Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional
-
Upload
joke-punuhsingon -
Category
Documents
-
view
177 -
download
33
Transcript of Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) itu adalah hak kebendaan,
hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil
dari pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril,
benda tidak berwujud. Misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada
(irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang
berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati kerohanian termasuk
juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi tersebut
sebagai fungsi non verbal, metaforik, intuitif, imaginatif dan emosional.
Spesialisasinya bersifat intuitif, holistic dan mampu memproses informasi secara
simultan.
Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang
optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai seorang terpelajar, mampu
menggunakan ratio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika
(metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional
atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.1
Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian
atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai hak atas kekayaan
intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta
dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi
disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis, dan analitis yang
merupakan pekerjaan belahan otak kiri.
Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, ratio,
intellectual) secara maksimal. Karena itu tidak semua orang pula dapat
menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu
mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang
disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak
1 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 10.
1
yang membuahkan hak atas kekayaan intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya
orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya
peradaban manusia dimulai dari kerja otak itu.
Jika ditelusuri lebih jauh Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan
bagian dari benda, yaitu benda tak berwujud (benda immateril). Benda dalam
kerangka hukum perdata diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu
diantara kategori itu adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda
berwujud dan benda tidak berwujud. Hal ini dapat dilihat batasan benda yang
dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham
undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap
hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.2 Untuk pasal ini, Prof Mahadi
menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan
kalimat ini sebagai berikut: yang dapat menjado obyek hak milik adalah benda dan
benda itu terdiri dari barang dan hak.
Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang dimaksud
oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp),
sedangkan hak adalah benda immaterial. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi
benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu: Ada barang yang bertubuh, dan ada
barang yang tak bertubuh.3
Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita
contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak gunan bangunan,
hak guna usaha hak atas benda berupa jaminan, hak atas kekayaan intelektual
(intellectual property rights) dan lain sebagainya. Hak milik immateril termasuk ke
dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Karena itu hak milik
immateril itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Hak benda adalah
hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang obyeknya
bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Atas Kekayaan
Intelektual (intellectual property rights).4
2 R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 155.
3 Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Cet. II, 1999, hal. 156.4 Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985, hal. 5-6.
2
Kata ‘hak milik’ (hak atas kekayaan) atau ‘property’ yang digunakan dalam istilah
tersebut diatas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Karena
kata harta benda / property mengisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak
Atas Kekayaan Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia
bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia
yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik materil maupun
immateril. Bukan bentuk penjelmaan yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu
sendiri. Daya cipta dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu
pengetahuan atau paduan dari ketiga-tiganya.5
Mungkin karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan
berpikir manusia untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata
‘intelektual’ itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas
berpikir manusia tersebut.
Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah
terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material
yang menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta
dalam ilmu pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil material
yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (invensi) dalam
bidang Paten (bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang
menjadi bentuk jelmaan adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi
dalam kerangka Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari
hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam
kategori benda materil (benda berwujud).
Pengelompokan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan
dalam kelompok sebagai berikut:
1. Hak Cipta (Copy Rights)
2. Hak Milik (hak kekayaan) Perindustrian (industrial property rights).6
5 Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah, FH-USU, 10 Januari 1989.
6 Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Komps, Jakarta, 19 Februari 1986, hal. 1.
3
Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Hak Cipta dan
2. Hak yang berkaitan (bersepadan) dengan Hak Cipta (neighboring rights).
Istilah Neighboring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum
Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan istilah hak bertetangga dengan Hak
Cipta, ada pula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau
berhubungan dengan Hak Cipta, seperti yang termaktub dalam Bab V A UU No. 12
Tahun 1997, atau Hak Terkait seperti yang tercantum dalam Bab VII UU No. 19
Tahun 2002.
Neighboring Rights, dalam hukum di Indonesia, pengaturannya masih
ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut
Neighboring Rights itu lahir dari adanya Hak Cipta induk. Misalnya liputan
pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju, Live Show artis penyanyi adalah
Hak Cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa hak
siaran adalah Neighboring Rights. Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi
dapat dipisahkan. Begitu pula antara Hak Cipta lagu dengan hak penyiaran. Yang
pertama merupakan Hak Cipta, sedangkan hak yang disebutkan terakhir adalah
Neighboring Rights. Itulah alasannya menggunakan istilah yang bersepadan dengan
Hak Cipta untuk terjemahan Neighboring Rights. Kedua hak itu saling melekat,
menempel tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighboring Rights selalu diikuti
dengan adanya Hak Cipta, namun sebaliknya adanya Hak Cipta tidak
mengharuskan adanya Neighboring Rights.7
Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:
1. Patent (Paten)
2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukun Indonesia
dikenal dengan istilah Paten sederhana (simple Patent).
3. Industrial Design (Desain Industri)
4. Trade Mark (Merek Dagang)
5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6. Indication of Source Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal).8
7 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 148 Convention Establishing The World Intelektual Properti Organization (WIPO).
4
Pengelompokan hak atas kekayaan seperti tertera diatas didasarkan pada
Convention Establising The World Intellectual Property Organization. Dalam
beberapa literatur, khususnya yang ditulis oleh para pakar dari negara yang
menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang
dilindungi disamping yang tersebut diatas ditambah lagi beberapa bidang lain,
yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga
hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Patent (Paten)
2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun)
3. Industrial Designs (Desain Industrial)
4. Trade Secrets (Rahasia Dagang)
5. Trade Marks (Merek Dagang)
6. Service Marks (Merek Jasa)
7. Appelations of Origin (Sebutan Asal Barang)
8. Trade Names of Commercial Names (Nama Dagang atau Nama Niaga)
9. Indication of Origin (Indikasi Asal Barang)
10. Unfair Competition Protection (Perlindungan Persaingan Curang).9
Berdasarkan kerangka World Trade Organization / Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (WTO/TRIPs) ada dua bidang lagi yang perlu
ditambahkan, yakni:
1. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan
2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya
adalah Suatu Tinjauan Terhadap Sistem HAKI Dalam Kerangka Hukum Nasional
dan Hukum Internasional.
9 William T. Frayer, Materi Ceramah pada Intellectual Property of Tracher’s Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, 15 Juli s.d 2 Agustus 1996.
5
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisn ini adalah untuk mengetahui:
1. Sistem HAKI dalam kerangka Hukum Nasional.
2. Sistem HAKI dalam kerangka Hukum Internasional.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan
masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai
pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi data
itu.
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang
diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian
dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.
BAB IISISTEM HAKI DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM
INTERNASIONAL
1. ISTILAH SISTEM
6
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani ”Systema”. Menurut Shrode dan Voch,
sebagaimana dikutip oleh OK. Saidin, mengartikannya ”suatu keseluruhan yang
tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts)”.10
Selanjutnya OK. Saidin menjelaskan bahwa menurut Awad, sistem diartikan
sebagai”hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara
teratur (an organized functioning relationship among units or component). Dengan
demikian dapat dirumuskan istilah systema itu mengandung arti sehimpunan atau
komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu totalitas
atau keseluruhan. Rumusan ini sebenarnya hany merupakan salah satu dari
berbagai pengertian sistem yang selalu digunakan dalam menjelaskan berbagai-
bagai hal, seperti sistem hukum, sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan,
sistem pemerintahan, sistem sosial-budaya, sistem pertahanan keamanan dan lain-
lain sebagainya.
Dalam tulisan ini hanya dikemukakan beberapa rumusan saja, yaitu sebagai
berikut:
1. Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-
benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk yang saling
berhubungan atau saling ketergantungan yang teratur; suatu himpunan bagian-
bagian yang tergabungkan secara alamiah maupun oleh budidaya manusia
sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan terpadu; suatu keseluruhan
yang terorganisasikan atau sesuatu yang organik; atau juga yang berfungsi,
bekerja atau bergerak secara serentak bersama-sama, bahkan sering bergeraknya
itu mengikuti suatu kontrol tertentu, sistem tata surya, ekosistem, merupakan
contohnya.
2. Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun,
terorganisasikan, suatu himpunan, gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan
sebagainya yang dibentuk oleh satu kesatuan yang logok dan dikenal sebagai
isis buah pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu.
Sistem Teologi Agustinus, sistem pemerintahan demokratis, sistem masyarakat
Islam, merupakan contohnya.
10 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 19.
7
3. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian, skema atau metode
pengaturan organisasi atau mode tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk
atau pola pengaturan pelaksanaan atau pemrosesan dan juga dalam pengertian
metode pengelompokan, pengkodifikasian, dan sebagainya. Misalnya sistem
pengelompokan bahan pustaka menurut Dewey (Dewey Decimal
Clasification).11
Dalam buku Prof. DR. Winardi, SE., ada sederetan difinisi sistem dan untuk
praktisnya akan diambil 3 (tiga) definisi saja, yaitu:
a. Ludwig von Bertalanffy: “ ……….. system are
complexes of elementh in interaction, to which certain law can be applied.
Kalau diterjemahkan secara bebas, maka Sistem adalah himpunan unsur
(element) yang saling mempengaruhi, untuk mana hukum tertentu menjadi
berlaku”
b. H. Thierry, “…………… een system is een geheel van
elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan
geordendzijn, teneinde een bepaald doel to bereiken ….”. Terjemahannya
adalah: Sebuah sistem adalah keseluruhan bagian (componenten) yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang ditentukan, untuk
mencapai suatu tujuan tertentu …..”.
c. William A. Shorde / Dan Voich Jr., “………… A system
is a set of interrelated parts, working independently and faintly in pursuit of
common objectives of the whole within a complex environment”,
Terjemahannya: Sebuah sistem adalah seperangkat bagian (part) yang saling
berhubungan, bekerja sedikit bebas, dalam mengejar keseluruhan tujuan dengan
kesatuan lingkungan”.12
Definisi tersebut menekankan hal sebagai berikut:
a. Kelakuan berdasarkan tujuan tertentu.
Sistem tersebut berorientasi pada sasaran tertentu.
b. Keseluruhan. 11 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 2-3.12 Bachsan Mustafa, SH., Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 71-72.
8
Keseluruhan melebihi jumlah daripada semua bagian.
c. Keterbukaan.
Sistem tersebut saling berhubungan dengan sebuah sistem lebih besar, yakni
lingkungannya.
d. Transformasi.
Bagian-bagian yang bekerja menciptakan sesuatu yang mempunyai nilai.
e. Antarhubungan.
Berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain.
f. Mekanisme kontrol.
Terdapat adanya kekuatan yang mempersatukan yang mempertahankan sistem
yang bersangkutan.
Selanutnya Prof. Soerjono Soekanto, dan Soleman B. Taneko, dalam bukunya
Hukum Adat Indonesia, telah membawakan sejumlah bahan yang dapat digunakan
untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan sistem.
Menurut mereka, sistem merupakan:
1. a set of interrelated elements;
2. a set of interdependent variables.
Ada pandangan yang mengatakan, sistem merupakan:
“Any set of interrelated elements which are as they work and change together may
be regorded as a single antity ..”. Jadi suatu sistem merupakan suatu keseluruhan
terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya,
kelengkapan dan konsepsi-konsepsi atau pengertian dasarnya.13
Berdasarkan rumusan dan beberapa kutipan di atas tidak semua rumusan sistem itu
dapat diambil untuk memuat rumusan tentang sistem hukum. Rumusan sistem yang
lebih tepat untuk merumuskan sistem hukum adalah suatu keseluruhan yang
terangkai (tentang hukum yang mencakup aspek substansi, struktur dan kultur)
yang terdiri atas komponen-komponen (sub sistem hukum) dimana antara
13 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hal. 3.
9
komponen hukum yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan atau
berhubungan dan apabila salah satu komponen terpengaruh akan mempengaruhi
keseimbangan sistem hukum secara keseluruhan.
Hukum sebagai suatu sistem menurut Friedman, adalah satu keseluruhan yang
terdiri dari komponen sebagai berikut:
a. Substantif (norma/kaedah, asas hukum)
b. Structure (struktur hukum)
c. Culture (budaya hukum).14
Dalam kajian mutkhir tentang sistem, mulai dikembang satu visi baru yakni sistem
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis, seperti satu bangunan yang berdiri
dari tumpukan kayu, semen dan lain-lain, tetapi sistem ditelaah sebagai sesuatu
yang dinamis, hidup, tumbuh dan berkembang yang dielaborasi dari hakikat
organisme hidup.
Dengan paradigma ini, agaknya sistem hukum dapatlah dipandang sebagai sesuatu
yang dinamis pula, dalam arti hidup, tumbuh dan berkembang, sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia yang dipicu oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.15
Pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang secara
sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum itu sendiri, karena
itu tidak bisa tugas ini diserahkan kepada penguasa saja, sebab hukum tidak bisa
dilepaskan dari dinamika sosial.
2. SISTEM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL
Sejak Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, secara
ketatanegaraan terputuslah seluruh tata tertib hukum Indonesia dengan tata tertib
hukum Hindia Belanda, namun secara historis hubungan tersebut telah membawa 14 Lili Rosyidi dan L.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal.
93.15 Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Mahfud MD (ed), Kritik Sosial Dalam Wacana
Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hal.335 dst.
10
dampak yang luas dalam sistem perundang-undangan dan sistem peradilan di
Indonesia.
Secara substantif materi peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial
Belanda tidak dengan mudah begitu saja digantikan dengan peraturan peraturan
perundang-undangan produk Indonesia. Dengan demikian, tata tertib hukum yang
dicita-citakan (ius constituendum) yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945,
tidaklah mudah untuk dirumuskan dalam waktu singkat, sebab menyusun materi
perundang-undangan memerlukan kecermatan dan dan didasarkan pada hasil
penelitian dengan segala macam persyaratan ilmiah akademis. Semua itu
memerlukan waktu yang panjang, meskipun pada akhirnya tuntutan kebutuhan
hukum masyarakat mengalahkan (waktu) proses pembuatan materi hukum itu
sendiri. Artinya materi hukum itu bisa tertinggal pada saat ia diberlakukan.
Untuk menyusun tata tertib hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
membuutuhkan waktu karena suasana setelah proklamasi, dinyatakan sebagai masa
peralihan. Menyadari hal itu maka para pembentuk UUD 1945, menempatkan
beberapa pasal Aturan Peralihan.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 adalah pasal yang terpenting, yang
menyebutkan bahwa “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”
Setelah mengalami waktu yang panjang, secara berangsur-angsur isi KUH Perdata
dan peraturan perundang-undangan lainnya dinyatakan dicabut. Sebagai contoh
Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya
UUPA No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut sepanjang mengenai
perkawinan setelah dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) dicabut setelah dikeluarkannya UU No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa
pengecualian.
11
Denikian juga mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat di luar KUH
Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku
setelah keluarnya UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Octroiwet yang dimuat
dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 No. 313 dicabut melalui UU
No. 6 Tahun 1969 kemudian secara berturut-turut direvisi melalui UU No. 13
Tahun 1997 dan terakhir UU No. 14 Tahun 2001, Reglement Industriele Eigendom
yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 yang
digantikan dengan UU Merek No. 21 Tahun 1961, kemudian berturut-turut direvisi
melalui UU No. 14 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001.
Demikianlah usaha-usaha pemerintah Indonesia dalam rangka pembangunan di
bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh GBHN Tap. No. II/MPR/1983, Tap
MPR No. II/MPR/1988, dan Tap MPR No.II/MPR/1993, terakhir dengan Tap MPR
No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang
diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum nasional yang didasarkan
kepada landasan sumber tertib hukum yang bersumber dari Pancasila dan UUD
1945.
Pengaturan tentang hak cipta, paten, merek dan hak atas kekayaan intelektual
lainnya jika diklasifikasikan termasuk dalam bidang hukum perdta yang merupakan
bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda, terdapat pengaturan tentang
hak kebendaan. Hak kebendaan itu sendiri terdiri atas hak benda materil dan
immateril. Hak benda immateril juga banyak macamnya, ada hak atas tagihan, hak
yang ditimbulkan dari penerbitan surat-surat berharga, termasuk juga dalam
lingkup ini adalah hak sewa, hak guna usaha dan hak guna bangunan.
Arti penting perlindungan hak atas kekayaan intelektual ini menjadi lebih dari
sekedar keharusan setelah dicapainya kesepakatan GATT (General Agreement on
Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994
disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia
yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) yang ratifikasinya
dilakukan oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
12
Organisasi Perdagangan Dunia), diundangkan dalam Lembaran Negara RI 1994
No. 57, tanggal 2 November 1994. Dalam struktur lembaga WTO terdapat Dewan
Umum (General Council) yang beada di bawah Dirjen WTO. Dewan Umum ini
selanjutnya memvawahi tiga dewan, yang salah satu diantaranya adalah Dewan
TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).16
TRIPs ini dapat dikatakan sebagai issue baru dalam kancah perekonomian
internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed bahwa
dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme
yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci
dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.17
Bagi Indonesia dan negara-negara Selatan, sudah barang tentu akan menimbulkan
persoalan tersendiri, yang cenderung menempatkan negara-negara ini pada posisi
yang sulit untuk tidak dikatakan pada posisi tertindas. Oleh karenanya perhatian
khusus serta pemahaman tersendiri terhadap hak atas kekayaan intelektual dalam
kerangka WTO ini, menjadi sangat penting artinya.
Ternyata persoalan-persoalan di atas tidak pula berhenti sampai di situ saja. Era
globalisasi yang ditandai dengan kecenduran negara-negara di dunia membentuk
blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hukum
hak atas kekayaan intelektual.18
Figur-figur hukum baru yang masih tercakup dalam Intellectual property rights,
saat ini bermunculan seperti Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu atau
desain tata letak sirkuit terpadu), New Varieties of Plants Protection (Perlindungan
Varietas Baru Tanaman) dan aspek-aspek hukum lain yangv berkaitan dengan
perikatan yang obyeknya hak atas kekayaan intelektual seperti: hak siaran, hak
penyewaan atas hak cipta, dan lain-lain sebagainya.
Mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang hak cipta,
iklim budaya Indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya 16 Zaim Saidi, Selamat Datang WTO, Republika, Jakarta, 4 Januari 1995, hal. 6.17 Mohtar Mas’oed, Indonesia, APEC dan GATT, Makalah Pada Diskusi Yang Diselenggarakan oleh WALHI di
Medan, bulan September 1994, hal. 6.18 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 6.
13
hukum ‘barat’. Para pencipta Indonesia sangat ‘berbesar hati’ bila ciptaannya
diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Misalnya para pemahat dan
pematung di Bali, sangat gembira apabila karya ciptaannya ditiru orang lain.
Begitu pula bila ada kunjungan para pejabat luar negeri ke pabrik atau ke berbagai
pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat Indonesia dengan senang hati
memperkenalkan temuan dan hasil temuan kepada publik luar tersebut.
Memberikan penjelasan, memperkenankan menggunakan tustel atau kamera vidio,
bahkan sampai pada bagian-bagian yang spesifik, di dunia Barat termasuk dalam
Trade Secrets atau Undisclosed Informatian. Mereka sudah lama memperkenalkan
sistem perlindunan yang demikian sehingga jika berkunjung ke suatu pabrik atau
pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita, misalnya menggunakan tustel,
camera vidio dan lain-lain.
Kiranya sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan
dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka
sistem. Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupakan subsistem
yang berada bersama-sama dengan subsistem sosial lainnya. Oleh karena itu
pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial lainnya mestinya
sudah harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan hukum, apakah itu
menyangkut segi sustantif, structure dan culture, demikian pula dengan
penerapannya.
3. SISTEM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
DALAM KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL
Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi
substansi, norma hukum yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual itu
tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu
tetapi juga terikat pada norma-norma hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat
hidupnya sistem hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan
masyarakat dalam bidang intellectual property rights didasarkan pada tuntutan
perkembangan peradaban dunia.
14
Karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakatan Internasional, harus
menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan Internasional, yang
dalam kerangka General Agreement on Tarif and Trade / World Trade
Organization (GATT/WTO 1994) adalah Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs), sebagai salah satu dari Final Act Embodying The
Uruguay Round of Multilateral Trade Negosiation, yang ditandatangani di
Marakesh pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat
Ekonomi Eropa. Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani
kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan melalui UU No. 7 Tahun 1994
tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang
extra-teritorial yang menyengkut perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual serta
semua isu yang terdapat dalam kerangka World Trade Organization (WTO) harus
diakomodir paling tidak harus memenuhi (pengaturan) Standard minimum. Dengan
demikian Indonesia harus menyesuaikan semua peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan
yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada. Hal itu dilakukan oleh
Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan nasional
yang mencakup perlindungan HAKI ditambah dengan ratifikasi beberapa konvensi
dan traktat internasional.
Disamping itu perlindungan secara internasional TRIPs mengisyaratkan agar
negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan Paris
Convention (1967), Bern Convention (1971), Rome Convention (1961) dan Treaty
on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989) (Article 2 and
Article 3, TRIPs Agreement 1994). Isyarat itu tentu menghendaki agar Indonesia
turut meratifikasi keempat konvensi itu di samping WTOyang sudah diratifikasi.
Sampai saat ini dari keempat konvensi itu, Indonesia baru hanya meratifikasi 2
konvensi dari 4 konvensi yang diharuskan tersebut yakni Paris Convention (1967)
dan Bern Convention 1971).
Suatu hal yang perlu dipahami bahwa sebagai suatu sistem, hukum yang mengatur
hak kekayaan intelektual ini sangat banyak dipengaruhi oleh perkembangan
15
perdagangan dunia. Karena itu pengaruh sistem hukum Eropa Continental dan
Anglo Saxon tampak jelas mewarnai lapangan hukum ini. Keduanya saling
menghampiri dan saling mempengaruhi. Misalnya dapat dilihat dari segi struktur
hukumnya dalam hal penyelesaian sengketa. GATT/WTO (1994) menempatkan
satu badan khusus untuk menangani penyelesaian sengketa yang disebut dengan
Dispute Settlement Body (DSB). Badan ini berperan untuk menyelesaikan segala
sengketa yang timbul dari setiap persetujuan yang terdapat dalam Final Act
(termasuk TRIPs). Tahapan penyelesaian sengketa yang dilalui adalah konsultasi,
pembentukan panel, pemeriksaan banding dan pelaksanaan putusan. Jika tahapan
konsultasi gagal, maka akan ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa lain, yakni
melalui tawaran Direktur Jenderal WTO agar sengketa itu segera diselesaikan
melalui good offices, conciliation, atau mediation.19
Cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara ini lazim di negara-negara penganut
sistem hukum Anglo Saxon, meskipun di negara-negara penganut sistem hukum
Eropa Continental dikenal juga cara penyelesaian melalui arbitrase (peradilan
wasit).
Karena itu penyelesaian sengketa konvensional (melalui lembaga peradilan formal)
sudah patut pula dicermati kembali. Ini tentu menuntut keahlian khusus bagi para
konsultan hukum Indonesia jika ingin mengambil bagian dalam sistem yang
ditawarkan oleh WTO ini. Para notaris, dalam menyusun akta mengenai perjanjian
lisensi misalnya, tidak lagi harus menyebutkan dalam salah satu klausulenya bila
terjadi sengketa antara para pihak, akan memilih Pengadilan Negeri mana, tetapi
melalui cara-cara yang telah ditetapkan dalam kesepakatan WTO misalnya. Hal ini
perlu dicermati oleh karena struktur hukum tentang cara-cara penyelesaian
sengketa telah turut berubah sebagai akibat dari sistem yang ditawarkan oleh WTO.
Persetujuan yang dicapai dalam Uruguay Round mengatur tentang sistem
penyelesaian sengketa yang terintegrasi atau Integrated Dispute Settlement system.
Sengketa di bidang HAKI antara negara-negara peserta perjanjian akan ditangani
melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu tersebut. Untuk itu merupakan
19 Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdagangan RI dan Program Pascasarjana UI, Makalah, Jakarta 1995, hal.33.
16
tantangan bagi Indonesia untuk mempersiapkan para ahli hukum yang dapat
menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang
Hak Atas Kekayaan Inteletual.
Dalam prosedur penyelesaian sengketa dan upaya untuk menjamin kepatuhan
terhadap perjanjian TRIPs, sistem penyelesaian terpadu menurut WTO menetapkan
adanya retalisasi lintas sektoral, yaitu suatu pihak dapat menunda konsesi yang
diberikannya atau kewajiban lainnya di dalam sektor lain dari TRIPs di dalam
kasus terjadinya penghapusan dan atau penghilangan keuntungan yang diperoleh
dari perjanjian akibat kebijakan dari negara yang dituntut(paragraf 1 (b), (e) dan (f)
dari sistem penyelesaian sengketa terpadu).
Kemungkinan adanya retalisasi silang akan menempatkan keuntungan akses ke
pasar menjadi suatu hal yang tidak pasti dalam hal adanya suatu tindakan yang
tidak memenuhi atau melanggar ketetapan-ketetapan dari perjanjian ini.
BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang
secara sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum itu
17
sendiri, karena itu tidak bisa tugas ini diserahkan kepada penguasa saja, sebab
hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial.
2. Sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan
dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka
sistem. Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupakan
subsistem yang berada bersama-sama dengan subsistem sosial lainnya. Oleh
karena itu pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial
lainnya mestinya sudah harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan
hukum, apakah itu menyangkut segi substantif, structure dan culture, demikian
pula dengan penerapannya.
3. Persetujuan yang dicapai dalam Uruguay Round mengatur tentang
sistem penyelesaian sengketa yang terintegrasi atau Integrated Dispute
Settlement system. Sengketa di bidang HAKI antara negara-negara peserta
perjanjian akan ditangani melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu
tersebut. Untuk itu merupakan tantangan bagi Indonesia untuk mempersiapkan
para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut
penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan Inteletual.
B. SARAN
Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Untuk turut berkiprah dikancah pergaulan ekonomi dunia, Indonesia segera
meratifikasi Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits
(1989) dan (Article 2 and Article 3, TRIPs Agreement 1994).
2. Segera mempersiapkan para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam
hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan
Inteletual, terutama untuk menangani sengketa melalui sistem penyelesaian
sengketa terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
1. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2003.
2. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1986.
18
3. Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Cet. II,
1999.
4. Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985.
5. Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau
Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah, FH-USU, 10 Januari 1989.
6. Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Komps, Jakarta, 19
Februari 1986.
7. Convention Establishing The World Intelektual Properti Organization (WIPO).
8. William T. Frayer, Materi Ceramah pada Intellectual Property of Tracher’s Program
Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, 15 Juli s.d 2 Agustus
1996.
9. Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.
10. Bachsan Mustafa, SH., Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
11. Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali,
Jakarta, 1981.
12. Lili Rosyidi dan L.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993.
13. Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Mahfud MD (ed), Kritik
Sosial Dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999.
14. Zaim Saidi, Selamat Datang WTO, Republika, Jakarta, 4 Januari 1995.
15. Mohtar Mas’oed, Indonesia, APEC dan GATT, Makalah Pada Diskusi Yang
Diselenggarakan oleh WALHI di Medan, bulan September 1994.
16. Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdagangan RI dan
Program Pascasarjana UI, Makalah, Jakarta 1995.
19