SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG...
Transcript of SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG...
SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008
(SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
MEKKA MUKARROMAH
NIM: 106045201532
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H / 2010 M
1
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Metode Penelitian ....................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan .................................................................. 11
BAB II DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH
A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam ............................ 13
B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam Dalam Pemilu .................. 18
1. Prinsip Musyawarah............................................................... 18
2. Prinsip Keadilan..................................................................... 20
3. Prinsip Persamaan .................................................................. 21
4. Prinsip Kejujuran ................................................................... 22
5. Prinsip Pertanggungjawaban.................................................. 23
6. Prinsip Kebebasan.................................................................. 25
3
7. Prinsip Kebajikan................................................................... 25
BAB III SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008
A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008................ 28
B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No. 10 Tahun 2008............. 29
C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008 ............................................... 45
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU
MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008
A. Sistem Pemilu Dalam Islam ........................................................ 49
B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ................ 58
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu menurut UU No
10 Tahun 2008 ............................................................................. 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 82
B. Rekomendasi ................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 89
4
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيمDengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya, sehingga alhamdulillah penulis dapat
merampungkan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari’ah.
Pada skripsi ini penulis memilih judul Sistem Pemilu Di Indonesia Menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Suatu Kajian Fiqh Siyasah). Shalawat serta
salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah suri
tauladan bagi umat manusia didalam mengarungi bahtera hidup di alam fana ini.
Dalam penulisan skripsi ini, alhamdulillah penulis telah mendapatkan banyak
bimbingan, petunjuk, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka selayaknya
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Ibu
Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah
memberikan petunjuk dan pengarahan khusus dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Asmawi M.Ag selaku pembimbing yang senantiasa mengarahkan
penulis kepada wawasan intelektual dan dunia ilmiah yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
5
4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang memberikan berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Ayah dan Ibuku (H. Dadin Supriadi dan Hj. Nina Ernawati) serta kakek dan
neneku (H. Supandi dan Hj. Sholihat) yang telah memberikan tetesan air mata
do’a dan motivasi hidup yang berarti.
7. Suamiku tercinta yang selalu menuntunku agar terus berdo’a, berusaha, dan
bersabar.
8. Seluruh keluargaku yang selalu mendo’akanku disetiap waktu.
9. Teman-teman yang membantuku dalam suka maupun duka.
10. Dan kepada semua pihak yang telah mendoakan dan membantu penulis baik moril
maupun materil
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.
Demikianlah semoga Allah SWT, senantiasa memberikan hidayah, taufik dan inayah-
Nya dan menjadikan skripsi ini sebagai karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis
dan bagi siapa pun yang membacanya.
Jakarta, 10 Juni 2010
Penulis,
Mekka Mukarromah
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu
merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam negara republik
Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan
pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pemilu diselenggarkan untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan atas
asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dengan pemilu adalah
meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh pemerintah.
Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem
demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil
rakyat yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan
kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang
pemilihan umum (Pemilu). Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan
1 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
7
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.”
Selain itu pemilu dalam negara demokratis merupakan mekanisme
pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekularistik.
Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008, tentang
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota, dalam bab I yaitu ketentuan umum yang menyatakan “Pemilihan
umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu
perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan yang
dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya sesuai dengan
syarî’ah Islam, jika sesuai dengan syarî’ah Islam maka wakâlah boleh dilakukan,
sebaliknya jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut menjadi bâtil dan karenanya
haram dilakukan.
Dalam pandangan hukum Islam, pemilu merupakan cara untuk memilih wakil
rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal
‘wakâlah’ adalah mubah (boleh), dalilnya terdapat dalam hadits sahih dalam
penuturan Jabir bin Abdillah r.a. yang berkata:
8
فأتيت , أردت الخروج إلى خيبر: قال( وعن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما فخذ منه خمسة عشر , إذا أتيت وآيلي بخيبر: النبي صلى اهللا عليه وسلم فقال
وصححه رواه أبو داود )وسقا Artinya : “Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi
SAW. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR. Abu Daud). 2
Adapun dalam sistem demokrasi, pemilu untuk memilih penguasa adalah
dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Maka status pemilu
legislatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks pemilu legislatif, status
pemilu merupakan akad wakâlah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun
dalam konteks pemilu eksekutif statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status
akad wakâlah, melainkan akad ta‘yîn wa tansib (memilih dan mengangkat) untuk
menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum
apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka
memilih penguasa bukan saja mubah atau boleh melainkan wajib.3 Menurut Al-
Farabi negara demokrasi adalah negara yang tujuan penduduknya menganut
kebebasan dan setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit
pun yang mengekang kehendaknya.4
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk
melanggengkan rezim demokratik-sekularistik yang jelas-jelas bertentangan dengan
2 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-
Amin Kramat Raya, 1984), h. 23. 3 Abdul Karim Zaidan., h. 28. 4 Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002)., h. 75.
9
aqidah dan syarî’ah Islam. Akan tetapi Allah SWT Maha Tahu dan Maha Hakim
untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun
jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka hal itu merupakan bagian dari
agama dan tidak bertentangan dengan agama.
Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam bagian dari
politik harus sesuai dengan syarî’ah. Tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat
sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syarî’ah Islam.
Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki
tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah menjadi yang lebih baik dan
berasaskan akan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik karena bertujuan untuk
mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian
kemaslahatan.
Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang
baik dan bijak akan nilai-nilai syarî’ah Allah, agar dapat melaksanakannya secara
tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang menurunkan
rahmat bagi alam semesta. Atas dasar itu, pengkajian hukum Islam dalam sistem
pemilu di Indonesia sangat relevan bila dikaitkan dengan doktrin dan teori hukum
Islam dan hukum nasional. Hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SISTEM PEMILU DI
INDONESIA MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 (SUATU KAJIAN FIQH
SIYASAH)”.
10
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari masa ke masa pemilu selalu dilakukan, akan tetapi persoalan pemilu
selalu ada dan sangat luas permasalahannya. Maka sudah barang tentu penelitian
tentang pemilu tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana.
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada pemilu secara
normatif dari segi Islam. Maka dari uraian latar belakang masalah di atas, skripsi ini
menetapkan pokok masalah yaitu: Bagaimanakah sistem pemilu di Indonesia dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menurut perspektif Islam?
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang, dan tentunya
agar penelitian ini terarah dan terfokus pada satu masalah kajian, maka penulis
membatasi batasan bahasan sekitar:
1. Bagaimana konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah yang berkaitan
dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun 2008?
2. Bagaimana sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia yang diatur oleh UU
No. 10 Tahun 2008, khususnya yang berkaitan dengan 3 pasal yang dianggap
kontroversial yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3 ?
3. Bagaimana relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem
pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008?
Untuk lebih fokus pada pembahasan mengenai Undang-Undang No.10 Tahun
2008, maka penulis membatasi lingkup penelitian pada beberapa pasal yang dianggap
kontroversial seperti :
11
1. Pasal 205 ayat 4 yang berbunyi “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan
penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa
kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh
suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.”
2. Pasal 211 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah
dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik
Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa
suara terbanyak satu persatu sampai habis.”
3. Pasal 212 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah
dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik
peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa
suara terbanyak satu persatu sampai habis.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Merujuk kepada pokok masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk menjelaskan sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
2008 dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif Islam
(kajian fiqh siyâsah). Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dasar pemilu dalam fiqh siyâsah
2. Untuk menggambarkan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia
12
3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di
Indonesia
Adapun signifikansi penelitian ini terangkum dalam point berikut:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi positif dalam upaya
memecahkan masalah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang pemilu.
b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran
politik Islam tentang pemilu yang ideal.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam
khazanah intelektual terhadap kajian pemilu khususnya di jurusan siyâsah
syariyyah.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang akan diteliti, maka tentunya
penulis harus mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan isu yang
akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi kepustakaan,
dengan memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan data sesuai harapan
penulis dan seperti yang digambarkan dalam bahan kepustakaan. Dengan kata lain,
13
jenis penelitian ini dapat juga disebut sebagai penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif-analitis 5.
Dengan demikian, pendekatan (approach) pada objek penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif doktriner, yaitu berdasarkan pada norma
perspektif Islam dalam menganalisis Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang
pemilu.
Lebih dari itu, sifat dalam penelitian ini merupakan model penelitian
deskriptif analitis yang memaparkan apa adanya pemilu di Indonesia, yakni penelitian
yang menggambarkan dan menginformasikan yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca
secara optimal. Kemudian dianalisis dan dikaji secara normatif, yaitu dengan fiqh
siyâsah sebagai tolak ukurnya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data hukum menggunakan teknik studi
dokumenter dengan mengumpulkan bahan dari sumber-sumber data primer,
sekunder, dan tersier.
Bahan pustaka yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini adalah Al-
Qur’an dan Hadits, kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqh siyâsah dalam siyâsah
syariyyah antara lain “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karya Al-Mawardy dan Ali ibn
5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penelitian kepustakaan
atau disebut juga penelitian hokum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)., h. 13-14.
14
Muhammad ibn Habib, “As-siyâsah As-syariyyah” karya Abdul Wahab Khalaf, serta
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu.
Adapun rujukan sekunder adalah beberapa buku yang fokus kajiannya
mengenai permasalahan tentang pemilu dan juga data pustaka lain yang berkaitan
dengan pemilu. Berbagai macam buku tersebut antara lain: karya Dr. Muhammad
Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, karya
Prof. A. H. A. Dzajuli, SH. dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Dalam Implemenatsi
Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syarî’ah”, karya T. M. Hasbi As-
Shiddieqy dalam bukunya “Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut syarî’ah Islam,
dan karya Djoko Prakoso dalam bukunya “Tindak Pidana Pemilu.” Selain yang
disebutkan diatas, penyusun juga menggunakan referensi lainnya yang bisa dijadikan
sumber acuan pelengkap yang terkait dengan skripsi ini.
Adapun rujukan tersier dalam penelitian ini adalah kamus ilmiah, kamus
hukum, dan buku pedoman penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Hal ini sebagai penunjang
yang memberikan petunjuk terhadap data primer dan data sekunder.
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari data-data hukum yang relevan
terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis menyebutkan
pendekatan perundang-undangan, maka peneliti harus mencari peraturan perundang-
undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu pemilu. Oleh karena itu untuk
memecahkan suatu isu pemilu peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai
produk peraturan perundang-undangan seperti undang-undang pemilu sebelumnya
15
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Lebih dari itu, untuk mendapatkan
penjelasan mendalam (in-depth) tentang UU No. 10 tahun 2008, penulis melakukan
interview (open-ended interview) atau wawancara dengan beberapa pakar hukum
yang kompeten di bidangnya.
3. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan penalaran deduktif induktif. Hal ini merupakan
hukum-hukum yang sesuai dengan perspektif Islam yang dijadikan landasan dan
kaidah umum untuk meninjau sistem pemilu dalam undang-undang No. 10 tahun
2008, kemudian disimpulkan apakah sesuai atau tidak sesuai.
Dalam menganalisis data hukum, diterapkan teknik analisis isi secara
kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bahan-bahan tersebut
secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian
melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis bahan-bahan yang
telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh.
Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan
demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas syarî’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2009.”
E. Sistematika Penulisan
16
Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk
skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Hal ini untuk
mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi
ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini,
maka penulis menyusun sistematika penulisan. Pembahasan skripsi ini terbagi
menjadi lima bab, dari setiap bab terdiri dari sub bab yaitu:
BAB I Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan. Dari latar belakang masalah ini nantinya
akan muncul bahasan-bahasan yang menjadi kajian atau ulasan dari
skripsi ini.
BAB II Doktrin Pemilu Dalam Fiqh Siyasah, membahas tentang: urgensi
pemilu dalam ketatanegaraan Islam, lalu dilanjutkan dengan
pembahasan prinsip ketatanegaraan Islam dalam pemilu seperti prinsip
musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip kejujuran,
prinsip pertanggung jawaban, prinsip kebebasan, prinsip kebajikan.
BAB III Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
mendeskripsikan tentang: latar belakang pembentukan UU No. 10
tahun 2008, pandangan para pakar terhadap UU No. 10 tahun 2008,
dan substansi UU No. 10 tahun 2008.
BAB IV Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu Menurut Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008, mendiskusikan beberapa point
17
penting seperti: sistem pemilu dalam Islam, pemilu dalam pandangan
ulama Islam kontemporer, dan pandangan hukum Islam terhadap
sistem pemilu menurut UU No. 10 tahun 2008.
BAB V Penutup, berisikan pembahasan tentang kesimpulan dari semua
pembahasan, diakhiri dengan saran dan rekomendasi.
18
BAB II
DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH
A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam
Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal terma fiqh politik (fiqh siyâsah),
yang menempatkan syarî’ah Islam disamping sebagai aturan tentang ketuhanan,
hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak,
tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintah),
atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa,
hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur dalam fiqh daulah.1 Politik menurut
perspektif syarî’ah, ialah menjadikan syarî’ah sebagai pangkal tolak, kembali dan
bersandar kepada-Nya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan ajaran-
ajaran dan prinsip-prinsip-Nya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan
sasaran-Nya, sistem, dan jalan-Nya. Tujuannya berdasarkan syarî’ah dan sistem yang
dianut juga berdasarkan syarî’ah. Islam adalah aqidah dan syarî’ah, agama dan
daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang.2.
Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah termasuk dalam bidang
kenegaraan dan kebijakan publik, dan hukumnya adalah masuk dalam bidang hukum
1 Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul
Aslinya: As-siyâsah As-syariyyah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I., h. 23.
2 Yusuf Al-Qardhawy., h. 35.
13
19
publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum pidana, dan hukum
acara.
Terdapat banyak kajian dalam masalah fiqhiyyah, ada yang masuk dalam
domain pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada pula yang mengupasnya
dalam kitab-kitab fiqh secara khusus, seperti “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karangan
Al-Mawardî Asy-Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (wafat
458 H.), “Ghayyatsul-Umam” karangan Al-Imam Al-Haramain Asy-Syafi’y (wafat
476 H), Kitab “As-Siyâsah As-Syariyyah Fi Al-Islâhi Ar-ra’yu wa Ar-Ra’iyyah”
karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu
Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab “At-turûq Al-Hukmiyyah.”
Termasuk kitab klasik “Al-Kharaj” yang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H),
salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya
termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.3
Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik
hampir sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qordowi4 yaitu tidak
dipisahkannya politik dengan syarî’ah Islam. Politik adalah bagian dari syarî’ah Islam
yang diatur oleh syarî’ah dan tujuannya untuk tegaknya syarî’ah itu sendiri. Politik
dalam pandangan para ulama salaf diartikan dalam dua makna, yaitu: Pertama, dalam
makna umum yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia
mereka berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu
3 Al-Mawardy dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h.54 4 Yusuf Al-Qardhawy., h. 38.
20
pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya
untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi
atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh
Islami, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan
tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh Islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan,
serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syarî’ah.
Syarî’ah tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga
adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul.5
Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang
kelenturan syarî’ah Islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik,
yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan
seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan
menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap
Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan
hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta mengambil
zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalîfah
Umar r.a. juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena kemiskinan.6
Setelah runtuhnya Khilâfah Islamiyah mulai berkembang perbedaan
pandangan diantara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai dengan
5 Yusuf Al-Qardhawy., h. 38 6 Abul A’la Al-Maududi, , Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep
Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245.
21
pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan “Islam Wa
UUsûli Al-Hukmi“, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
tidak memiliki daulah, negara Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak
bermaksud mendirikan negara dan hal ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau
hanyalah seorang rasûl yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni
tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan negara,
karena memang beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja
dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan
negara. Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan
putusan dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan
memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah
yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang
sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang
berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya
serta diberhentikan dari jabatannya.
7
Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal,8 bahwa dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci
mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat
dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan
7 Yusuf Al-Qardhawy., h, 29. 8 Musda Mulia, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program
Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997)., h.289-290.
22
pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi
pengaturan hidup kenegaraan. Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara
tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa
soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummat Islam.
Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam
mengelola negara. Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi
pengelolaan hidup bermasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan
kebebasan.
Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai hubungan antara Islam
dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini, dan membawa kepada
perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh dunia, termasuk yang
terjadi di Indonesia.
Disinilah titik temu antara Islam dan politik. Politik dalam Islam mempunyai
andil yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam menganjurkan adanya
kegiatan politik, karena dengan politik itu sendiri, Islam dapat bertahan dan tersebar
di dunia. Namun yang perlu diperhatikan adalah politik (siyâsah) dalam kontek ideal,
bukan pelakunya dan realitas politik Islam. Hal ini karena dalam Islam pun realitas
politiknya kadang tidak Islami, misalnya terjadi pembunuhan, fitnah, money politik,
dan lain-lain. Syekh Muhammad Abduh pernah berkata: “A‘ûdzu Billâhi Min Asy-
Syaitâni As-Siyâsah Wa Assasah” yang artinya saya berlindung kepada Allah dari
syetan politik dan perpolitikan. Tetapi jika politiknya demokratis, harus sesuai
23
dengan nilai-nilai Islam. Berkaitan dengan ini Imam Syafi’i mengatakan “La Siyâsat
Al-illa Mâ Wafaqa Bihi Asy-Syar’u”, yang artinya tidak ada politik (syarî’ah) kecuali
sesuai dengan prinsip-prinsip agama.9
Salah satu pilar demokrasi suatu negara adalah terselenggaranya pemilihan
umum (Pemilu) yang jujur dan adil. Dalam sistem ketatanegaraan Islam, pemilu
mendapat legalitas dari ajaran Islam dan merupakan sebuah prosesi yang harus
dilaksanakan untuk memilih para pemimpin, baik sebagai wakil-wakil rakyat
dilembaga legislatif atau disebut dengan ahl halli wal aqd, maupun kepala negara atau
presiden dan wakilnya atau disebut dengan khilafah.
Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus
bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik sesuai pilihan hati
nurani masing-masing, tanpa ada pengaruh intimidasi dari orang lain.
B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam yang Berhubungan dengan Pemilu
1. Prinsip Musyawarah
Padanan demokrasi dalam Islam adalah musyawarah (syûra) yang merupakan
kata turunan (derivasi) dari kata kerja “syâwara” yang berarti “meminta pendapat dan
mencari kebenaran”. Sedangkan secara terminologis, syûra bermakna “memunculkan
pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada
9 Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep
Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 30
24
kesimpulan yang paling tepat”.10 Dengan demikian, demokrasi yang bermakna dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat dalam tataran idealnya sejalan
dengan prinsip syûra dalam Islam.
Di dalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang
disyariatkan. Dalam Al-Qur’an surat As-Syura Allah mengatakan:
☺
)16:42/الشورى( Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Syura/42: 38)
Dengan ayat ini, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan
musyawarah pada tempat yang agung. Syarî’ah Islam yang lapang ini telah
memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi).11 Ayat itu
memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syûra dan menghiasi diri dengan
adab syûra sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk
sifat-sifat mukmin sejati. Untuk lebih menegaskan urgensi syûra, ayat di atas
menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardu ‘ain yang tidaklah
10 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111.
11 Muhammad Tahir Azhary., h. 112
25
sempurna Islam seseorang dan tidak pula lengkap imannya kecuali dengan ibadah
yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.
Hal tersebut menunjukan bahwa Islam secara langsung menerapkan prinsip
pengambilan keputusan berlandaskan musyawarah yang menjadi sendi utama dalam
demokrasi modern yaitu dari, oleh, dan untuk kepentingan rakyat.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam kaitanya dengan
pelaksanaan sistem bernegara, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Menurut Abdurahman Wahid, ‘adl atau keadilan dalam perspektif Al-
Qur’an bisa diartikan sebagai “sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak,
penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan”.12
Definisi tersebut bisa dilihat dari beberapa ayat dalam Al-Quran tentang keadilan
yang bersinonim dengan kata lainya seperti qistu dan hukmu:
⌧
☺ ☺
⌧ ☺ )58: 4/النساء ( ⌧
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
12 Abdurrahman Wahid, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.)
“Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99
26
)105: 4/النساء( ☺
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa/4: 105)
Menurut Tahir Azhari, paling sedikit ada empat prinsip keadilan dalam Al-
Quran yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pertama, keadilan harus
dilaksanakan dengan keihklasan karena Allah, bukan karena faktor lain seperti uang,
jabatan, atau kedudukan. Kedua, keadilan harus berpihak kepada kebenaran. Ketiga,
keadilan tidak boleh berdasarkan kepada kebencian. Keempat, keadilan berkorelasi
positif dengan ketakwaan yaitu keadilan yang berdasarkan perintah Allah dan
menjauhi larangan Nya.13
3. Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam Islam
terangkum dalam Al-Qur’an secara eksplisit:
⌧
13 Muhammad Tahir Azhary., h. 119.
27
)13: 49/الحجرت( Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang palig bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)
Konsepsi persamaan juga terdeskripsikan dalam Hadits Nabi dalam pidato
Nabi ketika haji wada tahun 10 H:
“Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan
antara orang Arab dan bukan Arab, antara orang yang berkulit merah dengan yang
berkulit hitam, kecuali karena takwa nya kepada Allah.”
Menurut Tahir Azhary14, prinsip persamaan dalam perspektif hukum Islam
merupakan perlakuan dan perlindungan yang sama terhadap semua orang di mata
hukum.
4. Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran sebenarnya bersinergi dengan prinsip amanah dalam
memutuskan suatu perkara. Hakim yang amanah tentunya akan menghasilkan produk
14 Muhammad Tahir Azhary., h.126.
28
hukum yang berkualitas. Menurut Tahir Azhary15, prinsip kejujuran merupakan
refleksi dari prinsip ketaatan rakyat, suatu relasi antara pemerintah dan rakyat, atau
ulil amri (penguasa) dan ummat (rakyat). Al-Qur’an menjelaskan konsep relasi ini:
⌧
)59: 4/ساءالن( ⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah kepada
Rasul Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul Nya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibat nya”. (QS. An-Nisa/4:59)
Kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan atas tanggung jawab
yang diberikan. Pada tahap inilah kejujuran dan amanah saling berkorelasi. Dalam
konteks bernegara, pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat harus mampu
memenuhi kepercayaan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Distorsi terhadap
amanah adalah ketidakjujuran dan penghianatan terhadap rakyat.
5. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban merupakan prinsip akuntabilitas dan transparansi
dari suatu pelaksanaan amanah. Karena kekuasaan adalah amanah yang harus
15 Muhammad Tahir Azhary., h.153
29
dipertanggungjawabkan, maka prinsip akuntabilitas wajib dilaksanakan. Al-Qur’an
menjelaskan:
⌧
☺ ☺
⌧ ☺ ⌧ )58: 4/النساء(
Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS. An-Nisa/4: 58)
Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa: “Kullukum Râ’in Wa Kullukum ‘an Ro’iyatihi” Artinya : “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban nya kelak. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyat nya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai rakyat nya“. (HR Bukhari) Menurut Tahir Azhary, hadist tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa
setiap muslim adalah pemimpin baik formal maupun informal. Secara formal,
pemimpin adalah seseorang yang memiliki kedudukan ataupun jabatan dalam struktur
pemerintahan. Sedangkan secara informal, pemimpin adalah setiap orang yang
memegang pimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga (ayah atau suami), atau pun
sebagai pemimpin masyarakat (kelompok atau sejumlah orang yang berkumpul
secara tidak resmi).16
16 Muhammad Tahir Azhary., h. 109
30
Sistem akuntabilitas dan transparansi dalam perspektif hukum Islam
merupakan bentuk pertanggungjawaban penguasa, karena ia memegang kewajiban
dan kewenangan (otoritas). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan hanya sekedar
otoritas semata, tetapi lebih dari itu mengandung kewajiban disamping kewenangan.
Pada pelaksanaannya kewajiban harus dikedepankan dari kewenangan yang
merupakan hak penguasa.17
6. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan (freedom of decision) dalam penetapan hukum Islam bisa
dimaknai sebagai kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan
penguasa, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim menjatuhkan
putusannya pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat”.18
Menurut Tahir Azhary, prinsip peradilan bebas dalam perspektif hukum Islam
harus sejalan dengan tujuan hukum Islam, spirit Al-Qur’an dan As-Sunah. Tujuan
hukum Islam dalam konteks ini terangkum dalam “ad-doruriyyah al-Khamsah” yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Tahir Azhari menggaris bawahi bahwa
prinsip kebebasan dalam penentuan hukum Islam harus menjunjung tinggi prinsip
amanah, karena kekuasaan qâdi atau hakim merupakan amanah dari ummat yang
harus dijaga dengan baik. Lebih dari itu, seorang sebelum memutuskan suatu perkara
harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan qâdi lainnya agar tercapai keputusan
17 Muhammad Tahir Azhary., h. 110 18 Muhammad Tahir Azhary., h.144-145
31
yang bijak dan adil, karena keputusan hukum yang adil merupakan tujuan utama dari
kekuasaan kehakiman yang bebas dari intevensi dan interes penguasa.19
7. Prinsip Kebajikan
Prinsip kebajikan dalam menjalankan amanah bisa diartikan juga sebagai
prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam mengandung
pengertian yang lebih luas yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan
ekonomi bagi seluruh ummat. Pengertian keadilan sosial bukan hanya pemenuhan
kebutuhan materi semata, tetapi lebih dari itu mencakup pemenuhan kebutuhan
spiritual. Dengan kata lain, keadilan sosial harus memenuhi unsur lahir dan bathin.
Al-Qur’an menjabarkan konsep keadilan sosial ke dalam sejumlah aktivitas ekonomi
yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat luas seperti adanya kewajiban zakat,
infaq, shadaqah, hibah, dan wakaf dalam surat Al-Ma’arij dan Adz-Zariyat sebagai
berikut:
)24: 70/المعارج(
Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. (QS. Al-Ma’arij/70: 24)
☺ )25: 70/المعارج(
Artinya : “Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij/70: 25)
)19: 51/الذارييت(
19 Muhammad Tahir Azhary., h.146.
32
Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Az-Zariyat/51: 19).20
Konsepsi kebajikan (baca: kesejahteraan) terdeskripsikan dalam Al-Qur’an
sebagai terbentuknya suatu negara yang makmur dan subur:
⌦ ⌧ ): /أسب(
Artinya : “....(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’/34: 15)
Menurut Tahir Azhary, negara berkewajiban untuk mengatur, mengelola
sumber daya alam, dan mengalokasikan pendapatan negara untuk kesejahteraan
rakyatnya dalam bentuk jaminan sosial. Jaminan sosial yang dimaksud adalah adanya
tunjangan pengangguran, tunjangan masa depan, beasiswa, tunjangan pensiun, dan
sebagainya. Prinsip kebajikan harus sejalan dengan doktrin Islam “Hablu Min Al-
Allah Wa Hablu Min An-Nâs”, yaitu aspek ibadah (vertical) dan aspek mu’amalah
(horizontal). Untuk mewujudkan kebajikan dan kesejahteraan tersebut, maka harus
berdasarkan prinsip keadilan sosial yang sesuai dengan anjuran dan perintah Allah
swt dalam Al-Qur’an.21
20 Muhammad Tahir Azharys., h. 150-151 21 Muhammad Tahir Azhary., h. 152.
33
BAB III
SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008
A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008
Pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah “pesta demokrasi” bagi rakyat.
Suksesnya pemilu menjadi salah satu wujud suksesnya penerapan demokrasi di suatu
negara. Persiapan pelaksanaan pemilu bukan hanya sekedar persiapan logistik
semata, tetapi lebih dari itu, persiapan landasan hukum berikut Undang-Undang
Pemilu yang mengikat. UU No. 10 Tahun 2008, misalnya merupakan penyempurnaan
aturan pemilu sebelumnya.1
Secara umum diduga Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 terdapat
beberapa pasal yang tidak sinkron dengan Undang-Undang lain seperti UU No. 22
Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.2 Di antaranya terkait tentang
pembentukan penetapan daftar pemilih sementara dalam UU No. 22 Tahun 2007
dengan penetapan daftar pemilih tetap yang dilakukan Petugas Pemutahiran Data
Pemilih (PPDP). Terdapat beberapa hal yang jauh dari harapan publik, misalnya
semangat penyederhanaan jumlah partai tidak didukung dengan peraturan yang tepat.
Ditetapkannya Parlementary Threshold tidak terkait dengan penyederhanaan partai,
tetapi hanya mekanisme dalam penempatan “kursi” yang diperoleh Partai. Hal ini
1 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003,
(Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)
28
34
juga terkait dengan aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut pemilu 2009, yang sudah dibatalkan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun menjadi tidak berarti karena tahap
verifikasi telah dilalui.3
Ada sejumlah catatan penting dari kecacatan pemilu 2009 secara sistemik.
Salah satu akar dari "cacat" pemilu 2009, baik yang terjadi pada pemilu legislatif
maupun pemilihan presiden, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang
dianut. Sistem proporsional telah "terselewengkan" oleh oligarki parlemen dalam
menyusun Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Beragam tafsir, kualitas
penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009
diragukan oleh banyak pihak.
B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No 10 Tahun 2008
Menurut Relfy Harun,4 dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan
Mei 2007 dan selesai dirumusukan pada 3 Maret 2008, kemudian disahkan pada 28
Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap
sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya
judicial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih
yang mendapatkan suara 30 persen. Menurutnya, MK membatalkan pasal 214 yang
menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Terlebih, Refly menegaskan bahwa
3 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 4 Wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata
negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
35
perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari
UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan.
Terkait dengan pasal yang dianggap kontroversi, Refly menggaris bawahi
bahwa sebenarnya pasal-pasal tersebut terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945,
dikarenakan banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak
mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008, misalnya
partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama
partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak
mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada
tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu
20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara
lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang
menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentuan kursi
pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang
mendapat suara terbanyak.5
Refly menegaskan bahwa menurut sistem yang disepakati dalam segi
perundang-undangan sebenarnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini
terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi,
karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka
kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun
5 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata
negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
36
dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan
calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat
dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil (Daerah Pemilihan), dapil mana yang
berhak mendapat kursi.6
Refly menandaskan bahwa banyak politisi yang melakukan Judicial review,
hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait
dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon
terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadopsi. Dalam sistem
pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal
ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi
atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka
sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian
ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para
calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan
agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR.7
Refly menjelaskan bahwa UU No.10 tahun 2008 bukanlah penyempurnaan
terhadap UU sebelumnya, akan tetapi perubahan terjadi karena konteks isi atau
bahasa didalamnya dirubah secara keseluruhan yang dianggap tidak penting dalam
UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU
6 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata
negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 7 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata
negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
37
No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman
pada masa tersebut.8
Refly menambahkan bahwa relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan
hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945
dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat
2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden
dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah
partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu
diatur dengan undang-undang.9
Menurut KH. Yan Hasanudin Malik10, berdasarkan UU No.10 tahun 2008
anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai
politik. Menurut nya, relasi antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun
2008, yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda,
hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa,
sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam
8 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
9 wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata
negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 10 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB
38
tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili
rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem
distrik dan sistem proporsional.
KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan beberapa pasal yang kontroversial.
Menurut analisanya, pasal-pasal tersebut mengandung kontroversi pada masalah
perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam
BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10
tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan
dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki
suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan
perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B
mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai
B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap
ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang
memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi
kontroversi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai
habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang
mendapatkan suara terbanyak.11
KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa penentuan suara terbesar
menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan
11 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB
39
kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai
kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang
memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Ia menambahkan
bahwa isu sentral dalam UU No. 10 tahun 2008 terkait dengan parlementary
thershold dan elektoral threshold.12
KH. Yan Hasanudin Malik mengelaborasi perbedaan sisitem pemilu dalam
Islam dan sistem pemilu konvensional secara komprehensif. Menurut nya, dalam
Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah
kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara
mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang
terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai
kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam
hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika
dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa
dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan
pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di
indonesia mempunyai semangat yang sama.13
KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa Ahl halli wal aqd merupakan
wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas,
12 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010 13 wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
40
muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam
Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini
dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat
akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat.14
KH. Yan Hasanudin Malik berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara
pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun
2008. Menurut nya, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan
perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh
saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban
masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan
lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka
legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak
boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau
regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu
harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan
tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang
berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.15
14 wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB 15 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
41
KH. Yan Hasanudin Malik menggarisbawahi bahwa dalam UU No. 10 tahun
2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary
threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat
dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya
lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangkan maka harus ada program,
perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil
saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.16
KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan bahwa ahlu halli wal aqd yaitu
sesorang yang mempunyai kemampuan teknis dan dapat menerjemahkan Islam dalam
kehidupan sehari-hari sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal ini
dibentuk oleh majlis syuro yang berasal dari kata syawaro yang berarti madu dan
terasa manis dan menyehatkan sehingga dapat mewakili rakyat dalam kebenaran.
KH. Yan Hasanudin Malik lebih jauh menjelaskan tentang adanya hubungan
atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU
No.10 tahun 2008 yaitu dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih
orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi
substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu
16 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan
kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
42
demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam
pemilihan suara.17
Menurut Mochammad Nurhasim18, peneliti bidang politik LIPI, Undang-
Undang paket politik yang meliputi hampir enam Undang-Undang, tampaknya
memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Misalnya, Undang-Undang
paket politik itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilihan Presiden, Undang-Undnag Nomor 32 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Nurhasim menegaskan bahwa salah satu faktor determinan dari kekacauan itu
adalah tidak saling sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang
lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai
contoh, prinsip multipartai yang menjadi inti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang,
tanpa terkait dengan undang-undang pemilu.19 Upaya penyederhanaan partai yang
dianut pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ternyata
17 wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
18Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/
read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
19 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
43
tidak ditunjang oleh undang-undang kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan
orang untuk mendirikan partai politik.20
Demikian pula dengan masalah pilihan presiden dan bahkan undang-undang
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR yang
ditambah dengan Nurhasim. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang ini mengandung beberapa kelemahan
mendasar, karena undang-undang tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem
proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya
koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR.21
Nurhasim menggaris bawahi bahwa aturan tiga tahap dalam penentuan kursi
bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem
proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai "akal-akalan" politik partai.
Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan
koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. Undang-Undnag
Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang
20 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/
read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
21 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/
read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
44
istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan
saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik.22
Alhasil, Nurhasim menegaskan bahwa hal itu berdampak pada perbedaan nilai
satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua, dan ketiga
dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang "hibrida", suatu
perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya
pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya. Indonesia sebenarnya
terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak
pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan.
Lebih dari itu, Nurhasim meyakini bahwa teknis pembagian kursi yang dianut
pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009.23 Pembagian kursi
yang hanya pada dua tahap (tahap pertama dan tahap sisa) lebih mencerminkan
keadilan substansial yang meminjam istilah Mahkamah Konstitusi (MK) daripada
tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain
undang-undang yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka
penuh. Ini terjadi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan
permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan
DPRD.
22 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 23 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003,
(Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)
45
Nurhasim menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak
dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya.24 Kenapa setengah?
karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat
penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya,
khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem
proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara
dalam sistem proporsional "setengah terbuka" seperti yang berlaku pada pemilu tahun
2004, pemilih dapat memilih partai dan atau nama calon.
Idealnya, Nurhasim menambahkan dalam sistem proporsional yang benar-
benar terbuka penuh, pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, kekacauan
ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang
peran dan oligarki partai politik.25
Nurhasim menegaskan bahwa sebuah undang-undang pemilu tidaklah berdiri
sendirian. Undang-Undang Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama
sistem kepartaian yang kita anut, kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan
DPRD, dan ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan
hubungan yang saling berhubungan antara satu undang-undang dengan undang-
undang lainnya merupakan keniscayaan.
24 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 25 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/
read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
46
Prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket Undang-Undang
Politik (Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta
penyelenggara pemilu). Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang
Paket Undang-Undang Politik usulan pemerintah yang mencoba merangkai kaitan
paket Undang-Undang Politik yang diacak-acak pada saat pembahasan RUU di DPR.
Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan
RUU Politik yang kental kepentingan politik.26
Ironinya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200827 Tentang Pemilihan
Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD banyak menuai gugatan uji materiil di
Mahkamah Konstitusi (MK). Baik oleh lembaga maupun perorangan. Padahal,
dengan Undang-Undang inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan
Pemilihan Umum 2009. Benarkah materi Undang-Undang ini sebenarnya masih
lemah, atau pemberlakuannya masih belum banyak dipahami akibat minimnya
sosialisasi?
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD28, banyaknya
gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 200829 ini
26 Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/
read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
27 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 28 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008
'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010.
29 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
47
menunjukan bahwa Undnag-Undang ini belum kuat untuk dijadikan dasar hukum
bagi KPU untuk melaksanakan pemilu legislatif. Hal tersebut merupakan
konsekwensi sekaligus kenyataan bahwa undang-undang ini produk politik. Di sinilah
letak fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji apakah undang-undang itu
sudah kuat atau belum. Hasilnya, dari enam pengujian, ada beberapa yang dikabulkan
dan ada yang ditolak.
Mahfudz MD berharap bahwa masyarakat dapat memahami bahwa Mahkamah
Konstitusi (MK) tidak boleh sewenang-wenang. Karena Mahkamah Konstitusi (MK)
hanya bisa membatalkan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan
konstitusi sehingga tidak bisa didorong untuk membuat putusan yang bertentangan
dengan konstitusi.30
Seperti misalnya calon perseorangan yang sudah ditolak gugatannya itu. Jika
mengacu ke konstitusi isinya sudah jelas kebutuhan politis dan sosiologisnya, jadi
tidak ada tafsir lain. Bahwa dalam persidangan ada tiga hakim yang dissenting
opinion, sebenarnya esensi yang mereka sampaikan sama. Menghendaki dilaksanakan
tapi baru bisa tahun 2014 karena masih memerlukan perubahan konstitusi lagi.
Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 200831 oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD menegaskan kemungkinan intensitas
saling gugat antar calon legislatif akan meningkat tajam. Walaupun demikinan dalam
30 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'
Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
31 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
48
undang-undang yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengadili
sengketa hasil pemilu, termasuk juga jika partai politik menggugat KPU. 32
Sementara itu, tokoh-tokoh pers baik akademisi maupun praktisi media massa
merasa "kecolongan" dengan munculnya sejumlah produk undang-undang yang
secara eksplisit maupun implisit "mengebiri" kebebasan pers di negeri ini. Kita sebut
saja keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Isi Undang-Undang ini jelas-jelas mengekang kebebasan
pers dan berlawanan dengan hakikat dan fungsi media massa.33
Pasal 91 Ayat 2, misalnya berisikan ketentuan bagi media cetak dan penyiaran
yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan
berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 ayat 3 menegaskan: media massa
wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan
dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97 menyatakan pula bahwa media massa
menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan
wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Pasal 94
ayat 1 bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual "blocking
segment" dan atau "blocking time" untuk kampanye Pemilu. Pasal 94 ayat 2 bahwa
media massa dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun
32 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'
Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
33 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'
Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
49
yang dapat dikategorikan iklan kampanye. Pasal 94 ayat 3 bahwa iklan yang tidak
dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu dilarang dijual kepada pihak lain.34
Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200835 tentang pemilu, masih
banyak produk Undang-Undang maupun Rancangan Undang-Undang lainnya yang
berlawanan dengan kebebasan pers. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers
dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, karena ancamannya sangat berat
sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi
informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau
pencemaran nama baik. Ancaman atau sanksi lainnya pada pasal 28 ayat (2)
menyebutkan: jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, maka setiap orang yang melanggar
tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.36
Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi media massa untuk memuat berita
pemilu. Yang diatur dalam undang-undang adalah media massa wajib memberitakan
berita yang benar sesuai fakta. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
34 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'
Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
35 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) 36 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'
Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
50
yang benar dari media massa. Jika tidak, publik berhak menggunakan hak jawab dan
hak koreksi, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Pers No. 40/1999.
Media massa punya parameter dalam pemberitaan yaitu "news value". Berita
apa pun juga harus mengacu pada nilai berita, apakah berita kriminalitas, politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, social, dan lain-lain. Kalau nilai beritanya tinggi media
massa pasti akan memuatnya, sebaliknya jika nilai beritanya rendah, apalagi jenis
berita kampanye mengenai Pilkada, Pemilu, dan Pilpres yang cenderung membodohi
rakyat dengan kampanye "lips service" dan "jual kecap" maka media massa berhak
tidak memuatnya. Kalau ada pihak yang memaksakan kemauannya, jelas hal itu
melanggar undang-undang dan kebebasan pers.37
C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008
Undang-Undang pemilu dan partai politik di Indonesia terangkum dalam UU
No 10 tahun 200838 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di
dalam nya terdapat sekitar 24 bab dan 320 pasal yang mengatur secara detail sistem
pemilu di tanah air. Dalam skripsi ini, tentunya penulis tidak mungkin membahas
semua bab dan pasal dalam undang-undang tersebut. Yang akan penulis angkat
adalah beberapa pasal yang mengundang kontroversi yaitu pasal 205 ayat 4, pasal
211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3.
37 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri'
Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
38 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
51
Berdasarkan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK), esensi dari pasal 205 ayat
4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat. 39 Artinya,
konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan
perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50 persen suara sah dari angka bilangan pembagi pemilih
(BPP) di setiap daerah pemilihan (dapil) anggota DPR.
2. Membagikan sisa kursi pada setiap pemilihan anggota DPR kepada parpol peserta
pemilu anggota DPR dengan ketentuan:
a. Apabila suara sah atau sisa suara parpol atau peserta pemilu anggota DPR
mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP, maka partai politik
terrsebut memperoleh satu kursi.
b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta pemilu anggota DPR
tidak mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP dan masih
terdapat sisa kursi, maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa
suara yang diperhitungkan kursi tahap ketiga.
2) Sisa suara parpol yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan
kursi tahap ketiga.
39 KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,”
http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010
52
Sedangkan untuk pasal 211 ayat 3 dinyatakan konstitusional bersyarat40.
Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi
jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut
dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama.
2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu anggota DPRD
Provinsi tersebut, dengan cara:
a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,
jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah
kursi yang diperoleh parpol pada tahap pertama dengan angka BPP.
b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap
pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sisa
suara.
c. Menetapkan perolehan kursi parpol peserta pemilu Anggota DPRD Provinsi,
dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu
anggota PDRD satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis
terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik.
Pasal 212 ayat 3 Undnag-Undang Nomor 10 Tahun 2008, juga berlaku
konstitusional bersyarat41, artinya konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara
sebagai berikut:
40 KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,”
http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010
41 KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,”
http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010
53
1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi
jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota
tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap
pertama.
2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu Anggota DPRD
Kabupaten/Kota tersebut dengan cara:
a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,
jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah
kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP.
b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap
pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sebagai
sisa suara.
c. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta pemilu Anggota DPRD
Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik
peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi satu berturut-turut
sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang
dimiliki oleh partai politik.
54
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008
A. Sistem Pemilu Dalam Islam
Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah Pemilu (Intikhabat) ada
dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya?
Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalîfah pada masa khulafâ ar- rasyidîn?
Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi?.
Faktanya, pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan
itu ada di tangan umat (As-Sultân Li Al-Ummah). Ini merupakan salah satu prinsip
dalam sistem pemerintahan Islam (khilâfah). Prinsip ini terlaksana melalui metode
baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalîfah.42 Prinsip ini berarti,
seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalîfah), kecuali atas dasar pilihan dan
kerelaan umat. Disinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat
untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalîfah.
Namun perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode
(tarîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan
42 J. Suythi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h.72
49
55
metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.43 Lebih detilnya, cara merupakan
perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang
digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-asli).
Cara amil zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki
atau naik kendaraan, apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer, apakah
harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan
cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang
mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum
untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil Surat At-Taubah ayat
103.
⌦ ☺
)103: 9/التوبة(Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan, mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah/9: 103)
Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya
adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas
mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh
ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang dari
perbuatan pokok yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat
43 J. Suythi Pulungan, h. 29
56
dibagikan, barang apa saja yang dizakati dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan.
Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan
secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada.44
Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalîfah dalam
syarî’ah Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib, ada pula cara
(uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu
metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalîfah, yaitu baiat yang hukumnya
adalah wajib. Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang
mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah.”
(Hadis sahih).45
Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan
sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu
adalah wajib hukumnya.46
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (Kaifiyat Adâ' Al-bâ’ah), sebelum
dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-
ubah. Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah.
44 J. Suythi Pulungan, h. 30 45 Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-
Bâri, XVI/240). 46 J. Suythi Pulungan, h. 73
57
Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk
melaksanakan baiat, yaitu memilih khalîfah yang akan dibaiat.47
Mengapa cara pemilihan khalîfah boleh berbeda dan berubah, termasuk
dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan
sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan
satu cara tertentu untuk mengangkat khalîfah (nashbu al-khalîfah), sebagaimana yang
terjadi pada masa khulafâ ar-rasyidîn. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-
beda untuk masing-masing khalîfah yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r.a.
Namun, pada semua khalîfah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang
tetap dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya
metode untuk mengangkat khalîfah (nashbul khalîfah), tak ada metode lainnya.48
Baiat menurut pengertian syarî’ah adalah hak umat untuk melangsungkan
akad khilâfah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah). Baiat ada dua macam:
Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad khilâfah. Baiat ini merupakan penyerahan
kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia
menjadi khilâfah. Kedua, baiat at-tâ‘at atau bay’ah ‘ammah, yaitu baiat dari kaum
Muslim yang lainnya kepada khalîfah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku
umat menaati khalîfah.49
47 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), Edisi Revisi, Cetakan III, h. 68 48 A. Djazuli., h.7. 49 J. Suythi Pulungan, h. 72
58
Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalîfah.
Maka dari itu, pada khulafâ ar-rasyidîn, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari
umat kepada para khalîfahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis
pengangkatan khalîfah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum
baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang
pernah dilakukan pada masa khulafâ ar-rasyidîn, dapat diambil cara-cara
pengangkatan khalîfah sebagai berikut: 50
Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Abu Bakar As-
Siddiq yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1)
diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi, (2) Ahl
Al-Hall Wa Al-Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang
tertentu yang layak untuk menjabat khalîfah, (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr)
terhadap salah satu dari calon tersebut, (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang
terpilih, (5) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umumnya umat kepada khalîfah.51
Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Umar bin
Khattab, yaitu ketika seorang khalîfah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2
(dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1)
khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi
mengenai siapa yang akan menjadi khalîfah setelah dia meninggal, (2) khalîfah
melakukan istikhlâf atau ‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan
50 A. Djazuli, h. 65 51 A. Djazuli, h. 66
59
menjadi khalîfah setelah khalîfah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah
lagi, (3) calon khalîfah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk
menjadi khalîfah, (4) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat kepada khalîfah.52
Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Utsman bin
Affan, yaitu ketika seorang khalîfah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya
sendiri atau atas permintaan umat, ia melakukan langkah berikut: (1) khalîfah
melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang
layak menjadi khalîfah dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang
mereka untuk menjadi khalîfah setelah ia meninggal, dalam jangka waktu tertentu,
maksimal tiga hari. Setelah khalîfah meninggal dilakukan langkah, (2) beberapa
orang calon khalîfah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari
mereka untuk menjadi khalîfah, (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat,
(4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalîfah,
(5) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat secara umum kepada khalîfah.53
Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Ali bin Abi
Tâlib, yaitu setelah wafatnya khalîfah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahl Al-
Hall Wa Al-Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalîfah, (2) Ahl Al-Hall
Wa Al-Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalîfah, dan orang itu
menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat, (3) umat
52 A. Djazuli, h. 67 53 A. Djazuli, h. 68
60
melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalîfah, (4) dilakukan baiat
at-tâ‘at oleh umat secara umum kepada khalîfah.54
Itulah empat cara pengangkatan khalîfah yang diambil dari praktik pada masa
khulafâ ar-rasyidîn. Berdasarkan cara pengangkatan khulafâ ar-rasyidîn di atas,
khususnya pengangkatan khalîfah Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani
dan Imam Abdul Qadim Zallum lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan.
Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam
melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara
pengangkatan khalîfah ini terdiri dari 4 (empat) langkah diantaranya:55
1. Para anggota majelis umat yang muslim melakukan seleksi terhadap para calon
khalîfah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk
memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara
pelaksanaannya.
2. Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam
mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.
3. Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak
sebagai khalîfah.
4. Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi
khalîfah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan
menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalîfah.
54 A. Djazuli., h. 69. 55 A. Djazuli., h. 71.
61
Di samping Pemilu untuk memilih khalîfah, dalam sistem politik Islam juga
ada pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi
anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan
melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalîfah. Mengapa melalui
pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakâlah (perwakilan). Anggota majelis umat
adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan
kepada penguasa. Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya.
Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau
ditentukan oleh khalîfah.56
Mengingat pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakâlah,
maka implikasinya berbeda dengan akad khilafâh. Dalam akad wakâlah, pihak
muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil),
sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad
wakâlah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah).57 Maka dari itu, umat
memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda
dengan akad khilâfah, sebab dalam akad khilâfah umat tidak berhak memberhentikan
khalîfah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat
khalîfah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalîfah, selama akad baiat telah
dilakukan sempurna sesuai dengan syarî’ah. Jika khalîfah melanggar syarî’ah Islam,
56 Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat,
(Bandung:Mizan, 1993), h. 245. 57 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148
62
yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazalim, yaitu lembaga
peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan
penguasa atau negara.58
Ketika Islam membolehkan pemilu untuk memilih khalîfah atau anggota
majelis umat, bukan berarti pemilu dalam Islam identik dengan pemilu dalam sistem
demokrasi sekarang. Dari segi cara atau teknis (uslûb), memang boleh dikatakan
sama antara pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam.
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya
sangatlah berbeda, bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi
didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari
kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh atau sekularisme), sedangkan pemilu dalam
Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama
dari kehidupan.59
Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di
tangan rakyat (as-siyâdat li asy-sya‘b), sehingga rakyat di samping mempunyai hak
memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, pemilu dalam Islam
didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan
di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak
58 Abu A’la Al-Maududi., h. 247 59 Abu A’la Al-Maududi., h.144.
63
rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh
membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi.60
Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang
akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya,
pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan
kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia
seperti dalam demokrasi.61
B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer
Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’ah dan
pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang
menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-
kontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini
jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak
dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu, tema keterlibatan para ulama dan
cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hal ini selalu menjadi perdebatan yang hangat
dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan
misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan”
atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadi. Meskipun tentu saja perdebatan
60 Abu A’la Al-Maududi, h. 159. 61 Abu A’la Al-Maududi, h. 160.
64
itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis” tersebut, namun
hal tersebut boleh atau makruh. Tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap
wara’ semata, tidak lebih dari itu.62
Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua
hal. Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat
dalam jabatan tersebut. Kedua, bahwa posisi yudikatif (qada’) secara khusus memiliki
keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imâmah kubra (kepemimpinan tertinggi)
yang dalam hal ini dipegang oleh para khalîfah yang memiliki kadar keadilan yang
berbeda-beda satu sama lain. Dan sangat disayangkan bahwa tabiat umum para
khalîfah itu pasca khulafâ al-rasyidîn justru lebih diwarnai oleh kefasikan, hal yang
kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan
apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalîfah itu. Alasannya tentu
sangat jelas rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi
kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur
itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.
Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa
terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan
penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar.
Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide
yang asing bagi umat Islam, namun anehnya secara pemikiran dan praktek ia begitu
melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat
62 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah., h. 1
65
“keinginan untuk menerapkan syarî’ah Islam” menjelma menjadi tuduhan
menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum
muslimin sendiri dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawan
berperan sangat besar dalam hal ini.
Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di
kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’ah dan aktifisnya, dalam
menentukan sikap mereka. Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu
secara lembaga maupun individu telah menyimpang dari jalan yang benar dan
perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun
mereka kemudian berbeda pandangan lagi, apakah perubahan itu harus melalui
kudeta? atau mengikuti persaingan politik yang keras? atau justru dengan melakukan
kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah
negara?.
Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih
berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak
hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini secara lembaga maupun individu. Tapi
yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?.
Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam
menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan
di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam skripsi ini, dimana ia akan
66
berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i
yang ada.
Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang
pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan
menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul al-
musyârakat fi al-Intikhâbat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan
beberapa kaidah dimaksud, yaitu:63
Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya.
Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu
dengan yang lain, karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya
mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak
mungkin diragukan lagi.
Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-walâyat al-
‘ammah), seperti khalîfah, qadi, menteri, gubernur, hisbah,64 dan yang terkait
dengannya. Semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun
kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi,
seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang
lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilâfah atau imâmah
63 Lihat Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, h. 2 - 4 64 Hisbah adalah sebuah lembaga resmi pemerintah Islam yang bertugas menjalankan amar
ma’ruf nahi munkar
67
mengatakan: “Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian
dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”65 Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah
termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak
dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk
menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan
taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling
utama.”66
Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang
tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai
kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan
menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan.
Kekuasaan yudikatif (qada’) misalnya yang notabene merupakan kekuasaan
syar’i yang sangat mulia, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas
dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami
syarî’ah Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan
kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka
menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan syarî’ah Islam. Dan ia
65 Al-Ahkam al-Sultaniyyah., h. 5. 66 Majmu’ al-Fatawa, 28/390.
68
tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai
dengan wahyu Allah.67
Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
umat Muhammad saw, yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus
masyarakat muslim, baik secara individu ataupun kelembagaan.
Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan
agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti
para rasul dalam menyampaikan risalah Allah.
Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi
mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:
⌧
☺
☺ ☺ )79: 3/ال عمران(
Artinya : “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Al-Imran/3: 79).
Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan
mengatakan: “Jika demikian, para rabbaniyyûn adalah sandaran manusia dalam
67 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, h. 3.
69
pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid
mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama,
sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman,
yang memahami politik (siyâsah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta
apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.”68
Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam:69
1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah,
fara’idh, hukum seputar keluarga seperti nikah dan talaq, hudud, qisas dan
diyatnya.
2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum
oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’amalah harta dan sistem tatanan sosial yang
terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya.
Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku
secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-tsawabit), baik yang ditetapkan oleh
nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang qat’i ataupun
zanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya meskipun
ada namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan
perselisihan dan permusuhan.70
68 Tafsir al-Thabari, 3/132 69 Tafsir al-Thabari, 3/132 70 Lihat al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, h. 3
70
Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan
berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan
itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada.
Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal)
dan adapula yang bersifat terperinci (mufassal), meskipun yang mayoritas adalah
yang pertama.71
Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang
ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga
objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang
satu ini misalnya, Allah berfirman:
☺
⌧
⌧
)49: 5/المائدة( ⌧Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah/5: 49)
71 Tafsir al-Thabari, 3/132
71
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang
seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan
atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada
posisi yang tepat.
Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup
aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan
yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya,
seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya.72
Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu
bersifat ijtihâdiyyah dan bukan tauqifiyyah.73
Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak
mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. Ia
bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya.
Sistem adminstrasi pada masa khulafâ' ar-rasyidûn misalnya berbeda dengan
sistem yang berlaku di zaman Nabi SAW ataupun dengan era pemerintahan di masa
Umayyah dan Abbasiyah.
Fakta sejarah misalnya menunjukkan bahwa khalîfah Umar bin Khattab r.a.
adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan),
dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya
dijalankan oleh khalîfah Abu Bakar r.a.
72 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah., h. 4. 73 Tafsir al-Thabari, 3/132
72
Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islâmiyyah yang
pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan
sejalan dengan maslahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah
jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih maslahat.
Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam
membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja
pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah apakah konsep pemilu
dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja
atau tidak?
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari
aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah
Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level
yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadi, dan anggota majlis
syûra (parlemen)? atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku?
Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang
menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu
untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa
awal Islam maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw, maka kita tidak menemukan
hal itu. Abu Bakar menjadi khalîfah melalui proses bai’at yang disepakati oleh ahl as-
sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas
73
dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan
nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah
saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami
(maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam
dalam urusan dunia kami?”
Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin Khattab r.a adalah proses
istikhlâf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama
dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu'ah Al-Majûsi:
“Jika aku melakukan istikhlâf, maka orang yang lebih baik dariku pun maksudnya
Abu Bakar telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang
lebih baik dariku pun telah melakukannya yaitu Rasulullah SAW.”
Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh khalîfah Harun Al-
Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab:
“Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum
beriman pun mendiamkannya.” Harun Al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya
membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan:
“Saat itu Rasulullah SAW sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu
beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka
ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi
SAW. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar
74
setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca:
sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah SAW.”74
Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas
dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah
tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau
dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam
haruslah berasal dari suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu
luas:
1. Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di
Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti
tertentu.
2. Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu
memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.
3. Syarat ini hanya terkait dengan al-Imâmah al-‘Uzma saja, bukan kekuasaan yang
lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada
beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan
ditunjuk?. Poin kequraisyian inilah yang menentukannya.75
Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap
bersifat mutlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka
dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak
74 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506 75 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506
75
memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk
kepemimpinan tertinggi di sebuah negara.76
Konsep pemilu sendiri dalam bentuknya yang modern dapat dikatakan
sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang
dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam
seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki karakter ideologis dan
sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
Karakter Ideologis Pemilu Barat diantaranya adalah:
1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara sesuai dengan
latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen.
2. Menjauhkan agama apapun dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik,
adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak
mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka.
Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar
basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya.
3. Hubungan sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan
ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat,
bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi
mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi
orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu
76 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506
76
dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk
menghakiminya.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya
mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti:
1. Bahwa kebebasan semacam ini seharusnya memberikan kesempatan dan ruang
gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran terutama para
da’i, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir
mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya.
2. Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterus terangan antara
penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan
pandangan mereka secara bebas.
Karakter Teknis-Adminstratif Pemilu Barat, diantaranya adalah:
1. Keragaman partai politik. Hal ini adalah karakter yang secara konsisten melekat
pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya
sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen.77
2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen.
Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya
pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat
sebagai salah satu prinsip Demokrasi.
77 Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah, h. 108
77
3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu antara 2, 3, 4 atau
5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula
kekuasaan pemerintah terpilih.
4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Ini juga dapat
disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat.
Dengan melihat ulang karakteristik tersebut baik yang bersifat ideologis
maupun adminstratif, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang
disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syarî’ah Islam.
Karakter pertama misalnya penetapan undang-undang, jelas bertentangan dan
bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah
(samawiyyah). Allah berfirman:
☺ ⌧ ☺ ⌧
)21: 42/الشورى( Artinya : “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka Telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura/42: 21)
Karakter kedua juga demikian, memisahkan agama dari kehidupan sosial
masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan
aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa
seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal
78
⌧
)150: 4/النساء( ⌧ Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-
Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (QS. An-Nisa/4: 150)
)151 :4/النساء( ⌧
Artinya : “Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisa/4: 151)
Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan
berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara
mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk
kebebasan yang sejalan dengan syarî’ah.
Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan
umum, dan pemisahan tiga jenis kekuasaan. Maka nampaknya ini dapat dikategorikan
sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan
79
diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan modern yang
berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem
yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi tiga tahap:
dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke
tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya.
Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di
kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu
saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita
melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan
bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada
masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep
“negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa khulafâ' al-rasyidûn hingga
khilâfah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah
yang berada di bawah naungan dan jangkauan ke khilâfahan yang membentang dari
Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang,
sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri”
bahwa setelah runtuhnya khilâfah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah
satu kekhilâfahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil
cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya.
Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan, dan pemisahan
tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar
80
persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung
pada prinsip “ Jalb al-Maslahat wa Dâr al-Mafsadah ”. Dan ini adalah prinsip yang
umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam
sejarah politik Islam awal, terutama di masa khalîfah Umar bin Khathab r.a.
Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencari-
cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidak syar’iyan adanya
keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan tiga jenis kekuasaan tersebut.
Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang
dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak
langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih
untuk itu.
Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa
sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh
mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak
bertentangan dengan syarî’ah Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita
mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab
sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain,
terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau
melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan.
Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan
dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti
81
inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal
dari luar Islam.
Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah
membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas
intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan
akademisi.78 Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika
pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian
memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar
tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang
menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting
ini yaitu pemilihan pemimpin negara.
Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hall wa al-‘aqd
yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya,
penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan
pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggung-jawabkan secara intelektual, seperti
perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi keilmuan, dan yang
semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat
disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada
Dewan Parlemen.
78 Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlaminyah, 2/5
82
C. Pandangan Hukum Islam terhadap Sistem Pemilu Menurut UU No. 10
tahun 2008
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
umum (Pemilu) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dapatlah
disimpulkan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilu adalah untuk; (1) memilih wakil
rakyat, dan (2) memilih kepala negara (presiden dan wakilnya).
Dari sisi fakta kepala negara berbeda dengan wakil rakyat, baik dari sisi
kewenangan, tugas, syarat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hukum pemilu
presiden dan pemilu wakil rakyat tidak boleh disamaratakan, akan tetapi harus dikaji
secara terpisah, karena adanya perbedaan fakta di antara keduanya.
Pada prinsipnya, syarî’ah Islam telah menggariskan sejumlah syarat yang
harus dipenuhi seseorang agar ia layak dipilih sebagai kepala negara. Syarat-syarat itu
adalah:
1. Muslim. Jabatan kepala negara tidak boleh diserahkan kepada orang kafir.
Pasalnya, Islam telah melarang kaum Muslim memberikan jalan kepada orang
kafir untuk menguasai kaum Muslim. Selain itu, Al-quran menyatakan dengan
jelas, bahwa Ulil Amri haruslah berasal dari kaum Muslim [QS An-Nisa:59]
⌧
83
)59: 4/النساء( ⌧
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa/4:59)
2. Kepala negara harus seorang laki-laki. Jabatan kepala negara tidak boleh
diserahkan kepada wanita. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukari dari Abu Bakrah r.a.
3. Baligh, yakni telah mencapai usia seorang mukallaf.
4. Berakal alias tidak gila
5. Kepala negara harus adil. Jabatan kepala negara tidak boleh diberikan kepada
orang fasik.
6. Merdeka atau mampu mengatur dan menguasai urusannya sendiri, dan tidak di
bawah kendali atau penguasaan orang lain.
7. Mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
Jika syarat-syarat di atas ada pada diri seseorang, maka ia absah dipilih untuk
menduduki jabatan kepala negara79.
Selain itu, syarî’ah Islam juga telah menetapkan bahwa seorang kepala negara
itu diangkat dan dipilih untuk menegakkan dan menerapkan syarî’ah Islam secara
79 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyassah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), Cetakan I, h. 95-107
84
menyeluruh, bukan untuk menegakkan dan menerapkan konstitusi dan perundang-
undangan kufur. Atas dasar itu, seorang Muslim dilarang memilih seseorang yang
kelak jika menduduki jabatan kepala negara akan menegakkan dan menerapkan
aturan-aturan kufur. Pasalnya, pemilihan semacam ini telah bertentangan dengan
esensi pemilihan kepala negara dalam pandangan syarî’ah Islam. Atas dasar itu,
hukum melibatkan diri dalam pemilu yang ditujukan untuk memilih figur-figur
pemimpin negara yang nantinya akan menerapkan dan menegakkan konstitusi dan
undang-undang kufur adalah haram secara pasti, tanpa perlu takwil lagi.
Pada dasarnya, seorang muslim boleh mewakilkan aspirasi dan pendapatnya
kepada orang lain. Untuk itu, ia boleh memilih orang lain yang ia sukai untuk
menyampaikan aspirasi dan pendapatnya. Di dalam fikih, aktivitas semacam ini
disebut dengan wakâlah. Selama rukun dan syarat-syarat wakâlah dipenuhi, dan tidak
bertentangan dengan syarî’ah, maka absahlah akad wakâlah tersebut.
Adapun rukun dalam akad wakâlah adalah akad atau ijab qabul, dua pihak
yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili
(wakîl), perkara yang diwakilkan, serta bentuk redaksi akad perwakilannya (sighat
taukîl). Semua rukun tersebut harus sesuai dengan syariat Islam.
Dalam kaitannya dengan pemilu, jika muwakkil dan wakîl telah mengucapkan
sighat taukîl. Maka perkara yang harus diperhatikan adalah obyek yang diwakilkan,
yakni dalam rangka untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan.
Jika akad perwakilan tersebut ditujukan untuk melaksanakan perkara-perkara yang
85
sejalan dengan syarî’ah, maka absahlah akad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika
akad perwakilan tersebut ditujukan untuk melaksanakan perkara-perkara yang
bertentangan dengan syarî’ah, maka batillah akad perwakilan tersebut.
Jika kita perhatikan tugas wakil rakyat yang duduk di parlemen, dapatlah
disimpulkan bahwa mereka dipilih untuk melaksanakan sejumlah tugas diantaranya
adalah: (1) membuat undang-undang dasar (UUD) dan undang-undang (UU) serta
mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang (RUU), dan berbagai
perjanjian yang lain, (2) mengangkat kepala negara di beberapa negara, dia dipilih
secara langsung oleh rakyat dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan
pemerintahan, (3) melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah
dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Berdasarkan fakta fungsi dan tugas wakil rakyat di atas dapatlah ditarik
ketentuan hukum syarî’ah sebagai berikut: Pertama, akad wakâlah (pemilu) yang
ditujukan untuk melaksanakan fungsi legislasi, yakni fungsi pembuatan hukum jelas-
jelas dilarang di dalam Islam yaitu haram. Pasalnya, hak untuk membuat dan
menetapkan hukum hanya di tangan Allah SWT, bukan di tangan manusia.
Menyerahkan tugas ini (legislasi) kepada manusia sama artinya telah
menyekutukan Allah SWT. Kedua, akad wakalah yang ditujukan untuk
melanggengkan sistem kufur, memberi mandat kepada penguasa untuk menjalankan
hukum-hukum kufur termasuk perbuatan haram. Ketiga, pencalonan dalam rangka
melaksanakan fungsi pengawasan (muhâsabat li al-hukkâm) termasuk perkara yang
dibolehkan. Hanya saja, pencalonan tersebut harus terikat dengan syarat-syarat syar'i,
dan bukanlah mubah secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
86
1. Tidak menjadi calon partai sekuler dan tidak menempuh cara-cara haram,
semacam penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan
orang sekuler.
2. Harus menyuarakan secara terbuka targetnya menegakkan sistem Islam,
meruntuhkan sistem sekuler, dan dengan sadar bertekad untuk mengubah sistem
ini menjadi sistem Islam, serta mengumumkan perjuangannya untuk
membebaskan negerinya dari cengkeraman asing.
3. Dalam kampanye pemilu, ia harus menyampaikan ide-ide dan program-program
yang bersumber dari syarî’ah Islam.
4. Harus konsisten dan terus-menerus melaksanakan hal di atas.
Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pencalonan seorang muslim
menjadi anggota parlemen secara syar'i diperbolehkan.
BAB V
PENUTUP
87
A. Kesimpulan
Dari uraian bab diatas, penulis menyadari banyak kekurangan yang berkaitan
dengan penyajian data maupun kelemahan analisa penulis sendiri. Meskipun
demikian dapatlah disimpulkan point-point penting berikut ini untuk menjawab tiga
pertanyaan besar dalam skripsi ini.
Pertama berkaitan dengan konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah
yang berkaitan dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun
2008. Ada tujuh prinsip ketatanegaraan dalam Islam yang membahas tentang nilai-
nilai yang harus ditegakkan dalam sistem pemilihan umum (pemilu) dalam Islam
diantaranya:
1. Prinsip pertama adalah musyawarah atau syuro
Prinsip ini dianggap sebagai thariqoh (model) untuk berdemokrasi dengan
meminta pendapat kepada orang yang berkompeten untuk mendapat kebenaran
yang sejat. Musyawarah dalam sistem pengambilan hukum dalam Islam dijadikan
sebagai dasar tasyri (yurispudensi).
2. Prinsip kedua adalah adalah (keadilan)
Pemilu yang dilaksanakan secara demokratis dengan cara musyawarah tentunya
juga harus memenuhi rasa keadilan bagi ummat. Keadilan tersebut harus
dibangun atas dasar niat yang tulus (ikhlas) karena Allah, dan tentunya berpihak
82
88
kepada kebenaran, bukan kedzaliman ataupun kebencian, sehingga keadilan
terbentuk atas nilai ketakwaan.
3. Prinsip ketiga yaitu persamaan (musawah)
Hak memilih setiap individu dalam pemilu harus memenuhi unsur persamaan.
Persamaan mengandung arti tidak ada dikotomi gender, ras, atau pun golongan.
Hal ini terkait dengan doktrin Al-quran tentang privilage yaitu bahwa kemuliaan
seseorang di mata Allah tidak ditentukan berdasarkan status sosialnya dalam
masyarakat, tetapi lebih kepada derajat ketakwaan-Nya.
4. Prinsip keempat adalah shidiq (kejujuran)
Pelaksanaan pemilu dalam islam tentunya harus transfaran dan jujur, karena
kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan (amanah) atas tanggung
jawab (mas’uliyah) yang diberikan. Dengan kata lain, penyimpangan terhadap
amanah adalah pengkhianatan terhadap umat dan tentunya merusak sendi-sendi
demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, prinsip kejujuran merupakan paralel
dengan prinsip yang kelima.
5. Prinsip kelima yaitu prinsip pertanggungjawaban
Sistem pertanggungjawaban dalam pemilu merupakan akuntabilitas dan
transparansi terhadap amanah itu sendiri.
6. Prinsip keenam yaitu huriyah (kebebasan)
89
Dalam konteks pemilu adalah terhindar dari segala macam bentuk intimidasi dan
intervensi penguasa yang berlebihan yang mencakup ancaman terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harga benda (ad-doruriyah al-khamsah). Apabila
kebebasan individu dijamin sepenuhnya oleh penguasa, maka akan timbullah
kebajikan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian prinsip kebebasan sejalan
dengan prinsip terakhir yaitu kebajikan.
7. Prinsip ketujuh yaitu kebajikan (kesejahteraan)
Dalam perspektif kebajikan mengandung defenisi yang luas dan mendalam
terwujudnya keadilan sosial baik materi maupun inmateri, fisik, psikis, dan
rohani, bahkan spritual.
Dalam perspektif hukum tata negara, menurut Refly Harun, sistem yang
disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnya jelas sekali bahwa
perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang
pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, karena ada pihak tertentu yang kalah dan
mengupayakan agar menang, maka mereka kemudian mengajukan judicial review.
Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun dianggap adil sesuai dengan UUD 1945,
akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap
ketiga yaitu penentuan yang diangkat dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil
(Daerah Pemilihan), dapil mana yang berhak mendapat kursi.
90
Kedua, berkaitan dengan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia
menurut UU No. 10 Tahun 2008 terdapat adanya kontroversi beberapa pasal (pasal
205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3) tentang perolehan kursi DPR, UU
No. 10 Tahun 2008 diklaim sebagai undang-undang yang menyempurnakan aturan
pada tahun sebelumnya. Ada dua isu mendasar dalam UU tersebut:
1. Berkaitan dengan sistem Parlementary Thershold yang dianggap bertentangan
dengan prinsip multi-partai yang menjadi inti dari UU No. 2 Tahun 2008 ini
terkait dengan sistem multi-partai yang merupakan hasil dari euporia politik pasca
reformasi. Dengan demikian, Parlementary Thershold dikhawatirkan akan
mengembalikan sistem kepartaian yang terjadi pada masa rezim orde lama dan
orde baru.
2. Sistem proporsional dianggap telah terdistorsi oleh ologarki parlemen dalam
menyusun UU No. 10 Tahun 2008
3. Sebagaimana diketahui, paling tidak ada dua fungsi utama wakil rakyat di
DPR/Parlemen. Pertama: melegislasi Undang-Undang Dasar (UUD) atau
Undang-Undang (UU). Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan
lain bagi kaum Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan
negaranya kecuali dengan menggunakan syarî’ah Allah SWT. Kedua: fungsi
pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen, berupa koreksi dan
kritik terhadap pemerintah atau para penguasa atau Undang-Undang yang
digodok dan dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jelas hukumnya
91
wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf
nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap muslim, terlebih para wakil rakyat.
Jadi dalam pandangan hukum Islam pemilu untuk memilih para wakil rakyat
hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.
Ketiga, terkait relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem
pemilihan umum (pemilu) dalam UU No 10 tahun 2008. Merujuk kepada UU No. 10
Tahun 2008, pemilu di Indonesia bertujuan untuk:
1. Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota.
2. Memilih penguasa
Dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat
merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal wakâlah adalah
mubah (boleh). Wakâlah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun
tersebut adalah adanya akad (ijab-qabul), dua pihak yang berakad yaitu pihak yang
mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan,
serta bentuk redaksi akad perwakilannya (sighat tawkîl). Semuanya harus sesuai
dengan syarî’ah Islam.
Menyangkut pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama
adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad
perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu
sesuai dengan syarî’ah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syarî’ah Islam, maka
92
wakâlah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakâlah
tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.
Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat
sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya yang diakui dalam Islam
adalah kedaulatan syarî’ah, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya
Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-
tercela.
Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan
tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem
politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam atau khâlifah)
untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh bahkan wajib. Sebab
imam atau khâlifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum
syarî’ah dalam negara, dan ketiadaan imam atau khâlifah akan menyebabkan tidak
terlaksanakan hukum-hukum syarî’ah tersebut.
Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan
tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem
politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam atau khâlifah)
untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab
imam atau khâlifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum
syarî’ah dalam negara, dan ketiadaan imam atau khâlifah akan menyebabkan tidak
terlaksanakan hukum-hukum syarî’ah tersebut. Karena itu, hukum wakâlah dalam
93
konteks membuat dan melegalisasikan undang-undang yang tidak bersumber pada
syarî’ah atau hukum Allah, jelas tidak boleh.
B. Rekomendasi
Dari deskripsi dan analisa penulis dalam skripsi ini, terlihat ada beberapa titik
temu antara sistem pemilu konvensional dan sistem pemilu dalam Islam. Walaupun
harus diakui secara jujur bahwa sistem pemilu dalam Islam tidak bisa disamakan
dengan sistem pemilu sekuler saat ini.
Berdasarkan hal tersebut, penulis menyarankan kepada para wakil rakyat yang
duduk di parlemen untuk lebih memperhatikan keadaan rakyat yang telah
memilihnya, karena kepercayaan tersebut adalah amanah yang mesti diemban secara
jujur dan bermartabat. Esensi pemilu dalam Islam adalah bukan untuk merengguk
kekuasaan semata, tetapi lebih dari itu ia adalah kepanjangan dari kebijakan Tuhan di
muka bumi, karena harus diingat bahwa suara rakyat adalah suara Allah.
94
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Hadits
Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Cet I, (Jakarta: LP3ES, 1987)
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, (t.t: t.p, t.th) cet III/148
Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245.
Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani, 2000)
Al-Rayis, Muhammd Dhiya’ al-Din, Al-Nazhariyat al-siyasat al-Islamiyat, (Mishr: Maktabatul al-Anjlu al-Mishriyat, 1960)
As-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Asas-asa Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1976)
Azhary, Prof. Dr. H. Muhammad Tahir, SH., Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111.
Djazuli, Prof H.A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), Edisi Revisi, Cetakan III, h. 68.
Farabi, Al- dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002)
Iqbal, Dr. Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)
Jurdi, Dr. Syarifuddin, Sosiologi Islam Dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, Dan Aksi Sosial, Ed 1, Cet 1, (Jakarta: Kencana 2010)
Kusnardi, Muhammad dan Saragih. Bintan R, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)
89
95
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Bambang ed. Cet 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Marzuki, Peter Mahmud, Prof. Dr. SH., MS., LL.M, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008)
Mawardy, Al- dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah
MD, Prof. Dr. Mahfudz, “Penerapan UU No 10 tahun 2008, “ <http://www. indosiar.com/ragam/78701/penerapan-uu-no10-tahun-2008> edisi 25 Februari 2009, diakses pada 3 Mei 2010
Mulia, Musda, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997)
Munawar, Al- dan Said Agil Husain Prof. Dr., MA, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadina, 2004)
Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV Rajawali, 1987)
Pulungan, Dr. J. Suyuthi, M.A., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
Rahman A. Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)
Rasyid, Ryaas, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Dalam Andy Ramses M dan La Bakry, ed. Cet 1 (Jakarta: MIPI, 2009
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid V, (Mishr: Maktabat al-Qahirat, 1960)Abdul Wahab Khalaf, Al-siyasah As-Syariyyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1977)
Salomo, Simanungkalit, dkk, Peta politik Pemilihan Umum 1999-2004, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2004)
Soerjono, Soekanto, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Syafi’i, Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996)
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008)
96
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Poluler Edisi Lengkap, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006)
Wahid, Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.) “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99.
Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul Aslinya: As-Siyasah Asy-Syari’yah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I,
Zaidan, Abdul Karim, Individu dan Negara Menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah dkk, Politik Islam, Konsepsi dan Demokrasi, terjemahan Jamaluddin Kafie, Cs., (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1987)
_______, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin Kramat Raya, 1984)
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)
Artikel dan Internet
KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK”,http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkan-mk.html, diakses 3 Mei 2010
Nurhasim, Moch, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu. okezone.com/read/ 2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10/2008 'Kebiri' KebebasanPers,http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=17300, diakses 3 Mei 2010
97
Lampiran I
HASIL WAWANCARA
Informan : Refly Harun SH., MH., L.LM
Pekerjaan : Peneliti senior CENTRO
Tempat : CENTRO
Waktu/Tgl : Pukul 20.00 s.d 21.00/18 Juni 2010
T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai UU No. 10 Tahun 2008?
J. Menurut bapak Relfy Harun mengengai UU No.10 tahun 2008, dilihat dari
segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan Mei 2007 dan selesai dirmusukan
pada 3Maret 2008, kemudian disahkan pada 28 Maret 2008. Sedangkan
pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap sangat terburu-buru
karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya yudisial review
yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih yang
mendapatkan suara 30 %. MK membatalkan pasal 214 yang menyatakan
harus memperoleh suara terbanyak. Perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat
luar biasa dengan banyaknya perubahan dari UU sebelumnya yang membuat
pemilu mengalami banyak permasalahan.
98
T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi
dalam UU No. 10 Tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan
pasal 212 ayat 3?
J. Pasal yang dianggap kontropesi sebenarnya dalam hal ini sesuai menurut
UUD 1945 yang terdapat dalam pasal 22 E, hanya ada pihak yang ingin
mengambil kesempatan, khususnya yang tidak mendapatkan kursi di DPR.
Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008 misalnya partai A mendapat 70
suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama partai A mendapat
1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak mendapatkan kursi
karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada tahap kedua
partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu 20
kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa
suara lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak
yang menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan
penentaun kursi pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan
kepada partai yang mendapat suara terbanyak.
T. Apakah ada keadilan dalam UU No. 10 Tahun 2008?
J. Menurut sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnnya
jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD
1945 tentang pelaksana pemilu. Akan tetapi ada pihak tertentu yang kalah dan
99
mengupayakan agar menang. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun
dianggap adail sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan
penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan
yang diangakat dalam DPR Provinsi atau penentuan dapil, dapil mana yang
berhak mendapat kursi.
T. Mengapa ada perbedaan pendapat dalam UU No. 10 Tahun 2008?
J. Banyak politisi yang melakukan yudisial review, salah satu fakor adalah
ketidak jelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait dengan penetapan atau
pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon terpilih, ditambah
dengan rumitnya sistem pemilu yang diadospi. Dalam sistem pemilu
Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal
ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam
jumlah kursi atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem
proporsional terbuka sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal
dengan distrik. Kemudian ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang
dipersoalkan adalah mental para calon DPR yang mengupayakan segala cara
agar dapat terpilih dan mengupayakan agar celah hukum yang ada agar
terpilih menjadi anggota DPR.
T. Apakah UU No. 10 tahun 2008 merupakan penyempurnaan dalam UU No. 12
Tahun 2003?
100
J. UU No.10 tahun 2008 bukan penyempurnaan akan tetapi perubahan karena
konteks isi atau bahasa didalamnya dirubah secara keseluruahan yang
dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan
antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU No.12 tahun 2003 dan masih
dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut.
T. Apakah relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara?
J. Relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat
dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945 dalam BAB VIIB
tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat
2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil
presiden dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota
DPRD adalah partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota
DPD adalah perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih
lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang.
101
Lampiran II
HASIL WAWANCARA
Informan : Yan Hasanuddin Malik
Pekerjaan : Penasihat dan badan hukum Partai Bulan Bintang (PBB)
Tempat : Kantor Dewan Perwakilan Daerah PBB Sukabumi
Waktu/Tgl : Pukul 09.00 s.d 11.00/23 Juni 2010
T. Jika merujuk pada UU No. 10 tahun 2008, bagaimana tanggapan bapak
mengenai UU No. 10 tahun 2008?
J. Dalam UU No.10 tahun 2008 menurut tanggapan pembicara jika merujuk
pada hal ini anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan
harus melalui partai politik. Antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10
tahun 2008 yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya tidak jauh berbeda
hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai
sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya
terdapat dalam tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan
orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia
menganut perkawinan sistem distrik dan sistem proporsional.
102
T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi
dalam UU No. 10 tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan
pasal 212 ayat 3?
J. Mengenai pasal yang kontropersi sebenarnya terdapat dalam masalah
perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk
dalam BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan
dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika
ketentuan perhitungan dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi
maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A
mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan perhitungan tahap kedua, sedangkan
partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan
sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai B adalah 200 hal ini
merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara
dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang memenangkan
suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi kontropersi jika
ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai habis. Suara
yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang mendapatkan
suara terbanyak.
Penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga,
suara partai yang tidak mendapatkan kursi kemudian dilimpahkan kepada
partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi
dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang memilih satu partai
karena tidak mencukupi dianggap hangus. Isu dalam UU No. 10 tahun 2008
ada dalam parlementary thershold dan elektoral threshold.
103
T. Apakah dalam Islam mengenal pemilu atau intikhabat?
J. Dalam Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau
dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau
dasarnya adalah suara mayoritas yang paling banyak suara sah atau
pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai
dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai kapabilitas, intelektual,
moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja.
Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika dalam
demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa
dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam
dengan pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam
dan pemilu di indonesia mempunyai semangat yang sama.
T. Bagaimana sistem pemilu dalam Islam?
J. Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu
harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang
mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR
sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu,
sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi
dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam.
T. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia
dalam UU No. 10 tahun 2008?
104
J. Pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No.
10 tahun 2008, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan
perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu
boleh saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka
kewajiban masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu
diprogramkan maka diperlukan lembaga yang perlu untuk menjalankan
perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah
dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak boleh merubah dari ketentuan
syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari
Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu harus dibuat
dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas
tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang
berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.
T. Jika dalam Islam dikenal dengan prinsip keadilan, apakah UU No. 10 tahun
2008 dapat dikatakan adil?
J. Dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya
karena ada sistem parlementary threshold, maka sebagian wakil rakyat di
DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada
partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya lebih kepada ukuran kebenaran tapi
perlu diperjuangakan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi.
Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil saja selama tidak
bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.
T. Apakah dalam Islam ada pemilihan DPR?
J. Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu
harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang
mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR
105
sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu,
sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi
dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam.
T. Apakah hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan UU
No. 10 tahun 2008?
J. Hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di
Indonesia menurut UU No.10 tahun 2008 dengan tujuan untuk
mensejahterakan rakyat dengan memilih orang-orang yang mempunyai
kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan
rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi substansi jika dalam
Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu demokrasi
ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam
pemilihan suara.