Naskah Ringkas Tesis Spionase Internasional

30
TINJAUAN SPIONASE SEBAGAI ALAT UNTUK MENDUKUNG KEAMANAN DAN KERJASAMA ANTARNEGARA DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN TRANSNASIONAL Stephanie Rebecca Magdalena R. Purba, Hadi Rahmat Purnama, S.H.,LL.M. Fakultas Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Hukum intenasional tidak mengatur sejauh mana batasan norma terhadap kegiatan intelijen yang dapat dilakukan dalam hubungan antar negara. Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional, dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara. Spionase merupakan kebutuhan bagi pertahanan negara untuk membela diri dari bahaya sekecil apapun yang mungkin datang. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia memperkuat kemampuan intelijennya untuk mendukung negara dalam setiap kerjasama internasional dan pemberantasan kejahatan transnasional., Kata Kunci: Spionase, Perdamaian dan Keamanan, Kerjasama, Kejahatan Transnasional. Abstract International law does not regulate the norm limit the extent to which intelligence activities to do in the relations between states. This lack of regulation of espionage in peacetime international law, intended to maintain political stability and cooperation in the relations between states. Espionage is a necessity for national defense to defend themselves from the slightest danger that might come up. This study recommends that the Government of Indonesia to strengthen its intelligence capabilities to support the country in any international cooperation and combating transnational crime. Keywords: Espionage, Peace and Security, Cooperation, Transnational Crime. Pendahuluan

description

Abstrak dan naskah Ringkas Tinjauan Spionase dalam Hukum Internasional

Transcript of Naskah Ringkas Tesis Spionase Internasional

TINJAUAN SPIONASE SEBAGAI ALAT UNTUK MENDUKUNG KEAMANAN DAN KERJASAMA ANTARNEGARA DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN TRANSNASIONAL

Stephanie Rebecca Magdalena R. Purba, Hadi Rahmat Purnama, S.H.,LL.M.

Fakultas Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Indonesia

Email: [email protected]

AbstrakHukum intenasional tidak mengatur sejauh mana batasan norma terhadap kegiatan intelijen yang dapat dilakukan dalam hubungan antar negara. Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional, dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara. Spionase merupakan kebutuhan bagi pertahanan negara untuk membela diri dari bahaya sekecil apapun yang mungkin datang. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia memperkuat kemampuan intelijennya untuk mendukung negara dalam setiap kerjasama internasional dan pemberantasan kejahatan transnasional., Kata Kunci: Spionase, Perdamaian dan Keamanan, Kerjasama, Kejahatan Transnasional.

AbstractInternational law does not regulate the norm limit the extent to which intelligence activities to do in the relations between states. This lack of regulation of espionage in peacetime international law, intended to maintain political stability and cooperation in the relations between states. Espionage is a necessity for national defense to defend themselves from the slightest danger that might come up. This study recommends that the Government of Indonesia to strengthen its intelligence capabilities to support the country in any international cooperation and combating transnational crime.

Keywords: Espionage, Peace and Security, Cooperation, Transnational Crime.

Pendahuluan

Menempatkan praktik spionase di dalam kerangka hukum internasional bukanlah hal yang mudah. Dalam praktiknya, banyak negara yang menyimpulkan bahwa spionase harus diyakini sebagai suatu hal yang lumrah dilakukan. Sehingga banyak negara yang saling memata-matai satu sama lain. Sementara di sisi lain banyak pula yang beranggapan bahwa pengiriman mata-mata ke dalam teritorial negara lain merupakan pelanggaran hukum terhadap integritas kedaulatan dan teritorial negara tersebut. Oleh karena itu praktik spionase masih menjadi keambiguan dalam hukum internasional terkait dengan ketiadaaan pengaturannya dalam prinsip hukum internasional.[footnoteRef:2] [2: Radsan, A. John. The Unresolved Equation of Espionage and International Law. 2007. page. 1. Tipologi pandangan mengenai keabsahan spionase dalam hukum internasional The literature that does exist on peacetime espionage can be split into three groups. One group suggests peacetime espionage is legal (or not illegal) under international law. Another group suggests peacetime espionage is illegal under international law.18 A third group, straddled between the other two, maintains that peacetime espionage is neither legal nor illegal]

Peperangan secara fisik bukan lagi menjadi perang di dunia modern, melainkan sebuah perang informasi. Spionase saat ini mengalami perkembangan fungsi selain sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, juga berfungsi sebagai alat yang memungkinkan tertibnya keamanan internasional. Cukup banyak negara-negara yang memiliki kesamaan kepentingan dan tujuan nasional bergabung dalam suatu kerjasama keamanan internasional, seperti the European Union's Rapid Reaction Force (RRF) yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan penglihatan negara-negara anggota Uni Eropa akan pentingnya keamanan bersama.Selain berfungsi menjaga keamanan internasional, spionase dapat digunakan juga sebagai fasilitas untuk mewujudkan dan mendukung keberlangsungan kerjasama internasional. Banyak kerjasama internasional yang berlangsung karena diawali dari rasa aman dan percaya diantara negara pihak dalam tahapan negosiasi karena spionase hadir sebagai fasilitas negara untuk membaca kebijakan negara lainnya. Seperti dibentuknya Proliferation Security Initiative (PSI), yaitu suatu upaya bersama dari beberapa negara untuk meningkatkan kerjasama internasional, dalam menghentikan pengiriman senjata pemusnah masal (weapons of mass destruction (WMD)[footnoteRef:3] [3: Christopher D. Baker Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1091-1111.]

Pada umumnya spionase hanya dipergunakan untuk melindungi kepentingan negara masing-masing yang berdampak merugikan negara yang menjadi target sasarannya. Meskipun demikian, terdapat fungsi-fungsi positif lain dari kegiatan spionase yang tidak hanya berguna bagi kepentingan individual negara, namun juga bertujuan untuk menciptakan keamanan internasional dan mendukung berjalannya kerjasama internasional. Seperti saat Amerika Serikat mengumumkan pada dunia bahwa Korea Utara memiliki program rahasia untuk memperkaya uranium untuk senjata nuklir, padahal dalam masa itu, Korea Utara turut serta dalam kerjasama Non-proliferation Nuclear Treaty (NPT), yang mengharuskan negara pemilik senjata non-nuklir untuk menghentikan pengembangan dan akuisisi senjata nuklir.[footnoteRef:4] Pembahasan mengenai kegiatan intelijen dan spionase yang telah sejak lama dipraktekan dalam hubungan internsional menjadi menarik, ketika tidak ada pembatasan hukum internasional yang mengaturnya namun sejak lama menjadi nilai yang hidup di masyarakat internasional. [4: Daryl Kimball. Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy. Dapat dilihat https://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron, diakses 30 Juni 2014.]

Tinjauan Teoritis

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat, maka terdapat beberapa teori yang relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:a. Teori Kedaulatan TeritorialKedaulatan teritorial berkaitan dengan kewenangan eksklusif suatu negara terhadap wilayahnya. Kedaulatan teritorial ini sifatnya tidaklah mutlak. Ada pembatasan-pembatasan yang melekat menurut hukum internasional, antara lain:(1) Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara lain;[footnoteRef:5] [5: Green, N.A. Maryan. International Law of Peace 2nd ed. London: MacDonald and Evans. 1982. page. 212, dikutip dari Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media. 2011. hlm. 111. ]

(2) Suatu negara yang memiliki kedaulatan teritorial juga memiliki kewajiban untuk menghormati kedaulatan teritorial negara lain. Begitu pun sebaliknya.Tunduknya suatu negara yang berdaulat atau tunduknya paham kedaulatan kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional demikian merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur. Mengingat bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional yang teratur hanya mungkin dengan adanya hukum internasional.[footnoteRef:6] Teori kedaulatan teritorial memiliki relevansi yang kuat dalam penelitian ini mengingat bahwa praktik spionase merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial yang dimiliki oleh suatu negara. Teori ini juga diperlukan sebagai dasar suatu negara untuk tidak mengintervensi secara diam-diam kebijakan dalam negeri suatu negara. [6: Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Loc.Cit.]

b. Teori Kepentingan Nasional (National Interest)Kepentingan Nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/ negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan.Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (security) dari kesejahteraan (prosperity). Kepentingan nasional diidentikkan dengan dengan tujuan nasional. Contohnya kepentingan pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) atau kepentingan mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.[footnoteRef:7] Teori ini diperlukan sebagai alasan mengapa banyak negara maju dibidang teknologi berlomba-lomba menguasai negara lain dengan cara mendapatkan informasi secara legal maupun ilegal (spionase) untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. [7: Rudy, T. Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang Dingin.Bandung: Refika Aditama. 2002. hlm. 79.]

c. Hukum Kebiasaan Internasional: Prinsip Kesetaraan, Kemerdekaan, Good-Neighbourliness dan Non-Intervensi di waktu damaiDoktrin Persamaan Derajat Negara-Negara (Doctrine of the Equality of States) di kembangkan sejak pemulaan sejarah Hukum Internasional, ternyata doktrin tersebut masih bertahan hingga sekarang dengan mendapat tambahan penekanan dengan menamakannya sebagai prinsip persamaan Kedaulatan Negara dalam Declaration On Principles Of International Law Concerning And Co-Operation Among States In Accordance With The United Nations Charter yang di keluarkan Majelis Umum PBB pada tahun 1970. Prinsip kemerdekaan juga memberikan kewenangan negara untuk melaksanakan kehendaknya sendiri secara penuh (self-reliance), termasuk terlihat oleh sikap patuh atas kewajiban-kewajiban internasional, juga mampu mencegah masuknya intervensi asing dalam pelaksanaan kedaulatan. Demikian pula dalam hukum internasional di kenal adanya prinsip hidup berdampingan secara damai (Peaceful Co-Existence). Terdapat lima prinsip hidup berdampingan secara damai yaitu saling menghormati kedaulatan teritorial masing-masing, saling tidak melakukan agresi (Non Aggression), saling tidak mencampuri urusan dalam Negeri masing-masing Negara (Non Intervention). Hidup berdampingan secara damai, persamaan kedudukan dan kedaulatan. Demikian halnya dengan prinsip non-intervensi di waktu damai. Prinsip ini secara mendasar tersirat dalam Article 2 Konvensi Montevideo Tahun 1933 yang berbunyi sebagai berikut: The federal state shall continue a sole person in the eyes of international law. [footnoteRef:8] Dengan kata lain, apabila suatu negara ingin dihormati oleh negara lain, hendaknya negara tersebut berbuat hal yang serupa kepada negara lainnya. Prinsip-prinsip tersebut penting untuk digunakan dalam penelitian ini. Sebab, prinsip-prinsip tersebut menggambarkan bagaimana seyogyanya pelaksanaan hak dan kewajiban di dalam hubungan antar negara. [8: Ibid. hlm. 116.]

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam peraturan perundang-undangan.[footnoteRef:9] Sejalan dengan tujuan dan manfaat penelitian ini, jenis pendekatan yang digunakan antara lain: pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber datanya adalah berupa bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Pokok penggunaan bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, antara lain: United Nations Charter, Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Montevideo 1933, Konvensi Wina 1961, Konvensi Wina 1969, United Nations Convention on Transnational Organized Crime 2000, Single Convention on Narcotic Drugs, Convention on Psychotropic Substances 1971, Convention against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988, dan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. [9: Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press. 2003. hlm.118. ]

Pengumpulan bahan hukum/ data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara teknik studi dokumen. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Studi dokumen diperlukan bagi penelitian ini untuk menganalisa masalah pokok mengenai politik spionase yang seringkali dipergunakan negara-negara high technology dalam hubungan antar negara. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif, teknik interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Spionase (pengintaian, memata-matai dari bahasa Perancis: espionnage) adalah serangkaian proses yang melibatkan sumber daya manusia (agen) atau sarana teknis untuk mendapatkan informasi yang biasanya tidak tersedia secara publik. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi yang dapat mempengaruhi pembuat keputusan dan pembentuk opini untuk menguntungkan kepentingan nasionalnya. Spionase biasanya dianggap sebagai bagian dari upaya institusional (misal, pemerintahan atau badan intelijen). [footnoteRef:10] Istilah spionase pada mulanya dianggap sebagai suatu keadaan memata-matai musuh potensial atau aktual, terutama untuk tujuan militer dan pertahanan.[footnoteRef:11] Spionase adalah bagian dari kegiatan intelijen, yang juga berkaitan dengan analisis laporan diplomatik, surat kabar, majalah, publikasi teknis, statistik komersial, dan siaran radio dan televisi. Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas spionase telah sangat dibantu oleh kemajuan teknologi, khususnya di bidang intersepsi sinyal radio dan ketinggian tinggi fotografi. Spionase merupakan kejahatan menurut kode hukum dari banyak negara.[footnoteRef:12] Namun tidak ada pelarangan spionase di dalam hukum internasional. [10: What is Espionage? Lihat dalam https://www.mi5.gov.uk/home/the-threats/espionage/what-is-espionage.html, diakses 25 Mei 2014] [11: Jenis dan tujuan spionase sangatlah kompleks. Dewasa ini tujuan dari spionase tidaklah hanya kebijakan negara, namun kini telah berkembang yaitu untuk memata-matai perusahaan, yang dikenal sebagai spionase industrial.] [12: Berbagai kodifikasi hukum mengenai Spionase dan Anti-spionase dibentuk oleh berbagai negara, Lihat: Espionage Act 1917 of United States Federal Law, Official Secrets Act 1989 of United Kingdom, Criminal Code Amendment (Espionage and Related Matters) Act 2002 of Australia, The Official Secrets Act1923 of India, Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dan lain sebagainya.]

Pengetahuan dan informasi adalah kekuatan. Sejak ribuan tahun yang lalu hal ini telah dikemukakan oleh banyak pendapat seperti Kautilya dan Sun Tzu,[footnoteRef:13] yang berpendapat bahwa informasi dan pengetahuan merupakan senjata yang paling penting dalam melaksanakan urusan negara. Dalam bidang pertahanan dan militer, pengetahuan tentang musuh, kemampuan perang musuh, keterbatasan dan intensi mereka sangat penting untuk melemahkan atau mengeksploitasi kekuatan mereka. Aksi spionase memang bukanlah hal yang baru dalam dunia intelijen. Hampir semua negara, bahkan organisasi swasta dan bisnis pun memilikinya. Dikenal pula organisasi intelijen kuat di tingkat dunia seperti CIA (USA), KGB (Rusia), MI-6 (Inggris), dan Mossad (Israel).[footnoteRef:14] [13: Sun, Tzu, The Art of War, terjemahan Samuel B. Griffith, London: Oxford University Press, 1971, dan Kautilya Artharasta, terjemahan L.N. Rangarajan, New Delhi: Penguin Books, 1992, memberi perhatian besar pada fungsi intelijen perang. Sun Tzu cenderung memberi perhatian lebih banyak pada dinas intelijen, sedangkan Kautilya pada bagaimana operasi intelijen harus dilakukan. Informasi tersebut harus diperoleh dari sumber yang benar-benar mengetahui situasi musuh (chapter 13: Employment of Secret Agents). ] [14: Soetopo, F.X. Top Secret: Dinamika Intelijen Dunia: Membongkar Operasi Rahasia CIA, KGB, MI-6, Mossad, Gestapo, Stasi, dan BND, hlm. 6]

Spionase di masa perang adalah legal di dalam hukum internasional. Tindakan ini dianggap sebagai salah satu dari seni mempertahankan diri dalam perang. Dalam konflik militer, spionase dianggap diperbolehkan karena banyak negara mengakui bahwa dengan adanya spionase, suatu misi lebih mudah dan sukses dijalankan. Hal ini diatur secara legal dalam hukum humaniter internasional, khususnya yang tercantum dalam Pasal 24 dalam Konvensi Den Haag IV (Regulations Respecting the Laws and Customs of War on Land) menegaskan bahwa[r]uses of war and the employment of measures necessary for obtaining information about the enemy and the country are considered permissible. Para tentara atau agen spionase memakai penyamaran untuk menyembunyikan identitas mereka yang sebenarnya dari musuh, untuk menembus garis musuh dan mengumpulkan data intelijen. Namun, jika penyamaran mereka tertangkap di belakang garis musuh, mereka tidak berhak untuk mendapatkan status tawanan perang dan tunduk pada penuntutan dan penghukuman (termasuk eksekusi).Setelah berakhirnya perang dunia, kondisi masyarakat internasional mulai beranjak kondusif hingga dapat dikatakan waktu yang damai (peace time). Namun, keberadaan praktik pengintaian atau spionase tetap ada bahkan semakin nyata di waktu yang damai. Baik selama perang, maupun selama era perdamaian, negara tetap memata-matai satu sama lain. Tidak pernah ada perang tanpa mata-mata, dan tidak pernah terjadi perdamaian di mana mata-mata tidak terlibat dalam persiapan untuk perang lain di masa depan.[footnoteRef:15] Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional, dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara. Tindakan masa perang atau damai spionase tidak diatur dalam hukum internasional positif. Tidak ada hukum, perjanjian, norma, atau kebiasaan, yang dapat mendikte apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dimata-matai. Menurut Michael Kapp, penangkapan mata-mata diatur oleh hukum domestik dari negara sasaran dan juga diatur oleh norma-norma kebiasaan. Lima norma kebiasaan dari penangkapan mata-mata selama masa damai didasarkan pada: [footnoteRef:16] [15: Michael Kapp. Spying for Peace: Explaining the Absence of the Formal Regulation of Peacetime Espionage. The University of Chicago. 2007. Page.1] [16: Ibid, hlm. 5.]

(1) Location is Paramount: Spying in international areas does not violate international law. Infringing upon states territory violates both domestic and international laws and, as such, a spy is subject to the usual domestic consequences. The response to overflights or other technological invasions of territory are determined by the ability of the target state to take definitive action to defeat such remote intrusions; (2) The Lack of Enforcement of International Law: Espionage during peacetime, regardless if performed by the uniform military or a civilian agency, is expressly prohibited by well-established international law, but still occurs without substantial or permanent punishment to the spying state;(3) The Forfeiture of Technology: Any equipment apprehended in the course of capturing a spy is fair game to permanent seizure, close inspection and reverse engineering;(4) The Fate of Spies is Directly Linked to the Amount of Media Attention: When the espionage has been exposed to widespread public knowledge, the spying nation should expect the return of its prisoners after a decent interval for propaganda, including possible show trials. This release will occur in conjunction (admitted or not) with a prisoner exchange or for the final propaganda value of making a "humanitarian" gesture of release, usually with an apology or acknowledgment that does not necessarily have to be truly heartfelt or sincere by the spying state and/or the spies themselves. This apology still provides the target state the ability to assert, particularly for domestic or other friendly audiences, that it was the victim;(5) The Fate of Anonymous Spies: When a failed espionage mission has not been exposed to the public, usually in less-free societies, foreign spies may be captured and held in prison for decades or simply be executed, possibly under color of domestic law, depending on applicable domestic laws and/or customs.

Kelima norma kebiasaan tersebut membantu negara, dalam menyelesaikan konflik dengan mata-mata yang ditangkap selama masa damai. Hal ini penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwa pengaturan spionase baik di masa perang dan masa damai terbatas hanya kepada bagaimana negara akan memperlakukan mata-mata yang ditangkap. Tidak ada regulasi baik masa perang atau damai spionase berkaitan dengan apa yang dapat dimata-matai maupun tidak.[footnoteRef:17] Namun hal tersebut belum menjelaskan mengapa tidak diformalkannya peraturan spionase di masa damai. Meskipun negara-negara memprotes keras ketika mereka dimata-matai, tidak ada satu pun negara memiliki keberanian atau dorongan yang serius untuk meregulasi formal spionase di masa damai, seperti melarang atau membatasi spionase. [17: Ibid, hlm. 6.]

Keberadaan spionase adalah penting dalam memenuhi kepentingan nasional suatu negara. Kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/ negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah).[footnoteRef:18] Oleh karena itu, tentu dibutuhkan kelengkapan alat pertahanan yang baik (termasuk intelijen) untuk mewujudkan keamanan yang kondusif. Bilamana spionase diatur dan dilarang dilakukan, justru akan menimbulkan kecurigaan dan dilema keamanan diantara negara-negara. Sebab, keamanan bersama muncul dari rasa aman di masing-masing negara. [18: Lihat teori kepentingan nasional (national interest) hlm. 10]

Spionase mungkin berasal dari legitimasi normatif, sebagai perpanjangan dari hak negara untuk membela diri (self-defense). Beberapa doktrin hukum internasional mengenai konsep pertahanan diri diartikan dengan luas, yaitu segala metode yang memungkinkan serangan pre-emptif dalam keadaan terbatas untuk melindungi keamanan nasional. Dalam pandangan yang luas ini, spionase dianggap sebagai kebutuhan dan hukum teknis yang digunakan untuk menjaga batas suatu negara.[footnoteRef:19] Di bidang militer, kegunaan spionase tidak terbatas hanya menjaga keutuhan dan keamanan negara, namun juga dalam menjaga keamanan internasional. UN Charter mengamanahkan seluruh negara di dunia untuk menjad perdamaian dan keamanan diatas bumi. Hal ini tercantum dalam Chapter I Article 1 poin (1) UN Charter: [19: Quincy Wright. Espionage and the Doctrine of Non Intervention, dalam kutipan jurnal Christopher D. Baker Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1095.]

To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace.

Berdasarkan cita-cita perdamaian tersebut, negara-negara telah berjanji dan sepakat untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional dalam kehidupan benegara. Negara-negara yang merasa memiliki kepentingan yang sama, tentu akan cenderung mencari kawan untuk bersatu memastikan tercapainya kepentingan tersebut. Sebagai contoh, dibentuknya the European Union's Rapid Reaction Force (RRF) yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan penglihatan negara-negara anggota Uni Eropa akan pentingnya keamanan bersama. Melalui penyatuan diskrit militer nasional berdasarkan kepentingan keamanan bersama (yaitu membela diri terhadap ancaman umum), dibentuklah kerjasama keamanan tersebut dengan menghubungkan kepentingan keamanan bersama di sepanjang baris aktivitas fungsional terkait. Infrastruktur yang dirancang untuk melaksanakan RRF merupakan model fungsional untuk mencapai kerja sama multilateral. [footnoteRef:20] RRF merupakan salah satu misi dari kebijakan Common Security and Defence Policy (CSDP) yang dibentuk oleh Uni Eropa untuk menjaga perdamaian dunia, staf militer Uni Eropa dan sebuah pusat satelit Uni Eropa untuk kebutuhan intelijen atau pengintaian. [footnoteRef:21] Perluasan jangkauan misi pertahanan CSDP tersebut bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan bersama dari ancaman konflik yang mungkin terjadi di wilayah sekitar Eropa. [20: Joel Blocker, Western Press Review: EU's Rapid Reaction Force and Other Subjects Radio Free Europe broadcast, (Nov. 21, 2000) (explaining that the RRF is tailored to respond to a host of different threats, including crisis management, humanitarian relief and peace-keeping). Dikutip dalam jurnal Christopher D. Baker Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1100] [21: Council of the European Union."CSDP structures and instruments". Lihat http://www.eeas.europa.eu/csdp/structures-instruments-agencies/, diakses 24 Juni 2014.]

Selain berfungsi untuk membentuk sebuah keamanan bersama di dunia (international security), spionase juga bekerja sebagai pengendali bilamana terdapat stategi intelijen asing yang hendak memicu perang. Hal ini terjadi pada The Cuban Missiles Crisis, 1962, dimana AS melakukan penerbangan pengintaian diatas Kuba setelah delapan laporan pengintaian CIA menunjukkan bahwa bagian-bagian rudal dari kapal Soviet sedang diturunkan di pelabuhan Kuba untuk dibangun pangkalan rudal disana.[footnoteRef:22] Ancaman tersebut berpotensi sangat dekat dengan wilayah AS, sehingga AS merasa perlu untuk segera mempertahankan diri. Namun bibit pertikaian ketiga negara tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan negosiasi yang damai. AS meminta Rusia untuk menghentikan pembuatan pangkalan rudal tersebut, dan AS berjanji akan menghentikan ancaman blokade atas Kuba.[footnoteRef:23] [22: Christopher D. Baker.Op.Cit. page. 1096.] [23: Lihat https://history.state.gov/milestones/1961-1968/cuban-missile-crisis, diakses 25 Juni 2014. The Cuban Missile Crisis of October 1962 was a direct and dangerous confrontation between the United States and the Soviet Union during the Cold War and was the moment when the two superpowers came closest to nuclear conflict. The crisis was over but the naval quarantine continued until the Soviets agreed to remove their IL28 bombers from Cuba and, on November 20, 1962, the United States ended its quarantine. U.S. Jupiter missiles were removed from Turkey in April 1963.]

Penyerangan berdasarkan informasi spionase yang dilakukan Amerika Serikat saat itu menimbulkan banyak pro dan kontra di dalam masyarakat internasional. Namun, dalam jurnalnya yang berjudul Espionage and the Doctrine of Non-Intervention in Internal Affairs, Quincy Wright mengemukakan lima alasan yang memungkinkan Amerika Serikat dibenarkan melakukan spionase di masa damai:[footnoteRef:24] [24: Q. Wright, Espionage and the Doctrine of Non-Intervention in Internal Affairs (1962) in R. Stanger ed., Essays on Espionage and International Law, 3. Dikutip dalam jurnal Craig Brown. Espionage in International Law: A Necessary Evil. Faculty of Law, University of Western Ontario. 1999. Page. 29.]

a. Spionase merupakan praktek umum yang dilakukan oleh semua negara;b. Spionase merupakan kebutuhan untuk membela diri;c. Spionase melengkapi kebutuhan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan;d. Keberatan Rusia dalam pandangan kegiatan spionase sendiri tidak masuk akal; dan e. Spionase berkebajikan dalam mengintervensi komunisme. Kasus tersebut menggambarkan betapa pentingnya fungsi spionase bagi deteksi dini pertahanan dan keamanan suatu negara. Sebab secara normatif kegiatan intelijen adalah bagian dari kegiatan keamanan nasional (national security).[footnoteRef:25] Hukum internasional pun secara tersirat memberikan toleransi kepada negara-negara untuk saling mencari tahu informasi penting yang berguna bagi pertahanan dan keamanan mereka. [25: Jemadu, Aleksius. dkk. Reformasi Intelijen Negara. Pacivis. Jakarta: 2005. hlm. 50. Dalam rangka memperkuat keamanan nasional itu, intelijen biasanya mempunyai empat fungsi utama yaitu (1) mengumpulkan informasi, (2) menganalisis informasi dan menyampaikan kepada pembuat kebijakan, (3) melakukan operasi tertutup (covert action), dan (4) melakukan counterintelligence. Seluruh fungsi tersebut dilakukan untuk memperkuat sistem peringatan dini (early warning system) keamanan nasional dalam menghadapi serangan strategis yang mungkin tiba-tiba terjadi.]

Spionase sebagai bagian dari intelijen negara memberikan penilaian tentang berbagai isu yang sedang berkembang, kecenderungan strategis ke depan baik pada tingkat regional maupun global, perkembangan teknologi, dan kemampuan negara lain yang tidak dimiliki negaranya sendiri. Seluruh informasi tersebut akan diberikan kepada pemerintahnya sebagai input dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Namun negara tentu akan mencari informasi sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya mengenai motif kerjasama internasional yang ditawarkan.Saat ini tidak ada negara di dunia yang terisolasi dan tidak membuka diri terhadap hubungan dengan negara lain. Setiap negara pasti membutuhkan kerjasama dengan pihak lain. Hubungan kerjasama internasional ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan eksistensi keberadaan suatu negara dalam tata pergaulan internasional. Disamping demi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan hidup yang merupakan dambaan setiap manusia, setiap negara tentu memiliki kelebihan, kekurangan dan kepentingan yang beragam. Hal-hal inilah yang mendorong negara melakukan hubungan dan kerjasama internasional di berbagai sektor kehidupan bernegara. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak memiliki perjanjian dengan negara lain, dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.[footnoteRef:26] [26: Mauna, Boer. Op.Cit. hlm. 82.]

Menurut Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,[footnoteRef:27] negosiasi atau perundingan merupakan tahapan utama dalam pembuatan perjanjian internasional. Dalam tahapan negosiasi inilah, sangat diperlukan kelihaian negosiator untuk membaca arah kepentingan pihak lain. Spionase memfasilitasi kerjasama internasional dan memberikan informasi yang memungkinkan pemimpin negara (negosiator) untuk lebih menghargai posisi negosiasi pasangan mereka sehingga mendorong terciptanya dialog strategis dalam perundingan. Spionase juga membuka jalan bagi negosiator untuk lebih memahami apa yang menjadi perhatian dan kebutuhan bagi kepentingan nasional pihak lain.[footnoteRef:28] [27: Ibid, hlm. 83. Terdapat 3 (tiga ) tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional (treaty making power) yaitu, tahap perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification).] [28: Kenneth W. Abbott, "Trust But Verify": The Production of Information in Arms Control Treaties and Other International Agreements, cornell int'l l. j. 1, 33 (1993) stating that assurance procedures enhance interactive communications between parties entering into an agreement and allow the parties to communicate their concerns. Dikutip dalam Christopher D. Baker. Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1105.]

Pada tahap awal perjanjian dibentuk, tentu terdapat banyak ketidakpastian mengenai preferensi mitra negosiasi itu, mengenai niat dan kemampuan mereka, yang dapat mendukung atau justru menyulitkan pembentukan kerjasama. Negosiator juga mungkin memiliki keraguan dalam posisi tawar-menawar dengan mitra negosiasi yang ia rasa keliru menanggapi isu strategis yang ingin dicapai perjanjian. Oleh karena itulah, spionase dapat menghasilkan informasi tentang negara asing, yang mendorong pihak lain yang ragu untuk bernegosiasi.[footnoteRef:29] Dalam hal ini, spionase menciptakan peluang kerjasama bagi para pihak yang memiliki kepentingan yang sejalan untuk dapat menegosiasikan hasil yang saling menguntungkan (mutually beneficial outcomes).[footnoteRef:30] [29: Christopher D. Baker . Ibid. page. 1106. highlighting that states may be more confident and willing to enter into an agreement once they are certain that the current participating states have adequate assurance procedures in place .] [30: Geoffrey B. Demarest. Espionage in International Law, 24 Denv. J. Int'l l. & pol'y 321, 325-26 (1996) providing that assurances further states' goals of "promoting cooperation and keeping the agreement intact. Dikutip dalam Christopher D. Baker . Ibid. page. 1106.]

Spionase memang seringkali digunakan sebagai alat untuk mendukung negara melakukan kerjasama dengan negara-negara lain. Seperti dibentuknya Proliferation Security Initiative (PSI), yaitu suatu upaya bersama dari beberapa negara untuk meningkatkan kerjasama internasional, dalam menghentikan pengiriman senjata pemusnah masal (weapons of mass destruction (WMD).[footnoteRef:31] Tujuan pembentukan kerjasama ini adalah: [footnoteRef:32] [31: Nikitin, Mary Beth. Proliferation Security Initiative (PSI). Congressional Research Service: 2012. on Summary: The Proliferation Security Initiative (PSI) was formed to increase international cooperation in interdicting shipments of weapons of mass destruction (WMD), their delivery systems, and related materials. The Initiative was announced by President Bush on May 31, 2003. PSI does not create a new legal framework but aims to use existing national authorities and international law to achieve its goals. Initially, 11 nations signed on to the Statement of Interdiction Principles that guides PSI cooperation. As of May 2012, 98 countries (plus the Holy See) have committed formally to the PSI principles, although the extent of participation may vary by country. PSI has no secretariat, but an Operational Experts Group (OEG), made up of 21 PSI participants, coordinates activities.] [32: Proliferation Security Initiative (PSI). Dapat dilihat di http://www.nti.org/treaties-and-regimes/proliferation-security-initiative-psi/, diakses 7 Juli 2014]

The primary role of PSI participants is to abide by a Statement of Interdiction Principles aimed at interdicting illicit transfers of weapons of mass destruction (WMD), their delivery systems, and related materials. The initiative seeks to develop partnerships of states working together, employing their national capabilities to develop a broad range of legal, diplomatic, economic, military, and other tools to interdict threatening shipments via air, land, and sea. Additionally, participating states agree to enact measures to ensure that their national facilities are not utilized to transfer illicit weapon cargoes.

Kebersatuan negara-negara anggota untuk berkomitmen melawan WMD dilakukan dengan cara turut berbagi informasi intelijen, yang dikumpulkan oleh intelijen masing-masing negara,[footnoteRef:33] khususnya bilamana kejahatan proliferasi tersebut melintasi batas negara mereka. Pembagian informasi intelijen ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama dari kontra-proliferasi nuklir. Bentuk kolaborasi intelijen seperti ini memfasilitasi kerjasama internasional dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia dari penyebaran senjata pemusnah massal (WMD). [33: Nikitin, Mary Beth. Op. cit, page. 1. enhance the capabilities of our military, intelligence, technical, and law enforcement communities to prevent the movement of WMD materials, technology, and expertise to hostile states and terrorist organizations.]

Selain sebagai fasilitator negosiasi, ketersediaan spionase juga dapat dimanfaatkan negara untuk mengukur pemenuhan kerjasama internasional. Ketika spionase tersedia sebagai alat pendukung, negara akan lebih bersedia untuk turut ke dalam suatu kerjasama internasional meskipun memiliki potensi resiko tinggi. Sebab, ketika negara dipersenjatai dengan spionase sebagai alat untuk memata-matai dan menguping perilaku pihak lain, negara memiliki kepastian yang lebih besar karena dapat memvalidasi kepatuhan pihak lain itu, terhadap isi dari kerjasama internasional. Setidaknya mendeteksi adanya wanprestasi, ketika peserta lain gagal untuk mematuhi perjanjian internasional tersebut.[footnoteRef:34] [34: Christopher D. Baker .Op.Cit. page. 1108. Instead, functionalists predict that states view peace as a "superordinate goal," and will cooperate with other states to achieve peace regardless of the prospective imposition of punitive sanctions.81 In this sense, espionage buttresses the functional approach to international cooperation. Espionage may be thought of as a tool that enables "super-validation" of international compliance with security agreements.]

Hal ini diperlukan karena pada umumnya hanya sedikit kerjasama internasional yang mewajibkan pesertanya untuk melaporkan, mem-validasi, dan memberi jaminan atas berlakunya isi perjanjian tersebut bagi mereka. Bahkan, kegiatan pemantauan hasil kerjasama tersebut sering dijadwalkan dan diatur sedemikian rupa agar saling meguntungkan. Sebagai contoh, verifikasi protokol dari Perjanjian Komprehensif Uji Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT)) menetapkan prosedur yang mengijinkan negara pesertanya untuk diperiksa di negaranya (on-site inspection), sehingga negara tersebut dapat mempersiapkan terlebih dahulu proses pemeriksaan. Hal ini tentu memungkinkan terjadinya ketidakakuratan proses validasi dan sandiwara kepatuhan diantara negara-negara peserta.[footnoteRef:35] [35: Patricia Hewitson, Nonproliferation and Reduction of Nuclear Weapons: Risks of Weakening the Multilateral Nuclear Nonproliferation norm, 21 Berkeley J. Int'l l. 405, 448-49 (2003) (noting that the CTBT establishes "global verification regime" which relies on a number of techniques to ensure compliance). Dikutip dalam jurnal Christopher D. Baker. Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1102.]

Seperti hal nya yang berhasil dilakukan India ketika uji coba nuklir di negaranya. India berhasil menyamarkan persiapan uji coba nuklir pada tahun 1999, oleh karena mengetahui jadwal orbit satelit pengawas di sekitar fasilitas pengujian. Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan negara-negara yang merasa perlu mengidentifikasi lebih dalam tentang keberlakuan kerjasama internasional diantara mereka.[footnoteRef:36] Padahal perjanjian CTBT ini mewajibkan semua negara pesertanya untuk:[footnoteRef:37] [36: Christopher D. Baker. Ibid. page. 1103.] [37: CTBTO Preparatory Commission: Article I Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty. Dapat diunduh di http://www.ctbto.org/fileadmin/content/treaty/treaty_text.pdf, diakses 7 Juli 2014.]

1) Each State Party undertakes not to carry out anynuclear weapontest explosion or any other nuclear explosion, and to prohibit and prevent any such nuclear explosion at any place under its jurisdiction or control.2) Each State Party undertakes, furthermore, to refrain from causing, encouraging, or in any way participating in the carrying out of any nuclear weapon test explosion or any other nuclear explosion.

Berdasarkan kewajiban negara peserta dalam Article I diatas, CTBT melarang semua ledakan nuklir di bumi baik untuk militer atau untuk tujuan damai. Disini lah peran spionase sebagai alat yang dapat diberdayakan negara untuk memastikan pemenuhan kerjasama internasional. Bukti ketidakpatuhan yang diperoleh melalui spionase dapat mencegah situasi krisis, sebelum terjadinya ketegangan internasional sebagai akibat dari pelanggaran kerjasama. Sebagai contoh, Terkait dengan proliferasi nuklir, pada Oktober 2002 telah terungkap bahwa Korea Utara mengembangkan program rahasia senjata nuklirnya. Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat dan masyarakat internasional telah mencoba untuk merundingkan diakhirinya pengembangan nuklir dan rudal Korea Utara dan ekspor teknologi rudal balistik yang dilakukannya. Upaya tersebut telah dilakukan dengan maksimal dalam periode krisis, kebuntuan, dan kemajuan ke arah de-nuklirisasi tentatif. Korea Utara memang telah sejak lama menjadi tantangan utama bagi rezim non-proliferasi nuklir dunia.[footnoteRef:38] Berdasarkan perjanjian ini, Korea Utara sebagai negara peserta yang memiliki kewajiban dalam perjanjian, seharusnya telah berkomitmen untuk serius membekukan program senjata plutonium yang jelas terlarang. Dalam kasus tersebut, dapat dilihat bahwa spionase berfungsi efektif untuk mengungkapkan pelanggaran nuklir Korea Utara sebelum terjadi akibat yang mungkin membahayakan masyarakat dunia. [38: Lihat http://www.nti.org/country-profiles/north-korea/, diakses 7 Juli 2014.]

Spionase juga berfungsi untuk meningkatkan kepercayaan antara pihak-pihak dalam perjanjian yang berhubungan dengan keamanan internasional, yang mengandalkan jaminan afirmatif dari kepatuhan yang bersangkutan. Tanpa spionase, negara hanya dapat menerima informasi yang disediakan oleh mitra perjanjian lainnya. Negara harus berpuas diri dan menganggap bahwa hasil yang diserahkan kepadanya itu adalah data yang akurat. Kepercayaan para pihak dalam perjanjian internasional justru meningkat saat spionase menegaskan, bahwa data yang tersedia adalah akurat. Sebagai contoh, Amerika akan lebih bersedia bekerja sama dengan negara-negara lain di masa depan jika hasil dari spionase mereka menegaskan bahwa motif yang dikemukakan oleh negara peserta lain adalah benar dan nyata. Keuntungan yang ditawarkan spionase lebih mengikat secara verifikasi dalam mendukung kerjasama fungsional. Spionase memungkinkan negara untuk mendeteksi pelanggar secara real-time.[footnoteRef:39] Seperti dalam menanggulangi kejahatan transnasional yang bergerak bebas seperti Narkotika. Terbentuknya Convention against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances,1988, tentu diawali dengan adanya kebutuhan negara-negara untuk bekerjasama dalam mengatasi kejahatan narkotika yang melintasi batas negara. Konvensi ini diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tujuan untuk mempromosikan kerjasama di antara para pihak sehingga mereka dapat lebih efektif menanggulangi peredaran gelap narkotika dan psikotropika dalam dimensi internasional. [39: Quincy Wright, Espionage and the Doctrine of Non-Intervention in Internal Affairs, In Essays on Espionage and International Law, pointing out that historical conceptions of espionage developed before the evolution of instantaneous radio communications and satellites. Dikutip dalam jurnal Christopher D. Baker. Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1110.]

Dalam melaksanakan kewajiban konvensi, para pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk langkah-langkah legislatif dan administratif, agar disesuaikan dengan sistem legislatif negara masing-masing.[footnoteRef:40] Salah satu contoh betapa sulitnya mengendalikan perdagangan gelap narkotika adalah Afghanishtan. Di Afghanishtan, opium merupakan komoditas utama dan terbesar yang diproduksi oleh negara tersebut. Produksi panen opium yang besar tentu memerlukan pasar yang luas. Oleh karena itulah perdagangan gelap opium beredar dengan melalui banyak sindikat.[footnoteRef:41] Menurut UNODC, Afghanishtan tidak mungkin mampu dengan sendirian menghentikan produksi opium di dalam negeri melalui kebijakan pertaniannya sendiri. Dibutuhkan kerjasama diantara negara-negara untuk mencegah dan menanggulangi masuk dan beredarnya opium secara bebas di pasar gelap. Dalam hal inilah, spionase menjadi fasilitas untuk membantu pencegahan, masuknya peredaran gelap narkotika dari-dan-ke dalam teritori negara. [40: Article 2 Point (1) United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988, The purpose of this Convention is to promote co-operation among the Parties so that they may address more effectively the various aspects of illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances having an international dimension. In carrying out their obligations under the Convention, the Parties shall take necessary measures, including legislative and administrative measures, in conformity with the fundamental provisions of their respective domestic legislative systems. ] [41: Addiction, Crime And Insurgency:The Transnational Threat Of Afghan Opium. Dapat diunduh dalam http://www.unodc.org/ documents/ data-and-analysis/ Afghanistan/ Afghan_ Opium_ Trade_ 2009 _web.pdf. Between 2002 and 2008, Afghan farmers earned a total of about US$ 6.4 billion from opium poppy cultivation, and Afghan traffickers approximately US$ 18 billion from local opiate processing and trading. During the same seven-year period, the transnational trade in Afghan opiates produced a total turn over of US$ 400 to 500 billion. Arrests figures suggest that there may be around 1 million traffickers involved in bringing opiates to some 16 million opiate users across the world every year.]

Kejahatan transnasional semakin berkembang cepat pasca periode Perang Dingin berakhir. Karakteristik ancaman juga berubah menjadi multidimensional. Ancaman dapat juga dijelaskan sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan suatu negara, integritas wilayah, keselamatan warga negara, dan kehidupan demokratis baik yang bersifat konvensional maupun non-konvensional. Segala ancaman ringan maupun berat yang muncul dewasa ini perlu diwaspadai dan diantisipasi. Disinilah peran spionase sebagai sarana pendeteksi dini masalah-masalah yang mungkin juga kasat mata telah terjadi. Negara memang memiliki kedaulatan teritorial, yurisdiksi, dan hak non-intervensi untuk mengatur sendiri kepentingan nasionalnya. Namun dengan lajunya kejahatan transnasional di era global ini. Tidak mungkin bagi suatu negara untuk mengatasi segala resiko dan ancaman tersebut sendirian. Diperlukan spionase sebagai suatu alat semu yang justru mendukung berjalannya perjanjian-perjanjian internasional berjalan efektif, untuk menanggulangi masalah-masalah internasional saat ini. Sedikitnya terdapat 5 (lima) masalah yang kerap kali terjadi di dalam spektrum kejahatan transnasional, seperti: terorisme; proliferasi nuklir; narkotika; perusakan lingkungan hidup; dan perdagangan manusia (human trafficking) yang membutuhkan kerjasama internasional dalam proses penanggulangannya. Sebab, negara dengan segala kekuatan dan kemampuannya tidak mungkin mampu bekerja sendiri menyelesaikan kejahatan-kejahatan yang umumnya terorganisir lintas batas negara. Spionase berperan penting dalam mendukung kerjasama internasional. Namun meskipun spionase tersedia sebagai alat untuk mengupayakan pemberantasan kejahatan transnasional, hendaknya dalam memanfaakan spionase dalam berkoordinasi dan bekerja sama, negara-negara saling untuk tidak mengesampingkan prinsip-prinsip bernegara dalam hukum internasional seperti penghormatan kedaulatan negara dan prinsip bertetangga baik (good-neighbourlines), agar tidak melewati koridor-koridor eksklusif dari kewenangan negara untuk mengatur urusan dalam negerinya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai fungsi spionase sebagai alat untuk mendukung keamanan dan kerjasama antarnegara dalam perspektif hukum transnasional dapat disimpulkan bahwa:1) Spionase memiliki fungsi positif sebagai alat penjaga perdamaian dan keamanan internasional. Hukum internasional tidak dapat mengatur spionase dalam sebuah aturan formal. Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional, dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara. Dalam hal ini spionase merupakan hal yang harus dapat ditoleransi untuk digunakan. Mengingat spionase merupakan kebutuhan bagi pertahanan negara untuk membela diri (self-defense) dari bahaya sekecil apapun yang mungkin datang. Terlebih dengan berkembangnya kejahatan transnasional yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional.2) Spionase memiliki fungsi positif sebagai alat yang dapat memastikan negara melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam pemberantasan kejahatan transnasional. Spionase berfungsi sebagai fasilitator dalam negosiasi kerjasama internasional. Ketersediaan spionase penting untuk memberikan informasi yang memungkinkan pemimpin negara (negosiator) untuk membaca arah kepentingan pihak lain dalam proses perundingan (pra kerjasama). Setelah kerjasama dibentuk pun, spionase hadir sebagai alat yang memungkinkan validasi kepatuhan para pihak terhadap isi dari perjanjian internasional tersebut. Suatu negara akan lebih bersedia untuk turut ke dalam suatu kerjasama internasional meskipun beresiko tinggi. Sebab, ketika negara diperlengkapi dengan spionase, negara memiliki kepastian yang lebih besar, karena dapat memvalidasi kepatuhan pihak lain terhadap isi dari kerjasama internasional. Spionase memungkinkan adanya kepastian negara-negara melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam memberantas kejahatan transnasional.3) Spionase mempermudah dunia dalam mengatasi kejahatan transnasional. Perkembangan infrastruktur komunikasi telah memungkinkan adanya arus informasi yang melewati batas-batas teritorial negara kebangsaan tanpa dapat atau sulit untuk dikendalikan (borderless sphere of influence). Namun, dengan ketersediaan spionase sebagai sarana pendeteksi dini masalah-masalah yang mungkin juga kasat mata telah terjadi. Spionase membantu negara-negara dalam berkerjasama memberantas kejahatan transnasional yang semakin berkembang kompleks dari waktu ke waktu, seperti: terorisme; proliferasi nuklir; narkotika; dan perdagangan manusia (human trafficking) yang membutuhkan kerjasama internasional dalam proses penanggulangannya. Sebab, negara dengan segala kekuatan dan kemampuannya tidak mungkin mampu bekerja sendiri menyelesaikan kejahatan-kejahatan yang umumnya terorganisir lintas batas negara. Oleh sebab itu, spionase paling tepat didefinisikan sebagai alat yang berfungsi menciptakan situasi politik damai diantara negara-negara di dunia. Saat ini dapat dipastikan tidak ada satupun negara di dunia saat, yang tidak menggunakan spionase sebagai alat pendukung terciptanya perdamaian dan keamanan internasional, serta kerjasama internasional dalam hubungan antarnegara. Namun demikian dari sisi negatif harus diakui bahwa dengan ketiadaan pengaturan formal tentang praktik spionase, menciptakan peluang terabaikannya penghormatan kedaulatan negara dan prinsip-prinsip hukum internasional lain seperti good-neighbouliness dan non-intervensi.

Saran

Saran yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah:1) Perlu dibuat suatu kesepakatan negara-negara di dunia mengenai pembatasan etik spionase untuk menjaga koridor prinsip hukum internasional. Guna mendapatkan pula status legal dari spionase dalam mendukung terciptanya perdamaian dan keamanan dunia;2) Peran intelijen Indonesia harus diperkuat melalui peningkatan skill dan teknologi yang diiringi dengan profesionalisme dan nasionalisme yang tinggi, untuk mendukung negara dalam setiap kerjasama internasional yang bertujuan memberantas kejahatan transnasional; dan3) Negara harus terus menerus melakukan pembaharuan dengan cara-cara yang inovatif untuk memanfaatkan fungsi spionase dalam intelijen negara. Guna memberantas kejahatan transnasional, mengawal kerjasama-kerjasama internasional yang dapat saja berpotensi merugikan negara dan turut menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Daftar Referensi

Abbott. W. Kenneth. (1993). "Trust But Verify": The Production of Information in Arms Control Treaties and Other International Agreements, cornell int'l l. j. 1, 33.

Addiction, Crime And Insurgency: The Transnational Threat Of Afghan Opium. (2009). Dapat diunduh dalam http://www.unodc.org/ documents/ data-and-analysis/ Afghanistan/ Afghan_ Opium_ Trade_ 2009 _web.pdf.

Adolf, Huala. (2011). Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media.

Amiruddin dan Zainal Asikin. (2003). Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press.

Baker. Christopher D. (2003). Tolerance of InternAtional Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review 19.

Demarest, Geoffrey B.. (1996). Espionage in International Law, 24 Denv. J. Int'l l. & pol'y.

Green, N.A. Maryan. (1982) International Law of Peace 2nd ed. London: MacDonald and Evans.

Hewitson, Patricia. (2003). Nonproliferation and Reduction of Nuclear Weapons: Risks of Weakening the Multilateral Nuclear Nonproliferation norm, 21 Berkeley J. Int'l l. 405.

Joel, Blocker. (2000). Western Press Review: EU's Rapid Reaction Force and Other Subjects Radio Free Europe broadcast.

Jemadu, Aleksius. dkk. (2005) Reformasi Intelijen Negara. Jakarta: Pacivis.

Kapp, Michael. (2007). Spying for Peace: Explaining the Absence of the Formal Regulation of Peacetime Espionage. The University of Chicago.

Kautilya. (1992). Artharasta, New Delhi: Penguin Books.

Kimball, Daryl. (2002). Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy. Dapat dilihat https://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron, diakses 30 Juni 2014.

Nikitin, Mary Beth. (2012). Proliferation Security Initiative (PSI). Congressional Research Service.

Radsan, A. John. (2007). The Unresolved Equation of Espionage and International Law.

Rudy, T. (2002). Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang Dingin.Bandung: Refika Aditama.

Soetopo, F.X. (2008). Top Secret: Dinamika Intelijen Dunia. Jogjakarta: Garasi.