Skenario E(1)
Transcript of Skenario E(1)
Skenario
Tuan Amir, umur 32 tahun dibawa keluarganya ke rumah sakit karena sudah 8 hari ini
demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual dan lidah terasa pahit. Sejak 5 hari yang
lalu tidak buang air besar.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai: kesadaran deliruium, temperatur 39o C, nadi 136 x /
menit, tensi 80/60 mmHg, RR 28 x/menit, lidah kotor, nyeri tekan pada epigastrium. Dua hari
sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet ciprofloksasin 2 x 500 mg dan
parasetamol 3 x 500 mg, namun masih juga belum turun demamnya.
Hasil laboratorium: Hb: 12 mg/dl, leukosit 13.000/mm3, LED 12 mm/jam, hematokrit 36
mg%, trombosit 210.0000/mm3, Diff count:0/0/0/75/23/2.
Kondisi apa yang dialami tuan Amir dan apa kemungkinan penyakit yang
menyebabkannya?
I. Klarifikasi Istilah
a. Demam : peningkatan suhu tubuh di atas normal
b. Nyeri ulu hati : nyeri pada bagian epigastrium
c. Mual : sensasi tidak menyenangkan yang secara samar mengacu pada epigastrium
dan abdomen, dengan kecenderungan untuk muntah
d. Delirium : gangguan mental yang berlangsung singkat biasanya mencerminkan
keadaan toksik, yang ditandai oleh ilusi, halusinasi, delusi, kegirangan,
kurang istirahat, dan inkoheren.
e. Lidah kotor : adanya bercak/selaput abnormal di lidah
f. Epigastrium : daerah perut bagian tengah dan atas yang terletak di antara angulus
sterni.
g. Siprofloksasin
h. Parasetamol
II. Identifikasi Masalah
a. Tn Amir (32 th) sudah 8 hari demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual,
lidah terasa pahit dan tidak BAB selama 5 hari.
1
b. Pemeriksaan fisik :
- Kesadaran : delirium
- Temperatur : 39oC
- Nadi : 136x/menit
- Tekanan darah : 80/60 mmHg
- RR : 28x/menit
- Lidah kotor
- Nyeri tekan pada epigastrium
c. Dua hari sebelumnya, Tn Amir diberi obat siprofloksasin 2x500 mg dan parasetamol
3x500 mg oleh dokter umum, namun demam tidak turun.
d. Hasil lab :
- Hb : 12 mg/dl
- Leukosit : 13.000 /mm3
- LED : 12 mm/jam
- Hematokrit : 36 mg%
- Trombosit : 210.000/mm3
- Diff count : 0/0/0/75/23/2
- Tes Widal : titer 0 = 1/320, titer H = 1/640
III. Analisis Masalah
a. Tn Amir (32 th) sudah 8 hari demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual, lidah
terasa pahit dan tidak BAB selama 5 hari.
1. Bagaimana etiologi dan patofisiologi demam?
Etiologi
Gangguan otak atau akibat zat yang menimbulkan demam (pirogen) yang
menyebabkan perubahan “set point”. Zat pirogen ini bisa berupa protein, pecahan
protein, dan zat lain (terutama kompleks lipopolisakarida atau pirogen hasil dari
degenerasi jaringan tubuh yang menyebabkan demam selama keadaan sakit).
Pirogen eksogen merupakan bagian dari patogen, terutama kompleks
lipopolisakarida (endotoksin) bakteri gram (-) yang dilepas bakteri toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu.
2
Patofisiologi
Ketika tubuh bereaksi adanya pirogen atau patogen. Pirogen akan diopsonisasi
(harfiah=siap dimakan) komplemen dan difagosit leukosit darah, limfosit,
makrofag (sel kupffer di hati). Proses ini melepaskan sitokin, diantaranya pirogen
endogen interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, 6, 8, dan 11, interferon α2 dan γ, Tumor
nekrosis factor TNFα (kahektin) dan TNFβ (limfotoksin), macrophage
inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai organ sirkumventrikular
otak yang tidak memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi demam pada organ
ini atau yang berdekatan dengan area preoptik dan organ vaskulosa lamina
terminalis (OVLT) (daerah hipotalamus) melalui pembentukan prostaglandin
PGE.
Ketika demam meningkat (karena nilai sebenarnya menyimpang dari set level
yang tiba-tiba meningkat), pengeluaran panas akan dikurangi melalui kulit
sehingga kulit menjadi dingin (perasaan dingin), produksi panas juga meningkat
karena menggigil (tremor). Keadaan ini berlangsung terus sampai nilai
sebenarnya mendekati set level normal (suhu normal). Bila demam turun, aliran
darah ke kulit meningkat sehingga orang tersebut akan merasa kepanasan dan
mengeluarkan keringat yang banyak.
Pada mekanisme tubuh alamiah, demam bermanfaat sebagai proses imun. Pada
proses ini, terjadi pelepasan IL-1 yang akan mengaktifkan sel T. Suhu tinggi
(demam) juga berfungsi meningkatkan keaktifan sel T dan B terhadap organisme
patogen. Konsentrasi logam dasar di plasma (seng, tembaga, besi) yang
diperlukan untuk pertumbuhan bakteri dikurangi. Selanjutnya, sel yang rusak
karena virus, juga dimusnahkan sehinga replikasi virus dihambat. Namun
konsekuensi demam secara umum timbul segera setelah pembangkitan demam
(peningkatan suhu). Perubahan anatomis kulit dan metabolisme menimbulkan
konsekuensi berupa gangguan keseimbangan cairan tubuh, peningkatan
metabolisme, juga peningkatan kadar sisa metabolism, peningkatan frekuensi
denyut jantung (8-12 menit ¹/˚C) dan metabolisme energi. Hal ini menimbulkan
rasa lemah, nyeri sendi dan sakit kepala, peningkatan gelombang tidur yang
lambat (berperan dalam perbaikan fungsi otak), pada keadaan tertentu demam
menimbulkan gangguan kesadaran dan persepsi (delirium karena demam) serta
kejang.
3
2. Mengapa demamnya berlangsung selama 8 hari dan apa tipe demam yang dialami
Tn Amir?
Karena tuan amir megalami infeksi tifoid oleh salmonella typhi yg masa
inkubasinya 7-14hari. Pada kasus typoid ini mulai mengalami simptomatiknya
(salah satunya demam) pada saat terjadinya bakterimia 2. Demam yang terjadi
pada Tn Amir diakibatkan dirinya menderita demam tifoid yang demamnya
timbul lebih dari 7 hari. Tipe demam yg ddialaminya antara demam remiten
(karena terkena tifoid) atau demam continous (yang mungkin terjadi karena ia
mengalami sepsis) karena yg tercantum dari scenario merupakan demam yg
bermakna ganda.
3. Bagaimana etiologi dan patofisiologi nyeri ulu hati?
Dari hasil pemeriksaan fisik, diketahui bahwa terjadi pembesaran hati dan limpa.
Limfa berada di bagian kiri atas abdomen di antara gaster dan diapraghma, yang
terletak sepanjang sumbu panjang costa X sinistra. Sedangkan hepar, berada pada
bagian atas cavitas abdominalis. Di bagian cavitas abdominis dan cavitas pelvis,
ada membrana serosa tipis yang melapisi dinding tersebut yang disebut
peritoneum. Persarafan yang terdapat pada peritoneum ada dua, yaitu peritoneum
parietale dan peritoneum viscerale. Peritoneum parietale peka terhadap rasa nyeri,
suhu, raba dan tekan. Sedangkan bagian peritoneum viscerale, hanya peka
terhadap regangan dan robekan, dan tidak peka terhadap rasa raba, tekan atau
suhu. Ini dipersarafi oleh saraf aferen otonom yang menyarafi visera atau yang
berjalan melalui mesentrium. Peregangan yang berlebihan dan organ berongga
(dalam hal ini adalah pembesaran hati dan limpa) menimbulkan rasa nyeri yang
dirasakan pada epigastrium.
4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi mual?
Dilhat dari gejala yang dialami Tn Amir, kemungkinan dirinya terinfeksi
Salmonella sp. Salmonella yang masuk ke dalam lambung menyebabkan
peningkatan asam lambung. Peningkatan asam lambung ini menyebabkan
timbulnya rasa mual. Hati dan spleen yang membesar juga dapat mengakibatkan
terjadinya mual akibat penekanan yang terjadi pada lambung.
4
5. Bagaimana etiologi dan patofisiologi lidah pahit?
Sensasi pahit di lidah biasanya tidak hadir sendirian. Gejala tersebut selalu hadir
menyertai kondisi lain yakni mulut kering dan napas tidak sedap. makanan perlu
dilarutkan dengan liur agar bisa dirasakan oleh lidah. Karena itu jika mulut
sedang kering, kemampuan lidah untuk mengecap rasa juga akan berkurang.
Mulut kering umumnya disebabkan oleh berkurangnya produksi air liur karena
berbagai hal. Liur sedikit artinya oksigen juga berkurang, sehingga memicu
pertumbuhan bakteri anaerob.Bakteri-bakteri tersebut memproduksi gas sulfur
dalam jumlah besar dan menyebabkan bau mulut yang tidak sedap. Bakteri itu
sendiri juga bisa menyebabkan sensasi pahit di lidah.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan lidah pahit antara lain:
- Obat-obatan (anti-tiroid, sediaan seng, antibiotik, obat-obat syaraf, dll)
- Radiasi dan obat-obat kemoterapi
- Penuaan (fungsi pengecapan dan penciuman menurun)
- Kondisi medis (Bell's Palsy, Parkinson, Diabetes, GERD, dll)
- Cedera pada mulut, hidung atau kepala
- Kebersihan mulut yang tidak terjaga
- Infeksi jamur pada lidah atau area mulut
- Kanker di kepala atau leher
6. Bagaimana etiologi dan patofisiologi tidak BAB selama 5 hari?
Infeksi S.typii akan mengakibatkan terjadinya ulcers pada usus besar yang
mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada usus tersebut. Sehingga terjadi
konstipasi.
5
Infeksi s. typii
Mempengaruhi kerja gastrointestinal (colon)
Penyerapan air >>
Tinja kering dan keras
Kesulitan untuk defekasi
konstipasi
Tinja statis di colon
7. Bagaimana hubungan antar gejala?
Suhu tubuh yang tinggi mengakibatkan terjadinya peningkatan penguapan
cairan tubuh sehingga terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan
produksi saliva menurun. Produksi saliva yang menurun ini mengakibatkan
terjadinya gangguan pengecapan sehingga lidah terasa pahit. Selain itu
lidah yang terasa pahit ini disebabkan oleh meningkatnya toksin yang
dikelurakan oleh bakteri yang ada di mulut akibat saliva yang berkurang.
Rasa mual dan nyeri ulu hati dapat disebabkan oleh hepatosplenomegaly
akibat infeksi S. thypii.
b. Pemeriksaan fisik :
1. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik? Mengapa?
- Delirium
Menunjukan bahwa adanya penurunan kesadaran pada tuan Amir yang
disertai dengan adanya kekacauan motorik, misalnya: gaduh, gelisah,
kacau, disorietasi, dan meronta-ronta
Penurunan tingkat kesadaran ini terjadi karena kurangnya suplai darah ke
otak sehingga otak kekurangan oksigen dan glukosa.Kurangnya suplai
darah ini diakibatkan oleh adanya gangguan vaskularisasi Karena adanya
kerusakan endotel oleh endotoksin.Selain itu Endiotoksin juga akan
mengaktivkan komplemen, kemudian komplemen akan mengeluarkan
anaphylatoksin yang akan merangasan sel mast dan basofil untuk
mengeluarkan histamine yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler
dan menyebabkan kegagalan perfusi jaringan.
- RR: 28X/menit
Nilai normal RR adalah 16-20X/menit
RR tuan amir tidak normal ( terjadi peningakatan RR/takipneu)
Hal ini disebabkan oleh adanya kegagalan perfusi jaringan yang
menyebabkan kebutuhan tubuh akan oksigen tidak terpenuhi,jadi sebagai
kompensasinya tubuh mencoba untuk meningkatkan frekuensi nafas dengan
tujuan dapat memperoleh oksigen yang lebih banyak untuk mencukupi
kebutuhan oksigen dalam tubuh.
6
- Temperatur: 39oC
Nilai normal temperatur tubuh adalah 36,5-37,2oC
Temperatur tubuh Tn.Amir tidak normal, terjadi peningkatan suhu diatas
normal( fibris) ini memnujukan ada bahwa tn.Amin sedang mengalami
demam
Peningkatan suhu/demam ini terjadi sebagai respons tubuh terhadap
endotoksin yang dikueluarkan oleh Samonella thypi.
- Tekanan darah: 80/60 mmHg
Nilai normal tekanan darah adalah 120/80 mmhg
Tekanan darah tuan amir tidak normal, tejadi penurunan tekanan darah
dibawah normal( Hipotensi)
Hipotensi terjadi karena adanya pengaruh berbagai mediator inflamasi
contohnya TNF,TNF dalam dapat mennyebabkan disfungsi moikard
dengan mencegah kontaktilitas miokard dan tonus otot polos vaskular
sehingga menurunkan tekanan Darah.
- Nadi: 136 x/menit
Nilai normal adalah 60-100 x/menit
Nadi tuan amir tidak normal,terjadi peningakatan nadi diatas normal
(Takikardi)
Peningkatan ini terjadi akibat pengaruh dari mediator-mediator inflamasi
contohnya histamin,histamin dapat meningkatkan kontraksi otot polos yang
menyebabkan peningkatan nadi. Selain itu peningkatan nadi juga terjadi
akibat tekanan darah yang menurun.
- Lidah kotor
Lidah kotor yang khas untuk pasien typoid yaitu ditutupi selaput kecoklatan
kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor.
Selaput lidah normalnya ada selaput tipis agak keputihan, karena dalam
kasus selaput lidahnya coklat kotor dapat dicurigai adanya patogen
dilambungnya karena selaput lidah menunjukan keadaan organ tubuh
terutama lambung.
Ujung dan Tepi merah.Warna merah menandakan adanya panas. Jika warna
merah hanya pada ujung lidah, menandakan ada panas pada jantung. Jika
7
warna merah hanya pada sisi lidah, menunjukkan adanya panas pada hati
atau kandung empedu.
- Nyeri Epigastrium
Menunjukan adanya pembekakan atau perdarahan pada organ atau jaringa
tubuh yang berada dibagian epigastrium dalam kasus ini adanya
Hepatospllenmegaly.
2. Adakah hubungan gejala dengan hasil pemeriksaan fisik? Jelaskan!
Demam (temperatur 39oC) dan delirium IL-1 dikeluarkan akibat infeksi
Salmonella typhii. IL-1 ini dapat mengganggu tingkat kesadaran seseorang. Pada
kasus ini, Tn Amir mengalami delirium.
Lidah pahit dan kotor lidah pahit dan kotor terjadi akibat adanya bakteri
Salmonella di dalam mulut. Salmonella tersebut akan menyebabkan pengecapan
terganggu dan mengeluarkan toksik yang terasa pahit.
Nyeri tekan pada epigastrium nyeri pada epigastrium yg dirasakan Tn Amir
dikarenakan terjadinya pembesaran hati dan limfa.
c. Dua hari sebelumnya, Tn Amir diberi obat siprofloksasin 2x500 mg dan parasetamol
3x500 mg oleh dokter umum, namun demam tidak turun.
1. Jelaskan kandungan, indikasi, kontra, dosis, cara kerja, efek samping, dll dari
siprofloksasin? Sintesis
2. Jelaskan kandungan, indikasi, kontra indikasi, dosis, cara kerja, efek samping, dll
dari parasetamol? Sintesis
3. Mengapa panasnya tidak turun walaupun telah di beri obat?
Ada beberapa kemungkinan:
- Resisten
Bisa jadi,salmonella typhi nya sudah resisten terhadap siprofloksasin,
sehinggga pemakaian obat ini tidak ampuh lagi.
- Pemakaiannya kurang lama.
Pada tifoid, apabila diberi siprofloksasin dosis yang seharusnya diberikan
sebesar 2x500 mg selama 6 hari. Sedangkan pada kasus ini Tn. amir baru
8
menggunakannya 2 hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan manfaat
dari obat tersebut belum terlihat akibat penggunaanya yang baru 2 hari.
- Tn.amir telah menderita sepsis
Siprofloksasin dan parasetamol berfungsi untuk menurunkan panas dan
membunuh Salmonella typhii. Namun pada kasus ini, demam yang dialami Tn
Amir belum turun setelah pemberian siprofloksasin dan parasetamol. Hal ini
kemungkinana dikarenakan Tn Amir telah mengalami sepsis sehingga kedua
obat ini kurang ampuh. Obat tersebut seharusnya dikombinasikan dengan obat
lainnya agar dapat menangani sepsis.
d. Hasil lab :
1. Bagaimana interpretasi hasil lab? Mengapa?
- Hb : 12 mg/dl (normalnya 12-16) normal
- Leukosit : 13.000 /mm3 (normalnya 4500-11000) tinggi karena terdapat
infeksi salmoneela typii sehingga jumlah leukosit diperbanyak untuk melawan
bakteri
- LED : 12 mm/jam (normalnya kurang dari 25) normal
- Hematokrit : 36 mg% (normalnya 39,0-45 untuk perempuan 40-48 untuk
laki”) rendah disebabkan oleh adanya infeksi salmonella typii, untuk
menyeimbangan jumlah sel darah putih dalam darah maka jumlah sel darah
merah jumlah pembentukannya dikurangi
- Trombosit : 210.000/mm3 (normalnya 150.000-350.000) normal
- Diff count : 0/0/0/75/23/2 (normalnya 0-1/1-3/3-5/50-70/25-35/4-6) tinggi
untuk netrofil segmen, netrofil banyak dibentuk untuk melawan bakteri.
2. Adakah hubungan gejala dengan hasil lab? Jelaskan!
Hubungan antara gejala dan hasil lab disini tampak pada gejala demam,
leukositosis dan hasil differential count. Pada saat demam, kecenderungan sistem
imun tubuh untuk merangsang produksi leukosit, sehingga memungkinkan
terjadinya leukositosis. Sedangkan pada hasil differential count, semua
perhitungan normal, kecuali pada neutrofil segmen. Peningkatan differential count
ke arah kiri menandakan terjadinya penyakit yang akut. Pada gejala Tn.Amir ini,
demam baru timbul selama delapan hari, sehingga belum dapat dikatakan kronik
9
(lebih dari empat belas hari) yang akan menunjukkan pergeseran differential count
ke arah kanan.
3. Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan lab, kondisi apa yang di
derita Tn Amir?
Tn Amir mengalami sepsis karena telah timbul gejala demam > 38oC, takipneu,
takikardi, leukosit > 12.000/mm3, hipotensi dan menderita demam tifoid.
4. Apa saja DD penyakit yang diderita Tn Amir?
Stadium dini:
- Influenza
- Gastroenteritis
- Bronkitis
- Bronkopneumonia
Stadium lanjut (demam tifoid berat):
- Demam paratifoid
- Malaria
- TBC (Tuberkulosis) milier
- Meningitis
- Endokarditis bakterial
- Sepsis
- Leukemia
- Limfoma
- Penyakit Hodgkin
- Infeksi Rickettsia (penyebab Q fever)
5. Apa saja etiologi penyakit yang diderita Tn Amir?
Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70%
(pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri
gram positif 20-40% (stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi
jamur dan virus 2-3% (dengu ehemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa
(malaria falciparum).
10
Sedangkan pada kultur yang sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh
stapilokokus dan pneumokokus. Shock sepsis yang terjadi karena infeksi gram
negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif adalah 5-15% dari kasus
(Root, 1991).
6. Apa saja epidemiologi penyakit yang diderita Tn Amir?
Respon sepsis merupakan faktor yang berkontribusi pada lebih dari 200.000
kematian per tahun di US. Insidensi dari severe sepsis dan syok sepsis meningkat
selama 20 th terakhir dan angka pertahunnya lebih dari 700.000 (3 per 1000
populasi). Peningkatan angka kejadian severe sepsis di US dapat berasal dari
proses penuaan populasi, peningkatan pasien usia lanjut dengan penyakit kronik,
dan frekuensi yang relatif tinggi sepsis yang berkembang pada penderita AIDS.
Infeksi bakteri invansif adalah hal yang penting dalam penyebab kematian di
seluruh dunia terutama anak – anak. Di sub-Saharan Africa, sebagai contoh,
dengan screening yang hati – hati untuk blood culture yang positif ditemukan
bahwa community-acquired bacteremia diperkirakan pada setidaknya seperempat
kematian anak diatas usia satu tahun. Nontyphoidal salmonella species,
streptococcis pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Escherichia coli yang
paling banyak ditemui pada pengisolasian bakteri tersebut.
7. Bagaimana patogenesis penyakit yang diderita Tn Amir? sintesis
8. Apa saja manifestasi klinis penyakit yang diderita Tn Amir?
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya di dahului oleh tanda-tanda
sepsis nonspesifik meliputi demam, mengigil dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan(delirium). Gejala tersebut tidak khusus untuk
infeksi dan dapat di jumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksisus.
Tempat infeksi yang paling sering : paru, traktur digestifus, traktus urinaris,
jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting
untuk terjadinya berat tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal
organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.
11
9. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit yang diderita Tn Amir? sintesis
10. Bagaimana pemeriksaan penunjang penyakit yang diderita Tn Amir?
Dalam diagnosis sepsis ini biasanya dilakukan 2 pemeriksaan yaitu dengan
procalcitonin dan pemeriksaan C-reaktif protein.
11. Bagaimana tatalaksana penyakit yang diderita Tn Amir? sintesis
12. Apa saja komplikasi penyakit yang diderita Tn Amir?
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: cardiopulmonary complications,
renal complications, coagulopathy yaitu munculnya thrombocytopenia, dan
neurologic complications.
13. Bagaimana prognosis penyakit yang diderita Tn Amir? Sintesis
IV. Hipotesis
Tn Amir, 32 th, mengalami sepsis karena menderita demam tifoid toksik.
V. Kerangka Konsep
12
Tn Amir (32 th)
Lidah pahit dan kotor
Epigastrium nyeri
Mual
Demam Tifoid
Infeksi Salmonella sp
SIRS
Sepsis
Leukositosis
Takipneu
Takikardi
Hipotensi
VI. Learning Issue
Pokok BahasanWhat I
Know
What I don`t
Know
What I have to
prove
How I will
Learn
a. Demam Tifoid Definisi Etiologi,
epidemiologi,
Tn Amir
menderita demam
tifoid
Text book
dan jurnal
b. Siprofloksasin Definisi Indikasi, dosis,
kontra
indikasi,
perhatian, efek
samping, over
dosis, interaksi
obat, dll
Alasan
siprofloksasin
tidak dapat
menurunkan
panas pada Tn
Amir.
c. Parasetamol Definisi Indikasi, dosis,
kontra
indikasi,
perhatian, efek
samping, over
dosis, interaksi
obat, dll
Alasan
parasetamol tidak
dapat
menurunkan
panas pada Tn
Amir.
d. Sepsis Definisi Patofisiologi Tn Amir
mengalami sepsis
VII. Sintesis
a. Tifoid fever
Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endermik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang
wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
13
frekwensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam
tifoid bervariasi di tiap daerah dan terkait dengan sanitasi lingkungan; di rural (Jawa
Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-
810 per 100.000 penduduk. Kemudian Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada
tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Tetapi dari hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT DEPKES RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia,
Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini
tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut
data pada tahun 3002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan
kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19
tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan S.typhi :
pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering dari carrier yaitu orang
yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan S. typhi dalam
tinja selama lebih dari satu tahun.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.
Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada
suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan hidup selama 4
minggu dan hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu.
Patogenesis
Masuknya kuman S. Thypii dan S.Parathypii kedalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi dengan kuman. Sebagian kuman di musnahkan di
14
dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembangbiak.
Bila respon imunitas humurol mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia ( jaringan
penyokong yang melapisi membrane mukosa). Di dalam lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembangbiak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawah ke
plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus(saluran) torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag
ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator infalamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
( S.Thypii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya.
15
Patofisiologi
HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai penghambat masuknya
Salmonella spp dan lain-lain bakteri usus. Jika Salmonella spp masuk bersama-sama
cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap
mikroorganisme penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat HCL ini akan
menurun pada waktu terjadi pengosongan lamung, sehingga Salmonella spp dapat
masuk ke dalam usus penderita dengan lebih senang. Salmonella spp seterusnya
memasuki folikel-folikel limfe yang terdapat di dalam lapisan mukosa atau
submukosa usus, bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih banyak
Salmonella spp. Setelah itu, Salmonella spp memasuki saluran limfe dan akhirnya
mencapai aliran darah. Dengan demikian terjadilah bakteremia pada penderita.
Dengan melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding kandung empedu atau
secara tidak langsung melalui kapiler-kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka
bakteria dapat mencapai empedu yang larut disana. Melalui empedu yang infektif
terjadilah invasi kedalam usus untuk kedua kalinya yang lebih berat daripada invasi
tahap pertama. Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe
usus kecil sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. Demam tifoid merupakan salah
satu bekteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam.
Berbagai macam organ mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang
membentuk darah, terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar limfe abdomen,
limpa dan sumsum tulang. Kelainan utama terjadi pada usus kecil, hanya kadang-
kadang pada kolon bagian atas, maka Salmonella paratyphi B dapat menimbulkan lesi
pada seluruh bagian kolon dan lambung.
Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi nekrosis superfisial yang
disebabkan oleh toksin bakteri atau yang lebih utama disebabkan oleh pembuntuan
pembuluh-pembuluh darah kecil oleh hiperplasia sel limfoid (disebut sel tifoid).
Mukosa yang nekrotik kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan
lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan
sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding
otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka
perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi
16
tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid.
Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan
beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat
sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi
ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi
baik perdarahan maupun perforasi.
Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap mengandung
kuman Salmonella spp sehingga terjadi bakteriuria. Maka penderita merupakan
urinary karier penyakit tersebut.
Akibatnya terjadi miokarditis toksik, otot jantung membesar dan melunak. Anak-anak
dapat mengalami perikarditis tetapi jarang terjadi endokaritis. Tromboflebitis,
periostitis dan nekrosis tulang dan juga bronkhitis serta meningitis kadang-kadang
dapat terjadi pada demam tifoid.
Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu
pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dna terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia.
Diagnosis
17
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah bagi
mengesan kehadiran bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan
membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit.
Selain itu tes widal (O dah H agglutinin) mulai posotif pada hari kesepuluh dan titer
akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang
2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200)
menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.
Namun, penggunaan tes Widal dalam membantu diagnosis demam tifoid masih
kontroversial dan tidak dianjurkan. Hal ini dikarenakan tes Widal kurang sensitif dan
kurang spesifik untuk diganosis, ditambah lagi hasilnya bervariasi antar daerah yang
satu dengan daerah yang lain. Tes ini sebenarnya untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen O dan H dari S typhi. Masalahnya, tidak hanya S typhi yang memiliki antigen
O dan H ini, tetapi Salmonella serotype lain juga. Selain itu antigen O dan H pada S
typhi juga bereaksi silang dengan antigen Enterobacteriaceae. Pasien dengan demam
tifoid juga tidak selalu menimbulkan kadar antibodi yang dapat terdeteksi ataupun
menunjukkan kenaikan titer antibodi. Jika diagnosa demam tifoid ditegakkan hanya
berdasarkan tes Widal ini, maka tidak jarang terjadi overdiagnosis.
Pemeriksaan penunjang lain masih dikembangkan untuk membantu mendiagnosis
demam tifoid. Sekarang sdh ada pemeriksaaan demam Typoid yg spesifik dan sensitif
dengan menggunakan Metode terbaru yaitu TUBEX TF memang lebih unggul
dibandingkan tes Widal, akan tetapi biayanya mencapai 4 kali biaya tes Widal.
Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu
ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam,
maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis
polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus.
Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita
waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah
mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas
seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah
terpapar dengan kuman S typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh
tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak
18
sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah
kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah
imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa
saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia. Namun demikian,
penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri.
Tapi untuk menentukan dengan cepat sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah.
Tata laksana
- Istirahat dan Perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan BAB akan membantu dan mempercepat proses
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat tidur,
pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
- Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan supportive), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasian secara optimal.
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Di masaa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring , kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengna tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian makanan padat
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa ( menghindari sementara
sayuran yang berserat) dapat diberikan denagn aman pada pasien demam tifoid.
- Pemberian antimikroba, dengna tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.Pembagian obat-obatan untuk demam tifoid, yaitu:
19
Kloramfenikol. Di Indonesia merupakan obat utama yang digunakan, dosis yang
diberiakan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas . Penyuntikan
intramuscular tidak dibolehkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkandan tempat penyuntikan terasa nyeri. Obat ini dapat menurunkan
demam rata-rata 7,2 hari atau ada juga yang menyebutkan turun demam rata-rata
setelah hari ke 5.
Tiamfenikol . Dosis dan efektifitas sama dengna obat Kloramfenikol akan tetapi
komplikasi hematologinya lebih rendan dari obat Kloramfenikol yaitu terjadinya
anemia aplastik lebih rendah. Demam turun rata-rata Pada hari ke-5 samapai ke-
6.
Kotrimoksazol. Efektifitas dan komplikasi sama dengan obat Tiamfenikol . Dosis
orang dewasa 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80
mg trimetropim) deberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan Amoksilin . Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dari
pada Kloramfenikol, dosis yang diberikan 50-150 mg/kg BB digunakan selama 2
minggu.
Sefalosporin generasi ketiga. Seftriakson adalah gol. obat ini sangat efektif dan
dosisnya 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam perinfus sekali/hari
diberikan selama 3 hingga 5 hari.
Golongan Fluorokuinolon.Gol ini beberapa, jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya:
Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 16 hari
Ofloksain 2x400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksain 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
20
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari k-4.
Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan Norfloksasin yang
memiliki bioavailabilitas tidak sebaik dengan Fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
Kombinasi obat anti mikroba. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan
pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta
syok septic, yang pernah terbukti ditemuakn 2 macam organism dalam kultur
darah selain kuman salmonella.
Kortikosteroid. Penggunaan steoid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septic dosis 3x5 mg.
Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak dianjurkan
pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan terjadi partus premature,
kematian fetus intrauterine dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan digunakan pada trimester ke-1 karena kemungkinan efek teratogenik
pada fetus , pada kehamilan lanjut boleh digunakan . Obat yang dianjurkan
Ampisilin, Amoksisilin, Sftriakson.
b. Siprofloksasin
Farmakologi:
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon, bekerja dengan cara
mempengaruhi enzim DNA gyrase pada bakteri.Siprofloksasin merupakan antibiotik
untuk bakteri gram positif dan negatif yang sensitif.
Indikasi
Infeksi saluran kemih termasuk prostatitis
Uretritis dan servisitis gonorhea
21
Infeksi saluran cerna, demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi khasiat
Siprofloksasin untuk eradikasi “chronic thypoid carrier” belum diketahui.
Infeksi saluran nafas kecuali pneumonia akibat streptococcus
Infeksi kulit dan jaringan lunak
Infeksi tulang dan sendi.
Kontraindikasi:
Penderita yang hipersensitif terhadap siprofloksasin atau antibiotik derivat
kuinolon lainnya.
Wanita hamil dan menyusui
Anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Efek Samping:
Efek terhadap saluran cerna
Mual, diare, muntah, gangguan pencernaan, dyspepsia nyeri abdomen, flatulensi,
anoreksia, dispagia.
Efek terhadap sistem syaraf
Pusing, sakit kepala, rasa letih, insomnia, agitasi, tremor, sangat jarang:
paralgesia perifer, berkeringat, kejang, anxietas, mimpi buruk, konfusi, depresi,
halusinasi, gangguan pengecapan dan penciuman, gangguan penglihatan (misal
penglihatan ganda, warna-warni).
Reaksi hipersensitifitas
Reaksi kulit kemerahan pada kulit pruritus, drug fever. Reaksi anafilaktik/
anafilaktoid (seperti edema pada wajah, vaskuler dan larynx, dispnea yang
bertambah berat sehingga terjadi syok yang mengancam jiwa). Hemoragia
punklata (petechiae), pembentukan blister disertai pendarahan kulit (bullae
22
haemorrhagica) dan nodulus-nodulus kecil (papula) disertai pembentukan krusta
yang menunjukkan adanya kelainan vaskuler (vaskulitis), sindroma Steven-
Johnson.
Efek terhadap renal/urogenital
Nefritis interstisiel, gagal ginjal, termasuk gagal ginjal yang transient, polyuria,
retensi urine, pendarahan urethal, vaginitis dan asidosis.
Efek terhadap hati
Hepatitis, sangat jarang: kelainan hati yang luas seperti nekrosis hati.
Efek terhadap kardiovaskuler
Jarang: takikardia, palpitasi, atrial flutter, venticular ectopi, sinkope-hipertensi
angina pektoris, infark myocardial, cardiopulmonary arrest, cerebral trombosis,
wajah merah dan panas, migren, pingsan.
Efek pada darah
Eosinofilia, leukositopenia, leukositosis, anemia granulositopenia.
Efek pada nilai laboratorium/deposit urin
Kadar transaminase dan alkali fosfatase dalam darah mungkin meningkat untuk
sementara; ikterus kolestatik dapat terjadi terutama pada pasien yang pernah
mengalami kelainan; peningkatan kadar urea, kreatinin dan bilirubin darah secara
transien; hiperglikemia; pada kasus tertentu: kristaluria dan hematuria.
Dosis
Dewasa:
Infeksi ginjal yang tidak terkomplikasi dan infeksi saluran urin bagian atas dan
bawah: 2 x 100 mg sehari
Infeksi lain: 2 x 200 mg sehari
23
Gonorrhea akut dan cystitis akut yang tidak terkomplikasi pada wanita: infus
tunggal 100 mg. Penderita usia lanjut mungkin diberikan dosis lebih rendah
tergantung dari beratnya penyakit dan bersihan kreatinin.
Dosis pada gangguan fungsi ginjal:Bila bersihan kreatinin kurang dari 20
ml/menit, maka dosis normal hanya diberikan 1 kali sehari atau jika diberikan 2
kali sehari, dosis harus dikurangi separuhnya.
Farmakodinamik
Antibiotik fluorokuinolon memasuki sel dengan cara difusi pasif melalui kanal protein
terisi air (porins) pada membran luar bakteri secara intra selular, secara unik obat-obat
ini menghambat replikasi DNA bakteri dengan cara mengganggu kerja DNA girase
(topoisomerase II) selama pertumbuhan dan reproduksi bakteri.
Topoisomerase II adalah enzim yang mengubah konfigurasi atau topologi DNA
dengan cara suatu mekanisme menakik (nicking), menembus, dan menutup kembali
(re-sealing) tanpa mengubah struktur primernya.
Pengikatan kuinolon pada enzim dan DNA untuk membentuk suatu kompleks
menghambat langkah penggabungan kembali dan dapat menyebabkan kematian sel
dengan menimbulkan keretakan DNA.
Spektrum Antibakteri Siprofloksasin
Siprofloksasin bersifat bakterisid, terutama aktif terhadap bakteri gram negatif dan
memiliki aktivitas lemah terhadap gram positif.
Berikut ini adalah spektrum antibakteri siprofloksasin :
Mikroorganisme gram positif aerobik
Enterococcus faecalis (banyak strain hanya memiliki sensitivitas sedang)
Staphylococcus aureus (hanya strain yang sensitif terhadap metisilin)
Staphylococcus epidermidis (hanya strain yang sensitif terhadap metisilin)
Staphylococcus saprophyticus
Streptococcus pneumoniae (hanya strain yang sensitif terhadap penisilin)
Streptococcus pyogenes
24
Mikroorganisme gram negatif aerobik
Campylobacter jejuni Proteus mirabilis
Citrobacter diversus Proteus vulgaris
Citrobacter freundii Providencia rettgeri
Enterobacter cloacae Providencia stuartii
Escherichia coli Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae Salmonella typhi
Haemophilus parainfluenzae Serratia marcescens
Klebsiella pneumoniae Shigella boydii
Moraxella catarrhalis Shigella dysenteriae
Morganella morganii Shigella flexneri
Neisseria gonorrhoeae Shigella sonnei
Lainnya : Bacillus anthracis
Farmakokinetik
- Absorpsi
Siprofloksasin oral diserap dengan baik melalui saluran cerna. Bioavailabilitas
absolut adalah sekitar 70%, tanpa kehilangan yang bermakna dari metabolisme
fase pertama. Berikut ini adalah konsentrasi serum maksimal dan area di bawah
kurva (area under the curve, AUC) dari siprofloksasin yang diberikan pada dosis
250 ~ 1000 mg.
Konsentrasi serum maksimal dicapai 1 sampai 2 jam setelah dosis oral.
Konsentrasi rata-rata 12 jam setelah dosis 250, 500 dan 750 mg adalah 0,1; 0,2
dan 0,4 mg/mL.
- Distribusi
Ikatan siprofloksasin terhadap protein serum adalah 20-40% sehingga tidak cukup
untuk menyebabkan interaksi ikatan protein yang bermakna dengan obat lain.
Setelah administrasi oral, siprofloksasin didistribusikan ke seluruh tubuh.
Konsentrasi jaringan seringkali melebihi konsentrasi serum, terutama di jaringan
25
genital, termasuk prostat. Siprofloksasin ditemukan dalam bentuk aktif di saliva,
sekret nasal dan bronkus, mukosa sinus, sputum cairan gelembung kulit, limfe,
cairan peritoneal, empedu dan jaringan prostat. Siprofloksasin juga dideteksi di
paru-paru, kulit, jaringan lemak, otot, kartilago dan tulang. Obat ini berdifusi ke
cairan serebro spinal, namun konsentrasi di CSS adalah kurang dari 10%
konsentrasi serum puncak. Siprofloksasin juga ditemukan pada konsentrasi
rendah di aqueous humor dan vitreus humor.
- Metabolisme
Empat metabolit siprofloksasin yang memiliki aktivitas antimikrobial yang lebih
rendah dari siprofloksasin bentuk asli telah diidentifikasi di urin manusia sebesar
15% dari dosis oral.
- Ekskresi
Waktu paruh eliminasi serum pada subjek dengan fungsi ginjal normal adalah
sekitar 4 jam. Sebesar 40-50% dari dosis yang diminum akan diekskresikan
melalui urin dalam bentuk awal sebagai obat yang belum diubah. Ekskresi
siprofloksasin melalui urin akan lengkap setelah 24 jam . Dalam urin semua
fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui konsentrasi hambat minimal
(KHM) untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam. Klirens ginjal
dari siprofloksasin, yaitu sekitar 300 mL/menit, melebihi laju filtrasi glomerulus
yang sebesar 120 mL/menit. Oleh karena itu, sekresi tubular aktif memainkan
peran penting dalam eliminasi obat ini. Pemberian siprofloksasin bersama
probenesid berakibat pada penurunan 50% klirens renal siprofloksasin dan
peningkatan 50% pada konsentrasi sistemik.
c. Parasetamol
Indikasi :
Nyeri ringan sampai sedang (termasuk sakit kepala, mialgia, keluahan sesudah
imunisasi, dan keluhan sesudah tonsilektomi), serta menurunkan demam yang
menyertai infeksi bakteri dan virus.
26
Dosis
- Demam setelah imunisasi
per oral:
BAYI 2-3 bulan, 60 mg diikuti dosis kedua, jika perlu, 4-6 jam kemudian.
Ingatkan orang tua untuk menghubungi tenaga kesehatan jika demam menetap
setelah dosis kedua
Nyeri ringan – sedang atau demam
per oral:
DEWASA 0,5 – 1 g tiap 4-6 jam, maksimal 4 g sehari;
ANAK dibawah 3 bulan (lihat di bawah), 3 bulan – 1 tahun 60-125 mg, 1-5 tahun
120-250 mg, 6-12 tahun 250-500 mg,
dosis ini dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu (maksimal 4 dosis dalam 24 jam)
per rectal:
DEWASA 0,5 – 1 g;
ANAK 1-5 tahun 125-250 mg, 6-12 tahun 250-500 mg; dosis diberikan tiap 4-6
jam jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam
Bayi kurang dari 3 bulan sebaiknya tidak diberikan parasetamol kecuali
dianjurkan dokter; dosis 10 mg/kg (5 mg/kg jika jaundice) bisa diberikan
- Pengobatan serangan migren akut
per oral:
DEWASA 0,5 – 1 g saat serangan pertama, dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu,
maksimal 4 g sehari;
27
ANAK 6-12 tahun 250-500 mg saat serangan pertama, dapat diulang tiap 4-6 jam
jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam
per rectal:
DEWASA dan ANAK di atas 12 tahun 0,5 – 1 g saat tanda pertama serangan,
dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam; ANAK 6-
12 tahun 250-500 mg saat tanda pertama serangan, dapat diulang tiap 4-6 jam jika
perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam
Kontra Indikasi
Pasien dengan penyakit hati atau ikterus.
Perhatian
Untuk penggunaan tanpa resep dokter : jangan melebihi dosis maximum yang
dianjurkan, dan jangan dipakai terus-menerus lebih dari 10 hari tanpa pengawasan
dokter.
Efek samping
Jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan
kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g
mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh
metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu
tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan
metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah
kerusakan irreversible. Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal.
Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia.
Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam
amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam
setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat menggunakan
parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu.
Over dosis
28
6-10 gr parasetamol sekaligus dapat menimbulkan kerusakan hati yang fatal.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa N-acetylcysteine dipakai sebagai antidotum.
- Tanda dan gejala :
Awal : mual, muntah dan malaise (beberapa penderita mungkin asimptomatik).
Kemudian : terjadinya kelainan klinis dan laboratorium hepatotoksik (muntah,
nyeri perut kanan atas; meningkatnya SGOT, SGPT, serum bilirubin, dan waktu
protrombin; dan mungkin hipoglikemia) meungkin belum akan tampak dalam 48-
72 jam.
- Pengobatan :
Segera keluarkan isi lambung dengan rangsangan muntah atau lavage lambung,
jangan menggunakan karbon aktif. Periksa kadar asetaminofen di dalam serum
secepat mungkin, namun jangan sebelum 4 jam setelah menelan obat. Segera
periksa fungsi hati dan diulangi setiap 24 jam. Acetylcysteine harus diberikan
secepat mungkin.
Interaksi obat :
Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak
interaktif. Kombinasi dengan obat penyakit AIDS zidovudin meningkatkan resiko
neutropenia (Tjay dan Rahardja, 2002)
Interaksi :
Antikoagulan Penggunaan parasetamol jangka panjang sebagai pemakaian
umum mungkin meningkatkan efek antikoagulan dari
koumarin
Antiepilepsi Carbamazepin mungkin meningkatkan metabolisme
parasetamol
Sitotoksik Parasetamol mungkin menghambat metabolisme busulfan
intravena (pabrik busulfan intravena menyatakan perhatian
dalam 72 jam penggunaan parasetamol)
Obat pengatur lipid Penyerapan parasetamol dikurangi oleh kolestiramin
Metoklopramid Kecepatan penyerapan parasetamol ditingkatkan oleh
29
parasetamol
Perubahan nilai laboratorium :
- Dalam darah/serum : meningkatkan waktu protrombin, meningkatkan kadar asam
urat (dengan metode phosphotungstat).
- Dalam urin : meningkatkan 5-HIAA (dengan tes reagen nitrosonaphthol)
Penggunaan pada anak-anak :
Lihat INDIKASI. Sirup untuk orang dewasa yang takarannya diperkuat, jangan
dipakai untuk anak-anak.
Penggunaan pada ibu hamil dan menyusui :
Parasetamol dapat digunakan oleh ibu hamil dan menyusui.
d. Sepsis
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus
positif. Meskipun SIRS, sepsis, dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi
bakteri, tidak harus terdapat bakteremia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup
dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya
dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi
teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau
ekstravaskular. Sepsis berat adalah sepsis yang bekaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hypoperfusi, atau hypotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi pada, asidosis
laktat, oliguria atau perubahan akut pada status mental.
Berdasarkan konferensi internasional pada 2001, terdapat tambahan terhadap kriteria
sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria
diagnostik baru untuk sepsi. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan
petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP),
sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah
implementasi dari suatu sistem tingkatan predisposition, insult infection response, and
30
organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum
berdasarkan karakteristik pasieb dengan stratafikasi gejala dan resiko yang individual.
Patogenesis
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai
sumber bakteriaemia. Hal ini disebut sebagai bakteriaemia kedua. Sepsis gram ngetaif
merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian
menyebar ke struktur yang berdekatan seperti pada peritonitis setelah perforasi
apendikal, atau bila berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Selain
itu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran gastrointestium.
Sepsis gram positif biasanya timbul dari infeksi kulti, saluran respirasi dan juga bisa
berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka bkar.
Inflamasi sebagai tangapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi
imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubu untuk
menghilangkan dan eradikasi organsime penyebab. Berbagai jeinis sel akan
teraktivasi dna memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk ebrbagai
sitokin. Mediator inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan
mediator yag dapat mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih
banyak faktor lain (non sitokin) yang snagat berperan dalam menentukan perjalanan
suatu penyakit. Respon tubuh terhadap sutau patogen melibatkan bermacam-macam
komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat
proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1,
interferon (IFN-) yang bejerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme
yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang ebrtugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-
inflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat
memberikan kerugian bagi tubuh.
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin,
baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat secara
langsung dengan LPS dna bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah
31
penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors 4)
sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan reseptor CD 14+ dna makrofag
mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram
negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap
makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi ada juga eksotoksin
sebagai superantigen.
Padahal sepsis dapat terjadi pada rangsangan endotoksin, eksotoksin, virus dan
parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat
menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep tersebut
tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik.
Di Indonesia dna negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram
negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang menegluarkan eksotoksin.
Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai Antigen processing Cell
dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility
Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas II akan berikatan
dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
menegluarkan substansi daro Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu :
IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN- merangsang makrofag
mengeluarkan IL-1b dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin
proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1 dan
TNF- serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat
IL-1 dan TNF- berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian, tetapi
ternyata sitokin IL-2 dna TNF- selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula
merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini
belum jelas. IL-1 sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada saat
endotelial termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan
mernagsang ekspresi intercellular adhesion molecule -1 (ICAM-1). Dengan adanya
ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oelh granulocyte-macrophage
32
colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi
endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu :
8. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-
selektin neutrofil dalam emngikat ligan respektif.
9. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dna aktivasi neutrofil yang
mengikat integretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dnegan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.
10. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotle lisism akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga
membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi
oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel
menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata
kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan
vaskuler (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multiple sesuai
pendapat Bone bahwa kelainan organ multiple tidak disebabkan oleh infeksi tetapi
akibat inflamasi yang sistemik dengan stikoin sebagai mediator. Pendapat tersebut
diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan organ multiple disebabkan karena trombosis
dna koagulasis dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang
berakhir dengan kematian.
Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai
dengan hipotensi (tekanan darah turun < 90 mmHg0 atau terjadi penurunan tekana
darah sistolik > 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting
adalah hati, paru dan ginjal, angka kematian sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih
dari tiga organ tersebut. Dalam suatu penelitian disebutkan angks kematian syok
septik adalh 72% dan 50% penderita meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam,
30% - 80% penderita dengan syok septik menderita ARDS.
Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes melitus, sirosis hati, gagal
ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita
sepsis. Pada penderita IC bila megalami sepsis sering terjadi kompliaksi yang berat
yaitu syok septik dan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis
yang berkelanjutan, Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin anti inflamasi yang
33
akan menghambat ekspresi IFN-, TNF- dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki
jaringan yang rusak akibat peradangan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
Dengan mengetahui konsep patogenesis sepsis dan syok septik, maka kita dapat
mengetahui, stikoin yang berperan dalam syok septik dan dapat diketahui apakah
terdapat perbedaan peran sitokin pada beberapa penyakit dasar yang berbeda.
Diagnosa
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur,
dan perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada
wanita-wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis,
endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi.
Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik ( syok panas atau dingin ) dan
tipe kerusakan organ yang terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan
pasien mengalami peningkatan tempratur dan lekosit dengan pergeseranke kiri, tetapi
pada beberapa wanita terjadi penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah
normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada
jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC
adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis
potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia, manifestasi klinik dapat berupa
oligouria, hematuria dan proteinuria.
Karena sebanyak 25 % wanita dapat mengalami ARDS dengan kegagalan
respirasi. ARDS merupakan gagal pernafasan mendadak tanpa kelainan paru yang
mendasari sebelumnnya. Faktor predisposisi yang mendasari dapat berupa sepsis,
perdarahan, ruda paksa paru atau bagian tubuh lain, pankreatitis, aspirasi airan
lambung dl. Dokter perlu mengamati tanda terjadinya distres pernafasan, hipoksemia,
dan tanda memburuknya hipoksemia. Pada awal sepsis pasien menunjukkan respirasi
alkalosis akibat hiperventilasi. Dengan memburuknya sepsis, terjadi respirasi asidosis
sebagai akibat dari pengumpulan asam laktat yang berasal dari metabolisme anaerobik
sel. Kadar asam laktat berhubungan dengan derajat hipoksia organ, dan meningkatnya
34
kadar asam laktat mencerminkan memburuknya prognosis dan dapat digunakan
sebagai parameter keberhasilan pengobatan.
Dalam hal membantu menegakkan diagnose sepsis stau syok septik, selain
melalui pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur.
Pemeriksaan fisik pasien obstetrik difukuskan pada sistem genitourinaria,
gastrointestinal, respirasi dan luka – luka seperti luka operasi, epiostomi dan lain –
lain. Kemungkinan fokus infeksi pada wanita post partum meliputi sisa hasil konsepsi,
mikroabses uterus, abses pelvis, infeksi luka, dan trombosis pelvis. Sedikitnya
diperlukan 2 bahan kultur darah yang berbeda. Sensitivitas kultur tunggal untuk
bakterimia adalah 80 %, dua bahan 89 % dan 3 bahan99%. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens (group A
streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.
Pengobatan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan shock sepsis diperlukan tindakan
yang agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk
memperbaiki perfusi dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk
mengukur secara akurat volume cairan, cardiac output, dan resistensi perifer sehingga
dapat dimonitor pemberian cairan dan tekanan darah (Root, 1991).
Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab. Pasien yang
mendapat imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan
diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan netropeni atau disfungsi netropil
mungkin memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah penggantian
kateter intra vena, kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi perlu dimonitor
saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika terjadi respiratory failure perlu dipasang
intubasi.
Untuk pengobatan shock sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial
(hemodinamik, antibiotik, vasopressor), kontroversial (kortikosteroid, heparin dan
opiat antagonis), masa mendatang (antibodi monoklonal).
Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasen shock sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai
respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan
koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah
35
dan CVP dipelihara antara 10-12 mmH 0. Untuk mencapai cairan yang adekuat
pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak
membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan pemberian
vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis dutegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat.Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan
dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi
untuk gram positif dan gram negatif.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
- Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
- Pasen yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
- Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat
menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia pemberian
dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9 jam
pada ke dua studi ini tidak didapatkan perikan angka mortalitas (Root, 1991).
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat
memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas (Sprung,
1984; Bone, 1987; Hinshaw 1987; Cohen, 1991). Nalokson suatu opiat antagonis
diberikan pada binatang percobaan untuk mencegah shock karena diinduksi oleh
endotoksin (Robert 1988; Root, 1991; Bone, 1992). Pada manusia dilakukan suatu
studi prospektif dan didapatkan hasil yaitu naloksan tidak menaikkan tekanan darah
tetapi dapat mengurangi penggunaan vasopressor (Robert, 1988). DIC asimptomatik
tidak membutuhkan terapi spesifik, jika terjadi perdarahan berat diperlukan
penggantian faktor pembekuan dan platelet, penggunaan heparin dan fibrinolitik
lainnya masih kontraversial. Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi
monoklonal merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan
dan dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF
antibodi hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan
antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan
36
mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic window-nya
sempit.
Prognosis
Prognosis pasien dengan sepsis berkaitan dengan tahap keparahan atau sepsis serta
status kesehatan dasar pasien. Sebagai contoh, pasien dengan sepsis dan tidak ada
tanda kegagalan organ berlangsung pada saat diagnosis memiliki sekitar 15% -30%
kemungkinan kematian. Pasien dengan sepsis berat atau syok septik memiliki
mortalitas (kematian) laju sekitar 40% -60%. Bayi dan pasien anak dengan sepsis
memiliki sekitar 9% -36% tingkat kematian. Para penyelidik telah mengembangkan
sistem penilaian (skor meds) berdasarkan gejala pasien untuk memperkirakan
prognosis.
Ada sejumlah besar komplikasi yang mungkin terjadi dengan sepsis. Komplikasi
yang terkait dengan jenis infeksi awal (misalnya, pada infeksi paru-paru dengan
sepsis, komplikasi potensial dapat berupa suatu kebutuhan untuk dukungan
pernafasan) dan beratnya sepsis (misalnya, syok septik terkait dengan infeksi
ekstremitas yang dapat memerlukan ekstremitas amputasi ). Akibatnya, setiap pasien
cenderung memiliki potensi untuk komplikasi yang terkait dengan sumber sepsis,
secara umum, komplikasi yang disebabkan oleh disfungsi organ, kerusakan, atau
kerugian.
Para dokter setuju bahwa semakin cepat pasien dengan sepsis didiagnosis dan
diobati, semakin baik prognosis dan komplikasi lebih sedikit, jika ada, untuk pasien.
37