Sindroma Nefrotik

23
Sindrom Nefrotik Kelompok A 5 : Cinthya Ayu Christine 10.2009.068 Thomas Lekawael 10.2009.235 Clara Anggraini 10.2011.035 Andre Christian Cundawan 10.2011.110 Ginatri Florinda Gultom 10.2011.155 Rachel Noviana Tommy 10.2011.261 Vincentsius Adrian Madargerong 10.2011.311 Paskalia Endosetriani Romas 10.2011.326 Angela Mamporok 10.2011.427 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11520 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

description

Sindroma Nefrotik

Transcript of Sindroma Nefrotik

Sindrom Nefrotik

Kelompok A 5 :Cinthya Ayu Christine 10.2009.068Thomas Lekawael 10.2009.235Clara Anggraini 10.2011.035Andre Christian Cundawan10.2011.110Ginatri Florinda Gultom 10.2011.155Rachel Noviana Tommy 10.2011.261Vincentsius Adrian Madargerong10.2011.311Paskalia Endosetriani Romas 10.2011.326Angela Mamporok 10.2011.427

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANAJl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11520Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

PendahuluanSindrom Nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan adanya proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.1 Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal, nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif.. Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif.1,2PembahasanSkenario Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun didapati kadar kolesterol dan trigliserida yang meningkat dan juga menurut ibunya anak tersebut selalu bangun dengan kondisi wajah yang sembab terutama di daerah mata setiap paginya. Pada pemeriksaan fisik, didapati berat badan meningkat dari sebelumnya dan ada edema scrotal.Anamnesis3 Anamnesis yang dilakukan adalah alloanamnesis dari ibu pasien. Identitas pasien: Nama pasien Usia pasien Jenis kelamin pasien Identitas orang pengantar : Nama orang pengantar pasien Usia orang pengantar Status orang pengantar terhadap pasien

Keluhan utama pasienDitemukan wajah sembab terutama di daerah mata. Riwayat penyakit sekarang : Menanyakan apakah mata bengkak setiap pagi Menanyakan sudah berapa bengkak pada mata terjadi Apakah bengkak juga terjadi pada kedua kaki pada siang hari Apakah bengkak berkurang pada waktu siang hari atau sore hari Apakah perut membesar Apakah berat badan bertambah Apakah BAK berbuih Riwayat penyakit dahulu pasien : Menanyakan apakah pasien mengalami gejala seperti ini sebelumnya Riwayat penyakit keluarga: Menanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita glomerulonefritisPemeriksaan Fisik3,4 Keadaan umum : Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran: compos mentis Tekanan darah: 160/60mmHg (anak usia 4-6 tahun), 185/60 mmHg (anak usia 6-8 tahun) - normal Nadi: 105 kali/menit (anak usia 2-6 tahun), 95 kali/menit (anak usia 6-10 tahun) - normal Pernapasan : 20-50 kali/menit (anak) - normal Suhu: 360C 37,50C (normal)

Inspeksi : Edema pada palpebra dan scrotum Abdomen cembung (buncit) Berat badan meningkat Palpasi : Undulasi (+) Pitting edem Perkusi : Dapat timbul asites pada abdomen (shifting dullness), efusi pleura. Auskultasi : Tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan Penunjang5Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (padaprotein-losing enteropathy),dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti padaangioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan: proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya: Urinalisis Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus Hematuria makroskopik jarang ditemukan Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau dengan protein urin 24 jam. Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi proteinuria orthostatic. Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3mg/mg. Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL. Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin. Albumin serum Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5 g/dL. Jarang mencapai 0.5 g/dL

Pemeriksaan lipid Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density lipoprotein). Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat. Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau menurun Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor. Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena deplesi volume intravascular dan/atau thrombosis vena renal bilateral. Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia. Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia. Pemeriksaan Hitung Jenis Darah Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan adanya hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular. Nilai platelet biasanya meningkat. Tes HIV, hepatitis B dan C Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN. Pemeriksaan C3, C4 Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi, SN tipe membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis. Antinuklear antibodi (ANA) Untuk skrining penyakit vaskular kolagen pada pasien dengan gejala sistemik (demam, ruam, penurunan berat badan, dan nyeri sendi) ataupun bagi pasien sindroma nefrotik pada usia akhir sekolah atau dewasa muda dimana insidensi lupus cukup tinggi.Diagnosis KerjaSindrom NefrotikSindrom nefrotik adalah suatu penyakit atau sindrom yang mengenai glomerulus yang ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis : Sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa. Dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.6

Diagnosis Banding Sindrom nefrotik kongenitalSindroma nefrotik jarang terjadi selama usia 1 tahun pertama. Penyebab terjadinya nefrosis selama umur 6 bulan pertama meliputi sindrom nefrotik kongenital, infeksi kongenital (sifilis, toksoplasmosis, sitomegalovirus), dan sklerosis mesangium difus yang tidak diketahui sebabnya (sindrom drash, yang terdiri dari nefropati, tumor Wilms, dan kelainan kongenital). Nekrosis yang terjadi selama usia setengah tahun pertama terakhir adalah paling lazim terkait dengan sindrom nefrotik atau obat-obatan. Karena keanekaragaman penyebab perkembangan sindrom nefrotik selama usia tahun pertama, semua penderita demikian harus menjalani biopsi untuk menemukan penyebab yang tepat dan keparahan penyakitnya.7Sindrom nefrotik kongenital (tipe finnish) merupakan gangguan autosom resesif yang paling lazim dijumpai pada populasi keturunan Skandinavia. Gambaran patologi utama pada beberapa penderita adalah dilatasi tubulus kontortus (penyakit mikrokistik), tetapi hal ini bervariasi, meskipun pada keluarga yang sama. Glomerulus menunjukkan proliferasi mesangium dan sklerosis. Patogenesis sindrom ini belum diketahui, telah terlihat adanya penurunan jumlah tempat-tempat anion kaya-heparin sulfat pada membrana basalis glomerulus. Meskipun proteiuria ada pada saat lahir, sindrom nefrotik menjadi nyata pada 3 bulan pertama. Tanda-tanda klinis tambahan meliputi prematuritas, pembesaran plasenta, general edema (anasarka), kegawatan pernapasan, dan pelebaran sutura kranialis. Perjalanan klinisnya adalah perjalanan klinis edema persisten pada neonatus dan infeksi berulang. Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. Kematian karena infeksi atau gagal ginjal mungkin terjadi pada usia 5 tahun. Agen kortikosteroid dan imunosupresif tidak bermanfaat. Pengobatan bersifat suportif, dengan tujuan akhir transplantasi ginjal. Pada keluarga yang berisiko, diagnosis antenatal dimungkinkan dengan mengukur kadar -fetoprotein cairan amnion sebelum kehamilan 20 minggu.7

Sindrom nefrotik sekunder8Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah : Penyakit metabolik atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. Infeksi : hepatitis B, malaria kuartana, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS. Toksin dan alergi : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. Penyakit sistemik bermediasi imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura Henoc-Schnlein, sarkoidosis. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa. Penyakit sel sabit, hiperproteinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

Glomerulonefritis akut (GNA)GNA ialah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus. Sering ditemukan pada anak usia 3-7 tahun, dan lebih sering pada anak laki-laki. GNA didahului oleh infeksi ekstra-renal, di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemolyticus grup A.9Gejala yang sering ditemukan ialah hematuria/kencing berwarna merah daging. Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau diseluruh tubuh. Edema bukan karena hipoproteinemia, tetapi karena retensi natrium oleh ginjal yang mengakibatkan hipertensi berat atau edema paru. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali.9

Etiologi Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainanginjal yang sering ditemui pada anak.Kelainan ini ditandai dengan proteinuria masifdan selektif, hipoabluminemia, edema, dan hiperkolesterolemia.Berdasarkan etiologinya, sindromnefrotik dibedakan menjadi primer dan sekunder; SNprimer tidak berhubungan dengan penyakit/kelainansistematik. Sedangkan SN sekunder adalah SN yangberhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, ataudisebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin. Secara histopatologis SN sekunder dapatberupa kelainan minimal, glomerulosklerosis fokalsegmental, glomerulonefritis membranosa maupunglomerulonefritis membranoproliferatif. Penyakitsistemik yang sering menyebabkan SN sekunderadalah purpura Henoch-Schonlein, lupus eritematosussistemik, infeksi sistemik seperti hepatitis B, penyakitsickle cell, diabetes melitus, ataupun keganasan.7

Epidemiologi Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak, dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak di bawah 16 tahun setiap tahunnya. Sedangkan Willa Wirya melaporkan 6 orang anak menderita sindroma nefrotik diantara 100.000 anak yang berusia dibawah 14 tahun per tahun di Jakarta.10Kelainan histopatologik yang terbanyak dijumpai pada sindrom nefrotik idiopatik pada anak (lebih dari 80%) adalah tipe kelainan minimal (MCNS). Sindrom nefrotik dapat menyerang semua umur, tetapi terutama menyerang anak-anak yang berusia antara 2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2. Lebih dari 90 % kasus sindrom nefrotik adalah idiopatik, sedangkan sisanya adalah sindrom nefrotik sekunder yang disebabkan oleh beragam penyakit, antara lain nefritis Hench-Schnlein, Lupus Eritematosus Sistemik, amyloidosis, dan sebagainya.11Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi minimal.Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.10,11

Patofisiologi Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2 g/24 jam dan terutama terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasarnya adalah hipoalbuminemia. Pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum di bawah 2,5 g/dL. Kejadian awal yang mengakibatkan proteinuria belum diketahui. Permeabilitas kapiler glomerulus terhadap albumin meningkat, dan peningkatan pada beban hasil filtrasi ini akan melebihi kemampuan sederhana tubulus untuk menyerap protein kembali, permeabilitas berubah secara selektif sedemikian rupa untuk meningkatkan pengangkutan partikel yang bermuatan anion seperti albumin di kapiler. Protein plasma yang sangat kationik yang mungkin dapat menetralisasi muatan anionik di dinding kapiler glomerulus telah ditemukan pada anak nefrotik. Terjadi pengurangan kandungan normal asam sialat (polianion) dari membran basalis, defisiensi ini memungkinkan meningkatnya pengangkutan komponen-komponen anionik. Peran sistem kinin juga sedang diteliti karena ekskresi kinin urine. Meningkat dalam masa eksaserbasi penyakit.7,11Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya. Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia akibat kehilangan protein urin. Meskipun demikian, faktor lain dapat turut menyebabkan hipoalbumine, dengan diantaranya adalah penurunan sintesis, peningkatan katabolisme, serta peningkatan kehilangan melalui saluran cerna.Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstitial. Penurunan volume intravaskular menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorpsi natrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik, yang mempertinggi reabsorpsi air dalam duktuk kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsoprsi masuk ke ruang interstitial, memperberat edema.7,11Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan sebagian penjelasan yaitu hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein dan katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein lipase keluar dari urin belum jelas.7,11

Gejala KlinisTerlepas dari histopatologik yang terjadi, manifestasi utama SN adalah edema, tanda yang ditemukan pada 95% anak. Edema pada awal awitan dapat tersembunyi, sehinga para orangtua hanya mengira anak mereka tumbuh dengan cepat, pada banyak anak, edema muncul secara intermiten. Edema biasanya tampak mula-mula pada preorbital, serta daerah skrotum, labia mayora, dan akhirnya dapat menyeluruh. Edema pada SN bersifat pitting edema. Pasien juga biasanya mengalami anoreksia irritabilitas, lelah, dispepsia, diare, serta distres pernapasan. Pada beberapa anak, hipertensi agaknya merupakan respon fisiologis terhadap penurunan volume plasma.12Pada pemeriksaan laboratorium terdapat proteinuria berat, mikrohematuria, dan leukosituria. Selain albumin, banyak protein yang keluar melalui urin seperti imunoglobulin G (IgG), transferin, apoprotein, lipoprotein lipase, antitrombin III (ATIII), seruloplasmin, protein pengikat vitamin D (vitamin D binding protein), 25 OH kolekalsiferol, dan thyroid binding globulin. Hal ini akan menyebabkan kadar protein tersebut dalam serum rendah dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, pertumbuhan terhambat, ossifikasi terlambat, dan hipotiroidism. Tiroksin yang rendah akan menyebabkan peningkatan hormon thyroid stimulating hormon (TSH). IgG serum yang rendah dan pengeluaran komplemen faktor B dan D melalui urin menyebabkan meningkatnya risiko infeksi. Ekskresi plasminogen dan ATIII melalui urin akan menimbulkan kompensasi berupa sintesis protein yang menyebabkan peningkatan makroglobulin, fibrinogen, tromboplastin, factor II, V, VII, VIII, X, XII, dan XIII yang dapat menyebabkan koagulopati. Albumin serum yang rendah, dan konsentrasi asam lemak bebas yang meningkat menyebabkan hipertrigliseridemia. Kadar kolesterol total dan kolesterol low density lipoprotein (LDL) meningkat tetapi high density lipoprotein (HDL) rendah. Kelainan lemak dan perubahan arteriol dapat merupakan risiko arteriosklerosis.2

Penatalaksanaan Pada Sindroma Nefrotik yang pertama kali, sebaiknya dirawat di Rumah Sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Bila timbul edema, masukan natrium dikurangi dengan memulai diet tidak ditambah garam. Ibunya dinasehati untuk memasak tanpa garam, menyembunyikan garam meja, dan menghindari menyajikan makanan yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan garam dihentikan bila edemanya membaik. Jika edemanya tidak berat, masukan cairan tidak dibatasi namun tidak perlu didorong. Anaknya dapat masuk sekolah dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah seperti yang dapat ditoleransi.7,10,13Sampai diuresis akibat kortikosteroid mulai, edema ringan sampai sedang dapat dikelola di rumah dengan klorotiazid 10-40 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi. Bila terjadi hipokalemia, dapat ditambahkan kalium klorida atau spironolakton (3-5 mg/kg/24 jam dibagi menjadi empat dosis). Jika edemanya menjadi berat, mengakibatkan kegawatan pernapasan akibat efusi pleura yang masif dan asites atau pada edema skrotum yang berat, anak harus dirawat inap di rumah sakit. Pembatasan natrium harus diteruskan, tetapi pengurangan masukan yang lebih lanjut jarang efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum yang membengkak dinaikkan dengan bantal untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan gravitasi. Di masa lampau, edema yang berat diobati dengan pemberian albumin intravena, pada bebreapa penderita disertai dengan pemberian furosemid intravena. Tetapi sekarang terapi tipe ini telah diganti dengan pemberian furosemid oral (1-2 mg/kg setiap 4 jam) bersama dengan metolazon (0,2-0,4 mg/kg/ 24 jam dalam dua dosis terbagi); metolazon dapat bekerja pada tubulus proksimal dan distal. Bila menggunakan kombinasi yang kuat ini, kadar elektrolit dan fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Pada beberapa keadaan edema berat, pemberian albumin manusia 25% ( 1 g/kg/24 jam) intravena mungkin diperlukan, tetapi efeknya biasanya sementara dan harus dihindari terjadinya kelebihan beban volume dengan hipertensi dan gagal jantung.7,10,13Setelah diagnosisnya diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat, patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan keluarganya untuk meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya. Remisi kemudian diinduksi dengan pemberian prednison, kortikosteroid yang kurang mahal, dengan dosis 60 mg/m2/24 jam (maksimum dosis 60 mg setiap hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis selama sehari. Digunakan terapi dosis terbagi bukannya dosis tunggal karena beberapa penderita yang gagal berespons terhadap dosis tunggal akan berespons terhadap dosis terbagi. Waktu yang dibutuhkan untuk berespons terhadap prednison rata-rata sekitar 2 minggu, responsnya ditetapkan saat urin menjadi bebas protein. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (2+ atau lebih) setelah satu bulan mendapat prednison dosis terbagi yang terus-menerus setiap hari, nefrosis demikian disebut resisten steroid dan biopsi ginjal terindikasi untuk menentukan penyebab penyakitnya yang tepat.7,10Lima hari setelah urin menjadi bebas protein (negatif, sedikit sekali, atau 1+ pada dipstick), dosis prednison diubah menjadi 60 mg/m2 (dosis maksimum 60 mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Regimen selang sehari ini diteruskan selama 3-6 bulan. Tujuan terapi selang sehari ini adalah mempertahankan remisi dengan menggunakan dosis prednison yang relatif nontoksik., dengan demikian menghindari seringnya kekambuhan dan toksisitas kumulatif akibat pemberian kortikosteroid setiap hari. Setelah periode terapi selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak. Pengalaman cukup menunjukkan bahwa ada pemulihan yang cukup pada fungsi aksis pituitaria-adrenal sehingga penderita tidak berisiko terhadap insufisiensi adrenal setelah penarikan kembali prednison selang sehari tersebut secara mendadak. Sebaliknya dalam waktu sampai dengan satu tahun setelah penyelesaian terapi kortikosteroid, anak akan membutuhkan tambahan kortikosteroid untuk penyakit yang berat atau pembedahan.7,10Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria, karena beberapa anak dengan keadaan ini akan menderita proteinuria intermiten yang menyemnbuh spontan. Sejumlah kecil penderita yang berespons terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari. Pednerita demikian itu disebut tergantung steroid.7,10Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas kortikosteroid berat (tampak cushingoid hipertensi, gagal tumbuh), kemudian harus dipikirkan terapi siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti memperpanjang lama remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom nefrotiknya sering kambuh. Kemungkinan efek samping obat (leukopenia, infeksi varisela tersebar, sistitis hemoragika alopesia, sterilitas) harus dipantau pada keluarga. Dosis siklosfosfamid adalah 3 mg /kg/24 jam sebagai dosis tunggal, selama total pemberian 12 minggu. Terapi prednison selang sehari sering diteruskan selama pemberian siklofosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun di bawah 5000/mm3. Penderita yang resisten steroid berespons terhadap perpanjangan pemberian siklofosfamid (3-6 bulan), bolus metil predison atau siklosporin.7,10Transplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten steroid. Sindrom nefrotik berulang terjadi pada 15-55 % penderita. Absorpsi protein plasma pada kolom basis-A dapat menurunkan proteinuria pada penderita-penderita ini. Absorpsi protein memindahkan suatu fraksi (BM < 100.000) yang menaikkan permeabilitas protein ginjal.7,10Komplikasi SN yang tidak diobati, dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Seperti, hipovolemia, hipertensi, hiperlipidemia, hiperkoagulopati, terlambat tumbuh kembang, dan anemia. Asites kronis jika tidak diobati, menyebabkan dilatasi dinding abdominal yang menyebabkan hernia umbilical, rectal prolaps, kesulitan bernapas, nyeri skrotum, dan anasarka.14Penderita SN berisiko tinggi mengalami infeksi, terutama dengan streptococcus pneumonia. SN dihubungkan dengan kadar IgG yang rendah, bukan karena keluar melalui urin. Kadar IgG yang rendah, bisa disebabkan terganggunya sintesis. Gangguan fungsi sel T, juga bisa terjadi di SN, yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi. Akhirnya, yang digunakan mengobati SN, seperti kortikosteroid dan agen alkylating, menekan sistem kekebalan dan meningkatkan risiko infeksi.15Perubahan- perubahan berikutnya pada status cairan, dapat menyebabkan oligouria dan peningkatan blood urea nitrogen dan resiko terbentuknya tromboemboli. Tromboemboli sering ditemukan pada penderita SN dan biasanya berupa deep vein thrombosis di ekstremitas, vena renalis dan vena paru dan serebral. Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh keadaan hiperkoagulabilitas yang diakibatkan penurunan inhibitor koagulase seperti antitrombim III, Protein C dan S serta plasminogen yang terbuang lewat urin, dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).1,15Selain itu, perkembangan dan pertumbuhan mengalami keterlambatan selama fase aktif SN. Berbagai penelitian menunjukkan penyebab gangguan pertumbuhan pada anak dengan SN adalah multifaktoral. Meliputi proteinuria, kehilangan insulin growth factor (IGF) binding protein melalui urin yang menyebabkan kadar IGD-I dan IGF-II dalam serum menurun, depresi IGF reseptor mRNA, dan efek pengobatan steroid.15Anemia juga dapat terjadi akibat terbuangnya zat besi lewat urin. Serta gangguan sintesis eritropoetin.14

Prognosis Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespons terhadap steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah, menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak akan tetap fertil (bila tidak ada terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis nefrosis, kami menekankan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi pemeriksaan protein urin biasanya tidak diperlukan.7

Kesimpulan Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduria dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan /mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.

Daftar Pustaka1. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2006.h.50-3, 150.2. Pardede SO. Sindrom nefrotik infantil. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2002.h.32-7, 134.3. Noer, MS and Soemiarso, N. Sindrom Nefrotik. [book auth.] Tim Revisi PDT. Pedoman diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : RSU Dokter Sutomo. 2008. Hal. 240-45.4. Lovely-12. 20 April 2010. Tanda-Tanda Vital Manusia. Diakses tanggal 05 Oktober 2013 dari http://dunialovely.blogspot.com/2010/04/tanda-tanda-vital-manusia.html5. Shinta Pratiwi. Sindrom nefrotik dengan komplikasi hiperlipidemia. Di unduh dari : www.fkumyecase.net. 06 Oktober 2013. 6. Kliegman, Robert M. Behrman, Richard E. Jenson, Hal B. Stanton, Bonita M.D. Diterjemahkan olehHusnul Mubarak, S.Ked. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia : Saunder Klever. 2004. 1834-40.7. Kliegman, Robert M. Behrman, Richard E. Arvin, Ann M. Editor edisi bahasa Indonesia: Wahab, A. Samik. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol. 3. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2000. Hal. 1829; 1831-32.8. Wila, Wirya IG. Alatas, H. Tambunan, T. Trihono, PP. Pardede, SO. Sindrom nefrotik. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2002. Hal. 381-82; 385-86.9. Kumar, V. Abbas, AK. Fausto, N. Editor bahasa : Rachman, LY, dkk. Robbins & Contran, Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal. 994-95.10. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompedium nefrologi anak. Jakarta: Buku Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011.h.72-87.11. Travis LB. Sindrom nefrotik. Dalam: Rudolph AM. Buku ajar pediatri Rudolph. Volume 2. Edisi 20. Jakarta: EGC, 2006.h.1503-7.12. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2007.h.1503-7. 13. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Edisi 2. Jakarta: Buku Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2012.h.2-15.14. Djuanita E, Joseph E. Sindroma nefrotik patofisiologi dan penatalaksanaannya. Jakarta: Majalah Kedokteran Damianus; 2008.h.151-8.15. Appel Gerard. Improved outcome in nephrotic syndrome. Cliveland Clinic Journal of Medicine; 2006.h.161-6.