Sistem Saraf Pusat

29
Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi AKTIVITAS OBAT TERHADAP SISTEM SARAF PUSAT Nama NIM Elliyusnora Harahap 141524041 Desi Anggiat Butar Butar 141524048 Aidiya Tri Yolanda 141524055 Winda Aldriani Lubis 141524063 Rizky Pratama 141524064 Desi Monalisa Purba 141524066 Program : S1 Ekstensi Farmasi Kelompok/Hari : I (satu)/ Kamis Asisten : Maulida Ifrah Lubis Tanggal Percobaan : 05 Maret 2015

description

Farmakologi dan Toksikologi

Transcript of Sistem Saraf Pusat

Page 1: Sistem Saraf Pusat

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi

AKTIVITAS OBAT TERHADAP SISTEM SARAF PUSAT

Nama NIMElliyusnora Harahap 141524041Desi Anggiat Butar Butar 141524048Aidiya Tri Yolanda 141524055Winda Aldriani Lubis 141524063Rizky Pratama 141524064Desi Monalisa Purba 141524066

Program : S1 Ekstensi FarmasiKelompok/Hari : I (satu)/ KamisAsisten : Maulida Ifrah LubisTanggal Percobaan : 05 Maret 2015

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN

2015

Page 2: Sistem Saraf Pusat

Lembar Pengesahan Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi

“Aktivitas Obat Terhadap Sistem Saraf Pusat”

Medan, 12 Maret 2015

Asisten Praktikan

( Maulida Ifrah Lubis) ( Aidiya Tri Yolanda)

Perbaikan :

Koreksi I

Tanggal :

Koreksi II

Tanggal :

Koreksi III

Tanggal :

Acc

Tanggal :

Nilai

Page 3: Sistem Saraf Pusat

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf pusat sangat peka terhadap efek obat-obatan, akibatnya sebagian

besar obat jika diberikan dalam dosis besar, dapat menimbulkan efek terhadap

sistem saraf pusat. Kemampuan obat untuk menembus sawar darah otak hanya

ditentukan oleh dan sebanding dengan kelarutan bentuk nonion dalam lemak.

Obat yang seluruhnya dalam bentuk ion dalam keadaan normal tidak dapat masuk

ke otak dari darah (Darmono, 2011).

Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) termasuk obat yang pertama

kali ditemukan manusia dan hingga kini masih banyak digunakan. Selain

digunakan dalam terapi, obat-obat yang bekerja pada SSP biasa digunakan tanpa

resep untuk meningkatkan rasa nyaman seseorang (Katzung, 2002).

Susunan saraf pusat dalam keadaan normal diketahui sangat stabil.

Kestabilan ini dapat dengan terpisahnya sistem saraf pusat dari darah oleh sawar

darah otak. Berkembangnya pengetahuan mengenai sawar darah otak sangat

membantu dalam pemahaman berbagai kelainan neurologi (Darmono, 2011).

Mekanisme kerja berbagai obat yang bekerja pada SSP tidak selalu dapat

dipahami secara jelas. Karena kurang dipahaminya penyebab kondisi dimana obat

ini digunakan (skizopenia, kegelisahan, dan sebagainya), maka tidak

mengherankan bila di masa lampau banyak farmakologi obat-obat SSP secara

murni bersifat deskriptif (Katzung, 2002).

Obat-obat yang bekerja terhadap sistem saraf pusat ada yang menstimulasi

dan ada pula yang mendepresi seluruh atau sebagian besar sistem saraf pusat.

Obat-obat demikian masing-masing dikelompokkan dalam stimulansi SSP dan

deprensasi SSP. Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan

obat yang tidak termasuk obat golongan depresansia SSP. Golongan obat tersebut

umumnya telah menghasilkan efek terapi yang lebih spesifik pada kadar yang jauh

lebih kecil daripada kadar yang dibutuhkan untuk mendepresi sitem saraf pusat

secara umum (Darmono, 2011).

Page 4: Sistem Saraf Pusat

1.2 Tujuan Percobaan

Untuk melihat pemberian diazepam terhadap efek yang ditimbulkan

Untuk melihat pengaruh pemberian isoniazid terhadap efek yang

ditimbulkan

Page 5: Sistem Saraf Pusat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf Pusat

Unit dasar sistem saraf adalah neuron, atau sel saraf; sifatnya yang

terpenting adalah kemampuannya untuk dapat dieksitasi. Unit saraf ( sel saraf)

terlingkup dalam susunan jaringan sel yang dikelilingi oleh cairan bergizi yang

berasal dari darah. Menurut anatomi, setiap neuron merupakan kesatuan sel

tersendiri. Tiap neuron terdiri atas inti dan tubul sel dan dari sini keluar jaringan

cabang yang luas, yaitu akson (pertumbuhan panjag) dan denrit (pertumbuhan

pendek). Neuron, termasuk akson dan dendrit, terlingkup dalam membran

permukaan. Membran tersebut terdiri atas lapisan lipoprotein yang semipermiabel

(Rasyid, 1995).

Otak adalah organ yang sangat sensitif, organ tersebut mengontrol sensasi

emosi, memori dan proses fisiologi tubuh termasuk bernapas dan sirkulasi. Otak

adalah pusat sistem saraf pada vertebrata dan banyak intervebtara lainnya. Otak

mengatur dan mengordinasi sebagian besar, gerakan, perilaku dan fungsi tubuh

heneostasis seperi detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan

suhu tubuh. Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi,

ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya. Otak

terbentuk dari dua jenis sel: glia dan neuron. Glia berfungsi untuk menunjang dan

melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa

listrik yang dikenal sebagai potensi aksi (Darmono, 2011).

Sel saraf terdiri dari membran sel yang mengadung saluran ion dan endotel

kapiler otak yang tidak mempunyai celah antarsel maupun vesikel pinositotik,

tetapi mempunyai banyak taut sekat. Disamping itu terdapat sel glia yang

mengelilingi kapiler otak. Dengan demikiaan otak tidak hanya harus melintasi

endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk mencapai cairan

interstisial jaringan otak (Darmono, 2011).

Gangguan neurotransmisi yang dapat diobati dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu yang disebabkan oleh terlalu banyaknya neurontrasmisi dan oleh

Page 6: Sistem Saraf Pusat

terlalu sedikitnya neurontransmisi. Neurotransmisi yang “ terlalu banyak “ dapat

disebabkan oleh:

Sekelompok neuron yang terlslu mudah dirangsang (hiperexcitable) yang

bekerja tanpa adanya stimulus tang sesuai ( misalnya gangguan kejang).

Terapi diarahkan pada pengurangan otomatis sel-sel ini.

Terlalu bnayak molekul neur0ntransmiter yang berikatan dengan reseptor

paska sinaptik (keterangan yang mungkin untuk sikosis). Terapi meliputi

pemberian antagonis yang memblok reseptor-resptor paska sinaptik.

Neurontransmiasi yang " terlalu sedikit “ dapat disebabkan oleh :

Terlalu sedikit molekul neurontransmiter yang berikatan dengan

reseptor pasca sinaptik ( misalnya depresi, penyakit parkinson).

Beberapa strategi pengobatan yang meningkatkan neurotransmisi,

meliputi 1) obat-obatan yang menyebabkan pelepasan penyimpanan

neurotransmter darai terminal parasinaptik, 2) prekursor

neurotransmiter yang diambil kedalam neuron prasinpatik dan di

metabolisme menjadi molekul neurotransmiter aktif, 3) obat-obatan

yang menghambat enzim-enzim yang menghancurkan neuritransmiter

dan 4) agonis yang bekerja pada reseptor pacasinaptik (Olson, 2003).

Karena banyak jaras dalam otak menggunakan neurotransmiter yang sama,

perubahan transmisi dalam jaras yang sakit secara bersamaan mempengaruhi

neuron-neuron yang normal. Karena itu, obat-obatan SSP berbahaya karena

menyebabkan berbagai efek samping. (Olson,2003).

Bab ini menyajikan obat-obatan SSP menurut penyakit yang diobati oleh

pengatur neurotransmisi. Anestesi umum juga dimasukkan ke dalam bab obat-

obatan SSP ini, tetapi mekanisme kerjanya tampaknya di perantarai oleh reseptor-

reseptor neurotransmiter (Olson, 2003).

2.2 Neutransmiter Otak

1. Norepinefrin

Sebuah hipotesi menunjukkan bahwa defresi disebabkan oleh kerusakan

neurotransmisi monoamin (mis. Norepinefrin, dopamin, serotonin). Obat – obatan

yang menginduksi pelepasan monoamin diindikasikan untuk gangguan defisit

Page 7: Sistem Saraf Pusat

perhatian dan narkolepsi. Gangguan biokomia yang berperan pada kedua penyakit

ini tidak diketahui (Olson, 2003).

2. Dopamin

Dopamin disintesis dari Dopa, kongener asam amino tirosin yang

dihidroksilasi. Zat ini didegradasi oleh monoamin oksidase A di dalam otak dan

monoamin oksidase B di luar SSP dan oleh katekol-O-metil transferase (COMT)

(Olson, 2003).

Reseptor dopamin digolongkan sebagai reseptor D1 dan D2. Kedua

subtipe ini terletak pada sejumlah regio di otak. Tidak ada agonis D1 spesifik

yang dikenal. Apomorfin adalah agonis D2. Aktivitas tiap subtipe menghambat

kecepatan peletupan neuron (Olson, 2003).

Obat – obatan antipsikotik menghambat adenilat siklase yang dirangsang

oleh dopamin (biasanya berkaitan dengan aktivasi reseptor D1) dan memblok

reseptor dopamin D2 sehingga menunjukkan bahwa psikosis dapat diakibatkan

dari stimulasi berlebihan reseptor-reseptor dopamin. Penyakit lain, parkinson,

disebabkan oleh terlalu sedikitnya input dopaminergik dari substansi nigra ke

dalam striatum. Hilangnya neuron dopamin nigrostriatal mengakibatkan

penurunan relatif input dopamin (penghambat) dibandingkan dengan input

asetilkolin (Olson, 2003).

3. Asetilkoloin

Asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik di seluruh

otak. Obat-obatan yang menyerupai atau mengubah neurontrasmisi asetilkolin

(Olson, 2003).

Antagonis kolinergik digunakan dalam pengobatan penyakit parkinson

untuk memperbaiki ketidakseimbangan neurontrasmisi asetilkolin dan dopamin

yang dibuat oleh degradasi saraf dopaminergik. Obat-obatan kolinergik atau anti-

kolinergik sebaiknya tiak digunakan untuk mengobati kelainan SSP (Olson,

2003).

4. GABA (Asam Gamma-Amino Butirat)

GABA adalah neurotransmiter asam amino penghambat pada interneuron

otak dan neuron otakk lainnya. Enzimnya yaitu dekarboksilase asam glutamat

mengkatalisa sintesis GABA dari glutamat. GABA disimpan di dalam vesikel

Page 8: Sistem Saraf Pusat

prasinaptik dan berikatan dengan reseptor GABA-A atau GABA-B pada waktu

dilepaskan (Olson, 2003).

Isoniazid (INH)

Isoniazid, diperkenalkan pada tahun 1952, merupakan obat yang paling

aktif untuk mengobati tube (rkulosis yang disebabkan oleh strain-strain yang

rentan. Isoniazid merupakan hidrazida dari isonicotinic acid, yang merupakan

suatu molekul kecil,, sederhana ( MW 137) yang mudah larut dalam air.

Stukturnya mirip dengan pyridoxine (Katzung, 2004).

Secara In vitro, isoniazid menghambat sebagian besar basil tuberkel pada

kosentasi 0,2 mp/mL ataau kurang dan merupakan bakterisid untuk basl tuberkel

yang berkembang secara aktif. Isoniazid kurang efektif untuk melawan jenis-jenis

mikobakteri atipikal. Isoniazid mamapu menembus ke dalam sel-sel fagosit,

dengan demikian begitu aktif melawan organism-organisme yang berada ekstasel

maupun intrasel (Katzung, 2004).

Diazepam

Diazepam yang diberikan secara intravena atau rektal sangat efektif untuk

menghentikan aktivitas seizure yang terus-menerus, terutama status epileptikus

tonik-klonik umum. Obat ini kadang-kadang diberikan secara oral pada

penggunaan kronis, meskipun tidak sangat dipertimbangkan pada penggunaan

ini, kemungkinan karena cepat terjadinya toleransi (Katzung, 2002).

Farmakokinetika

1. Isoniazid (INH)

Isoniazi langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral sebesar 300

mg (5 mg/kg untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma puncak 3-5

µg/ml. Isoniazi lansung berdifusi secara cepat dalam darah ke seluruh cairan

tubuh dan jaringan. Konsentrasinya pada sistem saraf pusat dan cairan

serebrospinal berkisar antara 20% dan 100% dari konsentrasi serum stimulan

(Katzung, 2004).

2. Benzodiazepine

Sifat farmakokinetika benzodiazepine sebagian menentukan penggunaan

klinisnya. Umumnya obat ini diabsorpsi dengan baik, didistribusi secara luas dan

dimetabolisme secara ekstensif, dengan membentuk banyak metabolit aktif.

Page 9: Sistem Saraf Pusat

Kecepatan distribusi benzodiazepine di dalam tubuh berbeda dengan kecepatan

distribusi antiseuzure lainnya. Diazepam dan lorazepam khususnya didistribusi ke

jaringan-jaringan, dengan volume distribusi antara 1L/ kg dan 3 L/ kg. Mula

kerjanya sangat cepat. Klirens tubuh total dari obat induk dan metabolitnya adalah

sangat lambat, dan ini ada berkaitan dengan waktu paruhnya sekitar 20-40 jam

(Katzung, 2002).

2.3 Tempat Kerja Obat di Sistem Saraf Pusat

Obat–obat yang bekerja di sistem saraf pusat menimbulkan efeknya

dengan mengubah sejumlah tahapan dalam hantarankimia sinap. Mekanisme kerja

obat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pada presinap, bekerja pada tahap sintesis, penyimpanan, metabolisme dan

pelepasan neurotranmitor.

2. Pada pascasinap, bekerja sebagai agonis dan antagonis neurotransmiter.

Obat-obat yang bekerja mempengaruhi SSP, bekerja dengan cara

mengubah beberapa tahapan dalam neurontransmiter. Obat-obat yang bekerja

mempengaruhi SSP mekanisme kerja obatnya antara lain, bekerja pada

presinaptik, mempengaruhi produksi, penyimpanan atau mengakhiri kerja

neurotransmiter. Ada juga obat yang bekerja dengan cara memacu atau

menghambat reseptor postsinap (Darmono, 2011).

Konsep ini berlaku untuk mengetahui etiologi dan strategi pengobatan

penyakit yang disebabkan karena kerusakan pada SSP terutama pada

neurotransmiter dopamine, asetilkolin, dan serotonin (neurotransmiter yang

berperan dalam otak) (Darmono, 2011).

2.4 Penggolongan Obat Sistem Saraf Pusat

1. Depresan SSP Umum. Obat yang mempengaruhi sistem saraf pusat

menunjukkan aktivitas ganda. Berdasarkan kegunaan terapetiknya, obat sistem

saraf pusat (SSP) dapat dibagi dalam tiga golongan.depresi secara tak-selektif

struktur sinaptik, termasuk jaringan prasinaptik dan pascasinaptik. Obat-obat ini

menstabilkan membran neuron dengan mendepresi struktur pascasinaptik, disertai

dengan pengurangan jumlah neurontransmiter kimia yang dilepaskan oleh neuron

prasinaptik (Rasyid, 1995).

Page 10: Sistem Saraf Pusat

2. Perangsang SSP Umum. Obat-obat ini melakukan kerja secara tak-selektif

dengan salah satu mekanisme berikut: merintangi hambatan pascasinaptik

(strikhnin) atau mengeksitasi neuron secara langsung (pikrotoksin). Eksitasi

neuron secara langsung dapat dicapai dengan mendepolarisai sel prasinaptik,

meningkatkan pelepasan prasinaptik akan transmitter, melemahkan kerja

transmiter, melebilkan membran neuron, atau menurunkan waktu-pulih sinaptik

(Rasyid, 1995).

3. Obat-obat SSP Selektif. Ini mugkin berupa perangsang. Obat ini bekerja

melalui berbagai mekanisme dan mencakup obat antikejang, pelemas otot

yang bekerja secara sentral, analgetika, dan obat psikofarmakologi (Rasyid,

1995).

2.5 Golongan Obat Sedatif-Hipnotik

Penggolongan suatu obat ke dalam jenis sedatif-hipnotika menunjukkan

bahwa kegunaan terapeutik utamanya adalah menyebabkan sedasi (dengan

disertai hilangnya rasa cemas) atau menyebabkan rasa kantuk. Ada berbagai

variasi kimiawi dalam kelompok ini, dan inilah contoh klasifikasi obat yang

didasarkan pada penggunaan klinisnya daripada persamaannya didalam stuktur

kimia dan mekanisme kerjanya. Kecemasan dan gangguan tidur merupakan hal

yang biasa terjadi, dan sedatif-hipnotika adalah di antara jenis obat yang telah

diresepkan secara meluas di seluruh dunia (Katzung, 2002).

Obat-obat ini merupakan depresan umum. Sedatif menimbulkan depresi

lemah dan menenangkan keresahan dan eksitasi tanpa menyebabkan kantuk dan

gangguan penampilan. Hipnotika memaksa pemakaiannya untuk tidur, yaitu

depresi yang lebih kuat. Anestetika menimbulkan depresi yang sangat kuat

(anestesi bedah). Obat yang dapat menimbulkan efek defresi umum pada sistem

saraf pusat dapat dipakai pada prinsipnya untuk menghasilkan tiap tingkat depresi,

sejak dari penenangan lemah hingga anestesi, tergantung pada dosis dan cara

pemberian (Rasyid, 1995).

Yang termasuk dalam golongan ini ialah obat yang menyebabkan depresi

ringan (sedatif) sampai terjadi efek tidur (hipnotika). Pada efek sedatif penderita

akan menjadi lebih tenang karena kepekaaan kortek serebri berkurang. Disamping

Page 11: Sistem Saraf Pusat

itu kewaspadaan terhadap lingkungan, aktivitas motorik dan reaksi spontan

menurun. Kondisi tersebut secara klinis gejalanya menunjukkan kelesuhan dan

rasa kantuk (Darmono, 2011).

Yang temasuk golongan obat sedatif-hipnotik adalah:

- Etanol (alkohol)

- Barbiturat: i) kerja panjang: fenobarbital

ii) kerja pendek: pentobarbital

- Benzodiazepam

- Methaqualon (Pazdernik, 2007).

Page 12: Sistem Saraf Pusat

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat suntik 1 ml

kotak kaca

stopwatch

timbangan elektrik

vial.

Serbet

Koran

Kalkulator

Tisu

3.2 Bahan

Aquades

Diazepam 0,5 %

Isoniazid 2%

3.3 Hewan Percobaan

Mencit dengan berat sekitar 19- 20 g

3.4 Prosedur

a) Hewan ditimbang, dicatat dan ditandai pada ekornya

b) Dihitung dosis denga pemberian:

Mencit 1 : Kontrol aquadest 1% BB (i.p)

Mencit 2 : Diazepam [] 0,5 % dosis 20 mg/kgBB (i.p)

Mencit 3 :Diazepam [] 0.5 % dosis 25 mg/kgBB (i.p)

c) Di amati gejala yang terjadi pada mencit selama 45 menit selang 5 menit

Page 13: Sistem Saraf Pusat

d) Setelah 45 menit, masing-masing mencit di suntikkan Isoniazid 2% dosis

400 mg/kgBB secara i.p, lalu di amati onset konvulsi (awal mula kejang),

durasi proteksi selama 1 jam dan jumlah kematian dalam 1 jam.

e) Dibuat grafik respon vs waktu.

3.4 Perhitungan Dosis

3.4.1 Pemeberian Diazepam

Konsentrasi larutan = 0,5 %

= 0,5 g / 100 ml

= 500 mg / 100 ml

= 5 mg/ml

Spuit 1:100

- Mencit 1 : kontrol Aquadest 1 % BB secara i.p

Berat mencit : 19,7 g

Obat yang diberikan = 1% x BB = 1/100 X 19,7 = 0,197 g

Skala yang di ambil = 0,197 g x 100 = 19,7 skala

- Mencit 2 : lDiazepam [ ] 0,5 % dosis 20 mg/kg BB secara i.p

Berat mencit : 20,1 g

Obat yang di berikan = BB

1000 gxdosis x 1kg

= 20,1 g1000 g

x2 0 mg /kg BB x 1 kg

=0, 402 mg

Volume larutan yang diberikan = jumla h obat

konsentrasi larutan

= 0 ,402 mg5 mg /ml

= 0,0804 ml

Page 14: Sistem Saraf Pusat

Skala yang di ambil = volume larutan x skala

= 0,0804 ml x 100

= 8,04 skala

- Mencit 3 : Diazepam [ ] 0,5 % dosis 25 mg/kg BB secara i.p

Berat mencit : 20,3 g

Obat yang di berikan = BB

1000 gxdosis x 1kg

= 20,3 g1000 g

x25 mg /kg BB x1 kg

= 0, 5075 mg

Volume larutan yang diberikan = jumla h obat

konsentrasi larutan

= 0 ,5075 mg

5 mg /ml

= 0,1015 ml

Skala yang di ambil = volume larutan x skala

= 0,1015 ml x 100

= 10,15 skala

3.4.2 Pemeberian Isoniazid

Konsentrasi larutan = 2 %

= 2 g / 100 ml

= 2000 mg / 100 ml

= 200 mg/ml

Spuit 1:100

- Mencit 1 : kontrol Aquadest 1 % BB secara i.p

Berat mencit : 19,7 g

Obat yang diberikan = 2% x BB = 2/100 X 19,7 = 0,394 g

Skala yang di ambil = 0,394 g x 100 = 39,4 skala

Page 15: Sistem Saraf Pusat

- Mencit 2 : Isoniazid 2 % dosis 400 mg/kg BB secara i.p

Berat mencit : 20,1 g

Obat yang di berikan = BB

1000 gxdosis x 1kg

= 20,1 g1000 g

x 400 mg /kgBB x1 kg

=8,04 mg

Volume larutan yang diberikan = jumla h obat

konsentrasi larutan

= 8,04 mg

20 mg /ml

= 0,402 ml

Skala yang di ambil = volume larutan x skala

= 0,402 ml x 100

= 40,2 skala

- Mencit 3 : Isoniazid 2 % dosis 400 mg/kg BB secara i.p

Berat mencit : 20,3 g

Obat yang di berikan = BB

1000 gxdosis x 1 kg

= 20,3 g1000 g

x 400 mg /kgBB x1kg

= 8,12 mg

Volume larutan yang diberikan = jumla h obat

konsentrasi larutan

= 8,12mg

20 mg /ml

= 0,46 ml

Skala yang di ambil = volume larutan x skala

Page 16: Sistem Saraf Pusat

= 0, 406 ml x 100

= 40,6 skala

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Pemberian Diazepam

No PERLAKUANWAKTU (menit)

5 10 15 20 25 30 35 50 45

1 Kontrol Akuades

secara i.p

1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1

2 Diazepam [ ] 0,5%

dosis 20 mg/kg BB

secara i.p

1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3

3 Diazepam [ ] 0,5%

dosis 25 mg/kg BB

secara i.p

1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3

Grafik : terlampir

4.1.2 Pemberian Isoniazid

N

oPerlakuan

Onset Konvulsi

(Menit)

Durasi

Proteksi

(Menit)

Insiden

Konvulsi

(%)

Kematian

dalam 1

Jam

1 Kontrol 55 112 100 6

2Diazepam dosis

20 mg/kgBB~ ~ 16,67 1

3Diazepam dosis

25 mg/kgBB~ ~ 16,67 1

Grafik : terlampir

Page 17: Sistem Saraf Pusat

4.2 Pembahasan

Berdasarkan percobaan pemberian diazepam digunakan mencit

berdasarkan jumlah dosis, dapat dilihat yang cepat memberikan efek ialah mencit

dengan dosis 20 dan 25 mg/kgBB sedangkan control tetap normal. Sedangkan

pada pemberian Isoniazid dapat di lihat onset konvulsi pada control lebih cepat di

bandingkan yang lain hal ini di sebabkan karena sebelumnya kontrol tidak diberi

diazepam, dari 6 mencit yang digunakan pada dosis 20 dan 25 mg/kgBB hanya 2

yang mati, tapi jika waktu dalam pemberian INH di perpanjang menjadi 2 jam

dapat dipastikan semua mencit sehingga persen insiden konvulsi naik.

Menurut Olson, (2003), Kejang terjadi akibat hiperaktivitas atau

hipersinkronisitas neuron-neuron di otak. Kejang umum melibatkan kedua

hemisfer. Kejang ini terjadi akibta hipereksitabilitas di seluruh otak atau transmisi

oleh daerah epileptogenik di otak karena hiperaktivitasnya atau

hipersinkronitasnya ke kedua sisi otak.

Page 18: Sistem Saraf Pusat

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pengaruh pemberian dosis terhadap aktivitas obat atau sediaan uji adalah

semakin tinggi dosis yang diberikan, maka akan semakin cepat efek yang

ditimbulkannya. Namun, apabila dosis yang diberikan terlalu besar maka dapat

menyebabkan toksik bahkan letal

Pengaruh Pemberian INH dapat menimbulkan kejang bahkan kematian pada

hewan percobaan.

5.2 Saran

- Sebaiknya dalam percobaan juga dilakukan pemberian obat dengan cara yang

lain, misalnya secara intravena atau subkutan

- Sebiknya dalam percobaan juga diujikan pada hewan yang lain, misalnya tikus

atau kelinci sehingga dapat dibandingkan hasilnya

Page 19: Sistem Saraf Pusat

DAFTAR PUSTAKA

Darmono, S. ( 2011). Farmakologi Eksperimental. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 34, 35, 36, 38, 40.

Nicoll, R. A. (2002). Pengantar Farmakologi Obat-Obat SSP. Dalam Buku Farmakologi Dasar dan Klinik.Editor : Bertram G Katzung. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 2, 3, 25, 116, 117.

Katzung, G. Betram. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 93, 94.

Pazdernik, L Thomas. (2007). Rapid Review Pharmacology. Mosby Elselver. Hal. 49.

Rasyid, R. Dkk. (1995). Prinsip-Prinsip Kimia Medisinal. Yogyakarta: GadjahMada University. Hal. 280, 291, 292.

Olson, J. (2003). Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta: EGC. Hal. 40, 41.

Page 20: Sistem Saraf Pusat

LAMPIRAN

Page 21: Sistem Saraf Pusat