SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum...
Transcript of SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum...
STUDI PERBANDINGAN :
KONSEP ‘URF ANTARA HIZBUT TAHRIR DAN MAZHAB FIQH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Salahsatu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh:
Iwan Kurniawan
NIM : 1111043100012
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1437 H
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Iwan Kurniawan (111103100012), Studi Perbandingan : Konsep ‘Urf antara
Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih (Empat Mazhab). Konsentrasi
Perbandingan Mazhab Fikih Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam kajian ushul fiqh, ijtihad merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menggali kandungan makna, maksud, dan hukum-hukum yang terkandung dalam al Qur’an dan as Sunnah. Sehingga ijtihad memiliki berbagai macam pendekatan yang digunakan dalam pembentukan hukum, salah satunya ialah ur’f yang banyak digunakan dalam pembentukan hukum terutama dikalangan mazhab yang empat. Namun, seiring perkembangan waktu muncul gerakan dan pemikiran yang menjadikan ideologi Islam sebagai cara pandang organisasinya, yaitu Hizbut Tahrir. Dalam ijtihadnya Hizbut Tahrir beristidlal dengan empat sumber yaitu al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas, disamping keempat sumber atau dalil tersebut tidak dipakai oleh Hizbut Tahrir seperti ‘Urf, Maslaha Mursalah, dan sebagainya. Hizbut Tahrir memandang bahwa dalil selain empat dalil yang dipahami Hizbut Tahrir di atas sebagai metode yang menyerupai dalil dan tidak dapat berhujjah dengannya. Sedangkan mazhab fikih mengjadikan ‘urf sebagai dalil serta banyak hukum yang dihasilkan akannya. Lalu, Bagaimana konsep ‘Urf yang dipahami Hizbut Tahrir di tinjau dari Mazhab Fikih (empat mazhab) ? untuk itu perlu pembahasan yang terperinci mengenai konsep ‘urf antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih (empat mazhab).
Metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan normatif serta metode perbandingan hukum. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian kepustakaan yang kitab ushul fikih Hizbut Tahrir dan kitab-kitab mazhab fiqih.
Setelah dilakukan penelitian dan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa
Hizbut Tahrir membagi persoalan tersebut kedalam tiga hal yaitu Taqdiraat, Istilah, dan ‘Urf, sedangkan madzhab fiqh (empat mazhab) tidak memberikan pembagian dalam persoalan tersebut. Sehingga Hizbut tahrir tidak menerima kaidah محكمة mereka menganggap bahwa kaidah tersebut sesuatu kaidah ,الع����ادةyang salah dan tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam menetapkan hukum. Begitu pula sebaliknya bahwa ulama’ mazhab menjadikan kaidah tersebut pada banyak permasalahan hukum, dengan batasan-batasan yang telah mereka rinci. Meskipun keduanya berbeda dalam memahami ‘urf, akan tetapi keduanya sama-sama mengedepankan memahami bahwa hukum yang dihasilkan oleh ‘urf tidak boleh bertentangan dengan nash. Adapun terkait dengan persamaan dan perbedaan antara Hizbut Tahrir dan madzhab fiqh (empat madzhab) dalam memahami urf dan adat sebagai sebuah metodologi dalam menemukan hukum merupakan sebuah kehati-hatian dalam menghasilkan sebuah hukum yang mana hukum tersebut akan dijadikan sebagai sebuah panduan dalam kehidupan. Hal tersebut juga menjadi
v
poin positif dalam Islam sebagai wawasan dan pengetahuan tetapi tetap pada batasan nash yang shahih.
Kata kunci : ‘Urf, Hizbut Tahrir, dan Mazhab Fikih (empat mazhab) Pembimbing : Dr. A. Sudirman Abbas, MA. dan Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc.,
MA.
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama ◌ Fath}ah A A
◌ ◌ Kasrah I I
◌ D}amah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama GabunganHuruf Nama
ى... Fath}ah danya Ai a dan i
و... Fath}ahdanwau Au a dan w
Contoh:
h}aul : حول H}usain : حسني
vii
C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah danalif a> a dangaris di atas ــــا
Kasrah danya i> i dangaris di atas ــــي
D}amah danwau u> u dangaris di atas ــــو
D. Ta’Marbu>t}ah (ة)
Transliterasi ta’ marbu>t}ah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata
sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah (مرأة) madrasah ( مدرسة(
Contoh:
al-Madi>nat al-Munawwarah : املدينةاملنورة
E .Shaddah
Shaddah tashdi>d pada transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.
Contoh:
nazzala : نزل
F. Kata Sandang
Kata sandang “الـ” dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya,
jika diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan
ditulis “al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya ال ditulis lengkap
baik menghadapi al-Qamariyah, contoh kata al-Qamar (القمر) maupun al-
Shamsiyah seperti kata al-Rajulu (الرجل)
Contoh:
al-Qalam : القلم al-Shams : الشمس
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan limpahan nikmat, karunia, dan hidayah-Nya
sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul : “Studi Perbandingan : Konsep
‘Urf antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fiqh” dapat terselesaikan.
Shalawat teriring salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad Saw, seorang pelopor ilmu pengetahuan dan pendobrak
kejahiliyyahan, yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju
zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-sahabat-Nya, tabi’in,
tabi’it tabi’in, dan kita umat-Nya semoga mendapat syafa’at-Nya kelak.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan
kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan
Allah SWT, do’a dan semngat yang senantiasa diberikan oleh kedua orang tua
penulis. Serta tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
membantu, dan memotivasi penulis, terutama :
1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti
Hanna, S.Ag, Lc., MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum. Merekalah yang telah memberikan bimbingan dan juga masukan
ix
serta meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. H. Mujar Ibn Syarif, M. Ag selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya selama masih
dalam masa perkuliahan.
4. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA. dan Ibu Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc., MA.
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu,
tenaga, dan pikirannya disela-sela kesibukan, serta banyak memberikan
bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan
ilmu yang berharga, nasehat-nasehat yang memotivasi, serta kesabaran dalam
mendidik dan membimbing penulis selama masa studi.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur
kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, yang telah berkenan memberikan kelancaran dalam
peminjamaan buku-buku penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepada guruku Ust Cipta Bakti Gama dan Ust Ade Sudiana yang telah
memberikan bimbingan dan waktu untuk mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
x
8. Orang tua tercinta, Ayahanda Al Imron dan Ibunda Holiba yang sangat
berperan dalam mengasuh, mendidik, dan membimbing penulis dengan penuh
kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan dukungan
baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Adik-adikku tersayang Al Hafiz dan Al Hady yang senantiasa mendo’akan
dan memberikan dukungan serta semngat selama proses penulisan skripsi ini.
Keluarga yang telah memberikan motivasi dan dukungannya, Endek Jawar
dan keluarga, Koneng Kopek dan keluarga, Itam Ziroh dan keluarga.
10. Teman-teman organisasi Ikatan Alumni Pondok Pesantren al-Ittifaqiah
(IKAPPI Jakarta) yang memberikan suasana kekeluargaan selama penulis di
Jakarta. Teman-teman KAMSRI (Kesatuan Angkatan Muda Sriwijaya) yang
memberikan semngat dan pembelajaran kepada penulis di tanah rantau.
Teman-teman PMII cabang Ciputat, khususnya KOMFAKSYAHUM
(Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum) yang telah memberikan semangat
dan dukungannya kepada penulis. Adik-adik dan rekan-rekan di MootCourt
Community (MCC) yang selalu menghibur dan memberikan semngat dalam
penulisan skripsi ini, serta sahabat-sahabatku THE LEGEND OF MCC 2014
yang saling memotivasi dalam penyelesaian skripsi.
11. Teman-teman PMF dan PH ankatan 2011 yang selalu membantu,
mendukung, dan menemani selama penulisan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabatku tercinta, Muhammad Fadil, Ahmad Hafizul Wahyudin,
Muslim Bahori, Aidil Fitriansyah yang telah menemani dan memberikan
canda dan tawa dalam penyelesaian skripsi ini.
xi
13. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan nasehat sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bias berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka yang telah
membantu diberi ganjalan yang setimpal. Amiiin
Jakarta, 10 Oktober 2015
Penulis
xii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING i
LEMBAR PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN vi
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 9
D. Kajian Terdahulu 10
E. Metodologi dan Tekhnik Penelitian 13
F. Sistematika Penulisan 15
BAB II EKSISTENSI ‘URF DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian ‘Urf 17
B. Macam-macam ‘Urf 22
C. Syarat-syarat ‘Urf 27
D. Kehujjahan ‘Urf 28
BAB III GAMBARAN UMUM HIZBUT TAHRIR (HT) DAN
MAZHAB FIKIH
A. Gambaran Umum Hizbut Tahrir 31
a. Sejarah Singkat Hizbut Tahrir 31
xiii
b. Metode Dakwah Hizbut Tahrir 35
c. Tujuan dan Aktivitas Hizbut Tahrir 38
B. Gambaran Umum Mazhab Fikih 43
a. Mazhab Hanafi 43
b. Mazhab Maliki 45
c. Mazhab Syafi’i 47
d. Mazhab Hambali 52
BAB IV ANALISI PERBANDINGAN KONSEP ‘URF ANTARA
HIZBUT TAHRIR (HT) DAN MAZHAB FIKIH
A. Konsep ‘Urf dalam Pandangan Hizbut Tahrir 55
B. Konsep ‘Urf dalam Pandangan Mazhab Fikih 61
C. Persamaan dan Perbedaan Konsep ‘Urf antara Hizbut Tahrir
dan Mazhab Fikih 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 74
B. Saran 75
DAFTAR PUSTAKA 77
LAMPIRAN
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw bersifat universal, tidak
terbatas waktu dan tempat tertentu. Ajaran Islam juga berlaku untuk seluruh
manusia, dimanapun mereka berada. Keuniversalan ajaran Islam membawa
konsekwensi komprehensifnya kandungan ajarannya dalam menjawab setiap
permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu .1 Perubahan masyarakat
merupakan sebuah penomena alamiah yang terjadi di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat sejalan dengan perputaran waktu, sehingga kehidupan manusia
secara teratur bergerak menuju kepada kesempurnaan. Tidak ada masyarakat yang
hidup dalam kondisi stabil dan tetap pada waktu yang berbeda, semua bergerak,
mengalir menuju sebuah peradaban yang kian sempurna, sehingga memahami
perubahan masyarakat adalah perlu untuk mencermati serta mengantisipasi
pembaharuan dimasa yang akan datang.2 Menurut Harun Nasution bahwa
perubahan itu identik dengan modernisme yang ada di Barat. Sedangkan
modernism memiliki makna pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.3
1 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : ElSAS Jakarta,2008).hlm.3.
2 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat.(Jakarta : PT DIAN RAKYAT, 2010).hlm.1.
3 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,Sejarah,Pemikiran,dan Gerakan.(Jakarta : Bulan Bintang,1975).hlm.11.
2
Konsensus menuju kepada perubahan yang telah digagas oleh para
founding father Bangsa Indonesia salah satunya merestorasi budaya hukum yang
berkembang dengan tidak melepaskan pada dasar-dasar pancasila yaitu sila
pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” sehingga ide dalam mengaktualisasikan
hukum Islam terus tertanam dalam diri kaum muslimin. Dalam mengakomoodir
permasalahan kontemporer yang belum tercakup hukumnya dalam kajian ulama
terdahulu sehingga perlu adanya formulasi hukum yang mampu menjawab setiap
persoalan masyarakat, dalam hal ini ada berbagai golongan/ormas Islam yang
memiliki kewenangan untuk memberikan jawaban atas persoalan hukum bagi
anggotanya dengan menggunakan metodologi yang berbeda antara satu ormas
dengan ormas lainnya.
Pada dasarnya ilmu syariah mengandung dua hal pokok. Pertama tentang
materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan oleh seorang muslim dalam
usaha mencari kebahagiaan dunia dan akherat yang disebut sebagai fikih produk
utuh dari formulasi hukum Islam. Kedua tentang cara, usaha, ketentuan dalam
menghasilkan materi tersebut yang disebut dengan ushul fikih yang bertujuan
memberikan kemampuan kepada para mujtahid untuk menerapkan kaidah ushul
fikih guna memperoleh hukum syara’ amali dari dalil-dalil yang terperinci.
Dengan demikian, seorang mujtahid akan mampu memahami nash-nash syariah
baik yang bersifat jali> (jelas) dan khafi> (tersembunyi) serta mampu menyimpulkan
hukum yang dikandungnya sebagaimana ia mampu memberlakukan qiyas,
3
istih}san, maslah}ah, istish}ab, ’urf 4 dan lain sebagainya untuk memperoleh hukum
dari kejadian yang baru.5 Sedangkan usaha pemahaman,penggalian,dan
perumusan hukum yang digali dari al-Qur’an dan as-Sunnah dikalangan ulama
disebut istinbat} yaitu usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya6 (al-
Qur’an dan as-Sunnah)7.
Formulasi hukum yang dilakukan oleh para ulama yang tergabung dalam
ormas-ormas di Indonesia melalui Ijtihad8 seperti yang dilakukan oleh Hizbut
4 Qiyas yaitu mempersamakan suatu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya
oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentikan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash atau menyamakan cabang dengan asal terhadap suatu peristiwa hukum berdasarkan illat yang terkandung didalam keduanya, Abu al-Munzir Mahmud bin Muhammad bin Mustafa > bin Abdul at-T{ayafa al-Munyawi, al-Tamhi>d (Syarah Mukhtas}ar al-Us}ul min ‘Ilmu Us}ul (Mesir:Maktabah Syamilah, 1432 H/2011 M). Hlm. 100. Istih}san yaitu berpindah dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum yang lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan hukum lain, menyisihkan atau meninggalkan ketentuan hukum, mengecualikan sebagian ketentuan hukum umum yang mencakupnya ,ataupun mentakhsiskan sebagian suatu hukum dari hukum umum, Iyad bin Naami bin audi al-Sulamii, Us}ul al-Fiqh alladzi la > Yasa’u al-Faqi>h Jahlahu (Riyad:Dar al-Tadmariya, 1426 H/2005 M). Hlm. 194. Maslah}ah yaitu mensifati sesuatu hukum untuk memperbaiki perubahan hukum dan tujuannya, akan tetapi tidak berdasarkan kepada dalil yang telah ditetapkan dengan perhitungan syara’ atau yang telah dibatalkan oleh syara’, yang mana hukum yang dihasilkan tersebut berdasarkan kepada kemaslahatan manusia dan menolak kemafsadatan, Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi> Us}ul al-Fiqh (Beirut:Dar al-Fikr, 1435 H/ 2014 M). Hlm.92. Istish{ab yaitu menjadikan lestari keadaan sesuatu yang sudah ditetapkan pada masa lalu sebelum ada dalil yang mengubahnya, apabila sudah ditetapkan suatu perkara pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada dalil baru yang mengubahnya, Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi > Us}ul al-Fiqh, Hlm.113. ‘Urf yaitu kebiasaan yang melekat berjalan secara terus menerus dalam suatu masyarakat, Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi > Us}ul al-Fiqh, Hlm. 97.
5 Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi> Us}ul al-Fiqh, Cet.ke-2. (Damaskus : Daar al-Fikr,1999).
Hlm.15. 6 Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang tak pernah kering bahkan
memiliki deposit yang mampu menyirami setiap perkembangan hukum yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan/maslahat umat sepanjang masa yang berbeda dan seputar tempat yang berlaianan budaya. Semua kaum muslimin dapat mengikuti perkembangan peradaban dan peningkatan kepentingan/kemaslahatan dan mereka tidak menemui hambatan dalam mencari hukumnya, asal saja mereka menemukan dan memanfaatkan cahaya yang menunjukkan hukumnya, cahaya yang mampu menembus batas ruang dan waktu.
7 Amir Syarifuddin, Us}ul Fikih Jilid 2.Cet.4.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2008).hlm.1.
8 Ijtihad adalah usaha yang gigih dan sungguh-sungguh. Dalam kajian ushul fikih ijtihad diartikan dengan mencurahkan segala daya dan upaya serta kemampuan yang dilakukan oleh seseorang untuk memformulasikan hukum-hukum syara’ yang bersifat praksis,dengan jalan melakukan istinbath dari dalil-dalil yang terperinci.sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia Ijtihad merupakan usaha penyelidikan tentang sesuatu hal yang merupakan pengerahan
4
Tahrir Indonesia (HTI) merupakan upaya formulasi hukum dalam merespon setiap
persoalan yang muncul. Metodologi istinbath hukum yang dilakukan oleh setiap
ormas dalam menghasilkan sebuah hukum itu berbeda-beda. Seorang mujtahid
bebas berijtihad asal tidak membatalkan hasil ijtihad yang telah disepakati
sebelumnya oleh para ulama, begitupun ulama setiap ormas yang memiliki ijtihad
masing-masing dalam menetapkan suatu hukum. Berbeda halnya bila seorang
mujtahid membatalkan hasil ijtihadnya sendiri karena situasi dan kundisi yang
berbeda atau menemukan dalil yang lebih kuat. Bahkan dalam menetapkan hukum
tidak jarang terjadi perbedaan pendapat diantara imam mazhab, walaupun mereka
sama-sama merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah disamping sumber hukum
lainnya yang muttafaq’alaih maupun yang mukhtalaf fih.9 Ia diperlukan bukan
saja pada masa sekarang akan tetapi dibutuhkan juga pada masa Rasulullah.
Ijtihad sebagai suatu prinsip gerak dinamis dalam ajaran Islam yang merupakan
aktivitas daya nalar yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam menggali dan
menerapkan hukum Islam.10
Dalam kajian ushul fikih, ijtihad merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk menggali kandungan makna, maksud, dan hukum-hukum yang
terkandung dalam al Qur’an dan as Sunnah.11 Sehingga ijtihad memiliki berbagai
macam pendekatan yang digunakan dalam pembentukan hukum, salah satunya
segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan menggali hukum-hukum yang terkandung didalam al-quran dengan syarat-syarat tertentu.(Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Balai Pustaka.hlm.321.)
9 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’i. (Jakarta : MUI Provinsi Jakarta, 2012). Hlm. 54-55.
10 Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Us}ul Fiqh.(Ciputat : Adelina Bersaudara, 2010).hlm.2.
11 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Us}ul Fiqh.(Bandung : Pustaka Setia,2008).hlm.187.
5
ialah ‘urf yang banyak digunakan dalam pembentukan hukum terutama Indonesia
yang mengadopsi kebiasaan sebagai sumber hukum disamping hukum Islam
dalam pembentukan hukum Nasional. Kebiasaan merupakan suatu tata cara hidup
yang dianut oleh masyarakat atau suatu bangsa dalam waktu yang lama, pada
hakikatnya memberikan pedoman bagi masyarakat atau bangsa yang bersangkutan
untuk berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai hal kehidupan.12 Hukum
adat/’urf di Indonesia tidak mengenal sistem peraturan yang statis. Tiap-tiap
hukum adat timbul, berkembang, dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya
peraturan baru, peraturan baru tersebut akan berkembang juga tetapi kemudian
akan lenyap dengan adanya perubahan rasa keadilan yang menimbulkan
perubahan peraturan.13 Tidak semua kebiasaan yang mengandung hukum
(adat/’urf) yang baik dan adil. Oleh karenanya belum tentu kebiasaan tersebut
menjadi sumber hukum. Jadi kebiasaan-kebiasaan yang baik dan diterima
masyarakat sesuai dengan kepribadian masyarakat yang kemudian berkembang
menjadi hukum kebiasaan (adat/’urf).14
Dewasa ini ’urf /adat sering kali digunakan dalam menentukan hukum
untuk mengakomodir setiap persoalan yang berkembang saat ini. ‘Urf sebagai
sebuah metode pendekatan dalam menghasilkan sebuah hukum yang mampu
memberikan maslahat bagi umat diadopsi oleh berbagai ormas di Indonesia salah
satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ormas tersebut muncul sejak tahun
1980-an sampai setelah reformasi, Ormas tersebut sebagai actor baru yang sering
12 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum.(Ciputat : Lembaga
Penelitian UIN Jakarta,2009).hlm.48. 13 Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas.Cet.II.(Yogyakarta : Liberty,1981).hlm.176-
177. 14
R. Soeroso, S., Pengantar Ilmu Hukum.Cet.10. (Jakarta : Sinar Grafika,2008).hlm.151.
6
disebut “Gerakan Islam Baru” (new Islamic movement). Kemunculan gerakan
tersebut sejalan dengan munculnya beberapa ormas diantaranya adalah Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI),Kelompok-kelompok Tarbiyah (yang kemudian
menjadi Partai Keadilan Sejahtera),Laskar Jihad (LJ) dan sebagainya yang
merupakan representasi baru gerakan Islam di Indonesia. Organisasi baru ini
memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan
ormas-ormas islam yang ada sebelumnya. Mereka ditenggarai berhaluan
puritan,memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, dan eksklusif.
Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam, tetapi
pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara Islam” dan
mewujudkan penerapan syariat islam,baik dalam wilayah masyarakat maupun
Negara.15
Hizbut Tahrir (HT) merupakan sebuah ormas yang memiliki basis masa
yang mapan dalam menyokong kegiatan-kegiatan serta visi dan misi ormas
tersebut. HT yang berideologi Islam. Bercita-cita untuk melanjutkan kembali
kehidupan Islam melalui tegaknya daulah Islam yang akan menerapkan sistem
Islam serta mengembangkan dakwah ke seluruh dunia.16 Karena ormas ini
memandang bahwa Islam sebagai Ideologi diemban oleh Negara, Sehingga dalam
pelaksanaan hukum tidak dapat terlepas dari kekuasaan Negara. Hukum islam
tidak dapat di terapkan secara sempurna dalam sistem Demokrasi sehingga
15 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal : Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah Ke Indonesia. (Jakarta : Erlangga,2005). Hlm. 14. 16 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahri>r .Cet.ke-6. (Jakarta : Hizbut Tahrir
Indonesia,2001). Hlm. 84.
7
Daulah Islam dalam bentuk Khilafah Islamiyyah yang mampu menerapkan Islam
secara kaffah.
Hizbut Tahrir memiliki pandangan yang berbeda tentang ‘urf dari
pandangan ulama mazhab Fikih, Sehingga hal tersebut patut dan perlu untuk
dikaji. Dalam kitab Mafahim Hizbut Tahri>r17 disebutkan :
“Merupakan suatu keharusan bagi aktivis pembaharuan untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, maupun tempat. Namun kenyataannya mereka tidak berbuat demikian. Mereka malah melangkah lebih jauh dengan menginterpretasikan hukum-hukum islam agar sesuai dengan kondisi sekarang. Bahkan kesalahan yang mereka lakukan baik dalam masalah umum maupun dalam hal-hal yang terperinci. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah kulliyat dan hukum-hukum yang terperinci sesuai dengan pandangan tersebut”. Misalnya dengan membuat kaidah umum yang salah, seperti :
العا دة حمكمةAdat Istiadat dapat dijadikan patokan hukum
ال ينكرتغرياالحكام بتغريالزمانTidak ditolak adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman”
Hizbut Tahrir memandang bahwa penggunaan kaidah fikih tentang adat istiadat
dapat dijadikan sebagai hukum adalah salah, di dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah
jilid 3 yang merupakan kitab mu’tabanah Hizbut Tahrir yang menerangkan lebih
jauh tentang pembatasan terhadap ‘urf yang dibagi menjadi 3 Istilah yaitu Taqdir,
Istilah, dan ‘Urf. Selain itu juga dalam kitab tersebut membahas tentang
kehujjahan ’urf sebagai dalil syar’i, dalam hal ini Hizbut Tahrir berpendapat
bahwa tidak ada posisi bagi ’urf secara syar’i. Sedangkan dalam pandangan
mazhab fikih ’urf merupakan salah satu metode istinbat} hukum, ‘Urf merupakan
salah satu istidlal dalam menemukan hukum yang disepakati oleh mazhab fikih
17
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahri>r .Cet.ke-6. (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia,2001). Hlm. 11.
8
terutama mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali.
Sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam bagaimana mengenai perbandingan
konsep ‘Urf antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih yang meliputi empat mazhab
yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali.
Dari uraian diatas timbul pemikiran yang menggelitik untuk mengkaji
bagaimana pandangan Hizbut Tahrir terkait dengan penggunaan ur’f sebagai salah
satu bentuk ijtihad yang didasarkan pada adat/kebiasaan yang berkembang di
Masyarakat serta bagaiaman korelasinya terhadap pandangan mazhab fikih yaitu
mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Untuk itu
penulis menuangkan gagasan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul “
STUDI PERBANDINGAN : KONSEP ‘URF ANTARA HIZBUT TAHRIR
DAN MAZHAB FIQH “.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian
ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksudkan agar
pembahasannya mengenai sasaran dan tidak mengambang. Dalam penelitian
ini penulis membatasi permasalahannya pada konsep ’urf sebagai metode
istinbath hukum antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih yang meliputi pada
empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan
mazhab Hambali.
9
2. Rumusan Masalah
Perumusan maslaah adalah salah satu upaya untuk mempermudah
pembatasan dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di
atas, Maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana konsep ‘urf sebagai metode istinbath hukum Hizbut Tahrir ?
b. Bagaimana konsep ‘urf sebagai metode istinbath hukum Mazhab Fikih ?
c. Apakah ada persamaan dan perbedaan antara ‘Urf Hizbut Tahrir dengan
mazhab fikih ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengenal dan memahami lebih mendalam Hizbut Tahrir (HT) baik
secara Fikrah maupun T{ariqah.
b. Untuk mengetahui lebih jauh metode istinbath hukum Hizbut Tahrir (HT).
c. Untuk mengetahui konsep ‘urf sebagai metode istinbath hukum Hizbut
Tahrir (HT) dan Mazhab Fikih.
d. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ‘urf antara Hizbut Tahrir
dan Mazhab Fikih.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan skripsi ini ada 2 diantaranya ada manfaat secara akademis
dan manfaat secara praktis,Yaitu :
10
a. Secara Akademis
Manfaaf penulisan skripsi ini secara akademis adalah untuk
menambah pengetahuan dan penjelasan kepada masyarakat pada
umumnya serta bagi para intelektual muslim khususnya dalam mengkaji
metode istinbath hukum berbagai ormas yang ada di Indonesia khususnya
dalam kajian ini ialah memahami konsep ‘urf sebagai metode istinbath
hukum Hizbut Tahrir (HT). Selain itu juga sebagai sarana untuk mengenal
lebih mendalam konsep pemikiran ormas tersebut agar tidak
menimbulkan gejolak diantara kaum intelektual saling tuding bahwa
kebenaran itu milik ormas tertentu.
b. Secara Praktis
Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis adalah memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang konsep ‘urf sebagai metode
istinbath hukum Hizbut Tahrir serta hubungannya dengan dengan ‘urf
dalam pandangan mazhab fikih agar masyarakat dapat memahami dengan
baik hasil dari produk hukum ormas tersebut yang pada akhirnya tidak
menjudjge bahwa ormas tersebut salah atau tidak sesuai dengan metode
yang dipakai ormas pada umumnya.
D. Kajian Terdahulu
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, Peneliti melakukan penelitian
terhadap beberapa skripsi sebelumnya yang memiliki kaitan dengan skripsi ini
sebagai sebuah sarana pemahaman dan pembelajaran bagi penulis, Ini dilakukan
11
untuk mencapai hasil yang lebih baik. Berikut beberapa buku dan skripsi sebagai
bahan tinjauan pustaka penulis diantaranya :
Karya Khairul Hamim (299-S-104) yang berjudul ‘Urf dan Pengaruhnya
Terhadap Hukum Islam karya (Tesis) ini adalah karya mahasiswa Jurusan Syariah
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fokus kajian pada tesis
ini adalah pada posisi ‘urf dalam penemuan hukum islam yang mana wilayah
pertemuan antara mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali dan fikih
sangat luas dan tidak mungkin dibatasi karena ‘urf atau adat istiadat memasuki
setiap bab dalam pembahasan fikih. ‘Urf tidak dapat mempengaruhi atau merubah
ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan masalah ‘ubudiyah dan i’tiqadiyah
yang sudah jelas nashnya secara Qath’i. ‘Urf yang masuk dalam pembahasan
ibadah hanya berlaku pada hal-hal yang berkaitan dengan alat-alat ibadah saja
(wasa>ilul ibadah) sebab ibadah hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan yang
telah baku dan tidak menjadi wilayah perdebatan logika manusia. Pokok-pokok
ibadah tunduk dan taat mutlak kepada tuhan. Adapun dalam bidang muamalah
‘urf telah banyak berperan dan dijadikan pertimbangan oleh para sahabat dalam
merubah fatwa yang dilandaskan atas nash yang dzanni seperti qiyas yang tidak
dilandaskan pada nash qath’i.
Sedangkan kajian yang membahas tentang HTI ialah karya Tesis Rihlah
Nur Aulia (01.2.00.1.02.01.0102) yang berjudul Fundamentalisme Islam
Indonesia Studi Atas Gerakan dan Pemikiran Hizbut Tahrir. Karya ini adalah
karya mahasiswa jurusan Pemikiran Islam Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2004. Fokus pada kajian ini terletak pada sisi
12
fundamentalisme Hizbut Tahrir dari sudut pandang ide dan pemikiran, dapat
dilihat bahwa Hizbut Tahrir berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang
komprehensif dan sempurna, didalamnya tercakup aspek kehidupan yang harus
dilaksanakan dan dijalani oleh setiap umatnya, baik itu dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Karena itulah bagi HT
mendirikan daulah khilafah islamiyah adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim.
Bagi HT sistem daulah khilafah islamiyyah dengan sistem khilafah adalah sistem
pemerintahan yang harus dijalani, oleh karena itu mereka menolak setiap bentuk
sistem yang bertentangan dengan mereka, termasuk didalamnya sistem demokrasi
yang dianggap sebagai sistem kufur yang berbeda dengan Islam, sehingga mereka
menolak demokrasi sebagai sistem politik Negara.
Penelitian selanjutnya yaitu Tsaqafah dan Metode Hizbut Tahris dalam
Mendirikan Negara Khilafah, yang ditulis oleh Muhammad Muhsin Rodhi. Buku
ini menyimpulkan bahwa diantara sejumlah partai dan gerakan Islam, hanya
Hizbut Tahrir yang melakukan pergolakan pemikiran, perjuangan politik, dan
yang telah menghubungkan fikrah dan thariqah dengan sangat baik. Disamping
Hizbut Tharir memiliki kecermatan pengorganisasian, kedalam pemikiran, dan
keterpaduan yang baik antara agama dan politik sehingga keduanya seperti dua
sisi mata uang.Meskipun Hizbut Tahrir telah didirikan lebih dari setengah abad,
namun peneliti mendapati Hizbut Tahrir masih tetap menjaga asas seperti pertama
berdirinya. Dan kalaupun ada beberapa perubahan dan revisi, maka itupun hanya
menyangkut hal-hal furu’ yang dilakukan berdasarkan apa yang menurutnya
paling kuat dengan tetap bersandarkan pada kekuatan dalil.
13
Berdasarkan literatur di atas, penulis menilai saat ini belum ditemukan
karya ilmiah yang mengulas secara khusus mengenai metode istinbat} hukum
ormas transnasional yang ada di Indonesia terutama studi perbandingan : Konsep
‘Urf antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih. Oleh karena itu, maka penulis
mencoba secara khusus menganalisis bagaimana penggunaan ‘urf sebagai metode
istinbath hukum Hizbut Tahrir yang ditinjau berdasarkan penggunaan ‘urf yang
dijadikan sebagai istidlal hukum mazhab fikih.
E. Metodologi dan Tekhnik Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi ini penulis
menggunakan jenis penelitian yuridis normative (penelitian hukum normatif)18
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.19 Sesuai dengan karakteristik kajiannya, berdasar pada penelitian
kepustakaan (library research) dengan mengutamakan pendekatan kualitatif20
18 Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman diantara para
ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni : Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan ( Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.); Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doktrinal (Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Editor : Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 147); Sunaryati Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif (C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 139); dan Ronny Hanitjo Soemitro (Almarhum), menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doktrinal (Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 10).
19 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta :Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
20 Bognan dan tailor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulisatau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati .menurut mereka ,pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holostik.Lihat J.Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif.(Bandung : Remaja Rosda
14
berdasarkan pada bahan kepustakaan dan literature yang ada relevansinya dengan
judul skripsi ini. Penelitian ini juga menggunakan metode perbandingan hukum,
dalam hal ini penulis membandingkan antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih.21
2. Sumber Data Penelitian
Peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data, yakni menggunakan
study pustaka (library research) dan studi lapangan22. Data-data tersebut
menyangkut tentang ‘Urf sebagai metode istinbath hukum dalam hal ini terkait
dengan Hizbut Tahrir yang di lihat dalam aspek mazhab fikih. Studi pustaka
dalam penelitian ini dilakukan guna mengeskplorasi teori-teori tentang konsep dan
pemahaman yang terjadi khususnya terkait dengan tema penelitian yakni konsep
‘urf antara Hizbut Tahrir dan mazhab fikih. Ini diperoleh dengan menghimpun
data yang diperoleh melalui sumber data Primer dan sumber data sekunder.23
Studi lapangan dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan
wawancara kepada juru bizara Hizbut Tahri yang ada di Indonesia serta diskusi
Karya,1991),Cet keIII.Lebih lanjut ,bugin menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan dari satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.pendekatan ini menggunakan paradigma interpretatif ,bertujuan memahami fenomena social,focus pada alasan tindakan social,mengacu pada moralitas dan pola piker rasionalitas.Burhan Bungin,Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer.(Jakarta : Raja Grafindo,2001). Hlm. 46.
21 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2008). Hlm. 100. 22
Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui imformasi dan pendapat-pendapat dari responden yang ditentukan secara purposive sampling (ditentukan oleh peneliti berdasarkan kemauannya)dan random sampling (ditentukan peneliti secara acak).
23 Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara,observasi,maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang diolah oleh peneliti. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen –dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi dan peraturan perundang-undangan. data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu : pertama,bahan hukum primer :bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Kedua, bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini. Ketiga, bahan hukum tertier, petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunderyang berasal dari kamus,ensiklopedia,majalah,surat kabar dan sebagainya. J. Moelang, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung:Remaja Rosada Karya, 1997). Hlm.112-116.
15
yang penulis lakukan dengan beberapa tokoh Hizbut Tahrir. Ini sekaligus menjadi
sumber utama penelitian yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan
key informan secara langsung karena hal ini diperlukan dalam memperluas
cakrawala dan mempertajam analisis persoalan.
3. Teknik Analisa Data
Semua data diperoleh dari kepustakaan, setelah itu penulis melakukan
klasifikasi data. Setelah diklasifikasi lalu dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif yaitu analisis dengan menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum
dan argumentasi rasional.24
4. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku pedoman penulisan
skripsi yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
F. Sistematika Penulisan
Dalam upaya untuk memudahkan penyusunan skripsi ini serta agar lebih
sistematik, Maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I : Bab ini membahas tentang Pendahuluan, yang meliputi : Latar
Belakang Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II : Eksistensi ‘Urf dalam Hukum Islam, yang meliputi Pengertian ‘Urf,
Macam-macam ‘Urf, Syarat-syarat ‘Urf, dan Kehujjahan ‘urf.
24 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : Universitas Atma
Jaya,2007). Hlm. 29.
16
BAB III : Gambaran Umum tentang Pergerakan Hizbut Tahrir dan Mazhab
Fikih, yang meliputi Gambaran Umum Hizbut Tahrir yaitu Latar Belakang
Terbentuknya Hizbut Tahrir, Tujuan dan Kegiatan Hizbut Tahrir, Landasan
Pemikiran dan Metode Dakwah Hizbut Tahrir. Gambaran Umum tentang Mazhab
Fikih yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Malliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab
Hambali.
BAB IV : Analisis Perbandingan Konsep ‘Urf antara Hizbut Tahrir dan
Mazhab Fikih, yang meliputi Konsep ‘Urf dalam Pandangan Hizbut Tahrir (HT),
Konsep ‘Urf dalam Pandangan Mazhab Fikih, dan Persamaan serta Perbedaan
konsep ‘Urf antara Hizbut Tahrir (HT) dan Mazhab Fikih.
BAB V : Penutup, yang meliputi Kesimpulan dan saran
17
BAB II
Eksistensi ‘Urf dalam Hukum Islam
A. Pengertian ‘Urf
‘Urf secara etimologis berasal dari kata یعرف –عرف sering diartikan
1المعروف berarti yang dikenal atau sesuatu yang dipandang baik. Kalau dikatakan
sebagai berikut فالنا عرفا فالن اولى artinya si fulan lebih dari yang lain dari segi
‘urf-nya. Maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang
lain. Pengertian ini lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain.2 Dalam
kitab lisan al-Arab ‘urf ialah 3الرائحة الطيبة suatu bau yang harum maksudnya
adalah perbuatan yang menghasilkan kebaikan. Didalam kitab Mu’jam al-Wasi>t}
ها الرائحة مطلقا وأكثر ما يستـعمل في الطيبة منـ4 yang maksudnya ialah sesuatu yang
terkumpul didalamnya suatu kebaikan. Kata ‘urf juga terdapat di dalam al-Qur’an
surat al-‘Ara>f ayat 199 :
Artinya : “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-‘ Ara>f : 199)
1 Su’di Abu Habi>bi, al-Qa>mus al-Fiqh Lughatan wa Istilah}an (Suriah : Dar al-Fikr, 1408
H/1988 M). Hlm. 249. 2 Samsul Munir Amin dan Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta :
AMZAH,2005). Hlm. 333. 3 Jamaluddin Ibnu Manz}ur, Lisan al-‘Arabi (Beirut : Dar S{o>dir,1414 H) Jilid IX. Hlm.
240. 4 Ibrahim Must}afa, dkk (Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah), al-Mu’jam al-Wa>sit}
(Kairo:Dar al-Dkawah, t.t) Juz II. Hlm. 595.
18
Selain itu juga ‘urf dapat juga berarti setiap yang terangkat dari permukaan.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al- ‘Ara>f ayat 46 :
Artinya : “Dan diatas ‘Ara>f 5 itu ada orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka”.
Menurut kebanyakan ulama, ’urf dinamakan juga adat atau kebiasaan6
sebab perkara yang sudah dikenal itu berulang kali dilakukan oleh manusia.
Namun, sebenarnya adat itu lebih luas dari pada ‘urf sebab adat kadang-kadang
terdiri atas adat perseorangan atau bagi orang tertentu, Sehingga hal ini tidak bisa
dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat, Maka inilah
5 Kata al-‘Araf merupakan suatu pembatas diantara pintu surga dan neraka. Sebagaimana
yang dikatakan oleh ibnu jarir, bahwa kata al-‘Ara>f merupakan bentuk jama’ yang mengandung makna tempat tertinggi, dan menurut orang arab al-‘Ara>f adalah tanah yang tinggi, dan
sesungguhnya jegger ayam jago itu dinamakan عرفا karena ia berada pada tempat yang tertinggi. Menurut riwayat lain dari Ibnu Abbas, al-‘Araf ialah tembok yang tinggi antara surga dan neraka. As-Saddi mengatakan, dinamakan al-‘Ara>f karena para penduduknya mengenal semua orang. Ungkapan yang dikatakan oleh para mufassir berbeda-beda, sehubungan dengan penduduk al-‘Ara>f ini siapakah mereka itu sebenarnya ? Namun, semua pendapat yang mereka ungkapkan memiliki pengertian yang saling berdekatan dan bermuara pada satu pendapat yaitu mereka adalah kaum-kaum yang memiliki amal kebaikan dan keburukan yang sama. Demikianlah apa yang telah dikatakan oleh Huzaifah, ibn Abbas, ibnu Mas’ud, serta yang lainnya dan bukan hanya dari golongan ulama’ salaf. Dan telah disebutkan didalam sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh al-Ha>fiz{ ibn Murdawaih :
: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عمن استوت حسناته وسيئاته، قال: عن جابر بن عبد الله قال
»أصحاب األعراف لم يدخلوها وهم يطمعون أولئك « Dari jabir ibn Abdullah mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya mengenai orang yang amal kebaikannya dan amal keburukannya sama. Maka Rasulullah Saw menjawab melalui sabdanya: Mereka adalah penghuni al-‘Ara>f mereka tidak dapat memasuki surga padahal mereka sangat ingin memasukinya. Muhammad Ali as-S{a>bu>ni>, Mukhtas}ar Tafsi>r ibn Katsir (Beirut:Dar al-Qur’an al-Kari>m, 1402 H/1981 M). Juz II. Hlm. 156.
6 Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta :
Multi Karya Grafika, 1998). Hlm. 1284.
19
yang disebut sebagai ‘urf.7 Para ulama ushul fikih membedakan antara adat dan
‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara’. Adat didefinisikan dengan :
8استمر الناس فيه على حكم المعقول، وعادوا إليه مرة بعد أخرى ما
“ Sesuatu yang dikehendaki manusia dan mereka kembali terus menerus”
9األمر المتكرر من غير عالقة عقلية
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional.”10
7 Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodatif dan cenderung
elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka disisi Allah pun baik”. Hadis ini oleh para ahli ushul fikih dijadikan dasar bahwa tradisi masyarakat (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqih). Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad. Kebijaksanaan beliau yang terkait dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Ansori, Hukum Islam dan Tradisi Masyarakat,Jurnal Studi Islam dan Budaya (Ibda’).Vol.5 No.1 Januari-Juni 2007,P3M STAIN Purwekerto,2007.hlm.1. dan S. Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (tru Terj), Cet.1,(Bandung : Pustaka,1983).hlm.73-74.
8Muhammad Abdul Wahab, dkk, al-Madkhul ila Dirasati al-Maza>hib al-Fiqhiyyah
(Qahira:Dar as-Salam, 1422 H/2001 M). Hlm. 70. Lihat juga, Muhammad Amim al-Ihsan al-Majdudi al-Barkati, Qawa>id al-Fiqh (Karatisyi:al-Shadaf Bibaltiraz, 1407 H/1986 M). Hlm. 369.
9 Ibnu Amir al-Hajj, al-Taqri>r wa al-Tahbir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet Ke-III 1983). Hlm. 282.
10 Hal ini menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas , yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang menyangkut hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah didaerah tropis ,dan sebaliknya lambatnya seseorang menjadi baligh untuk daerah dingin dan kelambatan tanaman berbuah. Disamping itu adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan
20
Adapun ‘Urf menurut ulama ushul fikih ialah :
11ما استقر في النفوس من جهة العقول وتلقته الطباع السليمة بالقبول
“Keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sejahtera.”12
13عادة جمهور قوم فى قول او فعل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.”14
Sedangkan Dr Wahbah Zuhaily mendefinisikan ‘urf sebagai berikut :
عارفوا اطال قه على العرف هو مااعتاده الناس وساروا عليه من كل فعل شاع بينهم اولفظ ت
15.بمعنى العادة الجماعيةلفه اللغة واليتبادر غيره عند سماعه وهي معنى خاص التؤ
"Sesuatu yang biasa dikerjakan dan dijalankan atau dilakukan dan diikuti oleh manusia dari setiap perbuatan yang yang telah diketahui diantara mereka, atau berupa lafadz yang keumumannya diakui mengandung arti khusus yang tidak tersusun dalam suatu kaedah bahasa dan juga tidak terlintas arti lain saat mendengarnya. Urf ini juga dapat dinamakan juga al-Adat al-Jamaiyyah (adat kolektif)”.
akhlak, Seperti Korupsi, sebagaimana adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu seperti perubahan budaya suatu daerah yang disebabkan pengaruh budaya asing.
11 Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu al-Harits al-Ghazi, al-Wajiz fi
Ido>hi Qawa>id al-Fiqh al-Kulliyatii (Libanon:Muassasatu al-Risalah, 1416 H/1996 M). Hlm. 276. 12
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Isam (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2001). Hlm. 226.
13 Muhammad Musthafa al-Zuhaili, Qawa>id al- Fiqhiyyah wa Tatbi>qatuha> fi Maza>hibi al-Arba’ah, Juz I (Damaskus : Dar al-Fikr, 2006). Hlm. 314.
14 Mustafa Ahmad Al-Zarqa mengatakan bahwa urf merupakan bagian dari adat, Karena
adat lebih umum dari ‘urf. ‘Urf harus berlaku pada kebanyakan orang didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat , tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman , seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.
15 Wahbah al-Zuhaily, Usul Fiqh al-Islami (Dimasq: Dar al-Fikr, 1958). Juz II. Hlm. 828.
21
Jadi yang dibahas para ulama us}ul fikih dalam kaitannya dengan salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara’ adalah ‘urf/adat.16 Terlepas dari perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang terminologi adat dan ‘urf. Sebagian ulama
berpendapat adat berlaku pada sebuah kelompok dan memungkinkan pada
individu tunggal sedangkan ‘urf tidak berlaku pada sebuah individu. Oleh karena
itu ulama menyebutkan semua ‘urf adalah adat dan tidak semua adat adalah ‘urf.17
Hakikat adat dan ‘urf merupakan sesuatu yang dikenal dalam masyarakat dan
telah berlaku secara terus menerus sehingga diterima keberadaannya ditengah
umat.
Para ulama yang menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu sumber
dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak
ditemukan nash dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila suatu ‘urf bertentangan
dengan al-Qur’an dan Sunnah seperti kebiasaan masyarakat di suatu zaman
melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal minum arak atau
memakan riba, maka ‘urf mereka ditolak (Mardud). Sebab dengan diterimanya
‘urf tersebut mengesampingkan nash-nash yang pasti (qath’i), mengikuti hawa
nafsu dan membatalkan syariat.18 para ulama mazhab fikih, pada dasarnya telah
sepakat untuk menjadikan ‘urf secara global sebagai dalil hukum Islam.
Perbedaan pendapat diantara para ulama terjadi mengenai limitasi dan lingkup
aplikasi dari ‘urf itu sendiri. Dalam hal ini perlu diungkapkan hal-hal sebagai
16 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqh 1 Untuk Fakultas Syariah : Komponen MKDK
(Bandung : CV Pustaka Setia, 200). Hlm. 159-160. 17
Jaenal Aripin, Kamus Us}ul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad (Jakarta : Kencana Preda Media Group, 2012). Hlm. 400.
18 Muhammad Abu Zahra, Us}ul Fiqh. Penj. Saefullah Ma’shum,dkk.(Jakarta : Pustaka
Pirdaus,2008).hlm.418.
22
berikut.19 Yaitu perihal kebiasaan masyarakat arab terdahulu yang kemudian
diakui oleh syariat sehingga menjadi hukum syara’, dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa kebiasaan tersebut mengikat secara syar’i bagi setiap kaum
muslimin. Kebiasaan seperti ini tetap dan valid tidak berubah seiring perubahan
waktu dan tempat. Sedangkan kebiasaan masyarakat Arab yang ditolak oleh
syariat menjadi haram hukumnya. Mengenai hal ini para ulama menganggap
bahwa kebiasaan seperti ini harus dijauhkan dari kaum muslimin dan inilah yang
dinamakan sebagai ‘urf fasid.20
B. Macam-macam ‘Urf
Penggolongan ‘urf dapat dilihat dari beberapa segi21, diantaranya :
1. Ditinjau dari segi materi yang dilakukan, dari segi ini ‘urf itu ada dua
macam yaitu:‘Urf al-Lafz}i (kebiasaan yang menyangkut perkataan) dan
‘Urf al-‘Amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan)22
a. ‘Urf al-Lafz}i ialah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
lafadz/ungkapan tertentu dalam menggungkapkan sesuatu sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi,
Padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging, Sedangkan
penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli
mengatakan “ saya beli daging satu kilogram”, pedagang itu langsung
19 Mustafa Dib al-Bugha, At}ar al-Adillah al-Mukhtalaf Fi>ha Mas}a>dir al-Tashri’ al-
Taba’iyyah f>i al-Fiqh al-Islam (Damaskus : Dar al-Imam al-Bukhari,t.t.). Hlm. 246. 20 Asmawi, Perbandingan Us}ul Fiqh ( Jakarta : AMZAH, 2011). Hlm. 162. 21 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Us}ul Fiqh (Jakarta : Kencana,2012). Hlm. 72. 22
Nasrun Haoen, Us}ul Fiqh 1 (Ciputat : PT LOGOS Wacana Ilmu,1997). Hlm. 139-140.
23
mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat
telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.23
b. ‘Urf al-‘Amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud
perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah
kehidupan mereka yang terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam
memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Adapun yang
berlaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat
dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya,
kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang
dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang
yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah
tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah
kebiasaan masyarakat dalam berjual beli dengan cara mengambil
barang dan membayar uang, tanpa adanya akad secara jelas seperti
yang berlaku dipasar-pasar swalayan.
23
Apabila dalam ungkapan tersebut diperlukan indicator lain maka tidak dinamakan ‘urf. Misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini”. Dari ucapannya tersebut dapat dipahami bahwa dia akan membunuh dengan cara memukulkan tongkatnya. Ungkapan yang seperti ini menurut ulama tidak dinamakan ‘urf tetapi majaz (metafora).
24
2. Ditinjau dari ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi menjadi dua
macam diantaranya : ‘Urf ‘Am (kebiasaan yang bersifat umum) dan ‘Urf
Khas (kebiasaan yang bersifat khusus)24
a. ‘Urf ‘Am ialah ‘urf yang telah disepakati masyarakat di seluruh
negeri, seperti mandi dikolam, dimana sebagian orang terkadang
melihat aurat temannya dan akad istishna’ (pesanan). Ulama Mazhab
Hanafi menetapkan bahwa ‘urf ini dapat mengalahkan qiyas, yang
kemudian dinamakan istihsan ‘urf . ‘Urf ini dapat mentakhshis nash
yang bersifat ‘aam yang bersifat zhanny, bukan yang qath’i.25 Diantara
contoh meninggalkan keumuman dari nash zhanny karena adanya ‘urf
ialah larangan Nabi Saw mengenai jual beli yang disertai dengan
adanya syarat. Dalam hal ini, Jumhur Mazhab Hanafi dan Maliki
menetapkan kebolehan diberlakukannya semua syarat, jika memang
berlakunya syarat-syarat itu dipandang telah menjadi ‘urf.
b. ‘Urf Khas yaitu ‘urf yang dikenal berlaku pada satu negar, wilayah,
atau golongan masyarakat tertentu, seperti ‘urf yang berhubungan
dengan perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. ‘Urf semacam ini
tidak boleh berlawanan dengan nash. Hanya boleh berlawanan dengan
qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan yang qath’i, baik
24
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr, 1958). Hlm. 274. 25
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh fuqaha tentang dibolehkannya meninggalkan qiyas dalam akad istis}na’ sebagai berikut, menurut qiyas aqad istishna’ tidak diperbolehkan. Akan tetapi kami meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut telah berjalan di masyarakat tanpa seorangpun yang menolak, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa. Ini merupakan hujjah yang kuat yang dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan dalil qiyas. ‘Urf seperti ini dibenarkan berdasarkan ijma’. Bahkan tergolong macam ijma’ yang paling kuat karena telah didukung, baik oleh kalangan mujtahid maupun di luar ulama-ulama mujtahid, oleh golongan sahabat maupun orang-orang yang datang setelahnya.
25
yang berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan
terangnya.
3. Ditinjau dari segi penilaian baik dan buruk, ‘Urf terbagi menjadi dua
macam yaitu: ‘Urf sahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan ‘urf fa>sid
(kebiasaan yang dianggap rusak)26
a. ‘Urf sahih ialah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
tidak bertentangan dengan dalil syara’ baik al-Qur’an dan as-Sunnah,
tidak menghalangi kemaslahatan yang datang dan tidak
mengdatangkan keburukan.27 Dan juga tidak menghalalkan yang
haram dan juga tidak membatalkan yang wajib, Seperti saling mengerti
manusia tentang kontrak pemborongan, atau saling mengerti manusia
tentang pembagian maskawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan
dan yang diakhirkan. Juga saling mengerti bahwa istri tidak boleh
menyerahkan dirinya kepada suaminya kecuali apabila ia telah
menerima sebagian dari maharnya. Dan saling mengerti bahwa sesuatu
yang telah diberikan oleh pelamar kepada calon istri yang berupa
perhiasan atau pakaian adalah hadiah dan bukan termasuk sebagian
dari mahar.
Mengenai ‘Urf sahih yang berupa tindak kelakuan yang sudah
menjadi kebiasaan banyak orang, yang biasa dijalani oleh mereka dalam
26 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh (Qahira:Maktabah Dar at-Turats,1431 H/2010
M). Hlm. 74. 27 Abdullah bin Yusuf bin Isa bin Ya’kub al-Ya’kub al-Jadi’ al-Anzi, Taisir Ilmu Ushul
al-Fiqh (Beirut:Muassasatu al-Riyan lit-Thaba’ati wa al-Nasr wa al-Tauzi’, 1418 H/1997M). Hlm. 212.
26
kehidupan kemasyarakatan di Negara atau daerah tertentu, baik pada masa
tertentu maupun sepanjang masa yang tidak mendapat dukungan syariah
tetapi berpotensi mewujudkan maslahat. Contohnya, cara pembayaran mas
kawin yang dapat dibayarkan secara tunai ataupun secara tempo, sistem
ketenagakerjaan, dan sistem kepegawaian.28
b. ‘Urf fa>sid ialah sesuatu yang dibiasakan oleh manusia, namun
bertentangan dengan syara’ yaitu menghalalkan yang haram dan
merusak yang wajib. Selain itu juga ‘urf fa>sid adalah sesuatu yang
saling dikenal manusia, tetapi sesuatu itu bertentangan dengan syara’
dan membatalkan yang wajib. ‘Urf fa>sid dapat juga dikatakan sebagai
sebuah tindak kelakuan atau tutur kebahasaan yang sudah menjadi
kebiasaan banyak orang, yang biasa dijalani oleh mereka dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat di Negara atau daerah tertentu,
pada masa tertentu maupun sepanjang masa, yang tidak mendapat
dukungan syariah atau menyalahi syariah.29 Seperti pemahaman
manusia tentang beberapa perbuatan yang mungkar dalam upacara
kelahiran anak dan dalam tempat kedukaan atau mereka mengerti
tentang keharaman makan riba dan kontrak judi.30
28 Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus di Indonesia (Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010). Hlm. 79. 29 Muhammad Abu Zahra, Us}ul al- Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1958). Hlm. 274. 30
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Us}ul Fiqh (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2000). Hlm. 131.
27
C. Syarat-syarat ‘Urf
Para ulama yang memahami dan menggunakan ‘urf sebagai dalil dalam
istinbath hukum menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut,
yaitu :
a. Adat atau ‘urf bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat.31
Syarat ini telah menjadi kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang
shahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya
tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup
bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik
dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh
akal sehat.
b. ‘Urf itu memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya
itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih
dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan
dengan ini terdapat kaidah us}uliyyah yang mengatakan :
32العبرة للعرف الطارئ
“’Urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama”.
c. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak
telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam
31
Amir Syarifuddin, Us}ul Fiqh Jilid 2 (Jakarta : Kencana,2008). Hlm. 376. 32
Zainal ‘Abidin ibn Ibrahim ibn Nujaim, al-Ashbah wa al-Naza>ir ‘ala Mazhab Abi Hanifah al-Nu’man (Mesir: Mu’assasah al-Halabi wa Shurakah,1968). Hlm. 133.
28
membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan penjual secara jelas bahwa
lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun ‘urf
menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantar oleh pedagang
kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah
sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri
kerumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.33
d. ‘Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung oleh nash itu tidak dapat diterapkan. ‘Urf seperti
ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil syara’, karena Kehujjahan ‘urf bisa
diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan
yang dihadapi.
D. Kehujjahan ‘Urf
Ada beberapa argumentasi yang dijadikan alasan oleh para ulama’
berhujjah dengan menggunakan ‘urf dan menjadikannya sebagai metode dalam
istinbat} hukum, yaitu :
a. Firman Allah Swt surat al A’raf 199
Artinya : “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Al A’raaf : 199)
33 ‘Izzuddin ibn ‘Abdul Salam, Qawa>’id al-Ah}kam fi> Mas}ali>h al-Anam (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah,tt). Jilid II. Hlm. 178.
29
b. Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah
bin Mas’ud
سنلمسلمون حسنا فهو عنداهللا حما راه ا
Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka hal tersebut disisi Allah juga dipandang baik
c. Sabda Nabi Saw kepada Hindun Isteri Abi Sufyan ketika Ia
mengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil memberi
nafkah
34المعروفمن مال ابي سفيان مايليك وولدك بخذي
Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut ‘urf.
d. Dilakukan kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa
dengan melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau
terhindar dari mafsadah. Sedang maslahat adalah dalil syar’i
sebagaimana menghilangkan kesusahan merupakan tujuan syara’.
Ketika agama Islam datang ia mengakui ‘urf orang arab yang baik
(menimbulkan maslahat), seperti diakuinya sekufu dalam perkawinan, garis
‘ushbah dalam urutan wali dan waris, kewajiban diyat terhadap pembunuh yang
tak sengaja. Jumhur fuqaha berhujjah dengan ‘urf. Tetapi yang sangat masyhur
dalam penggunaan ‘urf adalah Malikiyah dan Hanafiyah. Disebutkan bahwa
Imam Syafi’i pun berpegang pada ‘urf dalam membina sebagian hukum
34
Mahmud bin Ahmad bin al-S{odar al-Syahid al-Naja>ri> Burhanuddin Ma>zah, al-Mi>hath al-Burha>ni (Beirut:Dar al-Turats al-‘Arabi, t.t). Juz 11. Hlm. 164.
30
mazhabnya yang baru menuntut ‘urf orang Mesir dan sebelumnya ia membina
mazhabnya yang qadim menurut ‘urf orang Irak. Sehingga al-Qarafy mengatakan
bahwa ‘urf sama-sama dipegang oleh seluruh mazhab dan siapa yang meneliti
mazhab niscaya ia menemui ketegasan mereka terhadap ‘urf itu.35
35
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya (Jakarta : Sinar Grafika, 2007). Hlm. 78-80.
31
BAB III
Gambaran Umum Hizbut Tahri>r dan Mazhab Fikih
A. Gambaran Umum Hizbut Tahri>r
a. Sejarah Singkat Hizbut Tahri>r
Hizbut Tahri>r merupakan salahsatu pergerakan Islam kontemporer yang
cukup besar pengaruhnya di dunia Islam. Berbeda dengan gerakan Islam lainnya,
sejak pendiriannya Hizbut Tahri>r mengklaim dirinya sebagai partai politik. Hizbut
Tahrir didirikan pada tahun 1953 oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di al-Quds,
Yerussalem. Kehidupan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani selalu berpindah-pindah
dari Yordania, Suriah, dan Lebanon. Setelah Taqiyuddin wafat tahun 1979 Hizbut
Tahri>r dipegang oleh Abdul Qadim Zallum yang wafat pada Maret 2003, yang
selanjutnya kepemimpinan Hizbut Tahri>r dilanjut oleh Syekh Abu Rust}a.1
Setelah berkembang selama enam tahun di Yerussalem, Hizbut Tahri>r
kemudian mengembangkan sayapnya ke Negara lain dan mulai dengan
mendirikan cabang di Lebanon pada tanggal 19 Oktober 1959, dan telah
berkembang ke seluruh Negara Arab di Timur Tengah, termasuk benua Afrika,
seperti Mesir, Libya, Sudan, Aljazair, dan Maroko. Selain itu juga Hizbut Tahri>r
telah berkembang ke beberapa Negara Eropa seperti Austria, Belanda, Inggris,
Jerman, Prancis, Rusia, dan Turki. Negara Asia seperti Indonesia, Brunei
Darussalam, Jepang, Malaysia, Pakistan, Singapura, dan Australia.2
1 Syamsu Hilal, Gerakan Dakwah Islam di Indonesia (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna,
2003). Hlm. 104. 2 Hussein bin Muhsin bin Ali Jabir, Membentuk Jama’atul Muslim, ali bahasa :Abu
Fahmi (Jakarta : Gema Insani Press, 1999). Hlm. 244.
32
Sebagai sebuah kelompok, Hizbut Tahri>r telah lahir sejak awal tahun 1952
M (1371 H) sejak mereka melakukan aktivitas penyebaran pemikiran dan
perekrutan anggota baru yang dilakukan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani
bersama dengan teman-temannya. Pada tahun 1952 syekh Taqiyuddin an-Nabhani
bersama dengan Dawud Hamdan, Munir Syakir, Adil al-Nablusi, dan Ghanim
Abduh mengajukan izin pendirian partai politik kepada kementrian dalam negeri
Yordania November 1952. Namun pemerintah Yordania menolak dengan alasan
aktivitas mereka dianggap membahayakan dan bertentangan dengan UU
Yordania, Misalnya HT menolak sistem pemerintahan Monarkhi, menolak
Nasionalisme3 sebagai sebuah asas berdirinya sebuah Negara dan menghendaki
Islam sebagai sebuah dasar Negara. Hal inilah yang dianggap oleh pemerintah
Yordania akan menimbulkan perpecahan dikalangan rakyat Yordania.4
Hizbut Tahrir berdiri dalam rangka memenuhi seruan Allah swt :
Artinya : Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran : 104)
3 Merupakan sebuah faham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah
Negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kpentingan nasional, dan nasionalisme juga dapat dikatakan sebai bentuk rasa ingin mempertahankan negaranya, baik secara internal maupun eksternal. Para nasionalis menganggap bahwa Negara merupakan beberapa kebenaran politik yang diambil dari teori romantisme yaitu “Identitas budaya”, debat liberalism yang menganggap bahwa kebenaran bersumber pada kehendak rakyat. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Yang diakibatkan saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat hidup dan menggantungkan diri.
4 Khamami Zada dan Arif R. Arafah, Diskursus Politik Islam (Ciputat : LSIP (Lembaga Study Islam Progresif), 2004). Hlm. 82-83.
33
Ayat tersebut merupakan dasar pembentukan harakah dakwah (gerakan dakwah)
sekaligus harakah siyasah (gerakan politik) yang terorganisir. Allah Swt
memerintahkan kaum muslimin agar diantara mereka membentuk sebuah
kelompok jamaah yang memiliki dua tugas yaitu mengajak kepada kebaikan
(mengajak kepada Islam) dan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah
kemungkaran. Tentang jamaah terpadu itu harus berbentuk partai politik, dapat
dilihat bahwa ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar diantara mereka
ada sekelompok orang yang membentuk suatu jamaah. Dan batasan jamaah ini
telah ditentukan berupa dakwah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Sedangkan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar meliputi seruan terhadap
penguasa agarmereka berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Justru inilah
bagian terpenting dalam amar ma’ruf nahi mungkar yaitu mengawasi para
penguasa serta menyampaikan nasehat kepadanya. Aktivitas ini merupakan
aktivitas politik, bahkan termasuk aktivitas politik yang sangat penting dan
menjadi ciri utama dari partai-partai politik. Hanya saja ayat tersebut memberikan
batasan bahwa kelompok-kelompok tadi berbentuk partai-partai Islam.5
Hizbut Tahri>r berdiri dengan tujuan untuk membebaskan umat dari
kepemimpinan ideology penjajah serta mencabut dari akar-akarnya, baik dari
aspek budaya, politik, militer, dan ekonomi dari tanah-tanah dan Negeri kaum
5 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahri>r : Partai Politik Islam Ideologis (Depok :
Pustaka Thariqul Izzah, 2000). Hlm. 3-5.
34
muslimin, serta mengubah ide-ide yang tercemari oleh penjajah yang membatasi
Islam hanya pada aspek ibadah dan akhlak semata.6
Hizbut Tahri>r menolak segala sistem dan ideologi yang berasal dari
pengaruh barat, semua ide dan pemikiran Hizbut Tahri>r hanya bersumber dari
ajaran Islam. Seperti tercermin dalam namanya Hizbut Tahri>r yang memiliki
makna partai kemerdekaan/pembebasan, Hizbut Tahri>r berusaha memerdekakan
negeri-negeri kaum muslim dari cengkeraman berbagai ideologi termasuk
didalamnya nasionalisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.7
Dalam pandangan Hizbut Tahri>r bahwa Islam merupakan suatu ideologi yang
terdiri dari akidah dan syari’ah. Akidah merupakan fungsi pemecahan masalah
atas problematika manusia, yang menjelaskan bagaimana memecahkan persoalan
tersebut, memelihara dan mengembangkan Ideologi tersebut.8 Islam sebagai
prinsip Ideologi inilah yang kemudian menjadi pola hidup yang khas dan sangat
berbeda dengan pola hidup lainnya seperti kapitalisme dan sosialisme.9
6 Taqiyuddin an-Nabhani, Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahri>r (Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah, 1993). Hlm. 3. 7 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004). Hlm. 161-162. 8 Islam sebagai sebuah Ideologi menerangkan bahwa di balik alam semesta, manusia,
dan hidup, terhadap al-Khaliq yang menciptakan segala sesuatu, yaitu Allah Swt. Asas ideology ini adalah keyakinan akan adanya Allah Swt. Akidah ini yang menentukan aspek rohani, yaitu bahwa manusia, hidup, dan alam semesta, diciptakan oleh sang Khaliq. Dari sini Nampak bahwa hubungan antara alam sebagai makhluk, dengan Allah sebagai pencipta merupakan aspek rohani yang ada pada alam. Tampak pula hubungan antara hidup sebagai makhluk dengan Allah sebagai pencipta, yang menjadi aspek rohani dalam hidup. Demikian pula hubungan manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Pencipta, merupakan aspek rohani yang ada pada manusia. Dengan demikian, ruh adalah kesadaran manusia akan hubungan dirinya dengan Allah Swt. Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam (Edisi Mu’tamadah).Penj. Abu Amin, dkk (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2011). Hlm. 56.
9 Muhammad Hussain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Pen. Zamroni
(Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. t.t). Hlm. 43.
35
b. Metode Dakwah Hizbut Tahri>r
Hizbut Tahri>r menjelaskan bahwa metode yang ditempuh dalam
mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara’ yang diambil dari t}ariqah
perjalanan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw selama aktivitas beliau
mengemban dakwah. Hal itu karena metode Rasul adalah wajib diikuti sesuai
dengan firman Allah Swt :
Artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat serta banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab :21)
…
Artinya : Katakanlah, ”Jika kalian benar-benar mencintai Allah, Ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. (QS. Ali Imron : 31)
… …
Artinya : Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, Terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, Tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr : 7)
Hizbut Tahri>r menambahkan dengan menjelaskan, bahwa orang yang
menelaah sirah Rasul Saw di Mekkah hingga beliau mendirikan Negara Islam di
Madinah al-Munawwarah, akan menemukan bahwa beliau menempuh beberapa
marhalah (Tahapan) yang mudah diketahui oleh orang yang mempelajarinya.
Beliau melaksanakan aktivitas tertentu yang diketahui oleh banyak orang melalui
sirah Nabi Muhammad Saw. Dari sirah itulah Hizbut Tahri>r menetapkan metode
dan tahapan-tahapan (Marh}alah) perjuangannya serta aktivitas yang wajib
36
dilaksanakan pada masing-masing tahapan. Semua itu sebagai upaya untuk
meneladani Rasulullah Saw dalam tahapan-tahapan perjuangan Beliau.10
Berdasarkan penelusuran perjalanan dakwah Rasulullah Saw di Mekkah
hingga keberhasilan beliau mendirikan Negara di Madinah tampak jelas bahwa
beliau menjalankan aktivitas dakwahnya melalului tahapan-tahapan yang telah
dijelaskan dalam sirah. Hizbut Tahri>r melakukan aktivitas dakwahnya
berdasarkan metode dakwah Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya baik dari
segi Operasional dan tahapan-tahapannya. Yaitu menjadikan seluruh aktivitas
Rasulullah Saw sebagai suri tauladan dalam setiap perjalanan dakwahnya. Dalam
hal ini Hizbut Tahrir menerapkan dan menetapkan beberapa langkah
operasionalnya dalam tiga tahapan11, diantaranya :
1. Tahapan Tathqif (Pembinaan dan pengkaderan ) untuk melahirkan orang-
orang yang menyakini Fikrah Hizbut Tahri>r dan untuk membentuk
kerangka sebuah partai.12
10
Abu Za’rur, Seputar Gerakan Islam : Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah al-Islami, Front Islam untuk Pembebasan (FIS), Gerakan Salafi, Tanzhimul Jihad, Jamaah Tabligh, dan lainnya. Penj. Yahya Abdurrahman (Bogor : Al-Azhar Press, 2012). Hlm. 214.
11 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahri>r : Partai Politik Islam Ideologis (Depok :
Pustaka Thariqul Izzah, 2000). Hlm. 31-32. 12
Menurut Ahmad Mahmud aktivitas partai politik Islam berkaitan dengan Transformasi sosial atau perubahan masyarakat. Oleh karena itu, Ia harus mengadopsi secara rinci semua hal yang berkaitan dengan perubahan masyarakat, yakni berupa berbagai pemikiran dan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbaikan realitas masyarakat ini. Pada saat yang sama, organisasi/partai dakwah harus memberikan petunjuk kepada semua individu, baik yang menjadi anggotanya maupun yang menjadi anggota masyarakat, bahwa mereka wajib mengadopsi setiap hukum yang berkaitan dengan aktivitas dan perjuangannya. Hukum-hukum yang dimaksud, baik yang berkaitan dengan upaya mendirikan masyarakat Islam yang terkait dengan hukumnya fardhu kifayah, yang tidak ada uzur meninggalkannya ataupun yang berkaitan dengan pribadinya ketika partai politik ini menyeru dirinya untuk terikat dengan syariat dalam masalah muamalat, ibadat, dan akhlak, yang seluruhnya tegak diatas landasan akidah Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Aktivitas dakwah ini ditujukan untuk menegakkan negara Islam. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengetahuan mengenai perjalanan Rasulullah Saw di Mekkah dan berbagai aktivitas yang beliau lakukan, yang mengantarkan beliau pada tegaknya Daulah Islamiyyah di Madinah. Dari sinilah kita dapat meneladani beliau. Aktivitas perjuangan ini juga menuntut adanya upaya
37
2. Tahapan Tafa’ul (berinteraksi) dengan umat agar mampu mengemban
dakwah Islam sehingga umat akan menjadikannya sebagai masalah utama
dalam kehidupannya, serta berusaha menerapkannya dalam realitas
kehidupan.
3. Tahapan Istilamul Hukmi (Pengambil-alihan kekuasaan) untuk
menerapkan Islam secara praktis dan totalitas, sekaligus untuk
menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia.
Tahapan pertama merupakan tahapan pembentukan pondasi gerakan.
Tahapan ini ditempuh dengan suatu asumsi bahwa seluruh individu umat kosong
dari tsaqafah apapun. Pada tahapan ini partai mulai membina orang-orang yang
bersedia menjadi anggotanya dengan tsaqafahnya. Digunakan pula asumsi bahwa
masyarakat secara keseluruhan adalah sekolah bagi partai. Sehingga pada waktu
singkat partai mampu mencetak kader yang melakukan kontak dengan masyarakat
untuk berinteraksi dengannya. Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan
ini bukanlah ta’lim dan ia berbeda sama sekali dengan sekolah. Oleh sebab itu,
pembinaan dalam halaqah-halaqah harus berjalan dengan asumsi bahwa Ideologi
Islam adalah gurunya, bahwa ilmu dan tsaqafah yang didapatkan dalam halaqah
hanya terbatas pada ideologi saja beserta segala ilmu/tsaqafah yang diperlukan
pembedaan antara hukum-hukum mengenai metode (thariqah), sarana (washila), dan strategi (uslub) dakwah. Sehingga kita benar-benar tepat dalam meneladani Rasulullah Saw. Aktivitas dakwah ini juga ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan mengubah sistem yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya monitoring sebagai kontrol politik terhadap penguasa, sekaligus adanya pemahaman mengenai realitas mereka, keterlibatan mereka, dan politik negara-negara besar yang mengendalikan sepak terjang mereka, serta adanya upayauntuk membongkar strategi mereka. Ahmad Mahmud, Dakwah Islam Jilid Dua : Kajian Kritis Terhadap Metode Dakwah Rasulullah (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2003). Hlm. 2-3.
38
untuk mengarungi medan kehidupan dan bahwa tsaqafah diambil untuk
diamalkan secara langsung dalam realita kehidupan.
Sedangkan tahapan yang kedua interaksi dengan masyarakat tempat partai
itu hidup, sampai ideologinya menjadi kebiasaan umum sebagai hasil dari
kesadaran masyarakat akan ideologi itu dan sampai masyarakat menganggap
bahwa ideologi partai adalah ideologi mereka sehingga mereka mau membelanya
bersama-sama. Pada tahapan ini mulai terjadi pergolakan antara umat dan orang-
orang yang menghalangi diterapkannya ideologi yaitu para penjajah dan orang-
orang yang mereka rancang untuk menghalangi penerapan ideologi itu.
Pergolakan ini terjadi karena umat telah menganggap bahwa ideologi partai
adalah ideologi mereka dan partai adalah pemimpin mereka. Tahapan ketiga
menerima kekuasaan secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai partai
tersebut dapat menjadikan pemerintahan sebagai metode untuk menerapkan
ideologi atas umat. Aspek dakwah kepada ideologi tetap menjadi tugas utama
negara dan partai, karena ideologi adalah risalah yang wajib diemban oleh umat
dan negara.13
c. Tujuan dan Aktivitas Hizbut Tahri>r
Hizbut Tahri>r bertujuan mengembalikan kaum muslim kedalam kehidupan
Islam di dalam Dar al-Islam dan masyarakat Islam, dimana seluruh urusan
kehidupan didalamnya dijalankan sesuai dengan hukum-hukum syara’ dan
pandangan hidup (way of live) yang berlaku adalah halal haram, dibawah naungan
negara Islam, yaitu negara Khilafah. Negara Khilafah adalah Negara yang
13
Taqiyuddin an-Nabhani, al-Takattul al-Hizbiy (Bogor : Pustaka Fikrul Mustanir Taman Khoiru Ummah, 2001). Hlm.36-37.
39
didalamnya kaum muslim mengangkat seorang khalifah, yang dibai’at untuk
menerapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, serta untuk
mengemban risalah Islam keseluruh dunia dengan jihad.14
Hizbut Tahri>r juga bertujuan membangkitkan kaum muslim dengan
kebangkitan yang benar dan dengan pemikirannya yang cemerlang. Hizbut Tahri>r
berusaha mengembalikan umat Islam pada kemuliaan dan keagungan yang pernah
dimiliki sebelumnya, dengan cara merebut kembali kendali kepemimpinan dunia,
umat dan bangsa. Sehingga negara umat Islam kembali menjadi negara nomor
satu di dunia seperti yang pernah dicapai sebelumnya. Negara yang akan
mengurusi semuanya sesuai dengan hukum-hukum Islam. Metode Islam untuk
membawa dan menyebarkan Islam adalah hukum syara’ yang telah disyariatkan
untuk membawa dan menyampaikan Islam kepada orang, kelompok, bangsa, dan
umat lain. Dan hukum-hukum ini sekaligus merupakan polisi politik luar negeri
dalam melakukan hubungan dengan orang, kelompok, bangsa, dan umat lain.15
Hizbut Tahri>r juga bertujuan membimbing dan memimpin umat manusia
melakukan pergolakan (perang) terhadap kekufuran, sistem, dan pemikiran kufur,
hingga Islam tersebar secara menyeluruh di seluruh dunia.16
Sedangkan aktivitas Hizbut Tahri>r adalah mengemban dakwah Islam
untuk merubah kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam, dengan
mengubah ide-ide yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga akan menjadi opini
14Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqafah dan Metode Hizbut Tahri>r dalam mendirikan
Negara Khilafah, Penj. Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa. (Bogor : al-Azhar Press, 2012). Hlm. 33.
15Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual (Singapore : Lisan Ul-Haq
(Pengemban Pemikiran Islam), 1998). Hlm. 231. 16
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahri>r (Bogor : Pustaka Fikrul Mustanir Taman Khoiru Ummah, 2001). Hlm. 84.
40
umum ditengah-tengah masyarakat dan menjadi persepsi bagi mereka yang akan
mendorongnya untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan
Islam. Disamping merubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi
perasaan Islam, ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah Swt, marah dan benci
terhadap apa yang dimurkai oleh Allah. Merubah hubungan/interaksi yang ada di
tengah-tengah masyarakat menjadi hubungan interaksi yang islami, berjalan
sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.17
Pemikiran untuk merubah suatu tatanan moral yang telah mengakar
bersama dengan interaksi dalam suatu masyarakat merupakan sebuah keharusan
apabila ide-ide tersebut tidak sesuai dengan pemahaman masyarakat tersebut.
Berpikir untuk melakukan perubahan tidak hanya dijumpai pada orang yang
merasakan pentingnya sebuah perubahan, tetapi pemikiran itu ada selama di alam
semesta ini ada kondisi yang menuntut keharusan perubahan tersebut. Karena itu
pemikiran ini tidak terbatas pada perubahan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap kondisi yang dialami oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan umatnya
sendiri. Tetapi pemikiran ini ada demi merubah yang lainnya juga, hal ini terjadi
karena dalam diri manusia terdapat karakter alamiah manusia yaitu gharizah an-
nau’ (naluri untuk melestarikan jenisnya) yang mendorong seseorang untuk
memperhatikan orang lain seluruhnya baik yang ada di negerinya sendiri, bangsa,
dan umatnya ataupun yang ada di negeri-negeri lainnya.18
17
Hizbut Tahri>r, Mengenal Hizbut Tahri>r : Partai Politik Islam Ideologis (Depok : Pustaka Thariqul Izzah, 2000). Hlm. 22-23.
18 Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam : Studi Tentang Transformasi dan Kebangkitan
Umat, Penj. Dede Koswara (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2010). Hlm. 4.
41
Seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut Tahri>r bersifat politik, karena itu,
Hizbut Tahri>r mengoreksi, menentang, dan mengungkapkan kesalahan para
penguasa serta mengungkapkan konspirasi negara-negara penjajah dan kelalaian
mereka terhadap Islam.19 Hizbut Tahri>r memperhatikan urusan-urusan
Masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i.
Karena yang dimaksud politik adalah mengurus dan memelihara urusan-urusan
masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Islam sebagai sebuah ajaran yang dianut dan diakui oleh umat manusia memiliki
solusi atas setiap permasalahan umat. Dalam tataran politik Islam menjawab
persoalan umat berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sebuah konstitusi
politik yang wajib diikuti dalam pemerintahan Islam. Hal tersebut memiliki
pengaruh besar dalam membentuk gambaran Islam dalam sebuah negara, tugas-
tugasnya dan ciri khas sistem hukum didalamnya, juga seputar kewenangan yang
ada didalamnya.20
Kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam aktifitasnya dalam
mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan Islam,
membebaskannya dari aqidah-aqidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang
salah, serta persepsi-persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari
pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan kufur. Kegiatan politik ini tampak
juga dalam aspek pertarungan pemikiran (ash shiro’ul fikri) dan perjuangan
19
Hizbut Tahri>r Indonesia, Manifesto Hizbut Tahri>r untuk Indonesia : Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2009). Hlm. 69.
20 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam . Penj. Faturrahman A. Hamid (Jakarta :
AMZAH, 2005). Hlm. 1.
42
politiknya (al-kifah}us siyasi).21 Adapun perjuangan politiknya terlihat dari
penentangannya terhadap kaum kafir imperialis untuk memerdekakan umat dari
belenggu dominasinya, membebaskan umat dari cengkeraman pengaruhnya, serta
mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi,
maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.
Dengan demikian Hizbut Tahri>r mengemban Islam secara intelektual dan
politik, agar Islam menjadi satu-satunya ideologi yang yang diterapkan menjadi
dasar Negara. Ini dilakukan dengan menyeru kekuatan inti umat, yaitu mereka
yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, untuk menegakkan kembali khilafah
Islam di negeri-negeri Islam dengan seluruh potensi yang ada dan sesegera
mungkin.22 Hizbut Tahri>r mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan
dalam kehidupan dan agar aqidah Islamiyah menjadi dasar negara, dasar
konstitusi dan undang-undang. Karena aqidah Islamiyah adalah aqidah aqliyyah
(aqidah yang menjadi dasar pemikiran) dan aqidah siyasah (aqidah yang menjadi
dasar politik) yang melahirkan aturan untuk memecahkan problematika manusia
21
Ash-S{iro’ul fikri tampak menonjol dalam memerangi pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem kufur, memerangi pemikiran-pemikiran yang salah, akidah yang rusak dan konsepsi yang keliru dengan menjelaskan kerusakannya, menampakkan kesalahannya dan menjelaskan hukum islam tentangnya. Sedangkan kifahus siyasi tampak menonjol dalam menentang penjajah untuk membebaskan umat dari penguasa mereka, membebaskan umat dari pengaruh kekuasaan mereka, merobohkan akar-akar pemikiran, budaya, politik, ekonomi, militer, dan sebagainya dari seluruh negeri-negeri kaum muslim. Hal ini juga Nampak menonjol dalam menentang para penguasa, menyingkap pengkhianatan mereka kepada umat, menyingkap makar mereka kepada umat, mengoreksi dan mengubah mereka jika mereka menghancurkan hak-hak umat, lalai melaksanakan kewajiban mereka kepada rakyat, mengabaikan urusan umat dan menyalahi hukum-hukum Islam. Abu Za’rur, Seputar Gerakan Islam : Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah al-Islami, Front Islam untuk Pembebasan (FIS), Gerakan Salafi, Tanzhimul Jihad, Jamaah Tabligh, dan lainnya. Penj. Yahya Abdurrahman (Bogor : Al-Azhar Press, 2012). Hlm. 210.
22 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqafah dan Metode Hizbut Tahri>r dalam mendirikan
Negara Khilafah, Penj. Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa., Hlm. 35.
43
secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-
lain.23
B. Gambaran Umum tentang Mazhab Fikih
Sebenarnya ada begitu banyak mazhab dalam fikih, terutama pada masa
perkembangan dan pembentukan hukum. Namun, dalam konteks skripsi ini
tinjauannya hanya dipusatkan kepada imam mazhab empat yang berkembang dan
menjadi rujukan dinunia Islam dewasa ini, yaitu : Mazhab Hanafi yang didirikan
oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Maliki yang didirikan oleh imam Malik bin
Anas, Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Imam Idris as-Syafi’i, dan Mazhab
Hambali yang didirikan oleh imam Ahmad bin Hambal.
a. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi ini pertama kali didirikan oleh Nu’man bin Tsabit bin
Zutha at-Taimi al-Kufi, Ia lebih dikenal dengan sebutan Imam Abu Hanifah.
Imam Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H. Abu Hanifah
adalah salah seorang tabi’in , karena ia cukup beruntung dapat menyaksikan
zaman ketika beberapa sahabat masih hidup sampai usia mudanya. Beberapa
sahabat yang patut dicatat adalah Anas bin Malik (wafat tahun 93 H), pembantu
pribadi Nabi Saw, Sahal bin Sa’ad (wafat tahun 91 H), sedangkan Abu Thubail
bin Wathilah (wafat tahun 100 H), ketika beliau berusia dua puluh tahun. Abu
23 Hizbut Tahri>r Indonesia, Makalah Konferensi Islam dan Peradaban, Indonesia Milik
Allah : Saatnya Khilafah Menggantikan Demokrasi dan Sistem Ekonomi Liberal (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2014). Hlm. 9.
44
Hanifah pertama kali dididik sebagai pedagang seperti nenek moyangnya, namun
tidak lama kemudian beliau mulai berminat mendalami pendidikan.24
Walaupun terlahir sebagai anak dari keluarga pedagang, namun sejak kecil
dia sangat rajin mempelajari ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadis, dan Fikih. Beliau
pernah berguru kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Auf, Abu Tufail, Hamad bin
Abu Sulaiman. Setelah gurunya wafat beliau mulai mengajar berbagai ilmu di
Kufah. Beliau pernah tinggal di Mekkah beberapa tahun dan disana beliau
bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas. Semasa hidupnya
beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat
tawadhu’, dan sangat teguh dalam memegang ajaran agama.25
Imam Abu Hanifah di masa hidupnya memiliki guru, diantaranya ‘At}a bin
Abi Raba>h, as-Sya’bi, Jabalah bin Sahi>m, ‘Adi bin Tsabit, Ikrimah, Abdurrahman
bin Hurmuz al-A’raj, Abi Sufyan T{alh}ah bin Na>fi’, Na>fi’ Maula ibn Umar,
Qatada, Qais bin Muslim, Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud,
Abdul Aziz bin Ra>fi’, Abi Ja’far al-Ba>qir, Ibn Shihab al-Zuhri, Mansur bin
Mu’tamir, H{isyam bin Urwah, dan lainnya.26 Sedangkan ulama yang menimba
ilmu kepada beliau diantaranya adalah Ibrahim bin Thahaman, Abyadh bin al-
Aghra bin al-Shabah al-Minqari >, Asbat} bin Muhammad, Ishaq al-Azraq, Ismail
bin Yahya al-Shairafi, Ayub bin Hani’, al-Jarudi bin Yazid an-Naisabu>ri>, Hafiz}
bin Abdurrahman al-Qad}i, Ibnu Hamad bin Abi Hanifa, Abu ‘Asim al-Nabil,
24
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (SYARIAH) (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2002). Hlm. 120-121.
25 Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Cet ke-II (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001). Hlm. 97.
26 Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin al-Zahabi, Siir A’laam al-Nubalaak (Beirut:Muassasatu al-Risalah,1402 H/1982 M). Juz VI. Hlm. 391.
45
Abdullah bin Mubarak, ‘Aidz bin Habib, Ubaidillah bin az-Zubair al-Qarasyi, al-
Fadil bin Musa, Muhammad bin al-Hasan bin atash, Yahya bin Ayub al-Misri,
Nasir bin Abdul Malik al-Atki, an-Nad}ir bin Muhammad al-Maruzi, Abu Hamzah
as-Sukri, Abu Sa’id al-S{aghani, al-Qad}i Abu Yusuf, dan lainnya.27
b. Mazhab Maliki
Pendiri mazhab Maliki adalah Malik bin Anas (93-179 H)28. Beliau
tumbuh dan berkembang di lingkungan ahli hadis, selain itu juga beliau telah hafal
al-Qur’an ketika beliau berumur sebelas tahun.29 Ia dibesarkan di Madinah,
sebagai kota pewaris utama tradisi (sunnah) Nabi dan sahabat, sehingga ia
memiliki perbendaharaan hadis yang sangat kaya. Disamping itu, kontinuitas
historis penduduk Madinah pada masa Imam Malik dan sebelumnya juga
memberikan ciri khas tersendiri, yaitu tradisinya yang belum menyimpang jauh
dari tradisi nabi dan sahabat. Karena itu, Imam Malik memasukkan tradisi
penduduk Madinah (‘amal ah}l al-Madinah) sebagai salahsatu dalil yang otoritatif
dalam berijtihad. Banyak sunnah yang ia temukan di Madinah kemudian
27Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin al-Zahabi, Siir A’laam al-Nubala>k,
Juz VI. Hlm. 393. 28
Sangat sedikit yang dapat diketahui dari kehidupan awal Imam Malik. Sebuah riwayat mengatakan bahwa ia membantu saudaranya menjual pakaian sebeum memasuki kehidupan yang tercurahkan pada ilmu pengetahuan, sedangkan riwayat yang lain mengatakan bahwa ia banyak bergau dengan penyanyi dan berkeinginan menjadikan dirinya seperti mereka hingga akhirnya ia dibujuk oleh ibunya untuk menjadi ahli fikih. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa ibunya telah memakaikan pakaian-pakaian ilmu pengetahuan (Siyah al-‘ilmi) sebelum ia menuntut imu pengetahuan di luar, menunjukkan bahwa ia telah belajar ilmu pengetahuan ketika ia berusia masih sangat muda. Bahkan sebuah riwayat secara lebih terperinci mengatakan bahwa ia mulai belajar pengetahuan ketika berumur Sembilan tahun. Bagaimanapun proses pembentukan karakter beliau sebenarnya, dia pasti telah belajar ilmu pengetahuan sejak usia muda dan lebih lagi beliau merupakan seorang murid yang pandai, sebab ia telah menjadi seorang guru yang ternama dan dihormati pada akhir usianya yang ke-20, jika tidak lebih awal dari masa itu. Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam ; al-Qur’an, Muwatta’, dan Praktik Madinah. Penj. M. Maufur (Yogyakarta : Islamika, 2003). Hlm. 18-19.
29Abu Sa’id al-Mishri, al-Mausu’atu al-Maujizatu fi al-Tarikh al-Islami yang disalin dari
kitab Mausu’atu Safiir li al-Tarikh al-Islamyy (Maktabah Syamila, Juz 16). Hlm. 987.
46
menentukan ciri khas fikih nya yang lebih banyak menggunakan sunnah dari pada
nalar akal. Kota Madinah sebagai Darul Hijrah yang merupakan tempat Nabi
berdiam seteah berhijrah dari Mekkah. Kota inilah yang menjadi pusat ahli hadis
dan disinilah lahir Maik ibn Annas Ashbahi. Beliau yang dikenal sebagai pemuka
fikih di Hijaz menjadi guru dari Imam Asy-Syafi’i. Beliau mempelajari fikih dari
Rabi’ah ibn Abdir Rahman dan mempelajari hadis dari Na>fi’, az-Zuhri, Abi
Zinad, Yahya ibn Sa’id al-Ans}ari.30 Sebagai puncak dalam dunia intelektualnya ia
menyusun kitab kumpulan hadis yakni al-Muwatta’.31
Mazhab Maliki menggunakan al-Qur’an sebagai dalil ijtihadnya setelah itu
ijma’ sahabat, kemudian hadis, setelah itu qiyas, dan terakhir mas}alih mursalah.
Imam Malik tidaklah mempergunakan qiyas sebesar yang dipakai oleh Abu
Hanifah, melainkan lebih mendahulukan ijma’ sahabat Madinah berhubung
kondisinya yang memungkinkan demikian, setelah itu hadis baru kemudian qiyas
dan mas}alih mursalah. Dari segi kecilnya pemakaian qiyas oleh imam Malik,
dibandingkan dengan ijma’ dan hadis, memang sulit dicari indikasi bahwa imam
Malik dipengaruhi oleh Umar, tetapi dari segi pemakaiannya suatu dalil sendiri
disebut mas}alih al-mursalah jelas merupakan pengaruh angsung dari Umar. Sebab
pada hakekatnya Umarlah pencetus pertama dalil mas}alih al mursalah.32
30
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih, Cet ke-II (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997). Hlm. 120.
31 Abdul Mughits, Ushul Fikih Bagi Pemula (Jakarta : CV Artha Rivera, 2008). Hlm. 165-166.
32 Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberalisasi. Cet. Ke-II (Yogyakarta : Titian iIahi Press, 2000). Hlm.76-77.
47
Diantara guru imam Malik ialah Na>fi’, Sa’id al-Maqburi>, Amir bin
Abdullah bin Zubair, Ibn Munkadir, Zuhri, Abdullah bin Di>nar, dan lainnya.33
Sedangkan murid imam Malik ada begitu banyak diantaranya adalah Abdul Karim
bin Abi Makho>riq, Muhammad bin Uqbah, Umar bin Husein, Katsir bin Zaid,
Muhammad bin ‘Ubaidullah bin Maryam, Muhammad bin Abdurrahman bin
Sa’id bin Zarara, Ya’kub bin Yazid bin T{alh}a, Umar bin Muhammad bin Zaid,
Sa’id bin Sulaiman bin Zaid bin Tsabit, Abu Bakr bin Utsman, Abu Suh}ail, Yah}ya
bin Abi Katsir, az-Zuhri, Yah}ya bin Sa’id, dan lainnya.34 Selain itu juga ada
beberapa sahabat dekat beliau yang mana diantaranya ialah Ibnu Juraiij, Abu
Hanifah, Umar bin Ha>rits, al-Auza’i, Hama>d bin Zaid, Ismail bin Ja’far, Sufyan
bin Uyainah, Abdullah bin al-Muba>rak, Abdurrahman bin al-Qa>sim, dan
lainnya.35
c. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Idris ibn al-Abbas bin Utsman
bin Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hashim bin ‘Abd Mut}allib
bin ‘Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di Ghaza pada tahun 150 H kemudian
dibawa oleh ibunya ke Mekkah dan beliaupun meninggal di Mesir pada tahun 204
H. Beliau lahir pada saat pemerintahan dinasti Abasiyyah, tepatnya pada masa
kekuasaan Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H/754-774 M). Imam as-Syafi’i
berusia 9 tahun ketika Abu Ja’far al-Mansur diganti olleh Muhammad al-Mahdi
33Syamsuddin Muhammad bin Ah}mad bin Utsman bin al-Zahabi, Si>r A’la>m al-Nubala>k
(Beirut:Muassasatu al-Risalah,1402 H/1982 M). Juz VIII. Hlm. 49. 34Syamsuddin Muhammad bin Ah}mad bin Utsman bin al-Zahabi, Si>r A’la>m al-Nubala>k,
Juz VIII. Hlm. 50. 35
Syamsuddin Muhammad bin Ah}mad bin Utsman bin al-Zahabi, Si>r A’la>m al-Nubala>k, Juz VIII. Hlm. 52.
48
(159-169 H/775-785). Ketika beiau berusia 19 tahun Muhammad al-Mahdi
digantikan oleh Musa al-Mahdi (169-170 H/785-786 M), Ia berkuasa hanya satu
tahun dan kemudian pemerintahannya digantikan oleh Harun ar-Rasyid pada saat
umur beliau menginjak 20 tahun. Harun ar-Rasyid digantikan oleh al-Amin (194-
198 H/809-813 M) dan al-Amin digantikan oleh al Makmun (198-218 H/813-833
M).36
As-Syafi’i belajar hadis dan fikih di Mekah. Saat itu beliau berumur
kurang lebih 10 tahun dan beliau telah hafal al-Qur’an. Di Mekah beliau banyak
mendapatkan hadis dari ulama hadis. Karena kefakirannya beliau sering
memungut kertas-kertas yang telah di buang kemudian beliau gunakan untuk
menulis. Ketika semAngatnya untuk menuntut ilmu semakin kuat dan menyadari
bahwa al-Qur’an itu bahasanya sangat indah dan maknanya sangat dalam, maka
beliau pergi ke kabilah H{uzail untuk mempelajari dan mendalami sastra Arab
serta mengikuti saran hidup Muhammad Saw, Pada masa kecilnya, disana beliau
sampai hafal sepuluh ribu bait syair-syair Arab.37
Setelah itu ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada imam Malik,
ketika imam Malik meninggal pada tahun 179 H, as-Syafi’i mencoba
memperbaiki taraf hidupnya. Secara kebetulan ketika gubernur Yaman datang ke
Mekah, atas bantuan beberapa orang Qurash, as-Syafi’i diangkat oleh Gubernur
menjadi pegawai negeri di Yaman. Gubernur Yaman menuduh as-Syafi’i
bersekongkol dengan Ahlul Bait untuk menggulingkan pemerintahannya. Namun
ia dapat melepaskan diri dari tuduhan itu atas bantuan seorang qhadi di Baghdad
36 Ahmad Nah}rawi ‘Abd Salam, al-Imam as-Syafi’i fi> Mazhabaih al-Qadi>m wa al-Jadi>d
(Kairo : Dar al-Kutub,1994). Hlm. 90. 37
Al-Jundi Abdul H{alim, al-Imam as-Syafi’i (Kairo : Dar al-Qolam, 1966). Hlm. 51.
49
yang bernama Muhammad ibn H{asan al-Shaibani (teman dan pengikut Abu
Hanifah). Imam as-Syafi’i kemudian berguru kepada Muhammad ibn H{asan dan
yang lainnya untuk mempelajari fikih Irak.38
Imam as-Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan
tentang fikih Irak. Di masjid al-Haram, Ia mengajarkan fikih dalam dua corak
yaitu corak Madinah dan corak Irak. Beliau mengajar di masjid al-Haram selama
sembilan tahun, pada masa tersebut ia menyusun kitab T{uruq al-Istinbat} al-
Ah}kam. Pada tahun 19 H, Ia kembali ke Baghdad untuk melakukan diskusi
tentang fikih selama hampir dua tahun beberapa bulan. Beliau tidak lama tinggal
di Baghdad karena pada saat itu pemerintahan dipegang oleh khalifah al-Makmun
(198 H) yang cenderung berpihak pada unsur Persia, saat itu telah dilakukan
penerjemahan buku-buku filsafat secara besar-besaran, diantaranya dilakukan oleh
Hunain ibn Ishaq yang menerjemahkan dua puluh buku Galen ke dalam bahasa
Syiria dan empat belas buku lain ke dalam bahasa Arab.39 As-Syafi’i juga menilai
khalifah dekat dengan Mu’tazilah. Ketika khalifah al-Makmun memintanya
menjadi hakim besar di Bagdad, beliau menolaknya. Ia keluar dari Bagdad dan
menuju Mesir.40
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan qaul al-
qadi>m dan qaul al-jadi>d. Qaul qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-
Hujjah yang beliau cetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya al-
38
Ahmad Nahrawi ‘Abd Salam, al-Imam as-Syafi’i fi Mazhabaih al-Qadi>m wa al-Jadi>d, Hlm. 62.
39 Harun Nasution, Islam di Tinjau dalam Berbagai Aspek (Jakarta : UI-Press,1985). Hlm.
11-20. 40
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Cet ke-III (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003). Hlm. 102.
50
Umm, yang dicetuskan di Mesir. Dua pandangan tersebut diperkirakan
dipengaruhi oleh situasi tempat dalam ijtihadnya. Keadaan di Irak dan di Mesir
memang sangat berbeda, sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-
pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i. Pendapat qadim didiktekan Imam Syafi’i
kepada muridnya di Irak (diantara muridnya yang terkenal di Irak adalah Ahmad
ibn Hanbal, al-Husaen al-Karabisiy, dan al-Za’farany). Qaul qadi>m imam Syafi’i
merupakan perpaduan antara fikih Irak yang bersifat rasional dan fikih ahl-Hadis
yang bersifat tradisional. Tetapi fikih yang demikian, akan lebih sesuai dengan
ulama-ulama yang datang dari berbagai Negara Islam ke Mekah pada saat itu,
dikarenakan situasi di Negara mereka tinggal berbeda-beda. Mereka dapat
memilih pendapat yang sesuai dengan situasi dan kondisi negaranya. Itupulah
yang menyebabkan mazhab Syafi’i tersebar ke berbagai Negara Islam. Sedangkan
qaul jadidnya dicetuskan ketika beliau bertemu dengan para ulama Mesir dan
mempelajari fikih serta hadis dari mereka dan juga adat istiadat, sehingga Imam
Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakan di Irak. Adapun
pegangan imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, Qiyas.41 Adapun contoh dari qaul qadi>m dan qaul jadi>d imam as-Syafi’i
berkenaan dengan batas waktu shalat magrib, dalam qaul qadi>mnya beliau
mengatakan bahwa akhir waktu shalatr magrib adalah hilangnya mega (sinar
merah setelah matahari terbenam).42 Pendapat ini berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Abd ibn Amr ibn al-As} bahwa Rasulullah Saw bersabda :
41
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. Cet. Ke-III (Jakarta : Logos, 2003). Hlm. 124-12.
42 Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1983). Jilid I. Hlm. 87.
51
فقشيغب ال مغرب اذا غابت الشمس مالموقت ال
Waktu magrib adalah sebelum hilangnya mega
Sedangkan qaul jadi>d imam Syafi’i bahwa waktu shalat magrib itu sangat singkat,
yaitu sebanding dengan waktu bersuci, menutup aurat, azan dan iqamat. Adapun
alasan beliau adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibn Abbas ra yang menjelaskan
bahwa malaikat jibril melakukan shalat magrib awal dan akhirnya dalam satu
waktu.43
Imam Syafi’i adalah seorang ulama besar dan berjasa dalam dunia Islam,
dimasa hidupnya beliau berguru kepada Muslim bin Kholid al-Zanji, Daud bin
Abdurrahman al-At}or, Muhammad bin Ali bin Sya>fi’, Sufyan bin Uyainah,
Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mulaiki, dan Sa’id bin Salim. Kemudian ketika
beliau berumur 20 tahun, beliau pergi ke Madinah dan disana beliau berguru
kepada imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abi Sufyan, Abdul ‘Aziz al-
Darawardi, At}af bin Kholid, Ismail bin Ja’far, dan Ibrahim bin Sa’id. Di Yaman
beliu berguru kepada Mut}arraf bin Ma>zan, Hasyim bin Yusuf al-Qad}i. Dan di Irak
beliau belajar kepada seorang Faqih yaitu Muhammad bin al-H{asan.44
Imam as-Syafi’i banyak sekali memiliki murid baik itu di Bagdad maupun
di Mesir, diantara murid-murid beliau ada yang menjadi pemuka sebagai
penyambung lidah dari Imam as-Syafi’i. Diantara murid beliau yang ada di
Bagdad adalah Abu Ali al-H{asan as-S{abah az-Za’faran meninggal tahun 260 H,
43
Ahmad Nahrawi Abd al-Sala>m, al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaih fi al-Qadi>m wa al-Jadi>d (Kairo:Dar al-Kutub, 1994). Hlm. 507.
44 Syamsuddin Muhammad bin Ah}mad bin Utsman bin al-Zahabi, Si>r A’la>m al-Nubala>k,
Juz 10. Hlm. 6-7.
52
Husein bin ‘Ali al-Karabisi (meninggal tahun 240 H), imam Ahmad bin Hambal
(meninggal tahun 240 H), Abu Tsur al-Kalabi (meninggal tahun 240 H), Ishak bin
Rahuyah (meninggal tahun 277 H), ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (meninggal
tahun 270 H), Abdullah bin Zuber al-Humaidi (meninggal tahun 219 H).45
Sedangkan murid-murid imam as-Syafi’i yang ada di Mesir antara lain, Abu
Ya’kub Yusuf Ibnu Yah}ya al-Buwait}i (meninggal tahun 232 H), Abu Ibrahim
Ismail bin Yah}ya al-Muzanny (meninggal tahun 264 H), al-Rabi’i bin Sulaiman
al-Jizi (meninggal tahun 256 H), Harmalah bin Yah}ya at-Tujibi (meninggal tahun
243 H), Muhammad bin Abdullah bin Abdul H{akam (meninggal tahun 268 H),
Abu Bakar al-H{umaidi (meninggal tahun 129 H), Abdul Aziz bin Umar
(meninggal tahun 234 H), Abu Utsman Muhammad bin Syafi’i (anak kandung
imam Syafi’i yang meninggal tahun 232 H), Abu Hanifah al-Aswani orang Mesir
yang berasal dari Qibth (meninggal tahun 271 H).46
d. Mazhab Hambali
Mazhab ini dididirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yang lahir pada
bulan Rabiul Awal tahun 164 H di Baghdad, bapak dan ibunya berasal dari
kabilah asya’bani bagian dari kabilah di Arab. Sejak kecil telah tampak minatnya
kepada agama, beliau menghafal al-Qur’an, mendalami bahasa Arab, belajar
Hadis, atsar sahabat dan tabi’in, serta sejarah Nabi dan para sahabat. Beliau
belajar fikih dari Abu Yusuf muridnya Imam Abu Hanifah dan dari Imam as-
Syafi’i, tetapi perhatian beliau terhadap hadis ternyata lebih besar. Beliau belajar
45
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1995). Hlm. 139.
46 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Hlm. 141.
53
hadis di Baghdad, Basrah, Kufah, Mekah, Madinah, dan Yaman. Beliau selalu
menuliskan hadis dengan perawi-perawinya dan cara inipun diharuskannya
kepada murid-muridnya. Imam Ahmad memiliki daya ingat yang sangat kuat dan
ini adalah kemampuan yang umum terdapat pada ahli-ahli hadis. Beliau juga
sangat sabar dan ulet, memiliki keinginan yang kuat dan teguh dalam pendirian.
Disamping itu seperti imam-imam yang lain, beliau adalah yang sangat ikhlas
dalam perbuatannya.47
Imam Ahmad merupakan sosok ulama yang saleh, seluruh hidupnya
diabadikan dalam teaah hadis dan fikih. Pernah ketika khalifah Abbasiyah, Harun
al-Rasyid, memberi tahu imam as-Syafi’i bahwa khalifah memerlukan hakim
untuk dikirim ke Yaman, imam as-Syafi’i berbicara kepada imam Ahmad yang
berusia 30 tahun yang menjadi salah seorang muridnya. Imam Ahmad dengan
terus terang menolak tawaran tersebut secara berkata : ”Aku datang ke tempatmu
ini untuk menuntut ilmu dan tidak ingin engkau memaksaku untuk menerima
jabatan qadhi itu”. Imam as-Syafi’i lantas terdiam. Suatu ketika khalifah al-
Makmum membagikan emas sebagai sedekah kepada para ulama hadis. Semua
ulama menerima kecuali imam Ahmad sendiri yang menolaknya. Tatkala beliau
berada di Yaman, kondisi keuangannya sangat mencemaskan. Gurunya, syekh
Abd Razaq, ulama hadis kenamaan dan penulis kitab al-Mushannaf, akhirnya
mengetahui hal tersebut. Sang guru inipun membawakan sejumlah uang. Namun,
imam Ahmad menjawab : “Aku tidak membutuhkan semua ini”. Padahal waktu
itu kondisinya sedemikian rupa, pakaiannya telah usang dan tidak punya pakaian
47
H.A Djazuli, Ilmu Fikih : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Cet ke-VI (Jakarta : Kencana, 2006). Hlm. 132.
54
lain untuk dipakai. Beliau berusaha menyembunyikan dirinya didalam rumah dan
menutup pintunya. Orang-orang lalu datang mencarinya dan mengetahui sebab
sembunyinya. Beliau mengumpukan dan memberikan sejumlah uang, namun
beliau hanya mengambil satu dinar saja dan berjanji akan mengembalikannya
dengan memberi jasanya menuiskan atau menyainkan sebuah buku.48
48
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (SYARIAH) (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2002). Hlm. 147-148.
55
BAB IV
Analisis Perbandingan Konsep ‘Urf antara Hizbut Tahri>r dan
Mazhab Fikih
A. Konsep ‘Urf dalam Pandangan Hizbut Tahri>r
Hidzbut tahri>r memandang bahwa dalil syara’ sebagai istidlal dalam
menemukan hukum haruslah qath’i. sebagaimana yang dikatakan oleh juru bicara
Hizbut tahri>r Indonesia bapak Ismail Yusanto :
“HT sebagai sebuah kelompok menyandarkan istinbath hukumnya dengan berdasarkan dalil syara’ yang qath’i tersebut ialah al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Sedangkan selain dari keempat dalil tersebut Hizbut Tahrir menganggap bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang dikira sebagai dalil syara’ sehingga seoorang mujtahid tidak dapat beristidlal dengannya, kecuali apabila hal tersebut ditunjuk oleh nash, diantaranya ialah syar’uman qablana, mazhab sahabat, istishab, maslahah mursalah, dan ‘urf”.1
Dalam pandangan Hizbut Tahri>r tidaklah dikenal ‘urf selain pada 3 bagian
yaitu Istilah, Taqdirat, dan ‘Urf. Ketika disebut 'urf, maka yang dimaksudkan di
dalamnya adalah adat yang telah berlaku secara luas diantara suatu komunitas
tertentu, dengan kata lain 'urf adalah aktifitas yang (dilakukan) berulang-ulang
oleh individu dan dia puas dengan hal tersebut. Maka ketika adat ini telah
berlaku secara luas diantara komunitas itu dan sebagian besar individu dalam
komunitas tersebut telah mengerjakannya atau bahkan seluruhnya maka jadilah
perbuatan tersebut sebagai 'urf. Jadi 'urf itu hakekatnya adalah adat kolektif. Oleh
karena itu maka hukum atas sesuatu disebut berdasarkan 'urf apabila hukum
tersebut berdasarkan pada apa yang dikerjakan oleh kebanyakan dari komunitas
1 Wawancara dengan Juru bicara Hizbut Tahri>r Indonesia bapak Ismail Yusanto pada
hari/ tanggal Senin, 28 September 2015.
56
tersebut. Dengan begitu maka 'urf itu adalah pada aktifitas, bukan pada lafaz-
lafaz, juga bukan pada taqdirat atas sesuatu. Sedangkan istilah dalam pandangan
hizbut tahrir adalah kesepakatan komunitas (tertentu) atas penggunaan nama
tertentu untuk sesuatu yang tertentu, artinya menjadikan (suatu) tertentu untuk
disebut dengan identitas tertentu. Antara lain adalah bahasa-bahasa serta istilah-
istilah khusus. Seperti istilah ahli nahwu, ahli ilmu alam, atau istilah satu daerah
atau wilayah dan sebagainya. Sedangkan at-taqdirat yang ditetapkan oleh
manusia untuk mengungkapkannya, seperti harga, upah, kadar nafkah, mahar, dan
sebagainya. Maka itu bukan bagian dari 'urf, karena bukan merupakan adat
istiadat manusia, tapi at-taqdirat merupakan perkiraan tertentu untuk sesuatu
yang telah diterima oleh pasar serta berlaku di masyarakat.2
Dan mereka berkata bahwa syara' telah memerintahkan agar kita
mengambil 'urf. Berdasarkan asumsi mereka bahwa 'urf itu adalah dalil syara',
mereka telah menghasilkan banyak hukum, antara lain3 :
1. Kalau seandainya seseorang telah bersumpah bahwa dia tidak akan
meletakkan telapak kakinya pada satu rumah maka secara otomatis sumpah
tersebut mengarah pada makna masuk rumah. Karena makna berdasarkan urfi
bukanlah sekedar menginjakkan telapak kaki. Maka kalau seandainya dia
masuk dengan naik kendaraan yang telapak kakinya tidak menyentuh tanah
rumah tersebut, secara syar’i dia tetap telah melanggar sumpahnya
2 Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhsiyah al-Islamiyyah (Ushul Fiqh) (Beirut :Dar al-
Ummah, 2005). Jilid III. Hlm. 462-463. 3 Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhsiyah al-Islamiyyah (Ushul Fiqh), Jilid III. Hlm. 465.
57
berdasarkan dalil 'urf, karena makna menginjakkan telapak kaki adalah
masuk rumah.Jadi keputusan 'urf pada hukum inilah yang berlaku.
2. Kalau seandainya seseorang membeli buah sedangkan buah tersebut masih
ada di pohon dengan lafaz penjaminan dan jaminan tidak dengan kata
membeli maka itu dikategorikan sebagai membeli, karena 'urf telah
berlangsung seperti itu. Maka jaminan terhadap zaitun, jeruk dan yang lain
yang terjadi pada jual beli buah (yang masih) di pohon meski dengan kata
menjamin maka sahlah jual beli tersebut dengan dalil 'urf, maka jadilah 'urf
sebagai dalil syara' atas suatu hukum syara'.
3. Boleh bagi seorang kawan ketika dia di rumah kawannya untuk makan apa
saja yang ada di hadapan dia, serta memanfaatkan sebagaian sarana untuk
minum dan yang sejenisnya, karena 'urf membolehkan hal tersebut. Maka
'urf-pun merupakan dalil atas suatu hukum syara’, dan contoh-contoh lainnya
yang telah dikemukakan oleh ulama di dalam kitab-kitabnya.
Hizbut tahri>r memandang bahwa ‘urf dalam aplikasi kesehariannya seperti
contoh diatas adalah pendapat yang fasid dan tidak ada dalil apapun yang bisa
dikemukakan untuk 'urf tersebut, berdasarkan hal-hal berikut ini4 :
1. Hizbut tahri>r menganggap bahwa ayat yang digunakan oleh ulama dalam
menjelaskan ‘urf tidak sesuai. Ayat tersebut adalah ayat Makiyyah, ayat
tersebut terdapat dalam surat al-A'raf dan makna ayat tersebut adalah ambillah
apa yang dimaafkan untuk kamu dari perbuatan-perbuatan manusia, akhlaq
mereka dan apa yang datang dari mereka, agar menjadikan kamu mudah
4 Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhsiyah al-Islamiyyah (Ushul Fiqh), Jilid III. Hlm. 467-471.
58
bersama mereka tanpa ada yang memberatkan, dan jangan engkau menuntut
mereka kesungguhan, dan jangan engkau memberatkan mereka agar tidak lari,
sebagaimana sabda beliau SAW:
5يسروا والتعسروا
Mudahkanlah dan jangan di persulit
Adapun pengertian perintahkanlah dengan 'urf adalah dengan perbuatan yang
baik, karena 'urf yang diketahui itu adalah perbuatan yang terpuji. Sedangkan
hadis yang mereka kemukakan itu adalah pernyataan Ibnu Mas'ud, bukan
merupakan hadis. Maka perkataan tersebut tidak dibutuhkan, terlebih lagi
bahwa urf tidak termasuk dalam pernyataan tersebut. Karena pernyataan Ibnu
Mas’ud tersebut menegaskan bahwa apa yang dipandang oleh kaum Muslim
baik dan bukan apa yang telah di'urfkan kaum muslim dan telah menjadi adat-
istiadat mereka.
2. Bahwa 'urf itu adalah aktifitas-aktifitas yang berulang-ulang yang harus sesuai
dengan syara' agar perbuatan-perbuatan manusia itu berjalan sesuai dengan
hukum-hukum syara' baik apakah perbuatan-perbuatan yang berulang-ulang
5 Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Suyuti, al-Dur al-Mantsur (Beirut:Dar al-Fikr,
1993). Juz VIII. Hlm. 465. Lihat juga di beberapa kitab yang mencantumkan hadis diantaranya : Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf al-Tsa’aalabi >, al-Jawa>hir al-Hasa>ni fi> Tafsi>r al-Qur’an (Beirut:Muassasatu al-‘Alami Lilmathbu >’a>ts, t.t). Juz IV. Hllm. 140. Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shohih al-Adab al-Mufrad li-Imam al-Bukhari (Beirut:Dar al-Shodiq, 1421 H). Juz I. Hlm. 193. Ali bin Hisamuddin al-Muttaqi al-H{indi, Kanzun al-Ama>l fi Sunan al-Aqwa>l wa al-Af’al (Beirut:Muassasa al-Risalah, 1989 M). Juz III. Hlm.71. Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahi al-Targhi>b wa al-Tarh}i>hib (Riyadh:Maktabah al-Ma’aarif, t.t). Juz III. Hlm. 12. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfawri Abu al-‘Ala, Tuhfatu al-Ahwazi Bisyarhi Ja>mi’ al-Turmuz}i (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t). Juz X. Hlm. 552. Nuruddin bin AbdulHadi Abu al-H{asan al-Sanadi, Hasyiyah al-Sanadi ‘ala al-Nasa’I (Halib:Maktab al-Mathbuu’aats, 1406 H/1986 M). Juz VIII. Hlm. 49. Abu Zakariya Yah}ya bin Sharif bin Muri> al-Nawawi, al-Manhaj Syarah Shahih Muslim bin al-H{aja>j (Beirut:Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1392 H). Juz 18. Hlm. 41.
59
tersebut dari individu sebagaimana adat istiadat, atau berulang-ulang oleh
komunitas sebagaimana 'urf, atau tidak berulang-ulang dari seorang saja dan
perbuatan tersebut dikerjakan meski hanya sekali saja karena yang pasti
adalah wajib bagi seorang muslim untuk menyelaraskan aktifitas-aktifitasnya
dengan perintah-perintah Allah serta larangan-larangan-Nya baik itu berulang-
ulang ataupun tidak.
3. Bahwa 'urf itu adakalanya bertentangan dengan syara' atau tidak. Jika
menyalahi syara' maka syara' datang untuk mengoreksi 'urf dan
menggantinya, karena termasuk bagian dari aktifitas syariat adalah merubah
'urf dan adat istiadat yang rusak. Tapi apabila 'urf tersebut tidak bertentangan
dengan syara', hukum ditetapkan berdasarkan dalil syara', atau illat syar’iyyah
dan bukan dengan 'urf tersebut meski tidak menyalahi syara'.
4. Sesungguhnya pokok dari dalil-dalil syara' adalah al Kitab dan as Sunnah
keduanyalah dalil yang pokok dan hal-hal yang ditetapkan oleh keduanya
bahwa hal tersebut merupakan dalil syara' seperti ijma' dan qiyas maka
dipandang sebagai dalil syara', sedangkan yang tidak ditetapkan oleh
keduanya bahwa itu adalah dalil syara' maka tidak dianggap sebagai dalil
syara', dan dengan tidak didapatkannya dasar untuk 'urf baik dalam al-Kitab,
as-Sunnah maupun ijma' maka ‘urf tersebut sama sekali tidak dianggap
(sebagai dalil syara').
5. Sesungguhnya 'urf dan adat istiadat itu ada yang terpuji dan ada yang tercela,
dan tidak diragukan lagi bahwa adat istiadat serta 'urf yang tercela secara
syar’i sama sekali tidak diperhatikan. Lalu siapa yang memilah-milah antara
60
yang terpuji dan tercela, apakah akal atau syara'? Adapun akal maka tidak
dipandang sebagai yang memilah antara yang terpuji dan tercela karena akal
itu terbatas serta dipengaruhi oleh karakter dan situasi. Sungguh akal itu
kadang-kadang melihat sesuatu itu terpuji hari ini, besok menjadi tercela.
Maka apabila ketentuan 'urf yang terpuji dan tercela tersebut diserahkan pada
akal maka itu akan mengantarkan pada kelabilan hukum Allah dan tentu hal
ini tidak boleh. Oleh karena itu maka syara'lah satu-satunya yang harus
diterima dalam menetapkan atas 'urf. Dengan begitu maka diperhatikan atau
tidaknya 'urf tersebut tergantung pada adanya nash pada suatu kejadian itulah
yang akan menjadikan apakah kejadian tersebut dianggap sebagai yang syar’i
dan diterima. Maka berarti dalilnya adalah nash syara', bukan 'urf.
6. Adapun contoh-contoh yang mereka kemukakan secara keseluruhan bermuara
pada dua hal: adakalanya benar dalam hukum tapi kesalahan terjadi pada
penafsirannya atau terjadi pada hukum dan penafisirannya sekaligus. Maka
apabila benar pada hukum maka kesalahan di dalamnya terjadi dengan
menjadikan 'urf sebagai dalilnya karena memang ada dalil yang lain selain
'urf. Apabila kekeliruan tersebut terjadi pada hukum maka kesalahan datang
dari sisi penyandaran hukum pada 'urf dan itu tentu tidak boleh.
Sedangkan yang berkaitan dengan العادة محكمة Hizbut Tahrir tidak
mengganggap hal tersebut sebagai dalil, sebagaimana yang dikatakan oleh juru
bicara Hizbut Tahrir Indonesia bahwa :
“ Adapun adat sebagai dalil itu kembali kepada nash atau wahyu, urf itu bisa sesuai atau tidak dengan nash, ketika dia sesuai dengan nash maka dia dibolehkan tapi kebolehan tersebut bukan karena ‘urf nya tapi karena dalil yang
61
membolehkannya sehingga tidak ada posisi urf sebagai dalil yang dapat dijadikan masdarul hukmi tapi yang dijadikan sebagai sandaran hukum itu ialah nash baik itu al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas”.6
Berangkat dari kesalahan dalam mempelajari Islam yang memisahkan antara
fikrah dan thariqah, maka berakibat pada kemustahilan penerapan fikrah karena
tidak disertai dengan thariqah-nya. Lebih parah lagi dengan munculnya kesalahan
dalam memahami syariat Islam. Lebih jauh lagi mereka menginterpretasikan
hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi sekarang. Bahkan kesalahan
yang yang mereka lakukan sudah melampaui batas, baik dalam masalah umum
maupun dalam hal-hal yang terperinci. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah
kulliyat dan hukum-hukum yang terperinci sesuai dengan pandangan tersebut.7
B. Konsep ‘Urf dalam Pandangan Mazhab Fikih
Secara umum ‘urf atau adat diamalkan oleh semua ulama fikih terutama
dikalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah
menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salahsatu bentuk istih}san ialah
istihsan al-‘urfi (Istihsan yang disandarkan kepada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyah,
‘urf itu didahulukan atas qiyas kha>fi dan didahulukan atas nash yang umum.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli
Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari
hadis ahad. Ulama Syafi’iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan
bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut :
6 Wawancara dengan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia bapak Ismail Yusanto padahari/
tanggal Senin, 28 September 2015. 7 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahri>r (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia
Press, 1421 H/2001 M). Hlm. 5-6.
62
8ا ورد به الشرع مطلقا بال ضابط له منه وال من اللغة يـرجع فيه إلى العرف كل م
Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.9
Para ulama beristidlal bahwasannya ‘urf merupakan hujjah dalam syariah
dengan firman Allah :
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-‘Ara>f : 199) serta dengan perkataan Ibn Mas’ud :
المسلمون حسنا، فـهو عند اهللا حسن ما رأه
apa-apa yang dilihat umat Islam sebagai suatu kebaikan, maka hal itu juga baik
menurut Allah, dan apa-apa yang dilihat umat Islam sebagai kejelekan, maka hal
itu juga jelek menurut Allah. Apabila terdapat suatu ‘urf yang dianggap baik oleh
umat Islam, maka diperhitungkan sebagai hukum di hadapan Allah. Seyogyanya,
beristidlal dengan kata ‘urf pada ayat tersebut berpijak pada arti bahasanya, yaitu
suatu perkara yang dianggap baik oleh keseluruhan, bukan berdasarkan makna
terminologi fikih. Ini merupakan makna yang bersifat pemahaman, meskipun
8 Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin as-Suyuti, al-Ashbah wa an-Naz}air (Beirut:Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H/1990 M). Hlm. 98. Muhammad Mustafa Zuhaili, al-Qawa>id al-Fiqhiyyah wa Tat}biqatuha fi al-Mazahib al-Arba’ah (Damsyiq:Dar al-Fikr, 1427 H/2006 M). Juz I. Hlm. 313. Sedangkan di beberapa kitab lain menggunakan kaidah yang berbeda yaitu :
ما ليس له حد في الشرع، وال في اللغة، يـرجع فيه إلى العرف seperti dalam kitab karangan Abu Abdullah Badrudin bin Muhammad bin Abdullah bin Bahadur al-Zarkasi, al-Bah}rul Muhit} fi Usul al-Fiqh (Beirut:Dar al-Kutubi,1414 H/1994 M). Juz V. Hlm. 86.Hasan bin Muhammad bin Mahmud al-‘At}ar al-Syafi’i, Hasyiyah al-‘At}ar ‘ala Syarhi al-Jalali al-Mah}alli ‘ala Jam’u al-Jawami’ (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t). Juz I. Hlm. 429.
9 Amir Syarifuddin, Us}ul Fikih 2 (Jakarta:Kencana, 2008). Cet. Ke-IV. Hlm. 423.
63
bukan maksud dari ayat tersebut, namun terkadang disukai guna mendukung
makna terminologi.10
Para ulama menyatakan bahwa ‘urf merupakan salahsatu sumber dalam
istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak
ditemukan nash dari kitab al-Qur’an dan sunnah (hadis). Apabila suatu ‘urf
bertentangan dengan nash seperti kebiasaan masyarakat di suatu zaman,
melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal minum arak atau
memakan riba, maka ‘urf mereka di tolak (mardud). Sebab diterimanya ‘urf
tersebut berarti mengesampingkan nash-nash yang pasti (qath’i), mengikuti hawa
nafsu, dan membatalkan syariat.11
Dalam pembagiannya ‘urf ada yang shahih dan ada yang fasid. ‘Urf yang
shahih itu wajib dipelihara untuk dijadikan sebagai dalil tashri’, mujtahid harus
memelihara hukum tashri’ yang dihasilkan olehnya. Dan bagi hakim memelihara
pada hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang dan apa yang dijalani
oleh mereka dapat dijadikan sebagai hujjah, kesepakatan dan kemaslahatan bagi
mereka. Selama tidak menyalahi syariat maka wajib memeliharanya. Imam Malik
kebanyakan membina hukum-hukumnya itu terhadap perbuatan penduduk
madinah. Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya berbeda pendapat atas hukum
yang dibina atas ‘urf. Imam Syafi’i, ketika berada di Mesir mengubah hukum-
hukum yang beliau bentuk di Bagdad yang berdasarkan ‘urf. Untuk itu beliau
10
Wahbah Zuhaily, Us}ul Fikih al-Islami (Beirut : Dar al-Fikri, 2001). Hlm. 836. 11
Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikri al-Arabi, 1958). Hlm. 273-274
64
memiliki dua pendapat yaitu pendapat yang lama dan pendapat yang baru. Di
dalam fikih mazhab Hanafi kebanyakan hukum itu dibina berdasarkan ‘urf.12
Dalam mazhab Hanafi penggunaan urf sebagai sebuah hukum yang digali
dari kaidah العادة محكمة Maka harus sesuai dengan beberapa kriteria yaitu tidak
bertentangan dengan syariat, tidak menimbulkan kemafsadatan dan tidak
menghilangkan kemaslahatan, ‘urf (kebiasaan) tersebut telah berlaku umumnya
bagi orang-orang muslim, ‘urf tersebut tidak berlaku pada ibadah mahdah yang
telah terperinci dijelaskan oleh nash, ‘urf tersebut telah memasyarakat ketika akan
ditetapkan hukumnya, dan tidak bertentangan dengan hukum yang diungkapkan
dengan jelas di dalam nash.13
Dalam mazhab Maliki tidak dijumpai pembahasan ‘urf secara eksplisit,
dari pengayaan yang dilakukan oleh penulis yang terbatas pemahamannya
mendapatkan pembahasan tersebut dalam kitab al-Furuq yang di tulis oleh Imam
al-Sonhaji yang menyatakan bahwa sebagian ulama kadang memandang adat dan
urf sebagai dalil yang mu’tabar dan kadang tidak menganggap adat dan ‘urf itu
sebagai dalil yang mu’tabar. Sebagaimana yang anda ketahui bahwa persoalan
tersebut didasarkan pada tidak adanya penjelasan tentang perbedaan antara adat
yang menjadi hukum dengan adat yang tidak menjadi hukum. Sedangkan
pandangan kami tentang ‘urf sama dengan apa yang dibahas oleh Imam as-
Syuyuti dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazair.14
12
Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Us}ul Fiqh. Cet ke- II (Qahira : Dar at-Turats, 2010). Hlm. 85.
13 Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad ibn Nujaim al-Mishri, al-Ashbah wa an-Naz}air
‘ala Mazhab Abi Hanifah an-Nu’man (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1419 H). Hlm. 79-80. 14
Abi Qabas Ahmad bin Idris al-Sonhaji al-Qarafi, al-Furuq:Anwar al-Buruq fi Anwak al-Furuq (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1418 H/1998 M). Juz III. Hlm. 282-283.
65
Sedangkan dalam mazhab Syafi’i mengungkapkan bahwa kaidah العادة
,mencakup beberapa persoalan fikih contohnya dalam permasalahan Haid محكمة
masa haid, baligh, usia dewasa, batasan haidh, nipas, dan lainnya.15 Kemudian
diterangkan bahwa kaidah tersebut dapat diberlakukan dengan beberapa ketentuan
yang harus diperhatikan diantaranya :
1. Dengan apa ‘urf tersebut dapat ditetapkan atau dapat dijadikan sebagai
hujjah, terkait dengan hal ini ada dua yaitu :
a. ‘Urf tersebut telah dilakukan secara berulang-ulang contohnya, pertama
Puasa dihari syak (hari yang meragukan untuk berpuasa)16, apabila
seseorang itu telah terbiasa berpuasa hari Senin dan hari Kamis kemudian
diantara salah satu hari tersebut diragukan masuk satu Ramadhan maka
apakah puasanya sah atau batal, dalam hal ini yang dijelaskan dalam kitab
al-Khodim dikatakan bahwa apabila hal tersebut terjadi maka cukup
sekali, dan puasa sunnahnya tersebut tetap sah. Kedua, memberikan
hadiah kepada seorang qadhi, berapa kali batasannya sehingga ia dapat
dikatakan sebagai urf. Menurut Imam as-Subki tidak ada hadis yang
15 Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Ashbah wa an-Naz}air fi al-
Furu’ (Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah,t.t). Hlm. 63. 16
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
ال تـقدموا رمضان بصوم «: صلى اهللا عليه وسلم -قال رسول الله : قال -رضي اهللا عنه - عن أبي هريـرة
ليصمه , إال رجل كان يصوم صوما, يـوم وال يـومين متـفق عليه . »فـ “Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah Saw bersabda Janganlah ada diantara kalian mendahului puasa ramadhan satu hari atau dua hari, Kecuali apabila seorang laki-laki yang telah terbiasa berpuasa, maka berpuasalah Ia” Muttafaqun Alaihi. Lihat : Abu al-Fadil Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Mara>m min Adillatu al-Ahkam (Riyadh:Dar al-Falaq,1424 H). Juz 1. Hlm. 189. Muslim bin al-H{ajjaj Abu al-H{asan al-Qashiri an-Naisaburi, Shahih Muslim (Kairo:Dar al-Ihya’ al-Arabi,1374 H). Juz 7. Hlm. 53. Muhammad Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-S{ah}ih al-Mukhtas}ar (Beirut:Dar Ibn Katsir,1407 H). Juz 6. Hlm. 676. Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Ku>fi, al-Mus}naf fi al-Ahadi>ts wa al-Atsa>r (Riyadh:Maktabah al-Rasyid,1409 H). Juz 7. Hlm.285.
66
menjelaskan tentang hal tersebut. Namun, menurut ulama kami cukup
satu kali.
2. ‘Urf/adat dapat dijadikan sebagai dalil bila hal tersebut terjadi berkali-kali
sehingga dapat berhujjah dengannya. Contoh upah untuk menjahit,
benangnya dari siapa (penjahit atau pemberi jahitan). Menurut Imam Rafi’
hal tersebut dikembalikan kepada adat bila belum ada adat yang menjelaskan
hal tersebut maka harus dijelaskan.
a. Bagaimana apabila antara ‘urf bertentangan dengan nash. Dalam hal ini
apabila persoalan tersebut dijelaskan oleh nash namun status hukumnya
tidak dijelaskan oleh nash maka yang dikedepankan adalah ‘urfnya.
Contoh apabila ada orang yang bersumpah “Saya tidak akan memakan
daging” maka dia tidak perlu membayar kafarat atas sumpahnya tersebut
apabila dia memakan ikan.17
b. Terdapat dalam nash dan status hukumnya di jelaskan oleh nash, maka
yang dikedepankan adalah status hukum yang dijelaskan oleh nash.
Contohnya, seseorang yang bersumpah bahwa dia tidak akan shalat, maka
17
Hal tersebut sebagaimana dikatakan dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 14 :
وهو الذي سخر البحر لتأكلوا منه لحما طري�ا وتستخرجوا منه ح لية تـلبسونـها وتـرى الفلك مواخر فيه
ولتبتـغوا من فضله ولعلكم تشكرون
Kata لحما طریا dalam ayat tersebut memiliki makna daging ikan. Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Bayani lima fi surat an-Nahl min daqaiq al-ma’ani bahwa yang dimaksud makanlah oleh
kalian daging yang lezat adalah السمك لحما (daging ikan), dia dikatakan daging karena bagian dari
pada hewan-hewan. Ikan termasuk kedalam kata daging karena merupakan hewan laut yang memiliki karakter yang lunak. Sedangkan sebagian ahli tafsir lain mengatakan bahwa karakternya yang lunak dan mudah rusak. Hal ini sesuai dengan ungkapan “dan telah aku tundukkan untuk kalian lautan agar kalian dapat memakan daging ikan yang lunak dan cepat rusak, maka makanlah ketika ia masih segar dan sebelum rusak. Penjelasan ini dapat dilihat pada kitab, Sami Wadi’ Abdul Fattah, Tafsi>r al-Baya>ni Lima> fi> Surat an-Nahl min Daqa>iq al-Ma’a>ni (Aman : Dar al-Wadhoh, t.t). Juz 1. Hlm. 268.
67
apabila dia shalat tidak dengan tata cara yang dijelaskan secara syar’i
maka dia tidak wajib membayar kafarat atas sumpahnya.
3. Apabila ada ‘urf yang bertentangan dengan bahasa maka mana yang
didahulukan, menurut Qhadi Hasan bahasa yang dikedepankan sedangkan al-
Baghawi ‘urf yang dikedepankan. Contohnya, seandainya ada seseorang yang
berkunjung ke rumah temannya lalu dihidangkan makanan kepadanya, namun
dia tidak memakannya. Kemudian dia bersumpah bila dia tidak memakan
makanan tersebut maka dia akan menthalak istrinya. Kemudian di hari kedua
dia datang lagi bertamu dan dihidangkan makanan kepadanya lalu dia makan.
Menurut rafi’ telah jatuh thalak tapi menurut baghawi tidak.
4. Apabila terjadi pertentangan antara ‘urf ‘Am dengan ‘urf Khas, mana yang
dikedepankan. Ada yang mengatakan bahwa ‘urf ‘am yang didahulukan.
Contohnya, apabila ada adat suatu kaum menjaga tanaman mereka dimalam
hari dan menjaga ternak mereka di siang hari. Apakah bias dijadikan ‘urf ‘am
di tempat lain dan sebaliknya ‘urf khas yang digunakan, dalam hal sebaliknya
‘urf ‘am yang digunakan bukan ‘urf khas. Dalam hal ini ada dua pendapat,
namun yang lebih shahih mengatakan bahwa yang dikedepankan adalah ‘urf
‘am.18
Selain itu juga ternyata tidak semua ulama dalam memahami adat
dikembalikan kepada kaidah العادة محكمة, ada beberapa kaidah yang digunakan
oleh ulama dalam memahami adat sebagai suatu istidlal dalam memahami
18
Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Ashbah wa an-Nazhair fi al-Furu’ , Hlm. 64-66.
68
persoalan. Seperti kaidah الرجوع إلى العادة19
atau Selain itu ada .الرجوع إلى العرف20
juga yang menggunakan kaidah 21.ال ينكر تغير األحكام بتغير الزمان والمكان Terkait
dengan hal ini mazhab Hambali memandang bahwa العادة merupakan isim mufrad
yang diambil dari kata عود yang berarti kembali yaitu sesuatu yang terjadi secara
berulang-ulang. Kemudian ulama berbeda pendapat ketika العادة dijadikan
sebagai sinonim dari العرف . Ada ulama yang mendefinisikan bahwa العادة ialah
berulangnya suatu perbuatan atau ucapan yang terjadi secara terus menerus bukan
disebabkan karena kebetulan. Antara adat dan ‘urf bedanya ialah adat sifatnya
dapat terjadi secara individu dan umum sedangkan ‘urf sifatnya terjadi secara
umum. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘urf itu perbuatan dan ucapan
sedangkan adat itu perbuatan. Namun dalam hal ini kita tidak memfokuskan
tentang perbedaan antara adat dan ‘urf. Sedangkan محكمة merupakan isim maf’ul
dari تحكیم yang diambil dari kata الحاكیم yang artinya memutus, محكمة ialah suatu
perkara yang dikembalikan kepadanya (Adat). Mazhab Hambali memaparkan
bahwa ada yang menjadikan adat sebagai dalil dalam istinbath hukum dan ada
19
Tajuddin Abdul Wah}ab bin Taqiyuddin as-Subki, al-Ashbah wa an-Naz}air ibn Subki (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1411 H/1991 M). Juz II. Hlm. 50. Lihat juga beberapa kitab berikut, diantaranya: Abu Abdullah Badrudin Muhammad bin Abdullah bin Bah}adir al-Zarkashi, al-Bah}rul al-Muh}it} fi> Us}ul al-Fiqh (Beirut:Dar al-Kutubi,1414 H/1994 M). Juz VIII. Hlm. 123. Zainuddin bin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajib, dkk, al-Qawa>id ibn Rajib (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. t.t). Juz I. Hlm. 399.
20 Abdul Malik bin Abdullahbin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini, dkk, al-Burhan fi Us}ul al-Fiqh (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H/1997 M). Juz II. Hlm. 110. Lihat juga Muhammad Must}afa al-Zuh}aili, al-Qawa>id al Fiqhiyyah wa Tat}biqatuha fi> al-Maz}ahib al-Arba’ah (Damsyiq:Dar al-Fikr,1427 H/2006 M). Juz II. Hlm. 307.
21 Mahmud bin Abdurrahim Shofi, al-Jadwal fi ‘Irabi al-Qur’an al-Kari>m (Beirut:Dar al-
Rasyid,1418 H). Juz 31. Hlm. 390.
69
juga yang tidak. Namun, 2 pendapat tersebut dapat didekatkan karena yang
dimaksud oleh kelompok pertama (adat dapat dijadikan sebagai hukum) yaitu
pada saat terjadi ikhtilaf sementara tidak ada dalil naqli yang menjelaskannya,
dalam hal tersebut tidak ditolak oleh kelompok kedua. Penolakan yang dimaksud
oleh kelompok kedua terjadi apabila adat dijadikan dalil terpisah tanpa
memandang sesuai atau tidaknya dengan dalil naqli. Artinya adat dijadikan
sebagai hukum apabila tidak bertentangan dengan dalil naqli dan hanya dipakai
apabila tidak ada dalil syar’i.22
C. Persamaan dan Perbedaan Konsep ‘Urf antara Hizbut Tahrir dan Mazhab
Fikih
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Hizbut Tahrir tidak menganggap
‘urf sebagai dalil yang dengannya dapat dijadikan sandaran untuk memutuskan
suatu perkara, sedangkan mazhab fikih yang empat dalam istidlal hukumnya
justru menggunakan ‘urf sebagai metode dalam menemukan hukum. Dari alasan-
alasan yang telah dipaparkan baik yang diungkapkan oleh Hizbut Tahrir maupun
Mazhab Fikih (empat mazhab), meskipun kesimpulan yang dihasilkan dari
penelitian ini berbeda, akan tetapi terlihat kedua pandangan dari kelompok
tersebut memiliki persamaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh juru bicara HTI :
“Bahwasanya selagi hukum yang dihasilkan oleh adat tersebut tidak bertentangan dengan nash, maka Hizbut Tahrir tidak menolaknya, tetapi penerimaan Hizbut Tahrir tersebut bukan karena ‘urfnya tapi karena nash yang membolehkannya”.23
22
Musallama bin Muhammad bin Majid al-Dausari, al-Mumti’ fi al-Qawaid al-Fikihiyyah (Riyadh:Dar Zidni,1428 H/2007 M). Hlm. 269-271.
23 Wawancara dengan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia bapak Ismail Yusanto pada
tanggal Senin, 28 September 2015.
70
Selain itu juga penulis menduga bahwa ada persamaan antara Hizbut Tahrir
dengan Mazhab Fikih (empat mazhab) berkenaan dengan ‘urf yang dipahami
sebagai sebuah perbuatan yang terjadi secara berulang-ulang dan tidak
bertentangan dengan nash baik al-Qur’an maupun as-Sunnah.24
Sedangkan perbedaan konsep ‘urf antara Hizbut Tahrir dan mazhab fikih
dari pemahaman penulis terhadap uraian yang telah dijelaskan diatas, terdapat
pada 2 (dua) poin, antara lain :
1. Klasifikasi terhadap adat
Hizbut Tahrir (HT) dalam kitab mu’tabanatnya memberikan
klasifikasi terhadap persoalan adat menjadi tiga macam bagian yaitu
Taqdiraat, Istilah, dan ‘Urf. Jadi merupakan suatu kesalahan mereka yang
mencampuradukkan 'urf, istilah dan at-taqdiir. Karena memang faktanya
masing-masing dari tiga hal tersebut bukanlah yang lain. Maka
menganggap semua itu sebagai 'urf adalah bertentangan dengan fakta,
juga menyalahi syara'. Karena syara' telah mengkategorikan istilah-istilah
itu dengan istilah bahasa dan urfiyyah dan menjadikan hukum-hukum
berdasarkan istilah-istilah tersebut. Syara’ juga memperhatikan at-
taqdiirat tersebut, bahkan menjadikan hukum-hukum syara' berjalan
berdasarkan apa yang diharuskan oleh at-taqdiirat tersebut. Berbeda
dengan 'urf. Sesungguhnya syara' telah hadir untuk memberikan solusi
24
Terkait dengan pendapat Hizbut Tahri>r dapat dilihat di kitab mu’tabanat HT yang berlaku bagi setiap anggota HT yang berkenaan dengan pembahasan ‘urf yaitu Taqiyuddin an-Nabhani, Shakhsiyah al-Islamiyyah. Jilid III (Ushul Fikih) (Beirut :Dar al-Ummah, 2005). Hlm. 462. Sedangkan pendapat mazhab fikih yang disimpulkan dari pendapat syekh Wahbah Zuhaily dapat di lihat dalam kitab : Wahbah Zuhaily, Us}ul Fiqh al-Islami (Beirut : Dar al-Fikri, 2001). Hlm. 830.
71
atas berbagai perbuatan dan sesuatu. Syara’ sama sekali tidak
memperhatikan 'urf, dan tidak menjadikan bentuk tahkim apapun pada 'urf
baik pada perbuatan maupun pada sesuatu. Tapi syara' membatasi solusi-
solusi tersebut hanya pada seruan pembuat syara' saja.25
Sedangkan mazhab fikih secara umum terutama empat mazhab
(mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali)
tidak memberikan klasifikasi terhadap adat. Namun, saya menduga apa
yang dimaksud oleh mazhab fikih dalam merinci persoalan sosial seperti
contoh yang diangkat didalam kitab-kitab mazhab fikih (empat mazhab)
ketika membahas persoalan العادة محكمة yaitu tentang haid dan batasan
haid, baligh, batasan jarak shalat jama’ dan sebagainya26, serta batasan
akad-akad dalam jual beli, merupakan Taqdirat dalam pandangan Hizbut
Tahri>r. Sedangkan yang dipahami oleh mazhab fikih (empat mazhab)
sebagaimana yang dijadikan batasan oleh mazhab Syafi’i yaitu pada
persoalan pertentangan antara ‘urf dan bahasa27, Penulis menduga bahwa
persoaan tersebut merupakan Istilah yang dipahami oleh Hizbut Tahri>r
2. Perbedaan pemahaman terkait dengan kaidah محكمة العادة
Terkait dengan kaidah العادة محكمة seperti yang telah penulis
jelaskan bahwa Hizbut Tahrir tidak menganggap kaidah tersebut sebagai
sebuah kaidah yang dengannya dapat disandarkan sebuah persoalan
25
Taqiyuddin an-Nabhani, Shakhsiyah al-Islamiyyah. Jilid III (Ushul Fikih), Hlm. 463. 26
Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad ibn Nujaim al-Mishri, al-Ashbah wa an-Naz}air ‘ala Mazhab Abi H}anifah an-Nu’man, Hlm. 79.
27 Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Ashbah wa an-Naz}air fi> al-
Furu’ , Hlm. 66.
72
sehingga menjadi terang hukum persoalan tersebut, justru mereka
menganggap bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah yang salah dan
tidak sesuai, karena pada dasarnya mereka menganjurkan kepada kaum
muslimin untuk menerapkan hukum Islam sesuai dengan makna ajarannya
tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, maupun tempat.28
Sedangkan ulama mengganggap bahwa kaidah tersebut dapat
dijadikan sebagai sandaran dalam menetapkan hukum walaupun pada
dasarnya kaidah tersebut disandarkan kepada perkataan ibnu Mas’ud :
سنا فـهو عند الله حسن المسلمون ح ما رأه 29
Yang mana hadis tersebut ialah hadis mauquf30, walaupun dasar dari
kaidah tersebut merupakan hadis mauquf, namun para ulama mazhab tetap
28
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafah}im Hizbut Tahri>r (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia Press, 1421 H/2001 M). Hlm. 6. Hal tersebut juga di pertegas oleh wawancara yang penulis lakukan dengan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia bapak Ismail Yusanto pada tanggal Senin, 28 September 2015.
29Hadis diatas merupakan hadis mauquf karena hadis ini disandarkan kepada seorang
sahabat yaitu Abdullah ibn Masud,sebagaimana disebutkan oleh al-Hakim an-Naisaburi dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain dengan redaksi lengkapnya
ثنا أبو بكر بن : القطيعي، ثنا عبد اهللا بن أمحد بن حنبل، حدثين أيب وأمحد بن منيع، قاالأخربنا أمحد بن جعفر
ما رأى المسلمون حسنا فـهو عند الله حسن، وما رآه «: عياش، ثنا عاصم، عن زر، عن عبد اهللا قال
ء، هذا حديث » وقد رأى الصحابة مجيعا أن يستخلفوا أبا بكر رضي الله عنه المسلمون سيئا فـهو عند الله سي
"صحيح اإلسناد، ومل خيرجاه، وله شاهد أصح منه إال أن فيه إرساال Al hakim didalam kitabnya memberikan komentar akan kualitas hadis diatas adalah hadis shahihul isnad (sanadnya shahih). Sehingga beliau memasukkan hadis ini kedalam kitabnya al mustadrak ala as-Shahihain yang berarti hadisnya shahih menurut al-hakim. Hanya saja tidak dimasukkan oleh bukhari dan muslim dalam kitab shahih mereka. Abu Abdillah al Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala as-Shah}ih}ain (Beirut:Dar Kutub al-Ilmiyyah,1411 H/ 1990 M). Juz 3. Hlm 83.
30 Secara bahasa mauquf merupakan isim maful dari kata al-waqfu, seolah-olah perawi
menghentikan hadis hanya sampai pada sahabat, dan sisa rantai sanadnya tidak saling berurutan. Sedangkan secara istilah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrir. Maksudnya adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada sahabat atau sekelompok sahabat, baik yang disandarkannya itu berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir, baik sanadnya itu muttasil ataupun munqathi’. Selain itu juga kata mauquf kadangkala digunakan untuk sesuatu
73
menggunakan kaidah fikih tersebut dalam menyandarkan hukum atas
persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam nash. Ulama dalam
mazhab fikih tidak serta merta menggunakannya tanpa ada filterisasi,
ulama mazhab memberikan batasan dalam mengambil hukum yang
berdasarkan kepada adat/’urf.
yang berasal selain dari sahabat, namun hal tersebut sangat terbatas. Terdapat gambaran mengenai hadis mauquf, baik pada lapadz maupun pada bentuknya. Akan tetapi para pengkaji hadis melihat bahwa hakekatnya hal tersebut merupakan hadis marfu’. Oleh karenanyapara ulama menyebutnya dengan marfu’ hukman (secara hukum marfu’), maksudnya secara lapadz memang mauquf, namun secara hukum marfu’. Lihat kitab, Mahmud Thahan, Taisiir Musthalahu al-Hadis (Kuwait : fakultas Syariah dan Dirasat Islamiyyah, t.t.). hlm. 107-108.
74
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya,
maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Para ulama mazhab fikih, pada dasarnya telah sepakat untuk menjadikan
‘urf secara global sebagai dalil hukum Islam. Perbedaan pendapat diantara
para ulama terjadi mengenai limitasi dan lingkup aplikasi dari ‘urf itu
sendiri. Dalam hal ini perlu diungkapkan hal-hal sebagai berikut. Yaitu
perihal kebiasaan masyarakat Arab terdahulu yang kemudian diakui oleh
syariat sehingga menjadi hukum syara’, dalam hal ini para ulama sepakat
bahwa kebiasaan tersebut mengikat secara syar’i bagi setiap kaum
muslimin. Kebiasaan seperti ini tetap dan valid tidak berubah seiring
perubahan waktu dan tempat. Sedangkan kebiasaan masyarakat Arab yang
yang ditolak oleh syariat menjadi haram hukumnya. Mengenai hal ini para
ulama menganggap bahwa kebiasaan seperti ini harus dijauhkan dari kaum
muslimin dan inilah yang dinamakan sebagai ‘urf fasid. Sehingga dalam
istidlal hukumnya keempat mazhab tersebut menjadikan ‘urf sebagai
salahsatu sandaran dalam penemuan hukumnya.
2. Hizbut Tahri>r yang merupakan partai politik Islam yang berideologikan
Islam. Dimana politik merupakan kegiatannya dan Islam adalah
ideologinya. Hizbut Tahri>r bergerak di tengah-tengah umat dan bersama-
sama mereka berjuang menjadikan Islam sebagai solusi dari problematika
75
umat. Hizbut Tahri>r juga mengajak umat untuk bersama mendirikan
kembali sistem pemerintahan Islam dalam bentuk Khilafah. Hizbut Tahrir
sebagai sebuah partai politik Islam yang memiliki basis masa yang
tersebar diseluruh penjuru dunia, menjadikan pemikiran Syekh Taqiyuddin
an-Nabhani sebagai pemikiran harakah/partainya. Karena beliau sebagai
peletak dasar organisasi politik tersebut. Dalam pandangan Hizbut Tahri>r
adat tidak dijadikan sebagai sandaran dalam menemukan hukum, karena
mereka beranggapan bahwa yang dijadikan sebagai dalil adalah al-Qur’an,
as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Adapun apabila tidak terjadi
persamaan pandangan antara ‘urf dan nash, itu semata-mata tidak
dipahami bahwa ‘urf sebagai masdarul hukmi tapi lebih tepat adalah
bahwa nashlah yang menunjuk kebolehan atas sesuatu tersebut bukan
karena ‘urfnya.
3. Adapun terkait dengan persamaan dan perbedaan antara Hizbut Tahri>r dan
mazhab fikih (empat mazhab) dalam memahami ‘urf dan adat sebagai
sebuah metodologi dalam menemukan hukum merupakan sebuah kehati-
hatian dalam menghasilkan sebuah hukum yang mana hukum tersebut
akan dijadikan sebagai sebuah panduan dalam kehidupan. Hal tersebut
juga menjadi poin positive dalam Islam sebagai wawasan dan pengetahuan
tetapi tetap pada batasan nash yang shahih.
76
B. Saran
Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memberikan beberapa
saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya sebagai
berikut :
1. Masyarakat
Hendaklah masyarakat lebih teliti dalam melihat sebuah organisasi yang
berkembang dilingkungannya, sehingga tidak memberikan kesan terhadap
organisasi tersebut bahwa organisasi tersebut bahaya dan membahayakan.
Masyarakat harus menghormati perbedaan hukum yang berkembang diantara
organisasi yang ada, serta tidak saling mengatakan bahwa organisasi tersebut
salah sebelum mengkaji dan meneliti apakah produk hukum yang mereka hasilkan
bertentangan atau tidak dengan nash yang qath’i.
2. Akademisi
Penulis menyarankan kepada para akademisi bahwa untuk mengetahui
lebih lengkap seperti apa persamaan dan perbedaan konsep ‘urf antara Hizbut
Tahrir dan Mazhab Fikih (empat mazhab) diperlukan kajian lebih mendalam dan
langsung mengkaji melalui kitab-kitab induk baik Hizbut Tahrir maupun Mazhab
Fikih (empat mazhab). Penulis hanya membandingkan antara persamaan dan
perbedaan konsep ‘urf antara Hizbut Tahrir dan Mazhab Fikih serta menggunakan
referensi yang penulis jumpai saja. Sehingga selanjutnya diperlukan juga
penelitian tentang Konsep ‘Urf Hizbut Tahrir dalam Perspektif Mazhab Fikih
yang langsung merujuk kepada kitab-kitab induknya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Afifi Fauzi. Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh. Ciputat :
Adelina Bersaudara, 2010.
Abbas. Sirajuddin. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i. Jakarta : Pustaka
Tarbiyah, 1995.
Al-Bugha, Mustafa Dib. At}ar al-Adillah al-Mukhtalaf Fi>ha Masha>dir al-Tashri’
al-T{aba’iyyah fi al-Fiqh al-Islami. Damaskus : Dar al-Imam al-Bukhari,t.t.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya.Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Abdullah, Muhammad Hussain. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Pen.
Zamroni. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. t.t.
Abdurrahman, Hafidz. Islam Politik dan Spiritual. Singapore : Lisan Ul-Haq
(Pengemban Pemikiran Islam), 1998.
Abd Salam, Ahmad Nahrawi. al-Imam as-Syafi’i fi Maz}abaih al-Qadi>m wa al-
Jadi>d. Kairo : Dar al-Kutub, 1994.
Al-Hajj, Ibnu Amir. al-Taqri>r wa al-Tahbi>r . Cet Ke-III . Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1983.
Al-Asqalani, Abu al-Fadil Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibn Hajar.
Bulughul Maram min Adillatu al-Ahkam. Riyadh:Dar al-Falaq, 1424 H.
Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1998.
Ali Jabir, Hussein bin Muhsin bin. Membentuk Jama’atul Muslim, ali bahasa
:Abu Fahmi. Jakarta : Gema Insani Press, 1999.
78
Al-Dausari, Musallama bin Muhammad bin Majid. al-Mumti’ fi> al-Qawa>id al-
Fiqhiyyah. Riyadh:Dar Zidni, 1428 H/2007 M.
As-S{a>bu>ni>, Muhammad Ali. Mukhtas}ar Tafsi>r ibn Katsir, Juz II. Beirut:Dar al-
Qur’an al-Kari>m, 1402 H/1981 M.
Al-Zahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin, Si>r A’la>m al-
Nubala>k. Juz VI. Beirut:Muassasatu al-Risalah,1402 H/1982 M.
__________. Si>r A’la>m al-Nubala>k. Juz VIII. Beirut:Muassasatu al-Risalah,1402
H/1982 M.
__________. Si>r A’la>m al-Nubala>k. Juz X. Beirut:Muassasatu al-Risalah,1402
H/1982 M.
Al-Juwaini, Abdul Malik bin Abdullahbin Yusuf bin Muhammad, dkk. al-Burh}an
fi> Us}ul al-Fiqh. Juz II. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H/1997 M.
Al-Munyawi, Abu al-Munzir Mahmud bin Muhammad bin Mustafa> bin Abdul at-
T{ayafa. al-Tamhi>d (Syarah Mukhtas}ar al-Us}ul min ‘Ilmu Us}ul).
Mesir:Maktabah Syamilah, 1432 H/2011 M.
al-Qarafi, Abi Qabas Ahmad bin Idris al-Sonhaji. al-Furuq : Anwar al-Buruq fi>
Anwak al-Furuq. Juz III. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1418 H/1998 M.
Al-Zuhaili, Muhammad Musthafa. Qawa>id al- Fiqh}iyyah wa Tatbi>qatuha fi>
Mazahibi al-Arba’ah, Juz I. Damaskus : Dar al-Fikr, 2006.
Al-Zarkashi, Abu Abdullah Badrudin Muhammad bin Abdullah bin Bah}adir. al-
Bah}rul al-Muh}it} fi> Us}ul al-Fiqh, Juz VIII. Beirut:Dar al-Kutubi,1414
H/1994 M.
79
Al-Tsa’aalabii, Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf. al-Jawa>hir al-Hasa>ni
fi> Tafsi>r al-Qur’an. Juz IV. Beirut:Muassasatu al-‘Alami Lilmat}bu>’a>ts, t.t.
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : ElSAS Jakarta,2008.
Amin, Samsul Munir dan Totok Jumantoro. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta :
AMZAH, 2005.
An-Nabhani,Taqiyuddin. Mafa>him Hizbut Tahri>r .Cet.ke-6. Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2001.
__________. Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir. Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah, 1993.
__________. Peraturan Hidup Dalam Islam (Edisi Mu’tamadah).Penj. Abu
Amin, dkk. Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2011.
__________. al-Takattul al-H{izbiy. Bogor : Pustaka Fikrul Mustanir Taman
Khoiru Ummah, 2001.
__________. Syakhsiyah al-Islamiyyah. Jilid III (Ushul Fikih). Beirut :Dar al-
Ummah, 2005.
Ansori. Hukum Islam dan Tradisi Masyarakat, Jurnal Studi Islam dan Budaya
(Ibda’).Vol.5 No.1 Januari-Juni 2007, P3M STAIN Purwekerto,2007.
Aripin, Jaenal. Kamus Ushul Fikih Dalam Dua Bingkai Ijtihad. Jakarta : Kencana
Preda Media Group, 2012.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Isam. Semarang :
PT. Pustaka Rizki Putra,2001.
As-Suyuti, Abdurrahman bin al-Kamal Jallaluddin. al-Dar al-Mantsur. Juz VIII.
Beirut:Da>r al-Fikr, 1993.
80
As-Subki, Tajuddin Abdul Wahab bin Taqiyuddin. al-Asybah wa an-Nadzair ibn
Subki. Juz II. Beirut:Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah,1411 H/1991 M.
Athiyat, Ahmad. Jalan Baru Islam : Studi Tentang Transformasi dan Kebangkitan
Umat, Penj. Dede Koswara. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2010.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fikih. Jakarta : AMZAH, 2011.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fikih 1 dan 2.Cet.1. Jakarta : Kencana, 2010.
Fattah, Sami Wadi’ Abdul. Tafsir al-Bayani Lima> fi> Surat an-Nahl min Daqa>iq
al-Ma’a>ni. Aman : Da>r al-Wadhoh, t.t.
Habi>bi, Su’di Abu. al-Qa>mus al-Fiqh Lughatan wa Istilah}an, Suriah : Dar al-Fikr,
1408 H/1988 M.
Halim, Jundi Abdul. al-Imam as-Syafi’i. Kairo : Da>r al-Qolam, 1966.
Haroen, Nasrun. Us}ul Fikih 1. Ciputat : PT LOGOS Wacana Ilmu,1997.
Hilal, Syamsu. Gerakan Dakwah Islam di Indonesia. Jakarta : Pustaka
Tarbiyatuna, 2003.
Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir : Partai Politik Islam Ideologis. Depok :
Pustaka Thariqul Izzah, 2000.
__________. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia : Indonesia, Khilafah, dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam. Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2009.
__________. Makalah Konferensi Islam dan Peradaban, Indonesia Milik Allah :
Saatnya Khilafah Menggantikan Demokrasi dan Sistem Ekonomi Liberal.
Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2014
Husaini, S. Waqar Ahmad. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (tru Terj), Cet.1.
Bandung : Pustaka, 1983.
81
I. Doi, A. Rahman. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (SYARIAH). Jakarta
: PT Raja Grafindo, 2002.
Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Khalid, Farid Abdul. Fikih Politik Islam . Penj. Faturrahman A. Hamid. Jakarta :
AMZAH, 2005.
Lubis , Junaidi. Islam Dinamis Model Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam
Konteks Perubahan Masyarakat. Jakarta : PT DIAN RAKYAT,2010.
Maazah, Mahmud bin Ahmad bin al-Shodar al-Syahid al-Najaarii Burhanuddin.
al-Mi>hat} al-Burha>ni. Beirut:Da>r al-Turats al-‘Arabi, t.t.
Mahmud, Ahmad. Dakwah Islam Jilid Dua : Kajian Kritis Terhadap Metode
Dakwah Rasulullah. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2003.
Manz}ur, Jamaluddin Ibnu. Lisan al-‘Arabi, Jilid IX. Beirut : Dar S{o>dir,1414 H.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Cet ke-III. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Mughits, Abdul. Ushul Fikih Bagi Pemula. Jakarta : CV Artha Rivera, 2008.
Mudzhar. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberalisasi.
Cet. Ke-II. Yogyakarta : Titian Iahi Press, 2000.
Ibrahim Must}afa, dkk (Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah), al-Mu’jam al-Wa>sit},
Juz II. Kairo:Dar al-Dkawah, t.t.
82
Nasution , Harun. Pembaharuan dalam Islam,Sejarah,Pemikiran,dan Gerakan.
Jakarta : Bulan Bintang,1975.
Nujaim, Zainal ‘Abidin ibn Ibrahim ibn. al-Ashbah wa al-Naza>ir ‘ala Mazhab
Abi Hanifah al-Nu’man. Mesir: Mu’assasah al-Halabi wa Shurakah, 1968.
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Atma Jaya, 2007.
Rahmat, Imdadun. Arus Baru Islam Radikal : Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah Ke Indonesia. Jakarta : Erlangga, 2005.
R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum.Cet.10. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Rodhi, Muhammad Muhsin. Tsaqafah dan Metode Hizbut Tahrir dalam
mendirikan Negara Khilafah, Penj. Muhammad Bajuri dan Romli Abu
Wafa. Bogor : al-Azhar Press, 2012.
Saebani , Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fikih. Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Salam, Izzuddin ibn ‘Abdul. Qawa>’id al-Ahkam fi> Masa>lih al-Anam. Jilid II.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Shidiq , Sapiudin. Us}ul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2011.
Shofi, Mahmud bin Abdurrahim. al-Jadwa>l fi> I’ra>bi al-Qur’an al-Kari>m. Juz 31.
Beirut:Dar al-Rasyid,1418 H.
Sudiyat , Iman. Hukum Adat : Sketsa Asas.Cet.II. Yogyakarta : Liberty, 1981.
Syarif , Mujar Ibnu dan Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Ciputat :
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fikih Jilid 2.Cet.4. Jakarta:Kencana Prenada Media
Group, 2008.
83
__________.Garis-garis Besar Ushul Fikih. Jakarta : Kencana,2012.
Thahari , Fuad. Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’i. Jakarta : MUI Provinsi
Jakarta, 2012.
Thahan, Mahmud. Taisi>r Must}alah}u al-H{adis. Kuwait : fakultas Syariah dan
Dirasat Islamiyyah, t.t.
Umam, Chaerul, dkk. Ushul Fikih 1 Untuk Fakultas Syariah : Komponen MKDK.
Bandung : CV Pustaka Setia, 2005.
Usman, Suparman. Hukum Islam : Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia. Cet ke-II. Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Cet. Ke-III.
Jakarta : Logos, 2003.
Zada, Khamami dan Arif R. Arafah. Diskursus Politik Islam. Ciputat : LSIP
(Lembaga Study Islam Progresif), 2004.
Zahra, Muhammad Abu. Us}ul al-Fiqh. Beirut : Da>r al-Fikri al-Arabi, 1958.
__________. Ushul Fikih. Penj. Saefullah Ma’shum,dkk. Jakarta : Pustaka
Pirdaus,2008.
Za’rur, Abu. Seputar Gerakan Islam : Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah
al-Islami, Front Islam untuk Pembebasan (FIS), Gerakan Salafi,
Tanzhimul Jihad, Jamaah Tabligh, dan lainnya. Penj. Yahya
Abdurrahman. Bogor : Al-Azhar Press, 2012.
Zuhaili, Wahbah. al-Waji>z fi Us}ul al Fiqh, Damaskus : Da>r al-Fikr,1999.
_____________. Us}ul Fiqh al-Islami, Juz II. Dimasq: Da>r al-Fikr, 1958.
Hasil Wawancara dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir (HT)
Studi Perbandingan : Konsep ‘Urf antara Hizbut Tahrir (HT) dan
Madzhab Fiqh (Empat Madzhab)
A. Apa saja dalil yang digunakan HT dalam istidlal hukumnya (penemuan
hokum) ?
Istidlal yang digunakan oleh Hizbut Tahrir selain dari al-Quran dan Sunnah ialah
Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Masdarul Hukmi (sandaran hukum) yang kami
sandarkan kepada empat hal tersebut.
B. Mengapa HT menganggap bahwa Istihsan, Urf, Istishab, dll sebagai
ssesuatu yang dianggap dalil tetapi bukan dalil ?
Urf, istihsan, istishab, dan sebagainya sebagai sesuatu yang menyerupai dalil
tetapi bukan dalil, karena apabila kita berbicara tentang dalil, yang merupakan
sesuatu yang harus diyakini dan merupakan wahyu. Pertama al-Qur’an itu jelas,
kedua as-Sunnah itu jelas, kemudian yang ditunjuk oleh al-Qur’an dan Sunnah,
itulah mengapa Hizbut Tahrir memasukkan Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Ketika
ditunjuk oleh keduanya maka kita bias mengkategorikannya sebagai dalil. Ijma’
Sahabat itu merupakan kesepakatan para sahabat terhadap perkara-perkara yang
tidak ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu juga tidak mungkin para
sahabat bersepakat dalam kedustaan. Contohnya kesepakatan para sahabat untuk
memilih pengganti Nabi, disbanding menyegerakan prosesi pemakan Nabi.
Padahal nabi sendiri mengajarkan untuk menyegerakan pemakan orang yang
meninggal, ini merupakan satu contoh dimana kepemimpinan itu sangatlah
diperlukan.
C. Bagaimana pandangan HT terhadap ‘urf ? Jelaskan !
Urf itu dari segi fakta, maka kemudian dapat dikatakan bahwa urf itu tidak dapat
dijadikan sebagai dalil, oleh karena itu Hizbut Tahrir menolak urf tersebut. ‘Urf
itu dapat sesuai dan tidak dengan dalil, ketika dia sesuai dengan dalil maka urf
itu dibolehkan tetapi bukan karena ‘urfnya melainkan karena dalil yang
menunjuk hal tersebut. Disitulah maka Hizbut Tahrir menolak juga Istihsan,
Maslahah Mursalah, dan lainnya. Karena hal itu merupakan pengejawantahan
dari satu praktek kehidupan ditengah masyarakat bahwa itu mengahasilkan
kebaikan, Tapi tetap ketika kita menarik dalil untuk dijadikan sebagai landasan
hukum maka harus berdasarkan wahyu.
D. Mengapa HT mengklasikan ‘Urf menjadi 3 bagian, kemudian apa yang di
jadikan oleh syekh Taqiyuddin sebagai rujukan dalam memahami hal
tersebut ? Jelaskan !
Didalam kitab-kitab yang di tabanni oleh Ht tidak selamanya dituliskan rujukan,
yang benar adalah bahwa HT mengadopsi pemikiran Syekh Taqiyuddin dan
selanjutnya tidaklah disebut sebagai pemikiran syekh Taqiyuddin tetapi
pemikiran Hizbut Tahrir. Dalam menyusun tsaqafah mu’tabanat HT sebenarnya
menggunakan metode tarjih, jadi apabila kita telusuri maka sumbernya banyak
dan bisa di jejaki sumbernya dan ada juga yang tidak karena penelusuran
terhadap fakta. Contohnya dalam kitab syaksiyah ada unsur dalam pemikiran al
waqi al maksus,ad-Dimaus shalih, al-Khawash, dan ma’lumat as-Sabiqah, yang
seperti ini tidak ada rujukannya, ini merupakan pemikiran terhadap fakta. Karena
setiap orang berfikir pada 4 unsur pertama pengindraan, fakta yang terindra, otak
yang sehat dan pengetahuan. Karena kitab Hizbut Tahrir merupakan kitab
gerakan bukan kitab ilmiah tetapi apabila di takhrij maka semua rujukannya akan
dapat ditelusuri.
E. Adakah persamaan dan perbedaan antara ‘urf yang dipahami oleh HT
dengan konsep ‘urf madzhab fiqh yang berkembang di masyarakat, berikut
contohnya ? Jelaskan !
Jadi memang kitab-kitab HT itu mengikat kepada anggotanya, sebenarnya tidak
ada pertentangan antara HT dengan mazhab fikih karena dalam penyusunan
kitab-kitabnya HT juga menjadikan kitab-kitab para ulama’ mazhab sebagai
rujukan dalam penyusunan kitab-kitabnya, akan tetapi HT mengakomodirnya
dalam bentuk penelusuran terhadap fakta sehingga ditemukan kesimpulan yang
berbeda yang mana HT menjadikannya ke dalam 3 bentuk yaitu ‘urf, istilah, dan
taqdiraat. Namun pada dasarnya baik mazhab fikih dan HT sama-sama
memandang bahwa bahwasannya HT tidak menolak urf selama tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
F. Di dalam kitab mafahim al Islamiya yang di tabanni oleh HT, disana
dijelaskan bahwa HT menolak kaidah al-‘Adah Muhakkamah padahal
madzhab fiqh yang 4 menerima hal tersebut. Mengapa ? Tolong Jelaskan
Ust !
kaidah al-‘Adah Muhakkamah tidak dapat dijadikan sebagai masdarul hukmi
karena yang dapat dijadikan sebagai sandaran hukum itu hanya wahyu yaitu al-
Qur’an dan sunnah serta yang ditunjuk oleh keduanya Ijma’ Sahabat dan Qiyas.
Muhakkamah itu artinya bukan adat menjadi dalil tetapi adat itu ditegaskan oleh
dalil al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas.