Spionase, Kerikil Baru Canberra-Jakarta, Koran Tempo 4 November 2013

1
A14 internasio nal SENIN, 4 NOVEMBER 2013 P engumpulan bahan inte- lijen, termasuk melalui penyadapan, merupakan praktek lazim yang dilakukan negara-negara di dunia. Menurut pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, dalam wawancara dengan Natalia Santi dari Tempo, Jumat pekan lalu, yang bisa dilakukan Indonesia adalah mempersiapkan militernya untuk menghadapinya. Australia dan Amerika Serikat dilaporkan melaku- kan aktivitas penyadapan di kedutaan mereka, termasuk di Jakarta. Apakah ini praktek lazim? Aktivitas intelijen di mana pun akan ada, sampai kapan pun, selama negara masih ada. Intelijen akan senantiasa mencermati, mengamati per- masalahan-permasalahan yang dihadapi oleh negara untuk dianalisis dan selanjutnya disodorkan kepada “pengguna” selaku pembuat kebijakan. Bagaimana seharusnya negara mengantisipasinya? Intelijen penyadapan selalu berubah dari waktu ke waktu, dan (upaya menghadapi penyadapan) harus selalu mengikuti perkembangan teknologi dan ancaman. Apakah militer kita cukup mahir mengantisipasi itu? Nah, menariknya, kita tidak pernah menganggap serius masalah penyadapan dan aksi-aksi intelijen yang terjadi. Utamanya sejak 1998, menurut saya, semakin merosot kemampuan lembaga intelijen kita untuk menganti- sipasi ancaman. Apa bukti yang mendukung pandangan ini? Contohnya, kemampuan kita mengantisipasi ancaman dari gerakan yang men- dukung Organisasi Papua Merdeka (OPM), misalnya. Lalu bagaimana jika memang betul badan intelijen AS, National Security Agency (NSA), yang pada awalnya mendapat tugas monitoring, menyadap ancaman teror, kemudian menjadi badan penyadap bagi kepentingan AS di bidang politik, ekonomi, dan militer? Kalaupun betul, bagaimana kita komplain jika kita sendiri belum memiliki ketangguhan teknologi yang mampu membuktikannya? Bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi dugaan penyadapan oleh AS dan Australia ini? Apakah ada cara lain, selain protes dan memanggil duta besarnya? Jelas, jawabannya, kita harus siap menghadapi perang generasi kelima yang sangat menekankan pada sis- tem informasi dan teknologi komunikasi. Tentara Nasional Indonesia sudah harus dipersiapkan, baik dari sisi doktrin, peralatan, personal, maupun (adanya) pelatihan yang mumpuni, sesuai dengan perkembangan ancaman. Connie Rahakundini Bakrie Kemampuan Intelijen dalam Mengantisipasi Ancaman Merosot Spionase, ‘Kerikil Baru’ Hubungan Canberra-Jakarta Militer Indonesia harus dipersiapkan untuk menghadapi "perang model baru" di masa depan. B eberapa hari ini men- jadi ”pekan mata- mata” dalam hubungan Indonesia dan Australia. Pemicunya adalah keluarnya sejumlah laporan media soal adanya aktivitas penyadap- an yang dilakukan badan intelijen sinyal Australia, Defence Signals Directorate (DSD), bersama intelijen AS, National Security Agency (NSA), terhadap Indonesia. Kasus ini diperkirakan bakal menjadi “kerikil baru” dalam hubungan dua negara berte- tangga ini. September lalu, pemerin- tah Jakarta dan Canberra sempat ”perang kata-kata” setelah pemerintahan baru Australia di bawah Tony Abbott mencanangkan perang terhadap pencari suaka, termasuk yang datang melalui Indonesia. Untuk menanganinya, Canberra berencana membeli pera- hu yang digunakan untuk mengangkut mereka, dan menjadikan warga Indonesia sebagai informan, sebelum “manusia perahu” itu sampai di Australia. Kabar soal aksi spionase Australia ini menyeruak sete- lah media Australia, Sydney Morning Herald edisi 31 Oktober 2013, menulis bahwa Kedutaan Besar Australia di kawasan Asia Tenggara dan Timur, termasuk di Jakarta, memiliki fasilitas intelijen. Isi berita ini merupakan bagian dari informasi yang dibocorkan eks analis badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), Edward Snowden. Menurut Snowden, prog- ram pengumpulan sinyal intelijen yang sangat sensitif itu dilakukan dari Kedutaan Besar AS dan konsulat dan misi diplomatik negara ang- gota “Five Eye”--lima mitra intelijen yang terdiri atas AS, Australia, Inggris, Kanada, dan Selandia Baru. Nama programnya Stateroom, yang meliputi intersepsi radio, telekomunikasi, dan lalu lin- tas Internet. Menurut dokumen Snowden, Stateroom itu dioperasikan Defence Signals Directorate. Bekas perwira intelijen Australia menga- takan, fasilitas intersepsi di Kedutaan Besar Australia di Jakarta memainkan peran penting dalam pengumpul- an bahan intelijen tentang ancaman teroris dan penye- lundupan manusia. “Tapi fokus utamanya adalah intelijen bidang politik, dip- lomatik, dan ekonomi,” kata sumber itu. Sydney Morning Herald edisi 1 November 2013 juga melansir adanya pos pendengaran rahasia, juga dioperasikan oleh DSD, di Cocos Island, yang letaknya 1.100 kilometer barat daya Jawa. Menurut bekas peja- bat Departemen Pertahanan Australia, pos itu untuk mengawasi Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan komu- nikasi militer Indonesia. Kabar terbaru yang diungkapkan media Inggris Guardian edisi 2 November 2013 menyebut bahwa DSD dan NSA melakukan operasi intelijen bersama untuk mengintai Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali pada 2007. Dokumen yang dibocorkan Snowden itu mengungkapkan bagai- mana agen DSD dan NSA bekerja sama dalam operasi mengumpulkan nomor tele- pon para pejabat keamanan di Indonesia. Kabar adanya aksi spio- nase Australia ini memi- cu kemarahan Jakarta. Penasihat khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk hubungan interna- sional, Teuku Faizasyah, mengatakan, “Cara ilegal mengumpulkan informasi, termasuk dengan mencegat percakapan telepon, sangat bertentangan dengan prin- sip hubungan bilateral yang baik. Jika berita bahwa Australia melakukan kegi- atan surveilans klandestin melalui kedutaan besarnya di Jakarta benar, itu sangat tidak dapat diterima.” Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jumat pekan lalu, juga memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, untuk memin- ta klarifikasi soal kabar ada- nya fasilitas penyadapan di kedutaannya. Setelah perte- muan sekitar 20 menit itu, Moriarty hanya mengatakan, “Saya tadi mengadakan per- temuan dan harus melapor- kan ini kepada pemerintahan saya.” Bagi pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, protes dan pemanggilan duta besar saja tak cukup dalam menghadapi aksi spionase negara tetangga, termasuk Australia. Menurut dia, yang lebih penting adalah mempersiapkan militer kita menghadapi perang di masa depan yang sangat menekan- kan pada penggunaan sis- tem informasi dan teknologi komunikasi. SYDNEY MORNING HERALD | THE AGE | GUARDIAN | NATALIA SANTI | ABDUL MANAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menyambut kedatangan Perdana Menteri Australia Tony Abbott di Istana Merdeka, Jakarta, akhir September lalu. TEMPO/SUBEKTI DOK. TEMPO/TRI HANSIYATNO

description

Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Indonesia menjadi kerikil baru dalam hubungan diplomatik dua negara.

Transcript of Spionase, Kerikil Baru Canberra-Jakarta, Koran Tempo 4 November 2013

Page 1: Spionase, Kerikil Baru Canberra-Jakarta, Koran Tempo 4 November 2013

A14in ter na sio nal SEN IN , 4 NOVEMBER 2013

Pengumpulan bahan inte-lijen, termasuk melalui penyadapan, merupakan

praktek lazim yang dilakukan negara-negara di dunia. Menurut pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, dalam wawancara dengan Natalia Santi dari Tempo, Jumat pekan lalu, yang bisa dilakukan Indonesia adalah mempersiapkan militernya untuk menghadapinya.

Australia dan Amerika Serikat dilaporkan melaku-kan aktivitas penyadapan di kedutaan mereka, termasuk di Jakarta. Apakah ini praktek lazim?

Aktivitas intelijen di mana pun akan ada, sampai kapan pun, selama negara masih

ada. Intelijen akan senantiasa mencermati, mengamati per-masalahan-permasalahan yang dihadapi oleh negara untuk dianalisis dan selanjutnya disodorkan kepada “pengguna” selaku pembuat kebijakan.

Bagaimana seharusnya negara mengantisipasinya?

Intelijen penyadapan selalu berubah dari waktu ke waktu, dan (upaya menghadapi penyadapan) harus selalu mengikuti perkembangan teknologi dan ancaman.

Apakah militer kita cukup mahir mengantisipasi itu?

Nah, menariknya, kita tidak pernah menganggap serius masalah penyadapan dan aksi-aksi intelijen yang

terjadi. Utamanya sejak 1998, menurut saya, semakin merosot kemampuan lembaga intelijen kita untuk menganti-sipasi ancaman.

Apa bukti yang mendukung pandangan ini?

Contohnya, kemampuan kita mengantisipasi ancaman dari gerakan yang men-dukung Organisasi Papua Merdeka (OPM), misalnya. Lalu bagaimana jika memang betul badan intelijen AS, National Security Agency (NSA), yang pada awalnya mendapat tugas monitoring, menyadap ancaman teror, kemudian menjadi badan penyadap bagi kepentingan AS di bidang politik, ekonomi, dan militer? Kalaupun betul,

bagaimana kita komplain jika kita sendiri belum memiliki ketangguhan teknologi yang mampu membuktikannya?

Bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi dugaan penyadapan oleh AS dan Australia ini? Apakah ada cara lain, selain protes dan memanggil duta besarnya?

Jelas, jawabannya, kita harus siap menghadapi perang generasi kelima yang sangat menekankan pada sis-tem informasi dan teknologi komunikasi. Tentara Nasional Indonesia sudah harus dipersiapkan, baik dari sisi doktrin, peralatan, personal, maupun (adanya) pelatihan yang mumpuni, sesuai dengan perkembangan ancaman. ●

Connie Rahakundini Bakrie

Kemampuan Intelijen dalam Mengantisipasi Ancaman Merosot

Spionase, ‘Kerikil Baru’ Hubungan Canberra-Jakarta

SEN IN , 4 NOVEMBER 2013 A11

Atas nama ketertiban dan “perikemo-nyetan”, Jokowi menetapkan, mulai 2014, Jakarta harus bebas dari tukang

topeng monyet. Seketika mulai 20 Oktober, razia pun digelar oleh tim gabungan Dinas Sosial, Dinas Peternakan, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Sekitar 350 tukang topeng monyet di lima wilayah Jakarta kocar-kacir diburu.

“Kasihan monyetnya kurus seperti saya,” canda Jokowi. Ini betul dipandang dari sudut perlindungan hewan. Terlebih mulia lagi, Jokowi akan menampung monyet-monyet hasil razia itu di Kebun Binatang Ragunan. Sementara itu, Ahok berkata, “Tukangnya akan dijadikan pelatih pertunjukan sirkus hewan.” Ini sikap ber-tanggung jawab Pemerintah Kota Jakarta yang patut diapresiasi. Tapi, dari semua itu, tetap saja ada dimensi lain dari topeng monyet yang belum diperhitungkan, yaitu aspek sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom).

Demikianlah faktor budaya belum dijadikan pertimbangan dalam kebijakan publik Pemerintah Kota DKI Jakarta. Alhasil ketiadaan upaya melihat dan menilai topeng monyet sebagai bagian dari local knowledge system membuat nasib topeng monyet sebagai seni pertunjukan tidak disuarakan. Ada kesan kuat Pemkot Jakarta dan mayoritas masyarakat ber-pikir dihapus saja topeng monyet, karena tidak bernilai. Tetapi, benarkah sikap itu ditilik dari sudut local knowledge system?

Ada kepercayaan di masyarakat Betawi bahwa asal-usul topeng monyet terkait dengan cerita rakyat Ki Alang, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Jayakarta. Tersebutlah di negeri Jakarta, kisah Raja Jayakarta yang memiliki seekor monyet. Sang Raja menggunakan monyet pelihara-annya untuk melecehkan Ki Alang.

Ki Alang dipanggil menghadap raja. Ia diperintahkan mengajar monyet sang raja mengaji kitab agama. “Saya minta waktu 70 hari,” kata Ki Alang. Raja sepakat dan monyetnya pun dibawa pulang Ki Alang. Monyet dibiarkan puasa. Makan sebelum subuh dan nanti berbuka magrib. Saat berbuka itulah Ki Alang mulai mengajar-kannya mengaji. Sang monyet diminta mengambil beberapa butir nasi di setiap halaman kitab. Begitu terus saben hari sampai sang monyet terlatih membuka halaman demi halaman kitab sembari komat-kamit.

Ketika tiba waktunya Ki Alang mengha-dap, terkagetlah Raja Jayakarta demi meli-hat monyetnya dengan sigap membuka lembar demi lembar kitab sambil berko-mat-kamit persis santri. Agar wibawanya tidak jatuh, Raja Jayakarta pun berkata, “Saya minta monyet itu jangan hanya mengebet dan berkomat-kamit. Ayo, kamu

latih lagi sampai bisa lantang mengaji.” Ki Alang diam, lantas berkata, “Saya akan melatihnya, tetapi beri waktu 70 tahun.”

Raja Jayakarta terkejut. Menunggu 70 tahun artinya sama saja dengan “ampe ujan berkelir” atau “ampe lebaran kuda” alias “hal yang mustahil, sesuatu yang dilakukan sampai mati pun tidak bakal bisa”. Raja kena sentil Ki Alang. Ia telah menjadi pongah dan menyalahgunakan kewenangan meminta sesuatu di luar kepatutan. Ia pun harus menanggung malu dan rasa celaka lantaran kebodohannya.

Di dalam masyarakat Betawi, kisah Ki Alang menjadi medium wanti-wanti alias peringatan betapa celaka seorang pemimpin yang angkuh dan menyalah-gunakan wewenang. Sebab, ia bisa saja

bermahkota, duduk di singgasana, berbaju indah berperhiasan mewah, punya kuda gagah, tetapi sejatinya jauh lebih rendah daripada monyet. Seekor monyet dapat diselamatkan dalam batas-batas tertentu dari kebodohan dengan dilatih, tapi pemimpin yang angkuh dan sewenang-wenang tidak tertolong karena dirinya sudah tit atau mati.

Kisah Ki Alang sebenarnya folklor Betawi yang diadaptasi dari naskah lama Hikayat Lima Tumenggung bagian “Hikayat Tumenggung Al Wazir” karya Ya’ Mikul. Sebagai naskah lama, seperti dika-takan Edi Sedyawati, merupakan warisan intelektual yang tidak hanya memiliki nilai historis, tapi juga gagasan-gagasan. Kisah Ki Alang oleh masyarakat Betawi telah difungsikan sebagai pedoman untuk evaluation element atau unsur penilaian, apakah sesuatu sudah sesuai dengan yang menjadi kepatutan (prescriptive element).

Saking penting gagasan moral dalam kisah Ki Alang, masyarakat Betawi pada masa lalu merasa tak cukup ajaran itu

dituturkan, tetapi dimanifestasikan pula sebagai pertunjukan topeng monyet. Penggunaan kata “topeng” pada topeng monyet menunjukkan sifat khas bahwa itu adalah seni pertunjukan Betawi. Ingat saja topeng Betawi seperti yang dimainkan maestronya: Mak Kinang, Bokir, Bodong, Nirin Kumpul, dan Kartini. Bedanya, topeng Betawi adalah seni pertunjukan yang dimainkan orang, sedang topeng monyet dimainkan binatang.

Lebih jauh yang juga khas menandakan Betawi adalah kata topeng pada topeng monyet—begitu juga topeng Betawi—tidak mengacu pada topeng (mask). Jika melihat kartu pos bergambar topeng monyet di Batavia awal abad ke-20 terbitan JL van Dieten, tampak monyetnya meski berbaju tetapi tidak bertopeng. Dalam kartu pos itu juga tampak ikut bermain topeng monyet seekor kambing yang dihias menyerupai kuda istimewa raja.

Singkat cerita, dalam kilas balik jelas menunjukkan topeng monyet adalah bagi-an dari local knowledge system Betawi. Sebagai seni pertunjukan, topeng monyet pun terlihat mengalami continuity and change atau keberlanjutan dan perubahan. Topeng monyet mampu melanjut dan malahan menyebar ke luar wilayah geo-grafi kebudayaan Betawi. Namun dalam bertahan melintasi zaman sampai hari ini, topeng monyet mengalami perubahan-perubahan, dari yang semula tanpa musik menjadi dengan iringan musik, dari dima-inkan tim binatang menjadi pertunjukan tunggal monyet. Bahkan, dari tidak berto-peng menjadi bertopeng.

Namun, dari semua perubahan itu, ironinya adalah kearifan tradisi yang men-dasari kelahiran topeng monyet dari kisah Ki Alang sudah terlupa. Tiada lagi tukang topeng monyet yang menuturkannya. Nah, apa kini dengan hilangnya nilai traditional knowledge (pengetahuan tradisional), topeng monyet itu harus diikuti penghi-langan topeng monyetnya yang secara his-toris adalah traditional cultural expression (ekspresi budaya tradisional) Betawi?

Jelas orang Betawi mengalami kerugian kultural akibat penghilangan topeng monyet. Tetapi percayalah, kerugian besar juga bakal dialami orang Indonesia, mengingat telah menasionalnya topeng monyet. Sebab, penghilangan topeng monyet adalah juga pelenyapan kesempat-an menyerap gagasan dasarnya yang jus-tru nilainya sangat aktual hari ini. Topeng monyet adalah medium budaya peranti evaluasi, refleksi apakah diri—apalagi seorang pemimpin—di balik pakaian bagus, kendaraan mewah, dan bagus-bagus lainnya, hati serta jiwanya sudah mati digerogoti kegelapan serta kebu-sukan, sehingga lebih rendah statusnya daripada seekor monyet. ●

Jokowi dan Topeng MonyetJ.J. Rizal, SEJARAWAN Layanan Akta di Pemerintah

Kota Depok

Pembuatan akta kelahiran di Depok memang sudah tidak lagi dipungut biaya. Namun, di balik semakin membaiknya pelayanan publik ini, syarat-syarat pembuatannya cenderung semakin menyulitkan warga. Dari yang dulu, syarat foto-kopi surat nikah tanpa perlu dilegalisasi, seka-rang harus dilegalisasi di KUA setempat. Ujung-ujungnya, warga harus rela membayar uang “administrasi” pelayanan di KUA setempat.

Yang lebih menyulitkan lagi adalah keharusan hadirnya dua orang saksi kelahiran. Menurut informasi pelayanan Dinas Pendudukan dan Layanan Sipil Pemerintah Kota Depok, saksi boleh siapa saja, bisa tenaga medis di rumah sakit, keluarga, tetangga, dll. Sebagian warga yang mengurus akta kelahiran terpaksa balik lagi ke rumah atau mungkin meminta tolong dicarikan saksi. Entah apa alasan di balik pem-berlakuan syarat baru ini. Namun yang jelas, banyak warga makin tersulitkan. Mereka harus membawa dua orang lagi datang ke kantor Pemerintah Kota Depok. Padahal bisa jadi, dua orang yang datang bukan siapa-siapa, tapi hanya orang yang dibayar untuk proses pembu-atan akta, tanpa mereka mengenal si bayi dan mengetahui sedikit pun tentang kelahirannya. Kemudian, syarat keterangan lahir. Kalau syarat ini memang sudah dari dulu dan umum diber-lakukan di mana pun. Namun, pernah terjadi, ada warga yang ditolak karena membuat surat keterangan lahir dari bidan.

Tidak ada salahnya Pemerintah Kota Depok mencontoh daerah lain, DKI Jakarta misalnya, dalam pengurusan akta. Selain mengurusnya tidak harus datang ke kantor wali kota setem-pat, syarat-syarat pengurusan akta kelahiran cenderung tidak membuat sulit warga. Kalau pembuatan akta kelahiran di Depok seperti sekarang, lebih baik seperti dulu, membayar, tapi mudah dalam prosesnya. Semoga pelayan-an birokrasi Pemerintah Kota Depok semakin baik.

Danni FeriantoGandaria Raya Depok 16411

SU RAT DAN PEN DA PAT

(021) 70292900

pendapat@tem po.co.id

Ke ba yor an Cen terBLOK A11-A15, JA LAN KE BA YOR AN BA RU, MA YES TIK, JA KAR TA 12240

(021) 725 5645/50

UN TUK AR TI KEL PEN DA PAT, PAN JANG TU LIS AN MAK SI-MUM 6.000 KA RAK TER, DI SER TAI FO TO DAN NO MOR

TE LE PON YANG DA PAT DI HU BUNGI.

ALAMAT REDAKSI Kebayoran Centre Blok A11- A15 Jalan Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta 12240, Telp. 021-7255624, Faks 725-5645/50 Email [email protected]

PE MASAR AN Herry Hernawan (Direktur)

IKLAN Gabriel Sugrahetty (Wakil Direktur), Adelisnasari, Tito Prabowo, Adeliska Virwani, Dani Kristianto, Lina Sujud, M. Agung Djahuri S., M. Dody Waspodo, Melly Rasyid, Nurulita Pasaribu, Sulis Prasetyo, Tanty HendriyantiPENGEMBANGAN DAN KOMUNIKASI PEMASARAN Meiky Sofyansyah (Kepala). PROMOSI Rachadian Nashidik RISET PEMASARAN Ai Mulyani K. BUSINESS DEVELOPMENT Siti Rhanty WidiastutiKREATIF PEMASARAN Prasidono Listiaji (Kepala). TIM PENULIS S. Dian Andryanto, Hotma Siregar, Mira Larasati, Nugroho Adhi, Rifwan Hendri, Susandijani, V. Nara Patrianila. DESAIN KREATIF PEMASARAN Kemas M. Ridwan (Koordinator), Andi Faisal, Andi Suprianto, Arcaya Manikotama, Danny Rizal Darmawan, Jemmi Ismoko, Junaedi Abdillah, Juned Aryo Sembada, Rachman Hakim, Setiyono, Oktaviardi Pratama Putra. FOTOGRAFI & RISET FOTO Lourentius EP. TRAFFIC Abdul Djalal, Muhammad Assad Islamie.

S IRKU L AS I DAN D I STR IB US I Windalaksana (Kepala), Erina Andriyani (Sekretariat)

SIRKULASI Shalfi Andri (Kepala Unit), Boy Hariyadi, Indra Setiawan, Ivan B. Putra, Yefri PERWAKILAN DAERAH JAWA TIMUR R. Adi Budikriswanto (Kepala) Solex Kurniawan. DI YOGYAKARTA-JAWA TENGAH Aqshol Amri (Kepala)DISTRIBUSI Ismet Tamara (Kepala Unit). LAYANAN PELANGGAN Berkah Demiat (Kepala).

ALAMAT IKLAN Gedung Cahaya Palmerah Jalan Palmerah Utara III No. 9, Jakarta Barat 11480 Tel. 62-21-53660242. Fax. 62-21-53660248ALAMAT DIVISI SIRKULASI DAN DIVISI KOMUNIKASI PEMASARAN Gedung Matahari, Jalan Palmerah Utara II No. 201 AA, Jakarta Barat 11480 Telp. 62-21-5360409. Faks. 62-21-53661253

P T TE MPO INT I ME D IA TB K

DIREKTUR UTAMA Bambang Harymurti DIREKTUR Herry Hernawan, Toriq Hadad SEKRETARIAT KORPORAT Diah Purnomowati

ALAMAT PERUSAHAAN Jalan Palmerah Barat No. 8, Jakarta 12210, Telp. 021-5360409, Faks 5439569

ISSN 0126-4273 SIUPP No. 354/SK/MENPEN/SIUPP/1998. PENCETAK PT TEMPRINT, Jakarta.

PENERBIT PT TEMPO INTI MEDIA Tbk, BNI Cabang Kramat, Jakarta, A.C. 017.000.280.765.001

Topeng monyet adalah medium budaya peranti evaluasi, refleksi apakah diri—apalagi seorang pemimpin—di balik pakaian

bagus, kendaraan mewah, dan bagus-bagus lainnya, hati serta jiwanya sudah mati digerogoti kegelapan serta kebusukan,

sehingga lebih rendah statusnya daripada seekor monyet.

Militer Indonesia harus dipersiapkan untuk menghadapi

"perang model baru" di masa depan.

Beberapa hari ini men-jadi ”pekan mata-mata” dalam hubungan

Indonesia dan Australia. Pemicunya adalah keluarnya sejumlah laporan media soal adanya aktivitas penyadap-an yang dilakukan badan intelijen sinyal Australia, Defence Signals Directorate (DSD), bersama intelijen AS, National Security Agency (NSA), terhadap Indonesia. Kasus ini diperkirakan bakal menjadi “kerikil baru” dalam hubungan dua negara berte-tangga ini.

September lalu, pemerin-tah Jakarta dan Canberra sempat ”perang kata-kata” setelah pemerintahan baru Australia di bawah Tony Abbott mencanangkan perang terhadap pencari suaka, termasuk yang datang melalui Indonesia. Untuk menanganinya, Canberra berencana membeli pera-hu yang digunakan untuk mengangkut mereka, dan menjadikan warga Indonesia sebagai informan, sebelum “manusia perahu” itu sampai

di Australia.Kabar soal aksi spionase

Australia ini menyeruak sete-lah media Australia, Sydney Morning Herald edisi 31 Oktober 2013, menulis bahwa Kedutaan Besar Australia di kawasan Asia Tenggara dan Timur, termasuk di Jakarta, memiliki fasilitas intelijen. Isi berita ini merupakan bagian dari informasi yang dibocorkan eks analis badan

intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), Edward Snowden.

Menurut Snowden, prog-ram pengumpulan sinyal intelijen yang sangat sensitif itu dilakukan dari Kedutaan Besar AS dan konsulat dan misi diplomatik negara ang-gota “Five Eye”--lima mitra intelijen yang terdiri atas AS, Australia, Inggris, Kanada, dan Selandia Baru. Nama

programnya Stateroom, yang meliputi intersepsi radio, telekomunikasi, dan lalu lin-tas Internet.

Menurut dokumen Snowden, Stateroom itu dioperasikan Defence Signals Directorate. Bekas perwira intelijen Australia menga-takan, fasilitas intersepsi di Kedutaan Besar Australia di Jakarta memainkan peran penting dalam pengumpul-

an bahan intelijen tentang ancaman teroris dan penye-lundupan manusia. “Tapi fokus utamanya adalah intelijen bidang politik, dip-lomatik, dan ekonomi,” kata sumber itu.

Sydney Morning Herald edisi 1 November 2013 juga melansir adanya pos pendengaran rahasia, juga dioperasikan oleh DSD, di Cocos Island, yang letaknya 1.100 kilometer barat daya Jawa. Menurut bekas peja-bat Departemen Pertahanan Australia, pos itu untuk mengawasi Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan komu-nikasi militer Indonesia.

Kabar terbaru yang diungkapkan media Inggris Guardian edisi 2 November 2013 menyebut bahwa DSD dan NSA melakukan operasi intelijen bersama untuk mengintai Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali pada 2007. Dokumen yang dibocorkan Snowden itu mengungkapkan bagai-mana agen DSD dan NSA bekerja sama dalam operasi mengumpulkan nomor tele-pon para pejabat keamanan di Indonesia.

Kabar adanya aksi spio-nase Australia ini memi-cu kemarahan Jakarta. Penasihat khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk hubungan interna-

sional, Teuku Faizasyah, mengatakan, “Cara ilegal mengumpulkan informasi, termasuk dengan mencegat percakapan telepon, sangat bertentangan dengan prin-sip hubungan bilateral yang baik. Jika berita bahwa Australia melakukan kegi-atan surveilans klandestin melalui kedutaan besarnya di Jakarta benar, itu sangat tidak dapat diterima.”

Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jumat pekan lalu, juga memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, untuk memin-ta klarifikasi soal kabar ada-nya fasilitas penyadapan di kedutaannya. Setelah perte-muan sekitar 20 menit itu, Moriarty hanya mengatakan, “Saya tadi mengadakan per-temuan dan harus melapor-kan ini kepada pemerintahan saya.”

Bagi pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, protes dan pemanggilan duta besar saja tak cukup dalam menghadapi aksi spionase negara tetangga, termasuk Australia. Menurut dia, yang lebih penting adalah mempersiapkan militer kita menghadapi perang di masa depan yang sangat menekan-kan pada penggunaan sis-tem informasi dan teknologi komunikasi. ● SYDNEY MORNING HERALD |

THE AGE | GUARDIAN | NATALIA SANTI | ABDUL MANAN

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menyambut kedatangan Perdana Menteri Australia Tony Abbott di Istana Merdeka, Jakarta, akhir September lalu.

TEMPO/SUBEKTI

DOK. TEMPO/TRI HANSIYATNO