SPM week 6

download SPM week 6

of 17

Transcript of SPM week 6

  • Featured by :

    Patricia 91367001

    Lisia 91367011

    Management Control System Incentives and Control

    Week 6

  • CHAPTER 11 : ALIGNING PERFORMANCE GOALS AND INCENTIVES

    Didalam bisnis terdapat 3 pertanyaan dasar, yaitu :

    Tujuan apa yang ingin dicapai?

    Apa yang kita peroleh dengan keputusan yang kita jalankan?

    Desain aspek apa yang dapat kita gunakan untuk segala kondisi, dan aspek

    apa yang merupakan bagian dari strategis dan tujuan perusahaan?

    Namun, tidak hanya itu saja yang penting. Adapun pertanyaan lainnya, yakni

    bagaimana cara menggunakan tujuan untuk mengimplementasikan strategi. Strategy

    focuses on the choices, dapat dilihat bahwa pilihan yang kita ambil harus dapat

    menciptakan nilai bagi konsumen dan memberikan diferensiasi pada produk/ jasa

    yang kita berikan. Impelementasi terhadap strategi harus dikomunikasikan kepada

    seluruh karyawan, dan mereka juga membutuhkan arahan terkait bagaimana cara

    mereka berkontribusi didalamnya. Performance goals menyediakan panduan tersebut,

    dimana tujuan (goal) merupakan bentuk formal apa yang ingin kita capai atau kita

    harapkan.

    Pada beberapa perusahaan ada yang membedakan antara, goals, objectives, dan

    targets. Untuk goals berkaitan tujuan umum, sedangkan objectives/ target lebih

    mengarah ke tujuan spesifik (detail). Penggunaan definisi tersebut tergantung pada

    perusahaan sendiri, karena poin pentingnya adalah goals dan objectives dapat

    dilakukan hanya ketika ada measurement (pengukuran) didalamnya.

    Financial goals seperti memaksimumkan profit, cash follow, atau ROCE tidak

    dapat menyediakan arahan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan strategi.

    Financial goal juga tidak dapat memberitahu karyawan guna menciptakan nilai

    kepada konsumen atau bagaimana cara untuk diferensiasi pada produk/ jasa. Tanpa

    kejelasan dari tujuan performance goal sendiri, maka karyawan dapat menghalalkan

    segala cara untuk menghasilkan financial returns. Yang harus diingat adalah strategi

  • merupakan hipotesis ekspektasi tentang hubungan sebab-akibat secara tertulis di

    perencanaan dan balanced scorecard. Untuk mengimplementasikannya, manager

    harus menggunakan performance goals yang spesifik guna mengkomunikasikan arah

    bisnis ke seluruh individu. Perhatian karyawan pada suatu hal yang diukur,

    mengakibatkan individu berusaha untuk menyimpulkan strategi bisnis dari

    performance goal dan pengukuran mereka.

    Performance goals dan pengukurannya secara sistematis dan dengan komunikasi

    yang jelas dapat menggambarkan apa yang diinginkan oleh manager untuk

    difokuskan. Alasan lainnya terkait pentingnya performance goals adalah untuk

    memperoleh komunikasi yang jelas (tidak bias) karena informasi tersebut ditujukan

    untuk meningkat decision making, memotivasi dan mengevaluasi usaha karyawan,

    dll. Performance goal mampu memberikan sinyal kepada top manager untuk melihat

    apa yang penting dan kemana tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, dapat digunakan

    untuk mendisiplinkan manajemen tentang bagaimana cara untuk menjalankan bisnis

    yang sukses dan dapat bekerjasama dengan orang lain. Ketika performance goals

    dikaitkan dengan incentives dan promosi maka dapat dimanfaatkan guna memotivasi

    manajer, dan performance goals ini dapat diberikan kepada shareholder dan analyst,

    dengan tujuan mengkomunikasikan prospek bisnis yang dijalankan.

    Adapun yang disebut dengan critical performance variables, yang merupakan

    faktor-faktor yang harus dicapai atau diimplementasikan dengan sukses demi

    keberhasilan strategi terhadap bisnis yang dijalankan. Dalam menentukan critical

    performance variables perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

    1. Identifikasi faktor penting yang mempengaruhi kinerja (performance drivers),

    kinerja yang dihasilkan harus efektif dan efisien.

    2. Identifikasi critical performance variables dari banyaknya performance drivers

    yang ada.

  • Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa critical performance variables

    merupakan faktor yang mempengaruhi competitive dynamics yang dapat

    menyebabkan gagalnya strategy. Sehubungan dengan bisnis, maka critical

    performance variables juga harus berkaitan dengan kebutuhan konsumen,

    implementasi teknologi baru, membangun kompetensi baru, atau kemampuan untuk

    memasuki market baru.

    Untuk mencapai performance goals maka harus ada pengukuran, sedangkan

    performance dapat diukur berdasarkan financial atau non-financial. Pengukuran

    financial dapat dilakukan dengan melihat system akuntansi yang diterapkan (ex :

    revenue dan profit). Pengukuran non-financial merupakan data kuantitatif yang dibuat

    diluar system akuntansi formal. Berat dari scrap metal bersifat kuantitatif (dapat

    dihitung secara numeric), namun karena tidak ditunjukkan dalam dollar dan cents,

    maka dapat diklasifikasikan sebagai pengukuran non-financial. Ada beberapa test

    yang digunakan untuk melihat apakah pengukuran tersebut telah sesuai dan

    mendukung performance goal.

    Test 1 : Does it align with strategy?

    Pengukuran yang ada membuat karyawan memahami bahwa ada sesuatu

    yang penting. Jika yang diukur adalah customer satisfaction, maka dapat

  • disimpulkan hal apa yang terpenting. Sedangkan jika yang diukur adalah cost

    reduction, maka dapat disimpulkan adakah sesuatu yang berbeda. Setiap

    pengukuran yang telah ditentukan diartikan ada perbedaan dari prioritas,

    goals, dan bisnis strategi. Pengukuran yang baik membuat karyawan

    memahami tentang bisnis strategi yang digunakan perusahaan.

    Test 2 : Can it be measured effectively?

    Objective measure secara independen dapat diukur dan diverifikasi.

    Sedangkan subjective measure tidak dapat diukur dan diverfikasi secara

    independen karena tergantung dari penilaian secara personal. Untuk

    pengukuran ini, dibutuhkan kepercayaan yang besar guna mengetahui bahwa

    penilaian yang dilakukan adil dan dapat dipercaya.

    Pengukuran juga tergantung pada tingkat kelengkapan dan responnya.

    Complete measure memuat seluruh faktor relevan dalam pencapaiannya,

    sedangkan responsive measure menggambarkan tindakan manager yang dapat

    mempengaruhi secara langsung. Untuk meningkatkan respon dari pengukuran

  • kinerja maka low level employees diukur pada aktivitasnya yang dilakukan

    dengan control yang diterapkan oleh perusahaan. Objectivity, complete dan

    responsiveness biasanya dicapai oleh karyawan level bawah, sedangkan pada

    higher level manager harus mampu menyeimbangkan antara objective,

    complete dan responsiveness dengan mendesain dan mempertimbangkan

    peranan mereka. Pengukuran yang didesain dengan asal atau tidak tepat dapat

    mengakibatkan terjadinya gaming (manipulasi hasil pengukuran tanpa

    mencapai tujuan); smoothing (berusaha menyeimbangkan revenue dan

    expense agar tampak bagus); serta biasing (hanya melaporkan favorable data

    saja, sedangkan data unfavorable disembunyikan).

    Test 3 : Is this measure linked to value?

    Ketika ada input yang diproses, maka akan menghasilkan output. Didalam

    BSC, terdapat leading indicator measures dan lagging indicator measures.

    Manager dapat mengukur leading variables, seperti training karyawan, proses

    quality control, dan WIP cost, sama halnya dengan lagging variables, seperti

    profit/ customer satisfaction. Kita juga harus melihat dari hubungan sebab-

    akibat, karyawan yang di-training dengan baik mengakibatkan tingginya level

    customer satisfaction, dimana nantinya customer akan melakukan repeat sales,

    sehingga meningkatkan profit. Repeat sales memungkinkan dalam

    memperoleh profit yang lebih banyak dan beberapa konsumen dilihat dari

    kebiasaan melakukan pembelian, banyaknya barang yang dibeli atau diskon

    yang diberikan memungkinkan terjadinya loss. Customer satisfaction juga

    tidak selalu meningkatkan profit, karena walaupun mereka puas tetapi tidak

    menutup kemungkinan bahwa mereka akan membeli barang dari competitor

    lainnya jika competitor tersebut mampu menawarkan produk yang lebih

    sesuai dengan kebutuhan customer. Begitu pula dengan employees training,

    karena susah untuk membuktikan bahwa training yang diberikan dapat

    menghasilkan economic value perusahaan, terutama ketika di perusahaan

    turnover karyawannya tinggi dan adanya pemberian training secara berbeda.

  • Ketika mendesain pengukuran kinerja, maka output measures (lagging

    indicator) memberikan keyakinan terbesar dalam membangun economic

    value. Input dan process measure (leading indicator) valid bilamana manager

    yakin bahwa mereka memahami hubungan sebab-akibat.

    Implementasi strategi yang efektif, maka seluruh entitas harus focus walaupun

    pada hal kecil yang bersifat crtitical bagi kesuksesan bersama. Agar strategi dapat

    dikomunikasikan secara efektif maka manager harus melakukan pengukuran untuk

    menfokuskan perhatiannya. Adapun teknik lain yang digunakan, yakni

    Benchmarking. Benchmarking merupakan teknik yang dapat menentukan

    performance goals secara efektif, dan manager harus mengetahui perusahaan mana

    yang menentapkan standard penggunaan sumber daya yang paling efektif. Kemudian,

    mereka harus mampu menyesuaikan/ menyamai dengan the best class yard

    (perbandingan).

    Penggajian yang berdasarkan performance tergantung pada desain dan

    implementasi goal-setting untuk memperoleh hasil yang efektif. Pendekatan yang

    digunakan harus sesuai dengan karakteristik dan strategi yang digunakan oleh

    perusahaan dan menggunakan faktor sesuai dengan kreativitas. Implementasi tanpa

    pertimbangan yang matang, maka goal-setting dapat mengakibatkan perilaku yang

    tidak diinginkan dan berdampak pada produktivitas. Namun, secara keseluruhan, dari

    hasil studi yang dilakukan membuktikan bahwa dengan penetapan goal yang relative

    susah menghasilkan usaha yang lebih banyak dibandingkan dengan menetapkan goal

    yang relative mudah dicapai atau bahkan tidak ditentukan goal perusahaan sama

    sekali. Hubungan antara menetapkan goal yang relative sulit dan usaha yang

    dibutuhkan merupakan salah satu dari inti temuan A theory of Goal Setting & Task

    Performance oleh Edwin Locke and Gary Latham dalam penelitian Aligning Goal

    Setting and Incentive Pay oleh Mark A. Szypko, et. al.

  • Dalam penentuan goal yang harus dicapai oleh perusahaan, harus ada criteria

    yang dipenuhi, yaitu SMART (Spesific, Measurable, Attainable, Realistic, Timely).

    Goal-setting yang ditetapkan oleh perusahaan yang satu dapat berbeda dengan

    perusahaan lainnya. Contoh : organisasi dengan level highly mature goal setting tentu

    akan memiliki goal structure yang berbeda dengan organisasi dengan level beginning

    yang berusaha berkembang terhadap goal-setting dan focus pada disiplin.

    Goal-setting tidak hanya ditentukan didepan saja tanpa dimonitor. Dalam

    perubahan yang terjadi pada perusahaan, maka harus dilihat apakah goal-setting yang

    telh ditentukan tersebut telah dicapai atau justru karena perubahan yang terjadi maka

    hal itu menjadi tidak relevan dan sejauh mana pencapaian yang dilakukan. Ongoing

    feedback terkait goals dapat meningkatkan performance seseorang sehubungan

    dengan reward/ incentive yang diberikan.

    Ada 2 hal yang selalu muncul jika membahas masalah usaha memotivasi, yaitu

    bagaimana tujuan aspirasional mempengaruhi kebiasaan kerja dan siapa yang harus

    ikut menentukan penilaian kinerja karyawan. Apakah senior manager saja ataukah

    manajer subordinat ikut menentukan tujuan dan target?

    Level of Difficulty

    Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kreativitas dan inisiatif dari seseorang

    bisa maksimal saat ia berada di dalam tekanan, tidak memiliki tekanan, dan kinerja

    dan kreativitas muncul saat sedang rileks. Itulah sebabnya tujuan kinerja harus

    menantang, namun tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit untuk dicapai.

    Deciding Who Should Participate in Setting Goals

    Penetapan ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan manager terkait di mana letak

    informasi relevan yang ada di dalam perusahaan. Jika manager percaya bahwa

    informasi yang dibutuhkan tersebar di dalam perusahaan, maka manager akan

    memilih participative style dalam menentukan tujuan kinerja. Penetapan ini juga

  • dipengaruhi oleh asumsi yang dimiliki manager mengenai perilaku karyawan di

    dalam perusahaan. Jika karyawan tersebut memiliki tipikal yang mementingkan diri

    sendiri, tidak suka mengambil risiko, serta tidak mau berusaha, maka manager akan

    lebih baik jika meminimalkan campur tangannya dalam menentukan tujuan kinerja

    perusahaan.

    Salah satu solusi atas permasalahan tersebut adalah design tujuan kinerja secara

    top-down dan mekanisme penegakan terkait rewards & punishment. Pada posisi ini,

    bawahan tidak diikut sertakan dalam menentukan tujuan perusahaan karena bawahan

    cenderung akan melakukan bias terhadap proses penentuan tujuan perusahaan untuk

    mengurangi usahanya mencapai tujuan tersebut.

    Pada pandangan lain, di dalam organisasi biasanya, orang-orang yang sering

    mendapatkan prestasi akan termotivasi untuk mencapai tujuan jika ia percaya bahwa

    tujuan tersebut masuk akal dan ia menjadi bagian dalam proses penentuan tujuan

    tersebut. Oleh sebab itu, mereka diajak dalam menentukan tujuan perusahaan untuk

    meningkatkan komitmennya juga motivasinya. Pandangan mana yang paling tepat?

    Ada kebenaran dari setiap pandangan, manager akan membuat keputusan berdasarkan

    proses penentuan tujuan apa yang akan dicapai, siapa yang memiliki informasi yang

    relevan, dan tingkat kepercayaan manager pada orang tersebut.

    Multiple Purposes of Performance Goals

    Penentuan tujuan perusahaan tidaklah mudah karena tujuan tersebut akan

    digunakan untuk berbagai kepentingan, misalnya mengkomunikasikan strategi dan

    motivasi, perencanaan dan koordinasi, peringatan terkait masalah yang potensial

    terjadi, dan evaluasi atas kinerja manager dan bisnis.

    Untuk perencanaan dan koordinasi, tujuan kinerja digunakan untuk memastikan

    tingkat sumber daya yang memadai dan koordinasi arus kerja antara unit yang

    terhubung. Misalnya, bagian produksi dalam menentukan jumlah barang yang akan

  • diproduksi harus mengetahui berapa kemampuan dari bagian penjualan untuk

    memasarkan produknya.

    Tujuan kinerja bisa memberikan standard bagi manajemen sebagai pertanda

    adanya suatu operasi yang tidak sesuai dengan seharusnya sehingga manager dapat

    melakukan investigasi atas kerjadian tersebut. Tujuan kinerja harus sudah ditetapkan

    sebelum operasional dijalankan, ini berguna sebagai pembanding antara tujuan

    perusahaan dengan hasil actual yang dicapai perusahaan.

    ALIGNING INCENTIVES

    Ada 2 cara untuk memotivasi karyawan mencapai tujuan perusahaan yaitu :

    - Membuat mereka percaya bahwa tujuan tersebut masuk akal meskipun harus

    memiliki usaha yang lebih besar untuk mencapainya. Ini merupakan motivasi

    yang berasal dari dalam diri seseorang. Para ekonom melihat ini merupakan solusi

    terbaik untuk memotivasi karyawan.

    Motivasi dalam diri karyawan dapat dimunculkan dengan cara :

    - Menekankan cita-cita dan keyakinan bahwa hal tersebut adalah baik

    sehingga karyawan mau ikut berkontribusi pada misi tersebut dan mereka

    merasa bangga atas apa yang mereka kerjakan.

    - Mengajak karyawan tersebut untuk ikut ambil andil dalam penetapan

    tujuan perusahaan sehingga mereka merasa juga harus ikut mencapai

    tujuan tersebut dan terus berusaha untuk mencapainya.

    - Formal incentives. Ini merupakan bayaran yang diberikan kepada karyawan

    sebagai motivasi untuk mencapai tujuan. Insentif berupa uang menjadi elemen

    yang paling besar dalam mendesign system penilaian kinerja. Ini merupakan

    motivasi dari luar diri seseorang.

  • Ada 3 keputusan terkait design kompensasi dalam perusahaan, yaitu :

    1. The Bonus Pool

    2. The Allocation Formula

    3. The Type & Mixed of Incentives

    The Bonus Pool

    Kompensasi akan dibayarkan jika kinerja karyawan melebihi target yang telah

    dibuat oleh perusahaan. Dengan kata lain, semakin baik kinerja maka akan semakin

    besar bayarannya. Meskipun ini terlihat sangat mudah, namun mekanisme ini bisa

    menjadi cukup complicated dan dalam segala design dibutuhkan kehati-hatian.

    Bonus incentives didefinisikan sebagai bayaran tambahan atas berhasilnya sebuah

    tugas yang biasanya dibayarkan berdasarkan sebuah bonus pool. Bonus pool adalah

    sekumpulan uang yang dicadangkan untuk pembayaran incentives dan pengakuan

    penghargaan. Pool ini biasanya ditentukan dengan mengacu pada bisnis atau tingkat

    kinerja perusahaan.

    The Allocation Formula

    Setelah menentukan bonus pool, keputusan selanjutnya adalah alokasi bonus pool

    ke setiap individu. Alokasi ini bisa menggunakan pendekatan kinerja individual,

    kinerja bisnis, dan kinerja perusahaan.

    Keuntungan dari metode formula adalah tidak ada ambiguitas terkait hasil yang

    dicapai. Karyawan mengetahui dengan jelas apa yang akan mereka dapatkan atas

    kinerjanya. Selain itu, skema alokasi bonus ini tidak perlu sering diatur dan tidak

    membutuhkan perhatian yang lebih dari manager.

    Alternatif lain yaitu berdasarkan evaluasi kinerja secara subjektif. Untuk

    menggunakan metode ini manager membutuhkan pengetahuan, pengalaman, dan

  • judgement untuk menentukan kontribusi dari karyawan. Ini membutuhkan

    kepercayaan yang tinggi dan waktu yang banyak dari seorang pemimpin.

    Types and Mix of Incentives

    Keputusan terakhir focus pada incentives yang seperti apa yang akan dibagikan

    kepada karyawan sebagai penghargaan atas kinerjanya. Secara umum, kita pasti akan

    berpikir dalam bentuk uang tunai, padahal ada beberapa option selain uang tunai, di

    antaranya adalah :

    - Hadiah

    - Pembayaran tunai yang ditangguhkan

    - Saham perusahaan

    - Hibah untuk pembelian option perusahaan di masa yang akan datang

    Selain itu, adapun bentuk kompensasi yang disebut dengan intrinsic reward.

    Kepemimpinan manajemen yang baik, akan memberikan intrinsic reward kedalam

    diri karyawan (kepuasan batin) sehingga dapat membantu mempengaruhi motivasi

    karyawan dalam bekerja dan biasanya intrinsic reward lebih besar pengaruhnya

    dibandingkan dengan extrinsic reward (diukur secara moneter). Namun, yang terjadi

    seringkali perusahaan mengabaikan intrinsic reward, dan hanya berfokus pada

    financial extrinsic reward dalam memotivasi karyawannya. Banyak orang yang

    percaya bahwa uang sangat dibutuhkan dan cukup untuk memotivasi kinerja mereka.

    Dan tidak selalu semua orang hanya memerlukan reward yang bersifat moneter,

    adapun yang diperlukan oleh mereka yaitu kepuasan batin.

    Mirlees (1976) dab Holmstrom (1979) merupakan orang pertama yang

    mendemonstrasikan teori tentang dominasi performance related pay (PRP)

    dibandingkan dengan system reward ketika memonitor usaha yang dirasakan

    membutuhkan biaya besar dan tidak sempurna. Biadanya dengan hanya focus pada

    tugas yang diberikan dalam system reward maka dapat terjadi kecurangan dengan

  • cara memanipulasi system kompensasi menjadi keuntungan mereka, yang kita kenal

    dengan Multitasking oleh Holmstrom dan Milgrom (1991) dan Baker (1992).

    Dengan adanya PRP maka memungkinkan bagi karyawan untuk merasa

    tertantang, karena kompensasi yang diberikan berdasarkan pada kinerja yang mereka

    lakukan. Sama halnya dengan perusahaan memberikan target tahunan yang harus

    dicapai. Hal tersebut didukung dengan filosofi You get what you measured and

    reward. Perusahaan membutuhkan performance measure dengan tujuan untuk

    memperoleh informasi terkait kinerja yang relevan dan handal. Reward yang

    diberikan dapat didasarkan pada absolute performance, performance relative to some

    plan atau performance relative to some compareable group. Dengan absolute

    performance maka hal itu termasuk non-comparable karena adanya target yang

    ditentukan secara mutlak oleh perusahaan dan harus kita capai. Berbeda dengan

    performance relative to some group/ some plan karena masih dapat dibandingkan satu

    sama lain (comparable) untuk dilihat mana yang terbaik.

    Kasus :

    PT X adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang industri pakan ternak

    ayam. Perusahaan memiliki system dan prosedur yang cukup baik serta mampu untuk

    memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut, termasuk adanya sistem kompensasi yang

    diberikan kepada karyawannya (incentive). Sistem kompensasi yang berlaku di dalam

    perusahaan adalah karyawan akan mendapatkan insentif jika mampu mencapai target

    penjualan yang telah di tetapkan di awal periode oleh perusahaan.

    Setelah berjalan beberapa tahun, perusahaan berkembang ini kemudian

    melakukan ekspansi dan merambah industri pakan ternak ikan. Melihat keberhasilan

    dari system yang ditepakan di divisi pakan ternak ayam, maka divisi baru ini

    mengadopsi semua sistem yang ada dan berlaku di divisi pakan ternak ayam untuk di

    implementasikan pada divisi pakan ternak ikan yang baru ini tanpa

    mempertimbangkan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh didalamnya, karena

  • yang diutamakan adalah memenuhi target sales tahunan. Dilapangan para sales

    perusahaan tersebut ditempatkan pada 1 lokasi, hanya berbeda area saja sehingga

    mereka pun saling berlomba untuk mencapai target masing-masing. Pada waktu

    penilaian kinerja, ditemukan bahwa tidak ada karyawan yang mendapatkan insentif

    dikarenakan total penjualannya tidak mencapai target. Melihat hal itu, para karyawan

    akhirnya memperoleh ide bersama, yakni mereka saling bekerja sama mengumpulkan

    total penjualannya untuk di-pull pada 1 orang saja dan nantinya insentif yang

    didapatkan oleh orang tersebut akan dibagi ke sales lainnya.

    Dari kasus di atas, dapat kita simpulkan bahwa design sistem kompensasi yang

    akan digunakan harus disesuaikan dengan keadaan lingkungan dari bisnis itu sendiri.

    Seperti pada kasus di atas lingkungan penjualan pakan ternak ayam tidaklah sama

    dengan lingkungan pakan ternak ikan. Penerapan sistem yang sama menyebabkan

    terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para karyawan tersebut untuk

    kepentingan dirinya sendiri. Dan juga informasi yang seharusnya diperlukan oleh

    manager untuk mengetahui proporsi masing-masing area menjadi tidak valid, tidak

    andal, dan tidak dapat dipercaya sehingga nantinya dapat mengakibatkan salah dalam

    pengambilan keputusan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada teori diatas, bahwa

    dengan system pengukuran yang tidak tepat maka dapat menyebabkan terjadinya

    gaming (manipulasi), smoothing (revenue dan expense diseimbangkan agar cantik),

    dan biasing (tidak menampilkan unfavorable data).

    Lingkungan pakan ternak ikan di mana di daerah tambak, karyawan penjualan

    harus turun untuk bertemu langsung dengan para peternak ikan. Para peternak tidak

    akan menghafal dan memahami siapa karyawan yang dulu menerima pemesanannya.

    Oleh sebab itu, lebih tepat jika design kompensasinya bukan perorangan melainkan

    tim per satu area misalnya. Setiap tim bekerja sama mengumpulkan orderan di daerah

    yang menjadi otoritasnya untuk mencapai target yang telah diberikan agar bisa

    mendapatkan insentif sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya

    pembagian team pada divisi sales, maka manager dapat menggunakan pengukuran

  • performance relative to some group, dimana the best team yang akan diberikan

    reward sehingga hal tersebut dapat membantu untuk memacu motivasi dari masing-

    masing individu guna saling bekerjasama dan mencapai target yang ditetapkan.

    Kasus 2 :

    Pada sebuah perusahaan, untuk meningkatkan penjualannya ia memberikan

    kompensasi bagi para karyawan bagian marketing jika dapat mencapai target

    penjualan yang diberikan. Karyawan bagian marketing mendengar hal ini segera

    berlomba-lomba mengumpulkan orderan yang terbanyak untuk mendapatkan insentif

    yang nilainya juga akan semakin besar. Dan ada beberapa karyawan yang melakukan

    penjualan-penjualan tanpa mempertimbangkan record dari para customer itu, apakah

    customer itu memiliki history credit yang buruk dan apakah customer tersebut

    merupakan bad debt customer. Jadi karyawan marketing hanya berfokus untuk

    mengumpulkan orderan tanpa memperhatikan apakan customer tersebut bisa

    melakukan pelunasan atas barang-barang yang dibelinya.

    Hal ini memang secara jelas dapat meningkatkan dan mencapai target yang

    ditetapkan oleh perusahaan, namun, yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana

    marketing tersebut dapat mempertanggungjawabkan pembayaran customernya

    kepada perusahaanya. Dengan tingginya nilai penjualan kredit yang imbasnya tentu

    menyebabkan tingginya nilai piutang juga. Perusahaan memberikan kompensasi

    insentif hanya berdasarkan total penjualan yang dihasilkan setiap karyawannya.

    Seharusnya perusahaan tidak menerapkan system pemberian insentif yang seperti itu,

    perusahaan sebaiknya memberikan insentif kepada marketingnya dengan syarat

    bahwa marketing selain harus mencapai target sales perusahaan, namun, customer

    yang diperolehnya juga harus memiliki credit history yang baik dan sekiranya dapat

    melunasi pembelian kreditnya. Jadi hal tersebut, dapat meminimalkan terjadinya bad

    debt yang merugikan perusahaan, memberikan tanggung jawab kepada marketing

  • agar bekerja dengan benar, dan juga mampu memotivasi marketing agar dapat

    mencapai tujuan perusahaan.

    Dan dari kedua kasus diatas, tidak semuanya hanya berdasarkan insentif secara

    moneter, adapun yang non-moneter seperti sertifikat, hadiah, dan juga pemberian

    saham kepada karyawannya agar mereka juga merasa memiliki perusahaan tersebut.

    Dengan memberikan compliment maupun pengumuman siapa yang telah mencapai

    target untuk dijadikan teladan bagi karyawan lainnya juga merupakan intrinsic reward

    yang memberikan kebanggaan tersendiri bagi diri mereka. Kebanggaan itulah yang

    akan terus melekat didalam diri kita untuk menjadi motivasi dalam melakukan

    pekerjaan dan hal tersebut tidak ternilai harganya bagi pribadi sendiri.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Szypko, Mark A. Aligning Goal Setting and Incentive Pay. 2012.

    (http://www.kenexa.com/Portals/0/Downloads/Aligning%20Goal%20Setting

    %20and%20Incentive%20Pay.pdf)

    Kaplan, Robert S. Management Accounting : Information for Decision Making and

    Strategy Execution. 2012. Sixth Edition. Penerbit : Pearson.

    Simons. Chapter 11 : Aligning Performance Goals and Incentives. 2000

    McCausland, W.D., K. Pouliakas, and I. Theodossiou. Some Are Punished and Some

    Are Rewarded: A Study of the Impact of Performance Pay on Job

    Satisfaction. 2005. (http://128.118.178.162/eps/lab/papers/0505/0505019.pdf)