S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

39
8 Universitas Indonesia BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ERGONOMI 2.1.1 Definisi Ergonomi Dalam International Ergonomics Association dijelaskan bahwa ergonomi berasal dari kata ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti hukum atau aturan, dimana kedua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain atau perancangan. Selanjutnya untuk lebih memahami pengertian mengenai ergonomi, maka penulis akan menjabarkan berbagai macam definisi ergonomi dari beberapa literatur, antara lain: Seorang pakar keselamatan dan kesehatan kerja Indonesia Suma’mur (1989) menyatakan bahwa ergonomi adalah ilmu yang penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya, hal ini meliputi penyerasiaan pekerjaan terhadap tenaga kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja. Ergonomi adalah aplikasi informasi ilmiah mengenai manusia terhadap desain objek, sistem, lingkungan untuk penggunaan manusia (Pheasant, 1991). Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia dan bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungan, peralatan, dan situasi kerjanya (Oborne, 1995) Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan objek yang mereka gunakan serta lingkungan kerjanya (Pulat, 1997). Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Transcript of S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

Page 1: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

8 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ERGONOMI

2.1.1 Definisi Ergonomi

Dalam International Ergonomics Association dijelaskan bahwa ergonomi

berasal dari kata ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti hukum atau

aturan, dimana kedua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani dan dapat

didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan

kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,

manajemen, dan desain atau perancangan. Selanjutnya untuk lebih memahami

pengertian mengenai ergonomi, maka penulis akan menjabarkan berbagai macam

definisi ergonomi dari beberapa literatur, antara lain:

• Seorang pakar keselamatan dan kesehatan kerja Indonesia Suma’mur

(1989) menyatakan bahwa ergonomi adalah ilmu yang penerapannya

berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang

atau yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia

seoptimal-optimalnya, hal ini meliputi penyerasiaan pekerjaan terhadap

tenaga kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja.

• Ergonomi adalah aplikasi informasi ilmiah mengenai manusia terhadap

desain objek, sistem, lingkungan untuk penggunaan manusia (Pheasant,

1991).

• Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia dan

bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungan,

peralatan, dan situasi kerjanya (Oborne, 1995)

• Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan

objek yang mereka gunakan serta lingkungan kerjanya (Pulat, 1997).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 2: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

9

Universitas Indonesia

• Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan

mesin serta faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut (Bridger,

2003)

• Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan

atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam

beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan

manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara

keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004)

• Ergonomi adalah suatu istilah yang berlaku untuk dasar studi dan desain

hubungan antara manusia dan mesin untuk mencegah penyakit dan cidera

serta meningkatkan prestasi atau performa kerja (ACGIH, 2007).

• ILO mendefinisikan ergonomi sebagai penerapan ilmu biologi manusia

sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian yang saling

menguntungkan antara pekerja dengan pekerjaannya secara optimal

dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan

Berdasarkan berbagai definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

ilmu ergonomi merupakan suatu bidang keilmuan tentang cara menyerasikan

antara manusia dengan pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya agar terciptanya

kenyamanan, keselamatan, dan pencegahan terhadap timbulnya cidera ataupun

gangguan kesehatan dengan tujuan meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas

hidup manusia yang lebih baik.

2.1.2 Ruang Lingkup dan Tujuan Ergonomi

Ergonomi merupakan suatu bidang ilmu yang multidisiplin. Ilmu ini terdiri

dari perpaduan ilmu psikologi, anatomi dan kedokteran, fisiologi dan psikologi

faal, serta fisika dan teknik. Ilmu faal dan anatomi memberikan gambaran

mengenai struktur tubuh, kemampuan terhadap nilai beban yang bisa diangkat dan

ketahanan terhadap tekanan fisik, serta batasan fisik dan dimensi tubuh, dan lain-

lain. Ilmu fisiologi faal memberikan gambaran mengenai fungsi sistem otak dan

saraf berkaitan dengan tingkah laku, sedangkan ilmu psikologi mempelajari

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 3: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

10

Universitas Indonesia

konsep dasar mengenai bagaimana mengambil sikap, mengingat, memahami,

belajar dan mengendalikan proses motorik. Sedangkan ilmu fisika dan teknik

memberikan gambaran mengenai desain dan lingkungan kerja (Oborne,1995).

Fokus ergonomi ialah pada biomekanik, kinesiologi, fisiologi kerja, dan

antropometri. Biomekanik adalah mekanisme sistem biologi, khususnya pada

tubuh manusia. Pendekatan biomekanik pada desain tempat kerja yang utama

mempertimbangkan kemampuan pekerja, tuntutan tugas, dan peralatan yang

terintegrasi. Kinesiologi merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan manusia

dalam fungsi anatomi. Prinsip kinesiologi harus digunakan pada desain tempat

kerja untuk mencegah pergerakan yang tidak sesuai. Fisiologi kerja

menggambarkan reaksi fisiologi pekerja terhadap tuntutan pekerjaannya dan

memeliharanya pada batasan yang aman. Antropometri berfokus pada dimensi

tempat kerja, peralatan, dan material. Data antropometri terdiri dari dimensi

tubuh, jangkauan pergerakan lengan/tangan dan kaki, dan kemampuan kekuatan

otot (Pulat, 1992).

Peranan ergonomi dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan

kerja, antara lain: desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu

pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga

visual. Hal tersebut untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja,

desain suatu perkakas kerja untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu

peletakan instrumen dan sistem pengendalian agar didapat optimasi dalam proses

transfer informasi dengan dihasilkannya suatu respon yang cepat dengan

meminimalkan risiko kesalahan, serta agar didapatkan optimasi, efisiensi kerja,

dan hilangnya risiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat (Nurmianto,

2004). Ergonomi berusaha untuk menjamin bahwa pekerjaan dan setiap tugas-

tugas dari pekerjaan tersebut didesain agar sesuai dengan kemampuan atau

kapasitas dari pekerjanya (ACGIH, 2007).

Secara umum tujuan dari penerapan ilmu ergonomi adalah:

1. meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan

cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,

mengupayakan promosi dan kepuasan kerja

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 4: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

11

Universitas Indonesia

2. meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,

mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan

jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak

produktif

3. menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek, yaitu aspek teknis,

ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan

sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka,

2004).

Berdasarkan penjabaran di atas dari berbagai sumber, maka dapat

disimpulkan bahwa ruang lingkup dari ergonomi berfokus pada perancangan

tugas, peralatan, area kerja, dan sistem kerja yang disesuaikan dengan kapasitas

pekerja (mempertimbangkan keterbatasan fisik pekerja) yang bertujuan untuk

menciptakan efisiensi serta kenyamanan dalam bekerja dan mencegah dari

kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja.

2.1.3 Prinsip Ergonomi

Ergonomi berfokus kepada desain dari suatu sistem dimana manusia

bekerja. Semua sistem kerja tersebut terdiri atas komponen manusia, komponen

mesin, dan lingkungan yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.

Fungsi dasar dari ergonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia akan desain

kerja yang memberikan keselamatan dan efisiensi kerja bagi manusia yang

bekerja di dalamnya. Terdapat enam kategori interaksi antara manusia, mesin dan

lingkungan, dan interaksi tersebut, yaitu: Human>Machine,

Human>Environment, Machine>Human, Machine>Environment,

Environment>Human, Environment>Machine (Bridger, 2003). Interaksi dasar

dalam sistem kerja tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 5: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

12

Universitas Indonesia

Tabel 2.1 Interaksi Dasar dan Evaluasinya dalam Sistem Kerja

Interaksi Evaluasi

Manusia > Mesin : Tindakan pengendalian dasar

yang dilakukan manusia dalam menggunakan mesin.

Aplikasinya berupa penggunaan kekuatan yang besar,

penanganan material, perawatan, dan lain sebagainya.

Anatomi : postur tubuh, pergerakan,

besaran kekuatan, durasi dan frekuensi

pergerakan, kelelahan otot.

Fisiologi : work rate (konsumsi

oksokan dan detak jantung),

kebugaran, dan kelelahan fisiologi

Psikososial : Persyaratan kemampuan,

beban mental, proses informasi yang

pararel/berkelanjutan.

Manusia > Lingkungan : Efek dari manusia

terhadap lingkungan. Manusia mengeluarkan

karbondioksida, kebisingan, panas, dan lain

sebagainya.

Fisik: Pengukuran obyektif dari

lingkungan kerja. Implikasinya berupa

pemenuhan standar yang berlaku

Mesin > Manusia : Umpan balik dan display

informasi. Mesin dapat memberikan efek tekanan

terhadap manusia berupa getaran, percepatan, dan

lain sebagainya. Permukaan mesin yang panas atau

dingin dapat mengancam kesehatan manusia.

Anatomi: Desain dari kendali dan alat

Fisik: Pengukuran obyektif dari

getaran, reaksi kekuatan dari tenaga

mesin, kebisingan dan temperature

permukaan lingkungan kerja.

Fisiologi: Aplikasi dari prinsip

pengelompokan desain dari faceplates,

panel dan display grafik

Mesin > Lingkungan: Mesin dapat mengubah

lingkungan kerja dengan mengeluarkan kebisingan,

panas, dan buangan gas

Umumnya ditangani oleh teknisi

lapangan dan industrial hygienist.

Lingkungan > Manusia: Lingkungan juga dapat

mempengaruhi kemampuan manusia dalam

berinteraksi dengan mesin atau sistem kerja (

dikarenakan oleh asapa, kebnisingan, panas, dan lain

sebagainya)

Fisik–Fisiologi : kebisingan,

pencahayaan dan temperatur.

Lingkungan > Mesin: Lingkungan dapat

mempengaruhi fungsi dari mesin dengan

menimbulkan pemanasan atau pembekuan komponen

mesin.

Ditangani oleh teknisi lapangan,

personil perawatan, fasilitator

manajemen dan lain sebagainya.

( > causal direction ) Sumber : Bridger, 2003

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 6: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

13

Universitas Indonesia

Dalam upaya menciptakan suatu kondisi kerja yang aman dan nyaman,

maka diperlukan interaksi yang baik dari ketiga komponen yang telah disebutkan

di atas, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan kerja. Dalam ergonomi, manusia

merupakan komponen yang paling utama yang harus diperhatikan dengan segala

keterbatasan yang dimilikinya, karena manusia dalam hal ini yang menjadi

operator dari pekerjaannya. Ini berarti hal yang diperbaiki adalah mengenai

workstation yang akan menyesuaikan pekerjanya. Sebagai contoh, desain

pembuatan kursi kerja berkisar antara 43-50 cm (Oborne, 1995). Kursi kerja yang

didesain dengan menambahkan sandaran punggung (backrest) dilakukan dengan

tujuan agar memberikan kesempatan relaksasi pada otot punggung secara berkala

(Kroemer dan Grandjean, 1997). Contoh lainnya adalah mengenai desain meja

kerja. Menurut Kroemer dan Grandjean (1997), tinggi meja yang disarankan

untuk pekerjaan berat adalah sekitar 75-90 cm dari lantai (untuk pria) dan 70-85

cm dari lantai (untuk wanita), untuk pekerjaan ringan berkisar antara 90-95 cm

dari lantai (untuk pria) dan 85-90 cm dari lantai (untuk wanita), serta pekerjaan

yang membutuhkan ketelitian berkisar 100-110 cm dari lantai (untuk pria) dan 95-

105 cm dari lantai (untuk wanita).

2.1.4 Konsep Keseimbangan Ergonomi

Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni, dan teknologi yang berupaya untuk

menyerasikan alat, cara, dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan,

dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal

tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara

tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan

sehingga dicapai performa kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas

pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu

berlebihan (overload) karena keduanya akan menyebabkan stress (Tarwaka,

2004). Menurut Manuaba (2000), konsep keseimbangan antara kapasitas kerja

dengan tuntutan tugas tersebut dapat diilustrasikan seperti pada gambar berikut.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 7: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

14

Universitas Indonesia

Gambar 2.1 Konsep Keseimbangan Ergonomi

Sumber: Manuaba, 2000

Keterangan:

• Kemampuan Kerja

Kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh:

1. Personal Capacity (karakteristik pribadi), meliputi faktor usia,

jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial,

agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh, dan

sebagainya.

2. Physiological Capacity (kemampuan fisiologis), meliputi

kemampuan dan daya tahan kardiovaskuler, syaraf otot, panca

indera, dan sebagainya.

Material

Characteristics

Task/Work

Place

Characterist

ics

Organizational

Characteristics

Environment

al

Characterist

ics

Personal

Capacity

Physiologic

al Capacity

Psycological

Capacity

Biomechani

cal

Capacity

TASK DEMANDS

WORK CAPACITY

PERFORMANCE Quality Stress Fatigue Accident Discomfort Diseases Injury Productivity

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 8: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

15

Universitas Indonesia

3. Psycological Capacity (kemampuan psikologis) berhubungan

dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi,

stabilitas emosi, dan sebagainya.

4. Biomechanical Capacity (kemampuan biomekanik) berkaitan

dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon,

dan jalinan tulang.

• Tuntutan tugas

Tuntutan tugas pekerjaan atau aktivitas tergantung pada:

1. Task dan Material Characteristics (karakteristik tugas dan

material) ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe

kecepatan, irama kerja, dan sebagainya.

2. Organization Characteristics (karakteristik organisasi)

berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan

bergilir, cuti dan libur, manajemen, dan sebagainya.

3. Environmental Characteristics (karakteristik lingkungan) berkaitan

dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan

getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan

kebiasaan, bahan-bahan pencemar, dan sebagainya.

• Performa

Performa atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari

besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan.

Dengan demikian:

1. Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan

seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan

akhir berupa ketidaknyamanan, overstress, kelelahan, kecelakaan,

cidera, rasa sakit, penyakit, dan tidak produktif.

2. Sebaliknya, bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan

seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan

akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit,

dan tidak produktif

3. Agar penampilan menjadi optimal maka perlu adanya

keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 9: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

16

Universitas Indonesia

yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang sehat,

aman, nyaman, dan produktif.

Dapat disimpulkan bahwa konsep keseimbangan dalam ergonomi

menggambarkan antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja berada pada satu

jalur yang harus ada kesesuaian diantara keduanya dengan tujuan menghasilkan

performa kerja yang tinggi.

2.2 ANATOMI SISTEM MUSKULOSKELETAL

Dalam rangka memenuhi tujuan desain atau perancangan produk baru

pekerjaan serta peralatan yang sesuai dengan kebutuhan manusia, maka

diperlukan pengetahuan tentang karakteristik otot dan kerangka manusia terutama

dimensi dan kapasitasnya.

2.2.1 Sistem Rangka

Sistem rangka berfungsi untuk menggambarkan dasar bentuk tubuh,

penentuan tinggi seseorang, perlindungan organ tubuh yang lunak, sebagi tempat

melekatnya otot, mengganti sel-sel yang telah rusak, memberikan sistem

sambungan untuk gerak pengendali, dan menyerap reaksi dari gaya serta beban

kejut (Nurmianto, 2004). Sistem rangka terdiri dari rangka atau tulang-tulang

ekstremitas atas, tulang-tulang ekstremitas bawah, dan lengkung kaki. Tulang-

tulang ekstremitas atas terdiri dari: skapula dan klavikula yang membentuk gelang

bahu, humerus, radius dan ulnar yang membentuk lengan bawah, 8 tulang karpal,

5 tulang metakarpal, serta 14 falanges. Tulang-tulang ekstremitas bawah terdiri

dari: tulang pinggul yang membentuk sebagian dari panggul (pelvis), femur,

patella, tibia dan fibula yang membentuk tungkai bawah, 7 tulang tarsalia, 5

tulang metatarsal, serta 14 falanges. Lengkung kaki terdiri dari: lengkung medial

yang sangat elastis, lengkung lateral yang kuat dan terbatas gerakannya, serta

terdapat sejumlah lengkung transversal (Watson, 1997).

Panjang tulang untuk menentukan tinggi badan seseorang, sedangkan

batas jangkauan dapat menentukan ruang gerak atau aktivitas. Selain dari itu,

dimensi ruang yang terbentuk tersebut penting untuk penempatan pengendali dan

desain stasiun kerja. Sifat masing-masing sambungan tulang pada pergerakan

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 10: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

17

Universitas Indonesia

sangat kompleks. Contoh sambungan tulang yang sederhana ada pada siku dan

lutut. Siku dan lutut merupakan sambungan yang membatasi gerakan fleksi.

Tangan manusia mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam gerakannya. Akan

tetapi jika ada gerakan berulang (repetitive), maka harus mempertimbangkan hal

yang lebih penting, misalnya seperti efisiensi penggunaan otot dan konsumsi

energinya (Nurmianto, 2004).

2.2.2 Sistem Otot

Sistem otot (muskular) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung

jawab atas gerakan tubuh (Watson, 1997). Otot terbentuk atas fiber yang

berukuran panjang dari 10 hingga 400 mm dan berdiameter 0,01 hingga 0,1 mm.

Pengujian mikroskopis menunjukkan bahwa fiber terdiri dari myofibril yang

tersusun atas sel-sel filament dari molekul myosin yang saling tumpang tindih

dengan filament dari molekul aktin. Serabut otot bervariasi antara satu otot

dengan yang lainnya. Beberapa diantaranya mempunyai gerakan yang lebih cepat

dari yang lainnya dan hal ini terjadi pada otot yang dipakai untuk

mempertahankan kontraksi badan, seperti otot pembentuk postur tubuh

(Nurmianto, 2004).

Dalam Watson (1997) dijelaskan bahwa otot utama tubuh terdiri atas: otot

kepala, otot leher, otot tubuh, otot anggota gerak atas, dan otot anggota gerak

bawah. Untuk mengetahui jenis-jenis otot yang telah disebutkan di atas lebih

lanjut, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi dan Jenis Otot

Klasifikasi Otot Jenis otot

Otot kepala Otot-otot ekspresi dan otot-otot mastikasi

Otot leher Otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius

Otot tubuh Otot yang menggerakkan bahu, otot pernapasan,

otot yang membentuk dinding abdomen, otot

yang menggerakkan panggul, otot yang

menggerakkan tulang belakang, otot dasar

panggul

Otot anggota gerak atas Otot lengan, otot lengan bawah, dan otot tangan

Otot anggota gerak bawah Otot paha, otot betis, dan otot kaki

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 11: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

18

Universitas Indonesia

2.2.2.1 Aktivitas Otot

Otot hanya mempunyai kemampuan kontraksi dan relaksasi. Dalam

pergerakan yang pelan dan terkendali, baik otot penggerak utama maupun yang

antagonis berada pada posisi tegang selama dalam pergerakannya. Sebaliknya

dalam pergerakan yang cepat, otot antagonis secara otomatis akan relaks. Sebagai

contoh, otot trisep dalam keadaan antagonis relatif terhadap otot bisep selama

dalam gerakan fleksi oleh siku pada saat tangan mengangkat beban.

Selain itu, ada beberapa otot lain yang juga berpartisipasi dalam

pergerakan otot. Misalnya, otot bisep dibantu oleh brachialis selama gerakan

fleksi pada siku. Ada juga jenis otot lain yang disebut sebagai fiksator yang

berfungsi sebagai pemberi kesetimbangan pada saat adanya suatu gerakan, dan

sinergis yang berfungsi untuk mengontrol sambungan-sambungan sehingga

memungkinkan suatu gerakan berjalan secara efisien (Nurmianto, 2004).

2.2.2.2 Sumber Energi Otot

Sumber energi otot adalah berasal dari pemecahan senyawa fosfat kaya

energi dari kondisi energi tinggi ke energi rendah, dimana dalam waktu yang sama

akan menghasilkan muatan elektrostatis dan menyebabkan gerakan relatif dari

molekul aktin dan myosin. Hal tersebut ditunjukkan pada proses berikut:

ATP ADP + energi

ATP = Adenosin Tri Phosphat

ADP = Adenosin Di Phosphat

Untuk melanjutkan proses ini, ATP harus disintesa ulang dengan bahan

baker yang berasal dari sumber lain. Dua proses berikut akan memberikan

penjelasan secara lebih rinci, yaitu:

a. Anaerobik

Anaerobik yaitu proses perubahan ATP menjadi ADP dan energi tanpa

bantuan oksigen. Glikogen yang terdapat dalam otot terpecah menjadi energi dan

membentuk asam laktat. Dalam proses ini, asam laktat akan memberikan indikasi

adanya kelelahan otot secara lokal, karena kurangnya jumlah oksigen yang

disebabkan oleh kurangnya jumlah suplai darah yang dipompa dari jantung,

misalnya jika ada gerakan yang bersifat tiba-tiba. Penyebab lainnya adalah karena

pencegahan kebutuhan aliran darah yang mengandung oksigen dengan adanya

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 12: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

19

Universitas Indonesia

beban otot statis ataupun karena aliran darah yang tidak cukup mensuplai oksigen

dan glikogen, akan melepaskan asam laktat.

b. Aerobik

Aerobik yaitu proses perubahan ATP menjadi ADP dan energi dengan

bantuan oksigen yang cukup. Asam laktat yang dihasilkan oleh kontraksi otot

dioksidasi dengan cepat menjadi karbondioksida dan H2O dalam kondisi aerobic,

sehingga beban pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan akan dapat berlangsung

cukup lama. Selain itu, aliran darah yang cukup akan mensuplai lemak,

karbohidrat, dan oksigen ke dalam otot. Akibat dari kondisi kerja yang terlalu

lama akan menyebabkan kadar glikogen dalam darah akan menurun drastis di

bawah normal dan kebalikannya kadar asam laktat akan meningkat. Apabila sudah

demikian, maka cara terbaik adalah menghentikan pekerjaan, kemudian istirahat

dan makan makanan yang bergizi untuk membentuk kadar gula dalam darah.

Hal tersebut di atas merupakan proses kontraksi otot yang telah

disederhanakan analisa pembangkit energinya, serta sekaligus menandakan

pentingnya aliran darah untuk otot. Oleh karena itu, para ahli ergonomi hendaklah

memperhatikan hal-hal seperti berikut untuk sedapat mungkin dihindari:

a. beban otot statis

b. oklusi (penyumbatan aliran darah) karena tekanan, misalnya tekanan segi

kursi pada lipat lutut

c. bekerja dengan lengan berada di atas yang menyebabkan siku aliran darah

bekerja berlawanan dengan arah gravitasi (Nurmianto, 2004).

2.2.2.3 Pembebanan Otot Secara Statis

Beban otot statis terjadi ketika otot dalam keadaan tegang tanpa

menghasilkan gerakan tangan atau kaki sekalipun. Pergerakan ritmik yang

dinamis adalah proses pemompaan aliran darah oleh organ tubuh manusia. Beban

otot statis terjadi ketika postur tubuh berada dalam kondisi yang tidak natural,

peralatan maupun material ditahan pada kondisi yang berlawanan dengan arah

gravitasi (Nurmianto, 2004).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 13: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

20

Universitas Indonesia

2.2.3 Jaringan Penghubung

Jaringan-jaringan penghubung yang terpenting pada sistem kerangka otot

adalah ligamen, tendon, dan fasciae. Jaringan ini terdiri dari kolagen dan serabut

elastis dalam beberapa proporsi. Tendon berfungsi sebagai penghubung antara

otot dan tulang terdiri dari sekelompok serabut kolagen yang letaknya parallel

dengan panjang tendon. Ligamen berfungsi sebagai penghubung antara tulang

dengan tulang untuk stabilitas sambungan. Ligamen tersusun atas serabut yang

letaknya tidak parallel. Oleh karena itu, tendon dan ligamen bersifat inelastis dan

berfungsi pula untuk menahan deformasi. Adanya tegangan yang konstan akan

dapat memperpanjang ligamen dan menjadikannya kurang efektif dalam

menstabilkan sambungan. Sedangkan jaringan fasciae berfungsi sebagai

pengumpul dan pemisah otot, yang terdiri dari sebagian besar serabut elastis dan

mudah sekali terdeformasi (Nurmianto, 2004).

2.3 MANUAL HANDLING

Berdasarkan U.S. Department of Labor, handling didefinisikan sebagai

tindakan meraih, memegang, menggenggam, memutar atau pekerjaan lainnya

yang menggunakan tangan, dan National Institute of Occupational Safety and

Health medefinisikannya sebagai suatu aktivitas dengan menggunakan pergerakan

tangan pekerja untuk mengangkat, mengisi, mengosongkan, meletakkan atau

membawa (NIOSH, 2007). Sedangkan menurut OSHA, manual handling meliputi

semua pekerjaan memindahkan material dengan tangan dengan cara mengangkat,

menurunkan, membawa, mendorong, menarik, menggeser ataupun menyusun

material (OSHA, 1997) . Manual handling tidak hanya berarti mengangkat atau

membawa sesuatu saja, namun manual handling meliputi mendorong, menggapai,

memegang, dan tindakan ringan yang berulang (OH&S, 2003).

Jadi dapat disimpulkan manual handling adalah seluruh rangkaian

aktivitas pekerjaan yang masih mempergunakan tenaga manusia namun bukan

hanya aktivitas mengangkat, menurunkan, membawa, menarik, mendorong,

menggeser sesuatu saja, tetapi juga seluruh aktivitas ringan yang dilakukan secara

berulang. Kegiatan manual handling berisiko menimbulkan cidera dan

kecelakaan. Cidera akibat material manual handling dapat terjadi karena

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 14: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

21

Universitas Indonesia

memegang objek, atau postur tubuh saat memindahkan barang yang kurang baik.

Cidera dapat terjadi seketika maupun secara berangsur-angsur selama beberapa

tahun. Cidera yang dihasilkan dari aktivitas pada pekerjaan yang dilakukan ini

berkaitan dengan gangguan pada sistem muskuloskeletal. Untuk selanjutnya,

maka akan dijelaskan mengenai gangguan muskuloskeletal serta faktor risikonya.

2.4 MUSCULOSKELETAL DISORDERS

2.4.1 Definisi MSDs

Gangguan muskuloskeletal atau biasa yang disebut dengan MSDs adalah

serangkaian sakit pada otot, tendon dan saraf. Aktivitas dengan tingkat

pengulangan yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan pada otot, merusak

jaringan hingga kesakitan dan ketidaknyamanan. Ini bisa terjadi walaupun tingkat

gaya yang dikeluarkan ringan dan postur kerja memuaskan (OHSCO, 2007).

Menurut NIOSH (1997), gangguan muskuloskeletal adalah sekumpulan kondisi

patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem

muskuloskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan struktur penunjang

seperti discus intervertebral.

Definisi lain dijelaskan oleh ACGIH, musculoskeletal disorders

maksudnya adalah adanya suatu gangguan kronis pada otot, tendon, dan syaraf

yang disebabkan oleh penggunaan tenaga secara berulang (repetitive), gerakan

secara cepat, beban yang tinggi, tekanan, postur janggal, vibrasi, dan rendahnya

temperatur (ACGIH, 2007).

Berdasarkan berbagai definisi dari lembaga-lembaga tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa gangguan musculoskeletal merupakan suatu gangguan yang

menyerang otot, tendon, dan syaraf manusia yang disebabkan oleh aktivitas yang

dilakukan secara repetitif dengan postur janggal.

2.4.2 Jenis-jenis MSDs

Postur janggal merupakan faktor risiko pada kejadian MSDs karena pada

postur janggal, otot, tulang, dan sendi bekerja berlebihan memberikan tekanan

atau gaya untuk mempertahankan keseimbangan posisi tubuh tertentu. Postur

janggal akan meningkatkan risiko kejadian MSDs bila terjadi kombinasi dengan

faktor risiko ergonomi lain, seperti durasi, frekuensi, intensitas, repetitif, dan

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 15: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

22

Universitas Indonesia

adanya intervensi stressor dari lingkungan. Berikut ini adalah beberapa jenis

MSDs yang dapat diakibatkan oleh postur janggal, yaitu:

1. Low Back Pain, yaitu rasa sakit akut dan kronis dari tulang belakang pada

daerah lumbosacral, pantat dan kaki bagian atas yang biasanya terjadi karena

penipisan intervertebral disk atau berkurangnya cairan pada disk. Biasanya

terjadi pada pekerja yang suka mengangkat (Bridger, 2003)

2. Carpal Tunnel Syndrome, yaitu tendon pada carpal tunnel membengkak

karena penggunaan yang cepat dan berulang pada jari dan tangan.

menyebabkan nyeri, rasa terbakar, dan kemampuan menggenggam menurun.

Biasanya terjadi pada typist (Humantech, 1989,1995)

3. Bursitis, yaitu rongga yang berisi cairan pelumas sendi membengkak dan

inflamasi sehingga menyebabkan nyeri dan keterbatasan gerak (Bridger, 2003)

4. Epicondylitis, yaitu inflamasi pada otot dan jaringan penghubung yang berada

di sekitar siku karena adanya rotasi dan putaran yang terlalu sering. Biasanya

sering terjadi pada petenis (Bridger, 2003)

5. Sprain dan strains, terjadi saat ligamen atau otot terlalu tertekan karena

adanya postur yang memberi beban terhadap tubuh (Bridger, 2003)

6. Ganglion Cyst, yaitu benjolan di bawah kulit yang disebabkan karena

akumulasi cairan pada lapisan tendon. Ini biasanya ditemukan pada tangan dan

pergelangan tangan (Humantech, 1989, 1995)

7. Tendinitis, yaitu inflamasi pada tendon biasanya terjadi pada tangan dan

pergelangan tangan karena pekerjaan menggunakan postur yang tidak biasa

secara terus-menerus (Bridger, 2003)

8. Tenosynovitis, terjadi karena adanya inflamasi tendon dan pelapisnya dengan

pembengkakan pada pergelangan tangan aktifitas yang berlebihan pada tendon

yang disebabkan oleh beban dan pergerakan yang berulang (Pulat, 1997).

9. Trigger Finger, yaitu keadaan kaku dan gemetar pada jari karena gerakan

berulang dan penggunaan yang berlebihan dari jari, ibu jari atau pergelangan

tangan yang terus-menerus (Bridger, 2003)

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 16: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

23

Universitas Indonesia

2.4.3 Faktor risiko MSDs

Dalam suatu pekerjaan ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi risiko

terjadinya suatu cidera ataupun penyakit akibat kerja, yang biasa disebut dengan

musculoskeletal disorders, repetitive strain injury, cumulative trauma disorders

dan penyakit-penyakit lainnya. Amstrong et al.(1993) menjabarkan beberapa

faktor risiko ergonomi, yaitu faktor fisik pekerjaan, faktor organisasi kerja, dan

faktor psikososial. Sedangkan Bridger (2003) mengkategorikan kedalam empat

kelompok faktor-faktor risiko utama terhadap terjadinya gangguan

muskuloskeletal, yaitu beban, postur, frekuensi, dan durasi pekerjaan (Bridger,

2003).

a. Postur kerja

Salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam ergonomi adalah postur

kerja/working posture. Menurut Occupational Health and Safety Council of

Ontario dalam Resource Manual for the MSD Prevention Guideline for Ontario

(2006) disebutkan bahwa postur kerja adalah berbagai posisi dari anggota tubuh

pekerja selama melakukan aktivitas pekerjaan. Pembagian postur kerja dalam

ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh,

postur kerja dalam ergonomi terdiri dari:

1. Postur Netral (Neutral Posture), yaitu postur dimana seluruh bagian tubuh

berada pada posisi yang sewajarnya/seharusnya dan kontraksi otot tidak

berlebihan sehingga bagian organ tubuh, saraf jaringan lunak dan tulang tidak

mengalami pergeseran, penekanan, ataupun kontraksi yang berlebih.

2. Postur Janggal (Awkward Posture), yaitu postur dimana posisi tubuh (tungkai,

sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada

saat melakukan suatu aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh

manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu lama. Postur janggal akan

menyebabkan stress mekanik pada otot, ligamen, dan persendian sehingga

menyebabkan rasa sakit pada otot rangka. Selain itu, postur janggal

membutuhkan energi yang lebih besar pada beberapa bagian otot, sehingga

meningkatkan kerja jantung dan paru-paru untuk menghasilkan energi.

Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak energi

yang dibutuhkan untuk memepertahankan kondisi tersebut, sehingga dampak

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 17: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

24

Universitas Indonesia

kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin kuat (Bridger, 1995).

Beberapa bentuk postur janggal antara lain:

• Postur janggal pada Tulang Belakang

a. Membungkuk (bent forward), yaitu punggung dan dada lebih

condong ke depan membentuk > 200 terhadap garis vertikal.

b. Berputar (twisted), yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan

kiri dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan

berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

c. Miring (bent sideway), yaitu setiap deviasi bidang median tubuh

dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang

dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau

ke samping.

Membungkuk Memutar(Twisting) Miring (Bending)

Gambar 2.2 Postur Janggal Tulang Belakang Sumber: Humantech, 1989, 1995

Selain itu, terdapat postur janggal pada tulang punggung saat

mengangkat seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 2.3 Postur Mengangkat

Sumber: Bridger, 2003

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 18: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

25

Universitas Indonesia

• Postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan (kiri dan kanan)

Faktor risiko pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan

pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit (pinch

grip), tekanan pada jari terhadap objek (finger press), menggenggam

dengan kuat (power grip), posisi pergelangan tangan yang fleksi dan

ekstensi dengan sudut >450, serta posisi pergelangan tangan yang deviasi

selama lebih dari10 detik, dan frekuensi > 30/menit (Humantech,

1989,1995).

        

Gambar 2.4 Postur Janggal Tangan dan Pergelangan Tangan

Sumber: Humantech, 1989, 1995

• Postur janggal pada bahu (kiri dan kanan)

Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan pekerjaan

lengan atas membentuk sudut >45o ke arah samping atau ke arah depan

terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari atau

sama dengan 2 kali per menit dan beban > 4.5kg (Humantech, 1989,

1995).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 19: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

26

Universitas Indonesia

Lengan ke samping depan Lengan di belakang badan

Gambar 2.5 Postur Janggal Bahu Sumber: Humantech, 1989, 1995

• Postur janggal pada lengan bawah (kiri dan kanan)

Postur lengan bawah yang menjadi faktor risiko adalah posisi siku

sebesar 135º dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja

(Humantech, 1989, 1995).

Gambar 2.6 Postur Janggal Lengan Bawah

Sumber: Humantech, 1989, 1995

• Postur janggal pada leher

Postur leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan pekerjaan

(membengkokkan leher > 20º terhadap vertikal), menekukkan kepala atau

menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah (Humantech,

1989, 1995).

Menunduk Menoleh Menekukkan Menengadah

Gambar 2.7 Postur Janggal Leher Sumber: Humantech, 1989, 1995

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 20: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

27

Universitas Indonesia

• Postur janggal pada kaki

a. Jongkok (squatting), yaitu posisi tubuh dimana perut menempel

pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut,

pangkal paha, dan tulang lumbal.

b. Berlutut (kneeling), yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk,

permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada

lutut dan jari-jari kaki.

c. Berdiri pada Satu Kaki (stand on one leg), yaitu posisi tubuh

dimana tubuh bertumpu pada satu kaki.

Gambar 2.8 Postur Janggal Kaki

Sumber: Humantech, 1989, 1995

Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari:

1. Postur statis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif

atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur statis dalam jangka waktu

lama sehingga otot berkontraksi secara terus-menerus dan dapat menyebabkan

tekanan/stres pada bagian tubuh (Bridger, 2003). Pergerakan otot statis

menyebabkan aliran darah ke otot berkurang dan glikogen otot diubah menjadi

asam laktat yang mengakibatkan rasa lelah (Humantech, 1995). Berikut ini

contoh postur statis, yaitu:

a. Berdiri, yaitu kepala, punggung dan kaki tegak lurus atau sejajar dengan

sumbu vertikal.

b. Duduk, yaitu pantat menyentuh suatu permukaan dan terjadi fleksi pada

lutut 900. Posisi duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri,

karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki

(Nurmianto, 2004). Pada posisi duduk, jaringan lunak pada tulang

punggung antara anterior dan posterior tertekan sehingga menyebabkan

kesakitan (Bridger, 1995). Selain itu, sikap duduk yang tegang lenih

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 21: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

28

Universitas Indonesia

banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang (Nurmianto,

2004).

c. Berbaring, yaitu kepala, punggung dan kaki sejajar dengan sumbu

horizontal.

2. Postur dinamis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh

bergerak. Jenisnya adalah:

a. Carrying, yaitu aktivitas mengangkat beban sambil berjalan

b. Pulling, yaitu tarikan pada benda agar benda bergerak

c. Pushing, yaitu memindahkan benda dengan memberikan gaya agar benda

berpindah.

b. Frekuensi

Postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat

mengakibatkan tubuh kekurangan suplai darah, asam laktat yang terakumulasi,

inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya postur

janggal terkait dengan terjadinya repetitive motion dalam melakukan pekerjaan.

Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus-

menerus tanpa melakukan relaksasi (Bridger, 2003). Secara umum, semakin

banyak pengulangan gerakan dalam suatu aktivitas kerja, maka akan

mengakibatkan keluhan otot semakin besar. Pekerjaan yang dilakukan secara

repetitif dalam jangka waktu lama maka akan meningkatkan risiko MSDs apalagi

bila ditambah dengan gaya/beban dan postur janggal (OHSCO, 2007).

c. Durasi

Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Durasi dapat dilihat

sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpajan risiko. Durasi juga dapat

dilihat sebagai pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan

berdasarkan faktor risikonya. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada

faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya. Durasi diklasifikasikan

sebagai berikut :

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 22: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

29

Universitas Indonesia

• Durasi singkat : < 1 jam/hari

• Durasi sedang : 1-2 jam/hari

• Durasi lama : > 2 jam

Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan maksimum

tidak dapat bertahan lebih dari satu menit, jika kekuatan digunakan kurang dari 20

% kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus untuk beberapa

waktu. Sedangkan untuk durasi aktivitas dinamis selama 4 menit atau kurang

seseorang dapat bekerja dengan intensitas sama dengan kapasitas aerobik sebelum

beristirahat (Kroemer & Grandjean, 1997) .

d. Force atau beban

Force merupakan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan.

Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan memberikan

beban pada otot, tendon, ligamen, dan sendi. Objek merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Menurut ILO, beban

maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg.

Bentuk dan ukuran objek juga ikut mempengaruhi hal tersebut. Ukuran objek

harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek

yang besar yang dapat membebani otot pundak/bahu adalah lebih dari 300-400

mm, panjang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Suma’mur

(1989) menjabarkan cara menangani beban yang baik, yaitu:

1. Pegangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan

memegang dengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan

statis lokal pada jari dan pergelangan tangan.

2. Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan

untuk mengangkat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis

pada lengan yang melelahkan.

3. Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang

belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut

harus bengkok (fleksi) sehingga tubuh tetap berada pada posisi dengan

punggung lurus.

4. Posisi leher tegak sehingga seluruh tulang belakang diluruskan.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 23: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

30

Universitas Indonesia

5. Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum

yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki

ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh.

6. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak

mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari

pembebanan.

7. Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis

vertikal atau pusat gravitasi tubuh. Posisi tubuh yang menahan beban

cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang menjauhi pusat

gravitasi tubuh lebih berisiko MSDs.

Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada

sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak

boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari

terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 1996). Semakin berat objek yang

ditangani, tenaga yang dibutuhkan akan meningkat. Dapat disimpulkan, semakin

besar gaya yang dikeluarkan untuk menangani suatu objek, maka semakin tinggi

risiko terkait gangguan otot rangka apabila hal tersebut dilakukan dengan postur

yang salah dan berat objek melampaui batas maksimum yang diperbolehkan.

Pajanan terkait MSDs tersebut tidak hanya disebabkan oleh salah satu

faktor saja, melaikan adanya keterkaitan atau gabungan dari berbagai faktor risiko

ergonomi yang ada serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya.

Gangguan terhadap muskuloskeletal tersebut akan timbul semakin cepat apabila

suatu aktivitas kerja yang dilakukan dengan postur yang tidak tepat dengan beban

yang berat dan dilakukan secara repetitif dalam jangka waktu yang cukup lama.

2.4.4 Keluhan Muskuloskeletal

Aktivitas manual material handling (MMH) ataupun postur kerja yang

tidak tepat dapat menimbulkan kerugian bahkan kecelakaan pada karyawan.

Akibat yang ditimbulkan dari aktivitas MMH ataupun postur yang tidak benar

salah satunya adalah keluhan muskuloskeletal. Keluhan musculoskeletal adalah

keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 24: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

31

Universitas Indonesia

dari keluhan yang sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima

beban statis secara berulang dalam jangka waktu yang lama akan dapat

menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.

Keluhan inilah yang biasanya disebut sebagai muskuloskeletal disordes (MSDs)

atau cidera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Secara garis besar

keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat

otot menerima beban statis, tetapi keluhan tersebut akan segera hilang

apabila pembebanan dihentikan

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap

meskipun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot

masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).

Terdapat berbagai cara dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk

mengetahui tingkat keluhan muskuloskeletal, salah satunya adalah melalui Nordic

Body Map (NBM). Corlett (1992) memaparkan bahwa melalui NBM maka dapat

diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan

mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit) hingga sangat sakit. Dengan melihat dan

menganalisis peta tubuh (NBM), maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan

muskuloskeletal yang dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana, namun

memiliki keterbatasan, yaitu mengandung tingkat subjektivitas yang tinggi

(Tarwaka, 2004).

2.4.5 Tindakan Pengendalian Terhadap Keluhan MSDs

Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health

Administration (OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber

penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik melalui desain stasiun dan

alat kerja dan rekayasa manajemen melalui criteria dan organisasi kerja

(Grandjean, 1993). Berikut merupakan penjabaran dari dua cara tindakan

pengendalian yang telah disebutkan sebelumnya, antara lain:

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 25: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

32

Universitas Indonesia

1. Rekayasa teknik

Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa

alternatif sebagai berikut:

• Eliminasi, yaitu menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang

bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang

mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.

• Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan yang baru yang aman,

menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur

penggunaan peralatan.

• Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja,

sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja

lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dan sebagainya.

• Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit,

misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.

2. Rekayasa manajemen

Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai

berikut:

• Pendidikan dan pelatihan

Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami

lingkungan dan alat kerja, sehingga diharapkan dapat melakukan

penyesuaian dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko

sakit akibat kerja

• Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang

Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang maksudnya adalah

disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,

sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber

bahaya

• Pengawasan yang intensif

Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara

lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja

(Tarwaka, 2004).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 26: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

33

Universitas Indonesia

ACGIH mengakui bahwa gangguan musculoskeletal merupakan masalah

kesehatan kerja yang penting yang dapat dikelola dengan memberlakukan

program ergonomi untuk kesehatan dan keselamatan kerja. Kejadian MSDs dapat

dikendalikan dengan program ergonomi yang terbaik yang elemen-elemennya

mencakup:

• Rekognisi sumber masalah

• Evaluasi pekerjaan yang diduga mungkin sebagai faktor risiko

• Identifikasi dan evaluasi faktor-faktor yang menjadi penyebab

• Melibatkan pekerja sebagai peserta yang memberi tahu secara aktif

• Menyediakan perlindungan kesehatan yang tepat untuk pekerja yang

mengalami MSDs

Pengendalian program yang umum yang harus diimplementasikan ketika

risiko MSDs dikenali, meliputi:

• Pendidikan bagi pekerja, supervisor, engineers, dan manajer

• Melaporkan sejak awal gejala yang dialami oleh pekerja

• Evaluasi dan pengawasan secara terus menerus data medis, kesehatan, dan

cidera

Pengendalian secara khusus pada pekerjaan yang langsung berhubungan

dengan MSDs mencakup engineering controls dan administrative controls seperti

yang akan dijelaskan berikut ini.

1. Diantara pengendalian-pengendalian engineering untuk mengeliminasi atau

mengurangi faktor-faktor risiko pada pekerjaan, berikut ini yang dapat

dipertimbangkan:

• Menggunakan metode kerja, seperti analisis gerakan untuk mengeliminasi

pengerahan tenaga dan gerakan yang tidak seharusnya.

• Menggunakan bantuan mesin untuk mengeliminasi atau mengurangi

pengerahan tenaga dalam menggunakan alat dan objek kerja

• Menyeleksi atau mendesain peralatan untuk mengurangi beban,

menghemat waktu, dan memperbaiki postur

• Menyediakan tempat kerja yang dapat disesuaikan dengan penggunaannya

untuk mengurangi jangkauan dan memperbaiki postur

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 27: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

34

Universitas Indonesia

• Mengimplementasikan program pemeliharaan dan pengendalian kualitas

untuk mengurangi pergerakan dan beban yang tidak seharusnya,

khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak memiliki nilai

tambah

2. Pengendalian administratif untuk mengurangi risiko karena pengurangan waktu

pajanan, contohnya adalah:

• Mengimplementasikan standar kerja yang memberi izin pekerja untuk

berhenti sejenak atau melakukan peregangan otot seperlunya, paling

tidak hal tersebut dilakukansatu kali dalam satu jam

• Merealokasikan penempatan kerja, seperti memberlakukan rotasi

pekerja, sehingga pekerja tidak menghabiskan seluruh shift kerjanya

dengan melakukan atau mengerjakan tuntutan tugas atau pekerjaan yang

tinggi (ACGIH, 2007).

2.5 METODE PENILAIAN ERGONOMI

2.5.1 Ergonomic Assesment Survey (EASY)

Ergonomic Assesment Survey (EASY) adalah suatu metode yang

mengidentifikasi dan merangking kegiatan atau operasi dengan tingkatan

(frekuensi dan prioritas) dari faktor-faktor ergonomi. Hal ini merupakan simpulan

dari kesatuan alat penilaian risiko yaitu BRIEF Survey untuk pekerjaan dengan

data cidera / gangguan kesehatan dan feedback pekerja dengan memproses strategi

prioritas risiko. Metode EASY merupakan bagian pusat dari proses ergonomi.

EASY menyediakan metode untuk mengidentifikasi masalah yang merupakan

tujuan, sesuatu yang dapat dipercaya dan pendukung identifikasi prioritas. EASY

mengembangkan suatu pernyataan untuk fasilitas pada suatu kegiatan dengan

menentukan tingkat risiko tiap bagian tubuh. Rangking dari EASY akan

mengidentifikasi nilai total yang berkisar antara 1-7. Berdasarkan persetujuan

dengan sumber data sehingga pendekatan masalah lebih sistematis dan dengan

cara pendekatan yang logis (Humantech, 1989, 1995).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 28: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

35

Universitas Indonesia

2.5.2 Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF)

Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF) adalah alat

penyaring awal menggunakan struktur dan bentuk sistem tingkatan untuk

mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan

untuk menentukan sembilan bagian tubuh yang dapat berisiko terhadap terjadinya

gangguan muskuloskeletal. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi: tangan dan

pergelangan tangan kiri, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan dan

pergelangan tangan kanan, siku kanan, bahu kanan, dan kaki. Penilaian pekerjaan

menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari ketiga penetapan

data ( sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang paling

memberikan beban paling berat (Humantech, 1989, 1995)

Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur,

tenaga, durasi, dan frekuensi ketika mengamati kesembilan bagian tubuh tersebut.

Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tinggi, sedang, atau rendahnya

risiko untuk setiap bagian tubuh. Kelebihan BRIEF Survey, antara lain :

1. Dapat mengkaji hampir seluruh bagian tubuh (9 bagian tubuh).

2. Dapat menentukan risiko terhadap terjadinya CTD (Cumulative

Trauma Disorders).

3. Dapat menentukan bagian tubuh mana yang memiliki beban paling

berat.

4. Dapat mengidentifikasi awal peneyebab MSDs

5. Telah memenuhi persyaratan sebagai sebuah sistem analisa bahaya

MSDs yang diakui OSHA

6. Tidak membutuhkan seorang ahli ergonomi untuk melakukan

penilaian pekerjaan menggunakan BRIEF Survey

Kekurangan BRIEF Survey, antara lain :

1. Tidak dapat mengetahui total skor secara menyeluruh dari suatu

pekerjaan, karena skor yang dihitung berdasarkan bagian tubuh

yang dinilai

2. Banyak faktor yang harus dikaji

3. Membutuhkan waktu pengamatan yang lebih lama

4. tidak dapat digunakan untuk manual handling.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 29: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

36

Universitas Indonesia

2.5.3 Quick Exposure Checklist (QEC)

Quick Exposure Checklist (QEC) secara cepat menilai pajanan risiko dari

Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs). Metode ini dikembangkan

oleh Li dan Buckle (1999). QEC memiliki tingkat sensitivitas dan kegunaan yang

tinggi serta dapat diterima secara luas realibilitasnya. QEC dapat diaplikasikan

untuk jenis pekerjaan yang lebih luas. Dengan waktu pelatihan yang singkat,

penilaian dapat dilengkapi secara cepat untuk setiap tugas atau pekerjaan. QEC

memberikan evaluasi pada desain peralatan dan tempat kerja. QEC membantu

untuk mencegah berbagai macam WMSDs. Tujuan dari penggunaan QEC adalah :

1. Mengukur perubahan postur terhadap faktor risiko muskuloskeletal

sebelum dan sesudah intervensi ergonomi

2. Melibatkan kedua pihak yakni observer dan pekerja dalam

melaksanakan penilaian risiko dan mengidentifikasi kemungkinan

perubahan.

3. Mendorong peningkatan kualitas tempat kerja

4. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran pada manjer, teknisi,

designers, praktisi K3, dan pekerja mengenai faktor risiko

Musculoskeletal Disorders (MSDs) di tempat kerja.

5. Membandingkan pajanan antar karyawan dalam satu pekerjaan

ataupun antar karyawan pekerjaan berbeda.

Dalam penggunaannya QEC memiliki empat tahapan kerja yang meliputi :

1. Pengukuran oleh peneliti (Observer’s assessment)

Peneliti (observer) memiliki form isian tersendiri yang dapat diisi

melalui pengamatan kerja di lapangan. Sebagai alat bantu, dapat

menggunakan stopwatch guna menghitung durasi dan frekuensi kerja.

2. Pengukuran oleh pekerja (Worker’s assessment)

Seperti halnya peneliti (observer), pekerja pun memiliki form isian

sendiri, yang berisi pertanyaan seputar pekerjaan yang dilakukan.

3. Mengkalkulasi skor pajanan

Proses kalkulasi dapat dilakukan melalui dua cara, yakni manual

(dengan menjumlahkan skor pada lembar isian), ataupun dengan

program komputer

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 30: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

37

Universitas Indonesia

4. Consideration of action

QEC secara cepat dapat mengidentifikasikan tingkat pajanan dari

punggung, bahu/lengan tangan, pergelangan tangan dan leher. Hasil

dari metode ini juga merekomendasikan intervensi ergonomi yang

efektif untuk mengurangi tingkat pajanan

Metode QEC ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari

metode ini, antara lain adalah:

1. mencakup beberapa faktor risiko fisik terbesar terkait WMSDs

2. mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan dapat digunakan oleh

peneliti yang belum berpengalaman

3. mempertimbangkan kombinasi dan interaksi berbagai macam faktor

risiko di tempat kerja

4. menyediakan tingkat sensitivitas dan kegunaan yang baik

5. realibilitas dapat diterima secara luas

6. mudah dipelajari dan cepat digunakan

Disamping berbagai keuntungan tersebut, metode ini juga memiliki

beberapa kekurangan, antara lain :

1. metode hanya berfokus pada faktor fisik di tempat kerja

2. hipotesis skor pajanan yang disarankan pada action level

membutuhkan validasi

3. pelatihan dan praktek tambahan diperlukan oleh penggunan yang

belum berpengalaman untuk pengembangan reliabilitas pengukuran

(Stanton, dkk, 2005).

2.5.4 Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah suatu metode penilaian

postur utuk menentukan risiko gangguan kesehatan yang disebabkan oleh tubuh

bagian atas. RULA merupakan metode analisis cepat dan sistematik dari risiko

postur terhadap pekerja. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan

intervensi untuk menggambarkan atau memperlihatkan efektivitas dari

pengendalian yang telah dilaksanakan.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 31: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

38

Universitas Indonesia

Tingkat risiko dihitung dalam skor 1 yang berarti memiliki tingkat risiko

rendah hingga skor 7 yang berarti memiliki tingkat risiko tinggi. Skor tersebut

disatukan ke dalam empat kategori action level yang mengindikasikan jangka

waktu yang tepat untuk dilakukannya tindakan pengendalian yang disarankan.

RULA biasanya digunakan pada pekerjaan di depan komputer, manufaktur atau

retail dimana pekerja duduk atau berdiri tanpa adanya pergerakan. Tujuan dari

RULA adalah sebagai berikut:

1. Mengukur risiko muskuloskeletal, biasanya sebagai bagian dari sebuah

investigasi ergonomi

2. Membandingkan beban muskuloskeletal yang terjadi dan memodifikasi desain

tempat kerja

3. Mengevaluasi hasil, seperti produktivitas atau kesesuaian peralatan

4. Mendidik pekerja terhadap risiko muskuloskeletal yang ada di berbagai postur

kerja yang berbeda

Prosedur menggunakan RULA terbagi ke dalam tiga langkah, yaitu:

1. Memilih postur yang akan dinilai

2. Postur dinilai dengan menggunakan lembar penilaian, diagram bagian tubuh,

dan tabel

3. Nilai diubah ke dalam kategori action level dari angka 1hingga 4 (Stanton,

dkk, 2005).

Seperti metode penilaian ergonomi yang lain, RULA juga memiliki

kelebihan. Kelebihan RULA adalah sebagai berikut:

1. Panduan cepat dan mudah untuk mendeterminasi keberadaan WMSDs

2. Efektif untuk menilai postur bagian atas

3. Sudah mencakup postur, tekanan, dan frekuensi

4. Dapat mengidentifikasi pada bagian tubuh mana yang berisiko paling besar

pada suatu pekerjaan

5. Score pada RULA dilengkapi dengan action level yang menggambarkan

prioritas tindakan.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 32: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

39

Universitas Indonesia

Selain kelebihan yang telah disebutkan tersebut, RULA juga memiliki

kekurangan, antara lain:

1. Tidak menilai postur secara keseluruhan

2. Hanya efektif pada sedentary task

3. Beban (force) dan waktu (frekuensi & durasi) tidak dijelaskan secara spesifik

pada setiap bagian tubuh

4. Waktu untuk intervensi tidak dijelaskan secara jelas.

2.5.5 The Ovako Working Posture Analysis System (OWAS)

The Ovako Working Posture Analysis System (OWAS) merupakan suatu

metode yang digunakan dalam mengevaluasi postur tubuh pekerja selama bekerja,

dengan menganalisa berdasarkan klasifikasi sederhana dan sistematik dari postur

saat bekerja yang dikombinasikan dengan observasi dari kegiatan pekerjaan.

OWAS mengizinkan pengguna OWAS untuk mengestimasi berdasarkan beratnya

objek yang diangkat ataupun kekuatan yang digunakan saat bekerja. Dalam

perhitungannya, metode ini juga mengikutsertakan waktu observasi dan kaitannya

dengan kegiatan pekerjaan yang memungkinkan menghubungkan setiap postur

yang dilakukan dengan kegiatan pekerjaan yang mempengaruhinya (ILO, 1998).

Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode OWAS

Kelebihan Kekurangan • Mudah digunakan

• Hasil observasi bisa dibandingkan

dengan benchmarks untuk

menentukan prioritas intervensi

• Angka pada tiap bagian tubuh bias

digunakan untuk perbandingan

sebelum dan sesudah intervensi untuk

mengevaluasi keefektifitasannya

• Angka pada tiap bagian tubuh bias

digunakan untuk studi epidemiologi

• Tidak adanya informasi mengenai

durasi waktu kerja dari postur

kombinasi

• Tidak ada perbedaan klasifikasi

antara lengan kiri dan kanan

• Tidak memperhitungkan mengenai

posisi siku, pergelangan tangan atau

tangan

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 33: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

40

Universitas Indonesia

2.5.6 Rapid Entire Body Assessment (REBA)

Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah cara penilaian tingkat

risiko dari repetitive motion dengan melihat pergerakan/ postur yang dilakukan

oleh pekerja. Pengukuran dilakukan menggunakan task analysis (tahapan kegiatan

kerja dari awal hingga akhir).

Sistem penilaian REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang

dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan MSDs

dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian

berdasarkan postur-postur yang terjadi beberapa bagian tubuh dan melihat beban

atau tenaga yang dikeluarkan serta aktivitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan

untuk setiap bagian tubuh untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan

atau penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan postur yang dilakukan.

Cara perhitungan adalah dengan memberi nilai pada setiap postur yang

terjadi, yang terdiri dari tiga group, yakni : pertama pada bagian leher, punggung,

dan kaki ; kedua pada bagian lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan ;

ketiga merupakan penggabungan antara bagian pertama dan bagian kedua. Bagian

pertama dijumlahkan dengan berat sedangkan bagian kedua dijumlahkan dengan

coupling, dan ketiga dijumlahkan dengan aktivitas yang dilakukan. Setelah

didapatkan hasilnya maka dapat ditentukan rekomendasi untuk tindakan

pengendalian, berdasarkan atas tingkat risiko yang terjadi (Stanton, dkk, 2005).

Tabel 2.4 REBA Action Levels

Skor REBA Tingkat Risiko Action Level Tindakan

1

2-3

4-7

8-10

11-15

Diabaikan

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0

1

2

3

4

Tidak perlu

Mungkin perlu

Perlu

Perlu segera

Sekarang juga

Sumber: Stanton, dkk, 2005

Alasan penulis menggunakan metode REBA di dalam penelitian ini

dikarenakan metode ini menilai risiko pada seluruh bagian tubuh dan juga menilai

postur dinamis dan juga statis. Validitas dan reliabilitas metode REBA juga telah

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 34: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

41

Universitas Indonesia

diuji, sehingga penelitian dapat diterima secara ilmiah. Selain itu, metode ini juga

tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penelitiannya dan mudah untuk

digunakan. Metode ini tentu saja bukanlah metode yang paling baik digunakan,

namun mungkin lebih sesuai untuk penelitian ini. Berikut merupakan kelebihan

dan kekurangan dari metode ini.

Tabel 2.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode REBA

Kelebihan Kekurangan

• Menilai risiko pada hampir semua bagian

tubuh seperti dada, leher, kaki,

pergelangan tangan, anggota gerak atas

dan bawah

• Memisahkan penilaian untuk pergelangan

tangan, anggota gerak atas dan bawah

menjadi sisi kanan dan kiri

• Menilai faktor risiko ergonomi lain,

seperti postur janggal, durasi, frekuensi,

coupling, dan force.

• Dapat digunakan untuk menilai postur

statis, postur dinamis, postur tidak stabil

yang selalu cepat.

• Dapat menilai hampir semua aktivitas

tubuh.

• Dapat digunakan untuk menilai lebih dari

satu spesifik task.

• Sensitif terhadap risiko MSDs pada

berbagai task.

• Skor final REBA menunjukkan action

level dengan indikasi dari urgensi postur

yang dinilai.

• Kerangka waktu untuk intervensi tidak

diberitahukan dengan jelas.

• Belum menilai faktor risiko ergonomi

dari lingkungan.

• Hanya menganalisis faktor risiko postur,

dan tidak ada analisis terhadap faktor

risiko ergonomi secara lengkap.

• Tidak ada analisis terhadap faktor risiko

individu dan organisasi.

• Faktor risiko fisik lainnya tidak di ukur.

• Tidak ada pengukuran durasi dan

frekuensi tiap bagian tubuh secara lebih

spesifik.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 35: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

42 Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI

OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Secara garis besar menurut Bridger (2003), faktor-faktor risiko yang

terdapat pada pekerjaan terkait dengan risiko terjadinya MSDs, yaitu: postur,

frekuensi, durasi, dan beban.

Bagan 3.1 Faktor risiko MSDs

Postur

Frekuensi

Durasi

Beban

Faktor risiko MSDs

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 36: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

43

Universitas Indonesia

3.2 Kerangka Konsep

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah REBA (Rapid

Entire Body Assesment). Dalam metode ini, terdapat beberapa faktor risiko

pekerjaan yang menjadi penelitian, yaitu: postur, beban, coupling, durasi, dan

frekuensi. Selain itu, digunakan Nordic Body Map dalam penelitian untuk melihat

gambaran tingkat keluhan terkait MSDs. Semua variabel-variabel tersebut

dituangkan dalam kerangka konsep sebagai berikut:

Bagan 3.2 Kerangka Konsep

Faktor Risiko Pekerjaan Inspeksi kain, pembungkusan, dan pengepakan (mengangkat kain)

• Postur Janggal (leher, tulang belakang, kaki, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan)

• Gaya/beban • Coupling • Aktivitas

(Frekuensi dan durasi)

Tingkat Risiko Ergonomi dengan Metode REBA

Keluhan MSDs dengan Nordic Body Map

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 37: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

Universitas Indonesia 44

3.3 Definisi Operasional

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka definisi operasional dari setiap variabel adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur Tingkat risiko ergonomi

Hasil akhir dari proses penilaian terhadap postur tubuh penggunaan otot dan penggunaan kekuatan/muatan yang telah dilakukan responden mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

REBA Ordinal • Skor 1 : Sangat rendah • Skor 2-3 : Rendah • Skor 4-7 : Sedang • Skor 8-10 : Tinggi • Skor 11-15 : Sangat tinggi

Postur (leher, batang tubuh/tulang belakang, kaki, lengan atas kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan, pergelangan tangan kiri dan kanan)

Sikap atau posisi bagian tubuh (leher, batang tubuh/tulang belakang, kaki, lengan atas kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan, serta pergelangan tangan kiri dan kanan) pekerja saat melakukan pekerjaan pada masing-masing proses kerja yang terdiri dari inspeksi kain, pembungkusan, pengepakan (mengangkat kain).

REBA Checklist,

Handycam, Busur derajat

Nominal Penilaian Posisi Leher:

Penilaian Posisi Tulang Belakang:

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 38: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

Universitas Indonesia 45

Penilaian Posisi Kaki:

Penilaian Postur Lengan atas:

Penilaian Postur Lengan Bawah:

Penilaian Postur Pergelangan Tangan

Force/beban Gaya yang dibutuhkan untuk aktivitas manual handling atau massa beban yang diangkat.

REBA checklist

Interval Penilaian Gaya/Beban: 1. + 0, untuk beban 0-5 kg 2. + 1, untu beban 6-10 kg 3. +2 untuk beban > 10 kg

Coupling Posisi genggaman tangan terhadap objek yang disentuh, diangkat atau dipindahkan.

REBA checklist

Ordinal Penilaian Coupling: 1. Good = +0 2. Fair = + 1

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

Page 39: S-5642-Tinjauan faktor-Literatur.pdf

Universitas Indonesia 46

3. Poor = +2 4. Unacceptable = +3

Aktivitas (durasi dan frekuensi)

Lama anggota tubuh melakukan pekerjaan dan pengulangan yang terjadi

REBA checklist

timer

Nominal Penilaian Aktivitas: • +1 jika postur janggal dilakukan lebih dari 1

menit • +1 jika postur janggal dilakukan > 4 kali per

menit • +1 jika perubahan signifikan dari postur

janggal sati ke postur janggal lainnya dilakukan dalam rentan waktu yang berdekatan

Keluhan MSDs Keluhan yang berhubungan dengan MSDs berupa rasa sakit atau nyeri, kesemutan, kramp, panas, bengkak mati rasa, pegal-pegal, dan bagian tubuh yang terkena dampak

Kuesioner Nordic Body Map (NBM)

Nominal • Ya • Tidak

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia