Wawancara Spiritual

74

Click here to load reader

description

semoga bermanfaat

Transcript of Wawancara Spiritual

Page 1: Wawancara Spiritual

10

BAB II

TI�JAUA� PUSTAKA

A. Spiritualitas

1. Definisi Spiritualitas

Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas terkait dengan spiritualitas,

terlebih dahulu akan diuraikan terminologi yang sering kali muncul dalam

berbagai literatur, yaitu spiritual. Spiritual berasal dari kata Latin, yaitu

spiritus, yang bermakna hembusan atau nafas. Makna ini berkonotasi sebagai

sesuatu yang memberikan kehidupan atau sesuatu yang amat penting bagi

hidup manusia (Kozier et al, 2004). Berdasarkan asal kata tersebut, maka

spiritualitas merupakan bagian dari manusia yang penuh makna.

Hingga saat ini terdapat berbagai definisi spiritual menurut sudut pandang

masing-masing. Dewit-Weaver (2001, dalam McEwan, 2004) mendefinisikan

spiritualitas sebagai bagian inti dari individu (core of individuals) yang tidak

terlihat (unseen, invisible) yang berkontribusi terhadap keunikan dan menyatu

dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power

dan Tuhan/God) yang memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan.

Spiritualitas juga didefinisikan sebagai kecenderungan untuk membuat dan

mencari makna melalui rasa keterhubungan pada dimensi yang melebihi diri

sendiri (Reed, 1992, dalam McEwan, 2004). Definisi lain, menyatakan bahwa

spiritualitas adalah prinsip hidup seseorang untuk menemukan makna dan

tujuan hidup serta hubungan dan rasa keterikatan dengan sesuatu yang

10

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 2: Wawancara Spiritual

11

misteri, maha tinggi, Tuhan atau sesuatu yang universal (Burkhardt, 1989,

dalam McEwan, 2004). Conco (1993, dalam McEwan, 2004) mendefinisikan

spiritualitas sebagai suatu yang esesnsi dan bersifat individual dari seseorang,

hubungan dengan sesuatu yang luas dan dengan orang lain, dan/atau

pencarian makna dan tujuan hidup. Selain itu, spiritualitas juga dimaknai

sebagai suatu jalinan antara pikiran, tubuh, dan emosi (McEwan, 2004).

Beberapa definisi di atas menunjukan bahwa spiritualitas bukanlah hal pasif,

akan tetapi merupakan sesuatu yang aktif. Proses aktif tersebut tampak dari

deskripsi pencarian makna dan tujuan hidup. Hal ini diperkuat penjelasan

Friedman et al (2002, dalam Haskel, 2003) yang mendefinisikan spiritulitas

sebagai proses aktif dan positif yang melibatkan pencarian aktivitas-aktivitas

yang mengembalikan seseorang kepada rasa keterpaduan (coherence),

kualitas keutuhan internal dan kedamaian dalam diri.

Spiritualitas tidak identik dengan agama. Terkait dengan hal tersebut

McEwan (2004), menyatakan bahwa spiritualitas melibatkan lebih dari

sekedar keyakinan dan praktik agama-agama tradisional (traditional

religioous). Demikian pula Murray dan Zentner (1998) menyatakan

spiritualitas adalah suatu kualitas yang melebihi afiliasi agama, yang dapat

memberikan inspirasi, referensi, kesadaran, arti dan tujuan hidup. Brush dan

Daly, 2000; Burkhart dan Solaru-Twadell, 2001; Oldnall, 1996; Peri, 1995;

dan Tuck et al., 2001 dalam McEwan (2004) menyatakan bahwa spiritualitas

dan agama (religion) adalah dua hal yang berbeda. Bahkan, saat ini telah

diterima secara luas bahwa spiritualitas adalah konsep yang lebih luas,

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 3: Wawancara Spiritual

12

sedangkan agama adalah salah satu bagian dari spiritualitas itu sendiri.

Spiritualitas adalah sesuatu yang personal dan universal, sedangkan agama

lebih berkaitan dengan budaya (culture) dan masyarakat (society) (Burkhart

& Solaru-Twadell, 2001, dalam McEwan, 2004). McEwan (2004) juga

mengidentifikasi karakteristik atau deskriptor yang diterima secara umum

bahwa spiritualitas melibatkan aspek keterkaitan (relatedness),

keterhubungan (connectedness), kehadiran (prescence), transendensi

(transcendence), harapan (hope), kemaknaan (meaning) and tujuan (purpose).

Dari definisi dan deskripsi spiritual di atas, dapat disimpulkan bahwa

spiritualitas merupakan bagian inti dan esensial dari individu, lebih dari

sekedar keyakinan dan praktik beragama, yang berkontribusi terhadap

keunikan individu dan menghubungkan jalinan pikiran, tubuh, emosi,

hubungan dengan orang lain dan dengan sesuatu di luar diri; serta merupakan

proses aktif dan positif berkaitan dengan pencarian makna, tujuan, harapan,

dan prinsip hidup untuk mengembalikan seseorang kepada rasa keterpaduan

(coherence), kualitas keutuhan internal dan kedamaian dalam diri.

2. Tahapan Perkembangan Spiritual Manusia

Untuk dapat melaksanakan perannya dalam memenuhi kebutuhan spiritual

klien, perawat perlu mengetahui tahapan perkembangan spiritual manusia.

Tahapan perkembangan spiritual itu dimulai sejak lahir hingga akhir hayat.

Fowler (1981, dalam Kozier, et al., 2004) membagi perkembangan spiritual

ini kedalam tujuh tahapan dengan masing-masing karakteristiknya seperti

digambarkan pada tabel 2.1.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 4: Wawancara Spiritual

13

Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Spiritual (Fowler, 1981)

Tahap Perkembangan Karakteristik

0-3 tahun

• �eonatus dan usia toddler mendapatkan

dasar-dasar spiritualitas dari rasa percaya

(trust), kebersamaan, harapan, cinta dan kasih

sayang.

• Transisi pada tahap berikutnya dimulai ketika

bahasa dan pikiran anak mulai

memungkinkan untuk menggunakan simbol-

simbol.

3-7 tahun

• Merupakan fase fantasi, imitatif saat anak

dapat dipengaruhi oleh contoh-contoh,

moods, dan tindakan-tindakan.

• Anak menghubungkan intuisinya dengan

kondisi terakhir yang ada melalui cerita dan

gambar-gambar, memfusikan fakta-fakta dan

perasaan.

• Menjadikan keyakinannya sebagai

pengalaman nyata (Santa Claus, Tuhan

sebagai kakeknya yang berada dilangit).

7-12 tahun

• Anak mencoba memisahkan fantasinya dari

fakta dengan meminta banyak bukti dan

menunjukan realita.

• Bercerita adalah hal penting untuk

menemukan makna dan mengorganisasikan

pengalaman. Anak menerima cerita dan

meyakininya secara harfiyah.

• Mampu untuk belajar keyakinan dan praktik

budaya dan agama.

Remaja

• Pengalaman dari dunia sekitarnya melebihi

unit keluarganya, dan keyakinan spiritual

dapat menambah pemahamannya tentang

lingkungan menjadi lebih luas.

• Secara umum mencocokan dengan

keyakinan-keyakinan yang ada disekitar

mereka.

• Belum mempunyai keyakinan yang dapat

diuji secara objektif

Dewasa muda

• Perkembangan identitas diri, dan

membedakan padangan dunia dengan yang

lainnya.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 5: Wawancara Spiritual

14

Lanjutan

Tahap Perkembangan Karakteristik

• Individu membentuk kemandirian dalam

komitmen, gaya hidup, keyakinan dan sikap.

• Mulai mengembangkan pemaknaan secara

personal terhadap simbol-simbol agama dan

keyakinan atau keimanan.

Dewasa menengah

• Meningkatnya penghormatan terhadap suara

hati.

• Lebih menyadari akan adanya mitos-mitos,

dan prasangka dengan mengkaitkannya pada

latar belakang sosial.

• Mencoba merekonsiliasi berbagai kontradiksi

dalam pikiran dan pengalaman.

• Terbuka terhadap kebenaran yang lain.

Dewasa lanjut

• Mampu untuk mempercayai dan

berpartisipasi dalam masyarakat nonekslusif.

• Dapat bekerja untuk menyelesaikan berbagai

problem dimasyarakat baik sosial, politik,

ekonomi maupun ideologi.

• Mampu merangkul kehidupannya dan

menahannya jika akan terlepas.

Sumber: Fowler (1981, dalam Kozier, et al., 2004, p. 998)

Berbeda halnya dengan Fowler, Heber (1987 dalam Widyatuti, 1999)

membagi tahapan perkembangan spiritual individu ke dalam 9 (sembilan)

tahapan, meliputi masa bayi, kanak-kanak, prasekolah, usia sekolah, remaja,

dewasa muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia, seperti

pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Tahapan Perkembangan Spiritual (Heber, 1987)

Tahap Perkembangan Karakteristik

Bayi

• Belum mempunyai moral, tetapi penting

sebagai dasar untuk perkembangan spiritual

selanjutnya.

(meskipun bayi belum mempunyai moral,

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 6: Wawancara Spiritual

15

Lanjutan

Tahap Perkembangan Karakteristik

pengalaman menunjukan keluarga yang

spiritualitasnya baik, diyakini sebagai sumber

untuk perkembangan spiritual selanjutnya [Haber,

1987])

Masa kanak-kanak

(18 bulan-3 tahun)

• Dimensi spiritual mulai berkembang.

• Belajar membandingkan yang baik dengan

yang buruk.

• Berlatih untuk berpendapat dan menghormati

acara-acara ritual dimana mereka merasa

aman, seperti mengobservasi tradisi berdoa

sebelum tidur, sebelum makan, dan lain-lain.

• Dasar peran kemandirian selanjutnya, yang

lebih besar.

Masa pra sekolah

(3-6 tahun)

• Perkembangan spiritualitas berhubungan

secara langsung dengan superego.

• Mulai mengerti kebutuhan sosial, norma dan

harapan, dan ingin menyesuaikan dengan

norma keluarga.

• Tidak hanya menilai sesuatu benar atau salah,

tetapi juga membandingkan norma keluarga

dengan keluarga yang lain.

• Akan berfikir konkrit. Ketika membayangkan

spiritualitas, anak kesulitan membandingkan

Tuhan dengan orang tua.

Masa usia sekolah

(6-12 tahun)

• Anak berpikir konkrit, tetapi mulai

menggunakan konsep abstrak untuk

menggambarkan agama dan spiritual mereka.

• Anak mulai mengembangkan minat dalam

ide, dapat diajak diskusi dan menjelaskan apa

keyakinan mereka dan mengevaluasi pikiran.

Remaja

• Sudah mengerti arti dan tujuan hidup.

• Menggunakan pengetahuan untuk mengambil

keputusan saat ini dan yang akan datang.

• Kepercayaan bekembang dan mencobanya

dalam kehidupnya.

• Menguji nilai dan kepercayaan orang tua

mereka dan dapat menolak atau

menerimanya.

• Secara alami mereka dapat bingung ketika

menemukan perilaku dan peran model yang

tidak konsisten.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 7: Wawancara Spiritual

16

Lanjutan

Tahap Perkembangan Karakteristik

• Kepercayaan pada kelompok paling tinggi

perannya dari pada keluarga.

Dewasa muda

(18-25 tahun)

• Menjalani hidup ini dengan melanjutkan

pencarian identitas siritual, memikirkan untuk

memilih nilai dan kepercayaan yang

dipelajari saat kanak-kanak dan berusaha

melaksanakan sistem kepercayaan mereka

sendiri.

• Spiritualitas bukan merupakan perhatian

utama pada tahap ini, mereka lebih banyak

memudahkan hidup walaupun mereka tidak

memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.

Dewasa pertengahan

(25-38 tahun)

• Pada usia ini telah benar-benar mengetahui

konsep benar dan salah.

• Menggunakan keyakinan moral, agama dan

etik sebagai dasar dari sistem nilai.

• Sudah merencanakan kehidupan,

mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan

terhadap kepercayaan dan nilai

spiritualitasnya.

Dewasa akhir (38-65

tahun)

• Periode ini digunakan untuk introspeksi dan

mengkaji kembali (introspeksi) dimensi

spiritual diri.

Lanjut usia (65 tahun

sampai kematian)

• Mulai membayangkan kematian; banyak

menggeluti isu spiritual sebagai sesuatu yang

menarik, dan melihat agama sebagai faktor

yang mempengaruhi kebahagiaan dan rasa

berguna bagi orang lain.

Menurut Heber (1987 dalam Widyatuti, 1999)

riset telah membuktikan bahwa orang yang

spiritualitasnya baik, mempunyai kemungkinan

melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi yang

spiritualistasnya tidak baik, menunjukan tujuan

hidup kurang, tidak dicintai, ketidakbebasan dan

takut mati. Sementara orang yang spiritualitasnya

baik, tidak takut mati, dan lebih menerima

kehidupan. Jikapun mereka cemas terhadap

kematian disebabkan cemas pada proses bukan

pada kematian itu sendiri.

Sumber: Heber (1987 dalam Widyatuti, 1999)

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 8: Wawancara Spiritual

17

3. Kesehatan/Kesejahteraan Spiritual Versus Distres Spiritual

a. Kesehatan/Kesejahteraan Spiritual

Kesehatan spiritual atau disebut juga kesejahteraan spiritual

dimanifestasikan oleh perasaan “keseluruhannya hidup, berguna, penuh

makna” (Ellison, 1983 dalam Kozier et al, 2004). Menurut Pilch (1988,

dalam Kozier et al, 2004) kesehatan spiritual adalah suatu cara hidup

yang melihat kehidupan sebagai yang penuh makna, dan menyenangkan,

dan bebas untuk memilih setiap kesempatan yang sesuai dengan nilai-

nilai spiritual dan/atau keyakinan agama tertentu.

Manusia memelihara dan meningkatkan spiritualitasnya dengan berbagai

cara. Beberapa memfokuskan pada pengembangan internal dirinya atau

dunianya, sementara itu, yang lainnya lebih memfokuskan pada dunia luar

dirinya. Keterhubungan dengan internal diri dapat dicapai melalui dialog

internal dengan Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi melalui berdoa,

meditasi, atau melalui penganalisaan mimpi, berkomunikasi dengan alam,

atau melalui pengalaman inspirasi seni (seperti drama, musik, menari).

Ekspresi energi spiritual seseorang terhadap orang lain dimanifestasikan

melalui mencintai hubungan dengan orang lain, melayani orang lain,

kegembiraan, tertawa, keterlibatan dalam pelayanan keagamaan, melalui

persahabatan dan aktivitas bersama, rasa haru, empati, ampunan dan

harapan (Kozier et al, 2004).

Adapun karakteristik yang mengindikasikan kesehatan spiritual atau

kesejahteraan spiritual antara lain: perasaan damai dalam diri; haru pada

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 9: Wawancara Spiritual

18

orang lain; mempunyai rujukan hidup; bersyukur/berterimakasih;

apresiasi terhadap kesamaan dan keragaman; humor; arif/bijaksana;

dermawan/murah hati; mampu transendensi diri; dan mampu mencintai

tanpa syarat/ikhlas.

b. Distres Spiritual

Kata distres dalam Kamus Inggris Indonesia oleh Echols dan Shadily

(1997) dimaksudkan sebagai keadaan yang sukar, menyusahkan,

menyedihkan, atau menderita. Kozier et al (2004) menyatakan distres

spiritual (spiritual distress) merupakan suatu tantangan terhadap

kesehatan/kesejahteraan spiritual atau terhadap sistem keyakinan yang

memberikan kekuatan, harapan dan makna hidup.

Kozier juga mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan

atau berkontribusi terhadap distres spiritual seseorang meliputi masalah-

masalah fisiologis, konsen terkait dengan terapi/pengobatan, atau faktor

situasional. Problem fisiologis meliputi diagnosis penyakit terminal,

penyakit yang menimbulkan kecacatan/kelemahan, nyeri, kehilangan

bagian tubuh atau fungsi tubuh, atau kematian bayi saat lahir. Semantara

itu faktor yang berkaitan dengan terapi/pengobatan meliputi anjuran

transfusi darah, aborsi, pembedahan, pembatasan diet, amputasi bagian

tubuh, atau isolasi. Sedangkan faktor situasional meliputi kematian atau

penyakit pada orang tercinta/terdekat, ketiakmampuan seseorang dalam

mempraktikan ritual spiritual, atau perasaan-perasaan yang memalukan

ketika mempraktikannya (Carpenitto, 2002, dalam Kozier et al, 2004).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 10: Wawancara Spiritual

19

Adapun karakteristik distres spiritual menurut �orth American �ursing

Diagnosis Association (NANDA) International (2003, dalam Kozier et al,

2004) meliputi: mengekspresikan kurang/rendahnya harapan dan tujuan

dalam hidup, pengampunan diri; mengekspresikan dibuang/dijauhi oleh

Tuhan atau marah pada Tuhan; menolak berinteraksi dengan teman,

termasuk keluarga; perubahan yang mendadak dalam praktik-paktik

spiritual; meminta untuk melihat pemimpin keagamaan; dan tidak minat

terhadap alam dan tidak minat membaca literatur spiritual.

4. Konsep-Konsep yang Berkaitan Dengan Spiritualitas

Govier (2000) mengidentifikasi lima konsep terkait dengan spiritualitas yang

disebut sebagai 5R meliputi reason dan reflection (pencarian arti/makna dan

tujuan dalam kehidupan), religion (agama), relationship (hubungan), dan

restoration (kemampuan spiritualitas seseorang untuk mempengaruhi secara

positif pada aspek fisik, mengembalikan tubuh pada keseimbangan spiritual).

Sementara itu Kozier, et al (2004) menyatakan oleh karena spiritualtas

merupakan suatu refleksi dari pengalaman internal (inner experience) yang

diekspresikan secara individual, maka spiritualitas merepresentasikan dari

banyak aspek dalam diri manusia, antara lain agama, keyakinan/kepercayaan,

harapan, trensendensi, dan pengampunan. Beberapa diantara konsep di atas

akan diuraikan secara singkat berikut ini:

a. Agama

Agama merupakan sistem dari kepercayaan dan praktik-praktik yang

terorganisir. Agama menawarkan cara-cara mengekspresikan spiritual

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 11: Wawancara Spiritual

20

dengan memberikan panduan bagi yang mempercayainya dalam

merespon pertanyaan-pertanyaan dan tantangan-tantangan kehidupan.

Menurut Vardey (1995, dalam Kozier, et al., 2004) agama menawarkan:

1) rasa ikatan komunitas melalui persamaan dalam keyakinan; 2)

kumpulan studi dari kitab-kitab (seperti Taurat, Injil, al-Quran, atau yang

lainnya); 3) performan dari ritual; 4) penggunaan pelajaran dan praktik-

praktik, firman-firman, dan pengampunan; 5) cara-cara untuk

mendapatkan pelayanan spiritual seseorang (seperti berpuasa, berdoa, dan

meditasi). Selain itu, agama dapat menjadi sarana dalam mengekspresikan

spiritualitas melalui kerangka nilai, kepercayaan dan parktik ritual

(Labun, 1988; Langford, 1989; Ross, 1994 dalam Govier, 2000), dan

dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting

berkenaan isu kehidupan dan kematian.

Beberapa tradisi praktik dan ritual dalam agama sering terlihat pada

berbagai peristiwa/kejadian antara lain saat kelahiran, saat transisi dari

anak ke dewasa, dalam pernikahan, sakit dan kematian. Perilaku dalam

beragama seringkali pula dipengaruhi oleh budaya, dan dapat pula

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam berpakaian,

makan, interaksi sosial, menstruasi dan hubungan seksual.

Perkembangan beragama individu merujuk pada penerimaan secara

spesifik atas kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan dan ritual-ritual.

Perkembangan agama juga dapat sejalan atau tidak sejalan dengan

perkembangan spiritualitas. Sebagai contoh, doa sehari-hari seorang

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 12: Wawancara Spiritual

21

muslim membawa serta atau sejalan dengan kepercayaan yang

diyakininya ke dalam hubungan langsung dalam kehidupannya sehari-

hari. Semetara itu, seorang agnostik, yaitu seseorang yang meragukan

eksistensi Tuhan, tidak meyakini Tuhan itu ada. Sedangkan seorang ateis

adalah seseorang yang tidak percaya akan Tuhan. Monoteisme

mepercayai eksistensi satu Tuhan. Sebaliknya, politeisme mempercayai

lebih dari satu Tuhan. Moral dan kode etik dari seorang agnostik dan ateis

tidak diturunkan dari kepercayaan atau keyakinan teistik (Kozier, et al.,

2004).

b. Keyakian/keimanan

Keimanan adalah kepercayaan atau komitmen kepada sesuatu atau

seseorang. Fowler (1981, dalam Kozier, et al, 2004) menjelaskan

keimanan dapat ada baik pada orang yang beragama maupun orang yang

tidak beragama. Keimanan memberikan makna hidup, memberikan

kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan dalam kehidupannya.

Untuk klien yang sedang sakit, keimanan (terhadap Tuhan, Allah, atau

lainnya) dalam diri klien sendiri, dalam setiap anggota tim kesehatan, atau

pada keduanya, dapat memberikan kekuatan dan harapan.

c. Harapan

Harapan adalah satu konsep yang termasuk dalam spiritualitas. Harapan

adalah inti dalam kehidupan dan merupakan dimensi esensial bagi

keberhasilan dalam menghadapi dan mengatasi keadaan sakit dan

kematian (Miller, J.F., 2007). Stephenson (1991, dalam Kozier, et al,

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 13: Wawancara Spiritual

22

2004) mendefinisikan harapan sebagai suatu proses antisipasi yang

melibatkan interaksi pemikiran, tindakan, perasaan dan relasi, yang

arahkan pada masa datang untuk pemenuhan akan kepribadian yang

penuh makna. Jika tidak mempunyai harapan dan tidak ada yang

memberikan harapan tersebut, maka sakit yang dialami, dirasakan seperti

bekembang memburuk lebih cepat.

d. Trensendensi

Transendensi adalah salah satu aspek penting dalam spiritualitas. Istilah

transendensi (transcendence) seringkali digunakan secara tumpang tindih

dengan transendensi diri (self-transcendence). Coward (1990, dalam

Kozier, et al, 2004) mendefinisikan stransendisi diri sebagai kemampuan

individu untuk keluar dari dirinya sendiri, memperluas diri sendiri

melebihi konsen personal dan menempatkannya pada perspektif, aktivitas

dan tujuan kehidupan yang lebih luas. Sedangkan transendensi

menurutnya adalah pikiran yang melibatkan pengenalan seseorang bahwa

ada sesuatu lainnya atau yang lebih besar (lebih baik, lebih tinggi, lebih

hebat) dari pada diri sendiri dan melihat serta menilai yang lebih

besar/lebih tinggi lainnya itu, apakah itu kekuatan ataupun nilainya).

Sementara itu Seaward (2006, dalam Yampolsky, 2008) transendensi

adalah persepsi individu tentang dirinya yang menjadi bagian dari sesuatu

yang lebih tinggi dan lebih luas dari keberadannya.

e. Ampunan

Konsep ampunan (forgiveness) mendapatkan perhatian meningkat dari

para profesinal pelayanan kesehatan. Bagi banyak klien, sakit atau

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 14: Wawancara Spiritual

23

kecacatan berkaitan dengan rasa malu dan rasa bersalah. Masalah

kesehatan diinterpretasi sebagai hukuman atas dosa dimasa lalu (seperti

melakukan hubungan sek sebelum menikah adalah penyebab dari kanker

payudara yang di alaminya). Klien yang sedang menghadapi kematian

dapat mencari atau meminta pengampunan dari yang lain termasuk dari

Tuhan. Mickley dan Cowles (2001, dalam Kozier, et al, 2004) dalam

penelitiannya menganjurkan pada perawat yang mempunyai peran

penting, agar membantu klien dengan memahami proses pengampuan ini

dan memenuhi kebutuhan spiritualitas klien melalui pengampunan ini.

5. Pengaruh Spiritualitas pada Kesehatan, Kesejahteraan dan Kualitas Hidup.

Spiritualitas mempunyai peranan penting bagi kesehatan, kesejahteraan dan

kualitas hidup individu. McSherry (1998) menyatakan bahwa dimensi

spiritual mencoba mengharmonisasi universalitas, mendorong seseorang

untuk melakukan berbagai upaya yang lebih besar dan kuat, dan menjadikan

lebih fokus untuk melakukan yang terbaik ketika seseorang menghadapi

keadaan stres emosional, penyakit fisik dan bahkan kematian. Serupa dengan

pernyataan di atas, spiritual juga disebut sebagai faktor integratif dan energi

vital bagi manusia (Nagai-Jacobson & Burkhardt, 1989; Vance, 2001;

Waldfogel dalam Haskell, 2003).

Survey yang dilakukan Gallup dan Lindsay (1999) pada tahun 1998,

didapatkan 82% orang Amerika mempersepsikan spiritualitas dan

pertumbuhan spiritual menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Fahey,

Insel, dan Roth, (2003 dalam Yampolsky, 2008) menyatakan bahwa

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 15: Wawancara Spiritual

24

spiritualitas merupakan elemen penting dari kesejahteraan dan kualitas hidup.

Selain itu, Graham, et al (2001, dalam Yampolsky, 2008) menemukan bahwa

mahasiswa yang memiliki afiliasi spiritualitas baik lebih mudah

menggunakan perilaku koping adaptif ketika mengatasi stres yang terjadi dari

pada mahasiswa yang tidak memiliki afiliasi spiritualitas yang baik.

Dalam beberapa literatur, spiritualitas dikatakan mempunyai peran penting

baik bagi kesehatan fisik maupun mental. Manfaat spiritualitas bagi

kesehatan mental, dikemukakan antara lain oleh Greenberg (2004) bahwa

tingkat kesejahteraan beragama memberikan manusia sumber dukungan

emosional tambahan. Selain itu Corrigan, et al (2003) melakukan pengukuran

eksistensi kesejahteraan beragama, transendensi, kesehatan dan kesejahteraan

pada sekelompok besar orang dengan penyakit mental berat, dan hasilnya

menyimpulkan bahwa tingginya tingkat spiritualitas berasosiasi dengan

peningkatan kesejahteraan psikologis dan penurunan gejala-gejala penyakit

mental.

Sementara itu, pengaruh spiritualitas pada kesehatan dan kesejahteran fisik,

diperlihatkan dari hasil studi yang menyimpulkan bahwa tingkat spiritualitas

yang tinggi berasosiasi dengan hasil yang positif pada individu dengan

penyakit kardiovaskuler dan kanker (Musick, et al, 2000, dalam Yampolsky,

2008). Gordon et al (2002, dalam Yampolsky, 2008) mewawancarai 40

wanita dengan berbagai macam penyakit kronis dan menemukan bahwa

orang dengan tingkat spiritualitas yang tinggi, dalam konteks

keberagamaannya, memiliki koping lebih baik.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 16: Wawancara Spiritual

25

Spiritualitas juga berkontribusi dalam memilih perilaku-perilaku koping

dalam berberapa cara. Spiritualitas sendiri diketahui sebagai hal yang melakat

pada konstruksi dari saling ketersambungan (interconnectedness) dengan

dunia, sistem nilai universal, dan partisipasi dalam aktivitas yang

menyehatkan (Seaward, 2006). Prinsip-prinsip ketersambungan

(connectedness) antara elemen subyektif, sosial dan global dari eksistensi

individu menghasilkan rasa tanggungjawab, yang akan mempengaruhi

pemilihan koping seseorang dalam mempertahankan integritas dari prinsip-

prinsip dan hubungan-hubungan ini (Seaward, 2006). Fitzpatrick (2007)

melaporkan bahwa penggunaan aktivitas spiritual selama 1 tahun mempunyai

hubungan yang signifikan dengan kesehatan mental dan kualitas hidup dalam

sebuah studi longitudinal terhadap 905 klien dewasa penderita HIV positif.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa spiritualitas mempunyai pengaruh

penting pada kesehatan, kesejahteraan dan kualitas hidup klien.

6. Mekanisme Fisiologis yang Terlibat Dalam Spiritualitas dan Kesehatan

Seybold (2007) menyatakan bukanlah sebuah kejutan bahwa adanya efek

ritual, meditasi, berdoa, atau potensi keagamaan lainnya atau praktik spiritul

yang akan terekspresi melalui mekanisme fisik. Religiositas dan spiritualitas

(R/S), seperti kebanyakan realita lainnya, merupakan hal yang multilevel

(berbagai tingkatan) atau multi strata. Sebagai akibatnya, untuk

menginvestigasi aspek realita dari R/S memerlukan penggunaan multi

metode. Untuk melihat dan mengidentifikasi mekanisme di tingkatan fisiologi

atau biologi dari realita yang mungkin mendasari adanya hubungan antara

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 17: Wawancara Spiritual

26

R/S dan kesehatan (fisik atau mental) adalah tidak mungkin menghilangkan

mekanisme lain yang bekerja di level lainnya, seperti psikologi, sosial atau

teologikal (Looy et al, 2005 dalam Seybold, 2007)).

Terdapat berbagai mediator yang terkait R/S dan bagaimana efeknya pada

kesehatan (George et al, 2002). George mencontohkan, partisipasi keagamaan

mendorong kebiasaan lebih sehat, yang dalam jangka panjang akan

meningkatkan umur panjang dan menurunkan kesakitan. Beberapa kelompok

keagamaan melarang perilaku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan,

seperti larangan penggunaan tembakau.

Agama juga mengajarkan agar manusia merawat/memelihara fisik/tubuhnya

dengan menerapkan gaya hidup sehat, latihan secara teratur, dan intake

nutrisi atau diet yang baik. Selain aspek fisik, agama juga memerintahkan

agar memelihara aspek jiwa/psikologis. Dalam al-Qur’an misalnya

diakatakan “sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwanya dan

sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya (QS. AsSyam: 9-10).

Selain itu, dukungan sosial juga merupakan mediator lain yang turut terlibat

dalam hubungan R/S dengan kesehatan, dan telah lama di akui bahwa

dukungan sosial mempunyai efek protektif pada kesehatan (Kiecolt-Glaser et

al, 2002; Uchino, 2006, dalam Seybold, 2007). Mediator lainnya yang juga

berperan menjelaskan efek hubungan R/S pada kesehatan adalah berbagai

sumber psikososial seperti harga diri dan efikasi diri (George et al, 2002).

Bulbulia (2006, dalam Seybold 2007) mengkritisi hubungan R/S dengan

ksehatan dengan mengajukan pertanyaan dimana jalur biologikal/fisiologikal

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 18: Wawancara Spiritual

27

dan mekanisme untuk mengukur efek R/S pada penyembuhan? Berkaitan

dengan pertanyaan tersebut Commission on Children at Risk (2003)

melakukan telaah terhadap berbagai literatur neuroscientific, fisiologi, dan

sosiologi dalam menginvestigasi penyebab keterbelakangan mental dan

perilaku sehat anak-anak America, dan menyimpulkan bahwa manusia lahir

untuk membuat koneksi-koneksi dengan orang lain dan nilai-nilai moral dan

spiritual. Manusia akan menderita secara fisik, psikologi, dan perilaku jika

hubungan-hubungan ini tidak terjadi/tidak dikembangkan (Seybold, 2007).

Sejauh mana jalur yang terlibat dalam hubungan antara R/S dan kesehatan

dikemukakan Seybold (2007). Seybold mengidentifikasi beberapa

kemungkinan jalur (pathways) yang dapat memediasi efek religiositas dan

spiritualitas (R/S) pada kondisi fisik seseorang, seperti diilustrasikannya pada

gambar 2.1.

Gambar 2.1

Mekanisme Fisiologis dan Efek Religiositas/Spiritualitas pada Kesehatan

Sumber: Seybold, K.S. (2007). Physiological mechanisms involved in

religiosity/spirituality and health. Journal behavior medicine.

30:303–309)

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 19: Wawancara Spiritual

28

Untuk menjelaskan bagaimana jalur yang mendasari hubungan R/S pada

kesehatan, seperti pada gambar di atas, akan diuraikan beberapa diantaranya

yaitu keterlibatan sistem saraf pusat dan neurotransmiter, dan keterlibatan

sistem endokrin dan imun.

a) Sistem Saraf Pusat dan Neurotransmiter

Beberapa studi memperlihatkan keterlibatan otak dalam pengalaman

keagamaan. Newberg et al (2001, 2006), sebagai contoh, memberikan

bukti/fakta dari hasil kerja mereka, dan dari studi literatur, ditemukan

adanya peningkatan aliran darah bilateral dalam kortek frontal (frontal

cortices), cingulate gyrus, dan talamus (thalami) dan penurunan aliran

darah ke kortek parietal superior (superior parietal cortices) selama

meditasi dan berdoa. Kortek parietal mengandung area somatosensori

primer (primary somatosensory area), sebuah bidang dari jaringan neural

yang mendandung sel-sel yang bertanggungjawab untuk

merepresentasikan tubuh. Aktivitas di dalam kortek frontal berhubungan

dengan meningkatkan fokus perhatian yang dibutuhkan saat berdoa dan

meditasi, sementara penurunan aktivitas terjadi pada kortek parietal.

Roberts (2006 dalam Seybold, 2007) menyatakan meditasi dapat

menghasilkan peningkatan kadar gamma aminobutyric acid (GABA),

melatonin, dan kadar serotonin, dan beberapa substansi lain (seperti, LSD,

psilocybin, mescaline) yang mempengaruhi kesadaran spiritual dengan

cara menghasilkan ilusi, pengalaman mistis, dan kesenangan/kegembiraan

religius melalui peningkatan perubahan pada sistem serotonin dalam

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 20: Wawancara Spiritual

29

otak. Selain itu, Davidson et al (2003) dan Kang et al (1991) dalam

Seybold (2007) menambahkan bahwa selama meditasi terdapat

peningkatan aktivitas hemisfer kiri, dan peningkatan respon imun yaitu

titer antibodi dan aktivitas sel pembunuh (natural killer cell activity).

Emosi dapat mempengaruhi kesehatan melalui berbagai cara/jalur

meliputi jalur sistem saraf pusat, sistem imun, endokrin dan

kardiovaskuler (Kiecolt-Glaser et al, 2002). Efek positif dikaitkan dengan

penurunan morbiditas dan nyeri (Cohen dan Pressman, 2006), dan

penguatan nilai-nilai dan keyakinan personal, yang tidak hanya terbatas

pada praktik keagamaan tetapi juga bagian-bagian dari refleksi

keagamaan, penurunan respon stress neuroendokrin (seperti, kadar

kortisol) dan aktif sebagai penyangga (as a buffer) stres psikologis

(Creswell et al, 2005). Strategi lainnya seperti relaksasi dan/atau meditasi

(misalnya, yoga) diketahui mengubah aliran darah regional dan

metabolisme glukosa (Herzog et al, 1990–1991; Jevning et al, 1996) dan

menurunkan risiko koronari (coronary risk) (Patel et al, 1985).

Hal serupa dikemukakan McNamara, et al (2003) berdoa dan praktik

keagamaan lainnya seperti meditasi mengaktivasi berbagai regio otak,

meliputi struktur lobus frontal, dimana aktivasi pada struktur tersebut

dapat membantu seseorang dalam meregulasi fungsi sistem saraf otonom

dengan cara menghubungkan antara lobus frontal dan limbik, hipotalamus

dan amygdala nuclei. Regulasi seperti ini akan memungkinkan seseorang

terdorong untuk berdoa atau bermeditasi dalam mengatasi stres yang akan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 21: Wawancara Spiritual

30

berefek sekunder pada kesehatan fisik maupun mental individu (Masters

dan Spielmans, 2007).

Terdapat hubungan dua arah antara sistem saraf pusat dan sistem imun

(Ader dan Kelley, 2007; Kaplin dan Bartner, 2005). Praktik seperti

meditasi menghasilkan perubahan tidak hanya pada fungsi otak, tetapi

juga pada sistem imun (Davidson et al, 2003), dan pada sistem sistem

saraf otonom dapat menurunkan tekanan darah, denyut jantung,

kecemasan dan panik (Kabat-Zinn et al, 1992).

Dopamin juga berimplikasi pada kognitif dan perilaku keagamaan,

dimana beberapa darinya tergantung pada sistem prefrontal yang secara

fungsional dipengaruhi kuat oleh aktivitas dopamin. Kortek prefrontal,

suatu area dari lobus frontal yang berada belakang dan diatas kedua mata,

berimplikasi dalam mengontrol impuls, membuat keputusan, dan

penilaian moral. Regio ini menerima input dopamin dari substantia nigra

dan area segmental ventral (midbrain structures). Perubahan-perubahan

pada fungsi prefrontal berkaitan dengan perubahan-perubahan dalam

perilaku keagamaan (religious behavior), dan perubahan pada kadar

dopamin berkorelasi secara positif dengan variasi dalam religiositas

(McNamara et al, 2006). Kehilangan religiositas yang signifikan juga

dilaporkan pada pasien dengan penyakit Parkinson, suatu penyakit yang

ditimbulkan oleh hilangnya aktivitas dopamin di area sentral dan otak

depan (McNamara et al, 2006). Kontribusi potensi dopamin pada perilaku

keagamaan sangat penting perannya dalam hubungan antara R/S dan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 22: Wawancara Spiritual

31

kesehatan, dan neuron dopamin (dopamine neurons) mempunyai

pengaruh regulator pada sistem dalam tubuh (seperti, hipotalamus,

otonom, dan endokrin) yang mempengaruhi respon tubuh terhadap stres.

Dalam rangka menjawab pertanyaan mengapa orang menggunakan

praktik-praktik keagamaan (seperti, ritual, berdoa, meditasi, beribadah,

dan lain-lain) sebagai pilihan pertama, McNamara (2002) meyakini

bahwa mereka melakukannya karena praktik keagamaan mengaktivasi

suggests lobus frontal (terutama kortek prefrontal) dan berasosiasi dengan

fungsi-fungsi kognitif seperti dengan kontek sosial, membangun makna,

dan optimisme.

Lobus frontal berasosiasi dengan perilaku sosial tertentu seperti empati,

memberikan pandangan, dan memaafkan. Pasien dengan kerusakan

struktur lobus frontal memperlihatkan perilaku yang berorientasi tujuan

(goal-oriented behaviors), pengendalian impuls (impulse control)dan

kesadaran diri (self-awareness). Teori berfikir (theory of Mind) juga

berkaitan dengan perkembangan lobus frontal (terutama kortek prefrontal)

dan berfikir menjadi penting dalam perkembangan keyakinan dan sikap

keagamaan (McNamara, 2002).

Fakta terbaru dilaporkan dalam pertemuan tahunan masyarakat neurosains

2006 (2006 Society for �euroscience Annual Meeting) meyakini bahwa

terbatasnya aktivitas pada lobus frontal, terutama kortek prefrontal, dapat

berlanjut pada buruknya dalam membuat keputusan dan mengontrol

impuls yang dapat berlanjut lagi pada kambuhnya perilaku kecanduan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 23: Wawancara Spiritual

32

obat (Patoine, 2006). Lebih lanjut Patoin menyimpulkan bahwa R/S

berkorelasi secara negatif dengan pengunaan obat.

Afiliasi salah satu aspek sosial, berperan penting bagi kelangsungan hidup

seseorang. Pada afiliasi terdapat keterlibatan mekanisme biobehavioral,

yang dapat memfasilitasi perilaku sosial seseorang. Taylor (2006)

mengemukakan suatu model yang memperkenalkan bahwa afiliasi adalah

suatu alternatif alamiah dalam reaksi melawan-atau-lari pada respon stres

dan berada pada pengaruh neurosirkuit yang sama seperti yang terlibat

pada perilaku umum lainnya. Sirkuit ini meliputi sektor dorsolateral dan

orbitofrontal dari kortek prefrontal, seperti juga amygdala (Davidson et al,

2000).

Afiliasi sosial, menurut model Taylor, berperan menurunkan respon stres

tubuh melalui aktivasi hormon (misalnya, oksitosin) seperti juga sistem

dopaminergik dan opioid, sistem yang sama yang terlibat pada pujian dan

penguatan (reward and reinforcement). Sistem reward, menurunkan

aktivasi sistem saraf simatis dan aksis hipotalamus–pituitary–

adrenal/HPA (memberikan mekanisme dimana R/S menimbulkan

manfaat pada kesehatan fisik dan mental. Dukungan spiritual mempunyai

efek penyangga stres (stress-buffering effect) (Maton, 1989), dan

dukungan sosial secara umum bermanfaat pada kesehatan secara

keseluruhan (Kiecolt-Glaser et al, 2002).

Uchino (2006) mengembangkan suatu model yang lebih komprehensif

tentang bagaimana hubungan sosial pengaruhnya pada kesehatan melalui

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 24: Wawancara Spiritual

33

efek situasi tertentu pada mood, harga diri, dan perasaan kontrol personal.

Proses fisiologis ini, mempengaruhi kesehatan melalui sistem imun,

endokrin dan kardiovaskuler. Uchino menekankan pentingnya

kemampuan dukungan sosial pada pengaruh sistem-sistem ini dan

perubahan pada respon tubuh terhadap stres. Dukungan sosial berkorelasi

dengan respon imun yang lebih kuat dan respon kardiovaskuler yang

lebih baik (Uchino, 2006).

b) Sistem Endokrin dan Sistem Imun

Reaktivitas kardiovaskular berhubungan dengan meningkatnya aktivasi

sistem katekolamin (seperti, dopamin, norepineprin, dan epineprin) dan

dengan perubahan-perubahan pada fungsi imun. Reaktivitas

kardiovaskuler pada stres sedang meningkatkan pelepasan katecholamin,

dan menurunkan regulasi sistem imun, yang selanjutnya berpotensi

menghasilkan kesehatan yang negatif (Kiecolt-Glaser dan Glaser, 1995).

Telah diketahui bahwa terdapat efek stres jangka panjang pada sistem

kardiovaskular, metabolik, and imun, juga pada otak (McEwen, 1998).

Telah pula diketahui bahwa praktik-praktik keagamaan atau

nonkeagamaan dapat memperbaiki respon tubuh terhadap stres, yang pada

akhirnya berefek positif pada kesehatan.

Riset terbaru (George et al, 2002) meyakini bahwa religiositas secara

positif berkorelasi dengan perilaku sehat dan gaya hidup yang dipilih

(seperti, menghindari penyalahgunaan obat dan alkohol, menghindari

merokok dan sek berrisiko, perilaku kunjungan kepada dokter). Respon

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 25: Wawancara Spiritual

34

tubuh terhadap suatu stresor melibatkan sistem saraf simpatis, bagian dari

sistem saraf otonom yang bertanggungjawab terhadap kesiagaan (seperti,

peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, stimulasi epineprin, dan

sebagainya) dan aksis hipotalamus–pituitari–adrenal (HPA). Aksis HPA

ini melepaskan corticotrophin-releasing hormone dari hipotalamus yang

menstimulasi pituitari anterior. Dalam berrespon terhadap stimulasi ini,

pituitari anterior mensekresi hormon adrenokortikotropik yang beredar

melalui sirkulasi umum, dan menyebabkan kortek adrenal melepaskan

glukokortikoid (seperti, kortisol), hormon yang mempengaruhi

metabolisme glukose (meningkatkan ketersediaan energi), modulasi

sistem imun (Marques-Deak et al. 2005), dan secara langsng

mempengaruhi otak, terutama hipokampus.

Hipokampus membantu meregulasi respon tubuh terhadap stresor dengan

memberikan umpan balik negatif pada pituitari. Hipokampus juga

merupakan sutau area otak yang terlibat dalam pembentukan tipe memori

tertentu. Paparan yang lama terhadap suatu stresor dapat menimbulkan

hilangnya sel-sel dan perubahan-perubahan lainnya seperti perubahan

plastisitas pada dalam hipokampus (Conrad, 2006; Czeh et al, 2005;

Russell, 2006; Sapolsky Uno et al, 1990; Viltart et al, 2006). Perubahan-

perubahan pada hipokampus dapat mempengaruhi memori dan

menurunkan umpan balik negatif normal yang diberikan dari hipokampus

ke aksis HPA yang selanjutnya menghilangkan penghambatan respon

stres dan hiperaktivitas aksis ini. Hiperaktivitas tersebut berkaitan dengan

terjadinya depresi dan bunuh diri (Lopez et al, 1997).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 26: Wawancara Spiritual

35

Respon stres yang salah dapat juga menimbulkan gangguan autoimun dan

inflamatori dan menurunkan imunitas seluler (McEwen, 1998) melalui

beberapa interaksi neural dan hormonal antara berbagai struktur otak

(seperti hipotalamus), sistem endokrin, dan sel-sel dan organ dari sistem

imun (Ader dan Kelley, 2007; Kaplin dan Bartner, 2005; Marques-Deak

et al, 2005). Proses lain (seperti, meningkatnya dukungan sosial dan

meningkatnya keterampilan koping) berperan dalam menurunkan beban

individu dan berguna dalam memelihara homeostasis atau tingkatan

fisiologis yang optimal (Ader dan Kelley, 2007).

Hipokampus juga berperan dalam pembentukan memori deklaratif (yaitu

memori yang dapat dideklarasikan atau dilaporkan pada orang lain,

seperti menyampaikan keinginan untuk berlibur seperti yang dialami

tahun lalu. Hipokampus juga menghubungkan memori dan emosi.

Kesadaran fisiologis (physiological arousal) adalah suatu komponen

emosi dan dapat mempengaruhi hipokampus dan memproses memori

dengan cara menghubungkan antara hipokampus dan amygdala, suatu

regio otak yang terlibat dalam emosi (McGaugh, 2000). Stres dapat

meningkatkan kesadaran fisiologis dan mempengaruhi performa emosi.

Telah diketahui bahwa terdapat hubungan kesadaran dan emosi.

Kedasaran moderat dapat meningkatkan memori, tetapi kesadaran yang

ekstrim (misalnya sebagai bagian dari respon stres) dapat merusak

memori. Selain itu, sitokin (cytokines—protein penyerta komunikasi antar

sel) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun memainkan peran penting

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 27: Wawancara Spiritual

36

dalam pembelajaran dan memori melalui efeknya pada hipokampus

(Besedovsky dan del Rey, 2007), dan dalam pembelajaran dan proses

memori yang terlibat pada bagaimana seseorang menerima, memahami,

dan pada akhirnya berrespon terhadap stresor tertentu.

Dalam bukunya “Handbook of Religion and Health”, Koenig,

McCullough, dan Larson (2001) melaporkan temuan dari studinya tentang

efek R/S pada mental dan kesehatan fisik. Keyakinan dan praktik yang

berhubungan dengan R/S umumnya berhubungan secara positif dengan

kesehatan yang lebih baik, harapan, optimisme, tujuan dan arti, adaptasi

dan koping dengan kehilangan, dan dukungan sosial. Hubungan negatif

dilaporkan antara R/S dan kesepian, depresi, bunuh diri, dan kecemasan.

R/S juga berhubungan dengan penurunan penyakit jantung, hipertensi,

morbiditas, dan mortalitas, dan peningkatan fungsi imun dan endokrin.

B. Asuhan Spiritual

1. Definisi Asuhan Spiritual

Asuhan spiritual didefinisikan sebagai praktik dan prosedur yang dilakukan

oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual guna menopang kesehatan

dan kesejahteraan klien (Oswald, 2004). Sementara itu Hubert (1963, dalam

Nelson, 1997) mendefiniskan asuhan spiritual sebagai cara-cara dalam

membantu pasien untuk memahami lebih baik makna/arti dan tujuan hidup,

memberikan keyakinannya pada Tuhan, meningkatkan kapasitas pasien untuk

mencintai, dan memberikan dukungan lebih jauh dalam nilai-nilai spiritual.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 28: Wawancara Spiritual

37

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asuhan spiritual adalah asuhan

yang dilakukan oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual guna

menopang kesehatan dan kesejahteraan klien dengan cara membantu pasien

untuk memahami lebih baik makna/arti dan tujuan hidup, memberikan

keyakinannya pada Tuhan, meningkatkan kapasitas pasien untuk mencintai,

dan memberikan dukungan lebih lanjut atas nilai-nilai spiritual klien.

2. Peran Perawat Dalam Asuhan Spiritual

Dalam Virginia Henderson International Nursing Library (2008) peran

perawat dalam asuhan spiritual dilakukan melalui peran pendampingan

(accompanying), pemberian bantuan (helping), kehadiran (presencing),

penghargaan (valuing), dan peran sebagai perantara (intercessory roles).

Sementara itu Peterson (2007, 28) menjelaskan peran perawat terkait dengan

asuhan spiritual adalah mengidentifikasi kebutuhan spirutual klien melalui

pengkajian (assessment), merumuskan diagnosa keperawatan terkait

kebutuhan spiritual, merencanakan, melakukan intervensi dan melakukan

evaluasi terhadap kebutuhan spiritual klien.

Lebih lanjut Peterson menyatakan bahwa pendampingan, membantu dalam

berdoa, memberikan/menyediakan artikel-artikel keagamaan bagi pasien

merupakan bagian dari peran pemberian intervensi keperawatan dalam

asuhan spiritual. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran

perawat dalam konteks asuhan spiritual adalah paralel dengan proses

keperawatan, yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 29: Wawancara Spiritual

38

keperawatan, menyusun perencanaan dan intervensi keperawatan serta

mengevaluasi kebutuhan spiritual klien.

3. Pengkajian Kebutuhan Spiritual Pasien

a. Kebutuhan Spiritual

Setiap orang mempunyai dimensi spiritual dan semua klien mempunyai

kebutuhan yang merefleksikan spiritualitasnya. Kebutuhan ini seringkali

menonjol pada saat sakit atau pada saat terjadi krisis kesehatan lainnya.

Menurut Kozier et al (2004) klien yang memiliki keyakinan spiritual baik,

dapat menemukan atau merasakan bahwa keyakinannya ditantang oleh

situasi kesehatannya, sementara orang dengan keyakinan spiritual tidak

baik, akan merasakan secara tiba-tiba berhadapan dengan berbagai

pertanyaan yang menantang terkait makna dan tujuan hidup. Oleh

karenanya perawat perlu sensitif terhadap indikasi-indikasi kebutuhan

spiritual klien dan berrespon secara tepat. Pemenuhan kebutuhan spiritual

klien dapat juga meningkatkan perilaku koping dan memperluas sumber-

sumber kekuatan pada klien.

Stallwood dan Stoll (1975, dalam Peterson, G.A., 1997) menyatakan

kebutuhan spiritual sebagai faktor yang penting untuk mempertahankan

dan/atau memelihara hubungan pribadi yang dinamis dari seseorang

dengan Tuhan dan hubungan berkaitan dengan pengampunan, cinta,

harapan, kepercayaan, dan makna dan tujuan dalam hidup. Highfield dan

Cason (1983, dalam Nelson, 1997) mendefinisikan kebutuhan spiritual

sebagai kebutuhan yang meliputi penemuan jawaban terhadap

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 30: Wawancara Spiritual

39

pertanyaan-pertanyaan tentang makna/arti dari kehidupan, sakit dan

kematian. Sementara itu, Forbis (1988, dalam Nelson, 1997) menjelaskan

kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan memberi dan menerima cinta

kasih, merealisasikan harapan, menemukan makna atau arti hidup, sakit

dan kematian.

Hampir serupa dengan definisi di atas, Fish dan Shelly (1988, dalam

Nelson, 1997) mendefinisikan kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan

yang meliputi tiga kategori, yaitu kebutuhan untuk menemukan makna

dan tujuan hidup, kebutuhan untuk dicintai dan berhubungan, dan

kebutuhan akan ampunan. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kebutuhan

untuk menemukan makna dan tujuan hidup diasumsikan bahwa setiap

perubahan dalam kehidupan yang dialami mendorong individu untuk

memahami apa makna/arti dibalik pengalamannya itu. Sedangkan

kebutuhan untuk dicintai dan berhubungan, merujuk pada kebutuhan

untuk mengembangkan dan memelihara hubungan kemanusiaan yang

signifikan.

Sementara itu, kebutuhan akan ampunan merupakan kebutuhan akan

ampunan dari Tuhan, diri sendiri dan orang lain, serta kebebasan individu

untuk mencitai Tuhan, diri sendiri dan orang lain. Kozier et al (2004)

mencontohkan kebutuhan spiritual tersebut antara lain: kebutuhan akan

mencintai dan dicintai (love); kebutuhan akan harapan (hope); kebutuhan

akan kepercayaan (trust); kebutuhan akan ampunan; kebutuhan untuk

dihormati dan dihargai; kebutuhan untuk bermartabat; kebutuhan akan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 31: Wawancara Spiritual

40

hidup yang penuh arti/makna; kebutuhan akan kreatifitas; kebutuhan

untuk berkoneksi dengan Tuhan atau sesuatu yang Maha Tinggi; dan

kebutuhan untuk memiliki suatu komunitas.

b. Pengkajian Kebutuhan Spiritual

Pengkajian merupakan kegiatan pengumpulan data tentang status

kesehatan klien, termasuk aspek spiritual klien (Anonymous, 2008). Data

spiritual klien didapat bersamaan dengan ketika mengkaji riwayat

keperawatan—khususnya pada aspek preperensi atau orientasi keagamaan

klien—melalui wawancara. Selain melalui wawancara, data spiritualitas

juga dapat diperoleh melalui observasi klinis terhadap perilaku klien,

verbal, mood, dan sebagainya. Kozier et al (2004) mengingatkan satu hal

ketika mengkaji spiritualitas klien, agar perawat jangan pernah berasumsi

bahwa klien mengikuti semua praktik agama yang dinyatakan klien.

Pengkajian spiritual menurut Kozier et al (2004) mencakup dua kelompok

utama, yaitu pengkajian riwayat keperawatan (nursing history) dan

pengkajian klinik (clinical assessment). Masing-masing kelompok

pengkajian ini akan diuraikan berikut ini.

1) Riwayat Keperawatan

Komisi kerjasama akreditasi organisasi pelayanan kesehatan (JCAHO,

2000) memerintahkan setiap pusat-pusat pelayanan kesehatan untuk

melakukan pengkajian keyakinan dan praktik spiritual klien yang

masuk dan dirawat di tempat tersebut. Terkait pengkajian ini, Taylor

(2002, dalam Kozier et al, 2004) sedikitnya merekomendasikan dua

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 32: Wawancara Spiritual

41

pendekatan pengkajian spiritual. Semua klien dapat diberikan satu

atau dua pertanyaan umum (seperti “apakah keyakinan dan praktik

spiritual penting bagi anda sekarang, saat anda sedang sakit?”

“Bagaimana tim pelayanan kesehatan anda dapat memberikan

dukungan spiritualitas pada anda?”). Taylor juga menyatakan hanya

pada klien yang memperlihatkan beberapa kebutuhan spiritual yang

tidak sehat atau yang berrisiko mengalami distres spiritual yang

menjadi subjek untuk dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut.

Sedangkan Kozier et al (2004) menyarankan pengkajian awal spiritual

lebih baik dilakukan pada akhir proses pengkajian, atau setelah

mengkaji aspek psikososial. Saran itu didasarkan oleh karena pada

saat tersebut hubungan saling percaya antara perawat dengan

klien/orang terdekat telah terbangun. Untuk itu pula disarankan agar

perawat perlu meningkatkan sensitivitasnya, menciptakan suasana

menyenangkan dan saling percaya (rapport), yang akan lebih

meningkatkan keberhasilan selama pengkajian spiritualitas klien.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat wawancara mengkaji

spiritual klien dicontohkan oleh Kozier et al (2004) antara lain:

a) Adakah praktik keagamaan tertentu yang penting bagi anda? Jika

ada, dapatkah anda menceritakannya kepada saya?

b) Bagaimana sesuatu dapat mengganggu praktik keagamaan anda?

c) Bagaimana keyakinan/keimanan anda menolong/bermanfaat bagi

anda? Apakah cara-cara itu penting bagi kebaikan anda sekarang?

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 33: Wawancara Spiritual

42

d) Dengan cara bagaimana saya dapat mensuport/memberi dukungan

pada spiritual anda? Misalnya, berkenankan anda, jika saya

membacakan buku doa kepada anda?

e) Apakah anda menginginkan dikunjungi pemuka agama di rumah

sakit ini? apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan

anda sekarang? Apa yang membuat anda nyaman selama masa-

masa sulit ini?

Sementara itu, Stoll (1989, dalam Kozier et al, 2004) menganjurkan

pengkajian aspek spiritual klien diarahkan untuk menggali data

tentang konsep ketuhanan klien, sumber-sumber harapan dan

kekuatan, ritual-ritual dan praktik keagamaan, dan persepsi hubungan

antara keyakinan spiritual dan kesehatan.

2) Pengkajian klinik

Isyarat preferensi spiritual dan keagamaan, kekuatan, konsen atau

distres spiritual dapat ditampilkan oleh satu atau beberapa dari berikut

ini (Shelley & Fish, 1988; Sumner, 1998, dalam Kozier et al, 2004):

a) Lingkungan

Apakah klien mempunyai kitab suci atau dilingkungannya

terdapat kitab suci atau buku doa lainnya, literatur-literatur

keagamaan, medali atau penghargaan keagamaan,

simbol/lambang-lambang keagamaan lainnya (seperti tasbih, salib,

dan sebagainya) di ruangan? Apakah gereja atau masjid

mengirimkan bunga atau buletin mingguan?

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 34: Wawancara Spiritual

43

b) Perilaku

Apakah klien tampak berdoa sebelum makan atau pada waktu

lainnya atau membaca literatur keagamaan? Apakah klien

mengalami mimpi buruk dan gangguan tidur atau

mengekspresikan kemarahan pada representasi keagamaan atau

pada Tuhan?

c) Verbalisasi

Apakah klien menyebutkan tentang Tuhan atau kekuatan yang

Maha Tinggi, tentang doa-doa, keimanan/keyakinan, masjid,

gereja, sinagog, kuil, pemimpin spiritual atau keagamaan, atau

topik-topik keagamaan? Apakah klien menanyakan kunjungan

pemuka agama atau mengatakan kunjungan ke atau dari tempat-

tempat ibadah? Apakah klien mengekspresikan ketakutan akan

kematian, konsen dengan makna kehidupan, konflik internal

tentang keyakinan keagamaan, konsen tentang hubungan dengan

aspek ketuhanan, menanyakan tentang keberadaan atau makna

tentang penderitaan, atau implikasi etika dan moral dari terapi?

d) Afek dan sikap

Apakah klien menampakan kesepian, depresi, marah, kecemasan,

agitasi, apatis, atau tampak khusyu.

e) Hubungan interpersonal

Siapa yang berkunjung? Apakah klien berrespon terhadap

pengunjung? Apakah pemuka agama yang datang (ustadz,

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 35: Wawancara Spiritual

44

pendeta, atau lainnya)? Apakah klien berhubungan dengan klien

yang lain atau staf keperawatan.

Sementara itu menurut Rawlins (1993, dalam Widyatuti, 1999) untuk

mendapatkan data dimensi spiritual klien, wawancara pengkajian spiritual

dapat meliputi:

• Filosofi.

Wawancara ini adalah untuk mengetahui secara umum tentang

keyakinan hidupnya terhadap nilai, moral dan etik, termasuk

didalamnya nilai dan keyakinan tentang penyakit.

• Konsep terhadap ketuhanan.

Yaitu untuk merencakan tindakan terhadap pengalaman spiritual yang

dapat meningkatkan status kesehatan. Meliputi agama, keyakinan

spiritual, dan persepsi terhadap keyakinan/kepercayaan yang dimiliki

klien.

• Sikap berlebihan.

Dimaksudkan untuk menentukan kemampuan klien terhadap

penerimaan penyakitnya. Didalamnya perlu ditanyakan tentang

harapan, keputusasaan dan adanya keinginan untuk bunuh diri.

• Aktualisasi diri.

Untuk menentukan kemampuan klien untuk hidup, meliputi

pengkajian kreativitas, rasa keindahan, dan keyakinan hidup dan mati.

Selain itu, pengkajian spiritualitas klien dapat pula menggunakan

instrumen HOPE. Instrumen kualitatif ini dikembangkan pada disiplin

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 36: Wawancara Spiritual

45

kedokteran. Menurut Anandarajah dan Hight (2001, dalam Oswald, 2004)

instrumen HOPE ini sebagai panduan praktik untuk dokter, residen, para

praktisi untuk melakukan pengkajian spiritual yang terdiri dari empat area

dasar meliputi:

• “H” merupakan pengkajian berkaitan dengan sumber-sumber

mendasar spiritual pasien, seperti harapan (hope), tanpa segera

memfokuskan pada agama dan spiritualitas.

• “O” yaitu terkait usaha menyelidiki pentingnya organisasi keagamaan

(organized religion) dalam kehidupan pasien.

• “P” adalah untuk mengetahui aspek-aspek spesifik dari praktik dan

spiritualitas personal klien (personal spirituality and practices).

• “E” pengkajian terkait dengan efek-efek spiritualitas dan keyakinan

klien (effects of a patient’s spirituality and beliefs) pada asuhan medik

dan isu-isu tentang akhir kehidupan/kematian.

4. Masalah/Diagnosa Keperawatan Terkait Kebutuhan Spiritual

Masalah keperawatan terkait dengan kebutuhan spiritual menurut NANDA

(2008) dalam nursing diagnoses: definitions and classification 2007–2008

(www.scribed.com) meliputi tiga masalah utama yaitu distres spiritual

(spiritual distress), risiko terhadap distres spiritual (risk for spiritual distress,

risk for), dan potensial terhadap perbaikan kesejahteraan spiritual (spiritual

well-being, readiness for enhanced). Deskripsi masing-masing dapat dilihat

pada berikut ini.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 37: Wawancara Spiritual

46

a. Distres Spiritual

Carpenito (1999/2001) mendefinisikan distres spiritual sebagai suatu

keadaan dimana individu atau kelompok mengalami gangguan dalam

sistem keyakinan atau nilai yang memberikan kekuatan, harapan, dan arti

kehidupan. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa untuk menegakakan

masalah distres spiritual diperlukan karakteristik mayor maupun minor.

Adapun karakteristik mayor dari masalah ini adalah jika klien mengalami

suatu gangguan dalam sistem keyakinan.

Sedangkan karakteristik minor dari masalah ini meliputi:

mempertanyakan makna kehidupan, kematian dan penderitaan;

mempertanyakan kredibilitas terhadap sistem keyakinan;

mendemonstrasikan keputusasaan dan ketidakberanian; memilih untuk

tidak melakukan ritual keagamaan yang biasa dilakukan; mempunyai

perasaan ambivalen (ragu) mengenai keyakinan; mengekspresikan bahwa

dia tidak mempunyai alasan untuk hidup; merasakan perasaan

kekosongan spiritual; mengekspresikan kemarahan, dendam, ketakutan,

melebihi arti kehidupan, penderitaan dan kematian; dan meminta bantuan

spiritual terhadap suatu gangguan dalam sistem keyakinan.

Disamping itu, Carpenito juga mengidentifikasi faktor-faktor yang

berhubungan dengan masalah distres spiritual meliputi faktor yang terkait

patofisiologi, terkait tindakan, dan faktor situasional (personal maupun

lingkungan). Faktor yang terkait patofisiologi merupakan faktor yang

berhubungan dengan tantangan pada sistem keyakinan atau perpisahan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 38: Wawancara Spiritual

47

dari ikatan spiritual sekunder karena berbagai akibat, seperti: kehilangan

bagian atau fungsi tubuh; penyakit terminal; penyakit yang membuat

kondisi lemah; nyeri; trauma; dan keguguran atau kelahiran mati.

Sedangkan faktor-faktor yang terkait dengan tindakan adalah faktor yang

berhubungan dengan konflik antara program/tindakan yang ditentukan

dan keyakinan, meliputi: aborsi, isolasi, pembedahan, amputasi, transfusi

darah, pengobatan, pembatasan diet, dan prosedur medis. Adapun faktor

yang berkaitan dengan situasional adalah faktor yang berhubungan

dengan: kematian atau penyakit dari orang terdekat; keadaan yang

memalukan pada saat melakukan ritual keagamaan; hambatan dalam

melakukan ritual keagamaan (seperti pembatasan perawatan intensif,

kuranynya privasi, kurang tersedianya makanan/diet khusus); keyakinan

yang ditentang oleh keluarga, teman sebaya; dan yang berhubungan

dengan perpisahan dengan orang yang dicintai.

b. Risiko Terhadap Distres Spiritual

Risiko distres spiritual oleh Carpenito (1999/2001) di definisikan sebagai

suatu keadaan dimana individu atau kelompok berrisiko mengalami

gangguan dalam sistem keyakinan atau nilai yang memberikan kekuatan,

harapan, dan makna hidup. Menurutnya untuk menegakakan masalah

risiko distres spiritual perlu mengidentifikasi faktor-faktor risikonya.

Faktor-faktor risiko ini menurut Carpenito sama seperti pada faktor-faktor

yang berhubungan dengan masalah distres spiritual, yaitu faktor yang

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 39: Wawancara Spiritual

48

terkait patofisiologi, terkait tindakan, dan faktor situasional

(personal/lingkungan), seperti telah dijelaskan di atas.

c. Potensial Terhadap Perbaikan Kesejahteraan Spiritual

Kesiapan untuk peningkatan kesejahteraan spiritual didefinisikan sebagai

keberadaan individu yang mengalami penguatan kehidupan dalam

berhubungan dengan kekuasaan yang lebih tinggi, setinggi yang

ditetepkan oleh individu, komunitas, dan lingkungan yang memelihara

kesatuan. Adapun batasan karakteristik dari masalah ini meliputi:

kekuatan dari dalam diri yang memelihara (seperti rasa kesadaran,

hubungan saling percaya, kekuatan yang menyatu, sumber yang sakral,

kedamaian dari dalam diri); motivasi yang tidak ada batasannya dan

komitmen yang diarahkan pada nilai tertinggi dari cinta, makna, harapan,

keindahan dan kebenaran; hubungan saling percaya dengan atau

hubungan yang sangat memberikan dasar untuk makna dan harapan

dalam pengalaman kehidupan dan kasih sayang dalam hubungan

seseorang; dan mempunyai makna dan tujuan terhadap eksistensi

seseorang (Carpenito, 1999/2001).

5. Perencanaan Keperawatan Terkait Kebutuhan Spiritual

Pada fase perencanaan ini, perawat mengindentifikasi intervensi untuk

membantu klien mencapai tujuan yaitu memelihara atau memulihkan

kesejahteraan spiritual sehingga kekuatan, kedamaian, dan kepuasan spiritual

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 40: Wawancara Spiritual

49

dapat terrealisasi. Menurut Kozier (2004) perencanaan terkait dengan

kebutuhan spiritual meliputi:

• Membantu klien untuk memenuhi kewajiban agamanya.

• Membantu klien untuk mengambil nilai-nilai ke dalam dirinya dan

menggunakan sumber-sumber dalam dirinya secara lebih efektif untuk

memenuhi situasi/keadaan saat ini.

• Membantu klien memelihara atau membangun hubungan personal yang

dinamis dengan yang maha tinggi dalam menghadapi situasi yang tidak

menyenangkan.

• Membantu klien menemukan makna/arti tentang situasi yang ada.

• Meningkatkan harapan.

• Memberikan sumber-sumber spiritual jika tidak tersedia.

6. Implementasi Keperawatan Terkait Pemenuhan Kebutuhan Spiritual

Menurut Kozier (2004) tindakan-tindakan keperawatan untuk membantu

klien memenuhi kebutuhan spiritual meliputi kehadiran/pendampingan

(providing prescence), dukungan praktik keagamaan, membantu berdoa atau

mendoakan, merujuk klien untuk konseling spiritual.

a. Pendampingan

Pendampingan digambarkan sebagai hadir dan menyatu dengan klien,

suatu istilah yang menggambarkan kemampuan/kompetensi yang perlu

dimiliki seorang perawat ahli (Zerwekh, 1997, dalam Kozier, 2004).

Menurut Petigrew (1990, dalam Kozier, 2004) dikenal empat corak

pembeda pendampingan (presencing):

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 41: Wawancara Spiritual

50

1) Memberi diri sendiri kedalam suatu saat (momen) tertentu

2) Menyediakan diri secara keseluruhan

3) Mendengarkan, dan melakukan hal tertentu dengan penuh kesadaran.

4) Menjadikan kehadiran diri penuh arti kepada klien

Fredriksson (1999, dalam Kozier, 2004) menyatakan bahwa

pendampingan adalah “memberikan diri sendiri” yang dilakukan oleh

perawat melalui memelihara sikap perhatian terhadap klien. Terdapat

berbagai tingkatan pendampingan. Osterman dan Schwartz-Barcott (1996,

dalam Kozier, 2004) mengidentifikasi empat cara pendampingan untuk

klien:

1) Presensi (prescene) yakni ketika seorang perawat secara fisik hadir

tetapi tidak fokus pada klien.

2) Presensi parsial (partial prescence) yaitu ketika perawat secara fisik

hadir dan mulai berusaha fokus pada klien.

3) Presensi penuh (full prescence) yaitu ketika perawat hadir disamping

klien baik secara fisik, mental maupun emosional, dan secara sengaja

memfokuskan diri pada klien.

4) Presensi transenden (transcendent prescence) yaitu ketika perawat

hadir disamping klien baik secara fisik, mental, emosional, maupun

spiritual.

Pendampingan, sering merupakan yang terbaik dan kadang-kadang satu-

satunya intervensi untuk mendukung penderitaan klien dimana intervensi

medic tidak dapat mengatasinya (Kozier, 2004). Ketika klien tidak

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 42: Wawancara Spiritual

51

mempunyai harapan (hopless), tidak berdaya (powerless), dan rentan,

maka pendampingan oleh perawat dapat sangat bermanfaat (Taylor, 2002,

dalam Kozier, 2004).

b. Dukungan praktik keagamaan

Selama melakukan pengkajian klien, perawat akan mendapatkan

informasi spesifik tentang pilihan/preferensi dan praktik keagamaan.

Perawat perlu mempertimbangkan praktik keagamaan tertentu yang akan

mempengaruhi asuhan keperawatan, seperti keyakian klien tentang

kelahiran, kematian, berpakaian, diet, berdoa, tulisan/pesan suci dan

symbol-simbol suci lainnya.

c. Membantu berdoa/mendoakan

Kozier (2004) menyatakan bahwa berdoa melibatkan rasa cinta dan

keterhubungan. Berdoa mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan dan

penyembuhan (Dossey, 1996 dalam Kozier, 2004).

Klien dapat memilih untuk berpartisipasi dalam berdoa secara pribadi

atau secara kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama. Pada

situasi seperti ini, tanggung jawab utama perawat adalah memastikan

ketenangan lingkungan dan privacy pribadi klien. Asuhan keperawatan

perlu disesuaikan untuk mengakomodasi periode berdoa ini.

Penyakit dan keadaan sakit dapat mempengaruhi kemampuan klien untuk

berdoa. Perasaan seperti kecemasan, takut, rasa bersalah, keputusasaan,

dan isolasi dapat menimbulkan hambatan dalam berhubungan. Pada

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 43: Wawancara Spiritual

52

beberapa instansi klien dapat meminta perawat untuk berdoa dengan

mereka. Adapula berdoa dengan klien hanya bila ada kesepakatan antara

klien dengan perawat. Karena berdoa melibatkan perasaan yang dalam,

perwat perlu menyediakan waktu dengan klien setelah selesai berdoa,

untuk memberi kesempatan klien mengekspresikan perasaannya (Kozier,

2004).

d. Merujuk klien untuk konseling spiritual

Asuhan spiritual baik pula dilakukan dengan merujuk klien kepada

anggota tim kesehatan lain selain perawat, seperti pada pemuka

agama/pembina rohani yang ada. Oleh karena itu perawat perlu

mengidentifikasi sumber daya spiritual (termasuk konselor spiritual) yang

ada di rumah sakit maupun di komunitas.

Menurut Kozier (2004) rujukan mungkin diperlukan ketika perawat

membuat diagnosa distress spiritual. Pada situasi ini, perawat dan

konselor keagamaan dapat bekerja bersama-sama untuk memenuhi

kebutuhan klien.

7. Praktik Spiritual Klien yang Mempengaruhi Asuhan Keperawatan

Klien seringkali mengidentifikasi praktik-praktik keagamaan seperti berdoa

sebagai strategi penting untuk mengatasi atau melakukan koping terhadap

sakitnya (Pargament, 1997, dalam Kozier et al, 2004). Praktik-praktik yang

umumnya sering mempengaruhi asuhan keperawatan pada klien meliputi

hari-hari besar/hari raya, tulisan-tulisan suci, simbol-simbol suci, berdoa,

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 44: Wawancara Spiritual

53

meditasi, dan yang berkaitan dengan diet, nutrisi, penyembuhan,

berdandan/berpakaian, kelahiran dan kematian.

a. Hari-hari Besar/Raya/Suci

Hari raya merupakan hari dimana individu melakukan peribadatan

tertentu, dan semua agama di dunia melakukan peribadatan pada hari

tersebut. Sebagai contoh umat Kristen dengan Christmas-nya, umat Islam

dengan Idul Fitri dan Idul Adha-nya, dan umat Budha beribadah terkait

kelahiran Buddha. Beberapa agama memerintahkan berpuasa,

memperbanyak doa dan melakukan ibadah ritual lainnya pada hari-hari

besar tersebut.

Konsep Sabbath yang umum berlaku pada umat Kristen dan Yahudi,

adalah respon terhadap firman yang ada dalam kitab Injil “ingatlah hari

Sabbath untuk dijaga kesuciannya”. Kebanyakan umat Kristen melakukan

ibadah Sabbath pada hari Minggu, sedangkan umat Yahudi dan Kristen

sabbatariant beribadah pada hari Sabtu sebagai ibadah Sabbat-nya. Klien

yang taat dalam praktik keagamaannya dapat menghindari terapi atau

treatment khusus atau pengganggu lainnya pada hari istirahat atau hari

refleksi ini (Kozier et al, 2004).

Umat Islam melakukan praktik ibadah lima kali dalam sehari semalam,

dan klien yang beragama Islam mungkin membutuhkan bantuan untuk

memelihara komitmen ini. Umat Islam umumnya pada hari Jum’at sejak

pagi hari telah menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadah sholat Jum’at,

sehingga perawat perlu memperhatikan situasi ini dengan mengatur dan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 45: Wawancara Spiritual

54

menyesuaikan intervensi keperawatan agar tidak menggangu spiritualitas

klien. Semantara umat Hindu dan Budha melakukan praktik meditasi, dan

oleh karenanya perawat perlu mengatur sedemikian rupa agar tersedia

waktu bagi klien untuk melakukan praktik meditasinya.

Beberapa kegiatan ibadah keagamaan tersebar dalam satu tahun kalender.

Dalam agama Kristen ada Jumat Agung, dalam Islam terdapat bulan

Ramadhan, demikian pula kegiatan peribadatan serupa pada agama

lainnya. Untuk itu rumah sakit dan fasilitas pelayana kesehatan lainnya,

perlu menyediakan kalender yang dapat memberikan informasi berbagai

hari-hari besar/suci agar klien dan staf dapat mengetahui kapan hari-hari

besar/suci tersebut tiba.

b. Tulisan-tulisan Sudi

Setiap agama mempunyai kitab sucinya masing-masing. Kitab suci ini

memberikan panduan dalam meyakininya dan berprilaku. Selain itu, kitab

suci juga mengandung cerita tentang istruksi para pemimpin, para raja

dan pahlawan keagamaan, atau wahyu. Umat beragama menjadikan

kitab suci sebagai rujukan mereka. Umat Kristen menggunakan al-Kitab

(Bible), Yahudi menggunakan Taurat (Torah) dan Talmud, umat Hindu

merujuk pada kitab Wedha (Vedas), dan umat Budha mempelajari nilai-

nilai dari kitabnya Tripitaka. Kitab-kitab yang berisi hukum-hukum

keagamaan yang mengatur kehidupan umatnya.

Hukum-hukum keagamaan tersebut mungkin diinterpretasi dengan

berbagai cara oleh kelompoknya dan dapat mempengaruhi penerimaan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 46: Wawancara Spiritual

55

klien terhadap program pengobatan yang direncanakan. Kozier et al

(2004) mencontohkan transfusi darah dapat menimbulkan konflik dengan

peribadatan kelompok tertentu dari agama Yahudi.

Manusia juga dapat meningkat kekuatan dan harapannya setelah

membaca tulisan-tulisan keagamaan ketika mereka sakit atau dalam

keadaan krisis. Umat Islam misalnya, menjadi termotivasi untuk

merusaha dan berjuang lebih keras dalam melawan penyakit yang

dideritanya setelah membaca firman Allah “dan apabila aku sakit, Dialah

(Allah) yang menyembuhkan aku” atau setelah membaca hadits Nabi

yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim “tiada Allah menurunkan

penyakit kecuali menurunkan pula baginya obatnya, diketahui oleh orang

yang mengetahui dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahui”

(Daldiyono, 2006). Demikian pula dalam Perjanjian Baru, umat Kristen

akan termotivasi setelah membaca “Yesus penyembuh orang yang

menderita sakit fisik ataupun mental” (Kozier et al, 2004).

c. Simbol-simbol Suci

Simbol-simbol keagamaan seperti anting, kalung, lambang-lambang

lainnya membawa makna keagamaan dan spiritual yang signifikan.

Mereka menggunakannya untuk menyatakan keimanan/keyakinannya,

untuk mengingatkan praktik-praktik keimanannya, untuk meberikan

perlindungan spiritual atau menjadikannya sebagai sumber kenyamanan

dan kekuatan (Kozier et al, 2004).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 47: Wawancara Spiritual

56

Orang yang senantiasa menggunakan simbol-simbol tersebut pada setiap

saat, seringkali menginginkan agar tetap diizinkan untuk digunakan saat

mereka dilakukan pemeriksaan diagnostik, terapi medikal, atau

pembedahan. Umat Katolik Roma dapat membawa tasbih untuk berdoa,

demikian pula umat Islam menggunakan hal yang sama saat berdoa.

Manusia juga sering menggunakan icon keagamaan ini di rumah, di mobil

atau ditempat kerja sebagai pengingat keimanan pribadi atau sebagai

bagian dari tempat ibadah atau meditasinya. Klien yang dirawat lama di

rumah sakit atau di tatanan lainnya, dapat menggunakan icon-icon

tersebut untuk dijadikan sebagai sumber yang membuat mereka menjadi

lebih nyaman secara spiritual. Oleh karena itu penting bagi rumah sakit

atau institusi pelayanan kesehatan lainnya menyediakan fasilitas tersebut

sebagai bagian upaya pemenuhan kebutuhan spiritual klien.

d. Berdoa dan Meditasi

Berdoa merupakan praktik spiritual dan keagamaan. Berdoa dalam

ensiklopedia agama didefinisikan sebagai komunikasi manusia dengan

entitas spiritual atau yang bersifat ketuhanan (Kozier et al, 2004). Poloma

dan Gallup (1991, dalam Kozier et al, 2004) mengkategorikan

pengalaman berdoa kedalam empat tipe, yaitu ritual, permohonan,

percakapan, dan meditasi. Menurutnya, pengalaman berdoa dengan cara

meditasi dan percakapan memiliki hubungan dengan kesejahteraan

spiritual dan kualitas hidup pada orang dewasa sehat, sedangkan berdoa

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 48: Wawancara Spiritual

57

dengan cara melakukan ritual dan permohonan dapat membuat lebih

nyaman dan tepat dilakukan oleh orang yang sedang sakit.

Suatu studi menyimpulkan terdapat 10 pengobatan alternatif yang sering

digunakan di US, dan yang tersering diantara itu adalah berdoa untuk diri

sendiri (43%) dan berdoa untuk orang lain (24.4%). Sedangkan berdoa

secara berkelompok (9.6%) menduduki urutan ke sembilan dari 10

pengobatan alternatif tersebut (Barnes et al. 2002, dalam Masters &

Spielmans, 2007).

Selain itu, survei nasional pada tahun 2002 tentang penggunaan

kedokteran alternatif ditempat yang sama juga ditemukan hal yang

serupa, dimana sebanyak 46% penderita yang didiagnosa diabetes

menggunakan berdoa sebagai terapi alternatif dan terdapat sebanyak 28%

sampel penderita diabetes menggunakan doa khusus untuk diabetesnya

(Yeh et al. 2002 dalam Masters & Spielmans, 2007). Survey nasional

serupa dilakukan Tracy et al (2005, dalam Masters & Spielmans, 2007)

terhadap perawat di ruangan kritikal dan menemukan sebanyak 73%

menggunakan intervensi berdoa dalam praktiknya, 81%

merekmomendasikan berdoa kepada pasiennya, dan 79% diminta oleh

pasien dan anggota keluarganya untuk mendoakan bagi kesembuhan

pasiennya

e. Kepercayaan/Keyakinan yang Berkaitan dengan Diet dan Nutrisi

Beberapa agama mengajurkan adanya pantangan/larangan terkait diet.

Terdapat aturan dalam agama tentang makanan dan minuman yang

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 49: Wawancara Spiritual

58

diizinkan atau dilarang untuk dikonsumsi. Sebagai contoh Yahudi

Ortodok dilarang memakan kerang atau daging babi. Mormon tidak

meminum minuman yang mengandung kafein atau alkohol. Umat Katolik

lainnya tidak memakan daging pada hari Jumat sebab hal tersebut di

larang (Kozier et al, 2004).

Umat Budha dan Hindu umumnya vegetarian. Hukum keagamaan dapat

juga mengatur bagaimana cara menyiapkan makanan, misalnya umat

Islam hanya boleh memakan daging ayam, sapi, atau daging hewan ternak

lainnya yang dipotong sesuai dengan tata cara agamanya.

f. Kepercayaan/Keyakinan yang Berkaitan dengan Berpakaian

Beberapa agama mempunyai aturan atau tradisi terkait dengan

berpakaian. Sebagai contoh, laki-laki Yahudi Ortodok dan Konservatif

meyakini bahwa peci/penutup kepala (head covered) merupakan hal

penting untuk digunakan setiap saat. Demikian pula wanita muslim

menutup rambut, kepalanya, lengan dan kaki sebagai bagian perintah

agamanya, dan melakukannya adalah suatu yang dapat membuatnya

menjadi nyaman, karena telah dapat memelihara komitmen agamanya.

Wanita Hindu menggunakan sari untuk menutupi seluruh tubuhnya,

kecuali tangan dan kaki. Baju rumah sakit ketika digunakan oleh klien

dapat saja menimbulkan ketidaknyamanan dan oleh karenanya aspek ini

perlu diperhatikan (Kozier et al, 2004).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 50: Wawancara Spiritual

59

g. Kepercayaan/Keyakinan yang Berkaitan dengan Kelahiran

Bagi semua agama kelahiran anak merupakan peristiwa penting dan

menyebabkan perlunya dilakukan pesta terkait hal tersebut. Beberapa

agama mempunyai seremonial ritual yang menunjukan pengabdian anak

yang baru lahir itu kepada Tuhan, atau rasa syukur orang tua kepada

Tuhan. Beberapa ada yang membacakan doa di telinga bayi, dan pada

tujuh hari setelah kelahiran dilakukan pemotongan rambut, pemberian

nama, dan ritual lainnya. Pada keyakinan umat Kristen, baptis perlu

dilakukan setelah anak lahir untuk mengkonfirmasi bahwa bayi yang lahir

adalah keluarga umat Kristen sebagai bagian dari Gereja. Orang tua yang

beragama Kristen, ketika anaknya menderita sakit serius, seringkali

menginginkan agar perawat atau dokter melakukan baptis terhadap

anaknya, jika pendeta atau pemuka agama tidak ada di rumah sakit

tersebut (Denny, 1993; Frankiel, 1993, dalam Kozier et al, 2004).

Bila perawat menyadari kebutuhan keagamaan klien dan keluarganya,

mereka dapat membantu memenuhi kewajiban keagamaannya. Hal ini

terutama sangat penting ketika bayi baru lahir yang menderita sakit serius

atau dalam bahaya kematian, sebab mereka meyakini bahwa jika

kewajiban agama tidak dipenuhi, bayi tidak akan diterima dalam

komunitas orang-orang yang beriman setelah kematian.

h. Kepercayaan/Keyakinan yang Berkaitan dengan Kematian

Beberapa meyakini bahwa seseorang yang telah meninggal akan

terhubung dengan kehidupan atau tempat yang lebih baik. Beberapa

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 51: Wawancara Spiritual

60

agama mempunyai ritual seputar menjelang ajal dan kematian. Ibadah

ritual yang diberikan menjelang ajal dan kematian akan memberikan

kenyamanan bagi orang yang menghadapi kematian dan orang-orang

yang dicintainya. Ritual tersebut antara lain berdoa, menyayi, dan

membaca tulisan-tulisan suci. Sebagai contoh, Muslim yang menghadapi

kematian ingin agar kepala dan tubuhnya dihadapkan ke Mekkah,

dimandikan oleh orang yang satu keyakinan keagamaan, dan sebagainya

(Denny, 1993, dalam Kozier et al, 2004).

8. Pemberian Asuhan Spiritual Oleh Perawat

Pemberian asuhan spiritual merupakan perilaku yang ditunjukan oleh perawat

dalam memenuhi kebutuhan spiritual klien. Untuk dapat memahami tentang

perilaku, akan diberikan uraian singkat terkait konsep ini.

a. Perilaku

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) perilaku diartikan sebagai

tanggapan atau reaksi seseorang terhadap rangsangan atau lingkungan.

Perilaku merupakan semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang

dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar

(Notoatmodjo, 2007). Skinner (1938 dalam Notoatmodjo, 2007)

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang

terhadap stimulus (rangsang dari luar).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan sesuatu

yang dilakukan seseorang setelah orang tersebut mendapatkan pemicu

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 52: Wawancara Spiritual

61

atau rangsangan baik dari dalam maupun dari luar dirinya, termasuk pula

dalam memberikan asuhan spiritual.

b. Teori Perilaku

Menurut teori Skinner (1938 dalam Notoatmodjo, 2007) bahwa perilaku

terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian

organisme tersebut merespon. Oleh karenanya teori Skinner ini dikenal

dengan teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner

membedakan adanya dua respon, yaitu:

1) Respondent respons atau reflexive

Respondent respons adalah respon yang ditimulkan oleh rangsangan

tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena

menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Respondent respons

juga mencakup perilaku emosional.

2) Operant respon atau instrumental respons

Operant respon adalah respon yang timbul dan berkembang kemudian

diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut

reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respon.

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Skinnner, 1938 dalam Notoatmodjo, 2007) yaitu:

1) Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 53: Wawancara Spiritual

62

stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang

lain.

2) Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut

sudah dapat jelas, dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan

mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

Sementara itu Bloom (1908 dalam Notoatmodjo, 2007) membagi

perilaku manusia ke dalam 3 domain, meliputi domain pengetahuan,

sikap dan tindakan

1) Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

tersebut dapat terjadi memalui pencaindera manusia. Sebagian besar

pengetahuan manusia dipeoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Penelitan Rogers (1974 dalam Notoatmodjo, 2007) mengungkapkan

bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, didalam diri

orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu awareness (adalah

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 54: Wawancara Spiritual

63

kesadaran, dimana seseorang menyadari atau mengetahui adanya

stimulus (objek) terlebih dahulu); kemudian, interest (ialah orang

mulai tertarik kepada stimulus tersebut); dilanjutkan dengan

evaluation (dimana seseroang menimbang-nimbang baik dan tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya); trial (yaitu orang telah mulai mencoba

perilaku yang baru); dan diakhiri dengan adoption (dimana subjek

telah berprilaku yang baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan

sikapnya teradap stimulus).

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses

seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang

positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebalikknya

apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran

maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).

2) Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manisfestasi sikap tidak

dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu

dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi

adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu, yang dalam

kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 55: Wawancara Spiritual

64

3) Praktik atau Tindakan

Suatu sikap belum dapat secara langsung terwujud dalam suatu

tindakan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah

fasilitas. Selain faktor fasilitas, juga diperlukan faktor pendukung

lainnya.

Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu: persepsi

(merupakan proses mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil); respon terpimpin (dapat

melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh); mekanisme (apabila seseorang telah dapat

melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu

tersebut sudah merupakan kebiasaan); dan adopsi (adalah suatu

praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Tindakan

tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan

tersebut.

Perilaku merupakan bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar organisme. Dalam memberikan repon sangat

bergantung pada karakteristik atau faktor-fakrotr lain.

Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2007) menjabarkan bahwa

perilaku seseorang diperngaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor

predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Ketiga faktor

tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 56: Wawancara Spiritual

65

1) Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap perilaku

yang menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor predisposisi

dalam arti umum juga dapat dimaksud sebagai preferensi pribadi

yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu

pengalaman belajar. Preferensi ini mungkin mendukung atau

menghambat perilaku sehat. Faktor predisposisi melingkupi sikap,

keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang berhubungan dengan

motivasi individu atau kelompok untuk melakukan tindakan.

Selain itu status sosial-ekonomi, umur, dan jenis kelamin juga

merupakan faktor predisposisi. Demikian juga tingkat pendidikan

dan tingkat pengetahuan, termasuk ke dalam faktor ini.

Dalam kaitannya dengan pemberian asuhan spiritual yang

dilakukan oleh perawat, maka yang menjadi faktor predisposisi

diantaranya adalah karakteristik perawat (Williams, 2003;

Fowler, 2004; & Bastable, 2002) dan persepsi perawat tentang

spiritualitas dan asuhan spiritual (Treloar, 2002; Oswald, 2004).

2) Faktor-faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor ini merupakan faktor antedesenden terhadap perilaku yang

memungkinkan motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk

didalamnya adalah kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan

untuk melakukan suatu perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 57: Wawancara Spiritual

66

melingkupi pelayanan kesehatan, kemudahan mencapai pelayanan

kesehatan (termasuk didalammnya biaya, jarak, ketersediaan

transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan petugas).

Terkait dengan perilaku pemberian asuhan spiritual maka yang

menjadi faktor pemungkin diantaranya adalah fasilitas atau

ketersediaan sumber daya (sarana dan prasarana) yang

memungkinkan pelayanan/asuhan spiritual dapat dilakukan. Selain

itu adanya contoh peran model yang trampil dalam melakukan

asuhan spiritual (baik perawat ataupun pemuka agama), juga

termasuk kedalam faktor pemungkin ini.

3) Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)

Fakor penguat merupakan faktor yang datang sesudah perilaku

dalam memberikan ganjaran atau hukuman atas perilaku dan

berperan dalam menetapkan atau lenyapnya perilaku tersebut.

Termasuk dalam faktor ini adalah manfaat sosial dan manfaat fisik

serta ganjaran nyata atau tidak nyata yang pernah diterima oleh

pihak lain. Sumber dari faktor penguat dapat berasal dari tenaga

kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan. Faktor penguat bisa

positif dan negatif tergantung pada sikap dan perilaku orang lain

yang berkaitan.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 58: Wawancara Spiritual

67

C. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Asuhan

Spiritual Oleh Perawat

Dimensi spiritual berperan penting bagi kesehatan, kesejahteraan dan kualitas

hidup individu. Dimensi ini merupakan energi vital bagi manusia, menjadi faktor

pendorong semangat dalam menghadapi keadaan stres emosional, penyakit fisik

dan bahkan kematian (McSherry, 1998; Nagai-Jacobson & Burkhardt, 1989;

Vance, 2001; Waldfogel dalam Haskell, 2003). Memperhatikan besarnya peranan

aspek spiritual bagi kesehatan dan kesejahteraan klien, maka pemberian asuhan

spiritual merupakan hal penting yang perlu dilakukan perawat agar dapat

membantu memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan klien.

Terdapat berbagai faktor yang turut berhubungan dengan perilaku perawat dalam

memberikan asuhan spiritual kepada kliennya. Kozier et al (2004),

mengemukakan bahwa perawat yang memperhatikan spiritualitas dirinya dapat

bekerja lebih baik dalam merawat klien yang mempunyai kebutuhan spiritual.

Menurutnya untuk dapat memberikan asuhan spiritual kepada kliennya, adalah

penting menciptakan kondisi nyaman akan spiritualitas diri sendiri. Pernyataan

ini menunjukan bahwa perhatian dan kenyamanan spiritualitas diri perawat

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemberian asuhan

spiritual kepada klien.

Studi Ellison dan Smith (1991), dan Musgrave dan McFarlane (2004) juga

menyatakan bahwa perawat dengan tingkat kesejahteraan/kesehatan spiritual

yang tinggi bersikap lebih baik terhadap asuhan spiritual dan lebih sensitif

terhadap kebutuhan spiritual klien (Gray, 2006). Demikian pula Newshan (1998,

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 59: Wawancara Spiritual

68

dalam Gray, 2006) menyatakan bahwa perawat akan mampu berrespon terhadap

kebutuhan spiritual pasien bila mereka menyadari akan spiritualitas dirinya.

Selain itu dinyatakan pula bahwa perawat yang memelihara spiritualitasnya dapat

menemukan sumber-sumber internal untuk merawat pasien melalui

meningkatnya kenyamanan dalam diri, lebih sensitif terhadap kebutuhan

spiritualitas klien, dan memiliki koping yang lebih efektif dengan stres yang

dihadapi dalam memberikan asuhan keperawatan (Smith, 2006, dalam Gray,

2006). Beberapa uraian di atas memperlihatkan satu kesamaan tentang faktor

yang mempengaruhi pemberian asuhan spiritual yaitu kesadaran akan spiritulitas

perawat, karena kesadaran ini akan mendorong perawat untuk memelihara

spiritualitasnya termasuk kenyamanan spiritual dalam dirinya.

Faktor lain yang turut berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh

perawat juga dapat dilihat dari pernyataan Treloar (2002) yang mengungkapkan

bahwa kedokteran barat lebih menekankan pada empirisme, dimana sesuatu yang

nyata (real) adalah yang hanya dapat dibuktikan (tangible), bersifat material, dan

yang dapat diukur. Menurut Trealoar pandangan/faham ini bertentangan dengan

spiritualitas. Lebih lanjut, Ia juga mengatakan bahwa ada pandangan dikalangan

masyarakat umum maupun keperawatan yang tidak semua setuju bahwa perawat

dapat dan boleh memberikan asuhan spiritual. Hal ini akan membuat perawat

mengalami kebingungan peran terkait dengan pemberian asuhan spiritual.

Sementra itu, Dorff (1993), Piles (1990) dalam Wright (1998) menyatakan bahwa

seringkali perawat tidak dapat mengembangkan dan menggunakan keterampilan

dalam melakukan asuhan spiritual dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 60: Wawancara Spiritual

69

dalam melakukan asuhan spiritual; takut akan menginvasi privasi klien (Carr,

1993; Dorff, 1993, dalam Wright, 1998), dan kurangnya keasadaran spiritualitas

diri perawat (Carr, 1993, dalam Wright, 1998).

Survey nasional 1990 yang dilakukan Murray (1990, dalam Treloar, 2002)

mengindikasikan sebanyak 97% dari 186 perawat terregister (R�) meyakini

bahwa perawat perlu memperhatikan kebutuhan spiritual klien, tetapi hanya 66%

yang merasa siap untuk melakukannya. Selain itu Treloar (2002) juga

menyatakan bahwa perawat tidak cukup siap untuk memberikan asuhan spiritual,

karena kurangnya pengetahuan tentang spiritualitas dan bagaimana membantu

klien memenuhi kebutuhan spiritualnya. Faktor lain yang juga berkaitan dengan

pemberian asuhan spiritual meliputi kesalahan dalam mempersepsikan antara

kebutuhan spiritual dengan kebutuhan psikososial, keyakinan bahwa spiritualitas

merupakan hal yang bersifat pribadi (private) dari masing-masing individu, dan

keyakinan bahwa asuhan spiritual merupakan tugas pemuka agama (Treloar,

2002).

Selain itu studi yang dilakukan Vance, (2001) terhadap 173 perawat terregister

memperlihatkan berbagai faktor penghambat (bariers) dalam pemberian asuhan

spiritual. Faktor utama adalah karena ketidakcukupan waktu (82.9%), kurangnya

pendidikan tentang spiritual dan asuhan spiritual (64.9%), keyakinan perawat

bahwa spiritualitas pasien merupakan hal yang bersifat pribadi/private (45.5%),

kurangnya rasa percaya diri perawat (35.1%), perbedaan dalam spiritualitas

antara perawat dengan pasien (34.7%), merasa tidak sesuai dengan aktivitas

profesionalnya (12.4%), dan karena faktor kurangnya perhatian perawat terhadap

spiritualitas dirinya (8.8%).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 61: Wawancara Spiritual

70

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

berubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh perawat antara lain: (a)

karakteristik perawat (usia, tingkat pendidikan, gender, dan pengalaman kerja);

(b) perhatian dan kenyamanan spiritualitas diri perawat; (c) kesejahteraan atau

kesehatan spiritual perawat; (d) kesadaran akan spiritualitas diri perawat; (e)

pemeliharaan spiritualitas diri perawat; (f) empirisme/materialisme; (g) bingung

peran terkait dengan pemberian asuhan spiritual; (h) kurangnya pengetahuan

dalam melakukan asuhan spiritual; (i) takut akan menginvasi privasi klien; (j)

kesalahan dalam mempersepsikan antara kebutuhan spiritual dengan kebutuhan

psikososial, keyakinan bahwa spiritualitas merupakan hal yang bersifat pribadi

(private) dari masing-masing individu, dan keyakinan bahwa asuhan spiritual

merupakan tugas pemuka agama; (k) ketidakcukupan waktu; (l) kurangnya

pendidikan tentang spiritual dan asuhan spiritual; (m) keyakinan perawat

bahwa spiritualitas pasien merupakan hal yang bersifat pribadi/private; (n)

kurangnya rasa percaya diri perawat; (o) perbedaan dalam spiritualitas antara

perawat dengan pasien; dan (p) merasa tidak sesuai dengan aktivitas

profesionalnya.

Beberapa diantara faktor yang berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual

seperti dikemukakan diatas akan diuraikan sebagiannya yaitu:

1. Karakteristik Perawat

Perawat menurut Basford dan Selvin (2006) adalah seseorang yang hadir

pada saat penyembuhan, pada pergerakan menuju kehidupan dan kematian.

Perawat adalah manusia biasa dalam sebuah pekerjaan yang luar biasa, yang

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 62: Wawancara Spiritual

71

menjalin hubungan khusus dengan orang lain, keluarga, dan komunitas pada

saat penyembuhan, diseluruh rentang kehidupan, bahkan pada saat menjelang

ajal dan kematian.

Dalam penelitian ini subjek yang akan diteliti adalah perawat. Menurut

Departemen Kesehatan RI (1997) perawat yang akan diteliti tersebut

digolongkan kedalam sasaran primer. Yang dimaksud dengan sasaran primer

adalah individu atau kelompok yang terkena masalah, diharapkan akan

berprilaku seperti yang diharapkan, dan akan memperoleh manfaat yang

paling besar dari hasil perilakunya.

Seringkali sasaran primer ini masih dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa

segmen sesuai dengan keperluannya. Segmentasi ini bisa berdasarkan umur,

tahap perkembangan, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, pendidikan

maupun letak geografi.

a) Usia

Azwar (2005) menyatakan dua hipotesisnya terkait dengan usia dan

pembentukan sikap dan perilaku. Hipotesis pertama mengenai adanya

tahun-tahun tertentu dalam kehidupan dimana individu sangat rawan

terhadap persuasi. Hipotesis ini menyatakan bahwa sikap akan terbentuk

secara kuat dalam tahun-tahun ini dan stabil untuk jangka waktu lama.

Hipotesis kedua beranggapan bahwa semakin lama (tua) individu akan

semakin tahan terhadap persuasi. Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa

orang akan lebih rawan terhadap persuasi sewaktu masih muda dan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 63: Wawancara Spiritual

72

kemudian dengan bertambahnya usia akan semakin kuat dan kurang peka

sehingga lebih stabil sampai usia tengah baya dimana orang mencapai

puncak keteguhan sikapnya.

Selain itu, Siagian (2001) menyatakan bahwa umur berkaitan erat dengan

tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti bahwa semakin

meningkat umur seseorang, akan semakin meningkat pula kedewasaannya

atau kematangannya baik secara teknis, psikologis maupun spiritual, serta

akan semakin mampu melaksanakan tugasnya. Umur yang semakin

meningkat akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam

mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, toleran

dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula

terhadap pandangan dan nilai-nilai spiritual orang lain.

Terkait dengan perkembangan spiritual pandangan Fowler (1981, dalam

Kozier, 2004) mengindikasikan bahwa kematangan spiritual tumbuh dan

berkembang sejak lahir hingga akhir hayat. Beberapa diantara

perkembangan spiritual itu telah diuraikan terdahulu. Sekedar

mengingatkan kembali, akan diuraikan perkembangan spiritualitas pada

dewasa muda dan dewasa menengah. Sebagai contoh, perkembangan

spiritualitas pada saat dewasa muda, dikarakteristikan oleh

berkembangnya identitas diri; dapat membedakan padangan dunia dengan

yang lainnya; mulai membentuk kemandirian dalam komitmen, gaya

hidup, keyakinan dan sikap; dan mulai mengembangkan pemaknaan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 64: Wawancara Spiritual

73

secara personal terhadap simbol-simbol agama dan keyakinan atau

keimanan.

Kondisi tersebut terus terus berkembang, dimana pada tahap dewasa

menengah, perkembangan spiritualitas akan ditandai oleh: meningkatnya

penghormatan terhadap suara hati; lebih menyadari akan adanya mitos-

mitos, dan prasangka serta mengaitkannya dengan latar belakang sosial;

mencoba merekonsiliasi berbagai kontradiksi dalam pikiran dan

pengalaman; dan terbuka terhadap kebenaran yang lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pertambahan usia individu

akan diikuti pula oleh meningkatnya perhatian terhadap dimensi spiritual

serta mendorong perkembangan dan kematangan dimensi tersebut. Bagi

perawat perkembangan dan kematangan spiritualitas ini dapat secara tidak

langsung turut mempengaruhi perilakunya dalam memberikan asuhan

spiritual terhadap klien. Terkait dengan itu Kozier et al (2004, p. 996)

menyatakan bahwa perawat yang memperhatikan spiritualitas dirinya

dapat bekerja lebih baik dengan klien yang mempunyai kebutuhan

spiritual.

b) Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi seseorang, dimana

semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemamuannya

untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilanya (Siagiaan, 2001).

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 65: Wawancara Spiritual

74

Hal ini mengandung arti bahwa tingkat pendidikan dapat memotivasi

seseorang untuk lebih disiplin, lebih maju, lebih berkembang sesuai

dengan tujuan hidupnya. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap daya

nalar dan daya kritis, sehingga berpengaruh pula terhadap kemampuan

penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.

Jika dikaitkan dengan kemampuan perawat dalam menyelesaikan masalah

spiritual klien, maka tingkat pendidikan juga menjadi faktor yang

berperanan dalam terlaksananya pemberian asuhan spiritual. Untuk dapat

memberikan asuhan spiritual, bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan

tentang aspek spiritual dan pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi

bagian penting yang harusnya direncanakan dalam kurikulum pendidikan

keperawatan. Terkait itu, dalam kurikulum diploma tiga keperawatan

(Akademi Keperawatan) pokok bahasan tentang spiritualitas sangat

sedikit dibahas, jika dibandingkan dengan pokok bahasan lain yang

terkait dengan aspek fisik atau psikologis. Demikian pula pada kurikulum

pendidikan keperawatan jenjang strata satu, hal serupa tampaknya juga

masih terjadi. Namun demikian, karena pada tingkat pendidikan strata

satu peningkatan kemampuan atau daya nalar dan daya kritik menjadi

lebih diutamakan, maka diharapkan daya nalar dan daya kritis itu juga

termasuk pada aspek spiritualitas, yang akan berdampak pada

meningkatnya kemampuan lulusan dalam memberikan asuhan spiritual.

Menurut Piles (1990 dalam William, 2003) program keperawatan dasar

(basic nursing program) mempunyai tanggungjawab untuk menyiapkan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 66: Wawancara Spiritual

75

perawat agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kliennya pada

semua aspek—tidak hanya fisik dan psikologis, tetapi juga spiritual.

Sementara itu hasil telaah yang dilakukan Fulton (1992 dalam William,

2003) terhadap berbagai literatur keperawatan, diyakininya bahwa

perawat praktisi dan mahasiswa keperawatan tidak dipersiapkan secara

baik dalam masa pendidikannya untuk dapat mengatasi masalah-masalah

spiritual klien. Hal tersebut disasarkan atas, tidak memadainya

pembahasan tentang aspek spiritual jika dibandingkan dengan aspek fisik

ataupun psikologis. Selain itu juga amat sedikit yang memfokuskan pada

aspek spiritualitas, termasuk konferensi tentang asuhan spiritual, kurus-

kursus tentang spiritualitas dalam keperawatan, tema-tema spiritualitas

dalam kurikulum pendidikan keperawatan, dan pembentukan kelompok-

kelompok peminatan khusus terkait dengan asuhan spiritual dalam

organisasi profesi keperawatan (Taylor, 2002 dalam William, 2003).

Kondisi ini dapat mempengaruhi perilaku perawat dalam memberikan

asuhan spiritual. Hal tersebut sesuai dengan kesimpulan William (2003)

yang menyatakan bahwa adanya perbedaan sikap tentang peran profesi

dalam pemenuhan kebutuhan spiritual klien antara pre-nursing dan

mahasiswa keperawatan senior (senior baccalaureate nursing students).

Kesimpulan perbedaan sikap ini dapat menunjukan bahwa ada hubungan

antara tingkat pendidikan dengan pemberian asuhan spiritual, meskipun

belum terekspresikan dalam perilaku nyata.

Selain itu, tingkat pendidikan juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan.

Suatu studi yang dilakukan Shih, et al (2008) di Tailand, yang bertujuan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 67: Wawancara Spiritual

76

untuk: (a) mengembangkan program asuhan spiritual bagi mahasiswa

master ilmu keperawatan (MS�) di Taiwan, (b) memfasilitasi mahasiswa

MS� dalam mengaplikasikan isi pogram ini pada asuhan klien mereka,

dan (c) untuk memahami harapan mahasiswa MS� tentang

kegunaan/manfaat program ini dalam membantu mereka dalam

memberikan asuhan spiritual di tatanan klinik.

Studi tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan WHO pada 1998, bahwa

kebutuhan akan kesehatan harus meliputi kesehatan/kesejahteraan

spiritual, selain domain fisik, mental dan sosial. Namum demikian

banyak sistem pendidikan medikal belum memasukan asuhan spiritual

sebagai bagian inti dalam kurikulumnya.

Studi yang melibatkan sampel sebanyak 22 mahasiswa MS� ini

menghasilkan empat jenis bantuan yang teridentifikasi yaitu: (a) 100%

responden menyatakan terbantu dalam mengklarifikasi konsep-konsep

teoritik tentang asuhan spiritual; (b) 100% menyatakan terbantu dalam

mengkaitkan aspek budaya dalam menyusun perencanaan asuhan spiritual

pada kliennya; (d) 91% menyatakan terbantu dalam

menyingkap/membuka sistem nilai personal dan kebutuhan spiritual diri

perawat sendiri; dan (d) sebanyak 86% menyatakan terbantu dalam

mengklarifikasi makna simbolik dan pengaruh ritual keagamaan klien.

Studi ini juga secara eksplisit menyimpulkan adanya peningkatan

kemampuan dalam mengembangkan perencanaan asuhan spiritual dan

memberikan asuhan spiritual secara keseluruhan, seiring dengan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 68: Wawancara Spiritual

77

meningkatnya tingkat pendidikan, termasuk pengetahuan tentang asuhan

spiritual.

c) Perbedaan Gender

Beberapa studi yang memperlihatkan adanya perbedaan yang berkaitan

dengan gender dalam hal cara berfungsinya intelek cenderung terlalu

melebih-lebihkan hasil temuan mereka. Hasil dari studi yang tidak

memperlihatkan perbedaan gender biasanya tidak diterbitkan atau hasil

temuannya kurang diperhatikan (Gage & Berliener, 1992 dalam Bastable,

2002). Oleh karena itu, mengenai sejauh mana hasil pembelajaran itu

dipengaruhi oleh perbedaan gender hingga kini masih terus dipertanyakan

dan dikaji.

Laki-laki dan perempuan sudah pasti berbeda. Berbeda dalam cara

berespon, bertindak, dan bekerja di dalam situasi yang mempengaruhi

setiap segi kehidupan. Misalnya dalam hubungan antar manusia, intuisi

perempuan cenderung ditampakan dengan nada suara dan air muka yang

lembut, sedangkan laki-laki cenderung tidak peka terhadap tanda-tanda

komunikasi tersebut. Dalam hal navigasi perempuan cenderung

mengalami kesulitan untuk menemukan jalan, sedangkan laki-laki lebih

kuat pengenalan arahnya. Semantara itu, dalam bidang kognitif,

perempuan lebih unggul di bidang bahasa dan verbalisasi, sedangkan laki-

laki menunjukan kelebihannya dalam kemampuan mengenali ruang dan

matematika.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 69: Wawancara Spiritual

78

Laki-laki dan perempuan memperlihatkan budaya sosial yang berbeda

satu sama lain. Mereka menggunakan simbol, sistem kepercayaan, dan

cara-cara yang berbeda untuk mengekspresikan dirinya. Johnson (2000

dalam Bastable, 2002) misalnya mencontohkan bahwa permpuan

cenderung mampu untuk menjadi pendengar yang baik dan dapat

langsung menangkap fokus permasalahan dalam diskusi dan tidak

terfokus pada diri sendiri. Mereka cenderung lebih banyak menjawab, dan

lebih peka terhadap orang lain, termasuk terhadap aspek psikologis dan

spiritual klien. Sementara laki-laki disisi lain lebih pandai memimpin

diskusi. Sikap inipun baik untuk digunakan dalam menangani masalah

klien termasuk masalah spiritual klien, dengan mengajak klien, keluarga,

tim kesehatan lain, dan pemuka agama untuk bersama-sama

mendiskusikan kebutuhan spiritual klien saat sakit dan dirawat di institusi

pelayanan kesehatan.

Dari hasil penelusuran terhadap berbagai kepustakaan, belum ditemukan

adanya pernyataan yang secara tegas menunjukan hubungan antara

gender dengan pemberian asuhan spiritual. Oleh karena itu dalam

penelitian ini ingin diketahui apakah ada hubungan antara gender dengan

perilaku dalam memberikan asuhan spiritual oleh perawat.

d) Pengalaman Kerja

Wursanto (2003), Siagian (2001), Sinaga (2001), dan Bastable (2002)

menyatakan bahwa pengalaman kerja adalah keseluruhan pelajaran yang

diperolah seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dialami selama

perjalanan kerjanya. Oleh karena itu, pengalaman kerja mempengaruhi

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 70: Wawancara Spiritual

79

pegawai dalam menjalankan fungsinya sehari-hari. Semakin lama

seseorang bekerja maka akan semakin terampil dan semakin

berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Dikaitan dengan

pernyataan itu dapat diartikan bahwa perawat yang bekerja lama akan

lebih terampil dalam melaksanakan pekerjaannya, termasuk pekerjaan

terkait dengan penemuan masalah dan pemenuhan kebutuhan spiritual

kliennya.

Terkait dengan hubungan antara lamanya bekerja dengan perilaku dalam

memberikan asuhan spiritual, hingga saat ini belum ditemukan hasil

penelitian mengenai ini. Oleh karena itu dalam studi ini ingin diketahui

bagaimana hubungan lamanya bekerja dengan pemberian asuhan spiritual

oleh perawat.

2. Persepsi

Banyak ahli yang mencoba membuat definisi dari persepsi. Persepsi, menurut

Rahmat (1998) adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Menurut Ruch (1967, dalam Rahmat, 1998), persepsi adalah suatu

proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa

lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita

gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada

dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991, dalam Rahmat, 1998)

mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan

mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 71: Wawancara Spiritual

80

(1994 dalam Ramhat, 1998) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses

pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.

Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan

khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja

stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai

proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan

bantuan indera (Chaplin, 1989 dalam Ramhat, 1998). Sebagai cara pandang,

persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus.

Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek. Stimulus masuk ke dalam

otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang

rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson & Hilgard, 1991 dalam

Rahmat, 1998). Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus

(inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran

stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi

perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan

perilaku orang lain atau menafsirkan sesuatu sesuai dengan keadaannya

sendiri (Gibson, 1986, dalam Ramhat, 1998).

Sementara itu menrut McSherry et al (2002 dalam Oswald, 2004) persepsi

melibatkan tingkat kesadaran dan pemahaman yang dalam terhadap suatu

konsep. Dari proses persepsi yang dalam ini akan menimbulkan respon yang

dapat berupa pikiran, perasaan dan tindakan (McCuddy, 2004).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses

kesadaran dan pemahaman yang mendalam dalam diri individu, dengan

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 72: Wawancara Spiritual

81

melibatkan panca indera sehingga individu sadar dan terbentuk tanggapan

dalam dirinya akan sesuatu baik berupa orang, objek, peristiwa atau konsep

lain di lingkungannya.

Persepsi melibatkan banyak faktor. Menurut McCuddy (2008) setidaknya

terdapat tiga faktor yang mempengaruhi proses persepsi yaitu: karakteristik

yang mempersepsikan (characteristics of the perceiver), karakteristik seting

(characteristics of the setting), dan karakteristik yang dipersepsikan

(characteristics of the perceived). Ketiga faktor tersebut pada akhirnya

berperan penting dalam menghasilkan respon seseorang terhadap stimulus.

Lebih lanjut McCuddy mengatakan proses persepsi menurut karakteristik

yang mempersepsikan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan

atau motif, kepribadian, nilai-nilai dan sikap. Sementara itu proses persepsi

menurut karakteristik seting dipengaruhi oleh kontek fisik, kontek sosial, dan

kontek organisasi.

Proses persepsi menurut karakteristik yang dipersepsikan (orang, objek atau

peristiwa yang dipersepsikan) dipengaruhi oleh kontras, intensitas, ukuran,

latar belakang, dan pengulangan ataukah sesuatu yang baru. Hasil dari proses

persepsi tersebut akan menimbulkan respon yang dapat berupa pikiran,

perasaan dan tindakan.

Persepsi dalam riset ini adalah persepsi perawat terkait dengan spiritualitas

dan asuhan spiritual. Proses persepsi perawat terhadap spiritualitas dan

asuhan spiritual akan mempengaruhi respon mereka (baik berupa pikiran,

perasaan maupun tindakan atau perilaku) dalam pemberian asuhan spiritual.

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 73: Wawancara Spiritual

82

Newshan (1998, dalam Gray, 2006) menyatakan bahwa perawat akan mampu

berrespon terhadap kebutuhan spiritual pasien bila mereka menyadari akan

spiritualitas dirinya.

D. Instrumen Pengkajian Persepsi Spiritualitas dan Asuhan

Spiritual

Instrumen terkait dengan pengukuran spiritualitas dan asuhan spiritual yang

bersifat kuantitatif belum banyak dikembangkan, dan instrumen yang telah ada

Spirituality and Spiritual Care Rating Scale (SSCRS). SSCRS merupakan

instrumen kuantitatif yang dikembangkan McSherry (2000) utnuk

mengeksplorasi persepsi perawat tentang spiritualitas dan asuhan spiritual.

SSCRS meliputi 9 area kunci yang terkait dengan spiritualitas dan asuhan

spiritual yaitu: harapan; arti dan tujuan; ampunan; nilai dan keyakinan; asuhan

spiritual; hubungan; keyakinan terhadap Tuhan atau hal terkait ketuhanan,

moralitas; dan kreativitas atau ekspresi diri. Keseluruhan area tersebut

terdistribusi ke dalam 17 pernyataan dengan 5 skala Likert, yang terdiri atas

sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu, setuju dan sangat setuju (Oswald, 2004).

Validitas dan reliabilitas instrumen SSCRS ini telah secara cermat diuji oleh

beberapa peneliti untuk menopang riset yang berkualitas. Pengujian pertama

dilakukan McSherry (2000) yang menyebutkan bahwa hasil uji instrumen ini

didapatkan koefisien alpha sebesar 0.77 (Oswald, 2004). Untuk sebuah instrumen

yang baru dikembangkan, hasil pengujian tersebut mengindikasikan tingkat

reliabilitas yang dapat diterima. Pengujian kedua terhadap instrumen ini

dilakukan oleh Oswald (2004) dalam penelitiannya yang berjudul nurses’

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009

Page 74: Wawancara Spiritual

83

perceptions of spirituality and spiritual care dengan hasil yang tetap atau tidak

ada perubahan dengan hasil pengujian pertama.

Meskipun demikian, instrumen ini yang direncanakan akan digunakan dalam

penelitian ini, akan dilakukan uji reliabilitas dan validitas kembali, mengingat

instrumen ini merupakan hasil adaptasi dari instrumen aslinya yang

dikembangkan dinegara lain. Selain itu perbedaan latar belakang sosial budaya

populasi dalam rencana penelitian ini juga menuntut perlunya instrumen ini

untuk diuji kembali aspek reliabilitas dan validitasnya.

E. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian berbagai konsep di atas maka kerangka teori yang disusun

dapat diperlihatkan pada skema 2.1.

(1Treloar [2002]; 2Vance; 3Elison & Smith [1991]; 4Musgrave & McFarlane [2004]; 5Smith [2006]; 6Newshan [1998]; 7Dorff [1993]; 8Piles [1990]; 9Droff [1993]; 10Carr [1993]; 11Murray [1990]; 11Vance

[2001]; 12William [2003]; 13Fowler et al [2004]; 14Bastable [2002])

• Faham materialis1

• Ketidakcukupan waktu2

• Bingung peran/tugas profesional1,11

• Kurangnya perhatian dan kenyamanan

spiritualitas diri 1,11

• Kesejahteraan/kesehatan spiritual diri3,4

• Pemeliharaan spiritualitas diri5

• Kesadaran akan spiritulitas perawat6,10

• Pengetahuan spiritual dan asuhan

spiritual1,7,8,11

• Keyakinan spiritualitas hal yang pribadi

(private)1,11

• Takut menginvasi privasi klien7,9

• Kurangnya rasa percaya diri 11

• Persepsi spiritualitas-asuhan spiritual1

• Perbedaan dalam spiritualitas perawat-

klien11

• Karakteristik perawat (tingkat pendidikan 12,

usia 13

, gender 14

, pengalaman 14

)

Pemberian

Asuhan

Spiritual

oleh Perawat

Kebutuhan spiritual

klien

Faktor-Faktor…, Rohman, FIK UI, 2009