SOSOK KEYNES (1) Oleh: Murray Rothbard* · mampu menulis satu risalah biasa tentang ... seni...

94
SOSOK KEYNES (1) Oleh: Murray Rothbard* John Maynard Keynes—tabiatnya, tulisan-tulisannya, dan tindak-tanduk selama hidupnya—dipengaruhi dan dipandu oleh tiga elemen yang saling berinteraksi. Elemen pertama adalah egotisme yang terlalu besar, yang membuatnya terlalu percaya diri dan merasa mampu mengatasi segala problem intelektual dengan cepat dan akurat, serta memandang rendah prinsip-prinsip umum yang dianggap merintangi limpahan egonya. Elemen kedua adalah keyakinannya yang kuat bahwa ia ditakdirkan untuk memimpin kelompok elit penguasa Inggris Raya. Kedua elemen ini mengarahkan Keynes dalam pergaulan dengan orang atau bangsa lain dari posisi dan persepsinya sendiri mengenai kekuasaan dan dominasi. Elemen ketiga adalah kebencian dan kemuakannya terhadap nilai-nilai kebajikan yang dianut kelompok borjuis—terhadap moralitas konvensional mereka, terhadap manfaat dan pentingnya menabung dan hidup hemat, dan

Transcript of SOSOK KEYNES (1) Oleh: Murray Rothbard* · mampu menulis satu risalah biasa tentang ... seni...

SOSOK KEYNES (1)

Oleh: Murray Rothbard*

John Maynard Keynes—tabiatnya, tulisan-tulisannya, dan tindak-tanduk

selama hidupnya—dipengaruhi dan dipandu oleh tiga elemen yang saling berinteraksi. Elemen pertama adalah egotisme yang terlalu besar, yang membuatnya terlalu percaya diri dan merasa mampu mengatasi segala problem intelektual dengan cepat dan akurat, serta memandang rendah prinsip-prinsip umum yang dianggap merintangi limpahan egonya. Elemen kedua adalah keyakinannya yang kuat bahwa ia ditakdirkan untuk memimpin kelompok elit penguasa Inggris Raya. Kedua elemen ini mengarahkan Keynes dalam pergaulan dengan orang atau bangsa lain dari posisi dan persepsinya sendiri mengenai kekuasaan dan dominasi. Elemen ketiga adalah kebencian dan kemuakannya terhadap nilai-nilai kebajikan yang dianut kelompok borjuis—terhadap moralitas konvensional mereka, terhadap manfaat dan pentingnya menabung dan hidup hemat, dan

terhadap institusi-institusi yang mendasari kehidupan berkeluarga.

KETURUNAN BANGSAWAN

Keynes dilahirkan dalam lingkungan istimewa. Ia mewarisi lingkaran elit yang tidak saja menguasai Britania melainkan juga profesi ekonomi di Inggris. Ayahnya, John Neville Keynes, adalah teman dekat sekaligus mantan murid Alfred Marshall, profesor Cambridge yang selama setengah abad merupakan “singa” tanpa tandingan dalam ilmu ekonomi Inggris. Neville Keynes membuat Marshall kecewa karena telah gagal memenuhi janji keilmuwanannya. Neville hanya mampu menulis satu risalah biasa tentang metodologi ilmu ekonomi, subyek yang dipandang remeh dan tidak dianggap sebagai bagian tradisi Inggris (J. N. Keynes [1891] 1955). Bentuk pelarian klasik bagi akademisi yang gagal adalah bekerja di bagian administrasi universitas; begitulah, Neville pun akhirnya cukup senang dapat membenamkan dirinya di bagian pengawasan serta sejumlah posisi kuat lainnya di Universitas Cambridge. Secara psikis, Marshall merasa memiliki kewajiban moral

terhadap Neville. Perasaannya tersebut lebih kuat daripada sekadar loyalitas murni atas sebuah persahabatan, dan hal ini kemudian diteruskan kepada anak lelaki kesayangan Neville, Maynard. Ketika Maynard akhirnya memutuskan untuk berkarir sebagai ekonom di Cambridge, dua figur yang sangat berpengaruh di universitas tersebut—yaitu ayahnya sendiri dan Alfred Marshall—lebih dari sekadar siap untuk memberi bala bantuan.

KELOMPOK RASUL CAMBRIDGE

Pendidikan terbaik bagi golongan elit Inggris pun disiapkan bagi Maynard oleh ayahnya yang sangat menyayanginya. Mula-mula, Keynes adalah siswa penerima beasiswa untuk belajar di “College” di Eton, yang merupakan sub-bagian intelektual dari sekolah negeri paling berpengaruh di Inggris. Dari sana Maynard pergi ke King’s College, yang bersama dengan Trinity merupakan dua kampus yang dominan di lingkungan Universitas Cambridge. Di King’s College, Maynard segera diterima sebagai anggota perkumpulan rahasia bernama Kelompok Rasul (The Apostles). Organisasi tersebut dengan cepat membentuk nilai-nilai dan

kehidupannya. Keynes pun tumbuh dan mencapai kematangan sosial dan intelektualnya dalam kungkungan sebuah dunia kecil yang inses (incestuous), dunia yang penuh kerahasiaan dan kedigjayaan. Kelompok Rasul bukan semata-mata klub sosial semacam solidaritas rahasia Ivy League. Kelompok ini adalah kumpulan elit intelektual yang berfokus pada dirinya sendiri (self-conscious) dan memiliki minat khusus pada filsafat serta aplikasinya pada estetika dan kehidupan. Para anggotanya dipilih hampir secara eksklusif dari KC dan Trinity. Mereka bertemu setiap Sabtu sore di dalam ruangan tertutup untuk membahas dan mendiskusikan berbagai makalah. Di akhir pekan, para anggota dapatlah dikatakan tinggal sekamar bersama-sama. Tambahan pula, keanggotaan Kelompok Rasul ini bukan sekadar urusan semasa mahasiswa, melainkan seumur hidup dan sangat dipentingkan. Selama hidup mereka, para anggota Kelompok Rasul dewasa, yang disebut sebagai ”Malaikat” (“Angels”), termasuk Keynes, kelak kerap kembali ke Cambridge untuk mengadakan pertemuan, dan mereka juga berpartisipasi secara aktif dalam perekrutan mahasiswa baru. Di bulan Februari 1903, pada usia dua puluh tahun, John

Maynard Keynes mendapatkan posisinya sebagai Rasul nomor 243—sesuai dengan rantai ikatan yang dimulai sejak pendirian kelompok tersebut, di tahun 1820. Selama lima atau enam tahun formatif berikutnya, Maynard menghabiskan kehidupan pribadinya bersama para Rasul. Di sinilah dan begitulah nilai serta sikap mereka terbentuk. Selanjutnya, kebanyakan kehidupan dewasa mereka lalui bersama dengan para Rasul lain, baik yang lebih tua maupun lebih muda, serta dengan para sahabat atau kerabat mereka.

Alasan penting mengapa efek Kelompok Rasul terhadap para anggotanya begitu kuat adalah atmosfer kerahasiaannya yang tinggi. Penulis riwayat hidup Keynes, Robert Skidelsky, menuliskan:

Efek kerahasiaan tersebut tidak boleh dianggap enteng. Jika banyak hal di luar dunia mereka terasa asing, itu dipicu oleh bahan bakar yang sederhana ini. Kerahasiaan tersebut menjadi pengikat yang sangat mengamplifikasi kehidupan

perkumpulan tersebut, relatif terhadap berbagai kepentingan lain para anggotanya. Orang akan menghabiskan waktunya dengan jauh lebih mudah bersama sekelompok tertentu jika ia tidak perlu menyimpan rahasia-rahasia besarnya; bagi mereka, menghabiskan waktu bersama-sama telah meningkatkan apapun itu yang telah menyatukan mereka sejak awal. (Skidelsky 1983: 118; lihat juga Deacon 1986)

Keangkuhan luar biasa para Rasul ini tercermin dengan jelas dalam sebuah kutipan yang berasal dari perkumpulan tersebut. Kutipan ini bernada separuh lelucon, separuh Kantian: satu-satunya yang “riil” adalah perkumpulan itu sendiri; sedangkan seisi dunia hanyalah “fenomenal”. Maynard sendiri menyebut para non-Rasul sebagai “fenomena”. Arti dari semua ini adalah bahwa dunia luar dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang kurang substansial, kurang layak diperhatikan selain kehidupan kolektif perkumpulan itu sendiri ….Pernyataan itu adalah lelucon yang dipuntir

secara serius, (Skidelsky, 1983:118) “Melalui perkumpulan inilah,” tulis Bertrand Russell, yang juga seorang Rasul, dalam otobiografinya, “saya dengan cepat dapat mengenal orang-orang terbaik yang pantas dikenal”. Tentu saja, Russell menuturkan bahwa saat Keynes dewasa meninggalkan Cambridge, ia [Keynes] pergi ke dunia sambil merasa dirinya adalah seorang pendeta sebuah sekte yang sedang mengunjungi wilayah-wilayah asing. “Penyelamat sejati bagi Keynes,” kata Russell dengan tanggap, “berada di lain tempat, yaitu di antara mereka yang setia di Cambridge” (Crabtree dan Thirlwall 1980: 102). Atau, sebagaimana dituliskan sendiri oleh Maynard di masa mahasiswanya dalam sebuah surat kepada teman dan sesama pimpinan, Giles Lytton Strachey: “Apakah keunggulan moral kita yang kolosal ini sebuah monomania? Menurut saya, hampir semua orang di dunia [di luar Kelompok Rasul] tidak pernah melihat apa-apa—mereka terlalu bodoh atau terlalu jahat” (Skidelsky 1983: 118).

Dua sikap dasar mendominasi kelompok tertutup ini di bawah perlindungan Keynes dan Strachey. Yang pertama adalah keyakinan

berlebihan mereka terhadap pentingnya cinta dan persahabatan pribadi seraya melecehkan aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang mereka anggap membatasi ego; dan kedua, rasa permusuhan dan rasa benci mereka terhadap nilai-nilai dan moralitas kelas menengah. Konfrontasi para Rasul ini dengan nilai-nilai borjuis terlihat pada puji-pujian mereka kepada estetika garda-depan, anggapan mereka bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang secara moral lebih superior (sedangkan biseksualitas ditempatkan jauh di bawahnya sebagai nomor dua, dan kebencian mereka terhadap nilai-nilai tradisional keluarga, seperti penghematan atau penekanan terhadap pentingnya masa depan atau jangka panjang alih-alih masa sekarang. (“Dalam jangka panjang,” sebagaimana dikatakan Keynes kemudian dalam ucapannya yang terkenal, “kita semua mati”.)

KELOMPOK BLOOMSBURY

Setelah lulus dari Cambridge, Keynes dan beberapa kolega Rasulnya menetap di Bloomsbury, sebuah wilayah yang tidak modis di utara London. Di sana mereka mendirikan Kelompok Bloomsbury,

yang sekarang terkenal sebagai pusat gerakan garda-depan dalam hal estetika dan moral. Gerakan ini memberi daya pengaruh kultural dan intelektual di Inggris selama tahun 1910-an dan 1920-an. Pembentukan Kelompok Bloomsbury ini diilhami oleh kematian filsuf Viktorian terkemuka yang juga seorang liberal klasik, Sir Leslie Stephen, pada tahun 1904. Anak-anak Stephen, yang merasakan kebebasan dengan kepergian bapak mereka yang terkenal dengan akhlaknya yang ketat, segera mendirikan rumah di Bloomsbury dan mulai menyelenggarakan pertemuan (salon) setiap malam Kamis. Thoby Stephen bukan seorang Rasul, tetapi ia teman dekat Lytton Strachey semasa di Trinity. Strachey dan para Rasul lain, juga teman baik Strachey sejak di Trinity dulu, Clive Bell, menjadi pengunjung reguler pertemuan tersebut. Setelah After Thoby meninggal pada tahun 1906, Vanessa Stephen menikah dengan Bell, dan pertemuan-pertemuan Bloomsbury dibagi menjadi dua kelompok. Karena Clive waktu itu adalah kritikus yang kariernya mulai menanjak dan Vanessa seorang pelukis, mereka mendirikan salon pertemuan Friday Club, yang berkonsentrasi pada seni visual. Sementara Virginia dan Adrian Stephen

meneruskan fokus pertemuan hari Kamis pada bidang sastra, filsafat, dan kebudayaan. Akhirnya, seorang Rasul dari Trinity, yaitu Leonard Woolf, teman sejawat Keynes, menikah dengan Virginia Stephen. Di akhir tahun 1909, Keynes pindah ke sebuah rumah di Bloomsbury, berdekatan dengan rumah keluarga Stephen, dan berbagi flat di sana dengan seorang seniman Bloomsbury, Duncan Grant, yang masih keponakan Strachey.

Nilai-nilai dan sikap-sikap mereka selama di Bloomsbury mirip dengan ketika mereka masih menjadi rasul-rasul Cambridge, meskipun kecenderungan artistik mereka kini lebih besar. Dan dengan kecenderungan besar untuk memberontak terhadap nilai-nilai Viktorian, tak mengherankan jika Maynard Keynes menjadi anggota yang dikenal luas di Bloomsbury. Satu hal yang ditekankan secara khusus adalah mengejar seni garda-depan formalistik—yang didorong oleh Roger Fry, seorang kritikus seni yang juga rasul Cambridge; Fry kemudian kembali ke Cambridge sebagai profesor di bidang seni. Virginia Stephen Woolf kelak akan menjadi eksponen terkemuka dalam bidang fiksi formalistik. Dan semua dari mereka mengejar gaya

hidup biseksualitas dengan bergonta-ganti pasangan, sebagaimana disoroti dalam biografi Strachey yang ditulis oleh Michael Holroyd (1967).

Sebagai anggota-anggota perkumpulan-kecil kultural di Cambridge, Kelompok Bloomsbury dapat menikmati sejumlah warisan, meskipun jumlahnya tidak berlebihan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kebanyakan dana bagi berbagai pameran dan proyek Bloomsbury berasal dari sorang anggota loyal mereka: Maynard Keynes. Seperti ditulis oleh Skidelsky, Keynes “memberikan otot finansial kepada Bloomsbury, tidak saja dengan menghasilkan banyak uang bagi dirinya sendiri [sebagian besar melalui investasi dan spekulasi finansial], yang ia hambur-hamburkan untuk keperluan Bloomsbury, tetapi juga melalui kemampuannya mengorganisir dukungan keuangan untuk berbagai kegiatan mereka”…. Tentu, sejak Perang Dunia I dan seterusnya hampir tidak mungkin menemukan suatu enterprise, baik kultural ataupun domestik, yang di dalamnya terdapat anggota-anggota Kelompok Bloomsbury yang tidak menerima manfaat dalam satu hal atau lainnya berkat largesse-nya Keynes, kemampuan

finansial, atau kontak-kontaknya. (1983: 250; lihat juga 242–51).

SANG ”FILSUF” SEBAGAI PENGEKOR MOOR

Pengaruh terbesar dalam kehidupan dan nilai-nilai yang dianut Keynes, yang merupakan pengalaman yang sangat mengubahnya, terjadi bukan di bidang ekonomi, melainkan filsafat. Beberapa bulan setelah proses inisiasi Keynes menjadi Rasul, G.E. Moore, professor filsafat di Trinity dan yang sudah menjadi seorang Rasul satu decade lebih awal daripada Keynes, menerbitkan karya besar, Principia Ethica (1903). Baik pada saat itu maupun dalam kenangannya tiga puluh tahun kemudian, Keynes memberi pengakuan betapa besarnya dampak Principia terhadap dirinya serta sesama Rasul sejawatnya. Dalam surat pada waktu publikasi buku tersebut, ia menuliskan bahwa karya tersebut amat “mengagumkan dan memesona; yang terhebat di bidangnya” [cetak miring oleh Keynes], dan beberapa tahun kemudian ia menulis kepada Strachey: “Kehebatan dan Orisinilitas Moore sungguh tidak perlu dibesar-besarkan lagi ….Betapa mengagumkannya bahwa hanya kita saja

yang mengetahui dasar-dasar teori-etika yang sejati ini …” Dan, dalam sebuah makalah berjudul “My Early Beliefs,” (1938) untuk Kelompok Bloomsbury Keynes mengenang betapa Principia telah “memberi pengaruh kepada kita semua, dan pembahasan sebelum dan sesudahnya, telah mendominasi, dan mungkin masih mendominasi, semua hal lain”. Tambahnya, buku tersebut “sangat menggairahkan, menyegarkan; menandai awal kebangkitan baru, membuka surga di bumi” (Skidelsky 1983: 133–34; Keynes [1951] 1972: 436–49). Untuk sebuah buku filsafat teknis, kata-katanya ini kuat sekali!

Dari mana datangnya kata-kata tersebut? Yang pertama adalah karisma pribadi yang dimainkan Moore terhadap para siswa di Cambridge. Tetapi di luar magnetisme pribadi tersebut, Keynes dan para sahabatnya tidaklah sebegitu tertarik pada doktrin Moore sebagaimana halnya pada interpretasi dan plesetan yang mereka ciptakan sendiri secara khusus berdasarkan doktrin itu. Terlepas dari antusiasme mereka, Keynes dan para sahabatnya hanya menerima apa-apa yang mereka yakini sebagai etika pribadi Moore (yang mereka sebut sebagai “agamanya” Moore),

sementara mereka menolak secara total etika sosial Moore (yang mereka sebut sebagai “moralnya” Moore). Keynes dan para Rasul koleganya dengan antusias merangkul gagasan bahwa “agama” terdiri atas momen-momen “kontemplasi dan komunion yang penuh kasih” mengenai dan melalui objek-objek dari cinta atau persahabatan. Namun, mereka menolak semua moral social atau aturan-aturan umum dalam berperilaku. Secara total mereka menolak bab terpenting tentang ”Etika dalam Hubungannya dengan Perilaku”. Sebagaimana dinyatakan oleh Keynes dalam makalahnya di tahun 1938:

Menurut kami, salah satu keuntungan dari agamanya (agama Moore) adalah bahwa hal tersebut membuat moral menjadi tidak diperlukan [lagi] ….Kami sepenuhnya menolak tanggungjawab pribadi untuk menuruti aturan-aturan umum. Kami mengklaim hak untuk menilai setiap kasus individu berdasarkan merits-nya, dan kearifan untuk melaksanakannya dengan sukses. Ini merupakan bagian yang sangat

penting dalam keyakinan kita, yang kita anut secara keras dan agresif, dan bagi dunia luar hal tersebut adalah sifat yang paling kentara dan berbahaya. Kami menolak segenap aturan moral, konvensi dan kearifan tradisional. Kami, dapat dikatan, dalam pengertian yang ketat, adalah immoralist. (Keynes [1951] 1972: 142–43)

Para pengamat yang cerdas saat itu dengan tanggap merangkum sikap Keynes dan para koleganya. Bertrand Russell menulis bahwa Keynes dan Strachey telah membelokkan ajaran-ajaran Moore; “tujuan mereka adalah menarik diri ke dalam keteduhan dan perasaan yang menyenangkan, dan memahami bahwa kebaikan itu terbentuk dari rasa saling-mengagumi antarsesama elit” (Welch 1986: 43). Atau, sebagaimana diamati Beatrice Webb dengan saksama, Moorisme di antara para Rasul ini “tidak lain kecuali justifikasi metafisik untuk melakukan segala yang Anda sukai—dan segala yang tidak disetujui masyarakat” (ibid.).

Lalu muncul pertanyaan berikut: seberapa seriuskah pengaruh immoralitas, penolakan aturan-aturan umum yang mengekang ego seseorang, terhadap seorang Keynes dewasa? Sir Roy Harrod, seorang pengikut dan penulis biografi hagiografis, bersikukuh bahwa immoralisme, sebagaimana aspek kepribadian Keynes yang kurang menyenangkan, hanyalah suatu fase dalam keberangkatannya menjadi dewasa, yang dengan cepat digantikan oleh kepahlawanannya. Tetapi banyak aspek dalam karir dan pemikirannya memberi konfirmasi bahwa immoralitas dan sifatnya yang meremehkan kaum borjuis adalah sikapnya sepanjang hayat. Selain itu, dalam makalah yang disampaikannya pada tahun 1938 di usia lima puluh lima, Keynes mengonfirmasikan bahwa dirinya masih menganut segala pandangan di masa mudanya. Katanya, immoralitas “tetap menjadi agamaku yang terselubung. . . . Saya tetap dan akan tetap menjadi seorang immoral” (Harrod 1951: 76–81; Skidelsky 1983: 145–46; Welch 1986: 43).

Dalam kontribusinya yang cukup penting, Skidelsky menunjukkan bahwa buku-ilmiah penting pertama Keynes, Risalah Tentang Probabilitas

(atau A Treatise on Probability; 1921), bukan tidak berhubungan dengan segala hal lain yang menjadi urusannya. Karya tersebut merupakan hasil upayanya untuk menutup-nutupi penolakannya terhadap aturan moralitas umum yang ditawarkan Moore. Risalah Tentang Probabilitas mula-mula muncul dalam bentuk makalah yang dibacakan Keynes kepada para Rasul di bulan Januari 1904, tentang bab tertentu yang ingin ditolaknya dalam buku Moor, ”Etika dalam Hubungannya dengan Perilaku”. Membantah pandangan Moore tentang probabilitas adalah rencana lama yang telah menyibukkan pikiran ilmiah Keynes sejak awal 1904 hingga 1914, ketika naskah buku tersebut akhirnya berhasil diselesaikan. Kesimpulannya, Moore dapat memaksakan aturan umumnya untuk tindakan konkret dengan memakai teori probabilitas empiris berdasarkan pada frekuensi. Menurut teori ini, melalui pengamatan terhadap frekuensi terjadinya peristiwa, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang probabilitas kelas-kelas peristiwa tersebut. Guna menghancurkan kemungkinan lain untuk menerapkan aturan yang umum terhadap kasus yang khusus, Risalah tentang Probabilitas Keynes tersebut berhasil mendayagunakan teori a priori

klasik mengenai probabilitas, di mana pecahan-pecahan probabilitas dideduksi secara murni oleh logika tanpa memerlukan realitas empirisnya. Skidelsky dengan baik menyampaikan pandangannya:

Dengan demikian, Argumen Keynes dapat diartikan sebagai upaya untuk membebaskan orang dalam pengejarannya akan kebaikan…melalui tindakan-tindakannya yang egoistik, sebab orang tersebut tidak perlu memiliki pengetahuan tertentu mengenai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan tindakan-tindakan tersebut untuk bertindak secara rasional. Hal tersebut merupakan bagian, dengan kata lain, dari kampanyenya yang terus-menerus menentang moralitas Kristiani. Hal ini mungkin mendapat apresiasi oleh audiensi Keynes di masanya, meskipun hubungannya tidak jelas bagi pembaca modern. Secara lebih umum, Keynes menghubungkan rasionalitas dengan ekspediensi (expediency). Kondisi di

sekitar sebuah tindakan menjadi pertimbangan terpenting dalam penilaian kebenaran yang dimungkinkan ….Dengan membatasi kemungkinan dari pengetahuan tertentu Keynes meningkatkan cakupan penilaian intuitif. (Skidelsky 1983: 153– 54)

Kita tidak bermaksud melangkah lebih lanjut ke dalam kerumitan teori probabilitas. Cukuplah dikatakan di sini bahwa teori a priori Keynes akhirnya dipatahkan oleh Richard von Mises (1951) dalam karyanya di tahun 1920-an, Probability, Statistics, and Truth. Mises memperlihatkan bahwa pecahan probabilitas hanya dapat dipakai secara bermakna jika ia melingkupi hukum–yang diturunkan secara empirik–tentang entitas-entitas yang homogen, acak, dan dapat diulang secara tak terhingga. Artinya, tentu saja, teori probabilitas hanya dapat diaplikasikan kepada peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia di mana mereka (peristiwa-peristiwa tersebut) terbatas pada hal-hal seperti lotere atau roda roulette. (Untuk perbandingan antara karya Keynes dan karya Richard von Mises, lihat D.A. Gillies [1973: 1–34].)

Secara kebetulan, teori probabilitas Richard von Mises diadopsi kemudian oleh adiknya, Ludwig von Mises, meskipun dalam hal-hal lain kedua kakak beradik tersebut biasanya jarang sepaham (L. von Mises [1949] 1966: 106–15).

SANG TEORITISI POLITIS SEBAGAI PENGIKUT BURK

”Apabila Moore bagi Keynes adalah ibarat pahlawan etisnya, maka Burke boleh mengklaim sebagai pahlawan politisnya,” tulis Skidelsky (1983: 154). Edmund Burke? Apa kesamaan dari seorang penganut tradisi konservatif ini dengan Keynes, yang tak lain adalah seorang perencana pusat yang statist dan rasionalis? Sekali lagi, sebagaimana terhadap Moore, Keynes menghormati orang ini dengan memplesetkan gagasan-gagasannya dengan cara khas Keynes—memilih dan memilah elemen-elemen yang sesuai dengan karakter dan temperamennya saja. Apa yang dicomot Keynes dari Burke kiranya dapat memberi petunjuk. (Keynes menyajikan pandangan-pandangannya dalam sebuah esei berkepanjangan berjudul “Doktrin-Doktrin Politis Edmund Burke” yang

memenangkan lomba tingkat sarjana). Tulisannya berisi, pertama, oposisi militan Burke terhadap prinsip-prinsip umum ilmu politik dan, secara khusus, dukungannya terhadap kepatutan untuk melawan hak-hak natural yang abstrak. Kedua, Keynes sangat setuju dengan preferensi-waktu Burke yang besar, yakni pandangannya yang merendahkan terhadap ketidakpastian masa depan vs. keadaan sekarang. Oleh karena itu Keynes menyetujui konservatisme Burke dalam arti bahwa ia juga tidak bersimpati dengan pandangan yang memperkenalkan “sikap untuk bersusah-susah sekarang untuk bersenang-senang kemudian”. Ada pula pernyataan Keynes yang bernada sayap-kanan dan secara umum meremehkan masa depan, saat “kita semua mati”. Seperti dikatakan Keynes, “Tugas maha penting pemerintah dan politisilah memastikan kesejahteraan masyarakat kita di masa sekarang, dan bukan mengambil risiko terlalu banyak untuk masa depan” (ibid.: 155– 56). Ketiga, Keynes mengagumi sikap Burke yang menghargai kelompok “organik” elit penguasa Inggris Raya. Meskipun tentunya terdapat beberapa perbedaan dalam hal kebijakan, Keynes bergabung dengan Burke dalam hal menyambut sistem autran

aristokratik sebagai hal yang baik, asalkan personel penguasanya dipilih dari lingkungan organik elit yang ada.

Dalam tulisannya tentang Burke, Keynes mencatat, “Ia berpendapat bahwa mesinnya sendiri [negara Inggris] cukup baik, asalkan kemampuan dan integritas para pengendalinya saat ini dapat dipastikan”. (Ibid., hal. 156)

Selain pandangan neo-Burkean Keynes yang tidak menghargai prinsip, kurang memperdulikan masa depan, dan mengagumi kelompok yang berkuasa saat itu di Inggris, Keynes juga meyakini bahwa ketaatan terhadap kebenaran merupakan persoalan cita rasa semata dan hanya memiliki tempat kecil, atau tidak sama sekali, dalam politik. Ia menuliskan: “Preferensi terhadap kebenaran atau ketulusan sebagai metode barangkali sebuah prasangka yang didasari oleh baku estetik atau standar pribadi, sehingga tidak konsisten, dalam politik, dengan kepentingan praktis” (Johnson, 1978: 24). Tentu, Keynes menunjukan selera yang positif untuk berbohong dalam politik. Baginya, menciptakan statistik agar sesuai dengan proposal-

proposal politisnya merupakan hal biasa, dan ia juga terbiasa membesar-besarkan inflasi moneter dunia dengan hiperbola dan berpendapat bahwa “kata-kata haruslah sedikit liar—sebagai serangan bagi pikiran bagi mereka yang tidak berpikir”. Namun, yang memang cukup kentara sekali, begitu ia mencapai kekuasaan, Keynes mengakui bahwa pernyataan-pernyataan hiperbola semacam itu harus dibuang: “Ketika kursi kekuasaan dan otoritas sudah dicapai, lisensi puitis tidak diperlukan lagi” (Johnson and Johnson 1978: 19–21).

KEANGKUHAN DAN KEPALSUAN SANG EKONOM

Pendekatan Maynard Keynes dalam ekonomi tidak berbeda dengan sikapnya dalam hal filsafat dan kehidupan secara umum. “Saya takut pada ‘prinsip,’” katanya kepada komite Parlemen di tahun 1930 (Moggridge 1969: 90). Prinsip hanya akan mengurung kemampuannya untuk merenggut kesempatan yang ada dan akan menghambat hasratnya terhadap kekuasaan. Untuk tujuan tersebut, ia siap menelantarkan keyakinan-keyakinan sebelumnya dan siap mengubah

pikirannya semudah membalik tangan, sesuai situasi yang ada. Satu contoh gamblang misalnya adalah pandangannya terhadap perdagangan bebas. Sebagai seorang Marshallian yang baik, satu prinsip politik-ekonomi yang tampaknya akan dianut Keynes sepanjang hayatnya, adalah sikap setia kepada kebebasan dalam perdagangan. Di Cambridge ia pernah menulis kepada seorang sahabat baiknya: “Tuan, Saya membenci semua pendeta dan proteksionis. . . Semoga runtuhlah semua uskup dan tarif”. Selama tiga dekade berikutnya, intervensi-intervensi politiknya hampir bertema tunggal, yaitu mempromosikan perdagangan bebas (Skidelsky, 1983: 122, 227– 29). Kemudian secara tiba-tiba, di musim semi tahun 1931, Keynes dengan lantang menyuarakan proteksionisme, dan selama tahun 1930-an ia memimpin parade untuk tujuan nasionalisme ekonomi dan untuk kebijakan-kebijakan yang secara blak-blakan to “begger-thy-neighbor”.* Tetapi selama Perang Dunia II, Keynes beralih kembali ke perdagangan bebas. Perubahan sikapnya yang secepat kilat tampaknya tidak pernah terpengaruh oleh proses pencarian jiwa atau bahkan keraguan.

Akibatnya, tentu saja, di awal tahun 1930-an, Keynes dicemooh secara luas di pers Ingris atas pandangan-pandangan bunglonnya. Seperti ditulis oleh As Elizabeth Johnson: Dialah Keynes, sang manusia karet India; di harian Daily News dan Chronicle tanggal 16 Maret 1931, tertulis berita headline, “Akrobat Ekonomi Tn. Keynes”—dengan ilustrasi bersketsa “Atraksi Hebat. Tn. John Maynard Keynes, ‘Si Manusia Tanpa Tulang,’ berpaling dari dirinya sendiri dan menelan angin kering” . . . (1978: 17)

Namun demikian, Keynes, yang menganggap dirinya selalu benar, tidak ambil pusing atas semua tuduhan inkonsistensi tersebut. Tentunya mudah bagi Keynes untuk mengadopsi keyakinan tersebut mengingat ia tidak memerdulikan prinsip sama sekali. Maka, ia pun selalu siap untuk ”menukar kudanya” dalam pengejaran untuk memperluas egonya melalui kekuatan politis. Seiring dengan waktu, Elizabeth Johnson menulis, Keynes “memiliki gagasan yang jelas mengenai peran yang diembannya di dunia; ia adalah. . . kepala penasehat ekonomi di dunia, bagi Kanselir Departemen Keuangan saat ini, bagi menteri keuangan Perancis, .

. . bagi presiden Amerika Serikat”. Pengejaran kekuasaan bagi dirinya sendiri dan bagi kelas yang berkuasa berarti, tentu saja, peningkatan ketaatan pada gagasan-gagasan dan institusi-institusi tentang of perekonomian yang dikelola secara sentral. Dari sekian banyak orang cakap dalam lingkunan elit organik yang memerintah bangsanya, ia menempatkan dirinya sendiri dalam peran krusial sebagai pakar-teknisi, semacam “filsuf sang raja” versi abad dua puluh atau, setidaknya, sang filsuf yang menuntun raja. Tak mengherankan jika Keynes “menyambut gembiara kesediaan Presiden [Franklin D.] Roosevelt sebagai kepala negara pertama yang menerima nasehat teoritisnya sebagai dasar bagi tindakan berskala-besar” (Johnson dan Johnson 1978: 17–18).

Tindakan adalah apa yang diinginkan Keynes dari pemerintah, khususnya tindakan yang direncanakan dan dikomando langsung oleh dirinya sendiri. Seperti ditulis oleh Johnson:

Sikapnya yang oportunis berarti bahwa ia bereaksi langsung dan seketika terhadap suatu peristiwa. Ia biasa

memberi jawaban, menulis memorandum, menerbitkan seketika, untuk isu apapun, . . . dalam Perbendaharan Perang Dunia II, ia nyaris membuat koleganya gila dengan kecenderungannya untuk “mencicipi setiap kue”. “Jangan cuma berdiri di sana; lakukan sesuatu!”, motto yang populer saat ini, barangkali cocok untuknya. (Ibid.: 19)

Johnson mencatat bahwa “sikap naluriah Keynes dalam setiap situasi baru adalah mengasumsikan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu bertindak untuk mengatasi hal tersebut; kalaupun ada, maka mereka melakukannya secara keliru. Hal ini merupakan kebiasaan pikiran sepanjang masa yang didasari oleh keyakinan bahwa dirinya dipersenjati dengan otak yang superior…dan, bahwa sebagai Rasul Cambridge, ia memiliki sensibilitas yang superior” (ibid.: 33).

Satu ilustrasi yang mengejutkan tentang keangkuhan tanpa justifikasi Maynard Keynes serta ketidakbertanggung-jawabannya secara intelektual

terlihat dalam reaksinya terhadap karya brilian dan pionir Ludwig von Mises, Treatise on Money and Credit, yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1912. Saat itu Keynes baru saja diangkat menjadi editor jurnal ekonomi terkemuka di Inggris, Cambridge University’s Economic Journal. Ia mengulas buku Mises itu, dengan memberi sedikit waktu saja. Buku tersebut, tulisnya dengan nada merendahkan, “cukup bermanfaat” dan “mencerahkan,” dan sang pengarangnya pasti “membaca dengan luas,” tetapi Keynes menyampaikan kekecewaannya dengan mengatakan bahwa buku tersebut tidak “konstruktif” dan tidak juga “orisinil” (Keynes 1914). Reaksi yang sembarangan ini berhasil membunuh minat orang terhadap buku Mises di Inggris Raya, dan Money and Credit pun tetap tidak diterjemahkan hingga dua decade yang menentukan kemudian. Ulasan Keynes tersebut cukup aneh, mengingat buku Mises tersebut sangat konstruktif dan sistematis, selain juga juga orisinil. Bagaimana mungkin Keynes tidak melihatnya demikian? Teka-teki ini akhirnya terjawab satu setengah decade kemudian, ketika dalah suatu catatan kaki dalam Treatise on Money karyanya sendiri, Keynes dengan malu-malu mengakui

bahwa “dalam bahasa Jerman, saya hanya dapat mengerti dengan jelas apa-apa yang sudah saya ketahui—jadi gagasan-gagasan baru akan terselubung bagi saya melalui kesulitan-kesulitan dalam bahasanya” (Keynes 1930a: I, 199 n.2). Benar-benar keterlaluan. Begitulah watak Keynes: mengulas buku dalam sebuah berbahasa asing yang membuatnya tidak mampu memahami gagasan-gagasan baru, dan kemudian menyerang buku tersebut dengan mengatakan tidak ada sesuatu yang baru di dalamnya merupakan puncak sikap angkuh dan tidak bertanggungjawab.

Aspek lain dari kesombongan Keynes yang berlimpah adalah keyakinannya bahwa ia banyak melakukan hal-hal orisinil dan revolusioner. Suratnya kepada G.B. Shaw di tahun 1935 (menjadi) terkenal: “Aku berkeyakinan akan menulis sebuah buku tentang teori ekonomi yang akan merevolusi…cara dunia memandang persoalan-persoalan ekonomi. . . . bagiku sendiri, aku tidak sekadar berharap tentang apa yang saya katakana; di dalam benak saya, saya merasa sangat yakin” (Hession 1984: 279). Namun, keyakinannya terhadap kesombingannya tidak terbatas pada Teori

Umum saja. Bernard Corry menunjukkan bahwa “Kira-kira sejak pertama kali ia menghasilkan karya ekonominya ia mengklain akan merevolusi ilmu ekonomi”. Begitu terilhaminya Keynes akan kesetiaan pada kreativitasnya hingga ia bahkan memproklamirkan orisinalistas makalahnya tentang siklus bisnis yang sebenarnya didasari oleh tulisan D. H. Robertson, Study of Industrial Fluctuations, tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan di tahun 1913. Corry mengaitkan sikap Keynes tersebut dengan apa yang selalu ditekankan dalam Kelompok Bloomsbury mengenai “Orisinilitas” (yang tentunya mereka artikan sesuai keinginan mereka sendiri). Orisinilitas, ditunjukkannya, adalah “salah satu obsesi Kelompok Bloomsbury” (Crabtree dan Thirlwall 1980: 96–97; Corry 1986: 214–15, 1978: 3–34).

Dalam hal klaim seputar isu orisinilitas, Keynes amat terbantu oleh tradisi disiplin ekonomi Cambridge yang dibangun oleh Alfred Marshall. Karena Keynes mantan murid Marshall dan lalu menjadi dosen muda di sana di bawah perlindungan Marshal, mudah sekali baginya untuk menyerap tradisi Marshallian. Marshall sendiri

tidak pernah mengklaim tentang kilau orisinilitasnya sendiri, meski ia memang mengklaim telah menemukan secara mandiri [konsep tentang] faedah marjinal yang agak dirahasiakannya, waspada terhadap para siswanya yang mungkin akan mencuri gagasannya. Marshall mengembangkan strategi menjaga dunia Marshallian yang disegelnya kuat-kuat di Cambridge (dan dengan demikian, berarti dalam disiplin ekonomi di Inggris secara umum). Ia menciptakan mitos bahwa karya magnum opusnya tahun 1890, Principles of Economics, telah berisi bangunan sistesis tingkat tinggi, dengan memasukkan segala aspek yang sahih dari semua teori sebelumnya, yang saling berkompetisi dan bertabrakan (termasuk deduktivisme dan induktivisme, teori dan sejarah, faedah marjinal dan biaya riil, jangka pendek dan jangka panjang, Ricardo dan Jevons).

Ia berhasil membuat mitos tersebut populer, dan oleh karenanya menimbulkan pandangan universal bahwa semua yang penting ”sudah dibahas di dalam buku Marshall,” sehinga akhirnya orang tidak perlu lagi membaca karya–karya lain.

Jika Marshall telah berhasil mengharmonikan semua pandangan ekonomi yang sepihak dan bersifat satu-sisi, maka tak ada alasan lagi selain semacam antikuarisme untuk membaca semua tulisan demikian [yang bukan karya Marshall]. Akibatnya, ekonom Cambridge yang cakap hanya membaca Marshall, membahas dan menjabarkan kalimat atau paragraf kriptik dalam Buku Hebat tersebut. Marshall sendiri menghabiskan sisa hidupnya untuk menggarap ulang dan menjabarkan Sang Teks; ia menerbitkan tak kurang dari delapan edisi Principles sebelum tahun 1920. Selebihnya adalah “tradisi lisan” Cambridge yang melegenda, di mana para murid dan pengikut setia Marshall dengan antusias mendengarkan dan meneruskan khotbah Orang Hebat tersebut, di samping membaca tulisan-tulisannya yang lain yang lebih rendah, yang biasanya berbentuk naskah atau rapat komisi saja, karena Marshall selalu menyimpan sendiri hampir semua tulisan singkatnya dari jangkauan publikasi hingga menjelang akhir hidupnya. Jadi, para ekonom Marshallian di Cambridge mendapatkan sendiri semacam aura kasta kependetaan, di mana hanya para

pengikutnyalah yang berhak atas misteri tulisan suci yang tertutup bagi manusia rendahan.

Dunia Cambridge Marshallian yang tertutup segera mendominasi Inggris Raya; namun ada juga segelintir orang di negeri itu yang menantang pandangannya. Dominasi ini mengakselerasi akibat peran unik Cambridge dan Oxford dalam kehidupan sosial dan intelektual Inggris, khususnya dalam tahun-tahun sebelum terjadinya ledakan pendidikan setelah PD II. Sejak jaman Adam Smith, David Ricardo, dan J.S. Mill, Inggris Raya telah mendominasi teori ekonomi di seluruh dunia, sehingga Marshall dan sektenya berhasil memegang hegemoni tidak saja terhadap ilmu ekonomi Cambridge melainkan juga di dunia (lihat Crabtree 1980: 101–5).

Terbit perdana dalam Dissent on Keynes: A Critical Appraisal of Keynesian Economics, disunting oleh Mark Skousen. New York: Praeger (1992). Hal. 171–198. Hak Cipta pada Sanctuary Publishing, Ciputat, 2007. [1] Sambil bertanya kepada dirinya sendiri mengapa Frederic W. Maitland, tokoh sejarawan ternama sekaligus seorang anggota Kelompok Rasul, tidak berpengaruh dalam kelompok tersebut pada jamannya, Derek Crabtree menjawab bahwa Maitland kurang beruntung mendapat posisi di Downing College, salah satu kampus yang lebih rendah dan kurang berpengaruh di Cambridge (lihat Crabtree 1980: 18–19).

[2] Bertrand Russell, yang lebih tua satu dekade daripada Keynes, tidak menyukai kelompok Keynes/Strachey. Menurutnya, kelompok tersebut telah mendominasi para anggota mahasiswa selama dekade pertama abad dua puluh, sebagain besar atas dasar keyakinan mereka bahwa homoseksualitas itu lebih superior secara moral daripada heteroseksualitas. [3] Ketika filsuf John E. McTaggart, yang juga pengajar di Trinity dan seorang Rasul sejak tahun 1880-an, menikah di penghujung hayatnya, ia meyakinkan para Rasul bahwa istrinya hanyalah sesuatu yang “fenomenal” (Skidelsky 1983: 118). * Kebijakan yang diambil suatu negara untuk mencari keuntungannya sendiri di atas kerugian negara lain. [Penerj.] [4] Sehubungan dengan persahabatannya dengan Keynes, tulisan Hayek biasanya tidak memuat keangkuhan Keynes dan sikapnya yang keterlaluan. Dalam tulisannya ia hanya menyayangkan bahwa kemampuan bahasa Jerman Keynes kurang baik: “Dunia mungkin akan dapat mengurangi deritanya jika bahasa Jerman Lord Keynes sedikit lebih baik” (Hayek [1956] 1984: 219; lihat juga Rothbard 1988: 28). [5] Di sini tidak tersedia cukup ruang untuk menjabarkan keyakinan saya secara terperinci bahwa mitos tersebut selain tidak benar ternyata juga membahayakan, dan bahwa yang dilakukan Marshall bukanlah membuat sintesis melainkan sekadar mengukuhkan kembali dominasi Ricardo dan Mill serta teori-teori ekuilibrium dan biaya produksi mereka, sambil memberi lapisan tipis seputar analisis faedah-marjinal. [6] Selama PD II dan tak lama sesudahnya, serangkaian seminar penghormatan saya di Columbia College berisi pembacaan dan analisis saya secara bab-per-bab terhadap buku Marshall, Principles. Tambahan pula, ketika tengah mempertahankan tesis doktoral saya mengenai sejarah pemikiran, John Maurice Clark seorang figur yang dihormati, mengatakan bahwa saya tidak perlu membaca Jevons karena “semua kontribusinya sudah tercakup dalam karya Marshall.”

SANG PENIPU

Keynes muda sama sekali tidak menunjukkan minat pada ekonomi; minatnya justru dominan pada filsafat. Sebenarnya, ia menyelesaikan gelar diplomanya di Cambridge tanpa mengambil satupun mata kuliah ekonomi. Ia bukan cuma tidak pernah mendapat gelar satupun di bidang ini. Satu-satunya kuliah ekonomi yang pernah diikuti Keynes adalah mata kuliah tingkat sarjana selama satu kuartal di bawah Alfred Marshall. Tetapi ia segera merasakan betapa menggairahkannya pesona ilmu ekonomi, karena disiplin ini menarik minat teoritisnya dan dahaganya untuk menoreh jejak besar lewat dunia tindakan yang riil. Di musim gugur 1905, ia menulis surat kepada Strachey: “Ekonomi semakin memuaskan saya, dan saya rasa saya cukup berhasil. Saya ingin mengelola jalan kereta api atau mengorganisir suatu Trust atau setidaknya mengibuli publik investor” (Harrod 1951: 111).[1]

Saat itu Keynes baru memulai karir sepanjang hidupnya sebagai investor dan spekulan. Namun, Harrod agak terkendala untuk menyangkal bahwa

Keynes telah mulai melakukan spekulasi sebelum 1919. Sambil mengatakan bahwa Keynes “tidak memiliki modal” sebelum masa itu, Harrod kukuh memberi penjelasan dalam sebuah ulasan buku enam tahun setelah publikasi biografinya: “Ini penting dipahami dengan jelas, sebab banyak orang mengharapkan yang buruk-buruk. . . [mereka] yang mensinyalir bahwa Keynes telah memanfaatkan informasi dari orang dalam saat bekerja di Treasury (1915-Juni 1919) agar spekulasinya sukses” (Harrod 1957). Dalam suratnya kepada Clive Bell, pengarang buku yang diulasnya itu dan juga teman lama Keynes di Bloomsbury, Harrod menekankan butir tersebut lebih lanjut: “Ini penting sebab banyak cerita mengerikan yang tersebar luas. . . tentang cara-cara Keynes mencari uang dengan cara tidak terhormat dengan memanfaatkan posisinya di Treasury” (ibid.; lihat juga Skidelsky 1983: 286-88).

Terlepas dari sangkalan kukuh dari Harrod, Keynes tentu sudah menyiapkan “dana khusus” dan mulai berinvestasi menjelang Juli 1905. Sekitar tahun 1914, Keynes melakukan spekulasi besar di pasar saham dan menjelang 1920 berhasil mengakumulasikan £16,000-sekitar $200,000

sekarang. Separuh dari investasinya ini berasal dari pinjaman. Tidak jelas pada titik ini apakah dananya dipakai untuk investasi atau untuk tujuan spekulatif lain, tetapi kita mengetahui bahwa modalnya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Apakah Keynes menggunakan informasi “orang dalam” dari Treasury untuk melakukan investasi tersebut tidak pernah terbukti, meskipun hingga kini kecurigaan tersebut masih tertinggal (Skidelsky 1983: 286-88).

Tuduhan penipuan Keynes memang tidak terbuktikan; namun perilakunya harus menjadi bahan pertimbangan sehubungan dengan penghujatannya yang keras terhadap pasar finansial, yang dalam Teori Umum dicelanya sebagai sebagai kasino perjudian. Oleh karena itu, mungkin saja keberhasilan Keynes dalam melakukan spekulasi keuangan berasal dari penipuan terhadap publik, meskipun tidak ada alasan baginya untuk menyesali fakta tersebut. Kendati demikian, ia menyadari bahwa ayahnya tidak akan menyetujui tindakannya ini.[2]

KEYNES DAN INDIA

Saat di Eton, Keynes muda (dalam usia sekitar 17-18 tahun) menyaksikan gelombang sentimen anti kolonialisme menyusul perang Inggris melawan kelompok Boers di Afrika Selatan. Namun, peristiwa tersebut tidak pernah memengaruhi sentimennya. Sebagaimana ditulis Skidelsky, “Sepanjang hidupnya ia mengasumsikan Kekuasaan Inggris sebagai fakta kehidupan dan tak pernah sedikitpun berniat untuk mencampakkannya. . . . Keynes tidak pernah melenceng jauh dari pandangannya bahwa dunia ini lebih baik diatur oleh orang Inggris daripada oleh orang asing” (Skidelsky 1983: 91).

Di penghujung 1905, tanpa memedulikan gerutu Marshall, Keynes meninggalkan kuliah sarjananya di bidang ekonomi menyelesaikan satu kuartal. Setahun kemudian ia mengikuti ujian masuk pegawai negeri dan mendapat posisi klerikal di Kantor India. Di musim semi 1907, Keynes dipindahkan dari Departemen Militer ke Departemen Pemasukan Negara, Statistik dan Perdagangan. Sementara harus menjadi pakar di

bidang persoalan India, ia tetap saja dengan ringan beranggapan bahwa kekuasaan Inggris tidak boleh dipertanyakan; Inggris cuma menyebarkan sistem pemerintahan yang baik di mana sistem demikian tidak dapat tumbuh dengan sendirinya. “Maynard,” seperti ditunjukkan Skidelsky, “selalu melihat Raj dari gedung Whitehall; ia tidak pernah mempertimbangkan implikasi-implikasi manusiawi dan moral dari kekuasan imperialis atau apakah orang-iorang Inggris memeras penduduk India”. Dalam kejayaan tradisi imperialis di bawah keluarga Mills dan Thomas Macaulay pada abad ke-19 di Inggris, Keynes tidak pernah merasa perlu mengunjungi India untuk mempelajari bahasanya. Ia juga tidak membaca buku apapun menyangkut wilayah tersebut, kecuali yang berhubungan dengan keuangan (ibid.: 176).

Kendati sebagai pegawai negeri Keynes berhasil mencapai kedudukan tinggi, ia segera menjadi bosan dengan quasi-sinecure tersebut dan mencoba kembali ke Cambridge dengan jalan mengajar. Akhirnya di musim semi 1908, Marshall menulis untuk menawarkan kepada Keynes posisi sebagai dosen ekonomi. Saat itu Marshall sudah

mendekati usia pensiun, dan Keynes akhirnya berhasil dibujuk oleh temannya, mantan murid favorit sekaligus penerus, yakni Arthur C. Pigou, yang menyarankan agar Keynes menerima tawaran Marshall tersebut. Lagipula, Marshall berjanji akan menggaji Keynes dari koceknya sendiri, dan ayahnya, Neville Keynes, juga menawarkan bayaran yang setara.

Di tahun 1908, Keynes dengan gembira menerima peran yang agak terkucil sebagai dosen ekonomi Marshallian di sekolah lamanya, King’s College, Cambridge. Namun, kebanyakan waktu dan energinya dihabiskannya sebagai lelaki yang sibuk di London (Corry 1978: 5). Salah satu jabatan Keynes adalah menjadi penasehat informal, tetapi bergengsi, untuk Kantor India. Tentu, hubungannya dengan kantor ini semakin meluas setelah tahun 1908 (Keynes 1971: 17). Salah satu dampaknya adalah semakin pentingnya peran Keynes dalam urusan moneter India. Keynes juga menulis jurnal artikel utamanya untuk Economic Journal di tahun 1909; menulis memoranda yang berpengaruh dan kelak mendasari buku pertamanya di tahun 1913, yaitu monograf singkat tentang Mata Uang dan

Keuangan India. Pengaruh Keynes juga besar terhadap Komisi Kerajaan Untuk Keuangan dan Mata Uang India, yang pernah ia jabat sebelumnya, ketika usianya belum lagi tiga puluh tahun.

Peran Keynes dalam keuangan India tidak saja penting, melainkan juga pada akhirnya destruktif; ini semacam pertanda bagi perannya kelak dalam keuangan internasional. Seusai mengubah India dari baku perak ke baku emas pada tahun 1892, pemerintah Inggris akhirnya tersandung oleh baku tukar-emas, alih-alih standar uang logam emas secara penuh yang selama ini telah diterapkan di Inggris dan beberapa bangsa utama lainnya di Barat. Uang tidak dicetak sebagai uang logam atau dalam bentuk lain yang dikenal di India, dan cadangan emas India untuk rupee disimpan dalam bentuk saldo sterling di London, bukan dalam bentuk emas per se. Bagi kebanyakan pejabat pemerintah, pengaturan seperti itu hanya merupakan separuh jalan menuju standar emas penuh kelak; tetapi Keynes menyambut standar tukar emas tersebut dan menyebutnya sebagai sesuatu yang progresif, ilmiah, dan mengarah kepada mata uang ideal. Membebek pada

pandangan yang telah diyakini selama berabad-abad oleh kaum inflasionis, ia beropini bahwa uang emas itu “menghambur-hamburkan sumber daya” saja, yang [seharusnya] dapat “dihemat” melalui kertas dan pertukaran mata uang asing. Namun, titik krusial di sini adalah bahwa baku-palsu emas, sebagaimana seharusnya baku tukar-emas, memberi ruang lebih besar bagi pengelolaan moneter dan inflasi oleh pemerintahan sentral. Ia [sistem ini] menjauhkan kekuasaan masyarakat terhadap uang dan menempatkan kekuasaan tersebut ke tangan pemerintah. Keynes memuji standar India yang mengijikan “elastisitas” uang yang lebih tinggi (sebuah kata kode bagi inflasi moneter) dalam merespons kebutuhan.

Selain itu, secara khusus ia menyambut gembira laporan komisi pemerintah AS di tahun 1903 yang menganjurkan penerapan baku tukar-emas di Cina serta negara-negara Dunia Ketiga lainnya yang masih menggunakan standar perak-yang didorong oleh para ekonom dan politisi progresif untuk membawa negara-negara terserbut ke dalam blok dolar-emas yang didominasi AS

(Keynes 1971: 60-85; lihat juga Parrini dan Sklar 1983; Rosenberg 1985).

Keynes tentu saja secara eksplisit mengharapkan digantikannya penggunaan baku emas dengan sistem yang lebih “ilmiah” berdasarkan pada sejumlah mata-uang kertas nasional. “Preferensi terhadap cadangan mata-uang yang kasat mata,” menurut Keynes, adalah “peninggalan sejarah dari jaman baheula, saat pemerintah belum dipercaya seperti sekarang dalam menangani persoalan ini” (1971: 51). Hal inilah yang membayangi penolakan Keynes yang terkenal terhadap emas, yang disebutnya sebagai “peninggalan barbar”. Secara lebih luas, pandangan-pandangan awal Keynes terhadap moneter mengawali baku pertukaran-emas pembawa petaka, hasil rekayasa Inggris sepanjang tahun 1920-an, dan juga skema Bretton Woods yang, meski memiliki cacat serius, tetap dipaksakan oleh Amerika Serikat-dengan bantuan Inggris dan Lord Keynes-di akhir PD II, untuk mengelola dolar-emas.

Namun demikian, sang ekonom Cambridge ini tidak puas hanya dengan membela status-quo

pertukaran-emas di India. Dengan keyakinan bahwa pawai menuju inflasi terkendali masih belum cukup cepat, ia memaksakan [rencana] pendirian bank sentral (atau “Bank Negara”) bagi India, yang dengan demikian akan memungkinkan sentralisasi cadangan, elastisitas moneter yang lebih tinggi, dan ekspansi serta inflasi moneter yang lebih luas. Meskipun Keynes akhirnya gagal dalam meyakinkan Komite Kerajaan untuk rencana tersebut, ia cukup berhasil mempengaruhi laporan akhir Komite tersebut. Laporan ini melampirkan pandangan Keynes tentang bank sentral, dan Keynes juga memimpin sidang pengujian-silang yang berlangsung ketat dan keras antara saksi-saksi yang pro terhadap baku uang emas dan yang anti kepada bank-sentral. Sebuah catatan kaki yang menarik sehubungan dengan peristiwa ini menyematkan reaksi guru lamanya, Alfred Marshall, terhadap lampiran tentang bank-sentral tersebut. Marshall menulis kepada Keynes bahwa dirinya [Marshall] “terpesona pada gagasan tersebut, yang dikatakannya ibarat permulaan jenius bagi pekerjaan yang konstruktif” (ibid.: 268).

Keynes umumnya gemar mengutak-atik teori ekonomi untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis. Motivasi utamanya dalam menceburkan diri ke dalam persoalan mata uang India adalah mempertahankan rekor seorang patron politis perdananya yang dianggapnya penting, yaitu Edwin Samuel Montagu, seorang tokoh dari keluarga bankir internasional berpengaruh, yaitu Montagu dan Samuel, asal London. Montagu adalah presiden Cambridge Union–masyarakat debat di universitas tersebut, saat Keynes masih kuliah dulu, dan sejak itu Keynes telah menjadi favoritnya. Dalam pemilu tahun 1906, Keynes berkampanye untuk Montagu dan berhasil memenangkannya satu kursi di Parlemen, sebagai wakil Liberal. Di penghujung 1912, ketika Montagu menjabat sebagai di Sekretariat Negara untuk India, terjadilah skandal keuangan India. Pemerintah India, di mana Montagu saat itu menjadi komandan kedua, telah melakukan kontrak rahasia dengan firma perbankan milik Samuel Montagu & Co untuk pembelian perak. Kelak terungkap saratnya unsur nepotisme dalam kontrak tersebut. Lord Swaythling, mitra senior dalam perusahaan tersebut, adalah ayah dari undersecretary Edwin S.

Montagu; mitra lainnya, Sir Stuart Samuel, adalah saudara laki-laki dari Herbert Samuel, Postmaster-General dari pemerintah Asquith (lihat Skidelsky 1983: 273).

SANG PENJUAL TEORI UMUM

Teori Umum Keynes, setidaknya dalam jangka pendek, termasuk salah satu buku yang paling berhasil sepanjang masa. Hanya dalam waktu singkat selang beberapa tahun saja, teorinya yang “revolusioner” berhasil menaklukkan profesi ekonomi dan dengan cepat mentransformasikan kebijakan publik. Ilmu ekonomi yang ketinggalan jaman tidak dihargai atau tidak “dinyanyikan” lagi, terhempas ke dalam tong sampah sejarah. Bagaimana hal ini bisa dicapai? Keynes dan para pengikutnya mungkin akan mengatakan, tentu saja, profesi ekonomi akan menerima kebenaran yang telah terbukti secara gamblang. Namun demikian, Teori Umum tidak revolusioner sama sekali, melainkan hanya berisi pandangan usang dan keliru yang penah diyakini oleh kelompok merkantilis dan inflasionis, dan yang sebenarnya sudah dipatahkan tetapi kemudian dikemas ulang

oleh Keynes dengan bahasa yang mentereng, penuh jargon berkonstruksi baru dan umumnya sukar dipahami. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin buku tersebut dapat sukses dalam sekejap?

Salah satu alasannya, seperti ditunjukkan Schumpeter, adalah bahwa pemerintah serta iklim intelektual di tahun l930-an memang sedang mengidamkan perubahan. Pemerintah selalu mencari sumber-sumber baru pemasukan negara dan cara-cara baru untuk membelanjakan uang, yang untuk tujuan-tujuan tersebut seringkali harus bersusah payah. Namun, disiplin ekonomi, selama lebih dari seabad, selalu “memasang muka masam” dan memperingatkan pemerintah akan bahaya inflasi dan pengeluaran defisit, bahkan pula di masa resesi.

Para ekonom-yang oleh Keynes disapukan ke dalam satu kategori untuk kemudian diejeknya sebagai para penganut mazhab “klasik’ dalam Teori Umum-adalah orang-orang yang sering “mengeluh di saat piknik”, dan yang gemar “memaparkan gambaran kelam” terhadap upaya-upaya

pemerintah untuk meningkatkan belanjanya. Kini datanglah Keynes berikut ekonomi modernnya yang “ilmiah”, yang mengatakan bahwa para ekonom-klasik tua telah keliru dalam segala hal; bahwa, sebaliknya, justru tanggungjawab moral dan ilmiah pemerintahlah untuk membelanjakan, membelanjakan, dan melakukan pembelanjaan; untuk menimbulkan defisit di atas defisit; untuk menyelamatkan perekonomian dari dosa-dosa kecil semacam penghematan dan anggaran berimbang dan kapitalisme yang tidak bisa dikekang; dan untuk menciptakan perbaikan dari masa depresi. Betapa pasnya ekonomi Keynesian bagi pemerintah-pemerintah di dunia!

Tambahan pula, para intelektual di seluruh dunia akhirnya meyakini bahwa kapitalisme laissez-faire tidak akan berhasil, bahkan justru bertanggungjawab atas terjadinya Depresi Besar. Komunisme, fasisme, dan berbagai bentuk sosialisme serta perekonomian terkontrol menjadi populer untuk alasan tersebut di sepanjang tahun 1930-an. Keynesianisme sangat pas, amat sesuai bagi iklim intelektual saat itu. Selain itu, ada pula beberapa alasan kuat yang internal sifatnya bagi

kesuksesan Teori Umum. Dengan mendandani teori barunya dengan jargon-jargon yang sulit ditembus, Keynes menciptakan atmosfir yang memungkinkan hanya para ekonom muda saja yang dapat memahami ilmu baru tersebut. Tidak seorangpun ekonom di atas usia tigapuluh tahun yang dapat memahami Ekonomi Baru. Para ekonom yang, dapat dimengerti, tidak memiliki kesabaran menghadapi kompleksitas-kompleksitas baru, cenderung akan mencampakkan Teori Umum sebagai hal yang tidak masuk akal dan menolak menangani pekerjaan yang luar biasa sulit dipahami. Di sisi lain, para ekonom muda dan sarjana, yang cenderung sosialistik, cenderung siap menangkap peluang baru dan mau membungkukkan diri demi tugas dengan imbalan memahami Teori Umum. Paul Samuelson pernah menuliskan mengenai perasaannya saat itu, sewaktu ia masih berusia di bawah tiga puluh dan Teori Umum baru diterbitkan pada tahun 1936; ia merayakan kegembiraannya, dengan ungkapan kata-kata penyair Wordsworth, “Diberkahilah dia, yang hidup di saat fajar, dan masa muda adalah surga”. Namun sang Samuelson yang sama, yang merasa antusias saat wahyu baru tersebut turun,

pada akhirnya mengakui bahwa Teori Umum adalah ” buku yang ditulis dengan buruk; organisasinya jelek. . . . Mengandung banyak hal yang luar biasa mengacaukan. . . . Saya kira saya tidak merahasiakan [fakta bahwa] bahwa saya memang dengan khidmad pernah mengatakan-sesuai ingatan saya yang masih cukup tajam-bahwa tidak ada seorangpun di Cambridge, Massachusetts, yang dapat memahami isi Teori Umum selama dua belas hingga delapan belas bulan setelah penerbitannya” (Samuelson [1946] 1948: 145; Hodge 1986: 21-22).

Harus diingat bahwa persimpangan Keynesian, diagram-diagram IS-LM, dan sistem persamaan- yang kini dikenal secara umum, belum tersedia bagi mereka yang mencoba memahami Teori Umum ketika buku tersebut baru diterbitkan. Untuk memahami sistem Keynesian diperlukan waktu sepuluh hingga lima belas tahun serta jam dan tenaga manusia yang tak terhitung jumlahnya. Seringkali, sebagaimana dalam kasus-kasus Ricardo dan Keynes, semakin buram isi buku, semakin sukseslah buku tersebut, karena para ilmuwan muda akan mengerumuni karya semacam itu, dan menjadi pengikut. Yang juga penting bagi

keberhasilan Teori Umum adalah kenyataan bahwa perang besar biasanya menciptakan banyak jenderal; begitu juga dengan revolusi Keynesian. Pencampakan para ekonom generasi tua menciptakan peluang baru bagi penganut muda Keynesian, baik dalam profesi ekonomi maupun di pemerintahan.

Faktor krusial lain penentu keberhasilan mendadak yang luar biasa dari Teori Umum adalah asalnya: buku itu muncul dari dalam universitas yang paling kolot tetapi juga merupakan pusat perekonomian nasional yang amat dominan di dunia. Selama satu setengah abad, peran besar Inggris Raya sangat dominan dalam disiplin ekonomi, dan kaya akan tradisi, seperti yang diwariskan oleh Smith, Ricardo, dan Mill. Kita baru saja melihat bagaimana Marshall membangun dominasinya di Cambridge dan bahwa disiplin ekonomi yang ia kembangkan pada dasarnya berarti kepulangan kembali ke tradisi klasik Ricardo/Mill. Sebagai ekonom ternama Cambridge sekaligus murid Marshall, Keynes mendapat keuntungan saat melanjutkan gagasan-gagasannya dalam Teori Umum. Dapat dikatakan dengan aman

bahwa seandainya Keynes cuma seorang guru ekonomi tak dikenal di sebuah kampus Amerika di wilayah barat-tengah, maka karyanya tersebut, seandainya pun diterima oleh penerbit, mungkin akan benar-benar diabaikan orang. Pada hari-hari menjelang PD II, Inggrislah, dan bukan AS, yang berfungsi sebagai pusat paling bergengsi di dunia dalam hal pemikiran ekonomi. Sementara itu, ilmu ekonomi mazhab Austria telah berkembang di AS sebelum Perang Dunia I (melalui karya-karya David Green, Frank A. Fetter, dan Herbert J. Davenport), periode 1920-an hingga awal tahun 1930-an secara umum merupakan periode yang kering dalam hal pemikiran ekonomi. Kaum institusionalis yang anti teori saat itu mendominasi disiplin ekonomi di Amerika, sehingga meninggalkan kekosongan yang dengan mudah diisi oleh Keynes.

Yang juga penting bagi keberhasilan Keynes adalah sosoknya yang luar biasa sebagai seorang intelektual dan pemimpin ekonomi-politik Inggris, termasuk peran besarnya sebagai peserta dalam perjanjian Versailles-dan kemudian menjadi pengritiknya yang tajam. Sebagai anggota Bloomsbury, ia juga orang penting dalam

lingkungan kebudayaan dan kesenian Inggris. Selain itu, harus disadari bahwa menjelang Perang Dunia II, jumlah penduduk berpendidikan setingkat sarjana masih merupakan minoritas kecil. Jumlah universitas pun masih kecil dan secara geografis umumnya terkonsentrasi di Inggris Raya. Akibatnya, hanya terdapat beberapa orang ekonom dan pengajar ekonomi saja, yang saling mengenal satu sama lain. Kondisi ini menciptakan ruang yang cukup besar dan kondusif, sehingga haluan profesi keilmuan tersebut dapat diubah ke doktrin Keynesian dengan bermodalkan personalitas serta karisma.

Faktor-faktor eksternal semacam karisma pribadi, politik dan oportunisme karier merupakan hal penting dan sangat kuat di antara para pengikut F.A. Hayek di London School of Economics (LSE). Selama awal tahun 1930-an, Hayek di LSE dan Keynes di Cambridge merupakan dua kutub dalam pengembangan disiplin ekonomi Inggris. Sementara itu, Hayek juga berhasil membawa banyak ekonom Inggris ke dalam teori-teori moneter, modal dan siklus-bisnis Austria (atau, Misesian). Tambahan pula, Hayek, dalam serangkaian artikelnya, dengan

cemerlang meruntuhkan karya-karya awal Keynes, yakni berupa dua volume buku Risalah Tentang Uang. Sejumlah besar kekeliruan pemikiran Keynes yang ditunjukkan oleh Hayek juga berlaku untuk Teori Umum (lihat Hayek 1931a, 1931b, 1932). Harus dikatakan bahwa para siswa dan pengikut Hayek saat itu memahami ilmu ekonomi secara lebih baik. Dalam hal teori, mereka sebenarnya sudah memiliki semacam imunitas terhadap Teori Umum. Meskipun demikian, menjelang akhir tahun 1930-an, satu persatu hingga semua pengikut Hayek berpindah haluan menjadi Keynesian, termasuk Lionel Robbins, John R. Hicks, Abba P. Lerner, Nicholas Kaldor, G.L.S. Shackle, dan Kenneth E. Boulding.

Yang paling mencengangkan mungkin adalah perubahan paradigma Lionel Robbins. Ia bukan saja pengikut Misesian dalam hal metodologi, moneter dan teori siklus bisnis, melainkan juga seorang aktivis ulung pro-Austrian. Sebagai seorang yang berubah haluan sejak mengikuti seminar privat Mises di Vienna pada tahun 1920-an, Robbins sangat berpengaruh di departemen ekonomi LSE, antara lain karena telah berhasil mengajak Hayek ke sana pada tahun 1931 dan menerjemahkan serta

menerbitkan karya-karya Hayek dan Mises. Sejak lama ia telah mengritik doktrin Keynesian sebelum Teori Umum. Namun demikian, perubahan-haluan Robbins menjadi Keynesian tampaknya menjadi semakin mantap saat ia bertugas menjadi rekan kerja Keynes dalam merencanakan perekonomian di masa perang. Di dalam buku harian Robbins terdapat kesan kuat tentang ekstasi kegembiraannya. Kesan tersebut mungkin menjelaskan tentang penghinaan yang mencengangkan terhadap dirinya sendiri, yaitu sewaktu ia menampik karya Misesian-nya sendiri, The Great Depression (1934). Penolakan Robbins itu diterbitkan dalam otobiografinya pada tahun 1971. “Saya akan selalu menganggap aspek-aspek perselisihan saya dengan Keynes sebagai kekeliruan terbesar dalam karier profesional saya, dan buku itu, The Great Depression, yang saya tulis kemudian, antara lain untuk membenarkan sikap saya yang sesat itu, sebagai sesuatu yang dengan senang hati ingin saya lupakan” (Robbins 1971: 154). Catatan buku harian Robbins tentang Keynes selama PD II hanya dapat dipertimbangkan sebagai pandangan pribadi yang berisi kegembiraan yang absurd. Inilah

Robbins di saat gladi kotor konferensi pra-Bretton Woods pada bulan Juni 1944 di Atlantic City:

Keynes saat itu berada dalam suasana hati yang paling jernih dan persuasif: dan efeknya tak tertahankan….Keynes mestinya salah satu orang terhebat yang pernah hidup-logikanya cepat, visinya luas, dan di atas segala ketepatan makna kata-kata yang tak berbanding, semuanya ini berbaur membentuk sesuatu yang jauh di atas pencapaian manusia biasa. (Ibid.: 193)

Hanya Churchill, lanjut Robbins, yang sebanding dengannya. Tetapi Keynes lebih hebat, karena ia benar-benar memakai gaya klasik kehidupan dan bahasa kita [sehari-hari], yang ditembakkannya secara tidak tradisional, semacam kualitas unik yang bukan berasal dari bumi ini, yang hanya dapat disebut sebagai kejeniusan murni. Orang-orang Amerika yang hadir duduk terpesona ketika sang tamu yang seperti dewa itu bernyanyi, dan cahaya keemasan bependar di sekelilingnya. (Ibid.: 208-12; cf. 1984: 342)

Puja-puji semacam ini hanya dapat berarti bahwa Keynes memiliki semacam magnetisme pribadi yang kuat yang amat mempengaruhi Robbins.[3] Terpenting bagi strategi Keynes dalam meletakkan Teori Umumnya adalah dua klaim sebagai berikut: pertama, bahwa ia telah merevolusi teori ekonomi; dan kedua, bahwa ia adalah ekonom pertama-terlepas dari beberapa ekonom lain yang berasal dari “dunia bawah”, seperti Silvio Gesell-yang memfokuskan diri pada masalah pengangguran. Semua ekonom terdahulu, yang ia pukul-ratakan sebagai golongan “klasik”, menurutnya, mengasumsikan tingkat kesempatan kerja penuh; dan Keynes bersikeras bahwa uang hanyalah sebuah “tabir” bagi proses-proses riil dan oleh karena itu bukan merupakan persoalan sesungguhnya dalam perekonomian.

Salah satu dampak yang kurang menguntungkan adalah miskonsepsi Keynes terhadap sejarah pemikiran ekonomi, mengingat bahwa legiun pengikut setianya menerima kekeliruan-kekeliruan pandangan Keynes di dalam Teori Umum sebagai kata-kata final dalam subyek tersebut. Beberapa kesalahan yang berdampak besar

mungkin berasal dari ketidaktahuannya [Keynes], sebab ia memang mendapat sedikit pendidikan dalam subyek tersebut, sementara karyanya paling banyak dibaca oleh para sejawat Cantabrigian-nya. Sebagai contoh, dalam ringkasannya yang jelas mendistorsi hukum Say (”suplai menciptakan permintaannya sendiri”), ia menyiapkan argumen manusia jerami dan kemudian meruntuhkannya dengan mudah (1936: 18). Pernyataan-ulang Keynes yang keliru dan menyesatkan tentang hukum Say selanjutnya diulangi (tanpa mengutip Say atau ekonom-ekonom lain pengikut hukum tersebut) oleh Joseph Schumpeter, Mark Blaug, Axel Leijonhufvud, Thomas Sowell, dan lainnya.

Formulasi yang lebih baik dari hukum tersebut adalah bahwa suplai suatu barang akan membentuk permintaan terhadap satu barang lain atau lebih (lihat Hutt 1974: 3).

Tetapi unsur ketidaktahuan tidak patut diterima untuk klaim Keynes bahwa ia adalah ekonom pertama yang mencoba menerangkan pengangguran atau melampaui asumsi bahwa uang hanyalah sebuah tabir yang tidak memberi

pengaruh penting pada siksus bisnis atau perekonomian. Di sini kita harus mengatakan bahwa Keynes telah sengaja melakukan penipuan dan kebohongan-apa yang kini kita kenal dengan eufimisme “disinformasi”. Keynes tentunya mengetahui dengan baik tentang keberadaan mazhab Austria dan LSE, yang telah berkembang pesat di London sejak tahun 1920-an dan khususnya sejak tahun 1931.

Ia sendiri pernah secara pribadi mendebat Hayek, sebagai pemimpin pemikiran Austria di LSE, dalam sebuah artikel jurnal terbitan LSE, Economica. Para ekonom berhaluan Austria di London telah mengaitkan masalah pengangguran berkelanjutan dalam skala besar dengan tingkat upah yang dengan sengaja dipertahankan melebihi tingkat upah di pasar bebas melalui gabungan serikat pekerja dan tindakan pemerintah (mis. dengan pemberian asuransi pengangguran yang luar biasa besar nilainya). Resesi dan siklus bisnis telah dikaitkan dengan kredit perbankan dan ekspansi moneter, yang dipicu oleh bank sentral, yang mendorong tingkat bunga di bawah tingkat preferensi-waktu yang wajar/asli dan menciptakan

terlalu banyak investasi barang modal dalam tatanan yang lebih tinggi (higher-order capital goods). Semua ini niscaya akan terlikuidasi melalui resesi yang pada gilirannya pasti muncul begitu ekspansi kredit berhenti.

Bahkan seandainyapun Keynes tidak sependapat dengan analisis ini, tidak sepantasnya ia mengabaikan eksistensi mazhab yang saat itu mengemuka di Inggris Raya, sebagai aliran pemikiran yang tidak pernah dapat diinterpretasikan sebagai institusi yang telah mengabaikan dampak ekspansi moneter terhadap keadaan riil perekonomian.[4]

Untuk menaklukkan dunia ekonomi dengan teori barunya, sangat penting bagi Keynes untuk menghancurkan lawan-lawannya di lingkungan Cambridge. Dalam benaknya, siapa saja yang mengendalikan Cambridge, mengendalikan dunia. Lawannya yang paling berbahaya adalah penerus terpilih Marshall yang juga mantan dosen Keynes sendiri: Arthur C. Pigou. Maka mulailah Keynes melakukan kampanye destruktif terhadap Pigou ketika Pigou menolak pendekatan yang ditempuh

Keynes sebelumnya dalam Risalah Tentang Uang. Pada titik itu hubungan baik Keynes juga berakhir dengan mantan mahasiswa sekaligus teman dekatnya, Dennis H. Robertson, yang telah menolak untuk berkomplot melawan Pigou. Kesalahan pernyataan paling mencolok dalam Teori Umum–tetapi tetap saja ditelan bulat-bulat begitu saja oleh para pengikut Keynes–adalah pemaparannya yang “keterlaluan” terhadap pandangan-pandangan Pigou mengenai uang dan pengangguran. Keynes menyebut Pigou sebagai ekonom kontemporer utama yang beraliran “klasik” yang meyakini bahwa kesempatan kerja selalu dalam kondisi penuh dan bahwa uang hanyalah tabir yang tidak menyebabkan gangguan dalam perekonomian-begitu gambaran Keynes terhadap ekonom yang di tahun 1927 menulis Fluktuasi Industri dan Teori Pengangguran pada tahun 1933, yang telah mengungkapkan secara panjang lebar persoalan-persoalan pengangguran! Selain itu, dalam buku berikutnya, Pigou bahkan secara eksplisit membantah teori tabir uang dan justru menekankan betapa pentingnya peran sentral uang dalam kegiatan ekonomi. Untuk itu, Keynes pun mencerca Pigou dengan tuduhan bahwa Pigou memiliki

“keyakinan. . . bahwa uang tidak membuat perbedaan riil kecuali sedikit menggeser saja (friksional), dan bahwa teori pengangguran dapat diterapkan. . . atas dasar pertukaran ‘rill’. Seluruh lampiran bab 10 dalam Teori Umum ditujukan khusus untuk menyerang Pigou, termasuk klaimnya bahwa ia hanya menulis tentang pertukaran riil dan upah riil saja, alih-alih upah-uang, dan bahwa ia hanya mengasumsikan tingkat upah yang luwes (Keynes 1936: 19-20, 272-79).

Tetapi, sebagaimana dicatat oleh Andrew Rutten, Pigou telah melakukan analisis “riil” di bagian pertama bukunya; di bagian kedua, ia tidak hanya memasukkan unsur uang, melainkan juga menunjukkan bahwa setiap kali unsur uang dihilangkan, hasil analisis akan terdistorsi, dan bahwa uang sangat menentukan dalam setiap analisis sistem pertukaran. Unsur uang, menurutnya, tidak dapat dihilangkan dan tidak dapat bertindak secara netral. Dengan demikian, “tugas yang harus diemban sekarang adalah menentukan dalam hal apa saja faktor moneter menyebabkan tingkat rata-rata dari, dan fluktuasi dalam, kesempatan kerja yang berbeda dari yang

seharusnya terjadi [jika unsur uang dimasukkan]”. Oleh karena itu, tambah Pigou, “penghilangan unsur uang [dan dibarengi] dengan anggapan bahwa hal-hal lainnya tidak berubah adalah sesuatu yang tidak dapat dilegitimasi. Penghilangan yang ditawarkan di sini setara dengan penghilangan unsur oksigen dari bumi dan lalu kehidupan manusia dianggap dapat terus berlanjut” (Pigou 1933: 185, 212).[5] Pigou secara ekstensif menganalisis interaksi antara ekspansi moneter dengan tingkat bunga sejalan dengan perubahan ekspektasi, dan ia secara eksplisit membahas persoalan upah uang serta harga yang “rekat” dan upah.

Dengan cara demikian Keynes jelas telah secara sengaja melakukan misrepresentasi yang serius terhadap posisi Pigou, sebab seandainya Keynes memang membaca karya-karya para ekonom lain dengan saksama, tentu ia pernah membaca karya seorang Cantabrigian terkemuka seperti Pigou. Namun, seperti ditulis oleh Rutten, “Kesimpulan-kesimpulan ini tak perlu mengagetkan, sebab memang terdapat banyak bukti bahwa Keynes dan para pengikutnya sering

melakukan misrepresentasi terhadap para pendahulunya” (Rutten 1989: 14). Fakta bahwa Keynes terlibat dalam tindak penipuan sistematis dan bahwa para pengikutnya terus mengulangi cerita fiktif tentang Pigou sebagai tokoh “klasik” yang “buta” menunjukkan bahwa ada alasan lain yang lebih dalam atas popularitas legenda ini dalam lingkaran Keynesian. Seperti ditulis oleh Rutten:

Ada penjelasan kuat mengapa cerita tentang Keynes dan para ekonom klasik selalu diulang. . . yaitu bahwa cerita standar ini menjadi populer karena hal itu secara bersamaan menawarkan penjelasan dan pembenaran atas keberhasilan Keynes: tanpa Teori Umum, kita semua masih berada dalam jaman kegelapan ekonomi. Dengan kata lain, cerita seputar Keynes dan para ekonom klasik adalah bukti untuk Teori Umum. Tentu, penggunaannya menyiratkan bahwa hal tersebut mungkin merupakan bukti yang paling kuat. Dalam hal ini, bukti bahwa posisi Pigou tidaklah sebagaimana yang dituduhkan kepadanya adalah …bukti yang menentang Keynes….[Kesimpulan ini] meningkatkan …pertanyaan serius mengenai status metodologis dari sebuah teori yang mengandalkan

begitu banyak pada bukti-bukti yang dipalsukan”. (Ibid.: 15)

Adalah hal yang pantas jika dalam ulasannya kemudian terhadap Teori Umum Pigou memandang rendah terhadap “berbagai misrepresentasi” yang dilakukan Keynes terhadapnya. Namun, begitulah kekuatan hebat yang bernama opini–atau karisma Keynes: menjelang tahun 1950, setelah kematian Keynes, Pigou justru berada dalam situasi di mana ia justru harus mengaku salah, serupa dengan pengakuan-kesalahan hina yang dilakukan Lionel Robbins, yang sejak lama diinginkan Keynes darinya (Pigou 1950; Johnson dan Johnson 1978: 179; Corry 1978: 11-12).

Di samping mengandalkan karisma dan tipuan sistematis, Keynes juga menjual Teori Umum melalui taktik lain. Ia mencuri simpati para mahasiswa melalui pujian yang berlebihan, lalu sengaja memengaruhi mereka untuk menyerang para non-Keynesian di Cambridge dengan mempermalukan para koleganya sendiri di depan para mahasiswa dan dengan memprovokasi mahasiswa-mahasiswa tersebut agar melecehkan

mereka. Sebagai contoh, Keynes memicu amarah para mahasiswanya terhadap Dennis Robertson, mantan teman dekatnya sendiri. Sebagaimana sangat diketahui Keynes, Robertson adalah orang yang luar biasa pemalu. Bahkan untuk sekadar berkomunikasi dengan sekretarisnya yang setia dan sudah bertahun-tahun bekerja untuknya, yang kantornya bersebelahan dengan kantornya, Robertson menggunakan memo tertulis. Kuliah-kuliah Robertson biasanya sudah dipersiapkan secara tertulis sebelumnya, dan karena rasa malunya ini ia selalu menolak menjawab pertanyaan atau melibatkan diri dalam diskusi, baik dengan mahasiswanya sendiri maupun dengan rekan sekerja. Dapat dibayangkan seperti apa siksaan para pengikut radikal Keynes, yang dipimpin oleh Joan Robinson dan Richard Kahn, begitu mendapat mangsa empuk untuk diperolok seperti Robertson, yang mereka lecehkan dengan pertanyaan dan pernyataan penuh kedengkian dan melalui tantangan untuk berdebat. (Johnson dan Johnson 1978: 136ff.)

[1] Seperti dikatakan Skidelsky, hal tersebut memang ciri khas Roy Harrod dalam menuliskan biografi yang “membersihkan noda”. Ketika

mengutip surat tersebut, Harrod juga membuang frasa “melakukan penipuan kepada publik investor” (Skidelsky 1983: 165n).

[2] Dalam surat untuk ibunya tertanggal 3 September, 1919, Keynes menyinggung tentang spekulasi yang dilakukannya dalam mata uang asing, yang “akan mengagetkan ayah, tetapi saya harap saya akan berhasil” (Harrod 1951: 288). Untuk kritik tajam terhadap pandangan Keynes mengenai spekulasi seperti perjudian, lihat Hazlitt ([1959] 1973: 179-85).

[3] Harry Johnson menjabarkan strategi ini dengan baik: “Dalam proses ini, salah satu cara yang efektif adalah menyebut konsep lama dengan nama baru yang membingungkan. . . [T]eori baru harus memiliki tingkat kesulitan yang pas agar dipahami. Ini memang problem yang kompleks dalam perancangan teori-teori baru. Teori baru harus cukup sulit dimengerti sehingga kolega akademisi senior akan mendapatinya sulit atau tidak layak dipelajari lebih jauh, sehingga mereka hanya akan menyia-nyiakan upaya mereka pada isu-isu teoritis yang remeh, dan sehingga menjadikan mereka sebagai target yang mudah untuk dikritik dan diabaikan oleh para kolega mereka yang lebih muda dan lebih lapar. Di saat yang sama, teori baru harus tampak cukup sulit untuk menantang minat intelektual muda dan mahasiswa, namun juga sebenarnya cukup mudah agar mereka dapat menguasainya secara memadai dengan investasi usaha-intelektual yang cukup. Tujuan-tujuan tersebut berhasil dicapai Keynes dalam Teori Umum-nya. Bukunya berhasil menyisihkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Pigou dan Robertson, dan memungkinkan mereka yang lebih muda dan paling inovatif, sekitar usia setengah baya, atau sedikit di bawah itu, seperti Hansen, Hicks, dan Joan Robinson untuk melompat masuk ke dalam gerbong, dan memungkinkan seluruh generasi mahasiswa. . . untuk berlari dari proses lambat yang menghancurkan jiwa dalam mencapai kearifan melalui [proses] osmosis dari senior mereka dan dari literatur mereka ke dalam ranah intelektual di mana ikonoklasme muda dengan cepat dapat menghasilkan (paling tidak dalam pandangan Keynes sendiri) dengan menghancurkan pretensi-pretensi intelektual para

akademisi senior dan para pendahulu mereka. Disiplin ekonomi, dan ini yang menggembirakan mereka, dapat dibangun dari awal dengan pemahaman sedikit saja tentang Keynesian plus kebencian yang besar terhadap literatur yang ada-begitulah.” (1978: 188-89).

[4] D. P. O’Brien, penulis biografi Robbins, dengan susah payah mencoba meyakinkan bahwa, terlepas dari apa yang diakuinya sebagai penyesalan panjang-lebar dan cenderung dibesar-besarkan, Robbins, di dalam hatinya, tidak pernah benar-benar Keynesian. Tetapi usaha O’Brien ini tidak meyakinkan, bahkan setelah ia menunjukkan bagaimana Robbins mencoba menjelaskan posisinya dalam sejumlah isu. Selain itu, O’Brien mengakui bahwa Robbins memang mencampakkan pendekatan makronya yang Misesian, dan ia tidak menjelaskan perlakuan Robbins yang mencengangkan ketika menyebut Keynes “seperti dewa” (O’Brien 1988: 14- 16, 117-20).

[5] Satu-satunya referensi Keynes terhadap Mises dalam Teori Umum tidak menyangkut teori siklus bisnis atau analisis moneter, yang sebetulnya akan sangat relevan bagi bukunya. Keynes hanya mengutarakan kekagetannya terhadap teori bunga Mises yang dianggapnya “aneh” serta “mengacaukan” istilah “efisiensi marjinal modal” (istilah Keynes untuk tingkat return investasi) dengan nisbah antara harga-harga barang konsumen dan barang modal dengan tingkat bunga. Andaikan Keynes mengetahui sedikit saja tentang teori modal, maka ia akan mengenali bahwa posisi Mises di sini bersifat Böhm-Bawerkian, serupa dengan kebanyakan teori modal pada abad ke-19 yang berfokus pada tingkat keuntungan jangka-panjang yang dikenal sebagai tingkat bunga. Satu kekeliruan besar dalam pemikiran Keynes muncul dari keyakinannya sendiri bahwa bunga adalah fenomena moneter murni, sehingga yang penting hanyalah tingkat bunga pinjaman (Keynes 1936: 192-93; cf. Rothbard [1962] 1970: I, 454-55).

EKONOMI-POLITIK KEYNES

Dalam Teori Umum, Keynes memaparkan sosiologi politiko-ekonomis yang unik, yaitu dengan membagi populasi setiap negara ke dalam kelas-kelas ekonomi yang terpisah secara kaku, dan masing-masing memiliki aturan perilaku dan karakteristik tersendiri. Pertama, kelompok konsumen: bodoh, seperti robot, berperilaku tetap dan sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya. Dalam pernyataan Keynes, kekuatan utama kelompok ini adalah proporsi pendapatan total mereka yang kaku, yaitu “fungsi konsumsi tertentu mereka”. Kedua, sekelompok kecil konsumen yang merupakan problem abadi bagi kemanusiaan. Mereka adalah para borjuis penabung yang tidak bisa ditolerir, yang dengan teguh mempraktikkan kebajikan puritan-misalnya gaya hidup hemat dan melihat jauh ke depan; mereka adalah kelompok yang dipandang rendah oleh Keynes sepanjang hidupnya sebagai seorang calon aristokrat. Sementara, semua ekonom terdahulu, termasuk Smith, Ricardo, dan Marshall, menyanjung para penabung yang gemar berhemat sebagai mereka yang membangun modal jangka panjang dan oleh

karena itu bertanggungjawab atas perbaikan-perbaikan jangka panjang di bidang standar hidup konsumen.

Tetapi Keynes, dengan trik sulapnya, memutus kaitan yang jelas antara tabungan dan investasi; sebaliknya, ia mengklaim bahwa keduanya tidak berhubungan. Sebenarnya, tulis Keynes, tabungan malah memperlamban sistem; tabungan “membocorkan” arus pengeluaran, dan oleh karena itu, menyebabkan resesi dan pengangguran. Dengan cara tersebut, seperti halnya Mandeville di awal abad ke-18, Keynes dapat mengutuki mereka yang hemat dan gemar menabung. Akhirnya, dendamnya kepada kaum borjuis berhasil dilampiaskannya.

Juga, dengan memutus imbal bunga dari harga-waktu atau dari dari perekonomian riil dan dengan menganggapnya sebagai fenomena moneter belaka, Keynes dapat memberi advokasi, ibarat pasak penyangga bagi program politiknya, berupa sebuah kelas “eutanasia bagi pemilik modal”: maksudnya, perluasan kuantitas uang oleh pemerintah hingga cukup untuk membawa tingkat

bunga ke titik nol, dan dengan demikian akhinya menyapu keluar para kreditor yang dibencinya. Kiranya perlu dicatat di sini bahwa Keynes tidak bermaksud menghapus investasi: sebaliknya, menurutnya tabungan dan investasi adalah dua fenomena yang berbeda. Dengan begitu, ia kemudian dapat mengusulkan penurunan tingkat bunga hingga nol untuk memaksimalkan investasi sambil meminimalkan tabungan–jika tidak menghapuskan sama sekali.

Mengingat klaimnya bahwa tingkat bunga tidak lebih dari sekadar fenomena moneter, Keynes kemudian dapat menghilangkan keberadaan tingkat bunga dari kelangkaan modal. Tentu, ia merasa yakin bahwa modal benar-benar tidak langka sama sekali. Jadi, Keynes menyatakan bahwa masyarakat yang diinginkannya “akan menjadi eutanasia bagi pemodal, dan sebagai konsekuensinya, juga akan menjadi eutanasia bagi kekuatan opresif kaum kapitalis untuk mengeksploitasi kelangkaan modal”. Tetapi modal tidak benar-benar langka: “Saat ini ganjaran bunga tidak lagi sepadan sebagai pengorbanan sejati, tak ubahnya dengan sewa tanah. Pemilik modal dapat memperoleh bunga

karena kelangkaan modal itu sendiri, seperti halnya pemilik tanah dapat memperoleh sewa karena tanah juga bersifat langka. Sementara kelangkaan tanah mungkin memiliki alasan intrinsik, tidak demikian halnya dengan kelangkaan modal”. Oleh karena itu, ” dalam praktiknya, kita perlu mengarahkan…peningkatan volume modal agar berhenti menjadi langka, sehingga dengan demikian para investor atau pemodal yang kehilangan fungsinya tidak lagi akan menerima bonus”. Keynes membuat jelas bahwa ia lebih bersedia menunggu proses anihilisasi para pemodal secara sedikit temi sedikit saja, daripada melalui semacam pergolakan yang tiba-tiba (Keynes 1936: 375-76; lihat pula [1959] 1973: 379-84).[1]

Keynes lalu menyebutkan kelas ekonomi yang ketiga: kelas investor. Kepada kelas tersebut Keynes cenderung agak ramah. Berlawanan dengan konsumen yang pasif seperti robot, para investor tidak ditentukan oleh fungsi matematis eksternal. Sebaliknya, mereka penuh dengan keinginan-bebas dan dinamisme yang aktif. Mereka bukan faktor jahat pelamban mesin ekonomi, sebagaimana halnya para penabung. Mereka justru penyumbang

penting bagi kesejahteraan semua orang. Sayangnya, ada sisi lain yang menyentak. Meskipun mereka dinamis dan penuh dengan kemauan bebas, para investor adalah makhluk yang sering membuat kesalahan akibat suasana hati dan keinginannya yang berubah-ubah. Mereka, singkatnya, produktif tetapi irrasional. Mereka digerakkan oleh kondisi psikologis dan “insting hewani”. Saat sedang bersemangat, mereka melakukan investasi besar-besaran hingga terlalu besar; optimisme mereka yang terlalu tinggi menyebabkan mereka membelanjakan terlalu banyak uang sehingga mengakibatkan inflasi. Tetapi Keynes, khususnya dalam Teori Umum, tidak benar-benar tertarik pada inflasi. Ia hanya tertarik pada pengangguran dan resesi, yang dalam pandangannya sepenuhnya superfisial, dan disebabkan oleh suasana hati pesimistis, kehilangan insting hewani, hingga muncullah tingkat investasi yang rendah.

Sistem kapitalis, oleh sebab itu, berada dalam keadaan makro yang secara inheren tidak stabil. Mungkin perekonomian pasar dapat berfungsi dengan cukup baik terhadap tingkat mikro, suplai dan permintaan. Tetapi di dunia makro, sistem

tersebut mengapung tanpa kemudi; tidak terdapat mekanisme internal untuk menjaga pengeluaran agregat agar tidak terlalu rendah/tinggi, sehingga dia menimbulkan resesi dan pengangguran atau inflasi.

Yang juga cukup menarik, Keynes tiba pada interpretasi siklus bisnis layaknya seorang Marshallian yang baik. Sementara Ricardo dan para pengikut aliran Mata Uang (Currency school) meyakini, bahkan dengan tepat, bahwa siklus bisnis umumnya ditimbulkan melalui ekspansi dan kontraksi kredit perbankan serta suplai uang oleh bank sentral, lawan-lawan mereka yang beraliran Perbankan (Banking school) meyakini bahwa ekspansi uang bank dan kredit hanyalah akibat pasif dari boom dan bust dan bahwa penyebab sejati siklus bisnis adalah fluktuasi yang diakibatkan oleh spekulasi bisnis dan ekspektasi terhadap keuntungan-penjelasan ini sangat dekat dengan teori Pigou kemudian mengenai perubahan-psikologis suasana hati manusia, dan juga dekat dengan fokus Keynes pada insting hewani. John Stuart Mill juga seorang Ricardian kecuali dalam hal yang krusial ini. Mengikuti jejak ayahnya, Mill

mengadopsi teori siklus bisnis aliran Perbankan, yang kemudian diadopsi oleh Marshall (Trescott 1987; Penman 1989: 88-89).

Untuk mengembangkan jalan keluarnya, Keynes memperkenalkan kelas keempat dalam masyarakat. Berbeda dari penggambaran terhadap konsumen yang robotik dan bodoh, kelompok ini digambarkan memiliki kehendak bebas, aktivisme, dan pengetahuan mengenai masalah-masalah perekonomian. Dan tidak seperti para investor yang sial, mereka juga bukan rakyat yang irrasional atau rentan terhadap perubahan suasana hati atau insting hewani. Sebaliknya, mereka amat rasional dan berpengetahuan, dan mampu merencanakan yang terbaik bagi masyarakat di masa sekarang maupun kemudian hari. Kelas ini, kelas dewa di luar mesin (deus ex machina) yang berada di luar pasar, tidak lain adalah para aparatur negara, yang dipimpin oleh elit penguasa alamiah dan dibimbing oleh para filsuf-raja Platonik versi modern ilmiah. Singkatnya, pemimpin-pemimpin pemerintahan, dengan bimbingan lugas dan bijak dari para ekonom dan ilmuwan sosial beraliran Keynesian (yang sudah tentu dikomandani oleh sang manusia

hebat itu sendiri), akan menjadi juru selamat. Dalam politik dan sosiologi Teori Umum, semua benang kehidupan dan pemikiran Keynes memang terjalin rapi.

Maka negara, yang dipimpin oleh mentor-mentor Keynesian, harus menjalankan perekonomian, untuk mengontrol konsumen dengan cara menyesuaikan pajak dan menurunkan tingkat bunga menuju titik nol, dan, khususnya, melibatkan diri dalam “sosialisasi investasi yang cukup komprehensif”. Keynes beranggapan bahwa hal ini tidak akan berarti Sosialisme negara secara total, dan menunjukkan bahwayang penting untuk diambilalih oleh negara bukanlah kepemilikan instrumen-instrumen produksi. Jika negara dapat menentukan jumlah agregat sumber-sumber daya untuk tujuan menambah instrumen-instrumen tersebut dan menetapkan ganjaran dasar bagi mereka yang memilikinya, maka dia telah mencapai semua yang diperlukan (Keynes 1936: 378).

Ya, biarkan negara sepenuhnya mengontrol investasi dan menentukan jumlah dan tingkat hasil bisnis, juga tingkat bunga; lalu Keynes akan

memungkinkan individu-individu swasta mempertahankan kepemilikan formal mereka sedemikian rupa sehingga, dalam keseluruhan matriks kontrol dan kekuasaan negara, mereka masih dapat mempertahankan “lahan yang luas untuk mengambil inisiatif sambil melaksanakan tanggungjawab pribadi”. Sebagaimana dikatakan oleh Hazlitt:

Investasi adalah keputusan kunci dalam pelaksanaan sistem perekenomian apapun. Dan investasi pemerintah adalah sebuah bentuk sosialisme. Hanya kerancuan pikiran saja, atau kecurangan yang disengaja, yang akan membantah hal tersebut. Sosialisme, sebagaimana akan ditunjukkan di kamus-kamus bagi para Keynesian, berarti kepemilikan dan pengendalian alat-alat produksi oleh pemerintah. Dalam sistem yang ditawarkan oleh Keynes, pemerintah akan mengendalikan semua investasi dalam alat produksi dan akan memiliki bagian yang telah diinvestasikannya secara langsung. Oleh karena itu, menganggap obat ajaib Keynes sebagai usaha bebas atau sebagai alternatif individualistik untuk

sosialisme adalah semacam kekacauan pikiran. (Hazlitt [1959] 1973: 388; cf. Brunner 1987: 30, 38)

Di Eropa selama tahun 1920-an dan 1930-an terdapat suatu sistem yang sangat menonjol dan terkemuka, serta persis bercirikan hal-hal yang diinginkan para Keynesian: kepemilikan swasta yang tergantung pada kontrol dan perencanaan komprehensif dari pemerintah. Ini, jelas, fasisme. Di mana posisi Keynes mengenai fasisme yang kentara ini? Berdasarkan berbagai informasi yang tercecer di mana-mana namun kini tersedia, tidaklah mengherankan mengapa Keynes dengan antusias mendukung semangat “kepeloporan” Sir Oswald Mosley, pendiri dan pemimpin gerakan fasisme Inggris, yang meneriakkan “rencana perekonomian nasional” secara komprehensif di akhir tahun 1930. Menjelang tahun 1933, Virginia Woolf menulis kepada sahabat dekatnya mengenai ketakutannya karena Keynes sedang berusaha mengubahnya mejadi pengikut “semacam ajaran fasisme “. Di tahun yang sama, ketika mempropagandakan pentingnya swasembada nasional melalui kontrol pemerintah, Keynes mengatakan: “Mussolini, mungkin, sedang merasakan tumbuhnya gigi

geraham terakhirnya” (Keynes 1930b, 1933: 766; Johnson dan Johnson 1978: 22; mengenai hubungan Keynes dengan Mosley, lihat Skidelsky 1975: 241, 305-6; Mosley 1968: 178, 207, 237-38, 253; Cross 1963: 35-36).

Namun, bukti yang paling meyakinkan seputar kecenderungan fasisme Keynes terdapat dalam kata pembuka yang disiapkannya secara khusus untuk penerbitan Teori Umum edisi bahasa Jerman. Edisi tersebut, yang terbit di akhir tahun 1936, berisi pengantar spesial yang ditujukan untuk pembaca Jerman dan rejim Nazi yang menerbitkannya. Tidak mengherankan jika Harrod yang mengidolakan Keynes, dalam bukunya yang berjudul Life of Keynes, tidak menyinggung tentang pendahuluan ini, meskipun akhirnya bagian tersebut disertakan dua dekade kemudian dalam Kumpulan Tulisan Keynes Volume VII, bersama dengan kata-kata pembuka untuk edisi bahasa Jepang dan Prancis. Di dalam Pendahuluan edisi Jerman tersebut, yang hampir tidak memperoleh masukan bermanfaat berupa komentar panjang dari para penafsir Keynesian, berisi pernyataan-pertanyaan Keynes sebagai berikut: “Meskipun

demikian, teori output secara keseluruhan, sebagaimana akan disampaikan dalam buku ini, akan jauh lebih mudah diadaptasi untuk kondisi negara yang totaliter, daripada teori produksi dan distribusi tentang output tertentu yang diproduksi dalam kondisi kompetisi bebas dan dalam kondisi yang mendekati laissez-faire“. (Keynes 1973 [1936]: xxvi: cf. Martin 1971: 200-5; Hazlitt [1959] 1973: 277; Brunner 1987: 38ff.; Hayek 1967: 346)

Sedangkan untuk paham komunisme, Keynes kurang antusias. Di satu sisi, ia mengagumi para intelektual muda berhaluan Komunis di akhir tahun 1930-an yang mengingatkan dirinya, walaupun terdengar cukup aneh, pada “para gentlemen Inggris yang non-kompromistis dan yang. . . melakukan Reformasi, berperang dalam Pemberontakan Besar, memenangkan kebebasan sipil dan agama, dan memanusiawikan kelas-kelas pekerja di akhir abad lalu”. Di sisi lain, ia mengritik para pemuda Komunis di Cambridge karena sisi lain dari “mata uang” Reformasi/Pemberontakan Besar: yaitu karena mereka semuanya puritan. Sikap anti-puritanisme Keynes tercermin dalam pertanyaannya: Apakah para mahasiswa

Cambridge mengalami disilusi ketika mereka pergi ke Rusia, di mana mereka “merasakan betapa tidak nyamannya di sana? Tentu saja tidak. [Karena memang] itulah yang mereka cari” (Hession 1984: 265).

Keynes dengan tegas menolak komunisme setelah ia sendiri mengunjungi Rusia di tahun 1925. Ia tidak menyukai teror dan pembunuhan massal yang ditimbulkan antara lain oleh transformasi revolusioner yang terlalu cepat dan juga, menurut Keynes, oleh “sifat binatang buas dalam alam Rusia-atau dalam alam Rusia dan Yahudi begitu keduanya, seperti saat ini, bersekutu”. Ia juga sangat meragukan bahwa “komunisme Rusia” akan mampu “mengurangi sedikit saja ketamakan orang-orang Yahudi” (Keynes 1925: 37, 15). (Jelas, Keynes sejak lama anti-Semit.[2]) Di Eton, Maynard pernah menulis esei berjudul “Perbedaan antara Timur dan Barat,” di mana ia sempat mengutuk bangsa Yahudi menjadi bangsa Timur yang, karena “naluri yang sudah mengakar, mereka sangat antagonistik dan oleh karenanya menjijikkan bagi bangsa Eropa,” tidak boleh diasimilasikan lagi dengan peradaban Eropa, sebagaimana kucing tidak dapat dipaksakan

untuk menyayangi anjing (Skidelsky, 1986: 92). Kelak, sebagai pejabat Inggris dalam konperensi perdamaian di Paris, Keynes menuliskan kekagumannya yang besar terhadap serangan brutal anti-Semit yang dilakukan Lloyd George terhadap Menteri Keuangan Prancis, Louis-Lucien Klotz, yang telah mencoba untuk to memeras orang-orang Jerman yang berhasil dikalahkan untuk dipertukarkan dengan emas dalam jumlah lebih banyak, untuk meringankan blokade makanan terhadap pasukan sekutu. Pertama, Keynes menggambarkan Klotz sebagai berikut: “[Ia] seorang Yahudi pendek, gemuk, berkumis lebat, berpakaian baik dan rapi, tetapi dengan mata yang jelalatan serta tidak mantap, dan bahunya sedikit bungkuk akibat kecenderungan naluriahnya untuk menghina orang lain”. Keynes kemudian mendeskripsikan saat-saat dramatisnya:

Lloyd George dari dulu telah membenci dan memandang rendah kepadanya. Kini ia merasa dapat membunuhnya dalam sekejap. Para wanita dan anak-anak kelaparan, teriaknya, dan ini M. Klotz, yang justru mengoceh terus tentang emasnya. Ia memiringkan badannya ke depan dan dengan

gerakan tangannya memperagakan kepada semua orang tentang citra seorang Yahudi menjijikkan yang sedang memeluk sekantong uang. Matanya bersinar dan kata-katanya keluar dengan kebencian yang sangat kasar, sehingga ia terlihat seperti ingin meludahinya. Anti-Semitisme, yang tidak jauh di bawah permukaan dalam kerumunan seperti itu, semakin terasa meningkat di hati semua orang. Semua orang memandang Klotz dengan sekilas rasa muak dan benci; lelaki malang itu pun bergerak condong di atas tempat duduknya, dan terlihat ketakutan. Kami hampir tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh Lloyd George, tetapi kata-kata “emas” dan “Klotz” sempat diulang beberapa kali, setiap kali dengan hinaan yang dibesar-besarkan.

Di titik itu, tibalah Lloyd George pada puncak pertunjukannya: sambil membali badannya ke arah perdana menteri Prancis, Clemenceau, ia memperingatkan bahwa jika bangsa Prancis tidak menghentikan taktik mereka yang menghalangi pemberian makanan kepada orang-orang Jerman yang kalah, maka tiga nama akan tercatat dalam sejarah sebagai para arsitek Bolshevisme di Eropa: Lenin dan Trotsky dan. . . Keynes menulis: “Sang

Perdana menteri terdiam. Di seluruh ruangan dapat Anda lihat semua orang menyeringai sambil membisikkan kepada orang di sebelahnya: ‘Klotsky.’” (Keynes 1949: 229; Skidelsky 1986: 360, 362) Maksudnya adalah bahwa Keynes, yang sebelum peristiwa itu tidak pernah secara khusus menyukai Lloyd George, berhasil dijinakkan melalui kehebatan George dalam mempertunjukkan sikap anti-Semitiknya yang garang. “Ia bisa saja mengagumkan bagi orang yang setuju dengannya”. kata Keynes. “Saya belum pernah mengagumi kekuasaanya yang luar biasa [sebesar yang saya rasakan sekarang]” (1949: 225).[3]

Tetapi alasan utama mengapa Keynes menolak komunisme semata-mata hanyalah karena ia tidak dapat menyamakan dirinya dengan kaum proletar yang kumal. Seperti yang ia tuliskan sepulangnya dari perjalanan ke Uni Sovyet: “Bagaimana mungkin saya dapat mengadopsi kredo mereka yang lebih memilih lumpur daripada ikan, yang mengagung-agungkan kaum proletar kampungan di atas para borjuis dan para intelek yang merupakan . . . kualitas kehidupan dan tentunya membawa benih-benih kemajuan

kemanusiaan?” (Hession 1984: 224). Ketika menolak sosialisme proletarian di Partai Buruh Inggris, Keynes membuat pernyataan kuat serupa: “Ini perang kelas, tetapi bukan kelas saya. . . . Perang kelas akan menempatkan saya di sisi para borjuis terpelajar” (Brunner 1987: 28). John Maynard Keynes adalah anggota seumur-hidup kelompok aristokrat Inggris, dan ia tidak ingin melupakan hal tersebut.

RANGKUMAN

Apakah Keynes, seperti diyakini oleh Hayek, seorang “ilmuwan yang cemerlang”? “Ilmuwan” tidak cocok untuknya, sebab Keynes hampir tidak pernah membaca literatur ekonomi: ia lebih seorang advonturir, yang mencomot sedikit pengetahuan di sana-sini dan menggunakannya untuk memaksakan kepribadian dan gagasan-gagasannya yang keliru kepada dunia, dengan daya dorong yang terus-menerus disulut oleh keangkuhannya yang berbatasan dengan egomania. Tetapi Keynes beruntung telah dilahirkan dalam lingkaran elit Inggris, dididik di lingkungan ekonomi kelas (Eton/Cambridge/Kelompok Rasul), dan khususnya

dipilih secara khusus oleh Alfred Marshall yang sangat berkuasa saat itu. “Cemerlang” juga bukan kata yang tepat untuknya. Keynes tentu cukup cerdas, tetapi kualitasnya yang paling signifikan adalah angkuh, terlalu percaya diri tanpa batas, dan haus akan kekuasaan, dominasi, dan penciptaan kesan hebat melalui jalur kesenian, ilmu-ilmu sosial, dan dunia politik. Keynes, lebih jauh, juga bukan seorang “revolusioner” dalam pengertian riil apapun. Ia memiliki kepintaran taktis untuk mendandani kekeliruan-kekeliruan usang–yang penah dianut oleh kelompok statis dan kelompok inflasionis–dengan jargon modern dan pseudo-ilmiah, sehingga membuat gagasan-gagasan tersebut tampak seperti temuan-temuan baru dalam disiplin ekonomi. Dengan cara itu Keynes dapat mengendarai gelombang air pasang statisme dan sosialisme, juga gelombang ekonomi-terkelola atau ekonomi-perencanaan. Keynes berhasil menyingkirkan peran tua teori ekonomi sebagai “perusak skema kelompok statist dan kelompok inflasionis, dan membimbing generasi baru ekonom kepada kekuasaan akademis dan kekayaan serta hak-hak khusus politis.

Barangkali sebutan yang lebih cocok untuk Keynes adalah “karismatik”-bukan dalam arti memiliki kemampuan untuk memenangkan simpati jutaan orang, melainkan dalam arti memiliki kemampuan untuk membujuk dan merayu orang-orang penting-dari patron hingga politisi serta mahasiswa, bahkan ekonom yang berseberangan dengannya. Sebagai orang yang selalu berpikir dan bertindak dalam kerangka kekuasaan dan dominasi brutal; yang mencaci-maki konsep tentang prinsip-prinsip moral; yang merupakan musuh abadi dan tersumpah kaum borjuis, kreditor, dan kelas menengah yang gemar berhemat; yang merupakan seorang penipu sistematik, yang siap memuntir kebenaran agar sesuai dengan rencananya sendiri; dan yang juga seorang fasis dan Anti-Semit, Keynes tetap berhasil membujuk baik para lawan maupun pesaingnya. Bahkan setelah ia dengan penuh kelicikan memanfaatkan para mahasiswanya untuk menentang rekan-rekan pengajar sejawatnya, ia masih dapat memperdayai rekan-rekannya tersebut agar “menyerah” secara intelektual. Meskipun telah melecehkan dan membantai Pigou secara tidak adil, Keynes tetap dapat membuat kolega seniornya tersebut, setelah kematian Keynes, merasa hina

terhadap dirinya sendiri. Serupa pula, ia berhasil menginspirasi musuh lamanya, Robbins, sehingga ia menuliskan dalam catatan hariannya tentang lingkaran cahaya emas di atas kepala Keynes yang baginya “seperti dewa”. Ia mampu mengkonversi ke dalam Keynesianism beberapa pengikut Hayek dan Mises yang seharusnya mengetahui-dan tak diragukan lagi, mengetahui-secara lebih baik: selain Abba Lerner, John Hicks, Kenneth Boulding, Nicholas Kaldor, dan G.L.S. Shackle di Inggris, juga termasuk Fritz Machlup dan Gottfried Haberler dari Vienna, yang kemudian mengajar di Johns Hopkins dan kemudian di Harvard.

Dari semua Misesian yang ada di awal tahun 1930-an, satu-satunya ekonom yang benar-benar tidak terinfeksi oleh doktrin dan personalitas Keynesian adalah Ludwig von Mises sendiri. Tetapi Mises, di Jenewa dan selama beberapa tahun di New York tanpa posisi mengajar, terbuang dari suasana akademis yang berpengaruh. Sedangkan Hayek, meskipun tetap anti-Keynesian, juga terpengaruh oleh karisma Keynesian. Terlepas dari segalanya, Hayek merasa bangga menyebut Keynes sebagai sahabatnya dan menciptakan legenda

bahwa Keynes, di akhir hidupnya, akhirnya siap berpaling dari haluan Keynesiannya sendiri.

Bukti yang dimiliki Hayek terkait dugaan konversi Keynes di menit-menit terakhir kehidupannya sangat lemah-yaitu hanya didasari atas dua peristiwa selama tahun-tahun terakhir kehidupan Keynes. Mula-mula, dalam bulan Juni 1944, ketika membaca buku Hayek The Road to Serfdom, Keynes, yang saat itu berada di puncak kariernya sebagai perencana pemerintah di masa perang, mengirimkan memo kepada Hayek, yang mengatakan bahwa buku Hayek tersebut “buku yang hebat. . . secara moral dan filosofis saya, dapat dikatakan, setuju sepenuhnya”. Tetapi mengapa hal ini harus ditafsirkan lain daripada sekadar pesan santun untuk seorang sahabat yang baru berhasil untuk pertamakalinya menerbitkan buku yang populer? Selain itu, Keynes membuat persoalan menjadi jelas bahwa, terlepas dari kata-katanya yang bernada bersahabat, ia tidak pernah menerima tesis “lereng licin” yang esensial tentang Hayek, yakni bahwa statisme dan perencanaan pusat akan menuju langsung ke totalitarianisme. Sebaliknya, Keynes menuliskan bahwa “perencanaan moderat

akan aman jika yang melaksanakannya berorientasi kepada isu moral secara benar dalam benak dan hati mereka”. Kalimat ini, tentu saja, berbunyi kebenaran, sebab Keynes selalu percaya bahwa instalasi orang-orang yang cakap, yakni dirinya sendiri dan para teknisi dan negarawan dari golongan kelas sosialnya, adalah satu-satunya penjaga yang dibutuhkan untuk mengawasi kekuasaan para penguasa (Wilson 1982: 64ff.).

Hayek menawarkan sepotong bukti canggung lainnya atas dugaan penyesalan diri Keynes, yang terjadi ketika mereka bertemu untuk terakhirnya dengan Keynes di tahun 1946, tahun terakhir kehidupan Keynes. Hayek melaporkan:

Pergantian giliran dalam percakapan tersebut membuat saya bertanya kepadanya, apakah ia prihatin terhadap apa yang dibuat oleh beberapa pengikutnya terhadap teori-teorinya. Setelah memberi komentarnya yang tidak terlalu memuji orang-orang tersebut, ia kemudian meyakinkan saya bahwa: ide-ide tersebut sangat diperlukan pada saat ia meluncurkannya. Tetapi saya tidak perlu kuatir, sebab jika ide-ide tersebut harus

berubah menjadi berbahaya, saya akan dapat mengandalkannya untuk mengayun opini masyarakat sekali lagi-dan melalui gerakan tangannya ia menunjukkan seberapa cepat hal tersebut akan dilakukannya. Tetapi, tiga bulan kemudian, ia meninggal. (Hayek 1967b: 348)[4]

Namun demikian, ini bukanlah cerita tentang seorang Keynes di ujung rasa penyesalannya. Ini justru cerita keberhasilan Keynes, seorang yang selalu meletakkan kedaulatan ego lebih tinggi daripada prinsip atau ide apapun; seorang yang sangat menikmati kekuasaan yang ada digenggamannya. Ia dapat dan akan membalik dunia ini hanya dengan menjentikkan jari-jarinya, seperti yang diduganya telah ia lakukan di masa lalu. Selain itu, pernyataan Hayek di atas juga berisi kebehasilan Keynes dalam hal pandangannya yang dipercayanya sendiri tentang bagaimana bagaimana bertindak dengan benar saat berkuasa dan saat tidak lagi berkuasa. Di tahun 1930-an, ketika ia menjadi orang penting tetapi berada di luar kekuasaan, ia dapat berbicara dan bertindak dengan “sedikit liar”; tetapi begitu ia telah menikmati kursi tinggi kekuasaan, baginya itulah waktu untuk

mengurangi “lisensi puitis”. Joan Robinson dan para Marxo-Keynesian lainnya saat itu membuat kesalahan, dalam pandangan Keynes, karena tidak meletakkan gagasan-gagasan yang mereka yakini, sesuai dengan kepentingan kekuasaan Keynes yang luar biasa besar.

Dan Hayek pun, meskipun memang tidak pernah menerima gagasan-gagasan Keynes, akhirnya jatuh juga ke dalam mantra karismatiknya. Hayek memang mengarang legenda tentang Keynes yang konon berubah pikiran; tetapi mengapa dari awal ia tidak meruntuhkan Teori Umum sebagaimana yang dilakukannya terhadap buku Keynes yang lain, Risalah tentang Uang? Hayek mengakui bahwa hal tersebut satu kesalahan strategisnya, dan bahwa ia memutuskan tidak melakukannya karena Keynes sudah tersohor sering mengubah pikirannya sendiri, sehingga ia tidak menduga Teori Umum akan mampu bertahan. Selain itu, seperti tertuang dalam Bab I di buku ini***, Hayek sepertinya menyimpan serangannya di tahun 1940-an agar ia tidak terlibat dalam agenda Keynesian Inggris untuk membiayai perang-tentunya hal ini adalah contoh sial tentang

kebenaran yang menderita di tangan sesuatu yang, atas dasar praduga, dianggap sebagai hal yang pantas dilakukan secara politis.

Sementara itu, ekonom-ekonom lain terus menciptakan jalan revisionis–dengan keyakinan absurd bahwa Keynes hanyalah seorang perintis yang tidak berbahaya dalam bidang teori ketidakpastian (Shackle dan Lachmann), atau bahwa Keynes adalah seorang “nabi” yang menggagas pemikiran mengenai pentingnya biaya pencarian (search costs) dalam pasar tenaga kerja (Clower dan Leijonhufvud). Tak seorang pun benar. Bahwa Keynes adalah seorang Keynesian-dengan aliran sistem Keynesian yang sering dicemooh seperti oleh Hicks, Hansen, Samuelson, dan Modigliani-merupakan satu-satunya penjelasan yang masuk akal tentang ekonomi Keynesian. Tetapi Keynes lebih dari sekadar pengikut Keynesian. Di atas segalanya, ia sosok seorang yang luar biasa jahat dan berbahaya sebagaimana telah kita selidiki dalam bab ini: seorang pengagung intervensi negara, seorang Machiavelli yang memikat tapi haus kekuasaan; dan seorang yang

telah mewujudkan sejumlah trend dan institusi paling berbahaya di abad dua puluh. [ ]

[1] Lihat juga artikel Andrew Rutten yang menjelaskan hal ini dengan baik. (1989). Terima kasih kepada Dr. Rutten yang telah mengarahkan perhatian saya ke sana. [2] Sebelumnya, Keynes menyerukan “transformasi masyarakat,” yang “mungkin memerlukan penurunan tingkat bunga menuju titik lenyap dalam kurun tiga puluh tahun kemudian” (Keynes 1933: 762). [3] Keynes dapat menekan sikap anti-Semitik-nya, khususnya jika melibatkan bankir kaya yang mampu memberikan berbagai bentuk kemurahan hati/hadiah. Jadi kita telah melihat bahwa Edwin Samuel Montagu merupakan patron politik sejak awal dan yang terpenting bagi Keynes; dan Keynes juga kemudian menyayangi wakil Jerman dalam konferensi perdamaian di Paris, Dr. Carl Melchoir: “Untuk suatu hal, saya jatuh cinta kepadanya” (Keynes 1949: 222). Kenyataan bahwa Melchior adalah mitra dalam firma perbankan internasional terkemuka, M.M. Warburg and Company, mungkin berhubungan dengan sikap Keynes yang melunak. [4] Harry Johnson mencatat kesan serupa pada presentasi Keynes mengenai makalahnya yang dipublikasikan setelah kematiannya, tentang neraca pembayaran, di mana Johnson menyimpulkan bahwa pernyataan Keynes “Betapa banyak hal-hal modern yang justru berakhir sebagai sesuatu yang salah, basi dan dungu, yang beredar dalam sistem kita,” mengacu kepada Joan Robinson, yang berhaluan Keynesian-kiri, atau Marxo-Keynesian (Johnson 1978: 159n). *** Artikel ini diangkat dari buku berjudul Dissent on Keynes. Info lengkap lihat halaman Hak Cipta. [Penerj.]

.