Skripsi Manajemen Hutan
-
Upload
fengki-ilham-alfadli -
Category
Documents
-
view
833 -
download
6
Transcript of Skripsi Manajemen Hutan
PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN
TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
AMRIZAL YUSRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN
TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
AMRIZAL YUSRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN AMRIZAL YUSRI. E34062415. Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan LILIK BUDI PRASETYO.
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu kawasan konservasi yang mengalami perubahan penutupan lahan hutan yang disebabkan aktivitas tak terkendali oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Masyarakat menggarap lahan disektor pertanian berupa lahan sayur dan kebun yang dikhawatirkan akan menyebabkan konversi hutan dan perubahan penutupan lahan khususnya ladang di kawasan TNGC. Data dan informasi mengenai kondisi kawasan TNGC dapat dianalisis melalui teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besar, laju perubahan dan distribusi spasial penutupan lahan TNGC selama periode 2006-2009 serta mengetahui faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perambahan di TNGC.
Pengambilan data penelitian berupa data sosial masyarakat dan ground control point dilakukan di TNGC selama satu bulan pada bulan Juli 2010. Data yang dikumpulkan adalah data spasial berupa peta, citra Landsat ETM+ dan TM tahun 2006 dan 2009 serta data atribut yang meliputi karakter sosial ekonomi masyarakat, pengetahuan serta sikap masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh. Hasil pengolahan citra dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan data atribut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan.
Tipe penutupan lahan di TNGC terdiri atas hutan alam, hutan tanaman pinus, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada periode 2006-2009 terjadi peningkatan dan penurunan luas penutupan lahan. Penutupan lahan yang mengalami penurunan luas adalah lahan terbuka sebesar 979.2 ha (-2.26%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan, hutan alam sebesar 51.21 ha (-0.01%) yang terluas di Kecamatan Cigugur dan badan air sebesar 1.62 ha (0.08%). Peningkatan luas terjadi pada tipe penutupan lahan ladang sebesar 178.29 ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Argapura, semak sebesar 746.73 ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan dan hutan tanaman sebesar 92.88 ha (0.06%) yang terluas di Kecamatan Cilimus. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang mempengaruhi perambahan adalah tingkat pendapatan di luar kawasan, pengetahuan khususnya terhadap fungsi lindung serta sikap masyarakat terhadap keberadaan hutan. Untuk mengantisipasi perluasan perambahan kawasan hutan perlu dilakukan upaya pengelola dalam peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasi kawasan taman nasional serta sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat mengenai kawasan taman nasional.
Kata kunci: penutupan lahan, sosial ekonomi, taman nasional, SIG.
SUMMARY AMRIZAL YUSRI. E34062415. Land Cover Changes and Analysis of Factors Causing Expansion In Gunung Ciremai National Park Area. Under supervision of SAMBAS BASUNI and LILIK BUDI PRASETYO.
Gunung Ciremai National Park (GCNP) is one of the conservation areas that has been facing forest land cover changes due to uncontrolled activities of people around the area. They have been practicing shifting cultivation system for horticulture that can lead to forest conversion and land cover changes especially fields in GCNP area. Data and information of the conditions in GCNP area can be analyzed through technology Geographic Information System (GIS). The aim of this research was to know rate of land cover and spatial distribution on land cover in GCNP for year periods of 2006-2009 and investigate socio-economic factors that influence expansion in GCNP.
Data on sosial and ground control point were taken in GCNP for one month in July 2010. Collected data included spatial data in the form of maps, Landsat image ETM+ year 2006 and TM year 2009 and attributed data including socio-economic conditions, knowledge and attitude of people. Spatial data were analyzed using Geographic Information System (GIS) technology. The results of image processing were analyzed qualitatively and quantitatively using the attribute data to determine its impact on land cover changes.
Land cover types in GCNP consisted of virgin forest, pine plant forest, shrubs, fields, water bodies, open land and no data. In the period 2006-2009, there were either increases or decreases in land cover areas. Land cover of open land was decreased by 979.2 ha (-2.26%) with the largest in Pasawahan Subdistrict, virgin forest by 51.21 ha (-0.01%) with the largest in Cigugur Subdistrict and water bodies by 1.62 ha (0.08%). On the other hand, land cover of fields was increased by 178.29 ha (0.18%) with the largest in Argapura Subdistrict, shrubs by 746.73 ha (0.18%) with the largest in Pasawahan Subdistrict and pine plant forest by 92.88 ha (0.06%) with the largest in Cilimus Subdistrict. Socio-economic factors that influenced expansion of land cultivation into the park areas were rate of income in outside area, knowledge especially on cover function and attitude of people to the existing forest. To anticipate expansion of land cultivation into the forest area, the national park should create alternative beneficial projects in order to improve people income outside national park zone, rehabilitation of zone of natonal park and supervise the activities to people about national park.
Keywords: land cover, socio-economic, national park, GIS
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perubahan
Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremai” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Amrizal Yusri
NRP E34062415
Judul : Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab
Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
Nama : Amrizal Yusri
NRP : E34062415
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,MS Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP. 19580915 198403 1 003 NIP. 19620316 198803 1 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih pada berbagai pihak yang telah
membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih
dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran
dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc, Ir. Sudaryanto dan Ir. Oemijati
Rachmatsjah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan
saran dalam menyempurnakan penyusunan skripsi ini.
3. Bapak, Ibu, Mbah Putri dan Kakak atas doa, kasih sayang dan segala
dukungan baik moril maupun materi yang diberikan kepada penulis hingga
skripsi ini selesai.
4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis
selama kuliah
5. Teman-teman di Laboratorium Manajemen Kawasan dan Laboratorium
Analisis Spasial Lingkungan atas pertukaran ilmu, kerjasama dan bantuan
yang diberikan.
6. Seluruh keluarga besar Departemen KSHE terutama KSHE 43
“Cendrawasih” atas bantuan, kebersamaan dan kekeluargaan yang telah
terjalin selama ini.
7. Keluarga besar HIMAKOVA periode 2008-2009 dan 2009-2010 atas
pertukaran ilmu, pengalaman serta dukungannya selama ini.
8. Pengurus Kelompok Pemerhati Goa “HIRA” HIMAKOVA Kelompok
Pemerhati ekowisata” TAPAK” atas pengalaman dan dukungan yang telah
diberikan.
9. Heri, Dian dan Erlin sebagai teman seperjuangan yang sudah membantu
penelitian di Ciremai.
10. Teh Nisa, Pak Robi, Pak Engkos, dan semua staf kerja TNGC yang sudah
membantu pengambilan data di Ciremai.
11. Reni, Haray, Arga, Chachaw, Nano atas segala bantuan doa, tenaga,
akomodasi dan fasilitasnya.
12. Anak-anak “AUTIS” dengan tingkahnya yang memberikan kelucuan canda
dan tawa yang luar biasa tak terhingga.
13. My sweetheart “Listya Citraningtyas” yang selalu memberikan support,
motivasi, semangat, cinta dan kasih sayang yang besar. Luv u..
14. My ride bluesky yang selalu menemani hari-hariku yang indah dan menemani
selama penelitian ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Juni 1988
sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Kuswandi dan Ibu Pawartining Yuliati. Penulis
menyelesaikan pendidikan formal di SDN Pengadilan 2
Bogor (2000), SLTPN 2 Bogor (2003) dan SMAN 1
Bogor (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi
kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Biro Kekeluargaan pada tahun 2008
dan anggota Biro Sosial Lingkungan pada tahun 2009. Penulis juga tergabung
dalam Kelompok Pemerhati Gua (KPG) “Hira” HIMAKOVA dan Kelompok
Pemerhati Ekowisata (KPE) “Tapak” HIMAKOVA. Penulis pernah melaksanakan
praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata
Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa
Barat, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional
Bukit Baka Bukit Raya dan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di
Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2008,
Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)
dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional
Manupeu Tanadaru pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP)
di Taman Nasional Gunung Merapi pada tahun 2010.
Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul
“Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan
Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir.
Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah
yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan
Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” merupakan salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi
berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna,
oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya
ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional ................................................................................ 4
2.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan ..................... 7
2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) ..................................................... 8
2.4 Penginderaan Jauh ............................................................................. 9
2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat ............ 10
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu .............................................................................. 16
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................. 17
3.3 Jenis Data .......................................................................................... 17
3.4 Metode Pengambilan Data ................................................................ 17
3.4.1 Data spasial ............................................................................. 17
3.4.2 Data atribut .............................................................................. 17
3.5 Analisis Data ..................................................................................... 19
3.5.1 Data spasial ............................................................................. 19
3.5.2 Data atribut .............................................................................. 23
BAB IV KONDISI UMUM
4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai ..................................................... 27
4.1.1 Sejarah kawasan ...................................................................... 27
ii
4.1.2 Letak dan luas wilayah ............................................................ 29
4.1.3 Topografi dan iklim ................................................................ 29
4.1.4 Hidrologi ................................................................................. 29
4.1.5 Vulkanologi ............................................................................. 29
4.1.6 Kondisi biologis ...................................................................... 30
4.1.7 Potensi wisata .......................................................................... 31
4.2 Daerah Penyangga TNGC ................................................................. 31
4.2.1 Letak dan luas ......................................................................... 31
4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ...................................... 32
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC ................................................ 34
5.1.1 Klasifikasi penutupan lahan .................................................... 35
5.1.2 Penutupan lahan di TNGC tahun 2006 ................................... 37
5.1.3 Penutupan lahan di TNGC tahun 2009 ................................... 39
5.2 Perubahan Penutupan Lahan .............................................................. 42
5.3 Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Perambahan Lahan ..... 54
5.3.1 Karakterisitik sosial ekonomi masyarakat ............................... 54
5.3.2 Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan
garapan dalam kawasan ......................................................... 59
5.3.3 Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan
TNGC .................................................................................... 65
5.4 Pengendalian Penggunaan Lahan ...................................................... 69
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 72
6.2 Saran .................................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 74
LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
iii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Saluran citra Landsat TM ....................................................................... 10
2. Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data
penginderaan jauh ................................................................................... 10
3. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ........................................ 12
4. Objek wisata alam di TNGC .................................................................. 31
5. Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat ................... 36
6. Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009 ................. 42
7. Penutupan lahan tiap kecamatan............................................................. 43
8. Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan ........................................... 44
9. Data luasan kebakaran di TNGC ............................................................ 51
10. Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan
dalam kawasan ........................................................................................ 60
11. Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan ..... 61
12. Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam
kawasan .................................................................................................. 62
13. Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam
kawasan .................................................................................................. 63
14. Hubungan luas lahan garapan diluar kawasan dengan luas lahan
garapan dalam kawasan .......................................................................... 64
15. Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam
kawasan .................................................................................................. 65
16. Pengetahuan responden mengenai TNGC .............................................. 66
17. Alasan responden menggarap lahan TNGC ........................................... 67
18. Sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC ....................... 68
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta lokasi pengambilan data penelitian ................................................. 16
2. Tahapan pengolahan citra ....................................................................... 19
3. Proses konversi peta analog ke peta digital............................................. 20
4. Tahapan analisis perubahan penutupan lahan ........................................ 22
5. Penutupan dan penggunaan lahan ........................................................... 34
6. Peta penutupan lahan TNGC tahun 2006 ............................................... 39
7. Peta penutupan lahan TNGC tahun 2009. ............................................... 41
8. Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun 2006-2009. ............ 46
9. Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun
2006-2009. .............................................................................................. 48
10. Peta distribusi ladang dalan kawasan TNGC. ......................................... 49
11. Peta distribusi semak belukar TNGC. ..................................................... 51
12. Peta distribusi lahan terbuka TNGC. ...................................................... 53
13. Persentase responden menurut mata pencaharian sampingan ................. 54
14. Persentase responden menurut usia kerja ................................................ 55
15. Persentase responden menurut luas garapan diluar kawasan .................. 55
16. Persentase responden menurut luas garapan dalam kawasan ................. 56
17. Persentase responden menurut jenis penggunaan lahan.......................... 57
18. Persentase responden menurut tanggungan keluarga .............................. 57
19. Persentase responden menurut pendapatan ............................................. 58
20. Persentase responden menurut pendidikan ............................................. 58
21. Persentase responden menurut lama menggarap .................................... 59
v
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Uji akurasi ................................................................................................ 77
2. Daftar identitas responden ........................................................................ 81
3. Kuisioner responden ................................................................................. 82
4. Uji normalitas data ................................................................................... 84
5. Uji chi-square ........................................................................................... 85
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditunjuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004
mengenai perubahan fungsi hutan lindung dan hutan produksi pada kelompok
Hutan Gunung Ciremai seluas + 15500 ha terletak di Kabupaten Kuningan dan
Majalengka Provinsi Jawa Barat menjadi taman nasional. Taman Nasional
Gunung Ciremai merupakan kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan
pelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, daerah resapan air bagi
kawasan dibawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan,
Majalengka dan Cirebon serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk
kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) dan industri. Pada saat status kawasan masih hutan produksi
yang dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat diperbolehkan menggarap
kawasan dengan adanya sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
dengan pola tumpang sari. Kegiatan tumpang sari oleh masyarakat cenderung
mengkonversi lahan hutan yang tidak terkendali sehingga dapat menyebabkan
perluasan lahan kritis, berkurangnya tutupan lahan serta menghilangnya fungsi
lindung dan konservasi kawasan.
Menurut BTNGC (2006), sekitar 2000 ha lahan hutan kini sudah menjadi
ladang kentang dan kebun kopi. Kerusakan yang terjadi seluas 4829.9 ha di lereng
bagian selatan Gunung Ciremai akibat aktivitas masyarakat berupa penggarapan
lahan sayur tanpa memperdulikan fungsi kawasan tersebut (BTNGC 2006).
Gangguan-gangguan yang terjadi selain penggarapan lahan secara intensif antara
lain adanya perubahan tegakan hutan alam menjadi tegakan hutan tanaman pinus
dengan menanam kebun campuran, perusakan hutan, pencurian kayu dan
kebakaran hutan yang mengakibatkan kondisi kawasan TNGC semakin
memprihatinkan dari tahun ke tahun. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi
maka akan menimbulkan dampak negatif diantaranya bahaya banjir, longsor,
sedimentasi sungai dan waduk, hilangnya stok air tanah akibat aliran permukaan
2
(run off), serta menurunnya kuantitas dan kualitas pangan daerah dan nasional
akibat kurangnya air untuk irigasi persawahan.
Perkembangan perubahan tutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGC
sebagai salah satu dasar pengelolaan kawasan, dapat dilihat dengan menggunakan
teknologi sebagai alat monitor terhadap perubahan tutupan lahan. Teknologi yang
dapat digunakan adalah aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG). Sistem
Informasi Geografi merupakan suatu perangkat yang dapat membantu
memperoleh data-data spasial dalam waktu singkat. Penggunaan Sistem Informasi
Geografi dapat mempermudah mengetahui perubahan penutupan lahan.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan
tutupan lahan sehingga dapat menganalisis dinamika perubahan penutupan lahan
yang terjadi dan membantu Balai TNGC untuk mengambil langkah lanjutan
dalam penyelesaian permasalahan tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Perubahan penutupan lahan di kawasan TNGC akibat aktivitas masyarakat
berupa penggarapan lahan yang semakin tidak terkendali akan menurunkan fungsi
kawasan sebagai fungsi lindung dan konservasi. Berdasarkan permasalahan
tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan :
1 Seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di TNGC?
2 Bagaimana distribusi penutupan lahan di TNGC?
3 Faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di
TNGC?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1 Mengetahui besar dan laju perubahan penutupan lahan TNGC periode 2006-
2009.
2 Mengetahui distribusi spasial perubahan penutupan lahan TNGC periode 2006-
2009.
3 Menganalisis faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya
perambahan lahan di TNGC.
3
1.4 Manfaat
Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai informasi
mengenai perubahan penutupan lahan TNGC dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya serta kaitannya dengan kondisi masyarakat. Selain itu juga
sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola TNGC dalam manajemen kawasan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional
Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi (Dephut 1990). Taman nasional merupakan kawasan alami baik darat dan
atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis satu atau lebih
ekosistem untuk generasi saat ini dan yang akan datang, (b) meniadakan
eksploitasi atau penggunaan yang berlawanan dengan maksud penunjukan
kawasan dan (c) menyediakan dasar bagi kepentingan spiritual, ilmu pengetahuan,
pendidikan dan rekreasi yang sesuai dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994).
IUCN memberikan karakteristik mengenai taman nasional sebagai berikut:
1 Taman nasional merupakan suatu kawasan alami yang cukup luas terdiri dari
satu atau beberapa ekosistem yang tidak banyak dijamah oleh manusia. Dalam
kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan eksploitasi, berkembang berbagai
jenis flora dan fauna, serta memiliki nilai ilmiah, pendidikan serta rekreasi.
2 Kegiatan pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pemerintah yang
ditujukan untuk melestarikan potensi sumberdaya alam dan ekosistem taman
nasional.
3 Kawasan yang dapat dikunjungi oleh masyarakat dan dikelola untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merubah ciri-ciri ekosistem
yang ada karena memiliki unsur-unsur pendidikan, penelitian, ilmiah dan
rekreasi ilmiah.
Berdasarkan IUCN (1994), terdapat enam tujuan pengelolaan taman
nasional, yaitu :
1 Melindungi kawasan alami dan indah untuk pemanfaatan spiritual, ilmiah,
pendidikan dan rekreasi.
2 Mengelola penggunaan pengunjung untuk tujuan rekreasi, budaya dan
pencarian inspirasi pada tingkat yang akan menjaga kealamiahan kawasan.
5
3 Memelihara keanekaragaman dan kestabilan ekologis sumberdaya genetik dan
spesies dalam kondisi alami.
4 Menjaga atribut ekologis, geomorfologis dan estetis yang menjamin penetapan
kawasan.
5 Mencegah eksploitasi atau penggunaan yang bertentangan dengan tujuan
penetapan kawasan.
6 Menghitung kebutuhan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya.
Secara ekologis, taman nasional memiliki manfaat bagi masyarakat
sekitar, misalnya dalam hal pengendalian banjir, menyediakan air minum saat
musim kemarau, selain itu adanya spesies liar dapat membantu dalam pertanian
misalnya burung-burung pemakan hama dan serangga dalam penyerbukan
(MacKinnon et al. 1990). Secara ekonomi dan sosial dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas lingkungan, produktivitas usaha tani, produktivitas usaha kerja dan
jasa-jasa lingkungan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan
perekonomian.
Soewardi (1978) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pokok, taman
nasional memerlukan adanya alokasi ruang yang berfungsi untuk perlindungan
dan pemanfaatan itu sendiri yang disebut sistem zonasi. Menurut Soewardi (1978)
taman nasional setidaknya harus mempunyai:
1 Zona inti, pada zona ini kegiatan manusia sangat terbatas hanya untuk
penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan dan ilmu
pengetahuan dan tidak boleh ada bangunan permanen.
2 Zona rimba, merupakan kawasan zona yang tidak boleh ada bangunan
permanen, kegiatan hanya sebatas penelitian, pendidikan dan wisata alam
terbatas.
3 Zona pemanfaatan, merupakan wilayah yang dikhususkan untuk pemanfaatan
baik untuk sarana pengelolaan taman nasional berupa penelitian, penunjang
budidaya maupun kegiatan wisata antara lain dengan penyediaan bumi
perkemahan, shelter dan lain-lain.
Selain itu, zona-zona lain yang mungkin diperlukan dalam taman nasional
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat adalah zona rehabilitasi, zona
pemanfaatan tradisional, zona kultural/budaya dan zona penyangga (MacKinnon
6
et al. 1990). Menurut pasal 16 ayat 2 Undang-undang No 5 Tahun 1990, daerah
penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka
alam/pelestarian alam, baik kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah
yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan.
Daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang
dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan
perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat
bagi masyarakat pedesaan di sekitarnya (MacKinnon et al. 1990).
Menurut MacKinnon et al. (1990) daerah penyangga memiliki dua fungsi
utama, yaitu :
1 Penyangga perluasan, memperluas kawasan habitat yang terdapat di kawasan
yang dilindungi ke dalam kawasan penyangga. Contohnya hutan produksi,
kawasan buru, hutan alami yang digunakan penduduk untuk mencari kayu
bakar, kawasan terlantar dan padang penggembalaan.
2 Penyangga sosial, dimana pemanfaatan sumberdaya alam dari kawasan
penyangga merupakan hal sekunder dan tujuan pengelolaannya adalah
menyediakan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat
setempat. Tetapi penggunaan tanah untuk tujuan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan tujuan utama dari kawasan yang dilindungi.
MacKinnon et al.(1990) membagi beberapa tipe utama daerah penyangga
taman nasional, yaitu :
1 Zona pemanfaatan tradisional di dalam kawasan yang dilindungi. Ada situasi
ketika tidak ada tanah yang cocok di luar kawasan konservasi untuk ditetapkan
sebagai zona penyangga serta lebih disukai untuk mengizinkan pengumpulan
produk alam tertentu dari beberapa bagian kawasan konservasi atau pada
waktu-waktu tertentu daripada menjadikan lahan yang bernilai penting sebagai
kawasan penyangga.
2 Penyangga hutan. Termasuk hutan kayu bakar atau bahan bangunan yang
terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di atas tanah negara.
Hutan ini dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya, atau
bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang
berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa setempat, selain berfungsi
7
melindungi air dan tanah. Penggalakan hutan tanaman di zona penyangga
mungkin merupakan satu-satunya strategi pengelolaan sumberdaya yang
efektif untuk menjamin keutuhan kawasan yang dilindungi dalam jangka
waktu yang panjang.
3 Penyangga ekonomi. Daerah penyangga diperlukan untuk mengurangi
keperluan masyarakat desa dari mengambil sumberdaya dari dalam kawasan
konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial
atau komunikasi, atau lahan produktif, perburuan terkendali di daerah
penyangga dekat kawasan konservasi, bahkan uang tunai dari penghasilan
kawasan konservasi.
4 Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah
penyangga, maka batas kawasan itu sendiri harus berfungsi sebagai
penyangga. Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan,
kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Pada beberapa kasus, yang diperlukan
hanyalah batas yang jelas terlihat seperti sebaris atau jalur tipis pohon-pohon
yang mencolok sebagai batas hidup.
3.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan adalah jenis
kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan tersebut
dapat berupa gangguan hutan, penyerobotan lahan dan perladangan berpindah
(Khalil 2009). Gangguan terhadap hutan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu
faktor alam dan manusia. Gangguan yang disebabkan oleh alam meliputi
kebakaran hutan akibat petir dan kemarau, letusan gunung berapi, gempa bumi,
tanah longsor, banjir dan erosi. Sementara itu gangguan yang disebabkan oleh
manusia dapat berupa penebangan dan pencurian kayu, perambahan lahan dan
kebakaran dengan sistem ladang berpindah. Lillesand dan Kiefer (1993)
menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan
pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan terjadi akibat responnya
terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi
lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya (Meffe & Carrol 1994 dalam Basuni
2003).
8
Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian,
aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah.
Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah telah mendorong
penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman
ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah
berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut.
Perubahan penduduk yang bekerja dibidang pertanian memungkinkan terjadinya
perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja dibidang
pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong
penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan.
Menurut Darmawan (2002), salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan penutupan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat
yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar
kawasan. Peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan
penutupan dan penggunaan lahan adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan
penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman dan perluasan areal
pertanian (Yatap 2008).
2.3 Sistem Informasi Geografi (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari
perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang
dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate,
memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang
bereferensi geografi (ESRI 1990). Sistem informasi geografis adalah sistem
komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini
diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang
berfungsi untuk (a) akuisisi dan verifikasi data, (b) kompilasi data, (c) penyimpan
data, (d) perubahan dan updating data, (e) manajemen dan pertukaran data, (f)
manipulasi data, (g) pemanggilan dan presentasi data dan (h) analisis data (Bern
1992 dalam Prahasta 2005).
9
Menurut Prahasta (2005), sistem informasi geografi merupakan sistem
yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai
cara dan bentuk. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu:
1 Pengorganisasian data dan informasi.
2 Penempatan informasi pada lokasi tertentu.
3 Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu
dengan lainnya serta analisa spasial lainnya.
2.4 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena
yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Informasi tentang objek disampaikan pada
pengamat melalui energi elektromagnet yang merupakan pembawa informasi
sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa
data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang
gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi itu dapat dipahami
secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan
jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat
elektromagnetik (Lo 1995).
Citra Landsat merupakan citra satelit untuk penginderaan sumberdaya
bumi. Thematic Mapper (TM) adalah suatu sensor optik penyiaman yang
beroperasi pada cahaya tampak dan inframerah bahkan spektral (Lo 1995).
Thematic Mapper dipasang pada Landsat dengan tujuan untuk perbaikan resolusi
spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik dan ketelitian geometrik.
Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk
mendeteksi objek-objek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit range
panjang gelombang yang digunakan, maka semakin tinggi kemampuan sensor itu
dalam membedakan objek. Pengetahuan menyeluruh mengenai karakteristik
spektral dari data penginderaan jauh sangat dibutuhkan pada penggunaan teknik
analisis dengan bantuan komputer. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
10
Tabel 1 Saluran citra Landsat TM
Saluran Kisaran
gelombang Kegunaan
1 0,45-0,52 Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas pengunaan lahan, tanah dan vegetasi.
2 0,52-0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan.
3 0,63-0,69 Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi
4 0,76-0,90 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air.
5 1,55-1,75 Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah.
6 2,08-2,35 Pemisahan formasi batuan 7 10,40-12,50 Saluran inframerah termal, bermanfaat untuk klasifikasi
vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.
Sumber : Lillesand & Kiefer (1990)
2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat
Skema klasifikasi merupakan rancangan skema penutupan lahan suatu
wilayah yang disusun berdasarkan informasi tambahan dari wilayah yang akan
diinterpretasikan. Salah satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan
klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan terlihat pada skema klasifikasi (Lo
1995) pada Tabel 2.
Tabel 2 Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data
penginderaan jauh
No Tingkat I
(menggunakan citra Landsat) Tingkat II
(menggunakan foto udara skala kecil) 1 Perkotaan atau lahan perkotaan a Pemukiman
b Perdagangan dan jasa
c Industri
d Transportasi
e Kompleks industri dan perdagangan
f Kekotaan campuran dan lahan bangunan
g Kekotaan dan lahan bangunan lainnya
11
Tabel 2 (Lanjutan)
No Tingkat I
(menggunakan citra Landsat) Tingkat II
(menggunakan foto udara skala kecil) 2 Lahan pertanian a Tanaman semusim dan padang rumput
b Daerah buah-buahan, jeruk, anggur dan tanaman hias
c Lahan tanaman obat
d Lahan pertanian lainnya
3 Lahan peternakan a Lahan penggembalaan terkurung
b Lahan peternakan semak dan belukar
c Lahan peternakan campuran
4 Lahan hutan a Lahan hutan gugur daun semusim
b Lahan hutan yang selalu hijau
c Lahan hutan campuran
5 Air a Sungai dan kanal
b Danau
c Waduk
d Teluk dan muara
6 Lahan basah a Lahan hutan basah
b Lahan basah bukan hutan
7 Lahan gundul a Dataran garam kering
b Gisik
c Daerah berpasir selain gisik
d Tambang terbuka, pertambangan
8 Padang lumut a Padang lumut semak belukar
b Padang lumut tanaman obat
c Padang lumut lahan gundul
d Padang lumut daerah basah
e Padang lumut daerah campuran
9 Es dan salju abadi a Lapangan salju abadi
b Gletser Sumber : Lo (1995)
Sistem klasifikasi pada Tabel 2 disusun berdasarkan kriteria berikut: (1)
tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh
harus tidak kurang dari 85%, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori
harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari
penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain,
(4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5)
kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari penutupan
lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan
jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke
12
dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar
atau survei lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9)
harus memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan
dan penutupan lahan pada masa yang akan datang dan (10) lahan multiguna harus
dapat dikenali bila mungkin. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di
dalam menjelaskan setiap kategori penggunaan dan penutupan lahan. Anderson
(1971) dalam Lo (1995) menganggap bahwa pendekatan fungsional atau
pendekatan berorientasi kegiatan akan lebih sesuai digunakan untuk citra satelit
ruang angkasa, sebagai skema klasifikasi tujuan utama. Pendekatan ini merupakan
sistem klasifikasi lahan yang umum digunakan di Amerika Serikat yang
diperkenalkan oleh United States Geological Survey (USGS).
Pada klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ada beberapa informasi
yang tidak dapat diperoleh dari data pengideraan jauh. Informasi mengenai
penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya dan
untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk
melengkapi data penutupan lahan. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan
dapat juga ditentukan dengan menggunakan klasifikasi yang ditetapkan oleh
Badan Planalogi Kehutanan pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan
Kelas Keterangan Hutan lahan kering primer dataran rendah
Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.
Hutan lahan kering primer pegunungan rendah
Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.
Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi
Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.
Hutan lahan kering primer sub-alpine
Seluruh kenampakan hutan di zona sub-alpine (>3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.
Hutan lahan kering sekunder dataran rendah
Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan dalam lahan terbuka.
13
Tabel 3 (Lanjutan)
Kelas Keterangan Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah
Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.
Hutan lahan kering sekunder pegunungan tinggi
Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.
Hutan lahan kering sekunder sub-alpine
Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (> 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.
Hutan rawa primer Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan.
Hutan rawa sekunder
Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa).
Hutan mangrove primer
Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum ditebang.
Hutan mangrove sekunder
Hutan bakau, nipah dan nibung yang telah ditebang) yang ditampakan dengan pole alur di dalamnya. Khusus untuk areal bekas tebangan yang telah dijadikan tambak/sawah (tampak pola persegi pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah (tampak pole persegi/pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah.
Semak/belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali, didominasi vegetasi rendah dan tidak menampakkan lagi bekas alur/bercak penebangan.
Semak/belukar rawa Semak/belukar dari bekas hutan di daerah rawa. Savana Kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput dengan sedikit
pohon. (Kenampakan alami daerah Nusa Tenggara Timur dan pantai selatan Irian laya).
HTI Seluruh kawasan HTI baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa kahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI.
Perkebunan Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran Perkebunan (Perkebunan Besar). Lokasi perkebunan rakyat mungkin tidak termasuk dalam peta sehingga memerlukan informasi pendukung lain.
Pertanian lahan kering
Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang
Pertanian lahan kering bercampur dengan semak
Semua ativitas pertanian di lahan kering, berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan.
Transrnigrasi Seluruh kawasan baik yang sudah diusahakan maupun yang belum, termasuk areal pertanian, perladangan dan permukiman yang berada didalamnya.
Sawah Semua aktivitas pertanian di lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang.
Tambak Aktivitas perikanan yang tampak sejajar pantai.
14
Tabel 3 (Lanjutan)
Kelas Keterangan Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan
puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) tanah terbuka bekas kebakaran dan tanah terbuka yang ditumbuhi rumput/alang-alang. Kenamapakan tanah terbuka untuk pertambangan dimasukan ke kelas pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas land clearing dimasukkan ke kelas pertanian, perkebunan atau HTI.
Pertambangan Tanah terbuka yang digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka, openpit (batubara, timah, tembaga dll.). Tambang tertutup seperti minyak, gas dll. Tidak dikelaskan tersendiri, kecuali mempunyai areal yang luas sehingga dapat dibedakan dengan jelas pada citra.
Salju Areal yang tertutup oleh salju abadi. Permukiman permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri dll.
yang memperlihatkan pola alur yang rapat. Tubuh air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk,
terumbu karang dan lamun (lumpur pantai). Khusus kenampakan tambak di tepi pantai dimasukkan ke pertanian lahan basah.
Rawa Kenampakan rawa yang sudah tidak berhutan. Awan Semua kenampakan awan yang menutupi suatu kawasan. Jika terdapat
awan tipis yang masih mempelihatkan kenampakan di bawahnya dan masih memungkinkan untuk ditafsir, penafsiran tetap dilakukan. Poligon terkecil yang di delineasi untuk awan adalah 2 x 2 cm2.
Sumber : Dephut (2001)
Citra satelit Landsat sebagai satelit sumberdaya bumi telah banyak
digunakan dalam penelitian-penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Contoh penggunaan citra Landsat dalam bidang kehutanan dan lingkungan antara
lain, identifikasi penyebaran habitat, sebaran spasial dan karakteristik ruang
terbuka hijau (RTH), klasifikasi kelas tegakan hutan, pemantauan perubahan
penggunaan lahan/tutupan lahan, dan aplikasi-aplikasi yang lainnya. Salah satu
contoh aplikasi SIG mengenai perubahan penutupan lahan di kawasan konservasi
adalah penelitian yang dilakukan oleh Khalil (2009). Penelitiannya dilakukan di
Hutan Adat Citorek Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan
aplikasi SIG dengan membandingkan penutupan lahan tahun 1990 sampai 2006.
Tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah Kasepuhan Citorek dikelompokkan
menjadi 9 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, kebun campuran, semak
belukar dan rumput, ladang, sawah, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air dan
awan. Lebih lanjut Khalil (2009) menganalisis perubahan penutupan lahan di
Hutan Adat Cotorek dengan hasil adanya penurunan luas hutan pada kurun waktu
1990-2006 sebesar 1.31%. Ladang mengalami penurunan sebesar 25.48% pada
kurun waktu 1990-2006. Sawah mengalami peningkatan luas menjadi 89.92%
pada kurun waktu 1990-2006. Kebun campuran dan semak mengalami fluktuasi
15
luas pada kurun waktu 1990-2006. Fluktuasi ini disebabkan oleh pembukaan
hutan menjadi areal pertanian seperti kebun campuran, ladang dan sawah yang
diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk.
Penelitan perubahan penutupan lahan dilakukan juga oleh Darmawan
(2002) di Cagar Alam Rawa Danau tahun 1994 sampai tahun 2000. Tipe
penutupan lahan yang terdapat di Rawa Danau dikelompokkan menjadi 7
kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, vegetasi campuran, rumput, sawah,
tanah kosong, pemukiman dan badan air. Pada kurun waktu 1994-2000 terdapat
peningkatan luas pemukiman sebesar 1%. Hutan mengalami peningkatan luas
sebesar 1.3%, badan air mengalami peningkatan luas sebesar 2.4%, sawah
mengalami peningkatan luas sebesar 12.2%, rumput mengalami penurunan
sebesar 10.2%, vegetasi campuran dengan penurunan sebesar 9.2% dan tanah
kosong dengan peningkatan luas sebesar 2.7%. Peningkatan akitvitas masyarakat
dalam kawasan cagar alam hanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat
pendapatan dan jenis penggunaan lahan yang didominasi sawah.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan selama lima bulan, yaitu pada bulan Juli-November
2010. Pengambilan data lapangan berupa penandaan lokasi (ground check)
dilakukan selama satu bulan di Resort Argalingga dan Sangiang di Kabupaten
Majalengka dan Resort Cigugur, Pasawahan dan Mandirancan di Kabupaten
Kuningan. Selain itu untuk pengambilan data sosial masyarakat dilakukan pada
dua desa yaitu Desa Seda di Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan dan
Desa Sangiang di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka. Pengolahan data
dilakukan selama empat bulan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan
IPB. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data penelitian.
17
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah Global Positioning Sistem
(GPS), kamera digital, alat tulis, kuisioner dan seperangkat komputer yang
dilengkapi dengan software ArcGis 9.3, ERDAS 9.1 dan SPSS 15.
Bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi, peta batas kawasan TNGC,
peta administrasi kecamatan, peta citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra
Landsat TM tahun 2009.
3.3 Jenis Data
Data yang diambil dikelompokkan menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah seluruh data utama yang diperoleh dari cek
lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder adalah seluruh informasi
pendukung yang berhubungan dengan penelitian seperti peta, data monografi desa
dan kondisi umum kawasan.
3.4 Metode Pengambilan Data
3.4.1 Data spasial
Data spasial adalah data yang bersifat keruangan meliputi peta rupa bumi,
citra Landsat, peta batas administrasi, dan peta batas kawasan TNGC sebagai data
sekunder. Peta dan citra Landsat tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) IPB, BIOTROP dan BTNGC. Data lain yang
digunakan adalah data Ground Control Point (GCP) untuk menandakan lokasi-
lokasi jenis penutupan lahan yang ada di lapangan. Data GCP merupakan data
yang menyatakan posisi keberadaan suatu benda di atas permukaan bumi.
Pengambilan data ini dilakukan dengan cara menandakan lokasi (ground check)
dan dicatat koordinat lokasi melalui Global Positioning System (GPS). Data ini
kemudian digunakan untuk mengolah citra Landsat agar sesuai dengan keadaan di
lapangan dan mengurangi bias.
3.4.2 Data atribut
Data atribut adalah data yang menunjukkan tulisan atau angka-angka yang
membantu dalam menginterpretasikan citra Landsat. Data ini meliputi data
monografi desa, kondisi umum kawasan dan data kondisi sosial ekonomi
18
masyarakat seperti jumlah tanggungan keluarga, usia, mata pencaharian,
pendidikan, pendapatan, luas penggunaan lahan, pengetahuan dan sikap penduduk
terhadap kawasan. Data ini dibutuhkan dalam menganalisis faktor sosial ekonomi
apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung
Ciremai serta pola penggunaan lahan oleh masyarakat khususnya sikap dan
pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan hutan.
Pengumpulan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut
dilakukan melalui wawancara dengan teknik purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel berdasarkan penilaian subyektif peneliti berdasarkan
karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan karakteristik
populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu
(Iskandar 2008). Sampel yang diambil dalam peneltian ini adalah para petani
penggarap dalam kawasan TNGC, sedangkan pengambilan jumlah sampel
responden berdasarkan rumus Slovin (Santoso 2005) yaitu :
Keterangan :
n = Jumlah sampel yang diinginkan
N = Jumlah populasi sampel
E = Tingkat kesalahan yaitu 10%
Berdasarkan perhitungan rumus Slovin diperoleh besar sampel sejumlah 94
kepala keluarga, yaitu 50 kepala keluarga dari Desa Sangiang dan 44 kepala
keluarga dari Desa Seda. Total populasi warga Desa Seda dan Desa Sangiang
sebesar 1588 kepala keluarga. Pertimbangan pengambilan sampel berdasarkan
kepala keluarga dikarenakan seorang kepala keluarga adalah pencari nafkah untuk
keluarga sehingga lebih dapat menggali informasi yang dibutuhkan. Selain itu
berdasarkan mata pencaharian dominan yaitu petani penggarap di kawasan
TNGC.
N n = 1+Ne2
19
3.5 Analisis Data
3.5.1 Data spasial
Penelitian mengenai analisis perubahan penutupan lahan merupakan
penelitian yang menganalisis mengenai penggunaan lahan oleh masyarakat dalam
beberapa periode. Perkembangan penggunaan lahan ini akan menyebabkan
terjadinya perubahan lahan, sehingga dibutuhkan data berupa gambaran/peta
perubahan penutupan lahan. Peta penutupan lahan diperoleh melalui pengolahan
data spasial meliputi peta rupa bumi, peta batas kawasan taman nasional, peta
batas administrasi kecamatan dan citra Landsat tahun 2006 dan 2009. Proses
pengolahan peta penutupan lahan dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Tahapan pengolahan citra.
Citra
Tidak
Terima?
Citra
Peta Rupa Bumi
Koreksi Geometris
Peta Batas Kawasan TNGC
Overlay Subset Image
Cek Lapangan
Klasifikasi Citra
Citra Hasil Klasifikasi
Uji Akurasi
Ya Peta Tutupan Lahan
20
1 Pembuatan peta digital
Pembuatan peta digital dilakukan menggunakan seperangkat komputer
dengan software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Input dalam proses pembuatan peta
digital adalah peta rupa bumi, yang diolah melalui empat tahap. Tahapan ini
adalah digitasi peta, editing peta, pembuatan atribut dan transformasi koordinat.
Hasil pengolahan data ini adalah peta rupa bumi digital. Peta digital digunakan
untuk menentukan lokasi penelitian dan menjadi acuan dalam koreksi geometrik
saat pengolahan citra. Proses pembuatan peta digital dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses konversi peta analog ke peta digital.
2 Koreksi data citra
Data citra yang diperoleh, harus dilakukan koreksi terlebih dahulu sebelum
diolah lebih lanjut. Koreksi data citra yang dilakukan adalah koreksi geometris.
Koreksi geometris dilakukan karena adanya pergeseran koordinat, sehingga perlu
dilakukan pembetulan data citra. Koreksi geometris bertujuan agar posisi titik-titik
(pixel) pada citra sesuai dengan posisi titik-titik geografi di permukaan bumi.
Posisi ini adalah kedudukan geografis daerah yang terekam pada citra.
Kegiatan yang pertama dilakukan saat melakukan koreksi geometris
adalah penentuan tipe proyeksi dan koordinat yang digunakan. Tipe proyeksi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan
sistem koordinat geografis. Tahap selanjutnya adalah koreksi distorsi yang
dilakukan melalui penentuan titik ikat medan yang ditempatkan sesuai dengan
koordinat citra dan koordinat peta. Setelah itu, dilakukan resampling citra
mengunakan pendekatan metode tetangga terdekat (nearest neighbour).
Peta Analog
Scanning
Screen digitizing
Atributing Transform UTM
Peta digital
21
Resampling citra merupakan proses transformasi citra dengan memberikan nilai
pixel citra terkoreksi.
3 Pemotongan data citra (subset image)
Pemotongan data citra bertujuan untuk menetukan batas wilayah yang
akan diteliti. Pemotongan dilakukan dengan memotong data citra yang sudah
terkoreksi untuk mendapatkan wilayah lokasi penelitian.
4 Klasifikasi data citra
Klasifikasi data citra merupakan kegiatan untuk menentukan kelas-kelas
yang terdapat pada data citra. Kelas-kelas tersebut menunjukkan kategori-kategori
lahan dan didasarkan pada warna yang tampak dalam data citra. Klasifikassi
dilakukan dengan cara mengelompokkan warna yang sama pada citra ke dalam
kelas-kelas tertentu. Kegiatan klasifikasi terbagi atas dua tahap yaitu klasifikasi
citra tidak terbimbing (unsupervised) dan klasifikasi citra terbimbing (supervised).
Klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan sebelum
pengambilan data di lapangan (ground check). Penentuan kelas-kelas tidak
didefinisikan sendiri dan peta hasil klasifikasi ini dapat dijadikan acuan saat
pengambilan data di lapangan. Klasifikasi citra terbimbing (supervised
clasification), merupakan kegiatan klasifikasi kelas-kelas citra yang didefinisikan
sendiri. Pendefinisian ini didasarkan pada data lapangan yang telah diperoleh
berupa titik-titik koordinat yang ditandai dengan GPS. Kelas-kelas yang
didefinisikan menunjukkan jenis penutupan lahan yang ada di lapangan dan hasil
dari klasifikasi citra ini adalah peta penutupan lahan.
5 Uji akurasi
Saat klasifikasi citra, terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam
menentukan kelas tutupan lahan, sehingga perlu dilakukan uji akurasi. Tahapan
uji akurasi bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan klasifikasi citra
terbimbing. Akurasi citra dilakukan dengan cara menyesuaikan kelas tutupan
lahan yang telah diklasifikasi dengan data Ground Control Point (GCP) yang
diambil melalui GPS. Nilai akurasi minimal yang diterima adalah 85%. Apabila
tingkat akurasinya kurang dari 85%, maka perlu dilakukan klasifikasi ulang.
22
6 Analisis perubahan lahan
Analisis perubahan lahan dilakukan dengan membandingkan peta perubahan
lahan tahun 2006 dan 2009. Kedua peta tersebut dioverlay sehingga diketahui
perubahan penutupan lahan yang terjadi pada tahun 2006-2009. Tahapan analisis
perubahan penutupan lahan seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan analisis perubahan penutupan lahan.
Perubahan penutupan lahan dilakukan dengan menghitung selisih luas
masing-masing tipe penutupan lahan setiap tahun dan dianalisis secara deksriptif,
sedangkan untuk menghitung laju perubahan penutupan lahan menggunakan
rumus berikut:
Keterangan:
V : Laju perubahan (%)
N1 : Luas penutupan lahan tahun pertama (ha)
N2 : Luas penutupan lahan tahun kedua (ha)
N2 - N1 V = x 100% N1
Peta Penutupan Lahan 2006
Peta Penutupan Lahan 2009
Overlay
Perubahan Penutupan Lahan
2009
23
3.5.2 Data atribut
Ada beberapa pendekatan analisis data atribut sosial ekonomi yang
digunakan yaitu metode tabulasi deskriptif dan uji statistik. Penjelasan mengenai
metode analisis adalah sebagai berikut:
1 Metode tabulasi deskriptif
Data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta
pengetahuan dan sikap responden terhadap kawasan TNGC ditunjukan oleh
jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Setelah wawancara
dilakukan dan data-data sudah terkumpul, maka selanjutnya dilakukan proses
tabulasi data-data hasil wawancara dan dianalisis secara deskriptif untuk
mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan sehingga dapat diketahui
perluasan lahan yang mungkin terjadi, dan analisis terhadap pengelolaan yang
berlaku secara kualitatif untuk mengetahui pengaruh sejarah pengelolaan kawasan
terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi.
2 Metode uji statistik
a Analisis regresi linear sederhana
Metode ini bertujuan untuk mengetahui hubungan/korelasi karakteristik
sosial ekonomi masarakat penggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan.
Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai variabel tak bebas (y) adalah luas
lahan garapan dalam kawasan, dan yang bertindak sebagai variabel bebas (x)
adalah karakteristik sosial ekonomi penggarap. Model hubungan tesebut dapat
dibuat dengan persamaan sebagai berikut :
Model hubungan dari persamaan tersebut selanjutnya dilakukan pengujian
hipotesis dengan menggunakan uji korelasi (R2). Korelasi diproyeksikan dalam
koefisien korelasi yang menunjukan kemampuan model yang dihasilkan dalam
menerangkan keragaman populasi (responden) yang ingin dikaji atau dengan kata
lain R2 menunjukan persentase variasi data yang terjadi pada variabel tak bebas
(y) yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (x) dengan adanya regresi. Dengan
demikian semakin besar R2 yang dihasilkan, semakin baik regresi yang diperoleh.
y = a + bx
24
Dalam regresi sebelum dianalisis terdapat syarat yang harus dipenuhi,
salah satunya adalah data harus terdistribusi secara normal. Oleh karena itu,
diperlukan uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-
Wilk. Distribusi data normal jika kedua-duanya diuji tidak signifikan >0.05
(Iskandar 2008). Apabila data-data tersebut terdistribusi normal maka analisis
dapat dilanjutkan, sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal maka tidak
bisa dilakukan analisis regresi.
b Analisis uji chi-square
Uji chi square menganalisis secara deskriptif hubungan antara variabel
terpengaruh dan variabel pengaruh. Variabel terpengaruh dalam penelitian ini
yaitu (y) yang merupakan luas lahan garapan dalam kawasan dan yang bertindak
sebagai variabel pengaruh adalah (x) yang merupakan karakteristik sosial
ekonomi penggarap yaitu jumlah tanggungan keluarga (x1), tingkat umur (x2),
tingkat pendidikan (x3), pendapatan (x4), luas garapan di luar kawasan (x5), dan
lama masyarakat menggarap (x6). Model hubungan tesebut dapat dihipotesiskan
sebagai berikut :
y = f (x1, x2, x3, x4, x5, x6)
Untuk melihat hubungan antara variabel-variabel di atas, maka dibuat
kategori terhadap variabel tersebut sehingga dapat diperlukan untuk analisis
selanjutnya. Kategorinya adalah sebagai berikut:
1 Luas lahan garapan dalam kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan luas
lahan garapan responden dalam kawasan yang dinyatakan:
a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai
rata-rata keseluruhan responden.
b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai
rata-rata keseluruhan responden.
2 Jumlah tanggungan keluarga, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan jumlah
tanggungan keluarga responden yang dinyatakan:
a Kecil, bila jumlah tanggungan keluarga responden kurang dari nilai rata-rata
keseluruhan responden.
b Besar, bila jumlah tanggungan keluarga responden lebih dari nilai rata-rata
keseluruhan responden.
25
3 Tingkat umur, dikategorikan berdasarkan produktivitas manusia yang
dinyatakan:
a Produktif, bila usia responden berkisar antara 15-64 tahun.
b Non produktif, bila usia responden lebih dari 64 tahun.
4 Tingkat pendidikan, yang dikategorikan dalam:
a Tidak sekolah.
b Sekolah Dasar (SD).
c Sekolah Menengah Pertama (SMP).
d Sekolah Menengah Atas (SMA).
5 Tingkat pendapatan, dilihat dari besarnya pendapatan rata-rata keseluruhan
responden yang dinyatakan:
a Rendah, bila pendapatan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan.
b Tinggi, bila pendapatan responden lebih dari nilai rata-rata.
6 Luas lahan garapan diluar kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan
lahan garapan responden yang dinyatakan:
a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai
rata-rata keseluruhan responden.
b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai
rata-rata keseluruhan responden.
7 Lama menggarap, yang dinyatakan:
a < 5tahun (setelah penetapan TNGC).
b > 5tahun (sebelum penetapan TNGC).
Jumlah responden yang terdapat dalam suatu faktor sosial ekonomi
disusun dalam tabel frekuensi dan tabel silang. Tabel frekuensi digunakan untuk
melihat dominansi setiap faktor sosial ekonomi yang telah dikategorikan.
Sedangkan tabel silang digunakan untuk menentukan hubungan variabel pengaruh
dan variabel terpengaruh melalui uji chi-square dengan rumus sebagai berikut:
∑ (f₀-ft)2
χ2 =
ft
26
Keterangan : f₀ = frekuensi observasi yang diperoleh dari penelitian.
ft = frekuensi teortis yang nilainya ditentukan dari penggandaan
perbandingan jumlah total kolom dengan jumlah total baris
data pada tabel silang.
Hipotesis keputusan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut :
H0 : Karakter sosial ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan
dalam kawasan.
H1 : Karakter sosial ekonomi berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan
dalam kawasan.
≤ χ2 tabel(n-1;k-1) ; terima H0
χ2 hitung
≥ χ2 tabel(n-1;k-1) ; terima H1
Apabila terima H0, maka variabel pengaruh (x) tidak berpengaruh terhadap
variabel terpengaruh (y), dan sebaliknya apabila terima H1 maka variabel
pengaruh (x) berpengaruh terhadap variabel terpengaruh (y). Selang kepercayaan
yang digunakan adalah 95%.
27
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai
4.1.1 Sejarah kawasan
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi
3078 m dpl. Gunung Ciremai awalnya merupakan kawasan hutan yang ditunjuk
oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941.
Kawasan hutan ini kemudian berubah status menjadi hutan produksi pada tahun
1978 yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terbagi dalan dua unit wilayah
yaitu KPH Kuningan dan KPH Majalengka berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.143/Kpts/Um/3/1978. Sebagian kawasan hutan produksi di Gunung
Ciremai kemudian diubah statusnya sebagai kawasan hutan lindung di Kawasan
Hutan Produksi Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten
Majalengka berdasarkan Kepmenhut nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003
tentang penunjukan areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816603 ha.
Pada saat kawasan dikelola Perum Perhutani, telah ada sistem yang
berjalan salah satunya adalah sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat) yang dimulai sekitar tahun 1999 (Suryadarma 2009). PHBM adalah
sebuah sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem pengelolaan taman
nasional pada umumnya. Kebijakan PHBM ini tertuang dalam pasal 51 Peraturan
Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang penggunaan dan pemanfaatan hutan
berbasis sosial forestry. Program PHBM antara masyarakat dan Perum Perhutani
dengan memanfaatkan pola tumpangsari (agroforestry). Menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990, dijelaskan bahwa taman nasional merupakan kawasan
konservasi dengan tujuan perlindungan ekosistem penyangga kehidupan,
pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata untuk
kelestarian kawasan sehingga tidak diperbolehkan adanya aktivitas masyarakat
khususnya pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan hutan di kawasan ini telah
dilakukan sejak lama, yaitu sejak kawasan hutan Gunung Ciremai masih berstatus
hutan produksi. Seperti dibeberapa wilayah yang dimanfaatkan untuk pertanian,
lahan tumpangsari justru banyak dikonversi lahannya menjadi ladang sayur mayur
28
tanpa memelihara hutan pinus sebagai tegakan utama. Pemanfaatan ini semakin
tidak terkendali dan sangat berpotensi mengakibatkan lahan kritis. Berdasarkan
permasalahan tersebut, maka Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka
mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan perubahan fungsi
kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC.
Kawasan hutan lindung Gunung Ciremai kemudian mengalami perubahan fungsi
menjadi taman nasional dengan dikeluarkannya surat keputusan menteri
kehutanan nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang
perubahan fungsi kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi taman
nasional. Selanjutnya pada 30 Desember 2004, dilakukan penunjukan BKSDA
Jawa Barat II sebagai pengelola TNGC hingga terbentuknya organisasi TNGC
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No.SK. 140/IV/Set-
3/2004.
Penyelesaian proses perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai
menjadi taman nasional banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak mulai
dari masyarakat desa sekitar sampai organisasi non pemerintah yang berpendapat
bahwa penunjukan kawasan menjadi taman nasional agak terburu-buru, tanpa
sosialisasi ke masyarakat dan tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap
keberadaan taman nasional sangat merugikan masyarakat karena telah dirubah
peruntukannya, tidak dapat lagi dikelola dengan tujuan produksi dan masyarakat
tidak diperbolehkan lagi menggarap dalam kawasan. Hal ini seperti pernyataan
Hermawan (2005) bahwa penolakan penunjukan kawasan menjadi taman nasional
disebabkan: (1) proses penetapan TNGC dianggap tidak mengindahkan proses
pembicaraan yang sedang berlangsung, (2) proses penetapan yang penuh
ketergesaan dikhawatirkan akan merugikan masyarakat, (3) tidak adanya
sosialisasi penetapan TNGC kepada masyarakat dan (4) kekhawatiran tertutupnya
akses masyarakat pada kawasan Gunung Ciremai setelah ditetapkan menjadi
taman nasional.
Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada
di kawasan TNGC menjadi kawasan konservasi telah menyebabkan perubahan
sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan
untuk melindungi terhadap tanah dan air sebagai daerah resapan, tetapi juga
29
ditingkatkan sebagai kawasan pelestarian alam. Begitupun dengan kawasan hutan
produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani, dengan adanya peralihan
kawasan menjadi taman nasional, masyarakat sudah tidak bisa lagi menggarap
lahan dalam kawasan.
4.1.2 Letak dan luas wilayah
Secara geografis, TNGC terletak pada koordinat 1080 28’ 0” BT – 1080 21’
35” BT dan 60 50’ 25” LS – 60 58’ 26” LS. Berdasarkan wilayah administrasi
pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten
Kuningan dan Kabupaten Majalengka dengan luas ± 15518.23 ha.
4.1.3 Topografi dan iklim
Kawasan TNGC memiliki toporafi yang bergelombang, berbukit dan
bergunung membentuk kerucut dengan ketinggian mencapai 3078 m dpl.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TNGC termasuk ke
dalam tipe iklim B dan C dengan curah hujan 2000-4000 mm/tahun dan
temperatur udara 180C–220C.
4.1.4 Hidrologi
Kawasan Gunung Ciremai kaya dengan sumber daya air berupa sungai dan
mata air. Sungai-sungai yang bersumber dari Gunung Ciremai berjumlah ± 43
buah dan 156 titik mata air, 147 titik mata air terus menerus mengalirkan air
sepanjang tahun dengan debit rata-rata 50–2000 liter/detik serta kualitas airnya
memenuhi standar kriteria kualitas air minum.
4.1.5 Vulkanologi
Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A yakni, gunung
api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600 dan berbentuk kerucut.
Gunung ini merupakan gunung api soliter yang dipisahkan oleh zona sesar
Cilacap–Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yakni
deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung
Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada zona Bandung.
Gunung Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah
suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai
lanjutan vulkanisme Plio-Plistosen di atas batuan tersier. Vulkanisme generasi
kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk kaldera
30
Gegerhalang. Vulkanisme generasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung
Ciremai yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi
sekitar 7000 tahun yang lalu.
4.1.6 Kondisi biologis
Tipe ekosistem hutan yang berada di kawasan TNGC secara umum
merupakan tipe hutan dataran rendah (2-1000 m dpl), hutan hujan pegunungan
(1000–2400 m dpl), dan hutan pegunungan atas (> 2400 m dpl). Pada stipe
ekosistem tersebut terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi berupa
keanekaragaman flora, fauna dan potensi wisata. Flora yang ditemukan di
kawasan tersebut berdasarkan hasil eksplorasi sebanyak 57 jenis, diantaranya
adalah edelweis, pasang, jamuju, harendong, kiteja, kipare, kicalungcung,
hamirung, kijagong, kiceuhay, pelending, cereme, kiucing, kileho, kinugrah,
cerem, kibeusi, kisieur, walen, nangsi, kiampet, kemuning, ipis kulit, kigawulan,
huru, kalimarot, kisalam, totongoan, talingkup, kendung, pendung, kiamis, kitaji,
kipait, ramo giling, kihuut, kisareni, tangogo, hamperu badak, hamerang,
beunying, kawoyang, kareumbi, masawa, kikacapi, kikacang, baros, songgom,
kijeruk, gintung, kisireum dan kijengkol.
Jenis fauna yang ditemukan di kawasan TNGC cukup beragam terdiri dari
jenis burung, mamalia dan reptil. Macan tutul (Panthera pardus), kijang
(Muntiacus munjak), kera ekor panjang (Macaca Fascicularis), elang hitam
(Ictinaetus malayensis), ekek kiling (Cissa thalassina), sepah madu (Perictorus
miniatus), lutung (Presbytis cristata), surili (Presbytis comata), ular sanca
(Phyton molurus), meong congkok (Felis bengalensis), walik (Ptilinopuscinctus)
dan anis (Zoothera citrina). Taman Nasional Gunung Ciremai juga memiliki
sejumlah potensi wisata alam, yaitu Objek Wisata Talaga Remis, Objek Wisata
Situ Nilam, Objek Wisata Situ Ayu Salintang, Situ Cicerem, Bumi Perkemahan
Cikole dan Mata Air, Bumi Perkemahan dan Wisata Air Paniis, Bumi Perkemahan
Cibeureum, Bumi Perkemahan Cibunar dan Parigi, Bumi Perkemahan Palutungan
dan Kawasan Wisata Lembah Cilengkrang.
31
4.1.7 Potensi wisata
Kawasan TNGC memiliki objek wisata alam yang telah dikelola sebelum
penetapan statusnya sebagai taman nasional. Potensi wisata terdapat di kawasan
TNGC cukup unik, variatif dan memiliki nilai jual yang tinggi. Potensi tersebut
mencakup potensi fisik maupun hayati antara lain panorama alam, keindahan air
terjun, pemandian air panas, bentang alam, kawasan persawahan, aliran sungai
yang mengalir dapat dijadikan alternatif wisata bagi para wisatawan. Beberapa
objek wisata alam yang selama ini telah diusahakan di kawasan TNGC dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Objek wisata alam di TNGC
No Kabupaten Nama lokasi Jenis daya tarik
1 Kuningan Telaga Remis Danau Situ Cicerem Danau Bumi Perkemahan Cikole Aktivitas berkemah Pemandian Paniis dan Bumi Perkemahan Singkup
Aktivitas berkemah
Sumur Cikajayaan Wisata air Bumi Perkemahan Cibeureum Aktivitas berkemah Jalur Pendakian Linggarjati Aktivitas pendakian Jalur Pendakian Palutungan Aktivitas pendakian Bumi Perkemahan Hulu Ciawi Aktivitas berkemah Bumi Perkemahan Cibunar Aktivitas berkemah Bumi Perkemahan Balong Dalam Aktivitas berkemah Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh Wisata air Lembah Cilengkrang Air terjun Pemandian Alam Cigugur Wisata air Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Putri Aktivitas berkemah
2 Majalengka Jalur Pendakian Apuy Aktivitas pendakian Bumi Perkemahan Cipanten Aktivitas berkemah Curug Sawer Air terjun Situ Sangiang Wisata air
Sumber : BTNGC (2006)
4.2 Daerah Penyangga TNGC
4.2.1 Letak dan luas
Daerah penyangga TNGC terletak melingkari kawasan TNGC yang
meliputi 46 desa di 14 kecamatan dan 2 kabupaten. Ada 25 desa di 7 kecamatan di
Kabupaten Kuningan di sekitar kawasan TNGC sebelah timur dengan luas
keseluruhan desa tersebut sebesar 105.5 km2. Sementara itu, ada 20 desa di 7
Kecamatan di Kabupaten Majalengka di sekitar kawasan TNGC sebelah barat
dengan luas keseluruhan desa tersebut sebesar ± 107.31 km2.
32
4.2.2 Kondisi sosial ekonomi masyarakat
1 Kepadatan penduduk
Luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk Kabupaten
Kuningan adalah 105.5 km2. Jumlah penduduk dari desa-desa tersebut sebesar
64666 jiwa dengan kepadatan penduduk 612.96/km2 (BPS Kabupaten Kuningan
2003). Sedangkan luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk
Kabupaten Majalengka adalah ± 107.31 km2, dengan jumlah penduduk mencapai
287439 jiwa, laki-laki berjumlah 144096 jiwa dan perempuan sebanyak 143341
jiwa (BPS Kabupaten Majalengka 2003).
2 Mata pencaharian
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan yang berada di sekitar
kawasan TNGC terdiri dari petani sebanyak 65476 orang (68.79%), industri
sebanyak 2323 orang (2.46%) dan sektor jasa sebanyak 27097 orang (28.55%).
Besarnya jumlah petani menunjukkan besarnya jumlah masyarakat yang
bergantung pada lahan pertanian dengan luas kepemilikan lahan pertanian oleh
petani hanya mencapai 0.2 ha. Adapun komoditas pertanian yang dihasilkan
diantaranya padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sedangkan mata
pencaharian penduduk Kabupaten Majalengka yang berada di sekitar kawasan
TNGC sebagian besar di sektor pertanian (34%), baik di lahan milik, penggarap
atau buruh tani dengan komoditi yang ditanam di atas lahan ladang/kebun/tegalan
adalah sayuran-sayuran dan buah-buahan. Mata pencaharian lain yaitu 33% di
sektor industri pengolahan, 17% di sektor perdagangan dan sisanya tersebar di
sektor jasa, angkutan, perkebunan, perikanan dan perdagangan.
3 Penggunaan lahan
Secara umum pola penggunaan lahan masyarakat di sekitar TNGC terdiri
dari tanah sawah dan bukan sawah (kebun, hutan rakyat, perkebunan, perumahan
dan tanah pekarangan). Luas penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan adalah
seluas 5644.48 ha yang terbagi menjadi lahan sawah 15026 ha (berdasarkan
sistem pengairan irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa
maupun tadah hujan) dan bukan sawah 4141.88 ha yang terdiri dari kebun, hutan
rakyat, hutan negara, perkebunan dan lain-lain (BPS Kabupaten Kuningan 2003).
Adapun penggunaan lahan di sekitar kawasan TNGC yang berada di wilayah
33
Kabupaten Majalengka secara umum diklasifikasikan menjadi lahan sawah dan
lahan kering. Pada tahun 2003 tercatat bahwa luas lahan sawah di Kabupaten
Majalengka sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2002 yaitu
dari 51045 ha menjadi 50937 ha. Hal ini disebabkan adanya peralihan fungsi
lahan dari sawah menjadi tanah tegalan atau perumahan. Penggunaan lahan di
kawasan barat (Majalengka) sampai dengan tahun 2005 didominasi untuk tanah
ladang/tegalan yaitu seluas 3047.55 ha.
4 Sosial budaya
Berdasarkan data BPS Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka
tahun 2003, sebagian besar penduduk yang ada di 14 kecamatan sekitar kawasan
TNGC umumnya memeluk agama Islam (98%), sedangkan sebagian kecil
beragama Kristen Protestan dan Katolik (2%). Interaksi masyarakat desa dengan
kelompok hutan Gunung Ciremai telah lama berlangsung sejak kawasan tersebut
belum ditunjuk sebagai taman nasional. Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat,
baik secara ekologi, ekonomi dan sosial berhubungan dengan kawasan tersebut,
termasuk beberapa situs yang terdapat di dalam kawasan Gunung Ciremai yang
merupakan bagian dari kegiatan ritual kepercayaan dan budaya bagi sebagian
masyarakat di sekitar dan di luar kawasan Gunung Ciremai.
34
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC
Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan
permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi
manusia, gangguan alam dan suksesi tumbuhan secara alami. Penggunaan lahan
merupakan perubahan keadaan lahan yang disebabkan oleh adanya kegiatan
pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kepentingan dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penutupan lahan dan penggunaan lahan yang
ada di TNGC berdasarkan hasil survei dikelompokkan menjadi tujuh kategori.
Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut adalah hutan alam, hutan tanaman,
semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Penutupan dan
penggunaan lahan di TNGC disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Penutupan dan penggunaan lahan. (a) Hutan alam; (b) Hutan tanaman pinus; (c) Semak belukar; (d) Ladang; (e) Lahan terbuka; (f) Badan air.
35
5.1.1 Klasifikasi penutupan lahan
Proses klasifikasi dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik interpretasi
penginderaan jauh menggunakan citra Landsat. Citra yang digunakan untuk
klasifikasi adalah citra dengan tahun penyiaman 2006 dan 2009. Berdasarkan hasil
interpretasi citra, klasifikasi penutupan lahan terbagi dalam 7 tipe yaitu hutan
alam, hutan tanaman, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data.
Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat band 5,4,3 disajikan
pada Tabel 5. Adapun klasifikasi tipe penutupan lahan dijelaskan sebagai berikut :
1 Hutan alam merupakan kelompok hutan yang masih alami baik itu hutan
primer maupun hutan sekunder.
2 Hutan tanaman merupakan kelompok hutan produksi eks Perum Perhutani.
Dalam kawasan TNGC dan sekitarnya didominasi oleh hutan tanaman pinus
dengan sistem agroforestry.
3 Semak adalah lahan yang didominasi oleh tumbuhan bawah, rumput dan
belukar. Areal ini dapat juga berupa bekas pembukaan hutan lahan kering
yang telah tumbuh kembali.
4 Ladang merupakan lahan pertanian kering yang ditanami bukan tanaman
keras. Umumnya ladang ditanami dengan sayuran atau tanaman pangan
semusim.
5 Lahan terbuka adalah seluruh kenampakan lahan yang tidak bervegetasi,
lahan bekas kebakaran dan tanah bebebatuan.
6 Badan air merupakan penampakan permukaan air yang berupa danau,sungai,
dan kolam.
7 Tidak ada data adalah penampakan awan dan bayangan pada citra. Adanya
awan dan bayangan mengakibatkan citra tidak dapat diklasifikasi.
36
Tabel 5 Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat
No. Tipe penutupan lahan
Deskripsi tampilan citra Gambar citra Landsat
1 Hutan alam Hutan alam berwarna hijau tua gelap dan berada pada kelas kelerengan yang curam
2 Hutan tanaman
pinus Hutan tanaman pinus berwarna hijau agak gelap dan memiliki tekstur yang halus
3 Semak Semak berwarna kuning sangat
terang hingga merah muda terang. Memiliki tekstur yang agak halus.
4 Ladang Ladang berwarna kebiruan,
berbercak kemerahan dan kecoklatan.
5 Lahan terbuka Lahan terbuka berwarna ungu,
merah muda gelap dan keabuan
37
Tabel 5 (Lanjutan)
No. Tipe penutupan lahan
Deskripsi tampilan citra Gambar citra Landsat
6 Badan air Badan air berwarna biru tua
7 Awan dan bayangan awan
Awan berwarna putih dan bayangan berwarna hitam
5.1.2 Penutupan lahan di TNGC tahun 2006
Hasil pengolahan citra Landsat dengan waktu penyiaman citra 24 September
2006 adalah peta penutupan lahan TNGC (Gambar 6). Nilai overall classification
accuracy peta tutupan lahan tahun 2006 adalah 86.49%. Berdasarkan Tabel 6 dan
Tabel 7, luas tipe penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dijelaskan sebagai
berikut:
1 Tipe petutupan lahan yang terluas di TNGC adalah hutan alam dengan luas
6345.99 ha. Hutan alam yang ada di TNGC sebagian besar merupakan hutan
sekunder. Persebaran hutan alam paling luas yaitu di Kecamatan Argapura
dengan luas 1932.48 ha dan terkecil pada Kecamatan Sukahaji dengan luas
14.67 ha.
2 Tipe penutupan lahan terluas kedua adalah semak dengan luas 3295.26 ha.
Semak merupakan lahan berupa rumput, tumbuhan bawah atau ilalang yang
tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang
ditinggalkan. Semak mendominasi luasan TNGC di beberapa wilayah karena
lahannya sebagian berbatu dan adanya faktor kebakaran hutan yang
menyebabkan suksesi secara alami. Semak belukar terluas berada di
Kecamatan Pasawahan dengan luas 671.76 ha diikuti Kecamatan Argapura
38
dengan luas 622.53 ha, dan yang terkecil berada di Kecamatan Cikijing dengan
luas 21.24 ha.
3 Tidak ada data merupakan penutupan lahan terluas ketiga dengan luas 1864.35
ha. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra
berupa awan, bayangan awan, serta punggungan bukit-bukit.
4 Hutan tanaman pinus merupakan tipe penutupan lahan terluas keempat dengan
luas 1458.27 ha. Hutan tanaman pinus di TNGC dahulu dikelola Perum
Perhutani. Distribusi hutan tanaman pinus terluas berada di Kecamatan
Argapura dengan 477.99 ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas
200.43 ha dan yang terkecil di Kecamatan Sukahaji dengan luas 1.17 ha.
5 Lahan terbuka merupakan penutupan lahan terluas kelima dengan luas 1413.36
ha. Lahan terbuka diakibatkan oleh kebakaran lahan-lahan semak belukar yang
menyebabkan semak-semak menjadi tanah-tanah hitam. Selain itu karena
adanya pembukaan lahan oleh masyarakat sebelum digarap menjadi lahan
pertanian. Lahan terbuka di TNGC yang terluas berada di Kecamatan
Pasawahan dengan luas 1025.55 ha, kemudian Kecamatan Argapura dengan
luas 152.91 ha dan yang terkecil berada di Kecamatan Cikijing dengan luas 0.9
ha.
6 Ladang merupakan tipe penutupan lahan terluas keenam dengan luas 789.3 ha.
Ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami sayur-sayuran seperti
kubis, cabai, kentang, petcay dan lainnya. Ladang merupakan lahan garapan
yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat dan sudah ada sebelum adanya
kawasan TNGC atau semenjak masih dikuasai oleh Perum Perhutani, sehingga
ladang masih banyak terdapat di dalam kawasan taman nasional. Luasan ladang
yang terluas berada di wilayah Kecamatan Argapura dengan 440.19 ha,
kemudian di Kecamatan Talaga dengan luas 220.59 ha dan terluas ketiga di
Kecamatan Cigugur dengan luas 36.27 ha.
7 Badan air merupakan tipe penutupan lahan yang terkecil yang sangat jelas
terdeteksi di wilayah danau/Situ Sangiang dengan luas 19.17 ha dan Talaga
Remis dengan luas 2.34 ha.
39
Gambar 6 Peta penutupan lahan TNGC tahun 2006.
5.1.3 Penutupan lahan di TNGC tahun 2009
Hasil pengolahan citra Landsat dengan waktu penyiaman citra 16 Maret
2009 adalah peta penutupan lahan TNGC (Gambar 7). Nilai overall classification
accuracy peta tutupan lahan tahun 2009 adalah 89.19%. Berdasarkan Tabel 6 dan
40
Tabel 7, luas tipe penutupan lahan di TNGC tahun 2009 dijelaskan sebagai
berikut:
1 Penutupan lahan terluas di TNGC adalah hutan alam dengan luas 6294.78 ha.
Hutan alam di TNGC sebagian besar merupakan hutan sekunder dan sebagian
hutan yang masih primer/alami. Hutan alam terluas berada di wilayah
administrasi Kecamatan Argapura dengan luas 1985.49 ha, kemudian
Kecamatan Cigugur dengan luas 720.72 ha dan yang terkecil pada Kecamatan
Sukahaji dengan luas 15.03 ha.
2 Tipe penutupan lahan terluas kedua adalah semak dengan luas 404.99 ha.
Semak merupakan lahan berupa rumput, tumbuhan bawah atau ilalang yang
tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang
ditinggalkan. Distribusi semak terluas pada Kecamatan Pasawahan dengan
luas 1532.07 ha dan Kecamatan Mandirancan dengan luas 487.89 ha.
3 Tidak ada data merupakan penutupan lahan terluas ketiga dengan luas 1864.35
ha. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra yang
berupa awan, bayangan awan serta punggungan bukit-bukit.
4 Hutan tanaman merupakan tipe penutupan lahan terluas keempat dengan luas
1551.15 ha. Penggunaan lahan hutan tanaman pinus ini terlihat dari aktivitas
penggarapan lahan masyarakat dengan sistem tumpangsari. Distribusi terluas
yaitu pada Kecamatan Argapura dengan 379.44 ha diikuti dengan Kecamatan
Mandirancan dengan luas 247.86 ha.
5 Ladang merupakan tipe penutupan lahan terluas kelima dengan luas 967.59
ha. Ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami tanaman sayuran
semusim. Ladang merupakan lahan garapan yang sudah lama diterapkan oleh
masyarakat dan sudah ada sebelum adanya kawasan TNGC. Distribusi ladang
terluas berada di Kecamatan Argapura dengan luas 617.04 ha, kemudian di
Kecamatan Cigugur dengan luas 87.84 ha.
6 Lahan terbuka merupakan penutupan lahan terluas keenam dengan luas 434.16
ha. Lahan terbuka merupakan lahan yang tidak bervegetasi, tanah dan berbatu
seperti di puncak Gunung Ciremai, serta lahan semak yang mengalami
kebakaran lahan dan hutan. Distribusi terluas berada pada wilayah Kecamatan
Pasawahan dengan luas 170.91 ha
41
7 Luas penutupan lahan paling kecil adalah badan air. Badan air terdeteksi jelas
di Situ Sangiang (Kecamatan Talaga) dengan luas 17.64 ha dan Telaga Warna
(Kecamatan Pasawahan) dengan luas 2.25 ha.
Gambar 7 Peta penutupan lahan TNGC tahun 2009.
Legenda
42
5.2 Perubahan Penutupan Lahan
Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena
manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. Berdasarkan
hasil interpretasi citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra Landsat TM tahun
2009, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan penutupan lahan di kawasan
TNGC. Perubahan penutupan lahan secara umum dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009
No Tipe
penutupan lahan
Luas penutupan lahan (ha) Perubahan penutupan
lahan Total Total
2006 % 2009 % 2006-2009
(ha) Laju/3tahun
(%) 1 Hutan alam 6345.99 41.78 6294.78 41.48 -51.21 -0.01
2 Hutan tanaman
1458.27 9.60 1551.15 10.22 92.88 0.06
3 Ladang 789.3 5.20 967.59 6.38 178.29 0.18
4 Semak 3295.26 21.70 4041.99 26.64 746.73 0.18
5 Lahan terbuka 1413.36 9.31 434.16 2.86 -979.2 -2.26
6 Badan air 21.51 0.14 19.89 0.13 -1.62 -0.08
7 Tidak ada data
1864.35 12.28 1864.35 12.29 0 0
Penutupan lahan di TNGC terbagi dalam 12 kecamatan yang berbatasan
langsung dengan kawasan TNGC. Sebagian wilayah TNGC termasuk ke dalam
batas wilayah-wilayah administrasi kecamatan yang berada di Kabupaten
Majalengka dan Kabupaten Kuningan. Luasan penutupan lahan pada masing-
masing kecamatan dan perubahan penutupan lahannya selama periode 2006-2009
dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
43
Tabel 7 Penutupan lahan tiap kecamatan
No Kabupaten Kecamatan
2006 2009
Hutan alam (ha)
Hutan tanaman
pinus (ha)
Semak belukar
(ha)
Lahan terbuka
(ha)
Ladang (ha)
Badan air (ha)
Tidak ada data (ha)
Hutan alam (ha)
Hutan tanaman
pinus (ha)
Semak belukar
(ha)
Lahan terbuka
(ha)
Ladang (ha)
Badan air (ha)
Tidak ada data (ha)
1 Majalengka Cikijing 17.64 2.61 21.24 0.90 2.07 0 49.23 28.08 4.95 6.75 0.18 3.60 0 49.23
2
Talaga 264.24 126.81 124.65 48.60 220.59 19.17 169.38 352.08 130.77 120.51 45.36 137.70 17.64 169.38
3
Argapura 1932.48 477.99 622.53 152.91 440.19 0 142.38 1985.49 379.44 524.70 116.73 617.04 0 142.29
4
Sukahaji 14.67 1.17 92.25 0.09 12.24 0 1.17 15.03 5.76 68.94 9.45 18.27 0 1.17
5
Rajagaluh 525.06 107.19 261.81 31.77 28.26 0 367.02 528.12 123.66 230.13 35.91 23.76 0 367.02
6
Sindangwangi 27.27 101.97 76.05 3.51 3.33 0 11.88 44.91 84.6 66.69 6.48 6.39 0 11.88
7 Kuningan Darma 507.06 43.92 141.03 25.02 30.06 0 586.8 471.42 60.57 181.44 1.8 39.33 0 586.8
8
Cigugur 802.17 59.31 301.05 37.26 36.27 0 62.64 720.72 85.77 308.7 34.29 87.84 0 62.64
9
Jalaksana 662.67 91.17 194.49 5.76 6.84 0 122.58 586.35 130.32 226.89 6.66 15.21 0 122.58
10
Cilimus 718.83 65.79 385.74 26.82 1.71 0 7.38 695.34 166.86 332.19 1.98 6.66 0 7.38
11
Mandirancan 391.68 200.43 441.81 65.43 1.71 0 21.87 348.66 247.86 487.89 9.70 6.03 0 21.87 12
Pasawahan 564.3 187.65 671.76 1025.55 11.25 2.34 339.84 598.14 141.57 1532.07 170.91 8.91 2.25 339.93
43
44
Tabel 8 Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan
No Kabupaten Kecamatan
Hutan alam (ha) Hutan tanaman pinus
(ha) Semak (ha) Lahan terbuka (ha) Ladang (ha) Badan air (ha)
Luas total
(2006)
Luas total
(2009) Luas (ha)
Laju perubahan
(%)
Luas (ha)
Laju perubahan
(%)
Luas (ha)
Laju perubahan
(%)
Luas (ha)
Laju perubahan
(%)
Luas (ha)
Laju perubahan
(%)
Luas (ha)
Laju perubahan
(%)
1 Majalengka Cikijing 10.44 0.59 2.34 0.90 -14.49 -0.68 -0.72 -0.8 1.53 0.74 0 0 93.69 92.79
2 Talaga 87.84 0.33 3.96 0.03 -4.14 -0.03 -3.24 -0.07 -82.89 -0.38 -1.53 -0.08 973.44 973.44
3 Argapura 53.01 0.03 -98.55 -0.21 -97.83 -0.16 -36.18 -0.24 176.85 0.40 0 0 3768.48 3765.69
4 Sukahaji 0.36 0.02 4.59 3.92 -23.31 -0.25 9.36 104 6.03 0.49 0 0 121.59 118.62
5 Rajagaluh 3.06 0.01 16.47 0.15 -31.68 -0.12 4.14 0.13 -4.5 -0.16 0 0 1321.11 1308.60
6 Sindangwangi 17.64 0.65 -17.37 -0.17 -9.36 -0.12 2.97 0.85 3.06 0.92 0 0 224.01 220.95
7 Kuningan Darma -35.64 -0.07 16.65 0.38 40.41 0.29 -23.22 -0.93 9.27 0.31 0 0 1333.89 1341.36
8 Cigugur -81.45 -0.10 26.46 0.45 7.65 0.03 -2.97 -0.08 51.57 1.42 0 0 1298.7 1299.96
9 Jalaksana -76.32 -0.12 39.15 0.43 32.4 0.17 0.90 0.16 8.37 1.22 0 0 1083.51 1088.01
10 Cilimus -23.49 -0.03 101.07 1.54 -53.55 -0.14 -24.84 -0.93 4.95 2.89 0 0 1206.27 1210.41
11 Mandirancan -43.02 -0.11 47.43 0.24 46.08 0.10 -55.73 -0.85 4.32 2.53 0 0 1122.93 1122.01
12 Pasawahan 33.84 0.06 -46.08 -0.25 860.31 1.28 -854.64 -0.83 -2.34 -0.21 -0.09 -0.04 2802.69 2793.78
44
45
Penutupan lahan hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder di
TNGC selama periode 2006-2009 mengalami penurunan luas hutan sebesar 51.21
ha dengan laju perubahan luas sebesar 0.01%. Penurunan luas hutan alam terbesar
yaitu di Kecamatan Cigugur dengan 81.45 ha dan peningkatan hutan alam terbesar
yaitu di Kecamatan Talaga 87.84 ha. Hutan alam mengalami penurunan luas dan
perubahan menjadi semak belukar sebesar 7.80%, menjadi hutan tanaman sebesar
4.19%, dan menjadi ladang sebesar 0.80% dari luas tahun 2006 pada tahun 2009.
Penurunan luas hutan ini mengindikasikan adanya gangguan kawasan hutan
berupa pencurian dan penebangan kayu, penggarapan lahan serta beberapa
kejadian kebakaran hutan yang merusak pohon dan menyebabkan lahan tersebut
menjadi kurang tertutup vegetasi. Selain itu juga karena adanya lahan hutan yang
dimanfaatkan untuk kebun campuran karena merupakan kawasan enclave.
Wilayah enclave ini memang sudah ada lama sejak masih dikelola Perum
Perhutani. Kawasan TNGC terdapat dua lokasi yang menjadi kawasan enclave
dan keduanya berada di wilayah resort pasawahan dengan luas masing-masing
12.5 ha dan 67.5 ha. Lokasi enclave ini cenderung merupakan hutan campuran
sekunder dan tidak ada pemukiman di dalamnya. Hutan sekunder mendominasi
kawasan hutan di TNGC karena ekosistem ini banyak dijumpai baik di daerah-
daerah hutan tropika basah maupun hutan musim, di dataran rendah dan bukit-
bukit. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder di TNGC disebabkan karena
faktor alam yaitu letusan gunung berapi yang sudah terjadi sebanyak 7 kali
diantaranya tahun 1698, 1772, 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938 (BTNGC 2006)
sehingga vegetasi hutan alam pada masa lalu mengalami suksesi dan menjadi
hutan sekunder. Secara umum persebaran deforestasi dan reforestasi hutan di
TNGC selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Gambar 8.
46
Gambar 8 Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun 2006-2009.
Hutan tanaman pinus dalam wilayah TNGC mengalami peningkatan luas
pada periode 2006-2009 yaitu sebesar 92.88 ha dengan laju perubahannya sebesar
0.06%. Penurunan luas hutan tanaman pinus terbesar yaitu di wilayah Kecamatan
Argapura dengan luas 98.55 ha dan peningkatan luas hutan tanaman pinus terluas
di Kecamatan Cilimus dengan 101.07 ha. Selama periode 2006-2009, hutan
tanaman pinus yang mengalami perubahan menjadi vegetasi semak sebesar 8%.
Hal ini memungkinkan karena selama periode 2006-2009 telah terjadi kebakaran
lahan hutan sebesar 2245.9 ha (Tabel 9). Hutan tanaman pinus merupakan
vegetasi yang mudah terbakar dan interpretasi pada citra Landsat akan terlihat
47
vegetasi bawahnya yang berupa semak. Hutan tanaman pinus juga mengalami
perubahan menjadi hutan alam sebesar 16%. Perubahan penutupan ini diduga
karena adanya pemanfaatan intensif lahan garapan berupa kebun campuran di
bawah tegakan pinus sehingga klasifikasi diinterpretasikan menjadi hutan alam.
Penggunaan lahan untuk kebun campuran tidak bisa dideteksi berdasarkan
klasifikasi citra Landsat karena agak tertutup oleh kelompok hutan tanaman pinus.
Selain itu, hutan tanaman pinus juga mengalami perubahan menjadi ladang
sebesar 10% dari luas tahun 2006 pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat tidak merawat hutan tanaman pinus. Hutan tanaman pinus
sengaja dicuri dan ditebang agar tidak menghalangi ladang sayuran yang tidak
membutuhkan naungan. Selain itu, lokasi hutan pinus ini pun dekat dengan daerah
rawan kebakaran, seperti di Pesawahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
tunggak batang sisa kebakaran yang masih hitam tegak berdiri. Hutan tanaman
pinus yang dahulu dikelola dengan sistem tumpangsari dalam program PHBM
menyebabkan banyaknya masyarakat yang menggarap lahan TNGC sehingga
memungkinkan adanya perubahan penutupan lahan menjadi ladang sayuran tanpa
memelihara tegakan utamanya yaitu pinus. Kondisi ini terlihat di wilayah TNGC
sebelah barat seperti di Kecamatan Bantaragung, Argalingga, Argamukti, Talaga
sampai wilayah timur TNGC seperti Cigugur, dan sebagian Cilimus.
Masyarakat yang berkebun dan berladang dengan sistem tumpangsari
seharusnya menggarap lahan sampai tegakan pinus menjadi besar dan terpelihara
dan kemudian masyarakat menggarap di lahan yang lain terutama di lahan bekas
tebangan pinus. Namun kenyataannya di lapangan masyarakat justru tidak
memelihara tegakan pinus dan pohon hutan lainnya. Mereka justru menebang
pohon tersebut agar masyarakat bisa terus menggarap lahan lebih lama. Hal ini
kemungkinan diduga karena sudah tidak ada wewenang Perum Perhutani terkait
adanya peralihan status menjadi taman nasional sehingga masyarakat beranggapan
bahwa pemeliharaan pinus akan menjadi sia-sia. Secara umum penurunan
(deforestasi) dan peningkatan (reforestasi) areal hutan tanaman pinus pada
beberapa wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar 9.
48
Gambar 9 Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun 2006-2009.
Ladang di kasawan TNGC mengalami peningkatan luas pada periode
2006-2009 sebesar 178.29 ha dengan laju perubahan luasnya sebesar 0.18%.
Peningkatan luas ladang di dalam kawasan taman nasional sangat tidak terkendali.
Pemanfaatan lahan untuk ladang ini dapat dikatakan sebagai perambahan yang
disebabkan konversi lahan menjadi ladang sayuran. Hal ini dikarenakan aktivitas
masyarakat dalam bertani lebih banyak memanfaatkan lahan di dalam kawasan
dibandingkan di luar kawasan terkait dengan keberadaan lahan garapan yang
49
sudah ada sebelum kawasan TNGC ditunjuk. Pada periode tahun 2006-2009 telah
terjadi perubahan lahan dari ladang menjadi semak sebesar 17%. Hal ini
memungkinkan karena pada sebagian wilayah di Kecamatan Talaga masyarakat
menanam jagung dimana komoditi jagung memiliki pencitraan yang agak serupa
dengan semak yang berwarna kekuning-kuningan. Selain itu diduga adanya
masyarakat yang meninggalkan sebagian lahan garapannya dalam kawasan untuk
tidak menggarap lagi dikarenakan adanya sosialisasi dari petugas taman nasional
dalam rangka penutupan kawasan untuk lahan garapan sehingga lahan yang
ditinggalkan tersebut berubah menjadi semak. Distribusi ladang dalam kawasan
TNGC dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan peta distribusi ladang dalam kawasan TNGC, dapat dilihat
penyebaran lokasi penggarapan lahan khususnya ladang sayur tanpa naungan
sebagian besar berada di wilayah administrasi Kabupaten Majalengka seperti
wilayah Kecamatan Argapura dengan luas peningkatan sebesar 176.85 ha.
Sedangkan sebagian kecil berada di wilayah Kabupaten Kuningan yaitu wilayah
Kecamatan Cigugur dan sebagian Cilimus. Hal ini dapat dipahami karena
Gambar 10 Peta distribusi ladang dalam kawasan (a) tahun 2006; (b) tahun 2009.
50
wilayah-wilayah tersebut berada pada ketinggian antara 800-1200 m dpl yang
cocok ditanami sayuran. Namun pemanfaatannya menjadi tidak terkendali dan
sampai masuk ke dalam kawasan taman nasional diantaranya ada yang mencapai
ketinggian sekitar 1980 m dpl yaitu pada lokasi Blok Ciinjuk, Desa Cipulus,
Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka. Perambahan ini diduga karena
masyarakat lebih senang menanam sayuran seperti kol, kentang, bawang daun,
petcay dan cabai yang memiliki musim panen yang cepat sekitar 3-4 bulan sekali
panen sehingga lebih produktif dibandingkan harus menanam dan memelihara
tanaman keras/buah-buahan seperti kopi, cengkeh dan alpukat yang memiliki
masa panen relatif lama yaitu sekitar 1-3 tahun sekali panen. Hal ini akan
berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan akan memperluas
lahan garapannya apabila tidak dilakukan sosialisasi intensif dan langkah konkrit
dalam rangka penutupan kawasan untuk penggarapan.
Semak belukar mengalami peningkatan luas lahan yang cukup tinggi pada
periode 2006-2009 yaitu sebesar 746.73 ha dengan laju perubahan luasan sekitar
0.18%. Peningkatan penutupan semak terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan
dengan luas 860.30 ha. Semak belukar yang mengalami perubahan vegetasi
diantaranya menjadi ladang sebesar 7.36% dan hanya 3.70% yang berubah
menjadi lahan terbuka. Pada periode 2006-2009 di wilayah TNGC terjadi
kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar yang menghabiskan semak belukar
dan membakar hutan-hutan di sekitarnya, terutama hutan tanaman pinus.
Kebakaran hutan yang sering terjadi terutama pada saat musim kemarau, yaitu
antara bulan Juni sampai dengan Oktober. Daerah yang rawan terjadi kebakaran
hutan adalah daerah puncak Gunung Ciremai dan bagian kaki Gunung Ciremai
sebelah utara di wilayah Kabupaten Kuningan serta sebelah timur wilayah
Kabupaten Majalengka (BTNGC 2010). Distribusi semak belukar dapat dilihat
pada Gambar 11.
51
Lokasi-lokasi pada tiap resort di wilayah TNGC yang mengalami
kebakaran lahan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Data luasan kebakaran di TNGC
No Resort 2006 (ha) 2007 (ha) 2008 (ha) 2009 (ha) Total (ha)
1 Pasawahan 208.6 64 219.8 488 980.4
2 Mandirancan 202 0 30 217 449
3 Cilimus 347 0 159 5 511
4 Jalaksana 5 35 30 0 70
5 Cigugur 5 0 0 0 5
6 Sangiang 0 14 5 40 59
7 Argalingga 0 32 4 0 36
8 Gunung Wangi 0 13 0 0 13
9 Bantaragung 0 65 26.5 31 122.5
Total 767.6 223 474.3 781 2245.9 Sumber: Data dan informasi kebakaran hutan TNGC (2010)
. Berdasarkan Tabel 9, daerah yang paling rawan kebakaran lahan adalah
di Resort Pasawahan, Mandirancan dan Cilimus. Data menunjukan tahun 2006
Gambar 11 Peta distribusi semak belukar (a) tahun 2006; (b) tahun 2009
52
merupakan kebakaran terbesar yang pernah terjadi di kawasan Gunung Ciremai
dengan luas lahan yang terbakar sebesar 767.60 ha. Hal ini dapat terdeteksi dari
citra Landsat yang diambil pada 24 September 2006 yang merupakan lahan semak
namun terdeteksi sebagai lahan terbuka karena cukup besar semak yang terbakar.
Pada wilayah-wilayah ini tutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan
kondisi lahan yang berbatu dengan total luas kebakaran selama 2006-2009
mencapai 2245.9 ha.
Selain itu, pola penggunaan lahan sebagian masyarakat dengan
menggunakan sistem land clearing. Masyarakat membuka lahan dengan
melakukan pembakaran lahan terlebih dahulu, yang bertujuan agar lahan yang
digarapnya lebih subur karena areal bekas pembakaran dipercaya mengandung
humus, sehingga sewaktu-waktu pembukaan lahan yang disebabkan oleh land
clearing dapat mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan. Hal ini didukung oleh
Hadiprasetyo (2009) yang mengatakan bahwa selain penggarap mengolah lahan
dengan cara mencangkul dan memupuk, sebagian masyarakat lain masih
membersihkan lahan dengan cara membakar karena membutuhkan waktu yang
relatif cepat dan biaya yang lebih murah daripada memupuk.
Lahan terbuka di kawasan TNGC berupa tanah bebatuan di daerah puncak
gunung/kawah dan sebagian wilayah Kecamatan Pasawahan. Pada lahan terbuka
terjadi penurunan yang tinggi yaitu sebesar 979.2 ha dengan laju perubahan luasan
sebesar 2.26%. Penurunan lahan terbuka terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan
dengan luas 854.64 ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas 55.73 ha.
Kemudian di sekitar penutupan hutan tanaman pinus terdeteksi lahan terbuka yang
merupakan areal bekas kebakaran dan tebangan Perum Perhutani yang lahannya
kurang tertutup vegetasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk digarap dengan
perubahan vegetasi lahan terbuka menjadi ladang pada tahun 2009 sebesar 5.8%
dari total luasan lahan terbuka tahun 2006. Lahan terbuka mengalami perubahan
penutupan vegetasi yang tinggi menjadi semak sebesar 69%. Hal ini karena
adanya sistem suksesi alam pada hutan sekunder atau semak bekas lahan
kebakaran. Sebaran lahan terbuka di kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar
12.
53
Penutupan lahan berupa badan air mengalami penurunan luas pada tahun
2006-2009 yaitu sebesar 1.62 ha dengan laju perubahan luasan sebesar 0.08%.
penurunan luas badan air ini disebabkan karena fluktuasi debit air sehingga dapat
mempengaruhi dalam interpretasi citra. Pada saat musim kemarau atau saat curah
hujan kecil, jumlah air cenderung berkurang. Pada saat musim hujan jumlah air
meningkat dan air akan melimpah kepinggiran daratan disekitarnya. Badan air ini
terdeteksi baik di wilayah Situ Sangiang dan Talaga Remis.
Tidak ada data merupakan penutupan lahan berupa awan, bayangan awan
serta punggungan bukit yang tidak bisa terdeteksi dalam citra dan tidak
mengalami perubahan luas pada periode tahun 2006-2009. Pada saat proses
klasifikasi citra, luas tidak ada data disamakan setiap tahun. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan luas tipe penutupan lahan yang sama pada citra yang
terklasifikasi.
Gambar 12 Peta distribusi lahan terbuka (a) tahun 2006; (b) tahun 2009.
54
5.3 Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mempengaruhi Perambahan
Lahan
5.3.1 Karakteristik sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan
Karakterisitk sosial masyarakat yang dilihat dalam penelitian ini terutama
yang berkaitan dengan kegiatan mayarakat dalam penggunaan lahan. Data yang
diambil adalah sampel desa dan sampel responden yang dikumpulkan melalui
daftar pertanyaan di rumah responden dan di lahan garapan. Adapun karakter
sosial masyarakat sekitar kawasan meliputi mata pencaharian, usia kerja, luas
garapan di luar kawasan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendapatan dan
pendidikan. Penjelasan mengenai karakter sosial masyarakat diterangkan sebagai
berikut :
1 Mata pencaharian
Mata pencaharian responden pada umumnya adalah petani, baik sebagai
petani penggarap maupun sebagai petani upahan/buruh tani. Berdasarkan
wawancara dengan 94 responden, sebanyak 60 responden tidak memiliki
pekerjaan selain hanya mengandalkan sumber penghasilan sebagai petani saja.
Sedangkan sebanyak 34 responden memiliki pekerjaan sampingan sebagai
penambah pendapatan mereka. Persentase jumlah responden menurut mata
pencaharian sampingan dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Persentase jumlah responden menurut mata pencaharian sampingan.
Dari Gambar 13 dapat disimpulkan bahwa jenis pekerjaan sampingan yang
paling banyak adalah sebagai buruh tani. Hal ini dapat dilihat dari 34 responden
yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani, terdapat 20 responden (59%)
mempunyai pekerjaan sampingan sebagai buruh tani/upahan di lahan milik orang
55
lain. Pekerjaan sampingan lain yang banyak dilakukan yaitu sebagai buruh
bangunan dan dagang sebanyak 4 responden.
2 Usia kerja
Tingkat usia kerja responden dikategorikan menjadi dua yaitu usia
produktif (15-64 tahun) dan usia non produktif (> 64 tahun). Persentase jumlah
responden menurut usia kerja disajikan pada Gambar 14.
Jumlah responden terbanyak merupakan responden usia produktif (15-64
tahun) dengan jumlah 77 responden atau 82%. Sedangkan usia tidak produktif
sebanyak 17 responden atau 18%. Hal ini mengindikasikan penggunaan lahan
didominasi oleh usia produktif, namun tidak menutup kemungkinan usia tidak
produktif memanfaatkan lahan milik untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
3 Luas lahan garapan
Pertanian merupakan sektor kehidupan utama bagi masyarakat sekitar
Taman Nasional Gunung Ciremai. Hal ini terkait dengan faktor luas lahan garapan
yang dimilikinya terutama lahan di luar kawasan taman nasional. Kepemilikan
lahan responden terbagi dalam empat kategori yaitu tidak mempunyai lahan,
kurang dari 0.5 ha, 0.5-1 ha, dan lebih dari 1 ha. Persentase jumlah responden
menurut kepemilikan lahan disajikan pada Gambar 15.
Gambar 14 Persentase jumlah responden menurut tingkat umur.
Gambar 15 Persentase jumlah responden menurut luas garapan di luar kawasan.
56
Sebanyak 56 orang (60%) masyarakat dominan memiliki lahan < 0.5 ha
dan hanya 2 orang (2%) saja yang memiliki lahan milik lebih dari 1 ha dan
merupakan petani milik/tuan tanah. Sedangkan yang tidak memiliki lahan ada 20
orang responden (21%). Ketersediaan lahan yang terbatas di luar kawasan bisa
jadi pemicu masyarakat untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional
sehingga petani di sekitar TNGC dapat dikategorikan sebagai petani milik, petani
penggarap dan petani perambah.
Petani milik adalah petani yang menggarap lahan dengan status tanah
milik pribadi atau tuan tanah yang memiliki lahannya saja namun digarap oleh
orang lain. Luas penguasaan lahan petani milik ini biasanya berada diatas rata-rata
luas lahan minimal agar petani dapat hidup layak. Petani milik ini umumnya
adalah orang yang cukup berada dan disegani oleh masyarakat setempat.
Petani penggarap adalah orang yang mengerjakan lahan milik orang lain
dengan kompensasi tertentu yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sedangkan
petani perambah adalah petani yang menggunakan lahan taman nasional sebagai
lahan garapannya. Petani perambah biasanya petani yang tidak memliki lahan
garapan di luar kawasan atau memiliki lahan tapi kurang mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebanyak 64 orang (68%) responden memiliki lahan garapan di dalam
kawasan seluas <0.5 ha, 29 orang responden (31%) memliki lahan seluas 0.5-1 ha,
dan hanya 1 orang (1%) saja yang menggarap dalam kawasan mencapai lebih dari
1 ha. Hal ini menunjukan bahwa tekanan terhadap lahan TNGC cukup besar
dengan luasan yang bervariasi.
Gambar 16 Persentase jumlah responden menurut luas garapan dalam TN.
57
Lahan garapan masyarakat berupa ladang sayur mayur seperti kol, cabe,
petcay, kentang dan daun bawang yang dominan berada di dataran tinggi seperti
Desa Sangiang. Sedangkan kebun campuran seperti pisang, alpukat, duren, salam,
jengkol dan lainnya yang berada di dataran rendah seperti Desa Seda.
4 Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan keluarga masyarakat desa sekitar juga mempengaruhi
perubahan penutupan dan penggunaan lahan di TNGC. Indikasinya dengan
melihat rasio ketergantungan penduduk/beban penduduk. Rasio ketergantungan
penduduk/beban penduduk menggambarkan beban yang harus dipikul oleh
seorang kepala keluarga terhadap anggota keluarganya. Rasio ketergantungan
penduduk atau tanggungan keluarga dianggap besar apabila nilai lebih besar atau
sama dengan 3 dan dianggap kecil apabila kurang dari 3 jiwa. Nilai 3 diperoleh
dari nilai rata-rata jumlah tanggungan seluruh responden. Gambar 18
menunjukkaan persentase jumlah responden menurut tanggungan keluarga.
5 Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan merupakan jumlah pendapatan kepala keluarga yang
dihitung pada suatu periode waktu tertentu. Jumlah pendapatan tersebut dihitung
berdasarkan seluruh penghasilan kepala keluarga yang berasal dari mata
pencaharian pokok dan mata pencaharian sampingan. Tingkat pendapatan
merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan
Gambar 18 Persentase jumlah responden menurut tanggungan keluarga.
Gambar 17 Persentase jumlah responden menurut jenis penggunaan lahan.
58
kesejahteraan penduduk. Persentase jumlah respoden menurut pendapatan dapat
dilihat pada Gambar 19.
Pendapatan pokok penduduk rata-rata diperoleh dari hasil bertani sebagai
mata pencaharian utama khususnya yang menggarap di dalam kawasan yaitu
sebanyak 72 responden (77%) responden berpenghasilan <500000 dan hanya 22
responden (23%) berpenghasilan >500000. Untuk pendapatan tambahan
responden sewaktu-waktu menjadi buruh bangunan, buruh tani, berdagang dan
beternak.
6 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan responden terdiri dari tidak sekolah, SD, SMP dan
SMA. Persentase jumlah responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada
Gambar 20.
Jumlah responden terbanyak yaitu pada tingkat SD sebanyak 75 orang atau
81%, sedangkan yang paling sedikit yaitu tidak sekolah sebanyak 3 orang atau
3%. Hal ini memberikan penjelasan bahwa pendidikan masyarakat di sekitar
kawasan tergolong rendah karena untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi
sangat sulit bagi masyarakat sekitar. Adapun untuk lulusan SMA merupakan
pendatang dari daerah lain.
Gambar 20 Persentase jumlah responden menurut tingkat pendidikan.
Gambar 19 Persentase jumlah responden menurut pendapatan.
59
7 Lama menggarap
Intensitas atau lamanya masyarakat menggarap dalam kawasan
dikategorikan dalam dua kelas yaitu sebelum adanya TNGC (<5 tahun) dan
setelah adanya TNGC (>5 tahun). Persentase jumlah responden menurut lama
menggarap disajikan dalam Gambar 21.
Sebanyak 90 orang responden (96%) mengaku sudah lama menggarap
dalam kawasan taman nasional dan hanya 4 orang responden saja (4%) yang baru
menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Mayoritas responden telah lama
menggarap sejak status kawasan masih dipegang oleh Perum Perhutani yang
kebijakannya mengarah pada pengelolaan hutan produksi dengan pemeliharaan
diserahkan sepenuhnya oleh masyarakat sekitar dengan sistem tumpangsari.
8 Aksesibilitas
Kawasan taman nasional memiliki areal cukup luas dengan akses jalan
yang baik, jarak ke pusat pemerintahan cukup jauh dan dikelilingi oleh desa-desa
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pedesaan berbasis pertanian yang cukup
tinggi sehingga memperbesar kesempatan terjadinya gangguan terhadap kawasan.
Hampir seluruh desa di sekitar kawasan berbatasan langsung dengan kawasan,
baik itu berbatasan dengan pemukiman, sawah, ladang dan perkebunan
masyarakat.
5.3.2 Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan dalam
kawasan
Faktor sosial ekonomi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Beberapa
faktor sosial masyarakat yang diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam
Gambar 21 Persentase jumlah responden menurut lama garapan.
60
kawasan dapat dibuat hubungannya berdasarkan karakter responden. Luas lahan
garapan dalam kawasan dilihat berdasakan nilai rata-rata luas lahan garapan yang
dimiliki oleh masyarakat. Luas lahan garapan dalam kawasan dikategorikan tinggi
apabila luas lahan garapan dalam kawasan lebih besar sama dengan 0.39 ha dan
dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari 0.39 ha. Nilai 0.39 ha diperolah dari
nilai rata-rata luas lahan garapan dalam kawasan seluruh masyarakat kedua desa
yang diajadikan sampel.
1 Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dikategorikan besar apabila jumlah
tanggungan keluarga lebih besar sama dengan tiga dan dikategorikan kecil apabila
lebih kecil dari tiga. Nilai tiga diperolah dari nilai rata-rata jumlah tanggungan
keluarga seluruh masyarakat kedua desa yang dijadikan sampel. Jumlah
tanggungan keluarga diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan
dengan asumsi bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka
kebutuhan hidup keluarga tersebut akan semakin besar sehingga membutuhkan
lahan yang lebih besar pula. Hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dan
luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan
dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan
Jumlah tanggungan keluarga Total responden
Besar Kecil
n % n % N %
Rendah 27 64 33 63 60 64
Tinggi 15 36 19 37 34 36
Jumlah 42 100 52 100 94 100
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 0.0072 < χ2 (α0.05;1) = 3.84
Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel yang
berarti terima H0 bahwa jumlah tanggungan keluarga ternyata tidak berpengaruh
terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini dipengaruhi oleh status
penguasaan lahan terutama petani milik, sedangkan jumlah anggota keluarga tidak
dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat
responden yang memiliki tanggungan keluarga sedikit sangat mungkin
menggunakan lahan garapan yang tinggi yaitu 19 responden dan sebaliknya yang
61
memiliki tanggungan keluarga yang besar sangat mungkin menggunakan lahan
garapan yang rendah terkait oleh penguasaan lahan yaitu sebesar 27 responden.
2 Tingkat umur
Tingkat umur diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan
dengan asumsi bahwa semakin produktif usia seseorang maka semakin banyak
pengalaman dalam teknik berladang sehingga akan semakin tinggi tingkat
penggunaan lahannya. Hubungan antara tingkat umur dan luas lahan garapan
dalam kawasan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan
Tingkat umur Total responden
Produktif Non produktif
n % n % N %
Rendah 49 64 11 65 60 64
Tinggi 28 36 6 35 34 36
Jumlah 77 100 17 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 0.0065 < χ2 (α0.05;1) = 3.84
Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai
tersebut menunjukan bahwa hipotesis H0 diterima yang berarti tingkat usia tidak
berpengaruh terhadap tingkat luas garapan dalam kawasan. Hal ini
menggambarkan bahwa usia para penggarap lahan bervariasi mulai dari usia
produktif (15-64 tahun) sampai non produktif (>64 tahun). Dengan kata lain,
tujuan utama mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa
memperdulikan faktor usia. Terlihat bahwa terdapat enam responden dengan
kategori usia non produktif yang masih sanggup menggarap lahan dalam kawasan
dengan penggarapan yang tinggi.
3 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan diduga berpengaruh terhadap penggunaan lahan dalam
kawasan dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan
semakin tinggi tingkat kemampuan individu seseorang dan memperbanyak pilihan
seseorang terhadap mata pencaharian lain. Hubungan antara tingkat pendidikan
dan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 12.
62
Tabel 12 Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan
Tingkat pendidikan Total responden
Tidak Sekolah SD SMP SMA
n % n % n % n % N %
Rendah 2 67 50 66 7 64 1 25 60 64
Tinggi 1 33 26 34 4 36 3 75 34 36
Jumlah 3 100 76 100 11 100 4 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 2.768 < χ2 (α0.05;3) = 7.815
Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai
tersebut menunjukan bahwa hipotesis H0 diterima yang berarti tingkat pendidikan
tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini disebabkan
karena masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak sekolah sampai SMA
memiliki luas garapan dalam kawasan yang bervariasi. Berdasarkan Tabel 12,
penggunaan lahan didominasi kategori tingkat SD dan terdapat tiga responden
dari kategori lulusan SMA yang memiliki lahan garapan dalam kawasan diatas
rata - rata. Masyarakat memiliki ketergantungan yang sama pada lahan walaupun
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan masyarakat
berada di pelosok desa sehingga pilihan mata pencaharian selain bertani sangat
sedikit. Akibatnya masyarakat tetap membutuhkan lahan untuk bertani walaupun
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
4 Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam
kawasan karena mempunyai implikasi ekonomis dalam mengelola lahan garapan
dalam kawasan TNGC, dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
masyarakat di luar kawasan, maka semakin rendah tingkat perambahan lahan
dalam kawasan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendapatan masyarakat di
luar kawasan dengan berbagai mata pencaharian, maka semakin tinggi tingkat
perambahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Tingkat pendapatan
dikategorikan tinggi apabila jumlah tanggungan keluarga lebih besar sama dengan
Rp 383000,00 dan dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari Rp 383000,00.
Nilai Rp 383000,00 diperolah dari nilai rata-rata tingkat pendapatan seluruh
63
masyarakat kedua desa yang diajadikan sampel. Hubungan antara tingkat
pendapatan dengan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam
kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan
Tingkat pendapatan Total responden
Rendah Tinggi
n % n % N %
Rendah 26 53 34 77 60 64
Tinggi 23 47 10 23 34 36
Jumlah 49 100 44 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 6.3888 > χ2 (α0.05;1) = 3.84
Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung sebesar 6.388 > χ2
tabel sebesar 3.84. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H1 diterima yang
berarti terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan dengan luas lahan
garapan dalam kawasan TNGC. Hubungan antara tingkat pendapatan berkorelasi
negatif dengan luas garapan dalam kawasan di TNGC. Semakin tinggi tingkat
pendapatan di luar kawasan maka kecenderungan untuk membuka dan
memanfaatkan lahan dalam kawasan pun semakin kecil. Sebaliknya semakin
rendah tingkat pendapatan di luar kawasan maka kecenderungan untuk membuka
dan memanfaatkan lahan dalam kawasan pun semakin besar. Hal ini dapat
dipahami karena sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani
yang lahan dan luasannya menjadi faktor kunci yang dapat berpengaruh terhadap
perilaku masyarakat. Motif masyarakat menggarap dalam kawasan diduga karena
masyarakat tidak dibebani biaya sewa lahan pada lahan eks Perum Perhutani
dibandingkan menggarap di lahan milik orang lain sehingga tidak mengurangi
pendapatan. Selain itu penguasaan lahan garapan yang sempit di luar kawasan
berimplikasi pada pendapatan yang rendah dan menyebabkan masyarakat
menggarap di dalam kawasan untuk menambah penghasilan.
5 Luas garapan di luar kawasan
Luas lahan garapan di luar kawasan dikategorikan tinggi apabila lebih
besar sama dengan 0.27 ha dan dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari 0.27
ha. Nilai 0.27 ha diperolah dari nilai rata-rata luas lahan garapan di luar kawasan
64
seluruh masyarakat kedua desa yang diajadikan sampel.Luas garapan di luar
kawasan diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan, dengan
asumsi bahwa semakin tinggi luas lahan yang digarap di luar kawasan maka akan
semakin rendah luas garapan di dalam kawasan. Berdasarkan uji χ2 pada taraf
nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis
H0 diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang nyata antara luas lahan
garapan dalam kawasan terhadap luas lahan garapan di luar kawasan. Hubungan
antara luas lahan garapan luar kawasan dengan luas lahan garapan dalam kawasan
disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Hubungan luas garapan diluar kawasan dengan luas lahan garapan
dalam kawasan
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 1.0952 < χ2 (α0.05;1) = 3.84
Hal ini disebabkan karena masyarakat yang menggarap lahan di luar
kawasan cenderung untuk menambah pendapatannya dengan tetap menggarap
lahan di dalam kawasan TNGC walaupun kecil luasannya. Namun ada masyarakat
yang tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan tidak selalu menggarap lahan
TNGC secara luas. Hal ini mungkin dikarenakan sistem penguasaan lahan oleh
para petani milik. Selain itu, jenis penggunaan lahan diduga berpengaruh karena
komoditi ladang lebih menguntungkan dibandingkan perkebunan. Ada
kemungkinan masyarakat menggarap kebun secara luas tapi produksinya bisa
lebih kecil dibandingkan menggarap ladang yang tidak terlalu luas namun
produksinya cepat dan menguntungkan. Adanya peraturan taman nasional yang
sangat ketat dengan sudah dilarangnya menggarap dalam kawasan menjadi alasan
masyarakat tidak memperluas garapannya dan cenderung meninggalkannya.
6 Lama menggarap
Lamanya masyarakat menggarap diduga berpengaruh terhadap luas
garapan dalam kawasan dengan asumsi bahwa semakin lama masyarakat
Luas lahan garapan dalam
kawasan
Luas lahan garapan luar kawasan Total responden Rendah Tinggi
n % n % N %
Rendah 47 67 13 54 60 64
Tinggi 23 33 11 46 34 36
Jumlah 70 100 24 100 94 100
65
menggarap maka akan semakin tinggi juga tingkat penggunaan lahan dalam
kawasan. Lama masyarakat menggarap hanya dibedakan menjadi dua yaitu
sebelum penetapan taman nasional dan setelah penetapan menjadi taman nasional.
Hubungan antara lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan
Lama menggarap Total responden >5 tahun <5 tahun
n % n % N %
Rendah 58 64 3 75 60 64
Tinggi 32 36 1 25 34 36
Jumlah 90 100 4 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ2 = 0.2664 < χ2 (α0.05;1) = 3.84
Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai
tersebut menunjukan bahwa hipotesis H0 diterima yang berarti lama masyarakat
menggarap tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini
disebabkan karena lahan yang mereka garap adalah lahan milik negara yang
sekarang dikuasai oleh TNGC yang diatur oleh undang-undang dan pemanfaatan
dan penggunaannya semakin dibatasi terkait pergantian status kawasan sehingga
masyarakat tidak bisa leluasa dalam memperluas lahan garapannya. Sebagian
besar masyarakat sudah lama menggarap karena sistem PHBM dari Perum
Perhutani yang berbasis pemanfaatan lahan intensif bersama masyarakat dan
sudah berjalan sebelum taman nasional ditunjuk.
5.3.3 Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC
1 Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan TNGC
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremai memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap
keberadaan kawasan tersebut karena memang sudah lama mereka telah
berinteraksi dengan hutan di kawasan Gunung Ciremai. Tabel 16 mendeskripsikan
beberapa aspek pengetahuan responden terhadap kawasan TNGC.
66
Tabel 16 Pengetahuan responden mengenai TNGC
No Aspek pengetahuan Jumlah
responden Persentase
(%) 1 Mengetahui kawasan sebagai taman nasional 94 100
2 Mengetahui batas-batas kawasan TNGC 92 98
3 Mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh Undang-undang/Peraturan
94 100
4 Mengetahui manfaat Gunung Ciremai sebagai penyedia air, perlindungan satwa, dan mencegah erosi
74 79
5 Pernah menerima penyuluhan 63 67
Berdasarkan hasil wawancara responden, diketahui seluruh masyarakat
(100%) mengetahui keberadaan taman nasional sebagai pemangku wilayah
Gunung Ciremai setelah peralihan status kawasan dari Perum Perhutani ke TNGC.
Sekitar 98% responden juga mengetahui batas-batas kawasan taman nasional. Hal
ini dikarenakan batas yang digunakan wilayahnya masih sama dengan batas
Perum Perhutani meskipun sudah ada sebagian pal batas yang dibuat oleh pihak
TNGC. Selain itu responden pun mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi
oleh Undang-undang, dan sebanyak 100% responden sudah mengetahuinya. Dari
aspek fungsi dan manfaat, sebesar 79% responden mengetahui fungsi Gunung
Ciremai sebagai kawasan penyangga kehidupan. Mereka memahami dan
menyadari bahwa kawasan lindung tersebut memiliki beragam manfaat yang
bersifat tangible dan intangible yang menyangga sistem kehidupannya, seperti
penyedia air bagi kebutuhan masyarakat, pencegah dari bahaya erosi,
perlindungan satwaliar, penyedia sumberdaya alam dan lainnya. Namun untuk
sebagian lainnya, mereka hanya mengetahui manfaat kawasan sebatas tidak boleh
diganggu, namun tetap saja masyarakat menggarap dalam kawasan dengan alasan
untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tentu dapat mengakibakan pemahaman
yang salah terhadap fungsi kawasan. Sedangkan untuk penyuluhan mengenai
TNGC nampaknya sering dilakukan kepada masyarakat penggarap khususnya
dengan 67% responden menyatakan pernah menerima penyuluhan seperti
sosialisasi masyarakat mengenai status dan fungsi kawasan, pencegahan
kebakaran hutan serta penyelesaian masalah lahan garapan dalam kawasan
konservasi.
67
2 Sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC
Sikap responden dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kawasan
TNGC. Persepsi menggambarkan pengertian dan pandangan seseorang mengenai
suatu objek serta menghubungkan informasi itu dengan dirinya. Adanya
pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa apabila masyarakat tinggal di
pesisir laut, maka sebagian besar masyarakat pasti menjadikan nelayan sebagai
mata pencaharian utama dengan sumberdaya lautnya yang melimpah. Begitu pula
dengan masyarakat yang tinggal di kaki gunung, maka sebagian besar masyarakat
menjadikan petani sebagai mata pencaharian utama dengan memanfaatkan
sumberdaya hutan dan lahannya. ”leuweungna hejo,rahayatna hejo” merupakan
sebuah visi program PHBM yang selalu dipegang masyarakat sekitar kawasan
TNGC. Masyarakat sekitar hutan merasa mereka yang paling berpengaruh
terhadap kelestarian hutan dengan penanaman pohon sehingga Gunung Ciremai
terlihat hijau. Kecenderungan masyarakat yang awalnya tetap ingin menggarap
dalam kawasan disebabkan oleh beberapa motif yang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Alasan responden menggarap lahan TNGC
No Motif Penggarapan Jumlah
Responden Persentase
(%)
1 Sudah terbiasa dengan pola pengelolaan Perum Perhutani
90 96
2 Keterdesakan ekonomi 68 72
3 Tidak mempunyai lahan diluar kawasan 20 21
4 Tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain petani
77 82
Berdasarkan motif masyarakat yang menggarap dalam kawasan, sebanyak
90 responden (96%) mengaku sudah lama menggarap di lahan eks Perum
Perhutani. Hal ini disebabkan karena faktor sejarah kawasan Gunung Ciremai itu
sendiri. Sistem pengelolaan hutan Perhutani yang membolehkan masyarakat
menggarap lahan untuk pertanian dengan tetap memelihara pohon pinus
menyebabkan masyarakat semakin terbiasa dan senang karena akan meningkatkan
pendapatan mereka, dan pada akhirnya mengakibatkan ketergantungan yang
tinggi terhadap kawasan yang saat ini telah menjadi kawasan taman nasional.
Sebanyak 68 responden (72%) mengaku faktor ekonomi sebagai pendorong
masyarakat membuka lahan dalam kawasan. Umumnya responden ini menggarap
68
di luar kawasan namun luasannya kurang mencukupi. Pengetahuan masyarakat
yang tinggi terhadap fungsi kawasan tidak diimbangi dengan sikap masyarakat
dalam melestarikan hutan terkait faktor ekonomi. Pemilikan lahan garapan di luar
kawasan yang sempit tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehingga adanya
kesempatan menguasai lahan yang mudah dalam kawasan dan menjamin
pendapatan masyarakat yang lebih baik. Sebanyak 20 responden (21%) mengaku
bahwa mereka sama sekali tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan sehingga
seluruh penghasilan pertaniannya diperoleh dari dalam kawasan TNGC. Sebanyak
77 responden (82%) mengaku bahwa mereka tidak punya profesi lain selain
sebagai petani. Belum adanya alternatif usaha untuk masyarakat sekitar
menjadikan penggarap masih ada yang menggarap. Alasan masyarakat merambah
kawasan tersebut dapat mempengaruhi sikap responden terhadap kawasan TNGC.
Beberapa sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC tersaji pada
Tabel 18.
Tabel 18 Sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC
No Sikap responden Jumlah
responden Persentase
(%) 1 Setuju bahwa kita harus menjaga Gunung Ciremai
tetap lestari 94 100
2 Tidak setuju apabila kawasan Gunung Ciremai ditutup untuk aktivitas penggarapan
78 83
3 Setuju dan ikut serta bersama pihak petugas dalam mencegah kerusakan di Gunung Ciremai
85 90
4 Bersedia mengikuti program pemberdayaan kesejahteraan masyarakat
94 100
Pada umumnya masyarakat mengetahui kawasan Gunung Ciremai sebagai
kawasan yang perlu dilestarikan. Hal ini terlihat dari sikap responden yang
semuanya setuju (100%) bahwa masyarakat harus menjaga Gunung Ciremai agar
tetap lestari dan sumberdaya yang ada di dalamnya tidak rusak. Mereka mayoritas
setuju (90%) dan bekerjasama dengan pihak petugas dalam mencegah kerusakan
seperti kebakaran lahan di TNGC. Namun permasalahannya masyarakat akan ikut
melestarikan kawasan taman nasional apabila mereka masih diizinkan untuk
menggarap dalam kawasan. Hal ini terlihat bahwa sebanyak 78 responden (83%)
tidak setuju apabila kawasan ini ditutup untuk aktivitas penggarapan. Interaksi
yang kuat dengan ketergantungan yang tinggi antara masyarakat sekitar dengan
69
hutan khususnya semenjak diberlakukan PHBM dapat dipahami terkait untuk
penghidupan masyarakat.
Adanya peraturan TNGC saat ini yang tidak memperbolehkan adanya
aktivitas pertanian dalam kawasan menyebabkan masyarakat mengalami
ketidakpastian khususnya nasib lahan yang mereka garap dalam kawasan.
Masyarakat sebenarnya mengerti jika suatu saat dilakukan penutupan lahan
garapan oleh pihak TNGC mereka bersedia meninggalkan lahan garapan tersebut.
Namun masyarakat khawatir apabila mereka sudah tidak diperbolehkan
menggarap dalam kawasan belum ada tindak lanjut dari Pemda Kabupaten
Majalengka dan Kuningan serta TNGC terkait alternatif usaha sebagai
kompensasi untuk masyarakat penggarap.
5.4 Pengendalian Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan garapan oleh masyarakat di luar kawasan saat ini
sebenarnya belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan hasil wawancara, hampir seluruh masyarakat menyatakan bahwa
hasil pengolahan lahan garapan di luar kawasan kurang untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Hal ini dikarenakan penguasaan lahan yang sempit di luar
kawasan. Masyarakat yang tidak mempunyai lahan hanya bisa menjadi buruh tani
dan beberapa masyarakat menggarap dengan sistem sewa sehingga penghasilan
dari bertani sebagian untuk membayar sewa lahan. Selain itu dapat dilihat dari
meluasnya perambahan lahan yang dilakukan masyarakat akibat kepemilikan
lahan yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pusat Studi Lingkungan
Unila (1984) dalam Pasha (2006) yang mengatakan bahwa masyarakat sekitar
kawasan konservasi pada umumnya bekerja sebagai petani dan untuk hidup layak
diperlukan luas lahan minimal 1-2 ha. Apabila luas lahan rata-rata lebih dari luas
lahan minimal agar petani dapat hidup layak, maka dorongan untuk membuka
lahan baru adalah kecil. Sebaliknya bila luas lahan rata-rata kurang dari luas lahan
minimal agar petani dapat hidup layak maka dorongan untuk membuka lahan baru
menjadi besar.
Pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif dengan
komoditi sayuran dan tingkat perambahan yang tinggi tidak lagi dapat diakomodir
70
dalam pengelolaan taman nasional karena dapat mengakibatkan terhambatnya
proses rehabilitasi kawasan. Akan tetapi, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
menjadikan kawasan hutan menjadi tumpuan penghidupan utama mengharuskan
pengelola melakukan inovasi. Inovasi ini ditujukan untuk menjawab tantangan
bahwa pengelolaan TNGC harus dapat memberikan kontribusi secara ekonomis
kepada masyarakat tanpa menimbulkan gejolak dan dapat menjamin keberhasilan
rehabilitasi kawasan.
Untuk mengantisipasi pemanfaatan lahan dan ketergantungan masyarakat
yang tinggi terhadap kawasan, perlu dilakukan upaya-upaya preventif dan
persuasif kepada masyarakat. Berbagai upaya yang bisa dilakukan antara lain
kegiatan sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat. Pengelola taman
nasional saat ini bersama pihak terkait lainnya sedang melaksanakan program
Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Program ini diharapkan dapat
menjaga kelestarian hutan dimana penanaman dilakukan pada daerah kritis. Selain
itu, pembinaan masyarakat dalam menjaga kawasan penyangga berbasis lahan
dapat dilakukan melalui sistem agroforestry yaitu sistem pengolahan kawasan
hutan yang memanfaatkan lahan secara optimal dengan cara mengkombinasikan
tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian semusim dalam areal yang sama di
kawasan penyangga taman nasional dengan komoditi seperti duren, alpukat, kopi,
salam, pisang, jengkol, melinjo dan cengkeh.
Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan juga menginginkan alternatif
bantuan ternak domba dan sapi yang menurut mereka potensial untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Hal ini berdasarkan pada potensi rumput yang memadai di
luar kawasan taman nasional. Masyarakat juga ingin diberi bantuan bibit pohon
buah-buahan untuk dibudidayakan di luar kawasan seperti hutan rakyat,
perkebunan dan pekarangan rumah mereka karena pertimbangannya semakin
banyak komoditi yang ditanam semakin banyak pula hasil yang didapat yang bisa
dijual untuk menambah penghasilan mereka. Hal ini dapat merehabilitasi lahan
dan juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Alternatif yang lebih baik dikembangkan adalah usaha-usaha yang tidak
berbasis lahan. Potensi wisata dan jasa lingkungan yang dimiliki kawasan taman
nasional bisa menjadi sumber pendapatan baru masyarakat, sehingga masyarakat
71
dapat terakomodasi kebutuhannya dan akan merasa ikut serta dalam kelestarian
kawasan taman nasional. Selain itu pihak TNGC beserta Pemerintah Kabupaten
Kuningan dan Majalengka akan mengusahakan program pelatihan lain yang
bermanfaat seperti budidaya jamur, madu lebah, kerajinan bambu dan lainnya
yang diharapkan dapat menjadi salah satu komoditi yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kegiatan-kegiatan pembinaan masyarakat ini diharapkan dapat
meningkatkan persepsi masyarakat yang kurang terhadap keberadaan hutan serta
dapat mengubah perilaku beberapa masyarakat yang masih memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap lahan garapan dalam kawasan sehingga
tekanan penduduk sekitar kawasan konservasi dapat diatasi tanpa mengurangi
tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar.
72
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1 Tipe penutupan lahan yang ada di Taman Nasional Gunung Ciremai
dikelompokan menjadi 7 (tujuh) yaitu hutan alam, hutan tanaman, semak
belukar, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada tahun
2006-2009 terjadi penurunan luas hutan alam sebesar 51.21 ha (0.01%)
Peningkatan luas hutan tanaman sebesar 92.88 ha (0.06%) Kemudian
diikuti oleh penurunan lahan terbuka sebesar 979.2 ha (2.26%) dan
peningkatan semak belukar sebesar 746.73 ha (0.18%) Selain itu
peningkatan luas ladang 178.29 ha (0.18%), serta badan air mengalami
penurunan luas sebesar 1.62 ha.
2 Penurunan luas hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Cigugur dengan
81.45 ha dan peningkatan hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Talaga
87.84 ha. Peningkatan luas hutan tanaman terluas di Kecamatan Cilimus
dengan 101.07 ha dan penurunan luas hutan tanaman pinus terbesar yaitu
di Kecamatan Argapura dengan luas 98.55 ha. Kemudian penurunan lahan
terbuka terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan dengan luas 854.64 ha,
diikuti peningkatan penutupan semak terluas yaitu di Kecamatan
Pasawahan dengan luas 860.3 ha serta peningkatan luas ladang terbesar di
Kecamatan Argapura sebesar 176.85 ha
3 Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perambahan lahan di Taman
Nasional Gunung Ciremai adalah tingkat pendapatan masyarakat diluar
kawasan, pengetahuan masyarakat khususnya pada fungsi kawasan
lindung serta sikap masyarakat terhadap keberadaan kawasan TNGC.
6.2 Saran
1 Pengelola kawasan perlu berkontribusi pada upaya peningkatan
pendapatan masyarakat yang tidak berbasis lahan melalui pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan wisata alam di TNGC dan pengembangan
73
usaha alternatif lain seperti pelatihan budidaya jamur, madu lebah dan
pengusahaan ternak bagi masyarakat sekitar.
2 Sosialisasi pihak pengelola terhadap kawasan taman nasional perlu
ditingkatkan agar masyarakat semakin memahami pentingnya kawasan
konservasi TNGC.
3 Pengelola kawasan perlu meningkatkan program rehabilitasi pada kawasan
TNGC yang mengalami kerusakan khususnya wilayah Kecamatan
Argapura agar fungsi kawasan dapat kembali pulih sebagai kawasan
konservasi.
74
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Kuningan Dalam Angka 2003. Kuningan: BPS Kabupaten Kuningan.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Majalengka Dalam Angka 2003.
Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka. [BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 2006. Rencana Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Ciremai Periode 2009-2026. Kuningan: Departemen Kehutanan.
[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 2010. Data dan Informasi
Kebakaran Hutan Taman Nasional Gunung Ciremai. Kuningan: Departemen Kehutanan.
Basuni S. 2003. Inovasi institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga
kawasan konservasi. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Darmawan A. 2002. Perubahan penutupan lahan di Cagar Alam Rawa Danau
[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Klasifikasi citra landsat.
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/stat2002/Baplan/Baplan.htm. [14 Februari 2011].
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2002 Tentang Penggunaan dan Pemanfaatan Hutan Berbasis Sosial Forestry. Jakarta.
Hadiprasetyo Y. 2009. Identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya
penanggulangannya di Taman Nasional Gunung Ciremai. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Hermawan TT. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung
Ciremai. Bogor: Pustaka LATIN. Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Sosial Kuantitatif dan
Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.
75
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1994. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland. www.unepwcmc.org/protected_areas/categories.pdf. [3 Juni 2010].
Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Dulbahri, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.
Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Purbowaseso B, penerjemah. Jakarta:
UI-Press. Terjemahan dari: Applied Remote Sensing. Mackinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1990. Pengelolaan Kawasan
yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Managing Proteceted Areas in the Tropics.
Pasha R. 2005. Hubungan kondisi sosial ekonomi perambah hutan dengan pola
penggunaan lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar: Sistem Informasi Geografi. Bandung:
Informatika Bandung. Santoso GR. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka. Soewardi H. 1978. Menyongsong Kehadiran Taman Nasional di Indonesia :
Makna, Manfaat, dan Pengelolaan. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor.
Suryadarma W. 2009. Dampak kebijakan PHBM oleh Perum Perhutani pada
kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai. [skripsi]. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Padjadjaran.
Walpole R. 1989. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Wijaya CI. 2005. Analisis perubahan penutupan lahan di Kabupaten Cianjur
menggunakan sistem informasi geografis [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Yatap H. 2008. Pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan
dan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
76
LAMPIRAN
77
Lampiran 1 Uji akurasi
CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT
Image File : e:/penelitian riq/2006/copy of focallast.img
User Name : Ri_Q
Date : Sat Dec 11 14:15:21 2010
ERROR MATRIX Reference Data
Classified Data Hutan alam Hutan
tanaman
Hutan alam 0 8 0
Hutan tanaman 0 0 6 0 Semak 0 0 0 5
Lahan terbuka 0 0 0 1
Ladang 0 0 0 3
Air 0 0 0 0
Tidak ada data 0 0 0 0
Column Total 0 8 6 9
Reference Data
Classified Data Lahan terbuka
Ladang Air Tidak ada
data Hutan alam 0 0 0 0
Hutan tanaman 0 1 0 0
Semak 0 0 0 0
Lahan terbuka 2 0 0 0
Ladang 0 8 0 0
Air 0 0 3 0
Tidak ada data 0 0 0 0
Column total 2 9 3 0
----- End of Error Matrix -----
ACCURACY TOTALS
Class Reference Classified Number Producers Users
Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy
Hutan alam 8 8 8 100.00% 100.00%
Hutan tanaman 6 7 6 100.00% 85.71%
Semak 9 5 5 55.56% 100.00%
Lahan terbuka 2 3 2 100.00% 66.67%
Ladang 9 11 8 88.89% 72.73%
Air 3 3 3 100.00% 100.00%
Tidak ada data 0 0 0 --- ---
Totals 37 37 32
Overall Classification Accuracy = 86.49%
----- End of Accuracy Totals -----
78
KAPPA (K^) STATISTICS
Overall Kappa Statistics = 0.8324
Conditional Kappa for each Category. Class Name Kappa
Hutan alam 1
Hutan tanaman 0.8295
Semak 1
Lahan terbuka 0.6476
Ladang 0.6396
Air 1
Tidak ada dat 0
----- End of Kappa Statistics -----
79
CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT
Image File : e:/penelitian riq/2009/yg terkahir/focal1tes.img
User Name : Ri_Q
Date : Sat Dec 11 14:18:35 2010
ERROR MATRIX
Reference data
Classified data Hutan alam Hutan
tanaman semak
Hutan alam 0 6 1 0
Hutan tanaman 0 0 7 0
Semak 0 0 0 7
Lahan terbuka 0 0 0 1
Ladang 0 0 0 1
Air 0 0 0 0
TIdak ada data 0 0 0 0
Column Total 0 6 8 9
Reference data
Classified Data Lahan terbuka
Ladang Air Tidak ada data
Hutan alam 0 0 0 0
Hutan tanaman 0 0 0 0
Semak 0 1 0 0
Lahan terbuka 2 0 0 0
Ladang 0 8 0 0
Air 0 0 3 0
Tidak ada data 0 0 0 0
Column total 2 9 3 0
----- End of Error Matrix -----
ACCURACY TOTALS
Class Reference Classified Number Producers Users Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy
0 0 0 --- ---
Hutan alam 6 7 6 100.00% 85.71%
Hutan tanaman 8 7 7 87.50% 100.00%
Semak 9 8 7 77.78% 87.50%
Lahan terbuka 2 3 2 100.00% 66.67%
Ladang 9 9 8 88.89% 88.89%
Air 3 3 3 100.00% 100.00%
Tidak ada data 0 0 0 --- ---
Totals 37 37 33
Overall Classification Accuracy = 89.19%
----- End of Accuracy Totals -----
80
KAPPA (K^) STATISTICS
Overall Kappa Statistics = 0.8658
Conditional Kappa for each Category.
Class Name Kappa
0
Hutan alam 0.8295
Hutan tanaman 1
Semak 0.8348
Lahan terbuka 0.6476
Ladang 0.8532
Air 1
Tidak ada data 0
----- End of Kappa Statistics -----
81
Lampiran 2 Daftar identitas responden
KARAKTERISITIK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
No Nama Umur Jenis
kelamin Pendidikan
∑Tanggungan keluarga
Mata pencaharian Pendapatan luar
kawasan (.000)
Luas lahan garapan luar TN
(ha)
Luas lahan
garapan dalam
TN (ha) Utama Sampingan
81
82
Lampiran 3 Kuisioner
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kuisioner Penelitian
Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
Amrizal Yusri (E34062415)
Identitas Responden Nama : Umur : Jenis Kelamin : L/P
1 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang Taman Nasional Gunung
Ciremai
1. Apakah anda tahu Gunung Ciremai menjadi kawasan taman nasional?
a) Ya
b) Tidak
2. Apakah anda tahu batas-batas kawasan taman nasional?
a) Ya
b) Tidak
3. Apakah anda mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh Undang-
undang/Peraturan?
a) Ya
b) Tidak
4. Apakah anda mengetahui manfaat Gunung Ciremai sebagai penyedia air,
perlindungan satwa, dan mencegah erosi?
a) Ya
b) Tidak
- Kami berharap Bapak/ibu/Saudara/I bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menjawab semua pertanyaan apa adanya
- Apabila ada pertanyaan yang kurang jelas, dimohon untuk bertanya kepada kami
83
5. Apakah anda pernah mendapat penyuluhan/sosialisasi dari pihak taman
nasional?
a) Ya
b) Tidak
6. Apakah yang menjadi dorongan anda menggarap lahan Gunung Ciremai?
a) Sudah terbiasa dengan pola pengelolaan Perum Perhutani (tumpangsari)
b) Keterdesakan ekonomi
c) Tidak mempunyai lahan garapan diluar kawasan
d) Tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain sebagai petani
e) Lainnya, sebutkan………….
2. Sikap
1. Apakah anda setuju bahwa kita harus menjaga Gunung Ciremai tetap lestari?
a) Ya
b) Tidak
2. Apakah anda setuju apabila kawasan Gunung Ciremai ditutup untuk aktivitas
penggarapan?
a) Ya
b) Tidak, karena……………
3. Apakah anda setuju dan mau ikut serta bersama pihak petugas dalam
mencegah kerusakan di Gunung Ciremai?
a) Ya
b) Tidak, karena……………..
4.Apakah anda bersedia mengikuti program pemberdayaan untuk kesejahteraan
masyarakat?
a) Ya
b)Tidak,karena……………..
84
Lampiran 4 Uji normalitas data
a Log x
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig. Luas garapan dalam kawasan .153 94 .000 .922 94 .000
Tanggungan keluarga .187 94 .000 .906 94 .000 Luas garapan di luar kawasan .220 94 .000 .808 94 .000
Pendidikan .464 94 .000 .568 94 .000 Lama menggarap .540 94 .000 .203 94 .000 Umur .060 94 .200(*) .979 94 .140 Pendapatan luar .123 94 .001 .851 94 .000
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction b Arc sin x Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig. Luas garapan dalam kawasan .149 93 .000 .923 93 .000
Tanggungan keluarga .225 93 .000 .884 93 .000 Luas garapan di luar kawasan .218 93 .000 .808 93 .000
Pendidikan .463 93 .000 .571 93 .000 Lama menggarap .540 93 .000 .204 93 .000 Umur .062 93 .200(*) .979 93 .130 Pendapatan luar .215 93 .000 .875 93 .000
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction Kesimpulan : hanya faktor ‘umur’ saja yang memiliki data sebaran normal,
sehingga analisis regresi tidak bisa dilanjutkan.
85
Lampiran 5 Tabel uji chi-square
Tabel 1 Luas lahan garapan dalam kawasan dan jumlah tanggungan keluarga
Penggunaan lahan dalam
kawasan
Tanggungan keluarga Total
responden Besar Kecil
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft f₀ ft
(f₀-ft)2
ft
Rendah 27 26.8 0.00149 33 33.2 0.0012 60
Tinggi 15 15.19 0.00237 19 18.8 0.0021 34
Jumlah 42 52 94 f t : (60x42)/94 = 26.8 ; (60x52)/94 = 33.2 ; (34x42)/94 = 15.19 ; (34x52)/94 = 18.8
(f₀-f t)2 : (27-26.8) 2 = 0.00149 ; (33-33.2)2 = 0.0012 ;
f t 26.8 33.2
(15-15.19)2 = 0.00237 ; (19-18.8)2=0.0021 15.19 18.8 χ
2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.00149 + 0.0012 + 0.00237 + 0.0021 = 0.0072
f t
χ2 = 0.0072 < χ2 (α0.05;1) = 3.84
Kesimpulan : Jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan
dalam kawasan
Tabel 2 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat umur
Penggunaan lahan dalam
kawasan
Tingkat Umur Total
responden Produktif Non produktif
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
Rendah 49 49.15 0.00045 11 10.85 0.0020 60
Tinggi 28 27.85 0.00080 6 6.14 0.0031 34
Jumlah 77 17 94 χ
2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.00045 + 0.002 + 0.0008 + 0.0031 = 0.0065
f t
χ2 = 0.0065< χ2 (α0.05;1) = 3.84
Kesimpulan : Tingkat umur tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam
kawasan
86
Tabel 3 Luas lahan garapan dalam kawasan dan Luas lahan garapan diluar kawasan
Penggunaan lahan dalam
kawasan
lahan garapan diluar kawasan
Total responden
Rendah Tinggi
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
Rendah 47 44.68 0.12046 13 15.31 0.3485 60
Tinggi 23 25.31 0.21082 11 9.06 0.4154 34
Jumlah 70 24 94 χ
2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.12046 + 0.3485 + 0.21082 + 0.4154 = 1.0952
f t
χ2 = 1.0952< χ2 (α0.05;1) = 3.84
Kesimpulan : Luas lahan garapan diluar kawasan tidak berpengaruh terhadap luas lahan
garapan dalam kawasan
Tabel 4 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat pendapatan
Penggunaan lahan dalam
kawasan
Tingkat Pendapatan Total
responden Rendah Tinggi
f₀ ft (f₀-f t)
2 f t
f₀ ft (f₀-f t)
2 f t
Rendah 26 32.66 1.35810 34 28.05 1.2621 60 Tinggi 23 17.72 1.57327 10 15.91 2.1953 34 Jumlah 49 44 94 χ
2 = ∑ (f₀-f t)2 = 1.35810 + 1.2621 + 1.57327 + 2.1953 = 6.3888
f t
χ2 = 6.3888> χ2 (α0.05;1) = 3.84
Kesimpulan : Tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam
kawasan
Tabel 5 Luas lahan garapan dalam kawasan dan lama masyarakat menggarap
χ2 = ∑ (f₀-f t)
2 = 0.00545 + 0.0794 + 0.00929 + 0.1722 = 0.2664 f t
χ2 = 0.2664< χ2 (α0.05;1) = 3.84
Kesimpulan : Lama masyarakat menggarap tidak berpengaruh terhadap luas lahan
garapan dalam kawasan
Penggunaan lahan dalam
kawasan
Lama Menggarap Total
responden >5 tahun <5 tahun
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
Rendah 58 57.44 0.00545 3 2.55 0.0794 60
Tinggi 32 32.55 0.00929 1 1.51 0.1722 34
Jumlah 90 4 94
87
Tabel 6 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat pendidikan
Penggunaan lahan dalam
kawasan
Tingkat pendidikan
Total responden
Tidak sekolah SD SMP SMA
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
f₀ ft (f₀-ft)
2 ft
Rendah 2 1.91 0.00424 50 48.51 0.0457 7 7.02 5.7E-05 1 2.55 0.94215 60
Tinggi 1 1.08 0.00592 26 27.48 0.0797 4 3.97 0.0002 3 1.44 1.69 34
Jumlah 3 76 11 4 94
χ
2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.00424 + 0.0457 + 5.7E-05 + 0.94215 + 0.00592 + 0.0797 + 0.0002 + 1.69 = 2.768
f t
χ2 = 2.768< χ2 (α0.05;3) = 7.815
Kesimpulan : Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan
87