Seri Kajian Capital

download Seri Kajian Capital

of 23

Transcript of Seri Kajian Capital

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    1/23

    Kajian CAPITAL 1

    PENGANTAROleh Coen Husain Pontoh

    Das Kapital, demikian tulis Friedrich Engels dalam Capital edisi bahasa Inggris, di benua Eropa, sering disebutsebagai the Bible of the working-class.

    Ironisnya, membaca mahakarya ini sungguh tidak mudah. Dan sepertinya ini disadari benar oleh Marx, sehingga iamengatakan, Every beginning is difficult, holds in all science, (Marx, 1974:18). Ilmuwan politik Harry Cleaver,menulis, kesulitan membaca Capital, khususnya, bab pertama, bukan karena kompleksitasnya, tapi justru karenaMarx melakukan banyak penyederhanaan di sana (Cleaver, 2000:77). Lenin juga merasakan kesulitan itu, sehinggaia mengatakan, adalah mustahil untuk memahami secara utuh karya Marx tentang Capital, khususnya babpertama, tanpa melakukan studi dan pemahaman mendalam atas karya Hegel tentang Logic secara keseluruhan.Konsekuensinya, demikian Lenin, dalam setengah abad terakhir (di masa Lenin hidup), tak ada seorang punMarxis yang memahami Marx, (Marx, 1993:60).

    Menurut Martin Nicolaus --penerjemah karya Marx yang mendahului Capital, Grundrisse-- pernyataan Leninmengenai kesulitan membaca Capitalitu, karena saat itu Grundrisse belum diterbitkan. Grundrisse sendiri lebihbanyak berbicara tentang metode, sedangkan Capitallebih menekankan pada hal yang lebih konkret, denganpemaparan yang lebih materialis-dialektik. Maka, menurut Nicolaus, dengan meminjam aforisme Lenin, untuk bisamemahami Capital yang tebalnya 4.000 halaman itu secara menyeluruh, kita pertama-tama mesti memahami dulu

    800 halaman Grundrisse dan 1.000 halaman Logic. Membaca Grundrisse dengan baik adalah cara terbaik untukmemahami Logic, dan selanjutnya untuk membaca Capital. Atau dengan kata lain, akan sangat sulit untuk bisamemahami relevansi keberadaan Logic bagi Capital tanpa pertama-tama, membaca secara menyeluruh Grundrisse(Marx, 1993:ibid). Padahal, membaca Grundrisse sendiri bukan pekerjaan mudah, apalagi membaca Logic-nyaHegel.

    Kesulitan kedua, Marx dalam membahas sesuatu soal tidak segera tuntas. Penjelasannya secara negatif bisadiartikan melingkar-lingkar. Secara positif bisa dibaca, Marx dalam menjelaskan sesuatu topik sangat detil danberlapis-lapis. Soal komoditi, misalnya, ia membahasnya berulang-ulang, apalagi soal uang, huuhh.

    Kesulitan ketiga, menyangkut soal terjemahan. Menurut Robert C. Tucker, ada dua kesulitan utama dalampenerjemahan Capital. Pertama, adalah seringnya Marx menggunakan terminologi filsafat Hegelian dalampenulisannya, padahal Capitaladalah karya yang secara utuh menunjukkan perbedaan langsung antara metode

    berpikir Hegelian dan Marxian. Kedua, walaupun menguasai dengan baik hampir seluruh bahasa di Eropa, bahkanyang paling sulit seperti bahasa Rusia, Marx ketika menulis Capital, menggunakan bahasa ibunya yakni, Jerman.Itupun dengan menggunakan tulisan tangan yang susah sekali dicerna, sehingga menurut David Riazanov,pustakwan Rusia pertama yang mengoleksi dan menerbitkan hampir seluruh karya-karya Marx, penerjemahan yang ditempuhnya adalah, menyalin kembali tulisan tangan Marx tersebut ke dalam bahasa Jerman,baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia (Tucker, 1978: xl).

    Akibat kedua kesulitan itu, para penerjemah Capitalmemiliki beragam penafsiran soal istilah yang muncul didalamnya. Ambil satu dari sekian banyak contoh yang dikemukakan Tucker tentang kata Entfremdung, yang seringmuncul dalam Grundrisse dan Capital. Penerjemah yang satu mengartikannya sebagai alienation sementarapenerjemah yang lain mengartikannya sebagai estrangement. Nah, ketika Marx menggunakan selbstentfremdung, maka penerjemahnya ada yang mengartikan sebagai self-alienation dan penerjemah lainnyamengartikannya sebagaiself-estrangement, (Tucker, 1978: xli).

    Coba kita lihat dampak dari penerjemahan ini. Dalam kamus bahasa Inggris-Inggris, alienation bermakna (inMarxist theory) a condition of workers in a capitalist economy, resulting from a lack of identity with theproducts of their labor and a sense of being controlled or exploited). Sedangkan Estrangementberarti, cause(someone) to be no longer close or affectionate to someone; alienate. Kalau kita ikuti pemaparan Marx soalketerasingan, maka kata Entfremdung, lebih pas diterjemahkan sebagai Alienation ketimbang Estrangement.

    Ketika buku Capitalini dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, saya bisa menduga betapa sulitnya mencari padanankata yang tepat untuk istilah-istilah itu (salut buat penerjemahnya). Tergantung pada Capitaledisi mana danpenerjemahnya ke dalam bahasa Inggrisnya siapa. Sebagai misal , jika yang dipakai adalah alienation, makamenurut kamus Echols-Shadily bermakna (1) pengasingan, perbuatan mengasingkan diri; (2) kemengasingkan diri; (3) pemindahan hak milik kepada orang lain; dan (4) penyakit jiwa. Sedangkan estrangementberarti (1) kerenggangan; (2) pengasingan, dan (3) pemisahan. Dari kamus terpopuler ini, baik terjemahan kataalienation maupun estrangement, gagal dalam menjelaskan apa yang Marx maksud dengan keterasingan.

    Akar Intelektual Marx

    Dengan segala kesulitan tersebut, adakah jalan pintas yang memudahkan kita untuk membaca Capital?

    Saya merasa perlu mengajukan pertanyaan ini, karena sering sekali saya mendengar penilaian miring dari merekayang mengaku telah membaca Capital. Kata mereka ini, Marx itu hebat dalam menganalisis kejadian, tapisolusinya tidak bisa direalisasikan. Yang lain bilang, Marx tajam menganalisa krisis, tapi payah memberi solusikrisis.

    Menurut saya, cara membaca Marx seperti ini, khususnya, karyanya Capital, adalah menempatkannya sekadarkritik terhadap kapitalisme. Meminjam parafrase Lukcs, ini adalah cara membaca Marx dalam terang Hegelian(Lukcs, 1988:xxxvi), padahal seharusnya Capital dinilai dalam terang metode Marx sendiri (Fine and Harris,

    1979:3). Dengan menempatkan Capital sekadar kritik atas kapitalisme, jelas memenjarakan Capital dalam prosesdan struktur bangunan kapitalisme. Sementara, Marx memaksudkan Capital sebagai senjata teoritiknya kelas-kelaspekerja, dengan tujuan untuk menghancurkan kapitalisme, bukan untuk merestorasi atau mereformasinya.

    1

    http://www.facebook.com/topic.php?uid=78051263824&topic=7935http://www.facebook.com/topic.php?uid=78051263824&topic=7935
  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    2/23

    Sehingga, tudingan bahwa Marx payah memberi solusi krisis adalah respon reaksioner dari sebuah karya yangdimaksudkan untuk tujuan revolusioner.

    Ini berarti, dalam membaca Capital, tidak ada jalan lain kecuali dengan memahami terlebih dahulu metode berpikirMarx, yakni metode materialisme historis atau konsep materialis tentang sejarah. Namun, sebelumnya, ada baiknyakita melihat terlebih dahulu akar-akar intelektual Marx, yang menuntunnya pada penemuan metode materialismehistoris tersebut.

    Lenin pernah menulis, pemikiran Marx bersumber dan kemudian menjadi penerus dari tiga tradisi besar pemikiran

    abad ke-19: filsafat Jerman, ekonomi-politik Inggris, dan sosialisme Perancis. Dari Hegel, ia mengambil gagasantentang brgerliche Gesellschaft dari terjemahan Garvs atas karya Adam Ferguson, History of Civil Society.Menurut Hegel, brgerliche Gesellschaft adalah sebuah sistem tentang self-interest, lebih dari itu adalah sistemyang kontradiktif yang hanya bisa diselesaikan oleh negara. Yang menarik, pengetahuan Hegel tentang ekonomiterbatas pada pemikiran Sir James Steuart, yang mengatakan bahwa masyarakat bebas dan komersial itu (dalamhal ini brgerliche Gesellschaft ), keberadaannya tidak bisa berlanjut tanpa kontrol negarawan yang kuat(omniscient statesmen). Nah, negarawan yang kuat versi Hegel itu adalah pelayan yang trampil (birokrasi) monarkiPrusia yang absolut.

    Darimana kesimpulan Hegel ini muncul? Menurut Hiroshi Mizuta, pandangan Hegel dan juga Steuart yang negatiftentang brgerliche Gesellschaft, adalah refleksi dari keterbelakangan masyarakat Jerman atau Prusia dimanamereka tinggal (lihat juga Engels, 1970:218). Ini beda, misalnya, dengan realitas masyarakat sipil yang dijumpaiAdam Smith, sehingga ia mengemukakan sistem self-interested sebagai momen koeksistensi damai individual diatas basis pertukaran yang sama. Karena itu, tidak heran ketika Hegel dan Steuart melihat kontradiksi dankebingungan dalam brgerliche Gesellschaft yang terbelakang, maka jalan keluarnya adalah memakkekuasaan politik yang reaksioner. Sementara bagi Adam Smith, negara hanya muncul sebagai penjaga malamuntuk melindungi dan memfasilitasi agar momen koeksistensial individual itu tetap berlangsung.

    Dari ekonomi-politik Inggris, Marx sangat terpengaruh pada David Ricardo. Seperti kita ketahui, Ricardomelihat masyarakat kapitalis dalam perkembangan yang penuh terdiri atas tiga struktur kelas: pemilik tanah,kapitalis, dan buruh. Yang menarik, Ricardo melihat bahwa masyarakat kapitalis ini memiliki ciri-ciri: tingkatbunga yang cenderung menurun (the declining tendency of the rate of profit), antagonisme kelas (classantagonism), dan hubungan antara pengangguran dan teknologi (the relation between technology andunemployment). Tetapi, pada saat yang sama, ia juga percaya bahwa masyarakat kapitalis adalah sebuahmasyarakat yang kekal, sehingga ketika ia melihat hukum kerja Malthusian, ia meratapi bahwa kelas buruh akantetap miskin, walaupun mereka membanting-tulang dengan sangat keras setiap harinya.

    Sampai di sini, menurut Mizuta, jika Hegel melihat perlunya kebutuhan untuk mengatasi masyarakat kapitalistanpa melihat struktur dalam dari masyarakat ini, maka Ricardo mampu melihat struktur dalam itu bahkankontradiksinya, tapi tidak melihat adanya jalan keluar baginya.

    Selanjutnya, dari sosialisme Perancis ia mengambil gagasan tentang emansipasi diri proletariat. Basis gagasanini adalah meningkatnya jumlah petani dan pengrajin yang menjadi produser komoditi independen. Bersamaandengannya, terjadi pertumbuhan cepat diferensiasi kelas di antara mereka yang menyebabkan berkecambahnyaprotes-protes sosial dan pemberontakan anarkhis. Pemikir-aktivis seperti Franois Marie Charles Fourier, Pierre-Joseph Proudhon, dan Babeuf-Buonaratti-Blanqui (3B), ada dalam barisan yang mengatakan bahwa strata terendahproduser komoditi independen ini kian hari kian menjadi proletariat, dan kemudian memajukan gagasan tentangperubahan sosial dalam masyarakat seperti yang terjadi pada revolusi Perancis. Namun, mereka tidak memilikikemampuan menganalisis masyarakat kapitalis seperti layaknya Ricardo, dan juga tidak seperti gagasan Hegel akankebutuhan historis untuk keluar dari masyarakat kapitalis melalui instrumen negara.

    Dari ketiga warisan tradisi pengetahuan ini, Marx kemudian mengintegrasikannya dalam sistem yang disebutnyasosialisme. Dari Ricardo ia mengambil analisis ilmiah tentang struktur masyarakat kapitalis tanpa mengaminipandangannya bahwa masyarakat kapitalis ini adalah masyarakat yang abadi; dari Hegel ia mengambil gagasantentang masyarakat sipil dan kontradiksi internalnya untuk diselesaikan, tapi tidak dengan menoleh kembali kebelakang kepada negara Prusia yang absolute, melainkan bergerak maju menuju masyarakat sosialis revolusioner;sementara dari sosialisme Perancis ia mengambil gagasan tentang emansipasi diri proletariat (Mizuta, 1984:13-14).Ia melihat, di tangan proletariat inilah panji pembebasan masyarakat berkelas menuju masyarakat tanpa kelas bisaberkibar.

    Tetapi, akar-akar intelektual Marx tidak berhenti pada ketiga tradisi itu. Gagasannya tentang keterasingan(alienation), dipungutnya dari pemikir-pemikir pencerahan seperti, Jean Jacques Rousseau, Denis Diderot, AdamFerguson, Adam Smith, dan tentu saja Hegel. Sementara gagasan tentang ideologi dan kesadaran palsu diserapnyadari Francis Bacon dan muridnya Thomas Hobbes. Adapun kebutuhan akan pentingnya organisasi dan gerakan

    buruh dalam kerangka kerja masyarakat kapitalis, dipelajarinya dari Ferdinand Lassalle, dan gagasannya tentangmasyarakat komunis jelas terpengaruh oleh gagasan kaum anarkhis, khususnya yang datang dari Mikhail Bakunin(Mizuta, 1984:15-17).

    Materialisme Historis

    Marx sebenarnya tidak pernah menamakan metode berpikirnya sebagai materialisme historis (historicalmaterialism). Dalam bahasa Isaiah Berlin, tak ada eksposisi formal tentang materialisme historis yang pernahditerbitkan oleh Marx sendiri (Bottomore, 1973:56). Pada Marx, metodenya ini berkembang serentetan denganresponnya terhadap perdebatannya pemikiran dan analisa sosial politik saat itu. Jejaknya, menurut Berlin danMcLellan, pertama kali muncul dalam karyanya Critique of Hegel's Philosophy of Right, kemudian berturut-turutdalam On the Jewish Question, lalu dalam The Holy Family dan muncul lebih lengkap dalam risalah yangditulisnya bersama Engels, The German Ideology, (Berlin, 1973:56; McLellan, 1973:143).

    Para pengkaji Marx bersepakat, Engels adalah orang pertama yang memberi nama materialisme historis untukpemikiran Marx. Dalam karya polemiknya terhadap Herr Eugen Dhrings, Anti- Dhrings, Engels menulis,

    2

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    3/23

    Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi tentang produksi (alat-alat yang menopang kehidupanmanusia) dan, produksi sesudahnya yakni, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dariseluruh struktur sosial: dasar kemunculan seluruh masyarakat dalam sejarah, dasar tentang bagaimana kekayaandidistribusikan dan masyarakat terbagi ke dalam klas-klas, dasar dimana organisasi tergantung pada apa yangdiproduksi, bagaimana barang-barang itu diproduksi dan kemudian dipertukarkan. Menurut cara pandang ini,penyebab akhir dari seluruh perubahan sosial dan revolusi politik tidak terletak pada otak manusia, bukan jugapada pengamatan yang jernih atas kebenaran dan keadilan yang abadi, tetapi dalam perubahan corak produksi danpertukaran. Perubahan itu juga harus dilihat, bukan pada filsafat, tetapi pada ilmu ekonomi dari masing-masingepos tertentu.

    Walaupun Marx sangat terinspirasi dan terpengaruh pemikiran Hegel (van den Berg, 1984:279), namun konsepsimaterialisnya tentang sejarah, jelas-jelas bertolak-belakang dari Hegel. Menurut Henri Lefebvre, materialisme historis diformulasikan, metode ini dengan segera menentang Hegelianisme, menentang Feuerbach,dan lebih dari itu, menentang filsafat secara umum (Lefebvre, 2009:60). Dalam The German Ideology, Marxmengatakan, sejak kita berurusan dengan orang-orang Jerman, yakni mereka yang lemah dalaargumentasi, kita mesti memulai dengan pertama-tama menyatakan bahwa dasar dari seluruh keberadaan manusiadan lebih dari itu, dasar dari seluruh sejarah, bahwa manusia untuk bisa hidup maka ia mesti membuat sejarah.Tetapi, sebelum hidup meliputi yang lain, manusia pertama-tama mesti makan dan minum, memiliki rumah,pakaian, dan beragam benda lainnya. Maka, tindakan historis manusia yang pertama kali adalah memproduksi alat-alat untuk memenuhi kebutuhannya, produksi kehidupan material itu sendiri. Tindakan bersejarah ini,demikiran Marx, merupakan syarat fundamental dari seluruh sejarah yang berlaku setiap hari dan setiap jam saatini. Tindakan mana juga telah berlangsung ribuan tahun lalu, bahwa manusia agar bisa mempertahankan hidupnyamaka ia terlebih dahulu mesti memenuhi kebutuhannya, (Marx, 1998:47).

    Dengan begini Marx melihat manusia sebagai mahluk yang aktif, mahluk yang real, yang kesadarannya sejakawalnya merupakan produk sosial, hingga sejauh manusia terus eksis. Berbeda dengan Hegel, yang melihatmanusia sebagai mahluk non-obyektif, non-real, makhluk spiritual yang abstrak, yang egois, sehingga seperti kataMarx, esensi manusia menurut Hegel adalah kesadaran diri (self-conciousness), dimana esensi keterasianganmanusia itu tak lain adalah keterasingannya dari kesadaran diri, (Marx, 1988:151). Dengan begitu, kesadaran bagiHegel adalah produk dari akal murni dan sesuatu yang di luarnya bersifat abstrak, tidak nyata. Atau sebagaimanadikemukakan Marx dalam Critique of Political Economy (1989:206), dalam rumusan Hegel, dunia nyata tak lebihsebagai hasil dari pemikiran manusia. Sementara pada Marx sendiri, karena sesuatu itu pada mulanya tidak dimulaidari gagasan dan kesadaran manusia, tapi pada manusia yang nyata dan kondisi-kondisi nyata kehidupannya, makakesimpulannya adalah bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tapi kehidupanlah yang menentukankesadaran, (Fromm, 1964:xv; Marx, 1988:42). Dalam Capital, ia menegaskan kembali posisinya ini:

    Metode dialektika saya tidak hanya berbeda dari Hegelian, tapi bertentangan langsung dengannya. Pada Hegel,cara kerja otak manusia, yakni proses berpikirnya, yang mengatasnamakan Gagasan, yang kemudian iatransformasikan ke dalam subyek yang independent, adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata itu sendirihanyalah sesuatu yang bersifat eksternal, bentuk fenomenal dari Gagasan. Pada saya, sebaliknya, gagasan tidaklain adalah refleksi dunia material oleh pemikiran manusia, dan selanjutnya dipindahkan ke dalam bentukpemikiran, (Marx, 1974:29).

    Dalam karya polemiknya terhadap Pierre-Joseph Proudhon, The Poverty of Philosophy, Marx memberikanpenjelasan panjang lebar tentang cara kerja logika Hegel berikut kontradiksi internalnya: .Jika dalam logikakategoris ditemukan substansi seluruh benda, maka dalam gerak logika fomal seharusnya ditemukan metodeabsolut yang tidak hanya menjelaskan semuanya, tapi lebih dari itu, implikasinya pada gerakan seluruh benda.

    Hegel kemudian menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode absolut tersebut: Metode adalah kekuatanabsolut, unik, tertinggi, tak terbatas, dimana tak ada obyek yang bisa melawannya; inilah kecenderungan akal untukmencari dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri, dalam keseluruhan (Logic, vol. III). Semuanya kemudiandisederhanakan ke dalam logika kategoris, dan setiap gerakan, setiap tindakan produksi, metodenya, secaraalamiah mengikuti produk dan produksi massal, obyek dan gerakan, semunya disederhanakan menjadi metafisikaterapan. Apa yang telah Hegel lakukan pada agama, hak, dan seterusnya, oleh M. Proudhon dianggapnya bisaditerapakan pada ekonomi politik.

    Lalu, kemudian, apa yang dimaksud dengan metode? Abstraksi gerak. Apa itu abstraksi gerak? Gerak yang abstrak.Apa itu gerak yang abstrak? Gerak yang murni logika formal atau gerak akal murni. Lalu, terdiri dari apa saja gerakakal murni itu? Mengajukan, menentang, dan menyatukannya, yang kemudian diformulasikan menjadi tesis,antitesis dan sintesis, atau lebih baik lagi, menguatkan diri sendiri, menolak diri sendiri dan kemudian menolakpenolakannya.

    Lantas bagaimana akal bertindak, dalam rangka menguatkan dirinya sendiri, atau menempatkan dirinya dalam

    kategori terberi? Ini adalah masalah akal itu sendiri dan para pembelanya.

    Tetapi, sekali akal menempatkan dirinya dalam tesis, maka tesis ini, gagasan ini, bertentangan pada dirinya sendiri,dirinya membelah dalam dua kontradiksi gagasan: positif dan negatif, ya dan tidak. Perjuangan antara dua elemenyang tak terdamaikan ini, termasuk antitesis, membentuk gerak dialektik. Ya menjadi tidak, tidak menjadi ya, yakemudian kembali menjadi ya dan tidak, tidak kemudian kembali menjadi tidak dan ya, keseimbangan yang salingberlawan, saling menetralisir, saling melumpuhkan. Gabungan dari kontradiksi pemikiran ini membentuk gagasanbaru yang merupakan sintesis dari keduanya. Gagasan baru ini (hasil dari sintesis) kemudian, sekali lagi,melahirkan dua kontradiksi gagasan baru yang lantas menghasilkan sintesis baru. Dari proses kerja ini, lahirsekumpulan gagasan. Kumpulan gagasan ini mengikuti gerak dialektik yang sama, sebagai sebuah kategorisederhana, dan sebagai antitesisnya adalah kelompok yang berkontradiksi. Dari dua kelompok gagasan ini, lahirkelompok gagasan baru yang merupakan sintesis dari keduanya. (Marx, 1995: 116-117).

    Marx kemudian melangkah pada pertanyaan berikutnya: bagaimana jika logika Hegel ini diterapkan dalamkategori ekonomi politik? Jawabnya adalah, kita akan tetap memiliki logika, tapi dengan tambahan metafisikaekonomi politik (Marx, 1995: 118). Konsekuensi lebih jauh dari metafisika ekonomi-politik ini, setiap kategori

    3

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    4/23

    ekonomi (termasuk kapitalisme) akhirnya terdiri atas dua sisi: sisi baik dan sisi buruk, sehingga solusinya adalahpertahankan dan perkuat sisi baiknya dan tinggalkan serta hancurkan sisi buruknya.

    Dengan cara pandang demikian, maka setiap kategori ekonomi bersifat abadi, tidak ada sejarah di sana, kecualisejarah gagasan. Dalam bahasa Marx, filsafat sejarah tidak lebih dari sejarah filsafat, filsafat itu sendiri, (Marx,1995:118) dan karena itu, secara politik logika Hegelian ini berwatak reaksioner. Marx memberikan contohmengenai keberadaan budak di jaman perbudakan. Jika kita melihat si budak dari sisi baik-buruknya, maka kitatemukan sisi baik dari si budak: dialah yang memungkinkan kalangan borjuis membangun basis industrinya,perdagangan, dan kredit. Tanpa budak, demikian Marx, Anda tidak akan memiliki kapas, dan tanpa kapas anda

    tidak akan memiliki industri modern. Perbudakanlah yang memberi nilai pada koloni, dan koloni itulah yangmenciptakan perdagangan dunia, dimana perdagangan dunia tersebut merupakan esensi dari kemegahan industri.Jadi, perbudakan sebagai sebuah kategori ekonomi memiliki kedudukan yang sangat penting, (Marx 1995:121).

    Tetapi, budak juga memiliki sisi buruknya, berupa penindasan manusia atas manusia yang paling kasar. Lantasbagaimana menghadapi situasi ganda ini? Jika kembali ke logika Hegel, maka yang mesti dilakukan adalahmemperkuat sisi baiknya dan menghancurkan sisi buruknya. Namun. kata Marx, bagi Hegel hal ini tidak menjadisoal, karena baginya ini hanyalah soal dialektika. Menjadi berbeda ketika kita berurusan dengan kategori ekonomi-politik yang konkret, yang muncul adalah dua kemungkinan: glorifikasi kebaikan-kebaikan kategori ekonomi danatau kebuntuan untuk menemukan pemecahan terhadap kontradiksi yang ada. Glorifikasi sisi baik itu, misalnya,kata Marx, muncul pada karya-karya ekonom klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo, dimana keduanya,yang adalah juga sejarawan pada masanya, dengan sangat jernih menjelaskan keutamaan-keutamaan sistemmasyarakat kapitalis. Itu sebabnya, mereka adalah perwakilan keilmuan dari kelas borjuis. Sementara untukmeredam sisi buruknya, muncul kalangan humanitarian school, yang menolak adanya perbedaaberkesudahan antara teori dan praktek, antara prinsip dan hasil akhir, antara gagasan dan penerapan, antarabentuk dan isi, antara esensi dan kenyataan, antara hak dan fakta, dan antara segi baik dan buruk. Bagian yangpaling sempurna dari aliran humanitarian ini adalah aliran filantropis, yang menolak sama-sekali adanyakontradiksi dalam kehidupan nyata (Marx, 1995: 185-86).

    Lalu, bagaimana materialisme historis menjelaskan kategori ekonomi-politik? Ketika sampai pada kesimpulanbahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya, Marx kemudian melangkah pada pernyataan,dimana pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan produktif material masyarakat kemudian mendapatidirinya berkonflik dengan hubungan produksi yang ada yang terefleksi dalam bentuk legal seperti politik, hukumdan ideologi. Dari bentuk perkembangan kekuatan produksi, hubungan itu kemudian berubah membelenggunya. Kemudian, muncullah sebuah era baru revolusi sosial, (Marx, 1989:21). Lebih lanjut iamengatakan, perubahan dalam pondasi-pondasi ekonomi ini, cepat atau lambat, menyebabkan terjadinyatransformasi keseluruhan superstruktur yang lebih luas, (Marx, ibid).

    Lebih konkretnya, mari kita kembali pada pernyataan awal Marx: manusia membentuk sejarahnya sendiri tapiuntuk bisa membuat sejarah tersebut, manusia pertama-tama harus memenuhi kebutuhan hidupnya: makan,pakaian, dan perumahan. Maka (1) tindakan pertama manusia dalam hidup, bukanlah berpikir tapi bagaimanamempertahankan kehidupannya. Ketika kebutuhan pertamanya terpenuhi, muncul kebutuhan baru yang lebihtinggi dan lebih kompleks yang memaksa manusia untuk (2) menciptakan kebutuhan baru ini, yang oleh Marxtindakannya ini disebutnya merupakan tindakan histories manusia yang pertama. Di sini manusia tidak hanyaberurusan dengan alat-alat produksi tapi juga bagaimana mengelola hubungan sosial produksi tersebut agar bisaseirama dengan perkembangan kebutuhan-kebutuhan baru tersebut. Karena kebutuhan baru tersebut makinkompleks, (3) manusia yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan baru tersebut mau tak mau harus bekerjasamadengan manusia lainnya, dan kerja sama ini harus diatur sedemikian rupa agar hasil yang diinginkan sesuai dengankebutuhan tersebut. Inilah asal-mula terjadinya pembagian kerja dalam masyarakat yang kemudian menyebabkanmunculnya kelas-kelas dalam masyarakat. Adanya kelas-kelas sosial ini menyebabkan masyarakat terlibat konfliksatu sama lain. Untuk meredam konflik-konflik yang muncul tersebut, lahirlah ideologi dan hukum untuk mengaturtertib sosial sekaligus mengekalkannya. Dan tentu saja kebutuhan untuk meredam konflik ini datangnya dari kelasyang berkuasa, kelas yang lahir dari penguasaan dan kontrolnya atas alat-alat produksi.. Inilah dasar pernyataanMarx, bahwa ideologi yang dominan di setiap jamannya, adalah ideologinya kelas berkuasa (1998:67).

    Tetapi Marx mengingatkan, apa yang tampaknya seperti tiga tahap perkembangan masyarakat ini, sesungguhnyatidak bisa disebut tahapan, melainkan tiga aspek atau lebih jelas lagi tiga momen - perkembangan masyarakat.Baginya, ketiga hal itu terjadi sekaligus, sejak manusia pertama kali membuat sejarah hingga sekarang.

    Dari tesis ini, tampak bagi Marx bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi mesti dicari penjelasannya padaperubahan kondisi-kondisi produksi ekonomi. Dalam polemiknya terhadap Proudhon, ia memberikan contohmenarik soal ini, the handmill gives you society with the feudal lord; the steam mill, society with the industrialcapitalist, (Marx, 1995:119). Dalam The German Ideology, ia menegkaskan kembali pandangannya ini, bahwadalam kita melihat sejarah kita harus menempatkannya dalam basis nyata sejarah itu sendiri; bukan menjelaskan

    praktek dari gagasan tapi menjelaskan formasi gagasan itu dari praktek-praktek material, dan dari sana kitamengambil kesimpulan seluruh bentuk dari produksi kesadaran (1998:61). Dengan demikian, ujar Marx, kita tidakbisa menilai seorang individu berdasarkan pada apa yang dipikirkannya, atau kita tidak bisa menilai satu periodetransformasi melalui kesadarannya, tetapi sebaliknya, kesadaran ini harus bisa diterangkan dari kontradiksi-kontradiksi hidup material, dari konflik-konflik yang terjadi di antara kekuatan sosial produksi dan hubungan sosialproduksi. Alasannya cukup jelas dikemukakan Marx, bahwa tidak ada tatanan sosial yang bisa dihancurkansebelum semua kekuatan produksi yang mencukupinya berkembang, dan tidak juga ada hubungan sosial produksibaru yang superior sebelum ia bisa menggantikan hubungan sosial lama, sebelum kondisi-kondisi material bagikeberadaannya menjadi dewasa di dalam kerangka kerja masyarakat lama (Marx, ibid).

    Dengan demikian, sejarah, dimana manusia aktif terlibat di dalamnya, adalah sejarah yang dinamis, dipenuhikonflik, dimana konflik itu sewaktu-waktu bisa diredam tapi di waktu lain muncul terbuka ke permukaan, dimanapara pihak yang berkonflik, kalau bukan salah satu dari keduanya hancur maka kedua-duanya hancur bersamaan.Nah, corak produksi kapitalisme, Marx menyebutnya corak produksi borjuasi, tak luput dari konflik ini, bahkanmerupakan tahap terakhir dari proses sosial produksi yang antagonistik. Tetapi, kembali Marx menekankan,antagonisme (konflik tak terdamaikan) ini tidak dalam pengertian antagonisme individual, tapi antagonisme yangmuncul dari kondisi-kondisi sosial individual yang ada, dimana kekuatan produksi yang berkembang dalam

    4

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    5/23

    masyarakat borjuis menciptakan juga kondisi-kondisi material bagi penyelesaian antagonisme itu. Dan tidak sepertilogika Hegelian yang melihat antagonisme hanya akan melahirkan antagonisme baru, Marx melihat antagonismeini bisa diselesaikan dengan cara melenyapkan basis material dari keberadaannya, yang dalam masyarakat berkelasadalah menghapuskan keberadaan kelas-kelas sosial tersebut. Inilah perbedaan mendasar lainnya materialisme historis dan logika Hegelian, bahwa keterasingan manusia hanya bisa diselesaikan melalui aksipenghancuran hubungan-hubungan sosial yang ada, bahwa hanya revolusi dan bukan kritisisme, teori atau agama,yang merupakan motor pendorong sejarah (Marx, 1998: 61).

    Dengan begini, benar kesimpulan Mark Rupert dan Hazel Smith, bahwa materialisme historis bukan hanya senjata

    teoritis untuk memahami dan menjelaskan perubahan kondisi-kondisi produksi ekonomi, tapi sekaligus petunjukbagi perubahan ke arah yang lebih baik (Hazel and Smith, 2002:2). Meminjam parafrase dari Tesis kesebelastentang Feuerbach, maka seorang yang menganut metode materialisme historis, adalah orang yang tidak hanyasekadar menafsirkan dunia, lebih dari itu ia hendak mengubahnya. Sedangkan menurut Kees van der Pijl(2002:142), ada tiga ciri yang melekat pada konsepsi materialisme historis: pertama, argumen bahwa manusia tidakhanya berhadapan dengan alam dalam perenungannya, tapi secara praktis, dalam proses kerja sosial dan dengandemikian, menciptakan sendiri kondisi-kondisi material bagi keberadaannya; kedua, asumsi bahwa kontradiksimaterial, dalam hal ini, kekuatan sosial yang saling berkonflik mempengaruhi perkembangan masyarakat.Kontradiksi dasar antara manusia dan alam (dimana umat manusia adalah bagian tapi sekaligus terpisah) secarasosial berkembang melalui perjuangan kelas; ketiga, pandangan dunia kelas berkuasa yang mengklaim universalitaspada dirinya sendiri, dalam prakteknya sesungguhnya dimaksudkan untuk menutup-nutupi kenyataan sosial yangterbelah-belah. Hal ini sebenarnya lumrah, karena setiap masyarakat cenderung untuk memproduksi gagasantertentu dan kemudian mengidealisasikannya guna mengatasi kontradiksi nyata yang ada. Karena itu, ketika Marxmenemukan bahwa teori Hegel tentang negara merepresentasikan kepentingan umum, dan juga teori ekonomi-politik dari Smith dan Ricardo, yang cenderung melihat kapitalisme pada dasarnya adalah harmonis, sistem pasaryang sanggup menyesuaikan dirinya secara bebas, setara dan kepentingan diri sendiri individu yang juga sederajat,ia memblejetinya secara tuntas dan komprehensif. Ditunjukkannya bahwa negara tak lebih sebagai organ represifdari kelas berkuasa, sementara kapitalisme penanda utamanya adalah eksploitasi, sistem masyarakat yang berkelas-kelas secara antagonistik, serta berwatak imperial.

    Basis dan Superstruktur

    Pada suatu hari, 5 Agustus 1890, Engels menulis surat kepada Conrad Smith, di Berlin. Dalam surat itu, Engelsmempersoalkan penafsiran para penulis muda Jerman tentang konsepsi materialisme historis. Para penulis itu,menurut Engels, terlalu menekankan aspek material sebagai primum agents (agen utama), sementara ruangideologi bersifat sekunder. Dalam surat itu juga, Engels lantas mengutip komentar Marx terhadap kalangan MarxistPerancis, All I know is that I am not a Marxis.

    Apa penyebab kegusaran Engels itu? Selidik punya selidik, tak lain bersumber pada pernyataan Marx berikut:

    Totalitas hubungan produksi itu, yakni struktur ekonomi masyarakat, adalah fondasi nyata yang di atasnyasuperstruktur politik dan legal muncul dan selanjutnya terkait erat dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial (Marx,1989:20).

    Pernyataan ini kelak memicu debat dan konflik panjang di antara mereka yang mengaku dirinya Open Marxism disatu pihak serta kelompok Closed Marxism di pihak lain (Burnham, 2002:115); atau antara materialisme naturalistik vs materialisme idealistik (Pijl, 2002:129), atau antara mereka yang dipandang menganutMarxisme Mekanis vs Marxisme dialektik. Refleksi dari konflik ini juga tampak pada pembelahan hidup Marx atasdua periode: Marx Muda, Marx yang humanis, yang muncul dalam karya seperti Economic and PhilosophicManuscript of 1844 serta Marx Tua, Marx yang Politis-sosiologis, yang muncul dalam karyanya Capital. Dalam

    kata-kata George Lichtheim, Marx Muda itulah Marx yang sejati, sementara Marx Tua adalah Marx yang lebihpeduli pada kemajuan ilmu yang kebeadaannya independen dari kehendak manusia, (Ferrraro,1992:45).

    Inti perdebatannya berpusat pada pertanyaan: mana yang utama dan menentukan basis atau superstruktur?Kalangan Open Marxisme atau Materialisme Idealistik atau Marxisme Dialektik /Marxisme Humanis,menekankan bahwa aspek superstruktur (legal dan ideology) yang utama dan menentukan ketimbang aspek basis(ekonomi). Kees van der Pijl, mengatakan kelompok Idealisme ini melihat bahwa seluruh aspek dalam kenyataanberasal dari substansi, pikiran, dan kekuatan mental (spirit). Padahal, seperti kata Antonio Gramsci, apa yangkalangan idealis sebut sebagai spirit bukanlah titik berangkat (point of departure) melainkan titik tiba (point ofarrival). Ditambahkan Perry Anderson, kelompok ini terlalu melebih-lebihkan isu-isu sekunder seperti ideologi,filsafat, politik, dan budaya, dan akibatnya, tidak memberikan perhatian yang memadai pada aspek ekonomi-politik. Termasuk dalam kelompok ini figur-figur seperti Rosa Luxemburg, Karl Korcsh, Evgeny Pasukhanis, RomanRosdolsky, tradisi otonomis Italia, aliran Post-Marxist, post-structural post-Marxism, dan radikal post-modernisme(Pijl, 2002; Burnham, 2002; Laffey and Dean, 2002:95; dan Foster, 1992).

    Sementara di sisi seberangnya, kalangan Closed Marxism, atau Materialisme Naturalistik atau MaterialismeMekanis percaya bahwa aspek basis (ekonomi) adalah yang utama dan menentukan, bahwa gagasan adalahmanifestasi dari kekuatan-kekuatan fisikal (materi) dan perubahan kuantitatif dalam kekuatan produksi padaakhirnya menghasilkan perubahan yang kualitatif. Lebih berbahaya lagi, kelompok ini kemudian mereduksiMarxisme ke dalam ilmu tunggal: ekonomi-politik dan selanjutnya mentransformasikan Marxisme ke dalam filsafatalam (Lefebvre, 2009:3). Dengan mendefinisikan materialisme historis sebagai ekonomisme, maka konflik-konflikyang muncul di luar perkembangan kesadaran kelas (seperti konflik ras, atau jender) secara politik di anggapsebagai konflik kelas dua (subordinate), atau merupakan bagian dari kesadaran palsu (Laffey and Dean, 2002:93). Menurut Pijl, pandangan kelompok ini sangat dominan sejak dari Marx masih hidup hingga saat ini. Termasukke dalam kelompok ini, adalah kelompok Internasional II, terutama Karl Kautsky, George V. Plekanov, danMarxisme Sovet dalam hal ini adalah Stalinisme, serta kalangan Marxist Strukturalist yang dipelopori oleh LouisAlthusser. Sebagian kalangan memasukkan nama Engels dan Lenin ke dalam kelompok ini, bahkan Engels

    dipandang sebagai aktor utama di balik aliran Marxisme Deterministik ini (Ferraro, 1992).

    Apapun labelnya, pangkal pertengakaran ini, menurut Joseph Ferraro, karena Marx dan Engels memang tidakmemberikan penjabaran yang tuntas tentang Metode Dialektika (Ferraro, 1992:37). Klaim Ferraro ini memang

    5

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    6/23

    tidak terlalu salah, karena setelah The German Ideologi, walaupun Marx telah berjanji untuk menuliskannyasecara utuh, namun ia kemudian tenggelam dalam studi-studi ekonomi-politik hingga kematian menjemputnya.Sementara Engels, berhadapan dengan pertumbuhan pesat gerakan buruh (partai buruh dan serikat buruh) diJerman, lebih banyak berurusan dengan pendidikan kader-kader buruh agar mereka mampu menangani masalah-masalah praktis politik sehari-hari. Ketika ia mesti berhadapan dengan pemimpin-pemimpin baru serikat buruhyang tidak begitu terlatih secara intelektual, ia harus mengambil jalan paling sederhana untuk menjelaskan tentangapa itu Marxisme. Dan ini bukan pekerjaan mudah, sehingga, walaupun Engels berusaha menjabarkan secara telitidan sabar soal ini, seperti dalam karya-karya awalnya bersama Marx, ia akhirnya cenderung menekankan aspekekonomi ketimbang aspek dialektika dalam menjelaskan tentang materialisme historis (Pijl, 2002: 137).

    Lantas, bagaimana kita menghadapi dua kubu dalam materialisme historis ini? saya cenderung sepakat denganMark Laffey dan Kathryn Dean, bahwa yang kita butuhkan saat ini adalah Marxisme yang lentur di era yang jugalentur, (Laffey and Dean, 2002: 90). Kita tidak berpihak pada kelompok idealis yang sangat kental aromaHegeliannya, dan juga berdiri dekat dengan kelompok mekanis yang dosis Feuerbachiannya sangat dominan.Namun demikian, Marxisme yang lentur ini bukan Marxisme yang berayun-ayun di antara dua ujung ekstremitas,yang bisa kita gunakan kapan saja kita mau salah satu dari keduanya. Marxisme yang lentur ini adalah Marxismeyang bersandar pada pernyataan Marx, Raymond Williams dan Kees van der Pijl.

    Marx dalam The 18 Brumaire of Louis Bonaparte, mengatakan, Manusia membuat sejarahnya sendiri, tapimereka tidak membuat sejarahnya itu berdasarkan apa yang mereka inginkan; mereka tidak membuatnya di bawahkondisi-kondisi yang mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi-kondisi yang secara langsung mereka temui,terima, dan warisi dari masa lalu (1998:15). Dalam Tesis III Tentang Feuerbach, saling pengaruh antara basis dansuperstruktur itu kembali muncul, bahwa keadaan tidak hanya menentukan manusia, tapi manusia juga mengubahkeadaannya. Sementara, menurut Williams, Marxisme tanpa beberapa konsep determinisme tidak memilikidampak yang bermanfaat, sebaliknya, Marxisme yang terlalu banyak mengandung konsep determinisme saat inisecara radikal telah mengalami kelumpuhan, (Foster, 2002:8). Sedangkan bagi Pijl, materialisme historissesungguhnya merupakan sintesis dari materialisme idealis dan materialisme naturalistik (Pijl, 2002:129).

    Konsep materialisme historis, seperti yang didefinisikan Marx, Williams, dan Pijl, juga kita temukan penjelasannyapada Engels, seperti yang terpatri dalam suratnya kepada Joseph Bloch, 21 September 1890,Menurut konsepsi materialis tentang sejarah, elemen penentu terakhir dalam sejarah adalah produksi danreproduksi kehidupan nyata. Lebih dari ini, baik Marx maupun saya, tidak pernah menegaskannya. Dengandemikian, jika seseorang memelintirnya dengan mengatakan bahwa elemen ekonomi adalah satu-satunya penentu,maka ia telah mentransformasikan proposisi kami ke dalam frase yang tak bermakna, abstrak, dan tidak masukakal. Situasi ekonomi adalah basis, namun beberapa elemen dari superstruktur bentuk-bentuk politik dariperjuangan kelas dan hasil-hasilnya, untuk diketahui: konstitusi yang dibentuk setelah kemenangan dalam

    pertempuran kelas yang sukses, dsb, bentuk-bentuk yuridis, dan bahkan refleksi-refleksi dari seluruh perjuanganaktual dalam otak para partisipan, politik, hukum, teori filsafat, pandangan agama dan perkembangannya lebihlanjut menjadi dogma juga bagaimana menguji pengaruhnya terhadap wacana perjuangan yang historis, dibeberapa kasus menentukan bentuk ekonominya. Di sini terjadi interaksi antara elemen-elemen tersebut (basis dansuperstruktur), yang mana, di tengah-tengah kejadian yang tak pernah usai (seperti, hal-hal dan peristiwa-peristiwadimana interkoneksinya begitu jauh atau sulit dibuktikan, sehingga kita menganggapnya tidak ada atau bisadiabaikan), gerak ekonomi pada akhirnya menegaskan sendiri kebutuhannya. Jika tidak, penerapan teori padasetiap periode sejarah akan lebih mudah ketimbang jawaban hitungan 1 + 1 = 2.

    Demikianlah, dalam terang cahaya materialisme historis inilah, Capital mesti dibaca dan dinilai.***

    Kepustakaan:

    Axel Paul Maurits van den Berg, Marx and Marxism: The Hegelian Core, in Ajit Jain and Alexander J. Matejko (ed.) Marx and Marxism,Praeger Publishers, NY, 1984.Ben Fine and Lawrence Harris, Rereading Capital, Columbia University Press, NY, 1979.David McLellan, Karl Marx His Life And Thought, Harper and Row, Publishers, NY, 1973.Frederick Engels, Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, (review) in Karl Marx, A Contribution to the Critique ofPolitical Economy, International Publishers, 1970.Frederick Engels to C. Smith in Berlin,http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_08_05.htm.Frederick Engels to J. Bloch In Knigsberg,http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21.htmErich Fromm, foreword in T.B. Bottomore, Karl Marx Selected Writing in Sociology and Social Philosophy, McGraw-Hall Inc, USA, 1964.Georg Lukcs, History and Class Conciousness, The MIT Press, USA, 1988.Harry Cleaver, "Reading Capital Politically," AK Press, 2000.Henri Lefebvre, Dialectical Materialism, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2009.Hiroshi Mizuta, Marxs Place in the History of Thought, in Ajit Jain and Alexander J. Matejko (ed.) Marx and Marxism, Praeger Publishers,

    NY, 1984.Isaiah Berlin, Historical Materialism, in Tom Bottomore, ed., Karl Marx, Prentice Hall Inc, NJ, 1973.John Bellamy Foster, Introduction, in Joseph Ferraro, Freedom and Determintation in History According to Marx & Engels, Monthly ReviewPress, 1992.Joseph Ferraro, Freedom and Determintation in History According to Marx & Engels, Monthly Review Press, 1992.Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Promothen Books, NY, 1988.-------------., The Poverty of Philosophy, Promotheus Books, NY, 1995.-------------., Capital Volume I, Progress Publishers, Moscow, 1974.-------------., A Contribution To The Critique of Political Economy, International Publishers, New York, 1989.-------------., The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, Internation Publishers, NY, 1998.Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, Promotheus Books, NY, 1998.Kees van der Pijl, Historical materialism and emancipation of labour, in Mark Rupert and Hazel Smith, Historical Materialism andGlobalization, Routledge, London, 2002.Mark Rupert and Hazel Smith (ed), Historical Materialism and Globalization, Routledge, London, 2002.Mark Laffey and Kathryn Dean, A flexible Marxism for the flexible times: globalization and historical materialism, in Mark Rupert and HazelSmith (ed), Historical Materialism and Globalization, Routledge, London, 2002.Martin Nicolaus, Foreword, in Karl Marx, Grundrisse Foundation of the Critique of Political Economy (Rogue Draft, Penguin Books, NY,1993.Robert C. Tucker (ed)., The Marx-Engels Reader, W.W. Norton, NY, 1978.Vladimir Ilyich Lenin, The Three Sources and Three Component Parts of Marxism,http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm

    6

    http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_08_05.htmhttp://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_08_05.htmhttp://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_08_05.htmhttp://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21.htmhttp://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21.htmhttp://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htmhttp://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_08_05.htmhttp://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21.htmhttp://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm
  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    7/23

    Kajian CAPITAL 2

    KOMODITIOleh Coen Husain Pontoh

    KETIKA kita membaca Capital, satu hal yang sangat menarik bahwa Marx memulai karya besarnya itu denganmembahas tentang Komoditi. Tentu pilihan ini bukan tanpa alasan. Kata Marx, kemakmuran sebuah masyarakatdimana corak produksi kapitalis (capitalist mode of production) muncul, menampakkan dirinya dalam wujud animmense collection of commodities/mengoleksi komoditi sebanyak-banyaknya. Atas dasar ini, katinvestigasi kami harus dimulai dengan menganalisis apa itu komoditi.

    Tetapi, mengapa harus mulai dengan topik produksi komoditi, mengapa bukan dengan produksi secara umum?Mengapa tidak memulainya dari uang atau bahkan dengan pencurian nilai lebih, yang merupakan penemuanterbesar Marx dalam lapangan ekonomi politik?

    Untuk mencari jawab atas pertanyaan ini, mari kita kembali sejenak ke Grundrisse, dimana Marx, mengatakan, iaingin membuat satu kajian yang bertolak dari realitas menuju buku teks. Menurutnya, yang terjadi selama ini,kajian selalu bertolak dari buku teks menuju realitas, sehingga tugas dialektik adalah mencari keseimbangan dalamkonsep, bukan dialektika yang muncul dari relasi yang nyata (Marx, 1993:90).

    Menurut Martin Nicolaus, Marx membuka Capital dengan membahas soal produksi komoditi, sebagai tandaperpisahan terakhirnya dengan Logic karya Hegel dan juga karya-karya dia sebelumnya, yang senantiasa bertolak

    dari sesuatu yang murni, tidak tetap, abadi, dan abstrak universal. Dengan memulai dari komoditi, Marxmenegaskan posisi teoritiknya bahwa sesuatu itu harus bermula dari yang konkret, material, yang bisa disentuholeh indra, dan spesifik secara historis; dan yang di dalamnya (kesatuan) menjadi kunci antitesis (nilai guna vs nilaitukar), yang perkembangannya melibatkan seluruh kontradiksi lainnya dalam corak produksi ini (Nicolaus in Marx,1993:38).

    Bagi ekonom M.C. Howard dan J.E. King, ada tiga alasan kenapa Marx memulai pembahasannya dengan topikproduksi komoditi: pertama, dalam kapitalismelah bentuk umum dari komoditi memperoleh perkembannya yangtertinggi; kedua, Marx berpendapat bahwa banyak gambaran kunci dari kapitalisme sebenarnya berkembang daribentuk-bentuk produksi komoditi pra-kapitalis; dan ketiga ini yang terpenting Marx percaya bahwa aspek-aspek kapitalisme secara analitis berkembang pesat di luar, dan bahkan bertentangan dengan produksi komoditipra-kapitalis (Howard & King, 1985:56). Sedangkan menurut Harry Cleaver, dalam bukunya Reading CapitalPolitically, alasan mengapa Marx memulai kajiannya tentang komoditi, karena komoditi merupakan bentuk yang

    paling fundamental dari kapital. Dan jika kita membaca bagian Capital sesudahnya, demikian Cleaver, makakita akan menemukan kejelasan mengapa kemakmuran dalam masyarakat borjuis, menampakkan dirinya dalamwujud komoditi, (Cleaver, 2000:81).

    Penjelasan lain dikemukakan Stephen Saphiro. Menurutnya, seharusnya kita memperhatikan kalimat Marx dalamparagraf pembuka bab I, yang berbunyi: [t]he wealth of societies in which the capitalist mode of productionprevails appears.. Dengan menggunakan frasa the wealth of society, demikian Shapiro, Marx dengan sengajamengganti frasa yang digunakan Adam Smith the wealth of nations, sekaligus menunjukkan bahwa asumsi dasardari kalangan pembela pasar bebas adalah keliru. Bagi Marx, soal paling mendesak dan utama dari masyarakatkapitalis adalah bagaimana mencetak untung, bukan membangun hubungan antara negara-bangsa dan pasar;kedua, konsekuensinya adalah bersifat historis. Dengan frasa in which the capitalist mode of production prevails,Marx memaksudkan bahwa ia tidak menulis keadaan masyarakat secara umum. Sebaliknya, ia hanya ingin fokuspada masyarakat dimana praktek ekonomi kapitalis tampil dominan, yakni masyarakat kapitalis. Ia inginmenunjukkan kepada pembacanya, perbedaan mendasar antara corak produksi kapitalis dengan corak produksi

    lama, dan bagaimana kita mengubah cara kerja produksi kapitalis tersebut dan selanjutnya keluar dari kerusakanyang disebabkan oleh kapitalisme. Jika kita belajar apa yang menyebabkan kapitalisme itu unik dan bagaimana iamulai bekerja, maka kita bisa berpikir tentang bagaimana cara mengakhirinya.

    Ketiga, sebagai ikutan dari dua hal di atas adalah memahami transformasi sejarah masyarakat kapitalis menjadimasyarakat non-kapitalis. Sepintas kita bisa melihat apa yang menyebabkan masyarakat kapitalis berbeda, karenamereka menciptakan immense collection of commodities. Tentu saja kita tak harus menjadi seorang ekonomuntuk mengetahui bahwa transaksi barang telah bertumbuh berkali lipat di banding corak produksi sebelumnya.Tetapi, yang menjadi perhatian utama Marx dalam Capital, adalah mengapa dan bagaimana mereka memproduksibarang, ketimbang mengapa dan bagaimana rakyat mengonsumsi barang tersebut. Inilah perbedaan asasi antaraMarx dan ekonom liberal, khususnya Adam Smith (Shapiro, 2008:2-3; lihat juga Nicolaus in Marx, op.cit).

    Tidak heran, jika Mark Skousen mengatakan, jika Adam Smith adalah orang yang melahirkan ilmu ekonomi

    modern, maka Marx adalah figur yang membawa orang banyak meninggalkan ilmu ekonomi modern; jika filsufSkotlandia itu adalah seorang pencipta agung (great creator) kebebasan alami, maka revolusioner Jerman itumerupakan penghancur terbesarnya (great destroyer) (Skousen, 2001:131). Ekonom John E. Roemer dari aliranAnalitycal Marxism menambahkan, ada dua perbedaan utama antara Smith dan Marx: (1) Smith percaya bahwaindividu yang memajukan kepentingan dirinya sendiri akan menghasilkan keuntungan bagi semua; sementaraMarx berpendapat jika individu memajukan kepentingan dirinya sendiri akan menyebabkan terjadinya anarki,krisis dan kehancuran dari sistem yang berbasis pada kepemilikan pribadi itu sendiri; (2) Smith bicara tentangtangan tak terlihat (invisible hands) yang memandu individu, agen kepentingan diri dalam melakukan apa yangseharusnya dilakukannya, meskipun mereka kurang peduli pada hasil akhir, yang optimal secara sosial; sementarabagi Marxism tamsil tentang hukum besi kompetisi, tergilasnya kelas buruh dan kehidupan mereka yang makinmemburuk, menjadi basis bagi sistem lain yang lebih layak, sebutlah itu sistem yang berbasis pada kepemilikansosial atau publik (ibid).

    Perbedaan mendasar antara Marx dan ekonom arus utama (mainstream) ini, dijelaskan lebih lanjut oleh Ben Fine

    dan Alfredo Saad-Filho. Menurut ekonom mainstream, karena ekonomi berurusan dengan kebutuhan akankonsumsi, maka perhatian utama ilmu ekonomi berkaitan dengan pertanyaan bagaimana mengalokasikansumberdaya-sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Dari sudutpandang ini, maka ekonomi lantas diorganisasikan melalui mekanisme pasar, negara, rumah tangga, atau boleh jadi

    7

    http://www.facebook.com/topic.php?uid=78051263824&topic=8070http://www.facebook.com/topic.php?uid=78051263824&topic=8070
  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    8/23

    perbudakan. Dan seperti yang kita ketahui, kalangan ini percaya bahwa semakin pasar dibiarkan beroperasi secaraindependen, maka alokasi barang-barang akan semakin efisien.

    Sebaliknya, menurut Marx, hubungan masyarakat, khususnya hubungan kelas, adalah esensial dalam membedakanbentuk ekonomi yang satu dengan bentuk ekonomi yang lain, juga perbedaan di dalam satu sistem ekonomi itusendiri. Ini melibatkan tidak hanya hubungan kepemilikan dan distribusi yang menentukan corak produksi, siapayang memiliki apa dan mengapa, tapi juga bagaimana kepemilikan itu diorganisasikan dan kemudian munculdalam bentuk kontrol atas kerja dan hasil kerja (produk), serta aspek-aspek organisasi sosial lainnya. Dalam maknaini, sektor produksi menjadi penting, karena secara sederhana bisa dikatakan, tanpa produksi tak akan ada

    pertukaran dan jika manusia berhenti bekerja atau berproduksi maka tidak akan ada masyarakat yang bisabertahan dalam hitungan minggu. Dalam kaitan inilah, produksi komoditi menjadi gambaran paling krusial darikapitalisme (Fine and Saad-Filho, 2004: 16).

    Tetapi, penekanan pada hubungan produksi tidak berarti pengabaian terhadap hubungan pertukaran. DalamGrundrisse, Marx mengajukan empat momen yang tak terpisahkan: (1) produksi; (2) distribusi; (3)pertukaran; dan (4) konsumsi. Dalam produksi, anggota masyarakat menciptakan atau membentuk produkalamiah yang sesuai dengan kebutuhannya; sementara distribusi menentukan proporsi dimana individu membagi-bagi produk tersebut; dalam pertukaran, produk-produk tertentu yang memenuhi keinginan individipindahkan porsinya sesuai distribusi yang dibutuhkannya; dan akhirnya, dalam konsumsi, produk menjadi obyekkepuasan, demi kepentingan diri individu tersebut. Marx melanjutkan, produksi menciptakan obyek yang sesuaidengan kebutuhan yang ada; distribusi membagi obyek tersebut menurut hukum-hukum sosial; pertukaran lebihjauh lagi membawa keluar obyek yang telah di bagi-bagi tersebut agar sesuai dengan kebutuhan individu; dan padaakhirnya konsumsi menyebabkan produk tersebut melangkah ke luar dari gerak sosial dan menjadi obyek sertapelayan langsung kebutuhan individual, demi untuk memuaskan konsumen, (op.cit:88-9).

    Singkatnya, demikian Marx, produksi adalah titik berangkat, konsumsi menjadi kesimpulannya, sementaradistribusi dan pertukaran adalah perantaranya, yang mengandung dua makna, yakni distribusi ditentukan olehmasyarakat dan pertukaran oleh individu. Dengan begini, distribusi menentukan hubungan sejauh mana produksampai ke tangan individu (jumlah); sementara pertukaran menentukan produksi, sehingga porsi permintaanindividual pengalokasiannya bisa sampai ke tangannya melalui distribusi. Maka, ujar Marx lebih.produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi membentuk sebuah silogisme biasa; produksi adalah keumuman,distribusi dan pertukaran adalah kekhususan, dan konsumsi adalah keunikan, dimana keseluruhannya inibergabung bersama (Ibid:89).

    ***Dengan latar belakang seperti itu, kini kita melangkah pada pertanyaan apa yang dimaksud dengan komoditi?

    Pada jamannya, menurut Marx, istilah komoditi yang populer adalah yang didefinisikan oleh para ekonom Inggris,sebagai setiap benda yang dibutuhkan, yang berguna untuk kelangsungan hidup, obyek kebutuhan manusia, ataualat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam pengertian yang luas. Singkatnya, komoditi, menurut paraekonom itu, adalah barang yang memiliki kegunaan.

    Marx sendiri mengatakan, komoditi adalah (1) obyek yang berada di luar kita; yang (2) bisa memenuhi kebutuhanmanusia; dimana (3) padanya kerja manusia melekat; dan (4) tidak dikonsumsi oleh produsernya tapi, oleh pihaklain. Lebih lanjut dikatakannya, setiap benda yang berguna bisa dilihat dari dua sudut pandang: kualitas dankuantitas (Marx, 1990:125). Dalam bukunya, A Contribution To The Critique of Political Economy (selanjutnyadisebut Critique), Marx, dengan meminjam konsepnya Aristoteles, mengatakan, komoditi mengandung dua aspek,yakni aspek nilai-guna (use-values) dan aspek nilai-tukar (exchange-values) (1989:27). Aspek nilai-guna inilah,yang disebut oleh para ekonom Inggris, sebagai barang yang memiliki kegunaan.

    Bagian ini akan fokus membahas kedua aspek ini, walaupun Marx sebenarnya tidak membatasi hanya padakeduanya. Ia menyebut aspek lain, yakni nilai (values), yang justru kemudian menjadi sangat kontroversial dalamstruktur bangunan teori ekonominya. Karena ini, diskusi soal Nilai, akan saya lakukan secara terpisah.

    Nilai-guna (Use-values)

    Ketika mendiskusikan tentang nilai-guna, Marx mengatakan, setiap benda yang berguna (the usefulness of a thing),pasti memiliki nilai-guna. Namun demikian, benda yang berguna itu bukanlah benda yang bertebaran di udara.Kegunaannya ditentukan oleh sifat fisikal komoditi sehingga eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari komoditi.Dalam Critique, ia mengatakan, nilai-guna sebagai salah satu aspek dari komoditi, bersesuaian dengan eksistensifisikal sebuah komoditi. Sebagai contoh, ujarnya, sebuah komoditi, katakanlah besi, jagung atau berlian, sejauh itumerupakan benda material, memiliki nilai-guna, merupakan sesuatu yang berguna.

    Nilai-guna yang melekat pada sebuah komoditi, membuatnya berbeda dengan komoditi yang lain. Sepasang sepatumemiliki nilai-guna yang berbeda dengan nilai-guna sepasang sandal, meja, kursi, dsb. Di sini, kita berurusandengan aspek kualitas sebuah benda. Misalnya, ketika musim hujan kita lebih membutuhkan payung ketimbangcincin berlian, dan sebaliknya ketika hendak ke pesta, cincin berlian lebih berkualitas ketimbang sebuah payung.Atau sebuah buku teks ilmiah sama bergunanya dengan roman picisan, karena keduanya memuaskan kebutuhanpembacanya.

    Dengan karakternya yang demikian, nilai-guna memiliki nilai, hanya ketika ia digunakan dan direalisasikan dalamproses konsumsi. Sepasang sandal menjadi tidak berguna, jika tidak digunakan oleh pemiliknya. Emas yang ada ditoko emas tidak ada gunanya, jika ia hanya dipajang di etalese. Namun, sebuah karya seni lukis yang dipajang digaleri menjadi berguna bagi para pencinta seni yang berkunjung ke galeri tersebut. Karena itu, nilai-guna iniberkaitan dengan substansi seluruh kekayaan, apapun bentuk sosial yang mungkin dari kekayaan itu. Dengandemikian, walaupun nilai-guna melayani kebutuhan sosial, dan eksis dalam kerangka kerja sosial, tetkeberadaannya tidak mengekspresikan hubungan sosial produksi. Pada setiap corak produksi, nilai-guna sebuah

    benda senantiasa eksis. Dalam Critique, Marx, mengatakan, nilai-guna independen dari kungkungan bentukekonomi, karena itu aspek nilai-guna ini tidak mendapatkan perhatian serius dalam studi ekonomi politik(1990:28).

    8

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    9/23

    Nilai-tukar (Exchange-values)

    Jika nilai-guna berurusan dengan masalah kualitas, maka nilai tukar berkaitan dengan soal kuantitas. Misalnya,jika nilai-guna sebuah benda diukur dari kegunaannya dan berakhir dengan konsumsi, maka nilai-tukar diukur dariseberapa bisa benda tersebut dijual dan berakhir dengan pertukaran. Dalam Capital, Marx, mengatakan, Nilai-tukar pertama kali muncul sebagai hubungan kuantitas, proporsi, dimana nilai-guna satu benda dipertukarkanuntuk nilai-guna benda lainnya, (op.cit:126).

    Dengan demikian, sepasang sandal memiliki nilai-tukar sejauh ia bisa dipertukarkan. Semakin banyak jumlah

    sandal yang bisa dijual, maka nilainya semakin tinggi. Begitu sebaliknya. Namun, bila kita membeli sebuah mobil,tidak dengan sendirinya mobil tersebut memiliki nilai-tukar. Jika mobil yang kita beli itu hanya digunakan sendiriatau sekadar menghiasi garasi besar di rumah kita, maka mobil tersebut hanya memiliki nilai-guna, tapi tidakmemiliki nilai-tukar. Mobil tersebut baru memiliki nilai-tukar ketika kita menjualnya kepada pihak lain.

    Dari sini, kita bisa mengatakan, nilai-tukar adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti. Karena itu, jika nilai-guna eksis dalam semua corak produksi masyarakat, maka nilai-tukar keberadaannya menjadi penanda sebuahcorak produksi masyarakat tertentu. Pada corak produksi komunal purba, keberadaan nilai-tukar tidak dikenal.Menurut Ernest Mandel (1970:49) asal-usul pertukaran ditemukan di luar unit masyarakat primitif seperti dikomunitas yang berpindah-pindah (horde), marga (klan) atau di suku (tribe). Studi dari antropolog sosial Inggris,Audrey I. Richards, terhadap rakyat Bemba di Rhodesia, menemukan, karena kondisi di wilayah itu begitu seragam,tidak tersedia alasan rasional untuk membenarkan bahwa di wilayah tersebut telah ada perdagangan barang antarasatu komunitas dengan komunitas yang lain, (ibid.)

    Seiring dengan penemuan alat-alat kerja baru, masyarakat yang sudah mulai hidup menetap, dan produksi barangtelah melampaui konsumsi, pola-pola pertukaran dalam masyarakat mulai dikenal. Bermula dalam wujudpemberian hadiah, meningkat menjadi pertukaran dalam bentuk barter yang terselubung (silent barter), hinggamenjadi pertukaran yang kompleks dengan jangkauan tak terbatas, yakni pertukaran di pasar yang impersonal.

    Dengan demikian, kita temukan perbedaan lain antara nilai-guna dan nilai-tukar. Pada yang pertama, seseorangmemproduksi barang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau kebutuhan komunitas dimana iahidup. Pada momen ini, menurut Mandel, produksi dan hasil produksi, kerja dan produk kerja adalah identik padaseseorang tersebut, dalam praktek maupun pikirannya. Tetapi, dalam produksi komoditi, kesatuan ini hancurberkeping-keping. Produser komoditi tidak lagi hidup secara langsung dari barang hasil kerjanya, sebaliknya, iahidup secara eksklusif dari kerjanya, (op.cit:58).

    Unity of Opposites

    Dalam masyarakat primitif, secara esensial produksi dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan, baik itu kebutuhankomunitas mereka yang besar seperti marga atau suku atau untuk memenuhi kebutuhan komunitas kecil sepertikeluarga. Tetapi, dalam sistem masyarakat borjuis, nilai-guna bukan merupakan tujuan akhir dari proses produksi.Nilai-guna tak lebih sebagai dasar bagi terjadinya nilai-tukar. Marx memberikan contoh menarik soal ini. Katanya,sebuah berlian yang menempel di leher jenjang seorang gadis, yang berguna sebagai hiasan, tidak bisa kita sebutsebagai komoditi. Berlian yang menempel di leher sang gadis, yang membuatnya bertambah cantik, statusnyatetaplah sebagai berlian yang memiliki nilai-guna.

    Dan seperti yang telah kita sitir di atas, bagi Marx, sebuah komoditi pasti memiliki nilai-guna, tapi tidak setiapbenda yang berguna disebut komoditi. Dalam Capital ia menulis,

    Sebuah benda bisa memiliki nilai-guna, tanpa memiliki nilai.. Sebuah benda bisa berguna, dan merupakan

    produk tenaga kerja manusia, tanpa harus menjadi komoditi. Ia yang memenuhi kebutuhannya sendiri denganbarang-barang hasil produksinya sendiri memang menciptakan nilai-guna, tapi bukan komoditi, (ibid:131).

    Ini berarti, untuk mendapatkan status sebagai komoditi, sebuah barang yang berguna harus memenuhi persyaratantertentu. Lanjutan dari kutipan di atas berbunyi, guna memproduksi komoditi, seseorang tidakmemproduksi nilai-guna, tapi nilai-guna buat yang lain, nilai-guna sosial (social use-values). Di bagian lain dariCapital, Marx mengatakan,

    Benda-benda yang berguna menjadi komoditi hanya karena mereka merupakan produk dari kerja individu privatyang bekerja bersama-sama secara independen, (ibid:165).

    Friedrich Engels menambahkan, sebuah produk disebut secara khusus sebagai komoditi karena adanya hubunganantara dua person atau dua komunitas yang melekat pada benda atau produk tersebut, hubungan antara produsen

    dan konsumen yang tidak lagi menyatu pada satu orang, (Howard & King, 1985:44).Menilik pernyataan ini, sebuah barang yang memiliki nilai-guna menjadi komoditi jika ia memenuhi dua kriteria:(1) barang yang berguna itu diproduksi oleh buruh bebas; (2) barang yang berguna itu diproduksi untukdipertukarkan. Dengan kata lain, komoditi adalah nilai-guna sesuatu barang yang diproduksi oleh buruh untukdipertukarkan. Tidak berarti semua barang yang dipertukarkan, bahkan melalui pasar, bisa disebut sebagaikomoditi. Misalnya, barang hasil curian atau barang-barang bekas yang kemudian dijual di pasar. Bagi Marx, kasusseperti itu bersifat insidental, ia tidak memainkan peranan sentral dalam reproduksi sosial.

    Tetapi, bagaimana ceritanya nilai-guna sebuah barang berkembang menjadi nilai-tukar? Dalam Critique Marxmenjawab, ketika si pemilik merasa barang tersebut tidak lagi berguna bagi dirinya. Si A memiliki sepasang sepatuyang kemudian dijualnya kepada si B. Pada diri si A, sepasang sepatu itu tidak memiliki nilai-guna.

    Dari ilustrasi ini, kita memperoleh pemaknaan baru tentang nilai-guna. Jika sebelumnya Marx mengatakan bahwanilai-guna sebuah barang terealisir hanya ketika ia dikonsumsi, maka, di sini, Marx mengatakan, si pemilik

    komoditi merasa komoditinya memiliki nilai-guna sejauh ia memiliki nilai-tukar. Untuk menjadi sebuahkomoditi, ujar Marx dalam Capital, sebuah produk harus ditransfer kepada yang lain, dimana produk tersebuttetap memiliki nilai-guna, melalui alat pertukaran, (op.cit:131). Dalam Critique, ia memberikan penjelasan lebih

    9

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    10/23

    jernih soal ini, dimana untuk menjadi sebuah nilai-guna, komoditi harus menemukan kebutuhan tertentu untukdipuaskan. Dengan demikian, nilai-guna sebuah komoditi menjadi nilai-guna melalui mekanisme pertukaran:mereka (komoditi) lepas dari tangan pemilik semula dan berpindah ke tangan yang lain yang berfungsi sebagaibarang konsumsi, melalui mekanisme pertukaran, (ibid:42).

    Jadi, bagi si pemilik, komoditinya memiliki nilai-guna justru ketika komoditi itu berada di luar jangkauannya, yakniketika komoditi itu memiliki nilai-guna bagi yang lain. Pada diri pemiliknya, komoditi itu tidak lagi memiliki nilaiguna, nilai guna itu ia temukan pada komoditi yang dimiliki oleh orang lain. Inilah kata Marx dalam Critique,

    Nilai-tukar sebuah komoditi tidak mewujud dalam nilai-guna komoditi itu sendiri. Tetapi, pengejawantahan waktu kerja sosial universal, nilai-guna sebuah komoditi adalah hasil dari hubungannya dengannilai-guna komoditi lainnya. Dengan demikian, nilai-tukar sebuah komoditi menjelma pada dirinya sendiri dalamnilai-guna komoditi lainnya, (ibid:38).Tetapi, persoalan belum selesai. Kata Marx, nilai-guna dan nilai-tukar sebuah komoditi bukan hanya dua aspekyang berbeda tapi juga kontradiktif. Di sini, walaupun konsep nilai-guna dan nilai-tukar ini terinspirasi dariAristoteles, tapi ia menanggalkan logika formal Aristoteles dan menggunakan logika materialisme-dialektik,khususnya hukum Unity of Opposites.

    Dalam satu komoditi melekat dua aspek yang menyatu sekaligus bertentangan: nilai-guna dan nilai-tukar. Sebuahbenda memiliki nilai-guna ketika ia dikonsumsi, sementara nilai-tukar menjadi bermakna bukan karena iadigunakan, tapi karena dipertukarkan. Pemahaman seperti ini tentu saja membingungkan. Sebab, untuk memilikinilai-guna sebuah benda harus dikonsumsi dan tidak dipertukarkan. Sebaliknya, untuk memiliki nilai-tukar, sebuahbenda tidak segera dikonsumsi melainkan mesti dipertukarkan.

    Situasi kontradiktif ini diselesaikan Marx dalam Critique (ibid:44), bahwa hanya dalam proses pertukaranlah, baikaspek nilai-guna dan nilai-tukar ini berevolusi sekaligus menemukan solusinya. Menurutnya, komoditi sebelumdijual dan dikonsumsi, nilai-guna dan nilai-tukarnya masih bersifat abstrak dan potensial. Sekali komoditi tersebutdijual, pertukaran untuk uang (C - M), maka karakteristik nilai-tukar menjadi nyata. Tapi, dalam proses ini, nilai-tukar tampil dalam bentuk uang, dimana ketika uang ini ditukar dengan komoditi lainnya, yang berarti dikonsumsi(M - C), nilai-tukar tersebut bermetamorfosis kembali ke dalam aspek nilai-guna.

    Di sinilah letak utama keunikan produksi komoditi dalam kapitalisme. Bahwa komoditi tersebut diproduksi olehburuh yang menjual tenaga kerjanya kepada si kapitalis yang mengontrol proses produksi; dimana komoditi yangdiproduksi itu tidak dimiliki oleh buruh tapi oleh si kapitalis; dan pada akhirnya komoditi yang diproduksi itu tidakditujukan untuk memenuhi kebutuhan substansial manusia, tapi diproduksi untuk dipertukarkan di pasar.***

    Kepustakaan:

    Ben Fine and Alfredo Saad-Filho, Marxs Capital, Pluto Press, London, 2004.Ernest Mandel, "Marxist Economic Theory," Vol. I, Monthly Review, 1970.Harry Cleaver, Reading Capital Politically, AK Press, 2000.Karl Marx, A Contribution To The Critique of Political Economy, International Publisher, NY, 1989., Capital Volume I, Penguin Books, 1990.______, "Grundrisse," Penguin Books, 1993.

    Mark Skousen, The Making of Modern Economics The Lives and Ideas of the Great Thinkers, M.E. Sharpe, 2001.M.C. Howard & J.E. King, The Political Economy of Marx, (Second Edition), New York University Press, 1985.Stephen Shapiro, How to Read Marxs Capital, Pluto Press, 2008.

    10

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    11/23

    Kajian CAPITAL 3

    Teori Nilai Kerja dan Pemujaan KomoditiCoen Husain Pontoh

    ULASAN Marx tentang nilai-guna dan nilai-tukar, mengantarkannya pada pembahasan mengenai konsepsi tentangNilai. Struktur pembahasannya adalah nilai-guna (use-value) nilai (value) nilai-tukar (exchangevalue).

    Antropolog David Harvey (2006:2), mengatakan, kita tidak akan bisa menafsirkan apa itu nilai tanpa terlebihdahulu memahami apa itu nilai-guna dan nilai-tukar. Juga sebaliknya, kita tidak bisa menafsirkan dua yangterakhir tanpa memahami apa itu nilai. Masih menurut Harvey, Marx tidak pernah memperlakukan masing-masing konsep itu secara terisolasi, tapi senantiasa memfokuskan ketiganya dalam sebuah relasi yangmungkin: antara nilai-guna dan nilai-tukar, antara nilai-guna dan nilai, dan antara nilai-tukar dan nilai(ibid).

    Pembahasan Marx tentang Nilai ini, merupakan dasar dari Teori Nilai Kerja (selanjutnya disebut TNK), yangkontroversial itu. Menariknya, Marx sendiri tidak pernah menyebut teori tentang Nilai sebagai TNK. Sebutanini pertama kalinya digunakan para pengritiknya dari kalangan ekonom mainstream, seperti Eugen vonBhm-Bawerk. Menjadi tambah populer ketika ekonom Marxist Rudolf Hilferding, memberikan kritik ataskritiknya Bhm-Bawerk terhadap Marx (Hiroyoshi, 2005:81).

    TNK menjadi kontroversial, karena posisinya yang sangat fundamental dalam bangunan teori ekonomi politik

    Marx. Seperti dikemukakan Andrew Glyn, konsepsi tentang nilai, keuntungan, dan eksploitasi (value, profitand exploitation), merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan ekonomi Marxist. Dua pilar lainnyaadalah teori tentang proses kerja (the labour process), dan teori tentang akumulasi dan krisis kapital (capitalaccumulation and crises) (Glyn in Eatwall et.al, 1990:274-75). Hal senada dikemukakan I.I Rubin(1990:xxix) bahwa teori tentang pemujaan komoditi (commodity fetishism) dan lebih khusus lagi TNK,merupakan basis dari keseluruhan sistem ekonominya Marx. Lebih lanjut dikatakannya, hanya setelah kitamenemukan basis dari TNK, barulah kita bisa memahami apa yang Marx tulis dalam bab pertama CapitalVolume I (ibid:61). Mungkin ini sebabnya, mengapa Fine dan Harris (1979:34) mengatakan, menolak TNKsama artinya dengan menolak metode Marx.

    Karena posisinya yang sangat fundamental itu, TNK menjadi sasaran empuk para pengritik teori ekonomi Marxis.Sedemikian kerasnya kritik terhadap TNK, sehingga Eatwall et.al., mengatakan, gagasan Marxian itu tetaphidup dan (masuk akal) di dalam antropologi, sejarah, filsafat, dan sosiologi. Sementara dalam ekonomi,

    walaupun tidak bisa disebut telah mati, tapi dalam kondisi tertentu keberadaannya telah sekarat, padahalilmu ekonomi itu sendiri merupakan saripati dari pendekatan Marxian (op.cit, xi). Namun demikian, tulisanini tidak akan masuk pada kontroversi itu. Tujuan tulisan ini untuk menunjukkan bagaimana Marxmenjabarkan TNK dan melihat lebih jauh esensi dari teori ekonomi politik Marxist.

    Teori Nilai Kerja

    Dalam pembahasan tentang komoditi, kita telah mengetahui bahwa nilai-tukar pertama kali menampakkan dirinyadalam hubungan kuantitatif, dimana nilai-guna sebuah barang dipertukarkan dengan nilai-guna barang yanglain. Kata Marx, hubungan ini terus berubah seturut perubahan ruang dan waktu. Dengan kata lain, nilai-tukar adalah hubungan kuantitatif di antara komoditi, yang secara kualitatif memiliki nilai-guna yang sama.

    Pertanyaan yang segera muncul, jika sepasang sepatu di tukar dengan sekilo beras, dan semeter baja, dst, apa yangmembuat pertukaran itu menjadi mungkin? Atau, apa yang menyebabkan saya atau anda membeli celanajeans dan orang lain membeli jam tangan, serta orang lainnya lagi membeli buku? Ada dua pendekatandalam menjawab pertanyaan ini: pertama, pendekatan yang mengatakan bahwa nilai secara alamiah melekatpada sebuah obyek (intrinsic theory). Menurut teori ini, semakin banyak kerja yang diinvestasikan padasebuah obyek, semakin obyek itu bernilai. Sementara pendekatan kedua mengatakan, nilai tidaklah inherendalam sebuah obyek, tapi ia (nilai) merupakan produk dari penilaian beragam konsumen (market-exchangetheory). Menurut teori pasar-pertukaran, nilai tergantung pada keinginan masing-masing orang: semakintinggi penghargaan mereka terhadap sebuah obyek dan semakin inginnya mereka melakukan pertukaran,semakin obyek itu bernilai. Teori inilah yang menjadi dasar dari pasar bebas kapitalisme.

    TNK Marx berpijak ada pendekatan pertama. Untuk sampai pada kesimpulan ini, mari kita ikuti strukturpenjelasannya. Katanya, ketiga komoditi itu bisa saling dipertukarkan, karena ketiganya memiliki skala(magnitude) yang identik. Atau sebagaimana dikemukakannya dalam Critique, ketiga komoditi itu memilikinilai-tukar yang sama walaupun mengandung nilai-guna yang berbeda (Marx, 1989:28). Dalam Capital ia

    mengatakan, (1) validitas nilai-tukar sebuah komoditi tertentu mengekspresikan sesuatu yang setara; (2)nilai-tukar tidak bisa tidak melainkan sebuah corak ekspresi (mode of expression), bentuk yangtampak/form of appearance, dari isi yang berbeda (Marx, 1990:127). Selanjutnya, ia mengatakan, jika duaproduk dipertukarkan, katakanlah 1kg baja ditukar dengan 1kg jagung, maka pertukaran di antara keduanyaterjadi karena ada sesuatu yang merepresentasikan kesetaraan, sehingga 1kg baja = 1kg jagung, dankesetaraan yang melekat pada masing-masing produk itu, sejauh masih dalam konteks nilai-tukar, bisadiredusir pada produk yang ketiga (ibid). Sederhananya, barang-barang yang saling dipertukarkan itu,dengan kualitas yang berbeda-beda tersebut, pasti memiliki kualitas bersama yang setara. Jika kualitasbersama itu tidak ada, tidak mungkin terjadi pertukaran di antara barang-barang tadi.

    Sampai di sini, gagasan Marx tentang pertukaran ini, menurut Rudolf Hilferding, berakar pada pemikiranAristoteles, yang mengatakan, pertukaran tidak akan terjadi tanpa kesetaraan (equality), dan kesetaraantidak mungkin ada tanpa adanya standar ukuran yang sama (commensurability).

    Apa standar ukuran yang sama itu? Menurut Marx, elemen yang sama itu tidak bisa berbentuk geometrik, fisikal,kimiawi, atau komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh alam. Misalnya, ukuran alamiah itu adalah panjang,berat, kepadatan, warna, ukuran, sifat molekul, dsb. Apakah 1kg beras sama kualitasnya dengan 1kg emas,

    11

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    12/23

    yang memungkinkan keduanya dipertukarkan? Tentu saja tidak! Singkatnya, apapun yang membuat kualitasfisik atau kimiawi yang melekat pada komoditi, pasti menentukan nilai guna komoditi tersebut, karena itumemiliki nilai-guna relative, tetapi itu bukan nilai-tukar. Nilai-tukar, mesti dipisahkan ( abstracted) dariapapun yang mengandung kualitas fisik alami dari komoditi (Mandel, 2006:36). Karena itu, nilai yang samaitu mesti dicari di tempat lain. Dalam Critique, ia memberikan contoh satu ons emas, satu ton besi,seperempat kg terigu, dan 20 yards sutra, adalah nilai-tukar dengan ukuran yang setara. Sebagai nilai-tukar,jika perbedaan kualitatif dari nilai-guna ketiganya dihilangkan, yang tinggal dari ketiganya representasi jumlah yang setara dari kerja yang sama (op.cit:29). Atau, sebagaimana dikatakannya dalamCapital, jika kita mengabaikan nilai-guna komoditi, maka hanya ada satu hal yang tersisa, bah

    keberadaannya merupakan produk dari kerja (op.cit:128). Selanjutnya ia mengatakan,

    Kita telah melihat, ketika komoditi berada dalam hubungan pertukaran, nilai-tukar mereka manifes (menjelma)pada dirinya sendiri sebagai sesuatu yang secara total independen dari nilai-guna mereka. Tetapi, jika kitamemisahkan nilai-guna komoditi tersebut, yang tetap darinya adalah nilai, sebagai sesuatu yang baru sajadidefinisikan. Oleh sebab itu, faktor bersama dalam hubungan pertukaran, atau di dalam nilai-tukar sebuahkomoditi, adalah nilai itu sendiri" (ibid.).

    Nilai itu sendiri, dalam hubungan pertukaran, menampakkan dirinya dalam wujud harga atau uang. Tetapi,darimana nilai itu berasal? Di sini, Marx meminjam konsep dari ekonom klasik, seperti Adam Smith danterutama David Ricardo. Menurut Ricardo, nilai sebuah komoditi, atau kuantitas dari setiap komoditilainnya yang memungkinkannya dipertukarkan, tergantung pada kuantitas relatif dari kerja yang dibutuhkanuntuk memroduksi komoditi tersebut, bukan pada besar-kecilnya kompensasi yang dibayarkan kepada buruh

    tersebut (Meek, 1956:97). Bagi Marx, satu-satunya nilai bersama yang dikandung oleh nilai-guna sebuahkomoditi, bahwa mereka adalah produk dari kerja. Dalam Capital, ia menegask,an nilai-guna atau barangyang berguna, hanya memiliki nilai karena kerja manusia dalam bentuk abstrak yang melekat atautermaterialisasikan ke dalamnya (op.cit: 129). Ditambahkan Rubin (op.cit:65), nilai dari sebuah komoditisecara proporsional langsung berkaitan dengan kuantitas kerja yang dibutuhkan dalam memproduksinya.

    Kalau kita bahasakan lebih sederhana: komoditi pasti mengandung dua karakteristik: pertama, komoditi tersebutmemiliki nilai guna; dan kedua, komoditi tersebut merupakan produk dari kerja manusia. Karena nilai-gunatidak bisa menjadi ukuran yang sama bagi sebuah produk untuk dipertukarkan (karena barang yang sama,misalnya, pasti memiliki nilai-guna yang berbeda bagi setiap orang), maka kegunaan dengan demikianadalah hubungan personal antara manusia dengan benda dan sebab itu bersifat subyektif. Itu pula sebabnya,ukuran nilai-guna ini tidak bisa menjelaskan mengapa komoditi secara konsisten dipertukarkan dalam rasioyang stabil.

    Maka yang tinggal adalah karakteristik kedua, yakni kerja manusia yang melekat pada benda tersebut. Berbedadengan nilai-guna yang ukurannya bersifat personal, maka kerja manusia yang melekat pada komoditi inibisa diukur secara obyektif. Pengukuran itu, menurut Marx melalui kuantitas dari substansi ymembentuk nilai, yakni kerja, yang terkandung dalam benda tersebut. Kuantitas ini diukur berdasarkandurasi kerja atau waktu kerja (labour-time) dan tenaga kerja itu sendiri diukur dalam skala tertentu sepertijam, hari, minggu, dst. (op.cit:129).

    Tetapi, jika nilai sebuah komoditi diukur berdasarkan waktu kerja yang dibutuhkan (necessary-labour time), untukmemroduksi komoditi tersebut, maka, kata Meek (op.cit:167), kita akan langsung berhadapan dengan soal:semakin lambat (idle) dan tidak terampilnya seorang buruh (unskilledlabor/simple labor)), maka semakinbesarlah nilai dari komoditi yang diproduksinya, karena semakin panjang waktu dihabiskannya untukmemroduksi komoditi tersebut. Sebaliknya, nilai dari komoditi yang dihasilkan oleh buruh terampil (skilledlabor/complexlabor) lebih kecil karena waktu yang digunakan untuk memroduksi komoditi tersebut lebihkurang.

    Untuk memperjelas apa yang dikemukakan Meek ini, mari kita lihat ilustrasi matematis dari Edward B. Avelingberikut: katakanlah V adalah simbol dari nilai, dan Q adalah simbol dari kuantitas kerja yang melekat padakomoditi. Karena nilai sebuah komoditi bergantung pada kerja manusia yang melekat padanya, maka makinbesar Q, makin besar pula V; begitu sebaliknya. Hubungan ini disimbolkan menjadi V Q.

    Kini, kita masukkan variabel produktivitas kerja, yang oleh Aveling diberi simbol P. Jika P berkurang, maka waktukerja yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditi (Q) bertambah, dengan demikian, V juga bertambah;sebaliknya, jika P bertambah maka Q berkurang dan otomatis V pun berkurang. Artinya, V tidak berkaitanlangsung dengan P tetapi, merupakan kebalikannya. Hubungan kedua ini disimbolkan menjadi V 1/P.

    Jika kedua pernyataan ini digabung, V Q dan V 1/P, maka kesimpulannya, nilai sebuah komoditi berhubunganlangsung dengan kuantitas waktu kerja yang melekat padanya dan berkebalikan dengan produktivitas kerjayang ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi-kondisi fisik dan sosial, dsb. (Avelling,2005:2-3).

    Berhadapan dengan soal ini, Marx (1990:129) mengatakan; .kerja yang membentuk substansi nilai adalah kerjamanusia yang setara, pengeluaran tenaga kerja manusia yang indentik. Total tenaga kerja masyarakat, yangmenjelma dalam nilai keseluruhan komoditi, di sini dihitung sebagai tenaga kerja manusia yang homogen,walaupun terdiri dari unit-unit tenaga kerja individual yang tidak terhitung jumlahnya. Setiap unit tersebutsama satu dengan lainnya, dimana secara sosial hal itu merupakan karakter dari rata-rata unit tenaga kerjadan tindakannya, yakni kebutuhannya, untuk memroduksi komoditi, waktu kerja yang dibutuhkan secararata-rata, atau dengan kata lain, secara sosial dibutuhkan (socially necessary). Waktu-kerja sosial yangdibutuhkan (Socially necessary labour-time) itu adalah waktu-kerja yang diperlukan untuk memroduksisetiap nilai-guna di bawah kondisi-kondisi produksi yang normal dalam masyarakat dan dengan rata-rataderajat keahlian dan intensitas kerja yang lazim dalam masyarakat. Diperkenalkannya mesin tenun diInggris, misalnya, mungkin mengurangi setengah waktu kerja yang dibutuhkan untuk memindahkankuantitas benang ke dalam pabrik tenun. Guna mengerjakan hal itu, penenun tangan Inggris pada

    12

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    13/23

    kenyataannya membutuhkan jumlah waktu-kerja yang sama seperti sebelumnya; tetapi produk dari jamkerja individualnya, kini hanya mencerminkan setengah jam dari kerja sosial, dan konsekuensinya jatuhmenjadi setengah jam dari nilai sebelumnya.

    Tetapi, jika jawaban Marx ini kita terima, maka persoalan lain yang lebih sulit sudah menanti, yakni direduksinyatenaga kerja terampil (skilled labour) menjadi tenaga kerja tidak terampil (unskilled labour). Meek(op.cit:168) memberikan contoh terhadap masalah ini: rata-rata tingkat keterampilan (average degree ofskill) boleh jadi dominan di satu industri pada waktu tertentu, tapi menjadi subordinatif di waktu yang lain;dan keseimbangan harga komoditi yang diproduksi oleh buruh yang relatif lebih terampil secara umum lebih

    mahal, dalam hubungannya dengan jumlah jam kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut,ketimbang dengan komoditi yang diproduksi oleh buruh yang relatif tidak terampil.

    Masih menurut Meek, Marx dalam Bab I Capital, memang tidak berusaha untuk menjawab kesulitan ini. Seluruhperhatiannya pada tahap awal ini adalah untuk mendemonstrasikan bahwa reduksi tenaga terampil menjaditenaga tidak terampil, pada kenyataannya terjadi di dunia nyata, dan reduksi ini merupakan aspek yangsangat esensial dalam proses umum dimana kerja individual direduksi menjadi kerja abstrak. Dalam Capitalia menjelaskan soal ini,

    .nilai sebuah komoditi mencerminkan kerja manusia yang murni dan sederhana, pengeluaran kerja manusiasecara umum. Dan layaknya dalam masyarakat sipil, seorang jenderal atau seorang bankir memainkan peranbesarnya sebagaimana manusia memainkan peran yang sangat penting, di sini juga demikian, peran yangsama dimainkan oleh kerja manusia. Itulah pengeluaran tenaga kerja sederhana (tenaga kerja tidak

    terampil), yakni tenaga kerja yang dimiliki di luar jalur perkembangan yang khusus. Adalah benar bahwarata-rata kerja sederhana karakternya beragam pada setiap negara yang berbeda, pada epos kebudayaan yangberbeda, tetapi dalam masyarakat tertentu hal itu terjadi. Tenaga kerja terampil, dengan demikian tak lebihsebagai intensifikasi kerja, atau malah kerja-sederhana yang dilipatgandakan, sehingga semakin kecil jumlahtenaga kerja terampil harus dimengerti sama dengan semakin besar jumlah tenaga kerja tidak terampil.Pengalaman menunjukkan, reduksi ini secara tetap terjadi. Sebuah komoditi mungkin merupakan hasil darikerja yang sangat rumit, tetapi nilai dari komoditi tersebut pada dasarnya adalah setara bahwa ia adalahproduk dari kerja sederhana, dengan demikian komoditi tersebut hanya mencerminkan jumlah khusus darikerja sederhana. Proporsi beragam dimana berbagai jenis kerja yang berbeda direduksi menjadi kerjasederhana setelah unitnya diukur, merupakan hasil dari proses sosial yang muncul di belakang punggungpara produser; oleh karenanya bagi para produser, proporsi mereka tampak sebagai warisan tradisi. Demikepentingan penyederhanaan, kita harus mulai melihat bahwa semua bentuk tenaga kerja langsung sebagaitenaga kerja sederhana; dengan ini kita, cukup melindungi diri kita sendiri dari kesalahan ketika melakukan

    penyederhanaan (ibid:135).

    Soal lain yang muncul dari TNK, jika nilai (harga) yang dikandung oleh komoditi adalah produk dari kerja,bagaimana kita melihat benda-benda seperti tanah, udara, atau air yang kini telah menjadi komoditi melaluiproses komodifikasi? Bukankah benda-benda tersebut bukan produk dari kerja? Ernest Mandel memberikanjawaban terhadap soal ini, bahwa benda yang bukan merupakan produk dari kerja manusia menjadi bernilaiatau berharga ketika ia dimiliki secara pribadi, melalui lembaga sosial kepemilikan pribadi. Tanah, misalnya,yang bukan merupakan produk kerja manusia menjadi memiliki nilai, ketika di atas tanah itu dipasang papanpengumuman: Di larang melewati jalan ini, atau Tanah ini bukan milik umum, dilarang menanam apapundi atasnya (in Marx, op.cit:44).

    Pemujaan Komoditi

    Kita telah mendiskusikan, apa yang Marx maksud dengan TNK. Tetapi, diskusi ini masih bersifat permukaan, kitamasih harus maju selangkah lagi. Kalau kita terima konsepsi Marx tentang TNK, lalu apa keistimewaan teori inidalam memahami kapitalisme?

    Saya mengajukan pertanyaan ini karena terinspirasi dari pernyataan Rubin, mengenai ciri khas pemikiran Marx.Menurutnya, Marx di dalam karya-karyanya, selalu berusaha melampaui apa yang tampak dari luar ( outwardappearance), atau yang sekadar menunjukkan hubungan eksternal (external connection), atau bahkan yang hanyaberupa fenomena permukaan (surface of phenomena), untuk kemudian menuju pada sesuatu yang berkaitandengan hubungan internal (internal connection), hubungan yang bersifat imanen (immanent connection), ataumenelisik pada esensi benda-benda (the essence of things) (op.cit:26).

    Ini berbeda dengan kalangan ekonom vulgar, yang hanya mengkaji apa yang,

    terasing dari hubungan ekonomi (C,III,p.817), yakni yang obyaktif, bentuk dari benda-benda yang siap pakai,bukan yang diambil dari karakter sosialnya. Mereka melihat proses personifikasi benda-bedan yang berada dalampenampakkan kehidupan ekonomi, tetapi mereka tidak memiliki gagasan tentang proses reifikasi (bendanisasi)hubungan produksi di antara orang-orang. Mereka mempertimbangkan kategori-kategori material, kondisi-kondisidari proses produksi yang siap dikerjakan, yang berdampak pada motivasi produser dan yang terekspresi dalamkesadaran mereka, mereka tidak menguji karakter kategori-kategori material tersebut sebagai hasil dari prosessosial. Mengabaikan proses sosial internal ini, mereka membatasi dirinya sendiri pada hubungan eksternal diantara benda-benda sebagaimana hubungan ini muncul dalam persaingan. Dalam persaingan, kemudian semuanyamuncul dari dalam ke luar dan selalu terlhat sebagai kebalikannya. Jadi, hubungan produksi di antara orang-orangyang tampak di permukaan tergantung pada bentuk-bentuk sosial dari benda-benda, dan bukan pada hal lain disekitarnya (ibid:26-27).

    Dalam kaitannya dengan TNK, hampir semua pengkaji Capital dari Hilferding, Rubin, Meek, Mandel, atau Hiroyosi,tiba pada kesimpulan bahwa kita hanya akan bisa memahami TNK, jika kita mengaitkannya dengan konsep Marx

    tentang Pemujaan Komoditi (Commodity Fetishism). Kembali mengutip Rubin; ..TNK tidaklah berurusandengan kerja sebagai sebuah faktor teknikal produksi, tapi dengan aktivitas kerja orang-orang sebagai basis bagikehidupan sosial, dan dengan bentuk-bentuk sosial dalam mana kerja itu hadir (ibid:82).

    13

  • 8/7/2019 Seri Kajian Capital

    14/23

    Berdasarkan pendapat Rubin ini, esensi TNK adalah menempatkan hubungan antar manusia sebagai hal yangpertama dan terutama, bukan hubungan antara manusia dengan benda, apalagi hubungan di antara benda-benda.Ronald E. Meek (opcit: 145), memberikan deskripsi yang menarik soal esensi TNK, dengan menekankan bahwanilai, bagi Marx, menampakkan dirinya dalam wujud eskpresi hubungan produksi di antara manusia (productionrelation between man) dalam sebuah masyarakat. Hubungan di antara barang-barang yang terjadi di pasar, baginyatak lebih sebagai subyek dari pertukaran individual, yang pada esensinya merupakan ekspresi hubungan di antaraproduser barang-barang yang terpisah. Singkatnya, hubungan antara komoditi (things), merupakan kelanjutan darihubungan di antara penghasil komoditi (commodityproducers). Konkretnya, dalam pasar pertukaran, yang tampakkasat-mata adalah pertukaran antara sepatu dengan sandal yang dimediasi oleh uang, yang sesungguhnya terjadi,

    adalah pertukaran di antara produser sepatu dan produser sandal.

    Pada titik inilah, konsep Marx tentang Pemujaan Komoditi, menempati peran yang sangat sentral dalam bangunanteori ekonomi politiknya. Apa itu pemujaan komoditi? Menurut Richard Schmitt (1997:78), akar teoritik darikonsep Pemujaan Komoditi ini adalah pada teori Marx-Engels tentang ideologi. Sebagaimana kita ketahui, Marxmendefinsikan ideologi sebagai sesuatu yang ditentukan oleh sistem material, dan karena sistem materialnyaadalah masyarakat kapitalis yang berkelas-kelas, maka ideologi dalam pandangannya hanya berfungsi melayanikepentingan kelas dominan. Sementara bagi kelas pekerja, ideologi tak lain adalah cara pandangnya yang terbalikatas dunia obyektif, atau seperti cermin terbalik (camera obscura). Kalau anda berdiri di depan cermin, ketika andabergerak ke kiri, maka yang tampak di cermin adalah anda sedang bergerak ke kanan.Masih abstrak? Mari kita ikuti pendapat Michael A. Lebowitz, yang mengatakan bahwa penjelasan paling baiktentang konsep Pemujaan Komoditi, dikemukakan oleh artis Wallace Shawn, seorang aktor dan penulis AS. Dalampementasannya berjudul The Fever, Shawn sebagai sang protagonis, suatu ketika menemukan Capital dan mulaimembacanya pada suatu malam. Dari bacaan terhadap Capital itu, Shawn lantas mengatakan,

    Saya tiba pada frase yang telah saya dengar sebelumnya, sesuatu yang asing, menjengkelkan, urutan frase singkatyang buruk: itulah seksi tentang pemujaan komoditi, "komoditi yang diberhalakan." Saya ingin memahami fraseyang terdengar aneh ini, tapi harus saya katakan, untuk memahami hal itu, seluruh kehidupan anda mungkin sajaakan berubah.

    Penjelasannya sangat sulit dimengerti. Ia menggunakan contoh tentang seseorang y