SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG...

105
SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 (SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh: MEKKA MUKARROMAH NIM: 106045201532 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M 1

Transcript of SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG...

Page 1: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008

(SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH)

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

MEKKA MUKARROMAH

NIM: 106045201532

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H / 2010 M

1

Page 2: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6

D. Metode Penelitian ....................................................................... 7

E. Sistematika Penulisan .................................................................. 11

BAB II DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH

A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam ............................ 13

B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam Dalam Pemilu .................. 18

1. Prinsip Musyawarah............................................................... 18

2. Prinsip Keadilan..................................................................... 20

3. Prinsip Persamaan .................................................................. 21

4. Prinsip Kejujuran ................................................................... 22

5. Prinsip Pertanggungjawaban.................................................. 23

6. Prinsip Kebebasan.................................................................. 25

Page 3: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

3

7. Prinsip Kebajikan................................................................... 25

BAB III SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008

A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008................ 28

B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No. 10 Tahun 2008............. 29

C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008 ............................................... 45

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU

MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008

A. Sistem Pemilu Dalam Islam ........................................................ 49

B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ................ 58

C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu menurut UU No

10 Tahun 2008 ............................................................................. 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................. 82

B. Rekomendasi ................................................................................ 88

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 89

Page 4: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

4

KATA PENGANTAR

بسم اهللا الرحمن الرحيمDengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya, sehingga alhamdulillah penulis dapat

merampungkan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari’ah.

Pada skripsi ini penulis memilih judul Sistem Pemilu Di Indonesia Menurut

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Suatu Kajian Fiqh Siyasah). Shalawat serta

salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah suri

tauladan bagi umat manusia didalam mengarungi bahtera hidup di alam fana ini.

Dalam penulisan skripsi ini, alhamdulillah penulis telah mendapatkan banyak

bimbingan, petunjuk, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka selayaknya

menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Ibu

Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah

memberikan petunjuk dan pengarahan khusus dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Asmawi M.Ag selaku pembimbing yang senantiasa mengarahkan

penulis kepada wawasan intelektual dan dunia ilmiah yang sangat bermanfaat

bagi penulis.

Page 5: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

5

4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang memberikan berbagai macam

disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi

perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan.

6. Ayah dan Ibuku (H. Dadin Supriadi dan Hj. Nina Ernawati) serta kakek dan

neneku (H. Supandi dan Hj. Sholihat) yang telah memberikan tetesan air mata

do’a dan motivasi hidup yang berarti.

7. Suamiku tercinta yang selalu menuntunku agar terus berdo’a, berusaha, dan

bersabar.

8. Seluruh keluargaku yang selalu mendo’akanku disetiap waktu.

9. Teman-teman yang membantuku dalam suka maupun duka.

10. Dan kepada semua pihak yang telah mendoakan dan membantu penulis baik moril

maupun materil

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.

Demikianlah semoga Allah SWT, senantiasa memberikan hidayah, taufik dan inayah-

Nya dan menjadikan skripsi ini sebagai karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis

dan bagi siapa pun yang membacanya.

Jakarta, 10 Juni 2010

Penulis,

Mekka Mukarromah

Page 6: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu

merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam negara republik

Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan

pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pemilu diselenggarkan untuk

memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan atas

asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dengan pemilu adalah

meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh pemerintah.

Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem

demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil

rakyat yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan

kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang

pemilihan umum (Pemilu). Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan

1 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

Page 7: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

7

“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota.”

Selain itu pemilu dalam negara demokratis merupakan mekanisme

pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekularistik.

Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008, tentang

pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota, dalam bab I yaitu ketentuan umum yang menyatakan “Pemilihan

umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan

rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu

perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan yang

dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya sesuai dengan

syarî’ah Islam, jika sesuai dengan syarî’ah Islam maka wakâlah boleh dilakukan,

sebaliknya jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut menjadi bâtil dan karenanya

haram dilakukan.

Dalam pandangan hukum Islam, pemilu merupakan cara untuk memilih wakil

rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal

‘wakâlah’ adalah mubah (boleh), dalilnya terdapat dalam hadits sahih dalam

penuturan Jabir bin Abdillah r.a. yang berkata:

Page 8: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

8

فأتيت , أردت الخروج إلى خيبر: قال( وعن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما فخذ منه خمسة عشر , إذا أتيت وآيلي بخيبر: النبي صلى اهللا عليه وسلم فقال

وصححه رواه أبو داود )وسقا Artinya : “Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi

SAW. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR. Abu Daud). 2

Adapun dalam sistem demokrasi, pemilu untuk memilih penguasa adalah

dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Maka status pemilu

legislatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks pemilu legislatif, status

pemilu merupakan akad wakâlah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun

dalam konteks pemilu eksekutif statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status

akad wakâlah, melainkan akad ta‘yîn wa tansib (memilih dan mengangkat) untuk

menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum

apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka

memilih penguasa bukan saja mubah atau boleh melainkan wajib.3 Menurut Al-

Farabi negara demokrasi adalah negara yang tujuan penduduknya menganut

kebebasan dan setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit

pun yang mengekang kehendaknya.4

Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk

melanggengkan rezim demokratik-sekularistik yang jelas-jelas bertentangan dengan

2 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-

Amin Kramat Raya, 1984), h. 23. 3 Abdul Karim Zaidan., h. 28. 4 Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002)., h. 75.

Page 9: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

9

aqidah dan syarî’ah Islam. Akan tetapi Allah SWT Maha Tahu dan Maha Hakim

untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun

jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka hal itu merupakan bagian dari

agama dan tidak bertentangan dengan agama.

Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam bagian dari

politik harus sesuai dengan syarî’ah. Tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat

sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syarî’ah Islam.

Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki

tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah menjadi yang lebih baik dan

berasaskan akan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik karena bertujuan untuk

mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian

kemaslahatan.

Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang

baik dan bijak akan nilai-nilai syarî’ah Allah, agar dapat melaksanakannya secara

tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang menurunkan

rahmat bagi alam semesta. Atas dasar itu, pengkajian hukum Islam dalam sistem

pemilu di Indonesia sangat relevan bila dikaitkan dengan doktrin dan teori hukum

Islam dan hukum nasional. Hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis

menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SISTEM PEMILU DI

INDONESIA MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 (SUATU KAJIAN FIQH

SIYASAH)”.

Page 10: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

10

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari masa ke masa pemilu selalu dilakukan, akan tetapi persoalan pemilu

selalu ada dan sangat luas permasalahannya. Maka sudah barang tentu penelitian

tentang pemilu tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana.

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada pemilu secara

normatif dari segi Islam. Maka dari uraian latar belakang masalah di atas, skripsi ini

menetapkan pokok masalah yaitu: Bagaimanakah sistem pemilu di Indonesia dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menurut perspektif Islam?

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang, dan tentunya

agar penelitian ini terarah dan terfokus pada satu masalah kajian, maka penulis

membatasi batasan bahasan sekitar:

1. Bagaimana konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah yang berkaitan

dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun 2008?

2. Bagaimana sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia yang diatur oleh UU

No. 10 Tahun 2008, khususnya yang berkaitan dengan 3 pasal yang dianggap

kontroversial yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3 ?

3. Bagaimana relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem

pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008?

Untuk lebih fokus pada pembahasan mengenai Undang-Undang No.10 Tahun

2008, maka penulis membatasi lingkup penelitian pada beberapa pasal yang dianggap

kontroversial seperti :

Page 11: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

11

1. Pasal 205 ayat 4 yang berbunyi “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan

penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa

kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh

suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.”

2. Pasal 211 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah

dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik

Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa

suara terbanyak satu persatu sampai habis.”

3. Pasal 212 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah

dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik

peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa

suara terbanyak satu persatu sampai habis.”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Merujuk kepada pokok masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk menjelaskan sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun

2008 dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif Islam

(kajian fiqh siyâsah). Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dasar pemilu dalam fiqh siyâsah

2. Untuk menggambarkan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia

Page 12: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

12

3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di

Indonesia

Adapun signifikansi penelitian ini terangkum dalam point berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi positif dalam upaya

memecahkan masalah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang pemilu.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran

politik Islam tentang pemilu yang ideal.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam

khazanah intelektual terhadap kajian pemilu khususnya di jurusan siyâsah

syariyyah.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang akan diteliti, maka tentunya

penulis harus mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan isu yang

akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi kepustakaan,

dengan memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan data sesuai harapan

penulis dan seperti yang digambarkan dalam bahan kepustakaan. Dengan kata lain,

Page 13: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

13

jenis penelitian ini dapat juga disebut sebagai penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif-analitis 5.

Dengan demikian, pendekatan (approach) pada objek penelitian ini

menggunakan pendekatan normatif doktriner, yaitu berdasarkan pada norma

perspektif Islam dalam menganalisis Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang

pemilu.

Lebih dari itu, sifat dalam penelitian ini merupakan model penelitian

deskriptif analitis yang memaparkan apa adanya pemilu di Indonesia, yakni penelitian

yang menggambarkan dan menginformasikan yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca

secara optimal. Kemudian dianalisis dan dikaji secara normatif, yaitu dengan fiqh

siyâsah sebagai tolak ukurnya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data hukum menggunakan teknik studi

dokumenter dengan mengumpulkan bahan dari sumber-sumber data primer,

sekunder, dan tersier.

Bahan pustaka yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini adalah Al-

Qur’an dan Hadits, kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqh siyâsah dalam siyâsah

syariyyah antara lain “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karya Al-Mawardy dan Ali ibn

5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penelitian kepustakaan

atau disebut juga penelitian hokum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)., h. 13-14.

Page 14: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

14

Muhammad ibn Habib, “As-siyâsah As-syariyyah” karya Abdul Wahab Khalaf, serta

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu.

Adapun rujukan sekunder adalah beberapa buku yang fokus kajiannya

mengenai permasalahan tentang pemilu dan juga data pustaka lain yang berkaitan

dengan pemilu. Berbagai macam buku tersebut antara lain: karya Dr. Muhammad

Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, karya

Prof. A. H. A. Dzajuli, SH. dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Dalam Implemenatsi

Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syarî’ah”, karya T. M. Hasbi As-

Shiddieqy dalam bukunya “Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut syarî’ah Islam,

dan karya Djoko Prakoso dalam bukunya “Tindak Pidana Pemilu.” Selain yang

disebutkan diatas, penyusun juga menggunakan referensi lainnya yang bisa dijadikan

sumber acuan pelengkap yang terkait dengan skripsi ini.

Adapun rujukan tersier dalam penelitian ini adalah kamus ilmiah, kamus

hukum, dan buku pedoman penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum Universitas

Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Hal ini sebagai penunjang

yang memberikan petunjuk terhadap data primer dan data sekunder.

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari data-data hukum yang relevan

terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis menyebutkan

pendekatan perundang-undangan, maka peneliti harus mencari peraturan perundang-

undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu pemilu. Oleh karena itu untuk

memecahkan suatu isu pemilu peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai

produk peraturan perundang-undangan seperti undang-undang pemilu sebelumnya

Page 15: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

15

dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Lebih dari itu, untuk mendapatkan

penjelasan mendalam (in-depth) tentang UU No. 10 tahun 2008, penulis melakukan

interview (open-ended interview) atau wawancara dengan beberapa pakar hukum

yang kompeten di bidangnya.

3. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan dianalisis secara

kualitatif, dengan menggunakan penalaran deduktif induktif. Hal ini merupakan

hukum-hukum yang sesuai dengan perspektif Islam yang dijadikan landasan dan

kaidah umum untuk meninjau sistem pemilu dalam undang-undang No. 10 tahun

2008, kemudian disimpulkan apakah sesuai atau tidak sesuai.

Dalam menganalisis data hukum, diterapkan teknik analisis isi secara

kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bahan-bahan tersebut

secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian

melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis bahan-bahan yang

telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh.

Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan

demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas syarî’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2009.”

E. Sistematika Penulisan

Page 16: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

16

Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk

skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Hal ini untuk

mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi

ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini,

maka penulis menyusun sistematika penulisan. Pembahasan skripsi ini terbagi

menjadi lima bab, dari setiap bab terdiri dari sub bab yaitu:

BAB I Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,

dan sistematika penulisan. Dari latar belakang masalah ini nantinya

akan muncul bahasan-bahasan yang menjadi kajian atau ulasan dari

skripsi ini.

BAB II Doktrin Pemilu Dalam Fiqh Siyasah, membahas tentang: urgensi

pemilu dalam ketatanegaraan Islam, lalu dilanjutkan dengan

pembahasan prinsip ketatanegaraan Islam dalam pemilu seperti prinsip

musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip kejujuran,

prinsip pertanggung jawaban, prinsip kebebasan, prinsip kebajikan.

BAB III Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,

mendeskripsikan tentang: latar belakang pembentukan UU No. 10

tahun 2008, pandangan para pakar terhadap UU No. 10 tahun 2008,

dan substansi UU No. 10 tahun 2008.

BAB IV Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu Menurut Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008, mendiskusikan beberapa point

Page 17: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

17

penting seperti: sistem pemilu dalam Islam, pemilu dalam pandangan

ulama Islam kontemporer, dan pandangan hukum Islam terhadap

sistem pemilu menurut UU No. 10 tahun 2008.

BAB V Penutup, berisikan pembahasan tentang kesimpulan dari semua

pembahasan, diakhiri dengan saran dan rekomendasi.

Page 18: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

18

BAB II

DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH

A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam

Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal terma fiqh politik (fiqh siyâsah),

yang menempatkan syarî’ah Islam disamping sebagai aturan tentang ketuhanan,

hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak,

tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintah),

atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa,

hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur dalam fiqh daulah.1 Politik menurut

perspektif syarî’ah, ialah menjadikan syarî’ah sebagai pangkal tolak, kembali dan

bersandar kepada-Nya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan ajaran-

ajaran dan prinsip-prinsip-Nya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan

sasaran-Nya, sistem, dan jalan-Nya. Tujuannya berdasarkan syarî’ah dan sistem yang

dianut juga berdasarkan syarî’ah. Islam adalah aqidah dan syarî’ah, agama dan

daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang.2.

Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah termasuk dalam bidang

kenegaraan dan kebijakan publik, dan hukumnya adalah masuk dalam bidang hukum

1 Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul

Aslinya: As-siyâsah As-syariyyah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I., h. 23.

2 Yusuf Al-Qardhawy., h. 35.

13

Page 19: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

19

publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum pidana, dan hukum

acara.

Terdapat banyak kajian dalam masalah fiqhiyyah, ada yang masuk dalam

domain pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada pula yang mengupasnya

dalam kitab-kitab fiqh secara khusus, seperti “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karangan

Al-Mawardî Asy-Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (wafat

458 H.), “Ghayyatsul-Umam” karangan Al-Imam Al-Haramain Asy-Syafi’y (wafat

476 H), Kitab “As-Siyâsah As-Syariyyah Fi Al-Islâhi Ar-ra’yu wa Ar-Ra’iyyah”

karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu

Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab “At-turûq Al-Hukmiyyah.”

Termasuk kitab klasik “Al-Kharaj” yang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H),

salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya

termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.3

Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik

hampir sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qordowi4 yaitu tidak

dipisahkannya politik dengan syarî’ah Islam. Politik adalah bagian dari syarî’ah Islam

yang diatur oleh syarî’ah dan tujuannya untuk tegaknya syarî’ah itu sendiri. Politik

dalam pandangan para ulama salaf diartikan dalam dua makna, yaitu: Pertama, dalam

makna umum yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia

mereka berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu

3 Al-Mawardy dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h.54 4 Yusuf Al-Qardhawy., h. 38.

Page 20: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

20

pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya

untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi

atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh

Islami, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan

tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh Islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan,

serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syarî’ah.

Syarî’ah tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga

adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul.5

Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang

kelenturan syarî’ah Islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik,

yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan

seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan

menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap

Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan

hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta mengambil

zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalîfah

Umar r.a. juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena kemiskinan.6

Setelah runtuhnya Khilâfah Islamiyah mulai berkembang perbedaan

pandangan diantara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai dengan

5 Yusuf Al-Qardhawy., h. 38 6 Abul A’la Al-Maududi, , Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep

Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245.

Page 21: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

21

pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan “Islam Wa

UUsûli Al-Hukmi“, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang

tidak memiliki daulah, negara Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak

bermaksud mendirikan negara dan hal ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau

hanyalah seorang rasûl yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni

tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan negara,

karena memang beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja

dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan

negara. Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan

putusan dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan

memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah

yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang

sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang

berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya

serta diberhentikan dari jabatannya.

7

Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal,8 bahwa dalam Al-

Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci

mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat

dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan

7 Yusuf Al-Qardhawy., h, 29. 8 Musda Mulia, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program

Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997)., h.289-290.

Page 22: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

22

pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi

pengaturan hidup kenegaraan. Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara

tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa

soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummat Islam.

Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam

mengelola negara. Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi

pengelolaan hidup bermasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan

kebebasan.

Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai hubungan antara Islam

dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini, dan membawa kepada

perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh dunia, termasuk yang

terjadi di Indonesia.

Disinilah titik temu antara Islam dan politik. Politik dalam Islam mempunyai

andil yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam menganjurkan adanya

kegiatan politik, karena dengan politik itu sendiri, Islam dapat bertahan dan tersebar

di dunia. Namun yang perlu diperhatikan adalah politik (siyâsah) dalam kontek ideal,

bukan pelakunya dan realitas politik Islam. Hal ini karena dalam Islam pun realitas

politiknya kadang tidak Islami, misalnya terjadi pembunuhan, fitnah, money politik,

dan lain-lain. Syekh Muhammad Abduh pernah berkata: “A‘ûdzu Billâhi Min Asy-

Syaitâni As-Siyâsah Wa Assasah” yang artinya saya berlindung kepada Allah dari

syetan politik dan perpolitikan. Tetapi jika politiknya demokratis, harus sesuai

Page 23: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

23

dengan nilai-nilai Islam. Berkaitan dengan ini Imam Syafi’i mengatakan “La Siyâsat

Al-illa Mâ Wafaqa Bihi Asy-Syar’u”, yang artinya tidak ada politik (syarî’ah) kecuali

sesuai dengan prinsip-prinsip agama.9

Salah satu pilar demokrasi suatu negara adalah terselenggaranya pemilihan

umum (Pemilu) yang jujur dan adil. Dalam sistem ketatanegaraan Islam, pemilu

mendapat legalitas dari ajaran Islam dan merupakan sebuah prosesi yang harus

dilaksanakan untuk memilih para pemimpin, baik sebagai wakil-wakil rakyat

dilembaga legislatif atau disebut dengan ahl halli wal aqd, maupun kepala negara atau

presiden dan wakilnya atau disebut dengan khilafah.

Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus

bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik sesuai pilihan hati

nurani masing-masing, tanpa ada pengaruh intimidasi dari orang lain.

B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam yang Berhubungan dengan Pemilu

1. Prinsip Musyawarah

Padanan demokrasi dalam Islam adalah musyawarah (syûra) yang merupakan

kata turunan (derivasi) dari kata kerja “syâwara” yang berarti “meminta pendapat dan

mencari kebenaran”. Sedangkan secara terminologis, syûra bermakna “memunculkan

pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada

9 Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep

Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 30

Page 24: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

24

kesimpulan yang paling tepat”.10 Dengan demikian, demokrasi yang bermakna dari

rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat dalam tataran idealnya sejalan

dengan prinsip syûra dalam Islam.

Di dalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang

disyariatkan. Dalam Al-Qur’an surat As-Syura Allah mengatakan:

)16:42/الشورى( Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan

Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Syura/42: 38)

Dengan ayat ini, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan

musyawarah pada tempat yang agung. Syarî’ah Islam yang lapang ini telah

memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi).11 Ayat itu

memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syûra dan menghiasi diri dengan

adab syûra sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk

sifat-sifat mukmin sejati. Untuk lebih menegaskan urgensi syûra, ayat di atas

menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardu ‘ain yang tidaklah

10 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat

dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111.

11 Muhammad Tahir Azhary., h. 112

Page 25: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

25

sempurna Islam seseorang dan tidak pula lengkap imannya kecuali dengan ibadah

yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.

Hal tersebut menunjukan bahwa Islam secara langsung menerapkan prinsip

pengambilan keputusan berlandaskan musyawarah yang menjadi sendi utama dalam

demokrasi modern yaitu dari, oleh, dan untuk kepentingan rakyat.

2. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam kaitanya dengan

pelaksanaan sistem bernegara, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Menurut Abdurahman Wahid, ‘adl atau keadilan dalam perspektif Al-

Qur’an bisa diartikan sebagai “sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak,

penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan”.12

Definisi tersebut bisa dilihat dari beberapa ayat dalam Al-Quran tentang keadilan

yang bersinonim dengan kata lainya seperti qistu dan hukmu:

☺ ☺

⌧ ☺ )58: 4/النساء ( ⌧

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

12 Abdurrahman Wahid, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.)

“Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99

Page 26: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

26

)105: 4/النساء( ☺

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa/4: 105)

Menurut Tahir Azhari, paling sedikit ada empat prinsip keadilan dalam Al-

Quran yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pertama, keadilan harus

dilaksanakan dengan keihklasan karena Allah, bukan karena faktor lain seperti uang,

jabatan, atau kedudukan. Kedua, keadilan harus berpihak kepada kebenaran. Ketiga,

keadilan tidak boleh berdasarkan kepada kebencian. Keempat, keadilan berkorelasi

positif dengan ketakwaan yaitu keadilan yang berdasarkan perintah Allah dan

menjauhi larangan Nya.13

3. Prinsip Persamaan

Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam Islam

terangkum dalam Al-Qur’an secara eksplisit:

13 Muhammad Tahir Azhary., h. 119.

Page 27: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

27

)13: 49/الحجرت( Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang palig bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)

Konsepsi persamaan juga terdeskripsikan dalam Hadits Nabi dalam pidato

Nabi ketika haji wada tahun 10 H:

“Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan

antara orang Arab dan bukan Arab, antara orang yang berkulit merah dengan yang

berkulit hitam, kecuali karena takwa nya kepada Allah.”

Menurut Tahir Azhary14, prinsip persamaan dalam perspektif hukum Islam

merupakan perlakuan dan perlindungan yang sama terhadap semua orang di mata

hukum.

4. Prinsip Kejujuran

Prinsip kejujuran sebenarnya bersinergi dengan prinsip amanah dalam

memutuskan suatu perkara. Hakim yang amanah tentunya akan menghasilkan produk

14 Muhammad Tahir Azhary., h.126.

Page 28: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

28

hukum yang berkualitas. Menurut Tahir Azhary15, prinsip kejujuran merupakan

refleksi dari prinsip ketaatan rakyat, suatu relasi antara pemerintah dan rakyat, atau

ulil amri (penguasa) dan ummat (rakyat). Al-Qur’an menjelaskan konsep relasi ini:

)59: 4/ساءالن( ⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah kepada

Rasul Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul Nya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibat nya”. (QS. An-Nisa/4:59)

Kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan atas tanggung jawab

yang diberikan. Pada tahap inilah kejujuran dan amanah saling berkorelasi. Dalam

konteks bernegara, pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat harus mampu

memenuhi kepercayaan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Distorsi terhadap

amanah adalah ketidakjujuran dan penghianatan terhadap rakyat.

5. Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban merupakan prinsip akuntabilitas dan transparansi

dari suatu pelaksanaan amanah. Karena kekuasaan adalah amanah yang harus

15 Muhammad Tahir Azhary., h.153

Page 29: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

29

dipertanggungjawabkan, maka prinsip akuntabilitas wajib dilaksanakan. Al-Qur’an

menjelaskan:

☺ ☺

⌧ ☺ ⌧ )58: 4/النساء(

Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah

kepada yang berhak menerimanya, dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS. An-Nisa/4: 58)

Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa: “Kullukum Râ’in Wa Kullukum ‘an Ro’iyatihi” Artinya : “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban nya kelak. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyat nya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai rakyat nya“. (HR Bukhari) Menurut Tahir Azhary, hadist tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa

setiap muslim adalah pemimpin baik formal maupun informal. Secara formal,

pemimpin adalah seseorang yang memiliki kedudukan ataupun jabatan dalam struktur

pemerintahan. Sedangkan secara informal, pemimpin adalah setiap orang yang

memegang pimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga (ayah atau suami), atau pun

sebagai pemimpin masyarakat (kelompok atau sejumlah orang yang berkumpul

secara tidak resmi).16

16 Muhammad Tahir Azhary., h. 109

Page 30: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

30

Sistem akuntabilitas dan transparansi dalam perspektif hukum Islam

merupakan bentuk pertanggungjawaban penguasa, karena ia memegang kewajiban

dan kewenangan (otoritas). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan hanya sekedar

otoritas semata, tetapi lebih dari itu mengandung kewajiban disamping kewenangan.

Pada pelaksanaannya kewajiban harus dikedepankan dari kewenangan yang

merupakan hak penguasa.17

6. Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan (freedom of decision) dalam penetapan hukum Islam bisa

dimaknai sebagai kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan

penguasa, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim menjatuhkan

putusannya pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat”.18

Menurut Tahir Azhary, prinsip peradilan bebas dalam perspektif hukum Islam

harus sejalan dengan tujuan hukum Islam, spirit Al-Qur’an dan As-Sunah. Tujuan

hukum Islam dalam konteks ini terangkum dalam “ad-doruriyyah al-Khamsah” yaitu

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Tahir Azhari menggaris bawahi bahwa

prinsip kebebasan dalam penentuan hukum Islam harus menjunjung tinggi prinsip

amanah, karena kekuasaan qâdi atau hakim merupakan amanah dari ummat yang

harus dijaga dengan baik. Lebih dari itu, seorang sebelum memutuskan suatu perkara

harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan qâdi lainnya agar tercapai keputusan

17 Muhammad Tahir Azhary., h. 110 18 Muhammad Tahir Azhary., h.144-145

Page 31: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

31

yang bijak dan adil, karena keputusan hukum yang adil merupakan tujuan utama dari

kekuasaan kehakiman yang bebas dari intevensi dan interes penguasa.19

7. Prinsip Kebajikan

Prinsip kebajikan dalam menjalankan amanah bisa diartikan juga sebagai

prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam mengandung

pengertian yang lebih luas yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan

ekonomi bagi seluruh ummat. Pengertian keadilan sosial bukan hanya pemenuhan

kebutuhan materi semata, tetapi lebih dari itu mencakup pemenuhan kebutuhan

spiritual. Dengan kata lain, keadilan sosial harus memenuhi unsur lahir dan bathin.

Al-Qur’an menjabarkan konsep keadilan sosial ke dalam sejumlah aktivitas ekonomi

yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat luas seperti adanya kewajiban zakat,

infaq, shadaqah, hibah, dan wakaf dalam surat Al-Ma’arij dan Adz-Zariyat sebagai

berikut:

)24: 70/المعارج(

Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. (QS. Al-Ma’arij/70: 24)

☺ )25: 70/المعارج(

Artinya : “Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij/70: 25)

)19: 51/الذارييت(

19 Muhammad Tahir Azhary., h.146.

Page 32: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

32

Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Az-Zariyat/51: 19).20

Konsepsi kebajikan (baca: kesejahteraan) terdeskripsikan dalam Al-Qur’an

sebagai terbentuknya suatu negara yang makmur dan subur:

⌦ ⌧ ): /أسب(

Artinya : “....(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’/34: 15)

Menurut Tahir Azhary, negara berkewajiban untuk mengatur, mengelola

sumber daya alam, dan mengalokasikan pendapatan negara untuk kesejahteraan

rakyatnya dalam bentuk jaminan sosial. Jaminan sosial yang dimaksud adalah adanya

tunjangan pengangguran, tunjangan masa depan, beasiswa, tunjangan pensiun, dan

sebagainya. Prinsip kebajikan harus sejalan dengan doktrin Islam “Hablu Min Al-

Allah Wa Hablu Min An-Nâs”, yaitu aspek ibadah (vertical) dan aspek mu’amalah

(horizontal). Untuk mewujudkan kebajikan dan kesejahteraan tersebut, maka harus

berdasarkan prinsip keadilan sosial yang sesuai dengan anjuran dan perintah Allah

swt dalam Al-Qur’an.21

20 Muhammad Tahir Azharys., h. 150-151 21 Muhammad Tahir Azhary., h. 152.

Page 33: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

33

BAB III

SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008

A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008

Pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah “pesta demokrasi” bagi rakyat.

Suksesnya pemilu menjadi salah satu wujud suksesnya penerapan demokrasi di suatu

negara. Persiapan pelaksanaan pemilu bukan hanya sekedar persiapan logistik

semata, tetapi lebih dari itu, persiapan landasan hukum berikut Undang-Undang

Pemilu yang mengikat. UU No. 10 Tahun 2008, misalnya merupakan penyempurnaan

aturan pemilu sebelumnya.1

Secara umum diduga Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 terdapat

beberapa pasal yang tidak sinkron dengan Undang-Undang lain seperti UU No. 22

Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.2 Di antaranya terkait tentang

pembentukan penetapan daftar pemilih sementara dalam UU No. 22 Tahun 2007

dengan penetapan daftar pemilih tetap yang dilakukan Petugas Pemutahiran Data

Pemilih (PPDP). Terdapat beberapa hal yang jauh dari harapan publik, misalnya

semangat penyederhanaan jumlah partai tidak didukung dengan peraturan yang tepat.

Ditetapkannya Parlementary Threshold tidak terkait dengan penyederhanaan partai,

tetapi hanya mekanisme dalam penempatan “kursi” yang diperoleh Partai. Hal ini

1 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003,

(Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)

28

Page 34: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

34

juga terkait dengan aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut pemilu 2009, yang sudah dibatalkan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun menjadi tidak berarti karena tahap

verifikasi telah dilalui.3

Ada sejumlah catatan penting dari kecacatan pemilu 2009 secara sistemik.

Salah satu akar dari "cacat" pemilu 2009, baik yang terjadi pada pemilu legislatif

maupun pemilihan presiden, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang

dianut. Sistem proporsional telah "terselewengkan" oleh oligarki parlemen dalam

menyusun Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Beragam tafsir, kualitas

penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009

diragukan oleh banyak pihak.

B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No 10 Tahun 2008

Menurut Relfy Harun,4 dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan

Mei 2007 dan selesai dirumusukan pada 3 Maret 2008, kemudian disahkan pada 28

Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap

sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya

judicial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih

yang mendapatkan suara 30 persen. Menurutnya, MK membatalkan pasal 214 yang

menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Terlebih, Refly menegaskan bahwa

3 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 4 Wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata

negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB.

Page 35: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

35

perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari

UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan.

Terkait dengan pasal yang dianggap kontroversi, Refly menggaris bawahi

bahwa sebenarnya pasal-pasal tersebut terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945,

dikarenakan banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak

mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008, misalnya

partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama

partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak

mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada

tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu

20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara

lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang

menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentuan kursi

pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang

mendapat suara terbanyak.5

Refly menegaskan bahwa menurut sistem yang disepakati dalam segi

perundang-undangan sebenarnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini

terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi,

karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka

kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun

5 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata

negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB

Page 36: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

36

dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan

calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat

dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil (Daerah Pemilihan), dapil mana yang

berhak mendapat kursi.6

Refly menandaskan bahwa banyak politisi yang melakukan Judicial review,

hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait

dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon

terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadopsi. Dalam sistem

pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal

ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi

atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka

sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian

ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para

calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan

agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR.7

Refly menjelaskan bahwa UU No.10 tahun 2008 bukanlah penyempurnaan

terhadap UU sebelumnya, akan tetapi perubahan terjadi karena konteks isi atau

bahasa didalamnya dirubah secara keseluruhan yang dianggap tidak penting dalam

UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU

6 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata

negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 7 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata

negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB

Page 37: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

37

No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman

pada masa tersebut.8

Refly menambahkan bahwa relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan

hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945

dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan

secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat

2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden

dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah

partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah

perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang

bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu

diatur dengan undang-undang.9

Menurut KH. Yan Hasanudin Malik10, berdasarkan UU No.10 tahun 2008

anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai

politik. Menurut nya, relasi antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun

2008, yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda,

hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa,

sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam

8 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB

9 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata

negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 10 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB

Page 38: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

38

tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili

rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem

distrik dan sistem proporsional.

KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan beberapa pasal yang kontroversial.

Menurut analisanya, pasal-pasal tersebut mengandung kontroversi pada masalah

perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam

BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10

tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan

dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki

suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan

perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B

mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai

B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap

ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang

memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi

kontroversi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai

habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang

mendapatkan suara terbanyak.11

KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa penentuan suara terbesar

menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan

11 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB

Page 39: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

39

kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai

kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang

memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Ia menambahkan

bahwa isu sentral dalam UU No. 10 tahun 2008 terkait dengan parlementary

thershold dan elektoral threshold.12

KH. Yan Hasanudin Malik mengelaborasi perbedaan sisitem pemilu dalam

Islam dan sistem pemilu konvensional secara komprehensif. Menurut nya, dalam

Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah

kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara

mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang

terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai

kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam

hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika

dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa

dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan

pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di

indonesia mempunyai semangat yang sama.13

KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa Ahl halli wal aqd merupakan

wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas,

12 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010 13 wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB

Page 40: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

40

muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam

Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini

dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat

akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat

mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat.14

KH. Yan Hasanudin Malik berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara

pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun

2008. Menurut nya, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan

perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh

saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban

masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan

lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka

legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak

boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau

regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu

harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan

tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang

berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.15

14 wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB 15 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB

Page 41: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

41

KH. Yan Hasanudin Malik menggarisbawahi bahwa dalam UU No. 10 tahun

2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary

threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat

dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya

lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangkan maka harus ada program,

perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil

saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.16

KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan bahwa ahlu halli wal aqd yaitu

sesorang yang mempunyai kemampuan teknis dan dapat menerjemahkan Islam dalam

kehidupan sehari-hari sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal ini

dibentuk oleh majlis syuro yang berasal dari kata syawaro yang berarti madu dan

terasa manis dan menyehatkan sehingga dapat mewakili rakyat dalam kebenaran.

KH. Yan Hasanudin Malik lebih jauh menjelaskan tentang adanya hubungan

atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU

No.10 tahun 2008 yaitu dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih

orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk

memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi

substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu

16 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan

kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB

Page 42: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

42

demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam

pemilihan suara.17

Menurut Mochammad Nurhasim18, peneliti bidang politik LIPI, Undang-

Undang paket politik yang meliputi hampir enam Undang-Undang, tampaknya

memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Misalnya, Undang-Undang

paket politik itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilihan Presiden, Undang-Undnag Nomor 32 Tahun

2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, serta

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Nurhasim menegaskan bahwa salah satu faktor determinan dari kekacauan itu

adalah tidak saling sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang

lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai

contoh, prinsip multipartai yang menjadi inti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang,

tanpa terkait dengan undang-undang pemilu.19 Upaya penyederhanaan partai yang

dianut pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ternyata

17 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB

18Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/

read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

19 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

Page 43: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

43

tidak ditunjang oleh undang-undang kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan

orang untuk mendirikan partai politik.20

Demikian pula dengan masalah pilihan presiden dan bahkan undang-undang

tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR yang

ditambah dengan Nurhasim. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial

adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang ini mengandung beberapa kelemahan

mendasar, karena undang-undang tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem

proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya

koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR.21

Nurhasim menggaris bawahi bahwa aturan tiga tahap dalam penentuan kursi

bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem

proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai "akal-akalan" politik partai.

Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan

koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. Undang-Undnag

Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang

20 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/

read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

21 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/

read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

Page 44: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

44

istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan

saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik.22

Alhasil, Nurhasim menegaskan bahwa hal itu berdampak pada perbedaan nilai

satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua, dan ketiga

dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang "hibrida", suatu

perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya

pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya. Indonesia sebenarnya

terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak

pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan.

Lebih dari itu, Nurhasim meyakini bahwa teknis pembagian kursi yang dianut

pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009.23 Pembagian kursi

yang hanya pada dua tahap (tahap pertama dan tahap sisa) lebih mencerminkan

keadilan substansial yang meminjam istilah Mahkamah Konstitusi (MK) daripada

tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain

undang-undang yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka

penuh. Ini terjadi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan

permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan

DPRD.

22 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 23 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003,

(Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)

Page 45: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

45

Nurhasim menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak

dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya.24 Kenapa setengah?

karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat

penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya,

khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem

proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara

dalam sistem proporsional "setengah terbuka" seperti yang berlaku pada pemilu tahun

2004, pemilih dapat memilih partai dan atau nama calon.

Idealnya, Nurhasim menambahkan dalam sistem proporsional yang benar-

benar terbuka penuh, pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, kekacauan

ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang

peran dan oligarki partai politik.25

Nurhasim menegaskan bahwa sebuah undang-undang pemilu tidaklah berdiri

sendirian. Undang-Undang Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama

sistem kepartaian yang kita anut, kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan

DPRD, dan ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan

hubungan yang saling berhubungan antara satu undang-undang dengan undang-

undang lainnya merupakan keniscayaan.

24 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 25 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/

read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

Page 46: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

46

Prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket Undang-Undang

Politik (Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta

penyelenggara pemilu). Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang

Paket Undang-Undang Politik usulan pemerintah yang mencoba merangkai kaitan

paket Undang-Undang Politik yang diacak-acak pada saat pembahasan RUU di DPR.

Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan

RUU Politik yang kental kepentingan politik.26

Ironinya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200827 Tentang Pemilihan

Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD banyak menuai gugatan uji materiil di

Mahkamah Konstitusi (MK). Baik oleh lembaga maupun perorangan. Padahal,

dengan Undang-Undang inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan

Pemilihan Umum 2009. Benarkah materi Undang-Undang ini sebenarnya masih

lemah, atau pemberlakuannya masih belum banyak dipahami akibat minimnya

sosialisasi?

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD28, banyaknya

gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 200829 ini

26 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/

read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

27 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 28 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008

'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010.

29 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

Page 47: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

47

menunjukan bahwa Undnag-Undang ini belum kuat untuk dijadikan dasar hukum

bagi KPU untuk melaksanakan pemilu legislatif. Hal tersebut merupakan

konsekwensi sekaligus kenyataan bahwa undang-undang ini produk politik. Di sinilah

letak fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji apakah undang-undang itu

sudah kuat atau belum. Hasilnya, dari enam pengujian, ada beberapa yang dikabulkan

dan ada yang ditolak.

Mahfudz MD berharap bahwa masyarakat dapat memahami bahwa Mahkamah

Konstitusi (MK) tidak boleh sewenang-wenang. Karena Mahkamah Konstitusi (MK)

hanya bisa membatalkan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan

konstitusi sehingga tidak bisa didorong untuk membuat putusan yang bertentangan

dengan konstitusi.30

Seperti misalnya calon perseorangan yang sudah ditolak gugatannya itu. Jika

mengacu ke konstitusi isinya sudah jelas kebutuhan politis dan sosiologisnya, jadi

tidak ada tafsir lain. Bahwa dalam persidangan ada tiga hakim yang dissenting

opinion, sebenarnya esensi yang mereka sampaikan sama. Menghendaki dilaksanakan

tapi baru bisa tahun 2014 karena masih memerlukan perubahan konstitusi lagi.

Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 200831 oleh

Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD menegaskan kemungkinan intensitas

saling gugat antar calon legislatif akan meningkat tajam. Walaupun demikinan dalam

30 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'

Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

31 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

Page 48: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

48

undang-undang yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengadili

sengketa hasil pemilu, termasuk juga jika partai politik menggugat KPU. 32

Sementara itu, tokoh-tokoh pers baik akademisi maupun praktisi media massa

merasa "kecolongan" dengan munculnya sejumlah produk undang-undang yang

secara eksplisit maupun implisit "mengebiri" kebebasan pers di negeri ini. Kita sebut

saja keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota

DPR, DPD, dan DPRD. Isi Undang-Undang ini jelas-jelas mengekang kebebasan

pers dan berlawanan dengan hakikat dan fungsi media massa.33

Pasal 91 Ayat 2, misalnya berisikan ketentuan bagi media cetak dan penyiaran

yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan

berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 ayat 3 menegaskan: media massa

wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan

dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97 menyatakan pula bahwa media massa

menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan

wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Pasal 94

ayat 1 bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual "blocking

segment" dan atau "blocking time" untuk kampanye Pemilu. Pasal 94 ayat 2 bahwa

media massa dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun

32 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'

Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

33 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'

Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

Page 49: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

49

yang dapat dikategorikan iklan kampanye. Pasal 94 ayat 3 bahwa iklan yang tidak

dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu dilarang dijual kepada pihak lain.34

Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200835 tentang pemilu, masih

banyak produk Undang-Undang maupun Rancangan Undang-Undang lainnya yang

berlawanan dengan kebebasan pers. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers

dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, karena ancamannya sangat berat

sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi

informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau

pencemaran nama baik. Ancaman atau sanksi lainnya pada pasal 28 ayat (2)

menyebutkan: jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk

menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, maka setiap orang yang melanggar

tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.36

Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi media massa untuk memuat berita

pemilu. Yang diatur dalam undang-undang adalah media massa wajib memberitakan

berita yang benar sesuai fakta. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi

34 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'

Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

35 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 36 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'

Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

Page 50: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

50

yang benar dari media massa. Jika tidak, publik berhak menggunakan hak jawab dan

hak koreksi, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Pers No. 40/1999.

Media massa punya parameter dalam pemberitaan yaitu "news value". Berita

apa pun juga harus mengacu pada nilai berita, apakah berita kriminalitas, politik,

ekonomi, budaya, pendidikan, social, dan lain-lain. Kalau nilai beritanya tinggi media

massa pasti akan memuatnya, sebaliknya jika nilai beritanya rendah, apalagi jenis

berita kampanye mengenai Pilkada, Pemilu, dan Pilpres yang cenderung membodohi

rakyat dengan kampanye "lips service" dan "jual kecap" maka media massa berhak

tidak memuatnya. Kalau ada pihak yang memaksakan kemauannya, jelas hal itu

melanggar undang-undang dan kebebasan pers.37

C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008

Undang-Undang pemilu dan partai politik di Indonesia terangkum dalam UU

No 10 tahun 200838 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di

dalam nya terdapat sekitar 24 bab dan 320 pasal yang mengatur secara detail sistem

pemilu di tanah air. Dalam skripsi ini, tentunya penulis tidak mungkin membahas

semua bab dan pasal dalam undang-undang tersebut. Yang akan penulis angkat

adalah beberapa pasal yang mengundang kontroversi yaitu pasal 205 ayat 4, pasal

211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3.

37 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'

Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

38 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

Page 51: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

51

Berdasarkan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK), esensi dari pasal 205 ayat

4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat. 39 Artinya,

konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan

perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

1. Menentukan kesetaraan 50 persen suara sah dari angka bilangan pembagi pemilih

(BPP) di setiap daerah pemilihan (dapil) anggota DPR.

2. Membagikan sisa kursi pada setiap pemilihan anggota DPR kepada parpol peserta

pemilu anggota DPR dengan ketentuan:

a. Apabila suara sah atau sisa suara parpol atau peserta pemilu anggota DPR

mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP, maka partai politik

terrsebut memperoleh satu kursi.

b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta pemilu anggota DPR

tidak mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP dan masih

terdapat sisa kursi, maka:

1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa

suara yang diperhitungkan kursi tahap ketiga.

2) Sisa suara parpol yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan

kursi tahap ketiga.

39 KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,”

http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010

Page 52: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

52

Sedangkan untuk pasal 211 ayat 3 dinyatakan konstitusional bersyarat40.

Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi

jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut

dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama.

2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu anggota DPRD

Provinsi tersebut, dengan cara:

a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,

jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah

kursi yang diperoleh parpol pada tahap pertama dengan angka BPP.

b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap

pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sisa

suara.

c. Menetapkan perolehan kursi parpol peserta pemilu Anggota DPRD Provinsi,

dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu

anggota PDRD satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis

terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik.

Pasal 212 ayat 3 Undnag-Undang Nomor 10 Tahun 2008, juga berlaku

konstitusional bersyarat41, artinya konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara

sebagai berikut:

40 KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,”

http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010

41 KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,”

http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010

Page 53: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

53

1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi

jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota

tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap

pertama.

2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu Anggota DPRD

Kabupaten/Kota tersebut dengan cara:

a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,

jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah

kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP.

b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap

pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sebagai

sisa suara.

c. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta pemilu Anggota DPRD

Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik

peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi satu berturut-turut

sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang

dimiliki oleh partai politik.

Page 54: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

54

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP

SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008

A. Sistem Pemilu Dalam Islam

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah Pemilu (Intikhabat) ada

dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya?

Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalîfah pada masa khulafâ ar- rasyidîn?

Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi?.

Faktanya, pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan

itu ada di tangan umat (As-Sultân Li Al-Ummah). Ini merupakan salah satu prinsip

dalam sistem pemerintahan Islam (khilâfah). Prinsip ini terlaksana melalui metode

baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalîfah.42 Prinsip ini berarti,

seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalîfah), kecuali atas dasar pilihan dan

kerelaan umat. Disinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat

untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalîfah.

Namun perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode

(tarîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan

42 J. Suythi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), h.72

49

Page 55: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

55

metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.43 Lebih detilnya, cara merupakan

perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang

digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-asli).

Cara amil zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki

atau naik kendaraan, apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer, apakah

harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan

cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang

mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum

untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil Surat At-Taubah ayat

103.

⌦ ☺

)103: 9/التوبة(Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan, mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah/9: 103)

Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya

adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas

mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh

ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang dari

perbuatan pokok yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat

43 J. Suythi Pulungan, h. 29

Page 56: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

56

dibagikan, barang apa saja yang dizakati dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan.

Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan

secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada.44

Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalîfah dalam

syarî’ah Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib, ada pula cara

(uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu

metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalîfah, yaitu baiat yang hukumnya

adalah wajib. Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang

mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah.”

(Hadis sahih).45

Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan

sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu

adalah wajib hukumnya.46

Adapun tatacara pelaksanaan baiat (Kaifiyat Adâ' Al-bâ’ah), sebelum

dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-

ubah. Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah.

44 J. Suythi Pulungan, h. 30 45 Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-

Bâri, XVI/240). 46 J. Suythi Pulungan, h. 73

Page 57: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

57

Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk

melaksanakan baiat, yaitu memilih khalîfah yang akan dibaiat.47

Mengapa cara pemilihan khalîfah boleh berbeda dan berubah, termasuk

dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan

sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan

satu cara tertentu untuk mengangkat khalîfah (nashbu al-khalîfah), sebagaimana yang

terjadi pada masa khulafâ ar-rasyidîn. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-

beda untuk masing-masing khalîfah yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r.a.

Namun, pada semua khalîfah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang

tetap dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya

metode untuk mengangkat khalîfah (nashbul khalîfah), tak ada metode lainnya.48

Baiat menurut pengertian syarî’ah adalah hak umat untuk melangsungkan

akad khilâfah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah). Baiat ada dua macam:

Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad khilâfah. Baiat ini merupakan penyerahan

kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia

menjadi khilâfah. Kedua, baiat at-tâ‘at atau bay’ah ‘ammah, yaitu baiat dari kaum

Muslim yang lainnya kepada khalîfah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku

umat menaati khalîfah.49

47 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu

Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), Edisi Revisi, Cetakan III, h. 68 48 A. Djazuli., h.7. 49 J. Suythi Pulungan, h. 72

Page 58: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

58

Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalîfah.

Maka dari itu, pada khulafâ ar-rasyidîn, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari

umat kepada para khalîfahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis

pengangkatan khalîfah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum

baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang

pernah dilakukan pada masa khulafâ ar-rasyidîn, dapat diambil cara-cara

pengangkatan khalîfah sebagai berikut: 50

Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Abu Bakar As-

Siddiq yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1)

diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi, (2) Ahl

Al-Hall Wa Al-Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang

tertentu yang layak untuk menjabat khalîfah, (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr)

terhadap salah satu dari calon tersebut, (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang

terpilih, (5) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umumnya umat kepada khalîfah.51

Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Umar bin

Khattab, yaitu ketika seorang khalîfah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2

(dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1)

khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi

mengenai siapa yang akan menjadi khalîfah setelah dia meninggal, (2) khalîfah

melakukan istikhlâf atau ‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan

50 A. Djazuli, h. 65 51 A. Djazuli, h. 66

Page 59: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

59

menjadi khalîfah setelah khalîfah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah

lagi, (3) calon khalîfah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk

menjadi khalîfah, (4) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat kepada khalîfah.52

Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Utsman bin

Affan, yaitu ketika seorang khalîfah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya

sendiri atau atas permintaan umat, ia melakukan langkah berikut: (1) khalîfah

melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang

layak menjadi khalîfah dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang

mereka untuk menjadi khalîfah setelah ia meninggal, dalam jangka waktu tertentu,

maksimal tiga hari. Setelah khalîfah meninggal dilakukan langkah, (2) beberapa

orang calon khalîfah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari

mereka untuk menjadi khalîfah, (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat,

(4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalîfah,

(5) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat secara umum kepada khalîfah.53

Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Ali bin Abi

Tâlib, yaitu setelah wafatnya khalîfah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahl Al-

Hall Wa Al-Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalîfah, (2) Ahl Al-Hall

Wa Al-Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalîfah, dan orang itu

menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat, (3) umat

52 A. Djazuli, h. 67 53 A. Djazuli, h. 68

Page 60: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

60

melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalîfah, (4) dilakukan baiat

at-tâ‘at oleh umat secara umum kepada khalîfah.54

Itulah empat cara pengangkatan khalîfah yang diambil dari praktik pada masa

khulafâ ar-rasyidîn. Berdasarkan cara pengangkatan khulafâ ar-rasyidîn di atas,

khususnya pengangkatan khalîfah Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani

dan Imam Abdul Qadim Zallum lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan.

Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam

melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara

pengangkatan khalîfah ini terdiri dari 4 (empat) langkah diantaranya:55

1. Para anggota majelis umat yang muslim melakukan seleksi terhadap para calon

khalîfah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk

memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara

pelaksanaannya.

2. Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam

mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.

3. Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak

sebagai khalîfah.

4. Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi

khalîfah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan

menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalîfah.

54 A. Djazuli., h. 69. 55 A. Djazuli., h. 71.

Page 61: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

61

Di samping Pemilu untuk memilih khalîfah, dalam sistem politik Islam juga

ada pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi

anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan

melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalîfah. Mengapa melalui

pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakâlah (perwakilan). Anggota majelis umat

adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan

kepada penguasa. Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya.

Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau

ditentukan oleh khalîfah.56

Mengingat pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakâlah,

maka implikasinya berbeda dengan akad khilafâh. Dalam akad wakâlah, pihak

muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil),

sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad

wakâlah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah).57 Maka dari itu, umat

memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda

dengan akad khilâfah, sebab dalam akad khilâfah umat tidak berhak memberhentikan

khalîfah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat

khalîfah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalîfah, selama akad baiat telah

dilakukan sempurna sesuai dengan syarî’ah. Jika khalîfah melanggar syarî’ah Islam,

56 Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat,

(Bandung:Mizan, 1993), h. 245. 57 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148

Page 62: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

62

yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazalim, yaitu lembaga

peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan

penguasa atau negara.58

Ketika Islam membolehkan pemilu untuk memilih khalîfah atau anggota

majelis umat, bukan berarti pemilu dalam Islam identik dengan pemilu dalam sistem

demokrasi sekarang. Dari segi cara atau teknis (uslûb), memang boleh dikatakan

sama antara pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam.

Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya

sangatlah berbeda, bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi

didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari

kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh atau sekularisme), sedangkan pemilu dalam

Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama

dari kehidupan.59

Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di

tangan rakyat (as-siyâdat li asy-sya‘b), sehingga rakyat di samping mempunyai hak

memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, pemilu dalam Islam

didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan

di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak

58 Abu A’la Al-Maududi., h. 247 59 Abu A’la Al-Maududi., h.144.

Page 63: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

63

rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh

membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi.60

Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang

akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya,

pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan

kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia

seperti dalam demokrasi.61

B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer

Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’ah dan

pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang

menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-

kontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini

jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak

dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu, tema keterlibatan para ulama dan

cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai

eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hal ini selalu menjadi perdebatan yang hangat

dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan

misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan”

atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadi. Meskipun tentu saja perdebatan

60 Abu A’la Al-Maududi, h. 159. 61 Abu A’la Al-Maududi, h. 160.

Page 64: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

64

itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis” tersebut, namun

hal tersebut boleh atau makruh. Tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap

wara’ semata, tidak lebih dari itu.62

Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua

hal. Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat

dalam jabatan tersebut. Kedua, bahwa posisi yudikatif (qada’) secara khusus memiliki

keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imâmah kubra (kepemimpinan tertinggi)

yang dalam hal ini dipegang oleh para khalîfah yang memiliki kadar keadilan yang

berbeda-beda satu sama lain. Dan sangat disayangkan bahwa tabiat umum para

khalîfah itu pasca khulafâ al-rasyidîn justru lebih diwarnai oleh kefasikan, hal yang

kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan

apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalîfah itu. Alasannya tentu

sangat jelas rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi

kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur

itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.

Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa

terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan

penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar.

Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide

yang asing bagi umat Islam, namun anehnya secara pemikiran dan praktek ia begitu

melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat

62 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah., h. 1

Page 65: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

65

“keinginan untuk menerapkan syarî’ah Islam” menjelma menjadi tuduhan

menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum

muslimin sendiri dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawan

berperan sangat besar dalam hal ini.

Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di

kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’ah dan aktifisnya, dalam

menentukan sikap mereka. Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu

secara lembaga maupun individu telah menyimpang dari jalan yang benar dan

perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun

mereka kemudian berbeda pandangan lagi, apakah perubahan itu harus melalui

kudeta? atau mengikuti persaingan politik yang keras? atau justru dengan melakukan

kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah

negara?.

Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih

berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak

hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini secara lembaga maupun individu. Tapi

yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?.

Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam

menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan

di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam skripsi ini, dimana ia akan

Page 66: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

66

berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i

yang ada.

Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang

pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan

menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul al-

musyârakat fi al-Intikhâbat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan

beberapa kaidah dimaksud, yaitu:63

Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat

dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya.

Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu

dengan yang lain, karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya

mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak

mungkin diragukan lagi.

Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-walâyat al-

‘ammah), seperti khalîfah, qadi, menteri, gubernur, hisbah,64 dan yang terkait

dengannya. Semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun

kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi,

seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang

lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilâfah atau imâmah

63 Lihat Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, h. 2 - 4 64 Hisbah adalah sebuah lembaga resmi pemerintah Islam yang bertugas menjalankan amar

ma’ruf nahi munkar

Page 67: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

67

mengatakan: “Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian

dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”65 Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah

termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak

dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk

menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah

untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan

taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling

utama.”66

Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang

tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai

kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan

menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan.

Kekuasaan yudikatif (qada’) misalnya yang notabene merupakan kekuasaan

syar’i yang sangat mulia, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas

dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami

syarî’ah Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan

kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka

menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan syarî’ah Islam. Dan ia

65 Al-Ahkam al-Sultaniyyah., h. 5. 66 Majmu’ al-Fatawa, 28/390.

Page 68: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

68

tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai

dengan wahyu Allah.67

Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas

umat Muhammad saw, yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus

masyarakat muslim, baik secara individu ataupun kelembagaan.

Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan

agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti

para rasul dalam menyampaikan risalah Allah.

Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi

mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:

☺ ☺ )79: 3/ال عمران(

Artinya : “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Al-Imran/3: 79).

Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan

mengatakan: “Jika demikian, para rabbaniyyûn adalah sandaran manusia dalam

67 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, h. 3.

Page 69: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

69

pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid

mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama,

sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman,

yang memahami politik (siyâsah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta

apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.”68

Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam:69

1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah,

fara’idh, hukum seputar keluarga seperti nikah dan talaq, hudud, qisas dan

diyatnya.

2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum

oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’amalah harta dan sistem tatanan sosial yang

terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya.

Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku

secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-tsawabit), baik yang ditetapkan oleh

nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang qat’i ataupun

zanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya meskipun

ada namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan

perselisihan dan permusuhan.70

68 Tafsir al-Thabari, 3/132 69 Tafsir al-Thabari, 3/132 70 Lihat al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, h. 3

Page 70: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

70

Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan

berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan

itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada.

Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal)

dan adapula yang bersifat terperinci (mufassal), meskipun yang mayoritas adalah

yang pertama.71

Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang

ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga

objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang

satu ini misalnya, Allah berfirman:

)49: 5/المائدة( ⌧Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka

menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah/5: 49)

71 Tafsir al-Thabari, 3/132

Page 71: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

71

Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang

seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan

atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada

posisi yang tepat.

Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup

aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan

yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya,

seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya.72

Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu

bersifat ijtihâdiyyah dan bukan tauqifiyyah.73

Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak

mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. Ia

bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya.

Sistem adminstrasi pada masa khulafâ' ar-rasyidûn misalnya berbeda dengan

sistem yang berlaku di zaman Nabi SAW ataupun dengan era pemerintahan di masa

Umayyah dan Abbasiyah.

Fakta sejarah misalnya menunjukkan bahwa khalîfah Umar bin Khattab r.a.

adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan),

dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya

dijalankan oleh khalîfah Abu Bakar r.a.

72 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah., h. 4. 73 Tafsir al-Thabari, 3/132

Page 72: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

72

Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islâmiyyah yang

pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan

sejalan dengan maslahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah

jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih maslahat.

Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam

membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja

pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah apakah konsep pemilu

dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja

atau tidak?

Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul

selanjutnya adalah apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari

aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah

Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level

yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadi, dan anggota majlis

syûra (parlemen)? atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku?

Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang

menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu

untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa

awal Islam maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw, maka kita tidak menemukan

hal itu. Abu Bakar menjadi khalîfah melalui proses bai’at yang disepakati oleh ahl as-

sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas

Page 73: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

73

dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan

nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah

saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami

(maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam

dalam urusan dunia kami?”

Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin Khattab r.a adalah proses

istikhlâf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama

dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu'ah Al-Majûsi:

“Jika aku melakukan istikhlâf, maka orang yang lebih baik dariku pun maksudnya

Abu Bakar telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang

lebih baik dariku pun telah melakukannya yaitu Rasulullah SAW.”

Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh khalîfah Harun Al-

Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab:

“Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum

beriman pun mendiamkannya.” Harun Al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya

membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan:

“Saat itu Rasulullah SAW sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu

beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka

ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi

SAW. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar

Page 74: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

74

setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca:

sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah SAW.”74

Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas

dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah

tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau

dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam

haruslah berasal dari suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu

luas:

1. Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di

Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti

tertentu.

2. Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu

memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.

3. Syarat ini hanya terkait dengan al-Imâmah al-‘Uzma saja, bukan kekuasaan yang

lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada

beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan

ditunjuk?. Poin kequraisyian inilah yang menentukannya.75

Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap

bersifat mutlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka

dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak

74 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506 75 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506

Page 75: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

75

memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk

kepemimpinan tertinggi di sebuah negara.76

Konsep pemilu sendiri dalam bentuknya yang modern dapat dikatakan

sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang

dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam

seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki karakter ideologis dan

sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:

Karakter Ideologis Pemilu Barat diantaranya adalah:

1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara sesuai dengan

latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen.

2. Menjauhkan agama apapun dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik,

adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak

mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka.

Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar

basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya.

3. Hubungan sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan

ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat,

bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi

mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi

orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu

76 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506

Page 76: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

76

dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk

menghakiminya.

Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya

mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti:

1. Bahwa kebebasan semacam ini seharusnya memberikan kesempatan dan ruang

gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran terutama para

da’i, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir

mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya.

2. Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterus terangan antara

penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan

pandangan mereka secara bebas.

Karakter Teknis-Adminstratif Pemilu Barat, diantaranya adalah:

1. Keragaman partai politik. Hal ini adalah karakter yang secara konsisten melekat

pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya

sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen.77

2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen.

Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya

pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat

sebagai salah satu prinsip Demokrasi.

77 Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah, h. 108

Page 77: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

77

3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu antara 2, 3, 4 atau

5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula

kekuasaan pemerintah terpilih.

4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Ini juga dapat

disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat.

Dengan melihat ulang karakteristik tersebut baik yang bersifat ideologis

maupun adminstratif, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang

disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syarî’ah Islam.

Karakter pertama misalnya penetapan undang-undang, jelas bertentangan dan

bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah

(samawiyyah). Allah berfirman:

☺ ⌧ ☺ ⌧

)21: 42/الشورى( Artinya : “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka Telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura/42: 21)

Karakter kedua juga demikian, memisahkan agama dari kehidupan sosial

masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan

aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa

seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal

Page 78: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

78

)150: 4/النساء( ⌧ Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-

Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (QS. An-Nisa/4: 150)

)151 :4/النساء( ⌧

Artinya : “Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah

menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisa/4: 151)

Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan

berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara

mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk

kebebasan yang sejalan dengan syarî’ah.

Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan

umum, dan pemisahan tiga jenis kekuasaan. Maka nampaknya ini dapat dikategorikan

sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan

Page 79: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

79

diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan modern yang

berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem

yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi tiga tahap:

dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke

tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya.

Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di

kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu

saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita

melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan

bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada

masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep

“negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa khulafâ' al-rasyidûn hingga

khilâfah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah

yang berada di bawah naungan dan jangkauan ke khilâfahan yang membentang dari

Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang,

sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri”

bahwa setelah runtuhnya khilâfah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah

satu kekhilâfahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil

cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya.

Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan, dan pemisahan

tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar

Page 80: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

80

persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung

pada prinsip “ Jalb al-Maslahat wa Dâr al-Mafsadah ”. Dan ini adalah prinsip yang

umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam

sejarah politik Islam awal, terutama di masa khalîfah Umar bin Khathab r.a.

Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencari-

cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidak syar’iyan adanya

keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan tiga jenis kekuasaan tersebut.

Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang

dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak

langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih

untuk itu.

Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa

sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh

mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak

bertentangan dengan syarî’ah Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita

mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab

sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain,

terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau

melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan.

Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan

dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti

Page 81: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

81

inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal

dari luar Islam.

Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah

membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas

intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan

akademisi.78 Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika

pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian

memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar

tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang

menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting

ini yaitu pemilihan pemimpin negara.

Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hall wa al-‘aqd

yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya,

penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan

pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggung-jawabkan secara intelektual, seperti

perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi keilmuan, dan yang

semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat

disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada

Dewan Parlemen.

78 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlaminyah, 2/5

Page 82: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

82

C. Pandangan Hukum Islam terhadap Sistem Pemilu Menurut UU No. 10

tahun 2008

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan

umum (Pemilu) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dapatlah

disimpulkan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilu adalah untuk; (1) memilih wakil

rakyat, dan (2) memilih kepala negara (presiden dan wakilnya).

Dari sisi fakta kepala negara berbeda dengan wakil rakyat, baik dari sisi

kewenangan, tugas, syarat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hukum pemilu

presiden dan pemilu wakil rakyat tidak boleh disamaratakan, akan tetapi harus dikaji

secara terpisah, karena adanya perbedaan fakta di antara keduanya.

Pada prinsipnya, syarî’ah Islam telah menggariskan sejumlah syarat yang

harus dipenuhi seseorang agar ia layak dipilih sebagai kepala negara. Syarat-syarat itu

adalah:

1. Muslim. Jabatan kepala negara tidak boleh diserahkan kepada orang kafir.

Pasalnya, Islam telah melarang kaum Muslim memberikan jalan kepada orang

kafir untuk menguasai kaum Muslim. Selain itu, Al-quran menyatakan dengan

jelas, bahwa Ulil Amri haruslah berasal dari kaum Muslim [QS An-Nisa:59]

Page 83: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

83

)59: 4/النساء( ⌧

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa/4:59)

2. Kepala negara harus seorang laki-laki. Jabatan kepala negara tidak boleh

diserahkan kepada wanita. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Bukari dari Abu Bakrah r.a.

3. Baligh, yakni telah mencapai usia seorang mukallaf.

4. Berakal alias tidak gila

5. Kepala negara harus adil. Jabatan kepala negara tidak boleh diberikan kepada

orang fasik.

6. Merdeka atau mampu mengatur dan menguasai urusannya sendiri, dan tidak di

bawah kendali atau penguasaan orang lain.

7. Mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan.

Jika syarat-syarat di atas ada pada diri seseorang, maka ia absah dipilih untuk

menduduki jabatan kepala negara79.

Selain itu, syarî’ah Islam juga telah menetapkan bahwa seorang kepala negara

itu diangkat dan dipilih untuk menegakkan dan menerapkan syarî’ah Islam secara

79 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyassah: Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), Cetakan I, h. 95-107

Page 84: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

84

menyeluruh, bukan untuk menegakkan dan menerapkan konstitusi dan perundang-

undangan kufur. Atas dasar itu, seorang Muslim dilarang memilih seseorang yang

kelak jika menduduki jabatan kepala negara akan menegakkan dan menerapkan

aturan-aturan kufur. Pasalnya, pemilihan semacam ini telah bertentangan dengan

esensi pemilihan kepala negara dalam pandangan syarî’ah Islam. Atas dasar itu,

hukum melibatkan diri dalam pemilu yang ditujukan untuk memilih figur-figur

pemimpin negara yang nantinya akan menerapkan dan menegakkan konstitusi dan

undang-undang kufur adalah haram secara pasti, tanpa perlu takwil lagi.

Pada dasarnya, seorang muslim boleh mewakilkan aspirasi dan pendapatnya

kepada orang lain. Untuk itu, ia boleh memilih orang lain yang ia sukai untuk

menyampaikan aspirasi dan pendapatnya. Di dalam fikih, aktivitas semacam ini

disebut dengan wakâlah. Selama rukun dan syarat-syarat wakâlah dipenuhi, dan tidak

bertentangan dengan syarî’ah, maka absahlah akad wakâlah tersebut.

Adapun rukun dalam akad wakâlah adalah akad atau ijab qabul, dua pihak

yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili

(wakîl), perkara yang diwakilkan, serta bentuk redaksi akad perwakilannya (sighat

taukîl). Semua rukun tersebut harus sesuai dengan syariat Islam.

Dalam kaitannya dengan pemilu, jika muwakkil dan wakîl telah mengucapkan

sighat taukîl. Maka perkara yang harus diperhatikan adalah obyek yang diwakilkan,

yakni dalam rangka untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan.

Jika akad perwakilan tersebut ditujukan untuk melaksanakan perkara-perkara yang

Page 85: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

85

sejalan dengan syarî’ah, maka absahlah akad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika

akad perwakilan tersebut ditujukan untuk melaksanakan perkara-perkara yang

bertentangan dengan syarî’ah, maka batillah akad perwakilan tersebut.

Jika kita perhatikan tugas wakil rakyat yang duduk di parlemen, dapatlah

disimpulkan bahwa mereka dipilih untuk melaksanakan sejumlah tugas diantaranya

adalah: (1) membuat undang-undang dasar (UUD) dan undang-undang (UU) serta

mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang (RUU), dan berbagai

perjanjian yang lain, (2) mengangkat kepala negara di beberapa negara, dia dipilih

secara langsung oleh rakyat dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan

pemerintahan, (3) melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah

dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Berdasarkan fakta fungsi dan tugas wakil rakyat di atas dapatlah ditarik

ketentuan hukum syarî’ah sebagai berikut: Pertama, akad wakâlah (pemilu) yang

ditujukan untuk melaksanakan fungsi legislasi, yakni fungsi pembuatan hukum jelas-

jelas dilarang di dalam Islam yaitu haram. Pasalnya, hak untuk membuat dan

menetapkan hukum hanya di tangan Allah SWT, bukan di tangan manusia.

Menyerahkan tugas ini (legislasi) kepada manusia sama artinya telah

menyekutukan Allah SWT. Kedua, akad wakalah yang ditujukan untuk

melanggengkan sistem kufur, memberi mandat kepada penguasa untuk menjalankan

hukum-hukum kufur termasuk perbuatan haram. Ketiga, pencalonan dalam rangka

melaksanakan fungsi pengawasan (muhâsabat li al-hukkâm) termasuk perkara yang

dibolehkan. Hanya saja, pencalonan tersebut harus terikat dengan syarat-syarat syar'i,

dan bukanlah mubah secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:

Page 86: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

86

1. Tidak menjadi calon partai sekuler dan tidak menempuh cara-cara haram,

semacam penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan

orang sekuler.

2. Harus menyuarakan secara terbuka targetnya menegakkan sistem Islam,

meruntuhkan sistem sekuler, dan dengan sadar bertekad untuk mengubah sistem

ini menjadi sistem Islam, serta mengumumkan perjuangannya untuk

membebaskan negerinya dari cengkeraman asing.

3. Dalam kampanye pemilu, ia harus menyampaikan ide-ide dan program-program

yang bersumber dari syarî’ah Islam.

4. Harus konsisten dan terus-menerus melaksanakan hal di atas.

Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pencalonan seorang muslim

menjadi anggota parlemen secara syar'i diperbolehkan.

BAB V

PENUTUP

Page 87: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

87

A. Kesimpulan

Dari uraian bab diatas, penulis menyadari banyak kekurangan yang berkaitan

dengan penyajian data maupun kelemahan analisa penulis sendiri. Meskipun

demikian dapatlah disimpulkan point-point penting berikut ini untuk menjawab tiga

pertanyaan besar dalam skripsi ini.

Pertama berkaitan dengan konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah

yang berkaitan dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun

2008. Ada tujuh prinsip ketatanegaraan dalam Islam yang membahas tentang nilai-

nilai yang harus ditegakkan dalam sistem pemilihan umum (pemilu) dalam Islam

diantaranya:

1. Prinsip pertama adalah musyawarah atau syuro

Prinsip ini dianggap sebagai thariqoh (model) untuk berdemokrasi dengan

meminta pendapat kepada orang yang berkompeten untuk mendapat kebenaran

yang sejat. Musyawarah dalam sistem pengambilan hukum dalam Islam dijadikan

sebagai dasar tasyri (yurispudensi).

2. Prinsip kedua adalah adalah (keadilan)

Pemilu yang dilaksanakan secara demokratis dengan cara musyawarah tentunya

juga harus memenuhi rasa keadilan bagi ummat. Keadilan tersebut harus

dibangun atas dasar niat yang tulus (ikhlas) karena Allah, dan tentunya berpihak

82

Page 88: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

88

kepada kebenaran, bukan kedzaliman ataupun kebencian, sehingga keadilan

terbentuk atas nilai ketakwaan.

3. Prinsip ketiga yaitu persamaan (musawah)

Hak memilih setiap individu dalam pemilu harus memenuhi unsur persamaan.

Persamaan mengandung arti tidak ada dikotomi gender, ras, atau pun golongan.

Hal ini terkait dengan doktrin Al-quran tentang privilage yaitu bahwa kemuliaan

seseorang di mata Allah tidak ditentukan berdasarkan status sosialnya dalam

masyarakat, tetapi lebih kepada derajat ketakwaan-Nya.

4. Prinsip keempat adalah shidiq (kejujuran)

Pelaksanaan pemilu dalam islam tentunya harus transfaran dan jujur, karena

kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan (amanah) atas tanggung

jawab (mas’uliyah) yang diberikan. Dengan kata lain, penyimpangan terhadap

amanah adalah pengkhianatan terhadap umat dan tentunya merusak sendi-sendi

demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, prinsip kejujuran merupakan paralel

dengan prinsip yang kelima.

5. Prinsip kelima yaitu prinsip pertanggungjawaban

Sistem pertanggungjawaban dalam pemilu merupakan akuntabilitas dan

transparansi terhadap amanah itu sendiri.

6. Prinsip keenam yaitu huriyah (kebebasan)

Page 89: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

89

Dalam konteks pemilu adalah terhindar dari segala macam bentuk intimidasi dan

intervensi penguasa yang berlebihan yang mencakup ancaman terhadap agama,

jiwa, akal, keturunan, dan harga benda (ad-doruriyah al-khamsah). Apabila

kebebasan individu dijamin sepenuhnya oleh penguasa, maka akan timbullah

kebajikan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian prinsip kebebasan sejalan

dengan prinsip terakhir yaitu kebajikan.

7. Prinsip ketujuh yaitu kebajikan (kesejahteraan)

Dalam perspektif kebajikan mengandung defenisi yang luas dan mendalam

terwujudnya keadilan sosial baik materi maupun inmateri, fisik, psikis, dan

rohani, bahkan spritual.

Dalam perspektif hukum tata negara, menurut Refly Harun, sistem yang

disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnya jelas sekali bahwa

perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang

pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, karena ada pihak tertentu yang kalah dan

mengupayakan agar menang, maka mereka kemudian mengajukan judicial review.

Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun dianggap adil sesuai dengan UUD 1945,

akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap

ketiga yaitu penentuan yang diangkat dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil

(Daerah Pemilihan), dapil mana yang berhak mendapat kursi.

Page 90: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

90

Kedua, berkaitan dengan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia

menurut UU No. 10 Tahun 2008 terdapat adanya kontroversi beberapa pasal (pasal

205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3) tentang perolehan kursi DPR, UU

No. 10 Tahun 2008 diklaim sebagai undang-undang yang menyempurnakan aturan

pada tahun sebelumnya. Ada dua isu mendasar dalam UU tersebut:

1. Berkaitan dengan sistem Parlementary Thershold yang dianggap bertentangan

dengan prinsip multi-partai yang menjadi inti dari UU No. 2 Tahun 2008 ini

terkait dengan sistem multi-partai yang merupakan hasil dari euporia politik pasca

reformasi. Dengan demikian, Parlementary Thershold dikhawatirkan akan

mengembalikan sistem kepartaian yang terjadi pada masa rezim orde lama dan

orde baru.

2. Sistem proporsional dianggap telah terdistorsi oleh ologarki parlemen dalam

menyusun UU No. 10 Tahun 2008

3. Sebagaimana diketahui, paling tidak ada dua fungsi utama wakil rakyat di

DPR/Parlemen. Pertama: melegislasi Undang-Undang Dasar (UUD) atau

Undang-Undang (UU). Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan

lain bagi kaum Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan

negaranya kecuali dengan menggunakan syarî’ah Allah SWT. Kedua: fungsi

pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen, berupa koreksi dan

kritik terhadap pemerintah atau para penguasa atau Undang-Undang yang

digodok dan dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jelas hukumnya

Page 91: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

91

wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf

nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap muslim, terlebih para wakil rakyat.

Jadi dalam pandangan hukum Islam pemilu untuk memilih para wakil rakyat

hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.

Ketiga, terkait relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem

pemilihan umum (pemilu) dalam UU No 10 tahun 2008. Merujuk kepada UU No. 10

Tahun 2008, pemilu di Indonesia bertujuan untuk:

1. Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan

DPRD Kabupaten/Kota.

2. Memilih penguasa

Dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat

merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal wakâlah adalah

mubah (boleh). Wakâlah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun

tersebut adalah adanya akad (ijab-qabul), dua pihak yang berakad yaitu pihak yang

mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan,

serta bentuk redaksi akad perwakilannya (sighat tawkîl). Semuanya harus sesuai

dengan syarî’ah Islam.

Menyangkut pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama

adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad

perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu

sesuai dengan syarî’ah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syarî’ah Islam, maka

Page 92: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

92

wakâlah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakâlah

tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.

Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat

sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya yang diakui dalam Islam

adalah kedaulatan syarî’ah, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya

Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-

tercela.

Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan

tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem

politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam atau khâlifah)

untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh bahkan wajib. Sebab

imam atau khâlifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum

syarî’ah dalam negara, dan ketiadaan imam atau khâlifah akan menyebabkan tidak

terlaksanakan hukum-hukum syarî’ah tersebut.

Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan

tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem

politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam atau khâlifah)

untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab

imam atau khâlifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum

syarî’ah dalam negara, dan ketiadaan imam atau khâlifah akan menyebabkan tidak

terlaksanakan hukum-hukum syarî’ah tersebut. Karena itu, hukum wakâlah dalam

Page 93: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

93

konteks membuat dan melegalisasikan undang-undang yang tidak bersumber pada

syarî’ah atau hukum Allah, jelas tidak boleh.

B. Rekomendasi

Dari deskripsi dan analisa penulis dalam skripsi ini, terlihat ada beberapa titik

temu antara sistem pemilu konvensional dan sistem pemilu dalam Islam. Walaupun

harus diakui secara jujur bahwa sistem pemilu dalam Islam tidak bisa disamakan

dengan sistem pemilu sekuler saat ini.

Berdasarkan hal tersebut, penulis menyarankan kepada para wakil rakyat yang

duduk di parlemen untuk lebih memperhatikan keadaan rakyat yang telah

memilihnya, karena kepercayaan tersebut adalah amanah yang mesti diemban secara

jujur dan bermartabat. Esensi pemilu dalam Islam adalah bukan untuk merengguk

kekuasaan semata, tetapi lebih dari itu ia adalah kepanjangan dari kebijakan Tuhan di

muka bumi, karena harus diingat bahwa suara rakyat adalah suara Allah.

Page 94: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

94

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Hadits

Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Cet I, (Jakarta: LP3ES, 1987)

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, (t.t: t.p, t.th) cet III/148

Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245.

Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani, 2000)

Al-Rayis, Muhammd Dhiya’ al-Din, Al-Nazhariyat al-siyasat al-Islamiyat, (Mishr: Maktabatul al-Anjlu al-Mishriyat, 1960)

As-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Asas-asa Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1976)

Azhary, Prof. Dr. H. Muhammad Tahir, SH., Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111.

Djazuli, Prof H.A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), Edisi Revisi, Cetakan III, h. 68.

Farabi, Al- dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002)

Iqbal, Dr. Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)

Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)

Jurdi, Dr. Syarifuddin, Sosiologi Islam Dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, Dan Aksi Sosial, Ed 1, Cet 1, (Jakarta: Kencana 2010)

Kusnardi, Muhammad dan Saragih. Bintan R, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)

89

Page 95: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

95

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Bambang ed. Cet 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

Marzuki, Peter Mahmud, Prof. Dr. SH., MS., LL.M, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008)

Mawardy, Al- dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah

MD, Prof. Dr. Mahfudz, “Penerapan UU No 10 tahun 2008, “ <http://www. indosiar.com/ragam/78701/penerapan-uu-no10-tahun-2008> edisi 25 Februari 2009, diakses pada 3 Mei 2010

Mulia, Musda, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997)

Munawar, Al- dan Said Agil Husain Prof. Dr., MA, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadina, 2004)

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV Rajawali, 1987)

Pulungan, Dr. J. Suyuthi, M.A., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)

Rahman A. Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)

Rasyid, Ryaas, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Dalam Andy Ramses M dan La Bakry, ed. Cet 1 (Jakarta: MIPI, 2009

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid V, (Mishr: Maktabat al-Qahirat, 1960)Abdul Wahab Khalaf, Al-siyasah As-Syariyyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1977)

Salomo, Simanungkalit, dkk, Peta politik Pemilihan Umum 1999-2004, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2004)

Soerjono, Soekanto, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)

Syafi’i, Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996)

Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008)

Page 96: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

96

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Poluler Edisi Lengkap, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006)

Wahid, Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.) “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99.

Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul Aslinya: As-Siyasah Asy-Syari’yah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I,

Zaidan, Abdul Karim, Individu dan Negara Menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah dkk, Politik Islam, Konsepsi dan Demokrasi, terjemahan Jamaluddin Kafie, Cs., (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1987)

_______, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin Kramat Raya, 1984)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)

Artikel dan Internet

KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK”,http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkan-mk.html, diakses 3 Mei 2010

Nurhasim, Moch, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu. okezone.com/read/ 2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10/2008 'Kebiri' KebebasanPers,http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=17300, diakses 3 Mei 2010

Page 97: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

97

Lampiran I

HASIL WAWANCARA

Informan : Refly Harun SH., MH., L.LM

Pekerjaan : Peneliti senior CENTRO

Tempat : CENTRO

Waktu/Tgl : Pukul 20.00 s.d 21.00/18 Juni 2010

T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai UU No. 10 Tahun 2008?

J. Menurut bapak Relfy Harun mengengai UU No.10 tahun 2008, dilihat dari

segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan Mei 2007 dan selesai dirmusukan

pada 3Maret 2008, kemudian disahkan pada 28 Maret 2008. Sedangkan

pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap sangat terburu-buru

karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya yudisial review

yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih yang

mendapatkan suara 30 %. MK membatalkan pasal 214 yang menyatakan

harus memperoleh suara terbanyak. Perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat

luar biasa dengan banyaknya perubahan dari UU sebelumnya yang membuat

pemilu mengalami banyak permasalahan.

Page 98: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

98

T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi

dalam UU No. 10 Tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan

pasal 212 ayat 3?

J. Pasal yang dianggap kontropesi sebenarnya dalam hal ini sesuai menurut

UUD 1945 yang terdapat dalam pasal 22 E, hanya ada pihak yang ingin

mengambil kesempatan, khususnya yang tidak mendapatkan kursi di DPR.

Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008 misalnya partai A mendapat 70

suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama partai A mendapat

1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak mendapatkan kursi

karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada tahap kedua

partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu 20

kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa

suara lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak

yang menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan

penentaun kursi pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan

kepada partai yang mendapat suara terbanyak.

T. Apakah ada keadilan dalam UU No. 10 Tahun 2008?

J. Menurut sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnnya

jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD

1945 tentang pelaksana pemilu. Akan tetapi ada pihak tertentu yang kalah dan

Page 99: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

99

mengupayakan agar menang. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun

dianggap adail sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan

penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan

yang diangakat dalam DPR Provinsi atau penentuan dapil, dapil mana yang

berhak mendapat kursi.

T. Mengapa ada perbedaan pendapat dalam UU No. 10 Tahun 2008?

J. Banyak politisi yang melakukan yudisial review, salah satu fakor adalah

ketidak jelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait dengan penetapan atau

pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon terpilih, ditambah

dengan rumitnya sistem pemilu yang diadospi. Dalam sistem pemilu

Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal

ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam

jumlah kursi atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem

proporsional terbuka sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal

dengan distrik. Kemudian ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang

dipersoalkan adalah mental para calon DPR yang mengupayakan segala cara

agar dapat terpilih dan mengupayakan agar celah hukum yang ada agar

terpilih menjadi anggota DPR.

T. Apakah UU No. 10 tahun 2008 merupakan penyempurnaan dalam UU No. 12

Tahun 2003?

Page 100: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

100

J. UU No.10 tahun 2008 bukan penyempurnaan akan tetapi perubahan karena

konteks isi atau bahasa didalamnya dirubah secara keseluruahan yang

dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan

antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU No.12 tahun 2003 dan masih

dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut.

T. Apakah relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara?

J. Relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat

dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945 dalam BAB VIIB

tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat

2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil

presiden dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota

DPRD adalah partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota

DPD adalah perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi

pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih

lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang.

Page 101: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

101

Lampiran II

HASIL WAWANCARA

Informan : Yan Hasanuddin Malik

Pekerjaan : Penasihat dan badan hukum Partai Bulan Bintang (PBB)

Tempat : Kantor Dewan Perwakilan Daerah PBB Sukabumi

Waktu/Tgl : Pukul 09.00 s.d 11.00/23 Juni 2010

T. Jika merujuk pada UU No. 10 tahun 2008, bagaimana tanggapan bapak

mengenai UU No. 10 tahun 2008?

J. Dalam UU No.10 tahun 2008 menurut tanggapan pembicara jika merujuk

pada hal ini anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan

harus melalui partai politik. Antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10

tahun 2008 yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya tidak jauh berbeda

hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai

sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya

terdapat dalam tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan

orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia

menganut perkawinan sistem distrik dan sistem proporsional.

Page 102: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

102

T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi

dalam UU No. 10 tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan

pasal 212 ayat 3?

J. Mengenai pasal yang kontropersi sebenarnya terdapat dalam masalah

perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk

dalam BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan

dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika

ketentuan perhitungan dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi

maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A

mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan perhitungan tahap kedua, sedangkan

partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan

sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai B adalah 200 hal ini

merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara

dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang memenangkan

suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi kontropersi jika

ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai habis. Suara

yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang mendapatkan

suara terbanyak.

Penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga,

suara partai yang tidak mendapatkan kursi kemudian dilimpahkan kepada

partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi

dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang memilih satu partai

karena tidak mencukupi dianggap hangus. Isu dalam UU No. 10 tahun 2008

ada dalam parlementary thershold dan elektoral threshold.

Page 103: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

103

T. Apakah dalam Islam mengenal pemilu atau intikhabat?

J. Dalam Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau

dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau

dasarnya adalah suara mayoritas yang paling banyak suara sah atau

pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai

dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai kapabilitas, intelektual,

moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja.

Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika dalam

demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa

dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam

dengan pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam

dan pemilu di indonesia mempunyai semangat yang sama.

T. Bagaimana sistem pemilu dalam Islam?

J. Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu

harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang

mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR

sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu,

sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi

dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat

mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam.

T. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia

dalam UU No. 10 tahun 2008?

Page 104: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

104

J. Pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No.

10 tahun 2008, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan

perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu

boleh saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka

kewajiban masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu

diprogramkan maka diperlukan lembaga yang perlu untuk menjalankan

perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah

dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak boleh merubah dari ketentuan

syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari

Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu harus dibuat

dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas

tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang

berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.

T. Jika dalam Islam dikenal dengan prinsip keadilan, apakah UU No. 10 tahun

2008 dapat dikatakan adil?

J. Dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya

karena ada sistem parlementary threshold, maka sebagian wakil rakyat di

DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada

partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya lebih kepada ukuran kebenaran tapi

perlu diperjuangakan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi.

Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil saja selama tidak

bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.

T. Apakah dalam Islam ada pemilihan DPR?

J. Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu

harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang

mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR

Page 105: SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8086/1/MEKKA... · B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ..... 58 C. Pandangan

105

sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu,

sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi

dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat

mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam.

T. Apakah hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan UU

No. 10 tahun 2008?

J. Hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di

Indonesia menurut UU No.10 tahun 2008 dengan tujuan untuk

mensejahterakan rakyat dengan memilih orang-orang yang mempunyai

kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan

rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi substansi jika dalam

Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu demokrasi

ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam

pemilihan suara.