Ushul Fiqih Antasari

19
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakaatuhu

Transcript of Ushul Fiqih Antasari

Page 1: Ushul Fiqih Antasari

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakaatuhu

Page 2: Ushul Fiqih Antasari

USHUL FIQH – KELOMPOK 12

AL-HAAKIM, MAHKUUM FIIHI, MAHKUUM ‘ALAIHI

Faridah : 1301Rahmatullah : 1301Uswatun nisa : 1311211583

Page 3: Ushul Fiqih Antasari

Mahkuum Fiihi

Pengertian Taklif

Syarat – Syarat Taklif

Mahkuum ‘Alaihi

Syarat – Syarat

Mahkuum ‘Alaihi

Ahliyyah

Page 4: Ushul Fiqih Antasari

Pengertian Al - Haakim

• Kata “haakim” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah ushul fiqh, haakim merupakan orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan “qadhi”. Dalam kajian ushul fiqh, haakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.

• Ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari segala hukum syari’at adalah Allah, sebagaimana firman-Nya:

• Artinya: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Q.S. Al-An’am: 57)

Page 5: Ushul Fiqih Antasari

Continue…

• Dalam hal ini Abu Husein al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia ke dalam dua kategori:

• Pertama, perbuatan ‘aqliyyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran. Misalnya; mencuri itu tidak baik karena merugikan orang lain, diri sendiri, dsb.

• Kedua, perbuatan syar’iyyah, yaitu perbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan bentuknya. Misalnya; ibadah yang bersifat wajib dilaksanakan salah satunya adalah sholat.

Page 6: Ushul Fiqih Antasari

Mahkuum Fiihi

• “Mahkuum Fiihi” adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Dalam arti lain adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.

Page 7: Ushul Fiqih Antasari

Pengertian Taklif

• “Taklif” adalah beban hukum yang mengandung perintah, larangan dan pilihan terhadap seorang mukallaf. Hukum-hukum yang mengandung perintah ada yang wajib dilaksanakan. Pertama, dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, terbagi menjadi wajib mu’ayyan (misalnya membaca al-fatihah dalam shalat), dan wajib mukhayyyar (misalnya alternative dari kifarat sumpah ada tiga).

Page 8: Ushul Fiqih Antasari

Syarat – Syarat TaklifUlama menyimpulkan ada tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan yang di-taklif-kan kepada mukallaf.

• Perbuatan tersebut diketahui dengan baik oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan tuntutan yang dibebankan kepada mereka. Pengetahuan secara sempurna semisal tentang kewajiban melaksanakan sholat. Dari penjelasan yang mujmal (umum) dalam al-Qur’an, kemudian dijelaskan lagi melalui sabda nabi.

• Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari yang berwenang untuk mentaklifkan dan temasuk yang wajib dipatuhi oleh mukallaf. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada orang lain yang mengetahui, maka orang itu dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya. Oleh sebab itu juga orang-orang yang seperti itu tidak dapat diterima alasannya bahwa dia tidak mengetahui adanya hukum tersebut.

• Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. Artinya, perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.

Page 9: Ushul Fiqih Antasari

Masyaqqah Taklif

• Kemudian di dalam melaksanakan taklif tentunya terdapat berbagai masyaqqat (kesulitan-kesulitan). Sebagaimana sabda Rasulullah yang berarti: “surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan”.

• Para ulama ushul fiqh membagi masyaqqah tersebut kepada dua bentuk, yaitu:

• Masyaqqah Mu’taaddah, adalah akesulitan yang dapat diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudharatan baginya. Kesulitan seperti ini tidak dapat dihilangkan oleh syara’ dari manusia dan hal ini biasa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, mengerjakan sholat membuat badan lelah, berpuasa menimbulkan rasa lapar, dan menunaikan ibadah haji itu menguras tenaga.

• Masyaqqah Ghairu Mu’taddah, adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat.

Page 10: Ushul Fiqih Antasari

Pengertian Mahkuum ‘Alaihi

• Yang dimaksud dengan mahkuum ‘alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Atau dengan kata lain, mahkuum ‘alaihi adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.

 • Dinamakannya mukallaf sebagai mahkuum

‘alaihi adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara’. Jadi, ringkasnya, yang dimaksud dengan mahkuum ‘alaihi adalah orang atau si mukallaf itu sendiri, sedangkan perbuatannya disebut mahkuum fiihi.

Page 11: Ushul Fiqih Antasari

Syarat – Syarat Mahkuum ‘Alaihi

• Ada dua persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang mukallaf sah dibebani taklif.

• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.

• Orang tersebut ahli (cakap, mampu, kapabel) bagi apa yang ditaklifkan kepadanya. Ahli di sini berarti layak atau kepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab mengurus harta wakaf.

•  

Page 12: Ushul Fiqih Antasari

Pengertian Ahliyyah

• Dalam pembahasan tentang mahkuum ‘alaihi telah disebutkan bahwa salah satu syarat seorang mukallaf untuk ditaklifkan adalah bahwa ia ahli atau cakap bagi apa yang ditaklifkan kepadanya.

Page 13: Ushul Fiqih Antasari

Pembagian Ahliyyah• Para ulama ushuliyyun membagi ahliyyah ini ke dalam dua macam, yaitu: •  • Ahliyyah al-wujuub, yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan diberi

kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun dewasa, sehat maupun sakit,

• Semua orang mempunyai kepantasan untuk diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimilikinya.

• Ahliyyah al-adaa, (kemampuan berbuat) ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Merupakan sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’, maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia diberi pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’, maka ia berdosa. Karena itu ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.

• Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah al-adaa adalah ‘aqil, baligh dan cerdas.

Page 14: Ushul Fiqih Antasari

Pembagian Ahliyyah Al - Adaa

Ahliyyah al-adaa al-kaamilah (sempurna atau taam) adalah misalnya ketika seseorang yang telah berakal mencapai umur dewasa (baligh) maka ditetapkan atasnya hukum syara’.

Ahliyyah al-adaa al-naaqishah (tidak sempurna atau ghairu taam) atau yang tidak penuh, yakni apabila pantas diberikan kepadanya hak-hak, tetapi tidak pantas diberikan kepadanya kewajiban-kewajiban atau sebaliknya.

Page 15: Ushul Fiqih Antasari

Halangan Ahliyyah

• Awaridh ahliyyah terbagi menjadi dua macam, yakni:

• ‘Awaridh Samawiyah ialah hal-hal yang berada di luar usaha dan ikhtiar manusia. Halangan samawiyah ada 10 macam, yaitu: keadaan belum dewasa; sakit jiwa (gila); kurang akal (dungu); keadaan tidur; pingsan; lupa; sakit; menstruasi; nifas; dan meninggal dunia.

• ‘Awaridh Kasbiyah ialah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuannya untuk bertindak. Halangan kasbiyah itu ada 7 macam, yaitu: boros; mabuk; bepergian; lalai; bergurau (main-main); bodoh (tidak mengetahui); dan terpaksa.

Page 16: Ushul Fiqih Antasari

Taklif Sebelum Datang Rasul

Versi Mu’tazilah• Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa sebelum

Rasul diutus, akal-lah yang memberi tahu manusia tentang hukum-hukum Allah. Berdasarkan akal, manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu peerbuatan. Oleh sebab itu, para mukallaf yang ditaklifi untuk mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Kelompok itu juga berpendapat bahwa melalui akalnya manusia dapat mengetahui adanya Tuhan dan untuk itu mereka wajib berterima kasih kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan kepada mereka.

Page 17: Ushul Fiqih Antasari

Continue…

Versi Asy’ariyyah• Kaum asy’ariyyah berpendapat

bahwa tidak ada hukum terhadap perbuatan manusia, sebelum seruan Rasul sampai kepada mereka. Dengan kata lain, seseorang tidak dibebani taklif untuk berbuat atau tidak berbuat sebelum datang seruan Rasul melalui wahyu.

Page 18: Ushul Fiqih Antasari

Continue…• Singkatnya, yang menjadi hakim menurut pendapat dua

golongan di atas adalah Allah. Mereka hanya berselisih pendapat tentang kemungkinan mengetahui hukum Allah sebelum Rasul diangkat. Pihak mu’tazilah mengatakan hukum Allah itu dapat diketahui dengan akal. Artinya mereka menjadikan akal sebagai pemberi tahu hukum. Sementara asy’ariyyah mengatakan hanya dengan wahyu hukum Allah dapat diketahui.

• Perbedaan pendapat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa orang yang mempelajari al-Qur’an dengan sebaik-baiknya serta memahami hukum-hukumnya serta menyelami hikmah yang terkandung di dalamnya akan yakin bahwa agama atau ketentuan-ketentuan Tuhan tidak dapat diketahui tanpa perantaraan wahyu. Namun, karena wahyu juga tidak dapat dipahami tanpa bantuan akal, maka akal merupakan alat untuk mengetahui ketentuan-ketentuan wahyu tersebut.

Page 19: Ushul Fiqih Antasari