Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

17
URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108 98 Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan Oleh Anas Ahmadi/[email protected] Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya sedang belajar di Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas Huaqiao, China Abstrak Dalam penelitian ini dipaparkan tentang simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China selatan. Teori yang digunakan adalah struktural-antropologi dan psikologi. Penelitian yang berpendekatan kualitatif ini menggunakan data dari artsitektur Kuil Kuan Im. Teknik pengumpulan data (1) pengamatan, (2) pemotretan, (3) perekaman, dan (4) pewawancaraan. Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut. Pertama, struktur yang dimunculkan dalam simbolisme Kuan Im adalah struktur diadik yang terbagi dalam oposisi (i) kuil berpagoda---kuil tanpa pagoda, (ii) maskulin--- feminim, (iii) kuat---lembut, (iv) tertutup (introversi)---terbuka (ekstroversi), dan (v) anima ---animus. Kedua, Fungsi mediasi kolektif dari simbolisme tersebut adalah Kuan Im mempunyai simbolisme/figurasi dan hal itu menunjukkan bahwa Kuan Im memang yang paling tinggi dan melampaui dewa ataupun dewi. Karena itu, ia bisa mewujud/menjadi apa saja untuk membantu umat manusia di bumi. Kata kunci: simbol, kuan im, struktural-antropologi, psikologi Abstract In this research explained about symbol Kuan Im in (Mahayana Buddhist) Temple southern China. The theory used is structural-anthropology and psychology. This qualitative approach research uses data from architecture Kuan Im Temple. Data collection techniques (1) observation, (2) photographing, (3) recording, and (4) interviewing. Based to the purpose of the research, the result shows that. First, the structure of which appear in the symbolism of Kuan Im is a dyadic structure is divided in opposition (i) --- berpagoda temple pagoda temples without, (ii) --- masculine feminine, (iii) strong --- soft, (iv) closed (introversion) --- open (extroversion), and (v) --- anima animus. Second, the collective mediation function of the symbolism is Kuan Im having symbolism / figuration and it shows that the Kuan Im is the most high god or goddess and beyond. Because of that, he could have come into/be anything to help humanity on earth. PENDAHULUAN Selama ini penelitian yang menggunakan konteks agama sudah banyak dilakukan. Penelitian konteks keagamaan merujuk pada konseptualisasi Russel (2000; Morris, 2003b) bukanlah menghormati atau mencerca, tetapi lebih pada sikap kritis. Salah satu peneliti yang melakukan hal tersebut, misal, Alan

Transcript of Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

Page 1: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

98

Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

Oleh

Anas Ahmadi/[email protected]

Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya

sedang belajar di Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas Huaqiao, China

Abstrak

Dalam penelitian ini dipaparkan tentang simbol Kuan Im di Kuil (Budha

Mahayana) China selatan. Teori yang digunakan adalah struktural-antropologi dan

psikologi. Penelitian yang berpendekatan kualitatif ini menggunakan data dari

artsitektur Kuil Kuan Im. Teknik pengumpulan data (1) pengamatan, (2) pemotretan, (3)

perekaman, dan (4) pewawancaraan.

Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, struktur yang dimunculkan dalam simbolisme Kuan Im adalah struktur diadik

yang terbagi dalam oposisi (i) kuil berpagoda---kuil tanpa pagoda, (ii) maskulin---

feminim, (iii) kuat---lembut, (iv) tertutup (introversi)---terbuka (ekstroversi), dan (v)

anima ---animus. Kedua, Fungsi mediasi kolektif dari simbolisme tersebut adalah Kuan

Im mempunyai simbolisme/figurasi dan hal itu menunjukkan bahwa Kuan Im memang

yang paling tinggi dan melampaui dewa ataupun dewi. Karena itu, ia bisa

mewujud/menjadi apa saja untuk membantu umat manusia di bumi.

Kata kunci: simbol, kuan im, struktural-antropologi, psikologi

Abstract

In this research explained about symbol Kuan Im in (Mahayana Buddhist) Temple

southern China. The theory used is structural-anthropology and psychology. This qualitative

approach research uses data from architecture Kuan Im Temple. Data collection techniques (1)

observation, (2) photographing, (3) recording, and (4) interviewing.

Based to the purpose of the research, the result shows that. First, the structure of which

appear in the symbolism of Kuan Im is a dyadic structure is divided in opposition (i) --- berpagoda

temple pagoda temples without, (ii) --- masculine feminine, (iii) strong --- soft, (iv) closed

(introversion) --- open (extroversion), and (v) --- anima animus. Second, the collective mediation

function of the symbolism is Kuan Im having symbolism / figuration and it shows that the Kuan

Im is the most high god or goddess and beyond. Because of that, he could have come into/be

anything to help humanity on earth.

PENDAHULUAN

Selama ini penelitian yang menggunakan konteks agama sudah banyak

dilakukan. Penelitian konteks keagamaan merujuk pada konseptualisasi Russel

(2000; Morris, 2003b) bukanlah menghormati atau mencerca, tetapi lebih pada

sikap kritis. Salah satu peneliti yang melakukan hal tersebut, misal, Alan

Page 2: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

99

Dundes ketika ia meneliti unsur folklor dalam Quran (2003) dan folklor dalam

Bible (1999). Dundes tidak memaparkan konsepsi benar atau salah, melainkan

konsepsi telaah kritis terhadap dua kitab suci tersebut.

Berkait dengan penelitian keagamaan, peneliti mengaji salah satu tokoh

yang diagungkan dan dimitologikanm yakni Kuan Im (ejaan Indonesia). Dalam

konteks ini, kajian dispesifikasikan pada masalah simbol Kuan Im yang terdapat

di kuil (Budha Mahayana)1 China Selatan. Selama ini Kuan Im di Indonesia

dilegendakan sebagai sosok dewi. Kisah Kuan Im pernah muncul di Indonesia

dalam ‚Legenda Kera Sakti‛ yang ditayangkan oleh ANTV sekitar tahun 1990an

kemudian ditayang-ulangkan dalam versi yang berbeda di Indosiar. Dalam

legenda tersebut, Kuan Im digambarkan sebagai sosok yang welas asih yang

memberikan bantuan pada si Kera Sakti yang nakal dan selalu berbuat

kerusakan di bumi dan di (istana) langit. Pada beberapa segmen di film tersebut,

Kuan Im disebut dewi.

Kuan Im sebagai sosok yang diagungkan dan dilegendakan (mitologis)

memunculkan tafsir yang berbeda. Ada pandangan yang menguatkan bahwa

Kuan Im adalah laki-laki. Ada pandangan yang menguatkan bahwa Kuan Im

adalah Perempuan. Ada pula pandangan yang menguatkan bahwa Kuan Im

semula adalah laki-laki dan memanifestasikan diri menjadi perempuan. Sampai

saat ini, sepanjang amatan peneliti, para peneliti yang membahas Kuan Im

terpapar sebagai berikut.

Pertama, Blofeld (1978:40) mengungkapkan bahwa Boddisatva (Kuan Im)

di India dimanifestasikan laki-laki. Namun, ketika (dalam perjalannya) ke China

Bodhisatva (Kuan Im) dimanifestasikan menjadi perempuan. Argumen ini

didasarkan pada beberapa fakta yang berupa artsitektur India yang

1 Ada dua versi mengenai eksistensi Kuan Im. Pertama, versi yang menyatakan bahwa Kuan Im

berkait dengan Budha (Mahayana). Kedua, versi yang menyatakan bahwa Kuan Im tidak berkait

dengan Budha (Mahayana). Penulis lebih sependapat dengan yang pertama sebab beberapa praktisi

yang menulis Kuan Im mengaitkan Kuan Im dengan Budha.

Page 3: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

100

menggambarkan bahwa Boddisatva (Kuan Im) di India laki-laki, sedangkan

Boddisatva (Kuan Im) di China adalah seorang perempuan.

Kedua, Chün-Fangyü (2001) memaparkan bahwa Kuan Im semula adalah

Avalokitersvara yang melakukan transformasi diri menjadi sosok yang

diperempuankan Kuan Im. Legenda Miaoshan hampir disamakan dengan

legenda Kuan Im. Selain itu, Chun-Fangyu mengungkapkan bahwa dari 33

bentuk (form) Kuan Im terdapat tujuh form yang mengarah pada

pemfeminiman, yakni (1) biksuni (nun), (2) perempuan awam/desa (lay woman),

(3) istri dari laki-laki tua (wife of an elder), (4) wanita penghuni/penjaga rumah

(householder girl), (5) wanita pekerja/pejabat (official girl), (6) perempuan brahma

(brahmin), and (7) perempuan (girl). Pemfeminiman ataupun pentransformasian

Kuan Im tersebut merupakan keajaiban (miracle) yang memesona.

Ketiga, Dudbridge (2004) yang penelitiannya tidak jauh beda dengan

Idema hanya saja, Dudbridge mengaji mulai dari awal mula munculnya Kuan

Im mulai dari 1500 SM sampai dengan abad ke 16—17 Masehi. Selanjutnya,

Dudbridge membuat anatomi struktur legenda Kuan Im dan diakhir

pembahasan dia memberikan interpretasi terhadap legenda Kuan Im.

Keempat, Idema (2008) melakukan penelitian dengan mengumpulkan

legenda-legenda tentang Kuan Im, baik yang berupa cerita rakyat (folktale)

ataupun arsitektur. Berdasarkan hasil penelitian, Kuan Im dalam cerita rakyat

atau arsitektur digambarkan dengan 33 bentuk. Dari 33 bentuk tersebut, Kuan

Im digambarkan dalam bentuk merepresentasikan laki-laki dan juga bentuk

yang merepresentasikan perempuan.

Kuan Im dalam konteks ini sebenarnya terpilah menjadi tiga, yakni Kuan

Im dalam konteks keagamaan (religion), Kuan Im dalam konteks legenda (legend)

masyarakat China, dan Kuan Im dalam konteks seni (arts). Perpaduan keduanya

menjadi sangat menarik untuk dikaji dari perspektif struktural-antropologi

Claude Lévi-Strauss. Lévi-Strauss (sendiri) juga pernah meneliti seni (arts)

masyakat Asia-Amerika. Temuan Lévi-Strauss menunjukkan bahwa terdapat

Page 4: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

101

teknik pemisahan (split) (1963:245) dalam seni Asia-Amerika. Seni pemisahan

tersebut terdapat pada arsitektur patung, lukisan, dan motif.

Bertolak dari paparan di muka, sepanjang amatan peneliti belum pernah

ada yang meneliti Kuan Im dari perspektif Struktural-Antropologi C. Levis-

Strauss (dan dihubungkaitkan dengan psikologi Jungian). Berkait dengan hal

tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni (1) bagaimanakah

struktur yang terdapat di Kuil Kuan Im di China Selatan dan (2) bagaimanakah

mediasi kolektif yang dimunculkan dari struktur Kuil Kuan Im di China Selatan?

Adapun tujuan penelitian, yakni (1) memaparkan struktur yang terdapat di Kuil

Kuan Im di China Selatan dan memaparkan mediasi kolektif yang dimunculkan

dari struktur Kuil Kuan Im di China Selatan.

LANDASAN TEORI

Struktural-Antropologi Claude Lévi-Strauss

Seni (arts) merupakan bagian dari wilayah kajian antropologi. Karena itu,

seni bisa ditinjau dari perspektif antropologi, salah satunya adalah struktural-

antropologi. Teori tersebut dikembangkan oleh Claude Lévi-Strauss. Teori ini

digunakan oleh para antropolog untuk menelaah budaya dan juga cerita rakyat

(folkltale)/sastra lisan (oral literature). Sebagai teori, struktural-antropologi

dipandang dan diakui sebagai teori yang holistis oleh beberapa pakar, misal

Geertz (2002) dan juga Morris (2003). Keholistisitasan tersebut disebabkan

pemadupadanan konsep struktur dan antropologi. Dengan demikian, cara

penghampiran data melalui perpaduan keduanya.

Lévi-Strauss berpandangan bahwa struktur bersifat teoretis dan

eksplanatoris. Struktur yang bersifat teoretis tidak ada kaitannya dengan realitas

empiris. Struktur tidak langsung ada pada pengertian-pengertian tersebut dan

berada di balik apa yang kita amati, sembari menghasilkan. Jadi, struktur tidak

dapat diamati, tapi menghasilkan atau menyebabkan yang dapat diamati.

Hubungan yang dibayangkan oleh Claude Lévi Strauss di sini mirip dengan

Page 5: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

102

yang diisyaratkan oleh Saussure antara langue dan parole (Strinati, 2007:107).

Karena itu, Claude Lévi Strauss mampu membedah hubungan triadik yang

estetis antara myth dengan musik dan puisi (Wiseman, 2007:160--163).

Pemikiran itulah yang membedakan antara Claude Lévi Strauss dengan para

antropolog pendahulunya.

Budaya dalam berbagai belahan dunia sebenarnya memiliki ‘kemiripan ‘

yang disebabkan konstruksi pikiran yang sama (Strauss, 2001:14;2005:278). Lévi-

Strauss mengungkapkan bahwa unsur universalisasi (universalization) dan

partikularisasi (partikularization) ada dalam budaya, baik seni ataupun mitologi

(Strauss, 1962:161) sehingga melahirkan oposisi biner. Konsep oposisi biner

dalam budaya merupakan refleksi mental yang universal (Dundes, 2007:123)

begitu pula dengan mytheme, dan ceritheme sehingga analisis struktural-

antropologi menjadi lebih kokoh. Oposisi biner tersebut bisa berkait dengan

hidup-mati, laki-perempuan, atas-bawah, kiri-kanan, masak-mentah dan

menghasilkan mediasi (King & Wilder, 2012:172) yang berfungsi bagi

masyarakat kolektif.

Legenda/seni yang memiliki homologi dengan konteks sosial-budaya

merupakan mediasi masyarakat untuk mengatasi konflik (Barnauw 1982:254;

Letcovitz 1989:62-63). Masyarakat mencari solusi untuk mengatasi konflik yang

terdapat pada sosial-budaya mereka dengan cara menyalurkannya pada cerita.

Penyaluran tersebut dilakukan dalam wujud ketidaksadaran antropologis.

Karena itu, mediasi yang mereka lakukan kadang-kadang tidak disadari. Dengan

demikian, cerita yang tidak berstruktur tersebut bisa memunculkan mediasi-

mediasi yang mempunyai fungsi bagi masyarakat pendukungnya (Ahmadi,

2012:7). Dalam konteks ini, mediasi tersebut bisa muncul melalui logika-logika

cerita yang tersembunyi dibalik struktur-struktur cerita/seni.

Dalam konteks ini, teori Struktural-Antropologi dihubungkaitkan dengan

Psikologi-Jungian untuk memahami aspek-aspek yang bersifat psikologis. Hal ini

Page 6: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

103

dilakukan agar analisis struktural-antropologi tidak hanya terhenti pada konteks

budaya, melainkan dikaitkan juga dengan psikologi agar lebih holistis.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan

cara memaparkan data-data yang diperoleh penulis dari lapangan, referensi, dan

wawancara. Sumber data dan data yang digunakan berupa arsitektur yang

berkait dengan Kuan Im di dua kuil Kuam Im yang terletak di Xiamen, Provinsi

Fujian, China selatan. Teknik pengumpulan data penelitian ini, meliputi langkah

berikut (1) pengamatan (menggunakan pengamatan terlibat), (2) pemotretan

(menggunakan kamera Sony cybershot), (3) perekaman (menggunakan alat bantu

rekam Huwei recorder voice), dan (4) pewawancaraan (menggunakan wawancara

tidak terstruktur pada biksu kuil Kuan Im dan penganut Budha). Teknik analisis

data, yakni (1) identifikasi, (2) klasifikasi, (3) analisis, (4) penyimpulan, dan (5)

verifikasi.

PEMBAHASAN

Sejarah Pelahiran Kuan Im (Guanyin) di China

Avalokiteÿvara dikenal luas oleh orang Cina sebagai Guanyin. Ia terlahir

di tanah suci (pure land) tempat Buddha Sakyamuni (Paul, 1979:254). Di

Indonesia ia dikenal dengan Kuan Im/Kwan Im. Ia dianggap sebagai dewi yang

welas asih (Goddess of compassion) dan Dewi pengampun (Goddess of Mercy).

Sebagai dewi welas asih ia pun bersumpah tak akan ke nirvana sebelum

umatnya tercerahkan (enlightened) (Irons, 2008:223). Pemujaan terhadapnya

tampaknya diperkenalkan ke Cina di akhir abad pertama Masehi. Di sekitar abad

ke-6 Masehi, dia dipuja di seluruh negeri. Perwujudan Avalokiteÿvara sebelum

dinasti Sung (960--1126) jelas-jelas berbentuk maskulin. Tetapi setelah periode itu

Sang Bodhisattva selalu dipuja dengan bentuk feminin Perubahan itu tidak

Page 7: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

104

begitu bersifat seksual tetapi cuma simbolis bagi orang China, feminin

melambangkan yin (homonim dari nama Chinanya). Dengan kata lain,

perwujudan kasih sayangnya (karuna) dianggap oleh mereka sebagai bentuk

feminin (keibuan) (Mahäthera, 2007:22). Namun, Blofeld (1978:40)

mengungkapkan bahwa Boddisatva (Kuan Im) di India dimanifestasikan laki-

laki, tetapi (dalam perjalannya) di China Bodhisatva (Kuan Im) dimanifestasikan

menjadi perempuan. Ada tafsiran bahwa Kuan Im yang difigurasikan dengan

tangan seribu (di China) merupakan manifestasi dari dewa Siwa di India.

Namun beberapa praktisi mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah sepenuhnya

benar.

Adapun paparan yang menunjukkan bahwa dari 1500 SM sudah ada

legenda Kuan Im. Pada masa itu, sosok Kuan Im muncul dengan nama kecil

Miaoshan (anak raja Miaozhuang). Miaoshan mempunyai dua kakak, Miaoyin

dan Miaoyuan. Ketika besar, Miaoshan diminta oleh sang raja menikah. Namun,

ia tidak mau. Karena murka, sang raja memerintahkan anak buahnya

mengurung Miaoshan di biara. Kemurkaan sang raja memuncak karena

Miaoshan tetap tidak mau menikah. Ia pun memerintahkan pasukan kerajaan

untuk membakar Miaoshan beserta dengan 500 biarawati. Setelah pembakaran,

500 biarawati tersebut hilang tanpa jejak. Hanya tinggal Miaoshan yang duduk

tegak sambil membaca sutra dan api tidak bisa membakarnya. Setelah itu, ia

ditolong oleh dewa bumi. Selanjutnya, dalam tahapan pencerahan, Miaoshan

berkunjung ke neraka (Dudbridge, 2004:45—47). Versi lain, misal di Wikipedia

(Maret, 2014) dituliskan bahwa Miaoshan meninggal dan arwahnya dibawa ke

neraka.

Setelah berkunjung ke neraka, Miaoshan sangat sedih sebab ia melihat

banyak sekali orang yang susah. Ia pun menolongnya. Namun, selalu saja masih

banyak orang yang belum tertolong. Akhirnya, Kuan Im terjatuh dan meninggal.

Kemudian, Budha Amitabha menghidupkan kembali Miaoshan dengan memiliki

kelebihan tangan seribu agar bisa membantu umat yang menderita (Mahäthera,

Page 8: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

105

2007). Kemudian, Kuan Im kembali ke alam fana dan membantu umat manusia

yang hidup dalam derita.

Orang yang tidak terbiasa dengan hagiologi Buddhis seringkali

dibingungkan oleh masalah jenis kelamin Kuan Im yang sering diwujudkan

berjubah putih dengan rambut panjang tergelung tinggi dan bermahkota. Bentuk

gambaran itu jelas-jelas feminin kecuali bahwa dia memiliki dada maskulin!

Inilah sejauh hal pemanusiaan Kuan Im —manusia tidak boleh lupa bahwa dia

adalah perwujudan karuôä, yang melampaui jenis kelamin! Agar sejalan dengan

filosofi keseimbangan yin-yang, menganggap bahwa Kuan Im itu androginus

(Mahäthera, 2007:23).

Kuil Kuan Im di China Selatan

Kuil Kuan Im Berpagoda

Kuil Kuan Im berpagoda (tingkat delapan) ini terletak di lereng gunung.

Kuil ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian luar, terdapat patung

(ukuran besar) Budha tidur, patung singa penjaga (yang merupakan manifestasi

dari dewa), arsitektur pahatan batu yang mengisahkan Kuan Im, altar pemujaan.

Kedua, bagian dalam (tempat pemujaan) terdapat patung (ukuran besar) Kuan

Im Tangan Seribu yang terletak dibagian ruang utama. Di ruang tersebut Kuan

Im digambarkan memiliki tangan seribu. Tangan Kuan Im memegang benda-

benda duniawiah. Adapun pada bagian sisi kanan belakang terdapat dua

patung dewa.

Page 9: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

106

Gambar 1: Kuil Kuan Im Berpagoda

Dok. Penulis

Kuil (Kuan Im) Tangan Seribu (gambar 1) merupakan kuil yang dibangun

sekitar tahun 1990an. Pembangunan kuil tersebut di area pegunungan sebab

(Mahäthera, 2007:23) dalam filosofi Cina kuna, gunung (dianggap sebagai ‘naga’)

adalah tempat keramat —tempat yang amat baik untuk mendirikan patung

suci.Penganut Buddha Mahayana cenderung menyukai kuil-kuil yang tinggi di

area pengunungan sebab menunjukkan kemahayanaan. Kebiasaan ini juga

merupakan simbolisme bahwa Avalokita yang berarti ‘melihat ke bawah (dari

ketinggian)’ dalam artian pengamatan penuh kasih sayang.

Kuil Kuan Im tanpa Pagoda

Kuil Kuan Im tanpa pagoda sama halnya kuil Kuan Im berpagoda

terletak di lereng gunung. Kuil ini juga terbagi menjadi dua bagian. Pertama,

bagian depan, dibagian ini terdapat altar pemujaan, pahatan dari batu motif

bunga teratai (lotus) yang menyimbolkan Kuan Im. Bagian dalam, ruang

pemujaan. Di dalamnya terdapat patung (ukuran besar) Kuan Im. Di ruang

Page 10: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

107

tersebut Kuan Im digambarkan feminim, berambut panjang, membawa daun

panjang.

Gambar 2: Kuil Kuan Im tanpa Pagoda

Dok. Penulis

Kuil Kuan Im (gambar 2), menurut Bikshu Wang Wei Li (50 th)2,

merupakan kuil yang dibangun pada tahun 1994. Usianya masih muda. Karena

itu, di bagian belakang kuil (bagian kanan) masih dibangun beberapa gedung

untuk sarana pemujaan. Adapun di bagian belakang (bagian kiri) masih proses

pemangkasan tanah tebing yang rencananya akan dibangun gedung juga.

Struktur Diadik

Kuil Kuan Im yang pertama (Kuan Im Tangan Seribu) memiliki pagoda.

Simbolisme dari pagoda ialah visualisasi dari penis (phallic[phallus]), kekuatan

(streght), dan isolasi (Seaman, 2006:221;Levis & Oliver, 2009:332; Freud,

2001:289). Simbolisme pagoda yang menjulang merupakan simbol kelaki-lakian,

keperkasaan, dan kekuatan. Karena itu, kuil tersebut adalah kuil Tangan Seribu.

2 Wawancara tanggal 20 Maret 2014 di Xiamen, Fujian, China Selatan

Page 11: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

108

Kuan Im dengan Tangan Seribu mampu membantu segala derita umat manusia.

dalam konteks ini, Tangan Seribu lebih mengarah pada pemaskulinan.

Penguatan maskulin tersebut dikuatkan oleh pagoda.

Adapun kuil Kuan Im yang kedua tidak berpagoda. Di sekitar area kuil

tersebut terdapat artsitektur lotus (teratai/seroja) yang ada di area pagar dan

area dalam. Lotus merupakan visualisasi dari kebahagiaan, romantisme,

pertumbuhan/perkembangan/mekar, dan kebijaksanaan/kelembutan/welas asih

yang universal (Seaman, 2006:126;Watson, 1993:53).

Gambar 3: Salah satu pahatan dari batu yang menggambarkan Kuan Im

duduk di lotus (Kuil Kuan Im tanpa Pagoda)

Dok. Penulis

Dalam pandangan masyarakat China, lotus lebih mengarah pada unsur

feminim daripada maskulin. Lotus warna putih bersih dan mampu hidup

dilumpur bahkan pada saat tanah kering pun lotus masih bisa bertahan hidup.

Selain warna putih, lotus juga ada yang berwarna merah. Lotus jenis ini adalah

lotus yang disukai masyarakat China sebab mitosnya warna merah mengandung

keberuntungan. Namun, untuk lotus yang terdapat di Kuan Im dipertahankan

lotus putih.

Page 12: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

109

Gambar 4: Simbol Lotus di Kuil Kuan Im tanpa Pagoda

Dok. Penulis

Jika ditelusuri secara historis, simbol lotus bukanlah murni berasal dari

Buddha, Kuan Im. Simbol lotus muncul (D’Alviella, 2000:31 & 157) dari Mesir

(Egypt) Kuna (sekitar 3150 SM), adapun ajaran Buddha ditengarai baru muncul

sekitar 2000an SM (Morris, 2006:2). Simbol lotus tersebut ditengarai juga

digunakan oleh agama Hindu dalam bentuk yang agak berbeda, yakni trisula.

Namun, unsur kemiripan dengan simbol lotus masih ada. Simbol tersebut

mengalami migrasi dan transformasi seiring dengan pengguna dan

perkembangan zaman.

Gambar 5: Simbol Lotus Zaman Mesir Kuna (3150 SM)

Dok. D’Alviella

Struktur Diadik

Pada kuil pertama dan kuil kedua menghasilkan struktur diadik tampak

seperti berikut.

Page 13: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

110

Kuil berpagoda—kuil tanpa pagoda

Maskulin —feminim

Kuat—lembut

Tertutup (introversi)—terbuka (ekstroversi)

Anima-Animus

Kuil Kuan Im (Tangan Seribu) berpagoda dan Kuil Kuan Im tidak

berpagoda merupakan bentuk oposisi biner yang mutlak sebab pagoda

dioposisikan dengan tidak berpagoda. Dalam konteks ini, tidak ada istilah

‘semipagoda’. Karena itu, oposisi biner yang dimunculkan dalam bentuk

struktur diadik (dua). Pemunculan unsur maskulin pada kuil pertama

disebabkan adanya (1) patung Kuan Im (Tangan Seribu)

digambarkan/dikesankan seperti laki-laki. Patung Kuan Im (Tangan Seribu)

dibuat model perkasa dan kuat yang sebenarnya kesan-kesan tersebut lebih

mengarah pada bentuk maskulin; dan (2) pagoda yang menyimbolkan penis

(phallus) dan kekuatan yang disimbolkan juga oleh tangan seribu.

Struktur tersebut dioposisikan dengan unsur feminim pada kuil kedua

yang disebabkan adanya (1) patung Kuan Im yang digambarkan berwajah

‘kesan’ cantik dengan menggunakan pakaian putih, berambut panjang, dan

memegang daun panjang. Patung tersebut lebih mengarah pada bentuk feminim;

dan (2) bentuk (form) artsitektur lotus yang menyimbolkan kefeminiman. Jika

pagoda merupakan kekuatan (strengthness), dioposisiskan dengan lotus

merupakan kelembutan (compassion). Selanjutnya, kuil berpagoda menyimbolkan

dunia ketertutupan/isolasi. Hal ini menunjukkan bahwa manusia yang berserah

diri pada Budha, haruslah bisa menenangkan diri dari hasrat duniawiah agar

bisa menuju nirvana (dunia langitan) dengan mudah. Simbol ini dioposisikan

dengan lotus yang menyimbolkan keterbukaan. Manusia haruslah terbuka dan

menolong sesama, tidak hanya berkutat pada tempat isolasi saja, melainkan juga

Page 14: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

111

harus menjadi manusia yang membumi (tidak hanya memikirkan diri sendiri).

Dalam Istilah psikologi-Jungian, ketertutupan dihubungkaitkan dengan

introversi dan keterbukaan dihubungkaitkan dengan ekstroversi. Keduanya,

saling mengisi dan memcocokkan sehingga memunculkan kekuatan yang

seimbang (balance of power). Selain itu, konsep anima (jiwa perempuan yang ada

di jiwa laki-laki) dan animus (jiwa laki-laki-laki yang ada di jiwa perempuan)

(Jung, 1989:144) saling bersinggungan akhirnya melahirkan hal yang adekuat.

Dengan demikian, adekuasi akan memunculkan kekuatan yang sangat tinggi

dan suci (sacred).

Fungsi Mediasi Kolektif

Fungsi mediasi kolektif (collective mediation) yang tersembunyi dibalik

struktur-struktur Kuil Kuan Im yakni, Kuan Im bukanlah perempuan dan

bukanlah laki-laki, tetapi Kuan Im bisa disimbolkan perempuan dan bisa

disimbolkan laki-laki. Karena itu, penyebutan Kuan Im dengan Dewi Lotus

sebab Kuan Im berada di kuil lotus, sedangkan penyebutan Kuan Im dengan

Dewa Tangan Seribu bukanlah sebuah masalah. Hal ini disebabkan Kuan Im

dalam konteks pemanifestasian bisa ‘meng-Ada’ (being) apa saja. Kuan Im

adalah yang Satu. Jika mengikuti pemikiran Jungian (Jung, 1981:355), istilah

tersebut disebut mandala3 sebuah lingkaran utuh yang tak terpecahkan. Ada

kesatuan yang utuh yang tidak terpecahkan. Dia adalah yang ‘Ada’ yang berada

dalam keti-‘Ada’-an (nothingness). Penganut Buddhism, misal Shu Hui4 (26 th)

ataupun Wang Li Cheng5 (25 th) memercayai bahwa Kuan Im memiliki bentuk

(form) yang berbeda dalam artian ‘malih rupa’. Bagi mereka, dengan adanya

simbolisme/figurasi memunjukkan bahwa Kuan Im memang yang paling tinggi

3 Istilah mandala yang digunakan oleh Carl G. Jung sebenarnya mengadaptasi dari Hinduism.

Namun, jauh sebelum itu, konsep mandala sudah muncul pada zaman Yunani Kuna. 4 Wawancara tanggal 21 Maret 2014 di Xiamen, Fujian, China Selatan

5 Wawancara tanggal 22 Maret 2014 di Xiamen, Fujian, China Selatan

Page 15: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

112

dan melampaui dewa ataupun dewi. Karena itu, ia bisa mewujud/menjadi apa

saja untuk membantu umat manusia di bumi.

Selain itu, pemunculan Kuan Im yang dimaskulinkan menyimbolkan

bahwa laki-laki itu kuat dan perkasa. Hal ini berkaitan dengan kultur budaya

masyarakat China yang mengarah pada budaya Patriarkhi. Dengan begitu,

kaum perempuan terkesan dimarginalkan, baik secara langsung ataupun tidak

langsung. Hal ini tampak dalam kehidupan keseharian bahwa sepasang suami-

istri lebih menyukai anak mereka lahir laki-laki bukan perempuan. Bahkan,

baru-baru ini (tahun 2013) diberitakan ada seorang ibu yang membuang anaknya

ke kloset karena anak tersebut perempuan. Berita lainnya, bayi perempuan

digorok oleh orang tuanya, dibuang ke tong sampah, ditinggalkan di rumah

sakit, dan dititipkan ke panti asuhan. Bahkan, berdasarkan hasil riset Tsomo et.al

(2004:2) menunjukkan bahwa di dalam struktur ke-Budha-an pun para biksuni

belum mendapatkan posisi yang layak/tinggi jika dibandingkan dengan biksu.

Karena itu, pemunculan Kuan Im yang difeminimkan dengan simbolisme lotus

yang memiliki artian lemah lembut dan welas asih sebenarnya

merepresentasikan bahwa perempuan pun juga bisa menjadi pemimpin bukan

hanya kaum laki-laki saja.

SIMPULAN

Berdasarkan paparan yang disampaikan di muka, penelitian ini dapat

disimpulkan sebagai berikut. Pertama, struktur yang dimunculkan dalam

simbolisme Kuan Im adalah struktur diadik yang terbagi dalam oposisi (i) kuil

berpagoda---kuil tanpa pagoda, (ii) maskulin---feminim, (iii) kuat---lembut, (iv)

tertutup (introversi)---terbuka (ekstroversi), dan (v) anima ---animus.

Kedua, simbolisme Kuan Im mempunyai fungsi mediasi kolektif bagi

masyarakat pendukungnya. Fungsi mediasi kolektif dari simbolisme tersebut

adalah Kuan Im mempunyai simbolisme/figurasi dan hal itu menunjukkan

bahwa Kuan Im memang yang paling tinggi dan melampaui dewa ataupun

Page 16: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

113

dewi. Karena itu, ia bisa mewujud/menjadi apa saja untuk membantu umat

manusia di bumi. Selain itu, pemunculan Kuan Im yang dimaskulinkan

menyimbolkan bahwa laki-laki itu kuat dan perkasa. Hal ini berkaitan dengan

kultur budaya masyarakat China yang mengarah pada budaya Patriarkhi.

Dengan begitu, kaum perempuan terkesan dimarginalkan, baik secara langsung

ataupun tidak langsung. Karena itu, pemunculan Kuan Im yang difeminimkan

dengan simbolisme lotus yang memiliki artian lemah lembut dan welas asih

sebenarnya merepresentasikan bahwa perempuan pun juga bisa menjadi

pemimpin bukan hanya kaum laki-laki saja.

Page 17: Simbol Kuan Im di Kuil (Budha Mahayana) China Selatan

URNA, Volume 3, Nomor 1, hal: 98-108

114

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Anas. 2012. Sastra dan Psikologi. Surabaya: Unesapress.

Barnauw, V. 1982. Etnology. Illinois: Dorsey Press.

Blofeld, J. 1978. Boddhisatva of Compassion. London: Shambala.

Chün-Fangyü. 2001. Kuan-Yin. New York: Columbia University Press.

Dudbridge, D. 2004. The Legend of Miaoshan. London: Oxford.

Dundes, Alan. 1999. Folklore in the Bible.USA: Rowmann & Littlefileld.

_________. 2003. Folklore in the Quran. USA: Rowmann & Littlefileld.

D’Alviella, C. 2000. The Simbols: Migration and Universality. London: Constable.

Freud, S. 2001. Tafsir Mimpi. Yogyakarta: Jendela.

Geertz, Clifford. 2002. Hayat dan Karya. Terj. Yogyakarta: LkiS.

Idema, W. 2008. Two Precious Scroll Narrative of Guanyin and her Acoltyes.

Honolulu: Kuroda Institute Book.

Irons, E.A. 2008. Encyclopedia of Buddhism. New York: Infobase Publishing.

Jung, C.G. 1981. The Archetypes and the Collective Unconsciousness. USA:

Roudledge.

__________. 1989. Memperkenalkan Psikologi Analitis. Terj. Jakarta: Gramedia.

King, V. & Wilder, W. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara. Terj. Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

‚Kuan Im‛ (id.wikipedia.org./wiki/kuan_im),diunduh tanggal 20 Maret 2014.

Letcovit, J. 1989. ‚Structuralism-Semiotics‛. Douglas Atkins and Laura (ed).

Contemporary Literary. Hlm. 60-70. British: Massachusetts Press.

Levis, J.R. & Oliver, D.E. 2009. The Dream Encyclopedia. USA: Visible Ink.

Levi-Strauss, Claude. 1962. Savage Mind. London: Nicholson Ltd.

__________. 1963. Structural-Anthropology. New Yorks: Basic Book.

__________. 2001. Myth and Meaning. New York: Routledge.

__________. 2005. Antropologi Struktural. Terj. Yogyakarta: Kreasi

Mahäthera, P. 2007. Avalokitesvara. Yogyakarta: Karania.

Morris, Brian. 2006. Religion and Anthropology. New York: Cambridge.

__________. 2003. Antropologi Agama. Terj. Yogyakarta: AK Grup.

Paul, A.D. 1979. Women in Buddhism. London: University of California Press.

Russel, B. 2002. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Seaman, J. 2006. Dictionary Dream. USA: Penguin Group.

Strinati, D. 2007. Popular Cultural. Terj. Yogyakarta: Jejak

Tsomo, L.et.al. 2004. Buddhist Women and Social Justice. USA: New York Press.

Watson, B. 1993. The Lotus Sutra. New York: Columbia University Press.