Sistem Syaraf Otonom

9
PEMBAHASAN Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf otonom pada mencit. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah. Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf otonom. Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang akandigunakandalampercobaan.Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis yang

description

pembahan laporan farmakologi siste saraf otonom

Transcript of Sistem Syaraf Otonom

Page 1: Sistem Syaraf Otonom

PEMBAHASAN

Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat

kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf

otonom pada mencit. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak

sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis tanpa

diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem

saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ

dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan

dan otot polos pembuluh darah.

Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai

obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal

suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor

parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian

obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf otonom.

Percobaan  ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang

akandigunakandalampercobaan.Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu menc

it. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan dengan

meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka

yang menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui

perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki

berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat

badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah dosis.

Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal ini bertujuan

agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat pemberian perlakuan maupun saat

dilakukan pengamatan terhadap percobaan.

Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, yang nantinya akan diberikan perlakuan yang

berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan dengan dosis yang sesuai, secara

intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan yang diberikan dalam bentuk larutan.

Pemberian dilakukan dengan cara memegang atau menjepit tengkuk diantara jari telunjuk dan

jari tengah, dengan membuat posisi abdomen yang lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik

dengan membentuk sudut 10⁰. Penyuntikan harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk

menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai

hati.Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat mencit tertidur atau  menurunkan

aktivitasnya. Selain itu, pembiusan mencit dilakukan karena dalam keadaan tertidur biasanya

Page 2: Sistem Syaraf Otonom

akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan digunakan sebagai parameter dalam pengujian

obat-obat sistem saraf otonom.

Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan

sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem

pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau

oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang

aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik, maka

aktivitas kelenjar saliva akan menurun.

Setelah masing-masing kelompok diberi uretan, mencit pada kelompok 1 diberikan

atropin secara peroral. Atropin yang diberikan dalam bentuk larutan. Perlakuan pada mencit

dilakukan dengan menggunakan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau yang biasa disebut

dengan sonde. Alat ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan

melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esotagus.

Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit pada kelompok 2 juga dilakukan

pemberian atropin namun diberikan secara subkutan dengan menggunakan jarum

suntik.Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di bawah kulit tengkuk. Sedangkan mencit

pada kelompok 3 tidak diberikan atropin karena digunakan sebagai kelompok kontrol.

Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji

dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada

sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau

simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade

asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin.

Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini

dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering

(serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat

menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik

postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung,

mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah

atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka

terhadap atropin.

Selain atropin juga digunakan uretan.Uretan adalah senyawa etil ester dari asam

karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti choralose.

Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering

dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki

Page 3: Sistem Syaraf Otonom

efek yang kecil pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai

anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan

eksperimen (percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus dalam tahap

vegetatif (vegetative stage).

Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit diberikan pilokarpin

menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin

yang diberikan kepada mencit bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva.

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh

asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata

sangat lemah. Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik

yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan

kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah

sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan

Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung

neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau

menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya

hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak

karena  pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar

saliva.

Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-masing mencit

diletakan pada sebuah papan berukuran 40 x 30 cm yang telah dilapisi oleh kertas saring yang

telah ditaburi metilen blue pada bagian bawah, sehingga air liur yang dikeluarkan mencit

akan merubah warna kertas saring menjadi berwarna biru. Penambahan metilen biru ini

bertujuan agar mempermudah pengukuran diameter saliva yang dikeluarkan oleh mencit

karena adanya perubahan warna yang terjadi.  Masing-masing mencit ditempatkan pada satu

kotak dan setiap 5 menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya dan hal tersebut

terus diulangi selama 25 menit hingga mencapai kotak yang berada paling atas. Kemudian

diameter salivasi yang terjadi diukur dengan menggunakan penggaris dan dicatat untuk

dilakukan pengolahan data selanjutnya.

Pada mencit ke 1, diberikan uretan secara intraperitoneal dan atropine pada menit ke 0

secara peroral dan pilokarpin pada menit ke 45 secara subkutan. Setelah diamati selama 25

menit, kertas saring tidak berubah warna menjadi biru yang menunjukan bahwa hewan

percobaan tidak mengeluarkan saliva. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, seharusnya mencit

Page 4: Sistem Syaraf Otonom

kelompok ini lebih banyak mengeluarkan  saliva dibandingkan mencit kelompok 2. Hal itu

disebabkan oleh pengaruh pemberian atropin secara peroral membutuhkan waktu yang cukup

lama karena obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme. Sementara itu dengan

pemberian pilokarpin secara subkutan akan cepat menimbulkan efek karena subkutan

langsung masuk ke pembuluh darah sehingga cepat mempengaruhi sistem syaraf otonom

(sebagai zat kolinergik)  yaitu terjadi peningkatan sekresi air liur pada mencit.

Pada mencit ke 2, diberikan uretan ip pada menit ke 0 dan atropin secara subkutan

pada menit ke 15 setelah itu diberikan pilokarpin secara subkutan pada menit ke 45.

Efek  yang ditimbulkan pada 10 menit pertama setelah pemberian pilocarpin mencit yang ke

II ini tidak mengeluarkan saliva sama. Namun , pada menit ke 15, mencit mengeluarkan

saliva dengan diameter sebesar 0,9 cm. Pada menit ke 20, diameter saliva sebesar 1 cm dan

pada menit ke 25, diameter saliva sebesar 1,7 cm. Hal ini juga tidak sesuai dengan literature.

Kelompok mencit ini adalah kelompok yang paling banyak mengeluarkan saliva. Seharusnya

dengan pemberian atropin secara subkutan membuat efek atropin sebagai obat antikolinergik

lebih cepat karena langsung masuk ke pembuluh darah, tidak seperti proses pemberian

atropin secara peroral pada mencit I. Karena efek dari atropin yang lebih kuat, seharusnya

membuat sekresi air liur lebih sedikit meskipun telah ditambahkan pilokarpin yang

merangsang sekresi saliva.

Pada mencit ke 3, diberikan uretan ip. dan pilokarpin pada menit ke 45 secara

subkutan. Pada menit ke 20, kertas saring tetap berwarna putih yang menunjukan bahwa

mencit tidak mengeluarkan saliva sama sekali. Hal ini tidak sesuai dengan literature.

Pemberian pilokarpin secara subkutan membuat absorpsinya lebih cepat karena banyak

terdapat pembuluh darah di otot dan pada kelompok ini tidak diberikan obat penginhibisi

sekresi saliva. Oleh karena itu, seharusnya kelompok mencit ini yang paling banyak

mengeluarkan saliva.

Dari hasil percobaan dibuat suatu data seperti yang tertera di atas dan terjadi

ketidakseragaman data pada tiap kelompok percobaan disebabkan oleh perbedan

keterampilan praktikan dalam hal teknis pelaksanaan. Hal ini menyebabkan data tersebut

memiliki presisi /ketelitian yang kurang baik sehingga menunjukkan terjadinya kesalahan

acak yang disebabkan oleh praktikan.

Secara teknis penyerapan zat aktif melalui cara subkutan seharusnya lebih cepat dan

baik karena tidak harus melalui sistem metabolisme tubuh seperti halnya pada cara pemberian

peroral. Konsentrasi obat menjadi tidak tepat jika mengalami metabolisme terlebih dahulu

karena sebagian ada yang disimpan didepo jaringan, sebagian lagi diekskresikan. Dengan

Page 5: Sistem Syaraf Otonom

demikian pemberian obat secara subkutan seharusnya memiliki efek yang lebih baik daripada

peroral. Pada pemberian rute peroral obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme

yang membutuhkan waktu. Sedangkan pemberian subkutan tidak membutuhkan waktu yang

sama dengan peroral, dan apabila waktu pemberian obat dibedakan seperti dalam percobaan

diatas, maka hasilnya pun tak akan jauh berbeda. Selain itu, banyak faktor yang

menyebabkan terjadinya hal tersebut diantaranya kesalahan praktikan dalam penyutikan atau

kondisi hewan percobaan yang kurang baik.

Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan distribusi zat aktif

sehingga tidak memberikan efek farmakologis yang diinginkan. Kesalahan memasukan obat

secara oral pun dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil percobaan dengan literatur.

Demikian pula dalam pemilihan hewan percobaan. Mencit yang digunakan sebagai hewan

percobaan dalam penelitian ini haruslah dipilih dengan seksama. Pemilihan ini didasarkan

pada penampilan fisik , keaktifan pergerakan dan berat badan. Faktor ini mungkin perlu

diperhatikan selain daripada menitikberatkan pada praktikan.

Persen inhibisi peroral (P.O) yang didapat dari percobaan adalah 83,

49% lebih besardari persen inhibisi subkutan (S.C) yaitu 41,51 %. Perbedaan persen inhibisi

peroral dengan subkutan berbeda mungkin dikarenakan oleh salahnya penyuntikan,

penyondean oral ataupun yang telah disebutkan diatas, yaitu perbedaan waktu pemberiaan.

Setelah dilakukan perhitungan % inhibisi maka perhitungan diplotkan dalam grafik

batang dan garis. Dari grafik pertama (grafik batang) dapat disimpulkan bahwa penggunaan

atropin secara per oral lebih efektif dibandingkan dengan pemberian atropin secara sub

kutan.  Dari grafik kedua (grafik garis) dapat disimpulkan bahwa penggunaan atropin secara

per oral dapat membuat efek yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan atropin secara

sub kutan. Kelompok kontrol tentu memiliki efek yang paling rendah, karena pada pengujian

kelompok kontrol hewan percobaan tidak diberikan obat.