MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Jejak Sejarah … fileP ADA hari-hari biasa, rumah putih di...

1
P ADA hari-hari biasa, rumah putih di Jalan Sempor Lama, Gom- bong, Kebumen, Jawa Tengah, itu sepi-sepi saja. Su- dah lama rumah milik keluarga Martha Tilaar itu tidak dihuni lagi, hanya ditunggui seorang penjaga yang tinggal di sudut belakang rumah. Lalu ada Sing- gih dan istrinya yang ditugasi mengurus administrasi rumah, dari membayar listrik sampai PBB. Singgih hanya singgah ke rumah itu sesekali. Budi H Susanto, Ketua DPRD Kebu- men, yang juga besar di kota itu berkomentar, “Pokoknya medeni (menakutkan).” Namun, sebulan menjelang napak tilas 40 tahun Martha Tillaar Beautifying Indonesia 16-18 Juli 2010, semua orang bergegas. Singgih dan sang istri membersihkan rumah. Mereka melabur dinding agar tampak putih bersih, membersihkan perabot dan ruang utama ru- mah. Karena Martha, yang saat kecil kerap dipanggil Dakocan karena doyan berenang hingga berkulit gelap itu, akan pulang menjenguk rumah tersebut. “Saya sedih lihat rumah ini,” kata Martha Tillar di beranda luas bangunan bergaya Belanda kuno itu, Sabtu (17/7). Tangan Martha menekan permukaan meja kayu bundar di tengah beranda yang jembar. Matanya mendongak ke atas, ke langit-langit yang tergolong tinggi, kaca patri hias di atas pintu kayu, lalu menatap peta lama di hadapannya. Peta itu dibuat pada 1906. Jarinya menelusuri peta, ber- henti pada sebuah noktah. Ru- mah masa kecil Martha terlihat di peta, di bagian sebelah kiri bawah, ditandai sebutan rumah China terkaya. Martha tinggal di rumah itu selama 10 tahun sampai 1947. Dia dan kedua adiknya, Ratna Pananta dan Bambang Han- dana, memang lahir di Rumah Sakit Umum Kebumen, sekitar 30 menit dari Gombong. Menu- rut Martha, setiap sudut di rumah itu adalah titik kenang- an penting baginya. “Saya itu tomboi, senang gerak ke sana kemari, jadi semua punya ke- nangan. Yang jelas, di rumah ini saya belajar berwirausaha,” ujar Martha sembari memulas bedak di pipi. Saat kunjungan media ke ru- mah itu, tim PR Martha Tilaar dengan kreatif menggelon- torkan kisah. Lanny Rahadi, Erlisativani, dan Corry Tjong tampil seperti noni-noni zaman Belanda. Dengan gaun corak bunga menggembung di bagian bawah, kaus kaki putih menu- tup betis hingga lutut, plus pita besar di atas kepala. Di dekat bangku taman di ha- laman depan, Lanny berdiri. Se- orang anak kecil menggelayut di sandaran kursi. Dia memper- hatikan ibu separuh baya yang duduk di kursi kayu panjang itu, tengah menggiling kunyit. “Itu apa Mak Oco,” tanya anak bergaun putih itu. Rupanya mereka bersandiwa- ra, menggambarkan kisah kecil Martha yang selalu ingin tahu dan tertarik dengan usaha jamu milik neneknya. “Suaranya pe- lan dan halus. Namun, Martha kecil cerewet bertanya ini itu,” ujar Lanny berkisah. Meski cerewet, Martha kecil tak lantas diusir neneknya ka- rena dianggap mengganggu. Se baliknya, ia justru diajari macam-macam. Oleh ibunya, Martha juga diajari berdagang. Makanan ringan yang dibeli dalam partai besar di Toko San- tika oleh ibunya dikemas kecil- kecil dan dijual Martha kepada teman-temannya. Begitu juga dengan biji-bijian pohon yang banyak jatuh ke tanah. Martha meroncenya menjadi gelang, lalu menjualnya. “Ibu yang meng asah bakat wirausaha saya. Dulu saya juara tiga di ke- las, tapi dari belakang,” ujarnya disusul tawa lebar. Di antara saudara-saudara- nya, ia mengaku paling bodoh dalam urusan akademis. “Na- mun, sekarang lihat siapa yang pintar,” ujarnya bercanda, meng goda adiknya, Ratna, yang berdiri di dekatnya saat di beranda belakang. Bersejarah Rumah putih itu bukan cuma berarti bagi Martha sekeluarga, melainkan juga bagi penduduk Gombong. Pahlawan gerilya Sunarto menuturkan, keluarga- nya termasuk yang berutang budi kepada kakek nenek Mar- tha. “Mereka (keluarga Martha) ialah pemasok susu untuk warga Belanda di sini. Sapinya banyak sekali. Kami termasuk yang menjual rumput untuk pakan sapi. Satu hari bisa 80 pikulan,” kenang Sunarto yang terlihat sehat meski sudah 80 tahun. Saat Jepang datang, keluarga Martha juga kerap memberi makan bagi tentara Indonesia. Makanan itu disembunyikan di halaman belakang, di bawah tumpukan sampah. Dua tahun setelah kemerdekaan, Martha pindah ke Jakarta bersama orang tuanya. “Karena itu, kita ingin agar rumah ini masuk ca- gar budaya karena rumah ini punya arti bagi sejarah Gom- bong,” ujar Budi. Di Gombong, ada satu lagi bangunan bersejarah, yaitu Benteng Van Der Wijck. Ben- teng itu bersegi delapan dan terdiri dari dua tingkat. Setiap segi terdapat barak. Totalnya 16 barak berukuran 7,5x11,32 me- ter. Di atap benteng, terdapat lintasan kereta kecil yang masih bisa digunakan. Benteng oktagonal itu adalah satu dari dua benteng sejenis di dunia. “Satunya lagi ada di Australia,” ujar Bagus Prayoga, staf EO Benteng Production. Bagus ialah salah satu orang yang bekerja untuk ‘menyala- kan kehidupan’ di benteng. Antara lain menggelar sejumlah festival musik dan tari untuk anak sekolah, SD sampai SMA. Sejumlah wahana permainan juga dibangun di sekitar ben- teng. Tiket permainan rata-rata dijual Rp4.000. Ada juga pengi- napan. “Kalau Lebaran, di sini ramai sekali, bisa sampai 40 ribu pengunjung,” ujarnya. Menurut Bagus, baru 11 ta- hun aura benteng berubah ti- dak terlalu menyeramkan. “Ini baru pada 1999 dipe- gang swasta. Kalau dulu ya sepi sekali,” ujarnya. Apalagi letak benteng berada di dalam kompleks tentara, bersebelahan dengan Sekolah Calon Tamtama (Secata) TNI-AD. Masyarakat biasa tidak punya akses masuk. Namun, sekarang benteng lebih eksibel. Manasik haji dan per- tunjukan bisa diselenggarakan di tempat itu. Pun ketika Martha Tilaar Beauty Class diadakan di tempat itu dan menyerap 3.560 peserta. (M-5) miweekend@ mediaindonesia.com CAGAR BUDAYA 8 | Heritage MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Jejak Sejarah di Rumah Dakocan Rumah disebut bersejarah bukan cuma karena sudah berusia tua, melainkan karena ada banyak kenangan di sana. Sica Harum BERSEJARAH: Rumah gaya bangunan Belanda di Gombong, Jawa Tengah merupakan rumah keluarga Martha Tilaar yang bersejarah bagi Martha. Martha kecil sudah diajari berdagang buah mangga (bawah kanan). Meja sembahyang di bagian depan rumah keluarga Martha masih terjaga dengan baik (bawah kiri). DOK MARTA TILAAR MI/SICA HARUM MI/SICA HARUM ANTARA ANTARA SEJUMLAH naskah kuno yang pernah dimiliki bebera- pa kerajaan di Indonesia kini berpindah tangan menjadi milik perseorangan atau per- pustakaan di mancanegara. “Salah satunya naskah ceri- ta rakyat dari Sulawesi Selatan La Galigo yang kini berada di Perpustakaan Leiden di Be- landa,” kata petugas bagian mikrolm Perpustakaan Na- sional Muhamad Kodir. Ia mengatakan berpindah tangan naskah kuno itu karena ketidakpahaman masyarakat di negeri ini tentang nilai yang terkandung pada naskah itu. “Saat ada orang asing datang dan ingin memilikinya, mereka rela melepas setelah disodori sejumlah uang,” katanya. Kodir mengatakan orang maupun lembaga asing sangat berminat untuk memiliki nas- kah-naskah kuno itu, karena mereka memahami kandung- an nilai pada naskah tersebut yang kaya informasi serta pengetahuan. (Ant/M-6) GASING berbentuk jantung asal Provinsi Bangka Beli- tung ditetapkan sebagai ikon gasing nasional untuk meles- tarikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia. “Pemerintah pusat sudah menetapkan gasing jantung asal Babel sebagai ikon ga- sing nasional,” kata Ketua Badan Pendiri dan Keilmuan Persa tuan Gasing Seluruh In donesia (Pergasi) Babel Agus MD. Agus mengatakan, penetap- an gasing jantung asal Babel sebagai ikon gasing nasional itu setelah melalui tahapan uji yang telah dilaksanakan Pemerintah Pusat sejak 2007. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Babel Yan Megawandi mengatakan, ga- sing merupakan aset budaya yang harus dipertahankan. (Ant/M-6) Naskah Kuno Kerajaan Pindah Tangan Gasing Jantung Jadi Ikon Nasional

Transcript of MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Jejak Sejarah … fileP ADA hari-hari biasa, rumah putih di...

Page 1: MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Jejak Sejarah … fileP ADA hari-hari biasa, rumah putih di Jalan Sempor Lama, Gom-bong, Kebumen, Jawa Tengah, itu sepi-sepi saja. Su-dah lama

PADA hari-hari biasa, rumah putih di Jalan Sempor Lama, Gom-bong, Kebumen, Jawa

Tengah, itu sepi-sepi saja. Su-dah lama rumah milik keluarga Martha Tilaar itu tidak dihuni lagi, hanya ditunggui seorang penjaga yang tinggal di sudut belakang rumah. Lalu ada Sing-gih dan istrinya yang ditugasi mengurus administrasi rumah, dari membayar listrik sampai PBB. Singgih hanya singgah ke rumah itu sesekali. Budi H Susanto, Ketua DPRD Kebu-men, yang juga besar di kota itu berkomentar, “Pokoknya medeni (menakutkan).”

Namun, sebulan menjelang napak tilas 40 tahun Martha Tillaar Beautifying Indonesia 16-18 Juli 2010, semua orang ber gegas. Singgih dan sang istri membersihkan rumah. Mereka melabur dinding agar tampak

putih bersih, membersihkan perabot dan ruang utama ru-mah. Karena Martha, yang saat kecil kerap dipanggil Dakocan karena doyan berenang hingga berkulit gelap itu, akan pulang menjenguk rumah tersebut. “Saya sedih lihat rumah ini,” kata Martha Tillar di beranda luas bangunan bergaya Belanda kuno itu, Sabtu (17/7).

Tangan Martha menekan per mukaan meja kayu bundar di tengah beranda yang jembar. Matanya mendongak ke atas, ke langit-langit yang tergolong tinggi, kaca patri hias di atas pintu kayu, lalu menatap peta lama di hadapannya.

Peta itu dibuat pada 1906. Jarinya menelusuri peta, ber-henti pada sebuah noktah. Ru-mah masa kecil Martha terlihat di peta, di bagian sebelah kiri bawah, ditandai sebutan rumah China terkaya.

Martha tinggal di rumah itu selama 10 tahun sampai 1947. Dia dan kedua adiknya, Rat na Pananta dan Bambang Han-dana, memang lahir di Ru mah Sakit Umum Kebumen, sekitar 30 menit dari Gombong. Menu-rut Martha, setiap sudut di rumah itu adalah titik kenang-an penting baginya. “Saya itu tom boi, senang gerak ke sana kemari, jadi semua punya ke-nangan. Yang jelas, di rumah ini saya belajar berwirausaha,” ujar Martha sembari memulas

bedak di pipi.Saat kunjungan media ke ru-

mah itu, tim PR Martha Ti laar dengan kreatif menggelon-tor kan kisah. Lanny Rahadi, Er lisativani, dan Corry Tjong tam pil seperti noni-noni zaman Belanda. Dengan gaun corak bunga menggembung di bagian bawah, kaus kaki putih menu-tup betis hingga lutut, plus pita be sar di atas kepala.

Di dekat bangku taman di ha-laman depan, Lanny berdiri. Se-orang anak kecil menggelayut di sandaran kursi. Dia memper-hatikan ibu separuh baya yang duduk di kursi kayu panjang itu, tengah menggiling kunyit. “Itu apa Mak Oco,” tanya anak ber gaun putih itu.

Rupanya mereka bersandiwa-ra, menggambarkan kisah kecil Martha yang selalu ingin tahu dan tertarik dengan usaha jamu milik neneknya. “Suaranya pe-lan dan halus. Namun, Martha kecil cerewet bertanya ini itu,” ujar Lanny berkisah.

Meski cerewet, Martha kecil tak lantas diusir neneknya ka-rena dianggap mengganggu. Se baliknya, ia justru diajari ma cam-macam. Oleh ibunya, Mar tha juga diajari berdagang. Makanan ringan yang dibeli dalam partai besar di Toko San-tika oleh ibunya dikemas kecil-kecil dan dijual Martha kepada teman-temannya. Begitu juga dengan biji-bijian pohon yang

banyak jatuh ke tanah. Martha meroncenya menjadi gelang, lalu menjualnya. “Ibu yang meng asah bakat wirausaha sa ya. Dulu saya juara tiga di ke-las, tapi dari belakang,” ujarnya di susul tawa lebar.

Di antara saudara-saudara-nya, ia mengaku paling bodoh dalam urusan akademis. “Na-mun, sekarang lihat siapa yang pintar,” ujarnya bercanda, meng goda adiknya, Ratna, yang berdiri di dekatnya saat di beranda belakang.

BersejarahRumah putih itu bukan cuma

berarti bagi Martha sekeluarga, melainkan juga bagi penduduk Gombong. Pahlawan gerilya Sunarto menuturkan, keluarga-nya termasuk yang berutang budi kepada kakek nenek Mar-tha. “Mereka (keluarga Martha) ialah pemasok susu untuk war ga Belanda di sini. Sapinya ba nyak sekali. Kami termasuk yang menjual rumput untuk pa kan sapi. Satu hari bisa 80 pi kulan,” kenang Sunarto yang ter lihat sehat meski sudah 80 tahun.

Saat Jepang datang, keluarga Martha juga kerap memberi ma kan bagi tentara Indonesia. Makanan itu disembunyikan di halaman belakang, di bawah tumpukan sampah. Dua tahun setelah kemerdekaan, Martha pindah ke Jakarta bersama

orang tuanya. “Karena itu, kita ingin agar rumah ini masuk ca-gar budaya karena rumah ini pu nya arti bagi sejarah Gom-bong,” ujar Budi.

Di Gombong, ada satu lagi bangunan bersejarah, yaitu Benteng Van Der Wijck. Ben-teng itu bersegi delapan dan ter diri dari dua tingkat. Setiap segi terdapat barak. Totalnya 16 barak berukuran 7,5x11,32 me-ter. Di atap benteng, terdapat lintasan kereta kecil yang masih bisa digunakan.

Benteng oktagonal itu adalah satu dari dua benteng sejenis di dunia. “Satunya lagi ada di Aus tralia,” ujar Bagus Prayoga, staf EO Benteng Production.

Bagus ialah salah satu orang yang bekerja untuk ‘menyala-kan kehidupan’ di benteng. Antara lain menggelar sejumlah festival musik dan tari untuk anak sekolah, SD sampai SMA. Sejumlah wahana permainan

juga dibangun di sekitar ben-teng. Tiket permainan rata-rata dijual Rp4.000. Ada juga pengi-napan. “Kalau Lebaran, di sini ra mai sekali, bisa sampai 40 ribu pengunjung,” ujarnya.

Menurut Bagus, baru 11 ta-hun aura benteng berubah ti-dak terlalu menyeramkan.

“Ini baru pada 1999 dipe-gang swasta. Kalau dulu ya se pi sekali,” ujarnya. Apalagi le tak benteng berada di dalam kompleks tentara, bersebelah an dengan Sekolah Calon Tam tama (Secata) TNI-AD. Ma syarakat biasa tidak punya akses masuk. Namun, sekarang benteng lebih fl eksibel. Manasik haji dan per-tunjukan bisa diselenggarakan di tempat itu. Pun ketika Martha Tilaar Beauty Class diadakan di tempat itu dan menyerap 3.560 pe serta. (M-5)

[email protected]

CAGAR BUDAYA

8 | Heritage MINGGU, 1 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

Jejak Sejarah

di Rumah Dakocan

Rumah disebut bersejarah bukan cuma karena sudah berusia tua,

melainkan karena ada banyak kenangan di sana.

Sica Harum

BERSEJARAH: Rumah gaya bangunan Belanda di Gombong, Jawa Tengah merupakan rumah keluarga Martha Tilaar yang bersejarah bagi Martha. Martha kecil sudah diajari berdagang buah mangga (bawah kanan). Meja sembahyang di bagian depan rumah keluarga Martha masih terjaga dengan baik (bawah kiri).

DOK MARTA TILAAR

MI/SICA HARUM

MI/SICA HARUM

ANTARA

ANTARA

SEJUMLAH naskah kuno yang pernah dimiliki bebera-pa kerajaan di Indonesia kini berpindah tangan menjadi milik perseorangan atau per-pustakaan di mancanegara.

“Salah satunya naskah ceri-ta rakyat dari Sulawesi Selatan La Galigo yang kini berada di Perpustakaan Leiden di Be-landa,” kata petugas bagian mikrofi lm Perpustakaan Na-sional Muhamad Kodir.

Ia mengatakan berpindah tangan naskah kuno itu karena

ketidakpahaman masyarakat di negeri ini tentang nilai yang terkandung pada naskah itu. “Saat ada orang asing datang dan ingin memilikinya, me re ka rela melepas setelah di so dori sejumlah uang,” ka ta nya.

Kodir mengatakan orang maupun lembaga asing sanga t berminat untuk memiliki nas-kah-naskah kuno itu, karena mereka memahami kandung-an nilai pada naskah tersebut yang kaya informasi serta pe ngetahuan. (Ant/M-6)

GASING berbentuk jantung asal Provinsi Bangka Beli-tung ditetapkan sebagai ikon gasing nasional untuk meles-tarikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia.

“Pemerintah pusat sudah menetapkan gasing jantung asal Babel sebagai ikon ga-sing nasional,” kata Ketua Badan Pendiri dan Keilmuan Persa tuan Gasing Seluruh In donesia (Pergasi) Babel

Agus MD.Agus mengatakan, penetap-

an gasing jantung asal Babel sebagai ikon gasing nasional itu setelah melalui tahapan uji yang telah dilaksanakan Pemerintah Pusat sejak 2007.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Babel Yan Me gawandi mengatakan, ga-sing merupakan aset budaya yang harus dipertahankan. (Ant/M-6)

Naskah Kuno Kerajaan Pindah Tangan

Gasing Jantung Jadi Ikon Nasional