Pendahuluan :
Kolitis merupakan bagian dari penyakit inflammatory bowel ddisease yang merupakan penyaki
pada usus yang menyebabkan inflamasi yang dapat menyebabkan diare berdarah, disertai lender dan
menyebabkan nyeri pada bagian perut, jika dengan penanganan yang tepat maka penyakit ini dapat
disembuhkan.
Anamnesis :
Identitas :
Identitas pasien, meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pemeriksaan, diagnosa medis.
Keluhan utama : Biasanya pada klien yang terkena kolitis ulseratif mengeluh nyeri perut,
diare, demam, anoreksia.
Riwayat kesehatan :
Riwayat kesehatan sekarang : Perdarahan anus, diare dan sakit perut, peningkatan suhu
tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan.
Riwayat kesehatan dahulu : Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan
tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian proferatif.
Pada anamnesis colitis infektif biasanya sering dapat ditemukan penyebabnya, misalnya berupa
buang air besar berdarah, berlendir, kemudian ditemukan terdapat sakit perut yang hulang
timbul.
Perlu di tanyakan :
Kapan terjadi nyeri
Tidak ada flatus
Apakah berdarah atau tidak
Berlendir atau tidak
Apakah ada makan makanan yang tidak sehat sebelumnya
Mual dan muntah
Nyeri-kolik
Apakah terdapat demam atau tidak
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum meliputi : Tekanan darah, nadi, suhu, respirasi
Inspeksi : Melihat keadaan pasien, apakah terdapat kelainan dalam perutnya seperti
benjolan ataupun gerakan gerakan yang tidak lazim
Palpasi : Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan pada perut kiri bagian bawah
Auskultasi : Biasanya terdapat peningkatan bising usus
Lakukan pemeriksaan colok dubur untuk mengetahui apakah terdapat lender, darah ataupun
masa lainnya untuk memastikan diagnostic klinis.
Pemeriksaan penunjang :
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi dan biokimia terdapat peningkatan hitung jenis
leukosit dan LED pada serangan berat. Pemeriksaan fungsi hepar diperlukan untuk mendeteksi
adanya komplikasi. 1
Pada analisis dan kultur fese mungkin ditemukan eritrosit walau tanpa perdarahan rektum, dan
adanya leukosit membuktikan terjadinya inflamasi atau infesi. Tak ditemukannya
mikroorganisme tak dapat menyingkirkan infeksi secara otomatis. Pada infeksi oleh Clostridium
difficile, selain kultur harus dilakukan pemeriksaan toksin. 1
Foto polos abdomen menunjukan dilatasi kolon atau gambaran perforasi pada kasus kolitis yang
fulminan. Sebaiknya dilakukan sigmoidoskopi dan biopsi bila terdapat kecurigaan kolitis. Akan
terlihat kerusakan kripti akibat perubahan kronis pada penyakit usus inflamatorik. Bila tak ada
kerusakan kripti, kemungkinan terjadi kolitis akibat infeksi. 1
Dilakukan kolonoskopi untuk melihat luasnya kerusakan, serta untuk menentukan diagnosis
banding kolitis. Pada ileum terminal intubasi untuk menentukan adanya inflamasi atau ulserasi.
Pada koitis aktif berat yang luas, lebih baik ditentukan secara klinis daripada kolonoskopi karena
risiko perforasi.1
Working diagnosis :
Kolitis ulseratif :
Kolitis ulseratif merupakan jenis penyakit usus inflamasi yang menyebabkan peradangan kronis
pada saluran pencernaan terutama pada usus besar dan rektum. Sesuai dengan namanya, kolitis
ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon yang sering kambuh.
Diare berdarah merupakan manifestasi utama dari kolitis ulseratif, sering juga disertai mukus,
demam, nyeri abdomen, tenesmus, penurunan berat badan, pada kasus yang berat terdapat
dehidrasi, anemia, hipokalemi dan hipoalbuminemia. 2
Epidemiologi :
Di America Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena Kolitis Ulseratif. Insidennya 10,4-12 kasus per
100.000orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang.
Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini
telah dilaporkan terjadi pada setiap decade kehidupan. Kolitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering
dari pada Croh disease. Kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih dari pada
orang African American atau Hispanis. Kolitis ulseratif juga sering terjadi pada wanita dari pada
laki-laki.
Patogenesis :
Sampai saat ini belu diketahui etiologi kolitis yang pasti. Kolitis merupakan penyakit
multifaktor, dimana banyak faktor berperan dalam terjadinya kolitis seperti faktor genetik,
mikrobiota usus, faktor lingkungan, dan sistem imun dari pejamu. Faktor-faktor ini saling
memperngaruhi dalam banyak jalur.3
Beberapa faktor predisposisi terjadinya kolitis adalah :
a. Faktor Genetik
Penderita kolitis mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa 10-25% penderita kolitis memiliki riwayat keluarga dengan kolitis.
Pada kembar monozigot peluang untuk KU sekitar 6%-17%. Saat ini telah ditemukan
beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan kolitis. Kromosom 16 ( gen
kolitis) atau gen CARD15 berhubungan dengan PC. Perinuclear antinetrophil antibody
( pANCA ) ditemukan pada 70% penderita KU. Kromosom 5 ( 5q31 ), 6 ( 6p21 dan 19p )
sering ditemukan pada penderita kolitis.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab kolitis. Akan tetapi, isolasi agen
infeksius dari jaringan kolitis tidak dapat membuktikan hubungan etiologi karena pada
mukosa yang mengalami inflamasi sering ada koloni bakteri oportunistik. Selain itu
pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalan penyakit kolitis. Sampai ini belum
ada data mengenai transmis secara epidemik agen infeksius pada kolitis. Faktor
lingkungan lain yang diduga pencetus kolitis adalah stres psikososial, faktor makanan,
seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin
lingkungan.
c. Faktor Imunologi
Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami
kelainan regulasi yang bersifat menetap yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T
helper /CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan ini. Sel Th1 menghasilkan
interleukin ( IL )-2, interferon ( INF)-g, dan tumor necrosis factor ( TNF )-a yang
merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan
merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, yang merupakan gambaran
histologi yang sering ditemukan pada PC. Sebaliknya sel Th2 menghasilkan sitokin
seperti IL-4, IL-5, II-6 dan II-10, akan merangsang antibody mediated immune respons.
Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen ,
yang sering ditemukan pada KU.
Selain itu, respon terhadap pemberian kortikosterois dan obat imunosupresif mendukung
kemungkinan mekanisme kelainan kekebalan. KU ternyata berhubungan dengan
prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai kelainan ekstraintestinal seperti eritema
nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan
apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada
patogenesis kolitis. Diduga, kelainan kekebalan bersifat poligenik, yang menjelasan
manifestasi klinis yang beragam pada IBD.
Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada kolitis diduga mengalami
gangguan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin ( IgA ) sekretori atau
fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas
terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi
peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran
pencernaa terhadap antigan, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan
komposisi mukus. Pendapat lain, mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue
mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang
kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon
imunoantibody-dependent cell-mediated
d. Integritas Epitel
Kelainan barier epitel mukosa menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap
sistem kekebalan usus. Ini diduga menjadi faktor inisial pada kolitis. Pada PC dijumpai
gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap
protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi
dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik terhadap
protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada PC.4
Gejala klinik :
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis kolitis
yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti artritis, uveitis, pioderma
gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis. Disamping itu tentunya disertai dengan
gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patofisiologis yang ada seperti
gangguan nutrisi.
Gambaran klinis Kolitis Ulseratif relatif lebih seragam dibandingkan dengan gambaran klinis
penyakit Chron. Hal ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU
adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua
segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal.5
Penatalaksanaan :
Suportif :
- Diet atau nutrisi yang bergizi secara oral atau parenteral
- Edukasi bagi pasien dan keluarga mengenai penyakit
Farmakologi :
1. Simtomatis
Rehidrasi : oralit, cairan infus ( ringer laktat, dekstrosa 5%, dekstrosa dalam NaCl
0,09% )
Antispasmodik, antikolinergik : papaverin 3x/hari, mebeverin 3-4 tablet/hari,
propantelin bromid 3x5 mg/hari, hiosin N-butilbromida ( Buscopan ) 3x1
tablet/hari. Hati-hati dalam memberikan obat-obat diatas, jangan berlebihan.
Obat antidiare : loperamid atau difenoksilat. Golongan obat ini dapat mengurangi
pengeluaran tinja berlebihan dan melegakan urgensi rektal, namun dapat
mengurangi dosis pemakaian steroid. Pada kolitis berat, antidiare merupakan
kontraindikasi karena dapat mencetuskan megakolon toksik.
2. Obat-obat spesifik
Sulfasalazin / salisilazolsul-fapiridin :
Diberikan berdasarkan umur, derajat penyakit dan toleransi obat. Dosis biasa
4x500 mg/hari, dinaikkan 2x500 mg pada hari kedua dan seterusnya sampai
tercapai respon klinis. Dosis dewasa diberikan 4-8x2-3 tablet (@500 mg)/hari.
Umumnya jarang diberikan melebihi 4 g/hari, selama 2-4 minggu dan bila remisi
tercapai, dosis dapat diturunkan 2-3 g/hari lalu diteruskan lebih lama. Pada kasus
refrakter atau berat, tetapi diberikan lebih lama dengan dosis 16-20 tablet/hari.
Jika timbul efek samping yang tidak diinginkan, segera turunkan dosis obat
sampai setengahnya. Pemberian sebaiknya setelah makan.
5-ASA ( asam 5-aminosalisilat/Salofak )
Diberikan peroral 4x1-2 tablet (@250 mg)/hari, atau dapat diberikan supositoria
per rektral atau per enema ( 4 g )
Kortikosteroid ( misalnya prednison atau prednisolon )
Diberikan pada penyakit berat, kronik dan progresif yang tidak membaik dengan
sulfasalazin atau obat lainnya. Kortikosteroid meningkatkan absorbsi natrium,
menstimulasi aktivitas Na-K ATPase di kolon dan ileum, memiliki efek anti
inflamasi, yang dapat memperbaiki inflamasi dan menyembuhkan diare. Obat
dapat diberikan peroral, injeksi atau rektal. Dosis awal prednison 40-60 mg/hari,
dalam dosis terbagi selama 3-6 minggu. Jika klinis membaik, yaitu diare
berkurang, tak lagi terdapat darah dan lendir pada feses, serta terdapat gambaran
sigmoidokonoskopi mulai membaik, maka dosis diturunkan menjadi 30 mg/hari,
selama 3-4 minggu. Jika gambaran sigmoidokolonoskopi telah normal kembali,
diusahakan mulai menghentikan kortikosteroid selama 2-3 bulan, dengan
menurunkan dosis perlahan.1
Operatif :
Indikasi dilakukan pembedahan pada kolitis ulseratif adalah :
Kegagalan terapi medikamentosa
Megakolon toksik
Perforasi
Perdarahan masif
Gejala kronik tak teratasi
Karsinoma atau resiko tinggi terkena karsinoma
Tak seperti pada penyakit Crohn , maka pembedahan pada KU bersifat kuratif dan hanya 20%
yang memerlukan pembedahan.1
Kolitis infektif :
Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran,
kolitis karena virus/bakteri/parasit.
Amebiasis kolon :
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.6
Epidemiologi:
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi.
Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir
utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat,
kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang
jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya.
Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan
infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk
trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.
Gejala klinis :
Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan
gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah
sebagai berikut :
1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan
ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh
persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang
menjadi kolitis ameba.
2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan
tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.
3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri
spontan.
4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.
5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan
periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan
yang sukar dicerna.
Penatalaksanaan :
1. Karierasimtomatik.
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol
(diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg
3 kali sehari selama 10 hari.
2. Kolitisamebaakut.
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 – 10 hari, ditambah dengan obat luminal
tersebut di atas.
3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba). Metronidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2
macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam
obat.
Disentri basiler :
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella.7
Epidemiologi:
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat
kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 %
penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera
dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan
penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah
terjadi penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan
minuman yang terkontaminasi.
Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana
S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan
Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di
negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyak
Gejala klinik :
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis
bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4
minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya
menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas
rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak
mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk
dan letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun
jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama
feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami
gejala shifellosis yang intermiten.
Penatalaksanaan :
1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri
dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan
pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus
dilakukan rehidrasi intravena.
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit
yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu
diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang
dianjurkan adalah:
Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau
Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau
Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten
dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon
dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat Pengobatan
simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan
derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon
toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-
antipiretik dan antikonvulasi.
Eschericia Coli :
Infeksi kolon oleh Escherichia coli yang menyebabkan diare.8
Epidemiologi :
Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.Coli patogen jarang dilakukan, maka angka
kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang
terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat, E.Coli (O157:H7) lebih sering
diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella demikian juga pada pasien diare kronik
di Jakarta.
E.Coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia
sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging yang
terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik
dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang tercemar, tempat
berenang yang tercemar dan antar manusia.
Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1 – 8 hari. E.Coli patogen dapat
ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada
orang sehat (bukan flora normal pada manusia).
Gejala klinis :
Manifestasi klinis enfeksi E.Coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa : infeksi asimtomatik,
diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai
kematian.
Gejala klinis adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian
diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea (mual) dan vomiting (muntah).
Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan
sebagai kolitis non infeksi.
Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien tindak
mengandung darah sama sekali.
Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar 6 % dari
pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik
mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik
berupa kejang , koma, hemiparesis terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Prediktor
keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah lekosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat
timbul anuria, usia di bawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5 %
Penatalaksanaan :
Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan simtomatik.
Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat
yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kontrimoksazol dilaporkan tidak
mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme
dan komplikasi SHU.
Kolitis tuberkulosa :
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.9
Epidemiologi :
Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
Gejala klinis: Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak
khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam
ringan, penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus
ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman
pada tinja mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum.
Penatalaksanaan : Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada
pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-
kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang
sering dipakai adalah :
INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari
Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari
Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari
Pirazinamid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari
Diagnosis banding :
Penyakit Crohn :
Penyakit Crohn adalah peradangan menahun pada dinding usus. Penyakit ini mengenai seluruh
ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan
usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut
sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. Pada beberapa dekade yang lalu, penyakit Crohn
lebih sering ditemukan di negara barat dan negara berkembang. Terjadi pada pria dan wanita,
lebih sering pada bangsa Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki
riwayat kolitis ulserativa. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering
dimulai antara usia 14-24 tahun. Penyakit ini mempengaruhi daerah tertentu dari usus, kadang
terdapat daerah normal diantara daerah yang terkena. Pada sekitar 35 % dari penderita penyakit
Crohn, hanya ileum yang terkena. Pada sekitar 20%, hanya usus besar yang terkena. Dan pada
sekitar 45 %, ileum maupun usus besar terkena.
Penyebabnya belum diketahui namun ada kemungkinan disebabkan oleh adanya kelainan fungsi
sistem pertahanan tubuh, infeksi, makanan. Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah
diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan benjolan dan rasa penuh pada perut bagian bawah
biasanya lebih ke sisi kanan. Komplikasi yang sering terjadi adalah penyumbatan usus, saluran
penghubung yang abnormal (fistula), dan kantong berisi nanah atau abses.
Gejala penyakit ini berbeda pada tiap penderita, namun ada 4 pola yang umumnya terjadi yaitu:
peradangan berupa nyeri dan nyeri tekan di perut kanan bawah; penyumbatan usus akut yang
berulang yang menyebabkan kejang hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan
muntah; peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun yang menyebabkan kurang gizi dan
kelemahan menahun; serta pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisis
nanah (abses) yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri
dan berat badan menurun.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang
terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan sendi, mata dan kulit. Apabila diagnosis
masih belum pasti, dapat dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi untuk memperkuat
diagnosis. Pemeriksaan dengan CT Scan, bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan
menemukan adanya abses, nemun tidak digunakan secara rutin sebagai diagnosis awal.10
Divertikulitis :
Penyakit divertikular merupakan suatu kelainan, dimana terjadi herniasi mukosa/submukosa dan
hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding kolon yang lemah yaitu tempat di mana
vasa rekta menembus dinding kolon.Herniasi dari mukosa/submukosa dan ditutupi oleh lapisan
serosa yang tipis disebut Pseudodivertikular atau false divertikular; biasanya bersifat acuired
( didapat setelah lahir). Apabila semua dinding kolon mengalami herniasi di sebut true
divertikular dan biasanya bersifat kongenital (dibawa dari lahir).
Penyakit divertikular pada umumnya tidak memberikan gejala klinik pada 70-75% pasien.
apabila timbul divertikulitis (15-25%) dengan komplikasinya, akan menimbulkan nyeri perut
pada kuaran kiri bawah, demam dan leukositosis yang merupakan gejala penting walaupun tidak
spesifik.11
Pada divertikulitis dapat terjadi inflamasi dalam berbagai tingkat, mulai dari inflamasi dlam
berbagai tingkat, musulfalai dari inflamasi lokal subklinis sampai terjadi peritonitis generalisata
akibat perforasi sebagai komplikasi.
Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak memberi tanda fisik, namun kemungkinan ditemukan
nyeri palpasi pada perut kiri. Bila ditemukan rebound yang jelas pada palpasi, ini merupakan
tanda adanya iritasi-inflamasi peritoneal akibat terjadinya mikroperforasi atau makroperforasi
dengan peritonitis generalisata. Kemungkinan teraba adanya massa bila proses inflamasi menjadi
plegmon atau asbes.
Perforasi terjadi apabila tekanan intraluminal meningkat atau oleh karena divertikel tersumbat
oleh feses/ bahan makanan sehingga erosi pada dinding ivertikel yang berlanjut dengan
inflamasi, nekrosis fokal dan berakhir dengan perforasi. Manisfestasi klinik perforasi tergantung
dari besarnya perforasi perforasi dan kemampuan tubuh untuk melokalisirnya. Perforasi kecil
(mikroperforasi) yang dapat dilokalisir akan menyebabkan timbulnya plegmon atau asbes, dan
apabila perforasi tidak dapat dilokalisir akan menyebabkan perforasi bebas.
Perdarahan pada divertikel paling sering berupa perdarahan yang masif pada 30-50% ksus,
sedangkan perdarahan yang ringan terjadi pada 30% kasus dan sekitar 15% pasien akan
mengalami perdarahan sekali selama hidup. Perdarahan biasanya terjadi tiba-tiba terutama pada
divertikel yang berlokalisasi pada kolon sebelah kanan (80%) tanpa disertai adanua gejala nyeri
abomen dan 70-80% berhenti spontan.
Herniasi pada mukosa/submukosa yang hanya dibatasi oleh lapisan mukosa yang tipis dengan
vasa recta yang menembus dinding kolon, dapat mengalami inflamasi kronik akibat iritasi dari isi
atau material dalam kolon sehingga dapat terjadi ruptur dan pendarahan.
Karsinoma kolon :
Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang
menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar
terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa
menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi
terkena kanker, selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk
diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis
kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup. 7
Kolon (termasuk rektum) merupakan tempat keganasan saluran cerna yang paling sering. Kanker
kolon merupakan penyebab ketiga dari semua kematian akibat kanker di Amerika Serikat.
Kanker usus besar biasanya merupakan penyakit yang terjadi pada orang tua (60-70tahun).
Sekitar 60% dari semua kanker usus terjadi pada bagian rektosigmoid, sehingga dapat teraba
pada pemeriksaan sigmoidoskopi. Sekum dan kolon asendens merupakan tempat berikutnya
yang paling sering terserang. Kolon transversa dan fleksura adalah bagian yang mungkin paling
jarang terjadi.12
gejala yang paling sering terjadi adalah perubahan kebiasaan defekasi, perdarahan, nyeri,
anemia, anoreksia dan penurunan berat badan.
Pengobatan karsinoma kolon dan rektum adalah pengangkatan tumor dan pembuluh lmfe secara
pembedahan. Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan, kolektomi
transversal, hemikolektomi kiri, atau reseksi anterior, dan reseksi abdominoperineal.
Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini , dapat terjadi komplikasi :
- Perforasi usus
- Stenosis usus
- Megakolon toksik
- Perdarahan
- Degenerasi maligna, dengan risiko 13%
Prognosis
Pada dasarnya, penyakit kolitis merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi. Cukup
banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang lama.
Prognosis banyak yang dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap
pengobatan konservatif.5
Penutup :
Kolitis merupakan suatu penyakit, dimana usus besar mengalami peradangan dan luka, yang
menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam. Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis
ulseratif tidak selalu mempengaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai usus
halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid ( ujung bawah dari usus
besar ) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar.
Daftar pustaka :
1. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan. Kapita selekta kedokteran.
Jakarta : Media aesculapius; 2009.h.495-7
2. Ndraha S. Gastroenterohepatologi. Jakarta :Fakultas Kedokteran Ukrida. 2013. h. 61-2,
95-8
3. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SPL. Guidelines for the management of inflammatory bowe
disease in adults. Gut 2004 ; 53
4. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory bowel disease. Dalam : Fauci A S, Braunwald
E, Kasper D L, Hauster S L, Longo D L, Jameson J L , Loscalzo J. Harrison manual of
medicine. Edisi 17. New York : Mcgraw Hill;209.h. 1679-90
5. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di
Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. hal. 593,
560, 602-3
6. Lacasse, Alexandre. Amebiasis. Medscape reference. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview, di unduh pada 24 Februari
2014
7. Kroser, Joyann. Shigellosis. Medscape Reference.
2011.http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview, diunduh pada 24 Februari
2014
8. Madappa, Tarun. Escherichia Coli Infections. Medscape Reference
2011.http://emedicine.medscape.com/article/217485-overview, diunduh pada 24 Februari
2014
9. Anand, Mahesh Kumar Neelala. Tuberculosis, Gastrointestinal.Medscape Reference.
2011.http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview, diunduh pada 24 Februari
2014
10. Inneritu JM. The appeareance of crohn’s disease. 12 Agustus 2007. Diunduh dari
http://www.unboundedmedicine.com/2007/08/12/the-appeareance-of-crohns-disease/.
Pada 24 Februari 2014
11. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di
Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. hal. 593,
560, 602-3
12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2003. H. 461-7.