Skleroderma
-
Upload
kamalabdurrosidrosid -
Category
Documents
-
view
60 -
download
4
description
Transcript of Skleroderma
PENDAHULUAN
Skleroderma merupakan penyakit kronik yang penyebabnya belum diketahui dimana
menyerang pembuluh darah kecil dan jaringan ikat. Skleroderma dibagi dalam dua bentuk,
bentuk pertama dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea atau
skleroderma lokalisata, dan skleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Pada
skleroderma sistemik terjadi penebalan dan indurasi kulit yang difus dan diikuti dengan
fibrosis serta terjadi obliterasi pembuluh darah dari organ dalam. Tidak seperti pada sklerosis
sistemik, gambaran klinis morphea tidak dijumpai sklerodaktili, Raynaud phenomenon dan
keterlibatan organ dalam. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran
inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang
menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses
fibrosis.
1
SKLERODERMA
A. DEFINISI
Istilah skleroderma berasal dari kata Yunani, skleros (keras atau berindurasi) dan derma
(kulit). Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai
pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma ditandai oleh adanya fibrosis
dan obliterasi pembuluh darah kulit, paru, pencernaan, ginjal dan jantung. Penyakit ini bisa
lokal dan sistemik. Yang sistemik sering bersifat progesif dan fatal. Karakteristik kliniknya
adalaah adanya indurasi dan penebalan kulit. Deposit jaringan ikat dan obliterasi pembuluh
darah ditemukan dikulit maupun di alat-alat dalam tertentu. [1]
B. EPIDEMIOLOGI
Kasus skleroderma relatif jarang. Sekitar 75.000 sampai 100.000 penduduk di Amerika
Serikat memiliki penyakit ini dan sebagian besar adalah perempuan berusia antara 30 tahun
dan 50 tahun. Anak kembar dan anggota keluarga mereka yang mengidap skleroderma atau
penyakit jaringan ikat autoimun lainnya, seperti lupus, memiliki risiko sedikit lebih tinggi
terkena skleroderma. Anak-anak juga dapat terkena skleroderma, tetapi manifestasi klinis
berbeda pada anak-anak dengan orang dewasa. [2]
C. ETIOLOGI
Pada skelrosis lokalisasi, etiologinya belum diketahui. Tetapi terdapat beberapa faktor
familial. Kehamilan dapat menyebabkan presipitasi atau agravasi pada morfea.Ada laporan
yang mengabarkan penyakit ini muncul setelah terjadi infeksi, seperti morbili, varisela dan
borrelia burgdorferi, ada juga yang menyatakan pemicunya termasuk trauma dari vaksin
bacille calmette-guerin (BCG), injeksi vitamin b, terapi radiasi, penisilamin, dan
bromokriptin. Tetapi bagaimanapun tidak ada satupun yang merupakan penyebab langsung
yang terbukti.[3]
Sedangkan sklerosis sistemik ialah penyakit kompleks yang berkaitan dengan faktor
genetik dan lingkungan. Tentang faktor genetic, terdapat perbedaan mengenai jenis kelamin.
Perbandingan wanita dan pria ialah 2:1 sampai 21:1. Sklerosis sistemik juga berhubungan
dengan HLA, misalnya HLA-A1, B8-DR3 atau dengan DR3 dan DR-2, terjadi pula
peningkatan pemecahan kromosom. Faktor lingkugan yang diduga berhubungan ialah debu
silika, polivinyl klorida, hidrokarbon aromatik. Juga obat-obatan misalnya bleomisisn,
2
pentazokin dan L-triptofon. Adanya faktor pencetus akan menstimulasi sistem imun, baik
selular maupun humoral.[3]
D. PATOGENESIS
a. Skleroderma lokalisata:
Epidermis bisa terlihat normal atau menipis dan terjadi atrofi disertai hilangnya rete
ridges. Pada awalnya lapisan dermis akan mengalami edema, pembengkakan dan degenerasi
dari jaringan kolagen fibril, yang kemudian menjadi homogen dan eosinofilik. Kemungkinan
adanya kekurangan infiltrat limfatik pada perivaskular. Infiltrat selular dari limfosit, sel
plasma, dan makrofag, dari perivaskular atau difusi, terjadi 84% dalam satu kali proses.
Kemudian dermis akan menebal, dengan kolagen yang padat dan beberapa fibroblast yang
terlihat. Jaringan elastis akan berkurang. Kulit bagian paling luar, dermis, dan lemak
subkutan akan hilang dengan cepat. Beberapa kelenjar keringat mungkin dapat bertahan, jauh
di dalam massa sklerosis sistemik sklerotik yang padat. Pembuluh darah dermis akan terlihat
menebal.[3] Lebih singkatnya, inflamasi dapat memicu sel jaringan ikat untuk memproduksi
banyak kolagen yang merupakan bagian utama dari banyak jaringan. Kolagen yang
berlebihan dapat menyebabkan fibrosis, yang terlihat seperti jaringan parut.[4]
b. Skleroderma sistemik:
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga, faktor pencetus
yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan
kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga
trombosit mengeluatkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B dan CTAP-III. Yang akan
menyebabkan proliferasi fibroblast dan sintesis matriks oleh fibroblast. Aktifasi sistem imun
juga akan berakhir pada proliferasi fibroblast dan sintesis matriks. Aspek utama dari penyakit
ini termasuk inflamasi pembuluh darah, dan sel yang diproduksi jaringan ikat. Faktor genetik
spertinya juga penting seperti penyakit kompleks lainnya. Faktor keturunan yang berperan
adalah jenis kelamin, rasio wanita dengan laki-laki adalah 2:1 sampai 20:1, walaupun
demikian faktor hormone seks pada patogenesis penyakit ini belum diketahui.[4,5]
3
E. MANIFESTASI KLINIS DAN KALSIFIKASI
Gb. 1. Gejala klinis dan pemeriksaan histology pada pasien dengan skleroderma.
Panel A memperlihatkan hyperkeratosis di kuku pasien fase edema pada
skleroderma lokalisata. Panel B memperlihatkan ulserasi di ujung jari pada
pasien skleroderma lokalisata. Panel C memperlihatkan sebuah infiltrate
limfohistiositik di sekitar pembuluh darah pada preparat kulit. Pada Panel D,
sebuah spesimen biopsy kulit dari pasien dengan skleroderma sistemik
memperlihatkan deposisi dari matriks kolagen keluar dari dermis sampai
jaringan lemak subkutan. Panel A memperlihatkan penebalan pada
pertengahan arteri interlobulus (panah) dan dua arteri yang meruncing
(asterisk) di ginjal dari pasien skleroderma. Sebagian gromerulus telah tidak
bekerja dan epitel dari tubular mengalami atrofi. Fibrosis dengan infiltrasi sel
mononuklear terjadi di interstitium. [7]
A. Sklerodema lokalisata dibagi dalam tiga varian, yaitu:
1. Morfea
Morfea mempunyai onset penyakit yang lambat, lebih sering menyerang bagian
tubuh atas dibandingkan ekstremitas dan wajah. Puncak insiden terjadi pada usia 20-40
tahun dengan rasio perempuan dan laki-laki 3:1. Morfea ditandai dengan satu atau
beberapa patch atau plak berindurasi dan berbatas umumnya dengan hipo atau
hiperpigmentasi. Lesi dini ditandai dengan edema dengan atau tanpa eritema sekitar. Nyeri
muncul beberapa minggu sebelum muncul gejala klinik. Lesi aktif biasa berindurasi dan
4
berbatas eritema dan violaceous. Lesi berkembang menjadi keputihan atau kuning,
khususnya di sentral. Ukuran bervariasi dari 0,5-30 cm2. Variasi submorfologi morfea
termasuk guttae, bullous, keloidal, profunda dan ‘en coup de sabre’. Beberapa penulis
berpendapat bahwa liken sklerosis adalah bentuk superficial atau bentuk dini dari morfea.
Penyakit chonic sclerodermoid graft-versus-host secara klinik dan histologi serupa
dengan liken sklerosus, morfea, dan eosinophilic fasciitis (EF), sehingga penyakit ini
dapat menjadi bagian dari penyakit fibrotic.[6]
2. Morfea generalisata
Morfea generalisata memiliki tingkat keparahan lesi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan morfea, ditandai dengan lesi multipel, sering konfluen dan mengenai
body surface area yang lebih luas. Beberapa pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus
dengan cakupan permukaan tubuh yang lebih kecil.[6] Onsetnya biasanya perlahan-lahan
sama seperti morfea. Lesi dengan warna ungu (lilac-coloured border) disekeliling indurasi
ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium awal. Plak biasanya lebih besar dibanding
morfea lain. Biasanya plak dimulai pada bagian tubuh atas dan secara bertahap meningkat
dalam ukuran, dengan perkembangan plak baru selama satu atau dua tahun. Area utama
yang terkena adalah bagian tubuh atas, abdomen, dan paha atas.
3. Morfea linier (Linear Scleroderma)
Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan
perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan kontraktur.
Bentuk morfea lebih sering terjadi pada anak-anak dan pada ekstremitas. Proses fibrotik
sering meluas ke jaringan subkutaneus, termasuk fasia dan otot. Kontraktur dapat menjadi
penyebab morbiditas dan deformitas. Pada anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang meliputi seluruh
ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat. Morfea sklerotik pada anak
dihubungkan dengan dengan resiko yang meningkat dari karsinoma sel squamous
kutaneus, khususnya pada area yang berulkus dari kulit yang terkena.[6]
B. Skleroderma Sistemik
Skleroderma sistemik biasanya dimulai dengan keluhan seperti fenomena Raynaud yang
kronik, edema pitting pada tangan dan jari-jari. Sepertiga pasien pertama kali mengeluh
5
adanya sakit dan kaku pada jari-jari dan lutut. Pada beberapa kasus, keluhan pertama adalah
poliartritis aktif yang sering berpindah. Dalam kasus lain, terdapata arthritis jari-jari yang
erosif dan berat. Pada pemeriksaan sinar X ditemukan :
1. Resorpsi jari-jari
2. Kalsifikasi subkutan
3. Ruangan persendian menyempit
4. Erosi fokal tulang-tulang tertentu
Kelinan kulit mendahului kelainan alat-alat dalam beberapa tahun sebelumnya. Penyakit
lebih lanjut akan meluas ke anggota gerak atas, badan, muka, dan akhirnya anggota gerak
bawah. Pada fase dini pitting edema yang ringan, tidak sakit berlangsung beberapa bulan,
kemudian kulit menjadi kasar. Sebelumnya kulit terasa indurasi, kaku, kemudian atrofi, keras
dan melekat dengan struktur di bawahnya. Kulit pada muka menjadi seperti topeng tanpa
ekspresi, kehilangan garis-garis muka, penipisan dari bibir dan penyempitan pembukaan
mulut (mikrostomia).[1]
Tampak adanya alur-alur radial sekitar mulut. Jarang mukosa mulut terkena. Kulit
hidung ketat dan nampak hidung lebih runcing. Telengangiektasi pada muka dan badan
bagian atas. Pada daerah yang terkena, kulit menjadi tipis dan rambut menghilang tak
berkeringat. Hiperpigmentasinya menyeluruh seperti penyakit Addison. Fokal
hipo/hiperpigmentasi timbul sebagai reaksi setelah adanya peradangan pada daerah sklerosis.[1]
F. DIAGNOSIS
a. Skleroderma lokalisata:
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosa skleroderma
lokalisata, tetapi tes sering dilakukan untuk mengevaluasi tingkat dari inflamasi dan masalah
yang terkait dengan skleroderma lokalisata, serta untuk memastikan pasien tidak mempunyai
penyakit lain. Biopsi kulit dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis. [4]
Gambaran klinis dari skleroderma lokalisata terbagi 5, yaitu:
- Morfea soliter (morfea en plaque)
Lesi terdiri atas sebuah bercak sklerotik yang numuler atau sebesar telapak
tagan. Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan berkilat seperti lilin.
Warna bercak merah kebiru-biruan, kadang-kadang seperti gading dengan halo ungu
6
(violaceus ilia ring). Hal tersebut berarti lesi masi inflamatorik (aktif). Bagian tengan
bercak berawarna putih kekuningan seperti gading.
Didalam lesi, rambut berkurang, begitu juga respon keringat menurun. Bercak
atau plak tersebut keras dan berindurasi, tetapi tidak melekat erat pada jaringan di
bawahnya.
- Morfea gutata
Bentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bulat yang atrofik.
disekitarnya terdapat hal ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi berkelompok, lokalisasi
biasanya di dada atau di leher.
- Skleroderma linear (Skleroderma en coup de sabre)
Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi atau ekstrimitas. Pada
lesi terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea biasa, yang terletak di
seuperfisial, maka skleroderma linear menyerang laisan-lapisan kulit dalam.
Bila penyakit mulai pada usia dekade pertama atau kedua, maka seringkali
disertai deformitas. Yang dapat dijumpai ialah hemi-atrofi dari sebuah ekstrimitas
atau wajah, kontraktur di wajah, atau anomali kolumna vertebrata.
- Morfea segmental
Bila berada di satu atau lebih ekstrimitas. Disamping ada indurasi, ada atrofi
pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon, serta
ankilosis pada sendi tangan dan kaki.
- Morfea generalisata
Bentuk tersebut merupakan kombinasi empat bentuk diatas. Morfea tersebar
luas dan disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul disabilitas. Lokasi terutama di badan
bagian atas, abdomen, bokong, dan tungkai.
Semua bentuk morfea biasanya dalan tiga sampai lima bulan menjadi inaktif, bahkan
kemudian menghilang dalam beberapa tahun, kecuali skleroderma linear, yang biasanya
makin meluas.[3]
b. Skleroderma sistemik:
American Rheumatism Association (ARA) mengajukan criteria pendauluan untuk
klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:
- Kriteria Mayor:
7
Skleroderma proksimal terlihat penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang
simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau
metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstrimitas, muka, leher
dan batang tubuh (toraks dan abdomen)
- Kriteria Minor:
Sklerodaktil: Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari.
Pencengkungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia.
Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang reticular
terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau
lebih kriteria minor. [7]
Satu jenis dari sklerosis sistemik adalah sindrom C.R.E.S.T. Pada skleroderma tipe ini
ditemukan:
Calcinosis: Kalsinosis dari kalsium yang terdapat dibawah kulit jari tangan dan kaki.
Raynaud’s phenomenon: Fenomena Raynaud dengan sirkulasi pembuluh darah yang
buruk.
Esophagus: Dismotilitas esophagus.
Sclerosis: Sklerosis jari tangan dan kaki.
Teleangiectasia: Teleangiekstasis pada wajah dan bibir juga ada jari dan kuku
G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis morfea tampak pada pemeriksaan fisik berupa pembentukan plak indurasi
dan lesi pita pada kulit dengan atau tanpa hemiatrofi yang jarang terjadi pada penyakit
lainnya, adanya halo ungu mempermudah diagnosis. Lesi retikulata keunguan dengan
indurasi minimal dapat dianggap sebagai poliarteritis nodosa kutaneus. Lesi morfea dapat
ditemukan pada sarkoidosis, lesi bermula dari pelebaran vaskular dan sering salah dinilai
sebagai macula nevus vascular. Pada fase akut kondisi ini harus dibedakan dengan
skleroderma Buschke, tapi permulaan penyakit ini lebih akut dan setelah episode infeksi.
Lesi-lesi dengan pigmentasi sulit dibedakan, tetapi riwayat indurasi di daerah tersebut dapat
8
membantu diagnosis. Lesi atrofik berpigmen dapat merupakan lesi dari atrofi Pierini dan
Pasini, terjadi pada 47% dalam satu seri.[6] Diagnosis banding morfea dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Diagnosis banding morfea[6]
Paling
mendekati
Dipertimbangkan Disingkirkan
- Sklerosis
sistemik
- Eosinophilic
fasciitis
- Liken sklerosus
- Lupus profundus
- Connective tissue nevi
- Morpheaform basal cell
carcinoma
- Toxic oil syndrome
- Chronic graft-versus-host
- Lipodermatosclerosis
- Lyme disease, acrodermatitis
chronic atrophicans
- Fenilketonuria
- Porphyria cutanea tarda
- POEMS syndrome
( Polyneuropathy, Organomegaly,
Endocrinopathy,
M protein, and Skin changes)
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan umum (KIE)
a. Memberitahu pasien bahwa morfea adalah penyakit yang tidak berbahaya pada
kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat progresif lambat; namun biasanya
terjadi remisi spontan.[8]
b. Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi range
of motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi.[8]
c. Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada
ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan diskrepansi
panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang meluas juga
membutuhkan follow-up yang lebih.[8]
2. Penatalaksanaan khusus
Pengobatan ditujukan pada komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan aktivasi
dan deposit kolagen. Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif
9
secara spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis ireversibel
dari kulit dan jaringan subkutan.[6]
Steroid topikal dan sistemik, analog vitamin D oral dan topical, methotrexate,
cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine, intralesional interferon-,
penicillin dan D-penicillamine telah banyak digunakan. Pengobatan yang telah dilaporkan
berhasil meliputi D-penicillamine, topical tacrolimus under occlusion, calsitriol oral,
calcipotriene topical, methotrexate sendiri atau dikombinasi dengan kortikosteroid,
imiquimod topical, tretinoin dengan ammonium lactate topical, dan N-3, 4-
dimethoxycinnamoyl anthralinic acid- obat anti alergi yang menghambat anafilaksis
kutaneus pasif.[6]
Terapi fisik terpenting pada pasien dengan kontraktur adalah untuk
mempertahankan atau meningkatkan fungsi ekstremitas. Pada kasus pediatrik dengan
pertumbuhan yang terganggu dari ekstremitas yang terkena, intervensi bedah, dan
stapling dari lempeng epifisis dari sisi yang normal dapat efektif.[6]
Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi telah
menunjukkan perkembangan pada mayoritas pasien morfea menggunakan psoralen dan
sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA), atau fototerapi UVAI.[6]
Pengobatan pada satu atau sedikit lesi morfea dapat menggunakan pengobatan
topikal seperti calcipotriene, tacrolimus, retinoids, atau tidak menggunakan pengobatan
sama sekali. Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan mungkin
methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari kortikosteroid
sistemik. Pada lesi yang lebih luas, dapat digunakan fototerapi. Jika tidak berhasil dapat
menggunakan methotrexate, D-penicillamine, cyclosporine, dan agen immunosuppressive
lainnya.[6]
I. PROGNOSIS
Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak melibatkan
sistemik, walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit jaringan penghubung lainnya
yang pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang
nyata untuk umur rata-rata 3-5 tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi
inaktif secara nyata. Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi
setelah beberapa tahun remisi. En coup de sabre dapat tidak terdeteksi selama beberapa
dekade. Hal ini mungkin karena morfea menjadi proses kronik dengan kadar rendah dari
10
aktivitas selama beberapa tahun. Sedikit atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat
menjadi satu-satunya gejala penyakit yang persisten. [6]
Angka harapan hidup lima tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan
hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan
organ visceral. Pada sklerosis sitemik difus kematian biasanya terjadi karena kelainan paru,
jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena
hipertensi pulmonal dan malbsorbsi. Pasien sklerosis sitemik mempunyai resiko yang tinggi
untuk mendapatkan keganasan, terutam karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin
Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sitemik. Satu hal yang unik
adalah bahwa resiko timbulnya adenokarsinoma esophagus sangat rendah walaupun terdapat
metaplasi mukosa esophagus distal (metaplasia Barret). Penelitian Altman dkk, mendapatkan
beberapa prediktor yang memperburuk prognosis sklerosis sitemik adalah [5] :
Usia lanjut( > 64 tahun)
Penurunan fungsi ginjal (BUN<16 mg/dl)
Anemia (Hb<11 gr/dl)
Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)
Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)
Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 gr/dl atau kapasitas
vital paksa < 65 % pada Hb<14 gr/dl)
KESIMPULAN
Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai
pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma dibagi dalam dua bentuk,
bentuk pertama dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea atau
scleroderma lokalisata, dan scleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik.
Karakteristik kliniknya adalaah adanya indurasi dan penebalan kulit. Deposit jaringan ikat
dan obliterasi pembuluh darah ditemukan dikulit maupun di alat-alat dalam tertentu.
11
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat penyakit
merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan
perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat
tergantung manifestasi organ spesifik.
Kebanyakan kasus pada morfea adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata
untuk umur rata-rata 3-5 tahun. Sedangkan pada sklerosis sistemik harapan hidup akan makin
pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ visceral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Danukusumo Julianto. Skleroderma, Lupus eritematosus, dan dermatomiositis dalam:
Harahap Marwali, editor. 2000. Buku Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: hipokrates,hal
185-188
2. Peter A. Merkel. Scleroderma. American College of Rheumatology.2013. Diakses dari
http://www.rheumatology.org/practice/clinical/patients/diseases_and_conditions/
scleroderma.pdf Diaskes tanggal 23 April 2015
12
3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2010. hal 268-70
4. Li S., M.D., phD, Zulian F, M.D., Beam T. Pediatric Localized Scleroderma. American
College of Rheumatology. 2010. P.1-4 Diakses dari :
https://www.rheumatology.org/practice/clinical/patients/diseases_and_conditions/
Pediatric_Scleroderma.pdf Diakses tanggal 21 April 2015
5. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal 2620-27
6. Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG,
Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7 th Ed.
New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.543-6.
7. Armando G., M,D., Enrico V.A., M.D., Thomas K., M.D. Mechanism of Disease
Scleroderma.The New England Journal of Medicine. 2009. P.1989-2003 Diakses
dari http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra0806188 Dikases tanggal 21
April 2015
Julie EG, Lawrence AS. Localized Scleroderma or Morphea ?. Dermatology Nurses'
Association. 2001. Diakses dari : http://europepmc.org/abstract/med/11917622
Diakses tanggal : 24 April 2015
13