Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh...
Transcript of Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh...
Peraktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah(S.sy)
Oleh :
Abduloh107044202013
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAMPROGRAM STUDI HUKUM KELUWARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A1432 H / 2011 M
ii
Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat(Perspektik Hukum Islam Dan Hukum Positif)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:Abduloh
NIM: 107044202013
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Umar Al Hadad, MANIP: 196809041994011001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUWARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H /2011 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa
Barat, (Perspektik Hukum Islam dan Hukum Positif) telah di ujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
Tanggal 24 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Al
Syakhsiyyah.
Jakarta, 13 September 2011Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MANIP: 19500306 197603 1001 : (.................................)
Sekertaris : Hj.Rosdiana, MANIP. 1969 06102003122001 : (.................................)
Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad.MANIP.196809041994011001 : (.................................)
Penguji I : Dr, JM. Muslimin. MANIP. 150295489 : (…………………….)
Penguji II : Dr. H. M. Nurul Irfan. M.AgNIP. 1973080220031 : (.................................)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 24 Juni 2011
Abduloh
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada
henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat seiring salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i
walmursalīn Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan kita sebagai
umatnya yang terus istiqomah mengikuti ajaran dan sunahnya hingga yaumil akhir.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang
didapat dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada
semua pihak Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Sekretaris Program Studi
Ahwal Syakhsiyyah.
3. Dr. H. Umar Al Haddad, MA yang telah membimbing, memberikan arahan
dan meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Lurah dan Para Staf di Kelurahan Tapos, Bapak Kepala KUA
Cimanggis dan Ketua Pengadilan Depok yang telah meluangkan waktu disela-
sela kesibukannya untuk berwawancara dan memberikan informasi kepada
penulis.
7. Kedua orang tua tercinta H. Saepudin dan Hj. Maemunah yang sejak kecil
mendidiku hingga sekarang bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak akan terbalas
segala apa yang di berikan oleh bapa dan umi hanya doa yang bisa penulis
panjatkan semoga Allah pangjangkan umur beliau dan keberkahan selalu
menaunginya.
8. Kepada kakak ku Abdulrahman dan adik ku Muhammad Zaenudin. Terima
kasih telah memberikan semangat dan dukungan, tak lupa kepada belahan
jiwa ku Aulia Selviana yang selalu mensuport penulis.
vii
(Penulis)
9. Teman-teman kosan Arif (babeh), Maulana Yusuf (rony), Sofyan (ojan) dan
Saefullah (degel). Canda dan guyonan kalian tak bisa terlupakan.
10. Sahabat perjuangan, teman-teman Konsertasi Administrasi Keperdataan Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2007.
11. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, atas jasa bantuan semua pihak baik berupa moril dan
materiil, sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan
balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti
mengalir hingga hari akhir penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penuis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa
memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok ada dan apa
yang kita lakukan diridhai oleh Allah swt, amin.
Jakarta: 20 Rajab 1432 H
24 Juni 2011 M
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN.................................................................................. iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iv
DAFTAR ISI............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8
D. Review Studi Terdahulu….............................................................. 9
E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan ................................. 10
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 11
BAB II CERAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF
A. Pengertian Perceraian...................................................................... 13
B. Talak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif........................... 16
C. Macam-macam Thalak Menurut Hukum Islam .............................. 23
D. Akibat Hukum Thalak..................................................................... 26
E. Cerai Ilegal, Pengertian dan Batasannya......................................... 28
BAB III POTRET DESA TAPOS
A. Sejarah Singkat Berdirinya Kota Depok. ........................................ 29
B. Jumlah Warga Tapos Depok ........................................................... 34
C. Profesi Warga Tapos Depok ........................................................... 35
D. Pendapatan dan Tingkat Pendidikan Warga Tapos Depok............. 36
ix
BAB IV ANALISIS TERHADAP KASUS PRAKTEK PERCERAIAN
MASYARAKAT TAPOS, DEPOK
A. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian Ilegal ..................................... 38
B. Pemahaman Masyarakat Tentang Cerai Ilegal................................ 41
C. Peran Ulama Dalam Menyikapi Terjadinya Perceraian Ilegal Pada
Masyarakat Tapos Depok................................................................ 43
D. Analisis Penulis............................................................................... 46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 50
B. Saran-saran...................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ....................................... 58
2. Surat Permohonan Data/Wawancara............................................ 59
3. Surat Keterangan Dari Kelurahan Tapos ..................................... 60
4. Surat Keterangan Dari KUA ........................................................ 61
5. Surat Keterangan Dari Pengadilan Agama Depok....................... 62
6. Data Dari Pengadilan Agama Depok…………………………… 62
7. Data Dari Kelurahan Tapos.......................................................... 64
8. Hasil Wawancara Dengan Para Pihak.......................................... 65
9. Hasil Wawancara Dengan Ketua Kantor Urusan Agama ............ 66
10. Hasil Wawancara Dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan
Agama Depok............................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan menurut Hukum Islam merupakan suatu ikatan yang paling suci
dan paling kokoh antara suami dan istri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan
tersebut untuk jangka waktu yang tak terbatas (kecuali nikah mut’ah dalam syi’ah)
kelanggengannya.1 Tujuan perkawinan menurut undang-undang perkawinan No.1
Tahun 1974 adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal 1 undang-undang
ini menegaskan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Adapun aspek utama yang diperhatikan dalam membangun rumah tangga
ialah aspek fisik, etika, dan cinta.3 Allah swt menanamkan rasa cinta kepada lawan
jenis dalam diri setiap manusia. Kaum wanita tertarik kepada kaum lelaki begitu pula
sebaliknya. Sesungguhnya manusia itu (laki-laki dan perempuan) saling
membutuhkan, untuk saling mendapatkan ketenangan dan kasih sayang. Fiqihpun
telah menggariskan bahwa nikah berfungsi sebagai kehalalan untuk jiwa. Perkawinan
merupakan jalan alami dan sah untuk mengeluarkan dan memuaskan naluri seksual,
1 Djama’ah Nur, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Dina Utama Semarang, 1993), Cet Ke-3. h.1302 UU. Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1. (Bandung : Fokus Media, 2005), Cet. Pertama
h.23 Muhdor Ahmad Assegaf, Perceraian Salah Siapa, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2001),
cet.1, h.113
2
namun bukanlah menjadi tujuan utama sebuah pernikahan. Kemudian efek dari
perkawinan menjadikan badan menjadi sehat, jiwa terasa tenang. Maka terpelihara
dari pandangan haram dan ketenangan jiwa menikmati sesuatu yang halal.4 Selain itu
keduanya saling membutuhkan untuk saling mencurahkan perasaan dan pikiran serta
bersama-sama merasakan pahit dan manisnya kehidupan dalam suka maupun duka,
sehingga dapat menyelesaikan segala kesulitan dan penderitaan yang dihadapi. Modal
pertama untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling parcaya
antara anggotanya.5 Begitu pula dalam rumah tangga saling parcaya antara pasangan
suami isteri itu sangat penting agar tidak saling curiga mencurigai.
Penyatuan sepasang suami istri bukanlah hanya sekedar hasil rekayasa hidup
manusia, tetapi telah menjadi kodrat alam semesta sejak pertama kali diciptakan.
Islam memandang hubugan suami istri sangatlah penting, karena dalam
kehidupan bersuami istri (keluarga) itulah awal masa interaksi seseorang sebelum ia
(suami istri) mengenal masyarakat luas, keharmonisan suami istri merupakan faktor
penentu bagi keharmonisan masyarakat. Apabila kehidupan suami istri baik maka
baik pula masyarakat. Sebaliknya apabila kehidupan suami istri rusak, maka
masyarakat pun menjadi rusak.
Melihat arti pentingnya hubungan suami istri serta pengaruhnya dalam
pembangunan masyarakat seutuhnya, maka Islam telah memberikan perhatian yang
4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid , (Kairo: Daar al-Fath, tth ), cet ke-1 jilid 2 h.95 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Prilaku, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), h.5
3
sangat besar. Islam mengatur sistem kehidupan yang menjamin terciptanya
kebahagian. 6
Dari penjelasan yang cukup singkat diatas, tidaklah berarti bahwa suatu ikatan
perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah suatu hal atau keadaan
yang dapat dijamin keabadian atau kekekalannya. Karena suatu ikatan perkawinan itu
di ikat oleh suatu akad, dan suatu akad adalah temporer sifatnya. Pemahaman ini
dapat diambil dari suatu “mafhum mukholafah” dan definisi akad:
Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua
macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian keadaannya timbul
ketentuan atau kepastian pada dua sisinya”.7
Definisi di atas memberikan pemahaman yang cukup sederhana bahwa suatu
perkawinan sebagai suatu bentuk perikatan yang dapat terputus apabila terdapat dua
macam kehendak yang tidak dapat lagi disatukan, dengan kata lain peluang
perceraian selalu ada dalam sebuah ikatan perkawinan. Namun demikian peluang
perceraian yang diberikan dalam Islam bukanlah sebuah peluang yang dapat
digunakan kapan dan dimana saja. Prosesnya pun tidak semudah seperti akan
melangsungkan suatu ikatan perkawinan. Sebuah perceraian adalah suatu yang
dimurkai oleh Allah.8 Talaq menurut istilah ialah memutuskan tali perkawinan yang
sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus atau dengan apa yang dapat
6 Muhammad Utsman, Problematika Suami Istri, (Jakarta: Amar Press, 1998), Cet Ke-2 h.47 Ahmad Kuzada, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1981), cet ke-2
h.298 Ahmad Kuzada, Nikah Sebagai Perikatan, h.40
4
mengganti kata-kata tersebut.9 Selain itu perceraian merupakan alternative terakhir
(pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah
tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.10 Jika melihat sejarah
dalam undang-undang Ibrani lama, seorang suami dapat menceraikan isterinya
dengan alasan apapun, ketika itu aturannya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali
yang mencegah penggunaan hak suami itu, sehingga suami cenderung
berbuat semena-mena. Wanita tidak di perkenankan meminta cerai dari suaminya
dengan alasan apapun juga.11
Kitab-kitab Fiqih telah menjelaskan tentang bagaimana proses sebuah
perceraian itu selayaknya terjadi baik syarat, rukun serta keadaan-keadaan seseorang
dalam menjatuhkan talak atau melakukan suatu perceraian.
Meskipun tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia (sakinah) yang kekal, tapi perjalanan dan fakta sejarah
menunjukan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapainya, mengingat kenyataan menunjukan bahwa teramat banyak pasangan suami
isteri yang perkawinannya “terpaksa” harus berakhir di tengah jalan.12
Di Indonesia perceraian telah diatur oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Persoalan ini cukup diatur dalam satu bab yaitu dalam bab VII
9 S. Ziyad Abbas, Fiqh Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimai, 1991), h.4310 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet ke-2
h. 7311 H. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), cet.1, h.4512 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) Cet. Ke-1, h.101
5
tentang putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya dalam pasal 38-41 dan PP. no.9
tahun 1975 sebagaiman yag telah dicantumkan dalam pasal 18 yang isinya sama
dengan KHI pada pasal 118-122 tentang macam-macam talak dan dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) hal ini diatur dalam bab XVI tentang putusnya perkawinan
(pasal 113-148) dan bab XVII tentang akibat putusnya perkawianan (pasal 149-162)
Di dalam Islam terdapat berbagai jenis perceraian diantaranya dengan cara
talak, khulu, dan fasakh yang semua itu memberikan sinyal bahwasanya Islam dalam
hal perceraian tidak memihak pada satu pihak (laki-laki) dan mendiskriminasikan
pihak lain (prempuan). Karena sesunguhnya, meskipun talak hanya jatuh oleh
perkataan atau isyarat seorang suami, tetapi seorang istri pun berhak menentukan
nasibnya sendiri dalam suatu ikatan perkawinan. Apabila ia ingin “melepaskan” diri
dari suaminya, ia dapat menempuh dengan cara khulu, tetapi sudah barang tentu
harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas, tepat dan harus memenuhi syarat-
syarat yang telah diatur oleh ketentuan fiqh maupun undang-undang hak talak yang
hanya di tangan suami kekuasaannya itu. Tidak boleh dipergunakan sekehendak
hatinya karena hal tersebut sangat di cela oleh agama.
Di zaman modern ini kekuasaan lelaki benar-benar disoroti khususnya dalam
hal perceraian.akan tetapi sebenarnya,kebahagiaan dan kerukunan dalam rumah
tangga itu hanya bisa di capai dengan adanya kesesuaian dan tumbuhnya sikap saling
memahami di antara suami istri. Keadaan akan berbeda apabila rumah tangga yang
akan di bentuk atas azas kesucian dan saling memahami maka biasanya akan
menimbulkan konflik yang pada akhirnya berakibat pada suatu perceraian. Namun,
6
persoalannya adalah, apakah perceraian yang resmi sebagai hukum yang dapat
memberikan perlindungan hak masing-masing dari suatu perceraian, kebanyakan
kasus di lapangan masyarakat yang bercerai secara illegal, berbanding terbalik ketika
ingin menikah kedua pasangan ingin nikahnya dicatatkan pada kantor urusan agama
(KUA) namun manakala keluarganya karam ditengah jalan dan memutuskan untuk
bercerai seakan tidak mau kedua pasangan ini membawa kemeja pengadilan
melainkan melakukan perceraian dihadapan kiyai atau tokoh masyarakat mereka
menganggap kalau cerai melalui kiyai atau tokoh masyarakat lebih cepat dan efisien
di karenakan proses yang sulit dan biaya yang tidak memadai. Oleh karena itu banyak
suami istri bercerai secara ilegal (cerai bodong) karena menginginkan proses yang
singkat dan murah. Seperti halnya kasus yang terjadi Aceh, Sumatera Barat dan
Sulawesi, talak liar sering terjadi banyak istri datang ke PA dengan secarik kertas saja
menyatakan bahwa suaminya telah menceraikannya. Terjadi dualisme hukum di
Indonesia yang tak kunjung terselesaikan hukum positif disatu pihak dan hukum
agam di pihak lain, dalam doktrin fikih dapat dianggap telah jatuh talaknya.
Sementara menurut Undang-undang, talak tersebut belum terjadi karena ikrar itu tak
dilakukan di depan pengadilan.13 Bukankah Hukum yang baik adalah norma
antisipatif, responsive, mampu beradaptasi dan mengakomodasi perubahan yang
terjadi.14 Tidak bisa disangkal bahwa hukum sebagai norma adalah realitas ideal.15
13 Arskal Salim dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM dan AsiaFoundation, 2009), hal.59-60
14 Noryamin Aini,” Budaya Hukum: Melintas Batas Formalisme-Yuridis (SentralitasKompilasi Hukum Islam dan Kitab Kuning dalam Putusan Pengadilan Agama)”, Era Hukum JurnalIlmiah Hukum, No.3/Th.9/Mei (2002).
15 Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung : Nusa Media, 2010), Cet. Ke-3, h.47
7
Dari permasalahan di atas, peneliti merasa sangat perlu untuk mencoba
membahas dan memecahkan beberapa permasalahan yang muncul. Untuk itu penulis
melakukan penelitian dengan tema “Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos
Depok Jawa Barat (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dan agar penelitian ini lebih akurat dan
terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta meluas maka penulis
membatasi pembahasan ini pada masalah cerai. Untuk objek penelitiannya,
penulis membatasi objek penelitian di Desa Tapos Kec. Tapos Depok.
Merujuk kepada undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 39 tentang proses
perceraian bahwa perceraian yang sah harus dilakukan di muka pengadilan. Jadi
apabila suatu perceraian dilakukan di luar pengadilan disebut perceraian ilegal
2. Rumusan Masalah
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 39 tentang proses
perceraian bahwa perceraian yang sah harus dilakukan di muka pengadilan,
namun kenyataannya di lapangan masih banyak terjadi praktek cerai pada
masyarakat Tapos Depok Jawa Barat.
8
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perceraian
illegal tersebut terjadi maka dalam penelitian ini penulis membuat rumusan
sebagai berikut:
a. Bagaimana praktek Perceraian di Tapos Depok?
b. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perceraian di bawah tangan di
masyarakat Tapos dan bagaimana dampaknya?
c. Bagaimana penyelesaian kasus perceraian ilegal oleh hakim Pengadilan
Agama, Pegawai pencatat Nikah dan Ulama setempat terhadap cerai di bawah
tangan?
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Melihat dari pembatasan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui praktek cerai yang dilakukan oleh masyarakat Tapos
merujuk pada ketentuan hukum fikih dan hukum positif (KHI/UU No.1 tahun
1974 dan akibat hukumnya.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
perceraian yang illegal.
c. Untuk mengetahui cara menanggulangi tingkat perceraian illegal.
9
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan
intelektualitas bagi mahasiswa atau masyarakat yang membaca hasil
penelitian ini, khususnya penulis sendiri.
b. Sebagai pengembangan wawasan mengenai masalah perceraian, terutama
yang berkaitan dengan perceraian illegal yang ada di Tapos Depok.
c. Menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat yang ingin
mendalami hukum cerai di Indonesia, Khususnya Fakultas Syariah dan
Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam studi review yang penulis lakukan terhadap tulisan sebelumnya, ada
beberapa skripsi yang penulis angkat antara lain yang di tulis oleh. Dede Rohyadi
(NIM: 102044125037) di dalam skripsinya yang berjudul Perceraian di Luar Prosedur
PA di Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya dan akibat hukumnya, ada beberapa poin
yang disoroti antara lain hak isteri dan anak pasca perceraian tanpa melalui
pengadilan agama terabaikan karena tidak ada kekuatan hukum.
Sedangkan pada skripsi yang akan diangkat oleh penulis lebih menyoroti
kepada sejauh mana tingkat kesadaran masyarakat tentang peraturan perundang-
undngan yang berlaku mengenai perceraian yang harus dilakukan di Pengadilan
Agama.
10
E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini tentu membutuhkan data, baik data khusus maupun data
penunjang, data tersebut diperoleh melalui metode penelitian sebagai berikut:
Dan hal ini tidak terlepas dari tehnik pengumpilan data, yaitu:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ilmiah jelas harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu
adalah dengan menggunakan metode.16 Dalam menggunakan pendekatan kasus,
yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan
hukum yang digunakan dalam menganalisis permasalahan.17 Pada penelitian ini
dilakukan melalui pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi motivasi, tindakan
dan lain-lain. dan dengan cara deskriptif dalam membentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.18 Dalam hal ini apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
maupun lisan dan juga prilakunya yang nyata, yang dipelajari adalah objek
penelitian yang utuh.19
2. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari
berbagai sumber anataralain sebagai berikut:
16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : BayumediaPublishing, 2007) Cet. Ke-3, h.294
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal.11918 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2005) Cet. Ke 21, h.619 Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1984), hal 32
11
a. Melalui studi kepustakaan atau library research, yaitu metode pengumpulan
data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara dan
pengamatan (observasi).20 Dalam aplikasinya penulis mencari informasi data
dari literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan skripsi. Seperti:
buku-buku, kitab-kitab fiqh klasik dan Undang-undang yang berlaku.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan data-data yang ada relevansinya dengan skripsi ini
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, antara lain:
a. Observasi
b. Wawancara
c. Studi pustaka
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penulisab skripsi ini adalah menggunakan
"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya kedalam
lima bab yang secara garis besar sebagai berikut:
20 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet.Ke 2, h.50
12
Bab Pertama Tentang : Pendahuluan. Dalam bab ini akan dijelaskan alasan
pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penelitian dan pengumpulan data
serta sistematika penulisan.
Bab Kedua Tentang : Analisa teoritis tentang cerai. Dalam bab ini akan
menjelaskan tentang pengertian talak/cerai dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif (KHI dan UU
No. 1 tahun 1974), dasar hukum, macam-macam talak dan
akibat hukum.
Bab Ketiga Tentang : Pemahaman masyarakat tentang talak menurut hukum
positif (KHI dan UU No.1 tahun 1974). Dalam bab ini akan
membahas tentang manusia sebagai objek hukum,
pemahaman warga: jumlah penduduk, profesi, pendapatan,
dan tingkat pendidikan.
Bab Keempat Tentang : Dalam bab ini dijelaskan tentang faktor-faktor terjadinya
perceraian illegal pada masyarakat Tapos, tanggapan dari
petugas pencatat pernikahan, pengadilan agama Depok dan
ulama setempat disertai analisis penulis.
Bab Kelima Tentang : Penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran.
13
BAB II
CERAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Perceraian
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-
undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya ikatan
pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama hidup sebagai
suami isteri. Untuk maksud dari perceraian itu, fiqh menggunakan istilah furqah. 21
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau
putus.22 Cerai yang dalam bahasa Arab disebut dengan talak adalah isim masdar dari
kata –– yang semakna dengan kata dan , yaitu melepaskan
atau meninggalkan. Dalam istilah Agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan
atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam Indonesia
talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan
perkawinan.23
Adapun beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, di
antaranya:
21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) Cet.Ke-1 h.189
22 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1998), Cet. ke-1, h. 163
23 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bandung: Al-Ma’arif), 1990, Cet. ke-7, h.9
14
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fikih al-sunnah mengartikan talak
dengan:
٢٤
Artinya: “Talak adalah lepasnya ikatan perkawinan dan Berakhirnya hubunganperkawinan antara suami istri”.
Sedangkan Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, al-Fiqih ala al-Mazahib
al-Arba’ah mendefinisikan talak dengan “
٢٥
Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan)pelepasan dengan kata-kata tertentu,”
Definisi thalak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitab kifayat al-Akhyar
yang menjelaskan thalak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan
thalak adalah lafadz jahiliyah yang setelah Islam datang meneteapkan lafadz itu
sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang thalak itu berdasarkan al-
Kitab, al-Hadits, Ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.26
Mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan
sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan di
masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara langsung” adalah tanpa terkait
dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut
24 Abdurrahman bin Ismail kinani, Zawaidu ibnu ‘ala’ Kutub al-khamsah, (Beirut Daar Kutubal-Ilmiah, 1993), h.288
25 Abdurrahman al-Jazir, al-Fiqh ala’ al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-fiqh, 1972), Juz IV, h.27826 Imam Tqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar, (Surabaya: Darul Ihya), juz
II, h.84
15
dinyatakan suami. Adapun yang dimaksud dengan “di masa yang akan datang”
adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal.
Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafal atau itu. Dengan definisi ini, baik hukum talak ba’in maupun raj’i langsung
berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami dan resiko talak tersebut
berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami dan segala resiko talak
tersebut berlaku untuk kedua belah pihak. Di pihak lain Mazhab Maliki
mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan suami isteri.27 Sedangkan menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan
itu.28
Dari beberapa definisi talak di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada beberapa
mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefinisikan arti talak.
Sebagian ulama ada yang menekankan pada akibat hukum dari adanya talak, yaitu
hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban suami istri. Sedangkan ulama yang lainnya berorientasi pada tindakan
seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan
lafadz tertentu. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang
diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jajiri adalah berkurangnya hak talak bagi suami
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
27 Ensiklopedia Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru VanHoeve, 1997), Cet, Ke-4, h.53
28 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), cet, ke-13, h.42
16
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang
terjadi dalam talak raj’i.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam
putusan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pengertian perceraian secara khusus,
hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
Senada dengan Kompilasi Hukum Islam bahwa putusnya perkawinan dapat pula
terjadi karena talak.
B. Thalak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Talak Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya pernikahan dalam Islam mengandung dasar kelanggengan,
namun pada perakteknya dalam menjalankan kehidupan rumah tangga terkadang
terjadi ketidakcocokan di antara masing-masing kedua belah pihak. Kondisi
tersebut bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan dampak yang negatif dan
sulit untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk
mengatasi dampak yang buruk itu, Islam memberikan solusi yang paling terakhir
digunakan, yaitu dengan cara melalui “thalaq” adapun dasar hukum talak
dinyatakan dalam beberapa surah di antaranya sebagai berikut:
a. Q.S. al-Baqarah ayat 131:
17
)/١٣١: ٢(Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atauceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlahkamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengandemikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian,Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, daningatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allahkepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allahmemberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nyaitu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanyaAllah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Baqarah/2: 131).
b. Q.S. Thalaq ayat 1:
)/١: ٦٥(
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Makahendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat(menghadapi) iddahnya (yang wajar). dan hitunglah waktu iddah ituserta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamukeluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
18
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yangterang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telahberbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahuibarangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yangbaru.(Thalaq/65: 1)
Hal ini diperjelas oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah :
: : : ، ،) .(٢٩
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw,:ada tiga perkara yang disungguhkan jadi dan dipermainkanpun jadi,yaitu : nikah, thalaq dan ruju’. (diriwayatkan dia 4, kecuali nasaidan disahihkan oleh hakim).
Menurut H.A.S Al-Hamdani, ia menyatakan bahwa menurut asalnya
perceraian atau talak itu hukumnya makruh berdasarkan sabda Rasullah SAW:
: .) .(٣٠
Artinya: “Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalahtalak (perceraian)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan al-Hakim, dari Ibn’Umar).
Selain itu ada hadits Nabi yang menyatakan kebolehan (Ibahah) dalam
hal talak seperti:
29 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002),Cet. I, h. 230
30 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram, ...... h.245
19
:
)(٣١
Kemudian dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan aspek
kemadharatan dari sebuah perceraian, maka hukumnya bisa menjadi: (1)
wajib; (2) sunnah; (3) haram; (4) makruh dengan penjelasan-penjelasan
sebagai berikut:
Perceraian dapat menjadi wajib hukumnya dalam dua keadaan.
a. Adanya perselisihan antara suami istri (syiqaq) yang tidak mungkin lagi
dapat didamaikan, sementara dua orang hakim yang mengurus perkara
mereka ini, menempuh jalur perceraian.
b. Bilamana seorang suami mengadakan sumpah ‘ila untuk tidak menggauli
istrinya untuk selama-lamanya ataupun selama empat bulan berturut-turut,
maka hukum talaq baginya wajib. Sebab, bagaimana mungkin
kebahagiaan perkawinan dapat terwujud jikalau setelah akad perkawinan,
sang suami bersumpah untuk tidak mau memberikan nafkah batin kepada
istrinya.32
Perceraian dapat menjadi sunnah hukumnya juga dalam dua keadaan.
a. Apabila suami sudah tidak sanggup lagi membayar atau pun memenuhi
kewajibannya selaku suami terhadap isterinya secara cukup dalam
31 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, (Beirut : Daar al-Fikr t.th.) juzIV, h.71
32 Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syirazi, al-Muhadzdzab fiFikih al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al- Fikr, [t.th]), jilid II, h.78
20
penghidupan atau selainnya. Lalu pihak isteri pun telah menuntutnya agar
memenuhi kewajibannya tersebut.
b. Jika pihak istri mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah,
seperti sengaja meninggalkan shalat tanpa halangan syara’, sedangkan
suami sudah tidak mampu lagi memaksakanya agar menjalankan
kewajibannya itu. Maka dalam hal ini, adalah disunnahkan untuk
mengambil jalan perceraian. Disamping itu, seorang istri yang tidak bisa
lagi menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya juga sunnah hukumnya
untuk diceraikan.33
Adapun hukum talak yang diharamkan adalah talak bid’ah, yaitu ada
dua macam: pertama, seorang suami mentalak isteri yang sudah digauli ketika
si isteri tersebut sedang dalam keadaan haidh; ataupun yang kedua,
menjatuhkan talak saat isteri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri
akan tetapi belum diketahui apakah ia dalam keadaan hamil atau tidak. Alasan
pengharaman kedua macam talak ini ialah bilamana menjatuhkan talak kepada
isteri yang sedang haidh, maka akan berakibat lebih memberikan pihak isteri
dengan lamanya masa ‘iddah yang harus ia jalani. Sementara bila
mentalaknya dalam keadaan suci, maka tidak menutup kemungkinan saat itu
ia sedang dalam keadaan hamil dan adalah dosa besar bagi suami yang
33 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), Cet.-37,h.402
21
mentalak isterinya sementara mengandung anaknya. Itulah sebabnya mengapa
kedua macam talak ini diharamkan.34
Adapun hukum talak yang makruh ialah bilamana tidak terdapat di
dalamnya indikasi-indikasi yang mensunnahkannya dan tidak ada pula
indikasi-indikasi yang mengharamkannya. Inilah hukum asal yang sebenarnya
dari talak, sebagaimana sabda Nabi SAW: “perbuatan halal yang paling
dibenci oleh Allah SWT adalah talak.”
Talak merupakan seburuk-buruknya perbuatan yang dibenci Allah,
lantaran talak tersebut menyebabkan terputusnya keturunan yang merupakan
maksud tujuan paling mulia dari adanya ikatan perkawinan dan lantaran talak
itu mengandung maksud menghinakan dan merendahkan martabat para isteri,
keluarganya dan anak-anaknya. 35
2. Talak Menurut Hukum Positif
Menurut Kompilasi Hukum Islam, cerai (talak) adalah ikrar suami
dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130,131 sesuai
dengan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam.36
34 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2004), Cet.-37,h.402
35 Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, I’anat al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr,1993), juz IV,h.7
36 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-5,h.28
22
Sedangkan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
cerai talak adalah seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
sidang isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan
sidang guna penyaksian ikrar talak. Menurut hukum positif, bahwa dalam setiap
perceraian yang terjadi harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi
warga negara non Muslim, sesuai dengan Undang-undang Hukum Perdata pasal
2007,”tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus diajukan kepada Pengadilan
Negeri.”
Didalam PP No.9 tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain di
luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
23
e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
C. Macam-macam Talak Menurut Hukum Islam
Ditinjau dari sebab ada tidaknya praktek Rasullah SAW dan para sahabatnya
mengenai penjatuhan talak, maka talak dapat dikategorikan menjadi dua macam
yaitu: talak sunni dan talak bid’i.
Talak sunni ialah yang dijatuhkan suami kepada istri pada saat istri dalam
keadaan suci dan selama suci ini ia belum dicampuri.37 Atau definisi lain
mengungkapkan bahwa talak yang disunnahkan atau diajarkan Rasullah SAW. Maka
termasuk jenis talak ini adalah talak yang dijatuhkan kepada istri yang suci dan
37 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), (Bandung: Al-Bayan, 1995),Cet.-2, h.93
24
selama masa suci itu belum dicampuri, ataupun talak yang dijatuhkan kepada istri
yang tidak sedang dalam keadaan hamil.38
Sementara talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang
sedang dalam keadaan haidh, ataupun dalam keadaan suci akan tetapi sudah ia
campuri.39
Bila ditinjau dari dapat tidaknya seseorang kembali lagi kepada bekas istri
yang diceraikannya, maka talak dapat di kategorikan menjadi dua macam, yaitu: (1)
talaq raj’i; (2) talaq ba’in sugra dan kubra. Pembagian ini berdasarkan bunyi dua buah
firman Allah SWT dibawah ini:40
)/٢٣٠-٢٢٩: ٢(
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengancara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagikamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepadamereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankanhukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
38 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.-3, h.17039 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.-3, h.17040 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), (Bandung: Al-Bayan, 1995),
Cet.-2, h.93-95
25
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa ataskeduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebusdirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talakyang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Diakawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itumenceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertamadan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapatmenjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS.Al-Baqarah/2: 229-230)
Talak raj’i ialah talak satu dan dua tanpa adanya penebusan talak (‘iwad) dari
istri untuk suami, yang masih, yang masih memberikan kesempatan kepada bekas
suami untuk kembali lagi (rujuk) kepada bekas istrinya itu selam masa ‘iddahnya
tanpa disertai dengan akad yang baru.41
Adapun talak ba’in sugra ialah talak satu dan dua, baik dijatuhkan sekaligus
maupun berturut-turut dengan disertai ‘iwad dari istri untuk suami dan suami masih
berhak kembali lagi dengan bekas istrinya itu hanya saja dengan akad yang baru.
Talak ba’in sugra ini ada tiga macam yaitu: (1) talak yang terjadi sebelum dukhul; (2)
talak dengan tebusan (khulu); (3) talak yang dijatuhkan oleh pengadilan (hakim).42
Sementara talak ba’in adalah talak tiga, baik dijatuhkan sekaligus maupun
berturut-turut, yang menyebabkan seorang suami tidak dapat kembali lagi kepada
bekas istrinya kecuali ia sudah menikah dengan suami yang baru kemudian keduanya
bercerai setelah bercampur dan masa ‘iddahnya pun telah berakhir pula. Barulah
41 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), h.6042 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), h.69
26
dengan persyaratan tersebut si suami boleh menikah lagi dengan bekas istri yang
diceraikan dengan talak tiga.43
D. Akibat Hukum Thalak
Ketika sebuah ikatan perkawinan telah berakhir maka ada konsekwensi logis
yang diterima bagi pihak suami dan pihak isteri yang menjadi hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak. Hal ini tersebut dan tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam hal putusnya perkawinan dengan proses cerai talak, akibat hukum yang
terjadi diatur dalam pasal 149 KHI yaitu:
1. Memberikan Mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas isteri, baik berupa uang
atau benda kecuali bekas isteri tersebut qabla dukhul.
2. Memberikan nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada
bekas isteri selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh bila qabla al-
dukhul.
4. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum
mencapai 21 tahun.
Selain itu KHI juga mengatur tentang akibat hukum karena perceraian (cerai
gugat) dalam pasal 156 yaitu:
43 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), h.70
27
1. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;
b. Ayah;
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
f. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat yang lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.44
44 Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama 1996, h.74-75
28
E. Cerai Ilegal, Pengertian dan Batasannya
Untuk mempertajam permasalahan dalam menganalisis tentang cerai ilegal
maka uraian penulis terlebih dahulu membahas tentang pengertian cerai bawah
tangan (ilegal).
Dalam Islam terdapat beberapa macam cara lepasnya ikatan suami isteri hal
ini dipertegas dengan pendapat ulama klasik antara lain disebabkan oleh thalaq,
khulu, fasakh, nusyuz, li’an, ila’ dan zihar kesemuanya dapat dianggap sah apbila
telah memenuhi sarat-saratnya.
Sedangkan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tantang perkawinan
pasal 39 yang isinya (1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3) Tatacara
perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Dari kedua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian illegal
ialah perceraian yang dilakukan secara liar tidak dilakukan di depan pengadilan.
Sebagai warga negara yang baik tentunya harus mentaati peraturan pemerintah.
Memang terjadi dualisme hukum tentang sah dan tidaknya perceraian di mata
agama dan di mata hukum formal. Secara agama perceraian sah apabila telah
memenuhi unsur-unsurnya sedangkan menurut hukum formal perceraian dianggap
sah apabila dilakukan di muka persidangan.
29
BAB III
POTRET DESA TAPOS
A. Sejarah Singkat Berdirinya Kota Depok
Depok bermula dari sebuah kecamatan yang berada dalam lingkungan
kewedanaan (pembantu bupati) wilayah Parung kabupaten Bogor, kemudian pada
tahun 1967 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun
pengembangan yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas
Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa, yang semakin pesat,
sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.
Pada tahun 1981 pemerintah membentuk kota administratif Depok
berkembang dengan pesat baik di bidang pemerintah, pembangunan dan
kemasyarakatan, khususnya bidang pemerintah semua desa berubah menjadi
kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri
dari 3 (tiga) kecamtan dan 23 (dua puluh tiga) kelurahan. Dengan semakin pesatnya
perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar kota
administratif Depok ditingkatkan menjadi kota madya dengan harapan pelayanan
menjadi maksimum. Disisi lain pemerintah kabupaten bogor bersama – sama
pemerintah propinsi jawa barat memperhatikan perkembangan tersebut dan
mengusulkannya kepada pemerintah pusat dan dewan perwakilan rakyat.
Berdasarkan undang- undang nomr 15 tahun 1999, tentang pembentukan kota
madya daerah tingkat dua Depok, yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan
30
diresmikan pada tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan pelantikan pejabat
walikota madya kepala daerah tingkat dua Depok yang dipercayakan kepada
Drs.H.Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai walikota administratif
Depok.
Berdasarkan undang – undang nomor 15 tahun 1999 wilayah kota Depok
meliputi kota administratif kota Depok, terdiri dari 3 (tiga)kecamatan sebagaimana
tersebut diatas ditambah dengan sebagian wilayah kabupaten daerah tingkat II bogor
yaitu :
1. Kecamatan cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu) kelurahan dan 12(dua belas)desa
yaitu kelurahan Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tubu, Desa Mekar
Sari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Harja Mukti, Desa Sukatani, Desa
Sukamaju Baru, Desa Jati Jajar, Desa Tapos, Desa Cimpaeun, Desa
Luwinanggung.
2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas) Desa yaitu : Desa
Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua,
Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa
Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan, Desa Bedahan, Desa Pasir
Putih.
3. Kecamatan Limo, yaitu terdiri dari 8 (delapan) desa yaitu : Desa Limo, Desa
Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati
Baru, Desa Krukut, Desa Grogol.
31
4. Dan ditambah 5 (lima) desa dari kecamatan bojong gede yaitu : Desa Cipayung,
Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya.
Kota Depok selain merupakan pusat pemerintah yang berbatasan langsung
dengan wilayah daerah khusus Ibu Kota Jakarta, juga merupakan wilayah penyangga
ibu kota negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota pendidikan, pusat
pelayanan perdagangan dan jasa kota pariwisata sekaligus sebagai kota resapan air.
Para walikota Depok :
• Drs. Moch. Rukasah Suradimadja (1982-1984)
• Drs.H.M.I. Tamdjid (1984-1988)
• Drs. H.Abdul Wachyan (1988-1991)
• Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996)
• Drs. H. Badrul Kamal (1997-2005)
• Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail,Msc (2005-2010)
• Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail,Msc (2010-2015)
Terbentuknya Kota Administratif Depok
Waktu terus bergulir seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tahun 1976,
pemukiman warga mulai dibangun dan berkembang terus hingga akhirnya pada tahun
1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif (Kotif) Depok. Pembentukan Kotif
Depok itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, yang saat itu dijabat oleh H Amir
Mahmud.
32
Bersamaan dengan perubahan status tersebut, berlaku pula Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 43 tahun 1981, tentang pembentukan Kotif
Depok yang meliputi tiga kecamatan. Yakni, kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan
Beji, dan Kecamatan sukmajaya. Ketiga Kecamatan itu memiliki luas wilayah 6.794
hektare dan terdiri atas 23 Kelurahan.
Lantaran tingginya tingkat kepadatan penduduk yang secara administratif
talah mencapai 49 orang per hektare dan secara fungsional mencapai 107 orang per
hektare, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,75 persen per tahun, dan
pemikiran regional, nasional dan internasional akhirnya konsep pengembangan Kotif
Depok mulai dirancang menuju kerangka Kota Depok.
Untuk memenuhi tuntutan tesebut, maka diperlukan beragam upaya
perwujudan organisasi yang memiliki otonom sendiri, yaitu Kota Madya Depok atau
Kota Depok
Terbentuknya Kota Depok
Pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang kian
mendesak, tuntutan menjadi kota madya menjadi semakin maksimum. Di sisi lain
Pemda Kabupaten Bogor bersama pemda Propinsi Jawa Barat memperhatikan
perkembangan tersebut, dan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam surat
keputusan DPRD Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994 Nomor 135/SK, DPRD/03/1994
tentang persetujuan pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok dan
33
keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep, Dewan. 061
DPRD/1997 tentang persetujuan pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok
maka pembentukan Kota Depok maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah
administratif baru ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1999, tentang
pembentukan Kota Madya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999.
Kota Depok itu sendiri diresmikan 27 April 1999 berbarengan dengan
pelantikan Pejabat Wali Kota Madya Kepala Daerah Tk. II Depok, Drs. H. Badrul
Kamal, yang pada waktu itu menjabat sebagai Wali Kota Administratif Depok.
Momentum peresmian kotamadya ini dapat dijadikan landasan bersejarah dan tepat
dijadikan hari jadi Kota Depok. Wilayah Kota Depok diperluas ke Kabupaten Bogor
lainnya, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan
sebagian Kecamatan Bojong Gede yang terdiri dari Desa Bojong, Pondok Terong,
Ratu Jaya, Cipayung, dan Cipayung Jaya. Hingga kini wilayah Depok terdiri dari
enam kecamatan terbagi menjadi 63 kelurahan, 772 RW, 3.850 RT serta 218.095
Rumah Tangga.
Depok menjadi salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah
sekitar 207.006 km2 yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi.
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan
masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri, kabupaten
Bogor. Sebelah selatan berbatasan dengan dengan kecamatan Cibinong dan
34
Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.
Sekelumit sejarah singkat Kota Depok menjadi sebuah gambaran singkat
untuk mengenal Kota Depok secara menyeluruh data di peroleh dari pegawai
kelurahan Tapos.
B. Jumlah Warga Tapos Depok
Jumlah penduduk Desa Tapos berdasarkan laporan tahun 2010, sesuai sesus
yang dilakukan oleh pegawai kelurahan melalui seksi kepemerintahan. Jumlah
penduduk di Kelurahan/Desa Tapos sampai akhir bulan Desember 2010 tercatat
12.477 jiwa yang terdiri dari:
a. Laki-laki : 6.475 jiwa
b. Perempuan : 6.002 jiwa
c. Jumlah KK : 2.783 jiwa
d. Jumlah penduduk miskin : 414 jiwa
e. Jumlah penduduk buta aksara latin dan Al-Qur’an : 351 jiwa
Jumlah penduduk berdasarkan usia :
- 00-05 tahun : 1.016 orang
- 06-10 tahun : 1.117 orang
- 11-15 tahun : 1.197 orang
- 16-20 tahun : 957 orang
- 21-25 tahun : 999 orang
35
- 26-30 tahun : 1.049 orang
- 31-35 tahun : 1.054 orang
- 36-40 tahun : 1.099 orang
- 41-45 tahun : 1.035 orang
- 46-50 tahun : 880 orang
- 51-55 tahun : 693 orang
- 56-60 tahun : 533 orang
- 61-74 tahun : 728 orang
- 75 tahun keatas : 120 orang
C. Profesi Warga Tapos Depok
Dari data sensus yang saya terima dari pegawai kelurahan Tapos terdapat
keaneka ragaman profesi warga tapos dengan rincian lapangan pekerjaan sebagai
berikut berikut:
- Pegawai Negeri Sipil : 48 orang
- TNI/POLRI : 8 orang
- Pegawai Swasta : 1.967 orang
- Pedagang : 572 orang
- Petani : 384 orang
- Wiraswasta : 153 orang
- Jasa : 125 orang
- Lainnya : 874 orang
36
D. Pendapatan dan Tingkat Pendidikan Warga Tapos Depok
Dari data yang saya terima dari Kelurahan Tapos bahwa masyarakat Tapos
mempunyai pendapatan perkapita tiap bulannya berbeda-beda tergantung profesi
masyarakat itu sendiri. Adapun pegawai kelurahan khususnnya mengambil pendapat
perkapita masyarakat kelurahan Tapos adalah 400.000,- S/d 1.000.000,- perbulannya.
Apabila melihat data diatas dapat digolongkan masyarakat kelurahan Tapos
tergolong masyarakat serba berkecukupan hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa
masyarakat Tapos masih hidup dalam standar minimum sejahtera sedangkan rasio
pengangguran di kelurahan Tapos terdapat 3% pada tahun 2009 sedangkan pada
tahun 2010 terdapat 4%.
Adapun tingkat pendidikan masyarakat di desa Tapos, saya merujuk pada data
laporan tahunan kelurahan Tapos sebagai berukut:45
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan :
- Tidak Sekolah : 759 orang
- Tamat SD / MI : 1.543 orang
- Tamat SLTP (SMP / Tsanawiyah) : 3.871 orang
- Tamat SLTA (SMA / SLTA Kejuruan) : 1.923 orang
- D-1 / D-2 / D-3 / D-4 : 368 orang
- Sarjana Strata 1 : 129 orang
- Sarjana Starata 2 : 27 orang
45 Bpk. Drs. Jarkasih, Data dari kelurahan Tapos, Depok-Jawa Barat
37
Dari data yang tertera di atas masyarakat Tapos Depok 85% mempunyai
pendidikan yang bagus dan kebanyakan bisa baca tulis, hal ini berdampak positif
menandakan warga Tapos memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan terdapat
pula warga yang tidak sekolah dengan jumlah 759 orang, rata-rata warga yang tidak
sekolah mereka sudah lanjut usia mungkin di era mereka pendidikan belum menjadi
sebuah kebutuhan utama.
Masyarakat Tapos dalam masalah pendidikan sangat antusias terutama dalam
pendidikan putra-putri mereka, sebab bagi mereka pendidikan menjadi nomor satu
dijaman yang sudah maju seperti saat ini, baik itu bidang ilmu Agama maupun ilmu
Umum.
38
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KASUS PRAKTEK PERCERAIAN PADA
MASYARAKAT TAPOS, DEPOK
A. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian
Dari beberapa serangkaian wawancara dengan para pihak pelaku cerai dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya cerai
ilegal antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor hukum yang berlaku
Hukum yang berlaku khususnya dalam masalah kepercayaan telah diatur oleh
undang-undang pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan dalam pasal 2 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya”. Dan pasal 63 UU perkawinan menyatakan: (1) yang
dimaksud Pengadilan dalam Undang-undang ini adalah: a. Peradilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam”.46
Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49 ayat 1
mengundangkan : “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di
bidang:
46 Zainal Abidin bin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Pernerbit Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 1992, h. 149
39
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. Wakaf dan shadaqah.47
Adapun masalah perceraian telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam yang
dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991 yang disetujui oleh Presiden
Republik Indonesia Soeharto. Dan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.
154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam.
Adapun masalah perceraian telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada
Bab XVI (putusnya perkawinan). Diatur dalam pasal 113-148 yang mengatur
bagaimana cara perceraian yang resmi menurut Kompilasi Hukum Islam.
Adapun tatacara perceraian yang diakui oleh Negara diatur dalam pasal 129-
148 adapun pasal 129 yang berbunyi: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak
kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tampat tinggal isteri disertai dengan
alas an serta minta diadakan siding untuk keprluan itu.48
Di dalam masalah perceraian khususnya pada Kompilasi Hukum Islam
masyarakat awam kurang mengerti tentang cara perceraian yang resmi menurut
hukum positif ini menjadi salah satu faktor mengapa hukum menjadi penyebab
47 Zainal Abidin bin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Pernerbit Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 1992, h. 299
48 H.A Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi HukumIslam, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005)h, 245-253
40
terjadinya peceraian ilegal, karena kurangnya publikasi dari pejabat Pengadilan
terhadap masyarakat.49
Asas dari hukum acara Peradilan Agama salah satunya:
1. Hakim bersifat menunggu (pasal 2 ayat (1) UU. No.14 tahun 1970). Inisiatif
untuk mengajukan perkara adalah pada pihak yang berkepentingan (inde ne
proeedat ex officio). Hakim hanya menunggu datangnya perkara, kalau sudah
ada tuntutan maka yang menyelenggarakan prose itu adalah negara.
2. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) R.Bg). Ruang lingkup
pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berkepentingan, bukan oleh Hakim.50
2. Faktor Ekonomi Masyarakat Tapos Depok
Dari hasil keterangan pegawai kecamatan Tapos Depok, masyarakat Tapos
Depok mempunyai tingkat ekonomi menengah ke bawah.
Faktor ini sangat mendukung terjadinya perceraian illegal walaupun tingkat
perekonomian masyarakat cukup bagus.
Tetapi masyarakat Tapos kurang memahami tentang hukum yang berlaku
terutama masalah cerai dalam hukum positif, melainkan mereka lebih paham masalah
cerai menurut agama cukup dengan mengucapkan kata-kata talaq, yang jelas-jelas
telah di terangkan oleh agama dalam surat al-Baqarah ayat 229.
49 Data dari hasil interviw terhadap pelaku cerai illegal.50 H.A. Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996).h.11
41
)/٢:٢٢٩ (
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengancara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagikamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepadamereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankanhukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa ataskeduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebusdirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.(Al-Baqarah/2: 229)
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 telah dijelaskan bahwa talak dan
ruju’ hanya bagi yang melakukan talak bain sugra.
Memang agama Islam tidak pernah menyulitkan hambanya dalam maslah
ibadah oleh karena itu talak dalam agama Islam cukup dengan cara mengucapkan
kata-kata talak dan disaksikan oleh dua orang saksi itu menurut agama Islam adalah
sah tetapi menurut hukum Negara hal ini dilarang karena perceraian tersebut illegal.
B. Pemahaman Masyarakat Tentang Cerai Ilegal
Masyarakat Tapos pada umumnya tau bahawa perceraian harus di pengadilan
karena berdasarkan data dari keluruhan desa Tapos latar belakang pendidikan mereka
tergolong tinggi namun belum mengetahui secara detail tentang tatacara beracara di
42
pengadilan bisa dikatakan masih buta akan hukum, ada dua hal yang penulis cermati
berdasarkan wawancara dari para pihak dan beberapa masyarakat Tapos ditemukan
beberapa sebab kenapa mereka enggan ke pengadilan di antaranya:
1. Rata-rata masyarakat Tapos berfikiran bahwa kalau mereka melakukan cerai
kepengadilan terlalu rumit dan prosesnya lama.
2. Adanya oknum (MARKUS) yang memanfaatkan situasi ini dengan cara
membantu para pihak namun mengenakan biaya di atas rata.51
Oleh sebab itu mereka berfikir ulang untuk melakukan cerai di Pengadilan
mereka lebih memilih dengan cara ilegal ketimbang dengan cara resmi, menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab XVI tentang putusnya perkawinan pasal 129:
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tulisan kepada pengadilan agama yang mewilayahi
tempat tinggal isteri dengan alasan serta minta diadakan sidang untuk keperluan itu.
Masyarakat Tapos khususnya yang belum mengerti hukum lebih memilih
cerai bawah tangan (ilegal), mereka tidak sadar bahwa perceraian ilegal akan
menimbulkan suatu hukum yang tidak mempunyai hukum tetap.
Beberapa kerugiann bagi orang yang melakukan cerai ilegal yang diatur dalam
Bab XVII akbit putusnya perkawinan diatur dalam pasal 149-162 antara lain:
1. Tidak adanya akta ikrar talak yang resmi
2. Tidak jelasnya hak asuh terhadap anak yang mempunyai hukum tetap
3. Pembagian harta gino-gini yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
51 Wawancara Dengan Bpk. Drs. Encep Syaripudin, Panitera Muda Hukum, di PengadilanAgama Depok.
43
4. Pembagian waris yang tidak sesuai dengan aturan hukum Islam
5. Tidak dibolehkan nikah kembali secra resmi tanpa adanya ikrar talak
6. Tidak mendapatkan nafkah idah yang jelas
7. Dan lain-lain diatur dalam kompilasi hukum Islam
C. Peran Ulama Dalam Terjadinya Perceraian Ilegal Pada Masyarakat Tapos
Depok
Peran ulama dalam menaggapi masalah perceraian itu sangat menunjang
disebabkan hukum yang ada di negara merupakan hukum yang wajib bagi mereka
yang berada dalam lingkungan Negara tersebut untuk mentaati selagi hukum hukum
tersebut tidak menyimpang dari ajaran agama sesuai firman an-Nisaa’ ayat 59 yang
berbunyi:
)/٥٩: ٤(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapattentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan harikemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baikakibatnya. (QS. An-Nissa/4: 59)
Ayat di atas jelas menegaskan bahwa kita sebagai hamba Allah untuk
mentaati Allah, Rasul dan Ulil Amri (pemimpin/pemerintah) dalam hal Ulil Amri
44
adalah seorang pemimpin Negara yang mana ia bertugas untuk mengatur dan
menjaga rakyatnya menjadi rakyat yang baldatun tayyibah. Dan kita dilarang oleh
Allah SWT untuk mengikuti atau mentaati perintah seorang pemimpin yang sesat, hal
ini dijelaskan dalam kitab qowaidul fiqhiyah yaitu:
Artinya: “tidak ada ketaatan terhadap mahluk apabila untuk ma’siat kepada Allah”.:
)(٥٢
Artinya: “Dari ibnu Umar dari Nabi SAW. Sesungguhnya telah bersabda: seorangmuslim wajib mendengarkan dan taat menyambut apa saja (yangdiperintahkan oleh Ulil Amri) suka atau tidak suka, kecuali jika iadiperintahkan berbuat maksiat maka ketika tidak boleh mendengarkan tidakpula taat. (H.R. Muslim)
Jadi peran seorang ulama sangat penting bagi kesejahteraan dalam hidup
beragama terutama masalah ibadah yang mana jelas telah diatur oleh Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yaitu hukum agama Islam yang telah di formalkan. Adapun
perintah Allah dalam masalah dalam menyelesaikan suatu perkara dalam rumah
tangga dengan menggunakan hakim di jelaskan dalam firman Allah :
)/٣٥: ٤(
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, makakirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam darikeluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakanperbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
52 Imam Muslim, Shahih al-Muslim, (Jakarta: Maktabah Dar al-ihya al-Kutub al-Arabiyyahindo, tth), juz2, h.131
45
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. an-Nisa/4: 35)
Di sini tugas seorang ulama dalam membantu tugas seorang pemimpin Negara
(Ulil Amri) sangat dibutuhkan terutama memberikan suatu pemahaman tentang tata
cara perceraian yang resmi. Di samping itu pula peran seorang pegawai Peradilan
Agama pun dibutuhkan.
Tugas seorang ulama bukan saja memberikan ceramah agama melainkan ikut
turut serta dalam masalah urusan Negara. Karena ulama adalah seorang pemimpin
dari pada umatnya. Yang mana ulama adalah pewaris para nabi yang patut kita taati.
Peran ulama dalam hal ini sebagai qodi (hakim) yang menyelesaikan dan
memutuskan suatu perkara. Sesuai firman Allah:
)/٤:٦٥ (
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hinggamereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang merekaperselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatukeberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimadengan sepenuhnya. (Q.S. an-Nisa/4: 65)
Dan dalam qoidah fiqhiyah juga diterangkan apabila ada suatu perselisihan
maka pendapat ulil amri’ yang dimenangkan. Sesuai dengan qoidah:
٥٣
Artinya : “Putusan hakim atau pemerintah menghapus pertentangan”.
53 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asyabah wa al-Nadhair, (Semarang : Toha Putera, t,th), h.293
46
D. Analisis Penulis Tentang Cerai Ilegal
Setelah penulis menelaah dari buku-buku refrensi dan serangkaian
wawancara maka penulis sedikit akan menganalisis tentang perceraian ilegal.
Salah satu fungsi penting dari peraturan adalah sebagai penuntun perilaku.
Dalam teori prilaku hukum, ada yang namanya model cost-benefit (modal biaya-
manfaat atau untung rugi). Sebelum seseorang bertindak ia menghitung untung
ruginya. Ia hanya bertindak jika dalam pendapatnya ia akan mendapatkan untung dari
prilakunya.54
Merujuk pada teori di atas hampir semua para pelaku cerai ilegal sedikit
memikirkan untung ruginya padahal seharusnya dalam melakukan perceraian jangan
mengambil yang mudah saja, karena apa yang mereka telah perbuat justru akan
mempersulit di kemudian hari karena tidak mengikuti prosedur yang berlaku, yaitu
mengikuti ketentuan (UU Perkawinan No.1 tahun 1974), dampak negatif yang
ditimbulkan dari perceraian diluar prosedur yang resmi apabila mereka ingin menikah
kembali tidak bisa di catatkan di KUA (kantor urusan agama) karena yang
bersangkutan tidak mempunyai akta ikrar talaq yang di keluarkan oleh Pengadilan
Agama, oleh sebab itu KUA tidak akan melayani pernikahannya. Karena mereka
masih dianggap suami isteri.
Undang-undang dibuat untuk ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Oleh
karena itu masyarakat harus taat dan patuh selagi peraturan tersebut tidak
bertentangan dengan norma-norma Agama.
54 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Persoektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim,(Bandung : Nusa Media, 2009), cet.II, h.80
47
Adanya perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama, guna untuk
kemaslahatan masyarakat, barangkali dengan diadakannya suatu perceraian di depan
sidang peradilan agama yang berulang-ulang dengan diawali mediasi tersebut akan
menjadikan suami isteri rukun kembali. Adapun mengenai biaya, kalau memang
ingin melakukan perceraian di pengadilan agama dan mereka tidak mampu secara
finansial pemerintah memfasilitasi dengan jalan mengajukan prodeo (kasus yang
biayanya secara cuma-cuma), bahkan di pengadilan agama menyadiakan pos bantuan
hukum guna membantu para pihak untuk konsultasi tentang hukum.
Tokoh masyarakat dalam hal ini ulama setempat, semestinya menghimbau
kepada masyarakat kalau melakukan percerian hendaknya di pengadilan agama
setempat. Karena undang-undang dalam hal ini KHI dapat dipandang sebagai hasil
ijtihad kolektif ulama-ulama se-Indonesia. Hal ini guna memfasilitasi kebutuhan
masyarakat khususnya yang beragama Islam.
Adapun para alim ulama dalam melakukan ijtihad tidak terlepas dari al-
Qur’an, al-Sunnah serta kitab-kitab fiqih klasik. Salah satu contoh : di dalam
kompilasi hukum Islam di terangkan tentang masalah perceraian dalam surat al-
Baqarah ayat 229 :
)/٢٢٩: ٢(
48
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengancara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagikamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepadamereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankanhukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa ataskeduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebusdirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah/2: 229)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana tata cara menceraikan serta merujuk
seorang isteri dengan cara yang baik. Dalam hadist pun menjelaskan tentang tatacara
talaq yang baik:
ئضهللا
شا٥٥)عليهمتفق(
Artinya: “Dari Ibnu Umar sesungguhnya Ibnu Umar telah menthalaq isterinya,sedang isterinya dalam keadaan haid pada masa Rasulullah saw, makaUmar Ibnu Khatab menerangkan hal yang demikian kepada Rasulullah saw,beliau bersabda : Suruhlah agar merujuk isterinya itu. Kemudian hendaklahia menahan isterinya itu hingga suci, kemudian sesudah itu jika ia mau iaboleh memegang (tetetap menggaulinya) isterinya sesudah itu dan jika iamau, ia boleh menthalaqnya diwaktu suci dan belum dicampuri, itulahiddah yang diperintahkan Allah bahwa menthalaq isteri agar iamenjalankan masa iddahnya”. (H.R. Bukhari Muslim)
Dari keterangan kedua dalil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa talaq di
lakukan secara baik tidak semena-mena dan tidak dengan cara ilegal.
55 Muhammad Fu’ad ‘Abd. Baqi, al-Lu’lu wal-Marjan, Terj. H. Salim Bahreisy, (Surabaya :PT. Bina Ilmu, 1996), Cet. ke-3, h.513
49
Sedangkan kompilasi hukum Islam (KHI) telah mengatur bagaimana tata cara
perceraian yang resmi menurut pasal 114 yang berbunyi :“Putusnya perkawinan yang
disebabkan perceraian dapat terjadi karena talaq atau berdasarkan gugatan
perceraian”.
Dilanjutkan pada pasal 115 yang menjelaskan bahwa “Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Sangat ketatnya peraturan perundang-undangan dalam hal perkara talaq hal ini
sejalan dengan dengan ketentuan agama Islam yang mengusahakan agar perceraian
tidak terjadi pada umatnya.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang penulis lakukan sebagaimana dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Adapun penjelasan mengenai perceraian menurut hukum positif dalam hal ini
(KHI) yaitu, perceraian yang t melalui prosedur yang resmi di Peradilan Agama
dalam pasal 129-148 (KHI) secara tegas mengatur perihal ini salah satunya pada
pasal 129 : “seorang suami yang akan menjatuhkan talak pada isterinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pegawai Peradilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta
meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu”. Sedangkan yang menjadi
landasan tidak bolehnya melakukan perceraian ilegal terdapat dalam pasal 115
(KHI) yang berbunyi: “percerian hanya bisa dilakukan didepan sidang
pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.56
Secara tegas hukum positif mengatur perceraian tanpa ada tolerir, begitu
ketatnya ketentuan yang ditetapkan oleh petaturan perundang-undangan sejalan
dengan ketentuan agama Islam yang sangat tidak menginginkan perceraian terjadi
terlebih tidak mentaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Karena Allah
56 Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005),h.245
51
memerintahkan kita untuk selalu mentaati perintah yang dibuat oleh ulil amri
dalam hal ini pemerintah sejauh dalam hal kebaikan dan tidak memerintahkan
untuk menyekutukan Allah, sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nissa
ayat 59.
Kewajiban pemerintah mengatur warga negaranya untuk terciptanya sebuah
ketertiban serta kemaslahatan bagi seluruh warga negaranya, dan kita sebagai
warga negara yang baik harus mentaati peraturan yang telah dibuat oleh
pemimpin kita selama dal hal kebaikan dan tidak menyimpang dari ajaran Agama
Islam. Pemahaman masyarakat masih sangat kurang mengenai prosedur cerai
hanya sekedar tau tapi mereka masih enggan untuk datang ke pengadilan apabila
akan cerai mereka labih memilih cerai secara agama saja ketimbang di
pengadilan. Dari data Pengadilan Agama Depok tahun 2010 tercatat perkara cerai
thalaq yang diterima sejumlah 600, sedangkan perkara yang diputus tercatat
438.57 Namun masih ada kasus cerai yang tidak di selesaikan di pengadilan
khususnya di daerah tapos terdapat 8 kasus praktek cerai, walupun data cerai yang
masuk ke Pengadilan Agama lebih banyak, tidak menutup kemungkinan di
daerah-daerah yang masih dalam wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Depok
banyak melakukan cerai illegal.
2. Dari pengakuan beberapa pihak, rata-rata para pelaku cerai ilegal disebabkan
faktor sering terjadinya cekcok (syiqaq) karena suami selingkuh dengan wanita
lain. Sedangkan dampak perceraian ilegal lebih banyak merugikan isteri dan
57 Data Diperoleh Dari Pengadilan Agama Depok.
52
anak-anak, ketimbang pihak suami setidaknya ada tiga hal yang merugikan antara
lain:
a. Tidak punya akta ikrar talak (surat cerai) yang resmi dari pengadilan agama
yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Tidak adanya nafkah iddah selama tiga (3) kali suci.
c. Tidak bisa menuntut nafkah anak sebelum adanya perjanjian yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
3. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan ini setidaknya ada tiga elemen yang
berperan aktif antara lain:
a. Hakim melalui lembaga peradilan secara tegas mengatakan bahwa cerai harus
di depan Pengadilan hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi karena Undang-
undang telah mengatur hal ini. Adapun penyelesaian perkara ini hakim akan
mengusahakan memberikan penyuluhan dan arahan kepada masyarakat agar
masyarakat mengetahui dan memahami Undang-undang yang berlaku
khususnya mengenai cerai, dengan cara melibatkan beberapa elemen
masyarakat seperti aparatur pemerintah mulai dari tingkat Rt/Rw dan
Kelurahan.
b. Pegawai pencatat perkawinan dalam hal ini penghulu akan bersikap proaktif
dan peka karena berawal dari penghululah suatu pernikahan dapat dikatakan
sah maka dalam hal perceraian pun penghulu harus mengetahui dan bertindak
ikut membantu peran hakim.
53
c. Ulama sebagai basis pembinaan umat akan lebih meningkatkan kembali
pembinaan dan pembelajaran agama kepada masyarakat, diharapkan melalui
pembelajaran ruhani yang lebih intensif masyarakat akan lebih memahami
ajaran agama yang berimplikasi pada tidak adanya perceraian. Telah diketahui
walaupun suatu perceraian itu dibolehkan tapi suatu perbuatan yang dibenci
Allah.
B. Saran-saran
Berlandaskan hasil penelitian, penulis menyampaikan saran-saran sebagai
berikut :
1. KUA dan Pengadilan Agama sebagai sebagai lembaga yang resmi seharusnya
lebih peka akan terjadinya cerai ilegal karena masih banyak masyarakat yang buta
akan prosedur hukum, setidaknya kedua lembaga tersebut dapat mengadakan
penyuluhan atau bahkan seminar tentang perceraian kepada masyarakat. Hal ini
bertujuan agar masyarakat memahami dan mengerti peraturan dan Undang-
undang yang berlaku mengenai cerai sehingga diharapkan kedepannya tidak
terjadi cerai-cerai yang ilegal.
2. Pihak KUA sebagai lembaga yang resmi sekaligus institusi keagamaan harus
selalu menjalin hubungan yang kooperatif dengan amil dan juga tokoh
masyarakat, agar tidak terjadinya penyimpangan khususnya perceraian ilegal
(bawah tangan) yang dilakukan Amil (pembantu penghulu) tanpa sepengetahuan
54
KUA dan peradialan agama. Hal ini yang menjadikan tumbuh suburnya peraktek
liar ini.
3. Adanya kesadaran dari semua pihak agar lebih memahami tentang peraturan yang
telah ada. Tanpa adanya kesadaran dari masyarakat yang mustahil peraturan ini
akan berjalan sebagai mana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No.1
tahun 1974 pasal 39 dan kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 115, adapun
masyarakat yang belum mengetahui akan peraturan tentang cerai yang resmi,
lembaga KUA dan peradilan agama harus mensosialisasikan dengan cara
mengadakan penyuluhan agar masyarakat lebih mengenal dan memahami kedua
lembaga tersebut, yang berujung tidak terjadi peraktek makelar kasus,
memanfaatkan ketidak tahuan masyarakat mengenai tata cara berperkara yang
benar. Hal ini menjadi sebuah perkara yang serius untuk di hadapi karena apabila
ini terus dibiarkan mustahil masyarakat akan mematuhi peraturan yang ada kalau
praktek ini masih berjalan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. Ziyad Fiqh Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimai, 1991.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
al-Jaziri,Abdurrahman, al-Fiqh ala’ al-Arba’ah, Beirut: Daar al-fiqh, 1972.
al-Dimyati, Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, I’anat al-Thalibin, Beirut:Dar al-Fikr,1993.
Abidin, Zainal, bin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Dalam Lingkungan PeradilanAgama, Pernerbit Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 1992.
Assegaf, Muhdor Ahmad, , Perceraian Salah Siapa, Jakarta : PT. Lentera Basritama,2001.
Arto, H.A. Mukti, Peraktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996.
al-Syirazi, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi, al-Muhadzdzab fi Fikih al-Imam al-Syafi’i, Beirut: Dar al- Fikr, [t.th]
as-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asyabah wa al-Nadhair, Semarang : Toha Putera, t,th
‘Abd. Baqi, Muhammad Fu’ad, , al-Lu’lu wal-Marjan, Terj. H. Salim Bahreisy,Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1996.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1998.
Djalil, H.A Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan KompilasiHukum Islam, Jakarta: Qolbun Salim, 2005.
Djaelani, H. Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jakarta : PT. Ikhtiar BaruVan Hoeve, 1997.
Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: 2007)
56
Ibrahim, Johnny, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: BayumediaPublishing
Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum Persoektif Ilmu Sosial, Penerjemah M.Khozim, Bandung : Nusa Media, 2009.
Kelsen, Hans, Pengantar Teori Hukum, Bandung: Nusa Media 2010
Kinani, Abdurrahman bin Ismail, Zawaidu ibnu ‘ala’ Kutub al-khamsah, Beirut-Libanon Daar Kutub al-Ilmiah, 1993.
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama 1996.
Kuzada, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1981.
Manan, Abdul, dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang PengadilanAgama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. RemajaRosdakarya, 2005
Muslim, Imam, Shahih al-Muslim, Jakarta: Maktabah Dar al-ihya al-Kutub al-Arabiyyah indo, tth.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, , Shahih al-Bukhari, Beirut : Daaral-Fikr t.th.
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), Bandung: Al-Bayan,1995.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2008.
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Nur, Djama’ah, Fiqh Munakahat, Jakarta : Dina Utama Semarang, 1993.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Prilaku, Jakarta: Kompas Media Nusantara, :2009
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam Lengkap, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2004.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, 2003.
57
Salim, Arskal dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta : PUSKUMHAM danAsia Foundation, 2009.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 8, Bandung: Al-Ma’arif, 1990.
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Soekanto, Sorjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia, 1984
Syarifuddin,Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Taqiyuddin, Imam, Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar, Surabaya: Darul Ihya
Utsman, Muhammad, Problematika Suami Istri, Jakarta: Amar Press, 1998.
UU. Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1. Bandung : Fokus Media, 2005.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Wawancara dan Jurnal
Aini, Noryamin,” Budaya Hukum: Melintas Batas Formalisme-Yuridis SentralitasKompilasi Hukum Islam dan Kitab Kuning dalam Putusan PengadilanAgama”, Era Hukum Jurnal Ilmiah Hukum, No.3/Th.9/Mei (2002).
Bpk. Drs. Jarkasih, Data dari kelurahan Tapos, Depok-Jawa Barat
Bpk. Drs. Encep Syaripudin, Panitera Muda Hukum, di Pengadilan Agama Depok.
Data dari hasil wawancara terhadap pelaku cerai illegal.
58
59
60
61
62
63
64
65
DAFTAR WAWANCARA
Nama : Midah
Pekerjaan : Ibu Rumahtangga
Alamat : Tapos-Depok
Tanggal Menikah : 17-12-1987
Tanggal Bercerai : 23-05-1998
Daftar Pertanyaan :
a. Berapa lama usia pernikahan anda?
b. 11 tahun
a. Apa yang menyebabkan anda bercerai?
b. Karena ada orang ketiga dan cekcok terus menerus
a. Dimana anda melakukan perceraian?
b. Di rumah saya
a. Faktor apa saja yang menyebabkan anda bercerai di luar pengadilan?
b. Biayanya tidak ada dan kalo di pengadilan ribet
a. Siapa saja yang memutuskan bahwa perceraian anda dianggap sah?
b. Amil dan ustadz setempat
a. Apakah ada bukti lain selain saksi yang membuktikan anda telah bercerai?
b. Tidak ada bukti apa-apa
a. Bagaimana proses terjadinya perceraian?
b. Sangat cepat prosesnya suami mengucap talak di depan saksi dan setelah itu
selesai
a. Apakah ketua Rt atau ulama setempat memberitahukan agar perkara perceraian
ini di ajukan kepengadilan?
b. Memberitahukan, cuman ada beberapa kendala yang menyebabkan saya tidak
kepengadilan salah satunya biaya.
66
a. Apakah anda melaporkan kepihak KUA bahwa anda telah bercerai?
b. Tidak melaporkan
a. Apakah anda menemukan kesulitan setelah melakukan perceraian diluar
pengadilan?
b. Sejauh ini tidak ada kesulitan apa-apa, kecuali apabila saya ingin menikah lagi
a. Setelah bercerai, apakah mantan suami anda memberikan nafkah hidup kepada
anda dan anak anda?
b. Tidak mendapat nafkah, kalo anak dikasih karena setelah bercerai anak diurus
oleh suami.
a. Bagaimana dengan hak asuh anak?
b. Hak asuh di pegang oleh suami
a. Apakah anda mengetahui tentang hukum perceraian? Bahwa perceraian harus
dilakukan melalui Pengadilan.
b. Mengetahui namun tidak mengetahui secara rinci cukup tau aja.
67
DAFTAR WAWANCARA
Nama : Wahyudin
Pekerjaan : Sopir
Alamat : Tapos-Depok
Tanggal Menikah : 12-februari-2000
Tanggal Bercerai : 23-Maret-2009
Daftar Pertanyaan :
c. Berapa lama usia pernikahan anda?
d. 9 tahun
a. Apa yang menyebabkan anda bercerai?
b. Adanya orang ketiga dalam rumah tangga
a. Dimana anda melakukan perceraian?
b. Di rumah orang tua saya
a. Faktor apa saja yang menyebabkan anda bercerai di luar pengadilan?
b. Faktor Biaya yang menyebabkan tidak kepengadilan.
a. Siapa saja yang memutuskan bahwa perceraian anda dianggap sah?
b. Orang tua dan amil
a. Apakah ada bukti lain selain saksi yang membuktikan anda telah bercerai?
b. Bukti cerai dari amil
a. Bagaimana proses terjadinya perceraian?
b. Prosesnya suami mengucapkan cerai di depan kedua orang tua saya
a. Apakah ketua Rt atau ulama setempat memberitahukan agar perkara
perceraian ini di ajukan kepengadilan?
b. Tidak memberitahukan kepengadilan
a. Apakah anda melaporkan kepihak KUA bahwa anda telah bercerai?
b. Tidak melaporkan
68
a. Apakah anda menemukan kesulitan setelah melakukan perceraian diluar
pengadilan?
b. Menemukan
a. Setelah bercerai, apakah mantan suami anda memberikan nafkah hidup
kepada anda dan anak anda?
b. Ke saya tidak tapi kalo ke anak saya Masih memberikan nafkah
a. Bagaimana dengan hak asuh anak?
b. Hak asuh ada pada saya
a. Apakah anda mengetahui tentang hukum perceraian? Bahwa perceraian harus
dilakukan melalui Pengadilan.
b. Mengetahui cerai ke pengadilan.
Pewawancara Para Pihak
Abduloh Wahyudin
69
70
71
72
73