Skenario 3 Traumatologi-hampir Full
-
Upload
jiwo-saciladh -
Category
Documents
-
view
201 -
download
1
Transcript of Skenario 3 Traumatologi-hampir Full
LAPORAN KELOMPOK
DISKUSI TUTORIAL
BLOK TRAUMATOLOGI SKENARIO 3
PENANGANAN TRAUMA ABDOMEN
OLEH:
KELOMPOK 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
G0009030 ASRI SUKAWATI P.
G0009032 ATIKA ZAHRO N.
G0009066 DWI TIARA S.
G0009120 LOUIS HADIYANTO
G0009144 MUVIDA
G0009156 NUR JIWO W.
G0009164 OGI KURNIAWAN
G0009194 RUBEN STEVANUS
G0009198 SAYEKTI ASIH N
G0009202 SOFI ARIANI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skenario 3:
Korban Pengeroyokan
Seorang laki-laki, umur 30 tahun, saat menonton sepakbola, dikeroyok oleh
suporter kesebelasan lawan. Laki-laki tersebut kemudian dibawa ke UGD RS
Dokter Muwardi. Pasien tiba di RS Dokter Muwardi kira-kira 1 jam setelah
kejadian. Pasien mengeluh nyeri terutama di bagian perut kanan atas, dia merasa
telah ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan sekali di punggung
kiri saat dikeroyok. Pasien masih dalam keadaan sadar (compos mentis) tapi merasa
lemas.
Perawat melakukan pemeriksaan vital sign dan hasilnya: nadi 130x per menit,
tekanan nadi kecil. Respiration rate: 32x per menit, tensi:80/40 mmHg, suhu: 36,5
derajat Celcius.
Hasil pemeriksaan dokter IGD
AIRWAY (A):
Bebas
Dokter memberikan oksigen 10-12 lt/menit dengan masker (Nonrebreathing mask),
pasang collar brace.
BREATHING (B):
RR 32 x/menit
Thorax: jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra, pengembangan hemithorax
sinistra tertinggal, perkusi hemithorax sinistra bagian bawah redup (mulai costa 8-9,
di bawahnya: timpani), auskultasi suara vesikuler menurun pada bagian bawah
hemithorax sinistra (mulai costa 8-9, di bawahnya: bising usus). Kesan hemotoraks
sinistra.
Dokter merencanakan pemeriksaan thorax foto (pada adjunct primary survey).
Dilakukan persiapan pemasangan WSD. Sementara menunggu persiapan, maka
dokter melakukan pemeriksaan pada circulation (secara simultan). Setelah WSD
terpasang, keluar darah 75 cc dan RR tetap 32x/menit.
CIRCULATION (C):
Nadi 130x per menit, tekanan nadi kecil, tensi 80/40 mmHg, suhu: 36,5 derajat
celcius. Akralnya dingin dan lembap.
Pada abdomen terlihat distended, luka di bagian perut kanan atas sudah tidak
mengeluarkan darah, bising usus menurun, pekak hepar (+), defans muskuler (-),
perut teraba tegang, tes undulasi (+) dan pekak beralih (+). Kesan terdapat
perdarahan internal (abdomen). Bagian pelvis dan femur tak terdapat keluhan
maupun jejas.
Pemeriksaan rectal toucher: sarung tangan lendir darah (-), lain-lain normal. Dokter
segera melakukan pemasangan infus 2 jalur, dengan jarum no 16 (jarum besar), RL
hangat digrojok, dan melakukan crossmatch. Selanjutnya dokter memasang kateter
untuk monitoring, di mana urin yang pertama keluar harus dibuang karena tidak
mencerminkan kondisi perfusi jaringan pasien. Hasil 100 cc dan jernih.
Tindakan dokter selanjutnya:
Konsul kepada dokter bedah mengenai perdarahan abdomen dan melakukan
pemasangan WSD, serta melanjutkan resusitasi cairan. Kemudian mempersiapkan
kemungkinan operasi dan evaluasi kondisi sirkulasi dengan menilai tensi, nadi,
akral, capillary refill time, dan produksi WSD – urin per jam.
DISABILITY (D):
GCS 15, pupil isokor.
ENVIRONMENT / EXPOSURE (E):
Semua pakaian pasien dibuka untuk menilai apakah ada kelainan lain yang sifatnya
life threatening. Setelah itu pasien diselimuti untuk mencegah hipotermi.
ADJUNCT PRIMARY SURVEY
Dilakukan foto cervical lateral cross table, thorax foto dan pelvis (AP). Hasil foto
cervical, thorax AP: normal. Hasil foto pelvis AP: terdapat fractur di os simphysis
pubis, sacro iliac disruption dextra.
Secondary survey:
Pada pemeriksaan kepala, leher, thorax, abdomen bagian atas, dan extremitas dalam
batas normal. Dokter melakukan konsul pada dokter bedah (orthopaedi, digestif,
dan urologi).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan awal?
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure/environment
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan tambahan?
a. Adjunct to primary survey
b. Secondary survey
3. Mengapa pasien diberi bantuan oksigen dengan masker non-rebreathing?
4. Mengapa pasien diberi RL hangat dan bagaimana cara pemberiannya yang
benar?
5. Apa indikasi pemasangan infus 2 jalur?
6. Berapa jam ‘gold period’ pada luka tusuk?
7. Mengapa pasien pada skenario sadar tapi lemas?
8. Apa manfaat dari evaluasi produksi WSD dan urin per jam?
9. Mengapa urin initial tidak dijadikan patokan menilai perfusi penderita?
C. Tujuan
1. Menjelaskan penyebab trauma abdomen.
2. Memperoleh informasi yang akurat mengenai status awal pasien dengan trauma
abdomen.
3. Menyusun data dari keluhan pasien dan pemeriksaan fisik untuk menentukan
tindakan yang harus dilakukan.
4. Melakukan tindakan pada pasien trauma abdomen dengan tepat.
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab trauma abdomen.
2. Mahasiswa dapat memperoleh informasi yang akurat mengenai status awal
pasien dengan trauma abdomen.
3. Mahasiswa dapat menyusun data dari keluhan pasien dan pemeriksaan fisik
untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan.
4. Mahasiswa dapat melakukan tindakan pada pasien trauma abdomen dengan tepat.
BAB II
HASIL DISKUSI
A. JUMP 1: KLARIFIKASI ISTILAH
1. Masker (Nonrebreathing mask) : masker tembus pandang yang menutupu mulut dan
hidung pasien, dilengkapi dengan kantung tambahan sehingga tidak percampuran
antara oksigen yang diberikan dengan udara luar.
2. Collar brace : alat untuk immobilisasi leher atau mempertahankan tulang servikal.
3. Jejas ekskoriasi : luka lecet.
4. WSD: tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan
(darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax dan mediastinum dengan
menggunakan pipa penghubung.
5. Abdomen distended : proses peningkatan tekanan abdominal yang menghasilkan
peningkatan tekanan dalam perut dan menekan dinding perut.
6. Defans muskuler : nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya inflamasi di daerah peritonitis.
7. Tes undulasi : suatu tes untuk menandakan adanya cairan dalam rongga abdomen
8. Capillary refill time : tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk
memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi)
9. Crossmatch: reaksi silang dalam pemeriksaan sebelum transfusi darah untuk
mencocokkan golongan darah. Eritrosit donor direkasikan dengan plasma resipien,
dan plasma donor direkasikan dengan eritrosit pasien.
10. Perfusi jaringan : keadaan dimana individu beresiko mengalami penurunan O2 dan
nutrisi perifer dalam suplai kapiler.
11. Sacro iliac disruption : gambaran hasil rontgen dimana hubungan antara os sacrum
dan ileum mengalami pergeseran.
B. JUMP 2: RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan awal?
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure/environment
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan tambahan?
a. Adjunct to primary survey
b. Secondary survey
3. Mengapa pasien diberi bantuan oksigen dengan masker non-rebreathing?
4. Mengapa pasien diberi RL hangat dan bagaimana cara pemberiannya yang
benar?
5. Apa indikasi pemasangan infus 2 jalur?
6. Berapa jam ‘gold period’ pada luka tusuk?
7. Mengapa pasien pada skenario sadar tapi lemas?
8. Apa manfaat dari evaluasi produksi WSD dan urin per jam?
9. Mengapa urin initial tidak dijadikan patokan menilai perfusi penderita?
C. JUMP 3: ANALISIS MASALAH
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan awal?
a. Airway
Pasien bebas jalan nafasnya. Pemberian oksigenasi 10-12 lt per menit
merupakan tindakan untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan
meminimalkan asidosis respiratorik. Pemasangan collar brace dimaksudkan
untuk menghindari cidera pada vertebra cervical (Uyainah, 2009).
b. Breathing
RR 32x/menit (N: 16-20x/menit) karena adanya hemothorax yang diderita
korban. Ada jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra disebabkan adanya
tusukan benda tajam. Pengembangan hemithorax sinistra tertinggal dapat
disebabkan oleh fraktur costa atau tekanan yang diakibatkan oleh darah pada
rongga pleura. Perkusi redup disebabkan oleh adanya darah pada rongga pleura.
Auskultasi suara vesikuler menurun juga disebabkan adanya darah pada cavum
pleura. Dokter merencanakan pemeriksaan thorax foto untuk memastikan
keadaan thorax pasien. Dilakukan pemasangan WSD yang dilakukan untuk
mengeluarkan darah pada rongga pleura pasien.
c. Circulation
Nadi 130x/menit (N: 60-100x/menit) sebagai kompensasi adanya
kekurangan perfusi jaringan. Tekanan nadi yang kecil dan tensi 80/40 mmHg
(N: 120/80 mmHg) merupakan gejala syok hipovolemik. Syok hipovolemik
disebabkan oleh perdarahan yang terlihat atau yang tidak terlihat
(Sjamsuhidajat, 2004). Abdomen terlihat distended karena adanya darah pada
abdomen pasien. Bising usus menurun disebabkan adanya darah yang
menghalangi bising usus terdengar dari pemeriksaan auskultasi. Pekak hepar (+)
dan defans muskuler (-) menunjukan tidak adanya peritonitis. Tes undulasi (+)
dan pekak beralih (+) menandakan adanya cairan dalan rongga abdomen pasien.
Pemerikasaan rectal toucher : sarung tangan lender darah (-), lain lain normal.
Hal ini menunjukan gastrointestinal pasien tidak mengalami masalah.
d. Disability
GCS 15 menandakan kesadaran pasien komposmentis. Pupil isokor
menandakan tidak adanya trauma kepala yang berat.
e. Exposure/environment
Semua pakaian pasien dibuka untuk menilai apakah ada kelainan lain
yang sifatnya life threatening. Setelah itu pasien diselimuti untuk mencegah
hipothermy.
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan tambahan?
a. Adjunct to primary survey
Dari pemeriksaan adjunct primary survey didapatkan hasil foto pelvis AP
adanya fraktur di os simphysis pubis dan sacro iliac disruption dextra. Pelvis
berupa tulang massiv dan berbentuk cincin yang tersusun dari os coxae, os
sacrum, dan os coccygeus. Fraktur pada tulang pelvis dicurigai adanya kelainan
pada organ dalam cavum pelvis. Fraktur pada os simphysis pubis menyebabkan
perubahan posisi tulang pelvis lebih kearah anterior sehingga menyebabkan
disruption atau peregangan pada sacro illiaca dextra. Fraktur pelvis juga
merupakan salah satu penyebab dari perdarahan intra peritoneal, dimana
perdarahan terbut menyebabkan syok hipovolemi hemoragik.
b. Secondary survey
Pada pemerikasan kepala leher, thorax, abdomen bagian atas, dan
ekstremitas dalam batas normal. Selanjutnya dokter melakukan konsul ke dokter
bedah (orthopaedi, digestif, dan urologi). Hal ini dilakukan untuk memperbaiki
keadaan pasien.
3. Mengapa pasien diberi bantuan oksigen dengan masker non-rebreathing?
Salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi jaringan
yang adekuat adalah terapi oksigen (O2). Secara klinis tujuan utama pemberian
oksigen adalah :
1. Untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah.
2. Untuk menurunkan kerja nafas dan menurunkan kerja miokard.
Terapi oksigen merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
termasuk keperawatan terhadap adanya gangguan pemenuhan oksigen pada klien.
Pengetahuan perawat yang memadai terhadap proses respirasi dan indikasi serta
metode pemberian oksigen merupakan bekal bagi perawat agar asuhan yang
diberikan tepat guna dengan resiko seminimal mungkin.
Pemberian oksigen selalu diperlukan bila keadaan penderita buruk. Indikasi
pemberian oksegen adalah antara lain :
a. setiap penderita trauma berat.
b. pada saat resusitasi jantung paru (RJP)
c. Setiap nyeri pre-kordial.
d. Gangguan paru seperti asthma, COPD.
e. Gangguan jantung seperti decompensasi cordis.
f. Pemberian oksigen tidak perlu disertai alat pelembab (humidifier) karena
pemberian singkat.
Cara pemberian oksigen dapat dengan :
a. Kanul hidung (nasal canule).
Kanul hidung lebih dapat ditolerir oleh anak-anak, face mask akan ditolak,
karena merasa dicekik. Orang dewasa juga kadang kadang menolak face mask
karena dianggap mencekik. Kekurangan kanul hidung adalah dalam konsentrasi
oksigen yang dihasilkan.Pemberian oksigen melalui kanul tidak bisa lebih dari 6
liter/menit karena tidak berguna untuk meningkatkan konsentrasi dan iritatif
untuk penderita.
b.Sungkup Muka Sederhana (rebreathing mask)
Merupakan alat pemberian oksigenkontinu atau selang seling 5 – 8 liter/mnt
dengan konsentrasi oksigen 40 – 60%. Keuntungan Konsentrasi oksigenyang
diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem humidifikasi dapat
ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan
dalam pemberian terapi aerosol. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi
oksigen kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran
rendah.
c. Non Rebreathing Mask.
Pada face mask dipasang reservoir oksigen yang mempunyai katup. Bila
diinginkan konsentrasi oksigen yang tinggi, maka rebreathing mask paling baik.
Dengan pemberian 8 – 12 liter/menit konsentrasi 02 sampai 99% yang bisa
menyebabkan tidak mengeringkan selaput lendir. Kekurangannya kantong
oksigen bisa terlipat dan mempengaruhi sirkulasi oksigen.
4. Mengapa pasien diberi RL hangat dan bagaimana cara pemberiannya yang benar?
Pasien diberikan RL hangat 39 °C untuk mencegah hipotermia dan digrojok
untuk memperbaiki homeostasis tubuh. Hal ini diindikasikan pada pasien trauma
yang kehilangan banyak cairan (resusitasi cairan). Pemasangan infuse juga harus
disertai monitoring kerja jantung, CRT, perfusi ginjal, kerja paru, dan vital sign.
Infus pengganti dihangatkan karena proses pembekuan darah paling baik pada
suhu 38,5ºC. Hemostasis sukar berlangsung baik pada suhu dibawah 35ºC.
Hipotermia pasien trauma terjadi bila pra rumah sakit berlangsung lama (bahkan
pada cuaca tropis). Pasien mudah dingin, tetapi sulit dihangatkan, maka dari itu
pencegahan hipotermi sangat penting. Dengan cara oral/intravena dipanaskan
sampai mencapai suhu 40-42ºC. Pemberian dengan digrojog agar pasien
dalam sekenario mendapat cairan dengan segera dan dalam jumlah yang
banyak. Agar tidak terjadi kekurangan cairan.
5. Apa indikasi pemasangan infus 2 jalur?
Pada pasien dalam skenario dilakukan pemasangan infus 2 jalur. Hal ini
disebabkan pasien tersebut membutuhkan terapi cairan dalam jumlah yang banyak.
Pasien terkesan mengalami perdarahan internal (abdomen). Pemberian cairan
dalam jumlah yang banyak dan cepat untuk mencegah terjadinya syok yang
diakibatkan kehilangan darah dari perdarahan abdomennya. Selain itu, tensi yang
rendah (80/40 mmHg) dan waktu terjadinya trauma (1 jam sebelum dibawa ke
rumah sakit) juga menjadi pertimbangan untuk melakukan pemberian cairan yang
banyak dan dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, pemberian terapi cairan
tersebut juga harus dievaluasi mengenai beban jantung akibat pemberian cairan
yang banyak, CRT (Capillary Refill Time), dan pemeriksaan urin dengan
memasang kateter (untuk menilai fungsi ginjal).
6. Berapa jam ‘golden period’ pada luka tusuk?
Pada trauma abdomen akibat luka tusuk terdapat golden period yaitu 8 jam.
Apabila selama golden period itu pasien mendapat penanganan yang cepat dan
ptepat, prognosis keadaan pasien itu juga akan menjadi baik.
Trauma abdomen dapat dibagi menjadi trauma tembus dan trauma tumpul.
Akibat dari trauma dapat berupa perforasi ataupun perdarahan. Kematian karena
trauma abdomen biasanya terjadi akibat sepsis atau perdarahan.
Tipe Cedera
Berdasarkan organ yang terkena dapat dibagi menjadi dua :
·Pada organ padat, seperti hepar, limpa dengan gejala utama perdarahan.
·Pada organ berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama adalah
peritonitis.
Mekanisme Trauma Tembus Abdomen :
Luka tusuk ataupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena
laserasi ataupun terpotong. Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada
luka tembus abdomen, sebab usus mengisi sebagian besar rongga abdomen.
Manifestasi Klinis
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis jika
mengenai organ berongga intra peritonial. rangsangan peritonial timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut.
1. Gaster yang bersifat kimia, onsetnya paling cepat. (akan terjadi peradangan
segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis yang hebat)
2. Kolon yang berisi feses, onsetnya paling lambat. (mula-mula tidak terdapat
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak
baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritonium)
Pada luka tembak atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tanda-tanda peritonitis
karena ini merupakan ”indikasi untuk segera dilakukan laparotomi eksplorasi”.
Penegakkan diagnosis
Pada luka tusuk, tanyakan waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang
dipergunakan (senapan, pistol, pisau) jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau
tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal yang tercatat ditempat kejadian.
7. Mengapa pasien pada skenario sadar tapi lemas?
Pasien sadar tetapi dalam keadaan pasien lemas. Hal ini dikarenakan
disamping terdapat external bleeding, pasien juga mengalami internal bleeding.
Kami memperkirakan internal bleeding terjadi pada cavum abdomen hal ini
ditandai dengan adanya pekak hepar (+), perut teraba tegang, tes undulasi (+) dan
pekak beralih (+).
Pendarahan (bahasa Inggris: hemorrhage, exsanguination; bahasa Latin:
exsanguinātus, tanpa darah) merupakan istilah kedokteran yang digunakan untuk
menjelaskan ekstravasasi atau keluarnya darah dari tempatnya semula. Pendarahan
dapat terjadi hanya di dalam tubuh, misalnya saat terjadi peradangan dan darah
keluar dari dalam pembuluh darah atau organ tubuh dan membentuk hematoma;
atau terjadi hingga keluar tubuh, seperti mengalirnya darah dari dalam vagina,
mulut, rektum atau saat kulit terluka, dan mimisan. Terdapat 2 macam klasifikasi
pendarahan, yaitu:
1. Standar American College of Surgeons' Advanced Trauma Life Support ATLS
membuat klasifikasi pendarahan berdasarkan persentase volume kehilangan
darah, sebagai berikut:
Kelas I, dengan kehilangan volume darah hingga maksimal 15% of blood
volume.
Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan
frekuensi pernapasan.
Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan
darah sekitar 10%
Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea,
penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian
kapiler, dan anxietas ringan.
Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin,
yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan
selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolic.
Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan
darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan,
seperti kebingungan atau agitasi.
Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40%
adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik.
Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan
untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal
terhadap cairan.
Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur),
berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental
(kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.
Kelas II, dengan kehilangan volume darah antara 15-30% dari total volume.
Kelas III, dengan kehilangan darah antara 30-40% dari volume pada sirkulasi
darah.
Kelas IV, dengan kehilangan yang lebih besar daripada 40% volume sirkulasi
darah.
2. Standar World Health Organization
WHO menetapkan skala gradasi ukuran resiko yang dapat diakibatkan oleh
pendarahan sebagai berikut:
Grade 0: Tidak terjadi pendarahan
Grade 1: Pendarahan petekial
Grade 2: Pendarahan sedang dengan gejala klinis yang signifikan
Grade 3: Pendarahan gross, yang memerlukan transfusi darah
Grade 4: Pendarahan debilitating yang fatal, retinal maupun cerebral
Dikenal juga jenis pendarahan dalam yaitu darah yang keluar dari pembuluh
darah mengisi rongga dalam tubuh, seperti rongga dalam perut. Pendarahan ini
dapat diidentifikasi dari tanda-tanda pada korban, seperti:
setelah cidera korban mengalami syok, tapi tidak ada tanda-tanda pendarahan
tempat cidera mungkin terlihat memar yang terpola
lubang tubuh mungkin mengeluarkan darah
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah
yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien
hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih
berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab
dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain.
Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher),
tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan
trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis)
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut,
paha, dan bagian luar tubuh:
Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang
melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari
miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru.
Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi,
yang menunjukkan cedera intraabdominal.
Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-
tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan
luar.
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen.
Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit.
Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar.
Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.
8. Apa manfaat dari evaluasi produksi WSD dan urin per jam?
Setelah dipasang WSD dan dikeluarkan darah 75 cc tapi RR tetap, perlu
diperhatikan kadar saturasi O2 pada pasien apakah oksigenasi adekuat atau tidak.
Perlu dipantau juga apakah perdarahan dalam cavum thorax telah berhenti atau
belum. RR dipengaruhi oleh keadaan hipoksia dan hiperkarbia, oleh karena itu
perlu dinilai juga perfusi pada pasien. Selain itu, kelainan mekanik seperti
distended abdomen dapat menghambat pengembangan paru sehingga perlu
dilakukan penatalaksanaan yang menyeluruh untuk mengatasi keadaan pasien.
9. Mengapa urin initial tidak dijadikan patokan menilai perfusi penderita?
Urin initial tidak digunakan sebagai patokan penilaian perfusi pasien karena
ada kemungkinan saat kejadian trauma dalam vesika urinaria pasien telah terdapat
urin sehingga merancukan penilaian perfusi pasien.
D. JUMP 4: INVENTARISASI PERMASALAHAN
E. JUMP 5: TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui patofisiologi gejala pasien
2. Mengetahui indikasi tindakan medis pada pasien
3. Mengetahui prinsip dasar penatalaksanaan trauma tembus
4. Mengetahui prognosis pasien
F. JUMP 7: MEMBAHAS DAN MENATA KEMBALI INFORMASI YANG
DIPEROLEH
Seorang laki-laki, berumur 30 tahun , saat menonton sepak bola, dikeroyok oleh
supporter kesebelasan lawan. Laki-laki tersebut kemudian dibawa ke UGD RS Dokter
Moewardi. Pasien tiba kira-kira 1 jam setelah kejadian. Pasien mengalami nyeri terutama
dibagian perut kanan atas, dia merasa telah ditusuk benda tajam dua kali di bagian perut
kanan atas dan sekali di punggung kiri saat dikeroyok. Pasien masih dalam keadaan
sadar (tapi merasa lemas), perasaan lemas pasien ini akibat penumpukan asam laktat dari
hasil metabolisme anaerob tubuh sebagai kompensasi pasca trauma. Metabolisme
Trauma Tembus
Primary survey(ABCDE)
Adjunct to primary survey
Secondary survey
Abdomen
Toraks
Komplikasi
anaerob ini terjadi akibat sel-sel tubuh kekurangan oksigen karena perdarahan pasca
trauma.
Perawat melakukan pemeriksaan vital sign dan hasilnya : nadi 130x/menit,
tekanan nadi kecil. Respiration rate 32x/menit. Tensi 80/40 mmHg, Suhu 36,5o C . Dari
hasil pemeriksaan vital sign dapat dilihat adanya peningkatan frekuensi nadi namun
tekanannya melemah, peningkatan frekuensi nafas, dan penurunan tensi. Hal-hal tersebut
terjadi sebagai bentuk respon tubuh terhadap kehilangan darah. Saat tubuh kehilangan
darah maka akan terjadi peningkatan denyut jantung untuk menjaga output jantung agar
organ-organ penting tubuh masih bisa mendapat aliran darah. Peningkatan frekuensi
nafas juga terjadi karena perdarahan yang hebat mengakibatkan oksigenasi jaringan pun
berkurang karena hilangnya komponen darah yang berfungsi untuk mensuplai oksigen
akibat perdarahan, sehingga tubuh mengkompensasi dengan meningkatkan frekuensi
nafas agar oksigenasi jaringan tetap terjaga. Penurunan tekanan darah teradi karena
output jantung menurun akibat kehilangan darah. Sedangkan untuk suhu tubuh pasien ini
masih dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan airway dalam keadaan bebas, artinya tidak terdapat sumbatan
di jalan nafas pasien. Dokter memberikan oksigen 10-12 lt/menit dengan masker (non
rebreathing mask), serta pemasangan collar brace. Walaupun tidak didapatkan sumbatan
pada airway, pemberian oksigen tetap harus dilakukan untuk membantu asupan oksigen
pada pasien agar oksigenasi organ-organ tubuh pasien tetap terjaga. Masker yang
diberikan adalah non rebreathing mask, sebab pasien masih dapat bernafas dengan
sepontan. Pada setiap trauma harus dicurigai adanya trauma spinal sehingga pemasangan
collar brace ini dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada cervical spine jika
terdapat trauma spinal.
Hasil pemeriksaan breathing didapatkan RR 32x/menit (Normal = 16-20 x/menit)
disebabkan oleh adanya perdarahan serta luka tusuk di bagian punggung kiri
menyebabkan pasien kesulitan bernafas sehingga untuk mengompensasinya terjadi
peningkatan frekuensi nafas.
Dari pemeriksaan thorax didapatkan jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra.
Ekskoriasi merupakan pengelupasan substansi dermis superfisial, bisa disebabkan karena
trauma. Pengembangan hemithorax sinistra juga tertinggal, disebabkan oleh trauma yang
mengenai hemothorax sinistra sehingga hemithorax sinistra tidak mampu menyamakan
gerakan pernafasan dengan hemithorax sinistra.
Pada perkusi hemothorax sinistra yang seharusnya sonor menjadi redup, bisa
disebabkan karena jaringan paru terisi oleh cairan, misalnya darah. Mulai costa 8-9
dibawahnya timpani karena terdapat gaster.
Pada auskultasi normalnya ditemukan suara vesikuler, namun pada pemeriksaan
bagian bawah hemothorax sinistra ditemukan suara vesikuler menurun. Kesan
hemothorax sinistra. Pada hemothorax masif, darah terkumpul dengan cepat lebih dari
1500 cc di rongga pleura. Hal ini dapat disebabkan oleh luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Kehilangan darah
menyebabkan hipoksia, yang pada akhirnya memaksa tubuh melakukan kompensasi
dengan peningkatan frekuensi nafas. Diagnosis hemothorax dapat ditegakkan dengan
adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi redup pada sisi dada yang
mengalami trauma.
Hasil pemeriksaan circulation: Pada pasien nadi 130x per menit, berarti pasien
takikardi, nadi normal orang dewasa adalah 60-100x per menit. Tekanan nadi kecil, atau
pulpus parvus atau denyutan terasa lemah atau bergelombang nadi
yang kecil, menandakan pada pasien mungkin terjadi pendarahan, tensi
80/40 mmHg termasuk tensi yang rendah, suhu: 36,5 derajat celcius, suhu pasien masih
normal, normalnya 36,5-37,2 derajat celcius. Akralnya dingin dan lembab, menandakan
perfusi darah pasien ke perifer mulai berkurang, hal ini merupakan usaha kompensasi
tubuh. Saat darah dalam tubuh berkurang karena perdarahan atau hal lain, tubuh
mengorbankan aliran darah perifer untuk dialihkan ke aliran darah organ vital untuk
mencegah kerusakan organ vital tersebut.
Pada abdomen terlihat distended, menandakan pada abdomen pasien mungkin ada
cairan atau darah; luka di bagian perut kanan atas sudah tidak mengeluarkan darah bisa
berarti luka tusuk di perut kanan atas tidak terlalu dalam sehingga cepat menutup dan
perdarahan berhenti; bising usus menurun bisa terjadi karena adanya cairan misalnya
darah sehingga menurunkan suara bising usus; pekak hepar (+) merupakan hal normal,
defans muskuler (-) menandakan tidak atau belum adanya peritonitis pada pasien, perut
teraba tegang, tes undulasi (+) dan pekak beralih (+) berarti ada cairan di abdomen
pasien. Kesan terdapat perdarahan internal (abdomen) hal ini makin diperkuat dengan
hasil pemeriksaan abdomen pada pasien. Bagian pelvis dan femur tak terdapat keluhan
maupun jejas, menandakan pada bagian-bagian tersebut tidak ada trauma.
Pemeriksaan rectal toucher: sarung tangan lendir darah (-), lain-lain normal, tidak
ada lendir darah berarti tidak ada perdarahan pada sistem gastrointestinal pasien. Dokter
segera melakukan pemasangan infus 2 jalur, hal ini dilakukan agar penggantian cairan
pada pasien dapat berlangsung dengan cepat; infus dengan jarum no 16 (jarum besar)
untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu pasien perlu ditransfusi; RL hangat digrojok
untuk mempercepat penghentian perdarahan, dan melakukan crossmatch untuk persiapan
jika pasien memerlukan tranfusi daah. Selanjutnya dokter memasang kateter untuk
monitoring, di mana urin yang pertama keluar harus dibuang karena tidak mencerminkan
kondisi perfusi jaringan pasien. Hasil 100 cc dan jernih. Hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui apakan cairan yang telah diberikan adekuat atau tidak, urin yang jernih
menunjukkan tidak ada tanda-tanda striktur uretra karena tidak ada darah dalam urin.
Tindakan dokter selanjutnya adalah konsul kepada dokter bedah mengenai
perdarahan abdomen dan melakukan pemasangan WSD, serta melanjutkan resusitasi
cairan. Hal ini dilakukan agar darah di abdomen segera dikeluarkan sehingga tidak
sampai menimbulkan peritonitis, resusitasi cairan dilakukan agar pasien mendapatkan
cairan pengganti yang cukup.
Kemudian dokter mempersiapkan kemungkinan operasi dan evaluasi kondisi
sirkulasi dengan menilai tensi, nadi, akral, capillary refill time, dan produksi WSD – urin
per jam. Hal tersebut dilakukan agar pasien siap jika sewaktu-waktu perlu dilakukan
operasi.
Pada survey primer disability di skenario didapatkan skor GCS yang maksimal
yaitu 15, yang menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan composmentis dan juga
didapatkan pupil isokor. Hal ini merupakan petunjuk atau tanda penting bahwa tidak
terjadi trauma kepala pada pasien.
Kemudian dilakukan exposure pada pasien dengan membuka semua pakaian
pasien untuk menilai apakah terdapat kelainan lain yang bersifat life threatening. Setelah
selesai dinilai, pasien diselimuti untuk mencegah hipotermi.
Setelah ABCDE terkontrol dengan baik, baru dilakukan adjunct primary survey
dengan melakukan pemeriksaan foto cervical lateral cross table untuk memastikan ada
tidaknya trauma servikal, thorak foto AP untuk mengevaluasi tension pneumothorax, dan
foto pelvis AP untuk mewaspadai adanya perdarahan dan trauma di daerah pelvis.
Setelah itu dokter melakukan survey sekunder yang meliputi pemeriksaan head to toe
secara sistematis. Pada Skenario didapatkan hasil foto cervical cross table dan thorax foto
AP dalam batas normal yang menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya trauma servikal
dan tension pneumothorax pada pasien. Pada pemeriksaan kepala, leher, thorax, abdomen
bagian atas, dan ekstremitas didapatkan hasil dalam batas normal yang menunjukkan
tidak terdapat kelainan pada regio-regio tersebut. Tetapi, pada hasil foto pelvis AP
terdapat adanya fraktur di os simphysis pubis, sacro iliac disruption dextra. Hal ini
kemungkinan terjadi akibat trauma karena pengeroyokan terutama akibat ditusuk benda
tajam di daerah punggung pasien. Namun untuk memastikan hal tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan secara lebih lanjut. Oleh karena itu dokter segera merujuk pasien tersebut ke
dokter bedah (orthopedi, digestif, dan urologi) dengan pertimbangan kondisi yang
terdapat pada pasien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penanganan yang dilakukan oleh dokter pada skenario sudah cepat dan tepat,
meliputi : Primary Survey, Adjunct Primary Survey, dan Secondary survey. Pada
skenario dapat diketahui bahwa pasien mengalami perdarahan kelas 3 dan mengalami
syok hipovolemik. Perdarahan tampak berhenti namun masih dicurigai adanya
perdarahan internal. Dari hasil diskusi, diketahui bahwa pasien mengalami cedera
thorax, abdomen dan pelvis berdasarkan tanda-tanda dan gejala yang dialami oleh
pasien. Tindakan dokter untuk melakukan konsol kepada dokter bedah (orthopaedi,
digestif, dan urologi) sudah tepat sesuai dengan trauma yg dialami pasien.
Secara keseluruhan diskusi tutorial telah berjalan dengan lancar. Semua
learning objektif yang ditetapkan berhasil dicapai oleh mahasiswa, diskusi juga
berjalan baik, semua mahasiswa berpartisipasi sehingga diskusi lebih hidup. Tutor
juga telah mengarahkan dan membimbing diskusi tutorial dengan baik serta datang
tepat waktu.
B. Saran
Hal-hal yang mungkin perlu diperbaiki dalam pelaksanaan diskusi tutorial ini
adalah kedisiplinan mahasiswa agar datang lebih tepat waktu lagi dan kondisi ruangan
tutorial yang terlalu dekat satu dengan yang lain sehingga kadang dapat mengganggu
ketenangan jalannya diskusi tutorial. Juga perlunya kehadiran tutor pengganti apabila
tutor yang bertugas berhalangan hadir sehingga jalannya diskusi dapat lebih terarah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Memahami tanada dan Gejala Syok anafilaktik.
http://www.blogdokter.net/2010/06/20/memahami-tanda-dan-gejala-syok-
anafilaktik/. Diakses tanggal 28 Maret 2011
Anonim. 2012. Syok Hipovolemik. http://nursingbegin.com/penatalaksanaan-syok-
hipovolemik/. diadopsi dari Paul Kolecki, MD, FACEP, Associate Professor,
Department of Emergency Medicine, Thomas Jefferson University Hospital,
Director of Undergraduate Emergency Medicine Student Education, Jefferson
Medical College, Philadelphia, PA, Consultant, Philadelphia Poison Control
Center, Philadelphia, PADiakses tanggal 17 januari 2012
Eliastham, Michael. Dkk. Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis (5 ed.).1998. Jakarta.
EGC
IOWA Project. 2009. NANDA Nursing Diagnosis. USA : Mosby
IOWA Project. 2009. Nursing Intervention Classification. USA : Mosby
IOWA Project. 2009. Nursing Outcomes Classification. USA : Mosby
Jevan, Philip, Beverley ewens, melame Humprays. 2008. Nursing Medical Emergency
patiens ( 3 Ed.) Blackwell: United Kingdom
Urden,L. D;Stesi, K.M. &Lough, M.E. (2006). Critical care Nursing: Diagnosis and
management (5 ed.. Misouri: Mosby
Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of
Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care
Medicine, 1997.
Sjamsuhidajat R dan De Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, hal : 119.