Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

29
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil dari pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril, benda tidak berwujud. Misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati kerohanian termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi tersebut sebagai fungsi non verbal, metaforik, intuitif, imaginatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistic dan mampu memproses informasi secara simultan. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai seorang terpelajar, mampu menggunakan ratio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual. 1 1 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 10. 1

Transcript of Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Page 1: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) itu adalah hak kebendaan,

hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil

dari pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril,

benda tidak berwujud. Misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada

(irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang

berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati kerohanian termasuk

juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi tersebut

sebagai fungsi non verbal, metaforik, intuitif, imaginatif dan emosional.

Spesialisasinya bersifat intuitif, holistic dan mampu memproses informasi secara

simultan.

Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang

optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai seorang terpelajar, mampu

menggunakan ratio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika

(metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional

atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.1

Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian

atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai hak atas kekayaan

intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta

dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi

disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis, dan analitis yang

merupakan pekerjaan belahan otak kiri.

Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, ratio,

intellectual) secara maksimal. Karena itu tidak semua orang pula dapat

menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu

mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang

disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak

1 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 10.

1

Page 2: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

yang membuahkan hak atas kekayaan intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya

orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya

peradaban manusia dimulai dari kerja otak itu.

Jika ditelusuri lebih jauh Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan

bagian dari benda, yaitu benda tak berwujud (benda immateril). Benda dalam

kerangka hukum perdata diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu

diantara kategori itu adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda

berwujud dan benda tidak berwujud. Hal ini dapat dilihat batasan benda yang

dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham

undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap

hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.2 Untuk pasal ini, Prof Mahadi

menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan

kalimat ini sebagai berikut: yang dapat menjado obyek hak milik adalah benda dan

benda itu terdiri dari barang dan hak.

Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang dimaksud

oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp),

sedangkan hak adalah benda immaterial. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi

benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu: Ada barang yang bertubuh, dan ada

barang yang tak bertubuh.3

Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita

contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak gunan bangunan,

hak guna usaha hak atas benda berupa jaminan, hak atas kekayaan intelektual

(intellectual property rights) dan lain sebagainya. Hak milik immateril termasuk ke

dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Karena itu hak milik

immateril itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Hak benda adalah

hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang obyeknya

bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Atas Kekayaan

Intelektual (intellectual property rights).4

2 R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 155.

3 Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Cet. II, 1999, hal. 156.4 Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985, hal. 5-6.

2

Page 3: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Kata ‘hak milik’ (hak atas kekayaan) atau ‘property’ yang digunakan dalam istilah

tersebut diatas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Karena

kata harta benda / property mengisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak

Atas Kekayaan Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia

bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia

yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik materil maupun

immateril. Bukan bentuk penjelmaan yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu

sendiri. Daya cipta dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu

pengetahuan atau paduan dari ketiga-tiganya.5

Mungkin karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan

berpikir manusia untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata

‘intelektual’ itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas

berpikir manusia tersebut.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah

terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material

yang menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta

dalam ilmu pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil material

yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (invensi) dalam

bidang Paten (bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang

menjadi bentuk jelmaan adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi

dalam kerangka Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari

hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam

kategori benda materil (benda berwujud).

Pengelompokan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan

dalam kelompok sebagai berikut:

1. Hak Cipta (Copy Rights)

2. Hak Milik (hak kekayaan) Perindustrian (industrial property rights).6

5 Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah, FH-USU, 10 Januari 1989.

6 Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Komps, Jakarta, 19 Februari 1986, hal. 1.

3

Page 4: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:

1. Hak Cipta dan

2. Hak yang berkaitan (bersepadan) dengan Hak Cipta (neighboring rights).

Istilah Neighboring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum

Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan istilah hak bertetangga dengan Hak

Cipta, ada pula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau

berhubungan dengan Hak Cipta, seperti yang termaktub dalam Bab V A UU No. 12

Tahun 1997, atau Hak Terkait seperti yang tercantum dalam Bab VII UU No. 19

Tahun 2002.

Neighboring Rights, dalam hukum di Indonesia, pengaturannya masih

ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut

Neighboring Rights itu lahir dari adanya Hak Cipta induk. Misalnya liputan

pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju, Live Show artis penyanyi adalah

Hak Cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa hak

siaran adalah Neighboring Rights. Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi

dapat dipisahkan. Begitu pula antara Hak Cipta lagu dengan hak penyiaran. Yang

pertama merupakan Hak Cipta, sedangkan hak yang disebutkan terakhir adalah

Neighboring Rights. Itulah alasannya menggunakan istilah yang bersepadan dengan

Hak Cipta untuk terjemahan Neighboring Rights. Kedua hak itu saling melekat,

menempel tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighboring Rights selalu diikuti

dengan adanya Hak Cipta, namun sebaliknya adanya Hak Cipta tidak

mengharuskan adanya Neighboring Rights.7

Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:

1. Patent (Paten)

2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukun Indonesia

dikenal dengan istilah Paten sederhana (simple Patent).

3. Industrial Design (Desain Industri)

4. Trade Mark (Merek Dagang)

5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)

6. Indication of Source Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal).8

7 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 148 Convention Establishing The World Intelektual Properti Organization (WIPO).

4

Page 5: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Pengelompokan hak atas kekayaan seperti tertera diatas didasarkan pada

Convention Establising The World Intellectual Property Organization. Dalam

beberapa literatur, khususnya yang ditulis oleh para pakar dari negara yang

menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang

dilindungi disamping yang tersebut diatas ditambah lagi beberapa bidang lain,

yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga

hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Patent (Paten)

2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun)

3. Industrial Designs (Desain Industrial)

4. Trade Secrets (Rahasia Dagang)

5. Trade Marks (Merek Dagang)

6. Service Marks (Merek Jasa)

7. Appelations of Origin (Sebutan Asal Barang)

8. Trade Names of Commercial Names (Nama Dagang atau Nama Niaga)

9. Indication of Origin (Indikasi Asal Barang)

10. Unfair Competition Protection (Perlindungan Persaingan Curang).9

Berdasarkan kerangka World Trade Organization / Trade Related Aspects of

Intellectual Property Rights (WTO/TRIPs) ada dua bidang lagi yang perlu

ditambahkan, yakni:

1. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan

2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu).

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya

adalah Suatu Tinjauan Terhadap Sistem HAKI Dalam Kerangka Hukum Nasional

dan Hukum Internasional.

9 William T. Frayer, Materi Ceramah pada Intellectual Property of Tracher’s Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, 15 Juli s.d 2 Agustus 1996.

5

Page 6: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisn ini adalah untuk mengetahui:

1. Sistem HAKI dalam kerangka Hukum Nasional.

2. Sistem HAKI dalam kerangka Hukum Internasional.

D. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan

masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai

pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi data

itu.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang

diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian

dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.

BAB IISISTEM HAKI DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM

INTERNASIONAL

1. ISTILAH SISTEM

6

Page 7: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani ”Systema”. Menurut Shrode dan Voch,

sebagaimana dikutip oleh OK. Saidin, mengartikannya ”suatu keseluruhan yang

tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts)”.10

Selanjutnya OK. Saidin menjelaskan bahwa menurut Awad, sistem diartikan

sebagai”hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara

teratur (an organized functioning relationship among units or component). Dengan

demikian dapat dirumuskan istilah systema itu mengandung arti sehimpunan atau

komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu totalitas

atau keseluruhan. Rumusan ini sebenarnya hany merupakan salah satu dari

berbagai pengertian sistem yang selalu digunakan dalam menjelaskan berbagai-

bagai hal, seperti sistem hukum, sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan,

sistem pemerintahan, sistem sosial-budaya, sistem pertahanan keamanan dan lain-

lain sebagainya.

Dalam tulisan ini hanya dikemukakan beberapa rumusan saja, yaitu sebagai

berikut:

1. Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-

benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk yang saling

berhubungan atau saling ketergantungan yang teratur; suatu himpunan bagian-

bagian yang tergabungkan secara alamiah maupun oleh budidaya manusia

sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan terpadu; suatu keseluruhan

yang terorganisasikan atau sesuatu yang organik; atau juga yang berfungsi,

bekerja atau bergerak secara serentak bersama-sama, bahkan sering bergeraknya

itu mengikuti suatu kontrol tertentu, sistem tata surya, ekosistem, merupakan

contohnya.

2. Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun,

terorganisasikan, suatu himpunan, gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan

sebagainya yang dibentuk oleh satu kesatuan yang logok dan dikenal sebagai

isis buah pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu.

Sistem Teologi Agustinus, sistem pemerintahan demokratis, sistem masyarakat

Islam, merupakan contohnya.

10 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 19.

7

Page 8: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

3. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian, skema atau metode

pengaturan organisasi atau mode tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk

atau pola pengaturan pelaksanaan atau pemrosesan dan juga dalam pengertian

metode pengelompokan, pengkodifikasian, dan sebagainya. Misalnya sistem

pengelompokan bahan pustaka menurut Dewey (Dewey Decimal

Clasification).11

Dalam buku Prof. DR. Winardi, SE., ada sederetan difinisi sistem dan untuk

praktisnya akan diambil 3 (tiga) definisi saja, yaitu:

a. Ludwig von Bertalanffy: “ ……….. system are

complexes of elementh in interaction, to which certain law can be applied.

Kalau diterjemahkan secara bebas, maka Sistem adalah himpunan unsur

(element) yang saling mempengaruhi, untuk mana hukum tertentu menjadi

berlaku”

b. H. Thierry, “…………… een system is een geheel van

elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan

geordendzijn, teneinde een bepaald doel to bereiken ….”. Terjemahannya

adalah: Sebuah sistem adalah keseluruhan bagian (componenten) yang saling

mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang ditentukan, untuk

mencapai suatu tujuan tertentu …..”.

c. William A. Shorde / Dan Voich Jr., “………… A system

is a set of interrelated parts, working independently and faintly in pursuit of

common objectives of the whole within a complex environment”,

Terjemahannya: Sebuah sistem adalah seperangkat bagian (part) yang saling

berhubungan, bekerja sedikit bebas, dalam mengejar keseluruhan tujuan dengan

kesatuan lingkungan”.12

Definisi tersebut menekankan hal sebagai berikut:

a. Kelakuan berdasarkan tujuan tertentu.

Sistem tersebut berorientasi pada sasaran tertentu.

b. Keseluruhan. 11 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 2-3.12 Bachsan Mustafa, SH., Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 71-72.

8

Page 9: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Keseluruhan melebihi jumlah daripada semua bagian.

c. Keterbukaan.

Sistem tersebut saling berhubungan dengan sebuah sistem lebih besar, yakni

lingkungannya.

d. Transformasi.

Bagian-bagian yang bekerja menciptakan sesuatu yang mempunyai nilai.

e. Antarhubungan.

Berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain.

f. Mekanisme kontrol.

Terdapat adanya kekuatan yang mempersatukan yang mempertahankan sistem

yang bersangkutan.

Selanutnya Prof. Soerjono Soekanto, dan Soleman B. Taneko, dalam bukunya

Hukum Adat Indonesia, telah membawakan sejumlah bahan yang dapat digunakan

untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan sistem.

Menurut mereka, sistem merupakan:

1. a set of interrelated elements;

2. a set of interdependent variables.

Ada pandangan yang mengatakan, sistem merupakan:

“Any set of interrelated elements which are as they work and change together may

be regorded as a single antity ..”. Jadi suatu sistem merupakan suatu keseluruhan

terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya,

kelengkapan dan konsepsi-konsepsi atau pengertian dasarnya.13

Berdasarkan rumusan dan beberapa kutipan di atas tidak semua rumusan sistem itu

dapat diambil untuk memuat rumusan tentang sistem hukum. Rumusan sistem yang

lebih tepat untuk merumuskan sistem hukum adalah suatu keseluruhan yang

terangkai (tentang hukum yang mencakup aspek substansi, struktur dan kultur)

yang terdiri atas komponen-komponen (sub sistem hukum) dimana antara

13 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hal. 3.

9

Page 10: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

komponen hukum yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan atau

berhubungan dan apabila salah satu komponen terpengaruh akan mempengaruhi

keseimbangan sistem hukum secara keseluruhan.

Hukum sebagai suatu sistem menurut Friedman, adalah satu keseluruhan yang

terdiri dari komponen sebagai berikut:

a. Substantif (norma/kaedah, asas hukum)

b. Structure (struktur hukum)

c. Culture (budaya hukum).14

Dalam kajian mutkhir tentang sistem, mulai dikembang satu visi baru yakni sistem

tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis, seperti satu bangunan yang berdiri

dari tumpukan kayu, semen dan lain-lain, tetapi sistem ditelaah sebagai sesuatu

yang dinamis, hidup, tumbuh dan berkembang yang dielaborasi dari hakikat

organisme hidup.

Dengan paradigma ini, agaknya sistem hukum dapatlah dipandang sebagai sesuatu

yang dinamis pula, dalam arti hidup, tumbuh dan berkembang, sejalan dengan

perkembangan peradaban manusia yang dipicu oleh perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.15

Pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang secara

sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum itu sendiri, karena

itu tidak bisa tugas ini diserahkan kepada penguasa saja, sebab hukum tidak bisa

dilepaskan dari dinamika sosial.

2. SISTEM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL

Sejak Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, secara

ketatanegaraan terputuslah seluruh tata tertib hukum Indonesia dengan tata tertib

hukum Hindia Belanda, namun secara historis hubungan tersebut telah membawa 14 Lili Rosyidi dan L.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal.

93.15 Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Mahfud MD (ed), Kritik Sosial Dalam Wacana

Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hal.335 dst.

10

Page 11: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

dampak yang luas dalam sistem perundang-undangan dan sistem peradilan di

Indonesia.

Secara substantif materi peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial

Belanda tidak dengan mudah begitu saja digantikan dengan peraturan peraturan

perundang-undangan produk Indonesia. Dengan demikian, tata tertib hukum yang

dicita-citakan (ius constituendum) yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945,

tidaklah mudah untuk dirumuskan dalam waktu singkat, sebab menyusun materi

perundang-undangan memerlukan kecermatan dan dan didasarkan pada hasil

penelitian dengan segala macam persyaratan ilmiah akademis. Semua itu

memerlukan waktu yang panjang, meskipun pada akhirnya tuntutan kebutuhan

hukum masyarakat mengalahkan (waktu) proses pembuatan materi hukum itu

sendiri. Artinya materi hukum itu bisa tertinggal pada saat ia diberlakukan.

Untuk menyusun tata tertib hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945

membuutuhkan waktu karena suasana setelah proklamasi, dinyatakan sebagai masa

peralihan. Menyadari hal itu maka para pembentuk UUD 1945, menempatkan

beberapa pasal Aturan Peralihan.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 adalah pasal yang terpenting, yang

menyebutkan bahwa “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung

berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”

Setelah mengalami waktu yang panjang, secara berangsur-angsur isi KUH Perdata

dan peraturan perundang-undangan lainnya dinyatakan dicabut. Sebagai contoh

Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya

UUPA No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut sepanjang mengenai

perkawinan setelah dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) dicabut setelah dikeluarkannya UU No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa

pengecualian.

11

Page 12: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Denikian juga mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat di luar KUH

Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku

setelah keluarnya UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Octroiwet yang dimuat

dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 No. 313 dicabut melalui UU

No. 6 Tahun 1969 kemudian secara berturut-turut direvisi melalui UU No. 13

Tahun 1997 dan terakhir UU No. 14 Tahun 2001, Reglement Industriele Eigendom

yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 yang

digantikan dengan UU Merek No. 21 Tahun 1961, kemudian berturut-turut direvisi

melalui UU No. 14 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001.

Demikianlah usaha-usaha pemerintah Indonesia dalam rangka pembangunan di

bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh GBHN Tap. No. II/MPR/1983, Tap

MPR No. II/MPR/1988, dan Tap MPR No.II/MPR/1993, terakhir dengan Tap MPR

No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang

diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum nasional yang didasarkan

kepada landasan sumber tertib hukum yang bersumber dari Pancasila dan UUD

1945.

Pengaturan tentang hak cipta, paten, merek dan hak atas kekayaan intelektual

lainnya jika diklasifikasikan termasuk dalam bidang hukum perdta yang merupakan

bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda, terdapat pengaturan tentang

hak kebendaan. Hak kebendaan itu sendiri terdiri atas hak benda materil dan

immateril. Hak benda immateril juga banyak macamnya, ada hak atas tagihan, hak

yang ditimbulkan dari penerbitan surat-surat berharga, termasuk juga dalam

lingkup ini adalah hak sewa, hak guna usaha dan hak guna bangunan.

Arti penting perlindungan hak atas kekayaan intelektual ini menjadi lebih dari

sekedar keharusan setelah dicapainya kesepakatan GATT (General Agreement on

Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994

disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia

yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) yang ratifikasinya

dilakukan oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan

12

Page 13: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Organisasi Perdagangan Dunia), diundangkan dalam Lembaran Negara RI 1994

No. 57, tanggal 2 November 1994. Dalam struktur lembaga WTO terdapat Dewan

Umum (General Council) yang beada di bawah Dirjen WTO. Dewan Umum ini

selanjutnya memvawahi tiga dewan, yang salah satu diantaranya adalah Dewan

TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).16

TRIPs ini dapat dikatakan sebagai issue baru dalam kancah perekonomian

internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed bahwa

dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme

yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci

dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.17

Bagi Indonesia dan negara-negara Selatan, sudah barang tentu akan menimbulkan

persoalan tersendiri, yang cenderung menempatkan negara-negara ini pada posisi

yang sulit untuk tidak dikatakan pada posisi tertindas. Oleh karenanya perhatian

khusus serta pemahaman tersendiri terhadap hak atas kekayaan intelektual dalam

kerangka WTO ini, menjadi sangat penting artinya.

Ternyata persoalan-persoalan di atas tidak pula berhenti sampai di situ saja. Era

globalisasi yang ditandai dengan kecenduran negara-negara di dunia membentuk

blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hukum

hak atas kekayaan intelektual.18

Figur-figur hukum baru yang masih tercakup dalam Intellectual property rights,

saat ini bermunculan seperti Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu atau

desain tata letak sirkuit terpadu), New Varieties of Plants Protection (Perlindungan

Varietas Baru Tanaman) dan aspek-aspek hukum lain yangv berkaitan dengan

perikatan yang obyeknya hak atas kekayaan intelektual seperti: hak siaran, hak

penyewaan atas hak cipta, dan lain-lain sebagainya.

Mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang hak cipta,

iklim budaya Indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya 16 Zaim Saidi, Selamat Datang WTO, Republika, Jakarta, 4 Januari 1995, hal. 6.17 Mohtar Mas’oed, Indonesia, APEC dan GATT, Makalah Pada Diskusi Yang Diselenggarakan oleh WALHI di

Medan, bulan September 1994, hal. 6.18 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 6.

13

Page 14: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

hukum ‘barat’. Para pencipta Indonesia sangat ‘berbesar hati’ bila ciptaannya

diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Misalnya para pemahat dan

pematung di Bali, sangat gembira apabila karya ciptaannya ditiru orang lain.

Begitu pula bila ada kunjungan para pejabat luar negeri ke pabrik atau ke berbagai

pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat Indonesia dengan senang hati

memperkenalkan temuan dan hasil temuan kepada publik luar tersebut.

Memberikan penjelasan, memperkenankan menggunakan tustel atau kamera vidio,

bahkan sampai pada bagian-bagian yang spesifik, di dunia Barat termasuk dalam

Trade Secrets atau Undisclosed Informatian. Mereka sudah lama memperkenalkan

sistem perlindunan yang demikian sehingga jika berkunjung ke suatu pabrik atau

pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita, misalnya menggunakan tustel,

camera vidio dan lain-lain.

Kiranya sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan

dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka

sistem. Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupakan subsistem

yang berada bersama-sama dengan subsistem sosial lainnya. Oleh karena itu

pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial lainnya mestinya

sudah harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan hukum, apakah itu

menyangkut segi sustantif, structure dan culture, demikian pula dengan

penerapannya.

3. SISTEM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

DALAM KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL

Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi

substansi, norma hukum yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual itu

tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu

tetapi juga terikat pada norma-norma hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat

hidupnya sistem hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan

masyarakat dalam bidang intellectual property rights didasarkan pada tuntutan

perkembangan peradaban dunia.

14

Page 15: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

Karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakatan Internasional, harus

menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan Internasional, yang

dalam kerangka General Agreement on Tarif and Trade / World Trade

Organization (GATT/WTO 1994) adalah Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights (TRIPs), sebagai salah satu dari Final Act Embodying The

Uruguay Round of Multilateral Trade Negosiation, yang ditandatangani di

Marakesh pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat

Ekonomi Eropa. Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani

kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan melalui UU No. 7 Tahun 1994

tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.

Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang

extra-teritorial yang menyengkut perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual serta

semua isu yang terdapat dalam kerangka World Trade Organization (WTO) harus

diakomodir paling tidak harus memenuhi (pengaturan) Standard minimum. Dengan

demikian Indonesia harus menyesuaikan semua peraturan yang berkaitan dengan

perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan

yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada. Hal itu dilakukan oleh

Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan nasional

yang mencakup perlindungan HAKI ditambah dengan ratifikasi beberapa konvensi

dan traktat internasional.

Disamping itu perlindungan secara internasional TRIPs mengisyaratkan agar

negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan Paris

Convention (1967), Bern Convention (1971), Rome Convention (1961) dan Treaty

on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989) (Article 2 and

Article 3, TRIPs Agreement 1994). Isyarat itu tentu menghendaki agar Indonesia

turut meratifikasi keempat konvensi itu di samping WTOyang sudah diratifikasi.

Sampai saat ini dari keempat konvensi itu, Indonesia baru hanya meratifikasi 2

konvensi dari 4 konvensi yang diharuskan tersebut yakni Paris Convention (1967)

dan Bern Convention 1971).

Suatu hal yang perlu dipahami bahwa sebagai suatu sistem, hukum yang mengatur

hak kekayaan intelektual ini sangat banyak dipengaruhi oleh perkembangan

15

Page 16: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

perdagangan dunia. Karena itu pengaruh sistem hukum Eropa Continental dan

Anglo Saxon tampak jelas mewarnai lapangan hukum ini. Keduanya saling

menghampiri dan saling mempengaruhi. Misalnya dapat dilihat dari segi struktur

hukumnya dalam hal penyelesaian sengketa. GATT/WTO (1994) menempatkan

satu badan khusus untuk menangani penyelesaian sengketa yang disebut dengan

Dispute Settlement Body (DSB). Badan ini berperan untuk menyelesaikan segala

sengketa yang timbul dari setiap persetujuan yang terdapat dalam Final Act

(termasuk TRIPs). Tahapan penyelesaian sengketa yang dilalui adalah konsultasi,

pembentukan panel, pemeriksaan banding dan pelaksanaan putusan. Jika tahapan

konsultasi gagal, maka akan ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa lain, yakni

melalui tawaran Direktur Jenderal WTO agar sengketa itu segera diselesaikan

melalui good offices, conciliation, atau mediation.19

Cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara ini lazim di negara-negara penganut

sistem hukum Anglo Saxon, meskipun di negara-negara penganut sistem hukum

Eropa Continental dikenal juga cara penyelesaian melalui arbitrase (peradilan

wasit).

Karena itu penyelesaian sengketa konvensional (melalui lembaga peradilan formal)

sudah patut pula dicermati kembali. Ini tentu menuntut keahlian khusus bagi para

konsultan hukum Indonesia jika ingin mengambil bagian dalam sistem yang

ditawarkan oleh WTO ini. Para notaris, dalam menyusun akta mengenai perjanjian

lisensi misalnya, tidak lagi harus menyebutkan dalam salah satu klausulenya bila

terjadi sengketa antara para pihak, akan memilih Pengadilan Negeri mana, tetapi

melalui cara-cara yang telah ditetapkan dalam kesepakatan WTO misalnya. Hal ini

perlu dicermati oleh karena struktur hukum tentang cara-cara penyelesaian

sengketa telah turut berubah sebagai akibat dari sistem yang ditawarkan oleh WTO.

Persetujuan yang dicapai dalam Uruguay Round mengatur tentang sistem

penyelesaian sengketa yang terintegrasi atau Integrated Dispute Settlement system.

Sengketa di bidang HAKI antara negara-negara peserta perjanjian akan ditangani

melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu tersebut. Untuk itu merupakan

19 Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdagangan RI dan Program Pascasarjana UI, Makalah, Jakarta 1995, hal.33.

16

Page 17: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

tantangan bagi Indonesia untuk mempersiapkan para ahli hukum yang dapat

menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang

Hak Atas Kekayaan Inteletual.

Dalam prosedur penyelesaian sengketa dan upaya untuk menjamin kepatuhan

terhadap perjanjian TRIPs, sistem penyelesaian terpadu menurut WTO menetapkan

adanya retalisasi lintas sektoral, yaitu suatu pihak dapat menunda konsesi yang

diberikannya atau kewajiban lainnya di dalam sektor lain dari TRIPs di dalam

kasus terjadinya penghapusan dan atau penghilangan keuntungan yang diperoleh

dari perjanjian akibat kebijakan dari negara yang dituntut(paragraf 1 (b), (e) dan (f)

dari sistem penyelesaian sengketa terpadu).

Kemungkinan adanya retalisasi silang akan menempatkan keuntungan akses ke

pasar menjadi suatu hal yang tidak pasti dalam hal adanya suatu tindakan yang

tidak memenuhi atau melanggar ketetapan-ketetapan dari perjanjian ini.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang

secara sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum itu

17

Page 18: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

sendiri, karena itu tidak bisa tugas ini diserahkan kepada penguasa saja, sebab

hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial.

2. Sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan

dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka

sistem. Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupakan

subsistem yang berada bersama-sama dengan subsistem sosial lainnya. Oleh

karena itu pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial

lainnya mestinya sudah harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan

hukum, apakah itu menyangkut segi substantif, structure dan culture, demikian

pula dengan penerapannya.

3. Persetujuan yang dicapai dalam Uruguay Round mengatur tentang

sistem penyelesaian sengketa yang terintegrasi atau Integrated Dispute

Settlement system. Sengketa di bidang HAKI antara negara-negara peserta

perjanjian akan ditangani melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu

tersebut. Untuk itu merupakan tantangan bagi Indonesia untuk mempersiapkan

para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut

penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan Inteletual.

B. SARAN

Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Untuk turut berkiprah dikancah pergaulan ekonomi dunia, Indonesia segera

meratifikasi Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits

(1989) dan (Article 2 and Article 3, TRIPs Agreement 1994).

2. Segera mempersiapkan para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam

hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan

Inteletual, terutama untuk menangani sengketa melalui sistem penyelesaian

sengketa terpadu.

DAFTAR PUSTAKA

1. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

2003.

2. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya

Paramita, Jakarta, 1986.

18

Page 19: Sistem Dan Keberadaan Haki Dalam Hkm Nasional

3. Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Cet. II,

1999.

4. Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985.

5. Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau

Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah, FH-USU, 10 Januari 1989.

6. Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Komps, Jakarta, 19

Februari 1986.

7. Convention Establishing The World Intelektual Properti Organization (WIPO).

8. William T. Frayer, Materi Ceramah pada Intellectual Property of Tracher’s Program

Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, 15 Juli s.d 2 Agustus

1996.

9. Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.

10. Bachsan Mustafa, SH., Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2003.

11. Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali,

Jakarta, 1981.

12. Lili Rosyidi dan L.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja

Rosdakarya, Bandung, 1993.

13. Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Mahfud MD (ed), Kritik

Sosial Dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999.

14. Zaim Saidi, Selamat Datang WTO, Republika, Jakarta, 4 Januari 1995.

15. Mohtar Mas’oed, Indonesia, APEC dan GATT, Makalah Pada Diskusi Yang

Diselenggarakan oleh WALHI di Medan, bulan September 1994.

16. Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdagangan RI dan

Program Pascasarjana UI, Makalah, Jakarta 1995.

19