Seven Pilar Busines Etic

download Seven Pilar Busines Etic

If you can't read please download the document

Transcript of Seven Pilar Busines Etic

TUJUH PILAR ETIKA BISNIS: MENUJU KONSEP KOPREHENSIF William Arthur Wines

ABSTRAK: Artikel ini mengajukan pertanyaan tentang mengapa (why) kita mengajarkan etika bisnis (business ethics). Jawaban kami terhadap mengapa memberikan dua tanggapan terhadap mereka yang menentang kursus atau pengajaran etika bisnis dan suatu petunjuk untuk isi dari kursus itu. Kami meyakini sebuah kursus yang jelas dan komprehensif dalam etika bisnis tidak saja berbicara tentang filsafat moral, dilema-dilema etis, dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) pilar-pilar tradisional dari disipslin itu namun juga bidangbidang tambahan yang penting untuk mengerti keberlanjutan (the goings-on) dalam dunia bisnis dan dalam penyebarannya. Pilar-pilar baru ini (these new pillars), yang kami usulkan mencakup psikologi moral, desain organisasional dan tingkah laku, teori motivasional, dan sebuah unit tentang bagaimana interaksi antara masyarakat, bisnis dan hukum. Unit terakhir ini berdasarkan pada karya dari Francis P. McHugh (1988) yang mengajukan suatu integrasi disiplin-disiplin yang berhubungan dengan etika bisnis. Tujuh pilar yang kami ajukan mencakup sebuah integrasi dari hukum, teori sosio-politik, dan kebijakan untuk menunjukkan bagaimana bisnis membantu membangun kerangka (konsep) peraturannya sendiri. Rekomendasi penyimpulnya adalah untuk membangun sebuah seven pillars yang komprehensif dari pendekatan etika bisnis. Kata Kunci: biang-bidang yang melingkupi etika bisnis, interaksi masyarakat, bisnis dan hukum, tanggung jawab sosial perusahaan, dilema-dilema etis, filsafat moral, psikologi moral, alasan moral, teori motivasi, dinamika organisasional, alasan-alasan untuk mengajarkan etika bisnis. Introduksi Pada suatu hari, seorang kolega/rekan mengatakan kepada saya, Anda tidak perlu mengajar kepada 90% dari antara kami untuk menjadi ahli etika bisnis. Etika

1

bisnis harus mengajar secara penuh [agaknya dengan aturan perundang-undangan).1 Saya menjawab bahwa regulasi dan pemenuhan peraturan itu merupakan subyek atau pokok dari situasi/kondisi legal dari bisnis (Legal Environment of Business)2. Etika bisnis bukan merupakan sebuah kursus dalam keadilan kriminal, dan umumnya para praksioner dari aliran utama mengerti masalah-masalah etika itu muncul berdasarkan tujuan dari hukum itu sendiri3. Akhirnya, saya mengingatkan dia bahwa setiap bidang fungsional dari seorang professor mempunyai tugas untuk membuat para mahasiswanya menyadari tentang dasar-dasar pengetahuan yang relevan, pembentukan batas-batas legal dalam bidangnya baik sebagai laki-laki mapun perempuan. Kami berkerja sama secara damai dan memahami perbedaan-perbedaan yang sama itu. Komentar akhirnya adalah: Anda harus mengajar secara utuh; karena itulah yang diharapkan oleh komunitas bisnis supaya anda lakukan. Diskusi kami itu menggambarkan salah satu dari masalah atau issue sentral dalam etika bisnis, yaitu: apakah alasan-alasannya untuk mengajarkan etika bisnis? Mengapa hal itu harus diajarkan? Beberapanya telah mengusulkan bahwa kursus-kursus (pelajaran/kuliah) etika bisnis harus dihapuskan dan diganti dengan kursus yang lebih berhubungan dengan hukum bisnis (business law courses) (Prentice, 2002). Harvard menanggapi sejumlah pencairan (meltdowns) legal dan etika yang sedang berlangsung sekarang ini (Farrell, 2006) dengan membuat begitu banyak modul tentang etika bisnis.4 ADa juga beberapa sekolah (mazab) bisnis lainnya yang mulai memperkenalkan kepada para mahasiswa MBA-nya tentang white-collar convicts dengan harapan untuk scaring them straight (secara langsung menakut-nakuti mereka)5 Dasar argumen ini meyakini bahwa tidak ada gunanya mencoba mengajarkan etika pada tingkat perguruan tinggi karena secara sederhana hal itu sangat terlambat jika para mahasiswa tidak mengetahui perbedaan-perbedaan antara yang benar dan salah atas kegiatan bisnisnya (Berleson and Steinier, 1964, p. 562). Argumen varian lainnya menyatakan bahwa etika bisnis tidak dapat diajarkan sepanjang para pendidik bisnis (business educators) menolak untuk menelusuri dasar-dasar etika dari model utamanya (Berg, 1989, pp. 111-132). Sebuah pandangan yang agak kontroversial menyatakan bahwa etika bisnis sebagaimana diajarkan

2

umumnya tidak relevan kepada para manajer bisnis karena hal itu mengajarkan tentang sebuah bentuk/jenis dunia lain (otherworldly type) dari kesempurnaan moral (moral perfectionism) (Stark, 1993). Sebagaimana dapat dilihat, banyak sudut pandang yang berbeda berkembang dari banyak praanggapan yang berbeda-beda yang menghasilkan sebuah varietas opini yang lebih luas tentang apa cakupan dari kursus seperti itu (McHugh, 1988, pp. 3-18); dan opini-opini seperti ini meliputi cakupan pilihan yang luas seperti tentang apa sasaran-sasaran dari kursus seperti itu. Artikel ini akan berbicara tentang masalah-masalah fundamental ini.6 Dengan menggarisbawahi keprihatinan tentang mereka yang menantang kursus (kuliah/pelajaran) etika bisnis nampaknya ada sebuah premis yang tidak dinyatakan: jika kita memasukan sebuah kursus etika bisnis dalam kurikulum kita, kita harus mempunyai jaminan bahwa para mahasiswa yang mengambil kursus tersebut akan menjadi para manajer yang lebih baik dan lebih taat hukum (better and more lawabiding managers) (Levin, 1990; Miller and Miller, 1976; Vogel, 1987). Akibat wajar dari premis itu adalah bahwa proponen-proponen dari etika bisnis harus sanggup memberikan dengan bukti yang kuat (baca : data empiris) bahwa sebuah kursus atau ilmu tertentu dalam etika bisnis akan mempunyai efek yang diharapkan dengan menggunakan sebuah model yang mencakupi semua variabel konstan lainnya. Tentu saja, bukti seperti itu tidaklah tersedia; dan juga model-model computer yang paling canggihpun tidak dapat memuat semua isi variabel lainnya kecuali sebuah kursus atau mata kuliah dalam perguruan tinggi melampaui rentangan waktu dari sebuah karir bisnis 40-tahunan. Sebelum kami dapat berbicara secara mendalam apa yang harus dipikirkan dalam kursus etika bisnis, kami harus menanggapi para kolega kami yang memberikan pandangan yang bertentangan dengan kursus itu (Kelly, 2002). Konsekuensinya, bagian pertama dari artikel ini akan memberikan sebuah tanggapan terhadap argumen bahwa kursus-kursus etika bisnis tidak perlu ada dalam kurikulum karena kursus-kursus seperti itu tidak dapat dibuktikan bahwa hal itu dapat meningkatkan motivasi para mahasiswa untuk menjadi para manajer yang lebih taat hukum (Academe Today, 1999; Fraedrich and Ferrell, 1992). Dan bagian kedua dari artikel ini memproses persyaratan dari sebuah freestanding dan sebuah kursus yang

3

luas dalam etika bisnis sebagai bagian dari inti kurikulum (core curricula) MBA dan tingkat sarjana. Perluasan bidang-bidang konsep tradisional itu tercakup dalam etika bisnis yang mencakup disiplin-disiplin yang melampaui filsafat moral dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Pilar-pilar baru ini harus mencakup psikologi moral (Gilligan, 1982), desain dan tingkah laku organisasional (Wines and Hamilton, 2004), teori motivasional (Maslow, 1954) dan tanggapan terhadap otoritas (Blass, 2000), dan secara singkat tentang kewarganegaraan (civics) (McHugh, 1988). Artikel ini mengajukan sebuah Seven Pillars dari pendekatan etika bisnis dengan sebuah penghargaan terhadap kontribusi dari T.E. Lawrence (Lawrence, 1926). Artikel ini meringkaskan tiga (3) pilar tradisional dari etika bisnis.8 Sebuah tinjauan tentang subyek-subyek yang tercakup dalam sebuah sampel dari buku-buku etika bisnis populer yang menegaskan bahwa secara umum mereka berhadapan dengan tiga pilar tradisional ini (Hartman, 1998, p. 1). Bagaimanapun, beberapa topik yang lebih baru muncul dalam jurnal-jurnal ini (Premeux, 2004) dan pada konferensi-konferensi.9 Hanya karena pendidikan itu sendiri tidak dapat bebas nilai (values-neutral) secara utuh, (Sloan, 1980) maka seleksi terhadap topik-topiknya dan penekanannya dalam sejumlah kursus harus mencerminkan sekumpulan nilai dasar dari sebuah perguruan tinggi, departemen dan/atau instruktur.10 Bagaimanapun yang menarik topik seperti itu mungkin, melampaui skope dari artikel ini. Penyatuan sederhana (Dubrow and Wilkinson, 1984) membutuhkan para instruktur untuk berada dalam ikatan dengan nilai-nilai moral yang diyakini bersama. Tanggapan terhadap mengapa mengajarkan etika bisnis? Pertentangan budaya dalam sekolah-sekolah bisnis Dalam sebuah artikel profetis 1987, Mulligan menggambarkan pertentangan dari dua budaya dalam sekolah (mazab) bisnis. Didorong oleh Pierson et al. (1959) dan Gordon dan Howell (1959) yang melaporkan bahwa sekolah-sekolah atau mazab-mazab bisnis yang terus memasukan model-model empiris, matematis, dan

4

ilmiah. Pencapaian dari perjuangan keras empiris dan ilmiah telah mencapai pada mahalnya analisis kualitatif dan humanitas. Dalam transisi itu, dua kultur pembelajaran itu telah masuk dalam pertentangan dan hampir memperlihatkan penyingkiran satu sama lain. Mulligan menulis: Perbedaan yang paling dalam antara dua kultur itu adalah perbedaanperbedaan filosofis, yang menggerakan kultur-kultur itu dalam arah-arah yang bertentangan ke dalam pertentangan dan, pandangan-pandangan yang hampir ekstrim, saling menyingkirkan satu sama lain berhubungan dengan apa yang dilihat sebagai metode untuk peningkatan pengetahuan dan apa yang dianggap sebagai obyek dari studi yang dapat diinvestigasikan (1987, p. 595). Sebagaimana Mulligan tunjukkan kemudian dalam karya pendahuluannya, titik tabrakan antara dua kultur itu muncul pada suatu titik perbedaan waktu antara etika bisnis dan ilmu pengetahuan tingkah laku tradisional (tradisional behavioral sciences). Pada dasarnya, mereka yang mengakui etika yakin bahwa manusia merupakan para aktor otonom yang mampu membuat pilihan-pilihan yang bermakna.11 Di mana hal ini mempunyai pertentangan (disconnect) yang besar yang terjadi antara para ahli etika bisnis dan para koleganya, para ahli ampiris (empiricists). Sebagaimana Mulligan tunjukkan, pengamatan batas air watershed dari David hume, dilakukan tahun 1773, bahwa anda tidak dapat mencapai suatu keharusan moral dari sebuah yang empiris adalah yang tetap kokoh (1987, p. 596). Konsekuensinya, Karl Popper dan sejumlah ilmuwan lainnya, yang melihat keputusan-keputusan moral mengalami kesalahan (lacking falsibiability), yakin keputusan-keputusan moral berada di luar dari kaidah-kaidah atau aturan-aturan untuk penemuan ilmiah. Para ahli tingkah laku (kepribadian), secara umum, melihat manusia sebagai mekanismemekanisme yang dapat dipelajari. Inilah akar dari . apa yang C.P. Snow sebut ketidakpahaman dan ketidaksukaan incomprehension and dislike antara dua kultur (kebiasaan) dalam pendidikan bisnis. Dari perspektif seorang ahli kepribadian/perilaku (behavioral scientist) seperti B.F. Skinner, sebuah tindakan

5

bebas akan melenceng suatu peristiwa tanpa sebab atau, keburukan, sebuah kejadian yang menyebabkan dirinya. Sekarang, hampir dua decade setelah Mulligan memperkenalkan artikelnya, kemenangan dari sekolah ilmiah, matematis dan empiris hampirlah lengkap. Kursuskursus etika bisnis tidaklah mncul dari curricula program-program MBA; dan tingkat kepunahannya tampaknya meningkat terus (Kelly, 2002). Delapan belas tahun yang lalu, hanya 7% dari program MBA mengharuskan kursus-kursus bebas dalam etika bisnis (Paine, 1988, p. 10); sekarang jumlah itu nampak terjadi penurunan bersamaan dengan modul-modul etika bisnis dan pilihan-pilihan dalam etika bisnis. Diane Swanson dari Kansas State University dan William Frederick, emeritus dari University of Pittsburgh, bergabung dalam pemogokan tahun 2002 untuk mendorong suatu Task Force nasional menyangkut Business Ethics Eduaction (Kellu, 2002, p. 4). Apa yang mereka lihat tidak lebih dari suatu penyelidikan komprehensif dalam peran bahwa sekolah-sekolah bisnis dan badan akreditasinya, AACSB, berperan dalam menanamkan pada diri mahasiswa-mahasiswanya sebuah sikap amoral normative yang mengijinkan, mentoleransi, dan pada saat yang sama mendorong tingkah laku yang tidak etis, curang, korup dan illegal oleh para praksioner bisnis. Swanson dan Frederick berusaha untuk membolisasi upaya untuk meprotes bahwa draft baru standar-standar AACSB tidak berubah cukup jauh dalam mendorong kursus-kursus itu dalam etika bisnis. Dalam kenyataannya, draft sandar itu beredar dalam pemogokan tahun 2002 sama sekali tidak menyebabkan adanya sebuah kursus yang spesifk dalam etika. Malah, standar-standar sekarang ini, diadopsi pada tanggal 25 April 2003, yang meneruskan kebijakan AACSB berdasarkan fleksibilitas dari tahun 1990 dan hanya memuat pemahaman etika dan alasan kemampuan sebagai salah satu dari beberapa yang terkenal sebagai pengalaman-pengalaman pembelajaran (learning experiences) yang harus dimasukan pada suatu tempat, di manapun, dalam kurikulum sebelum tingkat sarjana (AACSB, 2003). Dalam pengalaman sang penulis, setiap orang pada fakultas COB bertanggungjawab untuk mengajar etika, etika bisnis tidak diajarkan.12 Pada akhirnya, yang sama pentingnya dengan proponen-proponen itu adalah dasar Task Force dari argument itu mengalami kemacetan. Hal itu juga berperan

6

dalam kekuatan antagonis dari Task Force. Tanggapan untuk argumen seperti itu mungkin akan menjadi tantangan yang baik untuk Task Force untuk membuktikan bahwa sebuah kursus yang dibutuhkan dalam etika bisnis dalam program M.B.A dua tahun menghasilkan seorang manajer yang lebih taat hukum, seorang manajer yang lebih etis. Beban pokok pembuktian itu tidak dapat ditanggung. Tentu saja, hal itu merupakan satu hal untuk menegaskan bahwa sistem nilai yang terpasang secara ortodoks dari kemampuan bisnis (Conry and Nelson, 1989, p. 4) umumnya membantu dan menimbulkan perbuatan yang salah oleh para manajer perusahaan; namun hal itu merupakan masalah yang sungguh berbeda untuk dijadikan sebagai bukti. Bukti membutuhkan model yang ilmiah, empiris; dan secara tidak menggembirakan memindahkan perdebatan kembali ke dalam pengadilan dari para penganut empiristis. Argumen tujuan-tujuan pendidikan yang lebih tinggi Lebih lanjut, dasar dari argument seperti itu secara fundamental cacat karena tidak ada kursus tunggal dalam pendidikan yang lebih tinggi yang didesain untuk menjadi atau diandaikan untuk menjadi life-changing atau sebuah pengalaman pembebasan (redemptive experience)13 Sejumlah upaya untuk membuktikannya meskipun ditentukan dari awalnya mengalami kegagalan. Dasar dari argumen yang mungkin mempunyai kesempatan yang terbaik untuk berhasil merupakan sesuatu yang mendapatkan akar-akarnya dalam tujuan dari pendidikan yang lebih tinggi yang didukung negara di Amerika Serikat (Wines, 2002, pp. 13-14). Pada beberapa paragraph berikut, hakekat dari argument itu akan dibuat secara garis besar. Pertama, sejarah tentang sebuah pendidikan liberal (liberal education) merupakan salah satu yang luas, daripada yang liberal dalam pengertian politis, pendidikan (Cronin, 2004). Pendidikan dulu, dan sekarang didesain untuk (a) melengkapi para siswa untuk menggunakan intelek mereka (belajar seumur hidup) (Bloom, 19870; dan (b) menyiapkan para siswa untuk mengambil peran yang berarti dalam pemerintahan yang partisipatori (participatory government) sebagai anggota yang aktif dan jelas.14 Peran dari pelatihan kerja pada abad ke-19 dilakukan hampir

7

semuanya melalui para magang dengan kekecualian persiapan untuk pelayanan religius.15 Pada awal abad 20, beberapa jenis dari pelatihan kerja telah mendapatkan jalannya di dalam ivy-covered walls dari universitas-universitas yang ada.16 Ilmu pertanian dan peternakan (animal husbandry) merupakan bagian dari paket kesepakatan pemberian tanah (land-grant package deal).17 Hukum mulai menjadi sebuah bagian dari studi ketika Harvard University membuka sebuah sekolah hukum Amerika pertama pada tahun 1817. Sekolah dagang (commerce school) muncul pada tahun 1920-an18 ketika bisnis Amerika sungguh-sungguh merupakan bisnis (the business of America was business.).19 Awalnya, pertanian telah berkembang dalam keluarga petani; para pengacara untuk masa yang akan datang telah bekerja sebagai pramuniaga (clerk) dan pelayan bar (read for the bar); dan orang-orang muda telah mulai dalam bisnisnya sebagai pembawa pesan (messenger boys), pramuniaga, atau membantu dalam perdagangan keluarga. Kadang kala sekitar tahun 1900, universitas-universitas itu memutuskan untuk membantu mengembangkan sebuah agama secular baru dari kemajuan ilmiah (scientific progress) kepada mereka yang berusaha untuk memulai usaha di luar pertanian, bisnis, hukum, dan perdagangan lainnya, - seperti pengobatan, ilmu veterine (kedokteran hewan), dan kedokteran gigi, dan sejumlah nama lainnya. Tujuan dari keseimbangan dan penyediaan fundasi seni liberal dan keterampilan-ketrampilan standar-standar kurikulum profesioanl untuk memunculkan manajer bisnis telah akhir tahun 1990, sepertinya tidak nampak. mengalami kegagalan. Juga pretensi keseimbangn itu, yang AACSB anut pada Vocasionalisme, sering tersamar di bawah mantel kebenaran dari academic rigor , tidak hanya memiliki dasar yang kuat namun sekarang nampak menghapus semua non-adherents. Term rigor kadang kala digunakan sebagai kata kunci (code word) untuk tradisi matematis, ilmiah dan empiris sebagaimana dalam, sejumlah kursus tanpa analisis multi-regression tidak adanya kekuatan akademis yang serius. Dalam kurang dari 50 tahun, keinginan dari sekolah-sekolah perdagangan untuk mempertahankan statusnya pada kampus dengan mengupayakan new rigor dari para ahli behaviorist telah menghasilkan hampir semua monopoli di kalangan para empirist; dan ilmu-ilmu kemanusiaan, selama berabad-abad sebuah bagian yang

8

integral dari pendidikan liberal tradisional, hampir secara keseluruh didorong oleh bagian-bagian Academi bertolak dari aturan-aturan dagang (Hosmer, 1999; Mulligan, 1987; Wines, 2004). Untuk sejumlah alasan, pengeliminasian bagian yang sisa dari Colleges of Business mengalami kemunduran untuk melayani masyarakat Amerika. Pertama, para pemimpin bisnis dalam masyarakat kita sering ditugaskan dengan menjalankan fungsi-fungsi komunitas yang penting, segala sesuatu dari dewan sekolah sampai United Funds sampai dewan-dewan kota (Wines, 2004, p. 16). Kami sedang menggantikan para manajer baru yang terlupa dari persoalan-persoalan dasar yang mempertentangkan masyarakat dan tanpa petunjuk seperti terhadap sejarah, budaya, dan pembelajaran yang diberi petunjuk oleh mereka. Kedua, para mahasiswa bisnis masuk ke universitas dengan tingkat yang paling rendah untuk ketrampilan dan pemahaman tentang moral khususnya dari sejumlah siswa tamatan perguruan tinggi (Conry and Nelson, 1989, pp. 20-22) dan hanya ada mahasiswa-mahasiswa yang mengalami penurunan dalam kemampuan ilmiahnya ketika mereka menyelesaikan studinya (1989, p. 20). Sebagai sebuah bangsa, kami harus menggunakan informasi ini secara serius (Waddock, 2004). Dengan menambahkan suatu kursus yang dibutuhkan dalam etika bisnis secara jelas tidak akan menyelesaikan persoalan itu; Bagaimanapun, penegakan kembali keseimbangan dalam pendidikan tinggi dengan menekankan kembali alasan-alasan mengapa kami mempunyai pendidikan public yang didukung negara mungkin akan lebih baik membantu mengurangi persoalan ini. Para lulusan bisnis, kebanyakan dari mereka yang berjuang untuk memahami hakekat yang sama dari masalah moral atau alasan moral, yang mempunyai probabilitas kecil dari pencapaian solusi moral yang dapat dipertahankan secara moral.20 Para lulusan bisnis yang mempunyai sejumlah latar belakang dalam humanitas dan dalam sejarah peradaban Barat (Western civilization) mempunyai banyak kesempatan yang baik dari pencapaian suatu solusi yang dapat dipertanggungjawabkan. Memasukan sebuah kursus yang dibutuhkan dalam etika bisnis dalam semua program AACSB hanya akan menunjukkan titik awal yang kosong dalam arah yang benar; namun hal itu dapat menjadi sebuah langkah awal yang penting.

9

Mengungkapkan hakekat dari tantangan itu sendiri Pada level yang lain, tantangan untuk menunjukkan bahwa kursus-kursus etika bisnis mengubah para manajer untuk menjadi lebih sensitif dan dipersiapkan dengan baik yang dari dirinya sendiri, merupakan sebuah refleksi dari bias yang sekarang ini menuntun bisnis dan perdagangan orang Amerika (Mitchell and Scott, 1990). Sekolah-sekolah bisnis, tanpa mencoba, mengubah pemahaman Utilitarian yang kaku (Mirchell and Scott, 1986). Tantangan ini merupaakn sebuah basis output dari bentuk pertentangan yang memperlihatkan kepada kita tentang hasil-hasil kursus yang dilakukan. Hal itu sungguh merupakan gagasan utilitarian klasik murni dalam kerangka pikir tersebut (Rachels, 2003, pp. 91-103). Sebuah pertanyaan yang mengungkapkan pendekatan kesadaran lelaki kulit putih (white-male consciousness approach) begitu baik didefinisikan dan digambarkan oleh Ann Wilson Schaef (1981, pp. 108-114). Hal itu mencerminkan sebuah realitas bahwa bisnis merupakan praktek yang didominasi lelaki kulit putih (white-male dominated practice)21 yang mengharuskan para wanita, orang-orang kulit hitam, dan lainnya untuk menyesuaikan diri dengan format itu jika mereka ingin berhasil. Hal itu tidak mempunyai nilai baik terhadap proses maupun perbedaan. Mengapa banyak perempuan tidak menjadi CEO dalam dua decade yang lalu atau mengapa para professor bisnis wanita begitu jarang dalam fakultas-fakultas AACSB?22 Beberapa dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu juga tercermin dalam tantangantantangan yang mempertentangkan pencapaian seseorang berdasarkan kursus etika bisnis. Pada sebuah less Olympian level, kesalahan utama dari utilitarianisme klasik itu adalah bahwa hal itu bukan merupakan sebuah konsep keadilan yang tidak memadai (Rachels, 2003, p. 106). Dengan demikian, hal itu nampak bahwa kursuskurus etika bisnis merupakan subyek terhadap tantangan-tantangan bahwa kursuskursus lainnya tidak dihadapi. Sebuah level memainkan bidang yang dibutuhkan, misalnya, bahwa fakultas manajemen membuktikan para mahasiswanya akan menjadi para manajer jangka panjang yang lebih baik daripada mereka yang tanpa dibekali dengan sebuah kursus manajemen; sama halnya, sebelum kami menyetujui sebuah kursus komposisi bahasa Inggris, memperlihatkan kepada kami bahwa para

1

mahasiswa bahasa Inggris akan menjadi para komunikator tertulis yang lebih baik daripada mereka yang tidak dibekali dengan kursus itu. Tantangan-tantangan yang tidak mungkin seperti itu nampaknya disingkirkan secara eksklusif untuk kursuskursus etika bisnis dan muncul dari sebuah animositas yang nampaknya didasarkan pada xenophobia tertentu. Barangkali, hal ini mencerminkan karya klasik yang memperlihatkan pendidikan tinggi bisnis mulai dengan para mahasiswa yang berada sekurangkurangnya lebih maju dalam kemampuan pertimbangan moralnya dan kemudian menghasilkan versi-versi yang kerdil untuk tamatan-tamatan itu (Conry and Nelson, 1989, pp. 20-220). Pertanyaan-pertanyaan tentang pendidikan, kualitas hidup, kemampuan untuk berpikir tentang pilihan-pilihan nilai yang sulit, dan fair play yang nampaknya tidak menggambarkan secara menonjol dalam pemikiran tentang scholar-warriors yang mempertahankan menara perdagangan dari mereka yang menanamkan para mahasiswa bisnis itu dengan keingintahuan moral (Hosmer, 1999; Mulligan, 1987; Wines, 2004). Konsep-konsep Daasr dalam Etika Bisnis Moral atau etika: Soal kosa kata Meskipun term moral dan etika digunakan secara bergantian dalam percakapan sehari-hari, kami mengamati bahwa sejumlah distingsi dalam penggunaannya dalam paper ini yang kami yakin dapat sangat membantu (Wines, 2006, p. 47). Term moral menunjukkan kumpulan dari prinsip-prinsip moral prima facie (yaitu, yang dapat diperdebatkan daripada yang mutlak) kaidah-kaidah yang setiap orang miliki untuk menggunakan nilai-nilai yang dianut. Sebuah code moral secara individual adalah, dengan demikian, sekumpulan prinsip moral yang menuntun dirinya atau tindakannya; kita semua memiliki code seperti itu kendatipun beberapa dari kami mengalami kesulitan untuk mengartikulasinya. Orang-orang yang lainnya lagi mungkin mengartikulasikan satu set dan hidup oleh yang lain. Untuk tujuan kita, sebuah kode moral individual yang sesungguhnya adalah sesuatu yang mendorong pilihan hidupnya baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Etika

1

merujuk pada aktivitas yang lebih abstrak dan lebih tinggi daripada aplikasi langsung dari moral-moral personal terhadap pilihan-pilihan perilaku. Untuk tujuan kita di sini, etika merupakan aplikasi kognitif, analitis, sistematis dan reflektif dari prinsip-prinsip moral untuk situasi-situasi yang kompleks, bertentangan atau tidak jelas. Maka, etika bisnis, bukan merupakan sebuah kursus tentang kejahatan kerah-putih (white-collar crime). Sokrates mengatakan bahwa ketika mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang moralitas, Kita sedang berdiskusi bukan masalah-masalah kecil, namun bagaimana kita harus hidup. (Rachels, 2003, p. 1). Sebuah kursus yang komprehensif dan tegas dalam etika bisnis tidak hanya menunjukkan pada filsafat moral, dilema-dilema etis, dan tanggung jawab sosial perusahaan pilar-pilar tradisional dari disiplin ini23 namun juga sejumlah bidang lainnya yang penting untuk memahami pengertian yang sedang berlangsung dalam dunia bisnis. James Rest dari University of Minnesota telah mengidentifikasikan empat langkah dalam pembuatan keputusan moral: (a) sensitivitas moral, (b) keputusan moral, (c) keinginan/kehendak moral, dan (d) tindakan moral (Rest et al. 1986). Selama tahun-tahun itu tahap pertama, sensitivitas moral telah memperlihatkan banyak kesulitan untuk banyak orang dalam bisnis. Ada sebuah kesalahpahaman atau miskonsepsi umum bahwa bagaimanapun juga apa yang orang lakukan pada tempat kerja dan kesehatan dari kesadaran moralnya tidak berhubungan (Wines, 1999, pp. 34). Beberapa orang menganggap bahwa keputusan-keputusan dalam dunia ekonomi adalah bebas nilai (value-free); dan bahwa karena hukum-hukum pasar mendikte tingkah laku, para pembuat keputusan tidak dapat melakukan tanggung jawab secara moral. Hal ini merupakan posisi yang tidak dapat dipertahankan (Hosmer, 1987, pp. 33-54), hal itu mendukung penyalagunaan kekuasaan ekonomis; dan hal itu secara tidak langsung mengarahkan pada regulasi bisnis dari negara dan federal. Posisi seperti itu merupakan institusionalisasi dari non-responsibility. (E.F. Schumacher sebagaimana dikutip dalam Solomon and Hanson, 1983, p. 209). Leve-level Etika Bisnis Banyak perhatian diberikan baik dalam ruang kelas maupun dalam literature terhadap masalah-masalah pembuatan keputusan moral yang dihadapi oleh sang

1

individu (Shaw and Barry, 1998). Hal ini tentunya merupakan sebuah level penting dari pembuatan keputusan, namun hal itu hanya merupakan tiga level bahwa sebuah kursus dalam etika bisnis harus menunjukkan: (1) sang individu; (2) level organisasional; dan (3) level societal/komunitas dari pembuatan keputusan (Solomon and Hanson, 1985, p.55). Struktur dan dinamika-dinamika organisasional kadang kala menciptakan sebuah kultur perusahaan yang menekan para individu untuk mengabaikan gagasangagasan tradisionalnya tentang tanggung jawab moral. Survey-survey para manajer bisnis menunjukkan bahwa mereka merasa dipaksa oleh dinamika-dinamika organisasional dan tekanan-tekanan para rekan sejawat pada tempat kerja untuk sesuai dengan nilai-nilainya; 70% dari sebuah sampel 6000 manajer dan para eksekutif merasa tekanan untuk marasa aman dan sesuai dengan nilai-nilai personal (Wartzman, 1987). Rick Wartzman menegaskan, setelah meninjau 10 penelitian atau studi akademis tentang kultur organisasi dan codes of conduct, juga orang-orang yang paling jujur/tulus adalah tepat/cocok untuk menjadi tidak jujur dan tidak menghiraukan tanggung jawab-tanggung jawabnya sebagai warga negara ketika ditempatkan dalam sebuah lingkungan perusahaan yang khas. (Wartzman, 1987, p. 27). Siapapun berusaha untuk membangun organisasi-organisasi yang lebih baik harus meninjau studi-studi klasik tentang otoritas dan tentang kekuasaan dari ekspetasi-ekspektasi peran seprti salah satunya Stanley Milgram (1965, 1967) pada Yale University dan Philip Zimbardo berdasarkan pengalaman penjara Stanford University yang terkenal itu (Haney et al., 1973). Level ketiga dan terakhir dari analisis sosial diperlukan jika kita memutuskan bahwa kultur perusahaan kita harus bersifat responsive terhadap kebutuhankebutuhan dan kepedulian-kepedulian sosial (Bowie and Duska, 1990, pp. 111-117). Agar memiliki tongkat penunjuk untuk membantu kita memutuskan kapan menolak tuntutan-tuntutan masyarakat, kita harus memiliki sejumlah konsep tentang apa itu sebuah masyarakat yang nampak adil dan berbelaskasih (Rawls, 1971, p. 3). Sejumlah analisis dari konsep ini harus membawa kita melampaui skope dari artikel ini; namun level analisis etis ini adalah penting dan disebutkan di sini untuk memberikan sebuah perspeksif yang lengkap tentang apa yang sedang saya usulkan.

1

Gridlock mental: stimulus untuk pertumbuhan Elenchus dalam kata Yunani untuk gridlock mental yang Socrates hasilkan dalam mereka yang berdialog dengan dirinya.24 Psikologi moral modern telah menemukan bahwa, sesungguhnya, Socrates benar tentang distress atau iritasi yang merangsang pertumbuhan moral; bagaimanapun, sekarang kita perlu berterima kasih kepada Lawrence Kohlberg dan James Rest, kita dapat mengukur hal itu. Dalam mata kuliah etika bisnis, para mahasiswa didorong oleh dilema-dilema situasional untuk memeriksa sejumlah sudut pandang otomatis atau yang tidak dapat diperiksa.25 Beberapa dari sudut pandang ini telah menjadi begitu refleksif (bukan-kognitif) dimana pandangan-pandangan itu dihasilkan oleh prinsip-prinsip moral yang telah menjadi sikap atau idologis atau kebiasaan (Wines and Napier, 1992, pp. 832-834). Dengan menggunakan persoalan-persoalan hipotesis yang dengan sengaja digambarkan dengan ambiguitas-ambiguitas yang sudah terbentuk telah mendorong para siswa untuk mengorek-ngorek nilai-nilainya yang sudah terkubur dan asumsiasumsi refleksif tentang manusia dan memeriksanya dalam terang matahari kognisi dan diskusi kelas. Pilar-pilar Tradisional dari Etika Bisnis Filsafat moral sebagai unit utama/dasar Karena etika bisnis dipahami secara universal sebagai sebuah kursus dalam etika terapan, yaitu, filsafat moral dalam konteks keberadaan kehidupan dalam bisnis dan perdagangan, untuk pertama klainya dalam sebuah kursus tentang etika bisnis hampir selalu menjadi sebuah ringkasan dari sekolah-sekolah etika normatif. Pada tahun 1970-an, etika bisnis belum menjadi umum atau biasa untuk sekolah-sekolah etika yang tersebar secara sederhana dalam consequential (seperti utilitarianisme) dan non-consequential (seperti dalam etika Kantian) (Barru, 19790. Beberapanya tetap menganut etika Aristoteles tentang yang ada (being); namun kemudian, secara umum, Aristoteles telah menemukan kembali turunannya termasuk dalam sebagian besar dari karya Bertrand Russel26 dan yang lainnya yang berada pada permulaan abad ke-20 sudah menghilangkan kontribusi Aristoteles.

1

Tiga puluh tahun kemudian, Aristoteles sudah direhabilitasi dan etikanya tentang yang ada (being) sekarang dimasukan dalam buku-buku etika bisnis (Halbert and Ingulli, 2000, p. 29). Dengan baik sekali, hal ini juga membuka jalan untuk inklusi dari etika feminis (feminist ethics) atau etika perawatan berdasarkan pada karya Carol Gilligan dalam Psikologi Perkembangan (Gilligan, 1982; Noddings, 1984). Sejumlah sarjana terkenal berpendapat bahwa Etika Perawatan (ethics of care) sesungguhnya merupakan bagian dari etika kebajikannya (virtue ethics) Aristoteles, atau barangkali yang lebih bertahan, hanyalah contoh lain dari etika ontologis (RAchels, 2003, pp. 160-172). Tanggung jawab sosial perusahaan Kendati Nobel Laureate Milton Friedman dan tentunya para ahli ekonomi lainnya serta para komentator konservatif yakin pasar akan memecahkan secara bijak semua persoalan dan bahwa bisnis tidak memerlukan sebuah kesadaran sosial (social conscience) (Friedman, 1970), etika bisnis aliran utama yang termasuk dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) [yang sekarang disebut CSR] sebagai sebuah bidang mandatory dari studi itu sejak akhir tahun 1960-an (Rue and Byars, 1986, pp. 61-62). Salah satu dari alasan-alasannya untuk hal ini adalah bahwa CSR dilihat oleh banyak orang sebagai sebuah alternatif penting untuk lebih banyak regulasi bisnis oleh pemerintah negara dan pemerintah federal. Hampir semua pengamat, baik liberal moderat atau konservatif, mengetahui bahwa regulasi tidak terikat secara efisien (Stone, 1975) dan aksi-aksi sebagai halangan untuk bisnis Amerika yang bersaing seefektif mungkin dalam pertumbuhan ekonomi global yang cepat. Munculnya dilema-dilema etis eksperiensial Selama lebih dari dua decade, banyak instruktur etika bisnis telah mengajar dasardasar filsafat moral dan kemudian menggunakan situasi-situasi dilema etika untuk mendorong para mahasiswa bisnis untuk mengungkapkan sejumlah pandangan ottomatisnya dalam bidang-bidang manajemen bisnis.27 Hal ini dapat dilakukan dalam sebuah kursus etika upper-division dalam mana para mahasiswa pertamatama berkenalan secara keseluruhan dengan mazab-mazab utama dari filsafat moral.

1

Karena meningkatnya dunia perdagangan global, upaya ini secara sering dilakukan dari perspektif etika lintas-budaya (cross-cultural ethics), kendatipun tidak selalu dalam situasi-situasi multi-nasional (Greider, 1997). Etika lintas budaya dapat dihadapi pada hampir semua kota di seluruh USA. Studi-studi telah meperlihatkan bahwa intervensi-intervensi dengan menggunakan dilema-dilema etis dapat menstimulasi level-level pertimbangan moral dalam para mahasiswa bisnis (Conry and Nelson, 1989). Pilar-pilar baru Etika Bisnis Psikologi moral dan skala Kohlberg Psikologi moral merupakan sebuah disiplin yang relative baru, dan, untuk hampir semua fakultas bisnis, dianggap merupakan sebuah disiplin yang belum familiar. Jean Piaget meletakan sebuah dasar yang di atasnya Lawrence Kohlberg membangun struktur utamanya: sebuah teori tentang perkembangan moral yang memiliki tiga level dan enam tahapan (1984). Kohlberg mengembangkan sebuah 8hour interview yang dapat digunakan untuk menentukan sebuah tahap utama dari subyek itu. James Rest mengembangkan pengujian ini untuk sebuah 2-hour pencil and paper test yang terstandar yang memungkinkan ujian berskala besar dan memfasilitasi penelitian yang lebih besar (1986). Dengan menggunakan kelompokkelompok eksperimental dan kelompok-kelompok kontrol, penelitian dalam kelompok perguruan tinggi telah menunjukkan bahwa teknik-teknik intervensi dapat secara berhasil menstimulasi sebuah tingkat pengembangan moral yang terusmenerus. Bisnis AS umumnya dilihat ada perkembangan yang sedikit menuju pengeliminasian sebab-sebab dari meltdown legal dan etika. Dengan melihat bencana-bencana seperti yang terjadi pada Arthur Andeson, Enron, Tyco, Global Crossing, dan World Com (Wines and Hamilton, 2004, pp. 50-52). Beberapa dari meltdowns etis dan legal ini merupakan peringatan terhadap insiden-insiden awal seperti Equity Funding pada tahun 1970-an.28 Mereka belum siap untuk menyandarkan dirinya pada pendekatan-pendekatan yang simplistis atau yang reduktif seperti hanya mengikuti golden rule dan bisnis anda tidak pernah akan

1

mengalami persoalan. Dalam Equit Funding, misalnya, lebih dari seratus orang mengetahui bahwa perusahaan telah menciptakan kebijakan-kebijakan ansuransi dengan cara yang curang untuk menjual kepada re-insurers dan, kemudian, tidak seorangpun mengatakan sesuatu sampai seorang pekerja mengeluarkan tiupan peringatan (blew the whistle). Semua orang ini tidak dapat menjadi orang jahat atau buruk. Bagaimana hal itu dapat dijelaskan? Kultur Perusahaan dan dampak desain organisasional Kasus klasik, tentang organisai yang kaku dan hirarkis yang menghasilkan bencana-bencana adalah kasus yang menimpah NASA, the National Aerolnautical & Space Administration.29

Juga setelah terjadi kecelakaan Challenger, kultur

perusahaan pada NASA tetaplah kaku dan kurang mendukung komunikasi di antara level-level administrasi (Langewiesche, 2003). Salah satu dari akibat-akibatnya adalah hilangnya the Space Shuttle Columbia pada bulan Februari 2003. Ada studistudi yang berkenaan dengan dorongan yang kuat terhadap organisasi-organisasi yang kaku dan hirarkis yang lebih cenderung kepada meltdown legal dan etis daripada struktur-struktur organisasi yang kurang kaku, dan lentur dengan pola-pola komunikasi yang lebih terbuka (Wines and Hamilton, 2004). Singkatnya, orangorang baik akan melakukan hal-hal buruk jika mereka ditempatkan dalam lingkungan dimana orang melakukan apa saja yang mengancam kehidupannya dan kemampuannya untuk membuat dirinya tergantung. Hal ini tidak mencemarkan konsep-konsep tentang manajer sebagai pembuat keputusan moral atau perusahaan sebagai sebuah lembaga moral sosial. Bagaimanapun, hal itu merupakan sebuah argumen dengan pendekatan yang terbatas tidak memadai diberikan pada level pengetahuan tentang bagaimana mendesain sebuah organisasi yang lebih responsif dan lebih bermoral. Studi-studi dalam ketaatan kepada otoritas dan motivasi kerja Stanley Milgram melakukan studi-studi awal pada Yale University pada awal tahun 1960-an (1963, 1965). Namun Phillip Zimbardo di Stanford mengambil karya Migram untuk level-level baru dengan Stanford Prison Experimentnya pada tahun 1970-an (Zimbardo et al., 2000, pp. 193-194). Lebih dari 20 tahun yang lalu, kita

1

menonton sebuah perjuangan NEA lokal dengan sebuah Board of Education yang anti-guru dalam sebuah kota kecil di Midwest. Sang pengacara persekutuan dan organizer lokal dari NEA memutuskan untuk melakukan sesuatu yang menjadi milik mereka bagi dewan itu dalam satu tahun pemilihan tanpa tawar menawar. Mereka kembali kepada seorang professor universitas yang menikah dengan salah satu dari para aktivis perserikatan itu. Harapan mereka adalah bahwa dengan mendapatkan seorang pendidik pada dewan itu yang meskipun bertentangan mereka dapat, sekurang-kurangnya, mendapatkan seseorang yang mengerti dan sipantik dengan posisi mereka dalam dewan sekolah itu. Dengan ini mereka mengharapkan dapat memperbaiki kesempatan mereka untuk bernegosiasi demi mendapatkan kesepakatan yang lebih baik tanpa suatu pemogokan. Ini merupakan taktik pemicu pada mereka. Dengan segera sang professor bertindak dan berbicara seperti anggota dewan yang sudah dipilih lainnya dan berusaha untuk mempengaruhi anggota dewan yang lainnya dengan kepeduliannya terhadap pembayar pajak dollar. Dalam satu tahun, sang professor diplih menjadi Presiden dari Dewan itu. Tahun itu, kota itu mengalami pemogokan para guru untuk pertama kalinya dalam sejarah. Keluarga sang professor itu terkoyak; sebuah jalur terbentang di tengah-tengah yang memisahkan manajemen dan pekerja. Kota itu terbelah. Goresan luka sosial tetap tergores dalam kesatuan guru selama dua decade terakhir. Apa yang terjadi? Sang professor universitas itu telah menjadi salah satu dari mereka. Ia tidak selamanya memainkan peran itu; peran itu sedang mempermainkan dirinya.30 Kekuatan dari sebuah situasi yang ditunjukkan dengan semangat dalam pengalaman dialami Zimbardos yang terkenal pada Stanford Prison. Pada tahun 1972, Profesor Zimbardo dan dua Asistennya, Banks dan Haney, melakukan sebuah eksperimen dalam Psychology Building di Tanford University. Sebuah kelompok yang terdiri dari 24 sukarelawan universitas, semuanya laki-laki kulit putih, dipilih untuk sebuah eksperimen. Mereka di-screen untuk kesehatan dan stabilitas mental. Kemudian, peran narapidana dan penjaga (sipir) ditentukan dengan memutar sebuah koin. Percobaan itu dilakukan selama dua minggu; namun hal itu hanya berlangsung setelah 6 hari karena situasinya sudah begitu jelasnya.

1

Para penjaga (sipir/opsir) menjadi sadistis dan agresif, dan sekurangkurangnya dalam satu kasus, melakukan kekerasan kepada para narapidana. Para narapidana mulai bertindak seperti first-timers dalam penjara-penjara yang riil dan mengalami kehilangan identitas personal dan memperlihatkan tanda-tanda pasivitas, ketergantungan, depresi, dan tidak berdaya. Dalam kurang gari 36-jam, salah satu dari para narapidana itu memperlihatkan tanda-tanda gangguan psikosomatis yang berat dan harus segera dilepaskan. Empat narapidana lainnya yang memperlihatkan tanda-tanda gangguan-gangguan psikologis yang berat juga dilepaskan. Para penjaga atau sipir menyenangi perbuatan yang menunjukkan kekuasaan dan secara sukarela melakuan tugas ekstra tanpa bayaran tambahan. Ketika eksperimen itu dihentikan lebih awal, para penjaga itu kecewa, sementara para narapidana yang sisa merasa gembira (Brady and Logsdon, 1988). Pada tahun 1972, Profesor Zimbardo menjelaskan pengamatannya itu dan mengapa eksperimen itu harus dihentikan dengan pernyataan berikut ini ; Hanya pada akhir dari enam hari kami harus menutup penjara hinaan itu karena apa yang kami lihat adalah menakutkan. Hal itu tidak selamanya nampak pada hampir semua subyek (atau kepada kami) dimana realitas berakhir dan peran-perannya mulai. Mayoritas sudah sungguh menjadi para napi yang sesungguhnya atau sipir yang sesungguhnya, tidak sanggup untuk memisahkan antara permainan-peran dan diri sendiri. Ada perubahanperubahan yang sungguh dramatis dalam setiap aspek dari tingkah laku, cara pikir dan perasaannya. Dalam kurang dari satu minggu pengalaman hukuman penjara tidak melakukan (secara temporer) suatu masa hidup untuk pembelajaran, nilai-nilai manusiawi dicurigai, konsep-konsep diri ditantang dan yang paling buruk, paling mendasar, sisi patologis dari sifat dasar manusiawi muncul ke permukaan (Zimbardo, 1972, p. 5). Jika kita dapat mengatur perubahan-perubahan tingkah laku utama dalam diri para volunteer yang telah digaji dengan sangat murah dan melakukan peran dalam sebuah penjara, bayangkan apakah mungkin dalam situasi yang riil dimana kehidupan seseorang dan kesejahteraan ekonomis dari diri dan keluarganya dipertaruhkan.

1

Imperatif-imperatif situasional seperti itu mendorong skenario-skenario seperti Equity Funding, desain tangki gas Ford Motor Companys Pinto (Shaw and Barry, 1998, pp. 78-80), Arthur Anderson yang menyobek dokumen-dokumen Enron (Newsday, 2002), Rely Tampon (Sturdivant and Vernon-Wortzel, 1990), bencana Challenger (Shaw, 1999, p. 34), dan sejumlah lainnya (Jennings, 1996). Orang-orang baik akan melakukan hal-hal buruk jika kita membuat mereka terpenjara dalam kotak seperti Penjara Stanford. Alternatifnya adalah perlu adanya sebuah lingkungan yang terbuka yang mendukung kebebasan berpikir dan bebas untuk bertanya dan menjawab. Singkatnya, kita harus mendesain organisasi-organisasi lebih sebagai pertemuan-pertemuan kota dan tidak sebagai grafik-grafik organisasional yang hirarkis yang diperoleh dari model-model militer. Sebuah pertanyaan yang baik yang diajukan kepada para mahasiswa bisnis adalah bagaimana kita membuat organisasi-organisasi itu tidak seperti penjara? Dua penulis mengusulkan sejak awal tahun 1988 bahwa psikologi sosial dan perilaku organisasional merupakan bidang-bidang yang sudah diabaikan dan perlu dimasukan kembali dalam kursus etika bisnis: Tidak adanya referensi dari eksperimen Zimbardo dalam materi-materi pengajaran sungguh sangat mengejutkan karena hal itu tidak secara umum dikutip dalam artikel-artikel dari jurnal-jurnal utama yang mempublikasikan tentang bidang-bidang etika bisnis. Tentu saja, para sarjana etika bisnis telah mengabaikan penelitian dalam bidang psikologi sosial dan tingkah laku organisasional juga ketika hal itu berhubungan secara signifikan dengan pembuatan keputusan individual. Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh dominasi tradisional dari para filsuf dan para akademisi lainnya dengan pelatihan manajemen yang kurang dan eksposur yang kurang terhadap metodologi eksperimental untuk penelitian etika bisnis (Brady and Logsdon, 1988, p. 708). Studi-studi motivasional menjelaskan bahwa rational utility maximizer dari Adam Smith bukan merupakan tipe pekerja dari abad ke-21 di Amerika Serikat. Bayaran bukan merupakan sebuah motivator yang tinggi, juga di kalangan para karyawan

2

bergengsi (blue-collar employee) (Rue and Byars, 1986, pp. 355-365). Sebagaimana Herzberg mengemukakan teori bahwa bayaran merupakan sebuah faktor hygiene, bukan sebuah faktor pendorong (motivator) (Herzberg, 1959 sebagaimana dikutib dalam Rue and Byars, 1986, p. 361). Penemuan ini kontradiksi dengan teori ekonomi neo-klasik menyangkut pandangan bahwa para pekerja dilihat sebagai aktor-aktor ekonomis rasional yang sempurna. Salah seorang administrator perguruan tinggi, sebuah ideologi dari teori ekonomi neo-klasik, tidak dapat mengerti mengapa memberikan bonus $500,00 untuk masing-masing publikasi yang berperan sebagai pengawas tidak hanya gagal untuk menginspirasi para anggota fakultasnya namun juga dianggap sebagai sebuah penghinaan. Teori motivasi mungkin telah memperjelas itu. Bagaimana intearkasi antara masyarakat, bisnis dan hukum Kursus yang menyentuh peristiwa-peristiwa yang berlangsung sekarang sama teraturnya dengan Etika Bisnis tidak dapat membantu namun diperkaya oleh penambahan ilustasi-ilustrasi dari topik-topik yang ada sekarang ini. Ada begitu banyak untuk memilih dari seorang instruktur yang sanggup memperkaya sillabus ini dengan potpourri stimulasi intelektual dari ilustrasi-ilustrasi dan dilema-dilema yang sekarang ini. Bahan yang bisa diambil untuk ulasan-ulasan itu mungkin mencakup, diantaranya: privasi di tempat kerja; hak-hak sipil dan tindakan afirmatif; CEO pay issues; gambaran kebijakan-kebijakan terhadap obat bius; masalah-masalah lingkungan; penggunaan mekanisme pasar untuk menyebarkan perawatan kesehatan; monopoli-monopoli perusahaan dalam media-media baru; pengiriman pekerja ke pedalaman; dan kebijakan-kebijakan pemerintah tentang penutupan perusahaan. Bagaimanapun pilar ketujuh itu bukan merupakan peristiwa yang sedang hangat sekarang ini namun malah merupakan suatu panduan pragmatis dari subyek atau pokok bahasan yang membantu siswa yang masih baru untuk memahami perkembangan humanitas modern dalam hidup bersama dan kultur penempaan bersama yang mencoba mendukung standar-standar progresif dan mencerahkan kehidupan. Dalam arti tertentu, pilar ini membentuk karya McHugh yang di dalamnya ia mendaftarkan sosiologi, teori politis, psikologi, sejarah, ekonomi, studistudi manajemen, studi-studi kebijakan, dan hukum sebagai disiplin-disiplin yang

2

berhubungan dengan etika bisnis. Tujuh pilar itu meliputi pengintegrasian hukum, teori sosio-politik, dan kebijakan public dalam cara yang menggambarkan evolusi humanitas modern, ekonomi dan kemasyarakatan. Pada hampir semua masyarakat barat dan khususnya di USA, bisnis mempunyai suatu ungkapan penting dalam desain dari lingkungan regulatorinya. Reduksi pragmatis ini adalah penting untuk mencakupi kursus yang layak itu dalam satu semeseter/seperempat semester. Dengan bergerak melampaui apa yang McHugh ajukan dalam tahun 1988, proposal ini mengajukan penekanan-penekanan baru dan fokus-fokus esensial yang penting untuk mempersiapkan mahasiswa secara serius dengan pemahaman tentang meltdown legal dan etika dalam bisnis sejak tahun 1988. Aspek dari kursus etika bisnis ini harus menelusuri hukum yang bukan saja sebagai basis untuk penstukturan masyarakat namun juga menelusuri cara-cara dimana bisnis dan organisasi bisnis yang bersatu, seperti National Association of Manufactures dan U.S Chamber of Comerce, mempengaruhi hukum dan aturanaturan legal (Crene and Matten, 2004). Pada level ketiga dari etika bisnis, adalah signifikansi untuk entitas-entitas bisnis untuk mengapresiasi evolusi norma-norma masyarakat dan perubahan harapan-harapan masyarakat terhadap bisnis. Satu contoh yang harus membantu pilar baru ini adalah kasus Enron dan bagaimana hal itu membantu membentuk pemanfaatan regulasi yang secara langsung dan tidak langsung menguntungkan sembari beroperasi melalui kekuasaan politis berdasarkan mandate masyarakat yang kelihatan untuk de-regulasi itu (Kaiser, dalam Kubasek et al., 2003, pp. E1-E8). Kesimpulan Wartawan Walter Lippmann mengatakan, Apa yang memampukan kaum lelaki untuk mengetahui lebih banyak daripada para leluhurnya adalah bahwa mereka mulai dengan suatu pengetahuan tentang apa yang para leluhurnya telah pelajari. Sebuah masyarakat dapat menjadi progresif hanya jika masyarakat itu melanggengkan tradisi-tradisinya.31 Dalam arti tertentu, kita menghadapi dilema yang sama dengan apa yang dihadapi oleh para pendidik orang Amerika pada tahuntahun awal dari Revolusi Industri. Seperti mereka, kita harus menemukan sebuah

2

cara untuk membantu pembentukan masyarakat yang lebih luas dan untuk menyiapkan sasaran-sasaran dan nilai-nilai nasional yang mumum. (Sloan, 1980). Para mahasiswa bisnis secara sering diindoktrinasi ke dalam sebuah pendekatan etika utilitarian (berbasis hasil) dan juga ke dalam posisi kegagalan umum dari pasar yang akan memeliharanya (Wedenbaum, 1990, p. 21). Konsekuensinya, mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi pilihanpilihan moral yang kompleks. Saya merekomendasikan bahwa kuliah etika bisnis diperluas dalam ruang lingkup itu untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa untuk menghadapi kompleksitas yang penuh dari kehidupan yang benar dalam bisnis. Karya Edward Conry tahun 1989 menunjukkan bahwa intervensi-intervensi menggunakan dilema-dilema moral telah sungguh memberi dorongan pengembangan moral yang sudah menjadi sebuah yang klasik (Piper et al., 1993). Sekarang kami mengetahui bahwa pengkondisian dalam kenyamanan kelas akan membantu para mahasiswa membuat keputusan-keputusan yang lebih baik under fire pada pekerjaan itu. Juga, upaya yang substansial mungkin penting untuk membuat keseimbangan dari perspektif-perspektif berbasis pasar yang sungguh dianjurkan dalam kursus bisnis lainnya. Kursus (pelajaran) etika bisnis di Miami University merupakan sebuah kursus utama (capstone course) untuk para senior dimana fokusnya adalah tentang sang manajer sebagai seorang pembuat keputusan etis dan tentang perusahaan sebagai sebuah agen sosial. (Miami Bulletin, 2002, p. 236). Sebuah capstone course harus menekankan sharing gagasan, sintesis, dan kritis, refleksi yang mendalam sebagai pelopor yang signifikan untuk tindakan Ini merupakan sebuah model yang baik dari kursus yang multidisipliner dan komprehensif yang saya anjurkan untuk mengadopsinya secara luas. Sekurang-kurangnya kursus etika bisnis harus didesain untuk membantu menghasilkan tamatan perguruan tinggi yang tidak melakukan kesalahan intelektual dari pemikiran satu dimensional32 dan orang yang dapat mengapresiasi peran yang penting dan berdaya guna dari bisnis pada masyarakat Amerika dan di seluruh bumi ini: Ekonomi merupakan institusi dominant dalam masyarakat modern dan perusahaan besar yang sudah menjadi institusi definitif dari kultur Barat

2

modern. Perusahaan yang besar mendominasi dunia moden ini dalam banyak cara yang sama seperti yang dilakukan oleh gereja dan universitas pada abad pertengahan. (Parks, dalam Piper et al., 1993, p. 16). Sebuah tradisi abad ke-19 adalah mengharuskan prseiden (baca: rector/pimpinan) universitas untuk mengajar senior capstone course dalam etika.33 Secara progresif, saya mengajukan agar menghidupkan praktek seperti itu, kendati presiden universitas tidak mengajar kursus itu, dalam arti yang paling tepat dari kata itu, dan mungkin, sebuah perubahan kurikulum yang perlu didukung oleh masyarakat kita. Penghargaan

2