Sle

13
SLE 1. Etiologi dan Patogenesis SLE Etiologi penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seperti; faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang ditandai dengan persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan sehingga terjadi aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. 1,2 Sebagian besar patologi di lupus berhubungan dengan deposit kompleks imun. Kompleks imun terdeposit di berbagai organ, yang memicu komplemen dan mediator peradangan lainnya. Autoantibodi pada SLE diarahkan terhadap berbagai macam antigen diri. Autoantibodi yang ditujukan terhadap ANA adalah yang paling karakteristik dari SLE. 3 a. Faktor genetik Pada suatu studi didapatkan bahwa prevalensi SLE tinggi pada anak dengan orang tua atau saudara kandung yang memiliki penyakit SLE. Kembar monozigot juga mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan kembar dizigot. Penyakit lupus disertai oleh penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (C1q, C1r, C1a, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (DR2 dan DR3). 2 b. Limfosit B Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan antigen eksogen,

description

SLE

Transcript of Sle

SLE1. Etiologi dan Patogenesis SLEEtiologi penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seperti; faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang ditandai dengan persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan sehingga terjadi aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.1,2Sebagian besar patologi di lupus berhubungan dengan deposit kompleks imun. Kompleks imun terdeposit di berbagai organ, yang memicu komplemen dan mediator peradangan lainnya. Autoantibodi pada SLE diarahkan terhadap berbagai macam antigen diri. Autoantibodi yang ditujukan terhadap ANA adalah yang paling karakteristik dari SLE.3a. Faktor genetikPada suatu studi didapatkan bahwa prevalensi SLE tinggi pada anak dengan orang tua atau saudara kandung yang memiliki penyakit SLE. Kembar monozigot juga mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan kembar dizigot. Penyakit lupus disertai oleh penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (C1q, C1r, C1a, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (DR2 dan DR3).2b. Limfosit BJumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti ds-DNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivitas sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus dan bakteri.2Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, sel natural killer dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip yang mampu merangsang pembentukan antibodi antiidiotip. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen antibodi dalam bentuk kompleks imun disebabkan karena pembersihan yang kurang optimal oleh sistem retikuloendotelial. Kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.2c. AutoantibodiSelama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Autoantibodi yang sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear. Umumnya titer anti DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.2Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis langsung yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor fc imunoglobulin. Antibodi antinuklear diekenal sebagai pembentuk kompleks imun yang berperan sebagai penyebab vaskulitis.2d. Kompleks imunAdanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada:2 Adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemenBeberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti ds-DNA). Komplemen C1q dapat terikat langsung pada ds-DNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Faktor yang terlibat dalam deposit kompleks imun adalah antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. e. Limfosit TPasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2 akibatnya sitokin cenderung membantu aktivasii sel Bmelalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.2

f. ApoptosisAutoantibodi pada penderita lupus ditujukan pada antigen yang berada pada permukaan sel apoptosis, oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peran penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis limfosis. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan. Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi gen Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dari limfositopenia.2g. Faktor lingkunganSinar matahari dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit dan radiasi UVB mempunyai efek apoptosis. Beberapa obat berhubungan dengan induksi SLE, kelompok obat ini mungkin mempunyai struktur antigen tertentu dapat bersifat sebagai mediator yang berinterferensi dengan mekanisme homeostasis populasi limfosit. Penghentian obat tersebut berkaitan dengan menghilangnya manifestasi klinis SLE. Beberapa obat tersebut antara lain; alfa metildopa, klorpromazin, hidralazin, isoniazid, fenitoin, dan prokainamid.22. Komplikasi SLEa. Lupus nefritisNefritis lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Lupus nefritis biasanya asimtomatik, meskipun pada beberapa anak-anak terdapat hematuria makroskopik atau edema yang berkaitan dengan sindrom nefrotik. Gejala awal dari lupus nefritis dapat berupa hematuria mikroskopik, proteinuria, penurunan filtrasi glomerular dan hipertensi. Penyakit ginjal yang nyata muncul 2 tahun setelah onset.2Tabel1. Klasifikasi Lupus Nefritis Menurut WHO2Kelas INormalTidak terdapat kelainan

Kelas IIAKelainan minimalMC: normalMIF: deposit mesangial Ig dan komplemenEM: deposit mesangial

Kelas IIBGlomerulitis mesangialIIA+ hiperseluler mesangial (>3 sel per area mesangial atau peningkatan matriks mesangial)Kelainan tubulus atau interstisial minimal

Kelas IIIProliferasi fokal dan segmentalDaerah fokal proliferasi selular intrakapiler dan ekstrakapiler, nekrosis, infiltrasi leukosit