SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id
Transcript of SIHIR SASTRA - repository.usd.ac.id
SIHIR SASTRA: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX
SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora
Program Studi Sejarah
Oleh Achmad Fatkhur Hidayat Fajar
NIM 144314009
PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2021
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SIHIR SASTRA:
Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora
Program Studi Sejarah
Oleh
Achmad Fatkhur Hidayat Fajar
NIM 144314009
PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2021
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
“From each according to his ability, to each according to his need!”
Karl Marx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.
Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau bagian dari karya orang lain, kecuali untuk bagian-bagian tertentu yang dijadikan rujukan.
Yogyakarta, Mei 2021
Penulis
Achmad Fatkhur Hidayat Fajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Achmad Fatkhur Hidayat Fajar
Nomor Mahasiswa : 144314009
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-
ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-
berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda tan-
gan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin
pencari (search engine), misalnya google.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 29 Juli 2021
Yang menyatakan
(Achmad Fatkhur Hidayat Fajar)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
Achmad Fatkhur Hidayat Fajar, Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe dalam Historiografi Tradisional Abad XV-XX. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Uiversitas Sanata Dharma, 2021.
Ada dua hal yang hendak dijawab oleh penelitian ini terkait narasi tokoh sejarah Rangga Lawe dalam historiografi tradisional dan atau karya sastra. Pertama, penelitian ini berusaha untuk mengudar perbedaan dan perubahan narasi tentang Rangga Lawe di tiap historiografi tradisional dan karya sastra. Kedua, penelitian ini mencoba memahami motif sebenarnya dari penulisan historiografi tradisional dan karya sastra yang memuat tokoh Rangga Lawe.
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian sejarah. Sumber utama penelitian ini ialah historiografi tradisional dan atau karya sastra yang memuat Rangga Lawe dalam narasinya.
Penelitian ini menemukan bahwa karya sastra mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap Rangga Lawe. Pengaruh tersebut mengubah status Rangga Lawe yang dalam historiografi tradisional tertua (pada masa akhir sampai keruntuhan Kerajaan Majapahit) menempatkannya sebagai pemberontak menjadi seorang pahlawan. Perubahan itu berlangsung berabad-abad dengan menempatkan pengaruh pujangga-pujangga dan zaman yang berbeda. Perubahan juga dipengaruhi oleh proses kognitif yang merupakan formula imajinasi dalam karya sastra. Terakhir, terkait dengan aspek sosial, budaya, dan politik pada periode penulisan naskah.
Hasil dari pengaruh karya sastra itu dapat ditemukan bahkan pada masa sekarang. Misalnya, masyarakat Tuban yang menganggap Rangga Lawe sebagai pahlawan. Juga, pertalian masyarakat antar daerah berdasarkan pada kisah masa lampau—pada masa awal pendirian Majapahit.
Kata kunci: Rangga Lawe, historiografi tradisional, karya sastra, Kerajaan Majapahit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
Achmad Fatkhur Hidayat Fajar, The Magic of Literature: Rangga Lawe’s Narration in Traditional Historiography at XV-XX Century. Undergraduated Thesis. Yogyakarta: Study Program of History, Faculty of Literature, University of Sanata Dharma, 2021.
This research aims to answer two things regarding the narrative of the historical figure, Rangga Lawe, in traditional historiography and or literatures. First, this study aims to analyze the differences and transformations in the narration of Rangga Lawe in each traditional historiographies and or literatures. Second, this study tries to understand the true motive of traditional historiographies and or literatures writing which contains the story of Rangga Lawe.
Based on the type, this research is a qualitative research. This study uses the historical research method. The main source of this study are traditional historiographies and/or literatures which contains Rangga Lawe in its narrations.
This study found that literatures influence people’s perspectives on Rangga Lawe. The transformation changed the status of Rangga Lawe, which in the oldest traditional historiographies (in the late period until the collapse of the Majapahit) place him as a rebel into a hero. The transformation took place over centuries with the influence of different poets and different periods. The transformation is also influenced by cognitive processes which are the imagination formula in literature. Finally, it also related to social, culture, and political aspect of the writing period.
The result of the influence of this literatures can be found even today. For example, the Tuban people consider Rangga Lawe as a hero. Also, community relations between regions are based on stories from the past—during the early of Majapahit establishment.
Keywords: Rangga Lawe, traditional historiography, literatures, Majapahit Kingdom.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Inilah akhir dari segala perjuangan dan susah payah selama pengerjaan skripsi berjudul “Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX”. Selama pengerjaannya telah menguras banyak enerji dan waktu demi mencapai kata “optimal”, meski kemudian disadari oleh penulis masih banyak bagian yang perlu dibenahi atau disempurnakan.
Pada kesempatan ini penulis hendak mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah mendukung selama ini.
1. Kepada mendiang Ibu yang selama hidupnya selalu memberikan dukungan terbaik. Semoga dilapangkan jalannya menuju muasal. Kepada Ayah dan Adik yang selama ini menaruh kepercayaan yang besar kepada penulis.
2. Kepada mendiang Lucia Juningsih dan Hb. Hery Santosa yang selama hidupnya memberikan panduan kepada mahasiswanya, terutama terkait integritas dan optimalisasi kerja akademis. Hormat dan doa untuk mereka berdua. Semoga dilapangkan jalan keduanya menuju muasal.
3. Kepada Manu Jayaatmaja Widyaseputra yang telah menginisiasi dan mendorong penulis untuk mengulas kajian tentang Rangga Lawe.
4. Kepada Rechardus Deaz Prabowo yang senantiasa membuka cakrawala penulis kepada rujukan-rujukan baru. Kepada teman Martinus “Bolang” Danang yang (kadang) menjadi tempat bertanya.
5. Kepada kawan-kawan Toko Buku Oenta yang telah menjadi tempat terbaik untuk memahami semangat kerja kolektif.
6. Kepada kawan-kawan di Kontrakan Ngaglik, Andri, Niron, dan Koko yang berkenan menampung penulis selama pengerjaan skripsi.
7. Kepada Kaprodi Sejarah USD, Silverio R. L. Aji Sampurno, yang memberikan bantuan besar dan selalu sedia mendukung usaha penulis. Kepada dosen-dosen Sejarah USD yang menjadi tempat bertanya penulis.
8. Kepada orang-orang yang tidak bisa disebut namanya satu-persatu dalam karya yang jauh dari kata sempurna ini.
Yogyakarta, Mei 2021
Penulis
Achmad Fatkhur Hidayat Fajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
HALAMAN MOTO .............................................................................................. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Batasan Masalah........................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
E. Kajian Pustaka .............................................................................................. 8
F. Landasan Teori ........................................................................................... 11
G. Metode Penelitian....................................................................................... 16
H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 17
BAB II ................................................................................................................... 19
FONDASI NARASI ............................................................................................. 19
A. Pendahuluan ............................................................................................... 19
B. Genre Kidung dan Bahasa Jawa Kuna ....................................................... 20
C. Kidung Rangga Lawe ................................................................................. 23
1. Kemunculan dan Perangai Rangga Lawe ............................................... 24
2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe ................................. 27
3. Awal dan Sebab Pemberontakan ............................................................ 32
4. Drama Keluarga ..................................................................................... 35
5. Berhadapan dengan Nambi .................................................................... 36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
6. Rangga Lawe Gugur ............................................................................... 38
D. Sekilas tentang Pararaton ........................................................................... 42
E. Narasi Rangga Lawe dalam Pararaton ....................................................... 47
F. Ulasan Kisah Rangga Lawe ....................................................................... 49
1. Kemunculan dan Peran Rangga Lawe dalam Pendirian Majapahit ....... 50
2. Pemberontakan Rangga Lawe ................................................................ 54
G. Simpulan .................................................................................................... 55
1. Kidung Rangga Lawe ............................................................................. 55
BAB III ................................................................................................................. 66
TRANSISI DALAM NARASI YANG LAIN ...................................................... 66
A. Pendahuluan ............................................................................................... 66
B. Latar Belakang dan Peran Rangga Lawe ................................................... 69
C. Perang Melawan Daha dan Pasukan Tatar ................................................. 71
D. Simpulan .................................................................................................... 74
BAB IV ................................................................................................................. 77
SASTRA JAWA BARU: NARASI YANG BELAKANGAN ............................. 77
A. Pendahuluan: Pembuka Perspektif Baru .................................................... 77
B. Kisah Damarwulan ..................................................................................... 78
1. Ringkasan Serat Damarwulan ................................................................ 80
2. Ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe .................................... 81
C. Ringkasan Serat Babad Tuban ................................................................... 84
D. Simpulan .................................................................................................... 88
BAB V ................................................................................................................... 95
PENUTUP ............................................................................................................. 95
A. Simpulan .................................................................................................... 95
B. Tulisan dari Budaya Lisan ......................................................................... 99
C. Saran ......................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada perbedaan mendasar terkait persepsi terhadap sastra dan sejarah
antara masyarakat yang meyakini kebenaran sastra tradisional dengan masyarakat
sastra kontemporer. Kini, antara karya sastra dan karya sejarah, katakanlah, dapat
dibedakan secara jelas. Karya sastra itu fiktif; karya sejarah itu faktual
(berdasarkan cerminan masa lampau). Namun, tidak demikian dulu. Heryanto1
memaparkan bahwa, dulu, masyarakat memahami karya sastra tidak sebagai fiksi,
dunia imajinasi, rekaan pujangga yang senantiasa bertolak belakang dengan
realitas, melainkan sebagai sumber pengetahuan yang berisikan informasi seputar
genealogi, ekologi, hunian perkotaan, dan kekuasaan raja. Babad, dongeng,
legenda, hikayat, dan kidung dipercaya sebagai lukisan sesungguhnya tentang
manusia, masyarakat, alam, serta peristiwa yang terjadi di masa silam. Karya-
karya sastra itu adalah wadah ingatan kolektif masa lampau yang disampaikan
melalui medium bahasa dan ekspresi estetis serta diwariskan dari generasi ke
generasi. Keyakinan itu sejurus dengan makna Sastra dalam bahasa aslinya,
Sansekerta.2
1 Dalam Selo Somardjan, dkk.. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali, hlm.
40.
2 Definisi Sastra ialah “sebarang alat mengajar, sebarang buku atau risalah, (khususnya) sebarang risalah tentang agama atau ilmiah, sebarang buku atau komposisi yang berasal kedewaan; kitab suci, sastra, ilmu pengetahuan.” (Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 1052)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Apa yang tampak pada pemahaman Masyarakat Tuban terhadap tokoh
Rangga Lawe pun merupakan bukti adanya kaitan antara karya sastra sebagai
mimesis sekaligus kreasi.3 Masyarakat menganggap karya sastra itu sama dengan
dokumen sosial. Pun, ujaran yang terdapat di dalamnya diyakini sungguh-sungguh
ada dan terjadi di kenyataan.4 Keyakinan itu bisa berbentuk pada pemujaan,
seperti pemujaan Rangga Lawe sebagai pahlawan dan menjadikannya ikon daerah
seperti yang terjadi di Tuban.
Pemahaman seperti itu juga tampak pada masyarakat daerah lain.
Misalnya ketika penulis berjumpa, secara tidak sengaja, dengan orang-orang dari
komunitas Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) pada
pertengahan tahun 2011. Tempat berkumpul mereka berdekatan dengan Situs
Biting di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang. Seorang di antara
mereka ialah Mansur Hidayat, penulis buku Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang
Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Komunitas itu sering mengikuti
perkembangan penelitian arkeologi untuk Situs Biting, selain juga mengadakan
3 Sebenarnya perdebatan yang mempertanyakan antara karya sastra sebagai tiruan
(mimetik) dengan karya sastra sebagai usaha pemaknaan pujangga terhadap kehidupan sosialnya (kreasi) telah lama terjadi, tetapi masih menjadi topik hangat dalam obrolan atau diskusi di ranah sastra hingga kini, sebagaimana dijelaskan dalam A. Teeuw. 1984. Sastra dan ilmu sastra: pengantar teori sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Bab VIII. Teeuw menyatakan perdebatan itu bermula dari pemikiran dua filsuf Yunani: Plato dan Aristoteles. Plato mengemukakan Teori Mimetic, sedangkan Aristoteles membantah pendapat itu dengan Teori Creatio (Kreasi).
4 Sebagai contoh dapat dilihat dari hasil reportase JTV dalam Program Napak Tilas JTV Episode Babad Toeban (Wilotikto) pada tahun 2014, https://www.youtube.com/watch?v=P7m3yUTD02M&t=249s diakses pada 20 Oktober 2018. Karya jurnalisme itu menunjukkan kepercayaan komunitas (Tuban) terhadap narasi dalam karya sastra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
observasi lapangan, membaca karya sastra terkait, dan perjalanan yang melibatkan
perihal mistis. Mereka sangat memuja tokoh-tokoh sejarah pada zaman Majapahit,
seperti Kertarajasa, Arya Wiraraja, Rangga Lawe, Sora, dan Nambi. Maka dapat
dimaklumi jika dalam bukunya Mansur Hidayat meyakini, sekaligus berempati,
Rangga Lawe dan Nambi memiliki hubungan persaudaraan dan diadu domba
hingga berujung pada kematian kedua tokoh. Yang menarik ialah ketika mereka
bercerita sering menerima tamu dari daerah Madura dan Bali yang memiliki
keyakinan sama. Mereka berkata, mereka dan orang-orang dari Madura dan Bali
bersaudara karena memuja tokoh dan meyakini peristiwa yang sama
Dari situ, sebenarnya dapat dilihat proses yang berkaitan dengan
penyemaian pemikiran sosial atau nilai kolektif terhadap tokoh dan peristiwa
sejarah. Berkaitan dengan karya sastra, yang terjadi bukanlah kenyataan
mempengaruhi pemikiran kelompok atau individu, tetapi sebaliknya, persepsi
(dalam karya sastra) mempengaruhi kenyataan.5 Karya sastra menjadi salah satu
acuan atau tolok ukur, selain cerita lisan yang berkembang di komunitas sosial,
bagi masyarakat untuk melihat realitas sosial mereka. Dalam penelitian ini, narasi
sastra tradisional merupakan bahan dan/atau dasar bagi masyarakat untuk
mendeskripsikan identitas dan peran tokoh Rangga Lawe.
5 Teeuw (1984: 228-229), mencontohkannya dengan Tokoh Wayang yang
dijadikan sebagai model untuk menilai sikap atau karakter seseorang (Jawa). Alhasil, relasi antara mimesis dan creatio saling melengkapi. Tentang itu, Teeuw menulis: “… kalau orang berbicara mengenai seni sastra pertentangan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan nisbi ataupun pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah ataupun sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Meskipun Ilmu Sejarah mengakui karya sastra sebagai historiografi
tradisional, tetap saja narasinya terikat konvensi seni sastra dan interpretasi,
bahkan imajinasi, pujangga. Adapun konvensi sastra yang dimaksud, antara lain:
bentuk, tema, dan metrum. Kreativitas dan imajinasi pujangga bercampur baur
dengan peristiwa atau fakta sejarah sehingga kadang berbeda jauh dengan
informasi yang ada di sumber sejarah lain dan menyebabkan perdebatan di
kalangan para ahli (sejarawan).6 Kedua faktor itu juga menjadi salah satu sebab
perbedaan narasi di tiap karya sastra yang ditemukan, selain faktor kurangnya atau
ketidaktahuan pujangga atas peristiwa dan fakta tersebut.7 Naskah-naskah itu,
yang juga digunakan sebagai sumber primer dalam penelitian ini, antara lain
Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Rangga Lawe, Serat Babad Tuban, dan
6 Konvensi yang ada dalam tiap karya sastra atau historiografi tradisional itu
banyak menimbulkan kekecewaan dan kesangsian peneliti atau akademisi, salah satunya ialah Berg. Berg (dalam Muljana 2012: 14-15) menyangsikan keterangan sejarah terkait narasi pembelahan kerajaan Erlangga menjadi Janggala dan Panjalu yang dikisahkan oleh Prapanca dalam Nagarakrtagama. Menurut Berg, pengisahan itu penuh dengan mitos yang berunsur magis sehingga tidak dapat dipercaya sepenuhnya.
7 Informasi-informasi yang bersifat anakronistis, demikian para akademisi menyebutnya, jamak ditemukan pada karya Sastra Jawa yang lebih modern seperti babad, serat, atau cerita Panji. Beberapa peneliti terdahulu bahkan mengatakan ada anakronisme dalam karya sastra Jawa Kuna. Sebagian peneliti, seperti Berg, memaparkan bahwa itu disebabkan karena kurang tahunya pujangga terhadap peristiwa atau tokoh yang dimaksud. Lihat Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, hlm. 28-29. Soenarto Timoer. 1980. Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil): Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 34-35, menulis bahwa pujangganya (karya sastra Jawa Modern) dipengaruhi oleh kisah pemberontakan serupa yang terjadi pada masa akhir Majapahit, yaitu pemberontakan Bre Wirabumi (Blambangan) yang terjadi pada tahun 1404-1406; kejadian ini kemudian dikenal sebagai Perang Paregreg, sedangkan Damarwulan ialah Raden Gajah. Namun, di luar itu, yang harus diingat ialah soal kreativitas atau imajinasi pujangga dalam karyanya. Bahkan Lukacs. 1962. The Historical Novel. London: Merlin Press, hlm. 61, dengan menukil pandangan Goethe dan Hegel menyebutkan bahwa anakronisme itu diperlukan—Hegel menyebutnya sebagai necessary anachronism—sebagai bentuk interpretasi masa kini terhadap masa lalu dan upaya menggeneralisasikan konsep estetika.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Langendriya Pejahing Rangga Lawe yang merupakan bagian minor dari kisah
Damarwulan, memiliki perbedaan pada narasi. Ikhwal itu disebabkan tema yang
diambil oleh pujangga. Dalam tema, pengaruh personal pujangga sangat kentara,
mulai dari kreativitas, imajinasi, sampai interpretasi pujangga dalam menyikapi
peristiwa bersangkutan. Kata-kata atau bahasa menjadi senjata ampuh di tangan
pujangga, tidak hanya bagi raja yang ia puja, tapi juga untuk kemasyhuran diri.8
Perihal lain yang menyebabkan perbedaan narasi yang patut disinggung ialah
periode penulisan dan kondisi sosial-budaya-politik pada masa pujangga hidup.
Pemilihan karya sastra tersebut sebagai sumber primer disebabkan karya-
karya itu memiliki narasi Rangga Lawe yang menjadi objek penelitian ini. Selain
itu, karya-karya itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menarasikan tokoh
yang sama dengan perspektif berbeda. Penempatan seperti itu berguna untuk
melihat transformasi narasi pada setiap naskah. Perihal terpenting yang mendasari
penggunaan karya sastra sebagai sumber informasi penelitian karena karya sastra
merupakan bentuk konkret dari pemikiran manusia. Sebenarnya pemakaian karya
sastra sebagai sumber sejarah sudah disinggung Sartono9 ketika merumuskan
genre sejarah intelektual. Singkatnya, genre sejarah intelektual berusaha
merekonstruksi pencapaian yang dilakukan oleh akal budi manusia, dalam
berbagai bentuk, pada masa silam.
8 Zoetmulder. 1984. Kalangwan: sastra jawa kuno selayang pandang. Jakarta:
Penerbit Djambatan, hlm. 196-199.
9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Di sini Sartono membagi fakta sejarah menjadi 3: artifact (benda), socifact (hubungan sosial), dan mentifact (kejiwaan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Oleh sebab itu, usaha pertama yang teramat penting ialah mengakui
sumber itu sebagai karya sastra bergenre fiksi. Kemudian, tentu, harus pula
melacak perubahan-perubahan dari tiap naskah berdasarkan periode penulisannya.
Proses itu dimaksudkan sebagai usaha untuk memperoleh informasi bersifat
“sadar” dan “tidak sadar” yang tersebar dalam karya-karya itu. Informasi yang
dimaksud terkait dengan identitas dan peran tokoh bersangkutan, sedangkan
contoh perubahan yang terjadi ialah status Rangga Lawe sebagai pemberontak
menjadi pahlawan. Dengan perbedaan-perbedaan penarasian yang ada, komparasi
antara karya sastra satu dengan karya sastra lain menjadi niscaya. Analisis
terhadap transformasi narasi teks juga untuk melihat kontinuitas dan
diskontinuitas narasi.
Tentu, fiksi pun mengandung kebenaran, meskipun taraf kebenarannya
berbeda dengan karya non-fiksi. Kebenaran fiksi tidak seperti kebenaran non-fiksi
yang dapat dikenali dengan pembuktiannya di realitas, melainkan pada pengaruh
atau dampak yang terjadi pada masyarakat pembacanya. Alhasil, penempatan
sumber dalam kategori sastra diharapkan mampu menemukan maksud yang
diinginkan dari perubahan-perubahan karya itu yang diyakini pujangga dan
masyarakat sekaligus menjawab keraguan sejarawan terhadap pemakaian karya
sastra sebagai sumber penelitian.
B. Batasan Masalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Objek penelitian ini berfokus pada naskah yang menarasikan Rangga
Lawe. Untuk batasan waktu ialah abad XV-XX. Batasan itu dirujuk dari waktu
penulisan dan/atau penerbitan naskah, historiografi tradisional, serta cerita rakyat
yang dipakai sebagai sumber primer. Secara khusus, batasan waktu itu ditetapkan
untuk melihat perubahan penulisan atau pengisahan tokoh Rangga Lawe sekaligus
untuk merekonstruksi perihal sesungguhnya secara utuh.
Batasan tempat penilitian ini meliputi Pulau Jawa dan Pulau Bali. Batasan
itu diambil karena mempertimbangkan lokasi penulisan dan pemeliharaan naskah
atau historiografi tradisional. Naskah-naskah yang dimaksud berbentuk prosa dan
puisi (kidung). Adapun naskah atau karya sastra tradisional yang dipakai ialah
Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Rangga Lawe, Serat Babad Tuban, dan
Legendriya Pejahing Rangga Lawe.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut.
- Bagaimana perbedaan dan atau perubahan narasi Rangga Lawe dalam
historiografi tradisional?
- Kisah Rangga Lawe seperti apa yang sebenarnya yang dapat ditangkap dari
perubahan narasi pada tiap periode penulisan naskah?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Untuk tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama,
penelitian ini bertujuan mendeskripsikan biografi Rangga Lawe dari penulisan
historiografi tradisional. Kedua, untuk menjelaskan motif penulisan dan
perubahan dalam penulisan historiografi tradisional, entah sengaja atau tidak
sengaja, sadar atau tidak sadar, dalam narasinya. Kedua tujuan itu untuk
memenuhi tujuan besar penelitian ini, yakni untuk merekonstruksi tokoh,
peristiwa, atau perihal yang terjadi pada masa silam yang tertulis dalam sumber
tradisional.
Untuk manfaat penelitian, diharapkan penelitian ini mampu memberikan
gambaran atas penelitian sejarah yang menggunakan sumber atau dokumen yang
lebih variatif, yakni karya sastra. Oleh sebab itu penelitian ini juga melacak
perubahan dalam karya sastra pada tiap periode penulisannya, tentu penilitian ini
diharapkan mampu menyumbangkan informasi sekaligus mengurangi
kesenjangan informasi terkait Rangga Lawe dan peristiwa bersangkutan untuk
masyarakat.
E. Kajian Pustaka
Penelitian ini sangat berhutang pada karya-karya yang mengkaji naskah-
naskah tradisional terkait Rangga Lawe maupun yang menarasikan sejarah
Majapahit yang dilakukan oleh para peneliti kolonial. Yang pertama tentu buah
tangan Brandes, disusun kembali oleh Krom (1920), berjudul Pararaton (Ken
Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Karya itu
merupakan studi kritis pertama untuk naskah Pararaton yang berisikan genealogi
Raja-Raja Tumapel sampai dengan Kerajaan Majapahit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Setelah Brandes, pengerjaan penyalinan sekaligus penelitian naskah-
naskah tradisional, yang berkenaan dengan Rangga Lawe, pada masa Kerajaan
Majapahit dilanjutkan dan dikerjakan oleh Berg. Dua di antaranya mengulas
kidung yang berisikan narasi tentang pembentukan Majapahit dan pemberontakan
Rangga Lawe. Karya pertama berjudul Rangga Lawe: Middlejavansche
Historische Roman Critish Uitgegeven yang diterbitkan pada tahun 1930. Karya
itu mengulas sebuah roman sejarah berbahasa Jawa Pertengahan, Kidung Rangga
Lawe. Yang kedua berjudul Kidung Harsa-Wijaya: Tekst, Inhoudsopgave en
aanteekeningen, diterbitkan pada tahun 1931, selang setahun setelah penelitian
Kidung Rangga Lawe yang telah disebutkan sebelumnya. Sama seperti penelitian
sebelumnya, penelitian yang kedua ini juga berada di wilayah filologi yang
mengambil Kidung Harsa-Wijaya sebagai subjek penelitiannya. Meskipun tema
Kidung Harsa-Wijaya lebih menarasikan pada perjalanan Raden Wijaya dari putra
mahkota di Tumapel sampai pada masa pengangkatannya sebagai raja pertama
Majapahit, dalam kidung itu juga mengulas sedikit narasi tentang Rangga Lawe—
yang cukup berbeda dengan versi Kidung Rangga Lawe. Harus diakui bahwa
studi-studi sejarah yang mengulas peristiwa sejarah pada masa Kerajaan
Majapahit berbasis historiografi tradisional sangat berhutang kepada hasil kerja
Berg.
Penelitian lain ialah skripsi karya Woro Aryandini Sumaryoto (1984)
berjudul Kidung Rangga Lawe: Tinjauan atas Tokoh Cerita dan Unsur-Unsurnya.
Penelitian itu menekankan pada kajian isi naskah tradisional dan aspek
kesusastraan, terutama penekanan aspek moral pada narasi dalam penokohan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Rangga Lawe. Naskah tradisional atau kidung yang dipilih yakni Kidung Rangga
Lawe. Dalam pembahasannya, skripsi ini juga membandingkan kidung itu dengan
karya-karya sastra lain, seperti Pararaton dan kisah Panji.
Penelitian Irawan Djoko Nugroho (2010) berjudul Meluruskan Sejarah
Majapahit memuat pelurusan sejarah atau karya historiografi yang menulis
tentang Kerajaan Majapahit. Karya historiografi (tradisional) yang dimaksud ialah
Nagarakretagama.
Karya Slamet Muljana (2012) bertajuk Menuju Puncak Kemegahan:
Sejarah Kerajaan Majapahit patut disinggung karena di dalamnya menulis
beberapa pemberontakan yang pernah terjadi pada masa Majapahit, termasuk
pemberontakan Rangga Lawe. Buku ini mampu menjelaskan alasan sampai
jalannya pemberontakan Rangga Lawe berdasarkan historiografi tradisional.
Karya Muljana berakhir sampai kematian Patih Gadjah Mada.
Terakhir, penelitian Mansur Hidayat (2013) berjudul Arya Wiraraja dan
Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur berisikan
tentang konflik internal pada awal pendirian Kerajaan Majapahit. Hidayat
menuturkan bahwa konflik internal itu merupakan lanjutan dari konflik yang
terjadi pada masa Kerajaan Tumapel atau Singasari pada masa pemerintahan Ken
Arok. Kehadiran tokoh Mahapati sebagai pemicu konflik internal juga disebut
oleh Hidayat. Yang menarik dari penelitian ini ialah penyebutan Rangga Lawe
dan Nambi sebagai anak Arya Wiraraja yang mati dengan cap pemberontak
karena adu domba Mahapati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Dari penelitian-penelitian itu, penilitian ini yang berjudul Sihir Sastra:
Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX berusaha merekonstruksi peristiwa dan
identitas serta peran tokoh Rangga Lawe berdasarkan narasi karya sastra
tradisional yang ada. Karya-karya sastra tradisional yang memuat narasi Rangga
Lawe di sini dirujuk sebagai sumber primer sekaligus subjek penelitian. Lebih
detail, penelitian ini akan berusaha menjelaskan perihal sesungguhnya yang
tersembunyi dalam karya-karya sastra itu dengan cara melacak perubahan
penarasian pada tiap-tiap periode penulisannya. Sekali lagi, karena penelitian ini
merupakan penelitian historiografi, karya sastra yang dirujuk hanya menjadi
sumber dan subjek penelitian yang akan diinterpretasikan serta dinarasikan secara
kronologis dan diakronis.
F. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan Teori Struktural Levi-Strauss sebagai pisau
bedah untuk menganalisis kisah atau tokoh sejarah dalam naskah tradisional.
Penggunaan Strukturalisme Levi-Strauss tepat karena fenomena sosiokultural
yang terjadi di masa lampau itu ditulis dan/atau berupa sebagai cerita rakyat. Teori
Struktural berusaha menjelaskan struktur, bagian, atau aspek dalam sosiokultural
dari segi bahasa. Seperti bahasa, fenomena sosiokultural juga penuh dengan kode
atau simbol yang bersifat baik “sadar” maupun “bawah sadar” (consciousness dan
unconsciousness). Singkatnya, Teori Struktural berusaha mendeskripsikan,
mengeksplanasi, dan menyimpulkan dari proposisi relasional yang mengaitkan
masukan dengan keluaran dalam suatu fenomena sosiokultural. Untuk mampu
menarik simpulan, ada tiga hal yang harus ditemukan dan dikemukakan: “struktur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
permukaan”, “struktur elementer”, dan “struktur dalam”. Dalam penjelasannya,
Levi-Strauss menuliskan hipotesisnya dengan menyebutkan adanya perubahan
bentuk tradisi.10
Di awal pembahasan telah disebutkan bahwa historiografi tradisional atau
sumber-sumber yang diteliti berupa fiksi. Mengakui sumber-sumber itu sebagai
fiksi merupakan fondasi pertama dari penelitian ini untuk langkah selanjutnya:
mengetahui maksud sebenarnya dalam karya-karya itu. Teori yang digunakan
untuk itu ialah teori imajinasi atau counterfactual dari Byrne.11 Teori
counterfactual, atau meminjam istilah van Zoest12 sebagai “kenyataan
nonfaktual”, bukan barang baru di penelitian literatur atau sastra, bahkan juga
pada proses kognitif yang menjadi subjek dalam psikologi. Namun tidak begitu
dalam penelitian sejarah, terutama yang terjadi di Indonesia. Alih-alih berusaha
memahami maksud dalam karya, para sejarawan justru terjebak dalam simpulan
keliru. Kalau bukan menolak mentah-mentah kebenaran karya pasti terjebak
10 Levi-Strauss, C. 1967. Structural anthropology. New York: Doubleday &
Company, Inc., hlm. 7-8: “for such a hypothesis to be legitimate we should have to be able to prove that one type is more primitive than the other; that the more primitive type evolves necessarily toward the other form; and, finally, that this law operates more rigorously in the center of the region than at its periphery.” Terjemahan: “supaya hipotesis itu sah kita harus bisa membuktikan satu jenis lebih primitif daripada yang lain; bahwa bentuk yang lebih primitif pasti berevolusi ke bentuk yang lain; dan, akhirnya, hukum ini beroperasi secara ketat di pusat wilayah daripada di wilayah pinggiran.”
11 Byrne, R. M. J. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press.
12 Van Zoest, A. 1990. Fiksi dan nonfiksi dalam kajian semiotik, penerjemah: Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa, hlm. 34. Van Zoest menulis bahwa selain kenyataan faktual ada juga jenis kenyataan lain, yakni kenyataan nonfaktual. Perbedaan kedua jenis kenyataan itu, menurut van Zoest, terletak pada cara pembuktiannya. Kenyataan faktual ialah kenyataan yang dapat dibuktikan secara empiris, sedangkan kenyataan nonfaktual ialah kenyataan yang kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara empiris. Macam-macam kenyataan nonfaktual ialah lamunan, mimpi, dan khayalan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
dalam keberpihakan pada satu sumber dan tidak menghiraukan sumber lain. Tidak
acuh terhadap genre karya tidak berbeda halnya dengan mengenyahkan kebenaran
yang terkandung.
Dalam The rational imagination: how people create imaginatives to
reality13, Byrne mengklasifikasikan imajinasi menjadi dua jenis: counterfactual
thought dan creative thought. Imajinasi jenis counterfactual thought biasa terjadi
dalam keseharian, seperti saat orang membayangkan peristiwa di masa silam
secara berbeda dari kejadian sesungguhnya, atau saat orang bermimpi atau
berkhayal. Counterfactual thought juga terdapat pada kasus teman khayalan
dalam kehidupan kanak-kanak. Untuk creative thought terjadi ketika orang
menulis puisi, bermain drama dan/atau teater, musik, serta kegiatan berkesenian
lain. Perbedaan lain ialah counterfactual thought bisa terjadi dalam keadaan tidak
sengaja, meski juga bisa disengaja. Di sisi lain, creative thought lebih tampak
disengaja (dalam kontrol kesadaran) dan memiliki target yang hendak dicapai.
Meski berbeda dalam beberapa hal, tapi keduanya saling terhubung. Proses
kognitif yang mendasari kedua jenis imajinasi itu berada pada wilayah bawah
sadar, dan bergantung pada proses serupa. Counterfactual dalam kerja kreatif
membantu manusia untuk penemuan dan pembaruan, atau secara sederhana
diartikan sebagai penciptaan dunia alternatif atau kemungkinan-kemungkinan
baru yang dinilai lebih baik dari kejadian atau perihal sesungguhnya. Perombakan
yang terjadi pada counterfactual dalam kerja kreatif didasarkan pada “kekeliruan”
13 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to
reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 2-3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
(fault lines) dengan cara mengubah, membatalkan, atau bahkan memelintir
(memelesetkan) realitas.14 Rumus yang dipakai untuk membangun counterfactual
ialah “jika” dan “jika hanya” (“if” dan “if only”).
Pemikiran counterfactual memiliki beberapa aspek yang mempengaruhi
orang mengimajinasikan realitas yang mereka hadapi: aksi atau tindakan,
kewajiban yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, berhubungan dengan
penyebab, dan waktu (action, obligation, causes, time).15 Dari situ, dapat ditarik
simpulan bahwa counterfactual erat kaitannya dengan pengalaman emosi (seperti
penyesalan, rasa bersalah, rasa malu, kelegaan, harapan) dan penilaian sosial.16
Meski counterfactual merupakan versi keliru dari realitas, tetap saja orang tidak
sembarangan melakukannya. Kebanyakan counterfactual cenderung tidak
menciptakan dunia keajaiban. Artinya, counterfactual dibatasi oleh larangan,
berupa perubahan-perubahan minimalis yang dapat diterima oleh norma sosial
(nilai-nilai kolektivisme), bahwa realitas harus dapat dipulihkan dari imajinasi
alternatif. Kejadian buruk, di masa lalu, menjadi kunci utama mengapa orang
berjalan dalam counterfactual, yakni untuk menemukan alternatif atau
kemungkinan lebih baik dan sebagai pembelajaran menghindari kesalahan yang
sama di masa mendatang.
14 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to
reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 3.
15 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 5-8.
16 Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 9.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Teori ketiga yang digunakan ialah teori intertekstual (intertextuality) dari
Julia Kristeva.17 Teori intertekstual ini lebih ditujukan sebagai pendekatan untuk
literatur dan seni. Bagi Kristeva sebuah karya tidaklah dapat berdiri sendiri atau
muncul dengan sendirinya, melainkan sebagai hasil dari keterpengaruhan penulis
atau pujangga atas bacaan lain, teks, maupun penulis lain.18 Gagasan Kristeva
dapat dibaca sebagai penulisan ulang, repetisi, antar teks atau bacaan-bacaan.
Pendekatan itu hanya dapat dijangkau dengan menempatkan status kata sebagai
unit struktural minimal—di sini Kristeva mengutip kerja Bakhtin yang
menempatkan teks di dalam sejarah dan masyarakat—yang berkaitan dengan
sistem tanda dalam bahasa. Untuk dapat menginvestigasi status kata, pertama-
tama haruslah menetapkan tiga dimensi dalam ruang tekstual, yakni subjek
tulisan/penulisan (writing subject), orang yang dituju (addressee), dan teks luaran
(exterior text).
Hasil kerja Bakhtin lain yang diakui oleh Kristeva ialah adanya dialog dan
ambivalensi dalam teks atau bacaan. Dialog akan selalu melekat dalam bahasa dan
tentu saja hanya bisa diukur dalam kerangka linguistik, berkaitan dengan sistem
17 Pencetus Intertekstual memang Julia Kristeva yang merupakan hasil dari
pendalamannya atas karya Mikhail Bakhtin. Gagasan Kristeva tentang Intertekstual dapat ditemukan dalam karyanya berjudul Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art.
18 Pernyataan Kristeva (1941: 66), menukil gagasan Bakhtin, lengkapnya ialah: “Any text is constructed as a mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another. The notion of intertextuality replaces that of intersubjectivity, and poetic language is read as at least double.” Terjemahan: “Setiap teks dibangun sebagai mosaik kutipan-kutipan; setiap teks merupakan penyerapan dan perubahan dari [teks] yang lain. Gagasan intertekstualitas menggantikan intersubjektivitas, dan bahasa puitis dibaca setidaknya dua kali lipat.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
tanda dan kata. Sementara itu Kristeva menyatakan ambivalensi sebagai
penempatan sejarah (atau masyarakat [society]) ke dalam sebuah teks dan dari
teks itu ke dalam sejarah.19 Baik dialog dan ambivalensi itulah yang
memungkinkan terlahirnya komunikasi antar-teks atau intertekstual itu sendiri.
Dengan begitu pemakaian teori intertekstual dalam penelitian ini dinilai sangat
berguna terutama untuk mengkaji teks-teks yang berusia lebih muda dan
kaitannya dengan teks-teks sebelumnya.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sejarah.
Secara praktik, metode sejarah terbagi menjadi lima bagian: pemilihan tema,
heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Pemilihan tema merupakan
tahap awal dari metode ini yang mendasarkan pada tema yang hendak diteliti.
Urutan selanjutnya, heuristik atau pengumpulan data merupakan tahapan yang
mengharuskan peneliti untuk mencari dan mengumpulkan data, informasi, atau
bukti yang dibutuhkan sebagai dasar atau dalil penelitian. Sumber yang dimaksud
atau dibutuhkan dalam penelitian ini ialah sumber primer dan sumber-sumber
terkait yang lain. Kritik sumber merupakan tahapan untuk mengkritisi dan
19 Julia Kristeva. 1941. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and
Art. New York: Columbia University Press, hlm. 68-69. Lengkapnya Kristeva menulis: “The term ‘ambivalence’ implies the insertion of history (society) into a text and of this text into history; for the writer, they are one and the same. When he speaks of ‘two paths merging within the narrative,’ Bakhtin considers writing as a reading of the anterior literary corpus and the text as an absorption of and a reply to another text.” Terjemahan: “Terma ‘ambivalensi’ menyiratkan penyisipan sejarah (masyarakat) ke dalam sebuah teks dan dari teks ke dalam sejarah; untuk penulis, mereka itu satu dan sama. Ketika dia berbicara ‘dua jalur menyatu dalam narasi,’ Bakhtin menganggap menulis sebagai pembacaan korpus sastra dan teks sebagai sebuah penyerapan dan jawaban atas teks lain.” Gagasan intertekstual Kristeva menjelaskan penyerapan dan komunikasi antar-teks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
menganalisis sumber atau informasi yang telah dikumpulkan. Tahapan ini
menuntut kejelian peneliti untuk melihat relevansi, kredibilitas, sampai benar atau
tidaknya sumber yang telah dikumpulkan. Tahapan interpretasi sangat erat
kaitannya dengan kritik sumber, tapi juga merupakan jembatan pengantar pada
tahapan selanjutnya. Interpretasi mendasarkan pada pemahaman dan analisis
peneliti berdasarkan bukti. Interpretasi juga sangat penting sebagai pembubuhan
makna dalam historiografi. Tahapan terakhir, historiografi atau penulisan
merupakan tahapan pengerjaan atau menuliskan interpretasi berdasarkan fakta
masa lampau.
H. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, berisikan latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
serta sistematika penulisan.
Bab II Fondasi Narasi, berisikan ulasan mengenai narasi dalam Kidung
Panjiwijayakrama dan Pararaton sebagai fondasi narasi Rangga Lawe dalam
karya-karya yang lebih muda.
Bab III Transisi dalam Narasi yang Lain. Pada bab ini akan mengulas dua karya
sastra berbentuk kidung, Kidung Rangga Lawe dan Kidung Harsa-Wijaya.
Bab IV Sastra Jawa Baru: Narasi Belakangan Bab ini akan menganalisis dua
karya berbahasa Jawa Modern berjudul Serat Babad Tuban dan Langendriya
Pejahing Rangga Lawe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Bab V Penutup, berisikan simpulan penelitian, saran, dan kritik yang dianggap
bisa menyumbangkan informasi penting bagi studi sejarah berbasis historiografi
tradisional selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
BAB II
FONDASI NARASI
A. Pendahuluan
Dalam bab ini ada dua naskah yang akan dianalisis, yakni Kidung
Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe dan Pararaton. Kedua naskah
tersebut dianggap sebagai naskah primitif atau paling awal yang memuat narasi
tentang tokoh Rangga Lawe. Pertimbangan itu tidak hanya didasarkan pada
kolofon penulisan naskah, tetapi juga berkaitan dengan pengaruhnya terhadap
narasi dalam naskah-naskah yang lebih muda.
Jika merujuk kepada kolofon awal penulisan, Kidung Panjiwijayakrama
merupakan naskah tertua yang memuat narasi tentang Rangga Lawe. Meski begitu
naskah kidung itu diselesaikan dan dirawat di Bali. Keberadaannya di Bali
hendaknya dimasukkan ke dalam usaha penyalinan teks. Sangat masuk akal jika
mempertimbangkan penyalinan teks terjadi berulang kali dengan mendasarkan
bahan naskah yang terbuat dari daun lontar dan usaha merawat memori kolektif.
Ada pun narasi dalam Kidung Panjiwijayakrama juga mempengaruhi
Pararaton. Pengaruh antar-teks itu didasarkan pada kolofon tertua Kidung
Panjiwijayakrama dan pengulangan narasi di Pararaton. Meski begitu dalam
beberapa bagian Pararaton memiliki perbedaan narasi dengan Kidung
Panjiwijayakrama. Perbedaan yang dimaksud berupa penceritaan latar belakang
Rangga Lawe dan periode pemberontakannya. Narasi dalam Pararaton itu juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
akan mempengaruhi narasi dalam naskah-naskah yang lebih muda yang akan
dijelaskan pada bab selanjutnya.
B. Genre Kidung dan Bahasa Jawa Kuna
Perkembangan kidung sebagai sebuah genre, atau sub-genre puisi Jawa,
dalam Sastra Jawa erat kaitannya dengan penggunaan Bahasa Jawa Kuna di
masyarakat Jawa saat itu. Dokumen tertua yang ditemukan dan menggunakan
bahasa tersebut hanya berupa salinan dari Prasasti Sukabumi yang ditulis pada
abad ke-9. Namun, mengatakan Bahasa Jawa Kuna baru dikenal dan digunakan
oleh masyarakat Jawa pada abad ke-9 agaknya kurang tepat, sebab bahasa tidak
mungkin muncul dalam kurun waktu satu malam. Sumber-sumber asing, berasal
dari para peziarah Cina, yang ditulis kira-kira pada abad ke-6 dapat memberikan
jawaban, yang sayangnya bersifat hipotetis, soal penggunaan bahasa Jawa Kuna di
kalangan masyarakat waktu itu.20 Dalam sumber asing, bahasa-bahasa yang
digunakan oleh pribumi saat itu disebut k’un lun.
Seperti halnya permasalahan yang dihadapi oleh ilmu humaniora pada
umumnya, kesulitan menentukan waktu penggunaan Bahasa Jawa Kuna memang
terletak pada ketiadaan atau kurangnya temuan sumber terkait. Penentuan waktu
penggunaan pun terkesan seperti spekulasi yang tidak dapat dibenarkan tanpa
adanya bukti konkret. Kurangnya temuan sumber dapat dijelaskan karena
20 Zoetmulder. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Penerbit Djambatan, hlm. 6-7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
ketidakawetan sumber itu sendiri.21 Namun, dari spekulasi itu dapat diterangkan
hipotesis lain yang cukup masuk akal, yakni Bahasa Jawa Kuna telah berkembang
dan digunakan di luar keraton atau di kalangan masyarakat umum, entah dalam
bentuk tulis atau lisan, bahkan saat Sansekerta begitu mempengaruhi lingkungan
sosial, budaya, serta politik di Jawa.22
Dalam praktiknya, Bahasa Jawa Kuna, begitu juga dengan bahasa-bahasa
minor lain di Indonesia, tetap dipengaruhi oleh Sansekerta.23 Meski demikian
bukan berarti masyarakat Jawa saat itu pasif atau hanya “mencontek” (Sansekerta)
tanpa memiliki kemandirian dalam kreativitas bahasa. Kehadiran unsur bahasa
serapan dari Sansekerta itu justru memperkaya jumlah kosakata bahasa pribumi.24
Penyerapan kosakata Sansekerta dalam Bahasa Jawa Kuna mengalami banyak
21 Zoetmulder (1983: 5). Di situ Zoetmulder menjelaskan alasan kenapa inskripsi
itu sulit ditemukan. Secara lengkap Zoetmulder mengulas bahan tulis di Bab IV, sub-bab 1, dalam buku yang sama.
22 Zoetmulder (1983: 10). Dengan memberikan contoh di beberapa wilayah yang terkena pengaruh indianisasi dari Zoetmulder, dapat ditarik simpulan pula bahwa penggunaan Bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pribumi tetap lestari. Bahasa Sansekerta yang dipandang sebagai bahasa ilmu sastra digunakan di kalangan atas masyarakat, di istana, dipakai oleh kalangan agama, dan untuk urusan ritual keagamaan, sedangkan Bahasa Jawa Kuna digunakan oleh kalangan masyarakat biasa di luar kraton.
23 Gonda. 1952. Sanskrit In Indonesia. Nagpur (India): International Academy of Indian Culture, hlm. 33-36.
24 Gonda (1952: 115): “The linguistic result of the impact of India on the Hinduized provinces of Indonesia is therefore not a blend of Indian colloquial and some Indonesia idiom or other, but an Indonesian language enriched with a large admixture of Sanskrit and a much smaller number of younger Indo-Aryan vocables.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
perubahan dan atau perbedaan, terkait dengan dinamika dialektika dalam
praktik.25
Dalam perkembangannya, sastra kidung lebih banyak menggunakan
Bahasa Jawa Pertengahan dan lebih banyak berkembang, disalin, dan dipelihara
dengan baik di Bali.26 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kidung
berbentuk puisi dan pembacaannya dengan cara menyanyikan atau melagukan.
Berbeda dengan kakawin yang menggunakan metrum dari India, metrum kidung
asli Jawa yang dikenal dengan metrum tengahan dan itu secara prinsip sama
dengan metrum macapat dalam puisi Jawa Modern.27
Dalam bab ini salah satu kidung yang akan digunakan, atau dikaji, ialah
Kidung Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe. Kidung itu memiliki dua
judul karena terkandung dua kisah berbeda yang saling bertautan. Kidung itu
dimasukkan ke dalam kidung historis. Meskipun merupakan kidung historis, tetap
saja analisisnya mengharuskan adanya perbandingan dengan sumber-sumber
25 Zoetmulder (1983: 13-16) menyebutkan adanya perubahan kosakata Sansekerta
yang diserap ke dalam Bahasa Jawa Kuna secara fonetik maupun semantik.
26 Zoetmulder (1983: 29; 33). Untuk melihat contoh kakawin dan kidung yang dikerjakan di Bali lihat Vickers (1982) “The writing of kakawin and kidung on Bali”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 138, no. 4, hlm. 492-493.
27 Zoetmulder (1983: 142) menulis tiga ciri umum dalam metrum tengahan yang ada di sastra kidung, yakni jumlah baris, jumlah suku kata, dan sifat vokal dalam suku kata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
sejarah lain, sebab secara bentuk dan isi dipenuhi dengan kreativitas pujangga
yang membuat adanya perubahan-perubahan dalam fakta historis.28
C. Kidung Rangga Lawe
Naskah Kidung Rangga Lawe yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan naskah alih aksara dari koleksi Pustaka Artati, Perpustakan
Universitas Sanata Dharma. Seperti yang tertulis di kolofonnya, naskah itu selesai
disalin tahun 1783 Saka atau 1861 Masehi, tetapi di bagian awal tertulis
candrasengkalanya “rasa ta ya wasitan”. Bahasa yang digunakan ialah Jawa
Pertengahan. Namun, penanggalannya ada yang lebih tua, menunjuk angka Saka
1334.29 Narasi pemberontakan Rangga Lawe di Pararaton pun dianggap oleh ahli
diambil dari kidung ini.
Ada beberapa perbedaan kisah dalam Kidung Rangga Lawe dibanding
dengan naskah lain. Tidak seperti Pararaton yang hanya memberikan sedikit
bagian untuk kisah Rangga Lawe, Kidung Rangga Lawe mempunyai porsi yang
28 Dalam karyanya, Zoetmulder (1983: 513) menulis dengan jelas:
“Telaah ini tidak akan meneliti sejauh manakah kisah-kisah ini berakar dalam kenyataan sejarah. Demikian juga kami tidak dapat mengatakan, sejauh manakah pengarang merasa terikat oleh apa yang mereka anggap kebenaran historis dan sejauh mana mereka merasa bebas untuk mengubah kenyataan itu menurut kebutuhan literer. Kami tidak akan menyinggung persoalan, sejauh mana sastra kidung mungkin dapat dipakai sebagai sumber bagi sejarah politik. Yang menjadi tujuan kami dalam bab ini ialah sastra kidung sebagai karya sastra.”
Dengan begitu Zoetmulder telah menarik garis tegas antara fakta historis dengan counterfactual yang ada dalam sastra kidung (historis). Penyebutan counterfactual untuk menunjukkan adanya kreativitas pujangga dalam karya itu, bagaimana dia mengubah kenyataan hitoris.
29 I. Kuntara Wiryamartana. 2014. Sraddha-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuna. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, hlm. 100.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
lebih banyak dalam pendeskripsian tokoh Rangga Lawe, seperti asal, latar
belakang, karakter, dan tindakan.
Kidung Rangga Lawe bersifat istanasentris, mengisahkan orang atau tokoh
dan peristiwa di kerajaan, dan rajasentris. Disebut rajasentris sebab mengisahkan
raja (Raden Wijaya atau Kertarajasa), meski juga menuliskan kisah Rangga Lawe
di dalamnya. Perihal itu merupakan salah satu pokok historiografi tradisional yang
berfungsi untuk menyanjung seorang raja, sifat dan kebijakan-kebijakan selama
masa pemerintahannya, sebagai keutamaan yang mencirikannya sebagai
penguasa.
1. Kemunculan dan Perangai Rangga Lawe
Ranga Lawe baru muncul dalam kidung setelah Raden Wijaya bermukim
di Hutan Tarik, pemberian Raja Jayakatwang. Kedatangan Rangga Lawe di Hutan
Tarik, atau yang telah bernama Majapahit, karena diutus oleh bapaknya, Arya
Wiraraja, untuk mengabdi kepada Raden Wijaya.30 Ia juga membawa pesan
bahwa bapaknya akan segera datang bersama pasukan Madura.31
Nama Rangga Lawe merupakan pemberian dari Raden Wijaya, setelah
utusan Arya Wiraraja itu tidak menjawab pertanyaan terkait namanya.32 Nama
30 Kidung Rangga Lawe, VI, 4, hlm. 42.
31 Kidung Rangga Lawe, VI, 5, hlm. 42.
32 Kidung Rangga Lawe, VI, 6, hlm. 42. “Mangkin garjita sang inaturan egar sang mantri Majapahit, rahadyan lingiramuwus, syapari aranira, sang saka lor anembah abhasa tan wruh, mesem sang sinembah lah yayi, si Wenang sun arani.” Terjemahan: “Semakin senang raden, yang diutus sebagai menteri di Majapahit. Raden bertanya, ‘siapa namamu?” [Ia=Rangga lawe] yang datang dari utara menyembah dan berkata, ‘tidak tahu.’ Tersenyum Raden, ‘saya memberimu nama si Wenang.’”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Wenang yang merujuk kepada kekuasaannya untuk membawahi atau memimpin
orang-orang Madura yang menetap di Majapahit merupakan sinonim dari kata
“lawe”, yang kemudian disematkan sebagai namanya.33 Selain penjelasan tentang
nama, pujangga Kidung Rangga Lawe juga menyebutkan bahwa Rangga Lawe
berkerabat dengan Ken Sora.34
Pada kemunculan perdananya dalam naskah, pujangga Kidung Rangga
Lawe sedikit membuka tabir karakter Rangga Lawe, yang kemudian akan
mengarahkan pada konteks narasi selanjutnya. Sementara itu, perlu disebutkan
bahwa Raden Wijaya terpikat dengan sikap atau sopan santun Rangga Lawe
semenjak pertama kali35 hingga berujung pada pemberian nama sebagai bukti
kepercayaan Raden Wijaya36 kepadanya. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh
pujangga kepada karakter Rangga Lawe ialah pribadi yang memiliki tata krama.
Namun, ada kesan lain yang ditambahi oleh pujangga, yakni Rangga Lawe
sebagai pribadi dengan sifat terbuka atau tidak segan mengutarakan maksud hati.37
Sikap keterbukaan Rangga Lawe lama-lama diarahkan pujangga Kidung
Rangga Lawe sebagai sifat yang identik dengan orang desa dari Madura. Tidak
33 Kidung Rangga Lawe, VI, 7, hlm. 42.
34 Kidung Rangga Lawe, VI, 9, hlm. 43.
35 Lihat Kidung Rangga Lawe, VI, 1-4, hlm. 42.
36 Lihat catatan nomor 32..
37 Kidung Rangga Lawe, VI, 12, hlm. 43. Pada pesta penyambutan yang dipersembahkan untuk kedatangannya di Majapahit, Rangga Lawe dikisahkan tidak segan meminta izin untuk beristirahat [tidur] kepada para Menteri Majapahit yang secara usia lebih senior daripadanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
tanggung-tanggung, bahwa sikap Rangga Lawe kemudian lebih mengarah kepada
kekurangajaran, ceplas-ceplos, tapi sekaligus membuktikan keberaniannya.
Deskripsi sifat itu dapat dijumpai sewaktu pertemuannya dengan Pejabat Daha,
Segara Winotan, yang datang bertamu ke Majapahit atas perintah Raja
Jayakatwang. Kedatangan Winotan bersamaan dengan tibanya kapal, yang
berlabuh di Tuban, yang mengangkut kuda dan orang-orang dari Madura—semua
itu kiriman dari Arya Wiraraja. Winotan yang melihat kedatangan kuda dan
orang-orang Madura segera menanggapi.38 Rupa-rupanya, sikap dan tanggapan
Winotan itu tidak disukai oleh Rangga Lawe, lalu ia berkata dengan nada sengak
sekaligus menantang.39 Winotan yang mendengar ucapan Rangga Lawe terkejut,
betapa beraninya pejabat baru itu, lalu bertanya tentang siapakah ia.40 Sora
menjawab pertanyaan Winotan dan memohon untuk memakluminya.41
38 Kidung Rangga Lawe, VI, 17-20, hlm. 43-44.
39 Kidung Rangga Lawe, VI, 21-22, hlm. 44. “Anembah sira Winotan, de ning kuda kongang depuntingali, kapengin manira we uh, tangkepe pun Madhura, Rangga Lawe angling punapa pukulun, bhinnanipun tangkepe thani, lan ing Dahanagari. Pan pada ingateni bwat, aswasiksa widagdha sang tumitah, kongang aparang aparung, datang ing bhumi Daha punika ton-toni tandangipun besuk aseng-seng mutik, rengu-rengu ning liring.” Terjemahan: “Duduk si Winotan [dan] dilihatnya kuda itu dari bawah, ingin tahu bagaimana perbedaannya [sikap?] dengan Madura. Rangga Lawe berkata, “kenapa, tuan? [apa] bedanya orang dusun dengan orang dari Kota Daha? Sebab sama saja pengetahuannya, kecakapannya dalam berkuda, yang cocok untuk perang. [Lihat] dan tunggu saja [sewaktu] di Daha nanti.’ [Sungguh] muring dan sakit hati ia, jelas tampak pada pandangan matanya.”
40 Kidung Rangga Lawe, VI, 23, hlm. 44.
41Kidung Rangga Lawe, VI, 25-26, hlm. 44. “Kang tinakonan iki nang, -ken pukulun pun Lawe araneki paulun prenahipun, de manira saking Ma, -dhura-Kulon pradesanipun ring tunjung, wimudhadhusun os eng thani, tan wruh wit eng nagari. Nahury alon saha smita, singgih paman sampun de ning baribin, pan kasolondohan wuwus, sotan ing durung tama, awawanon mbenjing liwat ing acarub, mesem rahadyan endah po si, semunyanjaring weni.” Terjemahan: “Orang yang ditanyakan itu [masih] keponakan saya, Lawe namanya, asalnya dari Madura Barat, desa Tunjung, pemuda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Madura sebagai asal Rangga Lawe tidak hanya merujuk pada dikotomi
stigma tabiat antara orang desa dengan orang kota, melainkan juga sebagai
eksplanasi untuk tokoh itu dalam pendirian Majapahit. Setidaknya, Madura,
sebagai wilayah dan persona bagi suatu komunitas, memberikan motif pada
keberadaan dan perangai Rangga Lawe dalam narasi naskah, yakni kesetiaan pada
pengabdian, pemberani sekaligus pemberang, serta sifat keterbukaan. Pada
konteks yang lebih khusus, Madura juga menunjukkan hubungan antara Rangga
Lawe dengan Arya Wiraraja, peramu siasat yang kondang itu. Hubungan itu
kiranya akan memperteguh kreativitas pujangga untuk melanjutkan kisahnya
sekaligus memberikan motif bagi peran Rangga Lawe.
2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan tentang motif penamaan
Rangga Lawe yang berkaitan dengan kepercayaan Raden Wijaya kepadanya dan
kekuasaannya atas orang-orang Madura di Majapahit. Maka, dengan
menempatkan musabab penamaan Rangga Lawe, itu sekaligus mendeskripsikan
satu perannya menurut pujangga Kidung Rangga Lawe. Orang-orang Madura
yang bermukim di Majapahit bertugas membuka hutan, yang merupakan cikal
bakal dari ibukota kerajaan itu, dan sebagai prajurit yang nantinya akan ikut
membantu Raden Wijaya memerangi Daha serta Jayakatwang. Rangga Lawe
merupakan perwakilan keberadaan Wiraraja sebagai pemimpin pasukan Madura
di Majapahit.
dusun atau orang tani, tak tahu tatakrama di perkotaan. Menyahut pelan dibarengi dengan senyum, paman hendaknya jangan terganggu, maklumi saja, sebab [ia] belum berpengalaman melewati kekacauan. Raden tersenyum [dan senyumnya] tampak indah.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Tibalah waktunya untuk narasi perang antara pasukan Raden Wijaya
dengan pasukan Daha yang dipimpin Jayakatwang. Siasat perang yang disusun
oleh Wiraraja juga melibatkan bantuan Tentara Tatar. Ia menipu Tentara Tatar
dengan iming-iming imbalan dua putri Kertanegara untuk Kaisar Mongol supaya
mampu mengajak mereka bergabung.42 Pasukan Raden Wijaya yang beraliansi
dengan pasukan Madura semakin kokoh dengan bantuan Tentara Tatar.
Penyerbuan ke kota Daha direncanakan dari segala penjuru.
Ketika serangan dilancarkan, para pejabat Daha terkejut.43 Mereka tidak
pernah mengira akan menerima serangan dari orang yang dipercaya oleh raja.
Namun, Raja Jayakatwang menanggapinya dengan tenang, seolah ia telah
mengetahui kedatangan malaikat maut dan kejatuhan singgasananya.44 Di luar,
terdengar suara keras, Tentara Tatar tiba bak gerombolan laron berterbangan tiada
henti; mereka datang dari laut dan hinggap di daratan Daha.45
Daha telah berubah menjadi gelanggang pertempuran. Gemuruh suara di
mana-mana, bermacam-macam jenisnya: teriakan orang, tembakan bedil, gesekan
antar parang dan keris, derap kuda, serta tetabuhan. Banyak orang mati dari tiap-
tiap pihak, tapi keunggulan ada di genggaman Raden Wijaya. Rangga Lawe
42 Kidung Rangga Lawe, VII, 3-4, hlm. 45.
43 Kidung Rangga Lawe, VII, 18-24, hlm. 46-47.
44 Kidung Rangga Lawe, VII, 25, hlm. 47. “Wusanaja di nawala apa kena, sakeng antakamami, nguny ana carita, sri Toh-Jaya sangsipta, lwir wuwudun munggw eng nabhi, iki puhara, wiruddhatemah pati.” Terjemahan: “’Akhirnya, pertanda [telah tiba] dari kematian[ku].’ Konon, ada cerita, sri Toh-Jaya berikhtisar, ‘rupa bisul berdiam di pusar, inilah penghabisan, perselisihan menjelma jadi pati.”
45 Kidung Rangga Lawe, VII, 26-28, hlm. 47.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
masuk di gelanggang dengan gagah berani. Ia dan kudanya, Anda-Wesi, telah
berkali-kali merenggut nyawa musuh.46 Pasukan dari Madura yang dipimpinnya
berhasil memporakporandakan lawan.47
Syahdan, tiba waktunya Rangga Lawe menghadapi Winotan, musuh yang
dijanjikan akan ia tunggu di peperangan. Keganasan Rangga Lawe dalam
berperang, konon, sangat ditakuti lawan, bahkan oleh Sagara Winotan sekalipun.48
Pertempuran antara Rangga Lawe dengan Winotan tidak terelakkan lagi.
Pertarungan itu berjalan sengit, hingga pada satu lompatan Rangga Lawe berhasil
menebas kepala Winotan.
“Malik sakata rangga Lawe amapag, mesem ken Winotan ling, atanding asrameng ena tengsun ladeni. Sang liningan tan sahur enggal kabangan, apet chidra apunding, -an kudamramaga, -ngadeg-adeg alumpat, kewran tangkis ning padati, jumog si rangga, Lawe nunggal ing giling. Aprang ing salw arok adadap churiga, -suwyatanding kawanin, tumul kawenang, Winotan wus tinigas, munggw eng salu ning padati, surak ghurnita, sirna mantring Kadiri.”49
46 Kidung Rangga Lawe, VII, 62, hlm. 51.
47 Kidung Rangga Lawe, VII, 63-66, hlm. 51.
48Kidung Rangga Lawe, VII, 67-68, hlm. 51. “Swara ning aprang lan tampuh ing sarwastra, tanpa kuran tang bedil, anging bisanira, Jagawastratanding prang, lwir ing indrajala kweh ing, lawan pinegat, rangga Lawyamerepi. Saking untat akweh tang lawan kawenang, kalud pun Anda-Wesi, gambhira angrunggah, anokot yaya singha, amangsa wong Daha wrin-wrin, mantri Winotan, kemengan denyajurit.” Terjemahan: “Suara perang dan pertempuran semua jenis senjata, tak terhitung jumlahnya bedil, tapi kecakapan Jagawastra dalam bertempur tampak dalam muslihat [sehingga] banyak musuh kocar-kacir [dihabisi] diserang oleh Rangga Lawe. Dari belakang banyak lawan yang terbunuh oleh Anda-Wesi, yang dengan seramnya berjingkrak-jingkrak, menggigit bagai singa, memangsa orang-orang Daha, semuanya ketakutan, Menteri Winotan tampak putus asa melihatnya.”
49 Kidung Rangga Lawe, VII, 69-71, hlm. 51-52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
“Berbalik kereta kuda yang ditunggangi Rangga Lawe menyongsong ken Winotan yang menunggunya. Rangga Lawe tak menyahut karena sudah terlalu marah. Ia berusaha mencari celah dengan cara mengitari lawan. Kudanya berjingkrak-jingkrak dan melompat [hingga] sukar untuk mengelakinya. Dalam satu lompatan, Rangga Lawe turun, sendirian di kereta/gerobak. Pertempuran semakin seru, perisai dan keris saling bergesekan, lalu kepala Winotan terpenggal, [jatuh] di kursi kereta. Sorakan bergema riuh. Mati sudah Menteri Kadiri itu.”
Keunggulan semakin berada di pihak pasukan Majapahit. Banyak pejabat
tinggi Daha yang berhasil dikalahkan oleh pasukan maupun abdi setia Raden
Wijaya, termasuk Patih Mundarang yang mati di tangan Sora.50 Raja Jayakatwang
pun pada akhirnya berhasil disudutkan oleh Tentara Tatar dan ditawan51 di istana.
Melihat kemenangan sudah di depan mata, apalagi putri Kertanegara juga sudah
berhasil direbut, Arya Wiraraja menyarankan kepada Raden Wijaya untuk
mengungsikan putri terlebih dahulu ke Majapahit supaya tidak diambil oleh
Tentara Tatar.52 Kemudian, Sora dan Lawe menipu para prajurit Tatar untuk
menahan dulu penyerahan putri. Jika kondisi sudah membaik, barulah putri akan
diserahkan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi sewaktu mengambil putri
ialah dilarang membawa senjata, karena putri masih trauma dengan perang dan
sering pingsan jika melihat senjata.53 Maka, saat utusan Bangsa Tatar tiba di
Majapahit, tanpa perlengkapan senjata, Rangga Lawe dan Sora dapat
50 Kidung Rangga Lawe, VII, 109, hlm. 55.
51 Kidung Rangga Lawe, VII, 123, hlm. 57.
52 Kidung Rangga Lawe, VII, 114-117, hlm. 56.
53 Untuk detail kebohongan Sora dan Lawe, baca Kidung Rangga Lawe, VII. 126-132, hlm 57-58.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
mengalahkan mereka dengan mudah hingga akhirnya memutuskan untuk berlayar
pulang ke negara asal mereka.
“Tan wikan parakena yogya neng lampah, kweh apaksa kodali, -ra sang sri ning pura, katon wisti neng ulah, memeng mumungkur sang mantri, samangka sira, Lawe Sorametoni. Manggamuka wong Tatar tanpa lalaya, -tangkis karwa karo Kris, sira Lembu-Sora, -titingkah kaya sata, winulang pupune kalih, ri tur dekungnya, muregang punang keris. Saksana lumekas karo amrajaya, sira wong Tatar lagi, masenak anadah, kedekan kasulayah, pejah atusan akanin, sesa ning pejah, padamalakw inurip. Dadi katawan tumut tang stri karandan, tinut tekeng kikisik, bahitra inanang, kimita tang bharana, ingonjal eng Maja-Pahit, ikalahannya, siddha neng sandhi-sandhi.”54
“Karena tak melihat [jumlah Tentara Tatar?] dalam perjalanan itu, banyak yang terpaksa diusir, raja [Wijaya] yang berada di keraton terlihat gusar, segan mengambil tindakan begitu juga para Menteri, karena itu Lawe dan Sora keluar. [Mereka] mengamuk dan menghajar orang-orang Tatar tanpa ampun, berdua bersenjatakan keris, Lembu Sora bertingkah seperti ayam jago yang terikat kedua lututnya, dicabutnya kerisnya. Segera saja orang Tatar terdesak, siapapun yang berusaha melawan, diinjak hingga jatuh terjengkang, yang mati ratusan, [ada juga] terluka, sisanya yang tak mati, kabur cari selamat. [Hasilnya] tertawan para istri atau janda, diikuti hingga pesisir, bahtera yang rusak, dan juga perhiasan, [dirampas?] di Majapahit, sebagai bukti kekalahan, [yang diselesaikan] secara rahasia.”
Dengan terusirnya Tentara Tatar, kemenangan Majapahit lengkap sudah.
Diwartakan bahwa Jayakatwang mati di penjara. Abunya dilarung di sungai.55
Setelah kemenangan melawan Daha dan berhasil mengusir Tentara Tatar,
Wiraraja tidak lagi tinggal di Madura, melainkan meninggalkan jabatan
demungnya dan pindah ke Tuban. Ia juga mendapatkan gelarnya kembali: Arya
54 Kidung Rangga Lawe, VII, 138-141, hlm. 58.
55 Kidung Rangga Lawe, VII, 142, hlm. 58-59. Di situ, tempat pelarungan abu jenazah Jayakatwang ialah Sungai Suranadi, sungai para dewa, sebagai suatu analogi atau bukti pertautan keyakinan/agama dengan India, yakni Sungai Gangga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Adhikara.56 Lalu, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit, pewaris sah
dari wangsa rajasa. Itulah akhir bagian pertama kidung ini.
3. Awal dan Sebab Pemberontakan
Awal bagian kedua Kidung Rangga Lawe berlatarkan beberapa tahun
setelah perang. Raden Wijaya atau Raja Kertarajasa mengangkat sahabat-
sahabatnya atau abdi yang membantunya memenangkan perang di berbagai
jabatan di kerajaannya. Hanya ada dua posisi terisi yang disebutkan di awal
bagian itu, yakni patih dan Menteri Mancanegara. Jabatan patih diberikan kepada
Nambi, sedangkan Menteri Mancanegara diisi oleh Lawe yang berkedudukan di
Tuban.57
Kala mendengar berita pengangkatan Nambi sebagai patih, Lawe marah.58
Menurutnya, dia dan Sora telah mempertaruhkan nyawa mereka berdua selama
perang serta pembangunan negeri, tapi justru raja menghadiahi pengorbanan
mereka dengan tidak setimpal. Dia merasa dikhianati oleh raja. Karena itu dia
memutuskan untuk pergi ke Majapahit guna mencari kejelasan.
Sesampainya di Majapahit, Lawe menanti waktu menghadap raja. Di
dalam keraton telah berkumpul para pejabat. Raja yang mendengar kedatangan
Lawe terkejut dan bertanya ada perlu apa Adipati Tuban itu sampai datang ke
56 Kidung Rangga Lawe, VII, 151, hlm. 59.
57 Kidung Rangga Lawe, Bagian II, 156-160, hlm. 53.
58 Kidung Rangga Lawe, Bagian II, 161, hlm. 53.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Majapahit. Setelah diperkenankan menemui raja, segera saja Lawe berbuat ulah.
Dia menanyakan keputusan raja mengangkat Nambi sebagai patih.59 Jabatan patih
seharusnya diberikan, jika bukan kepada Sora, maka ia, satu-satunya, yang pantas
menyandangnya.60 Selain menuturkan ketidaksetujuannya terhadap pengangkatan
Nambi, dia juga mengingatkan kembali tentang jasa bapaknya, Wiraraja, dan
jasanya sendiri saat menghadapi lawan. Saat perang, hanya ia, bapaknya, dan Sora
yang berani melawan musuh, para pejabat lain tidak ada yang berani maju, atau
seperti kuda banci.61 Ekspresi pejabat keraton yang sebelumnya terdiam segera
berubah menjadi jengkel dan marah. Lagi, Lawe, seperti, memprovokasi Nambi,
mengingatkan tentang usahanya dan Sora memerangi kepungan Tentara Tatar,
saat Nambi maupun Menteri lain ketakutan.62 Kebo Anabrang tidak kuasa
menahan amarah. Kupingnya telah panas. Kebo Anabrang berdiri, menuding
Lawe, lalu menyeru, “jika kamu memang berani berontak, segeralah pulang dan
kumpulkan sanak atau prajuritmu.”63 Lawe yang mendengar ucapan Kebo
Anabrang lekas pergi meninggalkan balai tanpa pamit.64
Sepeninggal Lawe, raja gusar dengan protes abdinya itu. Dia tidak pernah
menduga bahwa keputusannya akan mengundang perlawanan. Sora berusaha
59 Kidung Rangga Lawe, VIII, 16-18, hlm. 64.
60 Kidung Rangga Lawe, VIII, 20-23, hlm. 64.
61 Kidung Rangga Lawe, VIII, 26-28, hlm. 65.
62 Kidung Rangga Lawe, VIII, 36-37, hlm. 66.
63 Kidung Rangga Lawe, VIII, 38, hlm. 66: “Lawe ko ya wani yan, ndaga pamulihagelis, atag wandhu, -wargantamukty agagaman.”
64 Kidung Rangga Lawe, VIII, 39, hlm. 66.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
menghibur majikannya dengan menunjukkan perilaku kurang ajar dari si Lawe.65
Menurutnya, laku Lawe sangat curang, penuh dusta, saat menceritakan jasanya
saat perang. Apalagi, tidak seorang pun dari pejabat tanda Menteri memprotes
keputusan raja, kecuali Lawe. Lalu, dia pun menyarankan supaya raja tidak acuh
pada permintaan Lawe.
Sementara itu, di luar keraton, kemarahan Lawe yang sudah mencapai
ubun-ubun dilampiaskan pada barang-barang di sekitarnya. Sifat kekanakannya
mengundang perhatian dan ketakutan orang-orang termasuk jadi omongan para
pejabat keraton.66 Karena tidak tahan melihat polah kemenakannya, Sora
bermaksud mendatangi Rangga Lawe dan menasehatinya, tapi malah dikejutkan
dengan permintaan kerabatnya itu.67 Sontak, Sora segera berubah; dia merasa
kasihan dengan keponakannya dan memintanya untuk mempertimbangkan
perbuatan atau rencana pemberontakannya sekali lagi.68 Namun, Lawe telah
menetapkan putusannya supaya tidak menyesal di kemudian hari.69 Keputusan
Rangga Lawe, yang didasari pada harga diri, untuk tetap memberontak tampak
seperti adat carok masyarakat Madura dewasa ini, meski tetap perlu ditelusuri
65 Kidung Rangga Lawe, VIII, 43-47, hlm. 67.
66 Kidung Rangga Lawe, IX, 1-16, hlm. 68-69.
67 Kidung Rangga Lawe, IX, 17, hlm. 69: “Pan tan marya derangrusak wawangunan, malah sirna aradin, dadi asmu kagyat, sapraptanira Sora, linesu khadgane angling, lah paman Sora, patenanengsun iki.” Terjemahan: “Karena tak juga berhenti merusak bangunan, malah rusak tak bersisa, [Lawe] terkejut dengan kedatangan Sora, lapar kerisnya lalu berkata, ‘Paman Sora, bunuh saya.’”
68 Kidung Rangga Lawe, IX, 18, hlm. 69.
69 Kidung Rangga Lawe, IX, 20 & 22, hlm. 69-70.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
bagaimana penyebaran atau kapan tepatnya tradisi berlaku. Sora jadi terharu
mendengar ucapan kemenakannya hingga tidak mampu berkata-kata lagi dan lupa
akan nasihatnya.70 Lawe memutuskan pulang ke Tuban, tetapi sebelumnya dia
mengirimkan pesan ancaman kepada orang-orang Wilatikta.71 Para abdi yang
mendengar ancaman Lawe menjadi takut dan segera menyampaikannya kepada
raja.
Sepulangnya di Tuban, para punggawa keraton Tuban yang telah
mendengar rencana pemberontakan Lawe segera menyetujui dan mendukung
keputusan tuan mereka, bahkan masyarakat di Tuban, dari berbagai kalangan, tua-
muda dan petani juga ikut mengangkat senjata.72 Kekuatan massa dari berbagai
kalangan itu menyulitkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Nambi untuk
mengepung Tuban. Tampak, hasrat pribadi Rangga Lawe telah menjadi hasrat
kolektif—masyarakat Tuban.
4. Drama Keluarga
Pujangga Kidung Rangga Lawe juga memberikan porsi khusus untuk
narasi keluarga utama Rangga Lawe. Bagian itu bersifat intim yang merujuk pada
keintiman antara bapak dengan anak dan keintiman pasangan suami istri. Bagian
itu memang tidak mendapat banyak jatah tetapi cukup untuk menambah daya
dramatisasi kisah.
70 Kidung Rangga Lawe, IX, 24, hlm. 70.
71 Kidung Rangga Lawe, IX, 29, hlm. 70.
72 Kidung Rangga Lawe, IX, 32-36, hlm. 71.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Yang pertama ialah bagian yang menampakkan keintiman orang tua
kepada anak, Arya Wiraraja atau Arya Adhikara kepada Rangga Lawe.
Dikisahkan bahwa Arya Wiraraja menyesali tindakan anaknya, Rangga Lawe, dan
berusaha untuk merayu anaknya untuk memikirkan kembali atau mengurungkan
rencana pemberontakannya.73 Arya Wiraraja menginginkan anaknya lebih
mengutamakan pengabdian kepada raja. Sementara di sisi lain, Rangga Lawe
enggan untuk menarik ucapannya. Dia berpegang pada sikap kesatria, memilih
mati daripada mengkhianati diri, harga diri ketimbang malu.
Keintiman kedua muncul saat Rangga Lawe hendak pamit pergi berperang
kepada kedua istrinya.74 Bagian ini menampakkan adegan mesra antara Rangga
Lawe dengan kedua istrinya. Bumbu ini tentu untuk menekankan unsur dramatis
dalam kisah, semacam dua hal yang berbeda tetapi saling melengkapi, kisah cinta
dengan kekerasan peperangan. Kisah kasih itu juga melengkapi awal kepergian
tokoh utama ke medan laga.
5. Berhadapan dengan Nambi
Pasukan Majapahit sudah bergerak untuk mengepung Tuban. Nambi ialah
pemimpinnya. Rangga Lawe segera mempersiapkan kekuatan untuk menahan
gelombang serangan itu. Dipanggilnya orang-orang kepercayaannya, seperti
Gagarang Tambak Wisti dan Gagarang Tambak Bhaya, untuk menyambut
Pasukan Majapahit di medan perang.
73 Lihat Kidung Rangga Lawe, IX, 37-45, hlm. 71-72.
74 Kidung Rangga Lawe, X. Satu bagian ini dikhususkan oleh Pujangga untuk mengisahkan keintiman keluarga Rangga Lawe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Peperangan berjalan sengit sedari awal. Ratusan mati di situ.75 Pasukan
Tuban terdesak oleh gempuran orang-orang Majapahit. Pejabat-pejabat penting
dari Tuban banyak yang gugur. Mundurnya para Prajurit Tuban disambut dengan
sorak dan olok-olok dari Pasukan Majapahit.76 Rangga Lawe mendengar olok-
olok itu sebagai tantangan atau tanda baginya untuk segera masuk ke
pertempuran.
Kedatangan Rangga Lawe dalam peperangan telah membalik keadaan.
Karenanya pula moral Prajurit Tuban semakin bersemangat menggempur lawan.
Peperangan antara Prajurit Tuban melawan Pasukan Majapahit sangat sengit.
Pujangga menuliskan beberapa nama pejabat-pejabat dari kedua pihak saling
berhadapan. Berbeda sebelum Rangga Lawe turun ke gelanggang, Pasukan Tuban
berhasil mendesak bala tentara Majapahit sampai Nambi harus mundur perlahan.
Lalu, datanglah pertempuran antara Rangga Lawe dengan Nambi. Rangga
Lawe mencegat Patih Majapahit itu lalu menantangnya dengan kalimat atau
ujaran yang sangat kasar.77 Panas telinga Nambi mendengar ucapan Lawe.
75 Kidung Rangga Lawe, XI, 22, hlm. 84: “Gingsir mengas sanjata eng Wila-
Tikta, tinut winahan wani, dadi katarajang, pareng tandang arampak, balanirapatih Nambi, rame ayuddha, atusan punang mati.” Terjemahan: “Mundur berpaling pasukan Wila-Tikta, mengumpulkan keberanian, untuk menerjang, serangan gabungan, pasukan Patih Nambi, ramai suara senjata, ratusan orang mati.”
76 Kidung Rangga Lawe, XI, 27, hlm. 84. Olok-olok inilah yang memprovokasi Rangga Lawe sehingga dia memutuskan untuk turun ke gelanggang.
77 Kidung Rangga Lawe, XI, 56-57, hlm. 87: “Amegati bala saksana apapag, lingira ky adhipati, Nambi ko prawira, bhayatutur po kita, uni pan sun samayeni, lah aja mithya, sasana neng prajurit. Siddha denta amangkua eng nagara, apaty eng Maja-Pahit, Lawe patyanana, mene mon tan matia, tendasmu aglar eng ksiti, dady ambal-ambal, dene wong Tuban eki.” Terjemahan: “Mencegat pasukan yang datang, berucap Ki Adhipati, Nambi kau gagah berani, takutkah kau dengan ucapan janjiku? Jangan kau khianati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Keduanya segera bertempur sengit; saling serang dan tangkis di atas kuda. Salah
satu pejabat Majapahit, Brahma Cikur, kena tusuk dan mati karena pertarungan
kedua tokoh itu. Posisi Nambi semakin terdesak dan mundur perlahan ke arah
Sungai Tambak Beras, lalu balik ke keraton.
6. Rangga Lawe Gugur
Kekalahan Nambi semakin membuat seisi keraton gusar. Perang itu telah
membuat banyak abdi berpangkat tinggi gugur.78 Itu kerugian besar bagi
Majapahit. Raja semakin gelisah dan segera mengutus beberapa abdinya untuk
mengumpulkan pasukan kembali. Keberadaan Nambi tidak diketahui.
Keesokannya, semua pejabat bertanda menteri yang telah dikumpulkan di
Wilwatikta segera menghadap kepada raja untuk meminta ijin berangkat ke
medan laga. Tidak diketahui apakah pasukan gelombang kedua ini lebih besar
daripada gelombang sebelumnya. Namun ada banyak nama-nama dari pejabat
bertanda menteri yang disebut pujangga bergabung dalam pasukan itu, bahkan
sang Raja pun turut dalam gelombang kedua itu. Salah dua pejabat tinggi dalam
pasukan ialah Sora dan Kebo Anabrang. Nambi tidak disebutkan. Pasukan
Majapahit dideskripsikan dengan penuh megah. Tidak hanya kuda dan pasukan
bersenjata, tetapi juga ada payung tanda jabatan dan tetabuhan.
ajaran tentara. Sudah menjabat di negara sebagai patih di Majapahit, Lawe [ini] bunuhlah, tapi jika tidak mati, kepalamu akan terhampar di tanah, jadi pijakan bagi orang Tuban ini.”
78 Kidung Rangga Lawe, XI, 79, hlm. 89.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Sementara di pihak Tuban, Ki Tambak Bhaya menghadap kepada Rangga
Lawe dengan penuh kekhawatiran dan memberitahu bahwa Pasukan Majapahit
telah mengepung wilayah Tuban dari timur dan selatan.79 Yang memimpin
pasukan itu membawa tanda payung berwarna putih dan merah. Alih-alih gentar
mendengar laporan abdinya, sebab wilayah kekuasaannya telah terkepung dari
dua penjuru, Rangga Lawe justru gembira. Hadirnya para elit dari Majapahit itu
justru menjadi waktu yang tepat bagi Lawe, demikian dia berpikir, untuk
menunjukkan keperkasaannya di medan perang.80 Abdinya menjadi semangat
melihat ekspresi junjungannya itu. Rangga Lawe menyuruh abdinya untuk
mengumpulkan bala tentara dan segera mengaturnya sesuai dengan strateginya.
Sejak permulaan, perang berjalan begitu sengit. Banyak pejabat tanda
menteri dari Majapahit yang tewas dalam peperangan. Pasukan Tuban semakin
menggila setelah Adipati Rangga Lawe menjanjikan hadiah jika memenangkan
pertarungan itu.81 Sementara itu, Raja Majapahit semakin gundah gulana.
Kerugian di pihaknya sangat besar, belum lagi jika Rangga Lawe harus mati
juga.82 Sora yang melihat gelagat itu segera datang menghadap dan meminta ijin
ke Raja untuk menyongsong kedatangan Lawe. Setelah memperoleh ijin Raja,
Sora memanggil beberapa prajurit dan menyusun strategi untuk mengepung
Pasukan Tuban. Dia dan Kebo Anabrang akan ke arah timur, Gagak Sarkareki ke
79 Kidung Rangga Lawe, XI, 127-129, hlm. 94.
80 Kidung Rangga Lawe, XI, 131, hlm. 95.
81 Kidung Rangga Lawe, XI, 167-170, hlm. 98.
82 Kidung Rangga Lawe, XI, 173-176, hlm. 99.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
barat, sementara utara diserahkan kepada Ken Mayang Mekar.83 Raja melepas
kepergian mereka dengan beberapa wejangan dan doa.
Dengan turunnya prajurit-prajurit elit itu peperangan semakin sengit.
Lebih banyak elit yang mati karenanya.84 Di tengah pertempuran, di antara desing
bedil dan bunyi tetabuhan, terdengar teriakan yang menyuruh Lawe untuk pergi
ke arah timur.85 Meski pihak Majapahit telah menurunkan kekuatan utamanya,
dari para elit yang sudah disebutkan, Pasukan Tuban tidak berputus asa.
Dikisahkan oleh pujangga bahwa seorang prajurit Tuban bisa membunuh empat
sampai lima orang dari pasukan lawan dan menggambarkannya “kadya samudra
rah aparwa pati”.86
Akhirnya, Rangga Lawe bertemu dengan Kebo Anabrang. Pertempuran
mereka berdua sangat sengit. Mereka saling bertukar pukulan, tendangan, adu
keris dan tangkis di atas kuda. Mereka berkejaran. Karena terlalu capek dengan
pertarungan adegan kejar-kejaran itu, Kebo Anabrang memutuskan beristirahat di
pinggir sungai.87 Lawe mendekatinya diam-diam dan menyerang secara tiba-
83 Kidung Rangga Lawe, XI, 177, hlm. 99.
84 Kidung Rangga Lawe, XI, 183-189, hlm. 100.
85 Kidung Rangga Lawe, XI, 193, hlm. 101: “Rengw angucap prakasa ko Lawe teka, pamalayua po ki, -ta tan turah eng wwang, tuhu wetan in kebwa, satto pasu kang dumadi, tan wring kalingan, paksarung sasanaji.” Tidak dijelaskan atau disebutkan siapa orang yang berteriak itu, tetapi pada teks sebelumnya disebutkan bahwa Sora tengah mengamati area sekeliling di medan perang. Dengan indikasi itu, pujangga seperti hendak mengarahkan pembaca bahwa yang mengarahkan Lawe ke timur ialah Sora.
86 Kidung Rangga Lawe, XI, 207, hlm. 102, terjemahannya kira-kira “seperti lautan darah gunung kematian.”
87 Kidung Rangga Lawe, XI, 228, hlm. 104.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
tiba.88 Kuda Anabrang berhasil dibunuh oleh Lawe, jadi mau tidak mau dia harus
meladeni Adipati Tuban itu tanpa kendaraan. Pertarungan terjadi di darat dan air,
tetapi sewaktu di air Anabrang menyepakkan air ke arah Lawe hingga membuat
penglihatannya terganggu. Lawe semakin kewalahan bertarung di air dan secepat
kilat Anabrang menyerangnya serta membenamkannya ke dalam air.89 Serangan
itu membuat Lawe kekurangan udara dan akhirnya mati. Sora yang melihat
kematian keponakannya terlihat marah. Dia mendekati Kebo Anabrang sembari
membawa keris dan berkata ada lintah di tubuh bagian belakangnya.90 Kebo
Anabrang yang takut akan lintah berteriak kaget, berbalik, dan tertusuklah
dadanya oleh keris Sora.91
Di akhir perang ini raja bersedih. Peperangan telah banyak merenggut
nyawa para abdinya, termasuk si pemberontak, Rangga Lawe. Bagaimana pun
Rangga Lawe ialah orang kepercayaan Raja dan sedari awal pembangunan
Majapahit dia telah banyak membantu, khususnya soal memimpin orang Madura
di Hutan Tarik dan perang melawan Pasukan Tatar. Kematian Rangga Lawe telah
terdengar di wilayah Tuban dan membuat masyarakat bersedih. Jenazah Adipati
Tuban itu tetap berada di Tuban.
Bapak Rangga Lawe, Arya Adhikara atau Arya Wiraraja, datang
menghadap kepada raja. Begitu pula dengan kedua istri Rangga Lawe. Suasana
88 Kidung Rangga Lawe, XI, 229, hlm. 104.
89 Kidung Rangga Lawe, XI, 231-232, hlm. 104.
90 Kidung Rangga Lawe, XI, 233, hlm. 104.
91 Kidung Rangga Lawe, XI, 234, hlm. 104.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
semakin sedih. Si Arya Adhikara meminta kepada Raja untuk memaafkan
perbuatan anaknya dan sudi menerima pengabdian cucunya, anak Rangga Lawe,
Kuda Anjampani dan Raja menerimanya.92 Wiraraja juga mengingatkan Raja soal
janjinya dulu, sewaktu perang dengan Daha, yang akan memberi jatah tanah
kepadanya. Demikianlah akhirnya, dengan kematian Rangga Lawe perang
disudahi dan Raja kembali ke keraton.
D. Sekilas tentang Pararaton
Pesona Pararaton sebagai salah satu historiografi tradisional yang
berisikan informasi raja-raja wangsa Rajasa tetap akan terus dianggap berharga,
baik untuk penelitian sejarah maupun khalayak umum yang berkepentingan.
Wangsa Rajasa merupakan keluarga yang berkuasa di Kerajaan Singhasari dan
Majapahit. Penamaannya diambil dari gelar Ken Angrok sewaktu naik tahta,
yakni “Rajasa”. Benar, bahwa Pararaton termasuk dalam kategori historiografi
tradisional, tapi juga sekaligus karya sastra. Tidak boleh pula melupakan tujuan
para pujangga Jawa Kuno itu. Mereka memiliki tujuan yang lebih tinggi daripada
memuaskan rasa ingin tahu, yakni memperkokoh raja menjadi saka guru kerajaan
dan kesejahteraan rakyatnya.93
Sebagai naskah tradisional yang kontroversi, Pararaton berkali-kali diulas,
diterjemahkan, dan disadur oleh beberapa cendekiawan. Peneliti pertama yang
mengulas Pararaton, sekaligus penemu, ialah Brandes (1920). Karyanya, yang
92 Kidung Rangga Lawe, XII, 14, hlm. 107.
93 Vlekke. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG, hlm. 57.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
kemudian juga dibantu oleh Krom, berjudul Pararaton (Ken Arok) of het Boek der
Koningen van Tumapel en van Majapahit. Karya terkait Pararaton selanjutnya
ialah buah tangan Hardjowardojo (1965) berbentuk terjemahan bebas, tanpa teks
asli maupun alih aksara. Terakhir, karya Padmapuspita (1966) bertajuk
Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia.
Narasi tentang Rangga Lawe kali pertama dikenal oleh akademisi berasal
dari Pararaton, karya sastra yang penulisnya tidak diketahui (anonim), setidaknya
ketika karya ini ditemukan oleh peneliti kolonial dan dijadikan pijakan bagi
penelitian mereka. Pararaton ditulis pada masa akhir Majapahit94, diselesaikan di
Bali. Penyebutan Pararaton sebagai naskah yang menceritakan Rangga Lawe dan
pemberontakannya penting, dengan pertimbangan bahwa di naskah lain yang
ditulis oleh pujangga keraton, contoh Negarakretagama, sama sekali tidak
meninggali catatan apapun tentang Rangga Lawe. Adapun pemberontakan atau
penumpasan yang dikisahkan dalam Nagarakretagama ialah penumpasan Nambi
dan perebutan kembali Majapahit atas wilayah Lamajang (sekarang Lumajang).95
Atas dasar itulah, Pararaton tidak banyak diminati para peneliti96 dan ujung-
ujungnya lebih memilih informasi yang tersedia dalam Nagarakretagama.
94 Dalam kolofon Pararaton, alih aksara oleh Brandes dan ditulis ulang oleh Krom
(1920: 41), tertulis waktu selesainya penulisan: 1535 Saka atau 1613 Masehi. Namun, kolofon tertua Pararaton yang ditemukan tertulis tahun 1522 Saka atau 1600 Masehi (Muljana 1983: 31). Berbeda lagi dengan Purwadi (2007: 43) menyebutkan kolofon tertua Pararaton bertahun 1481.
95 Kakawin Nagarakertagama, terbitan Narasi (2016: P 48. 2, hlm. 158).
96 Nugroho. 2011. Meluruskan Sejarah Majapahit. Yogyakarta : Ragam Media, hlm. 17.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Meski begitu, keberadaan Pararaton bagi sebagian kaum aristokrat di Bali
dianggap penting. Oleh bangsawan Bali, Pararaton difungsikan sebagai legitimasi
kedudukan atau status sosial mereka.97 Penuturan pujangga Pararaton terkait
dengan silsilah raja-raja dari masa Singasari sampai Majapahit banyak
memberikan informasi penting bagi kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan dalam sistem kekuasaan atau hirarki sosial di masyarakat Bali. Di
sinilah, Pararaton bertindak sebagai dokumen sejarah dan mendapatkan tempat
atau diakui oleh masyarakatnya.
Eksplanasi tentang perbedaan cara pandang, bahkan sampai status
pujangga, kiranya sangat penting guna menggambarkan subjektivitas pujangga
dalam pengisahan. Ambil contoh terkait penggambaran karakater Kertanegara,
yang telah disinggung oleh Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa98, untuk
menunjukkan perbedaan ujaran. Menurut Berg, narasi yang tertulis (dalam
Pararaton dan naskah-naskah yang ditulis jauh setelah peristiwa itu)
membuktikan ketidaktahuan generasi pada masa itu terhadap nama dan hal positif
dari tokoh yang dimaksud, sehingga yang terjadi ialah para pujangga
merekonstruksi sejarah hanya dalam garis besarnya saja berdasarkan sebuah
97 Ras. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, hlm. 229; 231.
98 Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, hlm. 28-29. Mencontohkan perbedaan tentang penggambaran Kertanegara oleh pujangga Pararaton dengan Prapanca dalam Negarakrtagama. Pujangga Pararaton secara terang-terangan mengisahkan perangai buruk Kertanegara yang berimbas pada kegagalan raja dalam memerintah, sedangkan Prapanca memberikan alasan tersendiri atas perihal itu. Bagi Prapanca, Kertanegara, sebagai raja sekaligus pertapa aliran demonis (sic!) di zaman Kali, memang harus berlaku seperti itu untuk menghadapi sekaligus mengatasi zaman dan keadaan yang gila serta kacau. Sebagai pertapa buddhis, Kertanegara mengembangkan sekti untuk menempatkan dirinya sebagai raksasa dan membinasakan musuhnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
model. Namun dapat dipastikan, Kertanegara merupakan seorang raja besar
karena semangatnya untuk memperluas wilayah kekuasaan dan ketakwaannya
terhadap ajaran agama.99
Sebagai karya yang ditulis jauh setelah kejadian, Pararaton sangat
bergantung pada kisah-kisah dalam karya yang lebih tua darinya. Sebagai contoh,
Muljana100 menunjukkan bahwa Nagarakretagama memberikan sumbangsih bagi
pujangga Pararaton dengan menunjukkan waktu penulisan dan narasi dari kedua
naskah itu. Tidak hanya Nagarakretagama, tentunya, pujangga Pararaton juga
mengambil kisah dari berbagai naskah tradisional lain, cerita lisan yang
berkembang di masyarakat waktu itu, dan ujaran prasasti. Begitu juga informasi
yang ada dalam Kidung Panjiwijayakrama. Namun, karena pujangga Pararaton
tidak mengalami peristiwa maupun tidak mengolah langsung sumber informasi
tersebut, ujaran Pararaton terdistorsi atau banyak mengandung kekeliruan
informasi.101
Tidak dapat dipungkiri bahwa historiografi tradisional merupakan karya
sastra yang sangat terikat dengan konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan
konvensi sastra, sebagaimana dituturkan oleh Teeuw dalam bab sebelumnya.
99 Coedes. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Penerbit KPG,
hlm. 273. Mengenai perspektif lain dari ekspansi Kertanegara terhadap wilayah di luar Jawa, sebagai usaha untuk menanggulangi serangan Mongol, lihat juga Hall. 1998. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, hlm. 73-76.
100 Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press, hlm. 21-26.
101 Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press, hlm. 26-29.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Terkait tiga konvensi itu akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk Konvensi Bahasa,
Pararaton menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Mengenai Konvensi Sosio
Budaya, isi Pararaton sangat erat dengan sosio-budaya Jawa pada masa karya itu
dituliskan dan sedikit unsur tambahan, seperti aksara dan bahasa Bali. Terakhir,
Konvensi Sastra berkaitan dengan bentuk dan tema; Pararaton berbentuk prosa
sejarah dengan tema yang mengisahkan silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit.
Melalui ketiga konvensi itu tidak hanya dapat membantu memahami karya,
melainkan juga sejauh mana kreasi pujangga, melalui persepsi dan imajinasinya,
dituangkan.
Inti narasi Pararaton terletak pada silsilah raja-raja Singasari sampai
Majapahit seperti tajuk yang tertulis, Pararaton atawa Katuturanira Ken
Angrok.102 Pendiri Wangsa Rajasa (Ken Angrok) diletakkan oleh pujangga
Pararaton sebagai kunci silsilah raja-raja dari garis wangsa itu dan memang
hampir seperempat bagian naskah menuturkan kisah Ken Angrok. Sifat Pararaton
ialah rajasentris, sehingga tidak banyak menyinggung kehidupan atau deskripsi
lingkungan sosial di dalam dan luar kraton, atau hanya berfokus pada genealogi
raja-raja. Kalau pun ada kisah, peristiwa, atau tokoh di luar raja-raja Singasari dan
Majapahit yang disebutkan, itu dimaksudkan sebagai pendukung narasi, selain
alasan menunjukkan peristiwa, zaman, serta prestasi raja yang disebut. Kaitannya
dengan Rangga Lawe pun sama, bahwa, sebagai peristiwa masa silam yang
102 Ken Angrok menjadi fokus utama narasi pujangga Pararaton. Sebagian besar
isi naskah memang menceritakan Ken Angrok, sebagai pendiri Wangsa Rajasa di Singasari—yang kemudian akan dilanjutkan oleh raja-raja Majapahit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
sungguh terjadi, tokoh dan sepak terjang Rangga Lawe digunakan sebagai penguat
narasi utama pujangga Pararaton.
Pengisahan tentang Arya Wiraraja, sebagai pengkhianat dan pemberi
pertolongan kepada Raden Wijaya, muncul di Pararaton.103 Keberadaan dan
peran Arya Wiraraja dalam narasi historiografi tradisional Jawa, yang berkaitan
dengan pembabakan sejarah Majapahit, tampaknya dinilai penting oleh para
pujangga, termasuk Pararaton. Namun, persoalan keterlibatan Arya Wiraraja itu
tidak akan dibahas lebih jauh di bab ini dan tetap fokus pada narasi Rangga Lawe
dalam Pararaton. Alasannya ialah selain karena ujaran terkait hal itu sangat
singkat diterangkan di Pararaton, juga untuk memfokuskan pembahasan.
E. Narasi Rangga Lawe dalam Pararaton
Narasi Rangga Lawe merupakan uraian tambahan dari pujangga
Pararaton. Penamaan Rangga Lawe sendiri tidak muncul dalam sumber sejarah
pada masa Majapahit berbentuk prasasti. Namun, keberadaan tokoh Rangga Lawe
103 Dalam Pararaton dikisahkan bahwa atas saran para abdinya Raden Wijaya
pergi ke Madura untuk meminta bantuan kepada Arya Wiraraja. Lalu, dari sana, Arya Wiraraja menyarankan kepada Raden Wijaya untuk “berpura-pura” mengabdi kepada Jayakatwang. Bandingkan dengan pendapat Vlekke (2016: 62) yang menyatakan bahwa karena sangsi terhadap bantuan dari Arya Wiraraja, “Raden Wijaya memutuskan menyerah kepada Kediri” dan diterima baik oleh Jayakatwang. Terkait apakah mengabdi kepada Jayakatwang ialah usulan Arya Wiraraja atau keputusan pribadi Raden Wijaya, silakan bandingkan dengan temuan Muljana. 1976. A Story of Majapahit. Singapore: Singapore University Press, hlm. 35-37. Muljana membeberkan pengungsian Raden Wijaya dan pengikutnya dengan mendasarkan pada karya sastra seperti Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Harsawijaya, serta Prasasti Kudadu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
benar adanya dengan mendasarkan pada uraian sumber-sumber sejarah lain.104
Status pujangga Pararaton yang anonim menjelaskan otonomi pujangganya untuk
mengisahkan peristiwa sejarah lebih bebas dan terbuka dibandingkan dengan
pujangga-pujangga keraton.
Dalam Pararaton, Rangga Lawe dikisahkan sebagai salah satu abdi setia
Raden Wijaya. Latar belakang Rangga Lawe, seperti asal, orang tua, hingga
jabatan ketika masih mengabdi di Tumapel, sama sekali tidak dijelaskan. Ia
pertama kali dimunculkan dalam narasi sewaktu Raden Wijaya diminta untuk
menghalau bala tentara pasukan Daha yang dipimpin oleh Jayakatwang. Selain
Rangga Lawe, nama-nama abdi lain yang juga disebutkan oleh pujangga
Pararaton ialah Sora, Nambi, Pedang, Dangdi, dan Gajah Pagon.
Terma “abdi” dalam sub bab ini merujuk pada orang yang melayani.
Memang demikian adanya, Rangga Lawe dikisahkan senantiasa mengikuti Raden
Wijaya bersama abdi-abdi lain. Tidak hanya pada saat menghalau tentara Daha
yang menyerbu Tumapel, Rangga Lawe terus mengikuti Raden Wijaya saat
mengungsi ke Madura untuk meminta bantuan dari Arya Wiraraja. Penekanan
pada “pelayanan” dalam hal kesetiaan Rangga Lawe mengikuti tuannya terus
diujarkan pujangga Pararaton sampai kepada usaha Raden Wijaya untuk menarik
hati Jayakatwang.
104 Muljana (1983: 25) menyebutkan bahwa sosok sebenarnya di balik tokoh
Rangga Lawe dalam Pararaton ialah Aria Adhikara atau Arya Adikara, anak Arya Wiraraja, dengan berlandaskan pada Prasasti Kudadu dan Prasasti Penanggungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Sementara itu, Pararaton mengisahkan pemberontakan Rangga Lawe
terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara, putra Raden Wijaya atau Raja
Kertarajasa Jayawardhana.105 Angka tahun yang disodorkan oleh pujangga
Pararaton ialah 1217 Saka atau 1295 Masehi. Ulasan Pararaton soal waktu
pemberontakan Rangga Lawe, juga pemberontakan-pemberontakan setelahnya, di
masa pemerintahan Jayanegara disetujui oleh Krom. Secara jelas Krom (1956:
209) menulis, “Bukanlah tidak mungkin, bahwa mereka telah merasa
dikebelakangkan, oleh tuannya yang dahulu tetapi tidak berani atau tidak dapat
menentangnya dan sekarang di bawah penggantinya yang muda mereka lihat
kesempatan.”
F. Ulasan Kisah Rangga Lawe
Sub-bab ini berisikan ulasan kisah Rangga Lawe dalam Pararaton. Ulasan
akan dikategorikan berdasarkan kemunculan, peran, dan pemberontakan Rangga
Lawe. Dengan begitu, konteks ulasan ini hanya akan dibatasi pada kisah Rangga
Lawe dan mengabaikan kisah-kisah lain di luar konteks yang dimaksud.
Karena keterbatasan kemampuan, sumber atau naskah Pararaton yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan naskah alih aksara dalam aksara latin.
Naskah pertama dirujuk dari alih aksara Brandes, ditulis ulang Krom, dalam
Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit
105 Lihat Krom. 1956. Zaman Hindu. Jakarta: PT Pembangunan Djakarta, hlm.
209. Krom sepakat dengan pujangga Pararaton soal waktu pemberontakan Rangga Lawe di masa pemerintahan Jayanegara. Krom memberikan catatan angka pemberontakan pada tahun 1309 Masehi. Bandingkan dengan interpretasi Hall (1998: 80) yang menengahi waktu peristwa dengan menyebutkan bahwa pemberontakan itu “mengganggu” atau terjadi pada masa pemerintahan Raja Kertarajasa sampai dengan masa pemerintahan Jayanegara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
terbitan tahun 1920. Sebagai panduan narasi dan pembanding juga akan
menggunakan alih aksara serta terjemahan dari Padmapuspita, Pararaton: Teks
Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia, terbitan tahun 1966. Meski
demikian, untuk penerjemahan tetap memakai terjemahan bebas dari penulis atau
peneliti sendiri.
1. Kemunculan dan Peran Rangga Lawe dalam Pendirian Majapahit
Tidak banyak informasi mengenai latar belakang dan asal-usul Rangga
Lawe dalam Pararaton, kecuali penjelasan bahwa ia merupakan salah satu abdi
setia Raden Wijaya. Kemunculan Rangga Lawe dikisahkan pujangga Pararaton
ketika Daha di bawah pemerintahan Jayakatwang menyerang Tumapel. Raden
Wijaya, yang diutus untuk menghadang bala tentara Daha, membawa serta para
abdi setianya, termasuk Rangga Lawe. Sedari awal, Rangga Lawe telah
dikisahkan memiliki peran penting untuk menghadapi musuh.
“Samangka Raden Wijaya tinuduh amaguta sanjata kang saka loring Tumapel ingiring denira arya dikara sira Banyak Kapuk, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Sora, sira Dangdi, sira Gajah Pagon, anakira Wiraraja aran sira Nambi, sira Peteng, sira Wirot, sanjata abecikbecik, kang anangkis sanjata Daha bubuhan lor, sama amuk, rampak, kapalayu wong Daha kang metu saka lor, tinut binuru denira Raden Wijaya.”106
“Raden Wijaya diutus memerangi pasukan yang datang dari utara Tumapel dengan diiringi oleh Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gajah Pagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng, Wirot, mereka semua adalah prajurit terbaik, melawan pasukan Daha di bagian utara, bersama-sama mengamuk, [hingga] orang-orang Daha itu kabur dari wilayah utara [dan] diburu oleh Raden Wijaya.”107
106 Brandes & Krom. (1920: 25); Padmapuspita (1966: 27).
107 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita 1966: 71.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Penyebutan nama-nama abdi itu berfungsi untuk memberi penekanan peran
penting mereka, selain keterangan bahwa mereka adalah abdi setia tokoh utama
sekaligus menduduki jabatan atau kedudukan penting di Tumapel.
Rangga Lawe termasuk salah satu abdi yang dikasihi Raden Wijaya.
Tampak, pujangga Pararaton berusaha menekankan perasaan Raden Wijaya itu
dalam narasinya ketika dia memberikan kain gringsing kepada abdi yang
dipercayainya.108 Namun, bala tentara Raden Wijaya kalah jumlah dengan
pasukan Daha sehingga tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk
menyelamatkan kekasihnya, putri Kertanegara, pun diurungkan. Oleh abdi-
abdinya, Raden Wijaya disarankan untuk mengungsi ke Madura dan meminta
bantuan kepada Arya Wiraraja109.
Kesetiaan Rangga Lawe untuk mengikuti pendiri Kerajaan Majapahit itu
terus berlanjut, tidak hanya sewaktu ke Madura110, tetapi sampai kembali ke Jawa,
atas saran dari Arya Wiraraja, saat berpura-pura mengabdi kepada Jayakatwang.
Sewaktu di Daha, lagi-lagi, pujangga Pararaton berusaha mendeskripsikan
keunggulan penganut Raden Wijaya atas pasukan Daha. Para abdi setia Raden
108 Brandes & Krom 1920: 26; Padmapuspita 1966: 28, terjemahan pada halaman
72. “Samangka Raden Wijaya adum lancingan giringsing ring kawulanira sawiji sowang, ayun sira angamuka. Kang dinuman sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Dangdi, sira Gajah.” Terjemahan bebas: “Raden Wijaya membagikan kain gringsing kepada para abdinya, tiap orang memperoleh satu, ia bertekad untuk menyerang. Yang memperolehnya ialah Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi, Gajah.”
109 Brandes & Krom (1920: 27); Padmapuspita (1966: 29).
110 Brandes & Krom, (1920: 28); Padmapuspita (1966: 30).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Wijaya dikisahkan menang tanding, dalam sebuah laga persahabatan, melawan
pasukan Daha.
“Datengira ring Daha amenangi Galungan, wongira kinon asasaramaha saking dalem, henti gawoking sang mantri ring Daha tumon, rehing sama abecikbecik, kang pinakadi sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Nambi, sira Pedang, sira Dangdi, sama malayu ring pasasaramaning Manguntur ing Daha. Gumanti mantri ring Daha malayu, kang pinakadi prajurit aran sira Panglet, lawan sira Mahisa rubuh, sira patih Kebo Mundarang, katelu pada kasoran palayunipun denira Rangga Lawe lawan sira Sora … wekasan sira Sora anuju ring sira patih Kebo Mundarang, sira Rangga Lawe anuju ring sira Panglet, sira Nambi anuju ring sira Mahisa Rubuh, wekasan kapalayu sang mantri Daha dening wongira Raden Wijaya, tan hananing apulih, anuli awusan.”111
“Setibanya di Daha, bertepatan dengan hari raya Galungan, pengikutnya [Raden Wijaya] diminta raja untuk ikut dalam pertandingan, para pejabat Daha semuanya heran, tahu bahwa mereka semua sangat cakap, [yang diutus] ialah Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang, Dangdi, [mereka] berlari serempak ke tempat pertandingan di alun-alun Daha. Gantian para Menteri Daha berlari, di antaranya ialah prajurit bernama Panglet, Mahisa Rubuh, Patih Kebo Mundarang, ketiganya kalah cepat larinya dibanding Rangga Lawe dan Sora. … segera Sora mengarah ke Patih Kebo Mundarang, Rangga Lawe menghadapi Panglet, Nambi menuju Mahisa Rubuh, kabur Menteri-Menteri Daha itu melawan pengikut Raden Wijaya, tak ada yang mengejar kembali, lalu akhirnya selesai.”112
Ketika berperang melawan pasukan Daha, Rangga Lawe memiliki andil
besar. Pasukan Raden Wijaya waktu itu disokong oleh bantuan dari bala tentara
Madura yang diutus oleh Arya Wiraraja dan Tentara Mongol. Dalam perang itu
Rangga Lawe berhasil membunuh Kebo Mundarang, pejabat tinggi Kerajaan
Daha.
“Sira Panglet mati denira Sora, sira Kebo Rubuh mati denira Nambi, sira Kebo Mundarang apagut lawan sira Rangga Lawe, kapalayu sira Kebo
111 Brandes & Krom, (1920: 29); Padmapuspita (1966: 31-32).
112 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 76).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Mundarang, katututan ing lurah Trinipanti, mati denira Ranga Lawe. Angucap sira Kebo Mundarang ring sira Rangga Lawe: “Ki Rangga Lawe, hana anakingsun wadon, den-alapa dene ki Sora, ganjarane wani.”113
“Panglet mati oleh Sora, Kebo Rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang berhadapan dengan Rangga Lawe, kabur si Kebo Mundarang, [tetapi] berhasil terkejar di lembah Trinipanti, [akhirnya berhasil] dibunuh oleh Rangga Lawe. Berucap Kebo Mundarang kepada Rangga Lawe: “Rangga Lawe, ada saya punya anak perempuan, persembahkanlah [ia] untuk Sora, sebagai hadiah [bukti] atas keberaniannya.”114
Menarik untuk melihat penggambaran pujangga Pararaton terhadap karakter
tokoh Kebo Mundarang, Patih Daha. Oleh pujangga Pararaton Kebo Mundarang
digambarkan sebagai orang yang menjunjung integritas, berani menerima
kekalahannya dan mengakui keunggulan lawan, dengan cara mempersembahkan
anak perempuannya.
Kembali ke tokoh Rangga Lawe. Setelah mengalahkan Jayakatwang,
persoalan yang dihadapi aliansi Raden Wijaya dengan Arya Wiraraja belum usai.
Mereka masih harus menghadapi tentara Mongol yang menagih janji Raden
Wijaya atas putri Kertanegara. Rangga Lawe berjasa besar memukul mundur
tentara Mongol, yang telah ditipu untuk secara sukarela menanggalkan semua
senjatanya saat hendak mengambil putri Kertanegara yang dijanjikan.
“Sira Rangga Lawe angamuki kang ing jabaning panangkilan, tinut tekeng dunungane malayu maring sohaning Canggu, tinut pinaten.”115
113 Brandes & Krom (1920: 30); Padmapuspita (1966: 33).
114 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 77).
115 Brandes & Krom (1920: 31); Padmapuspita (1966: 34).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
“Rangga Lawe menyasar [orang-orang] yang berada di luar balai, dikejarnya mereka ke mana pun mereka kabur sampai ke Canggu, [lalu] dibunuh.”116
2. Pemberontakan Rangga Lawe
Pujangga Pararaton menyebutkan motivasi pemberontakan Rangga Lawe
sebagai konsekuensi dari diurungkannya pengangkatan Rangga Lawe menempati
posisi Patih. Keputusan raja yang bertolak belakang dengan hasrat pribadi itu
memantik ketidakpuasan Rangga Lawe dan mendorongnya untuk melakukan
protes (atau pemberontakan) dengan cara membujuk orang-orang Tuban, wilayah
kekuasaan yang diberikan kepadanya.117 Orang-orang yang bergabung dalam
pemberontakan Rangga Lawe ialah Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya
Siddhi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, dan Ra Tati.118 Pemberontakan Rangga
Lawe ditandai oleh pujangga Pararaton dengan sengkalan kuda-bhumi-
paksaning-wong atau 1217 Saka (1295 Masehi).
Pemberontakan Rangga Lawe dalam Pararaton terjadi pada masa
pemerintahan Jayanegara. Tampaknya, hal itu didasarkan pada pengangkatan
Jayanegara sebagai putra mahkota bertempatkan di Kahuripan oleh Raden Wijaya
yang telah mengambil gelar Kertarajasa. Informasi penting lain terkait dengan
pemberontakan Rangga Lawe dalam Pararaton ialah munculnya tokoh Mahapati.
116 Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 79).
117 Brandes & Krom (1920: 32); Padmapuspita (1966: 34), terjemahan pada hlm. 79. “Sira Rangga Lawe arep adegakena patih wurung, margane andaga maring Tuban sira Rangga Lawe tur ngapusi rorowang.” Terjemahan bebas:“Rangga Lawe hendak dijadikan patih (tapi) urung, oleh sebab itulah Rangga Lawe memberontak di Tuban (dengan cara) membujuk orang-orang (Tuban).”
118 Brandes & Krom (1920: 32); Padmapuspita, (1966: 34-35).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tokoh itu digambarkan sebagai pengadu domba antara Rangga Lawe dengan Raja
Jayanegara.119
G. Simpulan
Untuk memudahkan penjelasan sekaligus menegaskan perbedaan narasi kedua naskah simpulan akan dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut.
1. Kidung Rangga Lawe
Kidung Rangga Lawe bisa dikatakan memberikan informasi lebih banyak
soal sosok dan sepak terjang Rangga Lawe dibanding karya sastra lain yang
memuat peristiwa bersejarah di masa Kerajaan Majapahit. Sederhananya bahwa
kisah Rangga Lawe menjadi salah satu fokus Pujangga Kidung Rangga Lawe,
selain sosok Raden Wijaya atau Kertarajasa—sebab fungsi karya sastra tradisional
ialah untuk menyanjung raja.120 Meski pujangga tidak menyebut nama asli tokoh,
tetapi disinggung soal latar belakang dan motif penamaan tokoh Rangga Lawe.
Dari situ dapatlah diperoleh perihal lain yang hendak ditonjolkan pujangga dan
yang akan mempengaruhi narasi dalam karya-karya yang ditulis pada masa yang
lebih muda.
119 Dalam Kidung Sorandaka nama Mahapati kembali muncul. Lagi-lagi,
Mahapati ditempatkan sebagai pengadu domba dan tukang fitnah. Jika menyandingkan Pararaton dan Kidung Sorandaka, timbul suatu kesan bahwa kedua naskah itu merupakan jalinan kisah yang saling terkait. Perihal itu, penempatan Mahapati dalam plot konflik dalam Kidung Sorandaka, karena memang Pararaton menjadi sumber untuk narasi dalam kidung itu. Ambisi Mahapati yang menginginkan posisi Patih Majapahit menjadi motivasi baginya untuk melakukan segala cara, sekalipun cara terburuk.
120 Ini juga terkait dengan nama lain dari Kidung Rangga Lawe yang dikenal dengan judul Kidung Pandji Wijayakrama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Penggunaan karya sastra dari pujangga sebelumnya atau penceritaan
kembali dalam ilmu Sastra dikenal sebagai intertekstual (intertextuality).121
Fenomena itu jamak ditemukan dalam karya sastra dan seni. Para pujangga akan
menggunakan, sehingga memiliki kaitan atau hubungan dengan, teks atau kisah-
kisah dari pujangga yang lain atau sebelumnya sebagai bahan dalam karyanya,
tetapi dengan gubahan dan kreativitas baru. Penggunaan di sini bisa berwujud
dalam frasa, kalimat, atau bahkan teks. Intertekstual memungkinkan adanya
dialektika dan pembaharuan wacana. Intertekstual dilakukan dengan sengaja,
meski beberapa kasus ada juga yang tidak sengaja, tanpa harus menyebutkan
pujangga atau teks yang digunakan seperti dalam penulisan formal atau karya
akademis.122 Inilah yang kemudian menyebabkan praktik intertekstual
disalahpahami dan disamakan dengan plagiarisme. Dalam Kidung Rangga Lawe
pun ada beberapa contoh intertekstual. Misalnya, cerita Rangga Lawe yang
menemui dan bermesraan dengan kedua istrinya sebelum berangkat perang.
Contoh itu ditangkap oleh akademisi Indonesia seperti Slamet Muljana.123
121 Terma ini digunakan pertama kali oleh Julia Kristeva yang terpengaruh oleh
semiotika Saussure dan Bakhtin. Pandangannya itu dituliskan dalam Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. Penggunaan pertama kali ada pada esainya berjudul “The Bounded Text” (1941: 37), sementara penjelasan mengenai intertekstual ada dalam esainya berjudul “Word, Dialogue, and Novel”.
122 Mengenai perbedaan antara intertekstual dan plagiarisme, Roz Ivanic menjelaskannya dengan baik dalam karyanya berjudul Writing and Identity: the Discoursal Construction of Identity in Academic Writing, khususnya pada Chapter IV dan Chapter VII.
123 Muljana. 2012. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, hlm. 213. Muljana menyebut bagian Rangga Lawe menemui kedua istrinya sebelum berangkat ke medan perang sama dengan bagian kisah Baratayuda, yakni ketika Prabu Salya menemui Permaisuri Satyawati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Kembali kepada tokoh Rangga Lawe. Dalam Kidung Rangga Lawe,
seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Rangga Lawe ialah
anak Arya Wiraraja, Demung di Madura pada masa pemerintahan Krtanegara.
Latar belakang Rangga Lawe sebagai anak Wiraraja juga menguatkan posisinya,
terutama sebagai pemimpin orang Madura di awal pembangunan Majapahit.
Tentu itu merupakan alasan yang dibuat dan digunakan pujangga untuk
menunjukkan betapa pentingnya dan peran Rangga Lawe, selain perihal lain yakni
peran dan pertolongan Arya Wiraraja, bapak Rangga Lawe, kepada Raden Wijaya
saat dalam pelarian.
Meskipun karya ini dipenuhi kreativitas pujangga, yang sayangnya sangat
sulit untuk memastikan kebenaran historisnya, tetap ada beberapa peristiwa
sejarah yang dapat diverifikasi kebenarannya dengan sumber sejarah lain.
Misalnya pada kedatangan pasukan Tartar di Pulau Jawa. Peristiwa itu disebutkan
dalam laporan perjalanan pasukan Tartar.124 Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam
laporan itu ialah Tuhan Pidjaya atau Raden Wijaya dan Hadji Katang atau
Jayakatwang. Dari sumber itu bisa diketahui bahwa kedatangan pasukan Tartar
dan peperangan antara Pengikut Raden Wijaya dengan Pasukan Jayakatwang
benar adanya. Peristiwa sejarah itu dikutip atau dikisahkan kembali oleh Pujangga
124 Lihat Groeneveldt. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara, hlm 20-34. Disebutkan ada tiga pejabat tinggi yang diutus Kubilai Khan dalam ekspedisi itu: Shih-pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Pasukan ekspedisi berangkat dari daratan Tiongkok tahun 1929. Tujuan ekspedisi itu ialah untuk menghukum Kertanegara. Artinya, mereka tidak mengetahui telah terjadi peralihan kekuasaan di Pulau Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Kidung Rangga Lawe, begitu pula dengan karya sastra lain, termasuk Harsa-
Wijaya.
Sementara itu, tokoh-tokoh seperti Arya Wiraraja, Sora, dan para pengikut
lain tidak disebut dalam laporan itu. Alasannya bisa saja karena utusan dari
Tiongkok tidak memiliki kepentingan atau tidak bertemu dengan tokoh-tokoh itu
sehingga tidak menuliskannya di laporan mereka. Catatan sejarah dari Tiongkok
itu pun lebih berbentuk sebuah laporan dari satuan militer kerajaan.
Dari komparasi itu penyebutan tokoh-tokoh dalam Kidung Rangga Lawe
memiliki maksud yang berkenaan dengan tujuan pujangga dalam proses penulisan
kreatifnya. Penyebutan itu dimaksudkan untuk memperkuat plot, narasi, dan
tujuan-tujuan yang lain, baik itu bersifat politis atau tidak, dalam naskah. Benar
tidaknya itu semua ialah soal lain. Sekali lagi karena kidung ini ialah karya sastra
yang menyuplik peristiwa atau berlatar belakang sejarah.
Sebenarnya, penghilangan informasi, peristiwa, dan tokoh dalam sumber
sejarah tradisional jamak ditemui. Misalnya, Prasasti Kudadu tidak menyebutkan
kedatangan Pasukan Tartar atau Mongol dalam peperangan pasukan Raden
Wijaya melawan Jayakatwang.125 Penghilangan itu memiliki alasan atau tujuan
politis, juga sosial-budaya waktu itu.
125 Baca artikel “Tak Ada Mongol dalam Prasasti” di Historia.id edisi 16 Februari
2018. Beberapa sejarawan beranggapan kosongnya kehadiran pasukan Mongol dalam Prasasti Kudadu karena tidak ada faedahnya untuk menyebutkan itu dalam artifak resmi kerajaan. Alasan lain ialah soal persepsi masyarakat Jawa kala itu yang memandang pasukan Mongol sebagai orang luar dari komunitas mereka. Menyebutkan keberadaan dan peran pasukan Mongol hanya akan menujukkan aib dan kelicikan Raden Wijaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Terkait latar belakang sejarah dalam karya sastra Jawa Kuna (atau Kawi)
sebenarnya telah lama disebutkan oleh Zoetmulder.126 Menurut Zoetmulder karya-
karya kekawian itu mengandung informasi-informasi sejarah yang disusun secara
khusus dan ditulis secara berbeda dari historiografi barat sejak Tuchydides serta
hanya orang-orang yang hidup di zamannya yang mengetahui secara mendalam
maksud sesungguhnya. Oleh sebab kekhususan penciptaannya itu pula
Zoetmulder telah mengingatkan untuk menganalisis sumber itu dengan kehati-
hatian. Meski demikian Zoetmulder juga menyatakan bahwa karya-karya sastra
itu dapat digunakan sebagai referensi untuk menghubungkan keterangan-
keterangan sejarah yang diperoleh dari sumber lain.
Lalu bagaimana dengan unsur atau perihal masa lampau yang disesali,
berkaitan dengan teori imajinasi Byrne? Apakah juga ada dalam Kidung Rangga
Lawe? Jawabnya, ada. Bahkan indikasinya bisa ditemukan langsung dalam teks.
Narasi soal status, latar belakang, pencapaian-pencapaian Rangga Lawe,
dan juga narasi soal Arya Wiraraja merupakan motivasi penyebab yang dibangun
pujangga untuk menjelaskan peristiwa selanjutnya. Maksudnya ialah bahwa
dengan menyebutkan status Rangga Lawe sebagai anak Wiraraja, pencapaiannya
sebagai pemimpin orang Madura dan pencapaian-pencapaian di perang
menguatkan gugatan Rangga Lawe untuk menuntut Raden Wijaya menjadikannya
sebagai Patih Majapahit.
126 Zoetmulder. Kawi dan Kekawian. Yogyakarta: Jajasan Fonds Universitit
Negeri Gadjah Mada, hlm. 5 & 14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Penyesalan yang terjadi pada masa lampau tampak pertama kali pada
bagian ketika Rangga Lawe datang ke keraton dan menggugat keputusan raja serta
menyebabkan hati raja galau, begitu juga dengan Sora. Arya Wiraraja pun
menampakkan ekspresi penyesalan ketika anaknya memutuskan memberontak.
Bahkan ketika raja harus berangkat sendiri ke medan perang dengan para
pengikutnya, setelah kekalahan Nambi, hatinya pun gusar. Kegusaran hati raja
tidak hanya karena perang melawan Rangga Lawe telah banyak memakan korban
jiwa dari para pengikut setianya, melainkan juga sebenarnya dia tidak mau
berhadapan dengan Rangga Lawe. Namun, apalah daya posisinya sebagai raja
mengharuskannya untuk menghadapi anak buahnya itu.127 Raja juga bersedih
ketika Rangga Lawe gugur karena bagaimana pun Lawe merupakan tokoh penting
yang ikut berkontribusi dalam pendirian Majapahit. Jadi, rumus yang muncul: jika
Rangga Lawe tidak memberontak dia tidak akan mati dan Majapahit tidak akan
kehilangan banyak pejabat penting.
Namun, narasi dalam Kidung Rangga Lawe justru menguatkan adanya
konflik internal dalam Kerajaan Majapahit, sama dengan narasi dalam Pararaton.
Adalah Arya Wiraraja dengan dendamnya kepada Kertanegara yang telah
melengserkan jabatannya menjadi demung di pedesaan Madura merupakan tokoh
pertama yang patut disinggung. Tokoh kedua tentu saja ialah Rangga Lawe yang
127 Lihat Gonda. 1969. Ancient Indian Kingship from the Religious Point of View.
Leiden: E.J. Brill. Gonda menemukan konsep “pati” dan “bhumipati” yang berkaitan erat dengan keberadaan raja dalam kebudayaan dan kepercayaan India. Raja ialah pelindung dan perwakilan dewa yang dikirim ke bumi. Sebagai pelindung, raja juga diharuskan untuk meluluhlantakkan segala macam keberadaan yang mengganggu wilayahnya. Kekerasan yang dilakukan raja dimaksudkan sebagai upaya melindungi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
mendasarkan aksinya pada hasrat pada kekuasaan atau jabatan tinggi di kerajaan.
Ada pertimbangan kuat untuk mengatakan bahwa hasrat Rangga Lawe terhadap
kekuasaan sebagai motivasinya, yakni pada keberadaan Sora, yang sempat dielu-
elukan oleh Rangga Lawe dalam argumentasinya, yang menerima putusan raja
pada dirinya atas posisi atau jabatannya di kerajaan. Sementara Mahapati yang
disebut dalam Pararaton sebagai pengadu domba tidak akan dibahas dalam bab ini
karena memang tidak disebut dalam Kidung Rangga Lawe.
Melihat betapa kompleksnya narasi tentang Rangga Lawe, sekaligus
kolofon tertuanya, dapatlah diputuskan bahwa Kidung Rangga Lawe merupakan
naskah primitif yang menarasikan tokoh dan peristiwa pemberontakan Rangga
Lawe. Pujangga Pararaton pun sangat berhutang pada narasi Kidung Rangga
Lawe, yang dapat ditemukan dalam narasi Pararaton pada sub-bab berikut ini.
Meski terdapat perbedaan dalam narasi, keterkaitan narasi dalam teks kedua
naskah tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, perbedaan narasi
dalam kedua naskah merupakan bukti akan subjektivitas pujangga, dari
interpretasi dan kreativitas, terhadap tokoh serta peristiwa bersangkutan.
2. Pararaton
Narasi dalam Pararaton yang merupakan perspektif subjektif pujangganya
harus diinterpretasikan dari teks itu sendiri. Menemukan jawaban dengan cara
membandingkan teks dengan peristiwa di masa lampau jelas mustahil. Bukan
hanya karena perbedaan narasi di tiap sumber, melainkan karena tiap sumber,
bahkan jika itu prasasti sekalipun, memiliki unsur subjektivitas juga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Perihal pertama yang dapat ditangkap ialah emosi Rangga Lawe:
kemarahan dan perasaan dikhianati oleh pemimpin yang dipujanya. Secara
langsung emosi itu juga mengarah pada penyebab pemberontakan tokoh. Benar
bahwa pemberontakan itu menempatkan Rangga Lawe sebagai orang tidak tahu
balas budi. Namun, motivasi itu dapat diterima akal sehat sebagai kausalitas
peristiwa, apalagi jika merujuk pada nilai budaya soal harga diri.
Pemunculan tokoh Mahapati sebagai penghasut merupakan unsur
kausalitas penambah. Itu juga dimaksudkan sebagai faktor ekstern selain
egosentrisme dalam diri Rangga Lawe. Keberadaan Mahapati mengabarkan
adanya konflik internal dalam Kerajaan Majapahit, mempertimbangkan juga
peristiwa-peristiwa pemberontakan setelah Rangga Lawe yang diujarkan pujangga
Pararaton. Paling tidak, dapat ditarik suatu hipotesis, bahwa, pujangga Pararaton
sebagai perwakilan, ada kelompok masyarakat yang meyakini intrik Mahapati
sebagai penyebab pemberontakan. Keyakinan Mahapati sebagai biang kerok
dalam konflik internal Majapahit juga dipercaya oleh kelompok akademis, salah
satunya ialah Slamet Muljana.
Selanjutnya, Raja Jayanegara, yang disebut oleh pujangga dengan nama
Kalagemet, menimbulkan suatu bentuk ketidakpercayaan pada pemerintah. Berg
memang mengatakan itu disebabkan oleh ketidaktahuan pujangga kepada nama
dan perihal positif dari tokoh bersangkutan, tetapi syak wasangka bahkan
ketidakpuasan warga terhadap suatu rezim dapat ditemukan di mana pun dan
kapan pun. Tentu, itu berkaitan dengan penilaian sosial (social judgements).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Lagipula, dalam counterfactual, pengubahan atau bahkan pemelintiran realitas
sangat dimungkinkan (atau bahkan diharuskan) terjadi, dan kreativitas pujangga
merupakan harga mati bagi otoritas kerjanya.
Dari narasi Pararaton, diperoleh suatu perspektif sosial yang nantinya
akan dijadikan fondasi bagi narasi selanjutnya. Iya, meskipun Pararaton bukan
naskah pertama yang menceritakan pemberontakan Rangga Lawe,
mempertimbangkan kolofon Kidung Rangga Lawe, tetapi narasinya yang diyakini
oleh masyarakat itu dijadikan sebagai dasar penceritaan selanjutnya. Selain itu,
Pararaton juga merupakan naskah pertama yang ditemukan peneliti atau
sejarawan terkait pembabakan Majapahit dan menyebabkan perdebatan. Dengan
begitu, dapat dikatakan Pararaton sebagai salah satu bentuk primitif yang
menarasikan Rangga Lawe.
Di sini, Pujangga Pararaton memberikan akses atau penjelas kepada
peristiwa masa lampau. Bahwa pemberontakan Rangga Lawe (dan juga
pemberontakan-pemberontakan setelahnya) sangat disesalkan, bahkan untuk
kelangsungan kerajaan dan komunitas masyarakat Majapahit. Penjelas pada
perasaan “penyesalan” itu muncul di keberadaan Mahapati sebagai pengadu
domba dan Raja Jayanegara yang dinilai oleh pujangga sebagai pemimpin yang
lemah. Keduanya ditangkap oleh masyarakat pada masa selanjutnya, bahkan
mempengaruhi interpretasi akademisi.
Peristiwa “yang disesali” dalam Pararaton dapat dirumuskan dengan
pengandaian counterfactual sebagai berikut. Pertama, dalam diri Rangga Lawe:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
jika saja Rangga Lawe berpuas dengan jabatan yang diberikan untuknya, tentu
peristiwa memilukan itu dapat dihindari. Kedua, pada kebijakan raja: jika saja
raja mau memenuhi tuntutan dan menempatkan Rangga Lawe sebagai patih, tentu
pemberontakan tidak terjadi dan Majapahit tidak akan kehilangan Rangga Lawe
sebagai abdi potensial. Ketiga, kehadiran Mahapati: jika saja tidak ada Mahapati
atau Mahapati tidak menghasut Rangga Lawe, pemberontakan itu tidak akan
terjadi.
Namun, tetap ada aspek yang tidak mungkin dihilangkan atau diubah,
artinya niscaya hadir dalam narasi, yakni kematian Rangga Lawe. Perihal itu tidak
hanya terkait pada hasil yang bertentangan dengan realitas, melainkan juga bahwa
kematian Rangga Lawe merupakan keharusan dalam counterfactual tersebut
sebagai peristiwa yang disesali—dan ini yang ditangkap oleh pujangga. Hilangnya
unsur kematian dalam narasi justru menjadi negasi terhadap realitas yang
diharamkan untuk hadir dalam counterfactual. Soal ikonisitas atau kemiripan
dengan realitas masa lampau merupakan keniscayaan atau syarat utama dalam
counterfactual supaya sugesti yang dibangun diterima. Dengan demikian, narasi
Rangga Lawe dalam Pararaton merupakan alternatif dari pujangganya yang
dipersembahkan kepada khalayak pembacanya.
Pada bab selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana narasi Pararaton atas
Rangga Lawe mempengaruhi pujangga pada masa yang lebih muda. Naskah yang
dimaksud ialah Kidung Harsa-Wijaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
BAB III
TRANSISI DALAM NARASI YANG LAIN
A. Pendahuluan
Dalam Kolofon Kidung Harsa-Wijaya tertulis: “Iti kidung Harsa-Wijaya,
puh Juru-Demung, tabeh Rara-Kadiri, putus ing anurat ring dina su, u, Mrakih,
tithi sasih kacatur, rah 5, tenggeh tenggek 6, suklapaksa Dwitiya, irika diwasa
ning purnalikhita, ri nusa Bali, ngalangen Ratnarasa.” [sic!] Diketahuilah bahwa
teks Kidung Harsa-Wijaya dirampungkan di Bali. Untuk tahun penyelesaian sulit
diperkirakan karena keterbatasan pengetahuan peneliti.
Teks Kidung Harsa-Wijaya pertama kali diedit dan dipublikasikan oleh
Berg pada tahun 1931 dengan penambahan ringkasan konten. Edisi itu
berdasarkan naskah yang dia temukan di perpustakaan I Gusti Putu Djlantik di
Singaraja pada 1928. Dalam pengerjaannya, terdapat teks yang bermasalah,
seperti tidak bisa terbaca, dan itu diperbaiki oleh Berg sendiri. Hasilnya bisa jadi
problematis, karena ada campur tangan Berg sebagai akademisi di situ. Meski
demikian hasil kerja Berg merupakan warisan yang sangat berharga bagi kajian
sastra Jawa Kuna dan historiografi berbasis sumber tradisional.
Tidak ada keterangan siapa pujangga maupun di mana dia tinggal dalam
naskah. Namun, Hoykas128 menawarkan informasi berasal dari sumber lokal,
Babad sang Brahmana Catur, yang menerangkan bahwa cucu Nirartha,
Manuhaba, memiliki istri dari Tianya, dan anak mereka bernama Padanda
128 Dalam Robson (2000) “The force of destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya
reread”, Indonesia and The Malay World, hlm. 243.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Kekeran telah menyusun lambang (puisi) Harsa-Wijaya kira-kira pada tahun 1600
di Bali. Mengenai kolofon, Robson129, dengan berpegang pada penjelasan Berg
dan sengkalan dalam naskah, memperkirakan penulisan teks terjadi pada tahun
1326 Saka atau 1404 Masehi. Namun, informasi itu sendiri diakuinya dapat
diragukan.
Dalam narasi Kidung Harsa-Wijaya terdapat kesamaan dengan Pararaton.
Misal, narasi soal Nambi ialah putra Wiraraja sama dengan yang ada dalam
Pararaton. Pujangga Kidung Harsa-Wijaya sendiri menuliskan hubungan puisi
yang digubahnya dengan Pararaton di akhir naskah.130 Inilah kenapa seorang
peneliti seperti Slamet Muljana mampu berkata bahwa pujangga Kidung Harsa-
Wijaya terpengaruh dengan Pararaton. Keterpengaruhan di sini maksudnya ialah
pujangga Kidung Harsa-Wijaya memakai Pararaton sebagai referensi untuk
karyanya. Meski begitu, menurut Berg, Kidung Harsa-Wijaya tidak seluruhnya
menyetujui narasi Pararaton. Artinya, Kidung Harsa-Wijaya bersifat independen,
puitis, meski mengerjakan materi permasalahan yang sama, dan penyimpangan
atau perbedaan narasi merupakan interpretasi pujangga terhadap peristiwa dan
tokoh tersebut. Oleh sebab itulah Berg menyebut kidung itu sebagai “sebuah versi
baru dari roman Raden Wijaya”. Kita bisa mengatakan bahwa Berg begitu
mengenal kazhanah naskah tradisional yang memuat narasi Raden Wijaya, karena
ada tiga naskah terkait yang dieditori dan dipublikasikan olehnya: Pararaton,
Kidung Panjiwiyakrama, dan Kidung Harsa-Wijaya.
129 Robson (2000) “The force of destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya reread”, Indonesia and The Malay World, hlm. 243-244.
130 “. . .tangeh yan katakena sararasira mungwa ing carita Pararaton” terjemahan: “. . .semua hubungan ini dapat ditemukan dalam kisah Pararaton.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Berg juga menyatakan keberatannya soal narasi dalam Kidung Harsa-
Wijaya. Menurutnya, narasi dalam Kidung Harsa-Wijaya lebih berupa legenda
atau mitos tentang peradaban awal Kerajaan Majapahit. Sebagai legenda atau
mitos, kidung itu bagi Berg banyak memuat perihal yang dianggap aneh untuk
pembaca Barat. Namun Robson131 memberikan pertimbangan lain yang lebih
bagus. Menurut Robson, bila materi narasi tidak diterima oleh sejarawan, itu
hanya membuktikan bahwa pandangan dan intensi pujangga tidak identik dengan
sejarawan modern. Bila pujangga melihat peristiwa secara berbeda, itu hanya
untuk menyajikan pertanyaan awal tentang relasi apa yang terjadi. Karena itulah
Robson lebih menganjurkan untuk mencari cara pujangga melihat koneksi
peristiwa-peristiwa dan apa maknanya untuknya serta untuk pembacanya daripada
menyibukkan diri dalam kisah yang aneh atau mencoba mengkomparasinya
dengan materi sezaman.
Selain itu, Robson juga menawarkan tiga langkah dalam investigasi
naskah sebagai asumsi dasar menghadapi teks tradisional. Pertama, akademisi
harus menganggap bahwa pujangga memiliki sebuah target atau tujuan pasti yang
bisa saja mengarah ke perihal artistik, filosofis, atau religi. Penulisan karya juga
memiliki kaitannya dengan cara pikir masyarakat Jawa dan Bali, sebagai asal
pujangga dan objek karya.132 Cara kedua ialah dengan menyatakan atau
menganggap naskah sebagai pikiran dari pujangga itu sendiri. Naskah merupakan
131 Robson (2000) “The force of destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya reread”,
Indonesia and The Malay World, hlm. 245. 132 Dalam tulisannya yang lain “Notes on the early kidung literature”, dalam
Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 135, 2de/3de, hlm. 300, Robson juga menyatakan kaitan relasi pujangga-pujangga yang berada di bawah perlindungan raja atau elite kerajaan lain dengan perspektif dan tujuan pengisahan dalam naskah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
perwujudan konkret dari tujuan atau target pujangga. Ketiga, harus melihat karya
sebagai suatu kesatuan yang organik.
Langkah-langkah yang dianjurkan Robson, dengan mengulik naskah dari
dalam, dari teks dan struktural teks, dan kaitannya dengan lingkungan sosial
sebenarnya sudah akrab dilakukan dalam studi sastra. Namun tampaknya cara
seperti itu, dengan pendekatan studi sastra, belum lumrah dalam studi sejarah,
termasuk kalangan sejarawan Indonesia. Maka lumrah jika sejarawan-sejarawan
lebih berkutat pada persoalan menerima atau menolak narasi naskah dan
mempertanyakan apakah naskah mengandung fakta atau fiktif daripada
mengungkap persoalan seperti tujuan penulisan pujangga dan latar belakang sosial
yang mendasari penulisan naskah. Padahal, dengan menggunakan pendekatan
studi sastra dan teori sastra sejarawan akan lebih mampu memahami teks sebagai
sumber dan atau objek penelitian mereka secara mendalam.
Pada bab ini pun pembahasan akan ditujukan kepada uraian narasi dalam
Kidung Harsa-Wijaya. Langkah itu untuk menemukan perbedaan dalam narasi
Kidung Harsa-Wijaya dengan naskah-naskah lain sekaligus melihat pertaliannya
dalam naskah yang lebih muda.
B. Latar Belakang dan Peran Rangga Lawe
Dalam Kidung Harsa-Wijaya, Rangga Lawe ialah anak dari seorang
Menteri Singhasari. Maka dia telah muncul ketika Kertanegara masih memimpin
Kerajaan Singhasari. Kemunculannya tidak sendirian, termasuk Nambi, Sora, Ken
Pedang, Ken Dangdi, Gajah Pagon, dan Lembu Peteng.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
“Ndan sang para mantry adi angaturaken sutanipun rangga-Lawe smunyalus
pantes yan wuruk twan Ino sira Nambi alembut sasmitanyagalak amadhu ndan
ken Sora tuhw angresy ati atut prakaseng satru.”133
Terjemahan:
“Kemudian para Menteri menghaturkan anaknya Rangga Lawe mukanya halus
pantas kalau jadi teman raden Ino. Nambi lembut dengan senyumnya yang galak
tapi manis dan Sora wajahnya sangat menakutkan (bagi) musuhnya.”
Dari perkenalan itu kita mendapati deskripsi pujangga atas Rangga Lawe. Itu
merupakan puji-pujian dari pujangga teruntuk tokoh.
Sejak semula pula, saat Daha menyerang Singhasari, Rangga Lawe
dikisahkan telah ikut berkontribusi. Dia dan Sora ikut menghalau pasukan Daha
yang memojokkan Raden Wijaya.134 Bahkan ketika Raden Wijaya dan salah
seorang putri Krtanegara melarikan ke pertapaan Mpu Santasmerti, Rangga Lawe
juga mengikuti. Tentu ketika meminta bantuan kepada Arya Wiraraja di Madura,
Rangga Lawe juga ikut.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa di Kidung Harsa-Wijaya Rangga
Lawe bukan anak Arya Wiraraja. Pujangga menuliskan bahwa anak Wiraraja ialah
Wirondaya yang diutus oleh Bapaknya untuk menghadap ke Jayakatwang.135
133 Kidung Harsa-Wijaya, I, 9b.
134 Kidung Harsa-Wijaya, II, 80b.
135 Kidung Harsa-Wijaya, I, 82a-83a.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Pengutusan Wirondaya untuk memberitahu Jayakatwang bahwa Daha dalam
keadaan lengang, ditinggal oleh Raja yang tengah bepergian ke Tuban. Itu
menerangkan pengkhianatan Wiraraja kepada Krtanegara. Motifnya ialah sakit
hati dan balas dendam karena Krtanegara telah menurunkan jabatannya menjadi
demang di Madura. Selain Wirondaya, anak Wiraraja ialah Nambi; itu dapat
diketahui dari ujaran Wirondaya yang segan jika harus bermusuhan dengan
Nambi.136 Teks lain137 menunjukkan secara langsung ucapan Wiraraja yang
menyebut Nambi sebagai anaknya.
C. Perang Melawan Daha dan Pasukan Tatar
Setelah meminta bantuan kepada Wiraraja, Raden Wijaya diberikan saran
untuk berpura-pura mengaku kalah dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden
Wijaya menyuruh Rangga Lawe dan Akuwu Canggu untuk menghadap dan
memberitahukan penyerahan dirinya kepada pihak Kerajaan Daha.138 Memang
dalam karya sastra tradisional ini banyak mengulang peristiwa atau cerita yang
sama, yang ada dalam karya-karya yang lain, tetapi tampak bahwa ada motif
tersendiri, mempertimbangkan sitasi yang dilakukan oleh pujangga—akan
dijelaskan dalam sub-bab tersendiri. Sama seperti dengan pertandingan tusuk-
tusukkan yang diselenggarakan oleh Kerajaan Daha dengan pesertanya dari pihak
pengikut Raden Wijaya dengan pejabat Kerajaan Daha dan beberapa peristiwa
lain serta tokoh.
136 Kidung Harsa-Wijaya, I, 83b.
137 Kidung Harsa-Wijaya, III, 8b.
138 Kidung Harsa-Wijaya, IV, 31b-33b; 36a-38b; 42b-46b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Namun, ada yang hanya terdapat dalam narasi Kidung Harsa-Wijaya.
Salah satunya ialah saran Rangga Lawe kepada Raden Wijaya.139 Dikisahkan
bahwa Raden Wijaya memberitahukan niatnya untuk memberontak kepada
Rangga Lawe, tetapi oleh Rangga Lawe dikatakan niat itu tidak baik karena
Jayakatwang sangat menyayangi raden. Rangga Lawe juga menambahi ada
baiknya untuk mencari alasan yang tepat. Dia menyarankan untuk mengirim
utusan yang meminta putri Krtanegara dan jika Jayakatwang menolak
memberikannya maka barulah menyerang.
Demikianlah bahwa saran itu kemudian menjadi motif dari perang antara
Raden Wijaya beserta pengikutnya dengan Kerajaan Daha. Dalam perang itu
Rangga Lawe berhadapan dengan Patih Mundarang.140 Rangga Lawe berhasil
membunuh Patih Mundarang, lagi-lagi, suatu narasi yang berbeda jika
dibandingkan dengan Kidung Rangga Lawe.
Setelah Daha dikalahkan, Raden Wijaya dan para pengikutnya masih harus
menghadapi pasukan Tatar. Maksud kedatangan pasukan Tatar ialah untuk
menagih janji Raden Wijaya untuk menyerahkan putri Krtanegara. Rangga Lawe
memberitahu, dan mengingatkan, kepada Raden Wijaya bahwa Raja Tatar marah
karena raden tidak juga menepati janjinya.141 Raden Wijaya marah mendengar
laporan Rangga Lawe dan menjawab bahwa ia hanya akan menyerahkan Putri
139 Kidung Harsa-Wijaya, IV, 70a-71a.
140 Kidung Harsa-Wijaya, V, 111a & 113b.
141 Kidung Harsa-Wijaya, VI, 21a-22b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Daha yang sudah bunuh diri, sementara Putri Pusparasmi tidak akan ia berikan.
Keputusan itu disetujui oleh para menteri.
Berangkatlah Raden Wijaya dan para pengikutnya untuk menggempur
pasukan Tatar. Dalam pertempuran itu Raden Wijaya ikut turun gelanggang.
Begitu juga dengan Rangga Lawe dan Nambi. Hasil pertempuran itu seperti telah
diketahui, pihak Raden Wijaya menang dan mampu mengusir Pasukan Tatar.
Episode selanjutnya ialah kedamaian sudah tercipta di bumi Majapahit.
Raden Wijaya naik tahta bergelar Kertarajasa. Yang melantiknya ialah Brahmana
Mpu Santasmerti, tokoh yang diceritakan dia datangi saat pelarian. Raja juga
menghadiahi para pengikutnya dengan jabatan. Rangga Lawe dinobatkan sebagai
Patih, Nambi menjadi Demung, sementara Sora sebagai Tumenggung.
“Mwang sakadehanira sampun sinung lungguh ken ranggapaty amangku bhumi
ndan tan lwang denya anglus nagari.
Ndan muwah sira Nambya akry angadeg demung lawan ken Sora sinung linggih
tumenggung . . .”142
Terjemahan:
“Lalu semua pengikutnya diberinya kedudukan. Rangga [Lawe] duduk menjadi
patih amangkubumi, sebab berjasa dalam mendirikan negara.
Juga Nambi diangkat sebagai demung dan Ken Sora sebagai tumenggung. . .”
142 Kidung Harsa-Wijaya, VI, 114a-114b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
D. Simpulan
Berdasarkan narasinya, dapat disimpulkan bahwa Kidung Harsa-Wijaya
mengambil Pararaton sebagai rujukan atau referensi. Beberapa aspek yang
menguatkan simpulan itu ialah sebagai berikut. Pengisahan Rangga Lawe sebagai
anak dari seorang pejabat menteri di Tuban yang telah mengikuti Raden Wijaya
sejak masa kanak-kanak. Nambi dikatakan sebagai anak Arya Wiraraja, ditambah
dengan Wirondaya. Ketiga, munculnya Mahapati dalam kisah. Pada bagian akhir
kisah dalam Kidung Harsa-Wijaya pun secara langsung menyebut Pararaton
sebagai rujukan sumber.
Mengenai Mahapati dikisahkan bahwa dia termasuk pengikut Raden
Wijaya yang turut berperang melawan pasukan Jayakatwang. Kehadiran Mahapati
memang baru dimunculkan saat perang. Namun, penjelasan tentang Mahapati
akan dicukupkan sampai di sini untuk menjaga konteks penjelasan dalam
penelitian ini. Penjelasan tentang Mahapati hanya untuk mendeskripsikan
keterkaitan Kidung Harsa-Wijaya dengan Pararaton atau lebih tepatnya untuk
menunjukkan intertekstualitas naskah itu. Hal itu juga untuk menjelaskan
munculnya pendapat-pendapat ahli yang meyakini adanya pengadu domba yang
menciptakan konflik internal dalam Kerajaan Majapahit, seperti Slamet Muljana.
Kisah-kisah lain dalam Kidung Harsa-Wijaya juga tidak akan disebutkan
lebih jauh karena lebih terkesan mengulang-ulang atau sama dengan pengisahan
dalam naskah-naskah sebelumnya. Kalau pun ada itu lebih tepatnya ialah apa
yang disebut oleh Slamet Muljana sebagai anakronisme dalam sumber sejarah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
tradisional, yakni status Nambi dan Wirondaya sebagai anak Arya Wiraraja,
bukannya Rangga Lawe. Muljana yakin menyebutnya sebagai anakronistis dengan
berpedoman pada sumber sejarah berbentuk prasasti. Namun, pendapat seperti itu
tidak akan muncul jika sedari awal sumber-sumber itu telah ditempatkan sebagai
karya sastra atau rekaan. Dengan menempatkannya demikian pun akan mengikuti
sikap penerimaan bahwa anakronisme ialah perihal wajar dalam proses kreatif
penciptaan karya. Apa yang muncul dalam karya sastra tidaklah harus sesuai
dengan fakta historis yang sesungguhnya. Meski begitu, anakronisme dalam karya
sastra tidaklah sama artinya dengan sewenang-wenang atau hanya mendasarkan
pada imajinasi. Supaya berterima atau diterima oleh pembaca, narasi dalam karya
harus disusun secara logis dengan mengedepankan kausalitas yang dapat diterima
oleh akal. Yang pasti itu menyebabkan narasi dalam Kidung Harsa-Wijaya
berbeda dibandingkan dengan sumber-sumber tradisional yang lain.
Selanjutnya, narasi tentang Rangga Lawe dalam Kidung Harsa-Wijaya
hanya berhenti sampai akhir peperangan melawan Jayakatwang dan berdirinya
Majapahit sebagai kerajaan. Ini dapat diterima melihat pertimbangan tema dan
skop waktu yang diambil oleh pujangga. Sebagai sumber sejarah yang bersifat
rajasentris, Kidung Harsa-Wijaya hanya mengambil peristiwa yang dapat
mengangkat citra raja. Alhasil, aktivitas tokoh-tokoh selain raja pun hanya untuk
melengkapi tujuan utama pujangga. Tindakan-tindakan Rangga Lawe dalam
peperangan hanya untuk memuluskan tujuan Raden Wijaya mengalahkan
Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Konflik internal yang terdapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
pada sumber tradisional lain pun tidak ada dalam Kidung Harsa-Wijaya, karena
Rangga Lawe seusai perang diangkat menjadi Mahapatih di Majapahit.
Sangat sulit untuk mencari penyebab atau motivasi pujangga yang
membuat narasi dalam Kidung Harsa-Wijaya begitu berbeda. Apakah itu lantaran
tema dan tujuan pujangga guna menyanjung raja ataukah sebab lain yang justru
menguatkan pendapat akademisi yang memandangnya sebagai anakronistis,
artinya mengakui ketidaktahuan pujangga pada peristiwa sesungguhnya sehingga
menciptakan karya yang tidak tepat, tetap sulit untuk diterka. Yang pasti bahwa
Kidung Harsa-Wijaya ikut mempengaruhi kelahiran karya sastra yang lebih muda
yang akan diulas pada bab-bab selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
BAB IV
SASTRA JAWA BARU: NARASI YANG BELAKANGAN
A. Pendahuluan: Pembuka Perspektif Baru
Ada tiga karya sastra berlatar belakang historis yang akan diulas dalam
bab ini. Semuanya merupakan karya sastra Jawa Baru. Sesuai dengan
penamaannya, bahasa yang digunakan ialah Bahasa Jawa Modern. Untuk waktu
penulisan naskah, dilakukan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Naskah-
naskah itu begitu berbeda dari karya pendahulunya. Tidak hanya dalam hal
bahasa, tetapi juga bentuk dan narasinya. Namun, sekali pun berbeda, masih ada
jejak-jejak pemakaian narasi dari karya pendahulu sebagai rujukan.
Perbedaan yang drastis itu termasuk anakronisme, apabila dibandingkan
dengan fakta historis. Perbedaan-perbedaan itu meliputi penyebutan nama
kerajaan, tempat, dan nama tokoh. Hanya saja, patut disinggung sekali lagi bahwa
sumber-sumber yang diangkat dalam penelitian ini ialah karya sastra sehingga
kritik internal sangat dianjurkan guna menemukan dan menentukan motivasi
sesungguhnya.
Naskah pertama ialah Serat Damarwulan karangan Raden Rangga
Prawiradirja. Penanggalan yang tertulis dalam naskah ialah tahun Jawa 1801 atau
1872 Masehi. Dari Serat Damarwulan inilah kedua naskah yang selanjutnya
mengambil dasar narasi. Naskah kedua berjudul Langendriya Pejahipun
Ranggalawe pun merupakan bagian dari cerita Damarwulan itu. Oleh sebab itu
untuk penerjemahan teks atau naskah hanya akan menerjemahkan bagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
munculnya sampai gugurnya Rangga Lawe di naskah Langendriya Pejahipun
Ranggalawe.
Sementara itu naskah berbahasa Jawa Modern selanjutnya, Serat Babad
Tuban, dengan jelas mengutip Serat Damarwulan sebagai salah satu rujukan.
Yang berbeda ialah Serat Babad Tuban berisikan genealogi para bupati Tuban.
Alhasil, narasi tentang Rangga Lawe hanya sepenggal. Selebihnya berisikan daftar
nama-nama bupati di Tuban.
Dalam bab ini naskah-naskah itu akan dideskripsikan dan dianalisis.
Pembandingan dengan naskah terdahulu juga akan dilakukan, guna menemukan
transformasi dalam narasi dan tujuan yang hendak disematkan oleh pujangga.
B. Kisah Damarwulan
Baiknya pembahasan dalam sub-bab ini dimulai dengan menerangkan apa
itu kisah Damarwulan dan siapa sebenarnya tokoh itu. Kisah Damarwulan
berbentuk epos atau cerita kepahlawanan. Jika sebelumnya epos-epos yang
berkembang di Jawa pada masa kerajaan-kerajaan Hindhu-Buddha terpengaruh
dengan epos India, seperti Mahabharata dan Ramayana, kisah Damarwulan
menukil peristiwa dan tokoh pribumi.143 Sebagai epos, kisah Damarwulan
143 Soenarto Timoer dalam Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil):
Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya (1980: 7) menulis: “Dengan berhasil diluluhkannya epos Hindu ke dalam seni pewayangan yang mencerminkan ciri watak kejawaan itu, maka paripurnalah proses akulturasi satu segi kehidupan budaya dua bangsa: Hindu (India) dan Indonesia.” Memang benar, kemunculan Damarwulan mengakhiri akulturasi budaya dan tradisi India serta melahirkan suatu bentuk karya seni yang lebih bernuansa lokal. Namun, jika dilihat lebih dalam, unsur-unsur yang ada dalam cerita-cerita India, seperti Ramayana dan Mahabharata, terutama unsur romantika percintaan dan peperangan melawan yang batil, tetap ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
bertemakan kepahlawanan. Tokoh utamanya, Damarwulan, memiliki sifat
pemberani dengan nilai-nilai luhur dan tindakan yang herois. Batasan antara yang
benar dan yang salah, si baik dan si jahat, sangat tegas.
Penanggalan tertua dari kisah Damarwulan berangkakan tahun 1748
Masehi.144 Naskah yang dimaksud ditulis pada lontar dengan menggunakan aksara
Jawa Kuna—meski ini patut dicurigai mempertimbangkan tahun dan kondisi
sosial masa itu. Jika mempertimbangkan tahun itu, kisah Damarwulan dapat
dipastikan dikembangkan pasca pecahnya Mataram Islam. Untuk penyebarannya
melalui medium seni pertunjukan Langendriya dan wilayah penyebarannya
meliputi wilayah-wilayah yang saat ini masuk ke dalam Provinsi Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Bisa dikatakan kemunculan dan perkembangan kisah Damarwulan ada
kaitannya, atau bahkan termasuk dalam bagian, dengan cerita Panji. Menurut
Poerbatjaraka,145 cerita Panji muncul karena kebutuhan materi bacaan oleh
masyarakat Jawa saat itu yang sudah bosan dengan cerita-cerita India. Maka
cerita-cerita India itu kemudian digantikan dengan epos-epos lokal dengan latar
tempat dan budaya Jawa. Jika Cerita Panji juga memasukkan masa-masa Kerajaan
144 Angka itu berdasarkan ulasan Brandes atas naskah Damarwulan yang telah
disalin oleh Roorda van Eysinga dalam Handboek voor Land-en Volkenkunde. (Labberton, dalam Soenarto Timoer 1980: 26)
145 Dalam Tjeritera Pandji dalam Perbandingan (1968: 404-405). Poerbatjaraka memperkirakan kemunculan awal cerita Panji terjadi pada masa kejayaan Majapahit dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Bacaaan-bacaan India dikatakan telah terhenti di masa itu dan banyak orang yang sudah tidak paham atau tidak memakai Bahasa Jawa Kuna. Sementara masyarakat belum mau menyentuh atau membaca cerita-cerita Islami. Pendapat Poerbatjaraka itu membantah pendapat Berg yang memperkirakan waktu penulisan cerita Panji pada abad ke-13 dan memakai Bahasa Jawa Kuna.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Singhasari, cerita Damarwulan lebih menyorot masa-masa akhir Majapahit meski
pembabakan waktunya berantakan.
1. Ringkasan Serat Damarwulan
Naskah Serat Damarwulan yang digunakan dalam penelitian ini ialah
karya Raden Rangga Prawiradirja yang sudah dialihaksarakan ke aksara Latin dan
dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Naskah itu disusun pada tahun Jawa 1801
atau 1872 Masehi.
Latar tempat dan waktu dalam naskah ini terjadi di dan pada masa
Kerajaan Majapahit. Namun, raja yang disebut dalam Serat Damarwulan ialah
seorang perempuan bergelar Prabu Rara Kencanawungu. Tokoh-tokoh lain yang
disebut dalam naskah ini, selain Damarwulan dan Prabu Rara Kencanawungu
ialah Patih Logender, Menakjingga, Menakkoncar, Layang Seta dan Layang
Kumitir, Kyai Sabdapalon dan Kyai Nayagenggong, Rangga Lawe, Raden
Buntaran, dan Raden Watangan.
Dikisahkan Adipati Blambangan, Menakjingga, terpesona terhadap
kecantikan Prabu Rara Kencanawungu, tetapi pinangannya ditolak oleh sang Ratu.
Tidak terima atas penolakan itu Menakjingga mengirimkan pasukan untuk
menyerang Majapahit. Dalam serangan itu Menakjingga memperoleh
kemenangan; Lumajang berhasil ditundukkan.
Sebagai penanggulangan serangan Blambangan, Patih Logender
diperintahkan untuk mengirim Adipati Tuban Rangga Lawe dan Adipati Daha
Layang Seta dan Layang Kumitir. Seperti yang diketahui Rangga Lawe gugur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dalam pertempuran langsung dengan Menakjingga, sementara Layang Seta dan
Layang Kumitir melarikan diri dari peperangan. Detail turunnya Rangga Lawe ke
medan perang melawan Menakjingga akan dikisahkan dalam sub-bab tersendiri
terkait ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe.
2. Ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe
Seperti dalam judulnya, naskah ini diperuntukkan pertunjukan
langendriya. Langendriya merupakan seni pertunjukan wayang orang yang
berkembang di Jawa Tengah. Seni pertunjukan ini memadukan drama, musik
gamelan, dan tari. Kisah yang diangkat berasal dari kisah Damarwulan.
Naskah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan naskah yang
dialihaksarakan oleh Hadisutjipto.146 Bahasa yang digunakan campuran Bahasa
Jawa Modern dan Bahasa Melayu di beberapa bagian, khususnya untuk dialog
orang-orang Bugis atau non-Jawa. Tidak ada keterangan terkait penanggalan.
Namun, jika melihat persembahan di bagian awal yang ditunjukkan kepada
Pangeran Adipati Mangkubumi bisa dipastikan naskah ini merupakan karya
pujangga di Keraton Yogyakarta.
Awalan kisah langsung menceritakan pemberontakan Adipati
Menakjingga, setelah naik jadi raja mengambil nama Urubesma, dan diutusnya
Rangga Lawe untuk pergi berperang. Pujangga memuja Rangga Lawe sebagai
146 Hadisutjipto. 1982. Langendriya Pejahipun Ranggalawe. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
bupati tiada tandingan di tanah Jawa dan merupakan orang kepercayaan raja.147
Dikumpulkanlah bala tentara Tuban, yakni Patih Jayapuspita, Raden Arya
Kretagnyana, Raden Arya Purbarana, kedua anak Rangga Lawe Buntaran dan
Watangan, serta pengikutnya yang lain.
Dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe juga ditemukan kisah Rangga
Lawe berpamitan kepada istrinya sebelum pergi berperang. Istrinya dua: Sang
Dyah Ayu Banowati dan Sang Dyah Retna Sekati. Bisa dipastikan bahwa bagian
itu merujuk Kidung Rangga Lawe sebagai referensi. Simpulan itu menguat karena
di antara sumber tradisional terdahulu yang memuat kisah romantis seperti itu
hanya Kidung Rangga Lawe.
Maka berangkatlah Rangga Lawe dengan bala tentara Tuban ke
Blambangan. Ikut serta di dalam pasukan itu pejabat-pejabat Tuban yang lain,
seperti Pati Jaya Puspita, Raden Arya Purbarana, Raden Menak Widuri, dan
lainnya.
Sementara itu Ratu Majapahit juga mengutus Layang Seta dan Layang
Kumitir, anak Patih Logender, menuju peperangan. Berbeda dengan Rangga Lawe
yang sangat dipercaya bawahannya, kedua putra Patih Logender itu kesulitan
untuk mengumpulkan prajurit yang mau diajak memerangi Menakjingga. Para
pengikutnya menyangsikan kekuatan mereka berdua, bahkan beberapa sudah
berencana untuk membelot dan memihak Menakjingga. Ketika datang kabar
Adipati Kediri tewas di medan laga, Layang Seta dan Layang Kumitir dikisahkan
147 Hadisutjipto (1982: 19), “sanadyan dudu panjenenganing narendra, nanging
bupati pinusaka, ing rat Jawa tanpa sisihan, andelira narendra Majapahit.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
ketakutan mendengarnya. Kiranya, kelemahan kedua putra Patih Logender ini
sepatutnya dilihat sebagai usaha pujangga untuk meninggikan citra Rangga Lawe.
Kembali ke tokoh utama, berita kekalahan dan kematian belum sampai ke
telinga Rangga Lawe. Dia baru mengetahuinya dari kedua anak Patih Logender
yang berkunjung ke perkemahan prajuritnya. Setelah mendengar kabar itu
pasukan Tuban segera bersiap menyerbut Blambangan, tetapi belum sempat
berangkat telah datang berita Pasukan Bugis yang dipimpin Mrajadewa Jarumuka.
Dari peperangan itu Pasukan Tuban berhasil keluar sebagai pemenang dan Raja
Bugis gugur.
Sementara itu, di Keraton Blambangan Menakjingga atau Prabu Urubesma
tengah bermusyawarah dengan para sekutunya. Diketahui para sekutunya itu ialah
Raja Madura dan tiga orang berpengaruh dari Bali.148 Lalu, prajurit berkabar
bahwa Pasukan Tuban telah memasuki wilayah Blambangan. Raja Urubesma
kemudian menyuruh untuk menyambutnya dengan senjata.
Urubesma menghadapi langsung Rangga Lawe. Dia menunjuk Rangga
Lawe sebagai perusuh karena berani mengamuk di wilayah kekuasaannya, tetapi
Rangga Lawe justru mengingatkannya atas pengkhianatannya kepada Ratu
Majapahit dan tujuan kedatangan Rangga Lawe untuk menundukkannya kembali
di bawah kekuasaan Majapahit.149 Peperangan antara kedua tokoh itu berjalan
148 Lihat Hadisutjipto, Langendriya Pejahipun Ranggalawe, hlm. 100.
149 Langendriya Pejahipun Ranggalawe, hlm. 129: “Lah ta sira Menakjingga aja sira acariwis dene teka eman-eman ingsun aprang teka balik iba dhendhaning Widhi nglabuhi reh tanpa kusur mangsa kayaa sira linuhurake neng bumi suprandene balela amurang dana. Sri narendra kurang apa sih marmane mring sireki.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
seru. Keduanya saling bertukar serangan dan berganti senjata, pedang, panah, dan
gada untuk Urubesma. Berkali-kali Urubesma mengeluarkan serangan
pamungkasnya, tetapi Bupati Tuban selalu berhasil keluar dengan selamat. Hingga
saking jengkelnya, karena serangan-serangannya dapat dihindari, Urubesma
menyuruh anak buahnya untuk menghujani Rangga Lawe dengan peluru dan
meriam. Bupati Tuban sama sekali tidak beranjak dari tempatnya dan tidak
terkena apa pun.
Namun, ketika Wangsapati terkena serangan dan terluka Rangga Lawe
segera menyelamatkannya, saat itulah dia melihat tanda-tanda kekalahan.
Sumping di telinganya jatuh terkena peluru dan payungnya patah. Dia
mengartikan tanda itu sebagai kematiannya. Lalu, dia pun menyuruh Wangsapati
kembali ke Tuban dan memberitahukan kepada istrinya bahwa seluruh Pasukan
Tuban gugur di medan perang. Demikianlah, ketika ajalnya semakin dekat,
Rangga Lawe memusatkan perhatiannya dan dia bisa melihat dengan jelas pintu
surga. Dia telah siap menyambut kematiannya sendiri.
Patih Jayapuspita yang melihat Rangga Lawe gugur segera
menghampirinya. Dia menangisi kematian tuannya. Urubesma menyarankannya
untuk kembali ke Tuban. Jayapuspita menolak tawaran itu dan memilih mati
bersama tuannya. Maka, Urubesma mengabulkan permintaannya. Urubesma
melayangkan gadanya sekali dan matilah Patih Jayapuspita. Begitulah akhir kisah
Rangga Lawe dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe.
C. Ringkasan Serat Babad Tuban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Tidak jelas soal penanggalan naskah ini. Hanya saja naskah yang
digunakan dalam penelitian ini sudah dalam bentuk alih aksara dari versi cetakan
ketiga yang diterbitkan tahun 1936 oleh penerbit Tionghoa di Kediri, Boekh Tan
Khoen Swie. Bahasa yang digunakan ialah Bahasa Jawa Modern. Berdasarkan
tahun jabatan bupati terakhir yang disebut dalam naskah kemungkinan penulisan
naskah ini terjadi pada awal abad XX.
Seperti yang telah dijelaskan, Serat Babad Tuban berisikan genealogi
bupati-bupati Tuban. Bupati Tuban yang disebutkan sampai pada awal abad XX.
Rangga Lawe ialah bupati Tuban ke sekian. Trah bupati Tuban itu berawal dari
Prabu Banjaransari, penguasa di Kerajaan Pajajaran. Tentu saja bahwa pernyataan
itu, yang menyebut garis trah Kerajaan Pajajaran dan bukannya Majapahit, patut
dipertanyakan. Prabu Banjaransari memiliki putra bernama Raden Arya Methaun
yang kemudian berputrakan Raden Arya Randhu Nuning.
Cucu Prabu Banjaransari itu kemudian berkelana ke arah timur hingga
berhenti di Distrik Jenu, Tuban, dan mengangkat diri sebagai penguasa di wilayah
itu. Raden Arya Randhu Nuning setelah menjabat sebagai bupati Tuban
mengganti nama, bergelar Kyai Ageng Lebe Lonthang, sedangkan wilayah
kekuasaannya diberi nama Lumajang Tengah. Sebelum Rangga Lawe masih ada
empat generasi setelah Kyai Ageng Lebe Lonthang itu, disusun secara runut:
Raden Arya Bangah, Raden Arya Dhandhang Miring, Raden Arya Dhandhang
Wacana atau Kyai Ledhe Papringan. Dari Kyai Ledhe Papringan memiliki dua
putra: Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeso. Selama empat generasi
itu wilayah Lumajang Tengah mengalami perluasan dan penetapan nama Tuban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
sebagai kadipaten ditetapkan. Nama Tuban merupakan akronim dari “metu
banyune”.
Kedua putra Kyai Ledhe Papringan sama-sama memiliki putra. Nyai
Ageng Lanang berputrakan Arya Ronggalawe, sementara Nyai Ageng Ngeso
berputra Arya Kebo Nabrang.150 Setelah Kyai Ledhe Papringan meninggal Arya
Ronggalawe diangkat sebagai bupati. Dalam kepemimpinan Arya Ronggalawe
ibukota kembali dipindah. Ada penambahan tiga dusun di wilayah Tuban:
Trowulan, Prunggahan Barat, dan Prunggahan Timur.
Dikisahkan bahwa terjadi perebutan kekuasaan pada masa pemerintahan
Arya Ronggalawe. Pelakunya tidak lain ialah sepupunya sendiri, Arya Kebo
Nabrang. Peperangan itu dimenangkan oleh Arya Ronggalawe. Lamanya Arya
Ronggalawe menjabat sebagai bupati Tuban ialah 30 tahun. Dia meninggal dalam
peperangan melawan Prabu Uru Bisma.
Penggantinya ialah putra semata wayangnya, Raden Siralawe. Namun,
dalam Serat Damarwulan, yang dikutip oleh pujangga Serat Babad Tuban,
menyebutkan Ronggalawe berputra dua orang: Raden Batangan dan Raden
Watangan.151 Pujangga Serat Babad Tuban kemudian memberikan penjelasan,
150 Serat Babad Tuban, 1936: 5.
151 Serat Babad Tuban, 1936: 6, “. . .ananging ing Serat Damar Wulan tuwin Serat Melajeng ingkang nami “Hikayat Tanah Jawi” nerangaken putranipun Raden Arya Ronggalawe wau kakalih, 1. Raden Bantaran; 2. Raden Watangan, mongka ing babon sejarah: namung kasebut kagungan putra satunggal asma Raden Siralawe wau bokmanawi Raden Buntaran awit putra pambajeng tur saged gumantos jumeneng Bupati.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
terkait rujukan yang berbeda itu, bahwa Siralawe ialah anak pertama Ronggalawe
yang ditunjuk sebagai penggantinya.
Penamaan anak Rangga Lawe itu cukup aneh karena merujuk pada gelar
yang diberikan Raden Wijaya kepada tokoh tersebut dalam Kidung Rangga Lawe
meski itu juga terjadi dalam naskah tradisional lain. Misal, nama Arya Adhikara
sebagai Adipati Mancanegara yang tak lain nama lain Arya Wiraraja dalam
Prasasti Kudadu.152 Namun penamaan itu menjadi lebih aneh ketika nama-nama
lain yang seharusnya merujuk kepada Rangga Lawe justru digunakan kepada anak
cucunya. Setelah Raden Siralawe meninggal, ia diganti oleh anaknya Raden Arya
Sirawenang, setelah itu cucunya yang berkuasa bernama Raden Lena, dan
akhirnya diganti oleh buyutnya Raden Arya Dikara.153 Baik nama Lawe dan
Wenang ialah nama pengganti yang diberikan Raden Wijaya kepada orang yang
sama,154 demikian juga halnya dengan Arya Dikara terdengar mirip dengan Arya
Adhikara. Juga Raden Arya Wiltikta, bupati Tuban ke-8, sekilas terdengar mirip
Wilatikta, nama lain dari Majapahit.
Garis trah bupati itu terus berlanjut hingga pada bupati yang ke-17
terjadilah peristiwa besar, yakni serangan Kerajaan Mataram ke Tuban. Bupati
Tuban saat itu ialah Pangeran Dalem. Alasan penyerangan Mataram karena
152 Bandingkan dengan Kidung Rangga Lawe yang mengisahkan setelah
kemenangan melawan Jayakatwang dan pindah ke Tuban Arya Wiraraja disebutkan memakai nama lainnya, yaitu Arya Adhikara.
153 Serat Babad Tuban, 1936: 7.
154 Lawe dan Wenang ialah sinonim. Nama itu merujuk pada pada keputusan Raden Wijaya yang menyerahkan kepemimpinan orang Madura kepada Rangga Lawe atau Arya Adhikara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Pangeran Dalem diketahui mau memberontak. Dalam penyerangan itu dikisahkan
Mataram menurunkan 1900 pasukan dan memporakporandakan Tuban, tetapi
Pangeran Dalem berhasil melarikan diri. Setelah Tuban berada dalam kekosongan
kepemimpinan, Mataram menunjuk Pangeran Pojok sebagai bupati Tuban.
Demikianlah seterusnya, setelah Pangeran Pojok pun bupati Tuban diisi oleh
orang-orang yang ditunjuk Mataram. Bahkan bupati terakhir yang dikatakan
dalam Serat Babad Tuban, masa berkuasa 1911-1919, merangkap sebagai Patih
Rembang.
D. Simpulan
Narasi tentang Rangga Lawe dalam karya sastra Jawa Modern kiranya ada
kaitannya dengan kondisi sosial dan kepentingan politik pada masa hidup
pujangganya. Periode penulisan dan komposisi narasi menguatkan dugaan itu.
Sebelum menjelaskan itu semua, ada baiknya untuk membagi penjelasan ke dalam
dua bagian karena naskah-naskah itu memiliki motif yang berbeda, meski
kemudian akan mempengaruhi pada hasil akhir atau pembentukan dan perubahan
tokoh Rangga Lawe. Bagian pertama akan fokus pada narasi Rangga Lawe dalam
kisah Damarwulan, tentu juga dengan Langendriya Pejahipun Ranggalawe.
Bagian kedua untuk menjelaskan narasi dalam Serat Babad Tuban.
Baiklah, kini bagian pertama harus diudar terlebih dahulu karena naskah
inilah yang membuat pijakan bagi perubahan narasi terkait Rangga Lawe di masa-
masa yang lebih muda. Jika ditilik dari periode penulisan dan komposisi narasi,
motif justru mengarah kepada kepentingan politis Kerajaan Mataram Islam. Meski
Soenarto Timoer menyebut pujangga kisah Damarwulan terinspirasi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
peristiwa dan tokoh pada masa akhir Kerajaan Majapahit, tidakkah kisah tentang
Menakjingga dan Blambangan itu justru mengingatkan kita terhadap ambisi
Mataram Islam untuk menguasai kerajaan Hindhu terakhir di ujung timur Pulau
Jawa, hingga menyebabkan peristiwa Puputan Bayu tahun 1771? Selain itu,
Soenarto Timoer pun gagal memberikan bukti yang jelas untuk argumennya.
Ada beberapa hal dalam narasi kisah Damarwulan yang mengarah ke sana,
kepada ambisi Mataram Islam menaklukkan Blambangan. Selain penyebutan
Blambangan, tentu patut disebut sekutu Menakjingga dalam perang melawan
Majapahit dan Rangga Lawe. Mereka ialah orang Bugis, Madura, dan Bali. Itu
semua sama dengan temuan dalam penelitian sejarah terkait sekutu Blambangan
ketika menghadapi gempuran VOC pada abad XVIII. Blambangan waktu itu
mampu merebut hati orang Bugis, Madura, Bali, termasuk juga orang Tionghoa
sebagai sekutu perang.
Perihal lain ialah periode penulisan naskah. Telah diketahui bahwa
penanggalan tertua untuk naskah Damarwulan menunjuk abad XVIII dan
penambahan narasi serta variasi lain kira-kira terjadi pada abad XIX dan XX.
Tentu akan lebih mudah untuk mengangkat kisah yang selisih waktunya hanya
puluhan hingga ratusan tahun daripada mengambilnya dari periode yang lebih
jauh atau lebih tua. Jarak waktu yang terlampau jauh juga menerangkan kenapa
anakronisme dalam kisah Damarwulan diterima. Orang tidak akan merasa curiga
apabila Rangga Lawe dikisahkan hidup pada masa akhir Majapahit dan rajanya
ialah seorang perempuan bernama Kencanawungu karena ingatan tentang tokoh
dan peristiwa itu, yang diturunkan melalui tradisi lisan, pun telah memudar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Terkait penyebutan nama Majapahit dalam kisah Damarwulan sebenarnya
bisa dijawab dengan merujuk kedua kerajaan yang bersengketa: Blambangan dan
Mataram Islam. Kerajaan Blambangan secara turunan sejarah ada kaitannya
dengan Majapahit dan sampai abad XVIII pun masih mempertahankan citra itu.
Sementara itu Mataram Islam, apabila melihat dari karya-karya sastra yang
menerangkan kerajaan itu, pun merujuk Majapahit sebagai asal keturunan raja-
rajanya. Majapahit yang dipandang sebagai kerajaan terbesar di tanah Jawa
dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan bagi pihak Mataram Islam. Jadi,
penyebutan Majapahit dalam epos Damarwulan tidak hanya tentang kebutuhan
material bacaan kepahlawanan lokal, melainkan juga mengandung kepentingan
politik kelompok aristokrat Jawa di zaman itu.
Namun, muncul pertanyaan esensial lain terkait narasi dalam kisah
Damarwulan. Kenapa Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan harus dikisahkan
mati dalam usahanya mengabdi kepada negara (Majapahit) sementara teks-teks
terdahulu mengisahkannya mati sebagai pemberontak? Kenapa pula harus Rangga
Lawe satu-satunya tokoh historis, sementara tokoh lain seperti Damarwulan,
Kencanawungu, Patih Logender, Menakjingga dan tokoh lain bisa dipastikan fiktif
belaka?
Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus kembali kepada pembahasan
sebelumnya, yakni soal kenyataan dalam karya sastra. Sekali lagi, fakta dalam
karya sastra tidaklah, dan tidak harus, sama dengan fakta dalam realitas. Ini juga
berlaku bagi karya-karya terdahulu yang memuat narasi Rangga Lawe, seperti
Kidung Rangga Lawe, Pararaton, dan Kidung Harsa-Wijaya. Mungkin memang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
benar ada tokoh sejarah yang identik dengan Rangga Lawe di kenyataan, dalam
karya sastra terdahulu pun dijelaskan bahwa Lawe merupakan gelar atau nama
yang diberikan Raden Wijaya kepada seorang abdinya, tetapi tetap saja harus
dibedakan dengan tokoh Rangga Lawe dalam karya sastra. Demikian juga
sebaliknya, bisa jadi tokoh-tokoh fiktif seperti Damarwulan, Kencanawungu,
Patih Logender dan tokoh lain benar ada di kenyataan, entah itu dari sifat atau
status yang mirip, yang kemudian mewujud ke cerminan tokoh dalam karya
sastra.
Soal pengabdian Rangga Lawe kepada Majapahit dan sifat ksatria Rangga
Lawe yang memilih gugur di medan perang dalam kisah Damarwulan sebenarnya
juga ada dalam karya sastra terdahulu. Lebih tepatnya, pujangga Damarwulan
merujuk Kidung Rangga Lawe, yakni momen ketika Rangga Lawe berbicara
dengan pamannya, Sora, setelah dia mengajukan keberatan kepada Kertarajasa
tentang pengangkatan Nambi sebagai Patih Majapahit. Selain itu pula, terkait jasa-
jasa Rangga Lawe yang pantas dijadikan sebagai motif perubahannya menjadi
pahlawan. Tidakkah Rangga Lawe juga berjasa membawahi orang-orang Madura
untuk membuka Hutan Tarik pada awal pembangunan Majapahit? Tidakkah
Rangga Lawe juga berjasa dalam peperangan melawan Jayakatwang dan
pengusiran prajurit Mongol yang diutus untuk menundukkan keturunan
Kertanegara, Raden Wijaya dan Majapahit? Persoalan-persoalan itulah yang
mendasari penggubahan pujangga kisah Damarwulan. Dalam hal ini, dialog antar-
teks (intertekstual) dari kisah-kisah Rangga Lawe dalam karya sastra tetap
berlanjut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Persoalan lain yang mendasari kepahlawanan Rangga Lawe dalam kisah
Damarwulan ialah kematian Rangga Lawe itu sendiri, dalam karya sastra
terdahulu. Kematian Rangga Lawe, sejak awal kemunculan kisah Rangga Lawe
dalam sejarah, telah ditetapkan oleh para pujangga sebagai penyesalan di masa
lampau. Hal itu secara jelas tampak dalam Kidung Rangga Lawe, yakni ketika
Raden Wijaya atau Kertarajasa menyayangkan keputusan Rangga Lawe untuk
memberontak hingga kesedihan raja ketika Rangga Lawe mati di tangan Kebo
Anabrang. Penyesalan lain tentu bahwa dari pemberontakan Rangga Lawe banyak
orang-orang kepercayaan Kertarajasa mati hanya untuk memadamkan api
pemberontakannya. Dari penyesalan masa lampau itu pula pujangga kisah
Damarwulan berangkat untuk mematenkan formulanya, tetapi kematian Rangga
Lawe harus tetap terjadi, meski dalam versi berbeda, supaya rumus transformasi
berhasil dan diterima sebagai alternatif yang lebih baik dari realitas.
Lalu, bagaimana dengan naskah Serat Babad Tuban yang muncul paling
belakangan? Meski anakronisme dalam naskah ini, seperti penyebutan leluhur
Rangga Lawe dari Kerajaan Pajajaran, juga termasuk banyak, tetapi ada beberapa
hal yang dapat diketahui sebagai perujukan ke kisah dan perihal dari karya
terdahulu. Salah satunya tampak pada penamaan daerah kekuasaan leluhur
Rangga Lawe, yakni Lumajang Tengah, ditambah ketika pujangga juga
mengisahkan wilayah itu bertambah tiga desa. Penamaan itu mengingatkan kita
akan Lamajang tigang juru, daerah yang dihadiahkan oleh Raden Wijaya kepada
Arya Wiraraja. Sementara di kenyataan, ada dusun bernama Lumajang Tengah di
Kecamatan Jenu saat ini dan itu tepat seperti ditunjuk di dalam naskah. Rujukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
kedua mengarah pada penamaan bupati-bupati Tuban yang menyebut nama lain
Rangga Lawe, seperti Arya Adhikara dan Wenang. Penyebutan nama hewan
sebagai nama atau gelar orang seperti dalam karya-karya terdahulu pun dirujuk
oleh Serat Babad Tuban, yakni Kebo Nabrang.
Pertanyaan yang patut dimunculkan kemudian ialah untuk tujuan apakah
Serat Babad Tuban? Ada dua hal yang bisa diajukan terkait hal itu. Berdasarkan
isi, Serat Babad Tuban yang menginformasikan genealogi bupati-bupati Tuban
tentu difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan. Pemilihan Rangga Lawe termasuk
dalam keturunan bupati-bupati Tuban terdahulu tampaknya mengabarkan betapa
pentingnya sosok itu, bagi kelompok elite lokal, bahkan sampai perlu diposisikan
sebagai pendahulu bupati-bupati Tuban selanjutnya. Namun, masih belum
terpecahkan terkait dengan narasi leluhur Rangga Lawe dalam Serat Babad Tuban
yang dikisahkan berasal dari Kerajaan Pajajaran. Apakah itu disebabkan oleh
ketidaktahuan pujangga atau karena kepentingan politis tertentu tetap tidak bisa
dipastikan. Memang benar bahwa dalam Kidung Rangga Lawe maupun Pararaton,
Arya Wiraraja, ayah Rangga Lawe, dikisahkan memiliki hubungan kekerabatan
dengan Raja Kertanegara, tetapi sama sekali tidak ada penyebutan Kerajaan
Pajajaran dalam silsilahnya.
Perihal kedua terkait dengan tujuan penulisan Serat Babad Tuban
berhubungan dengan periode penulisan naskah, tahun terbit, dan kondisi sosial
politik sewaktu penulisan dan penerbitan naskah. Dapat dipastikan bahwa naskah
itu ditulis dan diterbitkan pada awal abad XX. Pada periode itu ada kebijakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
pemerintah kolonial terkait bacaan atau penerbitan buku di Hindia Belanda.155
Lantaran isi Serat Babad Tuban lebih berisikan atau mengunggulkan corak
identitas lokal, maka naskah itu tidak termasuk dalam kategori bacaan yang
diharuskan oleh pemerintah kolonial atau istilahnya “bacaan liar”. Naskah itu pun
diterbitkan oleh penerbit swasta Tionghoa di Kediri. Dengan begitu Serat Babad
Tuban telah mencerminkan jiwa zamannya sebagai medium pemberontakan
terhadap pengekangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Agak konyol memang mendapati tokoh pemberontak pada awal Kerajaan
Majapahit menjadi pahlawan guna kepentingan politik kelompok elite lokal abad
XX. Karya-karya sastra Jawa modern itulah pintu transformasi tokoh dan status
Rangga Lawe yang mampu mempengaruhi anggapan masyarakat.
155 Kebijakan itu sejalan dengan jalannya praktik Politik Etis di Hindia Belanda.
Pada periode itu pemerintah kolonial merasa perlu untuk mengatur suatu sistem yang dibuat untuk mempersiapkan pribumi hidup berdampingan dengan orang Belanda. Penerbitan buku, yang termasuk dalam bidang pendidikan, pun tidak lepas dari kepentingan itu, termasuk penerbitan karya sastra Jawa. Untuk memuluskan kebijakan itu pemerintah kolonial mendirikan penerbit buku yang sekaligus berfungsi sebagai penyensor dan distributor buku-buku bacaan, yakni Balai Pustaka. Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit swasta, termasuk penerbit swasta Tionghoa, yang kebanyakan mengangkat kisah, tokoh lokal, dan bahasa daerah dimasukkan dalam “bacaan liar”. Selengkapnya baca Pardi Suratno. 2013. Masyarakat Jawa dan Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Adiwacana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Transformasi tokoh Rangga Lawe dalam perspektif masyarakat, terutama
masyarakat Tuban, berkaitan erat dengan penulisan historiografi tradisional dan
atau karya sastra. Perubahan itu berlangsung berabad-abad lamanya dan
melibatkan kerja antar-pujangga dalam teks yang mereka tulis dan tinggalkan.
Perubahan yang terjadi pun sangat drastis. Rangga Lawe yang muncul kali
pertama dalam Kidung Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe dikisahkan
sebagai pemberontak pada awal pendirian Kerajaan Majapahit berubah menjadi
pahlawan dalam naskah lakon seni pertunjukan langendriya, kisah Damarwulan.
Dari perubahan itu indikasi rasa penyesalan benar adanya, paling tidak
demikian yang disampaikan pujangga dalam kisah dan teksnya, yang diubah
menjadi lebih baik. Transformasi tokoh Rangga Lawe dalam karya sastra
merupakan jawaban final atas penyesalan itu. Kaitan yang lain ada pada proses
kognitif dan perihal yang berhubungan dengan aspek sosial, budaya, serta politik.
Sekali lagi, meski disebut sebagai historiografi tradisional, sumber-sumber
itu tetaplah karya sastra. Kreativitas pujangga ikut campur dalam pengisahan.
Perihal itu pun tampak di dalam sumber-sumber terdahulu, Kidung
Panjiwijayakrama dan Pararaton.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Kidung Panjiwijayakrama-lah, penanggalan tertuanya menunjuk abad XV,
yang pertama kali mengabarkan kisah pemberontakan Rangga Lawe, barulah
kemudian Pararaton mengutip kisah itu untuk melengkapi narasi keseluruhannya
pada abad XVII. Dari pengutipan Pararaton, narasi pemberontakan Rangga Lawe
tetap ada, yang berubah hanya pada latar belakang tokoh.
Baik Kidung Panjiwijayakrama dan Pararaton sama-sama mengangkat
peristiwa sejarah, tetapi tidak tepat rasanya untuk mengabaikan bentuknya (puisi
dan prosa). Yang lain ialah motivasi pujangga. Misalnya, untuk mengabarkan
kewibawaan seorang raja dalam menjalankan kewajibannya sebagai penguasa.
Dalam Kidung Panjiwijayakrama, meski Rangga Lawe mendapat tempat dalam
penarasian, tetap saja porsi utama ada pada kebesaran dan tindakan raja. Demikian
halnya dengan Pararaton, baik pemberontakan Rangga Lawe dan pemberontakan-
pemberontakan lain setelahnya dikisahkan untuk menguatkan citra raja, dalam hal
ini raja-raja Majapahit, yang mampu memadamkan api pemberontakan.
Indikasi usaha mengubah perihal dan peristiwa yang disesali terletak pada
pemberontakan dan kematian Rangga Lawe pada abad XIV. Bagaimana tidak
bahwa pemberontakan itu justru berasal dari abdi yang dipercaya Raden Wijaya
atau Kertarajasa. Besar jasa Rangga Lawe, sebenarnya, terutama pada awal
pendirian Majapahit, seperti membawahi orang-orang Madura ketika membabat
Hutan Tarikh, perang melawan pasukan Jayakatwang, dan mengusir tentara
Mongol. Paling tidak itu yang disebutkan oleh pujangga Kidung
Panjiwijayakrama. Dari pemberontakan Rangga Lawe pula Majapahit harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
kehilangan putra-putra terbaik mereka dan mencoreng kebesaran Majapahit
sebagai kerajaan Hindhu-Buddha di Jawa. Kesemua perihal itu tampaknya telah
menjadi penyesalan masa lampau dan di sinilah tugas seorang pujangga
dibutuhkan.
Perubahan mencolok pertama muncul dalam Kidung Harsa-Wijaya.
Pujangga Kidung Harsa-Wijaya mengutip narasi Pararaton pada bagian latar
belakang Rangga Lawe. Sama dengan narasi dalam Pararaton, Kidung Harsa-
Wijaya menyebutkan bahwa Rangga Lawe ialah anak dari pejabat lokal di Tuban,
sementara anak Arya Wiraraja ialah Nambi dan Wirondaya. Yang lebih mencolok
ialah penghilangan pemberontakan, karena dalam Kidung Harsa-Wijaya jabatan
mahapati diserahkan kepada Rangga Lawe, padahal ambisi terhadap jabatan
kerajaan merupakan faktor penyebab pemberontakan Rangga Lawe.
Dari karya sastra berbahasa Jawa Pertengahan narasi tokoh Rangga Lawe
tetap diproduksi hingga ke bentuk sastra berbahasa Jawa Modern. Tersebutlah
Langendriya Pejahipun Ranggalawe, yang merupakan bagian dari kisah
Damarwulan, dan Serat Babad Tuban. Dari kedua karya itu dengan karya
terdahulu jarak waktu penulisan membentang hingga ke angka ratusan tahun.
Langendriya Pejahipun Ranggalawe ditulis pada abad XIX, penanggalan tertua
kisah Damarwulan menunjuk abad XVIII, dan Serat Babad Tuban ditulis pada
awal abad XX.
Pengangkatan tokoh Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan, yang
merupakan epos dengan muatan lokalitasnya, terindikasi ada kepentingan politis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
khususnya kepentingan Mataram Islam terhadap Blambangan. Itu terwujud dalam
anakronisme penyebutan masa hidup Rangga Lawe dan penyebutan Blambangan
dalam narasinya. Dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe kisah kematian
Rangga Lawe ditampilkan secara heroik. Dalam hal itu pula diperlihatkan
pengabdian Rangga Lawe kepada Majapahit untuk melawan musuh kerajaan.
Transformasi itu menjawab narasi terdahulu, terutama dalam Kidung
Panjiwijayakrama dan Pararaton. Menurut nilai sosial, tugas seorang kesatria
ialah mengabdi dan untuk kejayaan raja serta kerajaannya, bukan untuk
mempertanyakan, atau bahkan menolak keputusan raja. Titah raja, sebagai titisan
dewata, itu mutlak dan itu tidak ada dalam kisah Rangga Lawe dalam Kidung
Panjiwijayakrama dan Pararaton, tetapi ditemukan dalam Langendriya
Pejahipun Ranggalawe.
Meski tetap bermuatan kepentingan politis, Serat Babad Tuban lebih
mengaplikasikan tujuan itu demi kepentingan elite lokal di Tuban dan Mataram
Islam. Maksudnya, bahwa kehadiran Rangga Lawe dalam karya sastra itu untuk
melegitimasi bupati-bupati Tuban dengan menunjukkan alur keturunan bupati
Tuban. Aspek lain berkaitan dengan jiwa zaman dan kondisi sosial politik di masa
hidup pujangga serta periode penulisan. Awal abad XX merupakan periode
pelaksanaan Politik Etis di Hindia Belanda. Kebijakan itu juga menyorot
penerbitan buku. Sementara itu, Serat Babad Tuban yang diterbitkan oleh penerbit
swasta Tionghoa dapat dikatakan bacaan liar yang dilarang oleh pemerintahan
kolonial karena menonjolkan unsur kelokalan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Dalam dua karya sastra itu anakronisme sangat menonjol dan bisa
dikatakan wajar jika mempertimbangkan selisih waktu antara kejadian
sesungguhnya dengan waktu penulisan. Faktor lain ialah karena penurunan narasi
itu melalui tradisi lisan. Bentuk karya merupakan bukti untuk menguatkan lisanan
itu. Dalam masyarakat lisan ketepatan tidaklah diutamakan, berbeda dengan
masyarakat dalam sistem mnemonik tekstual.
Namun, yang pasti penulisan karya sastra itu begitu melekat dan
mempengaruhi pemikiran masyarakat. Meski antar-daerah memiliki perbedaan
pandangan akan tokoh Rangga Lawe, bukti-bukti di lapangan merupakan hasil
dari penulisan sastra. Anggapan itu berwujud pada pemujaan tokoh dan tali
persaudaraan antar-daerah (Jawa, Maduran, dan Bali), khususnya yang
berhubungan dengan Majapahit.
B. Tulisan dari Budaya Lisan
Meskipun narasi historis tentang tokoh Rangga Lawe dan
pemberontakannya dapat ditemukan dalam teks-teks, tetapi dapat dibuktikan
bahwa tulisan-tulisan itu berasal dari budaya lisan. Artinya, karya-karya yang
dibahas dalam penelitian ini disusun dari formula lisanan. Maksudnya ialah bahwa
pujangga-pujangga yang menggubah kisah Rangga Lawe mengumpulkan bahan-
bahan penulisannya dari kisah yang memang sudah beredar, secara lisanan, dalam
masyarakat, bukan seperti pujangga dalam budaya tulisan yang menciptakan
sesuatu dari ketiadaan. Dengan begitu juga menempatkan masyarakat Jawa, dan
masyarakat etnis lain yang memuja kisah dan tokoh pada era Majapahit, seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Madura dan Bali, sebagai masyarakat lisanan sekunder156, atau masyarakat lisanan
yang sudah mengenal tulisan.
Ada beberapa bukti yang menguatkan simpulan itu. Bukti pertama,
naskah-naskah awal yang memuat kisah Rangga Lawe, Kidung
Panjiwijayakrama, Pararaton, dan Kidung Harsa-Wijaya, sama sekali tidak
diketahui penulisnya, karena memang pujangganya tidak membubuhkan nama di
teks. Konsep kepengarangan hanya dikenal dan diakui dalam masyarakat budaya
tulisan, bukan dalam masyarakat budaya lisan. Bukti kedua, naskah lebih bersifat
aditif, agregatif, dan berlebih-lebihan. Semua naskah yang memuat narasi tokoh
Rangga Lawe hanya menambahi beberapa detail atau tidak memunculkan
kebaruan. Penambahan detail dalam naskah pun berasal dari bahan-bahan yang
sudah ada dalam naskah lain, semisal adegan mesra Rangga Lawe dengan istri-
istrinya sebelum berangkat berperang. Bukti-bukti itu sebenarnya telah ditemukan
oleh akademisi lain, seperti Zoetmulder dan Muljana, tetapi mereka tidak
mengidentifikasinya sebagai ciri khas dari karya budaya lisan. Ungkapan-
ungkapan klise, berlebihan, dan cenderung diulang-ulang itu berkaitan dengan
sistem mnemonik dan formula dalam masyarakat lisanan yang berguna untuk
memunculkan kembali (recall) ingatan. Bukti ketiga ialah bentuk karya itu
sendiri. Bentuk dan nama kidung sesuai dengan cara penyampaiannya, yakni
dengan menembangkan tulisan. Karya-karya yang ditulis pada zaman yang lebih
156 Meminjam istilah Ong yang mengulas karakterisasi masyarakat berdasarkan
budaya lisan dan tekstual. Hasil penelitian Ong berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Parry. Untuk mengetahui perbedaan masyarakat berbudaya lisan dan masyarakat berbudaya tulisan lebih lanjut baca Ong. 2013. Kelisanan dan Keaksaraan. Yogyakarta: Gading Publishing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
muda, abad XVIII sampai dengan awal abad XX, berbentuk naskah seni
pertunjukan.
Yang bisa memproduksi dan atau mengakses tulisan ialah kalangan elite.
Pujangga di sini bisa dimasukkan ke dalam kategori elite. Sementara itu, untuk
penyebaran kisah lebih meluas kepada publik tetap berdasarkan tradisi lisan. Jadi,
meski dalam abad tertentu, di masa silam, teks yang memuat narasi tokoh dan
pemberontakan Rangga Lawe tidak ditemukan jejak penulisan atau penerbitannya,
untuk menelisik kontinuitas produksi teks, kita bisa memastikan bahwa tradisi
pengisahan tokoh Rangga Lawe tetap ada dalam bentuk lisan.
Penggunaan teks dari karya sastra tradisional sebenarnya sangat
memudahkan penelitian ini, khususnya untuk menelisik narasi masa silam. Teks
dalam penelitian ini tidak hanya ditempatkan sebagai warisan kolektif masa silam,
tetapi juga bentuk konkret dari tradisi lisan itu sendiri. Berbeda dengan hasil
tradisi lisan yang sama sekali tidak menghasilkan jejak apa pun, seperti
kekosongan yang tercipta saat kita menghentikan rekaman suara, tulisan tetap
dapat dijangkau karena memiliki bentuk utuh. Teks pula yang memungkinkan
penelisikan transformasi narasi Rangga Lawe dan perspektif masyarakat terhadap
tokoh historis itu.
C. Saran
Historiografi tradisional merupakan salah satu sumber penting dalam
penelitian dan penulisan sejarah. Namun, penelitian sejarah tidak akan mampu
mengudar kebenaran dari teks bersangkutan jika tidak meletakkan sumber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
sebagaimana adanya, sebagai karya sastra yang dipenuhi dengan kreativitas
pujangganya. Alhasil, penelitian sejarah berbasis historiografi tradisional
kebanyakan sering gagal di situ.
Penggunaan teori-teori dari ilmu sastra sangat diperlukan di sini.
Fungsinya sebagai alat bantu untuk menganalisis sumber-sumber tekstual tersebut.
Ilmu-ilmu lain juga diperlukan guna mendalami aspek-aspek lain, seperti
psikologi, sosial, budaya, dan politik. Teks tidak bisa berdiri sendiri atau
dijauhkan dari penulis dan sosialnya. Keberhasilan dalam memahami teks sastra
sangat dipengaruhi dari proses pembacaan faktor ekstern yang tersebar dalam teks
sastra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
DAFTAR PUSTAKA
Andini, W.S. 1984. Kidung Rangga Lawe: Tinjauan atas Tokoh Cerita dan Unsur-Unsurnya. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Berg, C. C. 1930. Rangga Lawe: Middlejavansche Historische Roman Critisch Uitgegeven. Weltvervreden: Albrecht & Co.
------------- 1931. Kidung Harsa-Wijaya: Tekst, Inhoudsopgave en Aanteekeningen. Gravenhage: Marttinus Nijhoff.
--------------- 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.
Brandes, J. L. A. & N. J. Krom. 1920. Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Gravenhage dan Batavia: Martinus Nijhof dan Albrecht & Co.
Byrne, R. M. J. 2005. The Rational Imagination: How People Create Alternatives to Reality. London: MIT Press.
Coedes, G. 2010. Asia Tenggara Masa Hindhu-Buddha. Jakarta: KPG.
Gonda, J. 1952. Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian Culture.
--------------- 1969. Ancient Indian Kingship from the Religious Point of View. Leiden: E. J. Brill.
Groeneveldt, W. P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.
Hadisutjipto, S. Z. 1982. Langendriya Pejahipun Ranggalawe. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hall, D.G.E. 1998. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
Hardjowardojo, R.P. 1965. Pararaton. Jakarta: Bhratara.
Hidayat, M. 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Horne, E. C. 1974. Javanese-English Dictionary. New Haven and London: Yale University Press.
Ivanic, R. 1998. Writing and Identity: the Discoursal Construction of Identity in Academic Writing. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kristeva, J. 1941. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. New York: Columbia University Press.
Krom, N.J. 1956. Zaman Hindu. Terjemahan Arif Effendi. Jakarta: PT Pembangunan Djakarta.
Levi-Strauss, C. 1967. Structural Anthropology. New York: Anchor Books.
Lukacs, G. 1989. The Historical Novel. London: Merlin Press.
Majumdar, R. C. 1937. Ancient Indian Colonies in the Far East Vol. II Part 1: Suvarnadvipa. Dacca: Asoke Kumar Majumdar.
Mardiwasito, L. & Harimurti Kridalaksana. 1984. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Ende: Penerbit Nusa Indah.
Muljana, S. 1976. A Story of Majapahit. Singapore: Singapore University Press.
--------------- 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.
--------------- 2012. Tafsir Sejarah: Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS.
--------------- 2012. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS.
Nugroho, I.D. 2011. Meluruskan Sejarah Majapahit. Yogyakarta: Ragam Media.
Ong, W.J. 2013. Kelisanan dan Keaksaraan. Yogyakarta: Gading Publishing.
Padmapuspita, Ki J. 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.
Pigeaud, T.G.T. 1980. Literatur of Java: catalogue raisonne of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. 4. Supplement. Leiden: Leiden University Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Prapanca. 2016. Kakawin Nagarakertagama: Teks dan Terjemahan. Yogyakarta: Narasi.
Prawiradirja, R. 1981. Serat Damarwulan. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Prawiroatmodjo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I. Jakarta: PT Gunung Agung.
--------------- 1981. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: PT Gunung Agung.
Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Robson, S. & Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Soemardjan, S., C. Bakdi Soemanto, Ariel Heryanto, Jacob Soemardjo, Toeti Heraty Noerhadi, Budi Darma. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV. Rajawali.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Timoer, S. 1980. Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil): Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya. Jakarta: Balai Pustaka.
Van Zoest, A. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Vlekke, B.H.M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Wiryamartana, I. K. 2014. Sraddha-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuna. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Zoetmulder, P. J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan.
--------------- Kawi dan Kekawian. Yogyakarta: Jajasan Fonds Universitit Negeri Gadjah Mada.
--------------- 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Artikel & Jurnal:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Putri, R.H. (2018) “Tak Ada Mongol dalam Prasasti”, dalam https://www.historia.id edisi 16 Februari 2018.
Robson, S.O. (2000) “The Force of Destiny, or the Kidung Harsa-Wijaya reread”, dalam Indonesia and The Malay World, Vol. 28:82, hlm 243-253.
--------------- (1979) “Notes on the early kidung literature”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 135, 2de/3de, hlm. 300-322.
Vickers, A. (1982) “The writing of kakawin and kidung on Bali”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 138, no. 4, hlm. 492-493.
Sumber Visual:
“Napak Tilas JTV Eps Babad Tuban (Wilotikto)”. 2014, diakses melalui https://www.youtube.com tanggal 22 Juli 2021.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI