Sken 6 - Demam Reumatik Akut
-
Upload
nicomichael -
Category
Documents
-
view
41 -
download
1
description
Transcript of Sken 6 - Demam Reumatik Akut
Demam Reumatik Akut
Jessica
10-2010-181
Kelompok F1
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
2012
Tinjauan
Pustaka
Jessica
102010181
14 Mei 2012
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Demam reumatik merupakan penyakit inflamasi akut yang secara klasik terjadi pada
anak-anak (5-15 tahun) dalam 5 minggu sesudah terjadi infeksi steptococcus grup A( yang
biasanya berupa faringitis). Penyakit ini disebabkan oleh antibodi sterptococcus di dalam
tubuh hospes yang beraksi silang dengan antigen jantung. Demam reumatik menyerang
jaringan konektif jantung, tulang, jaringan subkutan dan pembuluh darah pada pusat sistem
persarafan.
Anamnesis
Anamnesis yang digunakan untuk kasus 7 adalah allo anamnesis. Allo anamnesis
adalah salah satu anamnesis untuk memperoleh data subjektif pasien, di mana informasi yang
dicatat mencakup identitas dan keluhan yang diperoleh dari hasil wawancara dari keluarga,
seperti orang tua dan dari tenaga kesehatan.
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yuang profesional dan optimal.
Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.
Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan
dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama biasanya diteluskan secara singkat
berserta lamanya, seperti menuliskan judul berita utama surat kabar. Misalnya badan panas
sejak 3 hari yang lalu.2
Anamnesis pada kardiologi anak merupakan bagian dari anamnesis pediatrik secara
menyeluruh. Anamnesis pediatrik umum yang teliti seharusnya telah mencakup anamnesis
kardiologi pediatric; kalaupun hendak dilakukan anamnesis khusus yang mengarah kepada
kelainan kardiovaskular, hal ini harus dilakukan setelah anamnesis pediatrik umum. Dari
orang tua penderita kita mengharapkan keterangan terperinci tentang keadaan bayi/anak
sebagai manifestasi kelainan kardiovaskular seperti akan diuraikan di bawah ini.
Sianosis
Merupakan manifestasi saturasi oksigen arteri yang berkurang dan terlihat sebagai warna
kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari. Orang tua yang belum berpengalaman
seringkali tidak dapat menilai sianosis yang ringan, bahkan yang sedang sekalipun. Perlu
ditanyakan dengan teliti kapankanh sianosis mulai timbul, yaitu apakah segera setelah lahir
atau beberapa minggu/bulan kemudian. Juga perlu ditanyakan apakah derajat birunya tetap,
berkurang atau bertambah. Seringkali sianosis timbul secara bertahap, yaitu mula-mula hanya
ringan dan hanya terlihat bila anak menangis lama kelamaan derajat birunya dapat bertambah
sehingga penderita tampak sudah biru walaupun dalam keadaan istirahat.1
Tentang bayi yang menjadi biru bila menangis ini penting dibedakan 2 hal. Bila bayi menjadi
biru setelah menangis biasa, mungkin ini disebabkan oleh kelainan jantung. Tetapi bila biru
hanya timbul bila menangis lama sambil menahan nafas seperti waktu ketakutan/marah, hal
ini disebut sebagai kejang nafas (breath-holding spells), yang bukan merupakan manifestasi
kelainan kardiovaskular. Bayi dan anak dengan kelainan jantung bawaan sianotik, khususnya
tetralogi Fallot, dapat mengalamiu serangan sianotik (cyanotic spells). Hal ini harus
ditanyakan kepada orang tuanya; bila ada kapan mulai timbul, frekuensinya, lamanya setiap
kali serangan dan faktor-faktor pencetus apa saja yang dapat menimbulkan serangan sianotik.
Nama lain untuk serangan sianotik ialah serangan anoksik, serangan hipoksik, takipnea
paroksimal. Penderita kelainan jantung bawaan sianotik (misalnya tetralogi Fallot) yang
sudah bisa berjalan, mungkin akan menunjukkan gejala “squatting” (jongkok) setelah
berjalan/bermain beberapa waktu lamanya. Ini juga ditanyakan dengan teliti, pada umur
berapa gejala tersebut mulai timbul, progresivitasnya dam berapa jjauh anak berjalan sebelum
jongkok.3
Menurunnya Toleransi Latihan
Bayi dan anak dengan kelainan jantung dapat mengalami penurunan toleransi latihan. Hal ini
disebabkan karena kelainan kardiovaskular yang bermakna mengakibatkan jantung tidak
dapat memenuhi kebutuhan sirkulasi dalam keadaan kebutuhan yang meningkat (cadangan
jantung berkurang). Pada anak besar toleransi latihan ini dapat dinilai secara kasar dengan
menanyakan kepada orang tua atau anaknya sendiri, apakah anak terlihat/merasa lekas letih,
nafas memburu setelah berjalan/berlari sampai jarak tertentu. Orang tua yang cukup
memperhatikan anaknya dapat menjelaskan apakah aktivitas anak tersebut sama dengan
anak-anak yang lain. Pada bayi toleransi latihan dapat dinilai dari ada atau tidaknya kesulitan
minum susu, baik ASI maupun pengganti ASI (feeding difficulty). Bayi normal setelah tidak
minum selama lebih kurang 6 jam akan menteek pada ibu terus menerus sampai kenyang,
rata-rata minimal selama 10-15 menit. Pada bayi yang minum pengganti ASI, setelah umur 1
bulan biasanya dapat menghabiskan 100 ml atau lebih sekaligus. Pada bayi dengan kelainan
jantung bawaan yang bermakna, kemampuan untuk minum terus-menerus ini berkurang. Bayi
atau tertidur baru kemudian minta minum lagi. Pada keadaan gagal jantung yang berat, bayi
sampai tidak mampu untuk minum sama sekali.1
Dalam menilai keteangan orang tua mengenai hal tersebut kita harus berhati-hati, sebab tidak
jarang bayi yang sama sekali sehat dengan toleransi latihan yang baik, dapat saja minum
sedikit-sedikit atau sebentar-sebentar istirahat. Biasanya hal ini terjadi karena bayi seringkali
diberi minum, sehungga ia tidak lapar.3
Hambatan Tumbuh Kembang
Kelainan jantung bawaan yang disertai peningkatan aliran darah ke paru yang hebat,
hipoksemia berat atau gagal jantung kongestif kronis dapat mengakibatkan hambatan
pertumbuhan dan perkembangan jasmani, motorik, dan mental penderita. Secara fisis, berat
badan lebih jelas terhambat daripada tinggi badan. Tidak jarang berat badan penderita di
bawah persentil 3 kurva baku (failure to thrive), sedangkan tinggi badan masih normal atau
sedikit di bawah normal.
Kepala biasanya tumbuh sesuai dengan usia kronologis, sehingga sekilas didapat kesan
adanya hidrosefalus atau makrosefalus. Pada setiap kali kunjungan hendaknya berat dan
tinggi badan diukur dan dipetakan pada kurve baku beraat dan tinggi badan. Penderita gagal
jantung yang dapat dikompensasi dengan obat biasanya akan menunjukkan kenaikkan berat
badan makin lama makin jauh dari normal, berarti kompensasi sepenuhnya tidak tercapai
sehingga diperlukan terapi medis yang lebih intensif atau merupakan indikasi untuk
melakukan tindakan bedah. Ada atau tidaknya hambatan perkembangan diketahui dengan
menanyakan perkembangan diketahui dengan menanyakan perkembangan fisis, motorik serta
mental dan kemudian membandingkannya dengan nilai-nilai normal untuk umur yang
sesuai.2
Infeksi Saluran Nafas Berulang
Penderita kelainan jantung bawaan yang disertai peningkatan aliran darah ke paru yang
bermakna seringkali menderita infeksi saluran nafas bagian atas maupun pneumonia
berulang. Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri maupun mikroorganisme lain. Hal ini
disebabkan antara lain oleh karena traktus respiratorius penderita menjadi “basah” sehingga
fungsi bronkial menjadi terganggu. Terdapatnya gagal jantung akan menambah kemungkinan
terjadinya infeksi saluran nafas ini, demikian pula keadaan umum penderita yang buruk (gizi
kurang, anoreksia) pada kelainan jantung sianotik memberi pengaruh yang sama. Pada bayi
dan anak normal sampai umur dua tahun, infeksi saluran nafas ringan sampai sedang
sebanyak 5-6 kali setahun mungkin masih normal.1,2
Riwayat Keluarga dan lain-lain
Meskipun tidak koklusif, tetapi data statistik menunjukkan bahwa beberapa kelainan jantung
bawaan serta penyakit jantung didapat (reuma) mempunyai kecendurungan familiar.
Hendaknya diteliti terdapatnya penyakit-penyakit dalam keluarga seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung, cacat bawaan, alergi, dan lain-lain.
Riwayat kehamilan ibu (minum obat-obat tertentu, adanya penyakit, perdarahan, trauma,
radiasi, terutama pada trimester I) perlu diteliti sebab mungkin dapat memberi petunjuk
penyebab kealinan jantung bawaan. Penyakit yang diderita ibu serta obat-obat yang diminum
ibu menjelang bayi lahir juga perlu ditanyakan, cara kelahiran, adanya asfiksia neonatal, berat
badan lahir rendah dan lain-lain perlu dicatat.
Untuk kelainan jantung didapat, khususnya demam reumatik/penyakit jantung reumatik perlu
ditelusuri hal-hal yang mengarah ke diagnosis. Adanya demam, kelainan sendi, eritema
marginatum, gerakan-gerakan korea, nodul subkutan perlu ditanyakan secara khusus. Sifat-
sifat khas kelainan tersebut akan diuraikan lebih terperinci dalam pembahasan mengenai
demam reumatik/penyakit jantung reumatik.3
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokus Grup A sangat membantu
diagnosis DR yaitu:
Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA
Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebut
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat
dideteksi:
Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negatif pada
fase akut itu. Bila positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab
kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi
streptokokus dengan strain yang lain
Tetapi antibodi streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi streptokokus
dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se. Terbentuknya antibodi-
antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif
bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak,
sedangkan titer pada DNA-se B 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd
untuk anak-anak. Dan antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai
minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman
SGA di tenggorokan. Untuk inilah pencegahan sekunder dilakukan tiap 3-4
minggu. Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endap darah yang
meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endap darah dan
protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif
saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antireumatik.
Anemia yang ringan yang sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom
karena infeksi kronis DR. Dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki. Tidak ada pola
yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising sistolik dapat dibantu dengan
kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST-T yang tidak
spesifik. 3
Evaluasi Laboratorium (RUDOLPH)
Nilai sedimentasi eritrosit dan protein C-reaktif hampir selalu meningkat pada pasien
demam rheumatik akut. Nilai tersebut dipengaruhi oleh terapi steroid atau salisilat
sebelumnya, anemia, dan derajat gagal jantung kongestif. Selain itu , penelitian ini dicurigai
memberikan hasil abnormal pada penyakit peradangan yang lain dan tidak bernilai untuk
menentukan diagnosis spesifik demam rheumatik akut. Walaupun terdapat pada pasien diatas
20%, interval P-R yang memanjang kurang spesifik. Leukopenia atau kelainan urinalisis
mungkin tidak terdapat pada rheumatik. Bila timbul gejala itu, maka dicurigai orang itu
menderita SLE.
Isolasi streptococci grup A dari pasien yang dicurigai mempunyai demam rheumatik
akut memberikan bukti untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien demam rheumatik hasil
isolasi kuman bisa saja negatif atau sedikit, ini disebabkan karena pemakaian antibiotik. Tes
titer antibodi terhadap streptokokus adalah pemeriksaan yang paling spesifik. Satu
peningkatan titer antibodi terhadap antigen streptokokus yang spesifik lebih signifikan
daripada satu peningkatan nilai saja. Namun titer akan menurun pada miggu kedua pada
pasien yang hanya memiliki satu gejala mayor. Tes serologis yang digunakan diseluruh dunia
adalah formasi antibodi terhadap streptolisin (ASO). Titer diprediksi meningkat bila kurang
lebih 333 U pada anak dan 250 U pada orang dewasa. Tes antibodi lain yang tersedia adalah
antideoksiribonuklease B (anti –Dnase). Tes antibodi lain yang tersedia adalah
antideoksiribonuklease B (anti-Dnase B), antihyaluronidase (AH), antistreptokinase (ASK),
dan antinikotinamid-adenin dinukleotidase (anti NADase). Diperkirakan terjadi peningkatan
titer dua kali lipat pada demam rheumatik akut, jika contoh serum diambil dalam 2 bulan
infeksi streptokokus. Antibodi langsung terhadap sarkoplasma sarkolema dari myofibril
jantung ditemukan pada pasien dengan karditis rheumatik, tetapi pemeriksaan ini tidak
tersedia secara luas dan dapat positif pada penyakit lain yang berhubungan dengan kerusakan
jantung. Pasien yang datang dengan demam, ruam, arthritis, atau karditis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan yang berkaitan dengan SLE dan arthritis
rheumatoid. Hal ini termasuk antibody antinuclear, titer anti-DNA, dan faktor rheumatoid.1-3
Diagnosis
Tabel 1 Kriteria Modifikasi Jones Untuk Diagnosis Demam Rheumatik Akut
Diagnosis banding
Telah disebutkan bahwa tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium
yang khas untuk demam rheumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala
yang sama atau hampir sama dengan demam rheumatik. Yang perlu diperhatikan adalah
infeksi piogen pada sendi, yang sering disertai demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat
kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi streptokokus sebelumnya (yang
sebenarnya tidak menyebabkan demam rheumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah
terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi tenggorokan serta pemeriksaan yang teliti
terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi ‘overdiagnosis’.
Reumatoid artritis serta lupus eritematosus sistemik juga dapat memberi gejala yang mirip
dengan demam rematik.
Tabel 2 Diagnosis Banding Demam Rhuematik,Artritis Reumatoid dan Lupus
Eritematosus Sistemik
Demam rheumatik Artritis reumatoid Lupus Eritematosus
sistemik
Umur 5-15 tahun 5 tahun 10 tahun
Rasio kelamin Sama Wanita 1,5 : 1 Wanita 5 :1
Kelainan sendi
- Sakit Hebat sedang Biasanya ringan
- Bengkak Non spesifik Non spesifik Non spesifik
- Kelainan Ro Tidak ada Sering (lanjut) Kadang-kadang
Kelainan kulit Eritema marginatum makular Lesi kupu-kupu
Karditis Ya Jarang Lanjut
Laboratorium
- Aglutinasi
lateks
- >10% Kadang-kadang
- Sel domba - >10% -
- Sediaan sel
LE
- >5% +
Respons terhadap
salisilat
Cepat Biasanya lambat Lambat/-
Reumatoid Artritis
Artritis Reumatoid (AR) salah satu dari beberapa penyakit rematik yang merupakan
penyakit autoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai
oleh peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik.
Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan
kerusakan total sendi. Akhirnya, kondisi ini dapat pula mengenai berbagai organ tubuh.
Penyakit ini timbul akibat dari banyak faktor mulai dari genetik (keturunan) sampai pada
gaya hidup kita (merokok). Salah satu teori nya adalah akibat dari sel darah putih yang
berpindah dari aliran darah ke membran yang berada disekitar sendi.4
Gejala dan tanda dari AR dapat dilihat sebagai berikut;
* Nyeri sendi
* Pembengkakan sendi
* Nyeri sendi bila disentuh atau di tekan
* Tangan kemerahan
* Lemas
* Kekakuan pada pagi hari yang bertahan sekitar 60 menit
* Demam
* Berat badan turun
Gambar 1. Sendi-sendi yang Terkena Artritis Rematoid (sumber:
www.medicastore.com)
Diagnosis banding lainnya adalah purpura Henoch Schoenlein, reaksi serum,
hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca-infeksi, artritis septik, leukimia, dan
endokarditis bakterialis subakut.4
Lupus Eritematosus Sistemik
Penyakit sistemik ini secara khas mengenai banyak sistem organ dan disertai dengan
berbagai fenomena imun. Riwaya ilmiahnya tidak dapat dipastikan sering progresif, berakhir
dengan kematian jika tidak diobati, tetapi dapat mereda secara spontan atau tetap bertahan
selama bertahun-tahun. SLE pada anak umumnya lebih akut dan lebih berat daripada SLE
pada orang dewasa.
Etiologi dan epidemiologi
Banyak pengamatan mendukung hipotesis bahwa SLE merupakan penyakit dari
pengaturan imun yang berubah, mungkin ditentukan secara genetik. Virus dan agen
lingkungan lainnya dapat juga berperan dalam patogenesis. Kadar imunoglobin serum naik.
Antibodi yang ditemukan bereaksi dengan unsur nukleus (ANA), asam ribonukleat,
gammaglobulin (faktor reumatoid), sel darah merah (uji Coomb positif), trombosit, sel darah
putih, antigen yang digunakan pada uji serologis untuk sifilis (positif palsu biologis), faktor
koagulasi, dan fosfolipid (anti fosfolipid, anti koagulan lupus, antikardiolipin). Ada juga
hubungan antara radang dan kompleks imun yang bersirkulasi, terutama kompleks imun yang
terdiri atas DNA dan antibodi yang reaktif terhadap DNA. Kompleks imun yang demikian
diendapkan di jaringan, mengikat komplemen, dan memulai respon peradangan yang
berakibat jejas jaringan seperti nefritis. Pada nefritis SLE, imunoglobulin dan komplemen
dapat dilihat pada jaringan ginjal melalui teknik imunofluorosens dan dengan pencucian
langsung DNA dan antibodi anti-DNA dari glomerulus yang terkena; SLE dengan nefritis
aktif disertai dengan penurunan kadar komplemen serum dan dengan antibodi yang reaktif
terhadap DNA yang ada di dalam sirkulasi.
Mulainya eksaserbasi penyakit nampaknya terkait dengan infeksi yang timbul diantaranya;
mungkin ada penambahan kerentanan terhadap infeksi, mungkin atas dasar mekanisme imun
yang cacat. Bukti, mencakup penelitian yang menunjukkan perubahan pada fungsi limfosit T
dan B pada penderita SLE, memberi kesan bahwa keadaan perubahan reaktivitas imunologik
adalah yang mendasari penyakit ini. Lupus kadang-kadang bersifat familial dan mengenai
kembar identik; hipergamaglobulinemia, penyakit jaringan ikat lainnya, ANA, defisiensi
komponen komplemen, defisiensi IgA selektif, dan kelainan imun lainnya mungkin terdapat
pada penderita dan tingkat pertama keluarga penderita.
Penyakit seperti lupus dapat terjadi sesudah pemajanan pada sejumlah obat, terutama
hidralazin, sulfonamid, prokainamid, dan antikonvulsan. Penyakit akibat obat biasanya ringan
dan reversible bila obat yang menyebabkannya dihentikan.
Manifestasi kulit dari SLE dan kadang-kadang manifestasi sistemik dapat diperburuk oleh
cahaya matahari.
Insidennya belum diketahui; penyakit ini tidak jarang. Pada 20% penderita, SLE dimulai pada
masa kanak-kanak, biasanya pada anak berumur di atas 8 tahun. Yang terkena adalah
terutama anak perempuan (8 : 1) pada semua kelompok umur; namun, pada penderita
prapubertas, rasionya 3 : 1. Semua ras dapat terkena, dengan prevalensi yang tampak lebih
tinggi pada beberapa kelompok ras berkulit gelap, termasuk kulit hitam ; Amerika Latin,
Asia, dan beberapa suku asli Amerika.
Patologi
Lesi dapat terjadi pada banyak tempat dan melibatkan banyak sistem organ. Massanya yang
khas amorf, dan bahan ekstraselluler yang berwarna ungu ditemukan dengan pewarnaan
hematoksilin. Benda-benda hematoksilin ini mungkin menggambarkan sel nukleus yang
mengalami degenerasi yang serupa dengan inklusi sel LE. Fibrinoid, bahan aseluler yang
sangat eosinofilik, ditemukan pada jaringan ikat longgar atau pada dinding pembuluh darah
jaringan yang terkena. Radang pembuluh darah (vaskulitis) sering dijumpai. Pada limpa,
fibrosis perivaskuler menghasilkan lesi “cincin bawang” yang khas mengelilingi pembuluh
darah yang terkena. Granuloma kadang-kadang terdapat pada jaringan yang terkena.
Pengendapan kompleks imun, imunoglobin, dan komplemen dapat dilihat pada jaringan,
termasuk ginjal, kulit dan pembuluh darah.
Manifestasi klinis
SLE dapat mulai secara tersembunyi atau secara akut. Kadang-kadang gejalanya telah timbul
bertahun-tahun mendahului diagnosis SLE. Gejala awal yang paling sering pada anak adalah
demam, malaise, artritis atau atralgia, dan ruam. Kadang-kadang pada kebanyakan anak yang
terkena terjadi demam; mungkin sebentar-sebentar atau terus-menerus. Malaise, anoreksia,
kehilangan berat badan, dan kelemahan sering dijumpai.
Kadang-kadang pada kebanyakan anak yang terkena timbul manifestasi kulit. Ruam “kupu-
kupu”, terdiri atas bantalan eritematosa yang bersisik atau kebiru-biruan, melibatkan daerah
pipi dan biasanya meluas di atas jembatan hidung. Ruam dapat fotosensitif dan dapat meluas
ke muka, kulit kepala, leher, dada, dan tungkai; ruam ini dapat menjadi bullosa dan
mengalami infeksi sekunder.
Lupus diskoid murni (hanya manifestasi kulit) tidak lazim pada anak. Erupsi kulit lainnya
adalah makula eritematosa atau lesi pungtata pada telapak tangan, telapak kaki, ujung jari,
ekstremitas atau batang tubuh; ruam vaskulitis; livedo retikularis ; dan perubahan bantalan
kuku. Lesi-lesi ulseratif yang makular dan seringkali tidak nyeri dapat terjadi pada palatum
dan membran mukosa mulut dan hidung. Purpura, kadang-kadang disertai dengan
trombositopenia, dapat tampak pada daerah yang menggantung atau pada daerah yang
terkena trauma. Kadang-kadang disertai eritema nodosum dan eritema multiform. Alopesia
yang diakibatkan peradangan di sekitar folikel rambit dapat berupa tambalan atau
menyeluruh, dan rambut dapat menjadi kasar, kering dan rapuh.
Artralgia dan kekakuan sendi biasa dijumpai dan sering terjadi tanpa perubahan objektif.
Kadang-kadang sendi yang terkena panas dan bengkak, rasa nyerinya mungkin lebih berat
daripada yang diharapkan untuk tanda-tanda klinis tersebut, tetapi perubahan bentuk karena
artritis jarang. Nekrosis aseptik dapat mengenai tulang pada sejumlah tempat, terutama pada
kaput femoris. Tenosinovitis dan miositis dapat juga terjadi, seperti halnya fenomena
Raynaud. Poliserositis (pleuritis, perikarditis, dan peritonitis) adalah khas dan menimbulkan
nyeri dada, prekordial, atau perut. Hepatosplenomegali dan limfadenopati generalisata sering
dijumpai. Keterlibatan jantung dapat dimanifestasikan dengan berbagai macam bising, bising
gesek, kardiomiografi, perubahan EKG, atau gagal jantung kongestif, dengan miokarditis,
perikarditis, atau endokarditis verukosa. Infilrat parenkim paru dapat terjadi tetapi infeksi
harus dikesampingkan, sebelum pnemumonia dianggap berasal dari SLE. Pnemunia akut,
pendarahan paru-paru, atau fibrosis paru yang kronis dapat terjadi. Keterlibatan sistem saraf
dapat menyebabkan perubahan kepribadian, kejang-kejang, kecelakaan serebrovaskuler,
khorea, dan neuritis perifer. Manifestasi gastrointestinal meliputi nyeri perut, muntah, diare,
melena, dan bahkan infark usus akibat vaskulitis. Perubahan okuler dapat meliputi
episkleritis, iritis, atau perubahan vaskuler retina dengan pendarahan atau eksudat. Kejadian-
kejadian trombotik yang mengenai arteri atau vena dapat terjadi, terutama pada penderita
dengan antibodi anti fosfolipid. Keterlibatan ginjal secara klinis sering dijumpai pada anak-
anak.
Pemeriksaan penunjang
ANA harus dapat diperagakan pada semua penderita SLE aktif, dan peragaannya memberi uji
skrining terbaik untuk penyakit tersebut; tetapi, ANA juga terjadi pada banyak keadaan lain.
Uji skrining ANA biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik antibodi fluorosens. Uji
untuk tipe ANA spesifik termasuk rontgen SSA, laboratorium SSB, Sm, dan DNA harus
dilakukan juga. Antibodi terhadap Sm relatif spesifik untuk SLE; antibodi terhadap Ro/SSA,
La/SSB dihubungkan dengan lupus neonatus. Antibodi terhadap DNA double helix
dihubungkan dengan penyakit aktif, terutama nefritis; dengan dmeikian antibodi DNA
berguna untuk menyatakan indeks keparahan dan aktivitas. Komplemen hemolitik serum dan
beberapa komponennya (C3 yang paling sering diukur) menurun pada penderita dengan SLE
aktif berat, terutama pada mereka yang dengan nefritis. Antibodi antikardiolipin dan antibodi
antikoagulan lupus dapat terdekteksi; antibodi-antibodi ini telah dihubungkan dengan
kejadian-kejadian trombosis dan berkorelasi dengan uji serologi positif-palsu untuk sifilis.
Kadar gammaglobulin serum sering naik; kadar 2-globulin dapat naik dan albumin menurun.
Kadar salah satu atau lebih imunoglobulin khusus dapat naik. Kenaikan prevalensi HLA-B8,
-DW3/DR3, dan –DW2/DR2 telah dilaporkan pada beberapa seri.
Anemia akibat penyakit radang kronis atau hemolisis imun sering dijumpai. Kesukaran dalam
penggolongan dan pencocokan silang darah dapat timbul dari adanya antibodi eritrosit, yang
terdeteksi dengan uji Coomb. Trombositopenia dan leukopenia sering terjadi. Antibodi
trombosit dapat diperagakan; kemungkinan trombositopenia purpura idiopatik (ITP)
merupakan manifestasi pertama SLE. Urin dapat berisi sel darah merah, sel darah putih,
protein, dan silinder. Insufisiensi ginjal dapat menyebabkan kadar urea nitrogen atau
kreatinin darah naik dan hasil pemeriksaan fungsi ginjal abnormal.
Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu,
penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan pertama
maupun serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangandemam reumatik, Streptokokus
grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda
dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di
saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di
kulit.5
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari data
sebagai berikut:
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat
peninggian kadar antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi
kuman beta-Streptococcushemolyticus grup A, atau keduanya
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan
insidens oleh beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula.
Diperkirakan hanyasekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita
demam reumatik akanmenderita komplikasi ini setelah menderita faringitis
Streptococcus yang tidak diobati
3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila
penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika.
Epidemiologi
Pada dasarnya epidemiologi demam reumatik akut adalah epidemiologi faringitis
streptokokus grup A. demam reumatik paling sering ditemukan pada kelompok umur yang
paling rentan terhadap infeksi streptokokus grup A yaitu anak usia antara 5-15 tahun. Namun
kerentanan ini juga dijumpai pada kelompok umur yang lebih tua. Kenaikan angka kasus juga
terjadi pada kelompok yang ekonomi maupun sosialnya kurang baik. Bertambahnya insiden
faringitis streptokokus grup A pada musim gugur, musim dingin dan awal musim semi
dikaitkan dengan kenaikan jumlah kasus demam reumatik akut selama periode yang sama
tahun tersebut.
Faktor risiko epidemiologi utama untuk perkembangan demam reumatik akut adalah
faringitis streptokokus grup A. Reservoir utamanya adalah saluran pernapasan atas manusia.
Frekuensi serangan demam reumatik akut pascainfeksi streptokokus grup A saluran
pernapasan atas mendekati 3% individu dengan infeksi yang tidak diobati atau tidak cukup
diobati.
Epidemiologi yang menarik adalah munculnya kembali demam reumatik akut yang terjadi di
Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1980. Di awal tahun 1980 insiden demam
reumatik akut kurang dari 1 dalam 100.000. Mulai pertengahan tahun 1980, ledakan serangan
demam reumatik akut terjadi di banyak daerah di seluruh Amerika Serikat. Terdapat kenaikan
pada jumlah kasus demam reumatik akut antara tahun 1985 dan tahun 1989 pada 25 negara
bagian.
Sebab-sebab munculnya demam reumatik akut di Amerika Serikat belum diketahui. Walupun
dihubungkan dengan populasi yang kurang menguntungkan secara sosial ekonomi, namun
kemunculannya kembali di tahun 1980 terkait dengan keluarga kelas menengah. Hasil isolasi
serotip dari penderita demam reumatik atau secara bersamaan dari kontak orang serumahnya
dan saudara-saudaranya ditemukan streptokokus grup A dengan serotip M tipe 1, 3, 5, 6, dan
18. Tipe ini secara historik dihubungkan dengan demam reumatik.3,5
Patogenesis
Terdapat dua teori dasar yang berupaya menjelaskan perkembangan sekuele faringitis
streptokokus grup A. Pertama, terdapat pengaruh toksin yang dihasilkan oleh toksin
ekstraseluler streptokokus grup A pada organ sasaran seperti miokardium, katup, sinovium,
dan otak. Kedua terdapat kelainan respons imun oleh hospes manusia.
1. Toksin ekstraseluler streptokokus grup A
Hipotesis yang memberi kesan bahwa demam reumatik mungkin akibat
pengaruh langsung toksin ekstraseluler streptokokus belum terbukti.
Streptolisin O yang merupakan produk ekstraseluler grup A walaupun bersifat
kardiotoksik pada binatang, streptolisin O ini tidak menimbulkan pengaruh
toksik langsung in vivo pada miokardium dan katup.
2. Respons imun abnormal hospes
Hipotesis ini merupakan hipotesis yang paling populer yaitu merumuskan
respons imun abnormal oleh hospes manusia terhadap beberapa komponen
streptokokus grup A yang masih belum ditentukan. Antibodi yang terbentuk
menyebabkan cedera imunologik yang menimbulkan manifestasi klinis.
Periode laten, 1-3 minggu antara mulainya infeksi yang sebenarnya sampai
mulainya gejala-gejala demam reumatik akut, memberi dukungan terhadap
mekanisme imunologis cedera jaringan. Walaupun antigen spesifik yang
mencetuskan respons imun masih belum diketahui.
Streptokokus grup A merupakan mikroorganisme kompleks yang menghasilkan
banyak antigen somatik dan ekstraseluler yang menyebabkan tubuh memberi respons imun
kuat. Adanya penelitian bahwa setiap manusia memberikan respons secara kuantitatif
terhadap antigen streptokokus cocok dengan pengamatan klinis dan epidemiologis bahwa
tidak semua orang tampak rentan terhadap demam reumatik yang sedang berkembang.
Polisakarida spesifik kelompok dinding sel streptokokus hemolitikus beta grup A
secara antigenik serupa dengan glikoprotein yang didapat pada katup jantung manusia dan
sapi. Ada persistensi antibodi yang lama yang melawan polisakarida grup A pada individu
dengan penyakit katup jantung reumatik kronis dibanding dengan individu yang sembuh dari
infeksi streptokokus tanpa terkomplikasi. Bila katup mitral reumatik diambil secara bedah
dan diganti dengan katup prostetik, kadar antibodi serum terhadap polisakarida grup A
menurun, seolah-olah rangsangan antigenik telah diambil.
Kemungkinan kelainan respons imun juga didasarkan pada reaktivitas silang antara
protein M streptokokus grup A dan jaringan manusia. Protein M adalah faktor virulen yang
menyebabkan organisme mampu menolak fagositosis. Protein M ini memiliki kesamaan
deretan asamamino tertentu dengan beberapa jaringan manusia. Hal ini telah diusulkan
sebagai kemungkinan sumber reaktivitas silang antara organisme dan hosepes manusianya
yang sedang menimbulkan kelainan respons imun.6,7
Manifestasi Klinis
Gejala
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada bagian tubuh yang meradang. Biasanya gejala timbul
beberapa minggu setelah nyeri tenggorokan akibat streptokokus menghilang. Gejala
utamanya adalah:
- nyeri persendian (artritis)
- nyeri dada atau palpitasi (jantung berdebar) karena karditis
- renjatan/kedutan diluar kesadaran (corea Sydenham)
- ruam kulit (eritema marginatum)
- benjolan kecil dibawah kulit (nodul).8
Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah nyeri persendian dan demam. 1 atau
beberapa persendian secara tiba-tiba menjadi nyeri dan bila disentuh terasa nyeri. Persendian
juga mungkin tampak merah, teraba hangat dan membengkak dan mungkin mengandung
cairan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi pergelangan kaki, lutut, sikut dan
pergelangan tangan; kadang artritis juga menyerang sendi bahu, pinggul dan persendian kecil
di tangan dan kaki.
Jika nyeri pada suatu persendian menghilang, maka akan timbul nyeri pada persendian yang
lain. Kadang nyeri sendi ini sifatnya sangat ringan. Demam timbul secara tiba-tiba dan
bersamaan dengan timbulnya nyeri persendian; demam bersifat turun-naik. Nyeri persendian
dan demam biasanya berlangsung selama 2 minggu dan jarang berlangsung lebih dari 1
bulan.
Peradangan jantung seringkali timbul bersamaan dengan nyeri persendian dan demam.
Pada awalnya, peradangan jantung tidak menimbulkan gejala. Peradangan pada kantung
jantung menimbulkan nyeri dada. Bisa terjadi gagal jantung, dengan gejala:
- sesak nafas
- mual
- muntah
- nyeri lambung
- batuk kering
Demam rheumatik atau Penyakit jantung rheumatik yang kita kenal sekarang
merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR.
Gejala-gejala tersebut, yaitu:3,5,8
Artritis
Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemuka pada DR akut. Sendi yang dikenal
berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelamngan
kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang
meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara
perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh
sempurna. Proses migrasi artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari
tangan dan kaki juga dapat terkena. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis
terapetik pada artritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-27 jam, maka
diagnosis akan diragukan.
Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insidens 40-50%, atau berlanjut
dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu asimtomatik
dan terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup mitral adalah yang terbanyak terkena dan
dapat bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendiri jarang terkena. Adanya regurgitasi
katup mitral ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang
juga disertai bising mid-diastolik. Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi
kelainan anatomi jantung sedangkan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung.
Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal
jantung. Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.
Chorea
Chorea ini didapatkan 10% dari penderita DR yang dapat merupakan manifestasi klinis
sendiri atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama
yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan
gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak ini suatu emosi yang
labil di mana anak ini suka menyendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada
wajah dan anggota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini
menghilang saat tidur.
Eritema marginatum
Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung berminggu-
minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.
Poliartritis migran
Terjadi pada sendi besar dan memiliki presentase 90% dari orang dewasa dan lebih jarang
ditemukan pada anak-anak.
Nodul subkutan
Besarnya kira-kira 0,5-2 cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam pada DR tidak
khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR ini
Faktor Predisposisi
Faktor Individu
1. Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu
keluargamaupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik
merupakan alasan penting mengapa hanya sebagian pasien yang terkena
infeksi Streptococcus menderitademam reumatik, sedangkan cara
penurunannya belum dapat dipastikan
2. Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan wanita
Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada
salah satu jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan
pada wanita daripadalaki-laki. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit
jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang
dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebihsering ditemukan pada wanita,
sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki
3.Golongan Etnik dan Ras
Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor
lingkungan yang berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan
atau bahkan merupakan sebabyang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan
jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Dinegara-negara barat umumnya stenosis
mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung reumatik akut.
Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitralorganik yang berat
seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3
tahun setelah serangan pertama
4. Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum umur 3tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini
dikatakan sesuai dengan insidens infeksiStreptococcus pada anak usia sekolah
5. Keadaan Gizi
Adanya penyakit lainBelum dapat ditentukan apakah merupakan faktor
predisposisi. Hanya sudah diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang
yang menderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik.8
Perawatan dan pengobatan
Demam rheumatik disebabkan oleh streptokokus, oleh karena itu
pemberantasan dan pencegahannya harus dimulai dengan mengatasi streptokokus.
Eradikasi kuman streptokokus
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi streptokokus harus segera dilaksanakan
segera setelah diagnosis ditegakkan. Dianjurkan menggunakan penisilin dosis biasa
selama 10 hari, pada pasien yang peka dapat diganti dengan eritromisin. Pengobatan
terhadap streptokokus ini harus tetap diberikan meskipun biakan usap tenggorok
negatif, karena kuman masih bisa ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring
dan tonsil. Penisilin tidak berpengaruh terhadap demam , gejala sendi dan laju endap
darah, t etapi angka kejadian penyakit jantung rheumatik menjadi lebih rendah dalam
1 tahun follow up.
Tabel 3: Pengobatan Infeksi Streptococcus Betahemolyticus Grup A
Jenis obat Cara pemberian Dosis Frekuensi / lama
pemberian
Penisilin benzatin IM 600.000 – 1,2 juta
satuan
Satu kali
Penisilin prokain IM 600.000 satuan 1-2 kali sehari selam
10 hari
Penisilin V Oral 250.000 satuan 3 kali sehari selama
10 hari
Eritromisin Oral 125-250 mg 4 kali sehari selama
10 hari
Obat antiinflamasi
Yang dipakai secara luas adalah salisilat dan steroid. Keduanya efektif untuk mengurangi
gejala demam, kelainan sendi, serta fase reaksi akut. Kedua obat ini tidak mengubah lamanya
serangan demam rheumatik maupun akibat selanjutnya. Steroid tidak lebih unggul daripada
salisilat terhadap gejala sisa kelainan jantung. Sampai saat ini tidak ada bukti bahwa steroid
dapat mencegah terjadinya kelainan jantung. Sampai saat ini kelainan jantung, meskipun
diberikan secara dini pada awal perjalanan penyakit. Hanya dapat dilihat dengan nyata bahwa
steroid lebih cepat memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju
endap darah cepat menurun.9
Tirah baring
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit.Pasien
harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatandini bila
terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal
serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.Sesudah itu
lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Hal pentingcadalah bahwa tata laksana harus
disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama harus
dihindari
1. Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur.
Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis
berat dengangagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara
bertahap
2. Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis
sertackeperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita
karditis tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup
tanpa kardiomegali,setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita
dengan demam kardiomegalimenetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak
diperkenankan melakukan olahraga yang bersifat kompetisi fisis
Tabel 2 Obat Anti Radang yang Dianjurkan Untuk Demam Reumatik
Prognosis
Kira-kira 75% pasien dengan demam reumaik akut sembuh setelah 6 minggu, dan kurng dari
5% tetap memiliki gejala korea atau kardits yang tidak diketahui lebih dari 8 minggu, setelah
dihentikan pemakaian steroid atau salisilat. Lebih dari 70% pasien dengan karditis selama
masa inisial demam reumatik akut sembuh tanpa penyakit jantung sisa. Tanda kerusakan
jantung permanen lebih besar pada pasien yang mengalami karditis berat selama demam
reumatik akut. Kira-kira 70% pasien dengan gagal jantung kongesti dan perikarditis lama
demam reumatik akut mengalami jantung permanen, versus 20% pasien dengan karditis
ringan saja lama penyakit akut. Pada pasien secara individu perjalanan penyakit selama
episode rekuren demam reumatik cenderung sama dengan episode parsial. Pasien dengan
demam rematik rekuren memiliki insiden kerusakan jantung permanen setelah karditis yang
lebih besar dibandingan dengan pasien yang memiliki 1 episode. Pasien dengan korea tanpa
ejala klinis karditis mungkin muncul dengan stenosis mitral setelah beberapa tahun.10
Komplikasi
Komplikasi utama demam reumatik akut adalah perkembangan penyakit katup jantung
reumatik. Tidak ada manifestasi lain yang mengakibatkan penyakit kronis. Katup mitral
paling sering terlibat, tetapi katup aorta dan trikuspidal juga dapat terkena. Biasanya katup
trikuspidal menjadi terlibat hanya pada penderita yang menderita penyakit katup mitral dan
aorta yang berarti menyebabkan hipertensi pulmonal.10
Kesimpulan
Demam reumatik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut,
kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemoliticus group
A pada saluran pernafasan bagian atas.
Demam reumatik merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan dalam
masyarakat di Indonesia. Diagnosis dini, pengobatan secara tepat, dan pencegahan sekunder
merupakan aspek yangs angat penting dalam dalam penanganan demam rematik.
Pengobatan demam reumatik memiliki 3 tujuan, yaitu: menyembuhkan infeksi streptococcus
dan mencegah kekambuhan; mengurangi peradangan, terutama pada persendian dan jantung;
membatasi aktivitas fisik yang dapat memperburuk organ yang meradang. Penatalaksanaan
demam reumatik meliputi: tirah baring di rumah sakit, eradikasi kuman streptococcus,
pemberian obat-obat antiradang, pengobatan korea, penanganan komplikasi seperti gagal
jantung endokarditis bakteri, atau trombo emboli, dan pemeberian diet bergizi tinggi
mengandung cukup vitamin.
Daftar Pustaka
1. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M,
Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat PenerbitanDepartemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2009.h. 29-4.
2. Wahab S. Kardiologi anak: penyakit jantung kongenital yang tidak sianotik. Jakarta:
EGC; 2009. h.1-6.
3. Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta; 2005.
4. Suarjana IN. Artritis reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata
M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta:Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 2495-2507.
5. Hassan R, Alatas H, editors. Buku kuliah 2 Ilmu kesehatan anak. Jakarta: EGC; 2007.
h.661-83.
6. Wahab S, editors. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 2012.h.816-
27, b31-5, 933-4.
7. Purba DL, editors. Dasar-dasar pediatri. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2008.h.149.
8. Rudolph MA, editors. Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC;
2007.h.1668-71.
9. Rachman LY, Dany F, Rendy L, editors. Robbins & Cotrans dasar patologis penyakit.
Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010.h. 611-4.
10. Leman S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2009.h. 1662-70.