SR Beata Piekut

download SR Beata Piekut

of 25

Transcript of SR Beata Piekut

SR. BEATA PIEKUT MENGENANG SANTA FAUSTINA (I)

RIWAYAT HIDUP SINGKAT SR. BEATA PIEKUT Menjelang 100 tahun hidupnya, tepatnya 21 Oktober 2007, di biara Kongregasi Suster Bunda Allah Kerahiman meninggal dunia Sr. M. Beata Janina Piekut, wakil postulator dalam proses kanonisasi St. Suster Faustina. Upacara pemakamannya telah dipimpin oleh Kardinal Franciszek Macharski, uskup agung kota Krakow, pada tgl 25 Oktober 2007 di Sanktuarium Kerahiman Ilahi di Krakow-Lagiewniki..

1

Sr. Beata Piekut dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya di kampung Wilkowuje Krolewskie di keuskupan Plock. Ayahnya memiliki 30 hektar tanah pertanian dan sekaligus memimpin sebuah bank. Sesudah dua tahun lamanya bekerja di bank dan setahun belajar di Sekolah Perdagangan Tinggi, Janina Piekut menjadi anggota Kongregasi Bunda Allah Kerahiman pada thn 1932. Di banyak rumah milik kongregasinya, Janina - yang di biara dikenal sebagai Sr. Beata - menjalankan berbagai tugas: ia bekerja sebagai pendidik, pemegang buku kas, petugas sakristi, direktur sebuah kompleks Lembaga Pemasyarakatan (milik pemerintah) di Walendow dan Plock. Selama 18 tahun ia bekerja sebagai ekonom jenderal Kongregasi, dan sejak 1964 dia ditugaskan untuk menangani proyek persiapan beatifikasi Sr. Faustina serta popularisasi devosi kepada Kerahiman Ilahi. Sambil menjalankan tugas yang sulit ini, Sr. Beata bekerja sama erat dengan Kardinal Karol Wojtyla dan Kardinal Franciszek Macharski. Dia mempersiapkan edisi pertama Buku Harian Sr. Faustina dan berusaha supaya devosi kepada Kerahiman Ilahi berkembang di Polandia maupun di luar negeri sesuai dengan bentukbentuk yang diperkenalkan oleh Sr. Faustina sendiri. Sr. Beata ikut serta secara aktif dalam perayaan beatifikasi dan kanonisasi Sr. Faustina di Roma, juga dalam ziarah-ziarah Paus Yohanes Paulus II di Sanktuarium di Krakow-Lagiewniki dan aktif mengikuti segala peristiwa yang dialami oleh Kongregasinya dan Gereja pada umumnya. Selama tiga tahu terakhir hidupnya, Sr. Beata mulai sakit. Ia meninggal dunia di biara Lagiewniki, 21 Oktober 2007.

2

1. Tampak bahagia Sr. Faustina selalu bersinar. Ia menyinarkan kebahagiaan dan sukacita. Ia sangat bersuka cita karena tak lama lagi akan mengucapkan kaul kekalnya demikianlah kata-kata Sr. Beata Piekut tentang Faustina ketika ia bertemu dengannya untuk pertama kalinya. Waktu itu Maret 1932 katanya. Aku baru saja setahun lamanya di novisiat, ketika ada dua suster yang datang ke biara di Krakow. Yang satu, lebih tinggi, bernama Teresita. Ia sangat cantik, tetapi tampak lelah sesudah perjalanan yang jauh. Yang kedua, sebaliknya, lebih kecil, agak kurus. Dia tersenyum gembira seolah-olah ingin berbagai kebahagiaannya dengan semua orang. Suster yang kedua itu adalah Sr. Faustina.

3

2. Ramalan di Wilanow Pada saat bertemu untuk pertama kalinya, kami tidak saling menyapa. Namun, sesudah 70 tahun sejak pertemuan yang pertama itu aku ingat betul wajahnya, perilakunya, terutama suka cita yang dia pancarkan di mana-mana. Walaupun Sr. Beata sudah berusia tua ketika ia bercerita tentang Faustina, namun wajahnya menampakkan suka cita juga. Padahal Sr. Beata mengalami banyak kepahitan dalam hidupnya, khususnya semasa Perang Dunia II. Juga sehabis perang, ketika polisi komunis mengusir para suster dari biara-biara milik mereka. Tetapi, secara khusus Sr. Beata mengalami banyak kesulitan ketika ia bertahuntahun bekerja di Walendow dekat Warszawa. Di situ ia menjadi direktur Lembaga Pemasyarakatan bagi wanitawanita yang dihukum oleh pemerintahan. Sr. Beata sampai ke Walendow pada thn 1936. Ia diutus ke sana oleh Muder Jenderal Kongregasinya hanya untuk sebulan. Namun, Sr. Beata terpaksa tinggal di tempat itu selama 10 tahun! Misi di Walendow diramalkan kepadanya oleh Sr. Faustina. Aku sungguh berusaha meyakinkan pimpinan Kongregasi bahwa saya tidak siap dan juga tidak berpengalaman untuk menjadi direktur lembaga pemasyarakatan cerita Sr. Beata. Aku juga belum mengucapkan kaul kekal. Namun, semua alasanku tidak dipedulikan. Seorang suster harus taat, maka dengan rendah hati kuterima tugas itu. Namun, sebelum aku mengetahui keputusan Muder Jenderal, aku yakin dengan teguh bahwa sesuai dengan rencana semula aku akan kembali ke Warszawa pada hari raya Paskah. Aku tidak siap tinggal lebih lama di Walendow.

4

Sementara itu datang Sr. Faustina. Aku ingat tangalnya: 25 Maret. Cuaca bagus, matahari bersinar indah. Aku sedang memandang ke luar jendela, sambil membayangkan Paskah yang sudah mendekat. Saat itu aku didekati oleh Sr. Faustina. - Mengapa Suster begitu sedih? tanyanya. Aku katakan betapa aku rindu kembali ke Warszawa, tempat aku akan tinggal lebih lama. Tetapi, Sr. Faustina berkata: - Namun, Suster tidak segera akan tinggalkan tempat ini! - Lho, apa aku harus mati di sini? - Tidak, namun Suster akan tinggal di sini lebih lama daripada Suster merencanakannya. Aku sendiri, sebaliknya, tidak akan lama di sini! - Suster berlagak seperti seorang peramal. Mustahillah aku tinggal di Walendow lebih lama. Aku ditugaskan ke sini hanya untuk sebulan. Mana mungkin Suster segera akan kembali padahal Suster disuruh menetap di sini?! - Bagi Suster sendiri mungkin lebih baik kalau keluar dari sini. Tetapi, Tuhan akan membalas usaha Suster dengan baik. Inilah kata-kata yang ditujukan oleh Sr. Faustina kepadaku waktu itu. Ia mengucapkannya dengan sangat tenang, tanpa emosi. Dalam hati, aku mulai berontak. Aku tidak mau merahasiakan bahwa Faustina membuat aku marah. Namun, sekaligus kata-kata Faustina itu membuat aku mulai berpikir. Ramalam itu membangkitkan banyak pertanyaan dalam diriku. Dari mana Faustina bisa tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, padahal Muder Jenderal tidak mengambil keputusan apa pun mengenai aku selama ini? Ternyata, Faustina benar. Pada Jumat Agung dari Muder Jenderal aku menerima sepucuk surat kecil5

dengan isinya: Aku sangat prihatin, namun aku belum dapat memindahkan Suster dari Walendow. Alasanalasan keputusan ini akan kuberitahukan sesudah Paskah. Tak lama sesudahnya, Sr. Faustina betul-betul meninggalkan Walendow karena sakit. 3. Teolog Sebelum Sr. Faustina berangkat, Sr. Beata memperhatikannya dengan saksama. Ia merasa tidak senang sebab mau tahu bagaimana Faustina bisa mengetahui keputusan Muder Jenderal. Ia mencari segala jejak info yang menurut dia ternyata bocor dan sampai kepada Faustina. Ia bercerita begini Aku tidak mengadakan kontak dengan Faustina, tetapi terus menerus memperhatikannya. Aku berbicara dengan suster-suster yang dekat dengan Faustina. Ia selalu cerah, siap menolong siapa saja, tidak pernah mengeluh mengenai perintah atasannya. Padahal ia tidak melakukannya dengan mudah sebab penyakitnya berkembang dengan cepat. Faustina diberi nama Teolog. Lama aku tidak pahami alasan julukan ini. Baru setelah seorang suster yang bekerja sebagai tukang kebun membawa sebuah tanaman liar ke biara, masalahnya menjadi jelas bagiku. Dalam setiap tanaman Sr. Faustina mampu melihat sesuatu yang mengagumkan. Titik yang paling kecil pada tanaman dipandangnya sebagai hiasan yang luar biasa indah. Lihatlah! kata Sr. Faustina Kalau Tuhan Allah dapat mendandani tanaman biasa dengan begitu indah, betapa indahnyalah jiwa manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah!

6

Ya, dalam benda dan gagasan apa pun ia terus melacak jejak Allah kata Sr. Beata.

SR. BEATA PIEKUT MENGENANG SANTA FAUSTINA (II)WAWANCARA DANUTA DAJMUND DENGAN SR. BEATA PIEKUT Dapatkah Suster menceritakan jalan panggilan Suster untuk hidup membiara, khususnya pertemuan dengan St. Faustina?

Nama saya Janina Piekut. Sebagai biarawati saya dipanggil Suster Beata. Saya dilahirkan di Wilkowuje Krolewskie, bulan Maret tahun 1908. Baik Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah saya selesaikan di kota Plock. Lalu saya masuk universitas. Namun, karena seusai Perang Dunia I hidup menjadi semakin berat, saya hanya menyelesaikan dua tahun studi, lalu mulai bekerja. Saya bekerja di bank. Di situ saya sudah menyaksikan banyak bukti demoralisasi drastis yang dialami teman-temanku perempuan yang lebih muda.7

Sambil menyaksikannya saya mulai berpikir bahwa harus diadakan silih atas segala dosa itu. Di kota Plock saya tinggal di seberang biara Kongregasi Suster-suster Bunda Allah Kerahiman. Saya tahu bahwa kongregasi itu berusaha mendidik gadis-gadis yang terlantar secara moral. Maka saya mengambil keputusan untuk menawarkan diri sebagai orang yang mau mengadakan silih atas kelakuan tercela kaum wanita muda. Namun, ketika saya berjumpa dengan pimpinan biara, saya dianjurkan untuk menjadi biarawati dalam kongregasi mereka. Jika itu terjadi, aku akan mendapat kesempatan untuk secara langsung membawa gadis-gadis itu kepada pertobatan supaya mereka kembali ke jalan yang benar. Usul ini saya renungkan dan akhirnya saya masuk kongregasi itu untuk menunjukkan kepada gadis-gadis yang terlantar tersebut bahwa hidup ini dapat indah dan menyenangkan, juga kalau semua perintah Allah dilaksanakan dan kalau masing-masing orang sungguh menghargai dirinya sendiri. Inilah motivasi utama saya masuk kongregasi Suster-suster Bunda Allah Kerahiman. Kapan Suster mulai mengenal devosi kepada Kerahiman Ilahi? Devosi kepada Kerahiman Ilahi dalam bentuknya sekarang saya tahu jauh sesudahnya. 26 April 1932, ketika saya masuk biara, saya sangat tertarik pada koronka yang waktu itu didaraskan oleh kongregasi kami. Ini bukan koronka yang sekarang dikenal di seluruh dunia. Sambil memegang rosario biasa, 10 kali diucapkan doa singkat, Ya Yesusku, bermurah hatilah! dan Demi pahala luka-luka-Mu. Sekarang saya malah tidak ingat kata-kata doa itu. Karena saya8

menjadi biarawati demi menyelamatkan gadis-gadis yang berkelakuan moral tidak benar, doa koronka itu saya pandang sangat cocok bagi saya. Kapan dan bagaimana pertemuan pertama Suster dengan Sr. Faustina? Jalan hidup masing-masing manusia berbeda-beda. Terjadilah, pada awal hidup membiara saya, Kementerian Keadilan Polandia mohon supaya Kongregasi kami mendirikan semacam lembaga pemasyarakatan bagi gadis-gadis yang dihukum oleh pengadilan untuk pertama kalinya. Kongregasi kami mengabulkan permohonan itu sambil menentukan bahwa lembaga itu akan didirikan di Walendow, di tempat kami sudah mempunyai sebuah biara yang paling dekat letaknya dengan ibukota Polandia, Warszawa. Setelah mengucapkan kaul pertama, saya ditunjuk sebagai pendidik asrama di rumah induk di Warszawa, lalu pada tgl 12 Maret 1936 saya dipindahkan hanya untuk sebulan (demikianlah kata Muder Jenderal, Michaela Moraczewska) ke Walendow. Saya ditugaskan untuk menjadi direktris lembaga pemasyarakatan di Walendow. Kementerian Keadilan mengutus seorang nyonya Komisaris yang mendidik para suster kami dalam segala urusan kantor penjara. Semuanya harus mirip penjara sebab gadis-gadis dibawa ke situ untuk menjalani hukumannya. Nyonya Komisaris mengajarkan suster-suster kami bagaimana mereka harus memperlakukan gadis-gadis nakal itu. Ia senang sekali setelah saya tiba ke Walendow. Ia berkata, Siapa tahu kalau Suster harus tinggal di sini lebih lama? Beberapa bulan kemudian saya diberitahu bahwa nyonya Komisaris itu mendesak pimpinan9

lembaga pemasyarakatan itu supaya saya tetap bekerja di Walendow. Pimpinan itu selanjutnya menyampaikan masalah ini kepada pimpinan biara saya yang merasa terganggu sekali dengan permintaan itu, sebab saya sudah ditetapkan untuk bekerja di Warszawa. Lagi pula pada waktu itu saya belum berkaul kekal. Namun, karena segala urusan sehubungan dengan lembaga pemasyarakatan sudah berkembang dengan baik, pimpinan Kongregasi setuju supaya saya tetap tinggal di Walendow. Saya sendiri sama sekali tidak mengetahuinya. Pada suatu hari saya masuk ruang rekreasi di biara kami. Sambil berdiri dekat jendela, saya memikirkan saat saya akan kembali lagi ke Warszawa. Waktu itu Pekan Suci. Saya berencana untuk kembali ke Warszawa pada Sabtu Malam Paskah. Sebab saya datang ke Walendow dengan membawa satu koper saja. Waktu itu ruangan rekreasi dimasuki dua suster kami. Yang satu Sr. Teresita, yang cantik sekali, walaupun tampak lelah, dan yang satu lagi Sr. Faustina. Saya tidak memperhatikannya secara khusus. Saya hampir tidak mengenal mereka sebab mereka bekerja di rumah lain. Justru Sr. Faustina sendiri memulai percakapan dengan saya. Ia ingin tahu mengapa saya sedih. Saya membantah, Saya tidak sedih. Suster saja yang berpikir saya ini sedih. Ia menjawab, Tetapi, Suster berpikir begitu intensif Lalu saya mengakui bahwa saya memikirkan keberangkatan saya dari tempat ini. Sr. Faustina menanggapinya, Suster, hendaknya Suster menerima kehendak Allah, sebab Suster tidak akan berangkat dari sini. Kata-kata itu megagetkan saya. Saya menangkisnya, Apa maksudnya tidak akan10

berangkat? Apakah artinya saya akan mati di sini? Faustina menjawab, Suster tidak akan mati, tetapi Suster akan tinggal di sini lama. Suster Teresita menyeletuk, Sampai kaul kekal? Saya heran sebab kaul kekal harus saya ucapkan 5 tahun lagi. Sementara itu Sr. Faustina menambah dengan sangat tenang namun dengan nada tegas, Suster Beata akan di sini sampai kaul kekal dan sesudah kaul kekal. Karena kaget, saya berkata, Suster berlagak sebagai peramal?! Muder Jenderal pun tidak tahu apa yang akan terjadi sampai dan sesudah kaul kekal, dan Suster sudah tahu? Lalu Sr. Teresita bertanya kepada Sr. Faustina, Suster juga akan tinggal selama masa itu di sini, bukan? Jawab Faustina, Tidak, saya segera akan berangkat. Bagaimana ini? saya bertanya lagi Suster datang untuk menetap di sini, tetapi berkata akan segera berangkat, sedangkan saya yang datang ke sini hanya untuk sebulan, harus tinggal di sini? Ya jawab Sr. Faustina saya akan berangkat sebab ini perlu bagi jiwa saya. Lalu saya bertanya, Dari mana Suster tahu bahwa ini tidak perlu bagi jiwa saya juga? Sr. Faustina merenung sejenak, memandang saya, lalu menjawab, Mungkin ini akan lebih baik, tetapi kalau Suster akan setia kepada Tuhan Yesus, Ia akan mengganjar Suster dengan berlimpah. Saya ingin menambah bahwa Faustina tidak mungkin mengetahui keputusan Pimpinan Kongregasi tentang perpanjangan masa tinggal saya di Walendow, sebab tidak seorang pun yang pada waktu itu mengetahuinya. Hari berikutnya, Muder Jenderal mengirim kepada saya sepucuk surat kecil yang berisi keputusan supaya saya tinggal di Walendow. Inilah percakapan saya satusatunya dengan Sr. Faustina

11

Di kemudian hari saya kadang-kadang melihat dia sebab selama sebulan ia masih di Walendow ketika ia datang dari kota Vilnius, tetapi saya tidak sempat berbicara lagi dengan dia secara pribadi. 5 Mei 1936 Faustina secara definitif meninggalkan Walendow dan pindah ke Krakow. Sejak keberangkatannya saya tidak memperhatikannya lagi dan kami tidak pernah bertemu lagi. Waktu itu saya sendiri dan orang lain pun di Kongregasi kami tidak tahu betapa kayanya hidup rohani Sr. dan apa misi yang diterimanya dari Tuhan Yesus. Kapan lagi Suster mendengar tentang Sr. Faustina?

Tahun 1939 saya pergi ke Krakow untuk menjalani di situ masa persiapan (selama 5 bulan), semacam novisiat kedua sebelum mengucapkan kaul kekal. Di situlah aku mengalami Perang Dunia II. Kaul kekal kami ditunda sebab Muder Jenderal tidak dapat meninggalkan Warszawa karena terputusnya sarana komunikasi. Sehabis kaul kekal, yang saya ucapkan 30 November, bersama dengan Muder Jenderal saya berangkat ke Warszawa. Dan di sana terjadilah hal yang tak terbayangkan.

12

Pada suatu hari saya melintasi Jl. Marszalkowska (sebenarnya saya berjalan di lorong-lorong antara gedung-gedung yang sudah dihancurkan karena perang). Tiba-tiba saya mendengar suara seorang perempuan yang memanggil saya. Ia berlari di belakang saya, sambil melompat di antara puing-puing. Maka saya berhenti dan bertanya, Apakah Ibu membutuhkan pertolongan saya? Saya tidak memerlukan pertolongan. jawab wanita itu Saya hanya minta Suster memberi saya Koronka kepada Kerahiman Ilahi. Saya menanggapi bahwa hal ini mustahil sebab saya tidak punya teksnya di sini. Tetapi, ia menjawab, Tetapi, Suster pasti menghafalnya, bukan? Biarlah Suster mengucapkannya, dan saya segera akan mengingatnya. Karena tergesa-gesa, saya mengusulkan supaya ia mengikuti saya dan saya akan mengajarkannya sambil jalan. Saya mulai mendaraskan Koronka yang dikenal oleh semua suster di Kongregasi kami. Tetapi, perempuan itu menghentikan bicara saya, katanya, Suster, bukan koronka ini! Tolonglah mengucapkan Koronka Sr. Faustina! Saya tak bisa mengajarkan koronka itu sebab saya tidak mengenalnya dan belum pernah mendengarnya. Perempuan itu tetap bersikeras, namun akhirnya ia berkata, Ya, para suster begitu iri hati Padahal Tuhan Yesus memberi koronka itu kepada semua orang, namun suster-suster malah tidak sudi mengajarkannya. Setelah kembali ke biara, saya langsung menghadap Muder Jenderal untuk menceritakan kejadian itu kepada beliau. Sambil tersenyum, Muder Michaela dengan tenang berkata, Silakan makan siang dulu. Di ruangan makan Suster akan menemukan sepucuk kertas dengan13

informasi bahwa pada pkl. 20.00 nanti saya akan berbicara dengan seluruh komunitas sebab saya ingin mengatakan sesuatu mengenai hal ini kepada semua suster. Dan benar, pada malam hari, dalam rangka pertemuan bersama itu, Muder berkata begini, Karena banyak orang semakin sering bertanya kepada suster-suster tentang Koronka Sr. Faustina (malah hari ini juga seorang suster di antara kita juga ditanyakan hal itu), dan para suster tidak tahu apa yang harus dijawab, maka saya ingin memberitahukan bahwa Sr. Faustina konon mengalami penglihatan-penglihatan Tuhan Yesus. Konon Tuhan menyuruh dia melukis sebuah gambar dan konon Ia mengajarkan kepadanya sebuah koronka kepada Kerahiman Ilahi. Ya, konon, konon. Lalu beliau menambahkan, Aku beri kepada para suster beberapa eksemplar buklet kecil ini. Buklet kecil itu tidak berukuran lebih besar daripada sebuah gambar yang biasanya dimasukkan ke dalam buku doa. Di sampul depannya ada lukisan Tuhan Yesus, dan di dalamnya tercantum Koronka kepada Kerahiman Ilahi serta Novena, tepatnya novena yang diucapkan Sr. Faustina sejak Jumat Agung hingga hari Minggu II Paskah yang kini disebut Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Jumlah buklet itu sedikit, sehingga para suster saling meminjamkannya untuk mengenal doadoa yang tercantum di dalamnya. Saya mengakui dengan jujur bahwa saya tidak peduli mengenai hal ini. Saya memang paling muda dari semua suster yang hadir di situ, tetapi saya memang tidak tertarik pada buklet itu. Pada malam itulah untuk pertama kalinya saya mendengar sesuatu tentang Sr. Faustina dalam konteks yang sama sekali baru. Ketika14

saya berjumpa dengannya di Walendow, saya sama sekali tidak berpikir bahwa Sr. Faustina pernah mengalami sesuatu yang sangat luar biasa Apakah devosi kepada Kerahiman Ilahi yang kemudian berkembang mempengaruhi hidup Suster juga? Hidup saya berlanjut dengan cara tersendiri. Saya dipindahkan ke kota Plock yang pada waktu perang diduduki oleh tentara Jerman. Asrama untuk gadis-gadis yang dididik oleh Kongregasi kami di situ, ditutup. Saya harus membangunnya mulai dari nol lagi. Dari Plock saya pergi ke kota Wroclaw. Di situ pun saya mengadakan asrama untuk gadis-gadis yang bermasalah. Dari Wroclaw saya kembali lagi ke Warszawa. Selama waktu itu devosi kepada Kerahiman Ilahi semakin menyebar. Para suster bersikap macammacam terhadap devosi itu. Ada yang mengaguminya. Ada juga, yang seperti saya sendiri, tidak percaya. Kami ingat Sr. Faustina sebagai manusia biasa, sama seperti kami masing-masing. Ada suster-suster yang malah berkata, Eh, dia santa sama seperti kita-kita ini!

15

Sementara itu semakin sering terdengar berita mengenai mukjizat yang konon terjadi berkat pertolongan Sr. Faustina. Seorang ibu menghadap Kardinal August Hlond di Warszawa untuk menceritakan kepada beliau suatu penyembuhan berkat doa kepada Sr. Faustina. Kardinal menyuruh ibu itu menghubungi Muder Jenderal. Tetapi, beliau pun tidak tahu bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap berita itu. Maka ia mengutus suster sekretarisnya kepada Kardinal untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Kardinal dengan saksama menanyakan berbagai hal mengenai Sr. Faustina. Juga mengenai opini Kongregasi tentang Faustina itu. Ia minta supaya segala sesuatu yang berhubungan dengan Sr. Faustina jangan dihancurkan, melainkan justru dijaga dan dipelihara. Termasuk kesaksian ibu yang menceritakan penyembuhan kepada beliau. Supaya jangan ada yang16

diabaikan kata Kardinal hendaknya ada seorang suster yang akan mengumpulkan semua kenangkenangan tentang Faustina, sebab mungkin suatu hari semuanya itu akan diperlukan seandainya Tuhan Yesus menghendaki suster itu diangkat menjadi santa. Setelah itu, pimpinan Kongregasi menyuruh dua suster untuk menyusun kenang-kenangan dari semua suster yang pernah mengenal Sr. Faustina. Saya tidak pernah ditanya mengenai Sr. Faustina sebab saya bersama dengannya hanya selama sebulan di Walendow. Saya sendiri juga tidak berminat melaporkan apa-apa. Namun, saya ingat percakapan dengan dia dan tentang ramalannya bahwa saya akan lama di Walendow. Saya malah mengeluh terhadap Muder Jenderal begini, Muder telah memberitahukan kepada Sr. Faustina bahwa saya akan lama di situ, tetapi kepada saya Muder tidak memberitahukannya. Muder Jenderal langsung menegaskan bahwa ia tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun, sebab ia sendiri tidak tahu pada waktu itu. Namun, ia membenarkan bahwa persiapan demi berfungsinya lembaga pemasyarakatan sudah begitu maju, sehingga ia terpaksa begitulah katanya mengorbankan saya walaupun saya berusia muda pada waktu itu. Ia menjelaskan bahwa ia tidak pernah bicara dengan Sr. Faustina mengenai keputusan itu. Saya dapat menerima penjelasan tersebut. Namun, sekarang saya yakin bahwa kalau Sr. Faustina mengalami hidup rohani yang begitu sempurna, maka ia dapat saja mengetahui hal itu berkat petunjuk adikodrati

17

Banyak hal menjadi jelas ketika para suster mengumpulkan berbagai kenangan tentang Sr. Faustina. Berkat usaha itu diketahui oleh semua suster bahwa Faustina membuat catatan-catatan harian. Salah seorang suster ingat bahwa ia melihat Faustina suka menulis, namun pada saat ia masuk ke dalam kamarnya, Faustina langsung dan cepat menyembunyikan buku catatannya. Pada waktu itu, sebagaimana biasanya dalam biara, di mana setiap suster mempunyai tugasnya sendiri-sendiri, saya tidak tertarik untuk mengetahuinya. Dari waktu ke waktu saya memang mendengar berbagai informasi baru. Namun, baru pada tahun 1964, Muder Jenderal yang kiranya menjadi muder keempat sejak Sr. Faustina meninggal dunia menyuruh saya menangani masalah itu. Saya diminta menghadap Uskup Agung Krakow, Mgr. Karol Wojtyla untuk mohon kepadanya supaya beliau mencari tahu di Roma, apakah ada kemungkinan dibukanya proses informatif menuju beatifikasi Sr. Faustina. Sebab semakin banyak orang berdatangan sambil bercerita tentang macam-macam rahmat yang mereka terima berkat Doa Koronka dan Novena kepada Kerahiman Ilahi. Mereka mendesak supaya dimulai usaha serius agar Sr. Faustina diakui sebagai beata.

18

Proses beatifikasi harus dibuka oleh uskup tempat calon santo/a meninggal dunia. Sebagaimana diketahui umum, Sr. Faustina sejak bulan Mei 1936 hingga saat kematiannya 5 Oktober 1939 tinggal di KrakowLagiewniki. Ketika saya memperkenalkan masalah ini kepada Uskup Agung, beliau mengakui, Suster, saya di sini dibombardir supaya dibuka proses informatif, padahal saya tidak tahu apa-apa mengenai Faustinamu itu. Hari berikutnya, sore hari, beliau harus berangkat menuju Roma untuk mengikuti Konsili Vatikan II. Maka beliau menyuruh supaya sebelum siang saya mengantarkan kepada beliau riwayat hidup singkat St. Faustina. Langsung dari rumah uskup saya pergi ke Lagiewniki. Di situ suster-suster kami sejak beberapa waktu lalu sudah mengumpulkan kenang-kenangan tentang Sr. Faustina. Saya membaca catatan-catatan mereka dan Buku Harian Sr. Faustina yang sudah disalin, dan19

berdasarkan itulah saya menyusun riwayat hidup singkat itu. Pagi hari saya membawanya kepada Uskup Agung. Ia menyuruh saya lagi membuat sebuah surat atas nama Kongregasi. Saya sebenarnya sama sekali tidak berhak menyusun surat yang demikian. Saya bukan pimpinan, melainkan suster biasa saja. Tetapi, Uskup Agung menenangkan saya, katanya, Jangan khawatir, Suster. Hendaknya Suster mencatat: mewakili. Setelah kembali dari Roma, Mgr. Karol Wojtyla memberitahukan kepada kami bahwa Prefekt Kongregasi di Vatikan bukan hanya mengizinkan melainkan memerintahkan untuk memulai proses informatif. Pada waktu itu saya bertugas sebagai ekonom jenderal Kongregasi, sehingga tugas saya banyak dan serius. Ketika Uskup Agung bertanya kepada saya apakah saya akan menangani masalah ini, saya menjawab bahwa kiranya tidak, sebab saya ekonom jenderal, padahal tugas ini perlu perhatian khusus. Uskup Agung memandang saya sejenak dan berkata, Nah, saya tidak tahu apa yang lebih penting? Saya mengulangi kata-kata ini kepada Muder Jenderal. Tidak lama kemudian ia memanggil saya dan memberitahukan bahwa proses itu harus saya tangani. Kehendak saya sama sekali tidak dihiraukan. Ketika seseorang masuk biara, ia langsung diberitahu bahwa kata-kata seperti, Saya tidak mau, atau, Saya tidak bisa, atau, Saya tidak mampu, harus tinggal di luar pintu masuk biara. Maka, saya menghadap Uskup lagi untuk memberitahukan kepada beliau bahwa saya ditugaskan untuk urusan itu. Ia menyuruh saya

20

melengkapi segala akte tribunal proses, dan menjelaskan bagaimana hal itu harus dilakukan. 21 Oktober 1965 Uskup Agung Karol Wojtyla memulai proses beatifikasi Sr. Faustina. Pekerjaan yang berkaitan dengan proses itu berakhir baru sesudah Faustina diangkat santa, yaitu 30 April 2000. Saya menjadi prokurator dalam proses itu (sebelum Konsili, fungsi ini hanya boleh dipegang oleh seorang imam). Saya selalu berterima kasih kepada Tuhan bahwa saya boleh memulai dan mengakhiri pekerjaan yang berlangsung selama 35 tahun itu. Tampaknya Tuhan sendiri mempercepat kanonisasi Sr. Faustina. Pada periode antara beatifikasi pada tahun 1993 hingga kanonisasi tidak ada banyak pekerjaan lagi. Kami hanya menantikan tanda dari surga sebagai pembenaran bahwa Faustina adalah santa bagi seluruh Gereja, sehingga boleh dihormati di mana-mana, bukan hanya di Gereja lokal, yaitu di Polandia. Catatan: Bagian selanjutnya bukan wawancara lagi melainkan bahan yang diperoleh dari sumbersumber lain di internet. Sr. Beata dengan tangan sendiri menyalin seluruh Buku Harian Sr. Faustina. Secara sangat teliti, kalimat demi kalimat, baris demi baris. Hasilnya ialah beberapa buku tulis. Selanjutnya ia mempersiapkan surat-surat Sr. Faustina untuk dicetak. Buku Harian Sr. Faustina dilengkapinya dengan ratusan catatan kaki (footnotes). Justru pekerjaan raksasa dan bertahun-tahun itu mempercepat proses beatifikasi Sr. Faustina. Sering kali Sr. Beata mengenang kembali suatu kejadian. Pada suatu hari seorang imam menuntut dari Sr. Beata supaya ia memberi kepadanya catatan21

catatan asli Sr. Faustina. Waktu itu Sr. Beata bertanya kepada Kardinal Karol Wojtyla apakah ia diizinkan memberikan catatan-catatan asli itu. Kardinal menjawab, Katakanlah kepada imam, sang profesor itu, bahwa saya sendiri melarang memberi catatan-catatan asli itu. Dan kepada Suster saya larang membawa catatan-catatan itu ke luar biara. Jangan-jangan Suster naik trem bersama dengan catatan-catatan itu, lalu trem keluar dari relnya. Lalu Buku Harian Sr. Faustina akan hilang. Suster akan tewas, tetapi itu tidak apa-apa sebab pasti akan ke surga, tetapi Buku Harian itu tak boleh hilang!

Buku Harian itu terus dijaga oleh Sr. Beata. Tidak seorang pun boleh menyentuh 6 buku tulis asli Sr. Faustina itu. Maka, tidak mengherankan bahwa buku itu begitu dijaga sehingga banyak suster sama sekali tidak tahu mengenai adanya Buku Harian itu. Selama proses beatifikasi dan kanonisasi Sr. Faustina ada cukup banyak saat yang tidak menyenangkan dan sulit. Sejumlah orang tidak senang dengan adanya proses itu. Sr. Beata ingat bahwa suatu hari seorang biarawan fransiskan (cabang St. Bernardus) menghadap pimpinan proses sambil mendesak agar

22

proses itu dihentikan. Kalau proses itu diteruskan, wibawa Keuskupan Agung Krakow akan dirugikan!, katanya. Sr. Faustina itu visioner apa sih? Namun, Sr. Beata berhasil menemukan dokter yang pada waktu itu masih hidup. Ia pernah memeriksa kesehatan fisik dan mental Sr. Faustina. Bahan pemeriksaan dokter itu masih terpelihara dengan baik dan menjadi bukti kuat bahwa dalam diri Sr. Faustina tidak ada kelainan apa pun.

Sr. Beata mengetahui tentang pemeriksaan oleh dokter itu dari Pastor Prof. Dr. M. Sopocko, bapak pengakuan dosa dan pembimbing rohani Sr. Faustina. Sr. Beata sempat bicara dengan Rev. Sopocko berkali-kali, malah hadir pada waktu pastor itu meninggal. Sr. Beata pernah ditanya apakah ia tidak ragu-ragu mengenai proses yang ditanganinya. Ia menanggapinya23

begini, Pada waktu saya memulainya, saya sama sekali tidak membayangkan bahwa suatu hari Sr. Faustina akan diangkat santa. Tentu, saya sangat meragukan hasil proses itu dan khawatir bahwa semua usaha itu sia-sia. Saya malu mengakuinya. Namun, saya berdoa banyak kepada Sr. Faustina. Ada satu peristiwa yang membuat saya mulai yakin bahwa proses ini akan berakhir dengan baik. Cukup lama saya mencari seorang notaris yang dapat diikutsertakan dalam proses itu. Notaris itu harus seorang imam. Maka saya berkeliling dari biara ke biara tetapi tidak pernah ditolong siapa pun. Saya percaya bahwa ordo SJ akan mampu menolong saya, tetapi provinsial mereka tidak menemukan seorang pun yang peduli mengenai Sr. Faustina. Saya mengakui, pada waktu itu saya sudah putus asa. Tetapi, saya masih mau mampir ke biara Salesian. Harinya panas terik. Sambil berjalan di jalan setapak, saya keringat dan lelah. Saya marah sehingga malah tidak mampu berdoa sama sekali. Dalam jiwa, saya berteriak kepada Sr. Faustina begini, Engkau tenangtenang duduk di surga dekat Tuhan Yesus, memadang muka Allah sendiri, tetapi saya susah betul karena kamu. Kalau kamu tidak akan memberi aku seorang notaris, saya tidak akan meneruskan pekerjaan ini. Saya akan memasukinya ke dalam laci dan biarlah dilupakan saja! Bayangkanlah, Sr. Faustina langsung menolong saya. Provinsial Salesian berbelas kasih kepada saya yang lelah dan keringatan. Ia memberi kepada saya sekretarisnya pribadi sebagai notaris. 25 Oktober 1966 diadakan ekshumasi jenazah Sr. Faustina, lalu pemindahannya ke kapel. Sejak tahun 1993 tulang yang masih tersisa itu beristirahat di bawah24

altar Yesus yang Maharahim di sanktuarium di KrakowLagiewniki. Dengan agak sedih Sr. Beata bercerita bahwa ia tidak berhasil membujuk atasannya untuk membalsem tubuh Faustina. Dewasa ini, di semakin banyak tempat Sr. Faustina dihormati dan di makin banyak tempat ada relikui Sr. Faustina. Relikui itu tersebar di 1800 tempat di seluruh dunia. Muder Jenderal pernah berkat kepada Sr. Beata supaya ia lebih hati-hati dan tidak terlalu mudah memberikan relikui itu sebab nanti seluruh Faustina kami akan hilang tak berbekas. (Diterjemahkan dan diolah seperlunya oleh Stefan Leks, Januari 2008)

25