SKRIPSI - STIKES BHMrepository.stikes-bhm.ac.id/315/1/NYIMAS SUKMA PAMUNGKAS... · 2019. 1. 27. ·...
Transcript of SKRIPSI - STIKES BHMrepository.stikes-bhm.ac.id/315/1/NYIMAS SUKMA PAMUNGKAS... · 2019. 1. 27. ·...
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK LINGKUNGAN RUMAH DAN
RIWAYAT PENYAKIT DENGAN KEJADIAN TBC DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS BALEREJO
Oleh :
NYIMAS SUKMA PAMUNGKAS
NIM : 201403079
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK LINGKUNGAN RUMAH DAN
RIWAYAT PENYAKIT DENGAN KEJADIAN TBC DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS BALEREJO
Diajukan untuk memenuhi
Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh :
NYIMAS SUKMA PAMUNGKAS
NIM : 201403079
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
i
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Puji Syukur Alhamdulillah atas nikmat dan shalawat pada Nabi
Muhammad SAW. Teriring do’a dan dzikir penuh Khauf dan Roja’ kepada Allah
SWT, sebagai penuntut ilmu atas seruan-Nya dan atas segala Ridho-Nya yang
telah memberiku kekuatan dan senantiasa mengiringi dalam setiap langkahku.
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua Orang Tua saya, Bapak dan Ibu yang selalu membimbing dan
memberikan do’a serta semangat buat saya dengan tak pernah lelah
mendidik saya untuk mencari ilmu, belajar, ibadah dan berdo’a.
2. Dosen pembimbing skripsi Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes
dan Riska Ratnawati. S.KM.,M.Kes yang telah senantiasa memberikan
bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Kakak saya Agitha Yusuf Rahardian, Ristya Mega Pratiwi dan Irsyad
Islami yang selalu memberikan doa serta dukungan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Seluruh Keluarga Besar “Roespandi dan Sungkono” yang selalu
memberikan doa, motivasi dan support kepada saya.
5. Almamater saya, STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
6. Seluruh anggota Himpha yang selalu mendukung dan memotivasi saya.
7. Semua mahasiswa STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun Program Studi
Kesehatan Masyarakat Angkatan 2014 senasib, seperjuangan, terimakasih
atas solidaritas yang luar biasa, bersama-sama bahu membahu saling
membantu demi terselesaikan skripsi ini.
8. Untuk semua teman dekat saya yaitu Lisa, Ambar, Devi, Daniar, Rela,
Anisa, Yuda, Arika, Rany, Fara, Wahyu, Ninis dan seluruh teman-teman
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nyimas Sukma Pamungkas
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal Lahir : Madiun, 16 September 1995
Agama : Islam
Alamat : Jl. SasonoMulyo Blok G. 44 RT 30 RW 9 Kota
Madiun
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. TK Islamiyah Kota Madiun 2001-2002
2. SD Negeri 04 Madiun Lor Kota Madiun 2002-2008
3. SMP Negeri 8 Kota Madiun 2008-2011
4. SMA Negeri 4 Kota Madiun 2011-2014
5. STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun 2014-2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
berjudul “Hubungan Antara Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dan Riwayat
Kontak Dengan Kejadian TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Balerejo”. Penelitian
ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Sarjana di
Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu proses penulisan ini :
1. Bapak Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes (Epid), selaku Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun.
2. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes, selaku Ketua Prodi S1 Kesehatan
Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun dan selaku pembimbing I
yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Riska Ratnawati, S.KM.,M.Kes,, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Beny Suyanto, S.Pd.,M.Si selaku Ketua Dewan Penguji dalam skripsi
ini.
5. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, peneliti ucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan penelitian skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, berbagai saran, tanggapan, dan kritik
vii
yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan hasil
penelitiaan ini.
Penulis juga berharap semoga penelitian skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan bagi penulis serta orang-orang yang peduli dengan
dunia kesehatan masyarakat pada khususnya.
Madiun, 29 Agustus 2018
Penyusun
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN 2018
ABSTRAK
Nyimas Sukma Pamungkas
HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DAN RIWAYAT
KONTAK DENGAN PENYAKIT TBC DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BALEREJO
89 halaman + 20 tabel + 4 gambar + 8 lampiran
Latar belakang: Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), Kasus tersebut
terbanyak terdapat pada tiga provinsi yaitu sebesar 44% dari jumlah seluruh
kasus baru di Indonesia. Kasus di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2017
ditemukan kasus baru penderita tuberkulosis paru sebanyak 23.183 penderita.
Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun untuk wilayah kerja Puskesmas
Balerejo diperoleh jumlah kasus TBC pada tahun tahun 2017 jumlah kasus
dengan total 34.
Tujuan penelitian: Mengidentifikasi hubungan kondisi fisik lingkungan rumah
dan riwayat kontak dengan kejadian TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo,
Kabupaten Madiun.
Metode penelitian: Desain penelitian ini menggunakan pendekatan case control.
dalam menentukan sampel dengan menggunakan teknik total sampling. Jumlah
sampel penelitian sejumlah 68 responden.
Hasil penelitian: Menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara suhu p value =
0,005 pada kelompok kasus 4,12 kali lebih besar beresiko dibandingkan dengan
kelompok kontrol, kelembaban p value = 0,015 pada kelompok kasus 3,88 kali
lebih besar beresiko dibandingkan dengan kelompok kontrol, pencahayaan (p
value = 0,027 pada kelompok kasus 3,52 kali lebih besar beresiko dibandingkan
dengan kelompok kontrol, riwayat kontak p value = 0,001 pada kelompok kasus
5,96 kali lebih besar beresiko dibandingkan dengan kelompok kontrol, hygiene
sanitasi p value = 0,015 pada kelompok kasus 3,88 kali lebih besar beresiko
dibandingkan dengan kelompok kontrol, dengan variable yang tidak berhubungan
yaitu Kepadatan Hunian p value = 0,790.
Kesimpulan: Penyakit TBC dapat menular dengan sangat mudah terutama pada
kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat dan hygiene sanitasi dari kasus
maupun kontrol sehingga masyarakat yang mempunyari resiko tertular TBC
sebainknya meningkatkan kesadaran diri terutama pada yang berhubugan dengan
kondisi fisik dan riwayat kontak penderita TBC.
Kata Kunci : Kondisi Fisik Rumah, Penyakit TBC, Riwayat Kontak
Kepustakaan : 47 ( 2008-2017)
ix
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
HIGH SCHOOL OF HEALTH SCIENCE BHAKTI HUSADA MULIA
MADIUN 2018
ABSTRACT
Nyimas Sukma Pamungkas
The Relationship Between Physical Conditions Of House And Contact History
Of Tuberculosis Diseases In Work Area Of Balerejo Health Center
89 page + 20 table + 4 image + 8 attachment
Background: Tuberculosis is a direct infectious disease caused by Tuberculosis
bacteria (Mycobacterium tuberculosis), Most cases of tuberculosis are found in
three provinces, namely 44% of the total number of new cases in Indonesia. The
case in East Java Province in 2017 found a new case of 23,183 patients with
pulmonary tuberculosis. The data of the Madiun District Health Office for the
work area of Balerejo Health Center, showed the number of TB cases in then in
2017 the number of cases increased by a total 34 cases.
Research objective: To identify the relationship between physical condition of
house environment and contact history with Tuberculosis in work area of Balerejo
Health Center, Madiun Regency.
Research Methodology: The research design was using case control approach. In
determined the sample by using total sampling technique. The number of research
samples were 68 respondents
The Result of Research: Showed that there was a relationship between
temperature p value = 0.005 in the case group 4.12 times greater risk compared
to the control group, humidity p value = 0.015 in the case group 3.88 times
greater risk compared to the control group, lighting (p value = 0.027 in the case
group 3.52 times greater risk than the control group, contact history p value =
0.001 in the case group 5.96 times greater risk compared to the control group,
sanitation hygiene p value = 0.015 in the case group 3.88 times greater risk
compared to the control group, with unrelated variables was Residental Density p
value = 0.790.
Conclusion: Tuberculosis disease could be transmitted very easily, especially on
the unqualified physical condition ofhouse and hygiene sanitationfrom the case
and control so that people who have risk of contracting tuberculosis should
increase self awareness, especially on those who related to physical condition and
contact history of tuberculosis patients.
Key Words : Physical Condition House, Tuberculosis Disease, Contact
History
Literature : 47 ( 2008-2017)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 6
1.3 Tujuan .................................................................................................. 6
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 6
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 6
1.4 Manfaat ............................................................................................... 7
1.4.1 Manfaat Bagi Puskemas Balerejo.. ............................................. 7
1.4.2 Manfaat Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia.. ........................... 7
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti.. ................................................................ 7
1.5 Keaslian Penelitian .............................................................................. 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis ......................................................................................... 12
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 12
2.1.2 Bakteri Tuberkulosis Paru (TB Paru) ....................................... 12
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis........................................................... 13
2.1.4 Diagnosis .................................................................................. 16
2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TBC ......................... 19
2.2.1 Karakteristik Individu ............................................................... 16
2.2.2 Kondisi Fisik Rumah ................................................................ 21
2.2.3 Hygiene Sanitasi ....................................................................... 28
2.3 Kerangka Teori..................................................................................... 32
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 33
3.2 Hipotesis ............................................................................................... 34
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ................................................................................. 35
4.2 Populasi dan Sampel ........................................................................... 35
4.3 Teknik Sampling .................................................................................. 37
4.4 Kerangka Kerja Penelitian .................................................................. 38
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ....................... 40
4.6 Instrumen Penelitian ............................................................................ 43
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 45
xi
4.8 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 46
4.9 Teknik Analisis Data ............................................................................ 49
4.10 Etika Penelitian .................................................................................. 52
BAB 5 HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 54
5.2 Hasil Penelitian Karakteristik Responden ............................................ 57
5.3 Hasil Penelitian Variabel Responden ................................................... 59
5.4 Hasil Analisis Bivariat ......................................................................... 62
5.5 Pembahasan .......................................................................................... 67
5.6 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 82
5.7 Rekomendasi Penelitian ....................................................................... 83
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 84
6.2 Saran ..................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian .......................................................................... 7
Tabel 1.2 Perbedaan dengan Penelitian sebelumnya. ...................................... 11
Tabel 4.1 Definisi Operasional ....................................................................... 35
Tabel 4.2 Data Validitas Instrumen Penelitian ................................................ 44
Tabel 4.3 Data Reliabilitas Instrumen Penelitian ............................................. 45
Tabel 4.4 Waktu Kegiatan................................................................................ 46
Tabel 4.5 Koding Variabel Kondisi Fisik Rumah dan Riwayat Kontak .......... 50
Tabel 5.1 Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018 ..................... 57
Tabel 5.2 Distribusi Responden berdasarkan umur di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018 ..................... 58
Tabel 5.3 Distribusi Responden berdasarkan pekerjaan di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018 ..................... 58
Tabel 5.4 Distribusi Responden berdasarkan pendidikan di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018 ..................... 59
Tabel 5.5 Suhu rumah responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun Tahun 2018 ...................................................... 60
Tabel 5.6 Kelembaban rumah responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018 ........................................ 60
Tabel 5.7 Pencahayaan rumah responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018 ........................................ 61
Tabel 5.8 Kepadatan hunian responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun Tahun 2018. ..................................................... 61
Tabel 5.9 Riwayat Kontak responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun Tahun 2018. ..................................................... 62
Tabel 5.10 Hygiene Sanitasi responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun Tahun 2018. ..................................................... 62
Tabel 5.11 Hubungan antara suhu terhadap kejadian penyakit TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun
2018. ................................................................................................ 63
xiii
Tabel 5.12 Hubungan kelembaban terhadap kejadian penyakit TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun
2018. ................................................................................................ 63
Tabel 5.13 Hubungan antara pencahayaan rumah terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018. ..................................................................................... 64
Tabel 5.14 Hubungan antara kepadatan hunian terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018. ..................................................................................... 65
Tabel 5.15 Hubungan antara riwayat kontak terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018. ..................................................................................... 65
Tabel 5.16 Hubungan antara hygiene sanitasi terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018. ..................................................................................... 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian ............................................................ 27
Gambar 3 1 Kerangka Konsep ......................................................................... 28
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian ........................................................... 33
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Balerejo ..................................... 55
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Pernyataan Persetujuan
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Lembar Observasi
Lampiran 4 Lembar Konsultasi
Lampiran 5 Output Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 8 Output Penelitian
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi hampir sepertiga
penduduk dunia dan pada sebagian besar negara di dunia tidak dapat
mengendalikan penyakit TBC ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak
berhasil disembuhkan. Bakteri tuberkulosis tumbuh secara perlahan di tubuh
yang banyak mengandung pembuluh darah dan oksigen. Oleh karena itu TB
sering menyerang paru-paru. Penyakit TB juga bisa menyerang bagian badan
diluar paru-paru diantaranya pada kelenjar getah bening, tulang dan sendi,
dan selaput otak. (Krishna, 2013).
Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara, yaitu melalui
percikan dahak yang mengandung kuman-kuman Mycobacterium
tuberculosis. Kuman Mycobacterium tuberculosis biasanya berupa lemak
atau lipid sehingga tahan terhadap asam
Penyakit TB Paru atau yang lebih dikenal dengan TBC masih menjadi
salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan dunia dimana
TB paru di Indonesia menjadi penyebab kematian utama ketiga setelah
penyakit jantung dan saluran pernafasan. Pada waktu batuk atau bersin,
pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei) dimana sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan dahak dan
umumnya penularan terjadi dalam ruangan yang biasanya percikan dahak
berada dan bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan gelap dan lembab.
Ventilasi dapat meng-urangi jumlah percikan sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman.
Menurut WHO (2016) menyatakan bahwa penyakit tuberkulosis paru saat
ini telah menjadi ancaman global, karena hampir sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi. Sebanyak 6,3 juta kasus tuberkulosis paru didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang. Negara dengan kasus pertama di dunia
adalah India dengan presentasi kasus 23%, Indonesia menempati urutan ke
dua dengan presentasi kasus 10% dan Cina menempati urutan ke tiga dengan
presentase 10%, Indonesia dari seluruh penderita tuberkulosis berjumlah
351.893.
Menurut Departemen Kesehatan (2016) jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu
Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberculosis di tiga provinsi
tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Kasus di
Propinsi Jawa Timur berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur (2017) ditemukan kasus baru penderita tuberkulosis paru sebanyak
23.183 penderita.
Kejadian tuberculosis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah,
lingkungan rumah yang kurang sehat misalnya kurang adanya fasilitas
ventilasi yang baik, pencahayaan yang buruk di dalam ruangan, kepadatan
hunian dalam rumah dan bahan bangunan didalam rumah. Selain lingkungan
3
rumah yang mempergaruhi kejadian tuberculosis keadaan lingkungann fisik,
lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang kurang baik juga akan dapat
merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit tuberkulosis dan
pada akhirnya mempengaruhi tingginya kejadian tuberkulosis (Muaz, 2014).
Berdasarkan data penderita TBC yang diperoleh dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Madiun, Jumlah total keseluruhan kasus TBC pada tahun 2016
dengan jumlah 936 dan pada tahun 2017 dengan jumlah 1071 total kasus
TBC. Penyebab tingginya jumlah penderita TBC dikarenakan kurangnya
pengetahuan penderita TBC dalam penyebaran penyakit yang disebabkan
karena kondisi fisik rumah dan lingkungan rumah penderita TBC (Dinas
Kesehatan Kabupaten Madiun Target Semua Kasus TB, 2017).
Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun untuk wilayah kerja
Puskesmas Balerejo diperoleh jumlah kasus TBC pada tahun 2016 dengan
jumlah 32 jumlah kasus, kemudian pada tahun 2017 jumlah kasus meningkat
dengan total 34 total kasus, dengan 11 penderita perempuan dan 23 penderita
laki-laki.
Penelitian Lusi Ika pada tahun 2016 di Puskesmas Sangkrah Kota
Surakarta menyimpulkan bahwa ada bahhwa ada hubungan antara jenis lantai
jendela kamar dan pencahayaan alamiah dengan kejadian tuberkulosis paru.
Penelitian Erlin Fitria pada tahun 2016 di Kota Magelang menyimpulkan
bahwa ada hubungan antara tuberkulosis paru dengan jenis dinding,
kelembaban rumah, dan suhu rumah. Penelitian Erni Wingki pada tahun 2016
di Kelurahan Lempake Kota Samarinda menyimpulkan bahwa adanya
hubungan antara pencahayaan alami, ventilasi dan jenis dinding dengan
kejadian TBC. Kualitas fisik rumah yang tidak sehat memegang peranan
penting dalam penularan dan perkembangbiakan Mycobacterium
tuberculosis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan
antara pencahayaan alami, ventilasi, dan jenis dinding dengan penyakit TB
paru serta tidak terdapat hubungan antara jenis lantai dengan penyakit TB
paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada
kelompok kasus tinggal di rumah dengan suhu yang tidak memenuhi syarat.
Suhu yang rendah di dalam rumah menyebabkan kelembaban di dalam rumah
yang tinggi. Lingkungan dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis.
Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
merupakan faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit khususnya
penyakit berbasis lingkungan seperti Demam Berdarah Dengue, Malaria, Flu
Burung. TBC, ISPA dan lain-lain (Dinkes Jateng, 2013).
Untuk itu sangat perlu menjaga lingkungan yang sehat seperti pengaturan
syarat-syarat rumah yang sehat sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan RI
Nomor:.1077/Menkes/Per/V/2011 di antaranya luas bangunan rumah,
ventilasi, pencahayaan dengan jumlah anggota keluarga, Kebersihan
lingkungan tempat tinggal. Melalui pemberdayaan keluarga sehingga anggota
rumah yang lain dapat turut serta dan berperan dalam melakukan pengawasan
terhadap si penderita dalam minum obat.
5
Berdasarkan uraian diatas, kejadian TBC di Puskesmas Balerejo faktor-
faktor lingkungan penyebab TBC yang memperluas penyebaran penyakit
TBC. Maka peneliti tertarik melakukan penelitian “Hubungan antara kondisi
fisik lingkungan rumah dan riwayat kontak dengan kejadian TBC di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo”.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara kondisi fisik lingkungan rumah dan riwayat
kontak dengan kejadian TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo,
Kabupaten Madiun ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dan
riwayat kontak dengan kejadian TBC di wilayah kerja Puskesmas
Balerejo, Kabupaten Madiun.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kondisi fisik lingkungan rumah penderita TBC
di wilayah kerja Puskesmas Balerejo, Kabupaten Madiun.
2. Mengidentifikasi riwayat kontak penderita TBC di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo, Kabupaten Madiun.
3. Mengidentifikasi hygiene sanitasi dengan kejadian TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo, Kabupaten Madiun
4. Menganalisis hubungan antara kondisi fisik lingkungan rumah
dengan kejadian TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo,
Kabupaten Madiun
5. Menganalisis hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo, Kabupaten Madiun.
7
6. Menganalisis hubungan antara hygiene sanitasi rumah dengan
kejadian TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo, Kabupaten
Madiun
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas Balerejo
Memberikan informasi yang dapat dijadikan bahan evaluasi dalam
menjalankan program penurunan penyebaran penyakit TBC.
1.4.2 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia
Sebagai sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti
hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dan riwayat kontak dengan
kejadian TBC.
1.4.3 Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat yang menderita TBC tentang faktor lingkungan dan
riwayat kontak dengan penyebaran penyakit.
1.5 Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Peneliti Judul Tempat
Penelitian
Desain
Penelitian Variabel Sampling
Hasil
Penelitian
1 Anisa Nurul
(2016)
Hubungan dan
gambaran
lingkungan fisik
Rumah dengan
penderita tb paru
bta positif
Yang berobat di
RSUP dr. Kariadi
Semarang.
RSUP dr.
Kariadi
Semarang.
Cross
sectional
1. Ventilasi rumah
2. Pencahayaan
3. Kelembaban
4. Kepadatan Hunian
Purposive
Sampling
Hasil penelitian
ini
menunjukkan
hubungan yang
signifikan antara
ventilasi rumah
(p=0,009),
pencahayaan
rumah
(p=0,007),
kelembaban
rumah
(p=0,024), dan
kepadatan
hunian rumah
(p=0,016).
9
2 Lusi Ika
(2016)
Hubungan Antara
Kondisi Fisik
Rumah Dan
Perilaku Dengan
Kejadian
Tuberkulosis
Paru Di Wilayah
Kerja Puskesmas
Sangkrah Kota
Surakarta
Puskesmas
Sangkrah
Kota
Surakarta
Case Control 1. Jenis Lantai
2. Jendela Kamar Tidur
3. Ventilasi Rumah
4. Suhu Rumah
5. Kelembaban
6. Pencahayaan
7. Kepadatan Hunian
8. Perilaku Meludah
Proposive
Sampling
Hasil penelitian
ini
menunjukkan
bahwa ada
hubungan antara
jenis lantai (p-
value = 0,024),
jendela kamar
ttidur (p-value =
0,031), dan
pencahayaan
alamiah (p-
value = 0,002)
dengan kejadian
tuberkulosis
paru. Tidak ada
hubungan antara
ventilasi rumah
(p-value =
0,121), suhu
rumah (p-value
= 0,212),
kelembaban
rumah (p-value
= 0,095),
kepadatan
hunian (p-value
= 495), tindakan
membuka
jendela (p-value
= 0,064), dan
perilaku
meludah (p-
value = 1,000).
3 Erni Wingki
(2016)
Hubungan
Kondisi
Lingkungan
Rumah Dengan
Penyakit Tb Paru
Bta Positif Di
Kelurahan
Lempake
Kecamatan
Samarinda Utara
Kota Samarinda
Di Kelurahan
Lempake
Kecamatan
Samarinda
Utara Kota
Samarinda
Cross
Sectional
1. Pencahayaan Alami
2. Ventilasi
3. Jenis Lantai
4. Jeni dinding
Cluster random
sampling
Hasil Penelitian
menunjukkan
variabel
pencahayaan
alami p value
0.007 < 0.05;
variabel
ventilasi p value
0.047 < 0.05;
variabel jenis
lantai p value
1.000 > 0.05;
dan variabel
jenis dinding p
value 0.026 <
11
0.05.
4 Erlin Fitria
(2016)
Hubungan Faktor
Lingkungan
Rumah Dengan
Kejadian Tb Paru
Di Kota
Magelang
Di Kota
Magelang
Case Control 1. Sumber infeksi
2. Jenis Dinding
3. Jenis Lantai
4. Luas Ventilasi
5. Tingkat
Pencahayaan
6. Kelembaban
7. Suhu
Proposive
Sampling
Penelitian ini
menunjukkan
bahwa adanya
hubungan antara
pencahayaan
alami p-value =
(0.007);
ventilasi (p-
value = 0.047)
dan jenis
dinding (p-value
= 0.026)
Tabel 1.2 Perbedaan dengan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang
dilakukan adalah
1. Judul Penelitian Hubungan Antara Kondisi Fisik Lingkungan
Rumah dan Riwayat Kontak Dengan Kejadian
TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun
2. Variabel Bebas Sanitasi Lingkungan dan Riwayat Penderita
3. Sampling Total Sampling
4. Tempat Penelitian Wilayah Kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun
5. Desain Penelitian Case Control
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung paru
yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman ini menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
2.1.2 Bakteri Tuberculosis Paru (TB Paru)
Bakteri TB paru yang disebut Micobacterium
tuberculosis dapat dikenali karena berbentuk batang berukuran
panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap
pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri tahan
asam (BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan
lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup
bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai
jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai BTA
atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak orang yang
sering batuk-batuk, maka orang tersebut di diagnosis sebagai
penderita TB paru aktif dan memiliki potensi yang sangat
berbahaya (Achmadi, 2012).
13
Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru
menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat
dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun (Achmadi,
2008).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular
secara langsung. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni
tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk
identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai
basil tahan asam (BTA). Kuman dapat dormant atau tertidur
sampai beberapa tahun dalam jaringan tubuh. Sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman
tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
14
paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. (Rahmad Anres. 2012)
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular.
Seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut. Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui
infeksi primer dan pasca primer. Infeksi primer terjadi saat
seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk pertama kalinya.
Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam
alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini
disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi
hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6
minggu. (Najmah, 2016).
Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh dapat
menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara
15
menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa
kuman yang menetap sebagai “persister” atau “dormant ”,
sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan
menjadi penderita tuberkulosis dalam beberapa bulan.
Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan
nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun
lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik
dan bersifat sangat menular. Infeksi pasca primer terjadi
setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer.
Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya efusi pleura. Risiko terinfeksi
tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat,
pemukiman padat dan kumuh. (Rahmad Anres. 2012)
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan
luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami
batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus
kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan
pengobatan simtomatis. Resistensi terhadap OAT terjadi
umumnya karena penderita yang menggunakan obat tidak
16
sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi ini
menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman
pengobatan tidak lagi dapat membunuh kuman.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala
klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik.
2.1.5.1 Gambaran Klinik
Gejala klinik TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala
sistemik.
1. Gejala respiratorik meliputi batuk lebih dari 3 minggu,
batuk disertai darah, sesak napas, dan nyeri dada.
Semua gejala ini sangat bervariasi, dimulai tidak ada
gejala sampai gejala cukup berat tergantung luasnya
perlukaan pada paru.
2. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa
akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa
akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
17
3. Gejala sistemik meliputi demam dari rendah sampai
tinggi, dan disertai dengan gejala sistemik yang lain
seperti malaise, anoreksia, keringat malam, dan berat
badan menurun yang merupakan ciri khas TB selain
batuk berkepanjangan (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2005).
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Apabila dilakukan pemeriksaan pada
awal perkembangan penyakit biasanya sulit atau tidak
ditemukan kelainan.. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan kelainan dengan mendengarkan suara
nafas dengan menggunakan stetoskop, ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, dan pada tanda lain adalah penarikan paru, diafragma &
mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2008).
2.1.5.3 Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
18
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) (Kementrian Kesehatan RI, 2012).
Laboratorium Mikroskopis merupakan penunjang utama
untuk tata laksana pasien Tuberkulosis. Ketersediaan perangkat
laboratorium mikroskopis tidak dapat dipisahkan dalam
memberikan pelayanan tata laksana pasien TB selain obat anti
tuberkulosis (OAT).
2.1.5.4 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan
lain atas indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto
toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan
hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila :
1. Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura,
pneumotoraks).
2. Hemoptisis berulang atau berat.
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +.
Interpretasi hasil foto toraks yang diduga TB aktif :
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikeliling bayangan opak
berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
19
4. Efusi Pleura.
2.2 Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru
Munurut Achmadi (2008), banyak faktor yang dapat
memengaruhi kejadian penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor
saling berkaitan satu sama lain. Faktor yang berperan dalam kejadian
penyakit TB paru diantaranya adalah karakteristik individu, sanitasi
lingkungan rumah, penghasilan keluarga dan upaya pengendalian
penyakit terhadap diri sendiri. Rumah yang sehat menurut Winslow dan
APHA (American Public Health Assosiation) harus memenuhi beberapa
kriteria kesehatan antara lain memenuhi kebutuhan physiologis,
psychologis,mencegah penularan penyakit dan mencegah terjadinya
kecelakaan (Chandra, 2008).
2.2.1 Karakteristik Individu
Beberapa karakteristik individu yang dapat menjadi faktor
resiko terhadap kejadian TB paru. Adalah
2.2.1.1 Umur dan Jenis Kelamin
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB
paru. Dari hasil penelitian yang di laksanakan di New York
pada panti penampungan orang-orang gelandangan
menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB
paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur.
Prevalensi TB paru tampaknya meningkat seiring dengan
20
peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai
maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang
sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai
sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (WHO, 2011)
2.2.1.2 Riwayat Kontak Penderita
Lama kontak merupakan kurun waktu tinggal bersama
dengan penderita secara terus menerus, pada proses
penyebaran kuman di udara melalui batuk ataupun bersin
dalam bentuk percikan dahak. Faktor yang memungkinkan
seseorang terpapar kuman TB paru ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lama menghirup udara
tersebut karena risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan
dengan percikan dahak dimana pasien TB paru BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB negatif. Faktor yang memungkinkan seseorang
terpapar kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lama menghirup udara tersebut karena risiko
tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak dimana pasien TB paru BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
negatif. (Haris S. 2014)
Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar kuman
TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara
21
dan lama menghirup udara tersebut karena risiko tertular
tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak
dimana pasien TB paru BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
negatif.Masa inkubasi mulai dari masuknya bibit kuman TB
Paru sampai timbul gejala infeksi TB diperkirakan 2-10
minggu.
2.2.2 Kondisi Fisik Rumah
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik
dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung.
Lingkungan dari struktur tersebut juga semua fasilitas dan
pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk
kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik
untuk keluarga dan individu, oleh karena itu lingkungan rumah
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kesehatan
penghuninya (Notoatmodjo, 2011). Dan lingkungan rumah yang
kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam
menularkan penyakit seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009).
2.2.2.1. Kepadatan Penghuni Rumah
Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya ditentukan
oleh faktor kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi
penduduk. Dalam hal ini kepadatan hunian yang apabila tidak
dapat suplai rumah sehat yang memadai dan terjangkau, dapat
22
menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit TB
paru (Soemirat, 2009). Kepadatan adalah perbandingan antara
luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu
rumah tinggal. Persyaratan untuk kepadatan hunian untuk seluruh
perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum
per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan
fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana minimum 9
m2 per orang. Untuk kamar tidur di perlukan minimum 3 m
2 per
orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni ≥ 2 orang kecuali
untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Jarak antara tempat
tidur satu dengan lainnya adalah 90 cm. Apabila ada anggota
keluarga yang menderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur
dengan anggota keluarga lainnya (Kepmenkes, 2011). Kepadatan
penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini
tidak sehat karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu
penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata
dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam
rumahnya (Notoatmodjo, 2011). Kepadatan merupakan pre-
requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka
23
perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan
semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian
dalam rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian
penyakit TB paru.
2.2.2.2. Lantai Rumah
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah,
konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar
mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat
menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk
mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah
sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai
rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga
lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen
dan keramik (Suyono, 2008). Lantai rumah jenis tanah memiliki
peran terhadap proses kejadian penyakit TB paru, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas bakteri
Mycobacterium tuberculosis di lingkungan juga sangat
mempengaruhi (Achmadi, 2008).
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat
hidup dan perkembang biakan bakteri terutama bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan
lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
24
menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono,
2008).
2.2.2.3. Ventilasi
Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem
pertukaran udara yang baik, karena penghuni memerlukan udara
yang segar. Setiap ruang/ kamar memerlukan ventilasi yang
cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan penghuninya.
Menurut Permenkes nomor 1077/2011 pertukaran udara yang
tidak memenuhi syarat dapat menjadi pertumbuhan
mikroorganisme yang menyebabkan gangguan kesejhatan
manusia.
Menurut indikator, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <10% luas lantai rumah
(Kepmenkes, 2011).
Menurut Notoatmodjo (2011) rumah dengan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh
bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga
aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua
ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi
aliran udara yang terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh
udara akan selalu mengalir, fungsi lainya adalah untuk menjaga
25
agar ruangan selalu tetap didalam kelembaban (humidity) yang
optimum. Salain itu luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran
aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah,
akibatnya bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara
pernapasan.
Perjalanan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang setelah
di batukkan akan terhirup oleh orang disekitarnya sampai ke paru-
paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik akan menjamin
pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi.
Konsentrasi droplet bervolume udara dan lamanya waktu
menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan
terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Selain itu
pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya
kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bau pengap, suhu
udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik
untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk bakteri Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2011).
2.2.2.4. Pencahayaan
Menurut Permenkes RI No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang, pencahayaan alami
26
dan buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi
seluruh ruangan dengan intensitas minimal 60 lux. Sinar matahari
sangat dibutuhkan agar kamar tidur tidak menjadi lembab, dan
dinding kamar tidur menjadi tidak berjamur akibat bakteri atau
kuman yang masuk ke dalam kamar. Semakin banyak sinar
matahari yang masuk semakin baik. Sebaiknya jendela ruangan
dibuka pada pagi hari antara jam 6 dan jam 8.
Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama
cahaya matahari dapat memicu berkembangnya bibit-bibit
penyakit, namun bila cahaya yang masuk ke dalam rumah terlalu
banyak dapat menyebabkan silau dan merusak mata
(Notoatmodjo, 2007). Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni:
a. Cahaya alamiah
Cahaya alamiah berasal dari cahaya matahari. Cahaya ini
sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen dalam rumah. Rumah yang sehat harus mempunyai
jalan masuk cahaya (jendela) luas sekurang-kurangnya 15%
hingga 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam rumah
tersebut. Usahakan cahaya yang masuk tidak terhalang oleh
bangunan maupun benda lainnya.
b. Cahaya buatan
27
Cahaya buatan didapatkan dengan menggunakan sumber
cahaya bukan alami, seperti lampu minyak, listrik, dan
sebagainya.
2.2.2.5. Kelembaban
Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi
pencemar di udara. Kelembaban berhubungan negatif (terbalik)
dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara, maka kelembaban
udaranya akan semakin rendah. Kelembaban yang standar apabila
kelembaban udaranya akan semakin rendah. Kelembaban
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme
terutama Mycobacterium tuberculosis. Kelembaban rumah yang
tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh
seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit
terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan
daya tahan hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika
memenuhi 40%-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih
dari 70% (Sarudji, 2010).
Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi
udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam
rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi
(Achmadi, 2008).
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi
syarat kesehatan akan mambawa pengaruh bagi penghuninya.
28
Rumah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui
udara. Seperti yang telah diuraikan oleh (Gould, 2003, dalam
Ayunah, 2008), bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti
halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan
dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80%
volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.
2.2.2.6. Suhu
Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara dalam
rumah adalah suhu. Di katakan nyaman apabila suhu udara
berkisar antara 18 oC -30
oC, dan suhu tersebut di pengaruhi oleh
suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban udara. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran
suhu 31oC - 37
oC. Suhu dalam rumah akan mempengaruhi
kesehatan dalam rumah, dimana suhu yang panas tentu akan
berpengaruh pada aktivitas (Depkes, 1999, dalam Ayunah, 2008).
2.2.3 Hygiene Sanitasi
Tindakan atau praktik terdiri dari 4 tingkatan yaitu :
persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons),
mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation). Tindakan kesehatan
pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
29
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan serta lingkungan kesehatan. Tindakan kesehatan terhadap
lingkungan seperti hindari kerumunan orang banyak (yang
sekaligus dapat mengurangi penyakit saluran pernapasan yang
menular), terhadap ventilasi rumah dengan cara menutup dan
membuka jendela di pagi dan siang hari, serta ajakan agar setiap
orang tidak meludah disembarang tempat (Notoatmodjo, 2011).
Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang
mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan
manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh
lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan
sedemikian rupa sehingga terjamin pemelih araan kesehatan.
Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tuberculosis
adalah buang ludah sembarangan, dan tidak menutup mulut saat
batuk (Depkes RI, 2007).
Hygiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan
sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyakit pada manusia. Usaha
kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi
lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah
timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan
tersebut, serta membuat kondisi lingkungan yang sedemikian rupa
30
sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan lingkungan disebut
hygiene (Depkes RI, 2009).
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada
waktu batuk atau bersin, penderita mengeluarkan bakteri ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). TB Paru dapat ditularkan
melalui percikan ludah pada waktu berbicara, batuk, dan bersin.
Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam (Achmadi, 2011).
Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernafasan. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.
Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita
TB dewasa yang tinggal satu rumah. Meningkatnya penularan
infeksi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain kondisi
social ekonomi yang buruk, meningkatnya jumlah penduduk yang
tidak mempunyai btempat tinggal, dan adanya epidemi dari infeksi
HIV.
Menurut Chin (2008), ada beberapa langkah yang bisa
dilakukan dalam pengendalian penyakit TB paru yaitu dengan cara
pencegahan penyebaran dan penularan penyakit sebagai upaya agar
penderita tidak menularkan kepada orang lain dan meningkatkan
derajat kesehatan pribadi dengan cara:
31
a) Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu
tangan atau tissu.
b) Tidak batuk di hadapan anggota keluarga atau orang lain.
c) Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu
pertama pengobatan.
d) Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah
yang diberi lysol, dan dibuang dalam lubang dan ditimbun
dalam tanah.
e) Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena
bakteri mycobacterium tuberculosis akan mati bila terkena
sinar matahari.
f) Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar
matahari masuk keruang tidur dan ruangan lainnya agar
rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang
cukup sehingga bakteri mycobacterium tuberculosis dapat
mati.
g) Tidak merokok dan minum minuman keras.Minum obat
secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi penderita TB
paru.
32
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Segitiga Epidemiologi, Notoadmodjo 2011, Permenkes No. 1077/2011
Penyakit TBC
Host
Agent
Mycobacterium
tuberculosis Riwayat Kontak
Manusia
Tidak Memenuhi
Syarat
Kondisi Fisik Rumah
1. Kepadatan Hunian
2. Jenis Lantai
3. Kelembaban
4. Ventilasi
5. Suhu
6. Pencahayaan
Hygiene Sanitasi Lingkungan
Environment
33
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Menurut Notoatmodjo (2010) kerangka konsep penelitian adalah suatu
hubungan atau terkaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang
akan diamati (diukur) melalui penelitian yang dimaksud. Dalam menyusun
kerangka konsep peneliti hendaknya memahami variabel yang akan diukur,
karena kerangka konsep memberikan dasar konseptual bagi penelitian.
Kerangka konsep juga mengidentifikasi jaringan antara variabel yang
dianggap peting bagi studi terhadap situasi masalah apapun, sehingga sangat
penting memahami apa arti variabel dan apa saja jenis variabel yang ada.
Variabel Dependen
Penyakit TBC
Variabel Independen
Hygiene Sanitasi
Lingkungan
Riwayat Kontak
Penderita
Kondisi Fisik Rumah
1. Kelembaban
2. Suhu
3. Kepadatan
Hunian
4. Pencahayaan
34
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Berhubungan
Gambar 3 1 Kerangka Konsep
3.2 Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian
sebagai berikut:
Hipotesis Ha:
1. Adanya hubungan antara kelembaban dengan penyakit TBC di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun.
2. Adanya hubungan antara pencahayaan dengan penyakit TBC di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun.
3. Adanya hubungan antara suhu dengan penyakit TBC di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun.
4. Adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan penyakit TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun.
5. Adanya hubungan antara riwayat kontak penderita dengan penyakit TBC
di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun.
6. Adanya hubungan antara hygiene sanitasi lingkungan dengan penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
35
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah metode survei analitik observasional dengan
rancangan case control yaitu survei analitik yang menyangkut bagaimana
faktor resiko dipelajari dipelajari dengan meng menggunakan pendekatan
restrospective. Dengan kata lain, efek ( penyakit atau status kesehatan)
diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor resiko diidentifikasi ada atau
terjadinya pada waktu yang lalu (Notoadmodjo, 2012).
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti
(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
penderita TBC yang tercatat dalam catatan medik di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun dengan periode 1 Januari 2017-
April 2018 (1 tahun terakhir) yaitu 34 responden.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2014). Kriteria sampel yang diambil
sebagai responden adalah kriteria inklusi yaitu karakteristik umum
subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan
diteliti sedangkan kriteria eksklusi yaitu menghilangkan atau
36
mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena
sebab (Nursalam, 2012).
Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yang diambil 34
responden untuk kelompok kasus dan 34 responden kelompok
pembanding atau kontrol adalah responden yang tidak/ belum pernah
ada yang menderita kasus dengan perbandingan 1:1. Sehingga jumlah
sampel yang memungkinkan pada penelitian ini adalah 68 sampel.
Sebenarnya, sampel yang lebih besar akan memberikan hasil yang lebih
akurat, tetapi memerlukan lebih banyak waktu, tenaga, biaya, dan
fasilitas-fasilitas lain (Notoatmodjo, 2012). Ada beberapa kriteria
penelitian sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari
suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti
(Nursalam, 2003) Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini
antara lain :
1. Untuk Kasus
a. Penderita TBC dengan BTA Positif
b. Penderita yang telah menjalani pengobatan maupun
sudah selesai menjalani pengobatan.
2. Untuk Kontrol
a. Tidak atau belum menderita TBC.
b. Berusia diatas 30 tahun.
c. Tinggal bersama dengan Penderita TBC.
37
d. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun.
e. Bersedia untuk menjadi Responden
2. Kriteria Eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena sebab-
sebab tertentu (Nursalam, 2003).
1. Untuk Kasus
a. Tidak berada diwilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun.
2. Untuk Kontrol
a. Tidak bersedia menjadi responden.
b. Berusia dibawah 30 tahun.
4.3 Teknik Sampling
Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel. Menurut
Notoatmodjo (2012) Teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik
tertentu dalam mengambil sampel penelitian sehingga sampel tersebut
sedapat mungkin mewakili populasinya. Teknik sampling sampel diambil
dengan menggunakan teknik total sampling. Total sampling yaitu semua
anggota populasi dijadikan sebagai sampel penelitian karena jumlah
populasi yang kurang dari 100, maka populasi dijadikan sampel penelitian.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 68 responden.
38
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja atau operasional adalah kegiatan penelitian yang
akan dilakukan untuk mengumpulkan data yang akan diteliti untuk
mencapai tujuan penelitian (Nursalam, 2013). Adapun kerangka kerja pada
penelitian ini sebagai berikut :
39
Gambar 4.1 Kerangka Penelitian
Populasi
Semua Penderita TBC dan Tidak Penderita TBC di wilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun berjumlah 34 orang.
Sampel
Penderita TBC dan Tidak Penderita TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun sebanyak 34 orang sebagai kasus dan 34 orang sebagai
kontrol dengan perbandingan 1 : 1
Teknik Sampling
Total Sampling
Uji Validitas dan Uji Reabilitas Kuesioner
Pengumpulan Data
Wawancara, Observasi, dan Pengukuran
Pengolahan Data
Editing, Coding, Entry, Tabulating
Analisis data
Chi-square
Hasil Penelitian dan
Kesimpulan
Desain Penelitian
Case Control
40
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Oprasional Variabel
4.5.1 Variabel Penelitian
Variabel penelitian mengandung pengertian ukuran atau ciri-ciri yang
dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang
dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2012). Variabel ini dibedakan
menjadi dua yaitu variabel independent (variabel bebas) dan variabel
dependent (variabel terikat).
1. Variabel Independen / Variabel Bebas
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen
(Sugiyono, 2013). Variabel Independen dalam penelitian ini
adalah kelembaban, pencahayaan, suhu, kepadatan hunian, riwayat
kontak penderita dan hygiene sanitasi lingkungan.
2. Variabel Dependen / Variabel Terikat
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013).
Dalam penelitian ini variabel dependen adalah penyakit TBC.
4.5.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah menjelaskan semua variabel dan semua
istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara optimal, sehingga
mempermudah pembaca, penguji dalam mengartikan makna penelitian
(Nursalam, 2008). Adapun definisi operasional penelitian ini akan diuraikan
dalam tabel berikut :
41
Tabel 4.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Data Skor Kriteria
1 Kelembaban Kandungan uap air yang
terdapat di udara pada
ruangan dalam rumah,
kelembaban yang baik
adalah ≥40%- 70%.
(Sarudji. 2010).
Thermohygro
meter
Nominal 0 = Tidak
1 = Ya
0 = Kurang Baik (<40%)
1 = Baik (≥40%-70%)
(Sarudji. 2010).
2. Pencahayaan Cahaya yang cukup untuk
penerangan ruang di dalam
rumah merupakan
kebutuhan kesehatan,
pencahayaan yang baik
adalah ≥60 lux
(Permenkes RI No 1077,
2011).
Lux Meter Nominal 0 = Tidak
1 = Ya
0= Kurang Baik (<60 lux)
1 = Baik (≥60 lux)
(Permenkes RI No 1077, 2011).
3. Suhu Derajat panas dan
dinginnya udara dalam
ruangan yang dinyatakan
Thermohygro
meter
Nominal 0 = Tidak
1 = Ya
0 = Kurang Baik (<18 oC)
1 = Baik (≥18-30oC)
42
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Data Skor Kriteria
dalam °C (Permenkes RI No 1077, 2011).
4. Kepadatan
Hunian
Banyaknya penghuni yang
tinggal serumah
dengan responden.
Besarnya luas lantai rumah
8m2 untuk setiap 2 orang
yang berada didalamnya.
(Kepmenkes RI No. 829
1999).
Observasi Nominal 0 = Tidak
1 = Ya
0 = Kurang Baik (luas lantai 8m2
untuk > 2 anggota keluarga)
1 = Baik (luas lantai 8m2
untuk
≤ 2 anggota keluarga)
(Kepmenkes RI No. 829 1999).
5. Riwayat Kontak
Penderita
Faktor yang
memungkinkan seseorang
terpapar kuman TB paru
ditentukan oleh
konsentrasi percikan
dalam udara dan lama
menghirup udara tersebut
karena risiko tertular
Kuesioner Nominal 0 = Tidak
1 = Ya
0 = Kurang Baik <50%
1 = Baik ≥50%
(Sunyoto,Danang, 2012).
43
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Data Skor Kriteria
(Haris S, 2014)
6. Hygiene
Sanitasi
Lingkungan
Tindakan kesehatan pada
dasarnya adalah respon
seseorang terhadap
stimulus yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan
kesehatan, makanan serta
lingkungan kesehatan.
(Notoadmodjo, 2011)
Kuesioner Nominal 0 = Tidak
1 = Ya
0 = Kurang Baik <50%
1 = Baik ≥50%
(Sunyoto,Danang, 2012).
7. Kejadian
Penyakit TBC
Penderita penyakit
tuberculosis yang
dinyatakan dokter dengan
pemeriksaan dahak dan
hasil catatan medik.
Catatan
Medik
Puskesmas
Balerejo
Nominal 0 = Kasus
1 = Kontrol
0=Kasus, Warga yang tercatat
sebagai penderita di wilayah
puskesmas Balerejo
1= Kontrol, Warga yang tidak
pernah tercatat sebagai penderita
di wilayah puskesmas Balerejo
43
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data, instrumen penelitian tersebut dapat berupa kuesioner
(daftar pertanyaan), formulir observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan
dengan pencatatan data dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012). Dalam
penelitian ini pengumpulan data menggunakan sumber data primer, lembar
kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner diartikan sebagai daftar
pertanyaan yang tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden
tinggal memberikan jawaban. Kuesioner berisi daftar pertanyaan terkait
identitas responden dan variabel dalam penelitian yang diajukan peneliti
terhadap responden. Pertanyaan yang digunakan adalah angket tertutup atau
berstruktur dimana angket tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga
responden hanya tinggal memilih atau menjawab yang sudah ada (responden
hanya memberikan tanda (√) pada jawaban yang telah disediakan). Lembar
observasi ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung terhadap
responden.
4.6.1 Uji Validitas
Pada pengamatan dan pengukuran observasi, harus diperhatikan
beberapa hal yang secara prinsip sangat penting yaitu uji validitas, reabilitas
dan ketepatan fakta dan kenyataan hidup (data) yang dikumpulkan dari alat
dan cara pengumpulan data maupun kesalahan-kesalahan yang sering terjadi
pada pengamatan atau pengukuran oleh pengumpul data (Nursalam, 2013).
44
Untuk mengukur validitas soal pertanyaan menggunakan rumus
korelasi product moment pearson. Hasil r hitung dibandingkan r tabel dimana
df = n-2 dengan sig 5%. Jika r hitung > r tabel maka valid (Sujarweni, 2014).
Dengan menggunakan jumlah responden sebanyak 15 untuk kasus dan
15 untuk kontrol sehingga total keseluruhan ada 30, untuk kuesioner riwayat
kontak maka nilai r tabel dapat di peroleh melalui tabel r product moment
pearson dengan df (degree of freedom) = n-2, sehingga df = 15-2 = 13, dan
untuk kuesioner hygiene sanitasi diperuntukkan untuk keseluruhan responden
kasus maupun kontrol sehingga df = 30-2 = 28. Butir pertanyaan dikatakan
valid jika r hitung > r tabel. Dapat dilihat dari Corrected Item Total
Correlation. Hasil output validitas sebagai berikut :
Tabel 4.2 Data Validitas Instrumen Penelitian
No Variabel Pertanyaan r hitung r tabel keterangan
1. Riwayat kontak (kasus)
Pertanyaan 1
Pertanyaan 2
Pertanyaan 3
Pertanyaan 4
0,687
0,760
0,859
0,760
0,441
0,441
0,441
0,441
Valid
Valid
Valid
Valid
2. Riwayat kontak (kontrol)
Pertanyaan 1
Pertanyaan 2
Pertanyaan 3
Pertanyaan 4
0,642
0,670
0,730
0,742
0,441
0,441
0,441
0,441
Valid
Valid
Valid
Valid
3. Hygiene Sanitasi
45
Pertanyaan 1
Pertanyaan 2
Pertanyaan 3
Pertanyaan 4
Pertanyaan 5
Pertanyaan 6
Pertanyaan 7
Pertanyaan 8
Pertanyaan 9
Pertanyaan 10
0,601
0,687
0,603
0,589
0,567
0,623
0,634
0,659
0,768
0,831
0,312
0,312
0,312
0,312
0,312
0,312
0,312
0,312
0,312
0,312
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa masing-masing butir pertanyaan
untuk r hitung > r tabel sehingga seluruh butir pertanyaan dinyatakan valid.
4.6.2 Uji Reliabilitas
Reabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2012). Uji
reabilitas dapat dilihat pada nilai cronbach alpha, jika nilai Alpha > 0,60
maka kontruk pernyataan yang merupakan dimensi variabel adalah reliabel.
Hasil reliabilitas sebagai berikut
4.3 Tabel Reliabilitas Instrumen Penelitian
No. Variabel pertanyaan Cronbach’s
alpha
r tabel Keterangan
1. Riwayat Kontak
(Kasus)
0,804 0,60 Reliabel
2. Riwayat Kontak 0,776 0,60 Reliabel
46
(Kontrol)
3. Hygiene Sanitasi 0,761 0,60 Reliabel
Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa masing-masing butir pertanyaan
untuk Cronbach’s alpha < r tabel sehingga seluruh butir pertanyaan
dinyatakan reliabel.
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Balerejo,
Kabupaten Madiun.
4.7.2 Waktu Penelitian
Tabel 4.4 Waktu Kegiatan
KEGIATAN TANGGAL
ACC
1. Pembuatan dan konsul judul Februari 2018
2. Penyusunan dan bimbingan
proposal 9 Maret – 24 Mei 2018
3. Ujian proposal 28 Mei 2018
4. Revisi proposal 29 Mei - 25 Juni 2018
5. Pengambilan data 25 Juli - 28 Juli 2018
6. Penyusunan dan konsul
skripsi 30 Mei – Juli 2018
7. Ujian skripsi 29 Agustus 2018
8. Revisi skripsi 28 Agustus – 5 September
47
2018
4.8 Prosedur Pengumpulan Data
4.8.1 Cara Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan
melakukan pengamatan secara langsung kepada responden penelitian
untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti. Pengumpulan
data dengan cara observasi ini dapat digunakan apabila objek penelitian
adalah benda atau proses kerja. Observasi di lapangan secara langsung
mengenai kepadatan hunian, kelembaban, pencahayaan dan suhu.
2. Wawancara
Adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, dimana
peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari
responden, berhadapan atau tatap muka dengan orang tersebut (face to
face). Wawancara untuk memperoleh data tentang mengenai riwayat
kontak penderita dan hygiene sanitasi lingkungan.
3. Pengukuran
Melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran kelembaban dan
pencahayaan.
1) Prosedur Kelembaban dan Suhu
a. Alat : Thermohygrometer
b. Objek : Pada ruangan 1 titik yaitu pada bagian
tengah
48
c. Waktu : Siang hari Pukul 10.00 – 13.00
d. Lokasi : Kamar Tidur
e. Prosedur Kerja :
1. Siapkan alat Thermohygrometer
2. Tekan tombol ON
3. Untuk mengetahui suhu udara tekan tombol °C
4. Catat angka yang muncul
5. Kemudian untuk mengetahui kelembaban udara tekan
tombol RH%
6. Catat angka yang muncul
7. Setelah pengukuran selesai tekan tombol OFF
2) Prosedur Pengukuran Pencahayaan
a. Alat : Lux Meter
b. Objek : Pada ruangan 1 titik yaitu pada bagian
tengah
c. Waktu : Siang hari Pukul 10.00 – 13.00
d. Lokasi : Kamar Tidur
e. Prosedur Kerja :
1. Siapkan alat Lux Meter
2. Atur jarak pengukuran dengan alat ± 1 meter
3. Hidupkan alat lux meter dengan menekan tombol ON
4. Angka akan menunjukkan 000 (sebelum sensor cahaya
dibuka) bukan sensor cahaya
49
5. Perhatikan angka yang muncul pada layer lux meter
6. Angka yang berhenti paling lama menunjukkan
besarnya intensitas cahaya yang diukur
7. Kemudian catat angka yang muncul tersebut
8. Setelah selesai tekan tombol OFF
4.8.2 Jenis Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari survei ke lokasi di Kecamatan Balerejo,
Kabupaten Madiun dan wawancara langsung kepada responden
dengan menggunakan lembar kuesioner dan lembar observasi.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang diperoleh melalui instansi kesehatan seperti
WHO, Dinas Kesehatan Jawa Timur, Dinas Kesehatan Kabupaten
Madiun dan Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun berupa jumlah
penderita TBC, profil kesehatan berupa data kesakitan TBC, dan
instansi pemerintah yaitu desa berupa data alamat penderita TBC yang
berada di wilayah kerja Puskemas Balerejo.
4.9 Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah dan dianalisa
menggunakan SPSS for windows. Teknik pengolahan data yang dilakukan
pada penelitian yaitu meliputi : (Notoatmodjo, 2012)
1. Editing
50
Editing adalah upaya untuk memeriksa atau pengecekan kembali data
maupun kuesioner yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat
dilakukan pada tahap pengumpulan data, pengisian kuesioner, dan
setelah data terkumpul (Notoatmodjo, 2012).
2. Coding
Coding adalah kegiatan memberikan kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri dari beberapa kategori, coding atau mengkode data
bertujuan untuk membedakan berdasarkan karakter ( Notoatmodjo,
2012 ). Coding pada penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan
kode angka pada setiap jawaban untuk mempermudah dalam
pengolahan dan analisis data. Data yang masuk dalam pengkodingan
adalah kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian, riwayat kontak
dan sanitasi lingkungan
Tabel 4.5 Koding Variabel Kondisi Fisik Rumah dan Riwayat Kontak
dengan kejadian TBC.
NO Variabel Koding Kategori Kriteria
1. Kelembaban 0 Kurang baik < 40%
1 Baik ≥40-70%
2 Suhu 0 Kurang baik <18
oC
1 Baik ≥18-30oC
2. Pencahayaan 0 Kurang baik <60 lux
1 Baik 60 lux
3. Kepadatan Hunian 0 Kurang baik
luas lantai 8m2
untuk > 2 anggota
keluarga
1 Baik luas lantai 8m2
51
NO Variabel Koding Kategori Kriteria
untuk ≤ 2 anggota
keluarga
4. Riwayat Kontak 0 Kurang baik <50%
1 Baik ≥50%
5. Hygiene Sanitasi
Lingkungan
0 Kurang baik <50%
1 Baik ≥50%
3. Entry
Mengisi masing-masing jawaban dari responden dalam bentuk “kode”
(angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software”
komputer (Notoatmodjo, 2012).
4. Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan data setelah melalui editing dan
coding ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-sifat yang dimilikinya,
sesuai dengan tujuan penelitian. Tabel ini terdiri atas kolom dan baris.
Kolom pertama yang terletak paling kiri digunakan untuk nomer urut atau
kode responden. Kolom yang kedua dan selanjutnya digunakan untuk
variabel yang terdapat dalam dokumentasi. Baris digunakan untuk setiap
responden.
4.9.1 Analisa Data
1. Analisa Univariat
52
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frequensi dan presentase dari setiap variabel
(Notoatmodjo, 2010). Analisis yang telah dianalisis dilakukan dengan
distribusi frekuensi dari tiap tiap variabel independen (kelembaban,
pencahayaan, kepadatan hunian, riwayat kontak dan sanitasi
lingkungan), dependen ( kejadian penyakit TBC) dan karakteristik
responden (jenis kelamin, umur, pekerjaan dan pendidikan).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square (x2) untuk
mengetahui hubungan yang signifikan antara masing-masing variabel
bebas dengan variabel terikat. Dasar pengambilan hipotesis penelitian
berdasarkan pada tingkat signifikan dengan derajat kepercayaan (α, <
0,05), hubungan dikatakan bermakna apabila nilai p < 0,05 (Sugiyono,
2011).
Variabel independen dan variabel dependen menggunakan uji
statistik Chi Square dengan derajat kepercayaan 95% (α, < 0,05).
Penelitian antara dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai
p < 0,05. Pada studi case control estimasi resiko relatif dinyatakan
dengan ood rasio (OR). Syarat pembacaan hasil output chi-square dalam
SPSS yaitu :
- OR > 1, artinya ada hubungan dan variabel tersebut menjadi faktor
resiko.
53
- OR < 1, artinya ada hubungan namun variabel tersebut tidak menjadi
faktor resiko.
- OR = 1, artinya variabel bebas tersebut tidak menjadi faktor resiko.
Berdasarkan hasil penelitian untuk tabel 2x2 menyatakan bahwa nilai
expected count < 5 dengan jumlah sel 0 (.0%), maka nilai p-value dilihat
dari continuity correction. Data diambil berdasarkan kunjungan langsung
peneliti dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung.
4.10 Etika Penelitian
Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk
tahap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang
dieliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak
dari hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2012).
1) Informed consent (informasi untuk responden)
Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan
informan dengan memberikan lembar persetujuan melalui inform
consent, kepada responden sebelum penelitian dilaksanakan. Setelah
calon responden memahami penjelasan peneliti terkait penelitian ini,
selanjutnya peneliti memberikan lembar Informed consent untuk
ditandatangani oleh sampel penelitian.
2) Anonymity (Tanpa Nama)
Anonymity merupakan usaha menjaga kerahasiaan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan data responen. Pada aspek ini peneliti tidak
54
mencantumkan nama responden melainkan inisial nama responden
dan nomor responden pada kuesioner.
3) Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti. Pada aspek ini, data yang sudah
terkumpul dari responden bersifat rahasia dan penyimpanan dilakukan
di file khusus milik pribadi sehingga hanya peneliti dan responden
yang mengetahuinya.
54
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
yang berlokasi di jalan Jalan Raya Madiun-Surabaya no. 82 Desa / Kecamatan
Balerejo Kabupaten Madiun. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari, penelitian berlangsung selama kurang lebih selama 5 bulan yang
dimulai dengan tahap persiapan, penyusunan proposal penelitian, sampai
dengan penyajian hasil penelitian. pada penelitian diperoleh sampel 68
responden yang terdiri dari 34 kasus dan 34 kontrol. Adapun gambaran umum
Lokasi Penelitian Madiun sebagai berikut :
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Balerejo terletak didesa Balerejo, Kecamatan Balerejo
Kabupaten Madiun dengan jarak 13 km ke ibu kota Kabupaten. Wilayah kerja
Puskesmas Balerejo ter letak pada ketinggian 50 – 70 m diatas permukaan laut.
Luas wilayah 2876,918 Ha, meliputi tanah sawah, pekarangan dan lainnya.
Terbagi dalam 10 desa dengan batas administrasi wilayah Puskesmas Balerejo
adalah sebagai berikut:
55
Sumber : Data Profil Puskesmas Balerejo
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Balerejo
Sebelah Utara : Kecamatan Pilang Kenceng
Sebelah Timur : Puskesmas Wonoasri
Sebelah Selatan : Kecamatan Madiun
Sebelah Bara : Kecamatan Madiun dan Kecamatan
Sawahan
A. Visi, Misi dan Nilai Puskesmas Balerejo
Visi Puskesmas Balerejo adalah :
“Terwujudnya Kecamatan Balerejo Lebih Sehat dan Mandiri 2020”
Misi Puskesmas Balerejo adalah :
56
1. Meningkatkan derajat kesehatan keluarga melalui peningkatan
pelayanan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sadar gizi.
2. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memelihara kesehatan
untuk berperilaku hidup bersih, sehat dan produktif serta
mewujudkan sarana kesehatan dan tenaga kesehatan.
3. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyebaran penyakit
serta peningkatan kualitas penyehatan lingkungan.
4. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan
merata;
5. Menyelenggarakan administrasi dan manajemen yang bersifat
transparan dan akuntabel.
6. Mengembangkan program inovasi dan produk layanan.
B. Sarana Kesehatan
Sarana dan Prasarana yang dimiliki UPTD Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun sebagai kekuatan internal yang mendukung
pelayanan kesehatan masayarakat antara lain :
1) Poli Umum
2) Poli Gigi dan Mulut
3) Poli Gizi
4) Farmasi
5) Ruang Bersalin
6) Ruang Rawat Inap
7) Ruang Isolasi
57
8) Laboratorium
9) Klinik Sanitasi
10) IVA/Papsmear
11) Poli KIA (Kesehatan Ibu dan Anak)
12) Konsultasi Spesialis Kandungan
5.2 Hasil Penelitian Karakteristik Responden
Data ini Berikut hasil analisis univariat menyajikan karakteristik
responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, riwayat kontak, hygiene sanitasi dan
kejadian penyakit TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten
Madiun :
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Data hasil penelitian distribusi responden berdasarkan jenis
kelamin tersaji pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Jenis Kelamin
f %
1 Laki-laki 39 57,4
2 Perempuan 29 42,6
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebesar 57,4% atau sebanyak 39 responden dan
sisanya perempuan 29 responden (42,6%).
58
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Data hasil penelitian distribusi responden berdasarkan umur tersaji
pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Distribusi Responden berdasarkan umur di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Usia F %
1 Dewasa Akhir (36-45 tahun) 14 20,6
2 Lansia Awal (46-55 tahun) 26 38,2
3 Lansia Akhir (56-65 tahun) 19 27,9
4 Manula (> 66 tahun) 9 13,2
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia
lansia awal (46-55 tahun) yaitu sebesar 38,2 % atau sebanyak 26
responden. Dan paling sedikit responden berusia manula (> 66 tahun)
yaitu sebesar 13,2% atau sebanyak 9 responden.
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Data hasil penelitian distribusi responden berdasarkan pekerjaan
tersaji pada tabel 5.3
Tabel 5.3 Distribusi Responden berdasarkan pekerjaan di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Pekerjaan f %
1 Tidak bekerja
Buruh
8
20
11,8
2 29,4
3 Petani 29 42,6
59
4 Pegawai negeri (PNS) 1 1,5
5 Swasta 10 14,7
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden bekerja
sebagai petani yaitu sebesar 42,6% atau sebanyak 29 responden. Dan
paling sedikit responden bekerja sebagai Pegawai negeri (PNS) yaitu
sebesar 1,5% atau sebanyak 1 responden.
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Data hasil penelitian distribusi responden berdasarkan pendidikan
tersaji pada tabel 5.4
Tabel 5.4 Distribusi Responden berdasarkan pendidikan di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Pekerjaan f %
1 Dasar (SD.SMP) 48 70.6
2 Menengah (SMA/Sederajat) 19 27.9
3 Tinggi (Sarjana/Sederajat) 1 1.5
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
berpendidikan tamat sekolah dasar yaitu sebesar 70,6% atau sebanyak
48 responden. Dan paling sedikit berpendidikan Diploma/Sarjana
yaitu sebesar 1,5% atau sebanyak 1 responden.
5.3 Hasil Penelitian Variabel Responden
60
1. Suhu Rumah Responden
Data hasil penelitian untuk identifikasi suhu rumah responden
diwilayah kerja Puskesmas Balerejo tersaji dalam tabel 5.5
Tabel 5.5 Suhu rumah responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Suhu Rumah f %
1 Baik 25 36,8
2 Kurang baik 43 63,2
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.5 Menunjukkan bahwa sebagian besar Suhu rumah
responden di wilayah kerja Puskesmas Balerejo dalam ketegori
kurang baik yaitu sebesar 63,2% atau sebanyak 43 responden. Dan
kategori baik sebesar 36,8% atau 25 responden.
2. Kelembaban Rumah Responden
Data hasil penelitian untuk identifikasi kelembaban rumah
responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo tersaji dalam tabel 5.6
Tabel 5.6 Kelembaban rumah responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Kelembaban Rumah f %
1 Baik 31 54,4
2 Kurang baik 37 45,6
61
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.6 Menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo dalam ketegori kurang baik yaitu
sebesar 45,6% atau sebanyak 37 responden. Dan kategori baik sebesar
54,4% atau 31 responden.
3. Pencahayaan Rumah Responden
Data hasil penelitian untuk identifikasi pencahayaan rumah
responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo tersaji dalam tabel 5.7
Tabel 5.7 Pencahayaan rumah responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018
No Pencahayaan Rumah f %
1 Baik 28 41,2
2 Kurang baik 48 58,8
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.7 Menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo dalam ketegori kurang baik yaitu
sebesar 58,8% atau sebanyak 48 responden. Dan kategori baik sebesar
41,2% atau 28 responden.
4. Kepadatan Hunian
Data hasil penelitian untuk identifikasi kepadatan hunian
responden diwilayah kerja Puskesmas Balerejo tersaji dalam tabel 5.8
Tabel 5.8 Kepadatan hunian responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018.
62
No Kepadatan Hunian f %
1 Baik 48 70,6
2 Kurang baik 20 29,4
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.8 Menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo dalam ketegori kurang baik yaitu
sebesar 29,4% atau sebanyak 20 responden. Dan kategori baik sebesar
70,6% atau 48 responden.
5. Riwayat Kontak
Data hasil penelitian untuk identifikasi Riwayat kontak responden
diwilayah kerja Puskesmas Balerejo tersaji dalam tabel 5.9
Tabel 5.9 Riwayat Kontak responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018.
No Riwayat Kontak f %
1 Baik 38 55,9
2 Kurang baik 30 44,1
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.9 Menunjukkan bahwa sebagian besar Riwayat Kontak
responden di wilayah kerja Puskesmas Balerejo dalam ketegori kurang
baik yaitu sebesar 44,1% atau sebanyak 30 responden. Dan kategori
baik sebesar 55,9% atau 38 responden.
6. Hygiene Sanitasi
63
Data hasil penelitian untuk identifikasi Riwayat kontak responden
diwilayah kerja Puskesmas Balerejo tersaji dalam tabel 5.11
Tabel 5.10 Hygiene Sanitasi responden diwilayah kerja Puskesmas
Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2018.
No Hygiene Sanitasi f %
1 Baik 37 54,4
2 Kurang baik 31 45,6
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Tabel 5.11 Menunjukkan bahwa sebagian besar Hygiene Sanitasi
responden di wilayah kerja Puskesmas Balerejo dalam ketegori kurang
baik yaitu sebesar 45,6% atau sebanyak 31 responden. Dan kategori
baik sebesar 54,4% atau 37 responden.
5.4 Hasil Analisis Bivariat
Hasil Analisis bivariat ini digunakan untuk mengetahui hubungan
dan besarnya Odd Ratio (OR), dan digunakan untuk mencari hubungan
antara variabel Independent dan Dependent dengan uji statistik yang
digunakan adalah Chi – Square dan penentuan Odd Ratio (OR) dengan
taraf kepercayaan (CI) 95% dan tingkat kemaknaan 0,05.
Tabel 5.11 Hubungan antara suhu terhadap kejadian penyakit TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun Tahun
2018.
Suhu
TBC
Total OR 95% CI P Kasus Kontrol
N % N %
Baik 8 23,5 19 55,9 27 4,12 1,45-11,67 0,013
64
Kurang Baik 26 76,5 15 44,1 41
Total 34 100,0 34 100,0 68
Sumber : Data Primer 2018
Prosentase responden yang kurang baik pada kelompok kasus
sebanyak 26 (76,5%), lebih besar dari kelmpok kontrol yang hanya 15
(55,9%). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P Value 0.013 < 0.05 berarti ada hubungan
antara frekuensi suhu dengan kejadian penyakit TBC di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang suhu
rumahnya kurang baik memiliki resiko 4,12 kali lebih besar disbanding
dengan responden yang suhu rumahnya baik (95% CI=1,45-11,67).
Tabel 5.12 Hubungan kelembaban terhadap kejadian penyakit TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018.
Kelembaban
TBC
Total OR 95% CI P Kasus Kontrol
N % N %
Baik 10 29,4 21 38,2 31 3,88 1,41-10,65 0,015
Kurang Baik 24 70,6 13 61,8 37
Total 34 100,0 34 100,0 68
Sumber : Data Primer 2018
Prosentase responden yang kurang baik pada kelompok kasus
sebanyak 24 (70,6%), lebih besar dari kelmpok kontrol yang hanya 13
(38,25%). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P Value 0.015 < 0.05 berarti ada hubungan
antara frekuensi kelembaban dengan kejadian penyakit TBC di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang
65
kelembaban rumahnya kurang baik memiliki resiko 3,88 kali lebih besar
dibanding dengan responden yang kelembaban rumahnya baik (95%
CI=1,41-10,65).
Tabel 5.13 Hubungan antara pencahayaan rumah terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018.
Pencahayaan
TBC
Total OR 95% CI P Kasus Kontrol
N % N %
Baik 9 26,5 19 55,9 28 3,52 1,27-9,75 0,027
Kurang Baik 25 73,5 15 44,1 48
Total 34 100,0 34 100,0 68
Sumber : Data Primer 2018
Prosentase responden yang kurang baik pada kelompok kasus
sebanyak 25 (73,5%), lebih besar dari kelmpok kontrol yang hanya 15
(44,1%). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P Value 0.027 < 0.05 berarti ada hubungan
antara frekuensi pencahayaan dengan kejadian penyakit TBC di wilayah
kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang
pencahayaan rumahnya kurang baik memiliki resiko 3,52 kali lebih besar
disbanding dengan responden yang pencahayaan rumahnya baik (95%
CI=1,27-9,75).
Tabel 5.14 Hubungan antara kepadatan hunian terhadap kejadian
penyakit TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun Tahun 2018.
Kepadatan
Hunian
TBC
Total OR 95% CI P Kasus Kontrol
N % N %
Baik 23 67,6 25 73,5 48 1,33 0,47-3,79 0,790
66
Kurang
Baik
11 32,4 9 26,5 20
Total 34 100,0 34 100,0 68
Sumber : Data Primer 2018
Prosentase responden yang kurang baik pada kelompok kasus
sebanyak 11 (32,4%), lebih besar dari kelmpok kontrol yang hanya 9
(26,5%). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P Value 0.790 < 0.05 berarti tidak ada
hubungan antara frekuensi kepadatan hunian dengan kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun.
Tabel 5.15 Hubungan antara riwayat kontak terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten
Madiun Tahun 2018.
Riwayat
Kontak
TBC
Total OR 95% CI P Kasus Kontrol
N % N %
Baik 12 35,3 26 76,5 38
5,96 2,06-17,19 0,001 Kurang
Baik
22 76,7 8 23,5 30
Total 34 100,0 34 100,0 68
Sumber : Data Primer 2018
Prosentase responden yang kurang baik pada kelompok kasus
sebanyak 22 (76,7%), lebih besar dari kelmpok kontrol yang hanya 8
(23,5%). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P Value 0.001 < 0.05 berarti ada hubungan
antara riwayat kontak dengan kejadian penyakit TBC di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang terdapat
anggota keluarga yang menderita TBC memiliki resiko 5,96 kali lebih
67
besar dibanding dengan responden yang tidak memilik anggota keluarga
yang menderita TBC (95% CI=2,06-17,19).
Tabel 5.16 Hubungan antara hygiene sanitasi terhadap kejadian penyakit
TBC di wilayah kerja Puskesmas Balerejo Kabupaten
Madiun Tahun 2018.
Hygiene
Sanitasi
TBC
Total OR 95% CI P Kasus Kontrol
N % N %
Baik 13 38,2 24 70,6 37
3,88 1,41-10,66 0,015 Kurang
Baik
21 67,7 10 29,4 31
Total 34 100,0 34 100,0 68
Sumber : Data Primer 2018
Prosentase responden yang kurang baik pada kelompok kasus
sebanyak 21 (67,7%), lebih besar dari kelmpok kontrol yang hanya 10
(29,4%). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P Value 0.015 < 0.05 berarti ada hubungan
antara hygiene sanitasi dengan kejadian penyakit TBC di wilayah kerja
Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang hygiene
sanitasinya kurang baik memiliki resiko 3,88 kali lebih besar dibanding
dengan responden yang hygiene sanitasinya baik (95% CI=1,41-10,66).
5.5 Pembahasan
5.5.1 Kejadian TBC (Tuberculosis)
68
Berdasarkan data yang diberikan oleh puskesmas Balerejo jumlah
penderita TBC (Tuberculosis) adalah 34. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan pada 68 responden, diperoleh bahwa responden yang
berjenis kelamin laki laki sebanyak 39 (57,4%) responden dan responden
yang bejenis kelamin perempuan sebanyak 29 (42,6%) responden.
Sehingga dapat diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki
lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin
perempuan. Berdasarkan pendidikan responden yang menjadi responden
penelitian mayoritas memiliki pendidikan terakhir dasar sebanyak 48
(70,6%) responden. Berdasarkan usia yang menjadi responden penelitian
mayoritas berusia antara 46-55 sebanyak 26 (38,2%) responden.
Berdasarkan pekerjaan yang menjadi responden penelitian mayoritas
bekerja sebagai petani sebanyak 29 (42,6%).
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian bersar
kuman tuberculosis menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ
tubuh lainnya (Depkes, 2008). Tuberkulosis merupakan infeksi yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang pada
berbagai organ tubuh mulai dari paru dan organ di luar paruseperti kulit,
tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering disebut
dengan ekstrapulmonal TBC (Tuberculosis) (Chandra,2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian TBC (Tuberculosis)
di Balerejo masih cukup banyak, yaitu sebesar 34 orang. Hal ini
69
dikarenakan sebanyak 64,7 % penderita terpapar oleh penderita lain dan
sebanyak 23.5% terpapar oleh akumulasi dari penyakit yang diderita
responden. Keadaan tersebut di perparah oleh kondisi rumah dengan suhu
ruangan yang kurang baik sebanyak 76,5% dan kelembaban yang kurang
baik sebanyak 70,6%. Selain itu, kebanyakan responden bekerja sebagai
petani yang nantinya dapat terpapar oleh debu dan pestisida, hal ini dapat
memperparah penyakit tersebut. Dan pengetahuan responden yang minim
tentang TBC juga didasari dari latar belakang pendidikan SLTA.
5.5.2 Hubungan Suhu Ruangan dengan Kejadian TBC (Tuberculosis)
Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara suhu ruangan dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) diperoleh nilai P-Value 0.013 < 0,05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara suhu rumah dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo. Dan diketahui nilai
OR sebesar 4,12 berarti bahwa responden yang di suhu rumahnya kurang
baik pada kelompok kasus 4,12 kali lebih besar beresiko terkena TBC
(Tuberculosis) dibandingkan dengan responden yang suhu rumahnya
kurang baik pada kelompok kontrol.
Hal ini didukung oleh peneliti yang melalukan pengukuran suhu ruang
kamar responden. Dari hasil pengukuran suhu ruang kamar sebagian besar
tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuensi
dengan kelompok kasus sebanyak 26 (76,5%) rumah responden yang
70
tidak memenuhi syarat dan 8 (23,5%) rumah responden yang memenuhi
syarat.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1077/Menkes/PER/2011
Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. Suhu ruangan dalam
rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan yaitu 18⁰C dan 30⁰C.Suhu
dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan
kesehatan hingga hypotermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mudiyono (2015) mengenai
Hubungan antara Kondisi Fisik dan Prilaku Ibu terhadap TBC pada Anak.
Hasil uji statistic chi-square menunjukkan p value 0,036yang artinya
adanya hubungan bermakna antara suhu ruangan dengan kejadian TBC.
Dimana orang yang tinggal didalam rumah dengan suhu ruangan < 18o C
dan .> 30o
C memiliki resiko 2,29 kali untuk terkena TBC dibandingkan
dengan orang yang tinggal dirumah dengan suhu antara 18o
C – 30o C.
peneliti lainnya yang mendukung penelitian ini adalah penelitian Greis
(2013) yang meneliti Kondisi fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis
paru. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara suhu ruang tidur dengan kejadian Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 8 (23,5%) rumah responden
yang memenuhi syarat suhu ruangan dan menderita TBC (Tuberculosis)
disebabkan oleh faktor lain yaitu keadaan suhu pada saat diluar rumah
seperti pada saat kerja, kondisi tempat kerja tertutup dan panas.
71
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden kemungkinan penularan
TBC (Tuberculosis) ditempat kerja karena sebagian responden
menghabiskan waktu hingga 10 jam di tempat kerja dan berada pada satu
ruang kerja dengan penderita TBC
Berdasarkan hasil observasi atau pengamatan bahwa beberapa dari
responden yang tidak menderita TBC (Tuberculosis) didapatkan bahwa
suhu ruangan rumah tidak memenuhi syarat hal ini dikarenakan mereka
memiliki ventilasi yang sangat kurang dan kurangnya menjaga kebersihan
di area dalam rumah. Hasil wawancara rumah responden yang tidak
memenuhi syarat dengan kejadian penyakit TBC (Tuberculosis) yaitu
disebebkan karena jendela pada ruangan kamar tidur jarang sekali dibuka
dengan alasan pada siang hari tidak ada orang dirumah, tidak ada waktu
untuk membuka jendela karena pekerjaan dan melakukan aktifitas lainnya.
Bakteri Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran
suhu 31oC - 37
oC. Suhu dalam rumah akan mempengaruhi kesehatan
dalam rumah, dimana suhu yang panas tentu akan berpengaruh pada
aktivitas. Sebaiknya masyarakat meningkatkan kesadaran diri terutama
pada penyebaran penyakit TBC (Tuberculosis) yang dapat dengan mudah
menular melalui udara terutama pada suhu ruangan yang panas dan
lembab.
5.5.3 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian TBC (Tuberculosis)
72
Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara kelembaban ruangan dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) diperoleh nilai P-Value 0.015 < 0,05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo. Dan diketahui nilai
OR sebesar 3,88 berarti bahwa responden yang di kelembaban rumahnya
kurang baik pada kelompok kasus 3,88 kali lebih besar beresiko terkena
TBC (Tuberculosis) dibandingkan dengan responden yang kelembaban
rumahnya baik pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil observasi bahwa beberapa responden yang tidak
menderita TBC (Tuberculosis) didapatkan bahwa kelembaban dirumah
responden tidak memenuhi syarat hal ini dikarenakan rumah tersebut
kurang mendapatkan sinar matahari secara langsung. Hal ini didukung
oleh peneliti yang melalukan pengukuran kelembaban ruang kamar
responden. Dari hasil pengukuran kelembaban ruang kamar sebagian besar
tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuensi
dengan kelompok kasus sebanyak 24 (70,6%) rumah responden yang
tidak memenuhi syarat dan 10 (29,4%) rumah responden yang memenuhi
syarat.
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat
kesehatan akan mambawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah merupakan
media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri,
73
spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh melalui udara. Ayunah (2008).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah (2013) mengenai
faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian Tb
Paru. Hasil uji statistic chi-square menunjukkan p value 0,029 yang
artinya adanya hubungan bermakna antara kelembaabam ruangan dengan
kejadian TBC (Tuberculosis). Dimana orang yang tinggal didalam rumah
dengan kelembaan ruangan < 40% dan .> 70% memiliki resiko 2,57 kali
untuk terkena TBC (Tuberculosis) dibandingkan dengan orang yang
tinggal dirumah dengan kelembaban antara 40% – 70%. Peneliti lainnya
yang mendukung penelitian ini adalah penelitian Elena (2015) yang
meneliti kondisi lingkungan fisik rumah dan kontak serumah dengan
kejadian Tuberkulosis paru. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan
kejadian Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 10 (29,4%) rumah
responden yang memenuhi syarat kelembaban ruangan tidur dan
menderita TBC (Tuberculosis) disebabkan karena kondisi ruang tidur
sesuai dengan kriteria rumah sehat dimana jendela pada setiap paginya di
buka dan ditutup pada sore hari. Sehingga pertukaran udara berjalan
normal dan suhu ruangan berada di batas normal. Berdasarkan observasi
yang dilakukan peneliti terdapat ruangan yang kondisi udaranya lembab
yaitu ruang keluarga yang biasanya digunakan untuk menonton tv dan
74
makan, kemungkinan ruangan tersebut menjadi tempat berkembangnya
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Berdasarkan hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi
syarat dengan kejadian penyakit TBC (Tuberculosis) yaitu disebebkan
karena jendela pada ruangan kamar tidur jarang sekali dibuka dengan
alasan pada siang hari tidak ada orang dirumah, tidak ada waktu untuk
membuka jendela karena pekerjaan dan melakukan aktifitas lainnya.
Seperti yang telah diuraikan oleh (Gould, 2003, dalam Ayunah, 2008),
bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan
tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena
air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal
essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Sama
hal dengan suhu sebaiknya masyarakat meningkatkan kesadaran diri
terutama pada penyebaran penyakit TBC yang dapat dengan mudah
menular melalui udara terutama pada suhu ruangan yang panas dan
lembab, dengan cara membuka jendela terutama pada kamar tidur
sehingga bakteri yang mengkomintasi udara tidak dapat berkembang.
5.5.4 Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Kejadian TBC
(Tuberculosis)
Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara pencahayaan ruangan dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) diperoleh nilai P-Value 0.027 < 0,05 yang berarti ada
75
hubungan yang signifikan antara pencahayan rumah dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo. Dan diketahui nilai
OR sebesar 3,52 berarti bahwa responden yang di pencahayaan rumahnya
kurang baik pada kelompok kasus 3,52 kali lebih besar beresiko terkena
TBC (Tuberculosis) dibandingkan dengan responden yang pencahayaan
rumahnya kurang baik pada kelompok kontrol.
Hal ini didukung oleh peneliti yang melalukan pengukuran
pencahayaan ruang kamar responden. Dari hasil pengukuran pencahayaan
ruang tidur sebagian besar tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat
dari distribusi frekuensi dengan kelompok kasus sebanyak 25 (73,5%)
rumah responden yang tidak memenuhi syarat dan 9 (26,5%) rumah
responden yang memenuhi syarat.
Menurut Permenkes RI No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman
Penyehatan Udara dalam Ruang, pencahayaan alami dan buatan langsung
maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas
minimal 60 lux. Sinar matahari sangat dibutuhkan agar kamar tidur tidak
menjadi lembab, dan dinding kamar tidur menjadi tidak berjamur akibat
bakteri atau kuman yang masuk ke dalam kamar. Semakin banyak sinar
matahari yang masuk semakin baik. Sebaiknya jendela ruangan dibuka
pada pagi hari antara jam 6 dan jam 8.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Greis (2013) mengenai Kondisi
fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis paru.. Hasil uji statistic chi-
square menunjukkan p value 0,004 yang artinya adanya hubungan
76
bermakna antara pencahayaan alamiah ruangan tidur dengan kejadian
TBC. Dimana orang yang tinggal didalam rumah dengan suhu ruangan <
60 lux memiliki resiko 7,00 kali untuk terkena TBC dibandingkan dengan
orang yang tinggal dirumah dengan pencahayaan ≥ 60 lux. peneliti lainnya
yang mendukung penelitian ini adalah penelitian Amalia (2015) yang
meneliti Kondisi fisik rumah dengan kejadian TBC BTA+, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna
antara pencahayaan ruangan dengan kejadian Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 9 (26,5%) rumah responden
yang memenuhi syarat pencahayaan ruangan dan menderita TBC
(Tuberculosis) disebabkan karena kondisi rumah sesuai dengan kriteria
rumah sehat dimana terdapat jendela yang digunakan untuk ventilasi
ruangan pada setiap paginya di buka dan ditutup pada sore hari. Sehingga
pertukaran udara berjalan normal dan ruangan tersebut tidak gelap.
Berdasarkan hasil observasi penyebab terjadinya penyakit tbc dikarenakan
ventilasi yang ada ditutupi dengan plastik sehingga mengakibatkan udara
tidak dapat membawa bakteri. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Eko
Sasmito (2013) yang meneliti kondisi fisik rumah pasien penderita
penyakit TB Paru yang menyatakan bahwa kondisi pencahayaan yang
memenuhi syarat dapat terpapar bakteri TB apabila udara tidak dapat
masuk dalam ruangan dengan sempurna. Berdasarkan hasil pengamatan
bahwa beberapa dari responden yang tidak menederita TBC (Tuberculosis)
didapatkan pencahayaan ruangan rumah tidak memenuhi syarat hal ini
77
dikarenakan ventilasi yang minim dan juga dikarenakan posisi letak rumah
yang tidak mendukung cahaya masuk kedalam rumah. Menurut penelitian
rumah responden yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian penyakit
TBC (Tuberculosis) yaitu disebabkan karena jendela pada ruangan kamar
tidur jarang sekali dibuka dengan alasan pada siang hari tidak ada orang
dirumah, tidak ada waktu untuk membuka jendela karena pekerjaan dan
melakukan aktifitas lainnya. Sehingga ruangan tersebut panas dan gelap
karena ventilasi yang ada tidak dibuka menyebabkan pencahayaan yang
masuk kedalam ruangan tersebut minim. Hal tersebut dapat memicu
perkembangan bakteri Mycrobacterium tuberculosis jadi sebaiknya
masyarakat memanfaatkan ventilasi yang ada seperti jendela untuk dibuka
sehingga cahaya alamiah dapat masuk kedalam ruangan tempat tidur.
5.5.5 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian TBC (Tuberculosis)
Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) diperoleh nilai P-Value 0.790 < 0,05 yang berarti tidak ada
hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo. Dan diketahui nilai
OR sebesar 1,33 berarti bahwa responden yang di kepadatan hunian
rumahnya kurang baik pada kelompok kasus 1,33 kali lebih besar beresiko
terkena TBC (Tuberculosis) dibandingkan dengan responden yang
kepadatan hunian rumahnya kurang baik pada kelompok kontrol.
78
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Amalia (2015) yang meneliti
Kondisi fisik rumah dengan kejadian TBC BTA+ mengatakan bahwa
seluruh responden yang diteliti memenuhi syarat dalam kepadatan hunian.
Berdasarkan teori, rumah yang dihuni oleh banyak orang dan ukuran luas
rumah tidak sebanding dengan jumlah orang maka akan mengakibatkan
dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi terhadap penularan penyakit
dan infeksi. Semakin bertambah jumlah penghuni rumah, maka akan cepat
udara dalam rumah tercemar, karena jumlah penghuni semakin banyak
berpengaruh terhadap kadar O2, uap air dan suhu ruangan.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 11 (32,4%) responden yang
menderita TBC (Tuberculosis) dan kepadatan hunian tidak memenuhi
syarat dikarenakan dalam satu rumah padat penghuni dengan kondisi
rumah yang tidak luas, berdasarkan wawancara dengan responden yang
satu rumah dihuni oleh beberapa KK (Kepala Keluarga) dikarenakan tidak
ada tempat tinggal lain yang dapat digunakan lagi.
Menurut peneliti berdasarkan pengukuran dan wawancara lapangan
responden yang berada diwilayah kerja Puskesmas Balerejo kepadatan
huniannya sudah memenuhi syarat. Karena jumlah penghuni dalam satu
rumah sudah sesuai dengan luas lantai rumah. Dan karena di desa sebagian
besar rumah responden sangat luas. Berdasarkan hasil penelitian dalam
variabel kepadatan hunian yang sudah memenuhi ysarat tetapi menderita
TBC (Tuberculosis) hal ini dikarenakan ada faktor lain yang memicu
79
terjangkitnya TBC yaitu perkembangan virus dikarenakan kondisi
lingkungan yang mendukung penyebaran penyakit TBC.
5.5.6 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian TBC (Tuberculosis)
Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara riwayat kontak ruangan dengan kejadian
TBC (Tuberculosis) diperoleh nilai P-Value 0.001 < 0,05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara riwayat kontak dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo. Dan diketahui nilai
OR sebesar 5,96 berarti bahwa responden yang di riwayat kontak
rumahnya kurang baik pada kelompok kasus 5,96 kali lebih besar beresiko
terkena TBC (Tuberculosis) dibandingkan dengan responden yang riwayat
kontak kurang baik pada kelompok kontrol.
Hal ini didukung oleh peneliti yang melalukan wawancara dengan
responden. Dari hasil dari hasil wawancara sebagian besar tidak memenuhi
syarat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuensi dengan kelompok
kasus sebanyak 22 (64,7%) responden yang tidak memenuhi syarat dan 12
(35,3%) responden yang memenuhi syarat.
Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga cukup tinggi dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya, sedangkan besar resiko untuk terjadi penularan untuk rumah
tangga dengan penderita lebih dari satu orang adalah empat kali
dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya satu orang penderita TB.
Hal tersebut terjadi karena adanya penderita tuberkulosis di rumah dan
80
sekitarnya meningkatkan frekuensi dari durasi kontak dengan kuman
tuberkulosis yang merupaka faktor penting patogenesis tuberkulosis. Eka
Fitrani (2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Herlina (2015) mengenai
hubungan kontak serumah, luas ventilasi, dan suhu ruangan dengan
kejadian tuberkulosis paru. Hasil uji statistic chi-square menunjukkan p
value 0,016 yang artinya adanya hubungan bermakna antara riwayat
kontak dengan kejadian TBC. Dimana orang yang tinggal dengan
penderita TBC memiliki resiko 3,49 kali untuk terkena TBC
(Tuberculosis) dibandingkan dengan orang yang tidak tinggal dengan
penderita TBC.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 12 (35,5%) responden yang
menderita TBC (Tuberculosis) disebabkan karena tertular TBC
(Tuberculosis) pada saat bekerja di luar kota dan berada diluar lingkungan
rumah, hal ini sejalan dengan penelitian Jumriana (2012) yang meneliti
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru menyatakan
bahwa lingkungan tempat bekerja dapat menjadi faktor utama penyebaran
penyakit TBC (Tuberculosis) dikarenakan meningkatnya waktu
berhubungan kontak dengan orang lain pada saat diluar lingkungan rumah.
Dari hasil penelitian bahwa pada keluarga yang terdapat penderita TBC
namun responden tersebut tidak menderita TBC ini dikarenakan responden
tersebut memiliki kebiasaan hidup yang baik dan dapat mengantisipasi
agar tidak tertular penyakit TBC. Selain itu responden tersebut sering
81
melakukan aktifitas fisik yang terpapar langsung dengan matahari hal ini
dapat membunuh kuman TBC yang mungkin ditularkan oleh penderita
TBC. Menurut hasil wawancara responden yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian penyakit TBC yaitu disebebkan karena berkontak
langsung dengan penderita yang tinggal bersama dalam satu rumah.
Sebaiknya masyarakat meningkatkan kewaspadaan terutama pada
penyebaran penyakit TBC (Tuberculosis) yang dapat dengan mudah
menular melalui udara terutama pada saat berkontak langsung dengan
penderita TBC (Tuberculosis).
5.5.7 Hubungan Hygiene Sanitasi dengan Kejadian TBC (Tuberculosis)
Berdasarkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara hygiene sanitasi dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) diperoleh nilai P-Value 0.015 < 0,05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara hygiene sanitasi dengan kejadian TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo. Dan diketahui nilai
OR sebesar 3,88 berarti bahwa responden yang di hygiene sanitasi kurang
baik pada kelompok kasus 3,88 kali lebih besar beresiko terkena TBC
(Tuberculosis) dibandingkan dengan responden yang riwayat kontak
kurang baik pada kelompok kontrol.
Hal ini didukung oleh peneliti yang melalukan wawancara dengan
responden. Dari hasil dari hasil wawancara sebagian besar tidak memenuhi
syarat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuensi dengan kelompok
82
kasus sebanyak 21 (61,8%) responden yang tidak memenuhi syarat dan
13 (38,2%) responden yang memenuhi syarat.
Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari
pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya
mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan
tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga
terjamin pemelih araan kesehatan. Faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya penyakit tuberculosis adalah buang ludah sembarangan, dan
tidak menutup mulut saat batuk.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Daim (2013) mengenai studi
tentang praktik hygiene, sanitasi lingkungan dan dukungan keluarga
penderita TB BTA+ dan TB BTA-. Yang menyatakan bahwa responden
penderita TBC BTA+ masih kurang dalam pemakaian masker dan
pembuangan dahak sehingga penularan TBC menjadi cepat dan di dukung
dengan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.
Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 13 (38,2%) responden yang
menderita TBC (Tuberculosis) disebabkan responden memahami perilaku
hygiene sanitasi diri sendiri maupun lingkungan disampaikan berdasarkan
hasil kuesioner yang diisi ≥ 50% dari pertanyaan yang disampaikan.
Berdasarkan hasil observasi kondisi rumah dan perilaku responden belum
menujukan tindakan hygiene sanitasi yang benar terutama pada saat batuk
dan membuang dahak, responden belum melakukan tindakan menutup
mulut dan membuang dahak pada tempat yang khusus. Hal ini sejalan
83
dengan penelitian Daim (2013) yang menyatakan bahwa memahami
perilaku hygiene sanitasi harus juga mampu malukakan tindakan seperti
membuang dahak pada tempat yang benar agar dapat mengurangi
penyebaran penyakit TBC (Tuberculosis).
Berdasarkan hasil wawancara responden yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian penyakit TBC (Tuberculosis) yaitu disebebkan karena
responden tidak mengetahui bahwa penyakit TBC (Tuberculosis) dapat
menular melalui udara dengan cepat sehingga hygiene sanitasi responden
kurang baik terutama pada saat batuk responden kasus tidak menutup
mengunakan tangan, sarung tangan maupun tissue. Untuk itu pentingnya
penyuluhan dari kader puskesmas terutama pada tindakan hygiene sanitasi
untuk responden kasus, sehingga dapat mengurangi penyebaran penyakit
TBC (Tuberculosis).
5.6 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat
mempengaruhi hasil penelitian, yaitu sebagai berikut :
1. Penelitian ini menggunakan metode case control yaitu penelitian satu kali
waktu yang mana penelitian ini kurang memiliki hasil yang akurat terhadap
kondisi riil responden pada saat dilakukan penelitian. Namun untuk
meminimalisir hal tersebut peneliti melakukan pengamatan dengan
menggunakan lembar observasi, untuk memperkuat hasil dari penelitian.
2. Dalam penelitian ini menggunakan uji non parametrik untuk mengetahui
hubungan antar variabel dependen dan independen. Namun untuk
84
memperkuat hasil penelitian, peneliti melengkapinya dengan teori dan
penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini.
5.7 Rekomendasi Penelitan
Berdasarkan hasil penelitian maka diperlukan rekomendasi hal-hal sebagai
bererikut :
1. Mengingat masih kurangnya pengetahuan responden terutama pada
penyebaran penyakit TBC melalui kondisi fisik rumah maka sangat perlu
adanya penyuluhan kesehatan perihal penyebaran penyakit TBC dan
resiko perkembangan virus (Mycrobacterium Tuberculosis) melalui
kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.
2. Puskesmas dapat memberikan penyuluhan kepada responden yang tidak
menderita TBC terutama pada responden yang kondisi fisik rumah dan
hygiene sanitasinya tidak memenuhi syarat, hal ini dapat menekan tingkat
penularan kepada responden yang tidak memenuhi syarat.
84
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitia
hubungan antara kondisi fisik rumah dan riwayat kontak dengan penyakit TBC di
wilayah kerja Puskesmas Balerejo adalah sebagai berikut:
6. 1 Kesimpulan
1. Adanya hubungan antara suhu ruangan dengan penyakit TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo karena nilai p value
0,013, OR= 4,18 (95% CI = 1,45-11,67).
2. Adanya hubungan antara kelembaban ruangan dengan penyakit TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo karena nilai p value
0,015, OR= 3,88 (95% CI = 1,41-10,66).
3. Adanya hubungan antara pencahayaan ruangan dengan penyakit TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo karena nilai p value
0,027, OR= 3,52 (95% CI = 1,27-9,75).
4. Tidak adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan penyakit TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo karena nilai p value
0,790, OR= 1,33 (95% CI = 0,47-3,79).
5. Adanya hubungan antara riwayat kontak dengan penyakit TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo karena nilai p value
0,001, OR= 5,96 (95% CI = 2,06-17,19).
85
6. Adanya hubungan antara hygiene sanitasi dengan penyakit TBC
(Tuberculosis) di wilayah kerja Puskesmas Balerejo karena nilai p value
0,015, OR= 3,88 (95% CI = 1,41-10,66).
6. 2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti dapat mengajukan saran
antara lain sebagai berikut :
1. Bagi Puskesmas Balerejo
Diharapkan dapat memberikan informasi atau penyuluhan tentang
penyebaran penyakit TBC (Tuberculosis) dikarenakan kondisi fisik rumah
yang tidak memenuhi syarat terutama pada kelompok kasus sehingga
dapat menekan penularan TBC (Tuberculosis) pada orang lain.
2. Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia
Perlu meningkatkan referensi yang berkaitan dengan penyebaran
penyakit TBC (Tuberculosis) yang dapat dengan mudah menular kepada
masyarakat yang beresiko tinggi tertular.
3. Bagi Peneliti Lainnya
Untuk peneliti selanjutnya masih dapat mengkaji ulang berkaitan
dengan penyakit TBC (Tuberculosis) menggunakan variable yang lain
terutama pada kondisi rumah seperti kondisi lantai rumah, jenis dinding
dan kondisi lingkungan diluar rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2012. Dasar- dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.
Jakarta : Rajawali Press.
Amalia Kartika. 2015. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Anisa Nurul. 2016. Hubungan Dangambaran Lingkungan Fisik Rumah Dengan
Penderita Tb Paru Bta Positif Yang Berobat Di Rsup Dr. Kariadi
Semarang. Universitas Diponegoro Semarang.
Ayunah Y. 2008. Hubungan Antara Faktor-Faktor Kualitas Lingkungan Fisik
Rumah Dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di Kecamatan Cilandak
Kotamadya Jakarta Selatan. Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Bachtiar,I., Erniwati,I., Ruslan. 2011. Hubungan Perilaku dan Kondisi
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian TB paru di Kota Bima Provinsi
NTB. Skripsi. Universitas Hasanudin Makasar.
Chandra Budiman. 2008. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. EGC
Daim. 2013. Studi Tentang Praktik Higiene, Sanitasi Lingkungan Dan Dukungan
Keluarga Penderita Tb Bta Positif Dan Tb Bta Negatif Di Wilayah Kerja
Puskesmas Ngemplak Kabupaten Boyolali Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Depkes RI, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI.
Depkes RI, 2016. Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun. 2017. Data Semua Kasus TBC Kabupaten
Madiun Tahun 2016 dan 2017. Dinkes Kab. Madiun: Madiun.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2013. Prevalensi Tuberkulosis. Dinkes
Jateng: Semarang.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2017. Profile Kesehatan Jawa Timur.
Dinkes Jatim: Surabaya.
Eka Fitriani. 2013. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis paru. Universitas Negeri Semarang.
Eko Sasmito. 2013. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Pasien Penderita Penyakit
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Tasikmadu Karanganyar.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
87
Elena Pangastuti. 2015. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dan Kontak
Serumah Dengan Penderita Tb Dengan Kejadian Tb Paru Bta Positif.
Universitas Negeri Semarang.
Erlin Fitria. 2016. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tb
Paru Di Kota Magelang. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang
Erni Wingki. 2016. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Penyakit TB
Paru BTA(+) Di Kelurahan Lempake Kecamatan Samarinda Utara.
Skripsi. Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda.
Fatimah S. 2013. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan
dengan Kejadian TB paru di Kabupaten Cilacap Tahun 2013. Tesis.
Semarang: Universitas Diponegoro Semarang.
Fauziyah. 2015. Hubungan Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Terhadap
Kepatuhan Berobat Pada Pasien TB Rawat Jalan di RSUD Banda Aceh.
Skripsi. Univeritas Syiahkuala Aceh.
Greis Dawlie. 2013. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tobelo Kabupaten
Halmahera Utara. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Haris Suwondo. 2014. Hubungan Antara Riwayat Kontak, Kelembaban,
Pencahayaan, Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru Pada Anak Di Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Herlina. 2015. Hubungan Kontak Serumah, Luas Ventilasi, Dan Suhu Ruangan
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Desa Wori. Universitas Sam
Ratulangi Manado.
Ika Lusi. 2016. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dan Prilaku dengan
kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sangrah Kota
Semarang. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jumriana. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Maccini Sawah Kota
Makassar. UIN Alauddin Makassar.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 13/MENKES/SK/IX/2014 tentang Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat
Krishna Anand, 2013, Mengenali Keluhan Anda, Jakarta, Informasi Medika.
88
Muaz. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberculosis Paru
BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Tahun 2014.
Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mudiyono. 2015. Hubungan Antara Perilaku Ibu dan Lingkungan Fisik Rumah
dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Anak di Kota Pekalongan.
Universitas Diponegoro Semarang
Najmah. 2016. Epidemiologi Penyakit Menular. CV Trans Info Media. Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo. S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam. 2013. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;
Rahmad Anres. 2012. Laporan Praktik Kerja Profesi Rumah Sakit Di Rsup H.
Adam Malik Medan Studi Kasus Tuberkulosis. Universitas Sumatra Utara
Medan.
Sarudji Didik. 2010. Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Media Ilmu Pustaka.
Saryono dan dwi Anggraeni, Mekar. 2013. Metodelogi Penelitian Kualitatif dan
Kuantiatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta. Nuha Medika.
Soemirat. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Sugiyono. 2014. Statistika Untuk Penelitian, Cetakan ke 25. Bandung: Alfabeta
Sujarweni Wiratna. 2014. Metodelogi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :
Gava Media.
Sujarweni Wiratna. 2015. Statistik Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Gava Media.
Sunyoto, Danang. 2013. Teori, Kuesioner, dan Analisis Data Sumber Daya
Manusia (Praktik Penelitian). Yogyakarta : Center of Academic
Publishing Service.
Suyono dan Budiman. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Dalam Konteks
Kesehatan Lingkungan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
89
Suyono. 2008. Pencemaran Kesehatan Lingkungan. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
World Health Organization. 2011. Global Tuberculosis Report. Online, Health
Statistic and Information System.
World Health Organization. 2016. Global Tuberculosis Report. Online, Health
Statistic and Information System.
Lampiran 1
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)
Yang menandatangani di bawah ini, saya:
No. Responden :
Nama :
Alamat :
Setelah mendapat penjelasan tentang maksud dan tujuan serta hak dan
kewajiban sebagai responden. Dengan ini menyatakan dengan sungguh- sungguh
bahwa saya bersedia menjadi responden dalam penelitian yang berjudul
“Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah, Riwayat Kontak dan Hygiene
Sanitasi dengan Kejadian TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Balerejo”.
Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan penuh kesadaran tanpa ada
paksaan dari pihak lain. Saya percaya apa yang saya buat dijamin kerahasiaannya.
Madiun, 2018
Responden
(……………………..)
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN RIWAYAT KONTAK
DENGAN KEJADIAN TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
BALEREJO
Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan jujur!
2. Berilah tanda centang (√ ) pada kolom pertanyaan yang sesuai!
3. Setelah mengisi jawaban pada kuesioner ini, mohon diperiksa kembali
agar pertanyaan yang belum terisi tidak terlewat (kosong)!
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. No. Responden : ....................................................
2. Kelompok : ( kasus / kontrol ) coret salah satu
3. Nama Responden : ....................................................
4. Alamat : ....................................................
5. Umur : ....................................................
6. Jenis Kelamin : L / P (Lingkari Salah Satu)
7. Pendidikan Terakhir : (Lingkari Salah Satu)
a. Tidak sekolah/tidak tamat SD
b. SD/sederajat
c. SLTP/sederajat
d. SMA/SMK
e. Akademik/perguruan tinggi
8. Pekerjaan : (Lingkari Salah Satu)
a. Buruh e. PNS
b. Petani f. Tidak bekerja
c. Pedagang g. Lain-lain,...
d. Pegawai Swasta
PERTANYAAN
B. RIWAYAT KONTAK PENDERITA LAIN
a. Untuk Kasus
NO. Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1. Sebelum anda menderita tuberculosis paru
apakah dalam keluarga anda ada yang
mengalami gejala tuberculosis paru seperti:
batuk berdahak, batuk darah, nyeri dada yang
menahun ?
2. Jika ya, anda serumah dengan penderita
tersebut.
3. Sebelum anda menderita tuberculosis paru
apakah Anda mempunyai teman atau tetangga
yang mengalami gejala tuberkulosis paru
seperti: batuk berdahak, batuk darah, nyeri
dada yang menahun.
4. Anda pernah berhubungan atau kontak
langsung dengan penderita.
b. Untuk Kontrol
NO. Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1. Apakah anda pernah mengalami gejala
tuberculosis paru seperti: batuk berdahak,
batuk darah, nyeri dada yang menahun ?
2. Jika ya, apakah anda pernah memeriksakan
gejala tersebut pada petugas kesehatan ?
3. Apakah mempunyai keluarga, teman atau
tetangga yang mengalami gejala tuberkulosis
paru seperti: batuk berdahak, batuk darah,
nyeri dada yang menahun.
4. Apakah anda pernah berhubungan atau
kontak langsung dengan penderita.
C. HYGIENE SANITASI LINGKUNGAN
NO. Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1. Apakah anda membuang dahak/ludah
di tempat khusus (tidak sembarangan) ?
2. Apakah anda menutup mulut saat batuk ?
3. Apakah anda menggunakan masker saat
batuk?
4. Apakah anda menutup mulut saat bersin ?
5. Apakah anda menutup mulut dengan tisu/sapu
tangan saat batuk dan bersin ?
NO. Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
6. Ketika anda menderita penyakit pernapasan
apakah anda minum obat secara teratur
sampai sembuh?
7. Apakah anda menghindari konsumsi
minuman beralkohol dan merokok ketika
menderita penyakit pernapasan?
8. Ketika anda menderita penyakit pernapasan
apakah anda tidur terpisah dengan orang
sehat?
9. Apakah anda menjemur alat tidur secara
teratur?
10. Apakah anda membuka ventilasi dan jendela
setiap pagi sertiap hari?
Lembar Observasi
1. Suhu : oC
2. Kelembaban : %
3. Pencahayaan : Lux
4. Kepadatan Hunian :
a. Luas Lantai : m2
b. Jumlah Anggota Keluarga : orang
Lampiran 3
Coding Penelitian
No. Nama Jenis
Kelamin
Usia Pendidikan Pekerjaan Suhu Kelembaban Pencahayaan Kepadatan
Hunian
Riwayat
Kontak
Hygiene
Sanitasi
1. S 1 2 1 2 1 0 0 1 1 1
2. D 2 3 1 5 0 0 0 1 0 0
3. T 1 4 1 1 0 1 1 0 0 0
4. R 2 2 1 5 1 0 0 1 0 0
5. S 1 2 2 2 0 1 1 0 1 0
6. Y 1 1 2 3 0 0 0 1 0 0
7. J 1 2 1 2 0 0 0 1 1 0
8. L 2 1 1 3 0 0 1 1 0 1
9. C 1 1 3 4 0 0 0 1 0 0
10. H 2 3 2 3 0 1 0 0 0 1
11. D 1 1 2 3 0 0 0 1 1 0
12. S 1 3 1 2 0 1 0 0 0 0
13. P 1 4 1 1 0 0 0 1 0 0
14. D 1 2 1 2 1 1 1 1 0 0
15. S 1 2 1 1 0 0 0 1 0 0
16. S 2 1 1 5 0 0 0 0 1 1
17. P 1 2 1 1 1 1 1 1 0 0
18. S 1 3 1 2 0 0 0 1 1 0
19. S 2 2 1 1 0 0 0 0 0 0
20. Y 1 3 1 2 0 0 0 1 0 1
21. L 2 2 2 3 1 1 0 1 0 1
22. P 2 3 1 2 0 0 0 1 0 0
No. Nama Jenis
Kelamin
Usia Pendidikan Pekerjaan Suhu Kelembaban Pencahayaan Kepadatan
Hunian
Riwayat
Kontak
Hygiene
Sanitasi
23. S 1 1 1 3 0 0 0 0 0 1
24. S 1 3 1 2 0 0 0 1 1 0
25. S 1 2 2 2 0 1 1 1 1 1
26. K 2 1 1 1 0 0 0 0 0 0
27. D 1 2 2 2 0 0 0 1 1 1
28. S 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1
29. N 1 3 1 1 1 1 1 1 1 0
30. T 2 3 1 2 1 0 0 0 0 1
31. G 1 4 2 1 0 0 0 1 1 0
32. T 2 2 1 2 1 0 0 1 0 1
33. A 1 2 1 2 0 0 1 0 0 0
34. K 1 4 2 1 0 1 1 1 1 1
35. R 2 3 1 5 1 0 0 0 1 1
36. A 1 2 1 2 0 0 0 1 1 1
37. H 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1
38. B 1 2 2 2 1 0 0 1 1 0
39. R 2 1 2 1 1 1 1 0 1 0
40. Y 1 4 1 1 0 0 0 1 1 1
41. T 2 3 2 2 0 1 1 1 0 0
42. Y 2 2 1 5 1 0 0 0 1 0
43. R 1 2 2 2 1 1 0 1 0 1
44. H 1 2 2 2 1 1 1 0 1 1
45. K 1 3 1 2 0 0 0 1 1 1
46. I 2 2 2 2 1 1 1 0 0 1
47. R 1 4 1 1 0 1 0 1 1 1
No. Nama Jenis
Kelamin
Usia Pendidikan Pekerjaan Suhu Kelembaban Pencahayaan Kepadatan
Hunian
Riwayat
Kontak
Hygiene
Sanitasi
48. Y 2 1 2 2 1 0 1 1 1 1
49. S 2 4 1 5 0 1 1 1 1 1
50. S 2 3 1 2 1 0 0 1 0 1
51. K 1 4 1 1 0 1 1 1 1 1
52. G 1 2 1 3 1 1 1 1 1 0
53. L 1 3 1 1 1 0 0 0 1 1
54. T 2 3 1 3 0 1 1 1 1 1
55. D 2 4 1 5 1 0 1 1 1 0
56. P 1 3 1 3 0 1 1 1 1 1
57. I 2 3 1 3 1 1 1 0 1 1
58. A 2 3 1 1 0 1 0 1 1 1
59. N 2 1 2 2 1 1 1 1 0 0
60. Z 1 2 1 1 1 0 0 1 1 1
61. S 1 1 2 1 1 1 0 1 0 0
62. A 1 2 1 2 0 1 0 1 1 1
63. S 2 2 1 5 1 1 1 1 1 1
64. K 1 3 1 2 0 0 1 0 1 0
65. H 1 2 1 2 0 1 1 1 1 1
66. T 2 1 1 1 1 1 1 1 0 1
67. K 2 3 1 2 0 0 0 0 1 1
68. N 2 1 2 2 0 1 1 1 1 1
Lampiran 4
Lembar Konsultasi
Lampiran 5
Hasil Validitas dan Reliabilitas
A. VALIDITAS RIWAYAT KONTAK (KASUS)
Correlations
P1 P2 P3 P4 TOTAL
P1 Pearson Correlation 1 .075 .853** .075 .687
**
Sig. (2-tailed) .789 .000 .789 .005
N 15 15 15 15 15
P2 Pearson Correlation .075 1 .354 1.000** .760
**
Sig. (2-tailed) .789 .196 .000 .001
N 15 15 15 15 15
P3 Pearson Correlation .853** .354 1 .354 .859
**
Sig. (2-tailed) .000 .196 .196 .000
N 15 15 15 15 15
P4 Pearson Correlation .075 1.000** .354 1 .760
**
Sig. (2-tailed) .789 .000 .196 .001
N 15 15 15 15 15
TOTAL Pearson Correlation .687** .760
** .859
** .760
** 1
Sig. (2-tailed) .005 .001 .000 .001
N 15 15 15 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
B. RELIABILITAS RIWAYAT KONTAK (KASUS)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.804 5
C. VALIDITAS RIWAYAT KONTAK (KONTROL)
Correlations
P1 P2 P3 P4 TOTAL
P1 Pearson Correlation 1 .055 .289 .444 .642**
Sig. (2-tailed) .847 .297 .097 .010
N 15 15 15 15 15
P2 Pearson Correlation .055 1 .472 .327 .670**
Sig. (2-tailed) .847 .075 .234 .006
N 15 15 15 15 15
P3 Pearson Correlation .289 .472 1 .289 .730**
Sig. (2-tailed) .297 .075 .297 .002
N 15 15 15 15 15
P4 Pearson Correlation .444 .327 .289 1 .742**
Sig. (2-tailed) .097 .234 .297 .002
N 15 15 15 15 15
TOTAL Pearson Correlation .642** .670
** .730
** .742
** 1
Sig. (2-tailed) .010 .006 .002 .002
N 15 15 15 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
D. RELIABILITAS RIWAYAT KONTAK (KONTROL)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.776 5
E. VALIDITAS HYGIENE SANITASI
Correlations
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 TOTAL
P1 Pearson Correlation 1 .526** .106 .813
** .196 -.005 .196 .367
* .342 .367
* .601
**
Sig. (2-tailed) .003 .578 .000 .300 .980 .300 .046 .064 .046 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P2 Pearson Correlation .526** 1 .132 .683
** .190 .247 .190 .439
* .476
** .577
** .687
**
Sig. (2-tailed) .003 .486 .000 .314 .189 .314 .015 .008 .001 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P3 Pearson Correlation .106 .132 1 -.029 .463** .558
** .772
** .208 .463
** .356 .603
**
Sig. (2-tailed) .578 .486 .878 .010 .001 .000 .270 .010 .053 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P4 Pearson Correlation .813** .683
** -.029 1 .189 -.018 .047 .327 .472
** .327 .589
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .878 .317 .923 .804 .077 .008 .077 .001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P5 Pearson Correlation .196 .190 .463** .189 1 .342 .550
** .289 .250 .289 .567
**
Sig. (2-tailed) .300 .314 .010 .317 .064 .002 .122 .183 .122 .001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P6 Pearson Correlation -.005 .247 .558** -.018 .342 1 .489
** .367
* .489
** .649
** .623
**
Sig. (2-tailed) .980 .189 .001 .923 .064 .006 .046 .006 .000 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P7 Pearson Correlation .196 .190 .772** .047 .550
** .489
** 1 .144 .400
* .433
* .634
**
Sig. (2-tailed) .300 .314 .000 .804 .002 .006 .447 .029 .017 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P8 Pearson Correlation .367* .439
* .208 .327 .289 .367
* .144 1 .433
* .722
** .659
**
Sig. (2-tailed) .046 .015 .270 .077 .122 .046 .447 .017 .000 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P9 Pearson Correlation .342 .476** .463
** .472
** .250 .489
** .400
* .433
* 1 .722
** .768
**
Sig. (2-tailed) .064 .008 .010 .008 .183 .006 .029 .017 .000 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P10 Pearson Correlation .367* .577
** .356 .327 .289 .649
** .433
* .722
** .722
** 1 .831
**
Sig. (2-tailed) .046 .001 .053 .077 .122 .000 .017 .000 .000 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
TOTAL Pearson Correlation .601** .687
** .603
** .589
** .567
** .623
** .634
** .659
** .768
** .831
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .001 .001 .000 .000 .000 .000 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
F. RELIABILITAS HYGIENE SANITASI
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.761 11
Lampiaran 6
Surat Ijin Penelitian
Lampiran 7
Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Pengukuran Suhu Ruang Tidur Responden
Gambar 2 Wawancara dengan Responden Kontrol
Gambar 3 Pengukuran Pencahayaan Kamar Tidur Responden
Gambar 4 Wawancara dengan Responden Kasus