Sindrom Kardiorenal

64
REFERAT STASE ILMU PENYAKIT DALAM Cardio-renal syndrome Pembimbing : dr. Y.M. Agung Prihatiyanto Sp.PD Disusun Oleh : Priambodo Ilham A J 500080088 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

Transcript of Sindrom Kardiorenal

REFERAT STASE ILMU PENYAKIT DALAM

Cardio-renal syndrome

Pembimbing :

dr. Y.M. Agung Prihatiyanto Sp.PD

Disusun Oleh :

Priambodo Ilham A J 500080088

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Jantung bertanggung jawab untuk menyuplai darah ke jaringan tubuh dan

organ-organ, termasuk ginjal, yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan

dan homeostasis garam dalam tubuh. Oleh karena itu, gangguan pada ginjal sering

disertai gagal jantung dan gangguan pada jantung sering disertai gagal ginjal.

Hubungan saling bergantungan ini dikenal sebagai "sindrom kardiorenal". Frase

ini telah digunakan sejak tahun 2004, telah menghasilkan sejumlah berbagai

macam teori mengenai ini dan terus diteliti dan dikembangkan dalam berbagai

penelitian. Sindroma kardiorenal (CRS) pertama kali secara resmi didefinisikan

pada konferensi konsensus acute dialysis quality iniatitve (ADQI) pada tahun

2009. Definisi ini dibuat dalam usaha untuk mengelompokkan berbagai hubungan

antara kondisi akut dan kronis pada penyakit jantung dan ginjal.1 Diperkirakan

bahwa tumpang tindih antara penyakit kardio vaskuler dan disfungsi ginjal

mewakili proses patofisiologi umum yang berinteraksi dalam memacu siklus

disfungsinya suatu organ.2

Sejak tahun 1998, National Kidney Foundation (NKF) di Amerika

melaporkan tingginya angka kejadian Penyakit Kardio Vaskuler (CVD) yang

terjadi pada pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK). Dalam kurun waktu 2 dekade

banyak dilaporkan penelitian tentang interaksi antara kedua organ ini. Pada tahun

2008, Sarnak dkk melaporkan bahwa bila dibandingkan dengan populasi umum

maka kematian akibat PKV pada penderita PGK tahap 5 ( sudah menjalani

dialisis), 10-30 kali lebih tinggi. Tingginya angka kejadian PGK tidak saja terjadi

pada pasien dialisis, ternyata juga pada PGK tahap awal dan berkorelasi dengan

peningkatan kadar kreatinin. Fried dkk (2003) melakukan penelitian prospektif

pada populasi, melaporkan bahwa kematian akibat PKV pada populasi dengan

kadar kreatinin serum < 1.10 mg/dl adalah 11.3/1000/tahun meningkat menjadi

34.5/1000/tahun pada populasi dengan kadar kreatinin serum 1.5 - 1.69 mg/dl

kemudian meningkat lagi menjadi 57.2/1000/tahun pada populasi dengan kadar

2

kreatinin serum > 1.70 mg/dl. Fried dkk menentukan kadar kreatinin serum <1.5

mg/dl sebagai batas normal.2

CRS diklasifikasikan ke dalam lima kategori, menurut etiologinya dan

sifat alami dari keterkaitan jantung dan ginjal. Contohnya, CRS tipe 1 terjadi

ketika gagal jantung dekompensata akut (ADHF) menyebabkan AKI (Acute

Kidney Injury). CRS tipe 2 mengacu pada progresivitas memburuknya fungsi

ginjal (WRF/worsening Renal Function) dalam terjadinya gagal jantung kronis

(CHF). Baik keadaan akut maupun disfungsi renal yang progresif pada pasien

dengan gagal jantung, telah dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk dibandingkan

dengan disfungsi ginjal saja.3 Mengingat prosesnya yang kompleks, terapi pada

sindrom kardiorenal menjadi sulit. Sampai saat ini tidak ada konsensus

tatalaksana yang telah disepakati.4 Penderita dengan sindrom ini biasanya resisten

terhadap berbagai terapi standar.5 Morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi

seringkali membuat para klinisi kesulitan karena ketidakmampuannya

memperbaiki kondisi klinik penderita.4 Oleh karena itu, pemahaman yang tepat

tentang patofisiologi sindrom ini diperlukan untuk memberikan alasan yang

rasional untuk strategi penatalaksanaan dari CRS.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

NHLBI (The National Heart, Lung, and Blood Institute), di Amerika,

membentuk grup kerja ”Cardio-Renal Connections”, mengajukan definisi

sederhana tentang sindrom kardiorenal (CRS/Cardiorenal syndrome) pada tahun

2004, CRS adalah penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan

fungsi jantung.

Kimmenade dkk. telah menyatakan keadaan ini sebagai "cardio-renal

syndrome ". Terminologi ini lazim digunakan dalam dekade terakhir namun

belum ada definisi yang dapat diterima secara umum terutama bagi kalangan ahli

jantung dan ahli ginjal sehingga Scrier (2007) membedakan istilah antara

"cardiorenal syndrome" yaitu penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada gagal

jantung sedangkan penurunan fungsi jantung akibat gagal ginjal disebut sebagai

"renocardiac syndrome".

Mengingat fungsi ginjal antara lain mengatur garam dan cairan maka

penurunan fungsinya akan menyebabkan terganggunya pengobatan terhadap gagal

jantung. Definisi ini tidak dapat menjelaskan semua bentuk korelasi antar organ

ginjal-jantung. Defenisi yang disepakati, diperlukan untuk menjelaskan

koeksistensi gangguan jantung dan ginjal dan untuk mengidentifikasi perjalanan

waktu interaksi jantung-ginjal.6

Secara umum Sindrom Kardio-Renal oleh Ronco dkk. (2008) didefinisikan

sebagai suatu kondisi baik akut ataupun kronik dimana jantung ataupun ginjal

gagal mengkompensasi gangguan fungsinya dan berdampak pada gangguan

fungsi organ lainnya ataupun akibat sekunder dari penyakit sistemik yang

mengganggu keduanya sehingga terjadi siklus lingkaran berbahaya yang

menyebabkan kegagalan sistem sirkulasi.

Peningkatan beban pengisian jantung berhubungan dengan meningkatnya

tekanan vena ginjal. Tekanan perfusi ginjal sebanding dengan tekanan arteri rata-

rata dikurangi tekanan atrium kiri sebagai indeks tekanan vena ginjal. Peningkatan

4

tekanan vena sentral menunjukkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus

yang selanjutnya menyebabkan retensi air dan sodium dan terjadi juga stimulasi

terhadap renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS). Oleh karena itu

peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan kanan tidak hanya

mengganggu cardiac output namun juga menyebabkan disfungsi ginjal dengan

meningkatnya tekanan vena ginjal (Gambar 2.2). Selain itu peningktan adenosin

juga dapat menyebabkan penurunan GFR dengan cara vasodilatasi arteriol efferen

glomerulus dan vasokontriksi arteriol afferen gromerulus.

Pada tahun 2008, di Venesia, sebuah konferensi konsesus Acute Dialysis

Quality Initiative (ADQI), membahas epidemiologi, kriteria diagnostik, termasuk

defenisi dari sindrom kardiorenal. Berdasarkan konferensi ini, istilah CRS

digunakan untuk mengidentifikasi penyakit jantung dan ginjal baik itu akut

maupun kronis, disfungsi salah satu organ dapat meyebabkan disfungsi akut atau

kronik organ lainnya. Tujuan dari definisi ini akan memfasilitasi penelitian

epidemiologi, mengidentifikasi sasaran populasi untuk intervensi,

mengembangkan alat diagnostik, mencegah dan mengelola sindrom yang berbeda.

Konferensi konsesus memilih istilah yang luas, menggunakan bentuk jamak

(sindroma kardiorenal, CRS), untuk menunjukkan adanya sindrom ganda. Istilah

ini dipilih untuk mengenali disfungsi organ utama (jantung vs ginjal) dan akut vs

kronis dan mempertimbangkan struktur dan / atau kelainan fungsional dari kedua

organ yang diperlukan.7 Namun, sampai saat ini definisi sindrom kardiorenal

belum sepenuhnya disepakati, diantaranya adalah:

• “Suatu kondisi patofisiologik yang merupakan kombinasi antara disfungsi ginjal

dan jantung yang mempercepat kegagalan masing-masing organ dan berakibat

pada peningkatan morbiditas dan mortalitas”

• “Suatu sindrom yang ditandai dengan kegagalan ginjal atau jantung dalam

mengkompensasi gangguan fungsi masing-masing organ tersebut, menyebabkan

lingkaran setan yang berakhir dengan kegagalan seluruh sistem sirkulasi”

Secara praktis Liang dkk, mendefinisikan sindrom kardiorenal sebagai

disregulasi kardiorenal tahap lanjut yang ditandai oleh setidaknya salah satu dari

tiga kondisi yaitu (1) gagal jantung yang disertai gangguan ginjal yang bermakna,

5

(2) perburukan fungsi ginjal yang terjadi selama pengobatan pada acute

decompensated heart failure (ADHF), dan (3) resistensi terhadap terapi diuretik

akibat penurunan fungsi ginjal. Dalam konteks gagal jantung kronik, sindrom

kardiorenal seringkali merupakan masa transisi menuju gagal jantung tahap lanjut

(advanced heart failure).

B. Klasifikasi

Ronco dkk, membuat klasifikasi sindrom kardiorenal berdasarkan mekanisme

patofisiologi yang mendasari kegagalan fungsi jantung dan ginjal. Klasifikasi

tersebut menitikberatkan pada dua aspek yaitu durasi (onset akut atau kronik), dan

urutan kejadian (didahului gagal ginjal atau didahului gagal jantung, atau terjadi

simultan akibat penyakit sistemik). 2,8

Tabel 1. Klasifikasi sindroma kardiorenal (CRS) menurut Ranco dkk berdasarkan

konferensi konsesus Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) 2,8

Tipe Sindrom Patofisiologi

I Acute Cardio-renal Penurunan fungsi jantung akut (acute cardiogenic shock

atau ADHF-acute coronary syndrome/ACS) yang

menyebabkan acute kidney injury (AKI)

II Chronic Cardio-renal Penurunan fungsi jantung kronis (gagal jantung kongestif)

yang menyebabkan penyakit ginjal kronis(PGK)

III Acute Reno-cardiac Penurunan fungsi ginjal akut (iskemik atau

glomerulonefritis) menyebabkan gangguan jantung akut

(aritmia,iskemia,infark)

IV Chronic Reno-cardiac Penurunan fungsi ginjal kronis (iskemik atau

glomerulonefritis kronik) menyebabkan gangguan jantung

kronis (LVH/left ventricular hypertrophy, gagal jantung)

V Secondary Cardiorenal Kondisi sitemik (diabetes mellitus, sepsis) menyebabkan

gangguan kedua organ

1. Tipe I Sindrom kardiorenal akut

6

Perburukan akut fungsi jantung (seperti pada syok kardiogenik akut atau

gagal jantung dekompensasi akut) yang menyebabkan acute kidney injury (AKI).8

Ini adalah sindrom perburukan fungsi ginjal (worsening renal function/WRF)

yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut (acute heart failure/AHF)

dan/atau sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS). Antara 27-40%

dari pasien yang dirawat inap karena penyakit gagal jantung dekompensata

(ADHF) dapat terkena acute kidney injury (AKI). Kebanyakan pasien dengan

kondisi ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan meningkatkan

lamanya rawat inap.7

2. Tipe II Sindrom kardiorenal kronik

Abnormalitas kronik fungsi jantung (seperti pada gagal jantung kronik)

yang secara progresif memperburuk fungsi ginjal dan potensial untuk

menyebabkan penyakit ginjal kronik. 8 Kasus ini banyak ditemukan dan sekitar

63% pasien yang dirawat terdapat Congestive Heart Failure (CHF)7

3. Tipe III Sindrom renokardiak akut

Perburukan akut fungsi ginjal (seperti pada iskemik ginjal akut atau

glomerulonefritis) yang menyebabkan gangguan jantung akut (misalnya gagal

jantung, aritmia, iskemia). Subtipe ini mengacu pada kelainan pada fungsi jantung

sekunder terhadap AKI.7,8

4. Tipe IV Sindrom renokardiak kronik

Penyakit ginjal kronik (seperti pada penyakit glomerular kronik atau

penyakit interstisial kronik) yang berperan dalam penurunan fungsi jantung,

hipertrofi jantung, dan/atau meningkatnya risiko terjadinya penyakit

kardiovaskular. Subtipe ini mengacu pada penyakit atau disfungsi jantung yang

terjadi sekunder akibat penyakit ginjal kronis. Dalam studi terakhir, sebuah

hubungan eksponensial antara keparahan disfungsi ginjal dan risiko semua

penyebab kematian menghasilkan bahwa kematian akibat kardiovaskular

merupakan lebih dari 50% dari keseluruhan kematian.7,8

7

5. Tipe V Sindrom kardiorenal sekunder

Kondisi-kondisi sistemik (seperti pada diabetes mellitus, sepsis) yang

secara simultan menyebabkan disfungsi jantung dan ginjal. Meskipun subtipe ini

tidak memiliki disfungsi organ primer dan/atau sekunder, mengacu pada situasi

dimana kedua organ secara bersamaan terkena penyakit sistemik, baik akut atau

kronis. Contohnya termasuk sepsis, sistemik lupus eritematosus, diabetes mellitus,

amiloidosis, atau kondisi peradangan kronis. 7,8

Liang dkk (2008) membuat definisi CRS berdasarkan gambaran kliniknya.

Menurut mereka apakah penyebab awalnya organ ginjal atau jantung, gambaran

kliniknya dapat berupa gagal jantung yang disertai dengan penurunan fungsi

ginjal, memburuknya fungsi ginjal saat dilakukan pengobatan pada acute

decompensated heart failure (ADHF) atau resistensi terhadap terapi diuretik

akibat penurunan fungsi ginjal. Mereka membuat klasifikasi definisi seperti

tercantum pada tabel berikut : 2,9

Tabel 2 Defenisi dan klasifikasi sindroma kardio renal (CRS menurut Liang dkk)

tahun 2008.6

Cardiorenal Failure

(ADHF)

Ringan : Gagal jantung + eGFR 30-59 cc/menit/

1.73 m2

Sedang : Gagal jantung + eGFR 15-29 cc/menit/

1.73 m2

Berat : Gagal jantung + eGFR <15 cc/menit/ 1.73

m2

Perburukan fungsi ginjal

saat pengobatan untuk

ADHF

Kenaikan kadar kreatinin serum > 0,3 mg/dl atau>

25 % dari kadar asalnya

Resistensi Diuretik Resistensi terhadap terapi diuretik, walaupun telah

diberikan :

- >80 mg furosemid / 6 jam

- > 240 mg furosemid / hari

- Infus furosemid secara kontinu

8

- Kombinasi terapi diuretik

(loop diuretic + tiazide + aldosterone antagonist)

C. Epidemiologi

Sindroma kardiorenal ditandai dengan interaksi jantung-ginjal yang

signifikan yang bekerja sama dalam patofisiologi terbentuknya sindrom ini.

Penjelasan mengenai epidemiologi interaksi jantung-ginjal, dikelompokkan

berdasarkan subtipe CRS, merupakan langkah awal yang penting menuju

pemahaman keseluruhan penyakit untuk setiap subtipe CRS dan penting dalam

menentukan adanya kesenjangan dalam pengetahuan dan membantu sebagai

acuan desain penelitian-penelitan berikutnya.7

Bukti-bukti epidemiologi interaksi antara ginjal dan jantung pada awalnya

banyak diperoleh dari populasi gagal ginjal terminal. Penyakit kardiovaskular

sangat mudah ditemukan pada populasi tersebut. Pada saat memulai dialisis,

sebanyak 40% diketahui menderita penyakit jantung koroner, sedangkan

gangguan fungsi dan struktur ventrikel kiri ditemukan pada 85%. Lebih dari 50%

penderita dialisis meninggal karena penyakit kardiovaskular. Mortalitas tersebut

10 – 30 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Bahkan sebagian

besar penderita penyakit ginjal kronik derajat 3 atau 4 meninggal karena penyakit

kardiovaskular sebelum mencapai gagal ginjal terminal.10

Hubungan antara gangguan fungsi ginjal dengan morbiditas dan mortalitas

kardiovaskular bahkan sudah terlihat pada disfungsi ginjal yang lebih ringan.

Sebuah penelitian epidemiologi berskala besar melibatkan lebih dari 1 juta orang

yang diikutsertakan selama rata-rata hampir 3 tahun ditemukan setiap gradasi

penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate=GFR)

dibawah 60 ml/menit berhubungan dengan peningkatan risiko kematian, kejadian

kardiovaskular, dan lamanya perawatan di rumah sakit.11

Dari sudut lain, Forman dkk (2004) melaporkan terjadinya perburukan

fungsi ginjal pada pasien yang dirawat oleh karena gagal jantung. Yang menjadi

kriteria perburukan fungsi ginjal adalah kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0.3

mg/dl bila dibandingkan dengan kadar awal. Perburukan fungsi ginjal terjadi pada

9

27% dari pasien yang dirawat dan berhubungan dengan prognosis yang lebih

buruk pula. Smith dkk (2006) mengadakan meta-analisis dan review kepustakaan,

mereka melaporkan bahwa dari 80.098 pasien dirawat karena gagal jantung

didapatkan 63% diantaranya mengalami perburukan fungsi ginjal, tingkat

perburukan fungsi ginjal sebanding dengan peningkatan angka kematian. Untuk

setiap kenaikan kadar kreatinin serum sebesar 0,5 mg/dl terjadi peningkatan angka

kematian sebesar 15%. Interaksi antar organ tidak hanya terjadi pada kasus-kasus

kronis. Suatu penelitian kohort prospektif The Cardiovascular Health Study

dilakukan oleh Mittalhenkle dkk (2008) melaporkan terjadinya gagal ginjal akut

sebesar 3,9% pada penderita penyakit kardiovaskular.

Chittineni dkk (2007) melaporkan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu

21% kasus gagal ginjal akut pada penderita yang dirawat disebabkan gagal

jantung . Sebaliknya penelitian United States Renal Data System (USRDS)

melaporkan bahwa sepanjang tahun 2001 dan 2003 terjadi kematian mendadak

akibat henti jantung (cardiac arrest) sebesar 32 % pada pasien hemodialisis baik

diluar rumah sakit atau selama menjalani dialisis (81%).6

1. Sindroma kardiorenal akut (tipe I)

Sebuah studi telah mempelajari acute kidney injury (AKI) karena

memburuknya fungsi jantung. Kebanyakan penelitian adalah retrospektif,

sekunder, dan / atau post hoc analisys (desain penelitian yang me-review dari

berbagai data), atau uji klinis terapi obat. Istilah 'WRF' (worsening renal function)

digunakan untuk menggambarkan akut dan / atau sub-akut terhadap perubahan

fungsi ginjal pada pasien ADHF atau ACS. Insidensi kasus ini diperkirakan

kisaran antara 19-45%, rentang ini disebabkan oleh variasi dari definisi WRF, dari

pengamatan waktu-risiko dan populasi yang diteliti. Kebanyakan penelitian telah

menemukan bahwa WRF / AKI di ADHF / ACS telah terjadi di awal atau

memang sudah ada sebelum pasien datang ke rumah sakit.

Pada ADHF dan ACS, proses terjadinya WRF / AKI telah dikaitkan

dengan semua penyebab dan mortalitas kardiovaskular, lama rawat inap,

10

peningkatan relaps, mempercepat progresivitas terjadinya CKD derajat 4-5 dan

biaya kesehatan yang tinggi. Dua penelitian juga telah menunjukkan hasil buruk

yang terus berlanjut terlepas dari apakah WRF / AKI adalah sementara atau

menetap dan perubahan akut bahkan kecil SCr (0,3 mg/dL), bisa meningkatkan

risiko kematian, bendungan pada pembuluh vena mungkin merupakan faktor

penting pendorong pada pasien dengan ADHF. Pada pasien yang dirawat di ICU

dengan ADHF, WRF dikaitkan dengan tekanan vena sentral yang besar. Temuan

ini tampak jelas di seluruh spektrum tekanan darah sistemik, tekanan kapiler paru,

indeks jantung, dan tingkat filtrasi glomerulus.7

2. Sindroma kardiorenal kronik (tipe II)

Penyakit jantung kronis dan CKD sering terjadi bersamaan, dan sering

susah untuk membedakan penyakit yang mana terjadi lebih dulu. Studi yang

menggunakan data yang besar masih susah membedakan antara tipe 2 dan tipe 4

dari CRS. Namun demikian, antara 45-63,6% pasien dengan CHF disertai CKD.

Hasil penelitian sebelumnya pada PJK menghasilkan perubahan adaptif pada

perfusi ginjal dan aktivasi neurohormonal. Dalam sebuah penelitian terhadap 1102

pasien dewasa dengan penyakit jantung koroner, lebih dari 50% memiliki bukti

disfungsi ginjal, dan 9% memiliki eGFR < 60 mL/min/1.73 m2. Disfungsi ginjal

yang diamati di antara pasien PJK ada juga ditemukan cacat jantung secara

anatomi. Sebuah tantangan lebih lanjut dalam menggambarkan epidemiologi tipe

2 CRS adalah bahwa pasien mungkin termasuk transisi antara tipe 1 dan tipe 2

CRS pada berbagai waktu tertentu. 7

3. Sindroma renokardiak akut (tipe III)

Penjelasan tentang epidemiologi sindroma renokardiak akut adalah sedikit

menantang karena beberapa alasan: (1) heterogenitas yang cukup besar dalam

kondisi predisposisi, (2) metode yang berbeda untuk mendefinisikan AKI, (3)

risiko dasar variabel untuk pengembangan disfungsi jantung akut (yaitu

meningkatkan kerentanan pada individu dengan sub-klinis penyakit

11

kardiovaskular), dan (4) kegagalan banyaknya studi klinis tentang AKI untuk

menyimpulkan kejadian disfungsi kardiak akut sebagai akibat dari AKI .

Kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss of kidney function, and End-

stage kidney Disease), harus digunakan untuk menentukan AKI pada suatu

penelitian epidemiologi. Contoh tipe 3 CRS bisa menjadi ACS, aritmia, atau

AHF setelah timbulnya AKI atau setelah glomerulonefritis akut atau akut kortikal

nekrosis. Toxaemia, cairan dan retensi, mediator humoral, dan gangguan

elektrolit, semuanya dapat menyebabkan disfungsi akut jantung.

Kasus lain, bedah jantung yang terkait AKI (CSA-AKI), dimana AKI

berkontribusi untuk kelebihan (overload) cairan dan untuk perkembangan

disfungsi jantung laten. Insiden CSA-AKI telah dilaporkan antara 0,3-29,7% ,

berbagai macam kejadian yang dikaitkan dengan definisi yang berbeda. Namun,

tantangan dalam memahami epidemiologi tipe 3 CRS adalah insidensi dan terkait

faktor risiko gagal untuk mempertimbangkan inisiasi CSA-AKI.7

4. Sindroma renokardiak kronik (Tipe IV)

Beberapa studi observasional telah mengevaluasi angka kejadian

kardiovaskular dan hasil pada populasi CKD yang dipilih. Penyakit jantung pada

pasien CKD adalah umum dan jantung-spesifik angka kematian 10–20 kali lipat

lebih tinggi dibandingkan dengan usia dan populasi non-CKD. Beberapa studi

observasional telah menemukan peningkatan dalam prevalensi CVD dan gagal

jantung (HF), bersama dengan risiko tinggi kejadian jantung berikutnya terkait

dengan tingkat penurunan fungsi ginjal. Jadi CKD kemungkinan mempercepat

risiko dan pengembangan CVD. 7

5. Sindroma kardio renal sekunder (tipe V)

Ada data terbatas pada epidemiologi CRS sekunder (tipe 5) karena jumlah

besar potensi berkontribusi kondisi sistemik akut dan kronis. Dengan demikian,

perkiraan kejadian, identifikasi risiko, dan hasil terkait untuk tipe 5 CRS dapat

berubah terhadap waktu. Beberapa penyakit sistemik kronis (misalnya diabetes

12

mellitus, hipertensi, amiloidosis) memungkinkan dapat memenuhi definisi untuk

CRS tipe 5.

Sebuah kondisi prototipikal yang dapat menyebabkan jenis CRS tipe 5

adalah sepsis. Sepsis sering terjadi dan insidensinya meningkat, dengan mortalitas

diperkirakan antara 20-60%, Sekitar 11-64% pada pasien sepsis mengakibatkan

terjadinya AKI yang dikaitkan dengan mortalitas dan morbiditas yang lebih

tinggi. Kelainan pada fungsi jantung juga umum terjadi akibat sepsis.

Data observasional telah menemukan 30-80% dari pasien sepsis telah

meningkatkan troponin spesifik jantung, yang sering berhubungan dengan

berkurangnya fungsi ventrikel kiri, AKI dan cedera/disfungsi miokard yang pada

sepsis berat/syok septik sangat sering terjadi, namun masih kurangnya studi

integratif dan epidemiologi yang dapat menjelaskan patofisiologinya, insidensi,

identifikasi risiko, dan hasil terkait. 7

D. Patofisologi

Pada kondisi fisiologis GFR dipertahankan tetap konstan dalam rentang

tekanan darah yang tinggi oleh mekanisme autoregulasi yang terutama berada

dalam pembuluh darah afferent dan efferent glumerulus. Bila terjadi penurunan

cardiac output, tekanan darah dapat turun dibawah rentang yang dapat

dikompensasi oleh mekanisme autoregulasi tersebut. Kondisi ini akan diikuti oleh

hipoperfusi, hipofiltrasi dan kemudian iskemia ginjal. Menurunnya perfusi ginjal

akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dengan

dilepaskannya renin yang akan meningkatkan perubahan angiotensin I oleh

angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang kemudian

akan menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi natrium di ginjal, sehingga

terjadi peningkatan volume sirkulasi efektif.12,13

Pada gagal jantung, respons fisiologik tersebut tidak hanya mengaktivasi

sistem RAA, tetapi juga meyebabkan efek spiral negatif berupa aktivasi sistem

saraf simpatik, disfungsi endotel, inflamasi, dan gangguan keseimbangan reactive

oxygen/nitric oxide. Berbagai sistem yang teraktivasi tersebut akan berinteraksi

13

membentuk lingkaran setan yang akan mempercepat penurunan fungsi ginjal dan

fungsi jantung lebih lanjut. 12,13

Mekanisme disfungsi ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks

dan sangat mungkin beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal

faktor-faktor yang terlibat pada masing-masing penderita dan mengeliminasinya

bila mungkin merupakan komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom

kardiorenal. 12

1. Sindom Kardiorenal Akut (Tipe I)

Sindrom kardiorenal tipe I ditandai oleh perburukan akut fungsi jantung

yang menyebabkan jejas ginjal akut (acute kidney injury=AKI). Sindrom

kardiorenal tipe I sering terjadi. Sebagian besar penderita gagal jantung yang

dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung akut de novo atau dekompensasi akut

gagal jantung kronik seringkali mempunyai kondisi pre-morbid disfungsi ginjal

yang menjadi predisposisi terjadinya AKI. 12

Kepentingan klinik dari masing-masing mekanisme tampaknya berbeda

untuk masing-masing penderita (misalnya pada penderita syok kardiogenik dan

edema paru akut), dan berbeda pula untuk masing-masing keadaan (misalnya pada

gagal jantung akut akibat regurgitasi mitral akut dan dekompensasi akut akibat

ketidakpatuhan berobat). 8,12

AKI yang terjadi pada gagal jantung akut tampak lebih berat pada

penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu, dan penurunan fungsi

ginjal tersebut secara konsisten menjadi faktor risiko independen mortalitas

penderita gagal jantung akut. Pengaruh independen tersebut menunjukkan bahwa

penurunan akut fungsi ginjal pada gagal jantung akut bukan semata-mata karena

dari beratnya penyakit tetapi juga berhubungan dengan percepatan jejas

kardiovaskular melalui aktivasi jaras-jaras neurohormonal, imunologis, dan

inflamasi. 12

Pada sindrom kardiorenal tipe I terjadinya AKI berhubungan dengan

penurunan perfusi ginjal. Disamping itu terjadi pula penurunan respons terhadap

diuretik akibat fenomena fisiologik yang disebut diuretic braking (semakin

14

menghilangnya efek diuretik yang terjadi sekunder akibat retensi natrium pasca

pemberian diuretik). 8,12

Diagnosis dini AKI pada sindrom kardiorenal tipe I maupun tipe III

sangatlah penting. Pada kedua kondisi tersebut penanda klasik seperti peningkatan

kadar kreatinin sudah menunjukkan kondisi yang terlambat, dan hanya sedikit

yang bisa dilakukan untuk mencegah dan melindungi ginjal dari kerusakan lebih

lanjut. Penemuan berbagai biomarker AKI untuk diagnosis dini sindrom

kardiorenal masih terus dikembangkan. 8,12

2. Sindrom Kardiorenal Kronik (Tipe II)

Sindrom kardiorenal tipe II ditandai oleh abnormalitas kronik fungsi

jantung (misalnya pada gagal jantung kronik) yang menyebabkan penyakit ginjal

kronik progresif. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung kronik

berhubungan dengan outcome yang buruk dan bertambahnya lama perawatan di

rumah sakit.12

Mekanisme yang mendasari perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung

kronik berbeda dibandingkan pada gagal jantung akut. Pada gagal jantung kronik

telah terjadi penurunan perfusi ginjal dalam jangka panjang, dan seringkali

disertai predisposisi penyakit mikrovaskular dan makrovaskular. Walaupun

sebagian besar penderita dengan GFR yang rendah juga berada pada kelas

fungsional NYHA yang rendah, tidak terdapat bukti konsisten yang

menghubungkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan GFR. Estimasi GFR pada

penderita gagal jantung kronik dengan fungsi ventrikel kiri yang baik dapat tidak

berbeda dibanding penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu.12

Patofisiologi disfungsi ginjal pada gagal jantung kronik belum sepenuhnya

dipahami. Kondisi tersebut tidak dapat diterangkan semata-mata akibat

hipoperfusi. Sebuah penelitian hemodinamik invasif pada gagal jantung kronik

tidak menemukan hubungan antara berbagai variabel hemodinamik pada

pemeriksaan kateter arteri pulmonal dengan kadar kreatinin serum. Satu-satunya

variabel yang berhubungan adalah peningkatan tekanan atrium kanan,

15

menunjukkan kemungkinan peran kongesti ginjal dalam perburukan fungsi ginjal

pada gagal jantung kronik.12

Pada sindrom kardiorenal kronik terdapat abnormalitas neurohormonal

dengan produksi berlebih mediator-mediator vasokonstriktif (epinefrin,

angiotensin, endotelin) dan perubahan sensitivitas dan/atau pelepasan faktor-

faktor vasodilator endogen (peptida natriuretik, oksida nitrat). Farmakoterapi yang

digunakan dalam pengelolaan gagal jantung dapat turut memperburuk fungsi

ginjal. 8,12

Peran patogenik defisiensi absolut atau relatif eritropoietin terhadap

terjadinya anemia pada penderita gagal jantung tahap lanjut mungkin bukan

semata-mata disebabkan oleh gagal ginjal. Terdapat bukti bahwa aktivasi reseptor

eritropoietin di jantung dapat mencegah terjadinya apoptosis, fibrosis, dan

inflamasi.12

3. Sindrom Renokardiak Akut (Tipe III)

Sindrom renokardiak akut ditandai oleh perburukan fungsi ginjal akut

(AKI, iskemia, atau glomerulonefritis) yang menyebabkan disfungsi jantung akut

(gagal jantung, aritmia, iskemia). Sindrom kardiorenal tipe III lebih jarang

ditemukan dibanding tipe I, mungkin disebabkan belum diteliti secara lebih

sistematik. 8,12

AKI dapat mempengaruhi jantung melalui beberapa cara. Kelebihan cairan

berperan dalam terjadinya edema paru. Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia

dan henti jantung. Uremia dapat mempengaruhi kontraktilitas miokard melalui

akumulasi faktor-faktor depresan miokard dan perikarditis. Kondisi asidemia

mempunyai efek inotropik negatif dan bersama imbalans elektrolit meningkatkan

risiko aritmia. Iskemia ginjal sendiri dapat mempresipitasi aktivasi inflamasi dan

apoptosis pada tingkat jantung. 12

Kondisi khusus yang berkaitan dengan sindrom renokardiak akut adalah

stenosis arteri renalis bilateral. Penderita dengan kondisi ini rentan mengalami

gagal jantung akut atau dekompensasi akut disebabkan oleh disfungsi diastolik

yang berhubungan dengan kenaikan tekanan darah akibat aktivasi berlebih aksis

16

RAA, disfungsi ginjal dengan retensi garam dan air, dan iskemia miokard akut

disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat vasokonstriksi

perifer yang terus menerus. Blokade angiotensin yang dibutuhkan dalam

pengelolaan hipertensi dan gagal jantung pada penderita-penderita tersebut akan

menyebabkan penurunan GFR dan perburukan fungsi ginjal. 8,12

4. Sindrom Renokardiak Kronik (Tipe IV)

Sindrom kardiorenal tipe 4 ditandai oleh kondisi CKD primer (penyakit

glomerulus kronik) yang berperan dalam menurunnya fungsi jantung, hipertrofi

ventrikel, disfungsi diastolik, dan/atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular

(gambar 5). 8,12

Pada penderita CKD terdapat peningkatan kadar plasma biomarker

spesifik seperti troponin, dimetilarginin asimetrik, inhibitor aktivator plasminogen

tipe 1, homosistein, peptida natriuretik, protein reaktif C, protein serum amiloid

A, dan ischemia-modified albumine. Hal ini menggambarkan hubungan antara

inflamasi kronik, infeksi subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-

ginjal, dan penyakit kardiovaskular dan ginjal. 8,12

Secara patofisiologik interaksi kardiorenal kronik dipengaruhi oleh

denominator yang sama yaitu inflamasi, keseimbangan antara nitric oxide/reactive

oxygen species, sistem saraf simpatik, dan sistem RAA, yang bersama-sama

dengan interaksi hemodinamik antara jantung dan ginjal bertanggung-jawab

terhadap progresifitas penyakit melalui mekanisme umpan-balik, sehingga urutan

kejadian pada kondisi sindrom kardiorenal kronik (tipe II dan tipe IV) menjadi

tidak penting. 8,12

Disamping terapi spesifik untuk gagal jantung kronik dan gagal ginjal

kronik, tatalaksana sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV pada prinsipnya tidak

berbeda, yaitu dengan seoptimal mungkin menghambat interaksi konektor-

konektor kardiorenal tersebut. 8,12

5. Sindrom Kardiorenal Sekunder (Tipe V)

17

Sindrom kardiorenal tipe V ditandai oleh kombinasi disfungsi jantung dan

ginjal yang disebabkan penyakit sistemik kronik atau akut. 8,12 Informasi

sistematik tentang sindrom kardiorenal tipe V masih terbatas. Pemahaman tentang

bagaimana kombinasi gagal jantung dan gagal ginjal dapat memberi pengaruh

yang berbeda dibanding kombinasi kegagalan pada organ lain juga masih terbatas.

Walaupun demikian telah diketahui bahwa beberapa penyakit kronik dan akut

seperti sepsis, diabetes, amiloidosis, lupus eritematosus sistemik, dan sarkoidosis

dapat mempengaruhi organ jantung dan ginjal secara simultan, dan penyakit yang

mengenai salah satu organ dapat berdampak pada organ lainnya, demikian pula

sebaliknya. Beberapa kondisi seperti diabetes dan hipertensi dapat berperan pula

pada sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV. 8,12

Pada kondisi akut seperti pada sepsis berat dapat terjadi jejas ginjal akut

dan juga depresi miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan-

perubahan tersebut masih belum dipahami sepenuhya tetapi diduga berkaitan

dengan pengaruh faktor nekrosis tumor (TNF) dan mediator-mediator lain pada

kedua organ. Depresi fungsi miokard dan keadaan curah jantung yang inadekuat

dapat menurunkan fungsi ginjal seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe

I, dan terjadinya AKI dapat mempengaruhi fungsi jantung seperti yang terjadi

pada sindrom kardiorenal tipe III. Iskemia ginjal yang terjadi kemudian dapat

menginduksi jejas miokardial lebih lanjut membentuk lingkaran setan yang akan

mencederai kedua organ. 8,12

18

Gambar 1. Interaksi antara jantung dan ginjal: Dalam CRS, ada dua aspek

penting: yang pertama adalah urutan keterlibatan organ dan yang kedua

adalah sinyal. Aspek penting lainnya adalah kerangka waktu di mana

gangguannya kronis atau akut. Dalam semua kasus, ada saat-saat di mana

pencegahan adalah mungkin dilakukan. Pada waktu yang berbeda, peran

penting dimainkan oleh teknik pencitraan dan biomarker memungkinkan

dokter untuk membuat diagnosis dini, menetapkan tingkat keparahan

penyakit, dan berpotensi memprediksi hasil. Flowchart ini menjelaskan

serangkaian kondisi yang menunjukkan bahwa pasien bisa bergerak dari satu

jenis CRS ke CRS jenis yang lain. (dikutip dari Ronco dkk tahun 2010)7

19

Gambar 2. Patofisiologi dan defenisi dari kelima tipe sindroma kardio renal

dikutip dari Ronco dkk (2010)

20

21

22

23

E. Diagnosis

Kelompok konsensus IQDI membahas tentang peran biomarker dalam

diagnosis dari CRS. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan biomarker ke

dalam diagnosis berbagai tipe CRS, terutama yang berhubungan dengan AKI

daripada penyakit jantung akut. Berikut biomarker jantung dan ginjal serta

pemeriksaan yang menunjang CRS : 7

1. Peptida natriuretik dan gagal jantung

B-type natriuretic peptide (BNP dan NT-proBNP) ditetapkan sebagai alat

diagnostik dalam ADHF dan merupakan prediktor independen terhadap

kejadian kardiovaskular dan mortalitas secara keseluruhan dalam penyakit

kritis, ACS, dan HF stabil. Peptida natriuretik (NP) meningkat pada pasien

dengan CRS (tipe I) di mana AKI terjadi sebagai konsekuensi dari ADHF.

Selain itu, mereka telah menunjukkan utilitas prognostik pada pasien dengan

berbagai tahap insufisiensi ginjal, menunjukkan aplikasi potensial dalam jenis

CRS tipe II dan IV. Meskipun banyak studi sebelumnya mendukung kegunaan

dari BNP dalam diagnosis dan manajemen pasien HF, hubungan antara BNP,

fungsi ginjal, dan tingkat keparahan HF kurang jelas. 7

2. Biomarker cedera ginjal

a. Neutrophil gelatinase-associated lipocalin

Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) tampaknya menjadi

salah satu penanda awal cedera ginjal iskemik atau nefrotoksik pada

percobaan hewan dan juga telah terdeteksi dalam darah dan urin manusia

pada AKI. Dalam penelitian terbaru, pengukuran tunggal dari NGAL dari

urin bisa mendeteksi AKI, dengan sensitivitas dan spesifisitas 90 dan 99.

NGAL dapat digunakan sebagai penanda awal WRF selama pengobatan

ADHF.7

b. Cystatin C

Cystatin C tampaknya merupakan prediktor yang lebih baik pada fungsi

glomerulus dari pada kreatinin serum pada pasien dengan CKD. Dalam

24

AKI, ekskresi cystatin C telah ditunjukkan untuk memprediksi kebutuhan

RRT lebih awal daripada kreatinin.

c. Kidney injury molecule-1

Kidney injury molecule-1 (KIM-1) adalah protein yang terdeteksi dalam

urin setelah gangguan iskemik atau nefrotoksik pada sel-sel tubulus

proksimal. KIM-1 dari urin tampaknya sangat spesifik untuk AKI iskemik

dan bukan untuk pra-ginjal azotemia, CKD, atau nefropati. 7

d. N-asetil-b-(D) glucosaminidase

N-asetil-b-(D) glucosaminidase adalah enzim lisosomal ditemukan di sel-

sel tubulus proksimal. N-asetil-b-(D) glucosaminidase telah terbukti

berfungsi sebagai penanda cedera ginjal, mencerminkan khususnya

kerusakan tubular. Hal ini tidak hanya ditemukan dalam konsentrasi kemih

yang meningkat pada AKI dan CKD, tetapi juga pada pasien diabetes,

pasien dengan hipertensi esensial, dan HF7

e. Interleukin-18

Interleukin-18 (IL-18) merupakan sitokin pro-inflamasi yang terdeteksi

dalam urin setelah kerusakan akut iskemik tubular proksimal, sensitivitas

dan spesifisitas yang baik untuk AKI iskemik dengan AUC > 90% dengan

peningkatan 48 jam sebelum kenaikan serum kreatinin. Dari biomarker

yang disajikan di atas, NGAL (urin dan plasma) dan C Cystatin yang

paling mungkin untuk diintegrasikan ke dalam praktek klinis dalam waktu

dekat. Uji klinis akan diperlukan untuk melihat apakah identifikasi awal

AKI dan penggunaan algoritma pengobatan khusus berdasarkan tanda

tersebut akan memperbaiki prognosis. 7

f. Bioimpedance vector analysis

Ada suatu kesepakatan bahwa Bioimpedance vector analysis (BIVA) dapat

berkontribusi untuk menjelaskan definisi yang lebih baik dari status hidrasi

pasien. Kombinasi NGAL dan BNP dapat digunakan untuk merencanakan

strategi pemberian cairan. Dengan cara ini, pasien dapat dijaga dengan

ketat hidrasi yang adekuat dalam pencegahan perburukan fungsi ginjal dan

jantung 7

25

3. Pencitraan

Teknik pencitraan memiliki peran tambahan sehubungan dengan

biomarker laboratorium pada CRS. Pencitraan mungkin meningkatkan,

memperluas, dan memperbaiki kemampuan kita untuk menghitung kerusakan

ginjal dan menilai fungsinya. Pada pasien yang dicurigai CRS, sebaiknya

menghindari penggunaan media kontras iodinasi jika tidak benar-benar

diperlukan.

Kedepannya, diharapkan penelitian harus diarahkan studi eksperimental

yang menerapkan teknik pencitraan molekular (seperti MRI/magnetic

resonance imaging, MRS/magnetic resonance spectroscopy, PET/positron

emission tomography, dll) untuk mencari penanda spesifik untuk diagnosis dan

evaluasi tingkat keparahan berbagai jenis CRS. Juga di masa depan, teknik

non-invasif pencitraan perlu diperbaiki untuk mengukur aliran darah ginjal.

Data tersebut kemudian dapat dikorelasikan dengan biomarker jantung dan

ginjal dan yang paling penting untuk merencanakan terapi berkelanjutan yang

dirancang dalam pengoptimalan aliran darah ginjal dan akhirnya menjaga

fungsi ginjal.

Adapun tipe 1 CRS, kongesti vena dan CVP (central vein pressure) yang

tinggi tampaknya dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal dan independen

terkait dengan semua penyebab kematian dalam spektrum yang luas dari pasien

dengan penyakit kardiovaskular.

F. Terapi

Penderita dengan gangguan fungsi ginjal tidak secara adekuat terwakili

dalam penelitian-penelitian klinik acak berskala besar pada gagal jantung,

sehingga sebagian besar rekomendasi terapi lebih bersifat empirik.12

Pengelolaan penderita gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal dapat

menjadi sulit disebabkan fungsi kedua organ tersebut sangat bergantung pada

volume sirkulasi. Secara garis besar sasaran pengobatan adalah mencapai status

volume yang normal tanpa memperberat disfungsi ginjal, dan menerapkan

seoptimal mungkin terapi yang secara evidence-based bermanfaat pada gagal

26

jantung maupun disfungsi ginjal. Sampai saat ini tidak ada strategi yang secara

konsisten efektif. Langkah-langkah berikut dapat digunakan dalam pendekatan

pengelolaan penderita.12

Pendekatan pengelolaan sindrom kardiorenal: 7

1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal

2. Optimalisasi terapi gagal jantung

3. Evaluasi struktur ginjal

4. Optimalisasi terapi diuretik

5. Terapi lain

1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal

Gangguan fungsi ginjal yang ditandai oleh penurunan GFR kurang dari 60

mL/menit merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya dampak yang buruk

pada penderita gagal jantung, bahkan nilai prognosis tersebut relatif lebih kuat

dibanding penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penurunan GFR tidak selalu

disertai peningkatan kadar kreatinin serum, bahkan sebagian besar penderita

dengan gangguan fungsi ginjal mempunyai kadar kreatinin serum dalam

rentang relatif normal. Penilaian fungsi ginjal yang didasarkan pada

pemeriksaan kadar kreatinin serum menyebabkan sebagian besar gangguan

fungsi ginjal pada penderita gagal jantung tidak terdeteksi secara klinis.

Mengingat perannya yang penting, penilaian GFR sebaiknya secara rutin

dilakukan sebagai bagian dalam evaluasi dan tatalaksana penderita gagal

jantung. 12

Secara akurat GFR dapat ditentukan dengan pemeriksaan klirens inulin

atau marka radionuklida, tetapi mengingat pemeriksaan tersebut tidak praktis,

nilai GFR dapat diperkirakan dengan menggunakan formula Cockfoft-Gault

atau Modified Diet in Renal Disease (MDRD). Berlainan dengan penilaian

disfungsi ginjal yang lebih akurat ditentukan dengan pemeriksaan GFR,

terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang dirawat

di rumah sakit ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3

mg/dl atau lebih dari 25% kadar awal. Walaupun setiap peningkatan kadar

27

kreatinin serum berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, tetapi

perbedaan tersebut baru bermakna pada peningkatan lebih dari 0,3 mg/dl.

Faktor-faktor risiko yang secara konsisten mempengaruhi terjadinya

perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung adalah usia lanjut,

hipertensi, diabetes dan terdapat gangguan fungsi ginjal sebelumnya. Faktor-

faktor lain yang potensial adalah penggunaan dosis besar diuretik loop, dan

penggunaan diuretik thiazide.

Perburukan fungsi ginjal tidak berhubungan bermakna dengan fraksi ejeksi

ventrikel kiri, cardiac index, resistensi vaskular sistemik,dan kondisi low-

output (hipotensi). Perburukan fungsi ginjal lebih sering ditemukan pada

penderita-penderita dengan presentasi klinik retensi cairan (edema paru,

peningkatan tekanan vena jugular). Dalam menghadapi penderita dengan

disfungsi kardiorenal adalah penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

potensial reversibel seperti hipotensi, dehidrasi, penggunaan inhibitor ACE

atau penyekat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blocker/ARB),

penggunaan non-steroid anti inflamasi drugs (NSAID), dan stenosis arteri

renalis. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah penilaian status volume,

cardiac output dan kemungkinan terdapatnya penyakit ginjal intrinsik. Kondisi

hipovolemia harus diatasi sebelum terjadi kerusakan ginjal lebih lanjut. Perfusi

ginjal harus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah sistolik > 80 mmHg

dan tekanan arterial rata-rata > 50 mmHg. Fungsi ginjal akan membaik sejalan

dengan perbaikan cardiac output dan perfusi ginjal. Bila disfungsi ginjal

menetap walaupun telah dilakukan perbaikan status volume, cardiac output

dan resistensi vaskular sistemik, perlu dipertimbangkan adanya penyakit ginjal

intrinsik yang mendasari. Terapi yang dipandu dengan pemantauan tekanan

pembuluh darah kapiler pulmonal tidak terbukti lebih unggul dibanding

pemantauan secara klinis dalam memperbaiki outcome penderita gagal jantung

tahap lanjut.Penggunaan kateter arteri pulmonal mungkin diperlukan pada

penderita sindrom kardiorenal yang berat untuk mengoptimalkan

hemodinamik, memandu terapi gagal jantung lebih agresif, memfasilitasi

28

keputusan untuk memulai terapi ginjal pengganti, atau dalam membuat

keputusan untuk memulai terapi paliatif gagal jantung kronik. 12

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal

pada penderita gagal jantung lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi

hipervolemik dibanding hipoperfusi ginjal akibat penurunan cardiac output

atau penurunan volume intravaskuler akibat penggunaan diuretik berlebih.

Bendungan vena yang ditandai oleh peningkatan tekanan vena sentral

merupakan penyebab yang paling kuat untuk terjadinya perburukan fungsi

ginjal. Sebaliknya cardiac index saat masuk maupun perbaikan cardiac index

dengan terapi medik intensif selama perawatan hanya sedikit berpengaruh

terhadap fungsi ginjal. Sampai saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan

bahwa terapi yang spesifik bertujuan menurunkan tekanan vena sentral akan

memperbaiki disfungsi ginjal dan outcome penderita gagal jantung, walaupun

demikian hal tersebut perlu dipertimbangkan dalam strategi tatalaksana gagal

jantung. 12

2. Optimalisasi terapi gagal jantung

Inhibisi pada sistem renin-angiotensin-aldosteron telah diketahui

merupakan bagian penting dalam tatalaksana gagal jantung. Berbagai

penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan bahwa obat-obat

tersebut secara bermakna meningkatkan harapan hidup penderita. Akan tetapi

evidence-based manfaatnya pada penderita gagal jantung dengan gangguan

fungsi ginjal sangat terbatas. Penggunaan inhibitor ACE atau ARB biasanya

berhubungan dengan penurunan ringan fungsi ginjal yang ditandai oleh

peningkatan kadar kreatinin dan penurunan GFR. Penurunan fungsi ginjal

tersebut semakin nyata pada penderita disfungsi ginjal. Kekhawatiran akan

semakin memburuknya fungsi ginjal disertai risiko hipotensi dan hiperkalemia

menyebabkan banyak klinisi menghindari atau menghentikan penggunaan

inhibitor ACE atau ARB pada penderita disfungsi ginjal. Akan tetapi sebuah

meta-analisis tentang penggunaan inhibitor ACE dalam hubungannya dengan

peningkatan kadar kreatinin menunjukkan bahwa penderita yang mengalami

29

peningkatan kadar kreatinin setelah pemberian inhibitor ACE adalah kelompok

penderita yang justru mendapat manfaat paling besar dari penggunaan obat

tersebut. 12

Untuk mengurangi risiko perburukan fungsi ginjal, penggunaan inhibitor

ACE sebaiknya dimulai dengan dosis rendah. Bila terjadi perburukan fungsi

ginjal perlu dinilai kemungkinan penyebab lain seperti diuresis yang

berlebihan, hipotensi persisten, atau penggunaan obat lain yang nefrotoksik

termasuk NSAID. Bila kadar kreatinin meningkat tajam dan penderita

menunjukkan intoleransi ekstrim terhadap inhibitor ACE, perlu

dipertimbangkan kemungkinan stenosis arteri renalis bilateral. Pada kondisi ini

penggunaan inhibitor ACE atau ARB harus dihentikan. Beberapa penelitian

menunjukkan penggunaan inhibitor ACE pada penderita disfungsi ginjal dapat

menghambat perburukan fungsi ginjal dan memperbaiki outcome

kardiovaskular. Oleh karena itu obat ini sebaiknya tetap diberikan walaupun

terjadi peningkatan kadar kreatinin, asalkan fungsi ginjal tidak terus memburuk

dan tidak terjadi hiperkalemia. Peningkatan kadar kreatinin sampai dengan

30% yang stabil dalam 2 bulan berhubungan dengan efek renoprotektif jangka

panjang. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang terjadi

selama perawatan di rumah sakit sebagian besar tidak disebabkan oleh inhibitor

ACE. Pada penderita yang mengalami vasodilatasi berlebih, mungkin

diperlukan penurunan dosis atau penghentian sementara penggunaannya, tetapi

mengingat efek jangka panjang yang menguntungkan baik pada gagal jantung

maupun disfungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE atau ARB sebaiknya tidak

dihentikan atau segera diberikan kembali. 12

Tidak ada patokan kadar kretinin yang mutlak untuk menghentikan

penggunaan inhibitor ACE atau ARB, tetapi pada kadar kreatinin diatas 2,5

mg/dl penggunaannya harus dengan pemantauan ketat. Pada penderita dengan

kadar kreatinin diatas 5 mg/dl mungkin dibutuhkan hemofiltrasi atau dialisis

untuk mengontrol retensi cairan dan mengatasi uremia. Proporsi penderita

disfungsi ginjal yang mendapat terapi modifikasi risiko kardiovaskular yang

memadai jauh lebih rendah dibanding populasi umum. Kurang dari 50%

30

penderita disfungsi ginjal mendapat kombinasi aspirin, penyekat beta, inhibitor

ACE, dan statin setelah suatu serangan infark miokard. Sebuah penelitian

kohort prospektif menunjukkan penggunaan inhibitor ACE dan penyekat beta

pada penderita gagal jantung yang disertai disfungsi ginjal berhubungan

dengan penurunan mortalitas yang sebanding dengan penderita tanpa gangguan

fungsi ginjal. Penggunaan antagonis aldosteron pada penderita gagal jantung

dengan disfungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-hati. Bila indikasinya telah

terpenuhi, yaitu pada penderita gagal jantung simptomatik berat dengan fraksi

ejeksi yang rendah, penambahan antagonis aldosteron pada regimen inhibitor

ACE/ARB dan penyekat beta berhubungan dengan peningkatan kesintasan

penderita gagal jantung. Untuk menghindari kejadian hiperkalemia yang

mengancam jiwa, obat ini sebaiknya tidak diberikan bila kadar kreatinin > 2,5

mg/dl atau kadar kalium > 5,0 mmol/l. Walaupun sampai saat ini tidak ada

panduan dengan evidence-based yang kuat untuk terapi gagal jantung pada

penderita disfungsi ginjal, tampaknya penderita dalam populasi tersebut akan

memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan tatalaksana

gagal jantung untuk populasi umum, walaupun diperlukan pemantauan yang

lebih ketat. 12

3. Evaluasi struktur ginjal

Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk mengevaluasi

ukuran ginjal, adanya obstruksi atau penyakit ginjal struktural. Pemeriksaan ini

bermanfaat untuk mengidentifikasi penyebab anatomik gangguan fungsi ginjal

yang potensial reversibel. Pencitraan Doppler digunakan bila terdapat

kecurigaan stenosis arteri renalis. Bila diperlukan pemeriksaan angiografi atau

pencitraan resonansi magnetik yang menggunakan kontras, rasio risiko–

manfaatnya harus dipertimbangkan dengan seksama mengingat kemungkinan

perburukan fungsi ginjal. 12

4. Optimalisasi terapi diuretik

31

Diuretik memegang peran penting dalam tatalaksana gagal jantung yang

disertai disfungsi ginjal. Manfaatnya dalam memperbaiki simptom telah

disepakati secara luas, walaupun tidak pernah dievaluasi melalui penelitian-

penelitian acak klinik berskala besar. Pada kondisi gagal jantung dan disfungsi

ginjal kurva respons-dosis diuretik akan terpengaruh. Selain diperlukan

penambahan dosis untuk menghasilkan respons diuresis yang memadai, juga

akan terjadi penurunan respons maksimum yang dapat dicapai, menciptakan

keadaan resistensi diuretik relatif yang dikenal sebagai “braking phenomenon”,

yaitu kondisi toleransi jangka pendek terhadap pemberian diuretik. 12

Peningkatan dosis dan penurunan respons diuretik akan bertambah sejalan

dengan progresifitas gagal jantung. Sesuai beratnya penyakit, dosis maksimum

diuretik untuk masing-masing penderita berbeda, dan penambahan dosis diatas

dosis maksimum tidak akan menambah respons diuresis lebih lanjut.

Penggunaan diuretik memerlukan kecermatan. Dosis yang digunakan harus

memadai untuk mengatasi kelebihan cairan dan memperbaiki simptom tanpa

menyebabkan efek yang kurang menguntungkan. Penggunaan diuretik,

terutama dosis besar diuretik loop diketahui berhubungan dengan perburukan

fungsi ginjal, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas

penderita gagal jantung. Hal ini diantaranya disebabkan efek diuretik dalam

menstimulasi sistem RAA. Stimulasi sistem RAA tersebut merupakan salah

satu faktor utama penyebab terjadinya resistensi diuretik. Resistensi diuretik

merupakan salah satu ciri sindrom kardiorenal, dan menjadi indikator

prognosis yang buruk penderita gagal jantung kronik. Kombinasi antara

perburukan fungsi ginjal, volume overload, dan resistensi diuretik,

menyebabkan tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit, dan sampai saat

ini terapi yang efektif sangat terbatas. Definisi resistensi diuretik telah

disebutkan sebelumnya. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya

resistensi diuretik diantaranya adalah dosis yang tidak adekuat, asupan garam

berlebih, gangguan absorbsi intestinal, menurunnya ekskresi diuretik dalam

urine, peningkatan reabsorbsi natrium pada nefron yang tidak sensitif terhadap

diuretik, dan penggunaan NSAID. Kurva respons-dosis diuretik tidak linier,

32

sehingga natriuresis tidak akan terjadi sampai ambang ekskresi obat tercapai.

Dengan demikian bila respons diuresis tidak terjadi dengan pemberian

furosemide 20 mg, menaikkan dosisnya menjadi 40 mg akan lebih efektif

dibanding meningkatkan frekuensinya. 12

Diuretik thiazide akan menghambat reabsorbsi natrium di tubulus distal,

sehingga bila dikombinasi dengan diuretik loop diharapkan akan memberi

respons diuresis lebih baik. Kombinasi ini perlu pemantauan ketat karena dapat

menyebabkan hiponatremia dan hipokalemia berat. Diuretik thiazide tidak

efektif bila klirens kreatinin < 30 ml/menit. Pada penderita gagal jantung yang

berat sering terjadi gangguan perfusi intestinal, penurunan motilitas intestinal,

dan edema mukosa yang akan menyebabkan absorbsi obat terganggu. Absorbsi

furosemid oral pada keadaan edema hanya sekitar 50%. Untuk menghasilkan

respons diuresis yang adekuat mungkin diperlukan penambahan dosis atau

menggantinya dengan obat yang diabsorbsi lebih baik yaitu bumetanide atau

torsemide. Untuk memperbaiki respons diuresis dapat pula diberikan diuretik

intravena dalam jangka pendek. Respons inadekuat dengan pemberian diuretik

oral seringkali reversibel setelah kelebihan cairan diatasi. 12

Pemberian diuretik loop dengan infus intravena kontinyu dapat

mempertahankan kecepatan penghantaran obat ke tubulus renal dan mencegah

reabsorbsi natrium lebih konsisten. Pemberian diuretik loop dengan infus

kontinyu pada penderita gagal jantung menghasilkan respons diuresis lebih

adekuat dengan efek samping yang lebih rendah dibanding pemberian bolus

intravena. Apabila berbagai upaya tersebut tidak berhasil mengatasi resistensi

diuretik, perlu dipertimbangkan untuk melakukan ultrafiltrasi. 12

5. Terapi lain

Terdapat berbagai terapi lain untuk mengatasi sindrom kardiorenal,

beberapa diantaranya telah ditinggalkan dan beberapa masih dalam penelitian.

a. Dopamin dosis rendah12

Dopamin dosis rendah pernah digunakan secara luas di seluruh dunia

untuk mencegah atau mengobati AKI dan dipakai untuk meningkatkan

33

produksi urine pada penderita gagal jantung yang refrakter terhadap diuretik

loop. Dopamin terutama akan menstimulasi reseptor-reseptor dopaminergik

yang menyebabkan vasodilatasi renal dan peningkatan aliran darah ginjal.

Dopamin juga menyebabkan natriuresis melalui efek langsungnya pada

fungsi sel tubular ginjal.

Terdapat 2 meta-analisis, tinjauan sistematik dan penelitian klinik

acak yang mengevaluasi peran dopamin dosis rendah dalam mencegah

perburukan fungsi ginjal. Semua penelitian tersebut sampai pada

kesimpulan yang sama yaitu dopamin dosis rendah tidak mencegah

terjadinya AKI, kebutuhan untuk dialisis, atau kematian. Efek protektif

dopamin pada ginjal tidak terbukti, bahkan dapat menginduksi AKI pada

penderita normo dan hipovolemik. Dopamin juga dapat menurunkan aliran

darah mukosa gaster, menekan sekresi dan fungsi hormon-hormon pituitari

anterior termasuk menginduksi hipotiroid, dan dapat menumpulkan

ventilatory drive.

Dengan berbagai bukti yang kuat tersebut, penggunaan dopamin dosis

rendah untuk proteksi ginjal pada berbagai keadaan termasuk pada gagal

jantung tidak lagi dianjurkan.

b. Kombinasi furosemide – manitol12

Manitol bila diberikan secara intravena akan segera difiltrasi oleh

glomerulus kedalam cairan tubulus menyebabkan efek diuresis osmotik.

Manitol dapat meningkatkan aliran darah intrarenal melalui efeknya

terhadap produksi prostaglandin dan bertindak sebagai penangkap radikal

bebas selama reperfusi ginjal. Sebuah penelitian terhadap 100 penderita

AKI pasca operasi jantung menunjukkan pemberian larutan mengandung

500 cc manitol 20% dan 1000 mg furosemide yang diberikan dalam waktu

30 – 60 menit, dengan disertai pemberian dopamin dosis rendah dapat

mendorong terjadinya diuresis pada AKI fase oligurik atau anurik pasca

operasi. Bila diberikan dini yaitu dalam 6 jam setelah onset AKI, kombinasi

ini dapat memperbaiki fungsi ginjal dan menurunkan kebutuhan dialisis.

34

Beberapa penelitian berskala kecil yang mengevaluasi pemberian manitol

untuk mencegah atau mengatasi AKI menunjukkan hasil yang bertentangan.

Dapat terjadi efek samping berupa gangguan elektrolit, hipovolemia, dan

perburukan fungsi ginjal. Sampai saat ini tidak ada bukti kuat tentang

manfaat manitol dalam tatalaksana AKI sehingga penggunaannya harus

dibatasi.

c. Kombinasi furosemide – albumin12

Penderita dengan kadar albumin yang rendah dapat resisten terhadap

pemberian diuretik. Pemberian kombinasi albumin dan furosemide pada

kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi diuretik yang

mencapai nefron proksimal dan memperbaiki diuresis. Penelitian pada

penderita sindrom nefrotik maupun pada sirosis hepatis menunjukkan

pemberian kombinasi albumin dan furosemid tidak memperbaiki respons

diuresis, sehingga penggunaannya untuk tujuan memperbaiki resistensi

diuretik pada kondisi hipoalbuminemik tidak dianjurkan.

d. Kombinasi furosemide – natrium hipertonik12

Pemberian infus larutan natrium hipertonik (hypertonic saline

solution=HSS) akan menyebabkan kenaikan konsentrasi NaCl ekstraseluler

dengan cepat sehingga terjadi kenaikan tekanan osmotik, ekspansi volume

plasma, mobilisasi cairan ekstravaskular ke intravaskular, dan bertambahnya

aliran darah ginjal. Pemberian secara simultan furosemide dosis tinggi akan

mengoptimalkan efek diuresis dan mengatasi resistensi diuretik. Penelitian

acak tersamar ganda pada 94 penderita gagal jantung tahap lanjut

mendapatkan bahwa pemberian dua kali per hari infus furosemide 500–1000

mg yang dilarutkan dalam 150 cc NaCl hipertonik (1,4% – 4,6%) dan

diberikan dalam 30 menit selama 4 – 6 hari, disertai diet normosodium (2,8

gr natrium/hari), secara signifikan berhubungan dengan pencapaian berat

kering yang lebih cepat, penurunan konsentrasi plasma B-type natriuretic

peptide (BNP) lebih cepat, perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, dan

35

menurunkan insiden perawatan kembali dalam 30 hari. Pada follow-up

selama hampir 3 tahun, insiden perawatan kembali penderita yang mendapat

HSS sebesar 47% (25 dari 53 penderita), sedangkan penderita yang

mendapat perawatan biasa sebesar 80% (43 dari 54 penderita). Mortalitas

penderita yang mendapat HSS juga lebih rendah. Efek langsung intratubuler

pemberian natrium hipertonik akan melampaui pengaruh retensi natrium

pasca diuretik sehingga akan mengurangi “braking phenomenon”.

Disamping itu peningkatan volume intravaskular dan kadar natrium yang

lebih tinggi pada tubulus distal akan menghambat sistem RAA. Walaupun

tampaknya memberi harapan, pemberian natrium hipertonik atau asupan

garam yang lebih bebas pada penderita gagal jantung masih memerlukan

penelitian lebih lanjut. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada penderita

sindrom kardiorenal yang tidak berhasil diatasi dengan terapi lain.

e. Nesiritide12

Nesiritide adalah rekombinan peptida natriuretik tipe B manusia.

Mekanisme kerjanya terutama sebagai vasodilator sistemik dan pulmonal

yang kuat. Obat ini dengan cepat dan konsisten menurunkan tekanan

pengisian jantung dan mengurangi tekanan kapiler pulmonal. Disamping itu

obat ini mempunyai efek natriuresis dan diuresis, serta menghambat

norepinefrin, endotelin-1, dan aldosteron. Sebuah meta-analisis dari 5

penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan penggunaan

nesiritide pada dekompensasi akut gagal jantung secara signifikan

meningkatkan risiko perburukan fungsi ginjal.Terjadinya perburukan fungsi

ginjal mungkin berkaitan dengan dosis yang digunakan. Nesiritide

mempunyai efek jangka pendek yang menguntungkan, diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk menentukan efek jangka panjang dan dosis yang memadai

pada dekompensasi akut gagal jantung.

f. Ultrafiltrasi12

36

Ultrafiltrasi (UF) telah menjadi salah satu modalitas terapi pada gagal

jantung tahap lanjut untuk mengendalikan kelebihan cairan yang tidak dapat

diatasai dengan terapi medik. UF merupakan metode yang efektif, cepat dan

relatif aman dalam memperbaiki simptom kongesti. Disamping itu UF tidak

mempengaruhi aktivitas neurohormonal seperti yang terjadi pada pemberian

diuretik. Sebuah penelitian prospektif yang membandingkan UF dengan

pemberian diuretik pada 200 penderita dekompensasi akut gagal jantung

menunjukkan bahwa UF menghasilkan penurunan berat badan dan

mengurangi kelebihan cairan lebih besar. UF juga berhubungan dengan 50%

reduksi insiden perawatan kembali di rumah sakit. Tidak ada perbedaan

dalam perbaikan simptom, kualitas hidup, kelas fungsional NYHA, kadar

kreatinin, kadar BNP, atau mortalitas pada kedua kelompok. Penggunakan

UF lebih dini (sebelum pemberian diuretik) untuk mengatasi resistensi

diuretik pada penderita gagal jantung berhubungan dengan lama perawatan

dan angka perawatan kembali di rumah sakit yang lebih rendah. Dampak

jangka panjang, dampak ekonomi, ketersediaan sarana, dan kompleksitas

pemakaiannya telah membatasi penggunaan UF sebagai terapi lini pertama

pada penderita gagal jantung tahap lanjut yang disertai resistensi diuretik.

g. Antagonis vasopressin12

Arginine vasopresin atau hormon antidiuretik, diproduksi oleh

hipotalamus dan disekresikan melalui lobus posterior kelenjar pituitari

sebagai respons terhadap kondisi hiperosmolar, deplesi volume

intravaskular, angiotensin II, dan perangsangan simpatetik. Vasopresin

mempunyai sedikitnya 3 subtipe reseptor yaitu V1a, V2, dan V3. Reseptor

V1a ditemukan di sel-sel otot polos vaskular dan di ginjal, memediasi

terjadinya vasokonstriksi dan produksi prostaglandin pada konsentrasi

vasopresin yang tinggi. Reseptor V2 ditemukan di tubulus kolekting ginjal,

memediasi terjadinya resorpsi air di ginjal melalui insersi kanal-kanal

aquaporin-2 ke membran luminal, dan juga melepaskan faktor von

Willebrand dan faktor VIII dari endotel vaskular. Reseptor V3 ditemukan di

37

kelenjar pituitari, bertanggung jawab dalam menstimulasi sekresi hormon

adrenokortikotropin. Pada gagal jantung terjadi penurunan volume darah

arterial efektif akibat cardiac output yang rendah. Hal ini akan

menyebabkan baroreseptor sinus karotis mengirimkan sinyal ke hipotalamus

sehingga terjadi peningkatan kadar vasopressin. Penghambatan reseptor

vasopresin V1a akan meningkatkan cardiac output, menurunkan resistensi

vaskular perifer, menurunkan tekanan darah arterial rata-rata, dan

menghambat hipertrofi kardiomiosit. Sedangkan penghambatan reseptor V2

akan menyebabkan aquaresis sehingga terjadi peningkatan konsentrasi

natrium dan menurunkan preload jantung. Terdapat 2 antagonis vasopresin

yang sedang dalam penelitian intensif yaitu antagonis reseptor V1a/V2

conivaptan, dan antagonis reseptor V2 spesifik tolvaptan. Pada penelitian

acak tersamar ganda, pemberian conivaptan intravena pada penderita gagal

jantung tahap lanjut secara bermakna menurunkan preload, meningkatkan

produksi urine, dan meningkatkan kadar natrium. Penelitian pada 254

penderita gagal jantung kelas fungsional I – III NYHA menunjukkan

kombinasi tolvaptan oral dengan furosemide dapat meningkatkan volume

urine, menurunkan osmolalitas urine, meningkatkan natrium serum, dan

memperbaiki edema. Manfaat antagonis vasopresin dalam pengobatan gagal

jantung tahap lanjut dan sindrom kardiorenal masih dalam penelitian.

h. Antagonis adenosine12

Kadar adenosin plasma meningkat sejalan dengan progresifitas gagal

jantung. Antagonis reseptor adenosin A1 berpotensi memperbaiki fungsi

ginjal dan mengatasi resistensi diuretik pada penderita gagal jantung melalui

mekanisme penghambatan pada jaras umpan balik tubuloglomerular.

Penelitian pada penderita gagal jantung menunjukkan pemberian antagonis

reseptor adenosin A1 dapat mempertahankan fungsi ginjal, dan secara

simultan meningkatkan respons terhadap diuretik loop. Manfaat antagonis

reseptor adenosin A1 dalam mencegah perburukan fungsi ginjal dan

mengatasi resistensi diuretik masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

38

BAB III

KESIMPULAN

Berbagai derajat gangguan fungsi ginjal diketahui berhubungan dengan

berbagai gangguan fungsi jantung, demikian pula sebaliknya. Interaksi tersebut,

atau dikenal sebagai disfungsi kardiorenal, akan saling memperburuk fungsi

masing-masing organ dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Sindroma kardiorenal (CRS) pertama kali secara resmi didefinisikan pada

konferensi konsensus acute dialysis quality iniatitve (ADQI) pada tahun 2009,

dibuat dalam usaha untuk mengelompokkan berbagai hubungan antara kondisi

akut dan kronis pada penyakit jantung dan ginjal. Istilah CRS digunakan untuk

mengidentifikasi penyakit jantung dan ginjal baik itu akut maupun kronis,

disfungsi salah satu organ dapat meyebabkan disfungsi akut atau kronik organ

lainnya.

Prevalensi sindrom kardiorenal belum dapat ditentukan mengingat

keberagaman definisi yang digunakan. Berdasarkan berbagai penelitian dapat

dikatakan bahwa prevalensinya cukup besar. Patofisiologi sindrom kardiorenal

belum sepenuhnya dipahami, faktor-faktor hemodinamik, neurohormonal,

inflamasi, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan kemungkinan faktor-faktor lain,

diduga turut berperan dalam terjadinya perburukan fungsi ginjal dan jantung.

Kelompok konsensus IQDI membahas tentang peran biomarker dalam

diagnosis dari CRS. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan biomarker ke

dalam diagnosis berbagai tipe CRS, terutama yang berhubungan dengan AKI

daripada penyakit jantung akut. Diagnosis CRS dibuat oleh konsesus IQDI yang

membahas peran biomarker dalam penegakan berbagai tipe CRS, terutama lebih

banyak yang berhubungan dengan ginjal daripada jantung. Berbagai biomarker

tersebut adalah B-type natriuretic peptide (BNP dan NT-proBNP), Neutrophil

gelatinase-associated lipocalin (NGAL), Cystatin C, Kidney injury molecule-1

(KIM-1), N-asetil-b-(D) glucosaminidase, dan Interleukin-18. Bioimpedance

vector analysis (BIVA) dapat berkontribusi untuk menjelaskan definisi yang lebih

baik dari status hidrasi pasien. Teknik pencitraan memiliki peran tambahan

39

sehubungan dengan biomarker laboratorium pada CRS, yang akan meningkatkan,

memperluas, dan memperbaiki kemampuan kita untuk menghitung kerusakan

ginjal dan menilai fungsinya.

Sampai saat ini belum ada panduan tatalaksana gagal jantung pada penderita

dengan disfungsi ginjal yang berdasarkan bukti-bukti kuat (evidence-based).

Langkah-langkah berikut dapat digunakan dalam pendekatan pengelolaan

penderita yaitu identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal,

optimalisasi terapi gagal jantung, evaluasi struktur ginjal, optimalisasi terapi

diuretik, dan terapi lain. Walaupun demikian penderita tampaknya akan

memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan tatalaksana gagal

jantung untuk populasi umum, asalkan dengan pemantauan lebih ketat.

Tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit disebabkan terbatasnya

pengetahuan tentang mekanisme yang mendasarinya, dan terbatasnya pilihan

terapi yang tersedia. Sampai saat ini tidak ada terapi efektif yang telah disepakati.

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Shah BN, Greaves K. The Cardiorenal Syndrome: A Review. International

Journal of Nephrology. 2011; 920195: 1-11.

2. Rosner MH, Rastogi A, Ronco C. The Cardiorenal Syndrome. International

Journal of Nephrology.2011; 982092:1-2.

3. Santos PM, Vilacosta I. Cardiorenal Syndrome: An Unsolved Clinical

Problem. International Journal of Nephrology. 2011;913029:1-6.

4. Shlipak MG, Massie BM. The clinical challenge of cardiorenal syndrome.

Circulation 2004;110:1514-7.

5. Francis G. Acute decompensated heart failure: the cardiorenal syndrome.

Cleve Clin J Med 2006;73(Suppl 2):S8-13.

6. Roesli RM, Martakusumah AH. Sindroma Kardio Renal. FK UNPAD/ RS dr

Hasan Sadikin Bandung : Subbag Ginjal Hipertensi, Bag Ilmu Penyakit

Dalam.

7. Ronco C, et al. Cardio-renal syndromes: report from the consensus conference

of the Acute Dialysis Quality Initiative. European Heart Journal. 2010;31,

703-7011.

8. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal

syndrome. J Am Coll Cardiol 2008;52:1527-39.

9. Liang KV, Williams AW, Greene EL, Redfield MM. Acute decompensated

heart failure and the cardiorenal syndrome. Crit Care Med 2008;36(Suppl

1):S75-88.

10. Schiffrin EL, Lipman ML, Mann JFE. Chronic kidney disease: effects on the

cardiovascular system. Circulation 2007;116:85-97.

11. Go AS, Chertow GM, Fan D, McCullock CE, Hsu CY. Chronic kidney

disease and the risks of death, cardiovascular events, and hospitalization. N

Engl J Med 2004;351:1296-305.

12. Hidayat S. Interaksi Kardiorenal: Implikasi Terapi. Dep Cardiology &

Vascular Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010. Diakses

tanggal 27 April 2012 di http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=354.

41

13. Bongartz LG, Cramer MJ, Doevendans PA, Joles JA, Braam B. The severe

cardiorenal syndrome: Guyton revisited. Eur Heart J 2005;26:1115-40

42