SENIN, 3 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Pendidikan … fileP ADA 2010, laporan se-jumlah lembaga...

1
P ADA 2010, laporan se- jumlah lembaga yang bergiat di bidang anti- kekerasan dan perda- maian tingkat nasional maupun internasional menunjukkan masih tingginya tingkat keke- rasan yang bermotifkan agama. Beberapa bulan lalu, dalam sebuah sesi les privat, seorang murid bercerita tentang sesuatu yang bagi saya tak terduga. Murid ini, yang bersekolah di salah satu sekolah menengah di sebuah negara Eropa, menyam- paikan guru agamanya, yang sekaligus mengajar beberapa agama yang dianut murid, me- nyatakan Islam adalah agama orang-orang teroris. Tidak sulit memang untuk mencari pembenaran terkait dengan pernyataan itu. Kita tahu bahwa pelaku pengebom- an di sebuah stasiun dan bus double-decker pada 7 Juli 2005 di London adalah muslim London keturunan Pakistan dan Ja- maika. Atau yang lebih terkenal tentu saja bahwa setiap tahun kini orang-orang di Amerika memperingati peristiwa 9/11, pengeboman tragis yang me- newaskan ribuan orang yang juga dilakukan mereka yang mengaku berjihad demi Islam. Satu hal yang pasti, si guru agama, yang bukan muslim dan juga mungkin tidak beragama Buddha, atau bahkan seorang ateis, sudah pasti mengajar agama sebagai ilmu pengeta- huan semata, suatu subjek yang tidak berurusan dengan soal ritual atau spiritual. Atau jika kita berpikir lebih negatif lagi, pengetahuan sang guru tentang agama, sesuai dengan kisah si murid dan orang tuanya, boleh saja tak lebih dari kulit luar, bukan atas dasar kompetensi akademis yang sesuai. Namun, yang paling menye- dihkan di sini bukanlah itu, melainkan bagaimana mungkin sebuah sekolah di negara yang dipandang maju dan berper- adaban gagal memastikan li- sensi mengajar telah diberikan kepada orang yang tepat, yang seharusnya mengerti pedagogi dan konsep pendidikan damai, hak-hak minoritas, dan sete- rusnya. Bagaimana mungkin peng- ajaran agama di sekolah me- nengah direduksi dengan melepaskannya dari konteks etis-historis dan keterkaitannya dengan subjek-subjek lain. Meskipun ada permintaan maaf dari pihak sekolah dan kasus serupa tak terulang lagi, orang tua murid ini bercerita, tidak tertutup kemungkinan bahwa ada kasus-kasus lain yang luput karena tak seorang pun menyampaikan keluhan. Bukankah jika demikian yang mungkin terjadi adalah stigma- tisasi karena generalisasi yang tidak pas terhadap suatu agama atau pemeluknya? Dalam kasus ini ada satu hal yang paling mencemaskan: kebencian bisa jadi akan tum- buh di hati murid. Bagi mereka yang muslim, keterhinaan akan menyemai kebencian dalam bentuknya yang paling primi- tif. Bagi murid nonmuslim, stereotip dan prejudice akan menjadi penghuni memori yang sama sekali tak mudah dihapus. Ada cerita lain dari Indonesia, yang bermula di saat Amerika mulai menyerang Afghanistan secara frontal menghadapi kelompok Taliban setelah se- rangan 11 September 2001. Se- orang guru senior kolega saya menyatakan niatnya untuk ikut berjihad di Afghanistan de- ngan pertimbangan bahwa itu merupakan kewajiban setiap muslim. Bagi dia, berkorban seperti itu merupakan cara untuk bereksistensi dalam beragama dan pada akhirnya memastikan dengan cepat satu tempat di surga. Di samping itu ada yang agak komikal terkait dengan alasannya yang lain: orang- orang Amerika itu kar dan menyerang Afghanistan seba- gai sebuah negara muslim se- hingga harus diperangi dengan cara apa pun juga. Namun, saat itu, dia tidak tahu bahwa di kalangan tentara Amerika sendiri terdapat orang-orang muslim yang berperang justru melawan orang-orang muslim juga. Niat teman itu kemudian batal karena ada persuasi dari bebe- rapa orang yang berwawasan luas sekaligus berpengaruh pada dirinya. Tak lama setelah itu dia me- nikah. Meski tetap ada keingin- an untuk berjihad di medan perang, seperti terungkap jika kami mengobrol sam- bil makan siang, teman ini sekarang ternyata lebih sibuk memikirkan side job untuk me- mastikan uang buat beli susu dan asuransi anaknya. Bahkan di hampir setiap pertemuan dia menawarkan obat-obat herbal ‘islami’ yang menurutnya ba- gus buat kesehatan. Strategi pemasarannya adalah meng- gunakan ayat, hadis, dan nama Tuhan. Tapi, ada yang tetap tak bisa hapus dari ingatan- nya: kebencian akan Amerika dan apalagi pada Israel atau orang Yahudi. Dalam khotbah, obrolan, dan pengajarannya hal itu masih terus disampaikan sedemikian rupa. Yasmina Khadra, pseudonim dari Mohammed Moulesse- houl, mantan tentara Aljazair, menulis sebuah novel, The Attack , 2006, yang di dalamnya ia bercerita tentang kebencian yang menyebabkan seorang perempuan ‘baik-baik’ rela menjadi pelaku bom bunuh diri. Yasmina Khadra berkisah perihal seorang dokter di Israel, bernama Amin Jaafari, yang tidak saja sukses dalam karier dan materi, tetapi juga telah mencapai status sosial yang jauh berjarak dari orang-orang Israel keturunan Arab lainnya. Dia yakin bahwa dengan menjadi seorang yang apolitis dan areligious dia tidak akan bersusah hati dan pikiran de- ngan terlibat dalam konflik Israel-Palestina yang berkepan- jangan. Dia cukup fokus pada hidupnya sendiri dan tugas sebagai dokter untuk menyelamat- kan hidup orang lain, siapa pun itu. Namun, asumsinya tentang hidup tak sepenuh- nya tepat. Istrinya sendiri kemudian terbukti melaku- kan bom bunuh diri di sebuah restoran tempat puluhan anak sekolah tengah berpesta. Ke- napa bisa, pikir Jaafari penuh kepahitan, seorang yang ter- lihat demikian bahagia, ber- kecukupan, dan terpandang memilih akhir hidupnya tun- duk pada doktrin seorang imam tentang kebahagiaan di dunia lain dan semu dengan membunuhi orang lain? Tetapi, jawabannya tak ru- mit-rumit amat. Sinem, istri sang dokter, ternyata suatu ketika pernah sangat terhina sebagai seorang Palestina. Itu menumbuhkan kebencian yang mendekam dalam dirinya se- lama puluhan tahun. Tanpa sepengetahuan suaminya, dia terus-menerus membantu de- ngan cara apa pun kegiatan perlawanan kekerasan bawah tanah terhadap Israel sampai tiba saatnya dia menjemput kebahagiaan yang dijanjikan sang imam dengan membunuh dirinya sendiri serta anak-anak sekolah yang sedang bersuka- ria. Dia hendak menunjukkan kepada dunia bahwa ‘kami’ ada dan mampu melampiaskan kebencian dengan cara ‘kami’ sendiri. “Tetapi”, kata Amin Ja- faari putus asa, “kenapa si imam tak mau mengorbankan hidupnya sendiri?” Mungkin inilah sejatinya kehidupan seorang ideolog, dalam wa- jah imam, guru agama, atau siapa pun yang mengajarkan radikalisme agama berdasar kebencian. Baginya, berpropaganda (atau berdakwah) merupakan tugas mulia yang harus dilaku- kan murni atas dasar pemaha- mannya yang radikal bahwa nyawa seseorang atau bah- kan seribu orang, terlepas dia bersalah atau tidak bersalah, menjadi tidak berharga ketika berhadapan dengan misi reli- gius atau primordialnya. Tapi, penting dicatat, nyawanya sendiri dihitung lebih berharga daripada jemaahnya. Ideolog-ideolog seperti itu bisa jadi selalu hadir di dekat kita. Sebagai seorang muslim, umpamanya, saya tak habis pikir kenapa topik permusuh- an orang Islam dengan orang Kristen atau Yahudi demikian sering diulang-ulang dalam khotbah Jumat, pengajian maje- lis taklim, atau bahkan ceramah keagamaan di sekolah? Apakah tidak ada topik lain? Beberapa bulan yang lalu, ada rasa takut ketika saya hen- dak mendaftarkan anak ber- sekolah. Ketika di rumah kita mengajarkan semua manusia itu setara, bahwa tak berarti orang lain agama itu jelek, apa- kah hal yang sama juga akan diajarkan di sekolah? Apakah yang bisa kita katakan kepada anak, kalau suatu hari dia da- tang dengan wajah tegang dan amarah, menyatakan ‘kita’ ha- rus berhati-hati dengan ‘si Anu’ karena dia beragama beda? Mungkin tak salah kiranya kalau kita memang harus ber- hati-hati dalam memilih seko- lah atau memilih guru yang akan mengajar anak kita, ter- utama jika itu berkaitan dengan hal-hal yang sensitif seperti agama. Syukur jika semuanya baik- baik saja, tetapi bagaimana jika tidak, apalagi kalau nasi sudah menjadi bubur? Apa lagi yang bisa dilakukan kalau anak kita, umpamanya, di usianya yang ke-18 tiba-tiba saja ber- temu seorang ideolog (yang mungkin kita carikan sendiri) dan kemudian meremehkan atau bahkan memusuhi bapak- ibunya sendiri? Tak kalah pentingnya, tentu saja, perlu ada fungsi peng- awasan sebagai orang tua, baik terhadap anak mau- pun institusi pendidikannya atau bahkan guru-guru yang mengajarnya. Komunikasi yang terus-menerus dengan anak akan lebih memastikan bahwa dia ‘aman’, ketika komunikasi dengan orang- orang yang memfasilitasi pendidikannya akan meya- kinkan kita bahwa dia berada dalam lingkungan yang tepat bagi perkembangannya. Padi tumbuh tak berisik, kata pepa- tah, dan radikalisme dengan ajaran kekerasan juga sering tumbuh seperti itu. T ERSISA banyak perta- nyaan tentang agenda pendidikan yang be- lum tuntas di tahun 2010. Salah satunya adalah minimnya pengawasan dan evaluasi kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS). Se- lain masalah ujian nasional (UN), BOS adalah agenda pen- didikan nasional yang perlu mendapat perhatian ekstra keras di tahun ini. Bukan hanya total nilai ang- garan untuk BOS yang meng- alami penaikan hingga 15 triliun lebih, melainkan juga keputusan tentang mekanisme dan cara penyaluran dana yang langsung ke bendahara daerah tingkat II (kabupaten/kota) perlu mendapat pengawasan ekstra ketat. Karena, implikasi pembiayaan sekolah, dalam banyak hal, berpengaruh ter- hadap kualitas pendidikan. Memang ada komitmen antarlembaga untuk meng- awasi penyaluran dana BOS agar aman dan sampai ke sekolah dengan baik. Tetapi beberapa ilustrasi dari lapang- an menunjukkan rentannya dana ini disalahgunakan oleh pemegang kepentingan. Pada tingkat kebijakan, penyaluran dana BOS melalui mekanis- me pemerintah daerah tanpa mempersiapkan infrastruktur sekolah secara baik adalah bunuh diri. Beberapa studi tentang dampak kualitas pendidikan terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pen- tingnya penciptaan sebuah budaya sekolah yang sehat se- cara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keber- hasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan nansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menakan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Educa- tion Opportunity, 1966). Dalam banyak hal, kemente- rian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah, sehingga kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pen- didikan. Padahal jika kita me- rujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan Rob Greenwald dll, dalam “The Effect of School Resources on Student Achieve- ment, Review of Educational Research, (1996), jelas terlihat bahwa strategi pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa. Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa ( student achievement), terutama dengan melihat tren pembiayaan pen- didikan secara statistis. Dengan menggunakan regresi statistis, terlihat bahwa hubungan ca- paian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki la- tar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Karena itu jika hanya meng- acu pada indikator kebutuhan siswa per orang per tahun seperti dana BOS, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai “production-function studies”. Dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara se- makin besar dana yang diguna- kan dalam proses pendidikan dan capaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup me- ngagetkan, “There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance.” (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expen- ditures on School Performance”, Educational Researcher: 1989) Pada tingkat sekolah, cara sekolah menyusun RAPBS juga tak menggambarkan penubuh- an budaya sekolah yang se- hat. RAPBS hanya merupakan tumpukan program pembelian barang, pembayaran honor, pemberian uang transpor, tan- pa ada strategi yang jitu tentang bagaimana seharusnya RAPBS direncanakan, disusun, dikelo- la, dan dikerjakan. RAPBS se- harusnya mengacu dan berori- entasi pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah, men- cakup proses belajar-mengajar dan peningkatan kemampuan teknis dan metodologis guru dalam mengembangkan bahan ajar. Menyusun RAPBS yang se- hat, tak ada kata lain, harus melibatkan masyarakat sekitar sekolah atau komite sekolah. Banyak sekali terjadi komite sekolah hanya merupakan ‘tu- kang stempel’ kepala sekolah dalam melegitimasi seluruh kegiatan sekolah yang berbasis anggaran. Hampir tak ada pro- gram dari Kementerian Pendi- dikan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, terutama program-program pelatihan untuk komite seko- lah. Banyak komite sekolah mengaku bahwa mereka se- lama ini tak pernah tahu ten- tang peran, fungsi, dan tugas pokok komite sekolah, apalagi mekanisme perencanaan dan pencairan dana BOS. Tanpa perbaikan kebijakan yang menempatkan posisi masyarakat untuk ikut secara langsung dalam merencanakan dan mengimplementasikan dana BOS, prospek BOS 2011 sangat berpotensi untuk diko- rup secara massal. Sebagai lem- baga yang bertanggung jawab dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam penye- lenggaraan pendidikan di seko- lah, komite sekolah harus dapat menciptakan kondisi sekolah yang transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelengga- raan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Never doubts that a small group of thoughtful, committed people can change the world. In- deed, it is the only thing that ever has” (Margaret Med). Karena itu sudah saatnya pemerintah melakukan pemberdayaan ter- hadap seluruh komite sekolah, sekaligus melibatkan mereka dalam setiap kegiatan penyu- sunan RAPBS terutama yang berbasis dana BOS. Prospek BOS 2011 CALAK EDU Pendidikan Agama tanpa Kebencian 13 P ENDIDIK AN SENIN, 3 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA DOK PRIBADI Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta Sudah saatnya pemerintah melakukan pember- dayaan terhadap seluruh komite sekolah, sekaligus melibatkan mereka dalam setiap kegiatan penyusunan RAPBS terutama yang berbasis dana BOS.” Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). PARTISIPASI OPINI Khairil Azhar Praktisi pendidikan dan peneliti di Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta k s FREDDY Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele- pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku- lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per- cetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web- site: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR- TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEM- INTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra- djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo- pratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu- tabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi Dean Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo- chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunar- wati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulai- man Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indri- antari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (De- pok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Bahar- man (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Se- marang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Si- laban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mah- mudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, An- nette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Per- mana, Hari Syahriar, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Her- nando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King Manajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: An- dreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: M. Isroy (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Makassar: Bam- bang Irianto 081351738384.

Transcript of SENIN, 3 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Pendidikan … fileP ADA 2010, laporan se-jumlah lembaga...

Page 1: SENIN, 3 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Pendidikan … fileP ADA 2010, laporan se-jumlah lembaga yang bergiat di bidang anti-kekerasan dan perda-maian tingkat nasional maupun internasional

PADA 2010, laporan se-jumlah lembaga yang bergiat di bidang anti-kekerasan dan perda-

maian tingkat nasional maupun internasional menunjukkan masih tingginya tingkat keke-rasan yang bermotifkan agama. Beberapa bulan lalu, dalam sebuah sesi les privat, seorang murid berce rita tentang sesuatu yang bagi saya tak terduga. Murid ini, yang bersekolah di salah satu sekolah menengah di sebuah negara Eropa, menyam-paikan guru agamanya, yang sekaligus mengajar beberapa agama yang dianut murid, me-nyatakan Islam adalah agama orang-orang teroris.

Tidak sulit memang untuk mencari pembenaran terkait dengan pernyataan itu. Kita tahu bahwa pelaku pengebom-an di sebuah stasiun dan bus double-decker pada 7 Juli 2005 di London adalah muslim London keturunan Pakistan dan Ja-maika. Atau yang lebih terkenal tentu saja bahwa setiap tahun kini orang-orang di Amerika memperingati peristiwa 9/11, pengeboman tragis yang me-newaskan ribuan orang yang juga dilakukan mereka yang mengaku berjihad demi Islam.

Satu hal yang pasti, si guru agama, yang bukan muslim dan juga mungkin tidak beragama Buddha, atau bahkan seorang ateis, sudah pasti mengajar agama sebagai ilmu pengeta-huan semata, suatu subjek yang tidak berurusan dengan soal ritual atau spiritual. Atau jika kita berpikir lebih negatif lagi, pengetahuan sang guru tentang agama, sesuai dengan kisah si murid dan orang tuanya, boleh saja tak lebih dari kulit luar, bukan atas dasar kompetensi akademis yang sesuai.

Namun, yang paling menye-dihkan di sini bukanlah itu, melainkan bagaimana mungkin sebuah sekolah di negara yang dipandang maju dan berper-

adaban gagal memastikan li-sensi mengajar telah diberikan kepada orang yang tepat, yang seharusnya mengerti pedagogi dan konsep pendidikan damai, hak-hak minoritas, dan sete-rusnya.

Bagaimana mungkin peng-ajaran agama di sekolah me-nengah direduksi dengan melepaskannya dari konteks etis-historis dan keterkaitannya dengan subjek-subjek lain.

Meskipun ada permintaan maaf dari pihak sekolah dan kasus serupa tak terulang lagi, orang tua murid ini bercerita, tidak tertutup kemungkinan bahwa ada kasus-kasus lain yang luput karena tak seorang pun menyampaikan keluhan. Bukankah jika demikian yang mungkin terjadi adalah stigma-tisasi karena generalisasi yang tidak pas terhadap suatu agama atau pemeluknya?

Dalam kasus ini ada satu hal yang paling mencemaskan: kebencian bisa jadi akan tum-buh di hati murid. Bagi mereka yang muslim, keterhinaan akan menyemai kebencian dalam bentuknya yang paling primi-tif. Bagi murid nonmuslim, stereotip dan prejudice akan menjadi penghuni memori yang sama sekali tak mudah dihapus.

Ada cerita lain dari Indonesia, yang bermula di saat Amerika mulai menyerang Afghanistan secara frontal menghadapi kelompok Taliban setelah se-rangan 11 September 2001. Se-orang guru senior kolega saya menyatakan niatnya untuk ikut berjihad di Afghanistan de-ngan pertimbangan bahwa itu merupakan kewajiban setiap muslim. Bagi dia, berkorban seperti itu merupakan cara untuk bereksistensi dalam beragama dan pada akhirnya memastikan dengan cepat satu tempat di surga.

Di samping itu ada yang agak komikal terkait dengan

alasannya yang lain: orang-orang Amerika itu kafi r dan menyerang Afghanistan seba-gai sebuah negara muslim se-hingga harus diperangi dengan cara apa pun juga. Namun, saat itu, dia tidak tahu bahwa di kalangan tentara Amerika sendiri terdapat orang-orang muslim yang berperang justru melawan orang-orang muslim juga.

Niat teman itu kemudian batal karena ada persuasi dari bebe-rapa orang yang berwawasan luas sekaligus berpengaruh p a d a dirinya. Tak lama s e t e l a h itu dia me-nikah. Meski tetap ada keingin-a n

untuk berjihad di medan perang, seperti terungkap jika kami mengobrol sam-bil makan siang, teman ini sekarang ternyata lebih sibuk memikirkan side job untuk me-mastikan uang buat beli susu dan asuransi anaknya. Bahkan di hampir setiap pertemuan dia menawarkan obat-obat herbal ‘islami’ yang menurutnya ba-gus buat kesehatan. Strategi pemasarannya adalah meng-

gunakan ayat, hadis, dan nama Tuhan. Tapi, ada yang tetap tak bisa hapus dari ingatan-nya: kebencian akan Amerika dan apalagi pada Israel atau orang Yahudi. Dalam khotbah, obrolan, dan pengajarannya hal itu masih terus disampaikan sedemikian rupa.

Yasmina Khadra, pseudonim dari Mohammed Moulesse-houl, mantan tentara Aljazair, m e n u l i s

sebuah novel, T h e A t t a c k ,

2006, yang di dalamnya ia bercerita tentang kebencian yang menyebabkan seorang perempuan ‘baik-baik’ rela menjadi pelaku bom bunuh diri. Yasmina Khadra berkisah perihal seorang dokter di Israel,

bernama Amin Jaafari, yang tidak saja sukses dalam karier dan materi, tetapi juga telah mencapai status sosial yang jauh berjarak dari orang-orang Israel keturunan Arab lainnya.

Dia yakin bahwa dengan menjadi seorang yang apolitis dan areligious dia tidak akan bersusah hati dan pikiran de-ngan terlibat dalam konflik Israel-Palestina yang berkepan-

jangan. Dia cukup fokus pada hidupnya sendiri

dan tugas sebagai dokter untuk

menyelamat-kan hidup orang lain, siapa pun itu.

N a m u n , asumsinya t e n t a n g

hidup tak sepenuh-nya tepat. Istrinya sendiri

kemudian terbukti melaku-kan bom bunuh diri di sebuah restoran tempat puluhan anak sekolah tengah berpesta. Ke-napa bisa, pikir Jaafari penuh kepahitan, seorang yang ter-lihat demikian bahagia, ber-kecukupan, dan terpandang memilih akhir hidupnya tun-duk pada doktrin seorang imam tentang kebahagiaan di dunia lain dan semu dengan membunuhi orang lain?

Tetapi, jawabannya tak ru-

mit-rumit amat. Sinem, istri sang dokter, ternyata suatu ketika pernah sangat terhina sebagai seorang Palestina. Itu menumbuhkan kebencian yang mendekam dalam dirinya se-lama puluhan tahun. Tanpa sepengetahuan suaminya, dia terus-menerus membantu de-ngan cara apa pun kegiatan perlawanan kekerasan bawah tanah terhadap Israel sampai tiba saatnya dia menjemput kebahagiaan yang dijanjikan sang imam dengan membunuh dirinya sendiri serta anak-anak sekolah yang sedang bersuka-ria.

Dia hendak menunjukkan kepada dunia bahwa ‘kami’ ada dan mampu melampiaskan kebencian dengan cara ‘kami’ sendiri.

“Tetapi”, kata Amin Ja-faari putus asa, “kenapa si imam tak mau mengorbankan hidupnya sendiri?” Mungkin inilah sejatinya kehidupan seorang ideolog, dalam wa-

jah imam, guru agama, atau siapa pun yang mengajarkan

radikalisme agama berdasar kebencian.

Baginya, berpropaganda (atau berdakwah) merupakan tugas mulia yang harus dilaku-kan murni atas dasar pemaha-mannya yang radikal bahwa nyawa seseorang atau bah-kan seribu orang, terlepas dia bersalah atau tidak bersalah, menjadi tidak berharga ketika berhadapan dengan misi reli-gius atau primordialnya. Tapi, penting dicatat, nyawanya sendiri dihitung lebih berharga daripada jemaahnya.

Ideolog-ideolog seperti itu bisa jadi selalu hadir di dekat kita. Sebagai seorang muslim, umpamanya, saya tak habis pikir kenapa topik permusuh-an orang Islam dengan orang Kristen atau Yahudi demikian sering diulang-ulang dalam khotbah Jumat, pengajian maje-lis taklim, atau bahkan ceramah

keagamaan di sekolah? Apakah tidak ada topik lain?

Beberapa bulan yang lalu, ada rasa takut ketika saya hen-dak mendaftarkan anak ber-sekolah. Ketika di rumah kita mengajarkan semua manusia itu setara, bahwa tak berarti orang lain agama itu jelek, apa-kah hal yang sama juga akan diajarkan di sekolah? Apakah yang bisa kita katakan kepada anak, kalau suatu hari dia da-tang dengan wajah tegang dan amarah, menyatakan ‘kita’ ha-rus berhati-hati dengan ‘si Anu’ karena dia beragama beda?

Mungkin tak salah kiranya kalau kita memang harus ber-hati-hati dalam memilih seko-lah atau memilih guru yang akan mengajar anak kita, ter-utama jika itu berkaitan dengan hal-hal yang sensitif seperti agama.

Syukur jika semuanya baik-baik saja, tetapi bagaimana jika tidak, apalagi kalau nasi sudah menjadi bubur? Apa lagi yang bisa dilakukan kalau anak kita, umpamanya, di usianya yang ke-18 tiba-tiba saja ber-temu seorang ideolog (yang mungkin kita carikan sendiri) dan kemudian meremehkan atau bahkan memusuhi bapak-ibunya sendiri?

Tak kalah pentingnya, tentu saja, perlu ada fungsi peng-awasan sebagai orang tua, baik terhadap anak mau-pun institusi pendidikannya atau bahkan guru-guru yang mengajarnya. Komunikasi yang terus-menerus dengan anak akan lebih memastikan bahwa dia ‘aman’, ketika komunikasi dengan orang-orang yang memfasilitasi pendidikannya akan meya-kinkan kita bahwa dia berada dalam lingkungan yang tepat bagi perkembangannya. Padi tumbuh tak berisik, kata pepa-tah, dan radikalisme dengan ajaran kekerasan juga sering tumbuh seperti itu.

TERSISA banyak perta-nyaan tentang agenda pendidikan yang be-lum tuntas di tahun

2010. Salah satunya adalah minimnya pengawasan dan evaluasi kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS). Se-lain masalah ujian nasional (UN), BOS adalah agenda pen-didikan nasional yang perlu mendapat perhatian ekstra keras di tahun ini.

Bukan hanya total nilai ang-garan untuk BOS yang meng-alami penaikan hingga 15 triliun lebih, melainkan juga keputusan tentang mekanisme dan cara penyaluran dana yang langsung ke bendahara daerah tingkat II (kabupaten/kota) perlu mendapat pengawasan ekstra ketat. Karena, implikasi pembiayaan sekolah, dalam banyak hal, berpengaruh ter-hadap kualitas pendidikan.

Memang ada komitmen antarlembaga untuk meng-awasi penyaluran dana BOS agar aman dan sampai ke sekolah dengan baik. Tetapi beberapa ilustrasi dari lapang-

an menunjukkan rentannya dana ini disalahgunakan oleh pemegang kepentingan. Pada tingkat kebijakan, penyaluran dana BOS melalui mekanis-me pemerintah daerah tanpa mempersiapkan infrastruktur sekolah secara baik adalah bunuh diri.

Beberapa studi tentang dampak kualitas pendidikan terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pen-tingnya penciptaan sebuah budaya sekolah yang sehat se-cara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keber-hasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan fi nansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafi kan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Educa-tion Opportunity, 1966).

Dalam banyak hal, kemente-rian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah, sehingga kebutuhan untuk membangun

suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pen-didikan. Padahal jika kita me-rujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan Rob Greenwald dll, dalam “The Effect of School Resources on Student Achieve-ment,” Review of Educational Research, (1996), jelas terlihat bahwa strategi pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.

Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa (student achievement), terutama dengan melihat tren pembiayaan pen-didikan secara statistis. Dengan menggunakan regresi statistis, terlihat bahwa hubungan ca-paian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki la-

tar belakang budaya dan etnik yang berbeda.

Karena itu jika hanya meng-acu pada indikator kebutuhan siswa per orang per tahun seperti dana BOS, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai “production-function studies”. Dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara se-makin besar dana yang diguna-kan dalam proses pendidikan dan capaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup me-ngagetkan, “There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance.” (Eric Hanushek, “The Impact of Differential Expen-ditures on School Performance”, Educational Researcher: 1989)

Pada tingkat sekolah, cara sekolah menyusun RAPBS juga tak menggambarkan penubuh-an budaya sekolah yang se-hat. RAPBS hanya merupakan tumpukan program pembelian barang, pembayaran honor, pemberian uang transpor, tan-

pa ada strategi yang jitu tentang bagaimana seharusnya RAPBS direncanakan, disusun, dikelo-la, dan dikerjakan. RAPBS se-harusnya mengacu dan berori-entasi pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah, men-cakup proses belajar-mengajar dan peningkatan kemampuan teknis dan metodologis guru dalam mengembangkan bahan ajar.

Menyusun RAPBS yang se-hat, tak ada kata lain, harus melibatkan masyarakat sekitar sekolah atau komite sekolah. Banyak sekali terjadi komite sekolah hanya merupakan ‘tu-kang stempel’ kepala sekolah dalam melegitimasi seluruh kegiatan sekolah yang berbasis anggaran. Hampir tak ada pro-gram dari Kementerian Pendi-dikan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, terutama program-program pelatihan untuk komite seko-lah. Banyak komite sekolah mengaku bahwa mereka se-lama ini tak pernah tahu ten-tang peran, fungsi, dan tugas pokok komite sekolah, apalagi

mekanisme perencanaan dan pencairan dana BOS.

Tanpa perbaikan kebijakan yang menempatkan posisi masyarakat untuk ikut secara langsung dalam merencanakan dan mengimplementasikan dana BOS, prospek BOS 2011 sangat berpotensi untuk diko-rup secara massal. Sebagai lem-baga yang bertanggung jawab dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam penye-lenggaraan pendidikan di seko-lah, komite sekolah harus dapat menciptakan kondisi sekolah yang transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelengga-raan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.

“Never doubts that a small group of thoughtful, committed people can change the world. In-deed, it is the only thing that ever has” (Margaret Med). Karena itu sudah saatnya pemerintah melakukan pemberdayaan ter-hadap seluruh komite sekolah, sekaligus melibatkan mereka dalam setiap kegiatan penyu-sunan RAPBS terutama yang berbasis dana BOS.

Prospek BOS 2011 CALAK EDU

Pendidikan Agama tanpa Kebencian

13PENDIDIKANSENIN, 3 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

DOK PRIBADI

Ahmad BaedowiDirektur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Sudah saatnya pemerintah

melakukan pember-dayaan terhadap seluruh komite sekolah, sekaligus melibatkan mereka dalam setiap kegiatan penyusunan RAPBS terutama yang berbasis dana BOS.”

Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).PARTISIPASI OPINI

Khairil AzharPraktisi pendidikan dan peneliti di Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta

ks

FREDDY

Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele-pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku-lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Su dir man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Pur nama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Se latan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per-cetakan: Media In do nesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web-site: www.mediaindo nesia.com,

DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR-TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DI PERKENANKAN MENERIMA ATAU MEM-INTA IMBALAN DE NGAN ALASAN APA PUN

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Rahni Lowhur-SchadDirektur Pemberitaan: Saur M. HutabaratDirektur Pengembangan Bisnis: Alexander StefanusDewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra-djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo-pratomo, Toeti AdhitamaRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu-tabaratDeputi Direktur Pemberitaan: Usman KansongKepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi DeanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul KoharSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kuste dja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo-chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, SoelistijonoStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, Da vid Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mu tiah, Dwi Tu pa ni Gunar-wati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anuge rah, Fardi an sah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prih mantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Su mantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Ken norton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mo hamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pra mo no, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulai-man Basri, Sumar yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indri-antari, Zu baedah Hanum

Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (De-pok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Bahar-

man (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Se-marang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

MICOMAsisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. NababanRedaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, WidhorosoStaf Redaksi: Heni Raha yu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto SubariStaf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Si-laban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko

DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica HuwaeRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia No velia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan

CONTENT ENRICHMENTAsisten Kepala Divisi: Yohanes S. WidadaPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mah-mudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIKRedaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, An-nette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Per-mana, Hari Syahriar, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Her-nando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston KingManajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan

PENGEMBANGAN BISNISKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: An-dreas SujiyonoAsisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki TriardiantoPerwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: M. Isroy (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yu dhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Makassar: Bam-bang Irianto 081351738384.