sindroma nyeri akut

84
SINDROMA NYERI AKUT Definisi Nyeri akut m enurut Federation of State Medical Boards of the United States adalah respon fisiologik normal yang diramalkan terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut. Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya. Tanda-tanda aktivitas sistem saraf otonom (misalnya takikardia, hipertensi, berkeringat, dilasi pupil yang berkepanjangan, demam) sering menyertai sensasi nyeri akut. Biasanya, nyeri akut berkaitan dengan suatu kejadian, dan secara alami bersifat linier (dengan kata lain ada permulaan dan akhirnya), memiliki arti dan tujuan positif, dan sering berkaitan dengan tanda-tanda fisik. Nyeri akut adalah alasan tersering mengapa pasien mengunjungi unit gawat darurat, dan juga merupakan keluhan umum pada pasien klinik keluarga dan pengobatan internal. Nyeri akut seringkali merupakan aspek penyakit, persalinan, cedera olahraga dan pembedahan. Meskipun ada kemajuan luar biasa dalam penelitian nyeri dalam beberapa dekade terakhir, pengendalian nyeri yang kurang memadai masih

description

sindroma nyeri akut

Transcript of sindroma nyeri akut

SINDROMA NYERI AKUT

Definisi Nyeri akut menurutFederation of State Medical Boards of theUnited States adalah respon fisiologik normal yang diramalkan terhadaprangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatupembedahan, trauma, dan penyakit akut. Ciri khas suatunyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanyakerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seiramadengan proses penyembuhannya. Tanda-tanda aktivitas sistem saraf otonom (misalnya takikardia, hipertensi, berkeringat, dilasi pupil yang berkepanjangan, demam) sering menyertai sensasi nyeri akut. Biasanya, nyeri akut berkaitan dengan suatu kejadian, dan secara alami bersifat linier (dengan kata lain ada permulaan dan akhirnya), memiliki arti dan tujuan positif, dan sering berkaitan dengan tanda-tanda fisik. Nyeri akut adalah alasan tersering mengapa pasien mengunjungi unit gawat darurat, dan juga merupakan keluhan umum pada pasien klinik keluarga dan pengobatan internal. Nyeri akut seringkali merupakan aspek penyakit, persalinan, cedera olahraga dan pembedahan. Meskipun ada kemajuan luar biasa dalam penelitian nyeri dalam beberapa dekade terakhir, pengendalian nyeri yang kurang memadai masih lebih merupakan aturan daripada pengecualian. Jika tak terkendali, para pakar memperingatkan bahwa nyeri akut dapat menyebabkan rawat inap yang lebih lama di rumah sakit dan berkembang menjadi nyeri kronis. Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu :1. Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit,subkutis, mukosa. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar),contoh: terkena ujung pisau atau gunting2. Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari otot rangka,tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh darah, tendon dan syaraf.Nyeri menyebar danlebih lama daripadanyeri somatik luar,contoh:sprain sendi3. Nyeri visceral,yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsialatdalam, stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.

Patofisiologi terjadinya nyeri akut1. Aktivasi nosiseptor, sensitisasi dan hiperalgesia pada nyeri akutNosiseptor adalah reseptor sensorik yang berepon terhadap jaringan yang rusak. Nosiseptor berespon selama dan setelah kejadian akut seperti pembedahan, cedera, persalinan, dan sakit akut. Nosiseptor berrespon secara unik tergantung organ yang dipersarafi, hal ini menjelaskan perbedaan-perbedaan kondisi klinis nyeri akut pada berbagai cedera organ.Sensitisasi adalah karakteristik nosiseptor dimana respon terhadap stimuli meningkat ditempat cedera. Sensitisasi nosiseptor menghasilkan hiperalgesia primer di tempat cedera yang menghasilkan nyeri terasa terus-menerus selama istirahat dan meningkat selama dan setelah pembedahan, cedera, persalinan dan sakit akut.2. Mediator aktivasi nosiseptor dan sensitisasi pada jaringan yang mengalami cedera akutSubstansi yang dikeluarkan selama cedera akut dan meyebabkan nyeri belum sepenuhnya diketahui.Prostaglandin dikeluarkan oleh jaringan yang cedera merangsang nosiseptor, demikian pula mediator lain misalnya nerve growth factor yang meningkat selama insisi jaringan juga mengaktivasi dan mensensitisasi nosiseptor. Faktor-faktor lain yang berperan dalan nyeri akut adalah keasaman, interleukin, sitokin dan cedera langsung pada saraf juga mengaktivasi nyeri.3. Sensitisasi sentral pada nyeri akutInput nosisepsi selama dan setelah pembedahan, cedera, persalinan dan sakit akut dapat meningkatkan respon saraf yang mentransmisikan nyeri di susunan saraf pusat, hal ini akan memperbesar sensasi nyeri secara klinis. Peningkatan respon saraf di susunan saraf pusat terhadap input aferen yang normal atau dibawah ambang (subtreshold) disebut sensitisasi sentral (central sensitization). Besarnya sensitisasi sentral tergantung pada banyak factor, termasuk tipe jaringan dan luasnya cedera Sensittisasi sentral memperkuat transmisi input dari jaringan perifer dan menghasilkan hiperalgesia sekunder, peningkatan respon neyri yang dibangkitkan oleh stimuli diluar area cedera. Sensitisasi sentral bisa terjadi baik di tingkat spinal maupun supraspinal.Efek mediator-mediator nyeri dapat lebih jelas terlihat pada jaringan yang mengalami inflamasi; prostaglandin dihasilkan oleh jaringan yang cedera menimbulkan aktivasi dan sensitisasi nosiseptor (timbullah nyeri / dolor); nosiseptor kemudian mengeluarkan substansi P , yang menimbulkan dilatasi pembuluh darah dan meningkatkan pengeluaran mediator inflamasi lain seperti bradikinin (jaringan menjadi kemerahan / rubor dan panas / kalor); substansi P juga meningkatkan degradasi sel mast yang kemudian mengeluarkan histamine (terjadilah pembengkakan / oedema).Pengukuran intensitas nyeriPenanganan nyeri yang efektif tergantung pada pemeriksaan dan penilaian nyeri yang saksama baik berdasarkan informasi subyektif maupun obyektif. Skala pengukuran nyeri merupakan dasar dalam diagnosis penyebab pasien nyeri, memilih terapi analgesik yang tepat dan mengevaluasi kemudian memodifikasi terapi yang sesuai dengan respon pasien. Nyeri harus dinilai dalam model biopsikososial yang mengakui bahwa faktor fisiologis, psikologis dan lingkungan mempengaruhi keseluruhan mengalami rasa sakit.

Beberapa skala pengukuran yang akurat tersedia baik dalam pengukuran intensitas nyeri ataupun kontrol nyeri setelah intervensi. Skala kontrol nyeri, meskipun kurang umum digunakan namun memiliki beberapa keuntungan ketika membandingkan respon terhadap perlakuan yang berbeda, karena semua pasien mulai dengan skor yang sama (nol), sedangkan mereka mungkin memiliki tingkat yang berbeda dari nyeri dasar Intensitas (Moore et al, 2003; Breivik et al, 2008).

Pada sindroma nyeri akut, perubahan fisiologis terhadap stimulus nyeri merupakan hal yang umum terjadi. Takikardia, takipnea, berkeringat, panas/demam, dan kecemasan yang sangat amat diamati. Daerah yang mengalami trauma mungkin berwarna kemerahan dan bengkak. Perubahan fisik tidak biasa terjadi pada sindroma nyeri kronis, karena tubuh memiliki waktu untuk beradaptasi terhadap sensasi nyeri dan akibat fisiknya. Secara umum, pemeriksaan fisik sangat bermanfaat pada kasus nyeri akut. Pada nyeri melahirkan melibatkan dimensi sensorik dan afektif yang berbeda-beda selama proses melahirkan. Oleh karena itu, penilaian rutin harus dilakukan selama proses melahirkan. Sebagai respon terhadap pertanyaan-pertanyaan dari petugas kesehatan, wanita hamil biasanya menyatakan mengalami nyeri iterin dan nyeri alih yang mereka anggap terasa pada perut, punggung bawah, tulang panggul (iliac crest), daerah glutea, atau paha. Nyeri melahirkan dapat bersifat luas/menyebar atau terlokalisasi.Beberapa istilah yang sering digunakan pasien untuk menyatakan nyeri sensorik antara lain kram, tajam, seperti ditikam, berat, ditarik, berdenyut, panas atau lembut. Secara emosional, wanita hamil sering menyatakan nyeri sebagai melelahkan, menyakitkan dan mengganggu. Variasi nyeri melahirakan dapat terjadi pada pasien yang dismenorea (+ nyeri) dan nyeri punggung berkaitan dengan menstruasi (+ nyeri punggung ketika melahirkan). Walaupun etnis tidak mempengaruhi respon nyeri, norma budaya yang dianut pasien dapat mempengaruhi persepsinya mengenai rasa nyeri.Nyeri Pada Abortus. Pada awal abortus terjadi perdarahan desidua basalis, diikuti dengan nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya.Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus. Kesemua proses memicu uterus berkontraksi dan menghasilkan nyeri. Disamping itu kerusakan atau luka pada jaringan akan menyebabkan pelepasan dari mediator inflamasi, sehingga nosiseptor akan berekasi terhadap pelepasan mediator ini dan menghasilkan sensasi nyeriPengukuran outcomeNyeri. Tujuan dari banyak uji klinis adalah untuk membandingkan beberapa obat dalam mengurangi nyeri. Hal ini dapat dicapai dengan langkah-langkah tunggal diulang pada waktu yang tetap poin, yang mungkin mencakup hanya sebagian dari keseluruhan penyakit. Ketika perbandingan dibuat dengan plasebo, hasil yang signifikan secara statistik dapat dicapai dengan jumlah yang relatif kecil pasien (misalnya n = 40) (Collins et al, 2001). Hasil utama yang dipilih oleh peneliti dan mungkin tidak penting langsung ke masing-masing pasien, terutama jika berkaitan dengan hanya proporsi total saat kesakitan. Hal ini juga penting untuk mempertimbangkan bahwa perbedaan secara statistik yang signifikan dalam skor nyeri mungkin tidak mencerminkan perbedaan klinis yang signifikan, meskipun ini sulit untuk mendefinisikan.Data yang berasal dari skala analog kategoris dan visual intensitas nyeri atau keringanan menghasilkan berbagai hasil ringkasan yang dapat digunakan untuk menilai (Moore et al, 2003):

Sebuah metode yang digunakan secara luas untuk menggambarkan efektivitas intervensi analgesik adalah jumlah yang diperlukan-to-treat (NNT). Dalam pengaturan ini biasanya didefinisikan sebagai jumlah pasien yang perlu dirawat untuk mencapai setidaknya 50% nyeri (misalnya minimal 50% maksimum TOTPAR) pada satu pasien dibandingkan dengan plasebo selama pengobatan 4 sampai 6 jam (Moore et al, 2003). Analisis di cut-off point lainnya (30% sampai 70% max TOTPAR) telah menunjukkan hal yang sama efikasi relatif perlakuan yang berbeda (McQuay et al, 2003).Validitas pendekatan ini sebagai metode sejati perbandingan dapat dipertanyakan karena ada tidak ada standarisasi model nyeri akut atau dosis tunggal pasien dan hanya analgesic agen yang digunakan. Namun, kadang-kadang masuk akal untuk meramalkan kemungkinan perkiraan khasiat analgesik dari satu model nyeri yang lain (Barden et al, 2004 Tingkat I). Penggunaan konsumsi analgesik tambahan sebagai ukuran hasil telah dipertanyakan dalam situasi di mana skor nyeri tidak sama (McQuay et al, 2008).Aktivitas Fisik. Pengukuran aktivitas fisik termasuk tidur, makan, berpikir, bernapas, batuk, memobilisasi, melakukan aktivitas perawatan diri dan kehidupan sehari-hari, menikmati kegiatan rekreasi dan olahraga (Williams, 1999). Dalam nyeri akut ini dapat diukur dengan skor intensitas nyeri dengan gerakan atau skor aktivitas fungsional lainnya.Langkah-langkah global atau multidimensional untuk menggabungkan berbagai kemampuan atau cacat untuk memperoleh ukuran ringkasan. Timbangan yang mempekerjakan sejumlah besar item mungkin lengkap tapi risiko kelelahan pasien atau kesalahan, sedangkan timbangan dengan item yang lebih sedikit mungkin -pasien yang ramah namun risiko menjadi tidak sensitif terhadap negara atau perubahan (Williams, 1999). skala ini memiliki telah digunakan dalam beberapa penelitian nyeri tulang belakang akut dan nyeri yang berhubungan dengan kanker:

Langkah-penyakit tertentu mengukur dampak dari masalah nyeri spesifik pada fungsi dan dapat digunakan untuk melacak perubahan setelah intervensi (misalnya kemampuan untuk batuk setelah torakotomi, kemampuan untuk mengangkat bayi setelah operasi caesar) (Garratt et al, 2001). Langkah-langkah generik memfasilitasi perbandingan antara keterbatasan fungsional kondisi yang berbeda dan perawatan, dan mungkin memiliki keuntungan bagi audit layanan nyeri akut yang mencakup pasien dengan berbagai kondisi (Patrick & Deyo, 1989).Fungsi emosi. Nyeri akut adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan. Ketidaknyamanan dari pengalaman dan maknanya bagi individu mungkin memiliki jangka pendek (kecemasan, depresi, iritabilitas) dan jangka panjang konsekuensi (kehilangan kepercayaan atau self-efficacy atau post-traumatic stress disorder) untuk fungsi emosional individu.Efek samping. Dalam uji coba efikasi, efek samping biasanya dianggap penting sekunder dan pelaporan yang tidak memadai telah ditemukan di sebanyak setengah dari percobaan acak Ulasan (Edwards et al, 1999; Ioannidis & Lau, 2001). Jika efek samping yang umum (misalnya mual dengan opioid) mereka mungkin diukur dalam uji efikasi dan secara khusus diukur dengan menggunakan dikotomis (ada atau tidak ada), kategoris (tidak ada, ringan, sedang, berat) atau selang (analog atau Likert) skala. Analog dengan NNTs, jumlah dibutuhkan-to-bahaya (NNH) mungkin digunakan untuk menggambarkan kejadian efek samping.Kebanyakan uji coba kemanjuran akan memiliki kekuatan memadai untuk mendeteksi efek samping langka dan oleh karena itu mereka juga absen dari tinjauan sistematis. Uji klinis besar yang dirancang khusus untuk mendeteksi efek samping yang diperlukan (misalnya studi VIGOR diselidiki toksisitas GI dan NSAID) (Bombardier et al, 2000). Laporan kasus dan penelitian epidemiologi postmarketing dan pengawasan (misalnya Reaksi efek samping obat Australian Advisory Committee) tetap penting untuk mendeteksi peristiwa tertunda terjadi setelah masa percobaan awal. Baru-baru ini, Hasil dari komprehensif besar calon audit dan database yang telah menyediakan ulasan denominator cukup handal untuk evaluasi kejadian dan faktor risiko dalam yang jarang namun serius hasil yang merugikan dalam manajemen nyeri akut (Cameron et al, 2007 Tingkat IV; Wijeysundera et al, 2008 Tingkat IV; Wijeysundera & Feldman, 2008). Selain hasil yang merugikan dikaitkan dengan intervensi manajemen nyeri akut, yang lain area of interest adalah apakah hasil yang merugikan dari trauma dan operasi bisa dicegah oleh manajemen nyeri akut yang efektif. Hasil seperti mortalitas, morbiditas karena derangements dari kardiovaskular, pernapasan, GI dan koagulasi sistem dan perkembangan rasa sakit kronis juga telah dilaporkan (lihat Bagian 1.3).RESPON STRES PADA NYERI AKUTNyeri akut merupakan salah satu penggerak dari neurohumoral kompleks dan respon imun terhadap cedera. Respons cedera perifer dan sentral memiliki pengaruh besar pada mekanisme nyeri akut. Jadi nyeri akut dan cedera pasti saling terkait dan jika parah dan berkepanjangan, respon cedera menjadi kontraproduktif dan dapat memiliki efek buruk pada hasil (Kehlet & Dahl, 2003; Chapman et al, 2008).Nyeri merupakanresponyang bersifatprotektif, refleks ini memiliki efek pada beberapa sistem dalam tubuh. Halini mencakuprespon stres yangberlebihan, gangguan tidur,gangguanhemostasis glukosa, peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, dan gangguan gastrointestinal, renal, dan fungsi endokrin. Respon stress menyebabkan efek terhadap berbagai sistem organ seperti sistem kardiovaskular,imun, endokrin, dan pernapasan. Jadi, respon stres terhadap luka adalah suatu proses hormonal dan neurologik yang kompleks. Pada pasien trauma, konsekuensi dari respon ini multifactorial. Biasanya terjadi peningkatan katekolamin, hormon pertumbuhan, kortisol, renin, hormon antidiuretik, enkephalin,dan endorfin yang menyebabkan takikardia, hipertensi, dan penurunan aliran darah menuju renal dan lien,dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Respon katabolik utama adalah gangguan homeostasis glukosayang menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan penurunan pergantian glukosa terjadi pula peningkatanproduksi glukosa secara endogen.Suatu hal yang sulit untuk membedakan peranan trauma dalam respon stres yang disebabkan oleh nyeri, tetapi menyediakan analgesia sudah dibuktikan kebenarannya untuk menurunkan respon endokrin terhadap nyeri, yaitu, hormon adrenokortikotropik, hormon antidiuretik, dan encephalin. Tujuan penanganan nyeri dalam trauma adalah mengurangi respon stres sebisa mungkin dan menyediakan pasien rasa penghilang nyeri sementara berusaha mempertahankan stabilitas kardiovaskular dan homeostasis jaringan.Pelepasan sitokin proinflamasi dapat berkontribusi untuk ileus pasca operasi, namun dampak dari modulasi respon ini pada hasil pasien secara keseluruhan membutuhkan evaluasi lebih lanjut. melalui pembuluh darah lignokain infus dilemahkan pasca operasi peningkatan sitokin pro-inflamasi, seperti IL-6 (interleukin-6), IL-8 dan IL-1RA (inhibitor kompetitif IL-1) dan dikaitkan dengan return yang lebih cepat dari fungsi usus setelah operasi perut (Kuo et al, 2006 Tingkat II; Herroeder et al, 2007 Level II). Penurunan skor nyeri dan konsumsi opioid ditemukan hanya dalam satu studi (Kuo et al, 2006 Level II). Manfaat lignokain yang lebih ditandai ketika diberikan melalui rute epidural thoraks dibandingkan dengan infus intravena (Kuo et al, 2006 Tingkat II).

Aspek psikologis nyeriFaktor psikologis yang mempengaruhi pengalaman nyeri termasuk proses perhatian, proses kognitif lainnya (misalnya memori / pembelajaran, pikir pengolahan, keyakinan, suasana hati), respon perilaku, dan interaksi dengan lingkungan seseorang. Pengalaman nyeri bersifat subjektif, oleh karena itu perlu adanya penanganan terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan aspek psikologis yang mempengaruhi pengalaman nyeri pasien. Salah satu pendekatan yang menjelaskan keterkaitan antara aspek fisiologis dan psikologis pada nyeri adalah pendekatan biopsychosocial. Turk dan Flor (1999) menyatakan bahwa premis dasar dari pendekatan biopsychosocial adalah bahwa faktor-faktor predisposisional dan faktor-faktor biologikal yang ada dapat memulai, mempertahankan, dan memodulasi gangguan-gangguan fisikal (physical pertubations); faktor-faktor predisposisi dan psikologis yang ada mempengaruhi penilaian dan persepsi dari tanda-tanda fisiologis internal; dan faktor-faktor sosial membentuk respon-respon behavioral dari pasien terhadap persepsi-persepsi dari gangguan-gangguan fisikal mereka (Asmundson & Wright, 2004).Pendekatan biopsychosocial memunculkan beberapa model teori yang menjelaskan bagaimana keterkaitan antara faktor biologis, psikologis, dan sosial dalam nyeri. Salah satunya adalah model Fear-Avoidance yang diajukan oleh Vlaeyen dan Linton. Secara singkat model ini menjelaskan bahwa jika seseorang menilai pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang mengancam (misalnya dipandang sebagai peristiwa negatif yang tidak dapat diatasi), hal itu membuat orang tersebut bertindak secara maladaptif yang mempertahankan fear-avoidance cycle dan meningkatkan disabilitas (Vlaeyen dan Linton, 2000 dalam Asmundson dan Wright, 2004). Secara empirik, Vlaeyen dan Linton (2000) mempublikasikan review yang menunjukkan penemuan-penemuan yang terus bertambah yang membenarkan postulat dari model fear-avoidance (Asmundson dan Wright, 2004).Berdasarkan urain tersebut maka diharapkan penanganan nyeri tidak lagi hanya berfokus pada aspek fisiologis namun perlu juga aspek psikologis pasien. Salah satu bentuk treatment nya adalah menggunakan pendekatan cognitive behavioral. Terapi ini merupakan kombinasi integrase dari treatment yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh dari faktor-faktor yang mempertahankan tingkah lau, belief, dan pola pemikiran yang maladaptive (Eccleston, 2001). Terapi dengan pendekatan ini didesain untuk membantu para pasien mengenali, mengevaluasi, dan memperbaiki konseptualisasi yang maladaptive dan belief yang disfungsional mengenai diri mereka sendiri dan kesulitan yang dihadapi. Terapi sindroma nyeri akutPengobatan nyeri merupakan subspesialis dari anestesiologi, neurologis, psikiatrik, juga sebagai pengobatan fisik dan rehabilitasi. Bidang ini fokus kepada penanganan pasien dengan kedua nyeri akut dan kronis yang diakibatkan dari fisiologi, struktural dan patologi psikologikal. Terapi sindroma nyeri akut ditujukan langsung pada penyebab yang mendasari nyeri dan melibatkan penggunaan obat-obat yang meredakan gejala untuk waktu yang singkat. Tujuannya adalah untuk meringankan impuls nyeri selama periode penyembuhan luka jaringan.Nyeri ditangani dengan menggunakan pendekatan multimodal, berarti metode penanganan multipel dapat dikombinasikan untuk memberi analgesia, dengan harapan dapat mengurangi nyeri dan penggunaan opiod. Penanganan nyeri akut dapat selalu dimulai sebelum memulai operasi. Pada periode perioperatif, preemptive analgesia digunakan untuk menurunkan atau menghentikan input nosiseptif. Obat-obatan anti inflamasi non-steroid ( OAINs), seperti celecoxib (PO) , ketorolac (IV), dan ibuprofen (PO) atau asetamninofen dapat digunakan sebagai perioperatif dalam kombinasi dengan medikasi yang lain seperti gabapentin untuk mencegah sensitasi sentral. Kelebihan utama celecoxib dan inhibitor siklooksigenasi-2 (COX-2) yang lain terhadap OAINs yang lain termasuk penurunan risiko perdarahan gastrointestinal, tetapi kejadian sebaliknya seperti infark miokardium, stroke , reaksi alergi terhadap sulfa, dan jaringan renal dapat terlihat dengan penggunaan inhibitor COX-2.Prototipe dari nyeri akut adalahnyeri pascabedah. Analgesia balansmerupakanteknikpenaganan nyeri pasca bedahyang sangat ideal dan efektif sebab dapatmenghasilkanpain freedanstress free.Analgesia balansadalah suatu teknik pengelolaannyeri pascabedah yang menggunakan pendekatanmultimodaldi mana, mekanisme nyeri dihambat atauditekan pada setiap tahap pada proses nosisepsi(transduksi, transmisi dan modulasi). Jadi nyeridihambat pada tiga tempat secara bersamaan,sehingga terjadi hambatan yang bersifat sinergik.Kecemasan pra operasi telah terbukti berhubungan dengan intensitas nyeri yang lebih tinggi dalam pertama jam setelah berbagai operasi yang berbeda (Kalkman et al, 2003 Kelas IV), termasuk bypass arteri koroner (Nelson et al, 1998 Kelas IV), ginekologi (Hsu et al, 2005 Kelas IV; Carr et al, 2006 Kelas IV) dan operasi varises vena (Terry dkk, 2007 Kelas IV), dan setelah laparoskopi ligasi tuba (Rudin et al, 2008 Kelas IV).Kecemasan sebelum operasi juga dikaitkan dengan peningkatan nyeri dan penurunan fungsi 1 tahun setelah penggantian lutut total (Brander et al, 2003 kelas IV), tapi tidak 5 tahun setelah operasi (Brander et al, 2007 kelas IV). Demikian pula, tekanan psikologis pra operasi ditunjukkan untuk memprediksi sakit sampai 2 tahun setelah artroplasti lutut (Lingard & Riddle 2007 kelas IV). Nyeri 2-30 hari setelah operasi payudara juga diprediksi oleh kecemasan pra operasi (Katz et al, 2005 Kelas IV).Setelah operasi caesar elektif, kecemasan pra operasi tidak memprediksi penggunaan analgesik, tapi berhubungan negatif dengan kepuasan ibu dan kecepatan pemulihan (Hobson et al, 2006 Kelas IV). Pada pasien yang menjalani perbaikan ligamen anterior, orang-orang dengan Skor Catastrophising Skala (PCS) yang tinggi, dinilai sebelum operasi, dilaporkan lebih sakit segera setelah operasi dan saat berjalan pada 24 jam dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah, namun tidak ada perbedaan dalam konsumsi analgesik (Pavlin et al, 2005 Kelas IV). Setelah operasi payudara, catastrophising dikaitkan dengan peningkatan intensitas nyeri dan penggunaan analgesik (Jacobsen & Butler, 1996 Kelas IV) dan dengan skor nyeri yang lebih tinggi setelah operasi perut (Granot & Ferber, 2005 kelas IV) dan operasi caesar (Strulov et al, 2007 kelas IV). PCS skor pra operasi juga diprediksi rasa sakit setelah artroplasti lutut pada hari kedua pasca operasi (Roth et al, 2007 Tingkat IV) dan pada 6 minggu (Sullivan et al, 2009 Tingkat IV) dan 2 tahun setelah operasi (Forsythe et al, 2008 Tingkat IV).PREEMPTIVE AND PREVENTIVE ANALGESIADalam studi laboratorium, administrasi analgesik sebelum stimulus nyeri akut lebih efektif dibanding analgesik yang diberikan setelah stimulus. Hal ini menyebabkan hipotesis bahwa nyeri sebelum operasi dapat meningkatkan manajemen nyeri pasca operasi - yaitu, 'pre-emptive analgesia pra operasi' (Wall, 1988). Namun, penelitian klinis individu telah melaporkan hasil yang bertentangan ketika membandingkan 'preincisional' dengan 'postincisional' intervensi. Pada bagian ini berkaitan dengan variabilitas dalam definisi, kekurangan dalam desain uji klinis dan perbedaan dalam hasil yang tersedia untuk laboratorium dan klinis peneliti (Kissin, 1994; Katz & McCartney, 2002).

Preemptive analgesia juga bisa didapatkan melalui tehnik neuraksial dan regional, seperti blok perifer saraf femoral, dan pleksus brakhialis. Pada pasien dengan nyeri sedang dan berat, analgesik opiod seperti hidromorfon atau morfin dapat digunakan pada kombinasi dengan asetaminofen atau OAINs sebagai analgesia. Ahli bedah dapat membantu dengan menyiapkan pereda nyeri melalui infliltrasi anestetik local seperti lidokain atau bupivakain pada daerah operasi.Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi obat secara oral setelah operasi, pasien dapat menggunakan patient controlled analgesia (PCA) sebagai medikasi nyeri dengan memencet tombol yang menyalurkan obat melalui jalur intravena atau kateter epidural. Alat ini membolehkan pasien mendapatkan jumlah obat nyeri yang ditentukan sebelumnya dengan interval waktu yang spesifik. Terdapat periode lockout dimana pasien dapat mencoba mendapatkan obat nyeri, namun, tidak akan diberikan untuk mencegah dosis berlebihan obat nyeri opiod. Kadar secara kontinu (basal) juga dapat ditambahkan untuk menyediakan kadar analgesia tanpa pasien perlu mendapatkan pengobatan.Saat penilaian nyeri postoperatif , skala numerik verbal selalu digunakan. Biasanya skala berkisar dari 0 hingga 10 dengan o mewakili tanpa nyeri dan 10 menwakili nyeri yang sangat hebat. Descriptor nyeri kualitatif penting untuk menilai lokasi, penyebaran dan kualitas nyeri ( tajam atau tumpul) .Manfaat analgesia preemptive telah diinterogasi oleh dua tinjauan sistematis (Dahl & Moiniche, 2004; Moiniche et al, 2002). Namun meta-analisis yang lebih baru yang disediakan dukungan untuk pre-emptive analgesia epidural (Ong et al, 2005 Klas I 1). Khasiat yang berbeda preemptive intervensi analgesik (analgesia epidural, anestesi lokal infiltrasi luka,antagonis NMDA sistemik, opioid sistemik, dan sistemik NSAID) dianalisis dalam kaitannya untuk hasil analgesik yang berbeda (skor intensitas nyeri, konsumsi analgesik tambahan, waktu untuk analgesik pertama). Efek pre-emptive lokal infiltrasi luka anestesi dan administrasi NSAID juga ditemukan, tetapi hasilnya samar-samar untuk antagonis NMDA sistemik dan tidak ada bukti yang jelas untuk pre-emptive efek opioid.Pre-emptive thoracic analgesia epidural (pembiusan lokal +/- opioid) mengurangi keparahan nyeri akut hanya pada batuk torakotomi berikut. Ada efek marjinal pada rasa sakit di beristirahat dan, meskipun nyeri akut adalah prediktor dari sakit kronis pada 6 bulan dalam dua studi, ada adalah tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian sakit kronis di pre-emptive (analgesia epidural dimulai sebelum operasi) dibandingkan kontrol (analgesia epidural dimulai setelah operasi) - 39,6% vs 48,6% (Bong et al, 2006, Kelas I).

Sebagai aktivasi reseptor NMDA memainkan peran penting dalam sensitisasi sentral, banyak penelitian telah difokuskan pada kemampuan antagonis reseptor NMDA untuk menghasilkan pre-emptive atau efek analgesik preventif. Sebuah tinjauan sistematis kualitatif antagonis reseptor NMDA menunjukkan bahwa ketamin dan dekstrometorfan menghasilkan analgesik pencegahan yang signifikan manfaat; manfaat analgesik langsung obat juga terjadi pada periode pasca operasi dini; tidak ada efek positif terlihat di empat penelitian menggunakan magnesium (McCartney et al, 2004 Kelas I). Penambahan dosis rendah IV ketamin ke epidural thoraks analgesia mengurangi keparahan dan kebutuhan pengobatan nyeri pasca-torakotomi pada 1 dan 3 bulan pasca operasi (Suzuki et al, 2006 Kelas II). Namun, dalam studi selanjutnya, pemberian dosis tunggal ropivacaine intrapleural dan analgesia intravena dikombinasikan dengan baik ketamin perioperatif atau garam, tidak ada perbedaan dalam rasa sakit kronis hingga 4 bulan tercatat (Duale et al, 2009 Kelas II).Dalam sebuah studi dari analgesia multimodal (anestesi lokal, opioid, ketamine, dan clonidine) dalam empat kelompok pasien yang memiliki reseksi kolon, efek pencegahan yang jelas tentang pengembangan dari sisa nyeri hingga 1 tahun setelah operasi ditunjukkan dengan perioperatif terus menerus analgesia epidural; nyeri sisa pada 1 tahun terendah pada pasien yang menerima intraoperative dibandingkan pasca operasi analgesia epidural (Lavand'homme et al, 2005 kelas II).REHABILITASI DAN OPERASI FAST TRACKMengingat berbagai pemicu respon cedera, termasuk nosisepsi akut dan nyeri, tidak mengherankan bahwa upaya awal untuk memodifikasi katabolisme respon cedera, dengan penghilang rasa sakit saja, tidak berhasil. Setelah operasi perut, analgesia epidural tanpa dukungan nutrisi itu tidak berpengaruh pada katabolisme protein dan hasil terkait (Hjortso et al, 1985 Level II). Meminimalkan dampak puasa perioperatif dengan infus asam amino IV menurun pasca operasi katabolisme protein setelah operasi kolorektal (Schricker et al, 2008Tingkat III-2; Donatelli et al, 2006 Tingkat III-2).Analgesia epidural, yang ditujukan untuk daerah segmen tulang belakang operasi dan terdiri dari dosis rendah anestesi lokal dan opioid, mobilisasi difasilitasi dan asupan makanan dipercepat seperti Program diizinkan kembali pasca operasi lebih cepat respon cardiopulmonary normal Latihan treadmill dan memfasilitasi kembalinya kapasitas latihan keseluruhan 6 minggu setelah operasi (Basse et al, 2002 Tingkat III-2; Carli et al, 2002 Tingkat II).Hal ini dapat dilihat dari sebelumnya bahwa strategi multi-intervensi dan rehabilitasi diperlukan, termasuk nyeri yang sangat efektif, jika hasil optimal yang akan dicapai, seperti diuraikan dalam prosedur spesifik rekomendasi dari kelompok PROSPEK (Kehlet et al, 2007). Rehabilitasi pasca operasi harus mencakup farmakologi, fisik, psikologis dan komponen gizi.Penjelasan pentingnya faktor di atas telah menyebabkan konsep operasi 'jalur cepat' (Wilmore & Kehlet, 2001; Putih et al, 2007). Hal ini telah memberikan peningkatan recovery terkemuka menurun tinggal di rumah sakit dengan penurunan nyata dalam morbiditas medis (Kehlet & Wilmore, 2008). Misalnya, operasi 'jalur cepat' kolorektal telah menyebabkan penurunan lama rawat inap di rumah sakit (Delaney et al, 2003 Tingkat II; Jakobsen et al, 2006 Tingkat III-2; Angin et al, 2006 Tingkat III-1; Khoo et al, 2007 Level II). Sebuah sistem jalur cepat juga memungkinkan debit awal (kurang dari 3 hari) setelah total pinggul dan lutut artroplasti, meskipun setelah artroplasti total lutut, nyeri pada 10 hari setelah debit masih signifikan (52% dari pasien dengan nyeri sedang dan 16% dengan rasa sakit yang parah) menunjukkan kebutuhan untuk meningkatkan analgesia postdischarge (Andersen et al,2009 Tingkat III-3).

F. EFEK PSIKOLOGIS YANG MERUGIKANPerubahan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut telah kurang mendapat perhatian dari yang terkait dengan nyeri kronis, namun mereka tidak kalah penting. Nyeri akut berkelanjutan, seperti yang terjadi setelah operasi, trauma atau luka bakar, juga dapat memiliki pengaruh besar pada fungsi psikologis, yang pada gilirannya mengubah persepsi nyeri. Kegagalan untuk meredakan nyeri akut dapat mengakibatkan peningkatan kecemasan, ketidakmampuan untuk tidur, demoralisasi, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, ketidakmampuan untuk berpikir dan berinteraksi dengan orang lain - dalam situasi yang paling ekstrim, di mana pasien tidak bisa lagi berkomunikasi, secara efektif mereka telah kehilangan otonomi mereka (Cousinset al, 2004). Dalam beberapa bentuk nyeri akut (misalnya nyeri punggung rendah), psikologis dan lingkungantanggapan pada fase akut mungkin penentu utama kemajuan ke fase persisten (Young Casey dkk, 2008).Pada nyeri akut, perhatian telah difokuskan pada disfungsi kognitif pasca operasi (POCD). Meskipun etiologi POCD tidak diketahui, faktor mungkin termasuk disregulasi serebral neurotransmiter, faktor pasien (usia, komorbiditas, fungsi kognitif pra operasi dan kesehatan umum) (Newman et al, 2007; Monk et al, 2008), prosedur bedah (misalnya coroner bypass arteri) dan terapi obat perioperatif (Flacker & Lipsitz, 1999). Lansia pasien memiliki peningkatan insiden POCD dan lebih mungkin untuk memiliki gejala berkepanjangan. Neurotransmiter yang terlibat mungkin termasuk asetilkolin dan serotonin dan mediator inflamasi (sitokin misalnya) juga dapat berkontribusi, terutama pada orang tua (Caza et al, 2008). POCD setelah operasi jantung mungkin juga karena sebagian microembolism otak, dunia hipoperfusi serebral, gangguan suhu otak, edema serebral, dan mungkin darah-otak disfungsi barrier (Flacker & Lipsitz, 1999; Gao et al, 2005).METABOLISME OBAT-OBAT ANALGETIKObat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non steroid) berkerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan opioid, bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.1. ACETAMINOPHEN (PARACETAMOL)Acetaminophen dan zat metabolik sebelumnya, phenacetin, menghasilkan efek analgesia melalui inhibisi dari siklooksigenase (COX), enzim yang membatasi laju sintesis prostaglandin. Acetaminophen adalah salah satu obat analgesik/antipiretik yang paling populer di dunia. Meskipun telah digunakan lama dan popular, acetaminophen tidak memiliki mekanisme kerja yang jelas.Flower dan Vane menunjukkan bahwa acetaminophen menghambat aktivitas COX dalam otak anjing. Walapun dua enzim COX diketahui, tidak ada isoenzim yang sensitif terhadap acetaminophen pada konsentrasi terapeutik. Telah dikemukakan bahwa terdapat COX-3 yang secara selektif dihambat oleh acetaminophen. Juga telah diusulkan bahwa acetaminophen mungkin menghambat aktivitas COX-2 dengan mengurangi enzim dalam bentuk aktif yang teroksidasi menjadi bentuk inaktif. Mekanisme ketiga juga telah dikemukakan. Data eksperimental mengemukakan bahwa antinosisepsi paracetamol melibatkan opioid sistem saraf pusat. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar dinorfin pada korteks frontal yang dicegah dengan antagonis reseptor k dan bahwa aktivitas analgesik acetaminophen secara parsial tergantung pada pelepasan dinorfin. Penemuan terbaru bahwa paracetamol bekerja sebagai prodrug ( pemberi separuh cannabinomimetik endogenous) dengan memicu reseptor cannabinoid-1 (CB-1) yang mengaktifkan sistem cannabinoid menjelaskan efek-efek aneh dari obat ini.Keuntungan utama acetaminophen adalah relatif aman jika dibandingkan dengan obat anti inflamasi lainnya. Karena bersifat non asam dan memiliki afinitas yang rendah terhadap protein plasma, obat ini memiliki sedikit efek yang tidak diinginkan dan tidak terakumulasi pada sistem gastrointestinal, renal, dan hemopoetik pada dosis terapeutik. Obat ini dapat diberikan secara enteral dan, baru-baru ini, dalam bentuk parenteral. Bentuk parenteral adalah prodrug dari acetaminophen. Berkaitan dengan profil obat ini, obat ini dapat digunakan pada pediatrik dan orang dewasa tanpa banyak kekuatiran, walaupun, dosis harus disesuaikan dengan berat badan untuk mencapai efektivitas yang dapat dipercaya. Obat ini sangat berguna sebagai adjuvan dalam penanganan nyeri akut.Paracetamol telah ditunjukkan efektif pada penanganan nyeri sedang yang berhubungan degnan prosedur bedah minor. Suatu metaanalisis baru-baru ini menyimpulkan bahwa dosis tunggal paracetamol oral efektif untuk penanganan nyeri akut postoperatif sedang hingga berat dan dengan demikian mungkin efisien dalam trauma minor. Paracetamol harus dipertimbangkan sebagai alternatif aman dari obat antiinflamasi non steroid (OAINS) untuk menghilangkan nyeri ringan hingga sedang pada usia lanjut dan pada pasien dengan penyakit ginjal, hipertensi, dan gagal jantung kongestif.Pemberian secara IV adalah pilihan rutin jika pemberian secara oral tidak memungkinkan atau ketik analgesia yang cepat dibutuhkan selesai operasi. Sediaan dalam bentuk IV (propacetamol) sekarang tersedia di banyak negara. IV propacetamol, diberikan dengan infus selama 15 menit adalah obat analgesik kerja cepat dan lebih efektif dalam hal mula kerja analgesia dibandingkan sediaan oral. Dosis yang direkomendasikan untuk injeksi intravena propacetamol adalah 1 gram, walaupun dari aspek farmakokinetik dan farmakodinamik, efek analgesia yang lebih baik bisa didapatkan dengan dosis permulaan 2 gram.Acetaminophen penting sebagai adjuvan analgesia opioid karena acetaminophen menurunkan penggunaan jumlah opioid dan efek samping dari opioid pada pembedahan dan instalasi rawat darurat.Perlu diingat bahwa acetaminophen memilik efek tertinggi pada dosis oral 1 gram dan mungkin pada dosis IV 5 mg/kg, peningkatan dosis lebih lanjut tidak meningkatkan efek analgesik. Bagaimanapun, dokter harus waspada dengan paracetamol yang merupakan salah satu etiologi yang mungkin dari hepatotoksisitas, karena telah dilaporkan beberapa kasus mengenai toksisitas acetaminophen pada dosis terapeutik. Direkomendasikan bahwa dosis total per hari dikurangi menjadi 2 gram pada pasien malnutrisi, khususnya pada periode puasa baru-baru ini, bahkan jika tidak ada riwayat penggunaan alkohol dalam jangka panjang atau paparan terhadap sitokrom P-450 yang disebabkan oleh obat.Paracetamol memiliki kerugian harus diberikan 4 kali per hari untuk memelihara tingkat serum terapeutik. Perkenalan baru-baru ini dari sustained-release paracetamol mengurangi pemberian paracetamol menjadi 3 kali per hari.Acetaminophen dalam sediaan suppositoria rektal juga tersedia. Bagaimanapun, ada variasi yang luas tentang bioavaibilitas dalam pemberian secara rektal. Penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan untuk loading dose yang lebih tinggi (40 mg/kg) untuk mencapai target konsentrasi plasma 10 mg/L setelah pemberian secara rektal. Pemberian obat ini secara rektal dikontraindikasikan pada pasien neutropenia (faktor risiko sepsis) dan pada pasien dengan kondisi ulseratif atau inflamasi akut pada rektum atau anus. Meskipun bioavaibilitas tidak menentu, pemberian secara rektal terutama menarik digunakan pada anak-anak yang mungkin tidak kooperatif, memiliki akses ke vena yang jelek, memiliki pengosongan lambung yang terlambat atau tidak menentu, atau tidak dapat dimasukkan secara oral akibat trauma.

2. OPIOIDOpioid merupakan dasar penanganan nyeri akut selama berabad-abad. Obat ini merupakan obat lini pertama yang digunakan untuk analgesia pada situasi trauma.Efek analgesik yang poten berhubungan dengan mekanisme kerja pada reseptor opioid. Reseptor opioid ada dimana-mana. Ada peningkatan ekspresi pada daerah perifer setelah luka. Reseptor ini hadir pada lokasi yang berbeda-beda dalam sistem saraf pusat, vas deferens, saraf spinalis, traktus gastrointestinal, paru-paru, dan sinovium. Ada reseptor sentral dan perifer, walaupun efek pada reseptor perifer belum jelas. Opioid dipikirkan bekerja dalam berbagai cara mulai dari hiperpolarisasi membran hingga voltage-gated ion channel untuk memberikan supresi pada adenil-siklase yang diperantarai G-protein. Reseptor ini diklasifikasikan sebagai mu (u), kappa (k), delta (), dan epsilon () tergantung pada agonis yang berhubungan dengan reseptor ini. Reseptor yang umum adalah u dan k. Reseptor ini juga dihubungkan dengan beberapa efek samping yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, sedasi, dan depresi pernapasan. Opiat juga telah diklasifikasikan sebagai agonis murni dan parsial dan antagonis parsial, bergantung pada afinitas terhadap reseptor ini yang menghasilkan efek samping yang berbeda.Pada umumnya, opioid dipikirkan dapat mengurangi respon afektif terhadap nosisepsi. Obat ini juga menganggu respon fisik terhadap nyeri. Pasien mungkin masih tetap dapat merasakan nyeri tetapi mereka mengatakan bahwa mereka nyaman.Opioid secara nyata menurunkan skor nyeri, khususnya pada trauma thoraks, walaupun dengan efek samping yang berarti. Opioid sistemik kontinyu yang dititrasi dengan hati-hati menjadi penanganan nyeri paling umum yang diaplikasikan entah dengan memperbaiki dosis atau dengan teknik patient controlled analgesia (PCA). Opioid neuraksial, khususnya opioid epidural, menawatkan metode yang relatif aman dalam menyediakan analgesia yang baik seperti yang ditunjukkan dalam penelitian penanganan nyeri postoperatif pada trauma thoraks. Opiat neuraksial menyediakan analgesia yang hebat dalam dosis yang kecil. Jadi, opioid masih tetap merupakan analgesia utama dalam trauma. Tetapi bagaimanapun, telah terjadi beberapa perubahan pada bagaimana obat ini digunakan, diresepkan, dan diberikan.Opioid dapat diberikan melalui beberapa jalur, membuat obat ini menjadi serbaguna dalam aplikasi klinis. Rute pemberian tradisional yang telah diketahui mencakup oral, subkutan, intramuskular, intravena, intratekal, dan epidural, sementara nasal, transmukosal, buccal, transdermal, inhalan, intraartikular, serta injeksi lokal pada luka adalah rute alternatif yang masih diteliti.Pemberian secara transmukosal memiliki kelebihan yaitu menghindari metabolism first pass sehingga memiliki onset kerja yang lebih cepat. Sediaan slow-released terutama digunakan pada penanganan nyeri pada periode yang lama setelah trauma.Fulda dkk mempelajari mengenai morfin yang diberikan melalui nebulisasi dan menemukan bahwa obat ini dapat digunakan secara aman dan efektif untuk mengontrol nyeri thoraks post trauma dan obat ini meemberikan pereda nyeri yang setara dengan efek sedative yang kecil jika dibandingkan dengan morfin IV. Inhalasi aerosolized liposome-encapsulated fentanyl sedang diteliti dan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Patient-controlled transdermal system (IONSYS), OrthoMcNeil Pharmaceutical, Inc., Raritan, NJ) dengan fentanil menggunakan arus langusung yang tidak kelihatan yang memiliki intensitas rendah untuk melakukan perpindahan fentanil sesuai keinginan melewati kulit menuju sirkulasi sistemik. Alat ini dapat diaplikasikan pada lengan atas atau dada pasien dan didesain untuk menangani nyeri sedang hingga nyeri hebat yang memerlukan analgesia opioid. Sementara fentanil dalam sediaan patch efektif sebagai pereda rasa nyeri jangka panjang, peranannya dalam penanganan nyeri akut terbatas karena memerlukan waktu 24 jam untuk mencapai efek yang maksimal.Infiltrasi luka dengan morfin dapat mengurangi insidens baik nyeri sedang maupun nyeri kronik setelah operasi. Pemberian morfin perifer dapat menghambat pelepasan neuropeptida proinflamasi pada jaringan-jaringan perifer. Reuben dkk menunjukkan bahwa hal ini berhubungan skor nyeri yang lebih kecil, penurunan penggunaan morfin dalam 24 jam, dan menurunkan insidens nyeri pada daerah krista iliaka yang dilakukan graft tulang 1 tahun setelah operasi penggabungan tulang dengan teknik spinal. Seluruh 3 reseptor opioid telah ditunjukkan berada pada ujung saraf perifer dan bertanggung jawab dalam mediasi antinosisepsi perifer. Infiltrasi opioid periartikular sendiri atau sebagai bagian dari regimen obat injeksi multimodal telah memperlihatkan analgesia yang berarti, mengurangi kebutuhan PCA, dan meningkatkan kepuasan pasien.

Karena PCA memerlukan akses intravena, beberapa rute nontradisional mungkin berguna terutama pada populasi pediatrik.Efek samping yang tidak diinginkan dari opioid mencakup sedasi, gangguan sensoris, dan disfungsi kognitif yang dapat menyebabkan pemantauan sistem saraf pusat menjadi susah. Depresi pernapasan dan hipoksia yang ditimbulkan mungkin menggambarkan hipoksia yang disebabkan trauma paru menyeluruh. Mual dan muntah adalah efek samping yang tidak disukai pasien.Opioid telah dilibatkan pada pseduoobstruksi kolon akut atau Ogilivie syndrome, yang dapat berpotensi menimbulkan kondisi fatal yang memiliki ciri-ciri klinis dan gambaran radiologic dari obstruksi kolon tanpa ada kelainan anatomik yang menyebabkan obstruksi. Obat opioid dapat menyebabkan peningkatan frekuensi kontraksi fasik yang tidak bersifat mendorong, kontraksi propulsif yang berpindah-pindah, menaikkan reabsorpsi air, sehingga meningkatkan durasi ileus postoperatif. Hal ini dikombinasikan dengan insufisiensi vaskular sebelumnya, yang dapat menyebabkan iskemia dan distensi kolon (pemicu Ogilivie syndrome). Pengurangan faktor predisposisi, perawatan usus yang baik, diet oral dini, mobilisasi dini, hidrasi yang bagus, dan rotasi penggunaa opioid sangat penting dalam mencegah pseudoobstruksi kolon akut. Deteksi dini dan terapi agresif penting.3. OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID (OAINS)OAINS nonselektif adalah inhibitor COX yang kuat dan merupakan terapi lini pertama pada kondisi nyeri yang yang sangat hebat. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin pada sebagian besar daerah perifer dan juga pada sistem saraf pusat (gambar 34.1). Ada beberapa kategori enzim COX. Beberapa mencakup fungsi fisiologik tubuh ketika yang lain dikeluarkan pada permulaan terjadinya luka. Obat yang menghambat enzim jenis ini memegang peranan penting dalam penanganan nyeri. Obat ini efektif pada penanganan nyeri sedang hingga nyeri hebat. Kekurangan utama dari penghambat COX adalah efek pada sistem gastrointestinal, renal, dan fungsi platelet yang berhubungan dengan sifat asam dan ikatan protein plasma yang tinggi. Obat ini juga menghambat proses penyembuhan luka dan fusi tulang, oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi.Penghambat selektif COX-2 (coxib) memberikan keuntungan berupa pereda nyeri dari OAINS nonselektif tetapi dengan efek samping pada gastrointestinal yang lebih kecil. Telah dikemukakan bahwa nyeri postoperatif menjadi lebih baik dengan mencegah perkembangan sensitisasi sentral. Sebagai tambahan selektivitas dari isoenzim COX-2. Perbedaan unik diantara coxib, seperti waktu paruh plasma, mungkin memberi keuntungan klinis tertentu.Samad dkk telah menunjukkan bahwa pengaturan COX-2 yang penting pada parenkim sistem saraf pusat sebagai respons terhadap nyeri inflamasi akut pada bagian perifer. Peningkatan sintesis prostaglandin diketahui meningkatkan eksitabilitas neuronal dan mungkin memegang peranan pada remodeling sistem saraf pusat.Rofecoxib, lumaricoxib, dan celexocib semuanya adalah penghambat COX-2 selektif yang telah diteliti. Pada manusia, plasma dari rofecoxib memasuki cairan likuor serebrospinalis dengan rasio konsentrasi plasma / likuor serebrospinalis hampir mencapai 15%. Penemuan ini menyatakan bahwa rofecoxib mampu melakukan penetrasi dan mungkin mengurangi respons sistem saraf pusat untuk mensintesis prostaglandin E2 (PGE2) secara lokal. Sayangnya, obat ini telah ditarik dari pasaran. Sediaan lumaricoxib yang tersedia sekarang kelihatannya memperlihatkan keamanan terhadap sistem gastrointestinal dibandingkan OAINS nonselektif.Coxib dapat bersifat sinergis dengan acetaminophen dalam pereda rasa nyeri. Efek rofecoxib dan celexocib sendirian dan kombinasi dengan acetaminophen dibandingkan dan ditemukan bahwa rofecoxib dan celecoxib dengan kombinasi acetaminophen menghasilkan penurunan berarti pada penggunaan fentanil dan peningkatan bermakna pada kepuasan pasien.

Gambar 34.1. OAINS, Obat Anti Inflamasi Non Steroid; COX, siklooksigenase; PLA2, phospolipase A2; PG, Prostaglandin; TXA, Tromboksan A2.4. CELECOXIB Perhatian mengenai penggunaan coxib dan efeknya pada penyembuhan tulang dan luka telah diungkapkan. Kebanyakan berdasarkan penelitian pada OAINS nonselektif pada model hewan. Reuben dan Connelly membandingkan rofecoxib dan celecoxib dengan placebo untuk menentukan efek postoperatif pada patient-controlled analgesia (PCA) morfin dan skor nyeri ketika diberikan tepat sebelum operasi penyatuan spinal. Mereka tidak menemukan perbedaan pada angka penyatuan diantara rofecoxib, celecoxib, dan placebo pada percobaan. Berbagai model eksperimental perbaikan tulang, ligamentum, dan tendon telah mendapatkan efek penghambat COX selektif dan nonselektif pada hewan dengan spesies yang sama dan spesies yang berbeda, yang membatasi perkiraan data hewan pada manusia. Telah ditunjukkan bahwa pada model tikus yang yang mendapatkan OAINS yang menjalani operasi perbaikan rotator cuff secara nyata menghambat penyembuhan tulang hingga tendon. Bagaimanapun, hasil ini perlu diverifikasi pada hewan yang lebih besar seperti pada model manusia sebelum menyatakan suatu kesimpulan.5. ANASTESI LOKALObat anestesi lokal bekerja dengan memberikan blokade yang reversibel reversibel terhadap saluran sodium dalam sel saraf. Obat ini menyebabkan hiperpolarisasi dari sel saraf dan mencegah transmisi impuls. Terdapat beragam obat anestesi lokal yang tersedia dengan aksi kerja yang singkat, aksi kerja lama, maupun dengan onset yang sangat cepat. Jalur tersering dari pemberian obat anestesi lokal adalah melalui perifer dan neuraksial. Lidokain intravena telah ditemukan memiliki efek preventif terhadap nyeri post operatif, mengurangi nyeri post-amputasi, dan nyeri visceral, sebaik mengontrol nyeri post-operatif akut yang tidak berkurang. Pemberian sistemik dari lidokain telah digunakan untuk mengurangi nyeri neuropatik baik pada daerah luka maupun pada daerah dibawahnya (bekerja sentral melalui blok saluran sodium). Keamanan penggunaan lidokain intravena untuk analgesia jauh dari yang diyakini dari penelitian kecil yang tersedia dan terdapat kemungkinan akumulasi dari lidokain dalam darah selama periode pemberian infus meskipun hanya dalam dosis kecil. Lidokain intravena merupakan metode yang sederhana dan tidak mahal untuk mendapatkan beberapa kentungan yang serupa dengan teknik yang lebih mahal dan invasif, namun kami kekurangan penelitian untuk menunjukkan keamanan dan efisiensi penggunaannya dalam situasi trauma. Obat anestesi lokal sangat bermanfaat dalam perawatan luka bakar dimana penggunaan topikal telah dibuktikan efektif untuk luka bakar superfisial. Obat anestesi topikal yang biasa digunakan membutuhkan waktu 30-60 menit untuk memberikan efek anestesi. Lidokain dosis rendah dengan sistem iontophoresis sedang dievaluasi sebagai obat anestesi onset cepat (10 menit) dalam dosis rendah. Terdapat beberapa laporan tentang toksisitas obat anestesi lokal, terutama pada anak, yang diobservasi pada pemberian topikal melalui membran mukosa. 6. ANALGESIA MULTIMODALAnalgesia multimodal adalah suatu konsep menggunakan dua atau lebih agen obat pada siklus nyeri. Dosis cukup tinggi pada suatu individu akan menghasilkan hasil yang bagus, tetapi pendekatan multimodal dapat memaksimalkan keuntungan sementara meminimalkan efek samping dengan menggunakan obat yang bekerja secara sinergis.Karena nyeri bervariasi dalam intensitas dan durasi berdasarkan derajat kerusakan tulang atau jaringan lunak, kebutuhan fisioterapi, kebutuhan rawat inap, kondisi penyerta, dan batas ambang nyeri individu, tidak dapat diberikan resep tunggal untuk mengontrol nyeri. Panduan prinsip adalah obat-obat yang seimbang yang dapat menghasilakn kontrol nyeri yang optimal. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan aspek positif pengobatan dan membatasi efek samping. Pada strategi ini, coxib dapat digunakan untuk menurunkan sensitisasi perifer dan sentral, anestesi lokal dan opioid dapat digunakan selama dan segera setelah prosedur operasi, dan obat seperti ketamin dapat dikenalkan sebagai antagonis reseptor NMDA untuk meminimalisasi sensitisasi sentral. Hal ini menyebabkan tambahan analgesia atau analgesia yang sinergis denan kontrol nyeri yang lebih bagus, menurunkan dosis total , lebih sedikit efek samping, dan mengurangi respon terhadap stres.7. ANTIDEPRESANObat antidepresan trisiklik (TCAs) memiliki sejarah panjang pada penggunaannya dalam kondisi nyeri neuropatik dan dapat mengurangi nyeri, mengurangi depresi, dan memudahkan tidur pada pasien dengan luka trauma. Antidepresan trisiklik bekerja dengan cara mencegah pengambilan neuronal kembali dari serotonin dan norepinefrin. Obat tersebut dipikirkan dapat memodulasi jalur nosispesi ke struktur dibawahnya dan mengurangi nyeri yang disebabkan karena trauma. Obat antidepresan memiliki profil farmakologi klinik yang berbeda ketika digunakan dalam manajemen nyeri, yang bertentangan dengan depresi endogen. Secara acak, beberapa uji coba yang dikontrol memberikan bukti kuat bahwa antidepresan trisiklik dapat mengobati nyeri neuropatik, dengan efek analgesik yang tidak bergantung dari efek kerja antidepresannya. Obat ini dapat memberi efek hemat opioid dan mengurangi penggunaan opioid. Hal ini dapat menguntungkan pada pasien trauma yang sangat bergantung pada narkotik. Banyak pasien dengan trauma mendapatkan stress psikologik yang hebat dan kecemasan yang dapat mempengaruhi persepsi terhadap nyeri. Kecemasan preoperasi telah digambarkan sebagai suatu faktor tunggal yang berhubungan dengan penggunaan bolus berulang kali dengan PCA; sehingga penting untuk mengontrol kecemasan pada pasien trauma. Amitriptilin dapat digunakan pada dosis rendah (dosis awal 10-25 mg). Bagaimanapun juga, onset kerja memerlukan waktu beberapa hari. Efek samping seperti efek antikolinergik dan sedasi kebanyakan bergantung pada dosis dan adanya efek samping ini akan membatasi penggunaan antidepresan. Antidepresan menunjukkan beberapa mekanisme farmakologik, mencakup modulasi serotonin dan norepinefrin, efek langsung maupun tidak langsung terhadap reseptor opioid, menghambat reseptor histamin, kolinergik dan NMDA, menghambat aktivitas saluran ion. Meskipun tidak jelas mekanisme mana yang menyebabkan analgesia dan seberapa luas penyebarannya, tersedianya data percobaan terhadap hewan dan uji klinis menunjukkan bahwa antidepresan efektif dalam mengatasi banyak tipe nyeri. Obat-obat ini dapat diberikan secara oral dan memiliki penggunaan yang terbatas pada situasi trauma akut, disamping itu sangat bermanfaat sebagai adjuvan pada manajemen nyeri post trauma. Beberapa antidepresan trisiklik dapat menyebabkan interval QT memanjang, aritmia, ileus paralitik, dan sindrom Ogilvies. Obat penghambat reuptake serotonin-noradrenalin lebih aman digunakan digunakan dibandingkan antidepresan trisiklik dan merupakan pilihan yang lebih baik pada pasien dengan penyakit jantung. Obat tersebut diyakini lebih efektif untuk nyeri akibat neuropati. Bagaimanapun juga, efek sampingnya (agitasi, gangguan gastrointestinal, dan hipertensi) harus tetap dipikirkan.

8. ANTIKONVULSANBeragam antikonvulsan telah dicoba dalam menangani nyeri, terutama nyeri neuropatik. Antikonvulsan bekerja dengan menyebabkan hiperpolarisasi dan menurunkan kerja neuronal spontan pada sistem saraf pusat. Hingga sekarang, antikonvulsan tidak dipikirkan untuk digunakan pada keadaan akut. Bagaimanapun juga, serupa dengan trauma sel saraf, trauma pada jaringan diketahui dapat menyebabkan perubahan neuroplastik, yang menyebabkan sensitisasi spinal dan menimbulkan ekspresi hiperalgesia yang dibangkitkan oleh stimulus dan allodinia. Efek farmakologik dari obat antikonvulsan yang mungkin penting dalam modulasi perubahan sel saraf mencakup supresi dari saluran sodium, kalsium, dan aktivitas reseptor glutamat pada daerah perifer, spinal, dan supraspinal. Meskipun beberapa obat antikonvulsan merangsang neurotransmitter inhibisi gamma-amino-butyric acid (GABA) yang berperan dalam modulasi nyeri, efek analgesik dari antikonvulsan GABA-ergik seperti benzodiazepin dan barbiturat belum diobservasi. Antikonvulsan gabapentin merupakan struktur yang analog dengan GABA dan berikatan dengan 2 subunit dari saluran kalsium yang bergantung pada energi listrik sehingga mencegah pelepasan neurotransmiter nosiseptif yaitu glutamat, substansi P, dan noradrenalin. Obat ini telah ditunjukkan dapat mengurangi hiperalgesia yang terjadi pada saat injeksi capsaicin. Tersedia banyak laporan tentang efektivitas gabapentin dan obat sejenisnya yaitu pregabalin. Gabapentin telah ditemukan sangat berhasil dalam menangani nyeri neuropatik dan postoperatif, serta nyeri post-traumatik. Pada trauma, obat ini dapat bermanfaat dalam mengobati atau mencegah nyeri neuropatik. Obat ini memiliki beragam efek samping namun dapat berhubungan dengan sedasi, pusing, sakit kepala, kebingungan, dan ataksia, yang sangat berhubungan dengan dosis pemberian. Induksi enzim hati rendah, sehingga meminimalkan interaksi obat yang signifikan. Analgesia preemptif dengan gabapentin ditemukan dapat menurunkan skor VAS dan penggunaan opioid. Sementara itu, efektivitas dari analgesik dari antikonvulsan yang tersedia saat ini cukup untuk mengurangi kebutuhan terhadap opioid, antikonvulsan dapat seperti NSAID yang menghasilkan efek serupa dengan opioid. Bukti yang tesedia menunjukkan bahwa antikonvulsan dapat menurunkan konsumsi opioid baik dengan menekan mekanisme toleransi atau penarikan obat. Pregabalin merupakan 2 ligand yang strukturnya berkaitan dengan gabapentin tanpa mengetahui aktivitas pada reseptor asam -aminobutirik atau benzodiazepin. Pregabalin mencegah masuknya kalsium dengan menghambat secara presinaps neurotransmiter eksitatorik, yaitu glutamat, substansi P, dan gen related peptide. Obat ini memiliki aktivitas analgesik, antikonvulsan, dan anxiolitik. Reuben et al. menunjukkan bahwa kombinasi dari pregabalin dan celecoxib lebih baik dibandingkan hanya satu jenis obat saja dalam menurunkan skor nyeri dan penggunaan morfin dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Terdapat sinergis yang kuat dari kerja kedua obat ini dengan COX2 inhibitor untuk menghasilkan analgesia yang lebih efektif. Sekarang ini, hanya terdapat sediaan oral dari obat-obatan ini. Bioavailabilitas dari gabapentin sangat bergantung pada dosis, dimana lebih tinggi pada dosis rendah. Jadi makin banyak obat yang diberikan maka sedikit yang berada dalam tubuh. Pregabalin memiliki lebih banyak hubungan efek farmakokinetik dan telah dilaporkan sebagai anxiolitik yang bagus, sebuah ciri yang dapat memainkan peran yang sangat penting dalam manajemen nyeri. Efek samping yang sangat sering timbul dengan penggunaan jangka panjang dari 2 ligand adalah pusing, somnolen, dan edema perifer. Obat-obatan ini dieleminasi melalui ginjal sehingga untuk menentukan dosis pemberian harus lebih berhati-hati terhadap fungsi ginjal / kreatinin klirens.

PENDEKATAN NONFARMAKOLOGIKDukungan psikologis adalah bagian utama dari penanganan trauma akut atau luka bakar dan juga fase rehabilitasi. Pengurangan kecemasan, pengurangan ketakutan, dan menjamin tertidur memegang peranan penting. Dalam jangka panjang, mimpi buruk dan gangguan berupa stres post traumatic merupakan hal cukup umum setelah trauma. Konseling merupakan bagian yang sangat dibutuhkan untuk meminimalkan komplikasi akibat trauma. Hipnosis, teknik relaksasi, mekanisme umpan balik, dan akupuntur dilaporkan menurunkan intensitas nyeri luka bakar.Stimulasi nervus menggunakan listrik secara transkutaneus (TENS) adalah penanganan nyeri yang berharga dan kerja cepat pada keadaan sulit di luar jangkauan pertolongan rumah sakit dan memiliki efek samping yang kurang. Telah ditunjukkan bahwa untuk mengurangi skor nyeri, kecemasan, denyut jantung, dan tekanan darah berhubungan dengan transpor setelah fraktur hip akibat trauma. Satu-satunya faktor penghambat adalah aplikasi alat yang tepat dan pasien memilik alat elektronik yang ditanamkan seperti pacemaker, defibrillator, atau stimulasi otak atau medulla spinalis.Penanganan dengan microamperage telah menunjukkan pengurangan secara nyata dalam skor nyeri dan penanda biologik untuk nyeri dan sitokin-sitokin pro inflamasi, dan juga peningkatan serum kortisol dan pelepasan endorfin beta pada fibromialgia yang berhubungan dengan trauma spinal servikal . Hal ini masih menunggu janji.SINDROMA NYERI AKUTNYERI POST OPERASIa. Resiko nyeri neuropatik post operasiNyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi sistem saraf. Nyeri neuropatik akut dapat disebabkan oleh iatrogenic, traumatic, inflamasi atau infeksi. Insidensi dilaporkan sebesar 1% hingga 3% (Hayes et al, 2002 level IV). Kebanyakan pasien mengalami nyeri persisten selama 12 bulan, yang kemungkinan merupakan resiko terjadinya nyeri kronik. Patogenesis nyeri neuropatik post operasi masih banyak dipertanyakan, setelah sternotomy sebanyak 50% pasien mengalami disestesia pada periode dini post operasi, dimana hal ini berhubungan erat dengan derajat keparahan nyeri post operasi. Hal serupa terjadi insidensi tinggi pada anggota gerak bawah akibat kerusakan pleksus lumbosacral setelah trauma pelvis.Beberapa bukti pemberian dini analgesic spesifik kemungkinan mengurangi insidensi nyeri kronik setelah operasi (contoh: thorakotomi, amputasi).b. Sindroma nyeri akut post amputasiStump pain adalah nyeri yang berlokasi pada regio yang diamputasi. Hal ini dapat bersifat akut (biasanya nyeri nosiseptik) atau kronik (biasanya neuropatik) dan biasanya periode immediate post operasi. Insidensi belum jelas namun resiko stump pain dini berhubungan dengan derajat keparahan nyeri pre amputasi.Phantom sensation adalah persepsi sensorik pada bagian tubuh yang hilang. Sensasi ini berkisar dari keragu-raguan adanya bagian tubuh melalui parestesia, termasuk sensasi mengenai ukuran, bentuk, posisi, suhu dan gerakan.Phantom limb pain didefinisikan sebagai fenomena sensorik berbahaya dalam tubuh yang hilangatau organ. Insiden diperkirakan 30% sampai 85% setelah ekstremitas diamputasi dan terjadi biasanya di bagian distal dari ekstremitas yang hilang (Jensen et al, 1985;Perkins & Kehlet, 2000; Nikolajsen & Jensen, 2001). Nyeri dapat terjadi segera - 75% dari pasien akan melaporkan nyeri phantom dalam beberapa hari pertama setelah amputasi (Nikolajsen et al, 1997) - Atau tertunda di awal. Rasa sakit biasanya intermiten dan berkurang dengan waktu setelah amputasi. Faktor-faktor yang mungkin dapat memprediksi nyeri postamputation phantom adalah keparahan nyeri preamputation, derajat nyeri pasca operasi dan kemoterapi (lihat Bagian 1.3). Jika rasa sakit preamputation hadir, nyeri phantom mungkin menyerupai nyeri pada karakter dan lokalisasi (Katz & Melzack, 1990). Intensitas nyeri preamputation dan nyeri pasca operasi akut adalah prediktor kuat dari intensitas nyeri kronis setelah amputasi (Hanley et al, 2007 Tingkat III-3). Pra operasi strategi coping pasif, dalam catastrophising tertentu, adalah prediktor kuat lainnya Phantom limb pain 6 bulan kemudian (Richardson et al, 2007 Tingkat III-3).Ada korelasi yang kuat antara phantom limb dan stump pain dan mungkin saling terkait (Jensen et al, 1983; Kooijman et al, 2000). Ketiga fenomena di atas dapat terjadi berdampingan (Nikolajsen et al, 1997). Sebuah survei mengidentifikasi tingginya insiden sindrom nyeri ini setelah amputasi di pada 537 amputasi; hanya 14,8% yang tidak sakit, 74,5% mengalami phantom limb pain, 45,2% stump pain, dan 35,5% kombinasi keduanya (Kern et al, 2009 Tingkat IV).PencegahanBukti analgesia epidural dalam pencegahan semua nyeri phantom limb tidak meyakinkan (Halbert et al, 2002 Tingkat I). Namun, analisis studi pada phantom limb pain profilaksis nyeri menunjukkan bahwa perioperatif (pra, intra dan pasca operasi) analgesia epidural mengurangi kejadian nyeri phantom limb parah (NNT 5.8) (Gehling & TRYBA 2003 Tingkat III-2). Sebuah studi observasional menemukan bahwa insiden keseluruhan jangka panjang phantom limb pain adalah serupa pada pasien yang diberikan ketamine (dosis bolus diikuti dengan infus, mulai sebelum untuk sayatan kulit dan terus selama 72 jam pasca operasi) dibandingkan tanpa ketamin, yang Insiden nyeri phantom limb parah berkurang pada kelompok ketamin (Dertwinkel et al, 2002 Tingkat III-3). Studi lain melihat efek ketamin melaporkan numerik tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dalam kejadian phantom limb pain pada 6 bulan setelah amputasi (47% pada kelompok ketamin dan 71% pada kelompok kontrol)Tidak ada efek pencegahan ketamin perioperatif diberikan melalui rute epidural dilaporkan distudi lain (Wilson et al, 2008 Level II).Gabapentin perioperatif tidak efektif dalam mengurangi insiden dan keparahan phantom limb pain (Nikolajsen et al, 2006 Level II). Infus anestesi lokal melalui perifer selubung saraf kateter, biasanya dimasukkan oleh Dokter bedah pada saat amputasi, adalah metode yang aman memberikan analgesia yang sangat baik segera periode pasca operasi (Pinzur et al, 1996 Tingkat II; Lambert et al, 2001 Level II). Akan Tetapi, mereka adalah tidak terbukti manfaatnya dalam mencegah nyeri phantom atau stump pain (Halbert et al, 2002 Tingkat I).Terapi Ketamine, antagonis NMDA-reseptor (lihat Bagian 4.3.2), memberikan bantuan jangka pendek pada stump pain dan nyeri phantom limb (Nikolajsen et al, 1996 Tingkat II; Eichenberger et al, 2008 Level II). Morfin Oral terkontrol-release (CR) (Huse et al, 2001 Level II) dan IV infus morfin mengurangi nyeri phantom limb (Wu et al, 2002 Tingkat II). Mexiletine (53% vs 30% penghilang rasa sakit) dalam mengobati nyeri postamputation; NNT untuk 50% penghilang rasa sakit adalah 5,6 (Wu et al, 2008 Level II). Gabapentin efektif dalam mengurangi nyeri phantom limb (Bone et al, 2002 Tingkat II). lignokain IV (lidokain) secara signifikan mengurangi nyeri tunggul tapi tidak berpengaruh pada phantom limb pain (Wu et al, 2002 Tingkat II). Amitriptyline dan tramadol diberikan kontrol yang baik dari phantom limb dan stump pain di diamputasi (Wilder-Smith et al, 2005 Level II). Suntikan anestesi lokal ke daerah myofascial menyakitkan ekstremitas kontralateral mengurangi rasa sakit phantom limb dan sensasi (Casale et al, 2009 Level II).Pilihan pengobatan non-farmakologis untuk phantom limb pain juga efektif. Ini termasuk pelatihan diskriminasi sensorik (Flor et al, 2001 Level II), citra mental ekstremitas Gerakan (MacIver et al, 2008 Tingkat IV; Ulger et al, 2009 Tingkat IV) dan motorik, yang terdiri 2 minggu setiap pengakuan lateralitas tungkai, membayangkan gerakan dan gerakan cermin(Moseley, 2006 Level II).c. Sindroma nyeri postoperasiSemakin banyak bukti untuk pengembangan sindrom nyeri kronis pasca operasi telah menyebabkan lebih rinci studi dari sejumlah dari mereka. Informasi berikut ini tidak membahas aspek teknik bedah yang dapat mempengaruhi timbulnya rasa sakit kronis.Faktor risiko yang mempengaruhi terhadap perkembangan nyeri pascaoperasi kronis termasukkeparahan pra dan pasca operasi sakit, cedera saraf intraoperatif (lihat Bagian 1.3). Intervensi analgesik awal tertentu dapat mengurangi timbulnya nyeri kronis setelah beberapa operasi.Sindroma nyeri post thoracotomySindroma nyeri pasca-torakotomi adalah salah satu yang paling umum pada nyeri kronis. Diperkirakan disebabkan terutama oleh trauma interkostal saraf dan kebanyakan pasien berhubungan rasa sakit mereka langsung ke lokasi operasi (Karmakar & Ho, 2004; Wildgaard et al, 2009). Namun, sindrom nyeri myofascial akibat torakotomi juga telah dijelaskan (Hamada et al, 2000 Tingkat IV).Analgesia epidural dimulai sebelum torakotomi dan berlanjut sampai periode pasca operasi menghasilkan lebih sedikit pasien yang melaporkan nyeri 6 bulan kemudian dibandingkan dengan pasien yang telah menerima IV PCA opioid analgesia pascaoperasi (45% vs 78% masing-masing) (Senturk et al, 2002 Level II). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam kejadian kronis nyeri antara pasien yang diberi pre-emptive analgesia epidural (dimulai sebelum operasi) dan pasien yang analgesia epidural dimulai setelah operasi - 39,6% vs 48,6% (Bong et al, 2005 Tingkat I).Penambahan dosis kecil ketamine IV ke dada analgesia epidural mengurangi keparahan dan perlu untuk pengobatan nyeri pasca-torakotomi pada 1 dan 3 bulan pasca operasi (Suzuki et al,2006 Level II). Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa ketamin IV perioperatif selain interpleural anestesi lokal tidak mencegah kronis neuropatik nyeri sampai 4 bulan setelah torakotomi (Duale et al, 2009 Level II).Cryoanalgesia, yang menyediakan nyeri yang efektif pada periode pasca operasi segera (De Cosmo et al, 2008), menyebabkan peningkatan insiden nyeri kronis (Ju et al, 2008 Level II).Sindroma nyeri postmastektomiNyeri kronis setelah mastektomi umum terjadi. Dalam satu studi epidemiologi 24 % terjadi pada 18 bulan (Vilholm et al, 2008a Tingkat IV); Studi lain melihat pasien lebih dari 5 tahun setelah operasi (dengan tidak kambuh kanker) melaporkan kejadian 29% (Peuckmann et al, 2009 Tingkat IV). Phantom breast pain juga telah dijelaskan, namun, kejadian itu rendah di kisaran 7% pada 6 minggu dan 1% pada 2 tahun (Dijkstra et al, 2007 Tingkat III-3); phantom sensation yang lebih umum - dilaporkan pada 19% pasien lebih dari 5 tahun setelah operasi (Peuckmann et al, 2009 Tingkat IV). Prediktor signifikan untuk pengembangan pascamastektomi nyeri kronis adalah radioterapi dan usia yang lebih muda (Peuckmann et al, 2009 Tingkat IV). risiko lainnya Faktor yang skor nyeri pasca operasi yang lebih tinggi dan dimasukkannya bedah rekonstruksi besar (Chang, Mehta et al, 2009 Tingkat IV). Pengujian sensorik (ambang batas termal, allodynia dingin, dan penjumlahan sementara pada berulang stimulasi) menunjukkan bahwa rasa sakit pascamastektomi adalah kondisi nyeri neuropatik (Vilholm et al, 2009 Tingkat III-2). Preincisional paravertebral blok mengurangi prevalensi dan intensitas nyeri 12 bulan setelah operasi payudara (Kairaluoma et al, 2006 Level II). Penggunaan perioperatif dari gabapentin atau mexiletine setelah mastektomi mengurangi kejadian nyeri neuropatik pada 6 bulan pasca operasi, dari 25% pada plasebo sampai 5% pada kedua kelompok perlakuan (Fassoulaki et al, 2002 Tingkat II). Hasil pelindung dicapai oleh kelompok yang sama dengan menggunakan campuran eutektik lokal anestesi saja (Fassoulaki et al, 2000 Level II) atau dalam kombinasi dengan gabapentin (Fassoulakiet al, 2005 Level II). Levetirasetam tidak efektif dalam pengobatan sindrom pascamastektomi (Vilholm et al, 2008b Tingkat II).Sindroma nyeri postherniotomySindrom ini dianggap nyeri neuropatik terutama sebagai akibat dari cedera saraf. Asumsi ini dikonfirmasi dalam sebuah studi yang menunjukkan bahwa semua pasien dengan nyeri kronis postherniotomy memiliki fitur nyeri neuropatik (Aasvang et al, 2008 Tingkat IV).Nyeri ejakulasi adalah fitur sindrom ini dan terjadi pada sekitar 2,5% dari pasien (Aasvang et al, 2007 Tingkat IV). Usia sangat muda mungkin menjadi faktor protektif seperti perbaikan hernia pada anak di bawah usia 3 bulan dan tidak menyebabkan rasa sakit kronis di masa dewasa (Aasvang & Kehlet 2007 Tingkat IV).Neurectomy selektif saraf cedera makroskopik berkurang gangguan pada pasien dengan sindrom nyeri postherniorrhaphy (Aasvang & Kehlet 2009 Tingkat III-3).Sindroma nyeri poststerektomyNyeri kronis dilaporkan oleh 5% sampai 32% dari wanita setelah histerektomi (Brandsborg et al, 2008). Pada kebanyakan wanita rasa sakit itu hadir sebelum operasi; pada 1 sampai 2 tahun follow-up, nyeri adalah dilaporkan sebagai gejala baru dalam 1% sampai 15% dari pasien (Brandsborg et al, 2008). Sumber dan faktor risiko untuk bertahan rasa sakit setelah histerektomi tidak jelas. Namun, pada Survei prospektif, intensitas nyeri pasca operasi serta nyeri non-panggul pra operasi dikaitkan dengan adanya nyeri 4 bulan setelah operasi (Brandsborg et al, 2009 Tingkat III-3). untuk nyeri dilaporkan 1 tahun setelah operasi, faktor risiko yang panggul pra operasi dan nyeri non-panggul dan operasi caesar sebelumnya; tidak ada perbedaan yang ditemukan antara vagina atau perut histerektomi (Brandsborg et al, 2007 Tingkat IV).Pasien diberikan gabapentin perioperatif dan infus luka pasca operasi ropivacaine memiliki Persyaratan opioid yang lebih rendah setelah operasi dan sedikit rasa sakit satu bulan kemudian dibandingkan dengan pasien diberikan plasebo, meskipun tidak ada perbedaan dalam skor nyeri untuk pertama 7 pasca operasi hari (Fassoulaki et al, 2007 Level II). Anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum mengurangi risiko nyeri pascaoperasi kronis setelah histerektomi (OR: 0,42; CI 0,21-0,85) (Brandsborg et al, 2007 Tingkat IV)d. Neurosurgery kranialAda kepercayaan luas bahwa operasi intrakranial menghasilkan ketidaknyamanan pasien dan rasa sakit. Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa pasien mungkin memiliki signifikan nyeri pada fase awal setelah operasi intrakranial. Dalam satu survei, 69% pasien yang dilaporkan nyeri sedang sampai berat pada hari pertama pasca operasi (Gottschalk et al, 2007 Tingkat IV). Temuan ini sejalan dengan studi lain yang menemukan kejadian dari 56% sedang dan 25% berat nyeri (Thibault et al, 2007 Tingkat IV). Namun, rasa sakit tidak separah seperti, misalnya, setelah operasi tulang belakang (Klimek et al, 2006) Prosedur bedah Tingkat III-2) atau lainnya seperti rahang atas operasi mandibula ekstrakranial /atau operasi lumbar (Dunbar et al, 1999Level III-2). Rasa sakit ini dikatakan lebih parah setelah infratentorial daripada pendekatan supratentorial (Gottschalk et al, 2007 Tingkat IV; Thibault et al, 2007 Tingkat IV). Perbedaan ini yang membantah hanya dengan satu studi kecil (Irefin et al, 2003 Tingkat III-2). Non-kraniotomi bedah saraf, misalnya operasi trans-sphenoidal, tampaknya terkait dengan rasa sakit dan morfin minimal persyaratan yang sangat terbatas (Flynn & Nemergut 2006 Tingkat IV).Perlu dicatat bahwa kraniotomi dapat menyebabkan sakit kepala kronis yang signifikan. Enam bulan setelah kraniotomi supratentorial untuk perbaikan aneurisma, 40% pasien melaporkan sakit kepala menurut klasifikasi International Headache Society, di antaranya 10,7% sakit kepala kronis akut dan 29,3% (Rocha-Filho et al, 2008 Tingkat IV). Tidak ada perbedaan antara pasien dengan atau tanpa perdarahan subarachnoid. Manajemen nyeri pasca operasi setelah operasi intrakranial sering miskin. Masalah dari postcraniotomy analgesia dianalisis dalam survei Inggris bedah saraf pusat (Roberts, 2005 Tingkat IV); analgesik utama adalah IM kodein, hanya tiga dari dua puluh tiga pusat digunakan morfin dan hanya satu PCA digunakan. Nyeri hanya dinilai dalam 57% kasus (Roberts, 2005 Tingkat IV). Praktek ini tidak berubah sejak tahun 1995 ketika IM kodein adalah analgesik utama yang digunakan oleh 97% dari pusat (Stoneham & Walters, 1995 Tingkat IV).Sejumlah alasan yang mungkin berkontribusi untuk ini, seperti kekhawatiran tentang efek samping opioid dan kemampuan mereka untuk mengganggu pemulihan dan penilaian neurologis, serta kekhawatiran bahwa depresi pernapasan opioid-induced akan menyebabkan hiperkarbia dan peningkatan tekanan intrakranial (Nemergut et al, 2007). Demikian pula, ada kekhawatiran bahwa non-steroidObat anti-inflamasi (NSAID) dapat mengganggu hemostasis dan meningkatkan intracranial keluar darah. Selain itu, ada bukti yang buruk yang menjadi dasar protokol untuk penilaian dan pengobatan nyeri setelah operasi tengkorak (Nemergut et al, 2007); terbatasnya jumlah percobaan heterogen yang tersedia memiliki banyak kelemahan dalam desain penelitian dan metodologi Pertanyaannya tetap apakah semua craniotomies yang sama berkaitan dengan analgesic persyaratan (Nemergut et al, 2007).TerapiParasetamol, Non selektif NSAID, Coxibs, Opioid, Lokal anestesi blok, obat adjuvantNYERI AKUT SETELAH TRAUMA MEDULA SPINALISNyeri akut yang terjadi setelah trauma medulla spinalis sering terjadi, 90% setelah 2 minggu trauma. Nyeri akut mungkin juga terjadi selama fase rehabilitasi disebabkan penyakit (contoh calculus renal) atau eksaserbasi sindroma nyeri kronik. Nyeri berhubungan dengan trauma medulla spinalis biasanya dibagi menjadi 2 kategori : nyeri neuropatik, keduanya atau dibawah level trauma, dan nyeri nosiseptik, berasal dari stuktur somatic dan visceral. Nyeri neuropatik berhubungan dengan lesi sistem sentral (somatosensori) yaitu nyeri pusat suhu. Nyeri phantom dan SRPS juga mungkin terjadi pada pasien trauma medulla spinalis.

TerapiOpioid dan tramadol, ketamine, antidepresan, antikonvulsan, anestesi intravena, teknik non farmakologi meliputi EMG Biofeedback

NYERI AKUT LUKA BAKARNyeri akut akibat luka bakar dapat berupa nosiseptik dan atau neuropatik dan dapat konstan, intermitten. Terdapat bukti minimal untuk penatalaksanaanya. Biasanya pada orang tua tidak teratasi. Walaupun demikian, manajemen nyeri setelah luka bakar penting, tidak hanya untuk alasan kemanusiaan dan psikis, namun juga prosedur fasilitas seperti fisioterapi, dan kemungkinan meminimalkan berkembang menjadi nyeri kronik, dilaporkan pada 35-58% pasien luka bakar.Dosis opioid tidak memerlukan dosis penyesuaian, sebagai farmakokinetik morfin tidak mengalami perubahan pada luka bakar pasien (Perreault et al, 2001). Penyerapan IM dan SC opioid dapat diandalkan di kehadiran hipovolemia dan vasokonstriksi yang berhubungan dengan luka bakar (Kinsella & Rae, 2008). PCA morfin efektif untuk nyeri terbakar pada orang dewasa (Choiniere et al, 1992 Level II) dananak-anak (Gaukroger et al, 1991 Tingkat IV). Konversi ke opioid oral mungkin sekali yang normal gastrointestinal (GI) fungsi telah kembali; bahkan luka bakar yang parah tidak mempengaruhi pengosongan lambung atau penyerapan parasetamol oral (Hu et al, 1993 Tingkat III-2).Opioid dapat dikombinasi dengan obat non-opioid. Ada bukti eksperimental untuk efek menguntungkan ketamin (Ilkjaer et al, 1996) dan dekstrometorfan (Ilkjaer et al, 1997) di hiperalgesia, dan bukti klinis efek opioid-sparing dengan clonidine (Viggiano et al, 1998 Tingkat II).Gabapentin mengurangi rasa sakit dan konsumsi opioid setelah cedera luka bakar akut (Cuignet et al, 2007 Tingkat III-3) dan mengurangi deskriptor nyeri neuropatik dalam serangkaian kasus kecil (Gray et al, 2008 Tingkat IV).Methylprednisolone parenteral atau ketorolac mengurangi hiperalgesia sekunder yang mengelilingi luka bakar eksperimental pada sukarelawan manusia, namun penelitian klinis lebih lanjut diperlukan (Stubhaug et al, 2007 Level II).NYERI PUNGGUNG AKUTNyeri punggung akut di leher, toraks, atau, khususnya, lumbal dan daerah sakral, adalah masalah umum yang mempengaruhi kebanyakan orang dewasa di beberapa tahap kehidupan mereka. Penyebab jarang serius, paling sering tidak spesifik dan rasa sakit biasanya membatasi diri. Investigasi yang tepat ditunjukkan pada pasien yang memiliki tanda-tanda atau gejala yang mungkin menunjukkan adanya kondisi yang lebih serius ('bendera merah'). Seperti red flags termasuk Gejala dan tanda-tanda infeksi (misalnya demam), faktor risiko untuk infeksi (penyakit yang mendasari missal imunosupresi, luka tembus, penyalahgunaan narkoba dengan suntikan), riwayat trauma atau trauma minor, riwayat osteoporosis dan mengambil kortikosteroid, riwayat keganasan, usia lebih dari 50 tahun, kegagalan untuk memperbaiki dengan pengobatan, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, (Australia akut Nyeri Muskuloskeletal Pedoman Group, 2003). Sebuah pemeriksaan neurologis lengkap dijamin dengan adanya lebih rendah nyeri tungkai dan gejala neurologis lainnya (misalnya kelemahan, penurunan kaki, sindrom cauda equina, kehilangan kandung kemih dan / atau kontrol buang air besar).Faktor psikososial dan pekerjaan yellow flags tampaknya terkait dengan peningkatan risiko perkembangan dari akut sakit kronis; Faktor-faktor tersebut harus dinilai lebih awal dalam rangka memfasilitasi intervensi yang tepat (Australia akut Nyeri Muskuloskeletal Pedoman Group, 2003).NHMRC pedoman manajemen berbasis bukti nyeri muskuloskeletal akut termasuk bab di leher akut, tulang belakang dada dan nyeri pinggang (Australia akut Nyeri Muskuloskeletal Pedoman Group, 2003). Mengingat kualitas tinggi dan keluasan pedoman ini, tidak ada pengkajian lebih lanjut dari topik ini telah dilakukan untuk dokumen ini. Kunci berikut Pesan adalah ringkasan singkat dari pesan utama dari pedoman ini; praktek poin yang direkomendasikan untuk nyeri muskuloskeletal pada umumnya tercantum dalam Bagian 9.5 dan mewakili konsensus Komite Pengarah pedoman ini. Pedoman ini dapat ditemukan di situs NHMRC (Australia akut Nyeri Muskuloskeletal Pedoman Group, 2003)9.6.1 Nyeri Abdomen AkutBerasal dari organ viseral atau struktur somatik dan dapat merupakan suatu nyeri alih, dipertimbangkan suatu keadaan nyeri neuropatik. Nyeri abdomen akut rekuren dapat merupakan manifestasi dari kelainya nyeri viseral kronik seperti pankreatitits kronik atau irritable bowel syndrome dan memerlukan manajemen nyeri multdisiplin.Analgesia dan diagnosis dari nyeri abdomen akutKesalahpahaman yang umum adalah bahwa analgesia akan mengaburkan tanda-tanda dan gejala kelainan di abdomen dan harus ditunda sampai diagnosis ditegakkan. Pereda nyeri (biasanya dalam bentuk opioid), tidak mengganggu proses diagnostik nyeri abdomen akut dewasa (Manterola et al, 2007 level I) atau pada anak-anak (Kim et al, 2002 level II ; Hijau et al, 2005 Level II), atau mengakibatkan peningkatan kesalahan dalam manajemen klinis (Ranji et al, 2006 Level I)Kolik RenalNsNSAIDs, opioid (Holdgate & Pollock, 2005 Level I) dan metamizole (dipyrone) (Edwards, Meseguer et al, 2002 Level I) merupakan analgesia yang efektif untuk kolik ginjal. NsNSAIDs mengurangi persyaratan untuk analgesia rescue , efek muntah lebih rendah dibandingkan opioid (terutama petidin [meperidine] (Holdgate & Pollock, 2005 Level I) dan mengurangi jumlah episode colic renal yang dialami sebelum lewat renal calculi (Kapoor et al, 1989 Level II; Laerum et al, 1995 Level II).Onset analgesia tercepat ketika nsNSAIDs diberikan secara intravena (Tramer et al, 1998 Level I) meskipun supositoria juga efektif (Lee et al, 2005 Level II). Kombinasi IV ketorolak dan morfin memberikan penurunan yang lebih besar dalam skor nyeri, onset awal nyeri lengkap dan mengurangi kebutuhan untuk analgesia rescue, dibandingkan dengan baik menggunakan analgesik saja (Safdar et al, 2006 Level II).Petidin telah banyak digunakan dalam pengobatan kolik renal pada keyakinan bahwa hal itu menyebabkan spasme otot polos. Namun, tidak ada perbedaan dalam analgesia ketika IV morfin dan petidin dibandingkan dalam pengobatan kolik ginjal (O'Connor et al, 2000 Level II).Buscopan yang merupakan relaksan otot polos gagal memperbaiki analgesia bila dikombinasikan dengan nsNSAIDs (Jones et al, 2001 Level II), opioid (Holdgate & Oh, 2005 Level II) atau metamizole (Edwards, Meseguer dkk, 2002 Tingkat I). Papaverine sama efektifnya dengan IV diklofenak dalam pengobatan awal kolik ginjal, namun diperlukan peningkatan penggunaan analgesia rescue (Snir et al, 2008 Level II). Namun, sebagai analgesik penyelamatan, papaverine memiliki manfaat sama dengan petidin dan lebih superior daripada hiosin pada pasien yang gagal merespon pengobatan awal dengan kombinasi diklofenak-hiosin (Yencilek et al, 2008Level II).IV ondansetron memberikan manfaat analgesia pada 42% pasien dengan kolik ginjal tetapi kurang efektif dari IM diklofenak (ERGENE et al, 2001 Level II). DI desmopresin juga analgesik yang efektif, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan diklofenak IM (Lopes et al, 2001 Level II).Terapi kalkulus yg mengusir ginjal menggunakan spesifik tamsulosin alpha-blocker lebih unggul komparatif relaksan otot polos seperti phloroglucinol atau nifedipin dalam hal peningkatan pengusiran batu dan pengurangan persyaratan analgesia, intervensi bedah, durasi tinggal di rumah sakit dan hari libur kerja (Dellabella et al, 2005 level II). TENS diaplikasikan di atas sayap yang menyakitkan selama transportasi pra-rumah sakit, mengurangi skor nyeri, kecemasan dan mual pada pasien dengan kolik ginjal (Mora et al, 2006 Level II).Terapi cairan IV tidak berpengaruh pada hasil rasa sakit atau transisi batu kolik ginjal (Worster & Richards, 2005 Tingkat I).Kolik Biliar dan Pankreatitis akutSemua opioid meningkatkan tonus sphinkter oddi dan tekanan duktus biliar (Thompson,2001) Dibandingkan petidine, morfin lebih meningkatan kontraksi sphinkter Oddi selama kolesistektomi (Thune dkk,1990, level IV)Tidak ada penelitian yang membandingkan opiod dala terapi nyeri yang berhubungan dengan spasme biliar dan pankreatitis akut (Thompson,2001). Butorphanol, yang diduga menyebabkan lebih sedikit spasme biliar daripada opioid lain, dan ketorolak, menghasilkan penguranan nyeri pada kolik biliar secara signifikan pada 30 menit pertama pada pasien di UD (Olsen et al 2008 level II)nsNSAID parenteral seperti ketorolak, tenoksikan atau diklofenal setidaknya sama efektif dengan opioid parenteral dan lebih efektid daripada buskopan untuk kolik biliar (Goldman et al, 1989 Level II; Al-Waili & Saloom, 1998 Level II; Dula et al, 2001 Level II; Henderson et al, 2002 Level II; Kumar, Deed et al, 2004 Level II) dan dapat pula mencegah progresi ke kolesistitis(Goldman et al, 1989 Level II; Akriviadis et al, 1997 Level II; Al-Waili & Saloom, 1998 Level II; Kumar, Deed et al, 2004 Level II). Atropin IM tidak lebih efektif daripada salin pada terapi kolik biliar akut (Rothrock et al, 1993 Level II).Irritable bowel syndrome dan kolikAda bukti lemah yang antispasmodik (relaksan otot polos) mengurangi nyeri pada irritable bowel sindrom, tetapi tidak ada bukti efek analgesik dengan antidepresan atau bulking agents (Quartero et al, 2005 Tingkat I). Minyak peppermint juga dapat mengurangi rasa sakit (Pittler & Ernst, 1998 Tingkat I) dan seefektif buscopan dalam mengurangi atas (Hiki et al, 2003 Level II) dan lebih rendah spasme gastrointestinal (Asao et al, 2003 Level II).Dysmenorrhoea primerNsNSAIDs adalah analgesik sangat efektif dalam dismenorea. Sementara tidak ada perbedaan yang ditemukan antara nsNSAIDs yang berbeda termasuk dalam analisis dari segi khasiat, ibuprofen memiliki efek samping paling sedikit (Marjoribanks et al, 2003 Tingkat I). Parasetamol kurang efektif daripada naproxen, ibuprofen, asam mefenamat, dan aspirin; lagi, ibuprofen memiliki rasio risiko-manfaat paling besar (Zhang & Li Wan Po 1998 Tingkat I). NsNSAIDs juga mengurangi perdarahan dan nyeri terkait dengan penggunaan perangkat intrauterine (Grimes et al, 2006 Tingkat I).Vitamin B1 (Proctor & Murphy, 2001 Tingkat I), vitamin E (Ziaei et al, 2005 Level II) obat herbal Cina (Zhu et al, 2007 Tingkat I), rose tea (Tseng et al, 2005 Level II), ekstrak daun jambu biji (Psidiiguajavae) (Doubova et al, 2007 Level II), aromaterapi (Han et al, 2006 Level II) dan adas(Foeniculum vulgare) (Namavar Jahromi et al, 2003 Tingkat III-2) juga efektif.TENS frekuensi tinggi efektif dalam dismenorea primer (Proctor et al, 2002 Tingkat I). Efektivitas akupunktur di dismenorea primer ditentukan karenamasalah metodologis dalam studi yang tersedia (Yang et al, 2008 Tingkat I).Abdominal migraineMigrain perut adalah gangguan neurogastrointestinal, biasanya anak-anak laki-laki, ditandai oleh serangan berulang dari nyeri akut perut, mual, muntah dan sering sakit kepala. Pizotifen efektif untuk profilaksis dan pengobatan (Symon & Russell, 1995 Level II)Key Messages1. pemberian analgesia tidak mengganggu proses diagnostik di perut akut nyeri (S) (Level I [Cochrane Review]).2. NSAID Non-selektif, opioid dan metamizole intravena (dipyrone) menyediakan efektif analgesia untuk kolik ginjal (N) (Level I [Cochrane Review]).3. NSAID non-selektif yang diberikan untuk kolik ginjal mengurangi kebutuhan untuk penyelamatan analgesia dan menghasilkan lebih sedikit muntah dibandingkan dengan opioid, terutama petidin (meperidine) (U) (Level I [Cochrane Review]).4. TENS frekuensi tinggi efektif dalam dismenorea primer (N) (Level I [Cochrane Review]).5. Terjadinya analgesia lebih cepat ketika NSAID non-selektif yang diberikan secara intravena untuk pengobatan kolik ginjal (U) (Level I).6. Antispasmodik dan minyak peppermint efektif untuk pengobatan nyeri akut di irritable bowel syndrome (U) dan spasme gastrointestinal (N) (Level I).7. NSAID non-selektif dan vitamin B1 efektif dalam pengobatan primer dismenorea (U) (Level I).8. Tidak ada perbedaan antara petidin dan morfin dalam pengobatan kolik ginjal (U) (Level II).9. parenteral NSAID non-selektif yang seefektif opioid parenteral dalam pengobatan kolik bilier (U) (Level II)

9.6.2 Nyeri terkait Herpes Zoster.Herpes zoster (HZ) (shingles) disebabkan oleh reaktivasi virus varicella-zoster (VZV), yang dormant di radik dorsal dan ganglion nervus kranial setelah infeksi primer dengan cacar (varicella), biasanya pada anak usia (Schmader & Dworkin, 2008). Ada peningkatan risiko herpes zoster dengan bertambahnya usia dan penyakit dan obat-obatan yang menurunkan kekebalan: risiko seumur hidup diperkirakan 20% sampai 30%, dan sampai 50% pada mereka yang mencapai 85 tahun (Schmader & Dworkin, 2008).Nyeri HZ terkait terjadi pada hingga 80% dari mereka yang terkena dampak dan dapat terjadi sebelum terjadinya ruam karakteristik (selama prodrome), dengan timbulnya ruam, atau mengikuti resolusi (postherpetic neuralgia). Rasa sakit bervariasi dalam intensitas dan digambarkan sebagai 'terbakar', 'berdenyut' atau 'menembak'; gatal, dysaesthesias, dan allodynia juga dapat hadir (Dworkin et al, 2008).Dalam sebagian besar kasus, HZ adalah self limiting disease , meskipun tidak jarang, mungkin kemajuan untuk postherpetic neuralgia (PHN) (nyeri yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan setelah timbulnya HZ). Insiden PHN meningkat dengan usia (lebih dari 50 tahun), yang terjadi pada sampai dengan 75% pasien berusia 70 tahun atau lebih yang memiliki herpes zoster (Johnson & Whitton, 2004). Awal, agresif pengobatan infeksi HZ dan nyeri dapat mengurangi kejadian PHN, meskipun data strategi pencegahan terbatas.Pencegahan herpes zosterVZV vaksin yang dilemahkan (Zostavax) tersedia untuk pencegahan HZ (dan PHN) di individu lebih dari 60 tahun. Penelitian multisenter (The Shingles Prevention Study) menunjukkan kemanjurannya, dengan penurunan kejadian dari HZ oleh 51,3%, PHN oleh 66,5% dan HZ-asosiasi beban penyakit 'oleh 61,1% (Oxman et al, 2005). Perkiraan jumlah yang diperlukan untuk Vaksinasi untuk mencegah kasus HZ adalah 11 (CI: 10-13) dan untuk PHN 43 (CI: 33-53) (Brisson 2008 Tingkat III). Direkomendasikan vaksinasi denganhidup, dilemahkan VZV untuk semua orang yang berusia 60 tahun atau leb