SKRIPSI FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …repository.stikes-bhm.ac.id › 34 › 1...
Transcript of SKRIPSI FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …repository.stikes-bhm.ac.id › 34 › 1...
i
SKRIPSI
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENYAKIT CAMPAK PADA BALITA
(Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo)
Oleh:
NURUL AZIZAH
NIM : 201403030
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
i
SKRIPSI
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENYAKIT CAMPAK PADA BALITA
(Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo)
Diajukan untuk memenuhi
Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh:
NURUL AZIZAH
NIM : 201403030
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
ii
iii
iv
LEMBAR PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini saya persembahkan kepada:
ALLAH SWT.
Ibu dan Ayah tercinta
Dosen pembimbing
Teman-teman di STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Allahumma inni asaluka ‘lmaannapi’aan warizkkoon toyyiban ,
Wa’amalamutakobbalaan
( Ya ALLAH, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang
bermanfaat, rizki yang halal dan amal yang diterima)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas berkat
Rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Faktor Risiko
yang Berhubungan Dengan Penyakit Campak Pada Balita (Studi Kasus di
Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten
Ponorogo)sebagaimana yang diharapkan. Dalam penyusunan Skripsi ini kami
menghadapi berbagai hambatan dan tantangan namun hal itu tidak mengurangi
semangat kami dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai
mahasiswa semester akhir. Kami menyadari bahwa laporan yang kami susun
ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat terbatasnya kemampuan yang
kami miliki. Karena itu, saran, bimbingan, serta kritikan yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan. Tidak lupa kami sampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Zainal Abidin SKM., M.Kes (Epid) selaku Ketua Stikes Bhakti
Husada Mulia Madiun dan selaku Dosen Pembimbing 1
2. Bapak Drs. Eddy Wasito, SH.,M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan masukan dan saran perbaikan sehingga proposal skripsi
ini menjadi lebih baik.
3. Suhadi Prayitno S.KM., MM Selaku penguji yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama proses ujian dan bimbingan skripsi.
4. Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Stkes Bhakti Husada Mulia Madiun
vi
5. Pimpinan, pegawai dan seluruh staff Puskesmas Ponorogo Utara
Kabupaten Ponorogo yang telah memberikan ijin serta kerjasama selama
proses pengambilan data.
6. Seluruh Dosen Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti
Husada Mulia Madiun.
7. Ibuku dan ayahku tercinta yang selalu memberikan dukungan, motivasi
dan do’a terbaik untuk anaknya.
8. Keluarga, teman-teman Program Studi Kesehatan Masyarakat Stikes
Bhakti Husada Mulia Madiun angkatan 2014 dan semua pihak yang telah
membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penulis serta orang – orang yang peduli dengan ilmu
kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang ilmu penyakit menular yang
dapat di cegah dengan imunisasi. Demikian skripsi ini kami susun, semoga
bermanfaat.
Madiun, Juli 2018
Penulis
Nurul Azizah
vii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nurul Azizah
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Sangkawati, 14 April 1996
Agama : Islam
Alamat : Sangkawati. Desa Pagutan, Kec. Batukliang, KabupatenLombok Tengah
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. Lulus SDN 1 Sangkawana Tahun 2008
2. Lulus SMPN 2 Batukliang 2011
3. Lulus SMKI Uswatun Hasanah Cempaka Putih 2014
4. Menempuh pendidikan program studi S1 Kesehatan Masyarakat di STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun sejak tahun 2014
ix
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
ABSTRAK
NURUL AZIZAH – 201403030
(2018-SKRIPSI)
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT
CAMPAK PADA BALITA (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo
Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo)
Campak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Paramixovirus, penularannya sangat mudah melalui udara yang terkontaminasi
oleh droplet orang yang terinfeksi. Kejadian campak di puskesmas ponorogo utara
pada tahun 2017 mencapai 59 kasus.Tujuan penelitian adalah mengetahui
hubungan status imunisasi, umur saat imunisasi campak,riwayat asi eksklusif,
vitamin A dan riwayat kontak lansung dengan kejadian campak pada balita di
Puskesmas Ponorogo Utara.
Rancangan penelitian dengan desain case control.Responden kelompok
kasus diambil dari balita yang terkena campak pada umur 6-59 bulansebanyak 30
balita. Perbandingan kelompok kasus dan kontrol 1:1untuk kelompok kasus dan
control, maka diperolehbesar sampel penelitian yaitu 30 kasus dan 30
kontrol.Tekhnik pengambilan sampel menggunakan simpel random sampling
.Analisis bivariat menggunakan chi squaredan analisis multivariat menggunakan
regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan
kejadian campak pada balita yaitu riwayat asi eksklusif(p=0,092 dan OR = 2,84),
status imunisasi(p=0,031 dan OR = 3,92), riwayat kontak lansung dengan
kejadian campak pada balita(p=0,021 dan OR = 4,22), Sedangkan variabel yang
tidak berhubungan dengan kejadian campak pada balita yaitu umur saat imunisasi
campak (p=0,288 dan OR 2,00) dan vitamin A(p=0,381 dan OR 2,78).
Berdasarkan penelitian ini, saran yang dapat diberikan yaitu, mengurangi
kontak dengan penderita campak sangat baik untuk mencegah penularan. Segera
rujuk anggota keluarga, tetangga yang diketahui memiliki gejala campak
kepelayanan kesehatan terdekat.
Kata Kunci : Faktor risiko, Campak pada balita
x
PUBLIC HEALTH PROGRAM
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
ABSTRACT
NURUL AZIZAH – 201403030
(2018-Thesis)
RISK FACTORS OF CHILDREN ASSOSIATED FOR MEASLES
INFECTION(Case Study in Primary Health Center of North Ponorogo in
Ponorogo Sub District, Ponorogo Regency)
Measles was a highly contagious disease caused by a virus Paramixovirus,
transmitted very easily through the air which contaminated by droplets (spit) of
infected people. Moreover, the incidence of measles reach out 59 cases in 2017 at
Primary health center in North Ponorogo. The research objective was
todetermine the relationship immunization status, age at immunization measles,
exclusive breastfeeding history, vitamin A and contact history of measles disease
incidence intoddlers at the Primary Health center (Puskesmas) innorth Ponorogo.
The study used case control design. Respondents from the group ofcases,
were drawn from toddlers with measles. Comparison between cases and controls;
1:1for case and control group, itfound that the numbers of research samples were
30 cases and 30 control.Sampling technique using simpel random sampling
.Bivariate analysis was using chi square and multivariate analysis was using
logistic regression.
Based on research result, variabels the relationship of measles disease
insidence intoddlers that is exclusive breastfeeding history found(p=0.092 and OR
= 2.84). Immunization status found (p=0.031 and OR = 3.92). Contact history of
measles disease incidence found (p=0.021 and OR = 4.22). Whereas variabel is
not relationship of measles disease insidens intoddlers that is age at immunization
measles found (p=0.288 and OR 2.04). Vitamin Afound (p=0.381 and OR 2.78).
Suggestions can be drawn based on the results of this study, it can be
impiled that a healty person should diminish phisically contact with a person who
suffer from measles. In same cases for a family or a neigbour who had been
argubly diagnosed to symptoms of measles should be recommended immediately
to a nearby primary health care.
Keywords : Risk factors - Children Admitted For Measles
xi
DAFTAR ISI
SampulDepan
Sampul Dalam ................................................................................................. i
Persetujuan ..................................................................................................... ii
Pengesahan .....................................................................................................iii
Lembar Persembahan ..................................................................................... iv
Kata Pengantar ............................................................................................... v
Lembar Pernyataan ....................................................................................... vii
Daftar Riwayat Hidup ...................................................................................viii
Abstrak .......................................................................................................... ix
Abstract ......................................................................................................... x
Daftar Isi ......................................................................................................... xi
Daftar Tabel ..................................................................................................xiii
Daftar Gambar .............................................................................................. xv
Daftar Lampiran ............................................................................................ xvi
Daftar Istilah ................................................................................................ xvii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 7
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................ 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian penyakit campak ......................................................... 11
2.2 Tanda dan Gejala Penyakit Campak ............................................ 12
2.3 Etiologi dan Penularan ................................................................. 14
2.4 Pengobatan, Pencegahan, dan PemberantasanCampak ................ 15
2.5 Epidemiologi Penyakit Campak ................................................... 24
2.6 Vaksinasi dan Imunisasi ............................................................... 26
2.7 Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya Campak ...... 40
2.8 Kerangka Teori ............................................................................... 53
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual ................................................................... 54
3.2 Hipotesis Penelitian ...................................................................... 55
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian .......................................................................... 56
4.2 Populasi dan Sampel .................................................................... 57
4.3 Tehnik Sampling .......................................................................... 61
4.4 Kerangka Kerja Penelitian ........................................................... 62
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ............... 64
4.6 Instrumen Penelitian ..................................................................... 66
47 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 67
4.8 Prosedur Pengumpulan Data ........................................................ 69
4.9 Analisis Data ................................................................................ 70
xii
BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum ......................................................................... 73
5.2 Karakteristik Responden .............................................................. 74
5.3 Hasil Penelitian ............................................................................ 80
5.4 Pembahasan .................................................................................. 85
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 98
6.2 Saran ............................................................................................. 99
Daftar Pustaka .......................................................................................... 101
Lampiran-lampiran
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi Dengan
MenggunakanVaksin DPT dan HB dalamBentuk
Terpisah, Menurut Frekwensi danSelang Waktu
dan Umur Pemberian .................................................................................... 35
Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi Dengan
Menggunakan Vaksin DPT/HB Kombo ........................................ 35
Tabel 2.3 Bahan Makanan Sebagai SumberVitamin A ................................ 43
Tabel 2.4 Angka Kecukupan Vitamin A Rata rata ....................................... 43
Tabel 4.1 Distribusi Odd Ratio (OR) Penelitian Terdahulu.......................... 59
Tabel 4.2 Kriteria kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. ................................. 62
Tabel 4.3 Definisi Operasional Penelitian .................................................... 65
Tabel 4.4 Rencana kegiatan penelitian ......................................................... 68
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan orang tua balita ...... 74
Tabel 5.2Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan orang tua balita ......... 75
Tabel 5.3Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin balita .................. 76
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan umur balita ............................... 76
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan penyakit campak balita ............ 77
Tabel 5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat pemberian
asi eksklusif .................................................................................. 77
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan umur saat imunisasi campak. ... 78
Tabel 5.8 Distribusi frekuensi berdasarkan pemberian vitamin A ................. 78
Tabel 5.9Distribusi frekuensi berdasarkan imunisasi dasar lengkap ............. 79
Tabel 5.10Distribusi frekuensi berdasarkan kontak dengan
penderita campak ........................................................................ 79
Tabel 5.12 Hubungan penyakit campak dengan umur saat
imunisasi campak ...................................................................... 80
Tabel 5.13 Hubungan penyakit campak dengan status
imunisasi dasar lengkap ............................................................ 81
Tabel 5.14 Hubungan penyakit campak dengan riwayat asi eksklusif ......... 81
Tabel 5.15 Hubungan penyakit campak dengan pemberian vitamin A ........ 82
Tabel 5.16 Hubungan penyakit campak dengan kontak lansung
dengan penderita campak .......................................................... 82
Tabel 5.17 Variabel yang berhubungan dengan kejadian campak pada
balita dengan menggunakan analisis regresi logistik .................. 83
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori ........................................................................... 54
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ..................................................... 55
Gambar 4.3 Kerangka kerja penelitian ......................................................... 63
xvi
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kartu Bimbingan Konsultasi
Lampiran 2Surat Ijin Pengambilan Data Awal
Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 4 Surat Rekomendasi Penelitian
Lampiran 5 Kuesioner Penelitian
Lampiran 6 Tabulasi Distribusi Frekuensi data responden
Lampiran 7 Hasil output SPSS
Lampiran 8 Foto Kegiatan Penelitian
Lampiran 9 Form Revisi Skripsi
xvii
DAFTAR ISTILAH
Conjunctivitis : mata merah
Priemordial Prevention : Pencegahan Tingkat Awal
Secondary Prevention :Pencegahan Tingkat Kedua
Tertiary Prevention : Pencegahan Tingkat Ketiga
Cold chain : Manajemen Rantai vaksin
Cool room : Kamar dingin
Freeze room : Kamar beku
Cold box : Kotak dingin
Vaccine Carrier : Termos
Coolpack : Kotak dingin cair
Thermometer : Pemantau suhu
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit PD3I yang disebabkan
oleh Morbilivirus yang ditandai dengan gejala munculnya demam, bercak
kemerahan, batuk, pilek, mata merah (conjunctivitis) yang kemudian
menimbulkan ruam di seluruh tubuh dimana sering terjadi pada anak-anak.
Penularan dapat terjadi melalui udara yang telah terkontaminasii oleh sekret
orang yang telah terinfeksi. Campak merupakan penyakit menular yang sering
menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB).(Dinkes Jatim, 2016).
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian akibat
campak di seluruh dunia mengalami penurunan sebesar 78% pada beberapa tahun
terakhir, penurunan kasus kematian dari 2000 kasus menjadi 1022 kasus
kematian pada 2012, sedangkanpada tahun 2013 kematian akibat penyakit
campak sebanyak 145.700, dan sekitar 400 kematian setiap hari sebagian besar
terjadi pada balita (WHO, 2015).
Campak merupakan penyakit endemik di negara berkembang termasuk
Indonesia. Campak masih menempati urutan ke-5 penyakit yang menyerang
terutama pada bayi dan balita. Pada tahun 2013 terdapat 11.521 kasus, sedangkan
pada tahun 2014 kasus campak meningkat sebesar 12.943. Berdasarkan laporan
DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, frekuensi KLB sebanyak 173 kejadian
dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-
2
sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia dengan
jumlah kasus menduduki rangking 4 (empat) dari 33 provinsi pada tahun 2012,
dan naik menjadi ranking 3 (tiga) pada tahun 2013. Kasus campak dalam tiga
periode tahun terakhir terus mengalami peningkatan yaitu 725 kasus pada tahun
2014, dan pada tahun 2015 terdapat 2.268 kasus, sedangkan pada tahun 2016
terdapat 3.765 kasus. Untuk itu, edukasi tentang pencegahan dan pengobatan
campak harus semakin ditingkatkan terutama pada kelompok beresiko tinggi
seperti anak-anak dan wanita usia subur yang belum pernah imunisasi atau
terkena campak. (Dinkes Jatim, 2016)
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu Kabupaten yang ada di
Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu penyumbang
penyakit campak cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan data tiap tahun
mengalami peningkatan. Pada Tahun 2016 terjadi peningkatan kasus campak
yaitu sebanyak 146 kasus jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang kasusnya
sebanyak 83 kasus, sedangkan Tahun 2014 jumlah kasus sebanyak 55 kasus.
KLB campak terjadi di Desa Pintu Kecamatan Jenangan sebanyak 8 penderita
dengan Attack Rate sebesar 0.47%. Jumlah kasus sebanyak 146 tersebut terjadi
dalam kurun waktu 1 tahun. Dikatakan KLB campak bila ditemukan 5 atau lebih
kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan
dibuktikan dengan adanya hubungan epidemiologi. KLB campak terjadi di 1 desa
dengan jumlah penderita sebanyak 8 orang. Dari semua desa yang terkena KLB,
3
100% ditangani kurang dari 24 jam. (Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten
Ponorogo, 2016).
Tahun 2016 di Kabupaten Ponorogo, cakupan imunisasi Hb terhadap bayi
baru lahir mencapai 91,6% dan imunisasi BCG mencapai 95,2%. Cakupan
imunisasi pada bayi meliputi DPTHB3/DPT-HB-Hib3 mencapai 92,8%,
imunisasi polio 4 mencapai 91,1%, imunisasi campak mencapai 90,4% sehingga
capaian imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi mencapai 88,4%. Sedangkan
cakupan desa UCI sebesar 48,5% atau 149 desa/kelurahan dari 307
desa/kelurahan yang ada.
Puskesmas Ponorogo Utara merupakan salah satu Puskesmas yang berada
di Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo. Puskesmas Ponorogo Utara
merupakan penyumbang penyakit campak paling tinggi dibandingkan puskesmas
lainnya yang ada di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo. Tren
penemuan kasus campak dalam 3 tahun terakir selalu mengalami peningkatan,
Pada tahun 2014 terdapat 19 kasus campak. Sedangkan pada tahun 2015 terdapat
24 kasus dan pada tahun 2016 mengalami peningkatan dengan jumlah 61 kasus
dibandingkan dengan tahun 2017 mengalami penurunan dengan jumlah 59
kasus. (Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Ponorogo utara, 2017).
Kegiatan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956.
Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri,
Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B. Beberapa penyakit yang saat
4
ini menjadi perhatian dunia dan merupakan komitment globlal yang wajib diikuti
oleh semua negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak
pengendalian rubella (EC-PR) dan Maternal Neonatal Tetanus Elimination
(MNTE).
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit menular
yang merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementrian kesehatan sebagai salah
satu upaya menurunkan angka kematian pada anak serta pencegahan penularan
terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu
Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B. Tahun
2016 cakupan imunisasi campak Kabupaten Ponorogo mencapai 90,4% sehingga
capaian imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi mencapai 88,4%. Sedangkan
cakupan desa UCI sebesar 48,5% atau 149 desa/kelurahan dari 307
desa/kelurahan yang ada.
Umur saat imunisasi berpengaruh Hal ini dipengaruhi oleh kadar
kekebalan pasif yang diberikan oleh ibunya sehingga apabila imunisasi diberikan
ketika kadar kekebalan pasif masih tinggi maka potensi vaksin dalam membentuk
kekebalan aktif akan berkurang, begitupun sebaliknya ketika imunisasi diberikan
saat kondisi kekebalan pasif sudah berkurang maka anak akan sangat berisiko
terkena penyakit campak sebelum tubuh anak tersebut memiliki kekebalan aktif
dari imunisasi.Umur saat imunisasi dikatakan menjadi salah satu faktor risiko
yang dapat mempengaruhi penyakit campak pada balita, sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Andriani, menunjukkan bahwa bahwa balita yang
5
berumur 12 bulan saat dilakukan imunisasi campak merupakan faktor risiko
terhadap kejadian campak klinisdengan hasil perhitungan Prevalence Ratio (PR)
dari umur 12 bulan saat imunisasi campak sebesar 1,38 (95% CI = 0,47 < PR <
4,04). Hal ini menunjukkan (Andriani, 2017)
Imunisasi campak membuat anak akan terlindungi dan tidak terkena
campak, karena imunisasi dapat memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit
termasuk campak (Nugrahaeni, 2012). Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Khotimah (2008) yangmenunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
status imunisasi dengankejadian campak, dengan nilai OR sebesar 101,750 (CI
95% =23,504 - 440,482). (Ramadhani, 2016)
Akibat jika anak tidak mendapatkan imunisasi, anak akan berisikoterkena
penyakit-penyakit seperti Hepatitis B, TBC, Polio, DPT (Difteri,Pertusis,Tetanus)
dan Campak, parahnya lagi penyakit tersebut bisa menyebabkankematian pada
anak. Sistem kekebalan tubuh pada anak yang tidak mendapatimunisasi tidak
sekuat anak yang diberi imunisasi, tubuh tidak mengenali viruspenyakit yang
masuk ke tubuh sehingga tidak bisa melawannya, ini membuatanak rentan
terhadap penyakit. Jika anak yang tidak diimunisasi ini menderitasakit, ia juga
dapat menularkannya ke orang sekitarnya sehingga jugamembahayakan orang
lain (Hellosehat,2017)
Riwayat pemberian ASI yang dilakukan tidak secara eksklusif yaitu air
susu ibu yang diberikan secara terus-menerus hingga bayi berumur 6 bulan tanpa
memberikan makanan pendamping lainnya dapat meningkatkan kejadian
penyakit infeksi pada bayi. Oleh karena itu, bayi dengan ASI tidak eksklusif
6
memiliki daya tahan tubuh lebih rendah dibandingkan dengan balita yang diberi
ASI secara eksklusif. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andriani
menunjukkan bahwa riwayat asi eksklusif merupakan faktor risiko terhadap
kejadian campak klinis dengan perhitungan rumus Prevalence Ratio (PR)
diperoleh nilai 1,90 (95% CI = 1,11 < PR < 3,24). (Andriani, 2017)
Dalam kaitannya dengan vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan
bahwa ada hubungan antara kekurangan vitamin A dengan penyakit campak.
Defisiensi vitamin A bisa meningkatkan terkena komplikasi campak. Anakyang
menderita kekurangan Vitamin A mudah sekali terserang penyakit
infeksipernapasan akut, cacar air diare, dan campak. Penyakit campak
mengurangikonsentrasi serum Vitamin A juga pada anak dengan gizi baik. Virus
campak jugamerusak jaringan epitel seluruh tubuh. Penelitian di Indonesia
menunjukkanbahwa penyakit campak merupakan faktor risiko yang
menyebabkan defisiensiVitamin A.(Andriani, 2017).
Menurut WHO(2016) bahwa, penyakit campak dapat ditularkan melalui
kontak langsung ataudengan droplet penderita yang menyebar
diudara.Penyebaran virus terjadi melalui droplet besar dari saluran nafas, namun
ada juga yang menular melalui droplet kecil lewat udara yang dihirup. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ardiyanto menunjukkan bahwa adahubungan
antara variabel kontak dengan penderita dengan kejadian penyakitcampak dengan
nilai ORyaitu 30,40 (CI95%=8,465-109,177) p value 0,001. (Ardiyanto, 2016)
Keberhasilan program imunisasi dalam mewujudkan cakupan imunisasi
yang tinggi ditentukan oleh 2 (dua) aspek yaitu: menyangkut teknis dan
7
organisasi pelayanan kesehatan. Aspek kedua menyangkut penerimaan
masyarakat terhadap pelayanan imunisasi yang telah tersedia dalam program
imunisasi kebutuhan akan pengelola logistik dan tenaga sebagai unsur mutlak
sangat menentukan dalam pencapaian cakupan. Selain peran serta masyarakat
(ibu bayi sebagai sasaran imunisasi ) dan di samping ada faktor lain seperti
kapercayaan, adat istiadat dan budaya. Cara yang efektif untuk mencegah
penyakit campak yaitu dengan imunisasi balita pada usia 9 bulan. Imunisasi
campak berhasil menurunkan 15,6 juta (75%) kematian akibat campak di
Indonesia (Kemenkes RI, 2015).
Adanya perbedaan hasil penelitian, dan semakin meningkatnya penyakit
Campak, serta belum adanya penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan
dengan penyakit campak di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo dengan menambah variabel umur
saat imunisasi, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, vitamin A, serta
kontakdengan penderita penyakit campak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk
menelitilebih lanjut mengenai faktor risiko apa saja yang berhubungan
dengan penyakit campakpada balita yaitu, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor risiko penyakit campak pada balita di Wilayah kerja
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo?
8
2. Bagaimana hubungan faktor risiko terhadap penyakit campak pada balita
yang ada di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan
Ponorogo Kabupaten Ponorogo?
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan umum
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahuifaktor-
faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit campakpada balita yang ada
di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo
Kabupaten Ponorogo
1.2.2 Tujuan khusus
Beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dalam pelaksanaan
penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui gambaran penyakit campak pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo
2. Mengetahui distribusi frekuensi penyakit campak pada balitadi Wilayah
Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten
Ponorogo.
3. Mengetahui hubungan umur saat imunisasi terhadap penyakit campakdi
Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo,
Kabupaten Ponorogo
4. Mengetahui hubungan status imunisasi terhadap penyakit campakdi
Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo,
Kabupaten Ponorogo
9
5. Mengetahui hubungan riwayat asi eksklusif terhadap penyakit campak di
Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo,
Kabupaten Ponorogo
6. Mengetahui hubungan riwayat pemberian vitamin A terhadap penyakit
campakdi Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan
Ponorogo, Kabupaten Ponorogo
7. Mengetahui hubungan riwayat kontak dengan penderita campak
terhadappenyakit campak di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas Ponorogo Utara
Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan, informasi dan
pengetahuan bagi Puskesmas Ponorogo Utara.
1.4.2 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Proposal merupakan salah satu bahan audit internal kualitas pengajaran
yang dapat digunakan sebagai referensi atau bahan masukan kepustakaan dan
informasi serta dapat meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit campak.
1.4.3 Bagi peneliti
1. Sebagai bahan pembelajaran peneliti untuk melakukan penelitian serta
menambah pengetahuan tentang penyakit campak.
2. Melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk melakukan pengabdian
di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo,
Kabupaten Ponorogo mengenai bahaya penyakit campak.
10
1.4.4 Bagi masyarakat
Menganjurkan kepada masyarakat tertutama ibu, maupun keluarga
yangmangasuh, untuk bekerja sama dalam mengasuh anak serta rutin
mengajakanaknya dalam kegiatan imunisasi di posyandu atau tempat yang
telah disediakan.
1.4.5 Bagi peneliti lain
Peneliti selanjutnya diharapkan mengadakan penelitian lebih lanjut
terhadap faktor risiko penyakit campak seperti kualitas vaksin , penyimpanan
vaksin, distribusi vaksin, suhu yang optimal untuk vaksin sehingga kualitas
pemberian vaksin pada balita sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Penyakit Campak
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan
oleh virus. Campak disebut juga dengan rubeola, morbilli, atau measles. Penyakit
ini ditandai dengan gejala awal demam, batuk, pilek, dan konjungtivitis yang
kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit(rash). Campak biasanya
menyerang anak-anak dengan derajat ringan sampai sedang. Penyakit ini dapat
meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis akibat peradangan otak
(ensefalitis)
Virus campak baru dapat diisolasi pada tahun 1954 oleh J.F. Enders dan
kawan-kawan dengan membiakkannya pada kultur jaringan ginjal manusia.
Penyakit campak mudah menular, penderita perlu dipisahkan. Dianjurkan tidak
bersekolah. Pengobatan hanyalah untuk meredakan gejala belaka. Tubuh sendiri
yang akan melawan virusnya. Untuk itu tubuh perlu kuat. Jika kurang gizi, tubuh
mampu mengenyahkan penyakit tersebut. Dampak penyakit campak di kemudian
hari adalah kurang gizi sebagai akibat diare berulang dan berkepanjangan pasca
campak, sindrom radang otak pada anak diatas 10 tahun, dan tuberkulosis paru
menjadi lebih parah setelah sakit campak berat. ) (Irianto Koes, 2014)
Virus Campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan yang
kuat, apabila berada diluar tubuh manusia virus Campak akan mati. Pada
temperaturkamar virus Campak kehilangan 60% sifat infektisitasnya selama 3 –
5 hari. Tanpa media protein virus Campak hanya dapat hidup selama 2 minggu
12
dan hancur oleh sinar ultraviolet. Virus Campak termasuk mikroorganisme yang
bersifat ether labile karena selubungnya terdiri dari lemak, pada suhu kamar
dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit, dan 50% aseton dalam 30 menit.13
Sebelum dilarutkan, vaksin Campak disimpan dalam keadaan kering dan beku,
relatif stabil dan dapat disimpan di freezer atau pada suhu lemari es (2-8°C;
35,6-46,4°F) secara aman selama setahun atau lebih. Vaksin yang telah dipakai
harus dibuang dan jangan dipakai ulang.
2.2 Tanda dan Gejala Penyakit Campak
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi,
diikuti dengan koriza, batuk, dan peradangan pada mata. Gejala klinis penyakit
campak dikategorikan dalam tiga stadium.
2.2.1 Stadium prodromal
Berlangsung 2-4 hari dengan gejala demam yang diikuti dengan batuk,
pilek, farings merah, nyeri menelan, malaise, stomatitis, dan konjungtivitis.
Tanda patognomonik timbulnya eksantema mukosa pipi di depan molar tiga
yang meluas sampai seluruh mukosa mulut disebut bercak Koplik.
2.2.2 Stadium erupsi
Pada stadium erupsi penderita campak ditandai dengan timbulnya ruam
makulo-papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari
batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan
akhirnya ke ekstrimitas. Gejala lain yang biasanya terjadi adalah koriza dan
batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole.
Kadang terlihat pula bercak Koplik. Kadang-kadang terdapat perdarahan
13
ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam kemudian akan menyebar
ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari
ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir
dalam 2-3 hari.
2.2.3 Stadium penyembuhan (konvalesens)
Setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan
timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan
menghilang setelah 1-2 minggu. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menentukan status gizi penderita, untuk mewaspadai timbulnya komplikasi.
Gizi buruk merupakan risiko komplikasi berat. Dua hari kemudian biasanya
suhu akan menurun dan gejala penyakit mereda. Ruam kulit akan mengalami
hiperpigmentasi (berubah warna menjadi lebih gelap) dan mungkin
mengelupas. Penderit akan tampak sehat bila tidak disertai komplikasi.
Komplikasi yang sering terjadi adala konjungtivitis, bronkopneumonia, radang
telinga tengah, dan peradangan otak. (Irianto Koes, 2014). Sedangkan gejala
yang sering timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, dengan gejala-
gejala seperti: panas badan, nyeri tenggorokan, hidung meler (Coryza), batuk
(Cough), bercak koplik, nyeri otot dan mata merah.
Kemudian 2-4 hari muncul bintik putih kecil dimulut bagian dalam
(bintik koplik). Ruam atau kemerahan di kulit yang terasa agak gatal, ini
muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk
makula ( ruam kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan
yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak pada wajah, yaitu di depan dan di
14
bawah telingaserta di leher sebelah samping, lengan dan kaki, sedangkan ruam
di wajah mulai melebar. Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit,
ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40 drajad C. 3-5 hari
kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang
tersisa segera menghilang. selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat
merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari
hingga 7 hari. (Andareto Obi, 2015)
2.3 Etiologi dan Penularan
2.3.1 Etiologi Penyakit Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus, dari familli Paramixovirus,
Genus Morbillivirus. Virus ini adalah virus RNA yang dikenal hanya
mempunyai satu antigen. Struktur virus ini mirip dengan virus penyebab
parotitis epidemis dan parainfluenza setelah timbulnya ruam kulit, virus aktif
dapat ditemukan pada sekret nasofaring darah, dan air kencing dalam waktu
sekitar 34 jam pada suhu kamar.Virus campak dapat bertahan selama beberapa
hari pada tempratur suhu 0 drajad C dan selama 15 minggu pada sediaan baku.
Di luar tubuh manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus
ini akan kehilangan infektifitasnya sekitar 6% selama 3-5 hari. Virus ini
mudah hancur oleh sinar ultraviolet. Kekebalan terhadap campak diperoleh
setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang
baru lahir ibu yang telah kebal (berlansung selama 1 tahun). Orang-orang
yang rentan terhadap campak adalah:
15
a. Bayi yang berumur lebih dari 1 tahun
b. Bayi yang tidak mendapatkan imunisasi
c. Remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.
(Irianto, 2014)
2.3.2 Penularan Penyakit Campak
Virus campak mudah menularkan penyakit. Virulensinya sangat tinggi
terutama pada anak yang rentan dengan kontak keluarga, sehingga hampir
90% anak rentan akan tertular. Campak ditularkan melalui droplet di udara
oleh penderita sejak 1 hari sebelum timbulnya gejala klinis samai 4 hari
sesudah munculnya ruam. Ibu yang pernah menderita campak akan
menurunkan kekebalannya kepada janin yang dikandungnya melalui plasenta,
dan kekebalan ini bisa bertahan sampai bayinya berusia 4-6 bulan. Pada usia 9
bulan bayi diharapkan membentuk antibodinya sendiri secara aktif setelah
menerima vaksinasi campak. Dalam waktu 12 hari setelah infeksi campak
sampai puncak sekitar 21 hari, igM akan terbentuk dan akan cepat menghilang
untuk kemudian digantikan oleh igG. Cakupan imunisasi campak yang lebih
dari 90% akan menyebabkan kekebalan kelompok (herd immunity) yang akan
menyebabkan penurunan kasus campak di masyarakat. (Irianto Koes, 2014)
2.4 Pengobatan, Pencegahan, dan Pemberantasan Penyakit Campak
2.4.1 Pengobatan
A. Pengobatan penyakit campak
Pengobatan campak berupa perawatan umum seperti pemberian cairan
dan kalori yang cukup. Obat simptomatik yang perlu diberikan antara lain:
16
Antidemam, Antibatuk, Vitamin A, Antibiotik diberikan bila ada indikasi,
misalnya jika campak disertai dengan komplikasi. Pasien tanpa komplikasi
dapat berobat jalan di puskesmas atau unit pelayanan kesehatan lainnya,
sedangkan pasien campak dengan komplikasi memerlukan rawat inap di
rumah sakit. Tidak ada pengobatan khusus untuk campak. Namun sebaiknya
menjalani istirahat. Untuk menurunkan demam, berikan asetaminofen atau
ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik, maka dari itu
harus berjaga-jaga. (Irianto Koes, 2014)
B. Indikasi penyakit campak
Seluruh anak. Pemberian boleh terlambat karena anak masih memiliki
kekebalan yang didapat dari ibunya saat kehamilan yang dapat bertahan
sampai anak berumur 6 sampai 9 bulan.
C. Dosis dan jadwal pemberian:
Dosis 0.5 CC yang disuntikkan bawah kulit (sub kutan) pada lengan
atas, pada usia 9 bulan. Karena imunitas cenderung menurun maka diberi
dosis penguat pada usia 2 tahun dengan dosis yang sama. Kalau anak telah
mendapatkan vaksin MMR pada usia 15 bulan maka dosis penguat ini
dibatalkan.
D. Efek Samping
Efek samping yang mungkin terjadi adalah demam dengan kulit ruam
kemerahan yang timbul 1 minggu setelah penyuntikan. Kadang-kadang diare
ringan dapat terjadi. Obat untuk efek samping ini cukup dengan obat-obat
simptomatik.
17
2.4.2 Pencegahan penyakit campak
A. Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)
Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang
masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat
dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan memberikan
makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh.34
B. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah
seseorang terkena penyakit campak, yaitu :
1. Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya
pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.
2. Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang diberikan
pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat
melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.
C. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini
mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan
kecatatan, yaitu:
1. Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui pemeriksaan
fisik atau darah.
18
2. Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan masuk
sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak
pada ruang khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan
melakukan pemisahan penderita pada stadium kataral yakni dari hari
pertama hingga hari keempat setelah timbulnya rash yang dapat
mengurangi keterpajanan pasienpasien dengan risiko tinggi lainnya.
3. Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan penderita
yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat batuk.
Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder untuk mencegah
komplikasi.
4. Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat mengurangi
terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis media, pneumonia,
ensefalomielitis, abortus, dan miokarditis yang reversibel.
E. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada
pencegahan tertier yaitu :
1. Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.
2. Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun
secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan
imunitas mereka.
19
Imunisasi campak yang diberikan bayi 9 bulan merupakan pencegahan
yang paling efektif. Vaksin campak berasal dari virus hidup yang
dilemahkan. Pemberian vaksin diberikan dengan cara intrakutan atau
intramuskular dengan dosis 0,5 cc. Pemberian imunisasi campak satu kali
akan memberikan kekebalan selama 14 tahun, sedangkan untuk
mengendalikan penyakit diperlukan cakupan imunisasi paling sedikit 80%
per wilayah secara merata selama bertahun-tahun. Keberhasilan program
imunisasi dapat diukur dari menurunnya jumlah kasus campak dari waktu ke
waktu. Kegagalan imunisasi dapat disebabkan oleh:
a) Terdapatnya kekebalan yang dibawa sejak lahir yang berasal dari
antobodi ibu. Antibodi itu akan menetralisasi vaksin yang diberikan.
b) Terjadi kerusakan vaksin akibat penyimpanan, pengankutan, atau
penggunaan di luar pedoman. (Irianto Koes, 2014)
2.4.3 Pemberantasan Penyakit Campak
Menurut organisasi World Health Organization (WHO) mencanangkan
beberapa tahapan dalam upaya pemberantasan campak yaitu reduksi,
eliminasi dan eradikasi dengan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap:
A. Tahap Reduksi
Pengertian reduksi campak adalah menurunkan angka kematian sebesar
90% pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2000 dengan strategi yang
dilakukan sebagai berikut:
1. Meningkatkan cakupan imunisasi rutin minimal 90% di desa (UCI)
dengan indikator cakupan campak, DPT3, Polio.
20
2. 95% desa mencapai UCI.
3. Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD, secara
nasional dimulai tahun 2006.
4. Meningkatkan surveilans epidemiologi berbasis rumah sakit dan
puskesmas.
5. Penyelidikan KLB disertai pemeriksaan laboratorium.
6. Tatalaksana kasus dengan pemberian Vit A dan pengobatan adekuat
terhadap komplikasi.
7. Rujukan kasus sesuai indikasi.
The World Summit for Children telah menyepakati program reduksi
campak pada tahun 2000. Reduksi campak adalah hilangnya wilayah
kantung campak. Secara epidemiologis, daerah rawan campak
dikelompokkan menjadi:
a) Daerah reservoir, yaitu desa yang selama tiga tahun berturut-turut terdapat
kasus campak.
b) Daerah kantung, yaitu desa dengan cakupan imunisasi campak < 80%
selama tiga tahun terakhir.
Kegiatan yang dilakukan adalah akselerasi reduksi campak yang berupa
imunisasi campak pada balita berusia 9-59 bulan. Sesuai laporan Profil
Departemen Kesehatan 2000, sampai saat ini masih banyak daerah rawan
campak di Indonesia. (Irianto Koes, 2014).
Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak
yaitu penurunan 90% kasus dan 90% kematian akibat campak dibandingkan
21
dengan keadaan sebelum program imunisasi campak melalui kendala yang
timbul dalam reduksi campak. Strategi yang disusun oleh Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial adalah :
1) Cakupan imunisasi rutin minimal >90%.
2) Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9 bulan
sampai 5 tahun di daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung cakupan.
3) Mengadakan sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan sweeping
diperlukan untuk membantu puskesmas dalam rangka meratakan cakupan
imunisasi di tingkat desa.
4) Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa KLB
dengan sasaran umum 9 bulan- 5 tahun.
5) Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di seluruh
Indonesia, dalam pelaksanaan dilakukan bertahap.
B. Tahap Eliminasi
Pada tahun 2010, diharapkan masuk kedalam tahap eliminasi campak
dengan tujuan untuk memutus transmisi virus campak indigenous dengan
strategi yang dilakukan sebagai berikut:
1. Mencapai cakupan imunisasi rutin ≥ 95% di setiap desa
2. Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD dengan
Cakupan minimal 95%.
3. Melaksanakan surveilans berbasis kasus individu dengan melakukan
konfirmasi laboratorium.
22
4. Tatalaksana kasus dengan pemberian Vitamin A dan pengobatan adekuat
terhadap komplikasi.
5. Rujukan kasus sesuai dengan indikasi.
C. Tahap Eradikasi
Pada tahap ini tidak ditemukan lagi virus campak, cakupan imunisasi
sangat tinggi dan merata dengan strategi yang dilakukan sebagai berikut:
1. Mencapai cakupan imunisasi rutin ≥ 95% di setiap desa.
2. Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD dengan
cakupan 100%.
3. Imunisasi campak tambahan.
4. Melaksanakan surveilans ketat berbasis kasus individu dengan konfirmasi
laboratorium.
5. Tatalaksana kasus dengan pemberian Vitamin A dan pengobatan adekuat
terhadap komplikasi.
6. Rujukan kasus sesuai dengan indikasi.
Pelaksanaan surveilans campak pada tahap eradikasi yaitu dengan
melakukan kegiatan surveilans campak yang terdiri dari:
a. Surveilans rutin
Surveilans rutin dilaksanakan terutama oleh surveilans puskesmasserta
surveilans kabupaten/kota.Sistem kewaspadaan dini KLB campak dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadinya KLB perlu di laksanakan kegiatan
kewaspadaan dini KLB. Strategi dalam SKD-KLB campak adalah dengan
melakukan pemantauan terhadap populasi rentan. Populasi rentan (susceptible)
23
atau tak terlindungi imunisasi campak, memantau status gizi balita dan
menjangkau pelayanan kesehatan (asesibilitas)
Dalam menjangkau pelayanan kesehatan perlu melakukan pemantauan
pada kelompok pengungsi. Pemantauan kasus campak dilakukan melalui PWS-
campak Apabila ditemukan satu kasus pada desa dengan cakupan tinggi
(>90%), rnasih perlu diwaspadai pula mengingat adanya kemungkinan
kesalahan rantai dingin vaksin atau karena cakupan imunisasi yang kurang
dipercaya.Menurut WHO, apabila ditemukan satu (1) kasus pada satu wilayah,
maka kernungkinan ada 17-20 kasus di lapangan pada jumlah penduduk rentan
yang tinggi. (Stevana Bong, 2013)
b. Penyelidikan KLB campak
Dalam tahap reduksi campak maka setiap KLB campak harus dapat
dilakukan penyelidikan epiderniologi baik oleh surveilans puskesmas maupun
bersama-sama dengan surveilans dinas kesehatan. lndikasi penyelidikan KLB
Campak dilakukan apabila hasil pengamatan SKD KLB/PWS kasus campak
ditemukan indikasi adanya peningkatan kasus dan penyelidikan Pra KLB
menunjukkan terjadi KLB, atau adanya laporan peningkatan kasus atau
kematian campak dari rnasyarakat, media masa dll. Strategi penanggulangan
KLB Campak yaitu dengan melakukan penyelidikan epidemiologi KLB
campak. KLB campak harus segera diselidiki untuk melakukan diagnosa
secaradini (early diagnosis), agar penanggulangan dapat segera
dilaksanakan.Penanggulangan KLB campak didasarkan analisis dan
rekomendasi hasilpenyelidikan KLB campak, yang dilakukan sesegera mungkin
24
agar transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak meluas serta rnembatasi
jumlah kasus dan kematian.
KLB campak harus segera didiagnosa secara dini (early diagnosis) dan
segera ditanggulangi (out break respons) agar KLB tidak meluas dan membatasi
jumlah kasus dan kematian.Cara menegakkan diagnosis penyakit campak
dengangan melakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan mengambil
spesimen darah sebanyak 10-15 penderita baru, dan waktu sakit kasus kurang
dari 21 hari, serta beberapa sampel urine kasus campak untuk isolasi virus.
2.5 Epidemiologi penyakit campak
Epidemiologi penyakit Campak mempelajari tentang distribusi, frekuensi,
penyakit. Distribusi frekuensi penyakit campak meliputi:
1. Orang
Campak adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi anak-anak
pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja. Penyebaran
penyakit Campak berdasarkan umur berbeda dari satu daerah dengan daerah
lain, tergantung dari kepadatan penduduknya, terisolasi atau tidaknya daerah
tersebut. Pada daerah urban yang berpenduduk padat transmisi virus Campak
sangat tinggi.
2. Tempat
Berdasarkan tempat penyebaran penyakit Campak berbeda, dimana
daerah perkotaan siklus epidemi Campak terjadi setiap 2-4 tahun sekali,
sedangkan di daerah pedesaan penyakit Campak jarang terjadi, tetapi bila
25
sewaktu-waktu terdapat penyakit Campak maka serangan dapat bersifat wabah
dan menyerang kelompok umur yang rentan.
3. Waktu
Dari hasil penelitian retrospektif oleh Jusak di rumah sakit umum
daerah Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 1989, ditemukan Campak di
Indonesia sepanjang tahun, dimana peningkatan kasus terjadi pada bulan
Maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September dan
oktober.
Campak merupakan penyakit endemik di banyak negara terutama di
negara berkembang. Angka kesakitan di seluruh dunia mencapai 5-10 kasus
per 1000 orang. Campak masih ditemukan di negara maju. Sebelum
ditemukan vaksin pada tahun 1963 di Amerika serikat, terdapat lebih dari 1,5
juta kasus campak setiap tahun. Mulai tahun 1963 kasus campak menurun
drastis dan hanya ditemukan kurang dari 100 kasus pada tahun 1998.
Negara Indonesia, campak menempati urutan ke-5 dari 10 penyakit
utama pada bayi dan anak balita (1-4 tahun) berdasarkan laporan SKRT tahun
1985/1986 KLN masih terus dilaporkan. Terjadinya KLB di pulau Bangka
pada tahun 1971 dengan angka kematian sekitar 12%, KLB di Provinsi Jawa
Barat pada tahun 1981 (CFR=15%), dan KLB di Palembang, Lampung, dan
Bengkulu pada tahun 1998. Pada tahun 2003, di Semarang masih tercatat
terdapat 104 kasus campak dengan CFR 0%. Angka kesakitan campak di
Indonesia tercatat 30.000 kasus per tahun yang dilaporkan. Meskipun pada
kenyataannya hampir semua anak setelah usia balita pernah terserang penyait
26
campak. Pada zaman dahulu ada anggapan bahwa setiap anak harus terkena
campak sehingga tidak perlu diobati. Masyarakat berpendapat bahwa penyakit
ini akan sembuh sendiri bila ruam merah pada kulit sudah timbul, yang
berakibat ada usaha-usaha untuk mempercepat timbulnya ruam.143 Mereka
beranggapan bahwa kalau ruam tidak keluar ke kulit, penyakit ini akan
menyerang dalam tubuh dan menimbulkan akibat yang lebih fatal daripada
penyakitnya sendiri
Campak biasanya menyerang abak berusia 5-10 tahun sebelum
penggunaan vaksin campak. Setelah masa imunisasi (mulai tahun 1977)
penyakit ini mulai menyerang anak usia remaja dan orang dewasa muda yang
tidak mendapatkan vaksinasi waktu kecil, atau mereka yang diimunisasi pada
saat usianya lebih 14-15 bulan. Penelitian di rumah sakit selama tahun 1984-
1988 melaporkan bahwa campak paling banyak terjadi pada usia balita,
dengan kelompok tertinggi pada usia 2 tahun (20,3%), dan diikuti bayi
(17,6%), anak usia 1 tahun (15,2%), usia 3 tahun (12,3%) dan usia 4 tahun
(8,2%). Angka kematian teru smenurun dari waktu ke waktu. Menurut lapran
Balitbangkes di Sukabumi pada tahun 1982, CFR campak sebesar 0,64% dan
di banyak provinsi ditemukan CFR antara 0,76-1,4%. (Irianto Koes, 2014)
2.6 Vaksinasi dan Imunisasi
2.6.1 Vaksinasi
Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin pada manusia untuk
mendapatkan status imun terhadap penyakit infeksi tertentu. Vaksin adalah
bahan yang dibuat yang berperan sebagai antigen untuk menstimulir
27
pembentukan antibodi dalam darah. Setiap vaksin yang akan dipergunakan
pada anak dan dewasa, harus sudah terjamin tentang kualitas pembuatan,
kemurnian, kestabilan dan keamanannya. Vaksinasi adalah proses pemberian
vaksin (mikroorganisme yang dilemahkan/dimatikan atau komponenya) yang
berperan untuk menginduksi pembentukan antibodi oleh tubuh sendiri. (Rusli
dan Primo, 2015). Sedangkan vaksin untuk penyakit campak mengandung
virus morbili yang telah dilemahkan. Vaksin berupa serbuk beku kering yang
dikemas dalam botol vial. Untuk pemakaian harus dilarutkan dengan cairan
sebanyak 5cc yang telah disediakan. Vaksin yang telah dilarutkan harus
digunakan dalam 8 jam. Untuk menentukan minimal pemberian imunisasi
dan jadwal imunisasi ada 2 hal yang perlu diperhatikan yaitu;
a. Distribusi umur mengenai anak yang terserang kematiannya.
b. Respon imunologis sehubungan dengan adanya kekebalan bawaan. Di
Indonesia penyakit ini sering menyerang bayi atau anak kecil, imunisasi
dianjurkan diberikan pada umur 0-11 bulan .
2.6.2 Manajemen Rantai vaksin (cold chain)
a. Pengertian
Rantai dingin vaksin adalah semua peralatan yang digunakan untuk
menjaga vaksin pada suhu dingin yang telah ditetapkan agar memiliki potensi
yang baik mulai dari pembuatan vaksin sampai pada saat pemberiannya
(disuntikkan atau diteteskan) kepada sasaran imunisasi. Sistem rantai dingin
ini ditempuh karena vaksin merupakan benda biologis yang sangat peka
terhadap panas dan pembekuan (Depkes, 2009). Sedangkan rantai vaksin
28
adalah pengelolaan vaksin sesuai prosedur untuk menjaga vaksin tersimpan
pada suhu dan kondisi yang telah ditetapkan (Depkes, 2013). Jenis dan
peralatan rantai dingin vaksin menurut Permenkes no 42 Tahun 2013 yaitu:
1. Kamar dingin dan kamar beku
a. Kamar dingin (cool room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin
yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 Mᶟ ) sampai
dengan 100.000 liter. Suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara
+2ᵒ C s/d +8ᵒ C. Kamar dingin ini berfungsi untuk menyimpan vaksin
BCG, campak, DPT, TT, DT, hepatitis B dan DPT-HB.
b. Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin
yang mempunyai kapasitas ( volume) mulai 5.000 liter (5 Mᶟ ) sampai
dengan 100.000 liter (100 Mᶟ ), suhu bagian dalamnya mempunyai
kisaran antara 15ᵒ C s/d -25ᵒ C. Kamar beku utamanya berfungsi
menyimpan vaksin polio.
2. Lemari Es
Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT,
hepatitis B, Campak dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +2ᵒ C.
3. Ala membawa vaksin
a. Cold box (kotak dingin)
Cold box adalah wadah dengan unsulasi teba untuk menympan
vaksin sementara atau membawa vaksin.
29
b. Vaccine Carrier (termos)
Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari
puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang
dapat mempertahankan suhu 2-8ᵒ C.
4. Alat mempertahankan suhu
a. Kotak dingin cair/ coolpack
Kotak dingin cair adalah wadah plastik berbentuk segi empat, besar
ataupun kecil yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan pada suhu
2ᵒ C dalam lemari es dalam waktu 24 jam.
b. Kotak dingin beku/coldpack
Kotak dingin beku adalah wadah plastik berbentuk segi empat, besar
ataupun kecil yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan pada suhu
-5ᵒ C-15ᵒ C dengan freezer selama 24 jam.
c. Thermometer (pemantau suhu) yaitu alat yang digunakan untuk mengukur
suhu.
Vaksin sebagai barang biologis yang memiliki karaktiristik tertentu
yang memerlukan penanganan rantai dingin tersendiri sejak diproduksi di
pabrik hingga benar-benar diperhatikan termasuk kualitas peralatan rantai
dingin vaksin (Depkes, 2013).
Untuk mendapatkan kualitas peralatan rantai dingin vaksin yang
baik, pelaksana program imunisasi di setiap tingkatan harus memiliki
perencanaan kebutuhan rantai dingin vaksin yang mampu mengelola
30
secara benar sistem peralatan tersebut termasuk memperhatikan daya tahan
dari masing-masing peralatan rantai dingin.
2.6.3 Imunisasi
A. Pengertian Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu ilmu pengetahuan terbaik dari ilmu
kedokteran. Sudah berabad-abad para ilmuan tersebut mengkaji dan meneliti
tentang masalah imunisasi dengan cara vaksinasi ini. Pada tahun 1938 para
ilmuan telah mampu membuat vaksin untuk variola (Small pox) kemudian
dilanjutkan dengan program vaksinasi masal diseluruh dunia, sehingga pada
tahun 1976 virus variola tersebut telah punah dipermuaakn bumi. Selanjutnya
tahun demi tahun beragam vaksin telah dapat dibuat, seperti vaksin untuk
difteri, pertusis, polio, hepatitis B, dan lain sebagainya, dengan hasil yang
mengagumkan. Insiden dari penyakit-penyakit infeksi menular tersebut
menurun drastis dalam kehidupan masyarakat.
Imunisasi adalah proses pembentukan imun tubuh manusia untuk
mencegah dan melindungi tubuh dari ancaman kerusakan, terutama oleh
penyakit infeksi. Imun diartikan sebagai kekebalan tubuh seseorang untuk
melawan serangan bibit penyakit tertentu. Imunitas berfungsi baik atau
menurun. Salah satu metode yang digunakan untuk menigkatkan kekebalan
tubuh seseorang yaitu dengan memberikan vaksin. (Rusli dan Primo, 2015).
Jenis-jenis imunisasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
31
1. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif yaitu imunisasi dengan memberikan antibodi ke dalam
tubuh yang bersifat temporer. Jenis imunisasi pasif ini terdiri dari dua macam
yaitu: imunisasi pada bayi yang didapatkan dari ibunya saat hamil dan saat
menyusui yang bersifat alamiah. Imunisasi pasif pada bayi ini sangat penting,
karena sistem pertahanan tubuh pada bayi yang didapatkan dari ibunya saat
hamil dan juga saat menyusui. Jadi proses imunisasi yang bersifat alamiah.
Sedangkan imunisasi pasif pada bayi ini sangat penting, karena sistem
ertahanan tubuh sang bayi belum mampu bekerja secara sempurna. Kedua
adalah imunisasi pada orang-orang dengan status imunitas yang rendah, yakni
orang-orang yang memang belum kebal atau tidak kebal karena mengidap
penyakit tertentu. Ada yang antibodinya diberikan sebelum terinfeksi, seperti
pada rabies. Ada yang diberikan untuk tujuan eradikasi terhadap toksin
(racun), seperti pada infeksi difteri dan keracunan bisa ular. Ada tiga jenis
preparat yang sering digunakan pada pengobatan ini yaitu:
a. Humman Immune Serum Globuline yang sering di gunakan pada penderita
yang rendah imun dan keadaan darurat.
b. Special Immune serum globulin yang sering digunakan apada penderita
pada penderita rendah imun pada penyakit tertentu.
c. Serum anti toksin dari hewan.
32
2. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yaitu imuniasi atau proses pembentukan imunisasi tubuh
oleh tubuh sendiri yang merupakan hasil kinerja sel-sel pertahanan tubuh kita.
Ada 2 jenis imunisasi aktif, yakni:
a. Imuniasai aktif yang terbentuk akibat infeksi yang terjadi secara alamiah.
Antibodi terbentuk karena di stimulus oleh mikroorganisme yang berperan
sebagai antigen yang telah mnginfeksi tubuh. Tentu, cara mendapatkan
kekebalan dengan metode ini, bisa menimbulkan dampak yang tidak kita
inginkan. Maklum, kita telah sakit. Bahkan bisa berbahaya, seandainya
penyakit infeksi tersebut, tergolong infeksius. Oleh karena itu kita butuh
imunisasi lain, dimana kita menjadi imun namun kita tidak jatuh sakit.
b. Imunisasi aktif yang kekebalannya dibuat melalui stimulasi dengan
mikroorganisme yang telah dilemahkan atau dimatikan. Metode imunisasi
yang kita harapkan ini, kita sebut dengan vaksinasi.
B. Manfaat-Manfaat Imunisasi Untuk Kehidupan
1. Mampu melindungi tubuh dari penyakit infeksi yang berbahaya. Penyakit
infeksi yang berbahaya adalah penyakit infeksi yang dapat mendatangkan
keparahan pada organ-organ tubuh, sehingga mudah menimbulkan
kecacatan, bahkan kematian.
2. Mampu mencegah terjadinya komplikasi penyakit infeksi yang lebih berat
dan mampu menurunkan angka kecacatan. Seseorang yang mendapat
infeksi menular yang berbahaya, namun sudah ada daya imun dalam
33
tubuhnya, maka keparahan penyakit menular tersebut dapat berkurang
secara signifikan dan kecacatan dapat di cegah.
3. Mengatasi penyakit-penyakit yang belum ada obat yang efektif untuk
mengobatinya, seperti penyakit influenza, HIV, Dengue, Ebola, dll.
Tindakan pencegahan dengan vaksin menjadi lebih penting. Namun,
vaksin untuk penyakit yang berbahaya tersebut belum lengkap.
4. Menghalangi meluasnya wabah enyakit menular. Wabah yang timbul di
suatu wilayah akan terhalang, apabila telah banyak warga yang imun
terhadap penyakit infeksi menular tersebut.
5. Memberantas penyakit infeksi menular yang berbahaya di permukaan
bumi. Program imunisasi seharusnya terlaksana secara intensif, sehingga
dapat menjangkau seluruh atau sebagian besar individu pada tiap-tiap
daerah. Jika sebagian besar individu telah imun, maka rantai penularan
tentu akan terputus.
6. Meningkatkan status imun bagi seseorang yang memiliki status imun
yang rendah. Misalnya; bayi yang baru lahir, manula (manusia lanjut
usia), kekurangan gizi (marasmus/ kekurangan khronik kalori dan
kwashiorkor /kekurangan energi protein.
7. Manfaat imunisasi yang sangat signifikan adalah program imunisasi untuk
bayi (anak kecil 2 tahun) dan anak( umur 2 s/d 14 tahun). Beberapa
penyakit infeksi menular yang mendapat program imunisasi, telah
menurun drastis dalam kehidupan masyarakat.
34
C. Cakupan Imunisasi
Target UCI (Universal Child Imunization) 80-80-80 merupakan tujuan
antara yang berarti cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, campak dan
hepatitis B harus 90% baik di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten
bahkan di setiap desa yaitu dengan menentukan jumlah sasaran. Kegiatan ini
merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting karena menjadi
dasar/perencanaan sampai evaluasi program. Sumber data dapat bermacam-
macam namun untuk keperluan pembinaan kebijakan diambil untuk
mengambil data dan sumber tertentu yaitu melalui BPS. Berikut ini cara
menghitung jumlah sasaran bayi. Sasaran imunisasi dasar adalah semua bayi
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
1. Nasional : CBR nas ( % x jumlah penduduk Nasional)
2. Propinsi : CBR pus (% x jumlah penduduk Propinsi)
3. Kabupaten : CBR prof (% x jumlah penduduk Kabupaten)
4. Kecamatan : CBR prof (% x jumlah penduduk Kecamatan)
5. Desa : CBR prof (% x jumlah penduduk Desa)
D. Jadwal Imunisasi campak
Vaksin Campak diberikan pada bayi berusia 9 bulan secara subkutan
maupun intramuskular di otot deltoid lengan atas dan dilanjutkanpemberian
vaksin kembali pada saat anak masuk SD (program BIAS). Selain itu
vaksinasi campak juga dapat diberikan pada kesempatankedua sesuai dengan
crash program campak yaitu pada umur 6-59 bulandan SD kelas 1-6. Apabila
anak telah mendapat imunisasi MMR pada usia15-18 bulan dan ulangan
35
imunisasi pada umur 6 tahun maka ulangancampak pada saat masuk SD tidak
diperlukan.Urutan pemberian jenis imunisasi, berapa kali harus diberikan
serta jumlahdosis yang dipakai juga sudah ditentukan sesuai dengan
kebutuhan tubuh bayi. Untukjenis imunisasi yang harus diberikan lebih dari
sekali juga harus diperhatikan rentangwaktu antara satu pemberian dengan
pemberian berikutnya.Untuk lebih jelasnya sebagaimana terdapat pada tabel
berikut ini :
Tabel 2.1Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi Dengan Menggunakan
Vaksin DPT dan HB dalam Bentuk Terpisah, Menurut Frekwensi
danSelang Waktu dan Umur Pemberian.
Vaksin Pemberian
Imunisasi
SelangWaktu
Pemberian Umur Keterangan
BCG 1 X - 0-11 bulan
Untuk bayi yan
lahir di Rumah
Sakit/ Puskesmas
Hep-B, BCG dan
Polio dapat
segera diberikan
DPT 3 X (DPT
1,2,3) 4 MINGGU 2-11 BLN
POLIO 4 X (POL
1,2,3,4) 4 MINGGU 0-11 BLN
CAMPAK 1 X - 9-11 BLN
HEP-B 3 X (HEP-B
1,2,3) 4 MINGGU 0-11 BLN
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi di Indonesia Tahun 2008
36
Tabel 2.2Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi Dengan menggunakan
Vaksin DPT/HB Kombo
UMUR VAKSIN TEMPAT
Bayi lahir di rumah
0 bulan HB 1 Rumah
1 bulan BCG,Polio 1 Posyandu *
2 bulan DPT/HB Kombo
1,Polio 2 Posyandu*
3 bulan DPT/HB Kombo
2, Polio 3 Posyandu*
4 bulan DPT/HB Kombo
3, Polio 4 Posyandu*
9 bulan Campak Posyandu*
Bayi lahir
diRS/RB/Bidan
Praktek
0 bulan HB 1, Polio
1,BCG RS/RB/BIDAN
2 bulan DPT/HB Kombo
1,Polio 2 RS/RB/BIDAN #
3 bulan DPT/HB Kombo
2, Polio 3 RS/RB/BIDAN #
4 bulan DPT/HB Kombo
3, Polio 4 RS/RB/BIDAN #
9 bulan Campak RS/RB/BIDAN #
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi di Indonesia Tahun 2008
Keterangan :
* : Atau tempat pelayanan lain
# : Atau posyandu
E. Standar Program Imunisasi
Standar program imunisasi Logistik/peralatan Setiap obat yang berasal
dari bahan biologik harus dilindungi terhadap sinar matahari, panas, suhu
beku termasuk juga vaksin. Untuk sarana rantai vaksin dibuat secara khusus
menjaga potensi vaksin.(Arfianti, 2009)
37
F. Jenis -Jenis Vaksin Imunisasi Dasar Dalam Program Imunisasi
1. Vaksin BCG ( Bacillius Calmette Guerine )
Vaksin BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk
mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan Menganjurkan
pemberian BCG pada umur antara 0-12 bulan.Hepatitis B diberikan segera
setelah lahir, mengingat vaksinasi hepatitis B merupakan upaya pencegahan
yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi
maternal dari ibu pada bayinya.
2. DPT (Dhifteri Pertusis Tetanus)
Vaksin DPT diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan ( DPT tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu ) dengan interval 4-8 minggu.
3. Polio
Vaksin polio diberikan segera setelah lahir sesuai pedoman program
pengembangan imunisasi ( PPI ) sebagai tambahan untuk mendapatkan
cakupan yang tinggi.
4. Campak
Vaksin campak rutin dianjurkan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-
kutan dalam, pada umur 9 bulan.
G. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
1. Tuberculosis
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosisdan Mycobacterium bovis, yang pada umumnya menyerang paru-
paru, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lainnya, seperti selaput otak,
38
tulang, kelenjar superfisialis dan lain-lain. Seseorang yang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit tuberculosis aktif.
Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi maka terjadi respon imunitas
selular yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin (Satgas IDAI, 2008).
2. Difteri
Difteriadalah suatu penyakit akut yang bersifattoxin -mediated
deseasedan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Seseorang
anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut
kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular
dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/
membran yang dapat menyumbat jalan nafas.
3. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut yang bersifat fatal, gejala klinis
disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi bakteri Clostridium tetaniyang
umumnya terjadi pada anak-anak. Perawatan luka, kesehatan gigi dan telinga
merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi
terhadap tetanus baik aktif maupun pasif.
4. Pertusis
Pertusis adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis, yaitu bakteri batang yang bersifat gram negatif dan
membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Gejala utama pertusis timbul
saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas akibat kegagalan
aliran oleh bulu getar yang lumpuh dan berakibat terjadinya batuk
39
paroksismal. Pada serangan batuk seperti ini, pasien akan muntah dan
sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Demikian juga, bayi dan anak
prasekolah mempunyai resiko terbesar untuk terkena pertusis termasuk
komplikasinya. Pengobatannya dapat dilakukan dengan antibiotik khususnya
eritromisin dan pengobatan suportif terhadap gejala batuk yang berat,
sehingga dapat mengurangi penularan.
5. Campak
Campak yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus campak yang
sangat menular pada anak-anak, ditandai dengan gejala panas, batuk, pilek,
konjungtivitis dan ditemukan spesifik enantem, diikuti dengan
erupsimakulopapularyang menyeluruh.
6. Polio
Polio yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh virus poliomyelitispada
medula spinalis yang secara klasik dapat menimbulkan kelumpuhan, kesulitan
bernafas dan dapat menyebabkan kematian. Gejalanya ditandai dengan
menyerupai influenza, seperti demam, pusing, diare, muntah, batuk, sakit
menelan, leher dan tulang belakang terasa kaku.
7. Hepatitis-B
Hepatitis B yaitu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis-
B (VHB) yang dapat menyebabkan kematian, biasanya tanpa gejala, namun
jika infeksi terjadi sejak dalam kandungan akan menjadi kronis, seperti
pembengkakan hati, sirosis dan kanker hati, jika terinfeksi berat dapat
menyebabkan kematian.
40
2.6 Faktor- faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya Campak
Di beberapa daerah, ada yang mengaggap bahwa penyakit campak ini
adalah sebagai penyakit yang terjadi pada anak-anak, dan akan sembuh sendiri
jika telah keluar rashnya. Bahkan diantaranya berpendapat penyakit ini tidak
perlu diobati.(Budi, 2012). Cakupan imunisasi campak, merupakan salah satu
indkator dari indikator cakupan keberhasilan dari pelayanan imunisasi dasar.
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan
pada bayi dan anak dari penyakit-penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi
(PD3I), dengan cakupan imunisasi 90% akan diperoleh herd immunity di dalam
kelompok.
Tingginya kasus imunisasi campak di suatu kelompok akan terjadi jika,
pelaksanaan imunisasi campak dilakukan dengan dukungan seluruh elemen
masyarakat dan partisipasi dari unsur sektoral, lingkungan sosial masyarakat serta
masyarakat yang menerima vaksinasi. (Depkes, 1995 dalam Budi, 2012)
2.7.1 Faktor Host/Penjamu
A. Status Imunisasi
Pengaruh imunisasi terhadap laporan kasus penyakit, yang
berkaitanlansung dengan cakupan imunisasi.pemberian imunisasi akan
meransang terjadinya kekebalan humoral atau kekebalan seluler. Antibodi
yang ditimbulkan akibat imunisasi serupa dengan antibodi yang berasal dari
infeksi campak secara alami. Pada awalanya terjadi peningkatan IgG,
kemudian IgG yang dihasilkan dari perlakuan imunisasi terinduksi oleh
infeksi campak yang berada di sekitarnya. Seseorang yang pernah mendapat
41
stimulan antigen vaksin campak maupun infeksi alami, umumnya akan
terpapar infeksi campak secara berulang (Sugiyanto, 1999 dalam Budi, 2012)
B. Status Vitamin A
Dalam kaitannya dengan vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan
bahwa ada hubungan antara kekurangan vitamin A dan penyakit campak.
Defisiensi vitamin A bisa meningkatkan terkena komplikasi campak. Dari
sebuah studi dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang menyebabkan
kegawatan campak bukan protein dan kalori tetapi vitamin A. Ketika terjadi
defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan menyertai penyakit campak.
Apapun urutan kejadiannya, kematian yang berhubungan dengan penyakit
campak mencapai tingkat yang tinggi, biasanya lebih dari 10% terjadi pada
keadaan malnutrisi.
Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan fungsi kekebalan tubuh
menurun, sehingga mudah terserang infeksi. Kekurangan vitamin A
menyebabkan lapisan sel yang menutupi paru-paru tidak mengeluarkan
lendir, sehingga mudah dimasuki mikroorganisme, bakteri, dan virus yang
dapat menyebabkan infeksi. Defisiensi vitamin A pada anak-anak
menyebabkan komplikasi pada campak yang berakhir dengan kematian.
Karena itu, vitamin A disebut vitamin anti infeksi. Hubungan yang terjadi
dengan campak bisa terkomplikasi oleh infeksi kedua dan lebih buruk lagi
karena kekurangan vitamin A yang mengakibatkan pembusukan kornea mata
dan kebutaan.
42
Suplementasi vitamin A dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
karena penyakit campak dan diare pada anak. Suplementasi vitamin A tidak
menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi saluran pernapasan
bawah akut atau menurunkan transmisi HIV tipe ibu ke anak. Suplementasi
vitamin A mengatur respon antibodi terhadap campak dan meningkatkan total
limposit. Anak dengan infeksi campak akut dan menerima suplementasi
vitamin A dosis tinggi (60 mg RE) secara signifikan meningkatkan IgG dan
merespon virus campak dan tingginya sirkulasi limposit selama follow-up,
dibandingkan dengan anak yang menerima placebo.
Suplementasi vitamin A yang diberikan secara simultan dengan vaksin
campak, menimbulkan efek antibodi terhadap campak bila antibodi ibu juga
ada. Pada bayi umur 6 bulan di Indonesia, pemberian vitamin A (30 mg RE)
pada saat imunisasi dengan standar titre Schwarz vaksin campak mengganggu
serokonversi terhadap campak pada bayi yang memperoleh antibodi ibunya,
dan secara signifikan menurunkan insiden campak. Pada uji klinik lain
menunjukkan bahwa vitamin A (30mg RE) menurunkan respon antibody
terhadap virus campak pada bayi umur 9 bulan yang memperoleh antibodi
dari ibunya, tapi tidak mengganggu serokonversi campak.(Lironika, Arinda.
2014)
Menurut WHO dan FAO beranggapan bahwa pada bayi sampaiusia 6
bulan kebutuhan vitamin A nya akan tercukupi olehASI, sedangkan diatas 6
bulan sampai 12 bulan 300 mgretinol per anak per hari yang dianjurkan. (
Amalia & Mardiah , 2006).
43
Tabel 2.3 Bahan Makanan Sebagai SumberVitamin A
Bahan Makanan Nabati IU/10 g Bahan Makanan
Hewani
IU/100g
Jagung muda, kuning
Jagung kuning panen baru
Ubi rambat
Kacang ijo
Wortel
Bayam
Daun melinjo
Daun Singkong
117
440
7.700
423
157
12.000
6.000
10.00
0
Ayam
Hati sapi Ginjal sapi Telur itik Buah-buahan
Mangga
Apel
Alpukat
Belimbimg
810
43.900
1.150
1.230
6.350
90
180
170
Sumber : Prinsip Dasar Ilmu Gizi Tahun 2005
Kebutuhan tubuh akan vitamin A masih dinyatakan dalam Satuan
Internasional (SI), untuk memudahkan penilaian aktifitas vitamin ini di dalam
bahan makanan, agar mencakup preformed Vitamin A dan provitaminnya.
Satu SI Vitamin A setara dengan kegiatan 0,300 ug retinol atau 0,6 ug all
trans beta karotin atau 1 mg karotin total (campuran) didalam bahan makanan
nabati. (Jauhari ahmad, 2015). Sedangkan angka kecukupan Vitamin A rata-
rata dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 2.4 Angka Kecukupan Vitamin A Rata rata
Umur Vitamin A ( RE )
0 - 6 bulan
7 - 12 bulan
1 - 3 tahun
4 - 6 tahun
350
350
350
460
Sumber : Prinsip Dasar Ilmu Gizi Tahun 2005
Terdapat sejumlah ikatan organik yang mempunyai aktifitas vitamin A,
yang semuanya mengandung gelang beta ionon di dalam struktur molekulnya.
Ikatan kimia yang mempunyai aktifitas vitamin ini disebut preformed vitamin
A, sebagai lawannya adalah provitamin A atau prekursor vitamin A, yang
terdiri atas ikatan-ikatan karoten. Deretan hemolog preforned vitamin A ialah
44
vitamin A alkohol, Vitamin A aldehida dan vitamin A asam. Preformed
vitamin A sekarang diberi nama Retinol, dan hemolognya retinal dan retinoic
acid. (Jauhari ahmad, 2015)
Ada 2 jenis vitamin A, ialah vitamin A1 dan vitamin A2 yang disebut
dehydro vitamin A. Perbedaan struktur keduanya adalah adanya 2 ikatan tak
jenuh dalam cincin beta ionon pada vitamin A2, sedangkan vitamin A1
hanya mengandung satu ikatan kembar pada cincin tersebut. Preformed
vitamin A terdapat khusus didalam bahan makanan hewani, sedangkan bahan
makanan nabati hanya mengandung provitamin A, yang disebut ikatan
karoten. (Jauhari ahmad, 2015)
Salah satu fungsi vitamin A didalam tubuh yaitu fungsi dalam
metabolisme umum. Fungsi ini tampaknya erat berkaitan dengan
metabolisme protein yaitu dalam integritas epitel. Integritas epitel pada
devisiensi vitamin A terjadi gangguan struktur maupun fungsi epithelium,
terutama yang berasal ectoderm. Epitel kulit menebal dan terjadi
hyperkeratosis. Kulit menunjukkan xerosis (kering) dan gari-garis gambaran
kulit yang tampak tegas. Pada mulut follikel rambut terjadi gumpalan keratin
yang dapat diraba keras, memberikan kesan berbenjol-benjol seperti kulit
kodok tanah (toadskin). Kondisi ini disebut juga phrenoderma atau
hyperkeratosis follicularis. Permukaan kulit tersebut sering pula terasa gatal
(pruritus). Epitel saluran-saluran didalam tubuh juga menunjukkan kelainan,
seperti saluran tractus respiratorius, tractus urogenitalis, dan saluran-saluran
kelenjar. Epitel columnar dan epitel transitional menunjukkan peubahan
45
metaplesia, menjadi epitel skwmosa. Terjadi gumpalan-gumpalan keratin
yang dapat menjadi pusat perkapuran dan terjadi berbagai calculi (batu
kapur).
C. Umur saat imunisasi
Pada usia 9 bulan maka kemungkinan sakit campak Balita tersebut
sebesar 9,492 kali dan berdasarkan perhitungan nilai PAR menunjukkan
ketika kejadian campak dapat diturunkan sebesar 68,5% ketika seluruh balita
dalam populasi diimunisasi pada usia 9 bulan. Hal ini juga didukung dengan
nilai hasil uji peluang yang menggambarkan Balita yang diimunisasi campak
tepat waktu kemudian dikombinasikan dengan faktor lain yang berhubungan
maka Balita yang diimunisasi tepat waktu (9 bulan) memiliki peluang sakit
campak lebih kecil daripada balita yang diimunisasi campak tidak tepat
waktuPada sebagian besar masyarakat, maternal antibodi akan melindungi
bayi terhadap campak selama 6 bulan dan penyakit tersebut akan dimodifikasi
oleh tingkat maternal antibodi yang tersisa sampai bagian pertama dari tahun
kedua kehidupan. Tetapi, di beberapa populasi, khususnya Afrika, jumlah
kasus terjadi secara signifikan pada usia dibawah 1 tahun, dan angka kematian
mencapai 42% pada kelompok usia kurang dari 4 tahun. Di luar periode ini,
semua umur sepertinya memiliki kerentanan yang sama terhadap infeksi.
Umur terkena campak lebih tergantung oleh kebiasaan individu
daripada sifat alamiah virus. Di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia,
anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, tetapi ketika
memasuki sekolah jumlah anak yang menderita menjadi meningkat. Sebelum
46
imunisasi disosialisasiksan secara luas, kebanyakan kasus campak di negara
industri terjadi pada anak usia 4-6 tahun ataupun usia sekolah dasar dan pada
anak dengan usia yang lebih muda di negara berkembang.
D. Pemberian Asi Eksklusif
ASI mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus, dan telah
terbuk bahwa ASI menghambat pertumbuhan virus. Kolostrum mampu
menetralisasi Respiratory Syncytial Virus (RSV). ASI memberikan
perlindungan pada bayi melalui bebrapa mekanisme, antara lain memperbaiki
mikroorganisme nonpatogen, mengurangi mikroorganisme patogen saluran
cerna, merangkang perkembangan barier mukosa saluran cerna dan napas,
faktor spesifik (IgA sekretori, sel kekebalan) dan sebagai perangsang
kekebalan. Infeksi yang terjadi setelah persalinan melalui orang yang
merawatnya (misalnya orangtua, saudara, pengunjung, petugas kesehatan)
atau lingkungan (alat kedokteran, muntahan). Paparan pada bayi umumnya
terjadi sebelum penyakit pada ibu terdiagnosis (misalnya campak) atau
sebelum ibu tampak sakit (cacar air, hepatitis). Oleh karena itu, menghentikan
ASI tidak akan mencegah infeksi pada bayi, bahkan akan mengurangi efek
ASI untuk membatasi penyakit pada bayi (IDAI, 2016). Kondisi bayi yang
sangat lemah menyebabkan tidak semua makanan baik untuk bayi, karena itu
untuk menjaga kesehatan dan pertumbuhannya ASI sangat cocok untuk bayi
yang berusia 0-6 bulan pertama (Hizka, 2015).
ASI mengandung kolostrum yang kaya antibodi karena mengandung
protein untuk daya tahan tubuh dan membunuh kuman dalam jumlah tinggi
sehingga pemberian ASI Eksklusif dapat mengurangi risiko kesakitan pada
47
bayi, karena terserang infeksi seperti penyakit campak. Selain mengandung
zat-zat makanan, ASI mengandung zat berupa makanan, ASI juga
mengandung zatpenyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan
mengganggu enzim di usus,sedangkan susu formula tidak mengandung
sehingga penyerapan makanantergantung pada enzim yang terdapat pada usus
bayi (Kemenkes RI, 2014).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomer 33 Tahun 2012 adalah ASI
eksklusif adalah pemberian ASI saja selama enam bulan.yangdiberikan
kepada bayi sejak dilahirkan hinggausia 6 bulan tanpa menambahkandan atau
mengganti dengan makanan dan minuman lain kecuali obat
vitamin(Kemenkes RI, 2014).
Air susu ibu bukan merupakan tempat penularan dari sebagian besar
infeksi virus pada ibu, oleh karena itu meneruskan menyusui merupakan
tindakan terbaik bagi ibu dan bayi. Virus CMV, HIV, dan HTLV-1
merupakan virus yang sering dilaporkan sebagai penyebab infeksi pada bayi
akibat penularan dari ASI. Infeksi bakteri pada ibu jarang mengakibatkan
penularan infeksi melalui ASI kepada bayi. Pada sebagian kasus ibu
menyusui dengan tersangka infeksi, menghentikan menyusui hanya akan
mengurangi masukan nutrisi dan manfaat kekebalan dari ASI. Keputusan
untuk menyusui harus mempertimbangkan manfaat tak ternilai ASI dibanding
risiko tertularnya penyakit (IDAI, 2016).
48
2.7.2 Faktor Pelayanan Kesehatan
A. Imunisasi Campak
Masalah imunisasi campak dapat dilihat dari 3 aspek yang meliputi, antara
lain:
1. Vaksin campak
Jenis vaksin yang banyak digunakan oleh Kementrian Kesehatan
RI, berasal dari produk Bio Farma. Di Indonesia vaksinasi campak
diberikan pada usia 9-11 bulan. Agar vaksinasi dapat mencapai hasil yang
maksimal pada potensi vaksin yang digunakan harus diperhatikan, karena
potensi vaksin yang digunakan harus diperhatikan, karena potensi vaksin
dipengaruhi oleh cara pengiriman, penyimpanan dan penanganan di
lapangan
2. Penerima vaksin
Penerima imunisasi campak secara lansung adalah anak usia 9-11
bulan, tetapi sasaran ini sering dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,
terutama ibu dan masyarakat setempat (Harjati, 1990 dalam Budi 2012)
3. Pemberi vaksin
Terdapat 2 kelompok yang sering berperan dalam pelaksanaan
program vaksinasi, yaitu: petugas kesehatan sebagai pelaksana program
dan tokoh masyarakat (formal/informal), sebagai penunjang pelaksanaan
program.
49
B. Pengelola Program Imunisasi
Perencanaan program meliputi:
1. penentuan jumlah sasaran, diberikan imunisasi campak dengan
menggunakan angka kelahiran, yan dikalikan dengan jumlah
penduduk.
2. target cakupan imunisasi dihitung berdasarkan hasil analisis situasi di
setiap wilayah dengan mempertimbangkan jarak tempat pelayanan ke
sasaran di wilayah kerja.
3. perhitungan vaksin dan sarana, dihitung berdasarkan jumlah sasaran
dibagi dosis efektif dan titambah 10%
4. penyusunan jadwal pelayanan imunisasi, disesuaikan dengan kondisi
dan situasi wilayah dengan memperhatikan potensi vaksin.
2.7.3 Faktor Lingkungan
Salah satu faktor yang berkontribusi untuk terjadinya campak pada
anak-anak yaitu: kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah dibagi
dengan jumlah anggota keluarga, kebutuhan ruangan untuk tempattinggal
tergantung pada kondisi keluarga yang bersangkutan. Bagunan yang sempit
dan tidak sesuai dengan jumlah banyaknya penghuni akan memberi dampak
seperti kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh
penghuninya menurun, ruangan yang sempit akan membuat para
penghuninya sesak nafas dan mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga
yang lain. Riwayat kontak merupakan kejadian dimana penderita pernah
terpaparlangsung dengan penderita campak lain. Penderita bisa
50
tertularmelalui udara dengan penyebaran droplet dari orang-orang yang
terinfeksi dankontak langsung. Penularan campak sangat cepat apalagi
seseorangyang tidak memiliki kekebalan (Irianto, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani (2016) menunjukkan
bahwa balita yang terkena campak lebih banyak pada balita yang ada riwayat
kontak (79,1%). Sebagian besar balita terkena campak disebabkan karena
tertular teman bermainnya di sekolah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan
orang tua balita belum mengetahui gejala awal dari penyakit campak
sehingga masih banyak anak bersekolah diawal gejala campak seperti suhu
badan meningkat, batuk, pilek dikira sakit demam biasa. Sebagian juga ada
yang tertular teman tetangganya bahkan penderita campak yang tinggal
serumah namun hanya sedikit dibandingkan di sekolah. Hal ini menunjukkan
bahwa saat berada di sekolah atau di rumah anak mereka tanpa sengaja
kontak dengan penderita campak.
Cara untuk mencegah agar tidak tertular oleh penderita campak lain
dengan cara menggunakan alat pelindung diri seperti masker. Hal ini
disebabkan karena penularan penyakit campak melalui penularan melalui
udara (airborne disease). Penderita campak sebaiknya diisolasi atau tidak
boleh keluar rumah atau bermain/bergaul dengan orang lain sampai sembuh
agar tidak menularkan ke orang lain.
2.7.4 Faktor Perilaku
Perilaku dalam pandangan biologis merupakan suatu aktivitas
organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah
51
suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Perilaku manusia mempunyai ruang
lingkup yang sangat luas, seperti : berjalan, berbicara, bereaksi dan bahkan
kegiatan internal seperti berfikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku
manusia (Notoatmojo, 2005 dalam Budi 2012)
Perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi
oleh faktor genetik atau lingkungan. Hereditas atau faktor keturunan
merupakan konsepsi dasar modal untuk perkembangan perilaku mahluk
hidup, sedangkan lingkungan adalah kondisi lahan untuk perkembangan
perilaku tersebut. Mekanisme pertemuan kedua faktor tersebut dalam rangka
membentuk suatu perilaku yang disebut proses belajar (learning process).
Perilaku merupakan hasil hubungan antara stimulus dan taggapan atau
respon. Pada respon dibedakan menjadi dua, yakni : respondent respont atau
reflexive respon, yaitu : respon yang ditimbulkan oleh ransangan tertentu atau
disebut dengan elicting stimuli, karena menimbulkan respon yang relative
tetap. Respondens respon ini juga mencakup emosi respon atau emotional
behavior.(Skiner, 1938 dalan Budi 2012)
Respon yang kedua adalah operant respons atau instrumental respons,
yaitu : respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh peransang
tertentu. Peransang semacam ini disebut reinforcing stimuli, karena ransangan
tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organism.
Pada kehidupan sehari-hari respon jenis pertama sangat terbatas sangat
terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan
yang pasti antara stimulus dan respon, kemungkinan untuk memodifikasinya
52
sangat kecil. Sebaliknya pada respon jenis kedua, merupakan bagian terbesar
dari perilaku manusia, dan kemungkinan untuk memodifikasinya juga sangat
besar, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas
a. Karakteristik Ibu/Orang tua
Pengetahuan atau kognitif merupakan merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Menurut
WHO, pengetahuan diproleh dari pegalaman sendiri atau pengalaman orang
lain. Hasil penelitian di Jakarta Selatan, ibu yang mempunyai pendidikan
rendah, anaknya mempunyai risiko untuk menderita campak sebesar 2,1 kali
dibandingkan pendidikan tinggi (Purnomo, 1996 dalam Budi, 2012)
b. Sosial Ekonomi
Faktor ekonomi keluarga memegang peranan besar dalam memilih
prioritas, sehingga mempengaruhi tingkat kesehatan. Salma P (2000)
menyatakan bahwa pendapatan keluarga kurang mempunyai risiko 1,54 kali
untuk terjadinya campak pada anaknya dibanding anak dengan keluarga yang
memiliki pendapatan cukup. (Muhammad, 1988 dalam Budi, 2012)
53
2.8 KERANGKA TEORI
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Pelayanan Kesehatan
Pelaksana
Aksebilitas
Status
imunisasi
Penerima umur
& kondisi
Potensi Vaksin
KONDISI LINGKUNGAN
Ventilasi
Kontak Lansung
Kepadatan Hunian
Pencahayaan
Sosial Ekonomi
Pendapatan Pendidikan Tradisi
Imunitas anak
( - )
Kejadian Campak
Vitamin A
Status Gizi
Asupan Makan
54
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
: Yang diteliti
Gambar 3.1 Variabel yang diteliti adalah umur saat imunisasi, riwayat imunisasi,
riwayat asi eksklusif, vitamin A, kontak dengan penderita terhadap
penyakit campak di wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Penyakit Campak
1. Umur saat imunisasi
2. Riwayat Imunisasi
3. Riwayat Asi Eksklusif
4. Vitamin A
5. Kontak dengan penderita
Kejadian Penyakit Campak
55
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variabel
atau lebih. (Rosjidi, 2015). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Ada hubungan umur saat imunisasi dengan penyakit campak di
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo.
2. Ada hubungan status imunisasi campak dengan penyakit campak di
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo.
3. Ada hubunganriwayat asi eksklusif dengan penyakit campak di
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo.
4. Ada hubungan pemberian Vitamin A dengan penyakit campak di
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo
5. Ada hubungan kontak lansung dengan penderita dengan penyakit campak
di Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten
Ponorogo.
56
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rancangan untuk mengarahkan penelitian
yang mengontrol faktor yang mugkin mempengaruhi validitas penemuan
(Nonoatmojo, 2010). Design penelitian yang digunakan adalah desain studi case
control, yaitu salah satu metode penelitian dengan survey analitik yang menelaah
hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) dengan faktor risiko
tertentu.. Metode ini digunakan karena mempunyai kelebihan yang merupakan
satu-satunya cara untuk meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya
panjang, hasil dapat diperoleh dengan cepat, biaya yang diperlukan relatif sedikit,
memerlukan subyek penelitian yang lebih sedikit. Studi kasus kontrol sering
disebut juga dengan study retrospektif, karena faktor risiko diukur dengan
melihat kejadian masa lampau untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko yang
di alami. (Saryono, dan Anggraeni, 2013)
Pada penelitian ini dilakukan pendekatan retrospektif yang diawali dengan
mengamati pada kelompok kasus (campak), kemudian dilanjutkan dengan
kelompok pembanding kontrol (tidak campak). Kemudian jumlah angka terpajan
dan tidak terpajan dari masing-masing kelompok kasus dan kontrol dianalisis
dengan membandingkan frekuensi pajanan antara kedua kelompok tersebut.
57
4.2 Populasi dan Sampling
4.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi bukan
hanya orang, tetapi juga benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan
sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi
seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek itu
(Notoatmodjo, 2010)
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam
suatu penelitian. Dalam pelaksanaan penelitian ini, populasi penelitian
adalah:
a. Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah Semua balita yang berkunjung
ke Puskesmas Ponorogo Utara dan jaringannya. Kecamatan Ponorogo
Kabupaten Ponorogo.
b. Subyek penelitian
Subyek penelitian adalah balitayang datang dan berobat Puskesmas
Ponorogo Utara KecamatanPonorogo Kabupaten Ponorogodan tercatat pada
buku register kunjungan dengan kriteria :
1) Kasus adalah semua balita penderita campak yang datang dan berobat
berdasar diagnosis dokter/perawat yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Puskesmas Ponorogo Utara KecamatanPonorogo Kabupaten
Ponorogo
58
2) Kontrol adalah semua masyarakat bukan penderita campak yang datang
dan berobat ke Puskesmas Ponorogo Utara KecamatanPonorogo
Kabupaten Ponorogoyang diagnosis dokter/perawat.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian populasi dengan ciri-cirinya yang diselidiki
atau di ukur (Sumantri, 2011). Sampel penelitian adalah sebagian yang
diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi.Sampel pada penelitian adalah responden penderita campak maupun
bukan penderita campak yang datang dan berobat ke puskesmas berdasar
diagnosis dokter/perawat/bidan dan berdomisili di wilayah kerja Puskesmas
Ponorogo Utara KecamatanPonorogo Kabupaten Ponorogo.
Sampel kasus adalah balita dimana pada satu tahun terakhirmenderita
campak yang datang dan berobat kepuskesmas/pustu/polindes berdasar
diagnosa dokter/perawat/bidan dan berdomisili di wilayah kerja Puskesmas
Ponorogo Utara KecamatanPonorogo Kabupaten Ponorogo. Sedangkan
sampel kontrol adalah responden dimana pada satu tahun terakhirtidak
menderita campak yang datang dan berobat kepuskesmas berdasar diagnosa
dokter/perawat/bidan dan berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ponorogo
Utara KecamatanPonorogo Kabupaten Ponorogo.
Besar sampel minmal dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
ORxP2
P1 =
(1- P2) + ORx P2)
59
b
P2 = x 100%
b + d
Keterangan :
n1 = n2 : Perkiraan besar sampel minimal
P1 : Proporsi paparan pada kelompok kasus
P2 : Proporsi paparan pada kelompok kontrol
d = Taraf signifikansi (0,05)
zα : Nilai pada distribusi normal stándar yang sama dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05 yaitu 1,96
zβ : Nilai pada distribusi normal stándar yang sama dengan kuasasebesar
yang diinginkan sebesar 80 % yaitu 0,84.
OR : Odd Ratio
Tabel 4.1 Distribusi Odd Ratio (OR) Penelitian Terdahulu
Variabel P1 P2 OR N
Status imunisasi 20,4% 90,8% 2,56 13
Riwayat asi eksklusif 51,0% 49,0% 6,88 27
Kontak lansung 96,9% 3,1% 30,40 4
Besar sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel
uji hipotesis perbedaan 2 proporsi (Lemeshow, 1997) yang dikutip dari buku
prinsip dan metode Riset Epidemiologi (Murti, 1997). (Ayunah, 2008). Maka
perihitungan besar sampel sebagai berikut :
2
21
2
22111
__
2/1 1112
pp
ppppZppZ
n
60
OR x P2
P1 =
OR x P2 + (1- P2)
6,88 x 0,49
=
6,88 x 0,49 + (1-0,49)
3,37
=
(3,37) + (0,51)
3,37
=
3,88
= 0,86
n = {1,96
( 0,86 – 0,49)²
= {1,96
( 0,13 )
= {1,96 ²
0,13
= {1,96 }²
0,13
= { 1,348 + 0,505)²
0,13
= ( 1,880)²
0,13
= 3,56
0,13
= 27,38/dibulatkan menjadi 30.
Dari perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel minimal kasus
terbesar 30responden. Dari persamaan diatas dan didasarkan pada perhitungan
61
P2 dan OR hasil penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu, dimana jumlah
sampel setiap variabel adalah α = 0,05, dengan perbandingan 1:1. Berdasarkan
perhitungan, didapatkan besar sampel minimal yang harus diambil sebanyak
30responden, dengan perbandingan besar sampel antara jumlah responden pada
kelompok kasus adalah 30 responden, dan 30 responden sebagai kelompok
kontrol, sehingga jumlah sampel secara keseluruhan adalah 60 respondenl.
4.3 Tehnik Sampling
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah tehnik Simpel
Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara acak.Penggunaan tehnik
Simpel Random Sampling dalam penelitian ini dipilih karena keunggulannya
lebih cepat dan lebih mudah pelaksanaanya dibandingkan tehnik lainnya. Selain
itu, cara ini juga megambil sampel dilapangan dengan tanpa harus menggunakan
kerangka sampel. Misalnya datang ke suatu lokasi. Ambil satu rumah secara
sembarang, bila jarak/interval yang dipakai adalah 4, maka pengambilan sampel
berikutnya dari setiap rumah ke-empat disebelah kanan dari rumah pertama,
dilakukan terus sehingga jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Tehnik
Simpel Random Samplingmemiliki 2 kriteria. Kriteria tersebut terdiri dari kriteria
inklusi dan kriteria ekslusi.
62
Tabel 4.2Kriteria kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.
Sampel Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi
Kasus a. Balita yang terdaftar pada data
kunjungan poli umum di puskesmas
ponorogo utara
b. Diklasifikasi sebagai penderita
campakklinis oleh dokter / perawat
/ bidan.
c. Memiliki orang tua&/ pengasuh
yang bersedia menjadi responden
dan mampu berkomunikasi
d. Bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo Kabupaten
Ponorogo
a. Balita yang terdaftar pada
tempat pelayanan
swasta(dokter/perawat/bidan
praktek swasta)
b. Diklasifikasikan sebagai
penderita selain campak oleh
dokter / perawat / bidan
c. Balita campak yang berumur
lebih dari 5 tahun
Kontrol a. Balita terdaftar pada data
kunjungan balita di puskesmas
b. Diklasifikasi bukan sebagai
penderita campak oleh
dokter/perawat/bidan atau
penderita selain campak
c. Teman sebaya/ tetangga penderita
kasus dengan umur yang sama
dan bertetangga
d. Memiliki ibu &/ pengasuh yang
bersedia menjadi responden dan
mampu berkomunikasi.
a. Balita pendatang yang
tinggal di wilayah kerja
Puskesmas ponorogo utara
b. Balita yang telah pindah
tempat tinggal
4.4Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja penelitian merupakan suatu kegiatan pelaksanaan
penelitian mulai dari pengambilan data sampai menganalisa hasil
penelitian. Kerangka kerja dalam penelitian ini adalah:
63
Gambar 4.3 Kerangka kerja penelitian
Variabel Dependen
Penyakit Campak
Analisis Data
Univariat, Bivariat, Multivariat
Teknik Sampling
Simpel Random Sampling
Sampel
Balita campak dengan jumlah 30 kasus dan 30 kelompok kotrol
Variabel Independen
Umur, Riwayat Imunisasi, Riwayat Asi
Eksklusif, Vitamin A dan
Kontak dengan penderita
Pengumpulan Data
Data primer (kuesioner, wawancara) dan data sekunderberdasarkan
data surveilans campak 2017
Laporan hasil penelitian
Kesimpulan
Populasi
Semua balita yang berkunjung ke Puskesmas,Pustu, Posyandu, dan Klinik kesehatan yang
ada di Wilayah kerrja Ponorogo Utara yang berjumlah 1030 balita.
64
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau
ukuran yang dimiliki yang didapatkan oleh penelitian tentang suatu konsep
pengertian tertentu (Notoatmojo, 2013). Dalam penelitian ini terdapat 3
jenis variabel yang digunakan yaitu:
1. Variabe independen (bebas)
Adalah suatu variabel yang mempengaruhi atau nilainya menentukan ada
tidaknya hubungan atau yang menentukan variabel lain.
2. Variabel dependen (terikat)
Adalah variabel yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya
hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2013)
3. Variabel kontrol
Adalah variabel yang dikendalikan / dibuat konstan sehingga pengaruh
variabel independen/variabel bebas terhadap variabel dependen/variabel
terikat, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak di teliti.
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data
dan menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup
variabel. Variabel yang dimasukkan dalam definisi operasional adalah
variabel kunci/penting yang dapat diukur secara operasional dan dapat di
pertanggungjawabkan (referensi harus jelas). Dengan definisi operasional,
maka dapat ditentukan cara yang dipakai untuk mengukur variabel.
(Saryono, dan Anggraeni, 2013)
65
Berikut adalah definisi operasional dari variabel yang ada dalam penelitian ini
Tabel 4.4 Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Data Hasil Ukur
1 Penyakit campak Penyakit campak pada balita yang telah di
diagnosis olehDokter/perawat/bidan yang
tercatatdalam laporan surveilans
puskesmas ponorogo utara.
1. Campak
2. Tidak campak
Wawancara dan
kuisioner
Nominal 1. Ya
2. Tidak
2 Umur saat imunisasi Umur balita saat pertama kali melakukan
imunasi campak
Imunisasi campak yang
tepat pada bayi diberikan
pada umur 9-11 bulan.
Wawancara dan
kuisioner
Ordinal 1. > 9bulan
2. < 9 bulan
3 Status Imunisasi Jumlah pemberian Imunisasi dasar lengkap
yang diberikan saat itu/ usia < 1 tahun.
Imunisasi dasar lengkap
(IDL) dari usia 0-11 bulan
Wawancara dan
kuisioner
Nominal 1 . Imunisasi tidak lengkap
2 . Imunisasi lengkap (IDL)
4 Riwayat Asi Eksklusif Pemberian Asi Eksklusif pada usia 0-6
bulan tanpa adanya makanan tambahan
apapun (susu formula, bubur dll).
1. Asi eksklusif 6 bulan
2. Tidak Asi Eksklusif
Wawancara dan
kuisioner
Nominal 1. Tidak Asi Eksklusif
2. Asi Eksklusif
5 Vitamin A Mendapatkan Kapsul Vitamin A yaitu
kapsul biru (dosis 100.000 IU) diberikan
untuk bayi berumur 6-11 bulan diberikan
pada bulan Februari/Agustus. Sedangkan
Kapsul merah ( dosis 200.000 UI) untuk
anak umur 12-59 bulan yang diberikan
pada bulan Februari dan Agustus oleh
petugas kesehatan.
1. Tidak mendapatkan
vitamin A/ tidak
mengkonsumsi Vitamin
2. Mendapatkan kapsul
Vitamin A lengkap
Wawancara
dan kuisioner
Ordinal 1 . Tidak diberikan
2 . Diberikan
6 Kontak Langsung Riwayat kontak merupakan kejadian
dimana penderita pernah
terpaparlangsung dengan penderita
campak sejak 10-14 hari sebelum
gejala timbul
1. Kontak lansung dengan
penderita
2. Tidak pernah
berhadapan dengan
penderita
Wawancara
dan kuisioner
Ordinal 1 = Ada kontak
2 = Tidak ada kontak
66
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuisioner. Kuisioner merupakan suatu daftar tertulis yang memuat pertanyaan-
pertanyaan peneliti mengenai suatu hal tertentu untuk mengumpulkan data-data
melalui proses wawancara. (Sugiyono, 2008). Jenis kuisioner dibedakan menjadi
3 yaitu:
1. Kuisioner terbuka yaitu merupakan daftar prtanyaan yang memberi
kesempatan kepada responden untuk menuliskan pendapat mengenal
pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.
2. Kuisioner tertutup yaitu merupakan daftar pertanyaan yang alternatif
jawabannya sudah disiapkan oleh peneliti.
3. Kuisioner campuran adalah perpaduan antara bentuk kuisioner terbuka dan
tertutup.
Sedangkan kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
tertutup, cara ini sangat efektif karena responden dapat lansung memberikan
tanda centang atau melingkari nomor yang telah disediakan oleh peneliti. Uji
kuesioner sebagai alat ukur kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur
penelitian. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut mampu
mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antara
skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skor totalkuesioner tersebut.
67
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.6.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara yang
meliputi 10 kelurahan yang terdiri dari Kelurahan Bangunsari, Banyudono,
Tamanarum, Keniten, Pinggirsari, Jingglong, Beduri, Nologaten,
Mangkujayan, Cokromenggalan, dalam penelitian ini kelurahan yang dipilih
peneliti adalah kelurahan yang merupakan penyebaran campak masih tinggi
dibandingkan kelurahan lainnya. Kelurahan tersebut adalah 4 dari 10
kelurahan yang ada di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo yaitu: Kelurahan
Mangkujayan, Kelurahan Cokromenggalan , Kelurahan Bangunsari dan
Kelurahan KenitenKecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo.
4.6.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan dimulai pada bulan Februari 2018
dilanjutkan dengan proses pengambilan data yang dilakukan pada bulan
Maret 2018, dan akan dimulai pada bulan April.
68
Tabel 4.5 Rencana kegiatan penelitian
No Kegiatan Bulan
Maret April Mei Juni Juli
1 a. Konsultasi judul skripsi
b. Pengambilan Data di
Puskesmas Ponorogo Utara
c. Penyusunan BAB 1
2 a. Mencari referensi (buku)
b. Menyusun Bab 2-4
c. Konsultasi Dosen Pembimbing
1 dan 2
d. Revisi
e. Menyusun Instrumen
Penelitian
f. Seminar Proposal
3 a. Konsultasi dosen pembimbing
b. Revisi
c. Pengambilan data penelitian
4 a. Menyusun BAB 5 & 6
b. Konsultasi dan Revisi
5 a. Sidang Skripsi/ seminar hasil
69
4.8 Prosedur Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer didapat dari jawaban atas kuesioner yang diberikan
kepada responden/ibu balita dan data skunder didapat dari laporan tahunan kasus
campak di Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo dan pencatatan
pelaporan kasus campak. Proses-proses dalam pengumpulan data pada penelitian
ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Meminta izin kepada Kaprodi Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun dan Pimpinan untuk menandatangani surat ijin
penelitian dan diserahkan kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Negara
Kabupaten Ponorogo untuk menyetujui surat ijin penelitian.
2. Mendapatkan ijin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten
Ponorogo dan Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo
3. Mendapatkan ijin dari Puskesmas Po Utara
4. Mendatangi rumah atau tempat tinggal respondenyang telah memenuhi
kriteria inklusi maupun eksklusi bersama kader.
5. Meminta kesediaan responden yang menjadi sampel dengan terlebih
dahulu menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.
6. Meminta kesukarelaan responden untuk menandatangani informed
consent.
7. Memberikan kuesioner kepada responden untuk diisi. Pada saat responden
kesulitan maka kuesioner dibacakan dan responden diminta menjawab
sesuai pilihan dalam kuesioner.
70
8. Mengumpulkan hasil kuisioner yang telah diisi responden, selanjutnya
dilakukan pengolahan data dan dianalisis.
4.9 Pengolahan dan Analisis Data
4.9.1 Pengolahan Data
1. Editing
Editing adalah peneliti melakukan pengecekan ulang pada
kuesionerapakah responden telah menjawab kuesioner dengan benar.
Padapenelitian ini peneliti melakukan pengecekan kebenaran dankelengkapan
jawaban responden.
2. Coding
Coding adalah pekerjaan memindahkan data dari daftar pertanyaan
kedaftar yang akan memberikan informasi data yang ada diubah
menjadibentuk angka untuk mempermudah perhitungan selanjutnya.
Codingpada penelitian ini peneliti memberikan kode atau tanda pada
setiapjawaban untuk mempermudah dalam mengolah dan menganalisis
dataserta berpedoman pada definisi operasional. Jawaban yang benar
diberinilai 1 (satu) dan yang salah diberi nilai 0 (nol).
3. Tabulasi
Tabulasimerupakan kegiatan menyusun data dalam tabel. Tabulasi
adalahkegiatan untuk meringkas data yang masuk atau data mentah ke
dalamtabel – tabel yang telah dipersiapkan (Notoatmodjo, 2003)
71
4. Entry Data
Entry data merupakan suatu proses memeasukkan data kedalam
komputer yang selanjutnya akan dilakukan analisis data dengan
menggunakan komputer.
5. Cleaning
Cleaning atau pembersihan data merupakan suatu kegiatan
yangdilakukan untuk mengecek kembali data yang sudah dimasukkan terdapat
kesalahan atau tidak.
4.9.2 Tehnik Analisis Data
Dalam Analisis Data, tehnik yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu menggunakan sistem komputer/SPSS dengan tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi
masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat. Teknik analisa data
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan statistik
sederhana yaitu persentasi atau proporsi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui hubungan dan
besarnya nilai odd ratio faktor risiko, dan digunakan untuk mencari hubungan
antaravariabel bebas dan variabel teikat dengan uji satatistik yang
disesuaikandengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan adalah
72
chisquare. Taraf signifikan yang digunakan adalah 95% dengan
nilaikemaknaan 5%.
Dalam penelitian ini, analisa bivariat digunakan untuk mengetahui
hubungan dua variabel yang terkait dengan penelitian, yang meliputi variabel
bebas (independen) umur saat imunisasi, imunisasi, asi eksklusif, vitamin A
dan riwayat kontak dan variabel tergantung (dependen) yaitu penyakit
campak. Jika hasil yang diperoleh p < 0,05 maka terdapat hubungan antara
variabel yang diuji, dan jika p > 0,05 berarti tidak terdapat hubungan antara
variabel yang diuji.
3. Analisis Multivariat
Analisis Multivariat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan variabel terikat, terdapat 3 analisis multivariat yang
sering digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, yaitu regresi
linier, regresi logistik dan regresi cox. Pemilihan tergantung pada kerangka
konsep, skala pengukuran variabel terikat, dan jumlah pengukuran variabel.
Analisis multivariat dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar
sumbangan secara bersama-sama terhadap seluruh faktor risiko kesehatan
lingkungan dengan kejadian campak atau untuk mengetahui variabel yang
paling berpengaruh terhadap campak dan untuk menentukan model
persamaan yang terbaik.Dalam penelitian ini Analisis multivariat yang
digunakan adalah regresi logistik, dimana dalam analisis ini digunakan jika
variabel terikat kategorik. (Sopiyudin, 2014)
73
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum
Puskesmas Ponorogo Utara merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten
Ponorogo yang terletak antara 111o 17’ - 111o15’ Bujur Timur dan 7o 49’- 8o 20’
Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 92 sampai dengan2.563 meter diatas
permukaan laut. Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil
pada kelembaban dibawah 40%. Udara yang menimbulkan efek yang positif pada
virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang memiliki alat penghangat
ruangan.
Kecamatan Ponorogomempunyai penduduk yang paling banyak sebesar
74.938 jiwa atau8,6% dari total penduduk Kabupaten Ponorogo. Puskesmas
Ponorogo Utara merupakan salah statu Puskesmas yang terletak di kecamatan
ponorogo dengan jumlah penduduk yang terpadat dibandingkan kecamatan
lainnya yaitu sebesar 38,838 jiwa.(Profil Kesehatan Ponorogo Tahun 2016)
Padatnya jumlah penduduk mengakibatkan penyebaran virus campak
mudah ditularkan dari orang ke orang lain. Virus campak sangat sensitif terhadap
tempratur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 derajad celcius.
Ketika virus menginfeksi populasi yang belum mendapatkan kekebalan atau
vaksinasi maka 90-100% akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala klinis.
Faktor lingkungan menjadi salah satu penyebab terjadinya campak pada
seseorang dimana pemukiman dengan kepatan penduduk, dekat kali
menyebabkan penyakit mudah berkembang biak. Selain itu pada balita yang
menderita campak disebakan oleh beberapa faktor yaitu: Pemberian asi eksklusif
74
pada usia 0-6 bulan masih menjadi perhatian karena 48,3% balita tidak
mengkonsumsi asi eksklusif, sehingga pada balita yang tidak asi eksklusif sangat
mudah terserang penyakit dan pemberian imunisasi dasar lengkap pada balita
belum lengkap yaitu sebesar 41,7% balita pada kelompok kasus tidak
mendapatkan imunisasi, karena memiliki alasan tertentu.
5.2 Karakteristik Responden
Hasil analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik
responden masing-masing variabel, baik bebas dan variabel terikat. Karakteristik
responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
5.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Orang Tua Responden di
Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan orang tua dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan orang tua balita
Pendidikan Orang tua Jumlah Persentase
Tidak tamat SD - -
SD - -
SMP 19 31.7
SMA Sedrajat 28 46.7
Perguruan Tinggi/D3/S1 13 21.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui karakteristik responden berdasarkan
tingkat pendidikan orang tua balita adalah SMA sebanyak 46,7, sedangkan
sebagiankecil tingkat pendidikan orang tua balita adalah Perguruan
Tinggi/D3/S1 yaitu 21,7%.
75
5.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua Responden di
Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan orang tua dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan orang tua balita
Pekerjaan Orang Tua Jumlah Persentase
PNS/TNI/POLRI 2 3.3
Wiraswasta 24 40.0
Tidak Bekerja 14 23.3
Ibu Rumah Tangga 19 31.7
Buruh 1 1.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui karakteristik responden berdasarkan
jenis pekerjaan orang tua antara lain, PNS/TNI/POLRI sebanyak 3,3%,
wiraswasta sebanyak 40,0%, tidak bekerja sebanyak 23,3%, ibu rumah
tangga sebanyak 31,7%, sedangkan sebagai buruh sebanyak 1,7%.
Sebagian besar orang tua balita mempunyai pekerjaan sebagai
wiraswasta yaitu sebanyak 40.0%, sedangkan sebagian kecil orang tua balita
mempunyai pekerjaan sebagai buruh sebanyak 1,7%.
5.2.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Balita di
Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin balita dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
76
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin balita
Jenis kelamin responden Jumlah Persentase
Laki-Laki 27 45.0
Perempuan 33 55.0
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui karakteristik responden berdasarkan
jenis kelamin responden balita dengan jenis kelamin perempuan sebanyak
55,0%, sedangkan sebagian kecil responden laki-laki sebanyaak 45,0%.
5.2.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Balita di Wilayah
kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan umur balita dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan umur balita
Umur responden Jumlah Persentase
0-24 Bulan 24 40.0
24-60 Bulan 36 60.0
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui karakteristik responden berdasarkan
umur balita berusia 24-60 bulan sebesar 60,0%,sedangkan sebagian kecil
balita berusia 0-24 bulan sebesar 40.0%.
5.2.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit Campak
Pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan penyakit campak pada balita dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
77
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan penyakit campak balita
Penyakit campak Jumlah Persentase
Ya 30 50.0
Tidak 30 50.0
Total 60 100.0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui karakteristik responden berdasarkan
penderita penyakit campak sebesar 50,0%, sedangkan sebesar 50,0% yang
tidak sakit campak.
5.2.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Asi Eksklusif di
Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat asi eksklusif pada balita dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat pemberian asi eksklusif
Asi eksklusif Jumlah Persentase
Tidak asi eksklusif 29 48.3
Asi eksklusif 31 51.7
Total 60 100.0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui karakteristik responden berdasarkan
riwayat pemberian asi eksklusif sebesar 51,7% balita dengan asi ekskusif,
sedangkan balita yang tidak asi eksklusif sebesar 48,3%.
5.2.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Saat Imunisasi
Campak di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi umur saat imunisasi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
78
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan umur saat imunisasi campak
Umur saat imunisasi Jumlah Persentase
> 9 Bulan 23 38.3
< 9 Bulan 37 61.7
Total 60 100.0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.7diketahui karakteristik responden berdasarkan
umur balita saat imunisasi campak <9 bulan sebanyak 61,7%,sedangkan
sebagian kecil balita yang melakukan imunisasi campak >9 bulan sebanyak
38,3%.
5.2.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian vitamin A di
Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan pemberian vitamin A dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.8 Distribusi frekuensi berdasarkan pemberian vitamin A
Pemberian vitamin A Jumlah Persentase
Tidak 17 28.3
Ya 43 71.7
Total 60 100.0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui karakteristik responden berdasarkan
pemberian vitamin A sebanyak 71,7%, sedangkan sebanyak 28,3% yang tidak
diberikan vitamin A.
5.2.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Kelengkapan
Imunisasi di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi berdasarkan imunisasi dasar lengkap pada balita
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
79
Tabel 5.9 Distribusi frekuensi berdasarkan imunisasi dasar lengkap
Imunisasi dasar lengkap Jumlah Persentase
Imunisasi tidak lengkap 25 41.7
Imunisasi lengkap 35 58.3
Total 60 100.0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui karakteristik responden berdasarkan
status pemberian imunisasi dasar lengkap sebanyak 58,3%, sedangkan
sebanyak 41,7% balita dengan status imunisasi tidak lengkap.
5.2.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Kontak Dengan
Penderita Campak di Wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Distribusi frekuensi kontak dengan penderita dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 5.10 Distribusi frekuensi berdasarkan kontak dengan penderita campak
Kontak dengan penderita Jumlah Persentase
Ada kontak 32 53.3
Tidak ada kontak 28 46.7
Total 60 100.0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui karakteristik responden berdasarkan
kontak dengan penderita campak dalam kategori “ada kontak” sebanyak
53,3%,sedangkan sebanyak 46,7% yang tidak ada kontak dengan penderita
campak.
80
5.3 Hasil Penelitian
Hasil penelitian dimaksudkan untuk mengetahui hubungan dan besarnya
nilai odd ratio faktor risiko, dan digunakan untuk mencari hubungan
antaravariabel bebas dan variabel teikat dengan uji satatistik yang
disesuaikandengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan Chi-Square
dan penentuan Odds Ratio (OR) dengan tarafkepercayaan (CI) 95 % dan tingkat
kemaknaan 0,05. Berikut adalah hasil analisis bivariat dibawah ini:
Tabel 5.12 Hubungan penyakit campak dengan umur saat imunisasi campak
Umur saat
imunisasi campak
Kasus Kontrol OR 95% CI P
n % n %
>9 Bulan 14 46,7 9 30,0 2,04 .707-5895 0,288
<9 Bulan 16 53,3 21 70,0
Jumlah 30 100,0 30 100,0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Prosentase balita yang melakakukan imunisasi campak >9 bulan pada
kelompok kasus sebanyak 46,7%, lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya
sebesar 30,0%.Balita yang melakukan imunisasi campak >9 bulan memiliki
resiko mengalami penyakit campak sebesar 2,04 kali dibandingkan dengan balita
yang melakukan imunisasi <9 bulan. Tidak ada hubungan antara umur saat
imunisasi campak dengan kejadian campak pada balita karena nilai p = 0,288>
0,05.
81
Tabel 5.13 Hubungan penyakit campak dengan status imunisasi dasar lengkap
Status imunisasi Kasus Kontrol OR 95% CI P
n % n %
Tidak lengkap 18 60,0 7 23,3 4,92 1.612 -15.071 0,009
Lengkap 12 40,0 23 76,7
Jumlah 30 100,0 30 100,0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Prosentase balita dengan status imunisasi tidak lengkap pada kelompok
kasus sebanyak 60,0%, lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya sebesar
23,3%. Balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki resiko mengalami
penyakit campak sebesar 4,92 kali dibandingkan dengan balita dengan status
imunisasi dasar lengkap. Ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian
campak pada balita karena nilai p = 0,009< 0,05.
Tabel 5.14 Hubungan penyakit campak dengan riwayat asi eksklusif
Riwayat asi
eksklusif
Kasus Kontrol OR 95% CI P
n % n %
Tidak 20 66,7 9 30,0 4,66 1.571-13.866 0,010
Ya 10 33,3 21 70,0
Jumlah 30 100,0 30 100,0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Prosentase balitadengan riwayat pemberian asi eksklusif dalam kategori
“Tidak” pada kelompok kasus sebanyak 66,7%, lebih besar dari kelompok
kontrol yang hanya sebesar 30,0%.Balita yang tidak asi eksklusif memiliki
resiko mengalami penyakit campak sebesar 4,66 kali dibandingkan dengan balita
yang asi eksklusif. Ada hubungan antara riwayat pemberian asi eksklusif dengan
kejadian campak pada balita karena nilai p = 0,010> 0,05.
82
Tabel 5.15 Hubungan penyakit campak dengan pemberian vitamin A
Vitamin A Kasus Kontrol OR 95% CI P
n % n %
Tidak diberikan 10 62,5 6 37,5 2,00 0,619-6,465 0,381
Diberikan 20 45,5 24 54,5
Jumlah 30 100,0 30 100,0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Prosentase balitayang tidak diberikan vitamin A pada kelompok kasus
sebanyak 62,5%, lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya sebesar
37,5%.Balita dengan status tidak diberikan vitamin A memiliki resiko
mengalami penyakit campak sebesar 2,00 kali dibandingkan dengan balita yang
diberikan vitamin A. Tidak ada hubungan antara statuspemberian vitamin A
dengan kejadian campak pada balita karena nilai p = 0,381> 0,05.
Tabel 5.16 Hubungan penyakit campak dengan kontak lansung dengan penderita
campak
Kontak lansung Kasus Kontrol OR 95% CI P
n % n %
Ada kontak 22 73,3 10 33,3 5,50 1.813-16.681 0,004
Tidak ada kontak 8 26,7 20 66,7
Jumlah 30 100,0 30 100,0
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
Prosentase balitadengan status ada kontak lansung dengan penderita
campak pada kelompok kasus sebanyak 73,3%, lebih besar dari kelompok
kontrol yang hanya sebesar 33,3%. Balita yang dengan status kontak lansung
dengan penderita campak memiliki resiko mengalami penyakit campak sebesar
5,50 kali dibandingkan dengan balita yang tidak ada kontak dengan penderita
83
campak. Ada hubungan antara kontak lansung dengan kejadian campak pada
balita karena nilai p = 0,004< 0,05. Padapenelitian ini banyak balita yang menjadi
penderita penyakit campak,sehingga banyak teman sebayanya pula yang
terserang campak.
Pada hasil analisis bivariat terdapat tiga variabel yang menjadi kandidat
untuk uji regresi logistik. Metode yang digunakan dalam regresi logistik ini
adalah Backward LR untuk mengetahui hubungan yang paling dominan terhadap
kejadian campak dimana variabel yang yang masuk dalam analisis multivariat ini
adalah variabel dengan nilai P< 0,25 diantaranya adalah: Riwayat asi eksklusif,
imunisasi dasar lengkap dan kontak dengan penderita campak dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel 5.17 Variabel yang berhubungan dengan kejadian campak pada balita
dengan menggunakan analisis regresi logistik
No Variabel Nilai
B
aOR 95% CI P Keterangan
1 Asi
Eksklusif 1.047 2.848 0.843- 9.625 .092
Signifikan
2 Imunisasi
Dasar
Lengkap
1.366 3.920 1.132-13.582 .031
Signifikan
3 Kontak
Lansung 1.440 4.220 1.244-14.315 .021
Signifikan
Konstanta
-1.830
Sumber : Hasil Olah Data Penelitian, 2018
84
Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa setelah dianalisis
menggunakan multivariat denganmetode Backward LRdidapatkan hasil bahwa
faktor risiko yang palingberpengaruh terhadap penyakit campak adalah:
1. Balita yang tidak mendapatkan asi eksklusif memiliki risiko 2.848 kali
lebih besar untuk mengalami penyakit campak dibanding dengan balita
yang mendapatkan asi eksklusif dimana nilai p value 0,092 maka Ho
ditolak sehingga ada hubungan signifikanterhadap kejadian campak pada
balita dengan nilai (95% CI=0.843- 9.625).
2. Balita dengan status imunisasi yang tidak lengkap memiliki risiko 3,920
kali lebih besar untuk mengalami penyakit campak dibanding dengan
balitadengan status imunisasi lengkap dimana nilai pvalue0,031 maka Ho
ditolak sehingga ada hubungan yang sangat signifikanterhadap kejadian
campak pada balitadengan nilai (95% CI=1.132-13.582).
3. Balita yang ada riwayat kontak dengan penderita campak memiliki risiko
4.220 kali lebih besar untuk mengalami penyakit campak dibanding
dengan balita yang tidak melakukan kontak dengan penderita campak
dimana nilai pvalue 0,021 maka Ho ditolak sehingga ada hubungan
signifikanterhadap kejadian campak pada balita dengan nilai (95%
CI=1.244-14.315).
85
5.4 Pembahasan
5.4.1. Faktor-Faktor yang Berhubungandengan Kejadian Campak pada
Balita
Berdasarkan analisis multivariat, variabel yang terbukti merupakan faktor
risiko terhadap kejadian campak pada balita adalah riwayat asi eksklusif, status
imunisasi, dan kontak lansung dengan penderita campak.
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit PD3I yang disebabkan
oleh Morbilivirus yang ditandai dengan gejala munculnya demam, bercak
kemerahan, batuk, pilek, mata merah (conjunctivitis) yang kemudian
menimbulkan ruam di seluruh tubuh dimana sering terjadi pada anak-anak.
Penularan dapat terjadi melalui udara yang telah terkontaminasii oleh sekret
orang yang telah terinfeksi. Campak merupakan penyakit menular yang sering
menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB).(Dinkes Jatim, 2016).
A. Status Imunisasi
Imunisasi adalah proses pembentukan imun tubuh manusia untuk
mencegah dan melindungi tubuh dari ancaman kerusakan, terutama oleh
penyakit infeksi. Imun diartikan sebagai kekebalan tubuh seseorang untuk
melawan serangan bibit penyakit tertentu. Imunitas berfungsi baik atau
menurun. Salah satu metode yang digunakan untuk menigkatkan kekebalan
tubuh seseorang yaitu dengan memberikan vaksin. (Rusli dan Primo, 2015).
Menurut Fatwa MUI (2016), menyatakan bahwa imunisasi pada
dasarnyadibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan
kekebalan tubuhdan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu, vaksin
86
untuk imunisasi wajibmenggunakan vaksin yang halal dan suci, penggunaan
vaksin imunisasi yangberbahan haram/ najis hukumnya haram, imunisasi
dengan vaksin yang haramtidak diperbolehkan (kecuali digunakan pada
kondisi darurat, belum tentuditemukan bahan vaksin yang halal dan suci dan
adanya keterangan tenaga medisyang kompeten dan dipercaya bahwa tidak
ada vaksin yang halal), jika seseorangyang tidak diimunisasi akan
menyebabkan kematian, penyakit berat ataukecacatan permanen yang
mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yangkompeten dan
dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib dan imunisasi tidakboleh
dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan
dipercayadapat menimbulkan dampak yang membahayakan.
Imunisasi dapat dilakukan jikadalam keadaan darurat seperti pencegahan
penyakit campak yang paling efektif,karena penyakit campak bisa
membahayakan jika terjadi komplikasi denganpenyakit lain seperti
pneumonia.Kegagalan vaksin primer biasanyadisebabkan adanya sisa-sisa
antibodi maternal pada saat imunisasi dilakukan,kerusakan vaksin (Setiawan,
2008).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh hadinegoro
(2011) yang menyatakan bahwaimunisasi campak merupakan cara
untukmeningkatkan kekebalan seseorang terhadap penyakit campak.
Imunisasi campakjuga merupakan bentuk pencegahan terhadap penyakit
campak yang efektif,praktis, dan relatif murah jika dibandingkan dengan
biaya pengobatan penyakit.Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit
87
campak, sehingga perludilakukan imunisasi untuk mencegah penyakit
campak (Seto, 2012).
MenurutAchmadi (2006), tujuan imunisasi campak untuk mengurangi
jumlah penderitacampak supaya angka kejadian dan kematian diturunkan
secara bertahap setiaptahunnya.Status imunisasi campak pada balita untuk
kelompok kasus sebanyak 43balita terdapat 17 balita (39,5%) sudah melakukan
imunisasi campak, sedangkanpada kelompok kontrol dari 43 balita terdapat 32
balita (74,4%). Sehingga darikelompok kasus yang sudah melakukan imunisasi
lebih sedikit dibandingkan yangtidak melakukan imunisasi.
Pada hasil uji Chi Squere menunjukkan bahwabalita dengan status
imunisasi tidak lengkap di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo memiliki resiko mengalami
penyakit campak sebesar 4,92 kali dibandingkan dengan balita dengan status
imunisasi dasar lengkap. Ada hubungan antara status imunisasi dengan
kejadian campak pada balita karena nilai p = 0,009< 0,05. Sedangkan pada uji
regresi logistik adanya hubungan yang signifikan antarastatus imunisasi dasar
lengkap dengan kejadian campak pada balita (nilai p= 0,031<0,05). Nilai OR=
3,920(95% CI=1.132-13.582). sehingga dapat diartikan balita dengan status
imunisasi tidak lengkap memiliki risiko 3,920 kali lebih tinggiberisiko terkena
campak dibandingkan dengan balita dengan imunisasi dasar lengkap.
Faktor imunisasi menjadi salah satu penyebab terjadinya campak pada
balita, karena ibu balita kebanyakan mengeluh jika saat pemberian imunisasi
tidak sesuai jadwal pemberian dikarenakan pada waktu imunisasi anaknya
88
sakit sehingga pemberian imunisasi harus ditunda. Dalam penelitian ini
proporsi status imunisasi balita dalam kategori tidak lengkap sebanyak 60,0%,
sedangkan sebanyak 23,3% yang tidak mengalami campak, balita yang tidak
mengalami campak pada kelompok kontrol disebabkan karena ibu balita
memberikan asi eksklusif. Dalam penelitian ini campak yang dialami oleh
balita disebabkan karena pemberian imunisasi tidak diberikan secara lengkap,
hal inilah yang menjadi salah satu faktor penularan campak karena kurangnya
kekebalan tambahan.
B. Riwayat Asi Eksklusif
ASI merupakan makanan bayi usia 0-6 bulan yang mengandung antibodi
terhadap berbagai jenis virus, dan telah terbuk bahwa ASI menghambat
pertumbuhan virus. Kolostrum mampu menetralisasi Respiratory Syncytial
Virus (RSV). ASI memberikan perlindungan pada bayi melalui bebrapa
mekanisme, antara lain memperbaiki mikroorganisme nonpatogen,
mengurangi mikroorganisme patogen saluran cerna, merangkang
perkembangan barier mukosa saluran cerna dan napas, faktor spesifik (IgA
sekretori, sel kekebalan) dan sebagai perangsang kekebalan. Infeksi yang
terjadi setelah persalinan melalui orang yang merawatnya (misalnya orangtua,
saudara, pengunjung, petugas kesehatan) atau lingkungan (alat kedokteran,
muntahan). Paparan pada bayi umumnya terjadi sebelum penyakit pada ibu
terdiagnosis (misalnya campak) atau sebelum ibu tampak sakit (cacar air,
hepatitis). Oleh karena itu, menghentikan ASI tidak akan mencegah infeksi
89
pada bayi, bahkan akan mengurangi efek ASI untuk membatasi penyakit pada
bayi (IDAI, 2016).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Proverawati dan
Rahmayanti(2012), menyatakan bahwa ASI diberikan pada bayi usia hingga 6
bulan selain untuk bahan makananbayi namun juga berfungsi untuk
melindungi penyakit infeksi terutama campak.Sebanyak 44,1% kelompok
kasus tidak diberi ASI dan ASI, sehingga dapat menyebabkan kejadian
campak. Pada penelitian ini pemberian ASI eksklusif merupakan faktor risiko
kejadian campak. Sebagian balita pada kelompok kasus ibu balita yang tidak
memberikan anaknyaasi eksklusif dari usia 0-6 bulan memiliki alasan bahwa
pekerjaan menjadi salah satu kendala dalam menyusui.
Hasil yang diperoleh menggunakan uji Chi Squere yaitu, prosentase
balitatidak diberikan asi eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo
Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo pada kelompok kasus
sebanyak 66,7%, lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya sebesar
30,0%.Balita yang tidak asi eksklusif memiliki resiko mengalami penyakit
campak sebesar 4,66 kali dibandingkan dengan balita yang asi eksklusif.
Tidak ada hubungan antara riwayat pemberian asi eksklusif dengan kejadian
campak pada balita karena nilai p = 0,010> 0,05. Sedangkan hasil uji regresi
logistik, balita yang tidak mendapatkan asi eksklusif memiliki risiko 2.848
kali lebih besar untuk mengalami penyakit campak dibanding dengan balita
yang mendapatkan asi eksklusif dimana nilai p value 0,092 maka Ho ditolak
90
sehingga ada hubungan signifikanterhadap kejadian campak pada balita
dengan nilai (95% CI=.843- 9.625).
Faktor pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu penyebab terjadinya
campak pada balita, Proporsi balita yang tidak ASI eksklusif dan tidak
menderita campak sebanyak 30,33%, dan sebanyak 66,7% yang mengalami
campak. Pekerjaan orang tua menjadi salah satu alasan ibu balita untuk tidak
memberikan ASI pada anakanya. Dalam penelitian ini proporsi pekerjaan
orang tua berdasarkan status pekerjaan wiraswasta sebanyak 40,0%. Dalam
penelitian ini campak yang didertita balita di sebabkan karena kurangnya
konsumsi asi eksklusif sehingga menyebabkan lemahnya imunitas pada anak
dan mudah terserang penyakit. Balita yang tidak asi eksklusif dan tidak
mengalami campak disebabkan karena mendapatkan imunisasi dan
mengkonsumsi vitamin A.
C.Riwayat Kontak Lansung
Riwayat kontak lansung merupakan kejadian dimana penderita pernah
terpaparlangsung dengan penderita campak lain (Setiawan, 2010). Penderita
bisa tertularmelalui udara dengan penyebaran droplet dari orang-orang yang
terinfeksi dankontak langsung (Chin, 2006). Penularan campak sangat cepat
apalagi seseorangyang tidak memiliki kekebalan (Irianto, 2014).
Menurut penelitian yang diakukan oleh Mujiati (2015) menyatakan
bahwa balita yang terkena campak lebihbanyak pada balita yang ada riwayat
kontak (79,1%). Sebagian besar balitaterkena campak disebabkan karena
tertular teman bermainnya di sekolah. Hal inidisebabkan karena kebanyakan
91
orang tua balita belum mengetahui gejala awaldari penyakit campak sehingga
masih banyak anak bersekolah diawal gejalacampak seperti suhu badan
meningkat, batuk, pilek dikira sakit demam biasa.Sebagian juga ada yang
tertular teman tetangganya bahkan penderita campak yangtinggal serumah
namun hanya sedikit dibandingkan di sekolah. Hal inimenunjukkan bahwa
saat berada di sekolah atau di rumah anak mereka tanpasengaja kontak
dengan penderita campak.
Hasil penelitian Mujiati (2015) menunjukkan adanya hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian campak. Kepadatan hunian merupakan
persemaian subur bagi virus. Virus campak sangat mudah menular,
lingkunganmerupakan salah satu faktor penularan penyakit campak. Kondisi
rumah yangditempati oleh banyak penghuni atau dengan kepadatan tinggi
akan lebih mudahmemudahkan terjadinya penularan virus campak. Penderita
campak dapat tertularoleh penderita yang tinggal serumah. Apalagi yang
rumahnya berpenghuni padat,anaknya bisa tertular campak dengan cepat.Ibu
balita pada kelompok kasus sebagian besar memiliki pekerjaan
sebagaiswasta. Ibu balita yang bekerja sebagai swasta kurang memperhatikan
aktivitasanaknya ketika di rumah, sehingga tidak mengetahui apakah anaknya
bermainatau bergaul dengan temannya yang menderita campak. Mayoritas
ibu balita yangtidak bekerja juga cukup banyak (37,2%). Hal tersebut bisa
terjadi karena ibubalita yang tidak bekerja memiliki informasi yang kurang
tentang penularancampak.
92
Menurut penelitian Hizka (2015) pekerjaan ibu kebanyakan bekerja
sebagai ibu rumah tangga/tidak bekerja sehingga kemungkinan ibu memiliki
ruang lingkup yang terbatas karena hanya pada lingkungan rumah saja. Hal
inimenyebabkan ibu memiliki informasi yang didapatkan kurang dan
dapatmeningkatkan risiko terjadinya campak pada bayi dan balita.Balita pada
kelompok kasus yang ada riwayat kontak disebabkan karenapernah
bermain/bergaul dengan penderita campak lain. Ibu balita
kurangmemperhatikan anaknya bermain/bergaul dengan penderita campak
lain.
Penderita kebanyakan tertular oleh teman sekolah/teman tetangganya
bahkan adayang kontak dengan penderita campak yang tinggal serumahnya.
Hal inimenunjukkan bahwa saat berada di sekolah atau di rumah anak mereka
tanpasengaja kontak dengan penderita campak. Sedangkan pada kelompok
kasus yangtidak ada riwayat kontak bisa disebabkan karena tidak
mendapatkan imunisasimaupun ASI eksklusif.
Hasil uji Chi Squere menunjukkan prosentase balitadengan status ada
kontak lansung dengan penderita campak di Wilayah Kerja Puskesmas
Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo dalam penelitian
ini dengan menggunakan uji Chi Squere yaitu pada kelompok kasus sebanyak
73,3%, lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya sebesar 33,3%. Balita
yang dengan status kontak lansung dengan penderita campak memiliki resiko
mengalami penyakit campak sebesar 5,50 kali dibandingkan dengan balita
yang tidak ada kontak dengan penderita campak. Ada hubungan antara kontak
93
lansung dengan kejadian campak pada balita karena nilai p =
0,004<0,05.Sedangkan padahasil uji regresi logistikdidapatkan balita yang
ada riwayat kontak dengan penderita campak memiliki risiko 4.220 kali lebih
besar untuk mengalami penyakit campak dibanding dengan balita yang tidak
melakukan kontak dengan penderita campak dimana nilai p value 0,021
maka Ho ditolak sehingga ada hubungan signifikanterhadap kejadian campak
pada balita dengan nilai (95% CI=1.244-14.315).
Berdasarkan Hasil wawancara, rata-rataibu baita mengatakan bahwa
anak mereka tertular dari temannya atau orang tua mereka sendiri.Hal ini
menunjukkan bahwa saat bermain atau di rumah mereka tanpasengaja
menghirup udara yang telah terkontaminasi virus campak serta kontakdengan
anak yang telah terinfeksi penyakit campak. Proporsi balita yang mengalami
kontak lansung dan menderita campak sebanyak 73,3%, dan 33,3%
diantaranya tidak mengalami campak, hal ini disebabkan karena balita
mengkonsumsi asi eksklusif serta memiliki kekebalan tambahan yaitu
vaksinasi lengkap. Dalam penelitian ini penularan campak melalui udara
menimbulkan reaksi yang menimbulkan gejala klinis campak.
5.4.2 Faktor-Faktor yang Tidak Berhubungan Dengan Kejadian Campak
Pada Balita
Faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian campak pada
balita umur saat imunisasi campak dan pemberian vitamin A
A. Umur Saat Imunisasi Campak
94
Pemberian imunisasi campak pada bayi ≤6 bulan sering gagal dalam
membentuk kekebalan tubuh, hal ini dikarenakan bayi masih memiliki
antibodi maternal yang didapatkan dari ibunya yang diperoleh sejak dalam
kandungan. Adanya antibodi maternal pada tubuh bayi mengakibatkan vaksin
tidak mampu menimbulkan respon imun pada tubuh bayi sebagai akibat
vaksin bereaksi terlebih dahulu dengan antibodi maternal. Imunisasi campak
di sarankan pada usia yang sudah ditetapkan menurut pelaksana program
imunisasi di Indonesia (Setiawan, dkk., 2008). Pemberian imunisasi campak
pada bayi sesuai dengan jadwal imunisasi yaitu berusia 9 bulan akan
meberikan perlindungan >85%.
Menurut Timmreck(2003), seseorang yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi akanberorientasi pada tindakan preventif. Ibu balita
yang telah berpendidikan tinggisebaiknya telah memahami pentingnya
imunisasi campak pada balitanya.Balita yang sudah diimunisasi campak masih
ada yang terkena campak halini disebabkan karena vaksin efikasi campak
pada balita yang mendapatkanvaksin usia 9 bulan sebesar 85%.
Menurut penelitian khotimah (2008) dengan judul hubungan antara
usia dengan kejadian campak balita yang menyebutkan bahwa tidak terdapat
adanya hubungan antara usia dengan kejadian campak pada balita.
Pemberian imunisasi diberikan karena orang tua rutin membawa anaknya
melakukan imunisasi sesuai usia balita.
Dari persamaan hasil penelitian ini, pada balita yang melakukan
imunisasi >9 bulan maupun <9 bulan bukan menjadi faktor risiko karena
95
ketersediaan pelayanan kesehatan yang dekat dengan pustu dan jadwal
imunisasi rutin dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh tenaga
kesehatan, selain itu jarak rumah menuju ke pelayanan kesehatan sangat mudah
diakses bagi orang tua balita.
Hasil penelitian ini menyatakan berdasarkan analisis bivariat proporsi
balita yang melakukan vaksinasi campak >9 bulan sebanyak 23 orang
(76,7%), sebanyak 14 orang (46,7%) yang mengalami campak, dan sebanyak
9 orang (30,0%) yang tidak campak. Tidak ada hubungan umur pemberian
imunisasi campak dengan kejadian campak pada balita karena nilai p = 0,288>
0,05. Faktor tersebut bukan merupakan faktor risiko kejadian campak pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo
Kabupaten Ponorogo.
Proporsi balita yang melakukan imunisasi <9 bulan sebanyak 37 orang
(61,7%), sebanyak 14 orang (46,7%) yang mengalami campak, dan sebanyak
9 orang (15,5%) yang tidak campak. Faktor tersebut bukan merupakan faktor
risiko kejadian campak pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo
Utara Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo.
B. Vitamin A
Vitamin A adalah zat gizi penting yang larut dalam lemak,
disimpandalam hati, dan tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus
dipenuhi dariluar tubuh. Pemberian suplemen kapsul Vitamin A pada anak 6
bulan sampai dengan 4 tahun bertujuan untuk menanggulangi kekurangan
Vitamin A (KVA)yaitu suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A berkurang
96
di dalam tubuh akanberdampak pada kelainan mata dan menjadi penyabab
utama kebutaan pada anak(Kemenkes RI, 2014). Defisiensi adalah penyebab
utama kematian dan kesakitandi negara berkembang, berbagai penelitian
membuktikan bahwa vitamin Amempunyai efek terhadap peningkatan fungsi
imunitas dan humoral.
Vitamin Adapat juga sebagai ajuan dengan jalan merusak lisosom yang
dapat merangsangpembelahan sel pada Vitamin A saat antigen berada dalam
sel. Ajuan adalahsuatu zat yang dapat merespon imun terhadap imunogen
(Munasir, 2000). Anakyang menderita kekurangan Vitamin A mudah sekali
terserang penyakit infeksipernapasan akut, cacar air diare, dan campak.
Penyakit campak mengurangikonsentrasi serum Vitamin A juga pada anak
dengan gizi baik. Virus campak jugamerusak jaringan epitel seluruh tubuh.
Penelitian di Indonesia menunjukkanbahwa penyakit campak merupakan faktor
risiko yang menyebabkan defisiensiVitamin A (Budi, 2012).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh ardiyanto
(2016) menyatakan bahwa pemberian vitamin A pada anak diberikan secara
rutin pada bulan februari dan bulan agustus oleh petugas kesehatan setempat
sehingga tidak ada hubungan antara Vitamin A dengan penyakit campak,
sehingga vitamin A bukan menjadi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
penyakit campak.
Hasil uji Chi Squere menunjukkan prosentase balita yang tidak
diberikan vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan
Ponorogo, Kabupaten Ponorogo pada kelompok kasus sebanyak 30,0%, lebih
97
besar dari kelompok kontrol yang hanya sebesar 70,0%. Balita dengan status
tidak diberikan vitamin A memiliki resiko mengalami penyakit campak sebesar
0,278 kali dibandingkan dengan balita yang diberikan vitamin A. Tidak ada
hubungan antara status pemberian vitamin A dengan kejadian campak pada
balita karena nilai p = 0,210> 0,05.
Dalam penelitian ini adalah, pemberian vitamin A diberikan secara
rutin menurut jadwal yang ditentukan. Orang tua balita dalam memberikan
vitamin A memiliki keyakinan bahwa pemberikan kapsul vitamin A dapat
melindungi kesehatan mata dan mencegah terjadinya buta senja pada anak.
Proporsi balita yang mengkonsumsi kapsul vitamin A sebanyak 47
orang (78,7%), sebanyak 9 orang (30,0%) yang mengalami campak, dan
sebanyak 4 orang (13,3%) yang tidak campak. Faktor tersebut bukan
merupakan faktor risiko kejadian campak pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo.
98
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Balita yang menderita campak sebanyak 50,0%.
2. Karakteristik balita yang menderita campakpada kelompok kasus sebanyak
30 (50,0 %), sedangkan yang tidak campak pada kelompok
kontrolsebanyak 30 (50,0%).
3. Tidak ada hubungan antara umur saat imunisasi campak dengan kejadian
penyakit campak pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogokarena nilai p >0,05 yaitu 0,288
dengan nilai OR 2,04 .
4. Ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian penyakit campak
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan
Ponorogo Kabupaten Ponorogokarena nilai p <0,05 yaitu p =0,009 dengan
nilai OR 4,92.
5. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian penyakit
campak di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo
Kabupaten Ponorogokarena nilai p <0,05 yaitup = 0,010 dengan nilai OR
4,66.
6. Tidak ada hubungan antara pemberian Vitamin A dengan kejadian penyakit
campak di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo
Kabupaten Ponorogokarena nilai p >0,05 yaitup = 0,210 dengan nilai OR
99
2,00
7. Ada hubungan antara kontak dengan penderita dengan kejadian penyakit
campak di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo
Kabupaten Ponorogokarena nilai p <0,05 yaitu0,001 dengan nilai OR 5,50.
Faktor risiko yang paling dominan dengan kejadian penyakit campak
adalahkontak dengan penderita karena nilai p<0,05 yaitu 0,004).
6.2 Saran
Berdasarkan pembahasan diatas maka saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Institus Pelayanan Kesehatan Kabupaten Ponorogo untuk
meningkatkan respon kewaspadaan pada kelurahan/desa risiko tinggi
kasus campak dengan meningkatkan cakupan imunisasi campak di seluruh
kelurahan yang ada di kabupaten ponorogo serta melakukan penyuluhan
mengenai pentingnya imunisasi campak.
2. Bagi masyarakat yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara
a. Bagi ibu balita yang bekerja, pemberian asi eksklusif bisa dilakukan
dengan cara memompa asi kemudian menyimpan susu di dalam
lemari pendingin.
b. Melakukan pengobatan segera mungkin jika balitanyamengalami
gejala-gejala khas penyakit campak dan diharapkan untuk melakukan
isolasi sementara terhadap anak untuk tidak masuksekolah dalam
keadaan sakit walaupun itu hanya demam biasa. Haltersebut
dikarenakan demam bisa merupakan gejala campak.
100
c. Mengurangi kontak dengan penderita campak sangat baik untuk
mencegah penularan. Segera rujuk anggota keluarga, tetangga yang
diketahui memiliki gejala campak ke pelayanan kesehatan terdekat
3. Bagi Peneliti selanjutnya Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara
mendalam tentang variabel-variabel lain yang kemungkinan berkaitan
dengan gambaran epidemiologi kasus campak.
101
DAFTAR PUSTAKA
Andareto, Obi. 2015. Penyakit Menular di Sekitar Anda Begitu Mudah Menular
dan Berbahaya, Kenali, Hindari dan Jauhi. Jangan Sampai Tertular. Jakarta:
Pustaka Ilmu Semesta
Andriani, Linda. (2017)Hubungan Karakteristik Balita, Umur Saat Imunisasi
Campak, Riwayat Asi Eksklusif Terhadap Campak Klinis. [Jurnal Kesehatan].
Surabaya:Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga Surabaya.
Arfiyanti, Aniek. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Cakupan
Imunisasi Campak Di Kabupaten Tegal. Semarang: Universitas Negeri
Semarang. Tersedia dalam httplib.unnes.ac.id212214238.pdf [diakses 27 Feb
2018]
Budi. 2011. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Campak Pada
Peristiwa Kejadian Luar Biasa Campak Anak (0-59 Bulan) di Kota
Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011, Banjarmasin: Tesis
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Tersedia dalam
http://schrolar.unand.ac.id pdf [diakses 09 April 2018]
Dahlan, Sopiyudin. 2014. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Deskriptif,
Bivariat, dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi Menggunakan SPSS. Jatinagor:
Alqaprint
Departemen Kesehatan. 2015. Kuesioner Pemantauan Status Gizi. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo. 2016. Profil Kesehatan Tahun 2016.
Ponorogo : DKK Ponorogo.
Fajar, Tri Waluyanti. 2009. Analisis Faktor Kepatuhan Imunisasi Di Kota Depok.
Jakarta: Universitas indonesia. Tersedia dalam httpsrusmanefendi.files.-
analisis-faktor-kepatuhan-imunisasi.pdf [diakses 27 Feb 2018]
Hadinegoro, SR. 2011. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Irianto, Koes. 2014. Bakteriologi, Mikologi dan Virologi Panduan Medis &
Klinis. Bandung: Alfabeta
Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidan Menular Panduan
Klinis. Bandung: Alfabeta
Jauhari, ahmad. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Gizi Karbohidrat Protein Lemak
Vitamin. Yogyakarta: Penerbit jaya ilmu
102
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Tahun 2016. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Khotimah, H. 2008. Hubungan Status Gizi Dan Imunisasi Dengan Kejadian
Campak Pada Balita. Jurnal Obstretika Scientia. ISSN 2337-6120: 23-32.
Lironika, Arinda. 2014. Hubungan Sinergistik Gizi Dan Vitamin A Terhadap
Infeksi Campak. Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya. Tersedia dalam
httpswww.academia.edu11913718Hubungan_Sinergistik_Gizi_Dan_Vitamin
_A_Terhadap_Infeksi_Campak [diakses 27 Feb 2018]
Maria Ulfah, Bethy S. Hernowo, Farid Husin, Kusnandi Rusmil, Meita
Dhamayanti, Johanes C. Mose . (2015). Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Penyakit Campak pada Balita di Kecamatan Bekasi Timur
Kota Bekasi, Padjajaran: Journal Universitas Padjajaran
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Puskesmas Ponorogo Utara. 2017. Profil Kesehatan UPTD Puskesmas Ponorogo
Utara Kabupaten Ponorogo
Puskesmas Ponorogo Utara. 2016. Rencana Usulan Kegiatan Progam Gizi
(RUK)UPTD Puskesmas Ponorogo Utara Kabupaten Ponorogo
Rusli, Sukiman. dan Primo. 2015. Imunisasi Sunnatullah Aplikasi Ilmu
Kedokteran Pencegahan Untuk Meraih Sehat Wal Afiat. Jakarta Selatan:
AMP Press Imprint Al-Mawardi Prima
Saryono, dan Anggraeni. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Setyaningrum. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Campak
Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali.
[Skripsi Ilmiah]. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Stevana, Bong. 2013. Pengaruh Reaksi Imunisasi Campak Terhadap Sikap Dan
Perilaku Ibu Dalam Pelaksanaan Imunisasi Campak Di Kota Semarang.
Semarang: Universitas Diponegoro. Tersedia dalam
httpeprints.undip.ac.id437413Bong_Stevana_DE_G2A009108_BAB_II_KTI
_(3).pdf [diakses 27 Feb 2018]
Ummal, Banin, (2010). Pengetahuan dan Sikap Ibu Yang Melahirkan Tentang
Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi di Rumah Sakit Ibu dan Anak Badrul
Aini Medan Tahun 2010, Medan: Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
USU. Tersedia dalamhttps://www.researchgate.net/publication/50276755 pdf
[diakses 26 Maret 2018]
103
World Health Organization. 2016. Health Topics. Measles. Diakses pada 24
Agustus 2016. http://www.who.int/topics/measles/en/
Yanti TB. 2015. Hubungan Pemberian Vitamin A dan Umur Saat Pemberian
Imunisasi Campak dengan Kejadian Campak Pada Bayi dan Balita di
Kabupaten Bantul Tahun 2013-2014. [Skripsi Ilmiah]. Yogyakarta:
STIKES Aisyiyah Yogyakarta.