Strategi Penanaman Nilai Spiritual
-
Upload
sandy-rosandy -
Category
Documents
-
view
94 -
download
18
description
Transcript of Strategi Penanaman Nilai Spiritual
-
STRATEGI PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL PADA GENERASI MUDA *)
Oleh: Suwarmin
Padha gulangen ing kalbu, Ing sasmita amrih lantip, Aja pijer mangan nendra, Kaprawiran den kaesthi,
Pesunen sariranira, Sudanen dhahar lan guling
(Kinanthi: Sri Pakubuwana IV) KAWULA NUWUN Pendahuluan
Sarasehan Budaya Spiritual yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai
Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta kali ini (30-31 Mei 2013)
yang bertemakan Penanaman Nilai-Nilai Luhur Melalui Budaya Spiritual. Dalam
sarasehan ini penulis mendapatkan tugas materi dengan sub-tema Strategi
Penanamam Nilai-Nilai Budaya Spiritual Pada Generasi Muda. Kalimat tersebut
terdapat empat katakunci yaitu: strategi, penanaman, nilai budaya spiritual dan
generasi muda.
Tentang strategi akan dibahas kemungkin alternative cara yang dianggap tepat
dan efektif untuk mencapai tujuan. Istilah penanaman perlu pembahasan dengan
pendekatan yang sesuai dengan budaya spiritual. Nilai budaya spiritual, nilai spiritual
dan budaya spiritual mempunyai pengertian yang berbeda. Supaya tidak ada
kerancuan, hal ini perlu pembahasan seperlunya. Tentang generasi muda banyak
pertanyaan yang melingkupi yang perlu dijawab.
Pada akhir tulisan sebagai penutup disusun kesimpulan dari keseluruhan
pembahasan. Sebelum menbahas masing-masing katakunci secara kontekstual, perlu
terlebih dahulu membahas tentang permasalahan-permasalahan yang
melatarbelakangi mengapa dan apa urgensinya penanaman nilai budaya spiritual pada
generasi muda.
*) Disajikan pada SARASEHAN BUDAYA SIPRITUAL yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta pada tanggal, 30-31 di hotel Grand New Park Surabaya.
1
-
Ketegangan Dunia Melihat perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi, informatika sebagai produk
manusia dewasa ini merupakan tanda kemajuan budayanya. Dunia terasa makin
menciut, dunia dapat diregam, dan dengan teknologi manusia mampu menjelajah alam
semesta. Dari waktu ke waktu, kemajuan demi kemajuan, penemuan (discovery),
pembaharuan (distension) , pengembangan (innovation), dengan teknologi berbagai
(segala?) kemungkin dapat dijawab. Kebanggaan, kemeriahan, sorak-sorai, menyam-
but keberhasilan demi keberhasilan yang ambisius. Manusia mengolah daya pikir dan
cipta (Jawa: karsa cipta) dalam rangka menemukan tanda-tanda kebesaranNYA
Di sisi lain ratapan, jerit-tangis, rintih-pilu anak manusia masih dan semakin
banyak terjadi diberbagai belahan dunia. Peristiwa- peristiwa tragis terjadi dari sikap
ambisius, serakah, rakus, fanatis, ceroboh, bengis, benci, curiga. Perang antar
manusia, antar gang, antar etnik, antar kelompok, antar bangsa, antar umat berebut
kepentingan dan kemenangan, pejabat korup, pembunuhan, sadism, premanisme,
merupakan ekspresi sikap-sikap negative tersebut. Media informasi didominasi kabar
tentang peritwa-peristiwa yang beraroma anyir darah yang didorong oleh napsu
angkara manusian.
Ketegangan antar manusia terjadi dimana-mana mencerminkan rapuhnya sikap,
teleran, kasih, bijak. Menurut Jacques Delors (1999) ketegangan utama yang terjadi
dalam masyarakat dunia meliputi:
1. Ketegangan antara global dan local, manusia perlu secara berangsur-angsur
menjadi warganeraga dunia, tanpa harus kehilangan akarnya budayanya, tetap aktif
sebagai warganeranya dan masyarakat local.
2. Ketegangan antara universal dan individual, dalam situasi budaya menggelobal
seseorang dituntut mengikuti arus tanpa harus meninggal kepribaidiannya yang
diwarnai oleh karakter dan nilai budaya tradisi. Kalau tidak demikian akan rusak
karena dampak globalisasi.
3. Ketegangan antara modernitas dan tradisi, nilai tradisi yang sudah diuji oleh
jalannya sejarah dan terus berkembang menyongsong masa depan. Perlu adanya
sikap kritis dalam mengadopsi dan mengadaptasi hasil perkembangan dunia
modern, kalau tidak kritis akan tergilas sebagai dampak modernisasi.
2
-
4. Ketegangan antara pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, kecenderung-
an yang serba cepat, instan, hibrida, demikian juga segala informasi dapat tersebar
ke pelosok dunia secapat kilat. Pertimbangan jangka pendek yeng mengabaikan
kepentingan jangka panjang akan kehilangan masa depan.
5. Ketegangan antara kebutuhan persaingan dan pemerataan, utamanya bagi penentu
kebijakan sering dihadapkan pada persoalan yang dilematis antara kedua
kebutuhan ini yang saling menekan.
6. Ketegangan antara kamjuan dan ketertinggalan, d isatu pihak perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sudah begitu maju, namun dipihak yang lain tertatih-tatih
atau tidak mampu mengikuti bahkan ada yang menolak sama sekali.
7. Ketegangan perennial atau abadi yaitu antara yang spiritual dan yang material yang
sering tidak disadari dan sering tidak diungkapkan. Dunia rindu dan mencitakan
(ideal) akan nilai-nilai moral, kasih, dan kebijaksanaan yang membawa kedamaian.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa produk budaya masyarakat sekarang
belum mencerminkan hasil karya Karsa Cipta Rasa dan baru hasil karya Karsa dan
Cipta belum melibatkan atau meninggal Rasa.
Perang Kebudayaan dan Perang Nilai
Ketegangan-ketegangan dunia (termasuk Indonesia) di atas secara keseluruhan
merupakan perang kebudayaan. Istilah Perang Kebudayaan ini menyitir dari tulisan
Khamenei (terjemahan Tholib Anis, 2005), dijelaskan yang dimaksud perang
kebudayaan adalah melakukan serangan atau terror secara halus terhadap prinsip-
prinsip dan unsure kebudayaan serta dengan paksa memberlakukan keyakinan dan
kebudayaannya sebagai penggati kebudayaan dan keyakinan baru komunitas yang
diserang.
Yang dimaksud perang kebudayaan dalam konteks tulisan ini adalah semua
sikap kritis dan tindakan bangsa Indonesia dalam menyikapi informasi dan berbagai
jenis budaya asing yang berdampak negative terhadap system nilai budaya dan
kehidupan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) beserta empat pilar penyangganya. Bangsa Indonesia saat sekarang secara
cultural dapat dikatakan belum merdeka. Masih banyak warga Negara dan komunitas
3
-
minoritas sulit untuk mendapatkan hak-hak azasinya meskipun dilindungi oleh undang-
undang. Masih terjadi aksi terror, premanisme, intimidasi, ketidak adilan hukum,
ekonomi, pendidikan, politik, tempat tinggal dan lain sebagainya. Pada saat masyarakat
dalam kondisi serba tertekan, ketakutan, frustrasi sangat mudah untuk menjadi konflik.
Perang yang paling berbahaya adalah perang nilai, karena kebudayaan yang
berlaku dan berkembang dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata
laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi cirri khas suatu
mssyarakat dengan massyarakat yang lain (Setiadi, 2006:39). Kekalahan dalam perang
budaya berarti masyarakat akan kehilangan akar nilai budaya dan identitas
kepribadinnya dan matilah rasa kebangsaannya akan dikuasai bangsa lain. Sasaran
yang mudah dilumpuhkan serangan budaya adalah kelompok masyarakat yang tingkat
pendidikannya rendah dan anak muda masih mudah untuk dimasuki dogma-dogma.
Inilah alasan dan urgensinya mengapa anak muda perlu lebih diperhatian.
Nilai Budaya Spiritual
Nilai Budaya Spiritual sebagai istilah tekhnis bersifat multitafsir (interpretable)
memiliki pemaknaan yang luas dan beragam sesuai dengan konteksnya. Sebelum Nilai
Budaya Spiritual ditanamkan pada generasi muda, perlu pemahaman serta rumusan
yang sesuai dengan tingkat pemahaman serta pola berpikir mereka. Rumusan itu
hendaknya dibaut oleh kelompok kerja atau tim yang memiliki keahlian dalam
bidangnya. Generasi muda Indonesia yang mulitietnik memiliki latar belakang budaya
dengan system nilai spiritualnya sendiri-sendiri. Untuk itu penanaman nilai budaya
spiritual permemperhatikan serta berorientasi pada nilai spiritual yang berakar dari
budaya masing-masing etnik. Pemahaman nilai spiritual merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan: apa itu? , bagaimana mengenalinya?, bagaimana melakukan?,
dan untuk apa? Berikut akan dibahas sekilas tentang nilai budaya spiritual sebagai
bahan acuan dalam sarasehan ini.
Istilah spirit adalah istilah serapan dari bahasa Inggris. Dalam kamus Inggris-
Indonesia An English-Indonesian Dictionary karangan John M. Echols dan Hassan
Shadlily (1975), kata spirit berarti: semangat, suasana, roh, jiwa, arwah, jin, hantu,
machluk halus; spiritual berarti batin, rohani, keagamaan; spiritualism berarti ilmu
4
-
wasitah; spiritualist berarti penganut ilmu wasitah (hlm. 546). Hal ini berarti sesuatu
itu disebut oleh orang Inggris dangan bahasanya dengan istilah atau kata atau nama
spirit yang orang Indonesia menyebut dengan bahasanya roh, jiwa atau arwah.
Dalam budaya Indonesia (Jawa) terdapat beberapa istilah yang berhubungan
dengan spirit, antara lain: jiwa, hati, rohani, kalbu, budi, nurani, batin, rasa, hurip yaitu
sebutan untuk unsure abstrak manusia. Manusia memiliki dua unsure yang tampak dan
yang tidak tampak, fisikal (badan atau raga) dan non-fisik (jiwa, rohani, hurip). Pada
umumnya dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan sesuatu yang melakukan
adalah fisiknya: berjalan kakinya, mendengar telinganya, melihat matanya, mencium
hidungnya. Hal demikian tidak salah, tetapi juga belum benar, bagaimana ketika orang
itu sedang tidur?, tidak bisa apa-apa, apalagi sudah mati tinggal jasat atau fisik saja. . .
Jawaban pertanyaan tidak bisa dengan menggunakan daya pikir atau logika saja.
Masuk dunia spiritual berarti masuk dunia filsafat yaitu berpikir dangan melibatkan
perenungan (contemplasion). Tentang dunia spiritual Supajar (2001) menyatakan
bahwa perspektif Spiritual merujuk pada pengembangan potensi internal diri manusia
dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum-hukum non-material yang ada di alam
semesta. Landasan Budaya Spiritual adalah candra jiwa kemanusiaan universal, yang
termuat dalam kitab-kitab suci. Spiritual adalah dataran lautan ilmu yang tak terhingga,
samudera rahmat pertolonganNYA. Budaya spiritual kita, kita kenal melalui ungkapan
Sangkan Paraning Dumadi dengan pusatnya Kawula-Gusti. Sultan Agung: Mamasuh
malaning bumi, Mangasah mingising budi (Supajar, 2001:57-78).
Pengalaman spiritual bukanlah pengetahuan hasil membaca maupun dari
perbuatan, tetapi pengalaman batin yang sungguh-sungguh dialami secara empiric bagi
setiap orang yang laku kebatinan melalui mangasah mingising budi atau olah rasa.
Orang demikian biasanya disebut wong kebatinan. Terdapat empat tingkat kedalaman
rasa yaitu: 1) rasa pangrasa, adalah rasa ragawi meliputi rasa peraba (sakit, pusing,
ngilu dsb) dan pengecap (pahit, manis, pedas dsb); 2) rasa rumangsa, rasa eling,
merasa salah, susah, gembira dsb); 3) rasa sejati, rasa untuk merasakan (tentram,
damai, bebas, abadi); dan 4) sejatining rasa atau rahsa hidup itu sendiri yang abadi
(Endraswara, 2003:146). Bagi orang kebanyakan mencapaitataran 1 dan 2, bagi orang
laku olah batin bias mencapai tataran 3 dan 4.
5
-
Figure: Tingkatan Rasa
SEJATING RASARASA/rasa tunggal
RASA SEJATI
JIWA/karasa-rasa
RASA RUMANGA
CIPTA/ngrumangsani
RASA PANGRASA
rasa ragawi
Dalam wacana spiritual istilah yang sering muncul adalah rasa, batin, budi, jiwa,
kalbu yang memiliki makna yang sama. Seperti pada syair tembang Kinathi di atas:
padha gulangen ing kalbu (hendaklah berolah kalbu), ing sasmita amrih lantip (agar
perasaan menjadi cerdas). Dalam tembang Wirangrong terdapat kalimat yang memiliki
arti yang sama den samya marsudeng budi (hendaklah berolah budi), weweka dipun
waspaos (berhati-hati dalam segala tindakan). Orang yang taberi berolah batin, rasa,
budi, kalbu akan secara otomatis mendapatkan pandam, pandom, panduming dumadi.
Masalah ini sekarang menjadi perhatian dunia yaitu misi pendidikan UNESCO
setelah dalam mengembangan kecerdasan pikir (Intelligence Quotient) tidak mampu
menyelesaikan ketegang -ketegangan dalam hidup bersama masyarakat dunia.
Dirasakan pentingnya pengembangan kecerdasan rasa (Emosional Quotient) dalam
system pendidikan di seluruh dunia. Kecerdasan emosional (rasa) bukan muncul dari
pikiran intelek yang jernih, tetapi peekerjaan hati nurani manusia. Ada ungkapan Latin
yang berbunyi motus anima yang bertarti jiwa yang menggerakkan kita. Menurut
Prof. Jay Forester bahwa berpikir dengan melibatkan perasaan yang melahirkan
keputusan yang bijaksana (Winarno, 2001).
6
-
Perilaku yang didasari nilai spiritual adalah laku utama untuk pribadi: sabar,
narima, lila, legawa. Untuk hidup bermasyarakat: karyengnaktyasing sasama, sepi ing
pamrih rame ing gawe, mamayu hayuning bawana. Untuk transenden: sangkan
paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti. Untuk mencapai tujuan dibarengi
dengan laku tirakat atau sesirik, cegah dhahar lan guling.
Nilai spiritual dalam budaya masyarakat Jawa berbentuk ungkapan-ungkapan
luhur merupakan nilai kearifan lokal sebagai sumber dan pedoman dalam berkehidup-
an secara pribadi maupun hidup bermasyarakat. Ungkapan-ungkapan itu terdapat dan
tersimpan di dalam karya-karya sastra para pujangga (Centhini, serat Wulangreh,
Wedhatama, Sastra Gending, Serat Madurasa, serat Jatimurti, serat Hidayat Jati dsb).
Selain itu juga tersimpan dalam bentuk symbol, lambing, pasemon, yang sering
diungkapkan dalam Seni Pertunjukan Wayang Purwa, Wayang Orang, Kethoprak,
Ludruk, Seni Karawitan, Seni Tari, Arsitektur dan sebagainya (.
Sebagai catatan nilai budaya piritual sangat perlu didialektikan secara sistematik
menjadi rumusan-rumusan ilmiah pragmatis, mana-mana yang berhubungan dengan
kapribaden, social: hidup bermasyarakat dan bernegara, dan yang berhubungan
dengan yang adikodrati. Dengan demikian berbicara spiritual tidak selalu dimaknai dan
dihungkan dengan yang gaib dan menakutkan. Hasilnya dijadikan acuan dalam
pembelajaran budipekerti sebagai tuntunan dalam laku utama.
Generasi Muda
Dalam budaya Jawa kehidupan manusia melewati tiga masa yaitu (1). masa muda
(Mijil, sinom, perlu Kinanthi tidak Durma agar Gambuh dan menjadi Maskumambang)
masuk (2) masa dewa (Dhandhanggula, Asmaranda, Pocung) masuk (3) masa
kasepuhan (pangkur persiapan megatruh) mempersiapkan diri datangnya masa
kasedan jati. Manusia yang baru lahir bagaikan tunas perlu bimbingan yang benar dan
baik terhindar pengaruh jahat dapat mengerti dan menjadi kebanggaan.
Generasi muda mempunyai posisi startegis dalam suatu Negara, sehingga
mendapat sebutan generasi penerus bangsa. Hal tersebut berarti generasi muda harus
memahami mencintai sejarah bangsanya nilai-nilai budayanya sebagai ketahanan
budaya. Pendidikan sebagai sarana membangun generasi muda terasa kedodoran,
7
-
karena karena system serta materinya lebih banyak mengadopsi nilai budaya asing
yang sebagian besar tidak konteks dengan budaya local. Derasnya arus informasi yang
didominasi informasi yang bersifat keduniawian (sekuler), generasi muda menjadi
gagap dan tidak punya arah yang jelas.
Karena kurangnya pengetahuan dan informasi tentang nilai-nilai spiritual, ada
anggapan bermacam-macam tentang apa itu spiritual, kejawen, penghayat. Bila berta-
mu ke tempat orang dan di rumah ada keris, ini rumahnya orang Kejawen. Spiritual dan
Kejawen dikaitkan dengan yang gaib, supranatural, hubungan dengan roh halus,
penyembuan alternative, pedukunan dan sebagainya. Memang orang laku batin atau
spiritual bisa sembarang ning ora bias kanggo sembarangan, karena batin mempunyai
daya yang tak terbatas. Pada dasarnya laku spiritual dapat dimulai dari yang seder-
hana yaitu berpikir kualitatif membedakan benar-salah, baik-buruk dan mampu berpikir
dan berprilaku benar dan baik (bener-becik).
Generasi muda perlu mendapatkan pendidikan secara menyeluruh (holistis), agar
dapat mengembangkan semua potensi dirinya (olah raga, olah pikir dan olah rasa atau
budi) secara seimbang. Olah raga membangun ketahan fisik dan ketrampilan, olah pikir
mengembangan kecerdasan pikir untuk dapat membedakan yang benar dan salah
serta olah rasa atau budi untuk bisa membedakan yang baik dan buruk. Dengan
demikian akan mampu mengkonstruk berpikir sistemik.
Berpikir sistemik merupakan proses berpikir yang melibatkan rasa atau budi:
bener > becik > perlu > pikoleh. Benar saja tidak cukup, benar harus baik, banar baik
juga belum cukup perlu apa tidak, sudah benar, baik dan perlu, apa yang didapatkan
atau untungnya apa. Segala tindakan bila dipertimbangkan betul dengan perenungan
budi menjadi tindakan yang benar dan baik, inilah laku utama atau budi pekerti utama.
Sikap yang demikian berarti sudah masuk wilayah spiritual
Konsep belajar berdasar dialektika spiritual, contoh: amet banyu apikulan warih,
amet geni adedamar, penyataan irasional bagaimana mungkin mengambil air dipikul
dengan air, mencari api membawa obor (api). Pernyataan tersebut tidak dapat atau sulit
dipahami dengan dialektika umum (Barat) karena mengandung makna simbolik yang
biasanya dimiliki oleh budaya spiritual (Jawa) yang bersifat multiinterpretasi dalam
bingkai spiritual atau kontemplasi yang bermuara pada nilai universal illhiah. Generasi
8
-
muda p
kualitatif
perlu diperk
f (benar da
kenalkan d
n baik).
dan dilatih cara berppikir kwantiitatif (benaar) dan berpikir
Figur: P
Ko
amet ge
dengan
dipaham
biasanya
bingkai s
muda p
kualitatif
Nila
Pertimba
paling s
Intisari
roses berpikir sistemikk
nsep belaja
eni adedam
air, menca
mi dengan
a dimiliki o
spiritual ata
perlu diperk
f (benar da
ar berdasa
mar, penyat
ri api memb
dialektika u
oleh buday
au kontemp
kenalkan d
n baik).
ar dialektika
taan irasio
bawa obor
umum (Bar
ya spiritual
plasi yang b
dan dilatih
a spiritual,
nal bagaim
(api). Pern
rat) karena
l (Jawa) ya
bermuara p
cara berp
contoh: am
mana mung
yataan ters
a mengandu
ang bersifa
pada nilai u
pikir kwanti
met banyu
gkin menga
sebut tidak
ung makna
at multiinte
niversal illh
itatif (bena
apikulan w
ambil air di
dapat atau
a simbolik y
erpretasi da
hiah. Gene
ar) dan be
warih,
pikul
sulit
yang
alam
erasi
rpikir
ai Spiritual
angan dal
empurna y
pertimban
merupaka
am bahasa
yang berada
ngan adala
an pertimba
a Hindu dis
a di langit.
ah pertimb
angan atau
sebut Buddh
Ada perti
bangan ukh
control da
ha atau Bo
mbangan l
hrawi perti
alam berpik
odhi adalah
ain di bum
imbangan
kir dan berb
h pertimban
mi yaitu dun
intisari dis
buat.
ngan
niawi.
sebut
9
-
Bodhisatva. Ada tiga tingkat irama dalam kehidupan Manusia yaitu: tamma dengan
pertimbangan duniawi, raja pertimbangan manusiawi dan satva pertimbangan illahi/sari
(Inayat Khan, 2002:277-284). Cara berpikir dan berperilaku seseorang dalam
berkehidupan bersama akan menentukan derajat apakah orang itu termasuk derajat
tinggi (luhur, utama), sedang (madya) dan derajat rendah (asor).
Bagi generasi muda perlu memahami apa gunanya memahami dan berperilaku
yang mempertimbangkan nilai budaya spiritual. Berpikir dan berperilaku bener-becik
akan membentuk pribadi luhur, terhindar dati godha-rencana manggih bagya-mulya
lahir-batin. Untuk menuju ke sana tentu banyak godaan-godaan yang menyesatkan
yaitu sesuatu sing kaya-kaya bener, sayektine kliru, misalnya golek bener dadi golek
menang, mburu bandha lali iman, gelem tetulung merga pamrih.
Dengan memahami dan berlatih diri untuk berpikir dan berperilaku dengan
pertimbangan nilai budaya spiritual generasi muda diharapkan terbangun:
y Pribadi yang khas, berkepribadian dan berbudi pekerti luhur, asih mring sasama y Warga masyarakat lokal yang khas, memegang teguh dan menjunjung tinggi nilai
budaya spiritual local sebagai khasanah dan karakter kepribadiannya.
y Warga Negara khas, mampu memberi warna dan memperkaya keragaman sehingga memperkokoh ketahanan Negara dan bangsa.
y Warga Dunia khas, memiliki daya saing tinggi dan mampu berperan untuk kesejahteraan dunia (mamayu hayuning bawana)
Agar generasi muda tidak menjadi korban perang budaya karena mereka belum
punya pegangan pemahaman nilai budaya spiritual. Bagamana sesering mungkin
diperkenalkan dengan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan nilai budaya
spiritual: sugih tanpa banda, menang tanpa ngasorake, golekana susuhe angin, Sapa
mbuwang ala nemu becik, sapa golek becik lunga alane dan sebagainya. Hal ini
merupakan tanggung jawa bersama, bersama itu siapa saja perlu dirumuskan secara
operasional.
10
-
Strategi Penanaman Menanam
Diperumpamakan menanam tanaman, tujuan pokok atau tujuan akhirnya bukanlah
menanam itu sendiri, melainkan memetik dan menikmati hasilnya. Jadi menanam
merupakan proses kegiatan yang terprogram, terstruktur dan melingkupi berbagai
unsure. Semuanya dinyatakan selesai setelah memetik dan menikmati hasilnya. Jadi
kegiatan menanam merupakan suatu kegiatan terprogram, sistematis, berkelanjutan
hingga tercapa tujuannya.
Strategi Mengacu pada cara menanam tersebut, strategi penanaman nilai-nilai budaya
spiritual pada generasi perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Rumusan tentang tujuan, sasaran, capaian ( bertahapan).
2. Rumusan program: jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang
3. Rumusan Procedural: system, metode, berkesinambungan
4. Rumusan tentang siapa saja partisipan: paguyuban,komunitas .
5. Rumusan tentang materi: nilai-spiritual, penyusunan bahan dan distribusinya
6. Rumusan tentang sumber daya (recourses) yang diperlukan
7. Rumusan tentang segmentasi: kelompok dan tingkat sasaran
8. Rumusan tentang penyelanggara: institusi pendidikan, institusi negara, sanggar,
paguyuban, dsb.
9. Rumusan tentang pelaksanaan secara sistematis, metodis dan berkelanjutan.
Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan unit kerja atau tim dari orang-orang atau
tokoh-tokoh yang memiliki keahlian dalam bidangnya yang dikordidasi oleh lembaga
terkait.
Penutup
Untuk menentukan dan menyusun strategi penanaman nilai budaya spiritual pada generasi muda, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu pertana: permasalahan yang
melatar belakangi adanya berbagai ketegangan, konflik dan disharmoni melanda
11
-
masyarakat dunia termasuk Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya
keseimbangan perkembangan dalam pendidikan yang cenderung mengabaikan unsure
emosional atau budi pelerti sehingga perlu adanya kegiatan itu. Kedua: perlu dirumus-
kan tentang nilai-nilai budaya spiritual sesuai untuk kebutuhan generasi muda. Ketiga:
mengadakan pemetaan dan membuat klasikasi atau penggolongan generasi muda
sebagai subyek pembinaan. Keempat: menyusun tatalaksan dan operasinalnya secara
terprogram, sistematis, koprehensif dan simultan.
Cerita: La Fontaine The Ploughman and his children (pembajak dan anaknya Be sure, not to sell the inheritance sungguh, jangan jual warisan Our forebears left us yang ditinggalkan nenek moyang untuk kita A treasure lies concealed therein harta karun tersimpan di dalamnya) Kepustakaan:
Clifford Geertz 1960 The Religion of Java, The University of Chicago Press Chicago and London,
ISBN: 0-226-28510.3 DARMODIHARJO, DARJI, Prof. S.H. (Dkk.) 1991 SANTIAJI PANCASILA. Penerbit: Usaha Nasional Surabaya. Darusuprapta, Drs. 1982 Serat Wulang-Reh Anggitan dalem Sri Pakubuwana IV. Penerbit: CV Citra Jaya
Surabaya. Endraswara, Suwardi 2003 Mistik Kejawen sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
Jawa. Penerbit: Narasi Yogyakarta. Inayat Khan, Hazrat. 2002 Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Penerbit: Pustaka Sufi Yogyakarta JONG, DE, DR. S.
1984 SALAH SATU SIKAP HIDUP ORANG JAWA. Penerbit: Kanisius Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, Prof. Dr. Dkk 2012 700 Tahun Majapahit (1293 1993) Suatu Bunga Rampai. Penerbit: Dinas
Pariwisata Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
12
-
13
Khamenei, Imam Ali (penerjemahTholib Anis) 2005 PERANG KEBUDAYAAN. Penerbit: Cahaya Jakarta NN? 1992 Serat MADURASA. Penerbit: Yayasan Djoyo Bojo Surabaya. Partini B 2010 SERAT SASTRA GENDING Warisan Spiritual Sultan Agung yang Berguna untuk
Memandu Olah piker dan Olah Dzikir. Penerbit: Panji Pusaka Yogyakarta. Setiadi, Elly M, Dr., M.Si. Dkk
2006 Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Edisi Kdua). Penerit: Kencana Prenada Media Group Jakarta.
Sukatman, Dr., M.Pd. 2010 TEKA-TEKI JAWA SEBAGAI WARGA TRADISI LESAN DUNIA Konteks, Ideologi dan
Fungsinya dalam Masyarakat Modern. Penerbit: LaksBang PRESSindo Yogyakarta Supajar, Damarjati, Dr. 2001 NAWANG SARI Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya. Prnrbit:
Fajar Pustaka Baru Yogyakarta Tondowidjojo, John Drs.
1983 Masalah Pandangan Hidup Ketimuran. Communication Centre: Sanggar Bina Tama Surabaya.
Winarno, A., Drs., M.Sc. dan Tri Saksono, SH., M.Pd. 2001 KECERDASAN EMOSIONAL Bahan Ajar Diklatpim IV. Lembaga administrasi
Negra Republik Indonesia.
KAWULA KEPARENG
Buduran, 25 Mei 2013