OBAT ANESTESI LOKAL DALAM MANAJEMEN NYERI AKUT …
Transcript of OBAT ANESTESI LOKAL DALAM MANAJEMEN NYERI AKUT …
LAPORAN KASUS
OBAT ANESTESI LOKAL DALAM MANAJEMEN
NYERI AKUT PASKA OPERASI
Oleh:
dr. I Gede Budiarta, SpAn,KMN
DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA /
RSUP SANGLAH
2019
i
LAPORAN KASUS
OBAT ANESTESI LOKAL DALAM MANAJEMEN
NYERI AKUT PASKA OPERASI
Oleh:
dr. I Gede Budiarta, SpAn,KMN
DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA /
RSUP SANGLAH
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik “Obat Anestesi Lokal dalam
Manajemen Nyeri Akut Paska Operasi” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Denpasar, September 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL....................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
ABSTRAK..............................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1 Definisi Nyeri........................................................................................3
2.2 Klasifikasi Nyeri....................................................................................3
2.3 Fisiologi Nyeri.......................................................................................5
2.4 Patofisiologi Nyeri................................................................................ 6
2.5 Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri.............................................................14
2.6 Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri....................................................15
2.7 Diagnostik Nyeri...................................................................................18
2.8 Penatalaksanaan....................................................................................22
2.8.1 Farmakologi Klinis................................................................29
2.8.2 Komplikasi Obat Anestesi Lokal...........................................30
2.8.3 Modalitas Anestesi Regional dengan Bupivakain.................35
BAB III LAPORAN KASUS.................................................................................39
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................45
BAB V SIMPULAN...............................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................48
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Zat-zat yang ditimbulkan akibat nyeri.......................................................7
Tabel 2.2 Jenis anestesi lokal..................................................................................26
Tabel 2.3 Dosis maksimum aman dari anestesi lokal..............................................35
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Fisiologi nyeri......................................................................................7
Gambar 2.2 Proses perjalanan nyeri........................................................................9
Gambar 2.3 Skema sensitisasi perifer.....................................................................10
Gambar 2.4 Skema sensitisasi sentral.....................................................................12
Gambar 2.5 Respon tubuh terhadap nyeri...............................................................16
Gambar 2.6 Numeric pain intensity scale...............................................................21
Gambar 2.7 Visual analog scale.............................................................................21
Gambar 2.8 Faces pain scale..................................................................................22
Gambar 2.9 WHO three step analgesic ladder........................................................22
Gambar 4.1 Piliihan terapi berdasarkan dari tingkatan nyeri yang diperkirakan dari
berbagai jenis operasi..........................................................................46
ABSTRAK
ABSTRAK
Pasien perempuan 67 tahun dengan diagnosis Non Union Tibia dan Fibula
kanan, yang akan menjalani prosedur ORIF PS dan Bone graft. Preoperasi pasien
dengan permasalahan riwayat kecelakaan lalu lintas tahun 2016 dan sudah
dilakukan internal serta eksternal fiksasi. 9 bulan sebelum masuk rumah sakit,
pasien melepaskan fiksasi dan merasakan kaki kanan bengkok.
Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan regional anestesi
combine spinal epidural (RA-CSE) dengan obat anestesi lokal bupivakain.
Selanjutnya pasien diposisikan supine untuk menjalani prosedur pembedahan.
Operasi berlangsung selama 4 jam 30 menit, hemodinamik stabil tanpa topangan
obat, pasca operasi pasien dirawat di ruang ‘Gandasturi’ dengan analgetik epidural
bupivakain 0.0625% + 1 mg morfin volume 10 ml 10-12 jam via epidural kateter,
parasetamol 500 mg setiap 6 jam peroral.
ABSTRACT
67-year-old female patient with a diagnosis of Non-Union Right Tibia and
Right Fibula, who will undergo the ORIF PS and Bone graft procedures.
Preoperative patients with a history of traffic accidents in 2016 and have done
internal and external fixation. 9 months before being admitted to the hospital, the
patient released fixation and felt his right leg bent.
Patient's surgery was performed under general anesthesia with regional
combined epidural spinal anesthesia (RA-CSE) with local anesthetic bupivakain.
Furthermore, the patient is positioned supine to undergo a surgical procedure. The
operation lasted for 4 hours 30 minutes, hemodynamically stable without drug
support, after the operation the patient was treated in the 'Gandasturi' room with
analgesic epidural bupivakain 0.0625% + 1 mg morphine volume 10 ml 10-12
hours via epidural catheter, paracetamol 500 mg every 6 hours peroral.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan bagi setiap orang.
Nyeri adalah salah satu alasan paling umum bagi seseorang untuk mencari bantuan
medis. Nyeri dapat mempengaruhi pikiran dan emosi sesorang. Menurut The
International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,2
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen
objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional
dan psikologis).3,4 Sembilan dari 10 orang Amerika yang berusia 18 tahun atau
lebih, menderita nyeri minimal sekali dalam sebulan dan sebanyak 42% merasakan
nyeri setiap hari. Klasifikasi timbulnya nyeri dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun
yang menjadi manfaatnya antara lain manfaat berupa mekanisme proteksi,
mekanisme defensif, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit.5
Nyeri merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi siapapun,
dan harus ditanggulangi karena dapat menimbulkan perubahan biokimia,
metabolisme dan fungsi sistem organ.2 Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat
mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur
dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.5 Nyeri dapat dirasakan atau terjadi
secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh penderita. Nyeri akut akan
disertai heperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai
dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya
nyeri sangatlah penting sebagai dasar untuk menanggulangi nyeri yang diderita
oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan
dengan baik, nyeri dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2 Nyeri sampai saat ini
merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya berkaitan dengan
2
kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga menyangkut
kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf. Di sisi
lain, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.
Manajemen nyeri akut merupakan penanganan yang cukup penting agar dapat
meningkatkan kualitas hidup seseorang.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
Nyeri merupakan sensasi dari tubuh yang bersifat subjektif. Nyeri dapat
diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut disebabkan oleh
stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau
viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stres neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf
otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.
1,5
2.2 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:2
Aksis I : Regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : Sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya
nyeri
Aksis III : Karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
Aksis IV : Awitan terjadinya nyeri
Aksis V : Etiologi nyeri
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah (menyeringai atau
menangis). Bentuk nyeri akut dapat berupa:
4
1. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan
terlokalisir.
2. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul dan tidak terlokalisir dengan baik akibat rangsangan pada
otot rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat.
3. Nyeri viseral
Nyeri akibat perangsangan organ viseral atau membran yang
menutupinya (pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri tipe
ini dibagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal
terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda
aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh:
1. Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf.
2. Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dan lain-lain.
Berdasakan derajat nyeri dikelompokkan menjadi:2
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
hari dan saat menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, mengganggu aktivitas dan hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
5
Berdasarkan jenis nyeri dikelompokkan menjadi:6
a. Nyeri nosiseptif
Nyeri yang terjadi karena kerusakan jaringan somatik maupun viseral.
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti
ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak
enak pada perabaan.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang jika keadaan kejiwaan pasien tenang.
2.3 Fisiologi Nyeri
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri
tersebut dinamakan nosisepsi. Nosisepsi termasuk menyampaikan informasi
perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nosiseptor) kepada struktur sentral pada
otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen yaitu:7
a. Reseptor khusus yang disebut nosiseptor pada sistem saraf perifer, mendeteksi
dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious (Orde 1).
b. Saraf aferen primer (saraf A delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious
ke sistem saraf pusat.
c. Kornu dorsalis medula spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara
serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan
antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor
dari otak.
6
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus
(Orde 2).
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat
relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis (Orde 3).
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon
motoris (termasuk withdrawal response).
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medula spinalis.
2.4 Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan tubuh,
seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid,
radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui
mekanisme spesifik.2,3
Zat Sumber Menimbulkan
nyeri
Efek pada aferen
primer
Kalium
Seroronin
Bradikinin
Histramin
Prostaglandin
Lekotrien
Substansi P
Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat dan sel rusak
Asam arakidonat dan sel rusak
Aferen primer
++
++
++++
±
±
±
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Sensitisasi
Sensitisasi
Sensitisasi
Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri 3
7
Gambar 2.1 Fisiologi nyeri6
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan
sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:2,3
1. Tranduksi
Transduksi adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi
aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti
prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substansi P, potasium, histamin,
asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor
nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A
delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di
dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C
adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifer ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.2,3
2. Transmisi
Transmisi adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A delta dan C
serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A delta dan C impuls
nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu
dorsalis. Serat aferent A delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri
8
mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A delta mempunyai diameter lebih
besar dibanding dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat
(12-30 m/detik) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/detik). Sel-sel neuron di
medula spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-
sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat
aferent A delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu
anterolateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior
medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu anterolateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan efek yang dapat
ditimbulkannya sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medula spinalis
akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera. 2,3
3. Modulasi
Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,
NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang
diteruskan oleh serat-serat A delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri. 2,3
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri. Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus
noksius yakni serabut saraf A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C
yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih
besar dibanding dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat
dibandingkan dengan serat C. Walaupun keduanya peka terhadap rangsang
9
Gambar 2.2 Proses perjalanan nyeri2
noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik reseptor maupun
neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. 2,3
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan
termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi
mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga
sebagai nosiseptor polimodal. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan
oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain
melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan
polipeptida. 2,3
5. Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator
inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik
dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya
vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi
protein plasma.1,3,5,6 Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-
mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P,
TRANSDUCTION
TRANSMISSION
MODULATION
PERCEPTION
10
histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme
asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari
sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang
terasa nyeri.5,6
Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal atau suhu pada daerah jaringan
yang rusak, dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan
neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika ingin
menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek
mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat
anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.1,5
Gambar 2.3 Skema sensitisasi perifer.9
6. Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan
atau inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medula spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus
tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi
dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order
neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order
11
neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron yang
memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu
stimulus noksius. Nociceptive second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas
dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsif terhadap impuls dari serabut A delta dan serabut C. Neuron kedua disebut
wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius
maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold
serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi
ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada
kornu dorsalis diikuti suatu kerusakan jaringan atau inflamasi. Perubahan ini
disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind-up. Wind-up dapat menyebabkan
neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi
bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak
dapat diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya
dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. 1,3,5,6
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Saat
ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut
C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia
pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya
nyeri kronik yang sulit disembuhkan. 1,3,5,6
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: 1,3,5,6
a. Terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon
terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.
b. Terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih
dari potensial ambang.
c. Terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak
bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-
perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan
12
perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai
hiperalgesi, alodinia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan
pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada
ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah
sekitar kornu dorsalis. Serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke
daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi
nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang
normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang
secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan
hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada
kerusakan saraf.10
Gambar 2.4 Skema sensitisasi sentral.9
Telah diketahui sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi
nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di sebelum dan sesudah terjadi sinaps dari
terminal serabut aferen primer. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat
memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat
menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada
mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
13
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Antagonis NMDA dapat
menekan respon ini. Ketamin sebagai penyekat reseptor NMDA, dengan jelas
dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi.
Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena
penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor
NMDA. 1,3,5,6
Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif.
Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca.
Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang
selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat
mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan
NADPH sebagai co-factor. Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO
dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang
digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang
berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari
NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan
nyeri. 1,3,5,6
7. Fenomena “Wind-Up”
Fenomena merupakan dasar dari analgesia pre-emptif yang memberikan
analgesik sebelum terjadinya nyeri dengan menekan respon nyeri akut sedini
mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya untuk pemberian analgesik telah
dimulai sebelum pembedahan. Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan
informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam
penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan.
Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap
opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada
usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-
emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha
14
dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses
nyeri. 1,3,5,6
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri
trauma adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu
prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya
sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2),
sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat
dilakukan dengan pemberian opiat atau anestesi lokal utamanya jika diberikan
secara sentral. 1,3,5,6
2.5 Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat
terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medula spinalis. Ini
dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa
mekanisme, seperti :2,6
1. Stimulasi serat aferen yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat aferen ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi
interneuron inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha
atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus.
c. Lintasan III: Berawal dari nukleus Edinger Wesphal.
Ketiga lintasan ini menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini
akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin. Periaquaductal
gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya
15
dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan
ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang
dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen.
Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Betha endorphin diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus
tertius oleh liquor maka zat ini dibawa ke medula spinalis menimbulkan efek
depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medula
spinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan
mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di
substansia gelatinosa.
2.6 Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh.
Impuls nyeri oleh serat aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medula spinalis dan juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu
anterolateral dan kornu anterior medula spinalis.1 Nyeri akut pada dasarnya
berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai dengan
intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf
aferen diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis
dan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medula
spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan spasme otot
(hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasme (hipertensi), dan menginhibisi
fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan,
hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi
kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang
noxious. Nyeri juga berespon terhadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri,
marah dan takut.3,11
16
Gambar 2.5 Respon tubuh terhadap nyeri.7
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral akan
mengaktifkan sistem simpatis yang membuat organ-organ yang diinervasi oleh
sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut yang ringan sampai yang berat akan
memberikan efek pada tubuh seperti:3,11
a. Sistem respirasi
Pada sistem respirasi terjadi pengaruh dari peningkatan laju metabolisme,
pengaruh reflek segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida
mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan
kerja pernafasan. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal
dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis,
intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi
hipoventilasi.3,11
17
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi sehingga terjadi gangguan
perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler
berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik
hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi,
takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang
normal, cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi
jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih
memperburuk keadaanya. Nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
miokardium, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.3,11
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfingter dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam
lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas
usus dapat menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi, mual, muntah,
dan konstipasi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan
pulmonary dysfunction. 3,11
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfingter saluran kemih
dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin. 3,11
e. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan katekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti
katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik
seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah
mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun,
menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Apabila kadar gula darah
18
meningkat maka akan mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu
peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan
menimbulkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan
ekstraseluler. 3,11
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis,
dan hiperkoagulopati. 3
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan limfopenia dan nyeri dapat
menekan sistem retikuloendotelial yang menyebabkan pasien beresiko menjadi
mudah terinfeksi. 3
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. 11
i. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosteron berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa
retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol
menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.11
2.7 Diagnostik Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Diagnostik nyeri sesuai dengan
usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan jika perlu
19
pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain sehingga
diagnostik ditujukan untuk mencari penyebab dan dapat menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium yang spesifik
untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.2,3
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan detail dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat
bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah
pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral. 2,3
a. Anamnesis yang teliti
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana
kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang
ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus
mengetahui lokasi dari nyeri yang dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada
bagian tubuh tertentu. Intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk
menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau
memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya,
penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.4
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan tanda vital sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan
stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan
Glasgow Come Scale (GCS) rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada
proses patologi di intrakranial.4 Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya
gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan
adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah
nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.3,12
c. Pemeriksaan psikologis
Pemeriksaan psikologi dilakukan mengingat faktor kejiwaan sangat berperan
penting dalam manifestasi nyeri yang subjektif, maka pemeriksaan psikologis
merupakan bagian yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat
20
menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai. Tes yang biasanya
digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa The Minnesota Multiphasic
Personality Inventory (MMPI). Dalam mengetahui permasalahan psikologis
yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk
penanggulangan nyeri. 3,4
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan
imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan. 3,4
2.7.1 Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga untuk mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit. Ada beberapa metode yang umumnya
digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain :1,6
1. Verbal Rating Scale (VRS)
Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan
karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat
digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai
tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu tidak
nyeri (none), nyeri ringan (mild), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan
nyeri sangat berat (very severe).
2. Numerical Rating Scale (NRS)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang
21
dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10”
menggambarkan nyeri yang hebat.6
Gambar 2.6 Numeric pain intensity scale.6
3. Visual Analogue Scale (VAS)
Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan
tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah di
mengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.
Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan
mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.6
Gambar 2.7 Visual analog scale.6
4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal
nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara
lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan
merangking dari ”0” sampai ”3”.6
5. The Faces Pain Scale
Metode ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk
menilai intensitas nyeri pada anak-anak.6
22
Faces Pain Rating Scale (untuk anak)
Gambar 2.8 Faces pain scale.6
2.8 Penatalaksaanaan
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk
mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau
hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Dalam
melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan
nyeri. Perlu diketahui beberapa pertimbangkan yang perlu diperhatikan antara lain
bisakah pasien minum analgesik oral? Apakah pasien perlu pemberian IV untuk
mendapat efek analgesik cepat? Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik
atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik? 1
Gambar 2.9 WHO Three Step Analgesic Ladder
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi
mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu1 :
1. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti NSAID
atau COX2 spesific inhibitors.
23
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-
obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih
kuat. Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi
dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid. Pada
transmisi impuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal. Pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan
pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol.
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang
dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri 2:
1. Obat Analgetika Non Narkotika
Salah satu obat analgetik non narkotika adalah obat anti-inflamasi
nonsteroid (AINS). Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami
sebelum memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid
mempunyai titik tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase
untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak
terpengaruh oleh obat ini.2
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai
sedang. Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet,
kapsul, sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra
muskuler, dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat
ini juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria.
• Obat ini memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif
untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan
opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama,
jadi jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
• Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan
darah.
• Dapat diberikan dengan banyak cara antara lain : oral, im, iv, rektal, topikal.
Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena
nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.
24
Kontraindikasi AINS
• Riwayat tukak peptik
• Insufisiensi ginjal atau oliguria
• Hiperkalemia
• Transplantasi ginjal
• Antikoagulasi atau koagulopati lain
• Disfungsi hati berat
• Dehidrasi atau hypovolemia
• Terapi dengan frusemide
• Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko
kemunduran fungsi ginjal) pada :
• Pasien > 65 tahun
• Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit
pembuluh darah ginjal
• Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
• Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
• Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta,
cyclosporin, atau metoreksat.
• Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal
atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS. Ibuprofen aman
dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki efek
samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal
meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX
gastrointestinal dan ginjal. Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung
menimbulkan efek samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif.
Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa melindungi
lambung dari efek samping.
2. Obat Analgetika Narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat
didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut
dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma,
25
Delta dan Epsilon. Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa
preparat alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat
menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi. Efek
samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai
muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh
efek toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan
untuk pemberian secara suntik, baik intra muskuler maupun intravena. Pemberian
intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau intra
tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid Fentanyl juga
tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau dengan patch
dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga tersedia dalam
kemasan supositoria. Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan
pencatatan yang detail dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang
penggunaan obat ini ke instansi pengawas penggunaan obat-obat narkotika.2
Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornu dorsalis medula
spinalis di tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi ke dalam ruang
epidural atau kedalam ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang
digunakan menjadi sangat kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan
durasi analgesia yang sangat lama/panjang. Pemakaian obat analgetika narkotika
secara epidural atau intratekal, dapat dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist,
antikolinesterase atau adrenalin. Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat
efek analgesia yang sangat adekuat serta durasi yang lebih panjang, sedangkan
dosis yang diperlukan menjadi sangat kecil.2
3. Kelompok Obat Anestesia Lokal
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan ester dan golongan amide.13 Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam
perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme
oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama
melalui degradasi enzimatis di hati.13 Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari pamino-benzoic
acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar.13 Untuk kepentingan
26
klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama kerjanya menjadi 3
kelompok : 13
• Kelompok I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki potensi
lemah dengan lama kerja singkat.
• Kelompok II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki
potensi dan lama kerja sedang.
• Kelompok III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki
potensi kuat dengan lama kerja panjang.
Anestesi lokal juga dibedakan berdasar pada mula kerjanya. Kloroprokain,
lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif
cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain
bermula kerja lambat.3 Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk
golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain. Secara garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan sebagai berikut:13
Tabel 2.2 Jenis anestesi lokal
HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS
Anestesi lokal terdiri dari kelompok lipofilik biasanya dengan cincin bezene
dibedakan dari kelompok hidrofilik biasanya amin tersier berdasarkan rantai
intermediat yang memiliki cabang ester atau amine. Kelompok hidrofilik biasanya
amine tersier, seperti dietilamine, dimana bagian lipofilik biasanya merupakan
cincin aromatic tak jenuh, seperti asam para aminobenzoat. Bagian lipofilik penting
untuk aktivitas obat anestesi, dan secara terapeutik sangat berguna untuk obat
anestesi lokal yang membutuhkan keseimbangan yang bagus antara kelarutan lipid
dan kelarutan air. Pada hampir semua contoh, ikatan ester (-CO-) atau amide (-
NHC-) menghubungkan rantai hidrokarbon dengan rantai aromatic lipofilik. Sifat
27
dasar ikatan ini adalah dasar untuk mengklasifikasikan obat yang menghasilkan
blokade konduksi impuls saraf seperti obat anestesi lokal ester atau obat anestesi
lokal amide. Perbedaan penting antara obat anestesi lokal ester dan amide berkaitan
dengan tempat metabolisme dan kemapuan menyebabkan reaksi alergi.13
Potensi berkorelasi dengan kelarutan lemak, karena itu merupakan
kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran, lingkungan yang
hidrofobik. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan
meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul. Onset dari kerja obat
bergantung dari banyak faktor, termasuk kelarutan lemak dan konsentrasi relatif
bentuk larut-lemak tidak-terionisasi (B) dan bentuk larut-air terionisasi (BH+),
diekspresikan oleh pKa. Pengukurannya adalah pH dimana jumlah obat yang
terionisasi dan yang tidak terionisasi sama. Obat dengan kelarutan lemak yang lebih
rendah biasanya memiliki onset yang lebih cepat.13
Anestesi lokal dengan pKa yang mendekati pH fisiologis akan memiliki
konsentrasi basa tak-terionisasi lebih tinggi yang dapat melewati membran sel saraf,
dan umumnya memiliki onset yang lebih cepat. Onset dari kerja anestesi lokal
dalam serat saraf yang terisolasi secara langsung berkorelasi dengan pKa. Onset
klinis dari kerja anestesi lokal dengan pKa yang sama tidak identik. Faktor-faktor
lain, seperti kemudahan berdifusi melalui jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset
kerja in vivo. Terlebih lagi, tidak semua anestesi lokal berubah menjadi bentuk
terionisasi (contoh: benzocaine) anestesi ini kemungkinan beraksi dengan
mekanisme yang bergantian (contoh: memperlebar membran lipid).13
Hal yang penting dari bentuk ionisasi dan tak-terionisasi adalah implikasi
klinisnya. Larutan anestesi lokal dipersiapkan secara komersial dalam bentuk
garam hidroklorida yang larut-air (pH 6-7). Karena epinefrin tidak stabil dalam
suasana alkali, maka larutan anestesi lokal yang tersedia, yang mengandung
epinefrin, dibuat dalam suasana asam (pH 4-5). Sebagai konsekuensi langsung,
sediaan ini memiliki konsentrasi basa bebas yang lebih rendah dan onset yang lebih
lambat dibanding dengan epinefrin yang ditambahkan oleh klinisi saat akan
digunakan. Hal yang sama, rasio basa kation ekstraselular diturunkan dan onset
dihambat sewaktu anestesi lokal diinjeksi ke dalam jaringan yang bersifat asam
(misal: jaringan yang terinfeksi). Walaupun masih merupakan kontroversi,
28
beberapa peneliti melaporkan bahwa alkalinisasi larutan anestesi lokal (biasanya
sediaan komersial, yang mengandung epinefrin) dengan menambahkan sodium
bikarbonat (misal, 1 mL 8,4% sodium bikarbonat dalam tiap 10 mL lidokain) akan
mempercepat onset, memperbaiki kualitas dari blokade dan memperpanjang durasi
blokade dengan meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia. Yang menarik,
alkalinisasi juga menurunkan nyeri saat dilakukan infiltrasi pada jaringan.13
Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan lemak. Anestesi lokal
dengan kelarutan lemak tinggi memiliki durasi yang lebih panjang, diperkirakan
karena lebih lama dibersihkan dari dalam darah.13
Mekanisme Kerja
Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif
pada membrane saraf. Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul
obat anestesi lokal. Penyumbatan gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat
anestesi lokal berkontribusi sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi
permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk
meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial
tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak
mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.13
Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor
Nmethyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa
golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine,
anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium.14
Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal.
Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi,
dan berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter yang kecil dan banyaknya
mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal. Dengan demikian,
sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom > sensorik > motorik.15
29
2.8.1 Farmakologi Klinis
Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan lokasi
kerja maka farmakokinetik dari obat umumnya lebih dipentingkan tentang eliminasi
dan toksisitas obat dibanding dengan efek klinis yang diharapkan.14
A. Absorpsi
Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap
penetrasi anestesi lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang
utuh membutuhkan anestesi lokal larut-lemak dengan konsentrasi tinggi untuk
menghasilkan efek analgesia.13
Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran
darah, yang ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini:14
1. Lokasi injeksi laju absorpsi sistemik proporsional dengan vaskularisasi
lokasi injeksi : intravena > trakeal > intercostal > caudal > paraservikal
> epidural > pleksus brakhialis > ischiadikus > subkutaneus.
2. Adanya vasokonstriksi penambahan epinefrin atau yang lebih jarang
fenilefrin menyebabkan vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi.
Sebabkan penurunan absorpsi dan peningkatan pengambilan neuronal,
sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, dan
meminimalkan efek toksik. Efek vasokonstriksi yang digunakan
biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga
dapat meningkatkan kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat
aktivitasnya terhadap resptor adrenergik α2.
3. Agen anestesi lokal anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan
lebih lambat terjadi absorpsi. Dan agen ini bervariasi dalam vasodilator
intrinsik yang dimilikinya.
B. DISTRIBUSI
Distribusi tergantung dari ambilan organ, yang ditentukan oleh faktor-faktor
dibawah ini :16
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru,
hepar, ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal
30
yang cepat (fase α), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase β)
sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran cerna).
2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat
cenderung mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana
kelarutan lemak yang tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.
3. Massa jaringan otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi
lokal karena massa dari otot yang besar.
C. Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan
strukturnya :13
1. Ester-anestesi lokal ester dominan dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
(kolinesterase palsma atau butyrylkolinesterase). Hidrolisa ester sangat
cepat, dan metabolitnya yang larut-air diekskresikan ke dalam urin.
Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi asam paminobenzoiz
(PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi. Pasien yang secara genetik
memiliki pseudokolinesterase yang abnormal memiliki resiko intoksikasi,
karena metabolisme dari ester yang menjadi lambat.
2. Amida-anestesi lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi)
oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar. Laju metabolisme amida tergantung
dari agent yang spesifik (prilocine > lidocaine > mepivacaine >
ropivacaine > bupivacaine), namun secara keseluruhan jauh lebih lambat
dari hidrolisis ester. Penurunan fungsi hepar (misal pada sirosis hepatis) atau
gangguan aliran darah ke hepar (misal gagal jantung kongestif, vasopresor,
atau blokade reseptor H2) akan menurunkan laju metabolisme dan
merupakan predisposisi terjadi intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat
yang diekskresikan tetap oleh ginjal, walaupun metabolitnya bergantung
pada bersihan ginjal.
2.8.2 Komplikasi Obat Anestesi Lokal
1. Efek samping lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah
yang cukup besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau
ada gangguan pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom
31
ini bila terinfeksi akan dapat membentuk abses. Apabila tidak infeksi mungkin
saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi
apabila telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila
suatu organ end arteri dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin,
dapat saja terjadi nekrosis yang memerlukan tindakan nekrotomi, disertai
dengan antibiotika yang sesuai.13
2. Pengaruh Pada Sistem Organ
Blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh
tubuh, sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal dapat
menyebabkan intoksikasi sistemik.13,14
A. Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi
dari anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala
overdosis pada pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi
lidah, dan pusing. Keluhan sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang
kabur. Tanda eksitasi (kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering
menunjukkan adanya depresi sistem saraf pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo,
mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat, kecil dan
spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti dengan gagal
nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur inhibitor.
Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi menyebabkan
kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen anestesi
dengan potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan
pemaparan obat, benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang
terjadinya kejang karena anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat
dan tepat menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap
dipertahankan.14
Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran darah otak dan
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya timbul pada
intubasi pasien dengan penurunan komplians intrakranial. Lidokain dan prokain
infus selama ini digunakan sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum,
32
karena kemampuannya menurunkan MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%.
13
Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab
dari neurotoksik (sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu
melalui keteter bore-kecil pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena
adannya pooling obat di kauda ekuina, yang sebabkan peningkatan konsentrasi
obat dan kerusakan saraf yang permanen. Penelitian pada hewan menunjukkan
neurotoksisitas pada pemberian berulang melalui intratekal bahwa lidokain =
tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.14,15
Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan
nyeri pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi
spinal dengan berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan
dengan adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1
minggu. Faktor resikonya adalah penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas,
dan kondisi pasien.13
B. Respirasi
Lidokain menekan respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis dan
nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu
setelah pemaparan langsung anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot
polos bronkhus. Lidokain intravena (1,5mg/kg) terkadang mungkin efektif
untuk memblok refleks bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain
diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien
yang menderita penyakit saluran nafas reaktif.13
C. Kardiovaskular
Umumnya, semua anestesi lokal menekan automatisasi miokard
(depolarisasi spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode refraktori.
Kontraktilitas miokard dan kecepatan konduksi juga terdepresi dalam
konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh ini menyebabkan perubahan membran
otot jantung dan inhibisi sistem saraf autonom. Semua anestesi lokal, kecuali
cocaine, merelaksasikan otot polos, yang sebabkan vasodilatasi arteriolar.
Kombinasi yang terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan hipotensi dapat
mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor
33
biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat
sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama
anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk
hipotensi, blok atrioventrikular, irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat
mengancam nyawa seperti ventrikular takikardi dan fibrilasi. Kehamilan,
hipoksemia, dan adisosis respiratorik merupakan faktor predisposisi.13
Ropivacaine memiliki banyak kesamaan dalam psikokimia dengan
bupivakain kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine adalah larut-lemak. Waktu
onset dan durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik lebih
rendah, yang sebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa
penelitian. Yang paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi
yang besar karena 70% lebih sedikit menyebabkan intoksikasi kardia
dibandingkan dengan bupivakain. Ropivakain dikatakan memiliki toleransi
terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan dari ropivacaine ini
mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau
availibilitasnya sebagai isomer S (-) yang murni, yang bertolak belakang dengan
struktur dari bupivakain. Levobupivakain, merupakan isomer S(-) dari
bupivakain, yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan memiliki
efek samping terhadap kardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada
struktur campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap
kardiovaskular hampir menyerupai efek ropivacaine.13
D. Imunologi
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal yang bukan
intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihan merupakan hal
yang jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena
adanya derivat ester yaitu asam paminobenzoic, yang merupakan suatu alergen.
Sediaan komersial multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben,
yang memiliki struktur kimia mirip dengan PABA. Bahan ini yang bertanggung
jawab terhadap sebagian besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu
mengurangi respon inflamasi karena pembedahan dengan cara menghambat
pengaruh asam lysophosphatidic dalam mengaktivasi neutrofil.14
34
E. Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara
histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan
nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan
atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan
menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan kerusakan otot yang tidak
terlalu berat dibanding bupivakain.13
F. Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis
dalam darah yang diukur dengan thromboelastography. Pengaruh ini mungkin
berhubungan dengan penurunan efikasi autolog epidural setelah pemberian
anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang lebih rendah pada pasien
yang mendapatkan anestesi epidural.13
Interaksi Obat
Anestesi lokal meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi.
Suksinil kolin dan anestesi lokal ester bergantung pada pseudokolinesterase untuk
metabolismenya. Pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing-
masing obat. Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase
dan digunakan untuk mendeteksi kelainan genetik enzim. Inhibitor
pseudokolinaesterase dapat menyebaban penurunan metabolisme dari anestesi
lokal ester. Cimetidine dan propanolol menurunkan aliran darah hepatik dan
bersihan lidokain. Level lidokain yang lebih tinggi dalam darah meningkatkan
potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan agonis adrenergik α2
(contoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi penghilang rasa nyeri anestesi
lokal. Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin
intraspinal.13-16
Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase
depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera,
35
didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri, didaerah
perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal.
Tabel 2.3 Dosis maksimum aman dari anestesi lokal
2.8.3 Modalitas Anestesi Regional dengan Bupivakain
Bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan amida sintesis, dibuat oleh
A.F. Ekenstam pada tahun 1957 dan dipergunakan secara klinis pada tahun 1963.
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan masa kerja yang panjang, biasa
digunakan sebagai manajemen nyeri akut pasca operasi. Pada konsentrasi 0.5%
menyebabkan blok motorik yang lebih sedikit dibandingkan obat anestesi lokal
lainnya.17
Farmakodinamik dan Farmakokinetik Bupivakain di Perifer
Sebagai obat anestesi lokal, bupivakain menstabilisasi membran sel saraf
dengan cara mencegah depolarisasi pada membran sel saraf melalui penghambatan
masuknya ion natrium. Saluran Na sendiri merupakan reseptor spesifik untuk
molekul anestesi lokal. Kemacetan pembukaan saluran Na oleh molekul anestesi
lokal sedikit memperbesar hambatan keseluruhan permeabilitas Na+. Kegagalan
permeabilitas saluran ion terhadap Na+, memperlambat peningkatan kecepatan
depolarisasi sehingga ambang potensial tidak dicapai dan dengan demikian
potensial aksi tidak disebarkan. Saluran Na+ dalam keadaan diaktivasi-terbuka,
36
tidak diaktivasi tertutup dan istirahat- tertutup selama berbagai fase aksi potensial.
Pada membran saraf istirahat, saluran Na+ didistribusi dalam keseimbangan di
antara keadaan istirahat–tertutup dan tidak diaktivasi-tertutup. Dengan ikatan yang
selektif terhadap saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup, molekul
anestesi lokal menstabilisasi saluran dan mencegah perubahannya menjadi keadaan
istirahat-tertutup, dan diaktivasi-terbuka terhadap respon impuls saraf. Saluran
Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup tidak permeabel terhadap Na+
sehingga konduksi impuls saraf dalam bentuk penyebaran potensial aksi tidak
dapat terjadi. Hal ini karena saluran Na+ tidak diaktivasi-tertutup sehingga
potensial aksi tidak terjadi, obat anestesi hanya bekerja pada bagian/sisi spesifik.18
Ada dua mekanisme pemberian anestesi lokal secara infiltrasi lokal, yaitu:
Anestesi lokal yang memblokade transmisi nyeri langsung dari serabut nosiseptif
afferen di permukaan perlukaan, dengan berikatan dengan saluran natrium yang
berada di membran axon, sehingga aksi potensial terhalangi.23 Disini,
penghambatan inflamasi lokal terjadi di tempat perlukaan. Proses inflamasi ini
berkontribusi atas terjadinya nyeri dan hiperalgesia di tempat perlukaan. Infiltrasi
anestesi lokal mengurangi pelepasan mediator inflamasi yang berasal dari
neutrofil, mengurangi perlengketan neutrofil di endotel, mengurangi pembentukan
radikal bebas di tempat perlukaan, dan mengurangi terjadinya edema akibat proses
inflamasi tersebut.18
Infiltrasi anestesi lokal di sekitar perlukaan merupakan komponen dari
multimodal analgesia. Walaupun tindakan ini terbatas dengan masa kerja dan durasi
kerja anestesi lokal itu sendiri. Sebagai tambahan, anestesi lokal yang diberikan
melalui perlukaan operasi. Analisis Cochrane menyebutkan bahwa anestesi lokal
yang diberikan pada perlukaan pasca operasi bedah sesar mengurangi penggunaan
morfin pasca operasi selama 24 jam. Pemberian anestesi lokal ini menurut beberapa
literatur dapat diberikan sesaat sebelum kulit diinsisi, sesaat sebelum kulit akan
ditutup. Yang harus digarisbawahi adalah infiltrasi lokal di sekitar perlukaan
tersebut dapat meningkatkan risiko infeksi pasca operasi, sehingga penyuntikannya
harus diusahakan steril. Anestesi lokal dapat diberikan melalui jalur di intradermal,
subkutan, atau submukosa yang banyak dilewati oleh saraf-saraf sensorik.
Pemberian secara umum untuk teknik infiltrasi ini diberikan di subkutan.18
37
Bupivakain memiliki reaksi cepat dan memiliki durasi panjang. Efek reaksi
Bupivakain timbul dalam waktu 5 – 10 menit dan durasi 90 -120 menit. Dosis
maksimal Bupivakain adalah 2,5 mg/kg berat badan. Konsentrasi Bupivakain yang
digunakan bekisar 0,125-0,75% dengan ataupun tanpa penambahan epinefrin.
Bupivakain memiliki kadar puncak dalam plasma yang tercapai setelah 30 – 45
menit dan turun dalam waktu 3 – 6 jam. Waktu paruh Bupivakain pada orang
dewasa adalah 2,7 jam, sedangkan pada neonatus 8,1 jam.19
Efek Samping Bupivakain
Toksisitas sering dihubungkan langsung kepada potensinya karena blokade
dari saluran natrium mempengaruhi potensial aksi dari propagasi pada seluruh
tubuh sehingga mempunyai kemampuan untuk toksisitas sistemik. Obat anestesi
lokal campuran seharusnya mempunyai efek toksik yang secara kasar lebih adiktif.
Sebuah larutan yang mengandung 50% dosis toksik lidokain dan 50% dosis toksik
bupivakain akan mempunyai kira-kira 100% efek toksik dari masing-masing
obat.18,19
1. Efek toksik neurologik
Sebagian sistem saraf pusat sangat peka terhadap toksisitas obat anestesi
lokal dan menjadi penanda utama dari kelebihan dosis pada pasien sadar. Gejala
awal adalah mati rasa pada daerah bibir, lidah yang kelu, dan pusing. Tanda
eksitatori (misalnya: lelah, agitasi, gugup dan paranoia) sering disebabkan karena
depresi susunan saraf pusat (misalnya: bicara yang tidak jelas, pusing dan tidak
sadar). Kedutan otot merupakan awal dari mulainya kejang tonik klonik, gagal
nafas menjadi kelanjutannya. Reaksi eksitatori adalah sebuah hasil dari blokade
selektif pada jalur inhibisi. Obat anestesi lokal yang poten, highly lipid soluble,
menghasilkan kejang pada konsentrasi darah yang rendah dibandingkan dengan
obat anestesi lokal yang kurang poten. Dengan meningkatkan aliran darah ke otak
dan paparan obat, benzodiazepine dan hiperventilasi meningkatkan ambang batas
dari kejang yang disebabkan oleh obat anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) secara
cepat dapat diandalkan untuk menghilangkan aktifitas kejang. Ventilasi dan
oksigenasi yang cukup harus dijaga selama berlangsungnya kejang.18,19
38
2. Efek toksik kardiovaskular
Pada umumnya, semua obat anestesi lokal menekan otot jantung secara
otomatis, dan menurunkan durasi periode refraktori. Kontraktilitas otot jantung dan
velositas konduksi juga ditekan pada dosis yang lebih tinggi. Efek ini merupakan
hasil dari perubahan langsung pada membran otot jantung (misalnya: blokade
saluran natrium jantung) dan menghambat sistem saraf autonom. Semua obat
anestesi lokal selain kokain menghasilkan relaksasi otot polos, yang mana
menyebabkan beberapa perubahan pada vasodilatsi arteri. Hal ini dikombinasikan
dengan bradikardi, blok jantung, dan hipotensi dapat menyebabkan terjadinya gagal
jantung. Toksisitas kardiovaskular utamanya membutuhkan sekitar tiga kali dari
konsentrasi pada darah yang dapat menyebabkan kejang. Aritmia jantung atau gagal
sirkulasi menjadi penanda awal pada overdosis anestesi lokal. Stimulasi
kardiovaskular yang sementara (takikardi dan hipertensi) dapat timbul lebih awal
dan menunjukkan eksitasi sisitem saraf pusat.18,19
Bupivakain yang disuntikkan secara tidak disengaja ke dalam intravaskular
selama anestesi regional menghasilkan reaksi toksik kardio yang berat, termasuk
hipotensi, blok jantung atrioventrikuler, irama idioventrikuler, dan aritmia, yang
1mengancam nyawa seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan,
hipoksemia, dan asidosis respiratorik merupakan faktor predisposisi. Penelitian
elektrofisiologis telah menunjukkan bahwa bupivakain dihubungkan dengan
perubahan yang siginifikan pada depolarisasi dibandingkan lidokain. Isomer R (+)
pada bupivakain dengan cepat memblok saluran natrium dan berdisosiasi dengan
sangat lambat. Pada dosis tinggi, saluran kalsium dan kalium juga dapat diblok.
Resusitasi dari toksisitas kardiovaskular yang disebabkan oleh bupivakain sering
membutuhkan dosis vasopressor yang lebih tinggi seperti epinefrin, norepinefrin
dan vasopressin serta terapi yang lebih lama. Amiodaron dan kemungkinan
bretylium harus dipertimbangkan sebagai alternatif pilihan daripada lidokain,
untuk menangani ventricular takiaritmia karena toksisitas anestesi lokal.
Isoproterenol dapat secara efektif membalikkan beberapa perubahan karakter
elektrofisiologis yang abnormal dari toksisitas bupivakain.18,19
39
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas : Ni Wayan Srinade / P / 67 tahun (31/12/1951) / 16052284
/ BPJS-UMUM / Gandasturi
Alamat : Banjar Yeh Poh Desa Manggis, Karangasem
MRS :13 Agustus 2019, pukul 15.19 WITA
DPJP Bedah : dr. I Wayan Subawa, Sp.OT
DPJP Anestesi : Dr. dr. Tjok Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR
Diagnosis : Non union right tibia fibula
Tindakan : ORIF PS + Bone Graft
Status Fisik : ASA II dengan RA-CSE
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan kaki kanan bengkok kurang lebih 9 bulan SMRS.
Awalnya pasien mengalami kecelakaan pada tahun 2016 dan saat itu langsung
dilakukan tindakan operasi di RSUP Sanglah. Pada saat itu dilakukan pemasangan
internal dan eksternal fiksasi. Kemudian 9 bulan yang lalu, pasien datang kontrol
ke RSUD Klungkung dan dilakukan pelepasan fiksasi pada kaki. Semenjak saat itu
kaki kanan pasien bengkok. Pasien kemudian kontrol ke RSUD Klungkung
kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah untuk dilakukan penanganan yang lebih
lanjut. Makan dan minum masih baik. BAK dan BAB normal.
Riwayat operasi:
1. Debridemen eksternal fiksasi bulan Desember 2016 di RSUP Sanglah
dengan RA-CSE tanpa komplikasi.
40
2. Lepas eksternal fiksasi 9 bulan yang lalu di RSUD Klungkung dengan
RA tanpa komplikasi.
Riwayat alergi obat dan makanan : Tidak ada
Riwayat sedang meminum obat-obatan : Tidak ada
Riwayat merokok dan minum alkohol : Tidak ada
Riwayat penyakit sistemik : Tidak ada
Riwayat penyakit lain : Tidak ada
Pemeriksaan Fisik
BB: 43 kg; TB: 150 cm; BMI: 19,022 kg/m2; Suhu axilla: 37°C; NRS diam 0/10;
NRS gerak 0/10
SSP : Compos Mentis, E4V5M6
Respirasi : Frekuensi 14 x/menit, vesikular, rhonki -/-, wheezing -/-,
SpO2 98% udara ruangan
Kardiovaskular : Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 76 x/menit, S1 S2
tunggal, regular, murmur (-)
Gastrointestinal : Supel, bising usus (+) normal, distensi (-)
Urogenital : BAK spontan
Muskuloskeletal : Fleksi defleksi baik, Mallampati II, gigi geligi ompong
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (09/08/2019) : WBC 5,79 x103/µL (4,1-11); HGB 14,55 g/dL
(13,5-17,5); HCT 46,81 % (41-53); PLT 304.70 x103/µl (150-440).
Faal Hemostasis (09/08/2019) : PT 13.6 detik (10,8-14,4); aPTT 29.8 detik (24-
36); INR 0.97 (0,9 – 1.1).
41
Kimia Klinik (09/08/2019) : BUN 9.40 mg/dL (8-23); SC 0.56 mg/dL (0,7-1,2); e-
LFG 94,78; K 3.66 mmol/L (3,5-5,1); (70-140); Albumin 4,50 g/dL (3,40-4,80).
EKG (12/08/2019) : sinus Rhytm 80x/menit. ST-T change tidak ada.
Thorax AP (09/08/2019) : Aortosklerosis; Pulmo tak tampak kelainan.
Cruris Dextra AP/Lateral (09/08/2019) : Menyokong gambaran osteomyelitis
kronis 1/3 distal os tibia fibula dextra disertai fraktur patologis 1/3 distal os tibia-
fibula dextra, displacement (+), angulation (+) dan soft tissue swelling regio 1/3
distal cruris dextra; Disuse osteopenia.
Ankle Dextra AP/Lateral (09/08/2019) : Menyokong gambaran osteomyelitis
kronis 1/3 distal os tibia fibula dextra disertai fraktur patologis 1/3 distal os tibia-
fibula dextra, displacement (+), angulation (+) dan soft tissue swelling regio 1/3
distal cruris dextra; Disuse osteopenia.
Permasalahan Aktual:
1. SSP: Geriatri minikognitif baik
Permasalahan Potensial:
1. Perdarahan
2. Emboli
Pembedahan:
1. Lokasi : Tibia dan fibula dextra
2. Posisi : Supine
3. Durasi : 4 jam
KESIMPULAN: Status Fisik ASA II
PERSIAPAN PRA ANESTESIA
Persiapan di Ruang Perawatan
Evaluasi identitas penderita.
Persiapan Psikis
1. Anamnesis umum dan anamnesis khusus .
42
2. Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang rencana
anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai
di ruang pemulihan.
Persiapan Fisik
1. Puasa 8 jam sebelum operasi.
2. Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi.
3. Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi.
4. Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang.
5. Memeriksa surat persetujuan operasi.
6. Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan 20 tetes
per menit.
Persiapan di Ruang Persiapan
1. Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi
2. Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan.
3. Evaluasi ulang status present dan status fisik.
4. Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi.
Persiapan di Kamar Operasi
1. Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas.
2. Menyiapkan monitor dan kartu anestesia.
3. Mempersiapkan obat dan alat anestesia.
4. Menyiapkan obat dan alat resusitasi.
5. Evaluasi ulang status present penderita.
Teknik Anestesi : RA-CSE
Pre medikasi : Fentanyl 25 mcg IV, Dipenhydramin 10 mg IV,
Dexametason 10 mg IV
Analgetik : Bupivacaine heavy 0,5 % 7,5 mg
Dilakukan pemasangana epidural kateter di l3-l4 dengan panjang kateter dalam
ruang epidural 5 cm, dengan regimen bupivakain 0,5% vol 10 ml.
Medikasi lain : Ondansetron 4 mg IV, Asam Tranexamat 1000 mg IV.
43
Durante operasi
Hemodinamik : TD 80-120/60-70 mmHg; Nadi 70-110x/m; SpO2 98%
nasal canul
Cairan masuk : RL 1500 ml.
Cairan keluar : BAK 500 cc, perdarahan 200 cc
Lama operasi : 4 jam 30 menit
Pasca operasi
Analgetik : Epidural Bupivakain 0,0625% + 1 mg morfin volume 10 ml
tiap 10 – 12 jam via epidural kateter, Paracetamol 500 mg
setiap 6 jam peroral
Perawatan : Ruangan Gandasturi
47
BAB IV
PEMBAHASAN
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Nyeri pada pasien
paska operasi merupakan suatu nyeri yang tidak dapat dihindari, namun terdapat
keuntungan disini dimana nyeri sudah dapat diprediksi, sehingga dapat dipersiapkan
penanganan yang baik untuk mencegah terjadinya komplikasi yang berat pada pasien
paska operasi.
Penanganan nyeri pada saat akut merupakan hal yang sangat penting, dimana
apabila nyeri yang masih akut dibiarkan terus menerus, dapat mengalami sensitisasi
menjadi nyeri yang kronis. Selain dari nyeri kronis, banyak perubahan dapat terjadi
pada organ tubuh lain yang akan memberikan dampak negatif bagi pasien.
Pada kasus diatas, pasien perempuan 67 tahun dengan diagnosis non union tibia
dan fibula kanan yang menjalani prosedur ORIF PS dan bone graft. Preoperasi pasien
dengan permasalahan riwayat kecelakaan lalu lintas tahun 2016 dan sudah dilakukan
internal serta eksternal fiksasi. 9 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien melepaskan
fiksasi dan merasakan kaki kanan bengkok.
Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan anestesi regional combine
spinal epidural (CSE) dengan dilakukan pemasangan epidural kateter di L3-L4 dengan
panjang kateter di ruang epidural 5 cm dengan regimen bupivakain 0,5% volume 10
ml. Selanjutnya pasien diposisikan supine untuk menjalani prosedur pembedahan.
Pemberian obat paska operasi pasien berprinsip pada penanganan nyeri yang
bersifat multimodal yaitu dengan memanfaatkan beberapa obat yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda atau ikatan reseptor yang berbeda, sehingga efek
analgetik yang didapatkan dapat dimaksimalkan dengan penggunaan dosis yang lebih
47
rendah. Pemberian dosis yang rendah tersebut dapat dicapai efek samping yang lebih
minimal dari penggunaan masing-masing obat.
Pada kasus ini, pasien diberikan analgetik berupa epidural bupivakain 0,0625%
ditambah 1 mg morfin volume 10 ml tiap 12 jam via epidural kateter dan parasetamol
500 mg tiap 6 jam peroral selama 4 hari. Pemberian obat golongan ini didasarkan pada
nyeri akut yang sesuai dengan WFSA analgesic ladder yang berprinsip untuk
memberikan obat opioid dosis tinggi diawal yang kemudian akan dititrasi menjadi
semakin rendah berikutnya. Pemilihan rute intraepidural lebih banyak digunakan pada
bupivakain dan morfin dikarenakan pasien yang baru saja menjalani operasi dimana
pasien menjalani puasa selama 8 jam, sehingga penggunaan oral kurang efektif.
Bupivakain memiliki reaksi cepat dan memiliki durasi panjang. Efek reaksi bupivakain
timbul dalam waktu 5 – 10 menit dan durasi 90 -120 menit. Dosis maksimal bupivakain
adalah 2,5 mg/kg berat badan. Konsentrasi bupivakain yang digunakan bekisar 0,125-
0,75% dengan ataupun tanpa penambahan epinefrin. Bupivakain memiliki kadar
puncak dalam plasma yang tercapai setelah 30 – 45 menit dan turun dalam waktu 3 –
6 jam. Waktu paruh bupivakain pada orang dewasa adalah 2,7 jam, sedangkan pada
neonatus 8,1 jam.18,19
Selain itu, penggunaan morfin juga didasarkan pada beberapa hasil penelitian
yang dilakukan untuk menilai skor nyeri pada berbagai pasien yang menjalani operasi,
disimpulkan pada rata-rata pasien yang menjalani operasi orthopaedic merasakan nyeri
dengan intensitas sedang, pada pasien ini juga merasakan nyeri dengan intensitas
sedang, namun setelah pemberian terapi analgetik lokal bupivakain 0,125% dan morfin
1% VAS pasien menjadi 0/10. Penilaian ini tidak selalu berlaku untuk semua pasien
yang menjalani operasi yang sama, karena nyeri bersifat subjektif yang dipengaruhi
oleh emosional seseorang. Penggunaan opioid berupa morfin melalui injeksi epidural
sebagian kecil molekul berikatan dengan reseptor dorsal horn yang secara efektif
menghalangi transmisi nyeri pada sinaps pertama dalam sistem saraf pusat.
Keuntungan opioid spinal yaitu memiliki selektivitas analgetik tanpa adanya blokade
simpatis dan motorik. Dosis yang digunakan untuk bolus epidural yaitu morfin 2,5 mg
47
Gambar 4.1 Pilihan terapi berdasarkan dari tingkatan nyeri yang
diperkirakan dari berbagai jenis operasi
hingga 5 mg dengan onset analgetik pasca operasi yaitu 30 menit hingga 60 menit dan
puncak dicapai 90 menit hingga 120 menit dengan durasi 12 jam sampai 24 jam.20
Pemberian parasetamol pada pasien ditujukan untuk terapi multimodal atau
sebagai tambahan untuk memberikan efek analgesia maksimal. Selain itu, pemberian
parasetamol dapat mengurangi dosis morfin sehingga dapat mengurangi resiko efek
samping dari obat yang digunakan. Pada kasus ini, tidak digunakan terapi modal lain
(fisik, kognitif behavioral, dan lainnya) dikarenakan kurangnya bukti dan penggunaan
yang masih belum banyak di Indonesia.
47
BAB V
SIMPULAN
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam
perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh
enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui
degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari p-aminobenzoic
acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang
lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan
amide adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium
selektif pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk
meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak
tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah
potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat
timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis
pada susunan saraf pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi, muskuloskeletal dan
hematologi. Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan
dapat meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi
lokal serta meningkatkan potensi intoksikasi.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 2013, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2007.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi V, Bag Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2010.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 2009, 13-25.
5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2009, 26-65.
6. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and
Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2009.
7. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London, 2010, 78-102.
8. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2012.
9. Chou R, Gordon DB, Leon-casasola OA De, Rosenberg JM, Bickler S,
Brennan T, et al. Management of Postoperative Pain: A Clinical Practice
Guideline From the American Pain Society, the American Society of Regional
Anesthesia and Pain Medicine, and the American Society of Anesthesiologists’
Committee on Regional Anesthesia, Executive Committee, and Administrative
Council. J Pain 2016;17:131–57. doi:10.1016/j.jpain.2015.12.008.
10. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and
Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2009.
11. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran
Perioperatif, Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2010, bab 14, 57-69.
49
12. Melati, Endang., Pediatric Pain Management In Trauma, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang, 2013.
13. R. Samodro, D. Sutiyono, and H. Satoto, "Mekanisme Kerja Obat Anestesi
Lokal" JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia). Vol. 3; 1. Maret. 2011.
14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical
Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books,
2006 : 151-52, 263-75.
15. Miller RD. Anesthesia. 5th edition. Philadelphia : Churchill & Livingstone,
2000 : 491 – 515.
16. Marwoto, Primatika DA. Anestesi Lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko
DH. editor. Anestesiologi. Semarang : Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP, 2010: 309-22.
17. Christopher D Press, Rick Kulkarni, Andrew K Chang, Fransisco Talavera F,
Luis M Lovato, Gil Z Shlamovits. Medscape Reference Drugs, Disease, &
Procedures. 2013.
18. Cowles CE.Local Anesthetics. In: JF Butterworth, DC Mackey & JD Wanick
(eds) Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology. 5th Edition. New York:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2013:pp. 263-76.
19. Stoelting RK, Hillier SC. Local Anesthetics In:Stoelting RK, Hillier
SC(eds)Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th Edition.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006:pp.177-207.
20. Raymod S, Sinatra MD, Jaime Torres, Arsenio M.Bustos. Pain Management
After Major Orthopaedic Surgery: Current Strategies and New Concepts.
Department of Anesthesiology, Yale University School of Medicine, New
Haven. Vol.10, No.2, 2002:pp.117-129.