Strategi Penanaman Nilai Spiritual

13
STRATEGI PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL PADA GENERASI MUDA *) Oleh: Suwarmin Padha gulangen ing kalbu, Ing sasmita amrih lantip, Aja pijer mangan nendra, Kaprawiran den kaesthi, Pesunen sariranira, Sudanen dhahar lan guling (Kinanthi: Sri Pakubuwana IV) “KAWULA NUWUN” Pendahuluan Sarasehan Budaya Spiritual yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta kali ini (30-31 Mei 2013) yang bertemakan “Penanaman Nilai-Nilai Luhur Melalui Budaya Spiritual”. Dalam sarasehan ini penulis mendapatkan tugas materi dengan sub-tema “Strategi Penanamam Nilai-Nilai Budaya Spiritual Pada Generasi Muda”. Kalimat tersebut terdapat empat katakunci yaitu: “strategi”, “penanaman”, “nilai budaya spiritual” dan “generasi muda”. Tentang strategi akan dibahas kemungkin alternative cara yang dianggap tepat dan efektif untuk mencapai tujuan. Istilah “penanaman” perlu pembahasan dengan pendekatan yang sesuai dengan budaya spiritual. Nilai budaya spiritual, nilai spiritual dan budaya spiritual mempunyai pengertian yang berbeda. Supaya tidak ada kerancuan, hal ini perlu pembahasan seperlunya. Tentang generasi muda banyak pertanyaan yang melingkupi yang perlu dijawab. Pada akhir tulisan sebagai penutup disusun kesimpulan dari keseluruhan pembahasan. Sebelum menbahas masing-masing katakunci secara kontekstual, perlu terlebih dahulu membahas tentang permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi mengapa dan apa urgensinya penanaman nilai budaya spiritual pada generasi muda. *) Disajikan pada SARASEHAN BUDAYA SIPRITUAL yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta pada tanggal, 30-31 di hotel Grand New Park Surabaya. 1

description

Karya IlmiahOleh : Suwarmin, M.Sn

Transcript of Strategi Penanaman Nilai Spiritual

  • STRATEGI PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL PADA GENERASI MUDA *)

    Oleh: Suwarmin

    Padha gulangen ing kalbu, Ing sasmita amrih lantip, Aja pijer mangan nendra, Kaprawiran den kaesthi,

    Pesunen sariranira, Sudanen dhahar lan guling

    (Kinanthi: Sri Pakubuwana IV) KAWULA NUWUN Pendahuluan

    Sarasehan Budaya Spiritual yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai

    Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta kali ini (30-31 Mei 2013)

    yang bertemakan Penanaman Nilai-Nilai Luhur Melalui Budaya Spiritual. Dalam

    sarasehan ini penulis mendapatkan tugas materi dengan sub-tema Strategi

    Penanamam Nilai-Nilai Budaya Spiritual Pada Generasi Muda. Kalimat tersebut

    terdapat empat katakunci yaitu: strategi, penanaman, nilai budaya spiritual dan

    generasi muda.

    Tentang strategi akan dibahas kemungkin alternative cara yang dianggap tepat

    dan efektif untuk mencapai tujuan. Istilah penanaman perlu pembahasan dengan

    pendekatan yang sesuai dengan budaya spiritual. Nilai budaya spiritual, nilai spiritual

    dan budaya spiritual mempunyai pengertian yang berbeda. Supaya tidak ada

    kerancuan, hal ini perlu pembahasan seperlunya. Tentang generasi muda banyak

    pertanyaan yang melingkupi yang perlu dijawab.

    Pada akhir tulisan sebagai penutup disusun kesimpulan dari keseluruhan

    pembahasan. Sebelum menbahas masing-masing katakunci secara kontekstual, perlu

    terlebih dahulu membahas tentang permasalahan-permasalahan yang

    melatarbelakangi mengapa dan apa urgensinya penanaman nilai budaya spiritual pada

    generasi muda.

    *) Disajikan pada SARASEHAN BUDAYA SIPRITUAL yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta pada tanggal, 30-31 di hotel Grand New Park Surabaya.

    1

  • Ketegangan Dunia Melihat perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi, informatika sebagai produk

    manusia dewasa ini merupakan tanda kemajuan budayanya. Dunia terasa makin

    menciut, dunia dapat diregam, dan dengan teknologi manusia mampu menjelajah alam

    semesta. Dari waktu ke waktu, kemajuan demi kemajuan, penemuan (discovery),

    pembaharuan (distension) , pengembangan (innovation), dengan teknologi berbagai

    (segala?) kemungkin dapat dijawab. Kebanggaan, kemeriahan, sorak-sorai, menyam-

    but keberhasilan demi keberhasilan yang ambisius. Manusia mengolah daya pikir dan

    cipta (Jawa: karsa cipta) dalam rangka menemukan tanda-tanda kebesaranNYA

    Di sisi lain ratapan, jerit-tangis, rintih-pilu anak manusia masih dan semakin

    banyak terjadi diberbagai belahan dunia. Peristiwa- peristiwa tragis terjadi dari sikap

    ambisius, serakah, rakus, fanatis, ceroboh, bengis, benci, curiga. Perang antar

    manusia, antar gang, antar etnik, antar kelompok, antar bangsa, antar umat berebut

    kepentingan dan kemenangan, pejabat korup, pembunuhan, sadism, premanisme,

    merupakan ekspresi sikap-sikap negative tersebut. Media informasi didominasi kabar

    tentang peritwa-peristiwa yang beraroma anyir darah yang didorong oleh napsu

    angkara manusian.

    Ketegangan antar manusia terjadi dimana-mana mencerminkan rapuhnya sikap,

    teleran, kasih, bijak. Menurut Jacques Delors (1999) ketegangan utama yang terjadi

    dalam masyarakat dunia meliputi:

    1. Ketegangan antara global dan local, manusia perlu secara berangsur-angsur

    menjadi warganeraga dunia, tanpa harus kehilangan akarnya budayanya, tetap aktif

    sebagai warganeranya dan masyarakat local.

    2. Ketegangan antara universal dan individual, dalam situasi budaya menggelobal

    seseorang dituntut mengikuti arus tanpa harus meninggal kepribaidiannya yang

    diwarnai oleh karakter dan nilai budaya tradisi. Kalau tidak demikian akan rusak

    karena dampak globalisasi.

    3. Ketegangan antara modernitas dan tradisi, nilai tradisi yang sudah diuji oleh

    jalannya sejarah dan terus berkembang menyongsong masa depan. Perlu adanya

    sikap kritis dalam mengadopsi dan mengadaptasi hasil perkembangan dunia

    modern, kalau tidak kritis akan tergilas sebagai dampak modernisasi.

    2

  • 4. Ketegangan antara pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, kecenderung-

    an yang serba cepat, instan, hibrida, demikian juga segala informasi dapat tersebar

    ke pelosok dunia secapat kilat. Pertimbangan jangka pendek yeng mengabaikan

    kepentingan jangka panjang akan kehilangan masa depan.

    5. Ketegangan antara kebutuhan persaingan dan pemerataan, utamanya bagi penentu

    kebijakan sering dihadapkan pada persoalan yang dilematis antara kedua

    kebutuhan ini yang saling menekan.

    6. Ketegangan antara kamjuan dan ketertinggalan, d isatu pihak perkembangan ilmu

    pengetahuan dan teknologi sudah begitu maju, namun dipihak yang lain tertatih-tatih

    atau tidak mampu mengikuti bahkan ada yang menolak sama sekali.

    7. Ketegangan perennial atau abadi yaitu antara yang spiritual dan yang material yang

    sering tidak disadari dan sering tidak diungkapkan. Dunia rindu dan mencitakan

    (ideal) akan nilai-nilai moral, kasih, dan kebijaksanaan yang membawa kedamaian.

    Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa produk budaya masyarakat sekarang

    belum mencerminkan hasil karya Karsa Cipta Rasa dan baru hasil karya Karsa dan

    Cipta belum melibatkan atau meninggal Rasa.

    Perang Kebudayaan dan Perang Nilai

    Ketegangan-ketegangan dunia (termasuk Indonesia) di atas secara keseluruhan

    merupakan perang kebudayaan. Istilah Perang Kebudayaan ini menyitir dari tulisan

    Khamenei (terjemahan Tholib Anis, 2005), dijelaskan yang dimaksud perang

    kebudayaan adalah melakukan serangan atau terror secara halus terhadap prinsip-

    prinsip dan unsure kebudayaan serta dengan paksa memberlakukan keyakinan dan

    kebudayaannya sebagai penggati kebudayaan dan keyakinan baru komunitas yang

    diserang.

    Yang dimaksud perang kebudayaan dalam konteks tulisan ini adalah semua

    sikap kritis dan tindakan bangsa Indonesia dalam menyikapi informasi dan berbagai

    jenis budaya asing yang berdampak negative terhadap system nilai budaya dan

    kehidupan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

    (NKRI) beserta empat pilar penyangganya. Bangsa Indonesia saat sekarang secara

    cultural dapat dikatakan belum merdeka. Masih banyak warga Negara dan komunitas

    3

  • minoritas sulit untuk mendapatkan hak-hak azasinya meskipun dilindungi oleh undang-

    undang. Masih terjadi aksi terror, premanisme, intimidasi, ketidak adilan hukum,

    ekonomi, pendidikan, politik, tempat tinggal dan lain sebagainya. Pada saat masyarakat

    dalam kondisi serba tertekan, ketakutan, frustrasi sangat mudah untuk menjadi konflik.

    Perang yang paling berbahaya adalah perang nilai, karena kebudayaan yang

    berlaku dan berkembang dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata

    laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi cirri khas suatu

    mssyarakat dengan massyarakat yang lain (Setiadi, 2006:39). Kekalahan dalam perang

    budaya berarti masyarakat akan kehilangan akar nilai budaya dan identitas

    kepribadinnya dan matilah rasa kebangsaannya akan dikuasai bangsa lain. Sasaran

    yang mudah dilumpuhkan serangan budaya adalah kelompok masyarakat yang tingkat

    pendidikannya rendah dan anak muda masih mudah untuk dimasuki dogma-dogma.

    Inilah alasan dan urgensinya mengapa anak muda perlu lebih diperhatian.

    Nilai Budaya Spiritual

    Nilai Budaya Spiritual sebagai istilah tekhnis bersifat multitafsir (interpretable)

    memiliki pemaknaan yang luas dan beragam sesuai dengan konteksnya. Sebelum Nilai

    Budaya Spiritual ditanamkan pada generasi muda, perlu pemahaman serta rumusan

    yang sesuai dengan tingkat pemahaman serta pola berpikir mereka. Rumusan itu

    hendaknya dibaut oleh kelompok kerja atau tim yang memiliki keahlian dalam

    bidangnya. Generasi muda Indonesia yang mulitietnik memiliki latar belakang budaya

    dengan system nilai spiritualnya sendiri-sendiri. Untuk itu penanaman nilai budaya

    spiritual permemperhatikan serta berorientasi pada nilai spiritual yang berakar dari

    budaya masing-masing etnik. Pemahaman nilai spiritual merupakan jawaban dari

    pertanyaan-pertanyaan: apa itu? , bagaimana mengenalinya?, bagaimana melakukan?,

    dan untuk apa? Berikut akan dibahas sekilas tentang nilai budaya spiritual sebagai

    bahan acuan dalam sarasehan ini.

    Istilah spirit adalah istilah serapan dari bahasa Inggris. Dalam kamus Inggris-

    Indonesia An English-Indonesian Dictionary karangan John M. Echols dan Hassan

    Shadlily (1975), kata spirit berarti: semangat, suasana, roh, jiwa, arwah, jin, hantu,

    machluk halus; spiritual berarti batin, rohani, keagamaan; spiritualism berarti ilmu

    4

  • wasitah; spiritualist berarti penganut ilmu wasitah (hlm. 546). Hal ini berarti sesuatu

    itu disebut oleh orang Inggris dangan bahasanya dengan istilah atau kata atau nama

    spirit yang orang Indonesia menyebut dengan bahasanya roh, jiwa atau arwah.

    Dalam budaya Indonesia (Jawa) terdapat beberapa istilah yang berhubungan

    dengan spirit, antara lain: jiwa, hati, rohani, kalbu, budi, nurani, batin, rasa, hurip yaitu

    sebutan untuk unsure abstrak manusia. Manusia memiliki dua unsure yang tampak dan

    yang tidak tampak, fisikal (badan atau raga) dan non-fisik (jiwa, rohani, hurip). Pada

    umumnya dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan sesuatu yang melakukan

    adalah fisiknya: berjalan kakinya, mendengar telinganya, melihat matanya, mencium

    hidungnya. Hal demikian tidak salah, tetapi juga belum benar, bagaimana ketika orang

    itu sedang tidur?, tidak bisa apa-apa, apalagi sudah mati tinggal jasat atau fisik saja. . .

    Jawaban pertanyaan tidak bisa dengan menggunakan daya pikir atau logika saja.

    Masuk dunia spiritual berarti masuk dunia filsafat yaitu berpikir dangan melibatkan

    perenungan (contemplasion). Tentang dunia spiritual Supajar (2001) menyatakan

    bahwa perspektif Spiritual merujuk pada pengembangan potensi internal diri manusia

    dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum-hukum non-material yang ada di alam

    semesta. Landasan Budaya Spiritual adalah candra jiwa kemanusiaan universal, yang

    termuat dalam kitab-kitab suci. Spiritual adalah dataran lautan ilmu yang tak terhingga,

    samudera rahmat pertolonganNYA. Budaya spiritual kita, kita kenal melalui ungkapan

    Sangkan Paraning Dumadi dengan pusatnya Kawula-Gusti. Sultan Agung: Mamasuh

    malaning bumi, Mangasah mingising budi (Supajar, 2001:57-78).

    Pengalaman spiritual bukanlah pengetahuan hasil membaca maupun dari

    perbuatan, tetapi pengalaman batin yang sungguh-sungguh dialami secara empiric bagi

    setiap orang yang laku kebatinan melalui mangasah mingising budi atau olah rasa.

    Orang demikian biasanya disebut wong kebatinan. Terdapat empat tingkat kedalaman

    rasa yaitu: 1) rasa pangrasa, adalah rasa ragawi meliputi rasa peraba (sakit, pusing,

    ngilu dsb) dan pengecap (pahit, manis, pedas dsb); 2) rasa rumangsa, rasa eling,

    merasa salah, susah, gembira dsb); 3) rasa sejati, rasa untuk merasakan (tentram,

    damai, bebas, abadi); dan 4) sejatining rasa atau rahsa hidup itu sendiri yang abadi

    (Endraswara, 2003:146). Bagi orang kebanyakan mencapaitataran 1 dan 2, bagi orang

    laku olah batin bias mencapai tataran 3 dan 4.

    5

  • Figure: Tingkatan Rasa

    SEJATING RASARASA/rasa tunggal

    RASA SEJATI

    JIWA/karasa-rasa

    RASA RUMANGA

    CIPTA/ngrumangsani

    RASA PANGRASA

    rasa ragawi

    Dalam wacana spiritual istilah yang sering muncul adalah rasa, batin, budi, jiwa,

    kalbu yang memiliki makna yang sama. Seperti pada syair tembang Kinathi di atas:

    padha gulangen ing kalbu (hendaklah berolah kalbu), ing sasmita amrih lantip (agar

    perasaan menjadi cerdas). Dalam tembang Wirangrong terdapat kalimat yang memiliki

    arti yang sama den samya marsudeng budi (hendaklah berolah budi), weweka dipun

    waspaos (berhati-hati dalam segala tindakan). Orang yang taberi berolah batin, rasa,

    budi, kalbu akan secara otomatis mendapatkan pandam, pandom, panduming dumadi.

    Masalah ini sekarang menjadi perhatian dunia yaitu misi pendidikan UNESCO

    setelah dalam mengembangan kecerdasan pikir (Intelligence Quotient) tidak mampu

    menyelesaikan ketegang -ketegangan dalam hidup bersama masyarakat dunia.

    Dirasakan pentingnya pengembangan kecerdasan rasa (Emosional Quotient) dalam

    system pendidikan di seluruh dunia. Kecerdasan emosional (rasa) bukan muncul dari

    pikiran intelek yang jernih, tetapi peekerjaan hati nurani manusia. Ada ungkapan Latin

    yang berbunyi motus anima yang bertarti jiwa yang menggerakkan kita. Menurut

    Prof. Jay Forester bahwa berpikir dengan melibatkan perasaan yang melahirkan

    keputusan yang bijaksana (Winarno, 2001).

    6

  • Perilaku yang didasari nilai spiritual adalah laku utama untuk pribadi: sabar,

    narima, lila, legawa. Untuk hidup bermasyarakat: karyengnaktyasing sasama, sepi ing

    pamrih rame ing gawe, mamayu hayuning bawana. Untuk transenden: sangkan

    paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti. Untuk mencapai tujuan dibarengi

    dengan laku tirakat atau sesirik, cegah dhahar lan guling.

    Nilai spiritual dalam budaya masyarakat Jawa berbentuk ungkapan-ungkapan

    luhur merupakan nilai kearifan lokal sebagai sumber dan pedoman dalam berkehidup-

    an secara pribadi maupun hidup bermasyarakat. Ungkapan-ungkapan itu terdapat dan

    tersimpan di dalam karya-karya sastra para pujangga (Centhini, serat Wulangreh,

    Wedhatama, Sastra Gending, Serat Madurasa, serat Jatimurti, serat Hidayat Jati dsb).

    Selain itu juga tersimpan dalam bentuk symbol, lambing, pasemon, yang sering

    diungkapkan dalam Seni Pertunjukan Wayang Purwa, Wayang Orang, Kethoprak,

    Ludruk, Seni Karawitan, Seni Tari, Arsitektur dan sebagainya (.

    Sebagai catatan nilai budaya piritual sangat perlu didialektikan secara sistematik

    menjadi rumusan-rumusan ilmiah pragmatis, mana-mana yang berhubungan dengan

    kapribaden, social: hidup bermasyarakat dan bernegara, dan yang berhubungan

    dengan yang adikodrati. Dengan demikian berbicara spiritual tidak selalu dimaknai dan

    dihungkan dengan yang gaib dan menakutkan. Hasilnya dijadikan acuan dalam

    pembelajaran budipekerti sebagai tuntunan dalam laku utama.

    Generasi Muda

    Dalam budaya Jawa kehidupan manusia melewati tiga masa yaitu (1). masa muda

    (Mijil, sinom, perlu Kinanthi tidak Durma agar Gambuh dan menjadi Maskumambang)

    masuk (2) masa dewa (Dhandhanggula, Asmaranda, Pocung) masuk (3) masa

    kasepuhan (pangkur persiapan megatruh) mempersiapkan diri datangnya masa

    kasedan jati. Manusia yang baru lahir bagaikan tunas perlu bimbingan yang benar dan

    baik terhindar pengaruh jahat dapat mengerti dan menjadi kebanggaan.

    Generasi muda mempunyai posisi startegis dalam suatu Negara, sehingga

    mendapat sebutan generasi penerus bangsa. Hal tersebut berarti generasi muda harus

    memahami mencintai sejarah bangsanya nilai-nilai budayanya sebagai ketahanan

    budaya. Pendidikan sebagai sarana membangun generasi muda terasa kedodoran,

    7

  • karena karena system serta materinya lebih banyak mengadopsi nilai budaya asing

    yang sebagian besar tidak konteks dengan budaya local. Derasnya arus informasi yang

    didominasi informasi yang bersifat keduniawian (sekuler), generasi muda menjadi

    gagap dan tidak punya arah yang jelas.

    Karena kurangnya pengetahuan dan informasi tentang nilai-nilai spiritual, ada

    anggapan bermacam-macam tentang apa itu spiritual, kejawen, penghayat. Bila berta-

    mu ke tempat orang dan di rumah ada keris, ini rumahnya orang Kejawen. Spiritual dan

    Kejawen dikaitkan dengan yang gaib, supranatural, hubungan dengan roh halus,

    penyembuan alternative, pedukunan dan sebagainya. Memang orang laku batin atau

    spiritual bisa sembarang ning ora bias kanggo sembarangan, karena batin mempunyai

    daya yang tak terbatas. Pada dasarnya laku spiritual dapat dimulai dari yang seder-

    hana yaitu berpikir kualitatif membedakan benar-salah, baik-buruk dan mampu berpikir

    dan berprilaku benar dan baik (bener-becik).

    Generasi muda perlu mendapatkan pendidikan secara menyeluruh (holistis), agar

    dapat mengembangkan semua potensi dirinya (olah raga, olah pikir dan olah rasa atau

    budi) secara seimbang. Olah raga membangun ketahan fisik dan ketrampilan, olah pikir

    mengembangan kecerdasan pikir untuk dapat membedakan yang benar dan salah

    serta olah rasa atau budi untuk bisa membedakan yang baik dan buruk. Dengan

    demikian akan mampu mengkonstruk berpikir sistemik.

    Berpikir sistemik merupakan proses berpikir yang melibatkan rasa atau budi:

    bener > becik > perlu > pikoleh. Benar saja tidak cukup, benar harus baik, banar baik

    juga belum cukup perlu apa tidak, sudah benar, baik dan perlu, apa yang didapatkan

    atau untungnya apa. Segala tindakan bila dipertimbangkan betul dengan perenungan

    budi menjadi tindakan yang benar dan baik, inilah laku utama atau budi pekerti utama.

    Sikap yang demikian berarti sudah masuk wilayah spiritual

    Konsep belajar berdasar dialektika spiritual, contoh: amet banyu apikulan warih,

    amet geni adedamar, penyataan irasional bagaimana mungkin mengambil air dipikul

    dengan air, mencari api membawa obor (api). Pernyataan tersebut tidak dapat atau sulit

    dipahami dengan dialektika umum (Barat) karena mengandung makna simbolik yang

    biasanya dimiliki oleh budaya spiritual (Jawa) yang bersifat multiinterpretasi dalam

    bingkai spiritual atau kontemplasi yang bermuara pada nilai universal illhiah. Generasi

    8

  • muda p

    kualitatif

    perlu diperk

    f (benar da

    kenalkan d

    n baik).

    dan dilatih cara berppikir kwantiitatif (benaar) dan berpikir

    Figur: P

    Ko

    amet ge

    dengan

    dipaham

    biasanya

    bingkai s

    muda p

    kualitatif

    Nila

    Pertimba

    paling s

    Intisari

    roses berpikir sistemikk

    nsep belaja

    eni adedam

    air, menca

    mi dengan

    a dimiliki o

    spiritual ata

    perlu diperk

    f (benar da

    ar berdasa

    mar, penyat

    ri api memb

    dialektika u

    oleh buday

    au kontemp

    kenalkan d

    n baik).

    ar dialektika

    taan irasio

    bawa obor

    umum (Bar

    ya spiritual

    plasi yang b

    dan dilatih

    a spiritual,

    nal bagaim

    (api). Pern

    rat) karena

    l (Jawa) ya

    bermuara p

    cara berp

    contoh: am

    mana mung

    yataan ters

    a mengandu

    ang bersifa

    pada nilai u

    pikir kwanti

    met banyu

    gkin menga

    sebut tidak

    ung makna

    at multiinte

    niversal illh

    itatif (bena

    apikulan w

    ambil air di

    dapat atau

    a simbolik y

    erpretasi da

    hiah. Gene

    ar) dan be

    warih,

    pikul

    sulit

    yang

    alam

    erasi

    rpikir

    ai Spiritual

    angan dal

    empurna y

    pertimban

    merupaka

    am bahasa

    yang berada

    ngan adala

    an pertimba

    a Hindu dis

    a di langit.

    ah pertimb

    angan atau

    sebut Buddh

    Ada perti

    bangan ukh

    control da

    ha atau Bo

    mbangan l

    hrawi perti

    alam berpik

    odhi adalah

    ain di bum

    imbangan

    kir dan berb

    h pertimban

    mi yaitu dun

    intisari dis

    buat.

    ngan

    niawi.

    sebut

    9

  • Bodhisatva. Ada tiga tingkat irama dalam kehidupan Manusia yaitu: tamma dengan

    pertimbangan duniawi, raja pertimbangan manusiawi dan satva pertimbangan illahi/sari

    (Inayat Khan, 2002:277-284). Cara berpikir dan berperilaku seseorang dalam

    berkehidupan bersama akan menentukan derajat apakah orang itu termasuk derajat

    tinggi (luhur, utama), sedang (madya) dan derajat rendah (asor).

    Bagi generasi muda perlu memahami apa gunanya memahami dan berperilaku

    yang mempertimbangkan nilai budaya spiritual. Berpikir dan berperilaku bener-becik

    akan membentuk pribadi luhur, terhindar dati godha-rencana manggih bagya-mulya

    lahir-batin. Untuk menuju ke sana tentu banyak godaan-godaan yang menyesatkan

    yaitu sesuatu sing kaya-kaya bener, sayektine kliru, misalnya golek bener dadi golek

    menang, mburu bandha lali iman, gelem tetulung merga pamrih.

    Dengan memahami dan berlatih diri untuk berpikir dan berperilaku dengan

    pertimbangan nilai budaya spiritual generasi muda diharapkan terbangun:

    y Pribadi yang khas, berkepribadian dan berbudi pekerti luhur, asih mring sasama y Warga masyarakat lokal yang khas, memegang teguh dan menjunjung tinggi nilai

    budaya spiritual local sebagai khasanah dan karakter kepribadiannya.

    y Warga Negara khas, mampu memberi warna dan memperkaya keragaman sehingga memperkokoh ketahanan Negara dan bangsa.

    y Warga Dunia khas, memiliki daya saing tinggi dan mampu berperan untuk kesejahteraan dunia (mamayu hayuning bawana)

    Agar generasi muda tidak menjadi korban perang budaya karena mereka belum

    punya pegangan pemahaman nilai budaya spiritual. Bagamana sesering mungkin

    diperkenalkan dengan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan nilai budaya

    spiritual: sugih tanpa banda, menang tanpa ngasorake, golekana susuhe angin, Sapa

    mbuwang ala nemu becik, sapa golek becik lunga alane dan sebagainya. Hal ini

    merupakan tanggung jawa bersama, bersama itu siapa saja perlu dirumuskan secara

    operasional.

    10

  • Strategi Penanaman Menanam

    Diperumpamakan menanam tanaman, tujuan pokok atau tujuan akhirnya bukanlah

    menanam itu sendiri, melainkan memetik dan menikmati hasilnya. Jadi menanam

    merupakan proses kegiatan yang terprogram, terstruktur dan melingkupi berbagai

    unsure. Semuanya dinyatakan selesai setelah memetik dan menikmati hasilnya. Jadi

    kegiatan menanam merupakan suatu kegiatan terprogram, sistematis, berkelanjutan

    hingga tercapa tujuannya.

    Strategi Mengacu pada cara menanam tersebut, strategi penanaman nilai-nilai budaya

    spiritual pada generasi perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

    1. Rumusan tentang tujuan, sasaran, capaian ( bertahapan).

    2. Rumusan program: jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang

    3. Rumusan Procedural: system, metode, berkesinambungan

    4. Rumusan tentang siapa saja partisipan: paguyuban,komunitas .

    5. Rumusan tentang materi: nilai-spiritual, penyusunan bahan dan distribusinya

    6. Rumusan tentang sumber daya (recourses) yang diperlukan

    7. Rumusan tentang segmentasi: kelompok dan tingkat sasaran

    8. Rumusan tentang penyelanggara: institusi pendidikan, institusi negara, sanggar,

    paguyuban, dsb.

    9. Rumusan tentang pelaksanaan secara sistematis, metodis dan berkelanjutan.

    Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan unit kerja atau tim dari orang-orang atau

    tokoh-tokoh yang memiliki keahlian dalam bidangnya yang dikordidasi oleh lembaga

    terkait.

    Penutup

    Untuk menentukan dan menyusun strategi penanaman nilai budaya spiritual pada generasi muda, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu pertana: permasalahan yang

    melatar belakangi adanya berbagai ketegangan, konflik dan disharmoni melanda

    11

  • masyarakat dunia termasuk Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya

    keseimbangan perkembangan dalam pendidikan yang cenderung mengabaikan unsure

    emosional atau budi pelerti sehingga perlu adanya kegiatan itu. Kedua: perlu dirumus-

    kan tentang nilai-nilai budaya spiritual sesuai untuk kebutuhan generasi muda. Ketiga:

    mengadakan pemetaan dan membuat klasikasi atau penggolongan generasi muda

    sebagai subyek pembinaan. Keempat: menyusun tatalaksan dan operasinalnya secara

    terprogram, sistematis, koprehensif dan simultan.

    Cerita: La Fontaine The Ploughman and his children (pembajak dan anaknya Be sure, not to sell the inheritance sungguh, jangan jual warisan Our forebears left us yang ditinggalkan nenek moyang untuk kita A treasure lies concealed therein harta karun tersimpan di dalamnya) Kepustakaan:

    Clifford Geertz 1960 The Religion of Java, The University of Chicago Press Chicago and London,

    ISBN: 0-226-28510.3 DARMODIHARJO, DARJI, Prof. S.H. (Dkk.) 1991 SANTIAJI PANCASILA. Penerbit: Usaha Nasional Surabaya. Darusuprapta, Drs. 1982 Serat Wulang-Reh Anggitan dalem Sri Pakubuwana IV. Penerbit: CV Citra Jaya

    Surabaya. Endraswara, Suwardi 2003 Mistik Kejawen sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual

    Jawa. Penerbit: Narasi Yogyakarta. Inayat Khan, Hazrat. 2002 Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Penerbit: Pustaka Sufi Yogyakarta JONG, DE, DR. S.

    1984 SALAH SATU SIKAP HIDUP ORANG JAWA. Penerbit: Kanisius Yogyakarta.

    Kartodirdjo, Sartono, Prof. Dr. Dkk 2012 700 Tahun Majapahit (1293 1993) Suatu Bunga Rampai. Penerbit: Dinas

    Pariwisata Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

    12

  • 13

    Khamenei, Imam Ali (penerjemahTholib Anis) 2005 PERANG KEBUDAYAAN. Penerbit: Cahaya Jakarta NN? 1992 Serat MADURASA. Penerbit: Yayasan Djoyo Bojo Surabaya. Partini B 2010 SERAT SASTRA GENDING Warisan Spiritual Sultan Agung yang Berguna untuk

    Memandu Olah piker dan Olah Dzikir. Penerbit: Panji Pusaka Yogyakarta. Setiadi, Elly M, Dr., M.Si. Dkk

    2006 Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Edisi Kdua). Penerit: Kencana Prenada Media Group Jakarta.

    Sukatman, Dr., M.Pd. 2010 TEKA-TEKI JAWA SEBAGAI WARGA TRADISI LESAN DUNIA Konteks, Ideologi dan

    Fungsinya dalam Masyarakat Modern. Penerbit: LaksBang PRESSindo Yogyakarta Supajar, Damarjati, Dr. 2001 NAWANG SARI Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya. Prnrbit:

    Fajar Pustaka Baru Yogyakarta Tondowidjojo, John Drs.

    1983 Masalah Pandangan Hidup Ketimuran. Communication Centre: Sanggar Bina Tama Surabaya.

    Winarno, A., Drs., M.Sc. dan Tri Saksono, SH., M.Pd. 2001 KECERDASAN EMOSIONAL Bahan Ajar Diklatpim IV. Lembaga administrasi

    Negra Republik Indonesia.

    KAWULA KEPARENG

    Buduran, 25 Mei 2013