Seminar Perpajakan
-
Upload
didiet-cungkrink -
Category
Documents
-
view
710 -
download
6
Transcript of Seminar Perpajakan
MAKALAH
PERENCANAAN PAJAK
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Seminar Perpajakan Semester VIII
Disusun oleh:
1. Heri Iswanto 43075004802. Rina Septiani 43075005043. Moh. Sukron 43075004924. Tri Sukma Mudhita 43075005155. Trio Pahlevi 43075006. Wahidah Nurul F. 4307500518
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2011
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya
yang besar yang diberikan kepada penyusunan untuk menyelesaikan makalah seminar
perpajakan dengan judul “Perencanaan Pajak”.
Dalam usaha untuk menyususn makalh ini, penyususn menyadari bahwa baik isi
maupun bentuk penyajian makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun
dengan hati terbuka akan menerima segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari
pembaca guna kesempurnaan dari makalah ini.
Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi seluruh pihak yang membutuhkan.
Tegal, Mei 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat
(perusahaan) ke sektor publik. Pemendahan sumberdaya tersebut akan mempengaruhi
daya beli (purchasing power) atau kemampuan belanja (spending power) dari sektor
privat. Agar tidak terjadi gangguan yang serius terhadap jalannya perusahaan, maka
pemenuhan kewajiban perpajakan harus dikelola dengan baik.
Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan
untuk membiyayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan
mengurangi laba bersih.
Keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh pajak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Keputusan bisnis yang baik jika berhubungan dengan pajak bisa
menjadi keputusan bisnis yang kurang baik, begitu juga sebaliknya.
Minimalisasi beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang
masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan sampai dengan yang melanggar
peraturan perpajakan. Upaya meminimnalkan pajak secara eufimisme sering disebut
dengan perencanaan pajak (tax planning) atau tax sheltering. Umumnya perencanaan pajak
merujuk pada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak
berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan.
Namun perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencana pemenuhan
kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat menghindari
pemborosan sumber daya.
Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan
pemerintah. Wajib Pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan
membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dilain pihak,
pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, yang
sebagian besar berasal dari penerimaan pajak.
Perbedaan kepentingan ini menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi
jumlah pembayaran pajak, baik secara legal maupun ilegal. Hal ini dimungkinkan jika ada
peluang yang dapat dimanfaatkan, baik karena kelemahan peraturan pajak maupoun
sumber daya manusia (fiskus).
Bebrapa faktor yang memotivasi Wajib Pajak untuk melakukan penghematan pajak
dengan ilegal, antara lain:
a. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak. Semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar pula
kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
b. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus, semakin
besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
c. Kemungkinan untuk ketahuan. Semakin kecil kemungkinan suatu pelanggaran
terdeteksi, semakin besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
d. Besar sanksi. Semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran, semakin
besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
B. Pokok Permasalahan.
1. Bagaimanakah penyusutan bersadasarkan peraturan perpajakan?
2. Bagaimanakah revaluasi aset tetap berdasarkan undang-undang perpajakan?
3. Bagainakah perlakuan perpajakan untuk transaksi sewa guna usaha (lessing)?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penyusutan berdasarkan peraturan perpajakan
Penyusutan adalah lokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa
manfaat yang diestimasikan (PSAK 17). Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang
diberikan dan nilai dari aset tersebut semakin berkurang. Pengurangan nilai aset
dibebankan secara bertahap.
Karakteristik dari aset yang dapat disusutkan
a. Dapat digunakan dalam kegiatan usaha.
Aset yang boleh disusutkan adalah aset yang dipakai dalam usaha atau menjalankan
usaha. Aset ini dapat dibebankan menjadi aset bisnis, aset campuran, dan aset pribadi.
Untuk aset bisnis dapat disusutkan semuanya, sedangkan untuk aset campuran boleh
disusutkan sebagian sesuai dengan yang digunakan dalam kegiatan usaha.
b. Nilai menurun secara bertahap.
Niali aset yang dapat disusutkan harus menurun secara bertahap, baik karena semakin
buruk fisiknya atau karena faktor kualitas. Kalau nilainya tidak menurun secara
bertahap maka tidak dapat disusutkan tetapi langsung dibiayakan. Adapun aset yang
tidak dapat disusutkan adalah tanah, aset pendanaan, barang dagangan dan persediaan.
c. Aset berwujud dan aset tidak berwujud.
Aset berwujud maupun aset tidak berwujud yang mempunyai manfaat lebih satu
periode dapat disusutkan. Untuk aset tidak berwujud penyusutannya disebut dengan
amortisasi.
d. Pihask yang berhak melakukan penyusutan.
Pihak uang berhak melakukan penyusutan adalah:
1) Pihak yang menggunakan aset tersebut dalam kegiatan usaha.
2) Pemilik, dapat dibagi menjadi legal owner dan beneficial owner.
e. Saat melakukan penyusutan.
Secara umum saat dilakukan penyusutan adalah saat digunakan, tetapi adakalanya
pada tahun perolehan.
f. Dasar untuk melakukan penyusutan.
1) Harga perolehan (historical cosh)
Termasuk didalamnya adalah harga, ongkos, dan pajak. Pajak yang dapat
dikreditkan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dapat dikreditkan
dengan pajak keluaran tidak termasuk dalam harga perolehan.
2) Harga penggantian (replacement cosh)
Pada prinsipnya harga penggantian tidak diperkenenkan, karena untuk
kepentingan pencatatan menggunakan harga perolehan.
3) Revaluasi (revaluation)
Suatu aset yang telah direvaluasi biasanya disusutkan berdasarkan nilai
revaluasinya.
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 9 ayat (2) UU PPh bahwa pengeluaran
untuk mendapatkan manfaat, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan. Hal ini sesuai dengan kelaziman dunia usaha dan selaras
dengan prinsip penandingan antara pengeluaran dan penerimaan (matching cosh againsts
revenue). Dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
mempertahankan penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak
dapat dikurangkan sebagai biaya sekaligus pada tahun pengeluarannya. Namun
demikian, dalam perhitungan dan penerapan tarif penyusutan untuk keperluan pajak,
perlu diperhatikan dasar hukum penyusutan fiskal, karena dapat berbeda dengan
penyusutan untuk akuntansi (komersial).
Mulai tahun 1995 ktentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan
secara individual per aset, tidak lagi secara gabunagn (berdasarkan golongan) seperti
yang berlaku sebelumnya kecuali untuk alat-alat kecil (small tools) yang sama atau
sejenis masih boleh mengguanakan penyusutan secara golongan.
1.1 Saat Mulainya Penyusutan Fiskal
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) secara khusus dan eksplisit
menetapkan saat dimulainya penyusutan fiskal adalah pada bulan perolehan.
Penyusutan fiskal harus dilakukan sebulan penuh. Pengecualian dari ketentuan ini
hanya dapat terjadi karena hal-hal berikut:
a. Harta/aset yang masih dalam proses pengerjaan.
b. Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha (leasing).
c. Wajib Pajak yang mengajukkan permohonan kepada Dirjen Pajak.
1.2 Harta/aset dalam pengerjaan.
Untuk harta/aset tetap dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada
tahun selesainya pekerjaan tersebut. Jadi walaupun pada umumnya penyusutan atas
harta/aset dimulai pada tahi perolehan tetapi unyuk harta/aset yang pengerjaannya
memerlukan waktu lebih dari satu tahun, perhitungan penyusutan dimulai saat
selesainya harta/aset yang bersangkutan.
1.3 Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha.
Penyusutan terhadap harta dalam usaha sewa huna usaha (leasing) khususnya
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) dimulai pada bulan harta tersebut
disewagunausahakan.
1.4 Penyusutan Dirjen Pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak, apabila
tidak mengikuti prinsip umum penyusutan. Misalnya penyusutan baru dilakukan
pada tahun harta/aset tersebut menghasilkan.
1.5 Pengelompokkan harta berwujud.
Dalam sistem penyusutan menurut UU PPh, semua aset tetap berwujud yang
memenuhi syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan menjadi dua golongan:
a. Harta berwujud kelompok bukan bangunan.
b. Harta berwujud kelompok bangunan.
Harta berwujud bukan bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai
berikut:
Kelompok bukan bangunan Masa manfaat
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
Harta berwujud bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai berikut:
Kelompok bangunan Masa manfaat
Bangunan permanen
Bangunan tidak permanen
20 tahun
10 tahun
2. Revaluasi aset tetap berdasarkan undang-undang pajak.
Revaluasi aset tetap dalam akuntansi pada umumnya tidak diperkenankan
kecuali ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah, misalnya peraturan pajak. Dalam
PSAK No.16 disebutkan bahwa penilaian kembali aset tetap pada umumnya tidak
diperkenankan karena standar akuntansi keuangan (SAK) menganut penilaian aset
berdasarkan harga perolehan/harga pertukaran. Selisi revaluasi dengan nilai buku (nilai
tercatat) aset tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama “selisih penilaian
kembalin aset tetap.”
Berdasatkan keputusan menteri keuangan nomor 384/KMK.04/1998 Tanggal 14
Agustus 1998 dan surat edaran Dirjen Pajak Nomor 29/Pj.42/1998, menjelaskan bahwa:
a. Wajib Pajak yang dapat melakukan revaluasi adalah Wajib Pajak dalam negeri
yang terletak atau berada di Indonesia. Wajib Pajak dalam negeri adalah
sekumpulan orang dan modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usahayang meliputi perseroan terbatas,
persatuan komanditer, perseroan lainnya, Badan usaha milik negara, atau Daerah
dengan nama dandalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya.
b. Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir
sebelum masa pajak dilaukannya penilaian kembali. Kewajiban pajak yang
dimaksud terdiri atas:
1) Pajak Penghasilan (PPh).
2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang mewah
(PPnBM).
3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Aset tetap yang dapat direvaluasi adalah:
a. Aset tetap berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan dan bukan
bangunanyang tidak dimaksukan untuk dialihkan atau dijual.
b. Aset tersebut terletak atau berada di Wilayah Indonesia.
c. Penilaian kembali dapat dilakukan terhadap seluruh aset tetap (revaluasi total)
atau tewrhadap sebagian aset tetap (revaluasi parsial) yang dimiliki perusahaan.
d. Penilaian kembali aset tetap dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset
tetap pada saat penilaian dilakukan, yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau
penilai yang diakui oleh pemerintah.
e. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan penilai
atau penilai yang diakui oleh pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak akan menetapkan kembali nilai
pasar atau nilai wajar yang bersangkutan.
f. Selisih antara nilai pasar atau nilai wajar dengan nilai buku fiskal aset tetap yang
dinilai kembali wajib dikompensasikan terlebih dahulu dengan kerugian fiskal
tahun berjalan dan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan.
g. Selisih lebih karena penilaian kembali setelah dilakukan kompensasi kerugian
dikenakan kerugian dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, sebesar 10%.
h. Bagi Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha, pajak penghasilan yang
terutang sebesar 10% diatas, dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun terhitung sejak tahun dilakukannya penilaian kembali aset tetap
perusahaan.
i. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi untuk setiap tahun paling sedikit sebesar
20% dari jumlah pajak yang terutang, kecuaili pelunasan untuk tahun terakhir.
j. Apabila Wajin Pajak melakukan penilaian kembali aset tetap sebelum akhir tahun
pajak, maka kerugian fiskal pada tahun buku yang bersangkutan, diperhitungkan
sampai dengan dilakukannya revaluasi aset tetap tersebut.
k. Nilai pasar atau nilai wajar merupakan dasar penyusutan aset mulai tahun pajak
dilakukannya penilaian kembali aset tetap persebut. Penyusutan dilakukan sesuai
dengan pasal 11 Undang-Undang PPh.
l. Aset tetap yang telah dilakukan penilaian kembali dan telah dikenakan Pajak
Penghasilan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain sebelum lewat jangka waktu
5 tahun setal dilakukannya penilaian kembali.
m. Apabila Wajib Pajak mengalihkan aset tetap tersebut sebelum lewat jangka waktu
5 tahun, maka atas selisih penilaian aset tetap tersebut tetap dikenakan Pajak
Penghasilan yang teutang sebesar 10% dan tambahan pajak penghasilan yang
bersifat final sebesar 15%.
n. Dikecualikan dari jangka lima tahun jika asettetap tersebut dialihkan kepada
pemerintah atau dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau
pemekaran usaha.
Persyaratan Administrasi setelah revaluasi aset tetap
Setelah melakukan revaluasi aset tetap maka Wajib Pajak memberitahukan hasil penilaian
kembali dengan mengisi formulir yang telah disediakan kepada Dirjen Pajak cq. KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut:
a. Laporan penilaian dari perusahaan penilai/penilai profesional yang diakui oleh
pemerintah.
b. Neraca penyesuaian yang telah diaudit oleh akuntan publik yang secara jelas terlihat
nilai aseet sebelum dan sesudah dilakukannya revaluasi aset tetap.
c. Perhitungan selisih lebih akibat revaluasi aset tetap dan perhitungan besarnya PPh
perutang.
d. Surat setoran pajak (SSP).
3. Pelakuan perpajakan untuk transaksi sewa guna usaha (leasing).
Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang modal)
dengan lessee (pengguna barang modal). Sewa guna usaha (leasing) dibedakan menjadi
sewa guna usaha dengan hak opsi dan sewa guna usaha tanpa hak opsi.
Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease/capital lease) adalah sewa guna usaha
dimana penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli
obyek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati.
Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) adalah sewa guna usaha dimana
penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek
sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati.
Dalam pasal 2,3, dan 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991
kegiatan sewa guna usaha dapat digolongkan sebagai finance lease (sewa guna usaha
dengan hak opsi) maupun dengan operating lease (sewa guna usaha tanpa hak opsi).
Sewa guna usaha digolongkan sebagai finance lease apabila memenuhi semua kriteria
berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa guna sewa usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor.
b. Masa sewa guna usaha ditentukan sekurang-kurangnya dua tahun untuk barang nodal
golongan 1,3 (tiga) tahun untuk barang modal golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun
untuk golongan bangunan.
c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
d. Dalam pasal 16 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 11698/KMK.01/1991
mengatur mengenai ketentuan perpajakan bagi lessee yang melakukan transaksi
finance lease sebagai berikut:
1) Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang
disewagunausahakan sampai saat lessee membeli barang tersebut.
2) Setelah lessee menggunakan hak opsinya membeli barang modal yang
disewagunausahakan maka lessee boleh melakukan penyusutan dengan dasar
yaitu harga opsi barang modal yang bersangkutan.
3) Pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee, kecuali
pembrbanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto lessee.
4) Dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan,
Dirjen Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa guna usaha
tewrsebut dan memperlakukannya sebagai operating lease. Perubahan ini
tidak dilakukan apabila terjadi karena force majeur, gagal bayar (default),
maupun pertimbangan ekonomi tanpa motif menghindari pajak dan tidak ada
hubungan istimewa antara lesor dengan lessee.
5) Lessee tidak memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa
guna usaha.
Penjualan dan penyewaan kembali.
a. Untuk penjualan dan penyewaan kembali tanpa hak opsi, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) masukkan yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali.
b. Atas penyewaan kembali barang modal tersebut, maka lesoor harus memungut
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
c. Pengalihan tanah dan bangunan sewa guna usaha:
1) Saat lessee menjual kepada lesor, lessee dikenakan PPh 5% dari nilai jual
(nilai akta) atau nilai jual objek pajak (NJOP) yang digunakan untuk
menghitung PBB jika nilai jual lebih rendah dari NJOP.
2) Saat lesor menjual kepada lessee, lesor dikenakan PPh 5% dari nilai opsi.
Perencanaan pajak untuk sewa guna usaha dapat digunakan untuk aset tetap
yang baru akan dibeli maupun aset tetap yang telah dimiliki. Untuk aset tetap yang
baru akan dibeli pertimbangannya adalah membeli secara langsung (tunai atau kredit)
atau dengan menyewa. Sedangkan untuk aset tetap yang telah dimiliki
pertimbangannya adalah mempertahankannya, melakukan revaluasi, atau dijual dan
disewagunausahakan kembali.
BAB III
KESIMPULAN
Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan
untuk membiyayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi
laba bersih.
Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan
pemerintah. Wajib Pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan
membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dilain pihak,
pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, yang
sebagian besar berasal dari penerimaan pajak.
Perbedaan kepentingan ini menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi
jumlah pembayaran pajak, baik secara legal maupun ilegal. Hal ini dimungkinkan jika ada
peluang yang dapat dimanfaatkan, baik karena kelemahan peraturan pajak maupoun sumber
daya manusia (fiskus).
Bebrapa faktor yang memotivasi Wajib Pajak untuk melakukan penghematan pajak dengan
ilegal, antara lain:
a. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak. Semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar pula
kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
b. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus, semakin
besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
c. Kemungkinan untuk ketahuan. Semakin kecil kemungkinan suatu pelanggaran
terdeteksi, semakin besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
d. Besar sanksi. Semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran, semakin
besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.
1. Penyusutan berdasarkan peraturan perpajakan
Penyusutan adalah lokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa
manfaat yang diestimasikan (PSAK 17). Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang
diberikan dan nilai dari aset tersebut semakin berkurang. Pengurangan nilai aset
dibebankan secara bertahap
Mulai tahun 1995 ktentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan
secara individual per aset, tidak lagi secara gabunagn (berdasarkan golongan) seperti yang
berlaku sebelumnya kecuali untuk alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis
masih boleh mengguanakan penyusutan secara golongan.
1. Saat Mulainya Penyusutan Fiskal
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) secara khusus dan eksplisit menetapkan saat
dimulainya penyusutan fiskal adalah pada bulan perolehan. Penyusutan fiskal harus
dilakukan sebulan penuh. Pengecualian dari ketentuan ini hanya dapat terjadi karena
hal-hal berikut:
a. Harta/aset yang masih dalam proses pengerjaan.
b. Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha (leasing).
c. Wajib {Pjak yang mengajukkan permohonan kepada Dirjen Pajak.
2. Harta/aset dalam pengerjaan.
Untuk harta/aset tetap dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun
selesainya pekerjaan tersebut. Jadi walaupun pada umumnya penyusutan atas harta/aset
dimulai pada tahi perolehan tetapi unyuk harta/aset yang pengerjaannya memerlukan
waktu lebih dari satu tahun, perhitungan penyusutan dimulai saat selesainya harta/aset
yang bersangkutan.
3. Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha.
Penyusutan terhadap harta dalam usaha sewa huna usaha (leasing) khususnya sewa
guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) dimulai pada bulan harta tersebut
disewagunausahakan.
4. Penyusutan Dirjen Pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak, apabila tidak
mengikuti prinsip umum penyusutan. Misalnya penyusutan baru dilakukan pada tahun
harta/aset tersebut menghasilkan.
5. Pengelompokkan harta berwujud.
Dalam sistem penyusutan menurut UU PPh, semua aset tetap berwujud yang memenuhi
syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan menjadi dua golongan:
a. Harta berwujud kelompok bukan bangunan.
b. Harta berwujud kelompok bangunan.
Harta berwujud bukan bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai
berikut:
Kelompok bukan bangunan Masa manfaat
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
Harta berwujud bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai berikut:
Kelompok bangunan Masa manfaat
Bangunan permanen
Bangunan tidak permanen
20 tahun
10 Ahun
2. Revaluasi aset tetap berdasarkan undang-undang pajak.
Revaluasi aset tetap dalam akuntansi pada umumnya tidak diperkenankan kecuali
ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah, misalnya peraturan pajak. Dalam PSAK
No.16 disebutkan bahwa penilaian kembali aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan
karena standar akuntansi keuangan (SAK) menganut penilaian aset berdasarkan harga
perolehan/harga pertukaran. Selisi revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aset tetap
dibukukan dalam akun modal dengan nama “selisih penilaian kembalin aset tetap.”
Aset tetap yang dapat direvaluasi adalah:
a. Aset tetap berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan dan bukan bangunanyang
tidak dimaksukan untuk dialihkan atau dijual.
b. Aset tersebut terletak atau berada di Wilayah Indonesia.
c. Penilaian kembali dapat dilakukan terhadap seluruh aset tetap (revaluasi total) atau
tewrhadap sebagian aset tetap (revaluasi parsial) yang dimiliki perusahaan.
d. Penilaian kembali aset tetap dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset
tetap pada saat penilaian dilakukan, yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau
penilai yang diakui oleh pemerintah.
e. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau
penilai yang diakui oleh pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan keadaan
yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai
wajar yang bersangkutan.
f. Selisih antara nilai pasar atau nilai wajar dengan nilai buku fiskal aset tetap yang dinilai
kembali wajib dikompensasikan terlebih dahulu dengan kerugian fiskal tahun berjalan
dan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.
g. Selisih lebih karena penilaian kembali setelah dilakukan kompensasi kerugian
dikenakan kerugian dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, sebesar 10%.
h. Bagi Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha, pajak penghasilan yang
terutang sebesar 10% diatas, dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun terhitung sejak tahun dilakukannya penilaian kembali aset tetap perusahaan.
i. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi untuk setiap tahun paling sedikit sebesar 20%
dari jumlah pajak yang terutang, kecuaili pelunasan untuk tahun terakhir.
j. Apabila Wajin Pajak melakukan penilaian kembali aset tetap sebelum akhir tahun
pajak, maka kerugian fiskal pada tahun buku yang bersangkutan, diperhitungkan
sampai dengan dilakukannya revaluasi aset tetap tersebut.
k. Nilai pasar atau nilai wajar merupakan dasar penyusutan aset mulai tahun pajak
dilakukannya penilaian kembali aset tetap persebut. Penyusutan dilakukan sesuai
dengan pasal 11 Undang-Undang PPh.
l. Aset tetap yang telah dilakukan penilaian kembali dan telah dikenakan Pajak
Penghasilan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain sebelum lewat jangka waktu 5
tahun setal dilakukannya penilaian kembali.
m. Apabila Wajib Pajak mengalihkan aset tetap tersebut sebelum lewat jangka waktu 5
tahun, maka atas selisih penilaian aset tetap tersebut tetap dikenakan Pajak Penghasilan
yang teutang sebesar 10% dan tambahan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar
15%.
n. Dikecualikan dari jangka lima tahun jika asettetap tersebut dialihkan kepada
pemerintah atau dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran
usaha.
3. Pelakuan perpajakan untuk transaksi sewa guna usaha (lessing).
Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang modal)
dengan lessee (pengguna barang modal). Sewa guna usaha (leasing) dibedakan menjadi
sewa guna usaha dengan hak opsi dan sewa guna usaha tanpa hak opsi.
Penjualan dan penyewaan kembali.
a. Untuk penjualan dan penyewaan kembali tanpa hak opsi, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) masukkan yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali.
b. Atas penyewaan kembali barang modal tersebut, maka lesoor harus memungut Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
c. Pengalihan tanah dan bangunan sewa guna usaha
1) Saat lessee menjual kepada lesor, lessee dikenakan PPh 5% dari nilai jual (nilai akta)
atau nilai jual objek pajak (NJOP) yang digunakan untuk menghitung PBB jika nilai
jual lebih rendah dari NJOP.
2) Saat lesor menjual kepada lessee, lesor dikenakan PPh 5% dari nilai opsi.
DAFTAR PUSTAKA
Suandry, Erly. 2008. Perencanaan Pajak. Salemba empat. Jakarta.