Seminar crossbreeding 26 juni tety hartatik (final)

8
1 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia Yogyakarta, 26 Juni 2014 Pengembangan Persilangan Sapi Potong dan Dampaknya pada Struktur Genetika Molekuler Oleh: Tety Hartatik, S.Pt., Ph.D. Tim Center of Excellence Pengembangan Persilangan Sapi Potong Fakultas Peternakan UGM Latar Belakang Sapi potong sebagai salah satu penyedia kebutuhan daging nasional saat ini potensinya masih jauh dari yang diharapkan disebabkan karena produktifitasnya yang masih rendah. Dengan jumlah penduduk Indonesia 238,5 juta jiwa pada tahun 2010 (BPS, 2014). Populasi sapi potong dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 5 % per tahun atau 12.759.838 ekor pada tahun 2009 menjadi 15.980.696 ekor pada tahun 2012 (Ditjennak, 2013). Kebutuhan daging secara nasional tahun 2012 untuk konsumsi dan industry sebanyak 484 ribu ton. Jumlah penduduk diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 271 juta (BPS, 2014), sehingga kebutuhan daging diperkirakan akan naik. Oleh karena itu untuk meningkatkan ketersediaan daging sapi, mengurangi impor daging dan ternak hidup maka peningkatan produksi daging nasional perlu diupayakan. Peningkatan produksi dapat dicapai dengan peningkatan jumlah populasi dan peningkatan produktifitas. Upaya peningkatan produktifitas sudah dilakukan yaitu lewat perbaikan genetik dengan menerapkan sistem crossbreeding pada sapi lokal. Salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dijumpai adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Crossbreeding untuk menghasilkan F1 dan juga silang balik telah banyak dilakukan oleh peternak di pedesaan dan dari pengalaman mereka hasil yang didapat menunjukkan performan produksi yang cukup baik. Peningkatan produktifitas memerlukan dukungan lingkungan berupa peningkatan kualitas dan kuantitas pakan, manajemen pemeliharaan, dan juga kesehatan. Persilangan yang dilakukan saat ini baik dengan bangsa impor Simmental (S) maupun Limousine (L) belum didasarkan pada program breeding yang mengarah pada target yang ingin dicapai dengan dukungan lingkungan dan manejemen yang standar. Meskipun persilangan sudah cukup lama dilakukan dan dihasilkan keturunan F1, maupun hasil backcross dengan pejantan impor tetapi data kuantitatif sifat-sifat produksi dan reproduksi sulit didapat karena tidak adanya recording.

Transcript of Seminar crossbreeding 26 juni tety hartatik (final)

Page 1: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

1 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

Pengembangan Persilangan Sapi Potong dan Dampaknya

pada Struktur Genetika Molekuler

Oleh: Tety Hartatik, S.Pt., Ph.D.

Tim Center of Excellence Pengembangan Persilangan Sapi Potong

Fakultas Peternakan UGM

Latar Belakang

Sapi potong sebagai salah satu penyedia kebutuhan daging nasional saat ini

potensinya masih jauh dari yang diharapkan disebabkan karena produktifitasnya yang masih

rendah. Dengan jumlah penduduk Indonesia 238,5 juta jiwa pada tahun 2010 (BPS, 2014).

Populasi sapi potong dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 5 % per tahun

atau 12.759.838 ekor pada tahun 2009 menjadi 15.980.696 ekor pada tahun 2012 (Ditjennak,

2013). Kebutuhan daging secara nasional tahun 2012 untuk konsumsi dan industry sebanyak

484 ribu ton. Jumlah penduduk diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 271 juta

(BPS, 2014), sehingga kebutuhan daging diperkirakan akan naik. Oleh karena itu untuk

meningkatkan ketersediaan daging sapi, mengurangi impor daging dan ternak hidup maka

peningkatan produksi daging nasional perlu diupayakan.

Peningkatan produksi dapat dicapai dengan peningkatan jumlah populasi dan

peningkatan produktifitas. Upaya peningkatan produktifitas sudah dilakukan yaitu lewat

perbaikan genetik dengan menerapkan sistem crossbreeding pada sapi lokal. Salah satu

bangsa sapi lokal yang banyak dijumpai adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Crossbreeding

untuk menghasilkan F1 dan juga silang balik telah banyak dilakukan oleh peternak di

pedesaan dan dari pengalaman mereka hasil yang didapat menunjukkan performan produksi

yang cukup baik. Peningkatan produktifitas memerlukan dukungan lingkungan berupa

peningkatan kualitas dan kuantitas pakan, manajemen pemeliharaan, dan juga kesehatan.

Persilangan yang dilakukan saat ini baik dengan bangsa impor Simmental (S) maupun

Limousine (L) belum didasarkan pada program breeding yang mengarah pada target yang

ingin dicapai dengan dukungan lingkungan dan manejemen yang standar. Meskipun

persilangan sudah cukup lama dilakukan dan dihasilkan keturunan F1, maupun hasil

backcross dengan pejantan impor tetapi data kuantitatif sifat-sifat produksi dan reproduksi

sulit didapat karena tidak adanya recording.

Page 2: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

2 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

Akan tetapi hal penting yang kurang diperhatikan adalah bahwa crossbreeding

antara dua bangsa memerlukan tersedianya bangsa murni dari keduanya dalam jumlah yang

cukup, sehingga dengan demikian impor bangsa murni baik berupa ternak atau semen beku

akan terus dilakukan. Hal ini akan memboroskan devisa Negara. Berdasar hasil evaluasi

yang sudah terjadi di lapangan dibutuhkan suatu program breeding yang sesuai.

Oleh karena itu perlu adanya suatu program jangka pendek dan jangka panjang untuk

dapat menentukan program breeding yang cocok berdasarkan evaluasi hasil persilangan PO

dengan Simmental (S) atau Limousine (L) yaitu ternak F1, F2 serta backcross. Disamping

itu hal yang belum pernah diusahakan adalah menerapkan program breeding untuk

menghasilkan bangsa komposit (composite breed) sebagai alternatif crossbreeding. Sekali

bangsa komposit terbentuk maka untuk selanjutnya breeding dan seleksi akan dikerjakan

seperti pada bangsa murni dan tidak diperlukan lagi persilangan. Pembentukan ternak

komposit yang merupakan ternak komersial merupakan tujuan jangka panjang yang akan

dilakukan oleh Center of excellence Pengembangan Sapi Potong.

Crossbreeding (Persilangan)

Crossbreeding adalah perkawinan antara individu-individu dari bangsa yang berbeda,

dipergunakan dengan tujuan meningkatkan performans, produktifitas, serta efisiensi untuk

mengurangi biaya produksi (production cost). Keuntungan yang diharapkan dari

crossbreeding adalah: 1) Heterosis 2) Breed complementarity.

Heterosis merupakan keunggulan keturunan crossbred yang disebut sebagai “Hybrid vigor”,

ditunjukkan dengan keunggulan rata-rata keturunan crossbred terhadap rata-rata kedua

tetuanya (Morris et al.,1994). Hybrid vigor menyebabkan peningkatan performans dan

produktivitas. Hybrid vigor merupakan hasil kerja dari efek gen-gen non-aditif (dominan,

lewat-dominan, dan epistasis). Breed complementarity merupakan keuntungan yang didapat

dari penggunaan kombinasi optimum bangsa yang dipergunakan dalam crossbreeding dan

merupakan hasil kerja dari efek gen-gen aditif. Level heterosis berkebalikan dengan level

heritabilitas. Sifat-sifat reproduksi menunjukkan level heterosis tinggi, sifat-sifat

pertumbuhan menunjukkan level heterosis yang sedang, dan sifat–sifat karkas level

heterosisnya rendah (Lasley, 1978; Warwick et al., 1983; Morris et al., 1994).

Heterosis dapat ditunjukkan oleh 1) Individual heterosis yaitu keunggulan individu

crossbred relatif terhadap rata-rata individu purebred, 2) Maternal heterosis yaitu keunggulan

dari induk crossbred terhadap rata-rata induk-induk purebred , dan 3) Paternal heterosis yaitu

keunggulan jantan crosbred terhadap rata-rata jantan purebred.

Page 3: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

3 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

Sistem crossbreeding pada produksi ternak komersial secara umum dibedakan menjadi

tiga yaitu:

1)Terminal crossing dimana betina dari bangsa “A” misalnya dikawinkan dengan jantan dari

bangsa “B” membentuk terminal cross dua bangsa (AB) yang hanya memanfaatkan

individual heterosis. Pada sistem ini dilakukan Re-creation F1 pada setiap generasi. Terminal

cross juga dapat dibentuk dari tiga bangsa atau lebih. Pada sistem ini selain pemanfaatan

individual heterosis juga memanfaatkan maternal heterosis. Terminal cross tiga bangsa

(Three-way crossing) misalnya jantan bangsa “C” yang disebut pula Terminal sire

disilangkan dengan betina Bangsa “AB”

2)Rotational crossing (Crisscrossing) dimana pada setiap generasi perkawinan dipergunakan

bangsa pejantan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Anak betina dari setiap generasi

perkawinan akan dipelihara sebagai replacement. Sebagai contoh rotational dua bangsa

adalah: Pada generasi pertama Pejantan bangsa “A” kawin dengan betina bangsa “B”

dihasilkan “AB” crossbred, generasi kedua jantan bangsa “B” dikawinkan dengan betina

crossbred “AB” diperoleh keturunan “ B x (AB)”, generasi ketiga jantan bangsa “A”

dikawinkan dengan betina crossbred “B x AB” dihasilkan keturunan “ A x (B(AB)). Dan

pada generasi keempat jantan bangsa “B” akan dikawinkan dengan betina crossbred “A x

(B(AB)). Individual heterosis yang didapat berturut-turut dari generasi pertama sampai

keempat adalah 100%, 50%, 75%, 62,5%, dan sesudah beberapa generasi berikutnya akan

stabil menjadi 67%. Maternal heterosis berturut-turut dari generasi pertama adalah 0%,

100%, 50%, 75%, dan selanjutnya 67%. Persen individual heterosis maupun maternal

heterosis akan bertambah dengan bertambahnya bangsa yang dipergunakan pada rotational

sistem, pada tiga dan empat bangsa berturut-turut adalah 86% dan 93%.

3)Rota-terminal cross yang merupakan kombinasi dari rotational crossing dan terminal

crossing. Pada sistem ini maka keturunan betina crossbred “AB” dikawinkan dengan pejantan

bangsa “C” dan semua keturunan yang dihasilkan adalah terminal.

Hal yang penting dalam sistem persilangan adalah tersedianya cukup purebred yang

diperlukan dalam pembentukan bangsa silangan. Terminal sistem yang hanya melibatkan

dua bangsa merupakan metode persilangan yang paling mudah dan menghasilkan efek

heterosis yang maksimal.

Bangsa Komposit

Tujuan pembentukan bangsa komposit adalah untuk mempertahankan tingkat

heterosis maksimum yang memungkinkan pada generasi selanjutnya, tanpa penambahan

Page 4: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

4 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

persilangan lagi. Bangsa komposit dibentuk dari kombinasi dua bangsa atau lebih dengan

persentase darah tertentu yang selanjutnya diikuti dengan perkawinan inter-se, dan dapat

dibentuk kembali dengan formula yang sama (Subandriyo, 2007). Ritchie et. al.(2002)

mendefinisikan bangsa komposit sebagai: A population made up of two or more component

breeds, designed to retain heterosis (hybrid vigor) in future generations without

crossbreeding and maintained like a pure breed. Dalam pembentukannya diperlukan money,

time and patience.

Ritchie et al. (2002) menjelaskan dalam pembentukannya tiap generasi diperlukan 25

ekor jantan dan 500- 750 induk, selanjutnya pada tahap inter-se(within herd) matings

diperlukan tiga generasi inter-se. Pada iklim yang panas direkomendasikan komposisi darah

Bos Indicus ¼ sampai 3/8. Pembentukan bangsa komposit dipilih sebagai alternatif dari

rotational crossbreeding system, karena manajemen breeding yang lebih mudah setelah

terbentuknya bangsa ini. Bangsa Bos Taurus dan Bos Indicus banyak dipergunakan dalam

pembentukannya. Komposisi darah dan berapa komponen bangsa yang dipergunakan

tergantung pada klimat, lingkungan, manajemen level, pakan, penyakit dan parasit, target

produksi. Di Afrika Selatan dibentuk bangsa sapi perah komposit dengan mempergunakan

bangsa sapi Sahiwal, dengan Ayrshire, Frisian Holstein dan Brown Swiss pada berbagai

komposisi darah. Bangsa sapi potong komposit yang dikenal antara lain adalah

Droughtmaster, Santa Gertrudis Muray Grey, Belmont Red (Hardjosubroto, 1994).

Model Breeding Untuk Pembentukan Bangsa Komposit

Di lapangan sudah banyak diterapkan persilangan sapi potong dan hasil F1 nya berupa

sapi Simpo dan Limpo dengan komposisi darah 50% Simmental ( Limousine) dan 50%PO

yang disukai masyarakat. Sumadi et al. (2003) melaporkan persilangan sapi Simmental

dengan sapi PO telah menimbulkan dampak positif dengan terjadinya kenaikan bobot badan,

yang tampak setelah sapi menginjak dewasa, meskipun belum dapat ditunjukkan efek

heterosis. Dampak negatif terhadap reproduksi belum tampak hanya kasus terjadinya

penundaan berahi setelah beranak. Kekhawatiran yang ada adalah persilangan ini yang

dimaksudkan merupakan terminal untuk membentuk sapi komersial akan tetapi di masyarakat

dilakukan lagi persilangan-persilangan sehingga kemudian tak jelas komposisi darahnya

karena tidak ada rekording. Oleh karena itu perlu dibuat konsep breeding untuk membuat

pembentukan bangsa komposit. Berikut ini adalah dua contoh model breeding untuk

pembentukan bangsa komposit dengan komposisi darah 50%/50% dan 62,5%/37,5%

Page 5: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

5 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

A. Model pembentukan bangsa komposit 50% Simental (Limousin) dan 50% PO

1. Persilangan: 100% S(L) x 100% PO menghasilkan F1 50% S(L)/ 50%PO

2. F1 x F1 menghasilkan F2 50% S(L)/ 50%PO

3. Komposit F2 x F2 menghasilkan keturunan 50% S(L)/ 50%PO

4. Inter-se Mating menghasilkan keturunan 50% S(L)/ 50%PO

B. Model pembentukan bangsa komposit 62,5% S (L) dan 37,5% PO 1. Persilangan: 100% S(L) x 100% PO menghasilkan F1 50% S(L)/ 50%PO

2. F1 x BC menghasilkan BC1 75% S(L)/ 25%PO

3. Komposit BC1 x F1 menghasilkan keturunan 62,5% S(L)/ 37,5%PO

4. Inter-se Mating menghasilkan keturunan 62,5% S(L)/ 37,5%PO

Perkiraan empat tahap kegiatan berdasar model breeding yang diaplikasikan yaitu

crossing untuk menghasilkan masing-masing tahap kegiatan I, II, III, dan IV

memerlukan waktu berturut-turut 18 bulan, 30 bulan, 30 bulan dan 30 bulan, sehingga

total waktu seluruhnya 108 bulan ( 9 tahun).

Dampak Persilangan Pada Struktur Genetika Molekuler

Ditinjau dari analisis genetika molekuler menunjukkan adanya perubahan frekuensi

alel pada keturunan sapi hasil persilangan. Berdasarkan penelitian tentang identifikasi gen

Growth Hormone (GH) dan SRY pada beberapa sapi lokal dan hasil persilangan di Indonesia

menunjukkan adanya perubahan frekuensi alel dan mempunyai sifat polimorfik yang tinggi.

Sifat polimorfik pada kedua gen tersebut banyak dijumpai pada sapi persilangan dan tidak

ditemukan pada sapi lokal dan sapi Bali (Bos sondaicus). Perubahan tersebut disebabkan

adanya mutasi titik (point mutation) pada gen GH akibat terjadi substitusi sebuah nukleotida :

cytosine (C) dengan guanine (G). Mutasi tersebut mengakibatkan perubahan asam amino dari

leusyne (Leu): CTG menjadi valine (V): GTG pada urutan ke-127 dari rantai polipeptida GH.

Mu’in (2008) melaporkan bahwa sebanyak 242 sampel sapi Bali menunjukkan 100% genotip

LL, sedangkan pada 43 sapi PO, 44 Simpo dan 42 Limpo berturut-turut menunjukkan

genotip LL sebesar 98%, 50% dan 78%. Namun berdasarkan perhitungan keseimbangan

genetik (Hardy-Weinberg equilibrium) masih menunjukkan adanya keseimbangan pada

populasi sapi LIMPO (X2=0,58), SIMPO (X

2=4,89). dan PO (X

2=0,03). Keseimbangan

genetik tersebut diketahui dengan nilai uji Chi-Square pada ketiga bangsa tersebut kurang

dari nilai X20,05;2 = 5,99. Perubahan Frekuensi genotip dan alel juga ditunjukkan pada

persilangan sapi Limosin x Madura seperti terlihat pada Tabel 1 (Hartatik et al, 2013).

Page 6: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

6 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

Tabel 1. Frekuensi Alel dan Genotip pada Sapi Lokal dan Hasil Persilangan

Cattle

N Σ

Genotipe Frekuensi Alel X2

LL LV VV L V

Limmousine 6

Observed 4 2 0 0.83 0.17 0.23

Expected 4.13 (69.65%) 1.63 (27.49%) 0.17 (2.87%)

Madura 65

Observed 100 0 0 1.00 0.00 -

Expected - - - Peranakan Ongole

(PO ) 52

Observed 50 (96.15%) 2 (3.85%) 0 (0%) 0.98 0.02 0.19

Expected 49.94 (96.04%) 2.04 (3.92%) 0.02 (0.04%)

Limousin-Madura 81 Observed 66 (81.48%) 15 (18.52%) 0 0.91 0.09 0.89

Expected 67.1(82.81%) 13.27 (16.38%) 0.66 (0.81%) Limousin-PO

56 Observed 44 (78.57%) 12 (21.43%) 0 (0%) 0.89 0.11 0.78

Expected 44.4 (79.23%) 10.96 (19.56%) 0.68 (1.21%)

Berkurangnya frekuensi genotip LL dan meningkatnya genotip LV pada sapi

persilangan menunjukkan adanya aliran (migrasi) alel V yang diduga berasal dari sapi

Simental dan Limousin. Akan tetapi migrasi tersebut tidak sampai mengganggu

keseimbangan genetik pada populasi tersebut. Penelitian Mu’in (2008) pada sapi SIMPO

dengan frekuensi genotip LL dan LV yang seimbang (masing-masing 50%) sehingga dipilih

untuk mengetahui efek gen polimorfik GH pada berat badan seperti terlihat pada Tabel 3.

Berat badan dan pertambahan berat bada pada kedua macam genotip tersebut tidak

menunjukkan efek yang signifikan.

Tabel 3. Efek genotip GH terhadap pertambahan berat badan pada sapi SIMPO

Sifat Pertumbuhan Genotip

P LL LV

BL (kg) 32,15 ± 3,97 (n = 40) 34,36 ± 4,95 (n = 22) 0,108

BB-60 (kg) 72,57 ± 10,29 (n = 37) 78,50 ± 9,05 (n = 22) 0,064

PBBH (g/hari) 670,80 ± 137,50 (n = 37) 735,60 ± 94,00 (n = 22) 0,187 BL: Berat Lahir; BB-60: Berat Badan umur 60 hari ; PPBH: Pertambahan Berat Badan Harian;

Pada analisis genetika molekuler dengan metode polymerase chain reaction-restriction

fragment length polymorphism (PCR-RFLP) terkait gen SRY juga menunjukkan adanya

perubahan pola yang berbeda pada sapi persilangan dibandingkan dengan pola PCR-RFLP

pada sapi Madura seperti terlihat pada Tabel 2 (Hartatik et al, 2014).

Table 2. Hasil PCR-RFLP pada sapi Madura dan Persilangan

Sample Type Location Number Restriction Enzymes

Pst I BfaI

2 Band 3 Band 1 Band

Madura Cattle Pamekasan 10 10

(100%)

- 10

(100%)

Pure Madura Cattle Sapudi

Island

4 4

(100%)

- 4

(100%)

Limousin x Madura

Cattle

Pamekasan 19 19

(100%)

14

(73.68%)

5

(26.32%)

Total Sample 33 33 14 19

Page 7: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

7 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas bahwa persilangan pada sapi memberikan

efek pada perubahan struktur genetika molekuler pada sapi. Sehingga untuk melakukan

pengembangan crossbreeding diperlukan identifikasi genetik pada sapi yang murni dengan

marker DNA yang spesifik pada masing-masing bangsa sapi.

Kesimpulan

1. Untuk mengetahui produktivitas hasil persilangan atau komposit diperlukan suatu

program breeding yang terarah dan terencana dengan didukung sarana dan prasarana yang

memadai.

2. Untuk pengembangan persilangan sapi potong dan untuk membentuk bangsa komposit

diperlukan bangsa murni, sehingga peran teknologi analisis genetika molekuler

dibutuhkan untuk mengidentifikasi kemurnian bangsa sapi yang akan dikembangkan

untuk program persilangan.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2014. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995,

2000 dan 2010. Diakses pada

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab

=1 (tanggal 25 Juni 2014).

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Republik Indonesia.

2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013. Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kementerian Republik Indonesia

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grasindo, Jakarta.

Hartatik,T., Slamet Diah Volkandari, Mifta Pratiwi Rachman, and Sumadi. 2013.

Polymorphism Leu/Val of Growth Hormone Gene Identified from Limousin Cross Local

Cattle in Indonesia. Procedia Enviromental Science 17 (2013) 105-108. (ISSN: 1878-

0296).

Hartatik, T. , T.S.M.Widi, S.D.Volkandari, D. Maharani and Sumadi. 2014. Analysis of DNA

Polymorphism in SRY Gene of Madura Cattle Populations. Procedia Enviromental

Science 20 (2014) 365-369. (ISSN: 1878-0296).

Lasley, Y.E. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.

New Jersey.

Mu’in, M.A. 2008. Polimorfisme Genetik Growth Hormone dan Insuline-Like Growth

Factor-I serta Efeknya Pada Pertumbuhan Sapi Potong di Indonesia. Disertasi, Fakultas

Peternakan, Universitas Gadjah Mada.

Page 8: Seminar crossbreeding  26 juni tety hartatik (final)

8 Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia

Yogyakarta, 26 Juni 2014

Morris, S.T., I.M. Brookes, W.J. Parker, and S.N.McCutcheon. 1994. Biological efficiency:

how relevant is this concept to beef cows in a mixed livestock seasonal pasture supply

context? Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production 54: 333-336.

Ritchie, H.D., B.D. Banks, D.Buskirk, J.Cowley and D. Hawkins. 2002. Development And

Use Of Composite. Animal Science Staff Paper 440, File No. 19.113.September 2002.

Subandriyo. 2007. Pembentukan rumpun Kambing Atau Domba Baru Melalui Persilangan.

Makalah Pada Lokakarya Kambing Boerawa. Lampung 29-30 Juli 2007.

Sumadi, W.Hardjosubroto, Supiyono. 2003. Penyusunan Program Breeding Sapi Potong Di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Kerjasama Dinas Pertanian Propinsi DIY Dengan

Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Warwick, E.J., J.M.Astuti, dan W.Hardjosubroto. 1983 Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.