SKIZOFRENIA
-
Upload
rizkiwahyuprasetyo -
Category
Documents
-
view
12 -
download
3
description
Transcript of SKIZOFRENIA
SKIZOFRENIA
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Klinis
Disusun oleh:
1. Erfiana Queen :
2. Erfiani Queen :
3. Zaqiyatul Mutiah :
4. Rizky Wahyu :
5. Sakti Akcahya :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SEMARANG
2015
BAB I
DEFINISI PSIKOPATOLOGIS SKIZOFRENIA
A. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi dan perilaku – pikiran yang terganggu, dimana
berbagai pemikiran tidak saling berhubungaan secara logis. Persepsi dan
perhatian yang keliru; afek yang datar atau tidak sesuai; dan berbagai
gangguan aktivitas motorik yang bizarre. Pasien skizofrenia menarik diri dari
orang laindan kenyataan, sering kali masuk dalam kehidupan fantasi yang
penuh delusi dan halusinasi. ( Davison, dkk.,444: 2012).
Sedangkan dalam buku “Skizofrenia-Memahami Dinamika Keluarga
Pasien” karangan Iman Setiadi Arif (2006), menjelaskan bahwa skizofrenia
termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis. Pasien
psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas.
Pasien skizofrenia mengalami beberapa gejala psikotik utama yaitu delusi
(waham), halusinasi, disorganized speech (pembicaraan kacau), disorganized
behavior(tingkah laku kacau), dan simtom-simtom negatif berupa
berkurangnya ekspresi emosi, berkurangnya kelancaran dan isi pembicaraan,
kehilangan minat untuk melakukan berbagai hal (avolition).
Jadi, dari definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa skizofrenia
merupakan gangguan psikosis berupa gangguan dalam pikiran, emosi dan
perilaku yang tidak saling berhubungan secara logis. Dan pasien yang
didiagnosa mengalami skizofrenia harus menunjukkan gejala psikotik di atas
dan juga durasi gangguan yang dialaminya.
B. Gejala Skizofrenia menurut PPDGJ III dan DSM V
skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental
dan karakteristik dari pikiran dan persepsi serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted).
Pedoman Diagnostik:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
a) - thought echo: isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya.
- Thought insertion or with drawal: isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion), atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).
-Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b) – Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatantertentu dari luar.
– Delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhioleh
suatu kekuatan tertentu dari luar.
– Dellusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar
– Delusional perception:pengalaman indrawi yang tidak wajaryang
bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c) Halusinasi auditorik
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien.
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri, atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahi, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain.).
Atau paling sedikit ada dua gejala dibawah ini:
- Halusinasi yang menetap pada panca indera.
- Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan.
- Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh-gelisah, posturing,
negativisme, mutisme,dan stupor.
- Gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik
prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut
dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.
C. Tipe-tipe Skizofrenia
Simtom-simtom yang dialami oleh pasien dapat berbeda antara pasien satu
dengan pasien yang lainnya. Berikut ini adalah tipe-tipe skizofrenia; masing-
masing memiliki gejala yang khas dan riwayat penyakit yang berbeda
berdasarkan buku PPDGJ III dan DSM-5:
1. Skizofrenia paranoid
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberiperintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relative tidak nyata / tidak menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid memiliki tipikal tegang, pencuriga, berhati-hati, dan
tidak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien
skizofrenik paranoid terkadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat
didalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruh oleh kecenderungan
psikosis mereka.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namuntidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan.
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-
satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap,
tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases).
c. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia tipe katatonik
Ciri utama pasien skizofrenia tipe katatonik ini adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi motoric immobility yang dimunculkan berupa
catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi sangat fleksibel untuk digerakkan
atau diposisikan dengan berbagai cara, sekalipun untuk orang biasa posisi
tersebut akan sangat tidak nyaman).
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara).
b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan)
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya)
f. Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)
g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit
otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.
4. Skizofrenia tipe undifferentiated
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebrefrenik, atau katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
5. Skizofrenia tipe residual
Suatu stadium kronis dalamperkembangan dalam suatu skizofrenia dimana
telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih
episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk
skizofrenia diatas) kestadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh
gejala-gejala negatif jangka panjang, walaupun belum tentu ireversibel.Untuk
suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
a. Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau
isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia.
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom
“negative” dari skizofrenia.
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.
D. Faktor penyebab skizofrenia
Munculnya kekacauan dan ketiadaan hubungan dalam pikiran, emosional,
waham dan halusinasi yang dirasakan oleh pasien skizofrenia tidak datang
secara tiba-tiba. Walaupun penyebab pasti terjadinya skizofrenia belum
begitu jelas, namun berikut ini ada berbagai faktor penyebab yang
mempengaruhi skizofrenia yang telah diteliti oleh berbagai peneliti.Kami
akan memfokuskan pada berbagai bidang utama penelitian etiologis
mengenai pendekatan terhadap skizofrenia.
1. Data genetik
Data genetik merupakan sebuah literatur yang mengindikasikan
bahwa predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik.
(Davison,2012:457).
Pada penelitian ini sample yang digunakan adalah orang yang
memiliki saudara kembar identik yang mengidap skizofrenia. Sebuah
analisis cerdas dikemukakan oleh Fischer yang mendukung interpretasi
genetik terhadap tingginya tingkat kesesuaian bagi kembar identik
pengidap skizofrenia. Ia menjelaskan bahwa anak-anak dari orang yang
bahkan tidak memiliki kesesuaian atau non skizofrenik yang merupakan
saudara kembar identik – pasien skizofrenia – akan beresiko tinggi
terhadap gangguan skizofrenia tersebut. Salah satu saudara kembar
identik yang tidak menderita skizofrenia tersebut diasumsikan memiliki
genotip skizofrenia meskipun tidak terwujud secara behavioral, dan
dengan demikian dapat diwariskan risiko yang lebih tinggi terhadap anak-
anak mereka.
Malaspina, dkk, dalam buku Psikologi Abnormal (Davidson,
dkk.,2012) menjelaskan bahwa para pasien yang memiliki riwayat
skizofrenia dalam keluarga, mengalami lebih banya simtom negatif
dibanding para pasien yang tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam
keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa simtom negatif lebih dapat
mengandung komponen genetik yang lebih kuat. Para kerabat pasien
skizofrenia juga memiliki resiko lebih tinggi terhadap gangguan lain yang
dianggap sebagai bentuk skizofrenia yang tidak parah. (Kendler,
dkk.,1995 dalam Psikologi Abnormal (Davidson, dkk.,2012)).
Namun kita juga tidak dapat menyimpulkan bahwa skizofrenia adalah
gangguan yang sepenuhnya disebabkan oleh faktor genetik.
2. Faktor Biokimia
Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak
seimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter
dopamine, serotonin, dan neropinephrine juga memainkan peran untuk
skizofrenia. (Setiadi Arif, 2006)
3. Abnormalitas otak
Pasien skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus
frontalis otak. Korteks prefrontalis berperan dalam perilaku seperti berbicara,
pengambilan keputusan, dan tindakan yang bertujuan, dan semuanya
mengalami gangguan dalam pasien skizofrenia. (Davidson, dkk.,2012)
4. Stress psikologis
Para pasien skizofrenia sangat rentanterhadap stress sehari-hari. Terdapat dua
stressor yang mengambil bagian penting dalam terjadinya stres kehidupan
pasien skizofrenia yaitu kelas sosial dan keluarga.
Serangkaian studi di London mengindikasikan bahwa keluarga memiliki
peran penting terhadap penyesuaian pasien setelahmereka keluar dari rumah
sakit. Brown dan para koleganya (1966) melakukan studi pemantauan selama
9 bulan terhadap suatu sampel pasien skizofrenia yang kembali ke keluarga
mereka setelah dirawat di rumah sakit. Di akhir periode pemantauan, 10%
dari pasien yang kembali ke keluarga dengan ekspresi emosi rendah,
mengalami kekambuhan, dan secara sangat kontras dalam periode yang sama,
58% dari pasien yang kembali ke keluarga dengan ekspresi emosi tinggi,
kembali dirawat ke rumah sakit.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa lingkungan dimana pasien tinggal akan
mempengaruhi seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Davison, Gerald C., John M. Neale, ANN M. Kring. 2012. Psikologi Abnormal
edisi ke 9. Jakarta: Rajawali Press.