SP Blok 16 kolitis

29

Click here to load reader

description

kolitis

Transcript of SP Blok 16 kolitis

Page 1: SP Blok 16 kolitis

Pendahuluan :

Kolitis merupakan bagian dari penyakit inflammatory bowel ddisease yang merupakan penyaki

pada usus yang menyebabkan inflamasi yang dapat menyebabkan diare berdarah, disertai lender dan

menyebabkan nyeri pada bagian perut, jika dengan penanganan yang tepat maka penyakit ini dapat

disembuhkan.

Anamnesis :

Identitas :

Identitas pasien, meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan,

alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pemeriksaan, diagnosa medis.

Keluhan utama : Biasanya pada klien yang terkena kolitis ulseratif mengeluh nyeri perut,

diare, demam, anoreksia. 

Riwayat kesehatan :

Riwayat kesehatan sekarang : Perdarahan anus, diare dan sakit perut, peningkatan suhu

tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan.

Riwayat kesehatan dahulu : Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan

tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian proferatif.

Pada anamnesis colitis infektif biasanya sering dapat ditemukan penyebabnya, misalnya berupa

buang air besar berdarah, berlendir, kemudian ditemukan terdapat sakit perut yang hulang

timbul.

Perlu di tanyakan :

Kapan terjadi nyeri

Tidak ada flatus

Apakah berdarah atau tidak

Berlendir atau tidak

Page 2: SP Blok 16 kolitis

Apakah ada makan makanan yang tidak sehat sebelumnya

Mual dan muntah

Nyeri-kolik

Apakah terdapat demam atau tidak

Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum meliputi : Tekanan darah, nadi, suhu, respirasi

Inspeksi : Melihat keadaan pasien, apakah terdapat kelainan dalam perutnya seperti

benjolan ataupun gerakan gerakan yang tidak lazim

Palpasi : Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan pada perut kiri bagian bawah

Auskultasi : Biasanya terdapat peningkatan bising usus

 

Lakukan pemeriksaan colok dubur untuk mengetahui apakah terdapat lender, darah ataupun

masa lainnya untuk memastikan diagnostic klinis.

Pemeriksaan penunjang :

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi dan biokimia terdapat peningkatan hitung jenis

leukosit dan LED pada serangan berat. Pemeriksaan fungsi hepar diperlukan untuk mendeteksi

adanya komplikasi. 1

Pada analisis dan kultur fese mungkin ditemukan eritrosit walau tanpa perdarahan rektum, dan

adanya leukosit membuktikan terjadinya inflamasi atau infesi. Tak ditemukannya

mikroorganisme tak dapat menyingkirkan infeksi secara otomatis. Pada infeksi oleh Clostridium

difficile, selain kultur harus dilakukan pemeriksaan toksin. 1

Foto polos abdomen menunjukan dilatasi kolon atau gambaran perforasi pada kasus kolitis yang

fulminan. Sebaiknya dilakukan sigmoidoskopi dan biopsi bila terdapat kecurigaan kolitis. Akan

terlihat kerusakan kripti akibat perubahan kronis pada penyakit usus inflamatorik. Bila tak ada

kerusakan kripti, kemungkinan terjadi kolitis akibat infeksi. 1

Page 3: SP Blok 16 kolitis

Dilakukan kolonoskopi untuk melihat luasnya kerusakan, serta untuk menentukan diagnosis

banding kolitis. Pada ileum terminal intubasi untuk menentukan adanya inflamasi atau ulserasi.

Pada koitis aktif berat yang luas, lebih baik ditentukan secara klinis daripada kolonoskopi karena

risiko perforasi.1

Working diagnosis :

Kolitis ulseratif :

Kolitis ulseratif merupakan jenis penyakit usus inflamasi yang menyebabkan peradangan kronis

pada saluran pencernaan terutama pada usus besar dan rektum. Sesuai dengan namanya, kolitis

ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon yang sering kambuh.

Diare berdarah merupakan manifestasi utama dari kolitis ulseratif, sering juga disertai mukus,

demam, nyeri abdomen, tenesmus, penurunan berat badan, pada kasus yang berat terdapat

dehidrasi, anemia, hipokalemi dan hipoalbuminemia. 2

Epidemiologi :

Di America Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena Kolitis Ulseratif. Insidennya 10,4-12 kasus per

100.000orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang.

Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini

telah dilaporkan terjadi pada setiap decade kehidupan. Kolitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering

dari pada Croh disease. Kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih dari pada

orang African American atau Hispanis. Kolitis ulseratif juga sering terjadi pada wanita dari pada

laki-laki.

Patogenesis :

Sampai saat ini belu diketahui etiologi kolitis yang pasti. Kolitis merupakan penyakit

multifaktor, dimana banyak faktor berperan dalam terjadinya kolitis seperti faktor genetik,

mikrobiota usus, faktor lingkungan, dan sistem imun dari pejamu. Faktor-faktor ini saling

memperngaruhi dalam banyak jalur.3

Page 4: SP Blok 16 kolitis

Beberapa faktor predisposisi terjadinya kolitis adalah :

a. Faktor Genetik

Penderita kolitis mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi

menunjukkan bahwa 10-25% penderita kolitis memiliki riwayat keluarga dengan kolitis.

Pada kembar monozigot peluang untuk KU sekitar 6%-17%. Saat ini telah ditemukan

beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan kolitis. Kromosom 16 ( gen

kolitis) atau gen CARD15 berhubungan dengan PC. Perinuclear antinetrophil antibody

( pANCA ) ditemukan pada 70% penderita KU. Kromosom 5 ( 5q31 ), 6 ( 6p21 dan 19p )

sering ditemukan pada penderita kolitis.

b. Faktor Lingkungan

Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab kolitis. Akan tetapi, isolasi agen

infeksius dari jaringan kolitis tidak dapat membuktikan hubungan etiologi karena pada

mukosa yang mengalami inflamasi sering ada koloni bakteri oportunistik. Selain itu

pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalan penyakit kolitis. Sampai ini belum

ada data mengenai transmis secara epidemik agen infeksius pada kolitis. Faktor

lingkungan lain yang diduga pencetus kolitis adalah stres psikososial, faktor makanan,

seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin

lingkungan.

c. Faktor Imunologi

Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami

kelainan regulasi yang bersifat menetap yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T

helper /CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan ini. Sel Th1 menghasilkan

interleukin ( IL )-2, interferon ( INF)-g, dan tumor necrosis factor ( TNF )-a yang

merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan

merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, yang merupakan gambaran

histologi yang sering ditemukan pada PC. Sebaliknya sel Th2 menghasilkan sitokin

seperti IL-4, IL-5, II-6 dan II-10, akan merangsang antibody mediated immune respons.

Page 5: SP Blok 16 kolitis

Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen ,

yang sering ditemukan pada KU.

Selain itu, respon terhadap pemberian kortikosterois dan obat imunosupresif mendukung

kemungkinan mekanisme kelainan kekebalan. KU ternyata berhubungan dengan

prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai kelainan ekstraintestinal seperti eritema

nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan

apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada

patogenesis kolitis. Diduga, kelainan kekebalan bersifat poligenik, yang menjelasan

manifestasi klinis yang beragam pada IBD.

Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada kolitis diduga mengalami

gangguan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin ( IgA ) sekretori atau

fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas

terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi

peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran

pencernaa terhadap antigan, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan

komposisi mukus. Pendapat lain, mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue

mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang

kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon

imunoantibody-dependent cell-mediated

d. Integritas Epitel

Kelainan barier epitel mukosa menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap

sistem kekebalan usus. Ini diduga menjadi faktor inisial pada kolitis. Pada PC dijumpai

gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap

protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi

dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik terhadap

protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada PC.4

Gejala klinik :

Page 6: SP Blok 16 kolitis

Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis kolitis

yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti artritis, uveitis, pioderma

gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis. Disamping itu tentunya disertai dengan

gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patofisiologis yang ada seperti

gangguan nutrisi.

Gambaran klinis Kolitis Ulseratif relatif lebih seragam dibandingkan dengan gambaran klinis

penyakit Chron. Hal ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU

adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua

segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal.5

Penatalaksanaan :

Suportif :

- Diet atau nutrisi yang bergizi secara oral atau parenteral

- Edukasi bagi pasien dan keluarga mengenai penyakit

Farmakologi :

1. Simtomatis

Rehidrasi : oralit, cairan infus ( ringer laktat, dekstrosa 5%, dekstrosa dalam NaCl

0,09% )

Antispasmodik, antikolinergik : papaverin 3x/hari, mebeverin 3-4 tablet/hari,

propantelin bromid 3x5 mg/hari, hiosin N-butilbromida ( Buscopan ) 3x1

tablet/hari. Hati-hati dalam memberikan obat-obat diatas, jangan berlebihan.

Obat antidiare : loperamid atau difenoksilat. Golongan obat ini dapat mengurangi

pengeluaran tinja berlebihan dan melegakan urgensi rektal, namun dapat

mengurangi dosis pemakaian steroid. Pada kolitis berat, antidiare merupakan

kontraindikasi karena dapat mencetuskan megakolon toksik.

2. Obat-obat spesifik

Sulfasalazin / salisilazolsul-fapiridin :

Page 7: SP Blok 16 kolitis

Diberikan berdasarkan umur, derajat penyakit dan toleransi obat. Dosis biasa

4x500 mg/hari, dinaikkan 2x500 mg pada hari kedua dan seterusnya sampai

tercapai respon klinis. Dosis dewasa diberikan 4-8x2-3 tablet (@500 mg)/hari.

Umumnya jarang diberikan melebihi 4 g/hari, selama 2-4 minggu dan bila remisi

tercapai, dosis dapat diturunkan 2-3 g/hari lalu diteruskan lebih lama. Pada kasus

refrakter atau berat, tetapi diberikan lebih lama dengan dosis 16-20 tablet/hari.

Jika timbul efek samping yang tidak diinginkan, segera turunkan dosis obat

sampai setengahnya. Pemberian sebaiknya setelah makan.

5-ASA ( asam 5-aminosalisilat/Salofak )

Diberikan peroral 4x1-2 tablet (@250 mg)/hari, atau dapat diberikan supositoria

per rektral atau per enema ( 4 g )

Kortikosteroid ( misalnya prednison atau prednisolon )

Diberikan pada penyakit berat, kronik dan progresif yang tidak membaik dengan

sulfasalazin atau obat lainnya. Kortikosteroid meningkatkan absorbsi natrium,

menstimulasi aktivitas Na-K ATPase di kolon dan ileum, memiliki efek anti

inflamasi, yang dapat memperbaiki inflamasi dan menyembuhkan diare. Obat

dapat diberikan peroral, injeksi atau rektal. Dosis awal prednison 40-60 mg/hari,

dalam dosis terbagi selama 3-6 minggu. Jika klinis membaik, yaitu diare

berkurang, tak lagi terdapat darah dan lendir pada feses, serta terdapat gambaran

sigmoidokonoskopi mulai membaik, maka dosis diturunkan menjadi 30 mg/hari,

selama 3-4 minggu. Jika gambaran sigmoidokolonoskopi telah normal kembali,

diusahakan mulai menghentikan kortikosteroid selama 2-3 bulan, dengan

menurunkan dosis perlahan.1

Operatif :

Indikasi dilakukan pembedahan pada kolitis ulseratif adalah :

Kegagalan terapi medikamentosa

Megakolon toksik

Page 8: SP Blok 16 kolitis

Perforasi

Perdarahan masif

Gejala kronik tak teratasi

Karsinoma atau resiko tinggi terkena karsinoma

Tak seperti pada penyakit Crohn , maka pembedahan pada KU bersifat kuratif dan hanya 20%

yang memerlukan pembedahan.1

Kolitis infektif :

Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran,

kolitis karena virus/bakteri/parasit.

Amebiasis kolon :

Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.6

Epidemiologi:

Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi.

Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir

utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat,

kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang

jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya.

Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan

infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk

trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.

Gejala klinis :

Page 9: SP Blok 16 kolitis

Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan

gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah

sebagai berikut :

1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan

ringan seperti  kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh

persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang

menjadi kolitis ameba.

2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan

tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.

3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri

spontan.

4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.

5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan

periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,

neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan

yang sukar dicerna.

Penatalaksanaan :

1. Karierasimtomatik.

Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol

(diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg

3 kali sehari selama 10 hari.

2. Kolitisamebaakut.

Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 – 10 hari, ditambah dengan obat luminal

tersebut di atas.

3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba). Metronidazol 750 mg tiga kali

sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2

macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam

obat.

Page 10: SP Blok 16 kolitis

Disentri basiler :

Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella.7

Epidemiologi:

Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat

kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 %

penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera

dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan

penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah

terjadi penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan

minuman yang terkontaminasi.

Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana

S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan

Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di

negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyak

Gejala klinik :

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis

bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4

minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya

menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas

rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang tetapi tinja

masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak

mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk

dan letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun

jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan  kuman bersama

feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami

gejala shifellosis yang intermiten.

Penatalaksanaan :

Page 11: SP Blok 16 kolitis

1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri

dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan

pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus

dilakukan rehidrasi intravena.

2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit

yaitu pasien dengan gejala disentri sedang  sampai berat, diare persisten serta perlu

diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang

dianjurkan adalah:

Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau

Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau

Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia  kuman  Shigella telah banyak yang resisten

dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon

dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat Pengobatan

simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan

derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon

toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-

antipiretik dan antikonvulasi.

Eschericia Coli :

Infeksi kolon oleh Escherichia coli yang menyebabkan diare.8

Epidemiologi :

Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.Coli patogen jarang dilakukan, maka angka

kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang

terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat, E.Coli (O157:H7) lebih sering

diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella demikian juga pada pasien diare kronik

di Jakarta.

Page 12: SP Blok 16 kolitis

E.Coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia

sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging yang

terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik

dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang tercemar, tempat

berenang yang tercemar dan antar manusia.

Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1 – 8 hari. E.Coli patogen dapat

ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada

orang sehat (bukan flora normal pada manusia).

Gejala klinis :

Manifestasi klinis enfeksi E.Coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa : infeksi asimtomatik,

diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai

kematian.

Gejala klinis adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian

diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea (mual) dan vomiting (muntah).

Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat  atau normal, sehingga dapat dikelirukan

sebagai kolitis non infeksi.

Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien tindak

mengandung darah sama sekali.

Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU  (sekitar 6 % dari

pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik

mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik

berupa kejang , koma, hemiparesis terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Prediktor

keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah lekosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat

timbul anuria, usia  di bawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5 %

Penatalaksanaan :

Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan simtomatik.

Page 13: SP Blok 16 kolitis

Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat

yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kontrimoksazol dilaporkan  tidak

mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme

dan komplikasi SHU.

Kolitis tuberkulosa :

Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.9

Epidemiologi :

Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat.

Gejala klinis: Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak

khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam

ringan, penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus

ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman

pada tinja mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum.

Penatalaksanaan : Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada

pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-

kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang

sering dipakai adalah :

INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari

Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari

Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari

Pirazinamid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari

Diagnosis banding :

Page 14: SP Blok 16 kolitis

Penyakit Crohn :

Penyakit Crohn adalah peradangan menahun pada dinding usus. Penyakit ini mengenai seluruh

ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan

usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut

sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. Pada beberapa dekade yang lalu, penyakit Crohn

lebih sering ditemukan di negara barat dan negara berkembang. Terjadi pada pria dan wanita,

lebih sering pada bangsa Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki

riwayat kolitis ulserativa. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering

dimulai antara usia 14-24 tahun. Penyakit ini mempengaruhi daerah tertentu dari usus, kadang

terdapat daerah normal diantara daerah yang terkena. Pada sekitar 35 % dari penderita penyakit

Crohn, hanya ileum yang terkena. Pada sekitar 20%, hanya usus besar yang terkena. Dan pada

sekitar 45 %, ileum maupun usus besar terkena.

Penyebabnya belum diketahui namun ada kemungkinan disebabkan oleh adanya kelainan fungsi

sistem pertahanan tubuh, infeksi, makanan. Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah

diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan benjolan dan rasa penuh pada perut bagian bawah

biasanya lebih ke sisi kanan. Komplikasi yang sering terjadi adalah penyumbatan usus, saluran

penghubung yang abnormal (fistula), dan kantong berisi nanah atau abses.

Gejala penyakit ini berbeda pada tiap penderita, namun ada 4 pola yang umumnya terjadi yaitu:

peradangan berupa nyeri dan nyeri tekan di perut kanan bawah; penyumbatan usus akut yang

berulang yang menyebabkan kejang hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan

muntah; peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun yang menyebabkan kurang gizi dan

kelemahan menahun; serta pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisis

nanah (abses) yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri

dan berat badan menurun.2

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang

terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan sendi, mata dan kulit. Apabila diagnosis

masih belum pasti, dapat dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi untuk memperkuat

Page 15: SP Blok 16 kolitis

diagnosis. Pemeriksaan dengan CT Scan, bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan

menemukan adanya abses, nemun tidak digunakan secara rutin sebagai diagnosis awal.10

Divertikulitis :

Penyakit divertikular merupakan suatu kelainan, dimana terjadi herniasi mukosa/submukosa dan

hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding kolon yang lemah yaitu tempat di mana

vasa rekta menembus dinding kolon.Herniasi dari mukosa/submukosa dan ditutupi oleh lapisan

serosa yang tipis disebut Pseudodivertikular atau false divertikular; biasanya bersifat acuired

( didapat setelah lahir). Apabila semua dinding kolon mengalami herniasi di sebut true

divertikular dan biasanya bersifat kongenital (dibawa dari lahir).

Penyakit divertikular pada umumnya tidak memberikan gejala klinik pada 70-75% pasien.

apabila timbul divertikulitis (15-25%) dengan komplikasinya, akan menimbulkan nyeri perut

pada kuaran kiri bawah, demam dan leukositosis yang merupakan gejala penting walaupun tidak

spesifik.11

Pada divertikulitis dapat terjadi inflamasi dalam berbagai tingkat, mulai dari inflamasi dlam

berbagai tingkat, musulfalai dari inflamasi lokal subklinis sampai terjadi peritonitis generalisata

akibat perforasi sebagai komplikasi.

Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak memberi tanda fisik, namun kemungkinan ditemukan

nyeri palpasi pada perut kiri. Bila ditemukan rebound yang jelas pada palpasi, ini merupakan

tanda adanya iritasi-inflamasi peritoneal akibat terjadinya mikroperforasi atau makroperforasi

dengan peritonitis generalisata. Kemungkinan teraba adanya massa bila proses inflamasi menjadi

plegmon atau asbes.

Perforasi terjadi apabila tekanan intraluminal meningkat atau oleh karena divertikel tersumbat

oleh feses/ bahan makanan sehingga erosi pada dinding ivertikel yang berlanjut dengan

inflamasi, nekrosis fokal dan berakhir dengan perforasi. Manisfestasi klinik perforasi tergantung

dari besarnya perforasi perforasi dan kemampuan tubuh untuk melokalisirnya. Perforasi kecil

Page 16: SP Blok 16 kolitis

(mikroperforasi) yang dapat dilokalisir akan menyebabkan timbulnya plegmon atau asbes, dan

apabila perforasi tidak dapat dilokalisir akan menyebabkan perforasi bebas.

Perdarahan pada divertikel paling sering berupa perdarahan yang masif pada 30-50% ksus,

sedangkan perdarahan yang ringan terjadi pada 30% kasus dan sekitar 15% pasien akan

mengalami perdarahan sekali selama hidup. Perdarahan biasanya terjadi tiba-tiba terutama pada

divertikel yang berlokalisasi pada kolon sebelah kanan (80%) tanpa disertai adanua gejala nyeri

abomen dan 70-80% berhenti spontan.

Herniasi pada mukosa/submukosa yang hanya dibatasi oleh lapisan mukosa yang tipis dengan

vasa recta yang menembus dinding kolon, dapat mengalami inflamasi kronik akibat iritasi dari isi

atau material dalam kolon sehingga dapat terjadi ruptur dan pendarahan.

Karsinoma kolon :

Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang

menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar

terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa

menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi

terkena kanker, selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk

diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis

kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup. 7

Kolon (termasuk rektum) merupakan tempat keganasan saluran cerna yang paling sering. Kanker

kolon merupakan penyebab ketiga dari semua kematian akibat kanker di Amerika Serikat.

Kanker usus besar biasanya merupakan penyakit yang terjadi pada orang tua (60-70tahun).

Sekitar 60% dari semua kanker usus terjadi pada bagian rektosigmoid, sehingga dapat teraba

pada pemeriksaan sigmoidoskopi. Sekum dan kolon asendens merupakan tempat berikutnya

yang paling sering terserang. Kolon transversa dan fleksura adalah bagian yang mungkin paling

jarang terjadi.12

gejala yang paling sering terjadi adalah perubahan kebiasaan defekasi, perdarahan, nyeri,

anemia, anoreksia dan penurunan berat badan.

Page 17: SP Blok 16 kolitis

Pengobatan karsinoma kolon dan rektum adalah pengangkatan tumor dan pembuluh lmfe secara

pembedahan. Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan, kolektomi

transversal, hemikolektomi kiri, atau reseksi anterior, dan reseksi abdominoperineal.

Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit ini , dapat terjadi komplikasi :

- Perforasi usus

- Stenosis usus

- Megakolon toksik

- Perdarahan

- Degenerasi maligna, dengan risiko 13%

Prognosis

Pada dasarnya, penyakit kolitis merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi. Cukup

banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang lama.

Prognosis banyak yang dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap

pengobatan konservatif.5

Penutup :

Kolitis merupakan suatu penyakit, dimana usus besar mengalami peradangan dan luka, yang

menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam. Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis

ulseratif tidak selalu mempengaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai usus

Page 18: SP Blok 16 kolitis

halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid ( ujung bawah dari usus

besar ) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar.

Daftar pustaka :

1. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan. Kapita selekta kedokteran.

Jakarta : Media aesculapius; 2009.h.495-7

2. Ndraha S. Gastroenterohepatologi. Jakarta :Fakultas Kedokteran Ukrida. 2013. h. 61-2,

95-8

3. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SPL. Guidelines for the management of inflammatory bowe

disease in adults. Gut 2004 ; 53

4. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory bowel disease. Dalam : Fauci A S, Braunwald

E, Kasper D L, Hauster S L, Longo D L, Jameson J L , Loscalzo J. Harrison manual of

medicine. Edisi 17. New York : Mcgraw Hill;209.h. 1679-90

5. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di

Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi

Page 19: SP Blok 16 kolitis

ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. hal. 593,

560, 602-3

6. Lacasse, Alexandre. Amebiasis. Medscape reference. 2011.

http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview, di unduh pada 24 Februari

2014

7. Kroser, Joyann. Shigellosis. Medscape Reference.

2011.http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview, diunduh pada 24 Februari

2014

8. Madappa, Tarun. Escherichia Coli Infections. Medscape Reference

2011.http://emedicine.medscape.com/article/217485-overview, diunduh pada 24 Februari

2014

9. Anand, Mahesh Kumar Neelala. Tuberculosis, Gastrointestinal.Medscape Reference.

2011.http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview, diunduh pada 24 Februari

2014

10. Inneritu JM. The appeareance of crohn’s disease. 12 Agustus 2007. Diunduh dari

http://www.unboundedmedicine.com/2007/08/12/the-appeareance-of-crohns-disease/.

Pada 24 Februari 2014

11. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di

Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi

ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. hal. 593,

560, 602-3

12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2003. H. 461-7.