60 602 2 2 2 40 0 40 40 0 0 01 1 0 20 0 0 0 0 0

Akses dengan pasar Dekat 20 3 3 0 60 0 0 0 0 02 2 2 2 2 2 40 0 40 40 40 40 01 1 0 0 0 0 0 0 20

100 201 222 223 224 245 389 187Nilai Kategori 3 60 67 67 67 74 117 56Total Nilai ((1+2+3)/300*100) 67 69 68 71 82 100 81

Kelayakan KL KL KL KL L L L

Keterangan1. Kalianda2. Tarahan3. Teluk Hurun4. Ringgung5. Pulau Puhawang6. Tanjung Putus7. Pulau Sebesi80 - 100 = layak (L)50 - 79< 50 = tidak layak (TL)

Skor Bobot

(%)Kisaran

OptimumKategoriBobot x Skor per StasiunSkor per Stasiun

= kurang layak (KL)

176

Lampiran 10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan

Alternatif ada 4, yaitu:

(1) Bubu

(2) Jaring insang

(3) Pancing

(4) Sero

Kriteria ada 8, yaitu:

(1) Selektivitas tinggi (K1).

(2) Tidak destruktif terhadap habitat (K2).

(3) Tidak membahayakan nelayan (K3).

(4) Menghasilkan ikan yang bermutu baik (K4).

(5) Produk tidak membahayakan konsumen (K5).

(6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang (K6).

(7) Dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati (K7).

(8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi (K8).

Skala penilaian ada 7, yaitu:

(1) P = Perfect atau Paling Tinggi

(2) ST = Sangat Tinggi

(3) T = Tinggi

(4) S = Sedang

(5) R = Rendah

(6) SR = Sangat Rendah

(7) PR = Paling Rendah

Tingkat kriteria:

Kriteria 1 (K1) = ST

Kriteria 2 (K2) = ST

Kriteria 3 (K3) = T

Kriteria 4 (K4) = T

Kriteria 5 (K5) = T

Kriteria 6 (K6) = T

Kriteria 7 (K7) = ST

Kriteria 8 (K8) = T

177

Pakar ada 4, yaitu:

1. (P1)

2. (P2)

3. (P3)

4. (P4)

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1

Alt 1 ST T T T T ST T ST Alt 2 R S T R T R S R Alt 3 S ST T S T T ST T Alt 4 T S T S T S T S

Pakar 2

Alt 1 ST ST T ST ST T S T Alt 2 S R T R S R R R Alt 3 T T S T T T T T Alt 4 S S T S T T S S

Pakar 3

Alt 1 T T T T T T T T Alt 2 S R S R S R R R Alt 3 S T S S S T T T Alt 4 S T T S S S S R

Pakar 4

Alt 1 ST T T T ST T T T Alt 2 R R S R S R R S Alt 3 T T S T S T T T Alt 4 R S S S T T S S

Penilaian alternatif 1 : Bubu

Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 1 ST T T T T ST T ST Pakar 2 Alt 1 ST ST T ST ST T S T Pakar 3 Alt 1 T T T T T T T T Pakar 4 Alt 1 ST T T T ST T T T

178

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V11 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v ST, SR v T , R v ST]

= min [ST, T, T, T, T, ST, T, ST]

= min T

V21 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v ST, SR v ST, R v T, R v ST, R v ST, R v T, SR v S , R v T]

= min [ST, ST, T, ST, ST, T, S, T]

= min S

V31 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v T, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T]

= min [T, T, T, T, T, T, T, T]

= min T

V41 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v ST, R v T, SR v T , R v T]

= min [ST, T, T, T, ST, T, T, T]

= min T

Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, T

(b) Proses agregasi pada pakar:

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

xj = T, S, T, T; sehingga bj = T, T, T, S

V1 = max [R v T, S v T, ST v T, P v S]

= max [T, T, T, S]

= T

Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)

179

Penilaian alternatif 2 : Jaring insang

Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 2 R S T R T R S R Pakar 2 Alt 2 S R T R S R R R Pakar 3 Alt 2 S R S R S R R R Pakar 4 Alt 2 R R S R S R R S

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V12 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v R, SR v S, R v T, R v R, R v T, R v R, SR v S , R v R]

= min [R, S, T, R, T, R, S, R]

= min R

V22 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min[SR v S, SR v R, R v T, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R]

= min [S, R, T, R, S, R, R, R]

= min R

V32 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v S, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R]

= min [S, R, S, R, S, R, R, R]

= min R

V42 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min[SR v R, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v S]

= min [R, R, S, R, S, R, R, S]

= min R

Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R,

(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

180

xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R

V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R]

= max [R, R, R, R]

= R

Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)

Penilaian alternatif 3 : Pancing

Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 3 S ST T S T T ST T Pakar 2 Alt 3 T T S T T T T T Pakar 3 Alt 3 S T S S S T T T Pakar 4 Alt 3 T T S T S T T T (a) Proses agregasi pada kriteria:

V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v S, SR v ST, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v ST , R v T]

= min [S, ST, T, S, T, T, ST, T]

= min S

V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min[SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T]

= min [T, T, S, T, T, T, T, T]

= min S

V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min[SR v S, SR v T, R v S, R v S, R v S, R v T, SR v T , R v T]

= min [S, T, S, S, S, T, T, T]

= min S

V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v S, R v T, SR v T , R v T]

= min [T, T, S, T, S, T, T, T]

= min S

Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, S, S

(b) Proses agregasi pada pakar:

181

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

xj = S, S, S, S; sehingga bj = S, S, S, S

V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v S]

= max [S, S, S, S]

= S

Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)

Penilaian alternatif 4 : Sero Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 4 T S T S T S T S Pakar 2 Alt 4 S S T S T T S S Pakar 3 Alt 4 S T T S S S S R Pakar 4 Alt 4 R S S S T T S S

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v T, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v S, SR v T , R v S]

= min [T, S, T, S, T, S, T, S]

= min S

V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v S, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S]

= min [S, S, T, S, T, T, S, S]

= min S

V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v S, SR v T, R v T, R v S, R v S, R v S, SR v S , R v R]

= min [S, T, T, S, S, S, S, R]

= min R

182

V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [SR v R, SR v S, R v S, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S]

= min [R, S, S, S, T, T, S, S]

= min R

Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, R, R

(b) Proses agregasi pada pakar:

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

xj = S, S, R, R; sehingga bj = R, R, S, S

V1 = max [R v R, S v R, ST v S, P v S]

= max [R, R, S, S]

= S

Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)

Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: Bobot Nilai = R, S, ST, P

Negasi Bobot Kriteria = SR, SR, R, R, R, R, SR, R

Hasil agregrasi kriteria:

- alternatif 1 = T, S, T, T

- alternatif 2 = R, R, R, R

- alternatif 3 = S, S, S, S

- alternatif 4 = S, S, R, R

Hasil agregrasi pakar:

- alternatif 1 = T

- alternatif 2 = R

- alternatif 3 = S

- alternatif 4 = S

183

Lampiran 11. Pemilihan Komoditas Potensial

Alternatif ada 4, yaitu:

(1) Kerapu

(2) Rajungan

(3) Udang Putih

(4) Udang lain

Kriteria ada 6, yaitu:

(1) Kelayakan komoditas (K1).

(2) Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi (K2).

(3) Nilai ekonomis (K3).

(4) Peluang pasar (K4).

(5) Penyerapan tenaga kerja (K5).

(6) Dampak ganda terhadap sektor lain (K6).

(7) Dampak terhadap lingkungan (K7).

(8) Kondisi budidaya laut saat ini (K8).

Skala penilaian ada 7, yaitu:

(1) P = Perfect atau Paling Tinggi

(2) ST = Sangat Tinggi

(3) T = Tinggi

(4) S = Sedang

(5) R = Rendah

(6) SR = Sangat Rendah

(7) PR = Paling Rendah

Tingkat kriteria:

Kriteria 1 (K1) = T

Kriteria 2 (K2) = T

Kriteria 3 (K3) = ST

Kriteria 4 (K4) = T

Kriteria 5 (K5) = T

Kriteria 6 (K6) = ST

Kriteria 7 (K7) = P

Kriteria 8 (K8) = T

184

Pakar ada 4, yaitu:

1. (P1)

2. (P2)

3. (P3)

4. (P4)

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1

Alt 1 ST T ST ST T ST T P Alt 2 T S T T T T T R Alt 3 T T ST ST T T S S Alt 4 T ST ST T S T S S

Pakar 2

Alt 1 ST T ST ST S T T ST Alt 2 ST S ST ST R S T S Alt 3 ST T ST T R S R S Alt 4 T S T T R S S S

Pakar 3

Alt 1 ST T ST ST T T T ST Alt 2 T R T T R S S S Alt 3 ST S T ST S T T T Alt 4 T R T T S S S S

Pakar 4

Alt 1 T T T T S T T ST Alt 2 T S T T R S S S Alt 3 T S T T S T S T Alt 4 T S T T S S S S

Penilaian alternatif 1 : Kerapu

Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 1 ST T ST ST T ST T P Pakar 2 Alt 1 ST T ST ST S T T ST Pakar 3 Alt 1 ST T ST ST T T T ST Pakar 4 Alt 1 T T T T S T T ST

185

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V11 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v ST, PR v T, R v P]

= min [ST, T, ST, ST, T, ST, T, P]

= min T

V21 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v ST]

= min [ST, T, ST, ST, S, T, T, ST]

= min S

V31 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v T, R v ST]

= min [ST, T, ST, ST, T, T, T, ST]

= min T

V41 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min[R v T, R v T, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v T, R v ST]

= min [T, T, T, T, S, T, T, ST]

= min S

Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, S

(b) Proses agregasi pada pakar:

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

xj = T, S, T, S; sehingga bj = T, T, S, S

V1 = max [R v T, S v T, ST v S, P v S]

= max [T, T, S, S]

= T

Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)

186

Penilaian alternatif 2 : Rajungan

Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 2 T S T T T T T R Pakar 2 Alt 2 ST S ST ST R S T S Pakar 3 Alt 2 T R T T R S S S Pakar 4 Alt 2 T S T T R S S S

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V12 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v T, SR v T, PR v T, R v R]

= min [T, S, T, T, T, T, T, R]

= min R

V22 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v ST, R v S, SR v ST, R v ST, R v R, SR v S, PR v T, R v S]

= min [ST, S, ST, ST, R, S, T, S]

= min R

V32 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]

= min [T, R, T, T, R, S, S, S]

= min R

V42 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]

= min [T, S, T, T, R, S, S, S]

= min R

Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R

(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

187

xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R

V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R]

= max [R, R, R, R]

= R

Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)

Penilaian alternatif 3 : Udang Putih

Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8

Pakar 1 Alt 3 T T ST ST T T S S Pakar 2 Alt 3 ST T ST T R S R S Pakar 3 Alt 3 ST S T ST S T T T Pakar 4 Alt 3 T S T T S T S T

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v S, R v S]

= min [T, T, ST, ST, T, T, S, S]

= min S

V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min[R v ST, R v T, SR v T, R v T, R v T, SR v ST, PR v T, R v ST]

= min [ST, T, ST, T, R, S, R, S]

= min R

V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v ST, R v S, SR v T, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v T]

= min [ST, S, T, ST, S, T, T, T]

= min S

V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v T]

= min [T, S, T, T, S, T, S, T]

= min S

Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, S, S

188

(b) Proses agregasi pada pakar:

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

xj = S, R, S, S; sehingga bj = S, S, S, R

V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v R]

= max [S, S, S, R]

= S

Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)

Penilaian alternatif 4 : Udang lain Data hasil penilaian pakar ke-j

Pakar Alternatif Kriteria Penilaian

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 Pakar 1 Alt 4 T ST ST T S T S S Pakar 2 Alt 4 T S T T R S S S Pakar 3 Alt 4 T R T T S S S S Pakar 4 Alt 4 T S T T S S S S

(a) Proses agregasi pada kriteria:

V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v ST, SR v ST, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v S]

= min [T, ST, ST, T, S, T, S, S]

= min S

V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]

= min [T, S, T, T, R, S, S, S]

= min R

V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S]

= min [T, R, T, T, S, S, S, S]

= min R

189

V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]

= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S]

= min [T, S, T, T, S, S, S, S]

= min S

Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, R, S

(b) Proses agregasi pada pakar:

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +=

− )*(1 1

r

qkIntQk

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P

Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

xj = S, R, R, S; sehingga bj = S, S, R, R

V1 = max [R v S, S v S, ST v R, P v R]

= max [S, S, R, R]

= S

Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)

Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: Bobot Nilai = R, S, ST, P

Negasi Bobot Kriteria = R, R, SR, R, R, SR, PR, R

Hasil agregrasi kriteria:

- alternatif 1 = T, S, T, S

- alternatif 2 = R, R, R, R

- alternatif 3 = S, R, S, S

- alternatif 4 = S, R, R, S

Hasil agregrasi pakar:

- alternatif 1 = T

- alternatif 2 = R

- alternatif 3 = S

- alternatif 4 = S

Lampiran 12 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Sederhana

0 1 2 3 4

I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir - - - 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00

Jumlah 5,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 50,000.00 ekor 25.00 1,250,000.00 2 Pakan 466.67 kg 10,000.00 4,666,666.67 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 27.00 kg 50,000.00 1,350,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 700,000.00 4,200,000.00

10 Biaya Panen 1.00 Paket 583,333.33 583,333.33

Jumlah 13,650,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 5,000,000.00 2 Modal Kerja 13,650,000.00

Jumlah 18,650,000.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 583.33 kg 38,000.00 22,166,666.67 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 13,650,000.00 b Penyusutan 625,000.00

Jumlah 14,275,000.00

Keuntungan 7,891,666.67

Per tahun 157,833,333.33

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 1166.67 kg 38000 44,333,333.3 44,333,333.3 44,333,333.3 44,333,333.3 2 Biaya Operasional 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 3 Keuntungan 15,783,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 18,680,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33

Jumlah A 62,983,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33

B Pengeluaran1 Investasi 5,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00

Jumlah B 33,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4C Balance 29,433,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33

D Saldo Awal - 29,433,333.33 45,216,666.67 61,000,000.00

E Saldo Akhir 29,433,333.33 45,216,666.67 61,000,000.00 76,783,333.33

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 df 15 % 0.87 0.67 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 38,550,724.64 33,522,369.25 29,149,886.30 25,347,727.22

B Cash OutflowInvestasi 5,000,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 5,000,000.00 24,826,086.96 21,587,901.70 18,772,088.44 16,323,555.16

Net Cashflow (5,000,000.00) 13,724,637.68 11,934,467.55 10,377,797.87 9,024,172.06

NVP df 15 % 40,061,075.16

Net B/C Ratio 1.46

PBP Tahun Ke 1.00

IRR 2.61

HargaNilai

No. Uraian Volume Satuan

Lampiran 13 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Semi Intensif

0 1 2 3 4

I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 12,000,000.00 12,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00

Jumlah 17,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 400,000.00 ekor 25.00 10,000,000.00 2 Pakan 5,600.00 kg 10,000.00 56,000,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 137.00 kg 50,000.00 6,850,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 3,500,000.00 3,500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 1,400,000.00 8,400,000.00

10 Biaya Panen 1.00 Paket 4,000,000.00 4,000,000.00

Jumlah 89,850,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 17,000,000.00 2 Modal Kerja 89,850,000.00

Jumlah 106,850,000.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 4,000.00 kg 38,000.00 152,000,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 89,850,000.00 b Penyusutan 2,125,000.00

Jumlah 91,975,000.00

Keuntungan 60,025,000.00

Per tahun 120,050,000.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 8,000.00 kg 38,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 2 Biaya Operasional 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 3 Keuntungan 120,050,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 106,850,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00

Jumlah A 410,850,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 17,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00

Jumlah B 200,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4C Balance 209,900,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00

D Saldo Awal - 209,900,000.00 329,950,000.00 450,000,000.00

E Saldo Akhir 209,900,000.00 329,950,000.00 450,000,000.00 570,050,000.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 264,347,826.09 229,867,674.86 199,884,934.66 173,812,986.66

B Cash OutflowInvestasi 17,000,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 17,000,000.00 159,956,521.74 139,092,627.60 120,950,110.96 105,174,009.53

Net Cashflow (17,000,000.00) 104,391,304.35 90,775,047.26 78,934,823.70 68,638,977.13

NVP df 15 % 325,740,152.44

Net B/C Ratio 1,6

PBP Tahun Ke 1.00

IRR 6.01

HargaNilai

No. Uraian Volume Satuan

Lampiran 14 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Intensif

0 1 2 3 4

I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 4,000,000.00 4,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 24,000,000.00 24,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00

Jumlah 31,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 1,500,000.00 ekor 25.00 37,500,000.00 2 Pakan 22,500.00 kg 10,000.00 225,000,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 190.00 kg 50,000.00 9,500,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 7,500,000.00 7,500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 2,800,000.00 16,800,000.00

10 Biaya Panen 1.00 Paket 12,500,000.00 12,500,000.00

Jumlah 309,900,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 31,000,000.00 2 Modal Kerja 309,900,000.00

Jumlah 340,900,000.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 12,500.00 kg 38,000.00 475,000,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 309,900,000.00 b Penyusutan 3,875,000.00

Jumlah 313,775,000.00

Keuntungan 161,225,000.00

Per tahun 322,450,000.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 25,000.00 kg 38,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 2 Biaya Operasional 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 3 Keuntungan 322,450,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 340,900,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00

Jumlah A 1,290,900,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 31,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4Jumlah B 658,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00

C Balance 632,350,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00

D Saldo Awal - 632,350,000.00 954,800,000.00 1,277,250,000.00

E Saldo Akhir 632,350,000.00 954,800,000.00 1,277,250,000.00 1,599,700,000.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 826,086,956.52 718,336,483.93 624,640,420.81 543,165,583.31

B Cash OutflowInvestasi 31,000,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 31,000,000.00 545,695,652.17 474,517,958.41 412,624,311.66 358,803,749.27

Net Cashflow (31,000,000.00) 280,391,304.35 243,818,525.52 212,016,109.15 184,361,834.04

NVP df 15 % 889,587,773.06

Net B/C Ratio 1.49

PBP Tahun Ke 1.00

IRR 8.91

HargaNilai

No. Uraian Volume Satuan

Lampiran 15 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Sederhana

0 1 2 3 4

I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir - Paket - - 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00

Jumlah 5,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 25,000.00 ekor 25.00 625,000.00 2 Pakan 350.00 kg 10,000.00 3,500,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 27.00 kg 50,000.00 1,350,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 700,000.00 4,200,000.00

10 Biaya Panen 1.00 Paket 437,500.00 437,500.00

Jumlah 11,712,500.00

III Jumlah Modal1 Investasi 5,000,000.00 2 Modal Kerja 11,712,500.00

Jumlah 16,712,500.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4

IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 437.50 kg 50,000.00 21,875,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 11,712,500.00 b Penyusutan 625,000.00

Jumlah 12,337,500.00

Keuntungan 9,537,500.00

Per tahun 19,075,000.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 875.00 kg 50,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 2 Biaya Operasional 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 3 Keuntungan 19,075,000.00 19,075,000.00 19,075,000.00 19,075,000.00

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 16,712,500.00 - - - 2 Hasil Penjualan 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00

Jumlah A 60,462,500.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 5,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00

Jumlah B 29,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4C Balance 30,787,500.00 19,075,000.00 19,075,000.00 19,075,000.00

D Saldo Awal - 30,787,500.00 49,862,500.00 68,937,500.00

E Saldo Akhir 30,787,500.00 49,862,500.00 68,937,500.00 88,012,500.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 38,043,478.26 33,081,285.44 28,766,335.17 25,014,204.49

B Cash OutflowInvestasi 5,000,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 5,000,000.00 21,456,521.74 18,657,844.99 16,224,213.04 14,108,011.34

Net Cashflow (5,000,000.00) 16,586,956.52 14,423,440.45 12,542,122.13 10,906,193.16

NVP df 15 % 49,458,712.27

Net B/C Ratio 1.66

PBP Tahun Ke 1.00

IRR 3.18

HargaNilai

No. Uraian Volume Satuan

Lampiran 16 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Semi Intensif

0 1 2 3 4

I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 12,000,000.00 12,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00

Jumlah 17,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 150,000.00 ekor 25.00 3,750,000.00 2 Pakan 3,150.00 kg 10,000.00 31,500,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 137.00 kg 50,000.00 6,850,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 2,000,000.00 2,000,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 1,400,000.00 8,400,000.00

10 Biaya Panen 1.00 Paket 2,250,000.00 2,250,000.00

Jumlah 55,850,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 17,000,000.00 2 Modal Kerja 55,850,000.00

Jumlah 72,850,000.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 2,250.00 kg 50,000.00 112,500,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 55,850,000.00 b Penyusutan 2,125,000.00

Jumlah 57,975,000.00

Keuntungan 54,525,000.00

Per tahun 109,050,000.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 4,500.00 kg 50,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 2 Biaya Operasional 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 3 Keuntungan 109,050,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 72,850,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00

Jumlah A 297,850,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 17,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00

Jumlah B 132,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00

C Balance 164,900,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00

D Saldo Awal - 164,900,000.00 273,950,000.00 383,000,000.00

E Saldo Akhir 164,900,000.00 273,950,000.00 383,000,000.00 492,050,000.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 195,652,173.91 170,132,325.14 147,941,152.30 128,644,480.26

B Cash OutflowInvestasi 17,000,000.00 115,950,000.00 114,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 17,000,000.00 100,826,086.96 87,674,858.22 76,239,007.15 66,294,788.83

Net Cashflow (17,000,000.00) 94,826,086.96 82,457,466.92 71,702,145.15 62,349,691.43

NVP df 15 % 294,335,390.45

Net B/C Ratio 1.85

PBP Tahun Ke 1.00

IRR 5.45

Lampiran 17 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Intensif

0 1 2 3 4

I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 4,000,000.00 4,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 24,000,000.00 24,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00

Jumlah 31,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 250,000.00 ekor 25.00 6,250,000.00 2 Pakan 5,625.00 kg 10,000.00 56,250,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 190.00 kg 50,000.00 9,500,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 6,500,000.00 6,500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 2,800,000.00 16,800,000.00

10 Biaya Panen 1.00 Paket 3,125,000.00 3,125,000.00

Jumlah 99,525,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 31,000,000.00 2 Modal Kerja 99,525,000.00

Jumlah 130,525,000.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 3,125.00 kg 50,000.00 156,250,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 99,525,000.00 b Penyusutan 3,875,000.00

Jumlah 103,400,000.00

Keuntungan 52,850,000.00

Per tahun 105,700,000.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 6,250.00 kg 50,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 2 Biaya Operasional 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 3 Keuntungan 105,700,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 130,525,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00

Jumlah A 443,025,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 31,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00

Jumlah B 237,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4C Balance 205,225,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00

D Saldo Awal - 205,225,000.00 310,925,000.00 416,625,000.00

E Saldo Akhir 205,225,000.00 310,925,000.00 416,625,000.00 522,325,000.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 271,739,130.43 236,294,896.03 205,473,822.63 178,672,889.25

B Cash OutflowInvestasi 31,000,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 31,000,000.00 179,826,086.96 156,370,510.40 135,974,356.87 118,238,571.19

Net Cashflow (31,000,000.00) 91,913,043.48 79,924,385.63 69,499,465.77 60,434,318.06

NVP df 15 % 270,771,212.94

Net B/C Ratio 1.44

PBP Tahun Ke 1.00

IRR 2.83

HargaNilai

No. Uraian Volume Satuan

Lampiran 18 Analisis Finansial Budidaya Rumput Laut

0 1 2 3 4

I Investasi1 Para-para 15.00 Unit 125,000.00 1,875,000.00 2 Jukung 5.00 Unit 1,250,000.00 6,250,000.00 3 Peralatan Budidaya 5.00 Unit 200,000.00 1,000,000.00 4 Jangkar 20.00 Unit 50,000.00 1,000,000.00 5 Bambu 40.00 Unit 10,000.00 400,000.00 6 Tali PE Jangkar 30.00 Unit 20,000.00 600,000.00 7 Tali PE Rentang 165.00 Unit 20,500.00 3,382,500.00 8 Tali PE D 15 100.00 Unit 20,000.00 2,000,000.00

Jumlah 16,507,500.00

II Modal Kerja1 Bibit 3,000.00 kg 1,500.00 4,500,000.00 2 Tenaga Kerja Tetap 10.00 orang 425,000.00 4,250,000.00 3 Tenaga Kerja Tidak Teta 5.00 orang 325,000.00 1,625,000.00 4 Biaya lain 1.00 paket 3,139,200.00 3,139,200.00

Jumlah 13,514,200.00

III Jumlah Modal1 Investasi 16,507,500.00 2 Modal Kerja 13,514,200.00

Jumlah 30,021,700.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 12,000.00 kg 4,000.00 48,000,000.00 2 Biaya-biayaa Modal Kerja 13,514,200.00 b Penyusutan 117,187.50

Jumlah 13,631,387.50

Keuntungan 34,368,612.50

Per tahun 137,474,450.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 48,000.00 kg 4,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 2 Biaya Operasional 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 3 Keuntungan 137,531,250.00 137,531,250.00 137,531,250.00 137,531,250.00

VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00

A. Pemasukan1 Modal Awal 30,021,700.00 - - - 2 Hasil Penjualan 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00

Jumlah A 222,021,700.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 16,507,500.00 - - - 2 Biaya Operasional 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00

Jumlah B 70,976,250.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4Balance 151,045,450.00 137,531,250.00 137,531,250.00 137,531,250.00

Saldo Awal - 151,045,450.00 288,576,700.00 426,107,950.00

Saldo Akhir 151,045,450.00 288,576,700.00 426,107,950.00 563,639,200.00

Analisis Finansial

Cash Inflow 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 166,956,521.74 145,179,584.12 126,243,116.63 109,776,623.15

Cash OutflowInvestasi 16,507,500.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 16,507,500.00 47,364,130.43 41,186,200.38 35,814,087.29 31,142,684.60

Net Cashflow (16,507,500.00) 119,592,391.30 103,993,383.74 90,429,029.34 78,633,938.56

NVP df 15 % 376,141,242.95

Net B/C Ratio 3.19

PBP Tahun Ke 1.00

HargaNilai

Uraian Volume Satuan

Lampiran 19 Analisis Finansial Budidaya Kerapu Macan

0 1 2 3 4

I Investasi1 Pembuatan Kolam 1.00 Unit 20,000,000.00 20,000,000.00

Jumlah 20,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 8,300.00 ekor 3,000.00 24,900,000.00 2 Pakan 21,600.00 kg 2,500.00 54,000,000.00 3 Biaya Lain 1.00 paket 15,780,000.00 15,780,000.00

Jumlah 94,680,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 20,000,000.00 2 Modal Kerja 94,680,000.00

Jumlah 114,680,000.00

IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 2,697.50 kg 70,000.00 188,825,000.00 2 Biaya-biaya

Benih 8,300.00 ekor 3,000.00 24,900,000.00 Pakan 21,600.00 kg 2,500.00 54,000,000.00 Penyusutan 3,333,333.33 Jumlah 82,233,333.33

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4

Keuntungan 106,591,666.67

Per tahun 159,887,500.00

V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 4,046.25 kg 70,000.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 2 Biaya-biaya

Benih 12,450.00 ekor 3,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 Pakan 32,400.00 kg 2,500.00 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 Kapur - kg - - - - - Tenaga Kerja - orang - - - - - Penyusutan 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 Biaya Modal - Tahun - - - - - Jumlah 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 Keuntungan 159,887,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00

VI Cash Flow

A. Pemasukan1 Modal Awal 114,680,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00

Jumlah A 397,917,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00

HargaNilai

Volume SatuanNo. Uraian

0 1 2 3 4B Pengeluaran1 Investasi 20,000,000.00 - - -

Benih 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 Pakan 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 Tenaga Kerja - - - - Penyusutan 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 Biaya Modal - - - -

Jumlah B 143,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00

C Balance 254,567,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00

D Saldo Awal - 254,567,500.00 414,455,000.00 574,342,500.00

E Saldo Akhir 254,567,500.00 414,455,000.00 574,342,500.00 734,230,000.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 246,293,478.26 214,168,241.97 186,233,253.88 161,941,959.90

B Cash OutflowInvestasi 20,000,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 20,000,000.00 107,260,869.57 93,270,321.36 81,104,627.27 70,525,762.84 Net Cashflow (20,000,000.00) 139,032,608.70 120,897,920.60 105,128,626.61 91,416,197.05 NVP df 15 % 436,475,352.97 Net B/C Ratio 2.17 PBP Tahun Ke 1.00

HargaNilai

No. Uraian Volume Satuan

Lampiran 20 Analisis Finansial Budidaya Bandeng

0 1 2 3 4

I Investasi1 Pembuatan Kolam 1.00 Unit 15,000,000.00 15,000,000.00

Jumlah 15,000,000.00

II Modal Kerja1 Benih 16,000.00 ekor 600.00 9,600,000.00 2 Pakan 8,320.00 kg 4,000.00 33,280,000.00 3 Biaya Lain 1.00 paket 8,576,000.00 8,576,000.00

Jumlah 51,456,000.00

III Jumlah Modal1 Investasi 15,000,000.00 2 Modal Kerja 51,456,000.00

Jumlah 66,456,000.00

IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 6,400.00 kg 10,000.00 64,000,000.00 2 Biaya-biaya

Benih 16,000.00 ekor 600.00 9,600,000.00 Pakan 8,320.00 kg 4,000.00 33,280,000.00 Penyusutan 1,875,000.00 Jumlah 44,755,000.00 Keuntungan 19,245,000.00

Per tahun 38,490,000.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 12,800.00 kg 10,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 2 Biaya-biaya

Benih 32,000.00 ekor 600.00 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 Pakan 16,640.00 kg 4,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 Kapur - kg - - - - - Tenaga Kerja - orang - - - - - Penyusutan 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 Biaya Modal - Tahun - - - - - Jumlah 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 Keuntungan 38,490,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00

VI Cash Flow

A. Pemasukan1 Modal Awal 66,456,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00

Jumlah A 194,456,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00

B Pengeluaran1 Investasi 15,000,000.00 - - -

Benih 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 Pakan 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 Tenaga Kerja - - - - Penyusutan 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 Biaya Modal - - - -

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

0 1 2 3 4

Jumlah B 104,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00

C Balance 89,946,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00

D Saldo Awal - 89,946,000.00 128,436,000.00 166,926,000.00

E Saldo Akhir 89,946,000.00 128,436,000.00 166,926,000.00 205,416,000.00

VII Analisis Finansial

A Cash Inflow 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 111,304,347.83 96,786,389.41 84,162,077.75 73,184,415.44

B Cash OutflowInvestasi 15,000,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 15,000,000.00 77,834,782.61 67,682,419.66 58,854,277.96 51,177,633.01

Net Cashflow (15,000,000.00) 33,469,565.22 29,103,969.75 25,307,799.79 22,006,782.42

NVP df 15 % 94,888,117.18 Net B/C Ratio 1.35 PBP Tahun Ke 1.00

NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga

217

Lampiran 21 Analisis Finansial Pancing Rawai

0 1 2 3

A. Arus Masuk1. Total Penjualan 332,100,000 332,100,000 332,100,000

2. Kredit- Investasi 81,000,000 - Modal Kerja 23,520,000

3. Modal Sendiri- Investasi 54,000,000 - Modal Kerja 15,680,000

4. Nilai Sisa Proyek 48,000,000 Total Arus Masuk 174,200,000 332,100,000 332,100,000 380,100,000 Arus Masuk untuk Menghitung IRR - 292,900,000 332,100,000 380,100,000

B. Arus Kas Keluar1. Biaya Investasi 135,000,000 2. Biaya Variabel/operasional 39,200,000 196,000,000 235,200,000 235,200,000 3. Angsuran Pokok 34,840,000 34,840,000 34,840,000 4. Angsuran Bunga 12,712,233 7,834,633 2,957,033 5. Pajak 4,978,165 5,709,805 6,441,445 6. Biaya Pemasaran/Distribusi 12,000,000 12,000,000 12,000,000 Total Arus Keluar 174,200,000 260,530,398 295,584,438 291,438,478 Arus Keluar untuk Menghitung IRR 174,200,000 212,978,165 252,909,805 253,641,445

C. Arus Bersih (NFC) - 71,569,602 36,515,562 88,661,522

D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR (174,200,000) 79,921,835 79,190,195 126,458,555 Discount Factor (14%) 1.0000 0.8772 0.7695 0.6750 Present Value (174,200,000) 70,106,873 60,934,284 85,355,923

E. Cummulative (174,200,000) (104,093,127) (43,158,844) 42,197,079

F. Analisis Kelayakan UsahaNPV (14%) (Rp) 42,197,079 IRR 26.84 %Net B/C 1.24 PBP 2.5 Tahun

TahunNo. Uraian

218

Lampiran 22 Analisis Finansial Pancing Ulur

0 1 2 3

A. Arus Masuk1. Total Penjualan 550,800,000 550,800,000 550,800,000

2. Kredit- Investasi 133,560,000 - Modal Kerja 42,295,800

3. Modal Sendiri- Investasi 89,040,000 - Modal Kerja 28,197,200

4. Nilai Sisa Proyek 73,000,000 Total Arus Masuk 293,093,000 550,800,000 550,800,000 623,800,000 Arus Masuk untuk Menghitung IR - 480,307,000 550,800,000 623,800,000

B. Arus Kas Keluar1. Biaya Investasi 222,600,000 2. Biaya Variabel/operasional 70,493,000 352,465,000 442,958,000 422,958,000 3. Angsuran Pokok 58,618,600 58,618,600 58,618,600 4. Angsuran Bunga 21,377,852 13,171,248 4,964,644 5. Pajak 6,699,622 7,930,613 9,161,603 Total Arus Keluar 293,093,000 439,161,074 502,678,461 495,702,847 Arus Keluar untuk Menghitung IRR 293,093,000 359,164,622 430,888,613 432,119,603

C. Arus Bersih (NFC) - 111,638,926 48,121,539 128,097,153

D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR (293,093,000) 121,142,378 119,911,387 191,680,397 Discount Factor (14%) 1.0000 0.8772 0.7695 0.6750 Present Value (293,093,000) 106,265,244 92,267,919 129,378,808

E. Cummulative (293,093,000) (186,827,756) (94,559,838) 34,818,970

F. Analisis Kelayakan UsahaNPV (14%) (Rp) 34,818,970 IRR 20.41 %Net B/C 1.12 PBP 2.7 Tahun

No. UraianTahun

Lampiran 23 Analisis Finansial Jaring Lingkar

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pendapatan 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 2 Dana Modal Sendiri 290,791 3 Kredit Investasi 828,840 4 Kredit Modal Kerja 51,872

Jumlah 989,304 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000

5 Biaya Investasi Kapal Mini Purse-Saine 895,200 6 Modal Kerja 74,104

Jumlah 989,304

7 Bonus Hasil Tangkapan 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 8 Biaya Operasi

- Biaya SDM melaut dan uang lauk pauk 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 - Uang lauk pauk 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000

9 Bagian ABK 50% 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 10 Pembayaran Bunga 122,132 110,853 99,573 88,294 77,014 65,735 54,455 43,178 31,898 11 Pembayaran Pajak 3,814 5,506 7,198 8,890 10,582 12,274 13,966 15,658 17,350 12 Pembayaran Angsuran 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536

Jumlah 1,003,483 993,895 984,308 974,720 965,132 955,545 945,887 938,370 928,782

13 Arus Masuk Bersih 46,517 56,105 35,892 75,280 84,868 94 104,043 113,630 123,218 14 Arus Kas Masuk untuk Perhitungan IRR (989,304) 283,186 281,494 279,802 278,110 276,418 274,726 273,034 271,342 269,650 15 Discount Factor dengan Bunga 18% 1.00000 0.84746 0.71818 0.60863 0.51579 0.43711 0.37043 0.31393 0.28660 0.22646 16 Nilai Sekarang Arus Kas Bersih (Present Value (989,304) 239,988 202,185 170,296 143,446 120,825 101,787 85,712 72,187 60,794 17 Saldo untuk Perhitungan PBP (686,118) (404,524) (124,822) 153,288 419,864 395,551 374,802 357,055 341,838

NPV 279,075 IRR per tahun dengan Bunga 18% th 25.85 %Net Benefit Cost Ratio 1.288

TahunNo. Uraian

Lampiran 24 Analisis Finansial Jaring Insang

No Uraian 0 1 2 3 4 5

1 Inflowa. Pendapatan - 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 b. Dana Sendiri 18,480,000 c. Kredit Investasi 42,700,000 d. Kredit Modal Kerja 420,000 e. Nilai SisaJumlah 61,600,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 Inflow untuk IRR - 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000

2 Outflowa. Biaya Investasi 60,540,000 b. Biaya Modal Kerja 569,048 c. Biaya Operasional 91,047,600 91,047,600 91,047,600 91,047,600 91,047,600 d. Angsuran Pokok 21,770,000 21,350,000 e. Biaya Bunga Bank 4,971,313 1,734,688 f. Pajak 15 % 2,331,313 2,816,807 3,077,010 3,077,010 3,077,010 Jumlah 61,109,048 120,120,226 116,949,094 94,124,610 94,124,610 94,124,610 Outflow untuk IRR 61,109,048 93,378,913 93,864,497 94,124,610 94,124,610 94,124,610

3 Total cashflow 3,548,774 6,719,906 29,544,390 29,544,390 29,544,390

4 Kumulatif Cashflow 3,548,774 10,268,680 39,813,070 69,357,460 98,901,850

5 Cashflow untuk IRR (61,109,048) 30,290,087 29,804,593 29,544,390 29,544,390 29,544,390

NPV DF 15 % 38,773,513 Net B/C ratio DF 15 % 1.63 IRR 39.69 %PBP Usaha (tahun) 2.53 PBP Kredit (tahun) 1.46

221

Lampiran 25. Analisis Kelembagaan dengan ISM A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PENGGUNA B. Tentukan Sub Elemennya :

1 Nelayan 2 Pembudidaya 3 Pengusaha 4 Eksportir 5 Pedagang alat-alat perikanan

Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5

1 X V V V 2 X V X 3 X O 4 O 5

D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5

1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 13 0 1 1 1 04 0 0 1 1 05 0 1 0 0 1

E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink E.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5

1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 13 0 1 1 1 04 0 0 1 1 05 0 1 0 0 1

D L

DP

5 5 3 2 2

F. Revisi SS 1

1 2 3 4 5

G. Matrik DData x

1 2 2 4 3 4 4 4 5 3

H. Diagram

2 4 3 1

R

1 1 2 3 3

SIM Final 2 3

V V A

Driver Power y

5 5 3 2 2

m model struk

4 41 1

4 5

A V A A A X V

Dependence

ktural

32

e

222

223

A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KEBUTUHAN B. Tentukan Sub Elemennya :

1 Suasana kondusif dan aman 2 Kemudahan birokrasi 3 Ketersediaan lahan budidaya4 stabilitas politik dan moneter 5 Permodalan 6 Teknologi tepat guna 7 Pemasaran yang terjamin

Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 7

1 A V V O O X 2 A X O X X 3 O X X O 4 X A X 5 V X 6 O 7

D. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink

E.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7

1 1 0 1 1 0 0 12 1 1 0 1 0 1 13 0 1 1 0 1 1 04 0 1 0 1 1 0 15 0 0 1 1 1 1 16 0 1 1 1 0 1 07 1 1 0 1 1 0 1

D 3 5 4 6 4 4 5L 4 2 3 1 2 3 2

G

DP 4 5 4 4 5 4 5

F. Revisi SS 1

1 2 3 4 5 6 7

G. Matrik DriData x

1 3 2 5 3 4 4 6 5 4 6 4 7 5

H. Diagram m

R 2 1 2 2 1 1 1

SIM Final 2 3

A V A

iver Power Dy

4 5 4 4 5 4 5

model strukt

4 5

V O X O O X X

Dependence

tural

6 7

O X X X X O A X V X O

224

225

A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KENDALA B. Tentukan Sub Elemennya :

1 Keterbatasan modal 2 Keterbatasan sarana dan prasarana 3 Rendahnya kualitas SDM4 Hambatan birokrasi 5 Kestabilan harga

Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5

1 X V A X 2 A O O 3 O O 4 O 5

D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5

1 1 1 1 0 12 1 1 0 0 0 3 0 1 1 0 0 4 1 0 0 1 0 5 1 0 0 0 1

E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F. RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5

1 1 1 1 0 1 2 1 1 0 0 0 3 0 1 1 0 0 4 1 0 0 1 0 5 1 0 0 0 1

D 4 3 2 1 2L 2 1 3 4 2

DP R

4 2 2 2 2

G. Revisi S 1

1 2 3 4 5

H. Matrik Dri Data x

1 4 2 3 3 2 4 1 5 2

I. D

1 2 2 2 2

SIM Final 2 3

V V A

iver Power D

y 4 2 2 2 2

Diagram mod

4 5

A V A A A X V

Dependence

del struktural

226

227

A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PERUBAHAN B. Tentukan Sub Elemennya :

1 Peningkatan jumlah nelayan pembudidaya 2 Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya 3 Peningkatan PAD 4 Keterjaminan pasar produk budidaya 5 Peningkatan investasi 6 Pengembangan wilayah 7 Penataan ruang laut

Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 7

1 X V O A X A 2 X X V O O 3 X V O O 4 V O O 5 V X 6 X 7

D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6 7

1 1 1 1 0 0 1 0 2 1 1 1 1 1 0 0 3 0 1 1 1 1 0 0 4 0 1 1 1 1 0 0 5 1 0 0 0 1 1 1 6 1 0 0 0 0 1 1 7 1 0 0 0 1 1 1

E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 12. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7

1 1 1 1 0 0 1 02 1 1 1 1 1 0 03 0 1 1 1 1 0 0

228

4 0 1 1 1 1 0 05 1 0 0 0 1 1 16 1 0 0 0 0 1 17 1 0 0 0 1 1 1

D 5 4 4 3 5 4 3L 1 2 2 3 1 2 3

DP R 4 2 5 1 4 2 4 2 4 2 3 3 4 2

G. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6 7

1 V V A V V V 2 A A A X A 3 A X V X 4 V V V 5 V X 6 A 7

H. Matrik Driver Power Dependence

Data x y

1 5 4 2 4 5 3 4 4 4 3 4 5 5 4 6 4 3 7 3 4

I. Diagram model struktural

A. TentB. Tent

1 Penin2 Penin3 Peng4 Keter5 Penin6 Optim

Rachability jenis A O V X

C. MembuaINTERACTI 1

1 2 3 4 5 6

tukan Elemeukan Sub Elengkatan jumlangkatan PADgembangan drjaminan pasangkatan invesmalisasi poten

Matrix

Eij Eji 0 0 1 1

at tabel SSIMION MATRIX

2 X V V

en Yang inginemennya : ah dan penda aerah ar produk perstasi nsi SDI

1001

(STRUCTUR) awal 3 4

A A O

n dikaji : TUJ

apatan nelaya

rikanan budid

RAL SELF

5 X XX OX OA O

X

JUAN

an

daya

6

229

230

D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6

1 1 1 1 0 1 12 1 1 1 0 1 03 0 0 1 0 1 04 1 1 0 1 0 05 1 1 1 1 1 16 1 0 0 0 1 1

E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6

1 1 1 1 0 1 12 1 1 1 0 1 03 0 0 1 0 1 04 1 1 0 1 0 05 1 1 1 1 1 16 1 0 0 0 1 1

D 5 4 4 2 5 3L 1 2 2 4 1 3

G. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6

1 V V A V V V V V A A V 2 A A A X A A A A A V 3 A X V X X X A A V 4 V V V V V A A V 5 V X X X A A V 6 A A A A A V

X X A A V X A A V A A V A V V

H. Matrik Driver Power Dependence Data x y

1 5 5 2 4 4 3 4 2 4 2 3 5 5 6 6 3 3

F. Diagram m

A. TentKEB

B. Tent1 Penu2 Penin3 Penin4 Penin5 Penin6 Penin7 Penin8 Kebe

Rachability jenis A O V X

C. Membua

model strukt

tukan ElemeERHASILANukan Sub Ele

urunan angkangkatan pendngkatan PADngkatan hargangkatan nilai ngkatan pangngkatan inveserlanjutan bud

Matrix Eij Eji

0 0 1 1

at tabel SSIM

ural

en Yang ingin emennya : kemiskinan d

dapatan nelay dan PNBP a ikan dan volume p

gsa pasar stasi didaya dan SD

1001

(STRUCTUR

n dikaji :

dan pengangyan pembudid

produksi

DI

RAL SELF IN

guran daya

NTERACTION

N MATRIX)

231

232

awal 1 2 3 4 5 6 7 8

1 A V X X X X O 2 X X V X X V 3 A A X A O 4 A X A O 5 X V X 6 X O 7 O 8

D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6 7 8

1 1 0 1 1 1 1 1 02 1 1 1 1 1 1 1 13 0 1 1 0 0 1 0 04 1 1 0 1 0 1 0 05 1 0 1 1 1 1 1 16 1 1 1 1 1 1 1 07 1 1 1 1 0 1 1 08 0 0 0 0 1 0 0 1

C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7 8

1 1 0 1 1 1 1 1 02 1 1 1 1 1 1 1 13 0 1 1 0 0 1 0 04 1 1 0 1 0 1 0 05 1 0 1 1 1 1 1 16 1 1 1 1 1 1 1 07 1 1 1 1 0 1 1 08 0 0 0 0 1 0 0 1

D 6 5 6 6 5 7 5 3L 2 3 2 2 3 1 3 4

233

DP R 6 3 8 1 3 5 4 4 7 2 7 2 6 3 2 6

E. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6 7 8

1 V V A V V V V V A A V 2 A A A X A A A A A V 3 A X V X X X A A V 4 V V V V V A A V 5 V X X X A A V 6 A A A A A V 7 X X A A V 8 X A A V

A A V A V V

F. Matrik Driver Power Dependence Data x y

1 6 6 2 5 8 3 6 3 4 6 4 5 5 7 6 7 7 7 5 6 8 3 2

F. Diagram model struktural

A. TentB. Tent

1 Koord2 Peru3 Menc4 Kemu5 Moni6 Sosia

Rachability jenis A O V X

C. MembuaINTERACTI 1

1 2 3 4 5 6

D.RM (Reac 1

1 1

tukan Elemeukan Sub Eledinasi antar smusan perdaciptakan iklimudahan aksestoring dan pealisasi kelaya

Matrix Eij Eji

0 0 1 1

at tabel SSIMION MATRIX

2 3 X X X

chability Mat2 3

1

en Yang inginemennya :

sektor a

m kondusif dans terhadap te

engelolaan pekan perikana

1001

(STRUCTUR) awal

4 5X XV XO A X

trix) 4 5

1 1

n dikaji : AKT

n aman knologi dan in

erikanan budidn budidaya

RAL SELF

5 6 X A O X O

5 6

1 1

TIVITAS

nformasi daya

234

235

2 1 1 1 1 1 03 1 1 1 0 0 04 1 0 0 1 1 15 1 1 1 1 1 06 1 1 0 1 0 1

C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6

1 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 03 1 1 1 0 0 04 1 0 0 1 1 15 1 1 1 1 1 06 1 1 0 1 0 1

D 6 5 4 5 4 3L 1 2 3 2 3 4

E. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6

1 V V A V V V V V A A V 2 A A A X A A A A A V 3 A X V X X X A A V 4 V V V V V A A V 5 V X X X A A V 6 A A A A A V

X X A A V X A A V A A V A V V

F. Matrik Driver Power Dependence

Data x y 1 6 6 2 5 5 3 4 3 4 5 4 5 4 5 6 3 4

F. Diagram model struktural

A. TentB. Tent

1 Nelay2 Pemb3 Bank4 Pemk5 Pemp6 Pemp7 Perg8 Cama9 Lurah

10 Masy Rachability jenis A O V X

C. Membua

1

tukan Elemeukan Sub Eleyan budidaya

k (lembaga kekab prop pus uruan tinggi at h yarakat sekita

Matrix Eij Eji

0 0 1 1

at tabel SSIM1 2

X X

en Yang inginemennya :

euangan)

ar

1001

(STRUCTUR3 4

X X

n dikaji : PEL

RAL SELF IN5 6

X X

LAKU

NTERACTION6 7

X X

N MATRIX) aw8 9

X X X

236

wal 10

X

237

2 X X X X X X X X 3 V V V O V V X 4 X X A X X A 5 X A X X A 6 A X X A 7 V V X 8 X A 9 A

10 D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 5 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 6 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 7 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 9 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0

10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1 1 1 1 1 1 0 1 14 1 1 1 1 1 1 0 1 15 1 1 0 1 1 1 0 1 16 1 1 0 1 1 1 0 1 17 1 1 0 1 1 1 1 1 18 1 1 0 1 1 1 0 1 19 1 1 0 1 1 1 0 1 1

10 1 1 1 1 1 1 1 1 1

D 10 10 5 10 10 10 4 10 10L 1 1 2 1 1 1 3 1 1

E. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 V V A V V V V V A A V

2 3 4 5 6 7 8 9

10

F. Matrik DriData x

1 10 2 10 3 5 4 10 5 10 6 10 7 4 8 10 9 10

10 5

F. Diagram m

A. TentB. Tent

1 Penin

A

ver Power Dy

10 10 9 8 7 7 9 7 7

10

model strukt

tukan Elemeukan Sub Elengkatan jumla

A A A X V

Dependence

ural

en Yang inginemennya : ah dan penda

X A V X V V V X A

n dikaji : TOL

apatan nelaya

A A X X V V X X A A X X X

LOK UKUR

an pembudida

A A A A A A A A A A A A A A A A A

aya

238

V V V V V V V V V V

239

2 Peningkatan PAD 3 Peningkatan investasi 4 Keterjaminan pasar 5 Pengembangan daerah 6 Peningkatan harga ikan

Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6

1 V V X V X 2 X A A X 3 O V X 4 O V 5 A 6

D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6

1 1 1 1 1 1 12 0 1 1 0 0 13 0 1 1 0 1 14 1 1 0 1 0 15 0 1 0 0 1 06 1 1 1 0 1 1

E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6

1 1 1 1 1 1 12 0 1 1 0 0 13 0 1 1 0 1 14 1 1 0 1 0 15 0 1 0 0 1 06 1 1 1 0 1 1

D 3 6 4 2 4 5L 4 1 3 5 3 2

G. Revisi S 1

1 2 3 4 5 6

H. Matrik DriData x

1 3 2 6 3 4 4 2 5 4 6 5

I. D

SIM Final 2 3

V V A

iver Power Dy

6 3 4 4 2 5

Diagram mod

4 5

A V A A A X V

Dependence

del struktura

6

V X V V V

l

240

241

Lampiran 26. Gambar Dokumentasi Penelitian

1. Pelaksanaan Penelitian

a) Pengambilan data kualitas air

b) Pencatatan koordinat lokasi pengambilan data

c) Wawancara dengan pembudidaya ikan

d) Wawancara dengan nelayan

242

2. Lokasi Penelitian (Teluk Lampung)

243

3. Aktifitas Budidaya Laut di Teluk Lampung

a) Karamba Jaring Apung untuk budidaya

ikan Cobia

b) Ikan Cobia yang dibudidayakan di KJA

c) Karamba Jaring Apung untuk budidaya ikan Kerapu

d) Ikan Kerapu yang dibudidayakan di KJA

244

4. Aktifitas Perikanan Tangkap di Teluk Lampung

a) Penangkapan ikan dengan Bagan kapal

b) Penangkapan ikan dengan Purse

seine

c) Penangkapan ikan dengan bagan tancap

d) Penangkapan dengan pancing

245

5. Jenis Alat Tangkap di Teluk Lampung

a) Bubu dari besi (Pengembangan Teknologi)

b) Bubu dari bambu (tradiional)

c) Tombak

d) Pancig (pool and line)

246

e) Bagan

f) Jaring insang (gill net)

g) Tramel Net

h) Purse Seine

247

6. Produk Perikanan Budidaya di Teluk Lampung

a) Produk Pembenihan

b) Ikan Cobia hasil budidaya KJA

c) Ikan kerapu hasil budidaya KJA

d) Ikan kerapu hasil KJA

248

7. Produk Perikanan Tangkap

a) Rajungan / hasil tangkapan alat bubu

b) Ikan hasil tangkapan di Teluk Lampung

c) Udang hasil tangkapan trammel net

c) Jenis- jenis ikan hasil tangkapan di

Teluk Lampung

249

8. Aktifitas Pemasaran Hasil Perikanan di Lokasi Penelitian

a) Pemasaran ikan di pasar ikan

b) Pembelian dan pengangkutan ikan oleh tengkulak

c) Persiapan pelelangan ikan di TPI

d) Proses pelelangan ikan di TPI

250

Lampiran 27. Ilustrasi Program Cap-Aquadev

Menu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

HomeSelamat Datang

Status Log inCap-Aquadev adalah software instan untuk penunjang pengambilan keputusan (decission support system) dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya pada suatu wilayah.

TH

In Put Data

• Produksi• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya

• Trip per Tahun• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya

CPUE

• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya

MSY

• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya

Menu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

251

In Put Data Lokasi

• Faktor Utama• Suhu• Salinitas• DO• TOM• Orthoposfat• Arus• Poluasi• Alga Bloom• Organisme Patogen

• Faktor Pendukung• Kedalaman• Keterlindungan• Substrat

• Faktor Tambahan• Aspek Legal• Kemudahan Akses• Konflik• Keamanan• Akses dengan Pasar

Hasil

No Lokasi Nilai perFaktor

Nilai Total

Ket

Utama dst

Menu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

In Put Data Lokasi

• Tidak destruktif• Tidak membahayakan

nelayan• Menghaslkan ikan

bermutu• Produk tidak

membahayakan konsumen

• Hasil Tangkapan terbuang minimum

• Dampak terhadap keaneka ragaman sumberdaya hayati minimum

• Tidak menangkap spesies yang dilindungi

Hasil

No Lokasi Nilai perFaktor

Nilai Total

Ket

Utama dst

Menu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

252

Input Data • Kelayakan komoditas• Ketersediaan dan

kemudahan teknologi• Nilai ekonomis• Peluang pasar• Penyerapan tenaga

kerja• Dampak ganda thd

sektor lain• Dampak terhadap

lingkungan

HasilNo Jenis Alat

TangkapNilai Total Ket

Menu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

Input Data

• Per Jenis Alat Tangkap dan Komoditas Budidaya• Jumlah Modal

• Investasi• Modal Kerja

• Rugi Laba• Hasil Produksi• Biaya

Operasional• xzc

HasilNo Alat Tangkap/

Komoditas NPV IRR B/ CMenu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

253

Input Data

• Perbandingan Berpasangan• Fokus• Faktor• Tujuan• Alternatif

HasilMenu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

Input Data

• Pengguna• Kebutuhan• Kendala• Perubahan• Tujuan• Keberhasilan• Aktivitas yang

Dibutuhkan• Pelaku• Tolok Ukur

HasilMenu

SDI

Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi

Penangkapan

Pemilihan Komoditas Potensial

Kelayakan Usaha

Strategi Pengembangan

Kelembagaan

Elemen Prioritas dari setiap elemen