Sirs Dan Sepsis-Heri

24
SIRS DAN SEPSIS I. PENDAHULUAN Sepsis merupakan suatu sindroma yang dipicu oleh infeksi yang didefinisikan sebagai adanya dua atau lebih gambaran inflamasi sistemik, seperti hipotermia, lekositosis atau leukopenia, takikardia dan takhipnea atau ventilasi permenit diatas normal. Bila suatu organ mengalami kegagalan karena sepsis, maka sepsis tersebut merupakan sepsis berat. Sepsis berkembang pada lebih dari 500.000 pasien di Amerika Serikat setiap tahun, dan hanya 55–65% yang dapat bertahan hidup.Untungnya angka kematian pada beberapa kelompok pasien dengan sepsis karena kegagalan organ menurun, meskipun terapi sepsis belumlah spesifik. Menurunnya angka kematian ini disebabkan karena lebih cepatnya mendeteksi dan mengobati infeksi penyebabnya atau dengan memperbaiki tindakan suportifnya. 1 Faktor-faktor yang berperanan dalam meningkatkan insidensi sepsis adalah : kemoterapi onkologis yang semakin agresif dan terapi radiasi, penggunaan kortikosteroid dan terapi imunosupresi pada pasien-pasien yang menjalani transplantasi dan penyakit-penyakit inflamasi, meningkatnya usia pasien- pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya sepsis seperti penderita diabetes, pasien dengan kegagalan organ mayor, meningkatnya penggunaan peralatan invasif seperti protesa, dan kateter intravena maupun urine, serta penggunaan antimikroba yang dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih, kolonisasi dan infeksi sekunder oleh mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba. 2 II. DEFINISI DAN TERMINOLOGI Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensi American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medical (ACCP/SCCM) pada tahun 1992, yang menghasilkan satu konsensus : 3 1

Transcript of Sirs Dan Sepsis-Heri

Page 1: Sirs Dan Sepsis-Heri

SIRS DAN SEPSIS

I. PENDAHULUANSepsis merupakan suatu sindroma yang dipicu oleh infeksi yang didefinisikan sebagai

adanya dua atau lebih gambaran inflamasi sistemik, seperti hipotermia, lekositosis atau leukopenia, takikardia dan takhipnea atau ventilasi permenit diatas normal. Bila suatu organ mengalami kegagalan karena sepsis, maka sepsis tersebut merupakan sepsis berat.

Sepsis berkembang pada lebih dari 500.000 pasien di Amerika Serikat setiap tahun, dan hanya 55–65% yang dapat bertahan hidup.Untungnya angka kematian pada beberapa kelompok pasien dengan sepsis karena kegagalan organ menurun, meskipun terapi sepsis belumlah spesifik. Menurunnya angka kematian ini disebabkan karena lebih cepatnya mendeteksi dan mengobati infeksi penyebabnya atau dengan memperbaiki tindakan suportifnya.1

Faktor-faktor yang berperanan dalam meningkatkan insidensi sepsis adalah : kemoterapi onkologis yang semakin agresif dan terapi radiasi, penggunaan kortikosteroid dan terapi imunosupresi pada pasien-pasien yang menjalani transplantasi dan penyakit-penyakit inflamasi, meningkatnya usia pasien-pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya sepsis seperti penderita diabetes, pasien dengan kegagalan organ mayor, meningkatnya penggunaan peralatan invasif seperti protesa, dan kateter intravena maupun urine, serta penggunaan antimikroba yang dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih, kolonisasi dan infeksi sekunder oleh mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba.2

II. DEFINISI DAN TERMINOLOGI

Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensi American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medical (ACCP/SCCM) pada tahun 1992, yang menghasilkan satu konsensus : 3

SIRS (Systemic Inflamatorry Response Syndrome) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut : Demam (suhu tubuh > 38 ºC) atau hipotermia (<36 ºC) Takhikardi (denyut nadi > 90 X/menit ) Takhipneu (respirasi > 20 X/menit) atau PaCO2 < 32 torr (,4,3kPa) Leukositosis (juml;ah lekosit >12000/mm3 atau leucopenia (jumlah lekosit <4000/mm3)

atau adanya bentuk lekosit yang immature > 10%Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi. Sepsis berat (severe sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ,

hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat, oligouria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.

Syok septic diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi (suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau adanya penurunan > 40mmHg dari tekanan darah dasarnya) serta tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitaszi cairan (asidosis laktat, oligouria, gangguan status mental/keadaan akut)

1

Page 2: Sirs Dan Sepsis-Heri

MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan gangguan atau perubahan fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.

MOSF ( Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan stabilisasi homeostatis.

Gambar 1. Hubungan sepsis, SIRS dan infeksi (3)

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Reaksi inflamasi, dipicu oleh berbagai injury events yang disebut sebagai Activators, yaitu:4,5,6,7

1. MikroorganismeFaktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh mikroorganisme pada individu

adalah patogenitas mikroorganisme, status pertahanan tubuh pejamu, lingkungan dan benda asing.

2. Produk dari mikroorganisme : endotoksin dan eksotoksinEndotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdiri dari

lapisan membran dalam dan luar. Pada lapisan luar terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor, seperti pemicu lepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor (mediator primer). Target sel utama atau efektor utama yang dipicu endotoksin adalah sel endotel dari pembuluh darah.

Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara langsung atau melalui aktivasi bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi dengan membran sel sel makrofag melalui terjadinya reaksi reseptor-antigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam sitokin.

3. Trauma pada jaringan lunak Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan pelepasan mediator

sekunder atau sinyal pada sel efektor.4. Ischaemic-reperfusion

Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga oksigenisasi jaringan akan berkurang, yang berakibat timbulnya perubahan dan metabolisme aerob

2

Page 3: Sirs Dan Sepsis-Heri

menjadi anaerob di tingkat seluler. Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi disertai dengan oksigenisasi yang baik pada sel/jaringan pasca iskemia.

5. Jaringan nekrotikMerupakan aktivator untuk aktifnya makrofag

Gambar 2. Perubahan respon inflamasi pada sepsis6

Seluruh aktivator tersebut dapat bertindak sendiri atau bersama-sama sebagai pemicu untuk mulai terjadinya reaksi inflamasi, yang memicu reaksi berantai yang disebut sebagai inisiator sehingga menghasilkan respons reaksi inflamasi LIRS dan SIRS.4,6

Activator akan memicu aktivasi 5 inisiator inflamasi yang akan memicu pula pelepasan mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung jawab sebagai elemen-elemen dari komponen respon inflamasi, yaitu :4,6,8,9

1. Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).Cedera pada jaringan dan pembuluh darah kecil akan merangsang terjadinya kaskade

pembekuan (coagulation cascade) untuk mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein koagulasi akan menghasilkan produk yang dapat merangsang terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII (juga dikenal sebagai Faktor Hagemari) yang aktif adalah suatu mediator penting untuk terjadinya perubahan mikrosirkulasi pada luka. Walaupun efek langsungnya minimal, namun faktor ini sangat berpengaruh dalam stimulasi dan penguatan inisiator yang lain.

2. Platelet aktif.Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya diasosiasikan dengan proses

trombosis dan hemostasis. Platelet yang aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon inflamasi. Larutan platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten bila disuntikkan pada jaringan hewan percobaan. Peran vasoaktif produk platelet telah diketahui, terutama tromboxan Aa sebagai vasokonstriktor yang poten.

3. Sel mastSel mast yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet merangsang

dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel

3

Page 4: Sirs Dan Sepsis-Heri

akan segera merelaksasi otot polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran darah dan penurunan kecepatan aliran darah.

4. Contact activating system.Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh

stimulus yang tepat. Keberadaan faktor XII yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan bradikinin dari kininogen berat molekul tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada endotel reseptor dan merangsang pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini akan berdifusi ke otot polos pembuluh darah dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan histamin.

5. Kaskade komplemen (complement cascade).Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara konvensional dan cara

alternative. Aktivasi ini akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif dan chemoattractant. Hal yang menarik adalah aktivasi protein komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, sel mast dan secara tidak langsung produksi bradikinin.

Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah : peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan edema jaringan lunak. Yang terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim protein yang dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini menciptakan situasi lokal disekitar trauma yang kaya akan chemoattracttant.4,6,7,8,9

Berdasarkan teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang terjadinya MOF (Multiple Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka trauma sederhana atau infeksi jaringan lunak yang tampak tenang diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk terjadinya SIRS maupun sekuele-nya. Berikut ini adalah 10 langkah dalam hipotesis tersebut:7,8,9,10

1. Aktivasi reaksi inflamasi.Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi

inflamasi sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya SIRS. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi. Tidak seperti pada trauma, proses infeksi adalah proses yang berlangsung terus menerus hingga mempunyai kemungkinan besar pada suatu saat akan melewati batas ambang yang menyebabkan terjadinya reaksi sistemik. Namun perlu digarisbawahi bahwa penyebaran kuman pathogen atau produk kuman tersebut bukan merupakan syarat untuk terjadinya reaksi sistemik.

Aktivasi inflamasi sistemik biasanya bukan karena insult tunggal, biasanya disebut "two-hit" hipotesis dari gagal organ. Hipotesis ini menyebutkan dibutuhkannya dua pencetus sebelum terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Insult inisial seperti perdarahan,

4

Page 5: Sirs Dan Sepsis-Heri

trauma berat atau operasi besar akan menimbulkan reaksi inflamasi yang bila diikuti oleh aktivator kedua (seperti infeksi, perdarahan ulang, operasi ulang) dalam jangka waktu yang pendek akan mengakibatkan SIRS.

2. Aktivasi inisiator Aktivasi kaskade pembekuan (coagulation cascade) akan mengakibatkan DIC

(Disseminated Intravascular Coagulation) tanpa tanda klinis perdarahan. Pasien akan mengalami pemanjangan PT (Prothrombine Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) sebagai akibat penggunaan protein koagulasi. Biasanyan juga terjadi trombositopenia. Juga terjadi aktivasi protein komplemen. Efek bradikinin dan histamin akan terlihat jelas pada fase ketiga.

3. Konsekuensi sistemik fase pertamaMediator yang dihasilkan pada fase pertama, seperti bradikinin dan histamin akan

mengakibatkan vasodilatasi pada mikrosirkulasi, baik arteri maupun vena, dengan akibat menurunnya tahanan vaskuler sistemik dan meningkatnya kapasitas vaskuler. Bila tidak ada dukungan preload yang cukup maka pasien akan mengalami hipotensi karena hipovolemia relatif. Bila ada dukungan preload yang cukup maka akan terjadi peningkatan Cardiac Index. Perubahan ini juga menghasilkan peningkatan permeabilitas mikrosirkulasi dengan akibat terjadinya edema sistemik.

4. Distribusi sistemik chemoattracttant dan kode Sitokin Proinflamasi (Proinflamatory cytokine).

Aktivasi inisiator akan mengakibatkan didistribusikannya chemoattracttant secara sistemik. Produk hasil penguraian protein dan enzim sel yang biasanya hanya ada pada jaringan lunak didistribusikan secara sistemik. Chemoattracttant ini akan menempel pada netrofil dan akan memberikan kode pada seluruh sel endotel maupun monosit. Monosit ini menjadi diliputi oleh chemoattracttant dan tidak bergerak ke daerah trauma namun menghasilkan sitokin proinflamasi yang disekresi ke cairan ekstrasel.

5. Penempelan netrofil.Distribusi sistemik chemoattracttant mengakibatkan aktivasi proses adhesi sel endotel

dengan netrofil. Proses ini bias terjadi pada seluruh mikrosirkulasinamun nampak lebih banyak terjadi pada sirkulasi viseral daripada sirkulasi sistemik. Sistem organ yang menjadi target MODS (yaitu paru, hati, usus) nampak mempunyai tingkat penempelan netrofil yang terbesar.

6. Aktivasi penuh penempelan netrofil oleh chemoattracttant.Seperti disebutkan diatas, pada luka yang normal, netrofil seharusnya berperan sebagai proses fagositosis, tetapi rangsangan sitokin proinflamasi seperti TNF mengakibatkan kekacauan perilaku fagositosis termasuk pelepasan zat reaktif oksigen dan enzim lisosom. Zat beracun ini segera dikeluarkan di luar dinding pembuluh darah, peroksidase lemak dan self-digestion mulai terjadi.

7. Trauma dan vasokonstriksi pada mikrosirkulasi.Pelepasan zat toksik lisosom dari netrofil yang terstimulasi trauma pada sel endotel dan

merupakan tambahan rangsang bagi kaskade inflamasi. Trauma pada sel endotel mengakibatkan hilangnya regulasi otot polos pembuluh darah. Reaksi pembekuan teraktivasi dan agregasi platelet terjadi pada tempat trauma kimiawi oleh zat reaktif oksigen dan enzim toksik lisosom yang lain. Respon yang dihasilkan adalah vasokonstriksi yang mungkin disebabkan oleh thromboxane A2. Terbentuk juga trombus lokal pada tempat trauma endotel di dalam mikrosirkulasi.

5

Page 6: Sirs Dan Sepsis-Heri

8. Terhentinya mikrosirkulasi.Efek gabungan dari vasokonstriksi dan pembentukan trombus pada mikrosirkulasi

adalah penurunan yang drastic atau bahkan penghentian aliran darah pada mikrosirkulasi. Walaupun trombosis total dan vasokonstriksi merupakan strategi yang normal dalam melokalisir trauma dan infeksi, trombosis dan vasokonstriksi ini dapat menjadi dasar terjadinya gangguan fungsi suatu organ.

9. Nekrosis fokal.Akibat proses trombosis dan vasokonstriksi adalah hilangnya perfusi efektif dengan

akibat nekrosis fokal. Nekrosis fokal ini terjadi karena jumlah netrofil yang jauh lebih kecil dari jumlah sel endotel, namun seiring dengan berlangsungnya reaksi inflamasi yang akan terus memproduksi netrofil dengan akibat makin banyak jaringan fungsional yang mengalami nekrosis sehingga proses disfungsi pada MODS terus berlangsung.

10. Proses "self-energizing" dan "self-recycling"Hipotesis berhentinya mikrosirkulasi ini nampak sederhana, dengan dihilangkannya

rangsang atau aktivator, maka seharusnya produksi chemoattracttant akan berhenti dan seluruh proses juga menurun. Namun pada kenyataannya proses inflamasi sistemik ini menghasilkan trauma pada jaringan dan nekrosis yang juga mengakibatkan inflamasi sistemik. Dengan demikian lesi pada suatu end-organ juga merupakan aktivator baru terhadap reaksi inflamasi.

Gambar 3. 10 langkah hipotesis henti mikrosirkulasi:

Sejalan dengan patofisiologi diatas, maka mediator reaksi inflamasi dapat diidentifikasi dan dapat digunakan untuk mengetahui adanya reaksi sepsis. Peningkatan beberapa kadar sitokin seperti TNF-a (Tumor nekrosis Faktor - a), Interleukin (IL-6, IL-8 dan IL-10) memang terlihat pada pasien sepsis dan biasanya berhubungan dengan outcome yang jelek. Interleukin-6 biasanya digunakan sebagai indicator dalam penelitian pengobatan sepsis.

Pertanda biologis lain yang paling terkenal dan paling umum dipakai adalah CRP (C-reactive Protein). CRP adalah protein yang diproduksi di hati pada fase akut, kadarnya dalam plasma meningkat dalam keadaan infeksi sebagai respon adanya sitokin dalam plasma. CRP disebut sebagai pertanda yang sangat berguna pada sepsis dan lebih peka dibandingkan lekosit dan suhu tubuh.

6

Page 7: Sirs Dan Sepsis-Heri

Prokalsitonin, precursor kalsitonin juga disebut sebagai salah satu pertanda sepsis. Kadar plasma prokalsitonin digunakan untuk membedakan infeksi dari proses inflamasi yang lain, juga dilaporkan mempunyai nilai prediksi yang lebih baik dibandingkan CRP maupun IL-6. Peneli lain melaporkan prokalsitonin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan CRP, leukosit maupun suhu tubuh pada peningkatan kadar TNF dan IL-6. Pertanda yang lain adalah neopterin, elastase dan fosfolipase A2.

IV. GEJALA KLINIS Umumnya tidak spesifik seperti timbulnya demam, menggigil, kelelahan, malaise,

ansietas. Hal ini bahkan dapat tidak ada pada pasien dengan infeksi yang sudah lanjut dan sangat serius terutama pada orang tua. Siegel et al. mengidentifikasi adanya empat tahap perubahan patofisiologi hemodinamik dan metabolik. Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap sepsis, namun data ini bias, dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini dengan teliti menunjukkan bahwa SIRS adalah suatu yang berkelanjutan tergantung respon pasien terhadap suatu rangsang dan kemampuan cadangan fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan fisiologis umum yang terjadi. 7,8,9,10

Keempat tahap tersebut adalah :

1. Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi berat, trauma

atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan COP (cardiac output) yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti keadaan normal. Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal ini merupakan respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau operasi besar. Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan penyakit.

2. Tahap B (Fase MODS)Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi penurunan tajam

dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung untuk meningkatkan COP. Akibat dari keadaan tersebut, maka dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload jantung (sebaiknya dengan cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan mengalami hipotensi. Sementara itu selisih antara kadar oksigen arteri dan vena mulai menyempit, yang diikuti dengan meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena abnormalitas enzim metabolisme sel. Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat meningkat dan terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat diatas nilai normal. Pada masa sebelum penggunaan metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa lambung menunjukkan cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum kreatinin mulai naik diatas 1,0 mg/dL.

3. Tahap C (Fase Dekompensasi)Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan

kompensasi jantung tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan

7

Page 8: Sirs Dan Sepsis-Heri

tekanan afterload yang sangat drastis. Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut septik syok atau keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.

4. Tahap D (Fase Terminal)Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal. Keadaan

sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana hal ini akan menyebabkan respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac output yang tidak adekuat dan vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian akibat fase ini.

Tabel 1. Tahapan SIRS10

Fase COP SVR Laktat

TransienMODSDekompensasiTerminal

↑↑↑↑N↓↓↓

↓↓↓↓↓↓↑↑↑

N↑↑↑↑↑

Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan klinis pasien dengan sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis) atau dalam keadaan hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).

Tabel 2. Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (Syok septik)3

Hiperdinamik Hipodinamik

Klinis Suhu Kulit Jantung Paru Tekanan darahStatus mentalProduksi urin

↑, Menggigil Kering, hangat Takikardi Takipneu ↓ BerubahVariabel

↑/↓ Dingin Takikardi Takipneu ↓ObtudansiOliguri

Laboratorium

LekositKeasamanGula darahLaktatTrombositVO2(A-V) O2Tekanan baji

↑ Asidosis metabolik

1,5-2.0 mM/L

↑Normal/ ↓ Normal/ ↓

↑/↓, geser ke kiri Asidosis metabolikHiper/hipoglikemik> 2,0 mM/LTrombositopenia↓↓bervariasi

8

Page 9: Sirs Dan Sepsis-Heri

Fisiologi COP SVRMikrovaskuler

↑↓Kerusakan total

Tidak adekuat↑Kerusakan local

Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik (terjadi sindrom sepsis). Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik, yang membutuhkan penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan CO2 dan tekanan perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali nilai normal yang diiringi dengan penurunan tahanan vaskuler yang disebabkan oleh produk α dan ß agonist. Hal ini akan mengakibatkan hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai terjadi. Bila gangguan aliran darah tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke organ vital akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Perubahan status neurologis juga terjadi dimana pasien menjadi letargi.

Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak dapat dipertahankan dan terjadi penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh pada keadaan hipodinamik syok (syok septik) dan keadaan ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang esensial sehubungan dengan tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi organ harus segera dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi. Dengan demikian penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan progresifitas kerusakan organ dapat segera dihentikan.7,8,9

Tabel 3. Gejala awal MOF3

ORGAN EFEK TANDA KLINIK

Paru Tahanan vaskuler pulmoner ↑ARDS akut Atelektasis Emboli paru Pneumonia

Takipneu, hipoksia Takipneu, hipokarbia Alkalosis respiratorik Takipneu Takipneu, suhu tinggi

Hati Hipoalbuminemia Bilirubinemia Asam amino ↑

Gangguan koagulasi IkterusHepatomegali

Saluran cerna Tukak lambung Gastritis hemoragik Kolesistitis akut Trombosis v.mesenterika

Hematemesi/melena Nyeri perut, syok Nyeri perut, suhu ↑Nyeri perut, syok

Ginjal Kreatinin↑ Nitrogen ↑ Osmolaritas urin ↓

Oligouria / anuria Retensi cairan Edema

Kardiovaskuler CO ↑, gagal, atau ↓Tahanan vaskuler

Syok Asidosis metabolik

Koagulasi TrombositopeniaFibrinogen ↑ (dini), ↓ (lanjut) PT ↑

EkimosisPerdarahan difus

9

Page 10: Sirs Dan Sepsis-Heri

V. PENATALAKSANAAN7,8,9

Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu serta insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai empat sasaran :

1. Memberi terapi terhadap infeksi penyebabHal ini dapat dicapai dengan :a. Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik

Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah: Meminimalkan trauma lebih lanjut Debridemen yang agresif Drainase dini (misalnya : pus, hematom) “second-look procedure"Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.

b. Modifikasi respon stress hormonalPeningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat ß-antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.

c. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihanSemua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien. Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus. Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan. Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.

2. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke organ

10

Page 11: Sirs Dan Sepsis-Heri

Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress. Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri

Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%). Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru.

b. Ekspansi cairanEkspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.

c. InotropikZat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinaniik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun pada keadaan parameter perfusi unium yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.

d. Transfusi darahKadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.

e. VasodilatorPenggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprusid.

f. VasokonstriktorPenambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

3. Menghindari komplikasi

11

Page 12: Sirs Dan Sepsis-Heri

Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :

Organ KomplikasiParu-paru ARDS karena infeksi nosokomial

Pneumonia nosokomialBarotraumaKeracunan C>2Hipervolemia

Usus Cedera karena infeksi / endotoksinMalnutrisiKeracunan obatKolitis pseudomembranHipovolemia

Hati Cedera karena infeksi / endotoksinOverfeedingKeracunan obat

Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksinKeracunan obatHipovolemiaSistemik Malnutrisi

Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat

Modalitas Terapi Baru7,8,9

Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1 A) namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.

Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.

Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 RA atau reseptor antagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.

Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.

12

Page 13: Sirs Dan Sepsis-Heri

Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator menggunakan cara plasmapheresis (PE).

Konsep-Konsep Penatalaksanaan dan Pengobatan Sepsis

Early Goal Directed Therapy (EGDT)Terapi ini bertujuan untuk memberi manipulasi pada cardiac preload, afterload dan

kontraktilitas miokard untuk mempertahankan nilai normal dari saturasi myxed venous oxygen, konsentrasi laktat pada arteri, dcfisit basa dan pH. Caranya dengan pemberian cairan dan vasopresor untuk mepertahankan CVP 8-12 mmHg, MAP antara 65-90 mmHg dan saturasi okigen vena sentral lebih dari 70%. Dari penelitian didapatkan angka kematian dirumah sakit dengan metode EGDT hanya 31%, dibanding atandar terapi yaitu 47% dan persentase kematian dalam 60 hari yaitu 44%, dibanding standar terapi 57%.11

Bagan 1 . Langkah penerapan EGDT 11

13

Page 14: Sirs Dan Sepsis-Heri

Resusitasi volume cairan dini yang agresifPenelitian early goal-directed therapy oleh Rivers et al menunjukkan bahwa terapi

cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien. Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan tranfusi darah untuk meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien-pasien dalam penelitian ini mendapat lebih banyak cairan, inotropik dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada 6 jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih rendah dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok kontrol.5

Activated Protein C (APC) Adalah suatu antikoagulan yang berbentuk rekombinan Protein C teraktivasi.

Merupakan agen antiinflamasi pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi pembentukan thrombin oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk menghambat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun demikian, masih terdapit perdebatan mengenai penggunaan APC terutarna berhubungan dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.5

Terapi insulin intensif pada hiperglikemiaPenelitian Van den Berghe et al, menunjukkan bahwa pemberian terapi insulin intesif

yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 - 110 mg/dL menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 - 200 mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes melitus pasien tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah apoptosis sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2-kinase-akt.5

Kortikosteroid dosis fisiologisPemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya: metilprednisolon 30mg/ kg berat

badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara pasien-pasien sepsis dan dapat memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder. Penelitian oleh Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik. Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan insufisiensi adrenal relatif.(5)

14

Page 15: Sirs Dan Sepsis-Heri

HeparinDigunakan sebagai profilaksis terjadinya deep vein thrombosis (DVT) pada pasien

yang tidak ada kontraindikasi pemberian heparin, dengan dosis rendah unfractioned (5000 U, 2 hingga 3 kali sehari) atau low moleculer weight heparin. Bila terdapat kontraindikasi (trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan intracerebral akut) pemakaian mechanical prophylactic device amat disarankan.5

NutrisiPada pasien sepsis, nutrisi harus juga mendapat perhatian yang besar. Sepsis

menimbulkan kondisi hiperkatabolisme dan dapat terjadi protein energi malnutrisi. Pemberiannya dipilih secara enteral terutama, namun jika tidak bisa dipilih pemberian secara parenteral. Berdasarkan Konsensus dari American College of Chest Physician and American Society of Parenteral and Enteral Nutrition, untuk pasien sepsis:5

• Kaloric intake perhari : 25-30 kcal/kg• Protein: 1.3-2.0 g/Kg per hari• Glucose: 30-70 % dari total calories non protein, untuk menjaga kadar glucose serum

dibawah 225 mg/dl (atau glucose serum dikontrol dengan insulin).• Lipids: 15-30% dari total calories non protein, fi 6 polyunsaturated fatty acid harus

dikurangi pada patients septic, serta menjaga agar tidak terjadi deficiency dari essential fatty acids (7% dari total calories- umumnya Ig/kg per hari)

VI. Daftar Pustaka

1. Wheeler, AP, M.D., et al : Treating Patients with Severe Sepsis, N Engl. J Med 1999, 340:207-214.

2. Gann, DS., et al, Endocrinee and Metabolic Responses to Injury In Swartz, et al, Principles of Surgery, 6th ed. Mc Graw Hill 1994, 3-59

3. Wittman, DH, et al, Peritonitis and Intra Abdominal Infection, In Swartz, et al, Principles of Surgery, 6th ed. Mc Graw Hill 1994, 1450-1467

4. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N EnglJ Med 2003, 348; 138-50.

5. Russell, M.D, Management of Sepsis, N Engl. J Med. 2006 , 355: 1699 -17136. Hanafi B., Current Concepts in the Management of Sepsis in Surgical Patients : Clinical

Application of Basic Sciences, RSHS Bandung7. Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ Failure

Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.

8. Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.

15

Page 16: Sirs Dan Sepsis-Heri

9. Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS, hi: Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.

10. Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.

11. Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77.

16