SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 ... berkata, “Marilah Ki Sanak, kami persilahkan Ki...

84
Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

Transcript of SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 ... berkata, “Marilah Ki Sanak, kami persilahkan Ki...

Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh)

Panembahan Mandaraka (mbah_man)

Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

ii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan T ADBM)

Karya mbah_man

Jilid 2

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iv

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, dan

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

“TANGKAP pembunuh..!!” yang lainnya pun ikut berteriak sambil mengangkat senjata di tangan kanan mereka tinggi-tinggi.

Untuk beberapa saat Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah membeku. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan hanya diam di tempat saja sambil menunggu.

Sejenak kemudian orang-orang yang berlari-larian itu telah sampai di tempat Ki Rangga dan kawan-kawannya berdiri. Dengan segera mereka berkerumun sambil mengacu-acukan senjata mereka.

Sekilas Ki Rangga dan kawan-kawannya segera melihat bahwa mereka adalah sekumpulan orang-orang padukuhan yang masih lugu, dilihat dari jenis senjata yang mereka bawa. Kebanyakan dari mereka membawa parang pembelah kayu, linggis dan bahkan sabit rumput serta dua orang justru telah membawa cangkul.

Agaknya mereka begitu tergesa-gesa atau bahkan tidak menutup kemungkinan mereka sedang dalam perjalanan ke sawah atau ke pategalan dan kemudian seseorang telah mempengaruhi mereka.

“Ki Sanak semua,” berkata Ki Waskita kemudian dengan suara sareh sambil maju selangkah, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi, sehingga Ki Sanak semua telah berbondong-bondong menuju ke tempat ini?”

“Tidak usah berpura-pura kakek tua!” geram seorang yang berperawakan tegap dan masih cukup muda sambil melangkah ke depan, “Kalian berlima akan kami bawa ke banjar padukuhan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

2

“Sebentar Ki Sanak,” berkata Ki Waskita tetap dengan nada yang sareh, “Perbuatan apakah yang harus kami pertanggung-jawabkan?”

“Kalian telah membunuh orang itu!” bentak orang bertubuh kekar itu sambil menunjuk orang yang duduk di bawah pohon dan telah menjadi mayat.

“Kalian salah sangka,” jawab Ki Waskita, “Kami berlima justru terheran-heran mendapatkan orang itu telah menjadi mayat.”

“Bohong!” kembali orang berperawakan tegap itu membentak, “Ada seseorang yang telah memberitahu kami bahwa kalian lah yang telah membunuh orang itu.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya sejenak. Katanya kemudian, “Siapakah diantara kalian yang melihat kami telah membunuh orang itu?”

Serentak orang-orang yang berkerumun itu saling pandang sambil mencoba mengenali orang-orang yang berada di dekat mereka. Agaknya mereka sedang mencari seseorang diantara mereka.

“Dimana dia?” geram orang berperawakan tegap itu sambil menebarkan pandangannya ke sekeliling.

“Ya, mana orang tadi?” seseorang yang lain telah menyahut.

“Siapa?” yang lain justru balik bertanya

“Orang yang memberitahu kita bahwa di bulak telah terjadi rajapati,” sahut yang lain.

Segera saja terdengar suara bergeremang di antara mereka. Ternyata orang yang sedang mereka cari itu justru tidak ada di antara mereka.

“Gila!” kembali orang tegap itu menggeram, “Kemana perginya orang itu, he? Dia harus bertanggung jawab atas semua kejadian ini.”

“Maaf Ki Sanak,” kali ini Ki Rangga yang berkata, “Sesungguhnya kami berlima bermaksud untuk menanyakan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

3

sesuatu kepada orang itu. Namun kami menjadi curiga begitu orang itu sama sekali tidak menjawab bahkan terlihat tidak bergerak sama sekali,” Ki Rangga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Kami menyangka orang itu sedang mengalami kesulitan atau menderita sakit. Maka kami memberanikan diri untuk mendekat dan memeriksanya. Ternyata orang itu telah meninggal.”

Beberapa orang tampak menarik nafas sambil mengangguk-angguk. Sedangkan orang berperawakan tegap itu masih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bertanya orang itu kemudian dengan nada yang mulai menurun, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak berlima ini?”

“Kami dari Prambanan dan sedang dalam perjalanan menuju ke tanah Perdikan Matesih,” jawab Ki Waskita, “Kami sangat jarang melakukan perjalanan jauh. Sehingga kami sering berhenti di suatu tempat dan menanyakan kembali arah perjalanan kami untuk meyakinkan bahwa kami tidak tersesat.”

Orang bertubuh tegap itu tampak ragu-ragu. Namun sebelum dia bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar langkah-langkah beberapa orang yang sedang berlari-larian menuju ke tempat itu Sejenak kemudian beberapa orang tampak muncul dari regol padukuhan.

“Ki Jagabaya!” hampir setiap mulut menyebut nama itu kecuali Ki Rangga dan kawan-kawannya.

Memang yang datang itu adalah Ki Jagabaya, perangkat padukuhan Klangon yang bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan padukuhan.

“Ada apa Ki Senggi?” bertanya Ki Jagabaya sesampainya dia di hadapan orang yang bertubuh tegap itu.

“Maaf Ki Jagabaya, kita sedang mengusut sebuah rajapati yang baru saja terjadi di bulak ini,” jawab orang bertubuh tegap itu yang ternyata bernama Ki Senggi.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

4

Sejenak Ki Jagabaya mengerutkan keningnya sambil mengedarkan pandangan matanya ke wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Katanya kemudian, “Aku baru saja diberi tahu tentang rajapati ini. Nah, di mana jasad orang itu? Aku ingin melihatnya.”

Segera saja kerumunan itu menyibak dan memberi jalan Ki Jagabaya. Dengan langkah lebar Ki Jagabaya pun kemudian mendekati jasad orang yang masih terlihat duduk di bawah pohon itu.

Sambil membungkuk Ki Jagabaya mencoba membuka caping itu. Sejenak kerut merut yang dalam terlihat menghiasi kening Ki Jagabaya.

“Sebuah paser,” desis Ki Jagabaya perlahan sambil mengamat-amati sebuah paser yang menancap dalam-dalam di leher orang itu, “Tentu sebuah paser yang sangat beracun.”

Beberapa orang yang mendengar desis Ki Jagabaya itu mencoba mendekat. Dengan berdesak-desakan mereka mencoba melihat keadaan orang itu.

“Sudahlah," berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menegakkan tubuhnya dan berbalik, “Angkat jasad ini dan bawa ke banjar padukuhan. Kita harus segera menyelenggarakan pemakaman baginya sebelum hujan turun.”

Mendengar kalimat terakhir Ki Jagabaya, serentak mereka yang hadir mendongakkan kepala mereka ke langit. Mendung sudah sedemikian tebalnya serta angin yang bertiup keras terasa telah membawa titik-titik air.

“Bagaimana dengan Ki Sanak berlima ini, Ki Jagabaya?” bertanya Ki Senggi begitu melihat Ki Jagabaya tampak memperhatikan Ki Rangga dan kawan-kawannya yang berdiri termangu-mangu sambil memegang kendali kuda masing-masing.

Ki Jagabaya berpaling sekilas mendengar pertanyaan Ki Senggi. Bertanya Ki Jagabaya kemudian, “Siapakah mereka?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

5

“Maaf Ki Jagabaya,” Ki Waskita lah yang mendahului menjawab sambil melangkah mendekat dengan tetap memegangi kendali kudanya, “Kami berlima berasal dari Prambanan dan sedang dalam perjalanan menuju ke Perdikan Matesih,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Beberapa saat tadi kami menemukan orang itu sudah dalam keadaan tidak bernyawa di bawah pohon.”

Ki Jagabaya tidak segera menanggapi kata-kata Ki Waskita. Sepasang matanya yang mirip sepasang mata burung hantu itu menatap tajam ke wajah Ki Waskita.

Agaknya Ki Waskita dapat menjajagi isi hati Ki Jagabaya. Maka katanya kemudian sambil balas menatap mata Ki Jagabaya, “Apakah Ki Jagabaya meragukan keterangan kami?”

Ki Jagabaya terkejut. Sepasang mata Ki Waskita yang balik menatapnya itu bagaikan menyala dan telah membuat sepasang matanya menjadi pedas bahkan mulai berair.

“Gila!” geram Ki Jagabaya dalam hati sambil melemparkan pandangan matanya ke arah Ki Senggi. Katanya kemudian, “Ada hubungan apakah mereka berlima dengan peristiwa rajapati ini?”

Ki Senggi beringsut setapak. Jawabnya kemudian, “Seseorang telah memberitahukan kepada kami bahwa mereka berlima itulah pembunuh yang sebenarnya.”

Untuk ke sekian kalinya Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Di mana orang itu sekarang?”

“Dia tidak ada di sini, Ki Jagabaya.”

Merah padam wajah Ki Jagabaya. Katanya kemudian dengan suara sedikit keras, “Panggil orang itu ke sini sekarang juga!”

“Aku tidak mengenalnya, Ki Jagabaya.”

“He?” seru Ki Jagabaya keheranan, “Bagaimana mungkin? Bukankah Ki Senggi mengenal hampir semua penghuni padukuhan Klangon ini?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

6

“Ya, Ki Jagabaya,” jawab Ki Senggi cepat, “Namun kami tidak sempat menanyakan jati diri orang itu, karena berita rajapati itu telah mengejutkan kami.”

“Ki Senggi benar Ki Jagabaya,” sahut yang lain, “Pada saat kami akan berangkat ke sawah, di tengah perjalanan seseorang telah memberitahu kami tentang rajapati ini.”

“Dan tidak ada seorang pun dari kalian yang mengenal orang itu?’ sela Ki Jagabaya cepat.

Hampir bersamaan orang-orang padukuhan Klangon yang hadir di tempat itu menggeleng.

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil menatap satu-satu wajah yang tertunduk itu Ki Jagabaya pun kemudian bertanya, “Atas dasar apa kalian seenaknya saja menuduh Ki Sanak berlima ini sebagai pelakunya?”

Wajah-wajah lugu penghuni padukuhan Klangon itupun semakin tertunduk dalam-dalam.

“Untunglah seseorang telah memberitahu aku tentang peristiwa di depan regol padukuhan ini, sehingga kesalah-pahaman ini dapat dihindarkan,” berkata Ki Jabagaya kemudian setelah sejenak mereka terdiam. Lanjut Ki Jagabaya kemudian, “Marilah kita segera menyelenggarakan jasad orang itu. Siapapun dia sebenarnya, karena dia telah meninggal di padukuhan Klangon, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelenggarakan pemakamannya.”

Setiap kepala yang hadir di tempat itu pun tampak terangguk-angguk.

Kemudian kepada Ki Rangga dan kawan-kawannya, Ki Jagabaya berkata, “Marilah Ki Sanak, kami persilahkan Ki Sanak berlima untuk sekedar mampir di padukuhan Klangon. Kalian dapat bermalam di banjar padukuhan karena sebentar lagi kelihatannya hujan akan turun, dan sebaiknya Ki Sanak mencari tempat berteduh.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

7

Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya saling pandang. Segera saja mereka memaklumi ajakan Ki Jagabaya itu. Walaupun tidak secara langsung orang yang bertanggung jawab atas keamanan padukuhan Klangon itu mencurigai mereka, namun ajakan untuk bermalam di padukuhan Klangon itu perlu diwaspadai. Secara tidak langsung ajakan itu mengisyaratkan bahwa Ki Rangga berlima masih dalam pengawasan atas peristiwa rajapati itu.

“Terima kasih Ki Jagabaya,” akhirnya Ki Waskita lah yang menjawab mewakili yang lain, “Kami sangat bersyukur mendapat tempat bermalam di padukuhan Klangon. Semoga kehadiran kami tidak merepotkan para penghuni padukuhan.”

“O, tidak..tidak,” jawab Ki Jagabaya dengan serta merta, “Marilah kita berangkat sebelum hujan benar-benar turun,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah kami dapat meminjam salah satu kuda kalian untuk membawa jasad orang itu?”

“O, tentu..tentu,” dengan tergopoh-gopoh Ki Waskita segera menyerahkan kendali kudanya, “Kami akan berjalan kaki bersama-sama kalian ke banjar padukuhan.”

“Terima kasih,” jawab Ki Jagabaya sambil menerima kendali kuda.

Sejenak kemudian, salah satu penghuni padukuhan Klangon segera menaikkan jasad itu ke atas punggung kuda Ki Waskita. Setelah menerima kendali kuda dari Ki Jagabaya, dengan perlahan kuda itu pun dihelanya maju. Sementara dua orang menjaga di kiri kanan jasad yang terlelungkup di atas punggung kuda itu.

Demikianlah iring-iringan itu pun segera bergerak menuju ke banjar padukuhan Klangon. Sepanjang jalan hampir tidak ada seorang pun yang berbicara. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angan mereka sendiri-sendiri. Sementara di langit sesekali terdengar petir bersabung disertai dengan air hujan yang mulai turun menetes satu persatu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

8

Rombongan itu segera mempercepat langkah mereka. Ketika titik-titik hujan mulai terasa semakin deras, beberapa orang bahkan telah mulai berlari-lari kecil.

Untunglah banjar padukuhan itu sudah mulai terlihat di ujung kelokan jalan. Begitu mereka mencapai pendapa banjar padukuhan, jasad itu segera diangkat dan kemudian diletakkan di tengah-tengah pendapa. Sejenak kemudian, hujan pun turun bagaikan dicurahkan dari langit.

“Marilah Ki Sanak sekalian,” berkata Ki Jagabaya kemudian kepada Ki Waskita, “Biarlah kuda-kuda kalian dirawat oleh penjaga banjar ini,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah kalian sudah mengambil perbekalan masing-masing?”

“Sudah Ki Jagabaya,” jawab Ki Waskita sambil menunjukkan buntalan pakaian di tangan kirinya diikuti oleh yang lainnya, “Jika diijinkan kami akan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum berganti pakaian.”

“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jagabaya cepat, “Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kalian dapat beristirahat di ruang dalam banjar. Aku akan mempersiapkan pemakaman jenazah sambil menunggu hujan reda.”

Demikianlah kelima orang itu segera memasuki banjar padukuhan Klangon. Seorang yang berpakaian serba hitam dengan rambut yang sudah mulai memutih telah menunjukkan ruang dalam tempat mereka untuk beristirahat.

Untuk beberapa saat mereka masih menunggu hujan agak mereda untuk pergi ke pakiwan secara bergantian. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Rangga untuk membicarakan rencana mereka selanjutnya.

“Kelihatannya sekarang ini kita diterima sebagai tamu,” berkata Ki Rangga memulai pembicaraan, “Namun aku merasa kita selalu diawasi sehingga kita ini seperti menjadi tawanan saja.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

9

“Angger benar,” sahut Ki Waskita, “Aku tadi sempat melihat beberapa pengawal padukuhan Klangon telah berdatangan bersamaan dengan turunnya hujan.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah Glagah Putih. Agaknya Glagah Putih pun tanggap dengan maksud kakak sepupunya itu. Maka katanya kemudian sambil bangkit berdiri, “Aku akan melihatnya kakang.”

“Berhati-hatilah,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Jayaraga berpesan.

“Ya Guru,” jawab Glagah Putih sambil melangkah ke pintu.

Begitu bayangan Glagah Putih hilang di balik pintu, Ki Rangga pun segera meneruskan kata-katanya.

“Malam ini kita akan membagi tugas untuk menyelidiki padukuhan ini,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kita ingin mengetahui, sejauh mana padukuhan ini telah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”

“Kemungkinan itu memang ada. Ngger,” berkata Ki Waskita menanggapi, “Terbukti salah satu petugas sandi Mataram telah menjadi korban.”

“Agaknya mereka juga senang bermain-main dengan racun,” Ki Jayaraga memberikan pendapatnya.

Sejenak Ki Rangga terdiam. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki Bango Lamatan yang terlihat hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Apakah Ki Bango Lamatan mempunyai sebuah gagasan?,” tiba-tiba Ki Rangga mengajukan sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunan Ki Bango Lamatan.

Untuk sejenak Ki Bango Lamatan masih menarik nafas dalam sambil menegakkan punggungnya. Jawabnya kemudian, “Ki Rangga, kedudukanku dalam kelompok ini hanyalah sebagai pelengkap. Aku dititipkan oleh Pangeran Pati atas persetujuan KI

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

10

Patih Mandaraka. Sehingga apapun rencana Ki Rangga, aku akan mengikutinya.”

“Ah,” desah Ki Rangga sambil tertawa pendek, “Aku ditunjuk sebagai pemimpin kelompok ini bukan berarti aku mempunyai kekuasan mutlak untuk menjalankan rencana sesuai dengan hasil pemikiranku sendiri. Setiap anggota di dalam kelompok ini berhak untuk mengajukan pendapatnya.”

“Ki Rangga benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Setiap orang dalam kelompok ini dapat mengusulkan sebuah rencana yang disesuaikan dengan keadaan. Rencana manakah yang akan kita pakai nantinya, tergantung dari hasil kesepakatan kita.”

Semua yang hadir di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka tak terkecuali Ki Bango Lamatan.

Pembicaraan itu terhenti ketika terdengar pintu berderit dan Glagah Putih muncul dari balik pintu. Sementara hujan di luar kelihatannya sudah mulai mereda. Bunyi air hujan yang memukul-mukul atap banjar padukuhan sudah tidak sekeras dan sesering seperti beberapa saat tadi.

“Masuklah,” berkata Ki Rangga begitu melihat adik sepupunya itu masih termangu-mangu di tengah-tengah pintu, “Apakah engkau melihat sesuatu yang perlu mendapat perhatian?”

“Jenazah itu akan diberangkatkan,” jawab Glagah Putih sambil melangkah mendekat dan kemudian duduk di sebelah gurunya, “Banjar ini rasa-rasanya telah terkepung dari segala penjuru. Aku melihat banyak pengawal yang berjaga-jaga di seputar banjar.”

“Apakah tidak sebaiknya kita ikut mengantarkan jenazah itu, ngger?” sela Ki Waskita sambil berpaling ke arah Ki Rangga.

Sejenak Ki Rangga termenung. Namun jawabnya kemudian, “Aku kira tidak perlu Ki Waskita. Kita tidak usah menunjukkan kedekatan kita dengan orang yang sudah meninggal itu. Sebaiknya kita tetap di banjar ini.”

Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

11

Untuk sejenak mereka yang berada di dalam ruang itu terdiam. Sementara bunyi titik-titik air hujan yang menimpa atap banjar padukuhan sudah tidak terdengar lagi. Berkata Ki Rangga kemudian, “Nah, hujan sudah benar-benar reda. Siapakah yang akan ke pakiwan terlebih dahulu?”

Tanpa menunggu jawaban yang lainnya, ternyata Glagah Putih telah berdiri kembali. Sambil melangkah ke pintu dia berkata, “Aku akan menimba air terlebih dahulu. Silahkan jika ada yang akan membersihkan diri.”

“Benar-benar anak yang baik,” sahut Ki Jayaraga yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya.

Demikianlah ketika Glagah Putih kemudian membuka pintu butulan dan turun ke halaman belakang, secara tidak mencolok tampak beberapa pengawal duduk-duduk bergerombol di teritisan sebelah kiri sambil bersenda-gurau. Di hadapan mereka tampak beberapa mangkuk minuman panas dan penganan.

Glagah Putih pura-pura tidak memperhatikan mereka. Diayunkan langkahnya menuju ke perigi. Setelah melepas tali senggot yang diikatkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di sebelah perigi, sejenak kemudian Glagah Putih pun telah tenggelam dalam keasyikannya menimba air.

Dalam pada itu, di pendapa banjar padukuhan jenazah petugas sandi Mataram itu telah diberangkatkan. Beberapa orang penghuni padukuhan Klangon tampak ikut mengantar jenazah itu ke tanah pekuburan bersama dengan beberapa pengawal padukuhan. Selain pengawal padukuhan Klangon, Ki Jagabaya pun tampak ikut berjalan di antara mereka.

Tiba-tiba seseorang yang rambutnya sudah putih semua dengan memakai ikat kepala yang agak rendah tanpa menarik perhatian telah berjalan menjajari langkah Ki Jagabaya.

“Ki Jagabaya,” bisik orang itu, “Apakah benar ada lima orang yang bermalam di banjar sekarang ini?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

12

Ki Jagabaya terkejut. Dengan cepat dia segera berpaling. Sejenak Ki Jagabaya ragu-ragu, dia hampir tidak mengenali orang itu. Namun ketika orang itu kemudian tersenyum ke arahnya, barulah Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam.

“Benar Ki Gede,” jawab Ki Jagabaya kemudian juga dengan berbisik sambil mengiringi langkah orang yang dipanggilnya Ki Gede itu.

Orang yang dipanggil Ki Gede itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang ke titik-titik di kejauhan dia berdesis, “Usahakan untuk mengetahui jati diri mereka. Agaknya mereka itu orang-orang yang sedang menyamar. Tidak menutup kemungkinan mereka adalah para petugas sandi Mataram. Aku memerlukan datang ke sini untuk bisa bertemu dengan mereka. Mudah-mudahan dugaanku ini tidak keliru, namun jangan sampai menimbulkan kesan kepada para pengikut Raden Mas Harya Surengpati yang banyak tersebar di padukuhan ini.”

“Akan aku usahakan, Ki Gede,” sahut Ki Jagabaya, “Namun aku tidak yakin jika mereka itu para petugas sandi Mataram yang sedang menyamar. Jika mereka adalah para prajurit sandi Mataram, beberapa di antaranya sudah terlalu tua untuk disebut sebagai seorang prajurit.”

Orang yang dipanggil Ki Gede itu tertawa pendek sehingga orang-orang yang berjalan di depannya telah berpaling sekilas. Namun Ki Gede tidak mempedulikan mereka. Lanjutnya kemudian, “Mungkin yang tua-tua itu adalah para prajurit yang sudah purna namun tenaganya masih dibutuhkan sehingga tidak menutup kemungkinan mereka diperbantukan dalam tugas rahasia ini,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah para penghuni padukuhan Klangon ini ada yang dapat mengenali aku?”.

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekitarnya, dengan nada sedikit ragu dia menjawab, “Sejauh ini belum ada yang mengenali dan memperhatikan Ki Gede. Dalam pakaian yang sangat sederhana

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

13

ini, kemungkinannya sangat kecil untuk mengenal Ki Gede. Kecuali orang-orang terdekat yang sudah terbiasa bergaul dengan Ki Gede.”

Orang yang dipanggil Ki Gede itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Ki Jagabaya. Dalam hati dia membenarkan pendapat Ki Jagabaya itu. Betapapun sempurnanya dia melakukan penyamaran, namun orang-orang terdekatnya terutama istri dan kedua anaknya tentu dapat mengenali dari bentuk tubuh, gerak-gerik serta hal-hal lain yang tidak pernah terbaca oleh orang lain kecuali hanya keluarga terdekatnya saja.

Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang kelima orang asing itu. Sementara langkah-langkah mereka telah semakin mendekati tanah pekuburan.

“Usahakan mereka tidak keluar dari banjar malam ini,” berkata Ki Gede kemudian ketika iring-iringan jenazah itu sudah memasuki gerbang tanah pekuburan, “Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui mereka. Aku sudah muak dengan segala tingkah polah para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Ki Jagabaya yang berjalan di samping Ki Gede tampak mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Bagaimana jika dugaan Ki Gede justru sebaliknya? Mereka ternyata justru utusan Raden Wirasena yang selama ini belum pernah kita lihat? Atau bahkan tidak menutup kemungkinan justru salah satu dari mereka itu adalah Raden Wirasena sendiri.”

Berdesir jantung Ki Gede. Kemungkinan itu memang ada. Dan jika kemungkinan itulah yang akan terjadi, tentu lehernya sendiri yang akan menjadi taruhannya.

Untuk beberapa saat kedua orang itu kembali terdiam sambil berjalan di antara sela-sela batu nisan. Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti di depan liang lahat yang telah disediakan, kedua orang itu pun segera menepi dan berdiri di bawah sebatang pohon Kamboja.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

14

“Apakah kita akan mendekat, Ki Gede?” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Gede yang berdiri di sebelahnya.

“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “Aku khawatir jika terlalu dekat dengan mereka, mungkin salah satu dari mereka akan ada yang mengenaliku.”

Ki Jagabaya tersenyum. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan tadi, penyamaran Ki Gede cukup sempurna. Namun jika Ki Gede berbicara, tentu orang akan dapat mengenali Ki Gede dari suara itu.”

Ki Gede tersenyum, betapapun masamnya. Katanya kemudian, “Untuk itulah kita tidak perlu mendekat. Jika seseorang kemudian bertanya sesuatu kepadaku, walaupun tanpa kesengajaan dan maksud tertentu, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk menyembunyikan suaraku yang asli.”

Ki Jagabaya kembali tersenyum. Sambil melemparkan pandangan matanya ke arah kerumunan orang di seputar liang lahat itu, dia kemudian bergumam perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Siapakah sebenarnya orang itu? Dia mati tanpa meninggalkan ciri-ciri yang dapat dijadikan sebagai pancadan untuk menelusuri jati dirinya.”

Ki Gede yang mendengar gumam Ki Jagabaya telah menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Tentu bukan pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku justru cenderung menduga dia adalah salah satu dari petugas sandi yang telah disebar oleh Mataram. Kemungkinannya orang itu ada hubungannya dengan kedatangan kelima orang yang sekarang berada di banjar.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar dugaan Ki Gede. Namun semua dugaan itu masih harus dibuktikan.

Demikianlah ketika liang lahat itu telah selesai ditimbun tanah dan seseorang yang dianggap sesepuh padukuhan Klangon telah selesai memanjatkan doa, orang-orang yang hadir di tanah pekuburan itu pun segera membubarkan diri.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

15

“Marilah Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Sebaiknya kita ikut meninggalkan tempat ini.”

Ki Gede mengangguk sambil melangkahkan kakinya. Ketika pandangan matanya melihat beberapa pengawal padukuhan yang berjalan beriringan sambil bersenda gurau, Ki Gede pun segera membisikkan sebuah pertanyaan kepada Ki Jagabaya.

“Mengapa begitu banyak pengawal yang datang melayat? Aku tadi juga sempat melihat banyak pengawal yang bersiaga di banjar padukuhan. Apakah ini ada hubungannya dengan kedatangan kelima orang itu?”

Ki Jagabaya menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu, Ki Gede. Mungkin Ki Dukuh telah mendapat laporan dan menyuruh para pengawal padukuhan untuk bersiaga.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Bertanya Ki Gede kemudian, “Apakah Ki Dukuh Klangon masih sering mengadakan hubungan dengan pengikut Trah Sekar Seda Lepen?”

K Jagabaya mengangguk sambil berdesis, “Orang yang mengaku bernama Raden Mas Harya Surengpati itulah yang sering mengunjungi Ki Dukuh dan kemudian membuat hubungan kerja sama dan janji-janji dengan mengatas-namakan kakaknya, Raden Wirasena.”

Ki Gede kembali menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Agaknya Ki Dukuh Klangon telah termakan janji-janji dari Raden Mas Harya Surengpati.”

“Kemungkinannya memang demikian Ki Gede,” sahut Ki Jagabaya.

“Apakah semua perangkat padukuhan telah terpengaruh?” bertanya Ki Gede selanjutnya.

Ki Jagabaya menggeleng, “Aku tidak tahu Ki Gede. Yang jelas aku tetap bersetia kepada Mataram. Namun hal ini tidak aku

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

16

tunjukkan dengan semata-mata. Aku masih memikirkan keselamatan keluargaku.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertimbangan yang sangat berat adalah permasalahan yang menyangkut keluarga. Bagaimanapun juga jika keluarga terancam keselamatannya, tentu akan berpikir seribu kali untuk menentang pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu.

Tak terasa langkah mereka telah sampai di persimpangan jalan. Kedua orang itu pun kemudian memutuskan untuk segera berpisah.

“Kita bertemu lagi saat sirep uwong,” berkata Ki Gede, “Aku akan berusaha memasuki banjar lewat belakang. Aku akan menunggu di dekat perigi. Lontarkanlah sebuah isyarat jika memang kelima orang itu berada di pihak kita. Namun jika ternyata kelima orang itu justru orang-orangnya Raden Mas Harya Surengpati, aku harus segera menyelamatkan diri.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Jagabaya.

Demikianlah akhirnya kedua orang itu pun kemudian segera berpisah. Ki Gede dengan langkah yang tergesa-gesa telah mengambil jalur jalan yang lurus untuk meninggalkan tempat itu, sementara dengan langkah satu-satu Ki Jagabaya mengambil jalur jalan yang satunya untuk kembali menuju ke banjar padukuhan.

Dalam pada itu, walaupun hujan telah berhenti, namun di langit masih menyisakan mendung yang bergelayutan. Matahari tidak menampakkan sinarnya sama sekali. Walaupun hari belum menjelang petang, namun suasananya benar-benar sudah seperti menjelang malam.

Di banjar padukuhan, Ki Rangga dan kawan-kawannya telah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Mereka pun kemudian segera berkumpul kembali di ruang dalam, ruang yang diperuntukkan bagi mereka untuk bermalam.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

17

“Sebentar lagi Matahari akan terbenam,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membetulkan letak duduknya, “Selepas makan malam sebaiknya kita menyusun rencana.”

“Ya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku menyarankan sebagian dari kita duduk-duduk saja di pendapa. Siapa tahu Ki Jagabaya berkenan hadir dan menemani kita berbincang.”

“Ya, aku setuju,” sahut Ki Jayaraga, “Sementara sebagian dari kita berbincang di pendapa, yang lainnya melakukan penyelidikan di padukuhan Klangon ini.”

“Tepatnya di sekitar rumah Ki Dukuh Klangon,” dengan serta-merta Glagah Putih mengajukan sebuah usul.

Semua orang menengok ke arah suami Rara Wulan itu. Ki Rangga lah yang kemudian bertanya, “Apa pertimbanganmu Glagah Putih?”

Glagah Putih menggeser duduknya sejengkal. Jawabnya kemudian, “Aku mempunyai dugaan, jika padukuhan ini telah terpengaruh oleh orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen, tentu dimulai dari pemimpinnya , dalam hal ini adalah Ki Dukuh.”

Mereka yang hadir mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju dengan pendapat Glagah Putih kecuali Ki Bango Lamatan. Berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Belum tentu Ki Dukuh telah terpengaruh oleh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Bisa saja Ki Dukuh sedang dalam tekanan dan ancaman orang-orang terdekatnya yang telah terpengaruh terlebih dahulu. Jika hal ini yang terjadi, kita harus melindungi Ki Dukuh.”

Kembali mereka mengangguk-angguk. Berkata Ki Rangga kemudian, “Kedua kemungkinan itu bisa saja terjadi, dan sebaiknya kita memang mengadakan penyelidikan di sekitar rumah Ki Dukuh Klangon.”

“Benar, ngger,” Ki Waskita menambahi, “Namun harus tetap kita usahakan jangan sampai jati diri kita terungkap. Dan yang lebih penting lagi, jangan sampai apa yang terjadi nantinya di

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

18

padukuhan Klangon ini akan membangunkan perguruan Sapta Dhahana yang selama ini masih belum menyadari akan kehadiran kita.”

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Memang sasaran mereka yang utama adalah memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana dengan orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen. Namun agaknya pengaruh itu sudah cukup meluas sehingga telah sampai di padukuhan Klangon tempat mereka bermalam.

“Marilah,” tiba-tiba Ki Waskita berkata memecah kesunyian, “Matahari sudah terbenam dan sudah terdengar panggilan untuk menunaikan kewajiban kita kepada Yang Maha Agung.”

Hampir bersamaan mereka mengangguk-angguk. Secara bergantian mereka pun kemudian memerlukan pergi ke pakiwan untuk mensucikan diri sebelum menunaikan kewajiban sebagai tanda syukur atas nikmat dan karunia dari Sang Maha Pencipta.

Dalam pada itu Ki Gede yang sedang menyusuri bulak panjang yang menghubungkan padukuhan Klangon dengan Tanah Perdikan Matesih telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang di atas tanggul.

Pada awalnya Ki Gede menduga orang itu hanyalah seorang petani yang sedang melepaskan lelah sehabis membenahi sawahnya. Musim hujan memang telah datang dan agaknya para petani sudah mulai ancang-ancang untuk menggarap sawah mereka kembali.

“Mungkin hanya seorang petani yang kebetulan belum pulang dari sawahnya,” berkata Ki Gede dalam hati sambil memandang bayangan hitam yang berdiri di atas tanggul sebelah kiri beberapa puluh tombak di depan. Matahari memang baru saja terbenam namun karena langit masih menyisakan mendung yang bergelayutan, sehingga suasana pun terlihat cukup gelap.

“Mengapa akhir-akhir ini aku menjadi cepat berprasangka buruk terhadap seseorang.?” bertanya Ki Gede dalam hati sambil terus mengayunkan langkah, “Mungkin kehadiran orang-orang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

19

yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu yang membuatku selalu bercuriga.”

Ketika langkah Ki Gede semakin dekat dengan orang yang berdiri di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun berdentang semakin keras. Orang itu tidak tampak sebagaimana petani biasanya yang memanggul cangkul di pundaknya dan menyelipkan sabit di pinggangnya. Orang itu justru telah berdiri sambil bertolak pinggang dan terlihat dengan sengaja memang sedang menunggu kedatangannya.

“Apa boleh buat,” geram Ki Gede dalam hati sambil meraba pinggangnya. Ketika tangan kanannya menyentuh sebuah keris pusaka turun-temurun kebanggaan Tanah Perdikan Matesih yang terselip di pinggang kanannya, hatinya pun menjadi sedikit tenang.

Dengan langkah satu-satu Ki Gede berjalan terus tanpa meninggalkan kewaspadaan. Malam yang baru saja mulai itu terasa sangat sepi. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam yang mulai memperdengarkan nyanyian dalam irama ajeg. Sementara di langit yang kelam kelelawar dan burung-burung malam mulai beterbangan hilir mudik mencari mangsa.

Semakin dekat jarak Ki Gede dengan orang di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun rasa-rasanya telah berpacu semakin kencang. Betapa pun Ki Gede berusaha menepis syak wasangka di dalam hatinya, namun sikap orang di atas tanggul itu memang terasa sangat mendebarkan.

Ternyata apa yang menjadi dugaan Ki Gede itu benar adanya. Ketika jarak mereka berdua tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan dan tertahan-tahan dari orang yang berdiri di atas tanggul itu. Agaknya itu adalah sebuah isyarat bahwa orang di atas tanggul itu memang sengaja menunggu Ki Gede. Maka Ki Gede pun segera menghentikan langkahnya.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Sudah tidak terdengar lagi suara tawa yang memuakkan itu. Masing-masing terlihat saling menahan diri dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

20

Diam-diam Ki Gede telah menggeser kedudukan keris pusakanya ke depan. Tangan kanannya pun telah menggenggam hulu keris itu, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Suasana benar-benar sangat mencekam. Masing-masing mencoba menilai keadaan, namun tidak ada yang berani mengambil keputusan untuk bergerak terlebih dahulu. Masing-masing hanya menunggu dan menunggu.

Tiba-tiba suasana yang mencekam itu telah dipecahkan kembali oleh suara tawa orang yang berdiri di atas tanggul itu. Suara tawa yang terdengar dalam nada rendah dan berkepanjangan. Benar-benar sebuah tawa yang terdengar sangat memuakkan di telinga Ki Gede.

“Diam!” tiba-tiba Ki Gede yang sudah tidak dapat menahan hatinya itu telah membentak dengan suara yang menggelegar.

Orang di atas tanggul itu tampak terkejut dan segera menghentikan tawanya. Untuk beberapa saat dia hanya dapat berdiri diam termangu-mangu.

“Apakah Ki Gede merasa terganggu?” tiba-tiba orang di atas tanggul itu bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan dalam.

Berdesir dada Ki Gede mendengar pertanyaan itu. Orang itu agaknya telah mengenal dirinya. Jantung Ki Gede pun menjadi semakin berdebaran.

Ki Gede tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengenali bayangan yang berdiri bertolak pinggang di atas tanggul itu. Namun kegelapan yang menyelimuti tempat itu telah menghalangi Ki Gede untuk melihat wajahnya dengan jelas, walaupun Ki Gede telah mengerahkan kemampuannya untuk menajamkan pandangan matanya.

“Bagaimana Ki Gede?” kembali terdengar suara orang di atas tanggul itu, “Mengapa Ki Gede diam saja?” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ki Gede tidak perlu menghunus pusaka kebesaran Tanah Perdikan Matesih. Tidak akan banyak berarti bagiku.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

21

“Sombong!” sergah Ki Gede dengan serta merta. Namun dalam hati Ki Gede mengakui ketajaman mata orang itu. Maka katanya kemudian sambil melepaskan pegangan pada hulu kerisnya dan menunjuk ke arah orang itu, “Turunlah! Jangan menjadi pengecut yang hanya berani bertempur dari atas tanggul. Jika Ki Sanak tetap bertahan, jangan salahkan aku jika aku akan memaksamu turun dengan caraku.”

“O?” terdengar orang itu kembali tertawa, tawa yang memuakkan, “Tidak ada seorang pun yang dapat memaksa aku untuk turun dari tanggul ini. Ki Gede Matesih pun tidak,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalau Ki Gede tidak percaya, silahkan! Aku berjanji tidak akan menggerakkan tubuhku untuk melawan atau pun menghindar, walaupun hanya ujung ibu jari kakiku.”

Kata-kata itu benar-benar telah membuat darah Ki Gede mendidih. Rasa-rasanya kemarahan Ki Gede telah sampai ke ubun-ubun. Sebuah penghinaan yang luar biasa telah dengan sengaja ditujukan kepada dirinya, penguasa tertinggi Tanah Perdikan Matesih.

Dengan menggeram marah Ki Gede segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan puncak ilmu warisan turun-temurun leluhur Perdikan Matesih. Sebuah ilmu yang bersumber dari perguruan Pandan Alas dari cabang Gunung Kidul. Namun dalam perkembangannya, sepeninggal Ki Demang Sarayudha, murid pertama Ki Ageng Pandan Alas, ilmu cabang Perguruan Ki Pandan Alas itu telah mengalami kemunduran yang cukup memprihatinkan.

Segera saja Ki Gede bergeser ke samping setapak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Disalurkan segala tenaganya yang dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik dari Perguruan Pandan Alas.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

22

Orang di atas tanggul itu terkejut begitu menyadari Ki Gede telah mengungkapkan ilmu pamungkasnya. Namun sebagaimana janji yang telah diucapkan sebelumnya, orang di atas tanggul itu tidak akan menggerakkan tubuhnya untuk melawan atau pun menghindar, walaupun hanya ujung ibu jari kakinya.

Sejenak kemudian terdengar teriakan menggelegar dari Ki Gede. Tubuhnya melesat bagaikan tatit yang meloncat di udara. Tangan kanan yang terjulur lurus itu dengan kekuatan penuh menghantam dada orang yang berdiri di atas tanggul itu.

Akibatnya sangat dahsyat. Tubuh Ki Gede bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Kekuatan yang tersalur pada telapak tangan kanannya membalik membentur dadanya sendiri sehingga tubuhnya terpental ke belakang dan melayang jatuh terjerembab di tanah yang berdebu. Terdengar sebuah keluhan pendek sebelum akhirnya Ki Gede jatuh pingsan.

Sedangkan orang yang berdiri di atas tanggul itu sejenak bagaikan membeku di tempatnya. Walaupun kekuatan aji Cunda Manik itu tidak mampu menggetarkan tubuhnya, namun untuk beberapa saat jalan nafasnya terasa bagaikan telah tersumbat.

“Sayang,” desis orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya, “Aji Cunda Manik ini tinggal kulitnya saja. Seandainya Ki Gede mampu mendalami dan mematangkannya, menghadapi orang yang menyebut dirinya Raden Mas Harya Surengpati itu bukanlah suatu hal yang menakutkan.”

Dengan perlahan orang itu pun kemudian melangkahkan kakinya menuruni tanggul.

“Seandainya Ki Ageng Pandan Alas masih hidup dan beliau sendiri yang melontarkan Aji Cunda Manik ini, aku tidak yakin kalau aku akan mampu bertahan,” gumam orang itu kemudian sambil melangkah ke tempat Ki Gede terbaring.

Sesampainya orang itu di sebelah tubuh Ki Gede, segera saja dia mengambil tempat di sebelah kirinya dan kemudian duduk bersila di atas tanah yang berdebu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

23

Untuk beberapa saat orang itu masih merenungi tubuh Ki Gede yang terbujur diam. Kemudian dengan perlahan dirabanya pergelangan tangan Ki Gede, kemudian berpindah ke dada dan terakhir orang itu memiringkan tubuh Ki Gede untuk meraba punggungnya.

“Untung hanya pingsan saja,” desis orang itu, “Tidak ada luka dalam. Semoga ini menjadi pelajaran bagi Ki Gede untuk memacu semangatnya dalam mendalami dan menyempurnakan ilmu kebanggaan Perguruan Pandan Alas ini.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, orang itu pun kemudian mulai memijat tengkuk Ki Gede. Sejenak kemudian, terdengar keluhan tertahan yang keluar dari mulut Ki Gede.

“Ki Gede,” desis orang itu perlahan ketika melihat Ki Gede mulai membuka kedua matanya, “Tidak ada yang perlu dirisaukan. Anggap saja apa yang baru saja terjadi ini adalah bentuk dari perkenalan kita.”

Ki Gede yang belum menemukan kesadarannya secara utuh itu tidak menjawab. Pendengaran dan penglihatannya belum pulih dan bekerja sebagaimana biasa. Sementara dadanya terasa nyeri dan tulang-tulang rusuknya bagaikan berpatahan.

“Duduklah Ki Gede,” bisik orang itu sambil membantu menyangga punggung Ki Gede.

Ki Gede masih berusaha memperjelas penglihatan kedua matanya. Dengan mengerjap-kerjapkan kelopak kedua matanya beberapa kali, akhirnya penglihatan Ki Gede pun menjadi semakin terang dan jelas.

Begitu kesadarannya mulai pulih kembali, tanpa sadar Ki Gede telah berpaling. Namun alangkah terkejutnya Ki Gede. Darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun begitu kedua matanya menatap wajah orang yang berada di sebelah kirinya itu.

Kalau saja Ki Gede tidak menguatkan hatinya, tentu dia sudah berteriak ketakutan melihat raut wajah orang yang berada di sebelahnya itu. Seraut wajah yang rata, tidak tampak adanya

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

24

sepasang mata, hidung atau pun mulut. Seraut wajah yang benar-benar tampak mengerikan.

Namun Ki Gede bukanlah anak kemarin sore yang ketakutan seperti melihat orang-orangan pengusir burung di sawah. Menurut dugaannya, orang itu pasti menggunakan sejenis topeng tipis dari kulit binatang yang disamak dengan halus sehingga terlihat seperti kulit wajah manusia. Berpikir sampai disitu, dengan mengendapkan hatinya yang sempat bergejolak, Ki Gede pun segera bergerak meraih topeng yang menutupi wajah orang itu.

Namun sebelum tangan Ki Gede sempat meraih wajah orang itu, tiba-tiba saja dirasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga. Tulang-belulangnya pun bagaikan terlepas dari persendian. Bersamaan dengan itu, terasa telapak tangan orang bertopeng itu mengusap tengkuknya.

Sejenak kemudian, Ki Gede merasakan kantuk yang luar biasa beratnya dan tak tertahankan.. Namun sebelum Ki Gede jatuh tertidur, terdengar orang bertopeng itu membisikkan sesuatu di telinganya.

Demikianlah akhirnya, Ki Gede yang telah siuman dari pingsannya itu telah tak sadarkan kembali, namun kali ini Ki Gede merasakan ketenangan yang luar biasa dalam tidurnya.

Ketika Ki Gede kemudian terbangun dari tidur nyenyaknya, dia mendapatkan dirinya sedang terbaring di bawah sebatang pohon di sebelah perigi.

“He?” desis Ki Gede sambil bangkit dan bertelekan pada kedua tangannya, “Di mana aku? Apa sebenarnya yang telah terjadi?”

Perlahan-lahan Ki Gede mencoba merangkai ingatannya kembali. Segera saja ingatan Ki Gede tertuju pada seraut wajah yang mengerikan, wajah yang tampak rata tak berbentuk bagaikan sebuah dinding batu saja.

“Mengapa orang bertopeng itu membawaku kemari?” bertanya Ki Gede dalam hati sambil memperbaiki duduknya, “Orang yang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

25

aneh, namun kesaktiannya benar-benar ngedab-edabi,” Ki Gede berhenti berangan-angan sejenak. Kemudian lanjutnya, “Atau aku saja yang terlalu malas untuk mendalami Aji Cunda Manik?”

Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja terbesit niat di dalam hati Ki Gede untuk menjalani laku yang sudah ditentukan dalam menyempurnakan puncak ilmunya.

“Namun guru sudah lama meninggal,” kembali Ki Gede berangan-angan, “Aku tidak berani menjalani laku terakhir itu tanpa bimbingan seorang guru.”

Niat yang sudah menggebu-gebu di dalam hatinya itu tiba-tiba saja surut kembali bagaikan sinar sebuah dlupak yang kehabisan minyak.

“Ah, sudahlah,” desah Ki Gede kemudian, “Itu akan aku pikirkan kemudian. Kelihatannya sekarang sudah mendekati waktu sepi uwong. Aku telah berjanji dengan Ki Jagabaya untuk bertemu di banjar.”

Sambil berpegangan pada sebatang pohon sawo kecik di sebelahnya, Ki Gede pun kemudian mencoba untuk bangkit. Diedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya yang menjadi sedikit kotor. Hujan memang telah berhenti sejak sore tadi, namun tanah tempat Ki Gede terbaring masih terasa basah.

“Hem,” desah Ki Gede sambil mengamat-amati lampu dlupak yang disangkutkan di teritisan. Tampak beberapa orang pengawal sedang tidur silang melintang. Bahkan ada yang bersandaran tiang di teritisan itu.

“Banjar padukuhan Klangon,” desis Ki Gede dalam hati dengan jantung yang berdebaran begitu mengenali tempat itu, “Para pengawal itu seharusnya berjaga-jaga, namun mengapa mereka justru telah tertidur?”

Dengan tetap tidak meninggalkan kewaspadaan, ki Gede pun mulai melangkahkan kakinya menuju banjar padukuhan.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

26

“Mereka tidur dalam keadaan tidak sewajarnya,” kembali Ki Gede berkata dalam hati begitu dia sampai di dekat teritisan, “Sebaiknya aku tidak perlu mengusik mereka. Aku akan masuk dan menemui kelima perantau itu.”

Dengan sedikit bergegas Ki Gede pun segera membuka pintu butulan dan melangkahkan kakinya memasuki dapur.

Di dalam dapur itu ternyata tidak ada sebuah dlupak pun yang menyala sehingga suasana benar-benar gelap. Untunglah Ki Gede bukan orang kebanyakan. Dengan mengerahkan kemampuannya untuk mempertajam pandangan matanya, Ki Gede pun tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk melintasi dapur dan menuju ke ruang tengah.

Begitu Ki Gede membuka pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah, sepercik sinar segera saja menyambarnya. Ternyata di ruang tengah itu ada sebuah dlupak yang diletakkan di ajug-ajug. Walaupun sinarnya tidak begitu terang, namun sudah cukup untuk menerangi ruang tengah yang cukup luas itu.

Demikian Ki Gede melangkah memasuki ruang tengah, lamat-lamat dia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap.

“Mereka agaknya di pringgitan,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mengayunkan langkahnya.

Namun tiba-tiba saja sebuah keragu-raguan telah menyelinap di hatinya sehingga ki Gede telah menghentikan langkahnya.

“Bagaimana jika orang bertopeng itu sengaja menjebakku?” pertanyaan itu telah berputar-putar di benak Ki Gede.

Memang sebelum jatuh tertidur beberapa saat tadi, Ki Gede sempat mendengar bisikan orang bertopeng itu di telinganya, “Bergabunglah dengan kelima orang di banjar itu, Ki Gede. Sesungguhnya mereka orang-orang yang dapat dipercaya.”

Pesan singkat itu memang sangat jelas. Namun tidak menutup kemungkinan jika yang terjadi kemudian adalah justru sebaliknya. Mereka adalah para pengikut Trah Sekar Seda Lepen,

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

27

atau bahkan salah satu dari mereka adalah Raden Wirasena sendiri.

Namun ketika lamat-lamat Ki Gede mendengar suara tawa Ki Jagabaya, keragu-raguan itu pun segera sirna bagaikan kabut dini hari yang tertimpa sinar Matahari pagi.

“Agaknya Ki Jagabaya mulai akrab dengan mereka,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Persoalan yang sedang bergolak di Perdikan Matesih harus segera dituntaskan.”

Demikianlah, Ki Gede segera membuang jauh-jauh semua keraguan yang membelit hatinya. Dengan langkah mantap Ki Gede pun menuju ke pringgitan.

Dalam pada itu, ketika malam telah melewati sepi uwong dan hampir mencapai tengah malam, tampak seseorang yang berwajah keras, sekeras batu-batu padas di gerojogan sedang berjalan mendekati pintu gerbang Tanah Perdikan Matesih.

Beberapa pengawal yang sedang berjaga segera berloncatan ke tengah-tengah pintu gerbang begitu melihat bayangan seseorang yang berjalan menuju ke arah mereka.

“Siapa?” bertanya salah seorang pengawal sambil mengamat-amati wajah keras itu di bawah siraman oncor yang tersangkut di pojok atas gerbang.

“Aku,” terdengar suara parau mirip suara burung gagak, “Apakah mata kalian sudah lamur sehingga tidak mengenali aku lagi?”

“O, maafkan kami Ki Lurah,” jawab salah satu pengawal itu sambil memberi isyarat kawan-kawannya untuk memberi jalan, “Sesuai pesan Raden Mas Harya Surengpati, kita diperintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan. Berita terbunuhnya seseorang yang diduga telik sandi dari Mataram di Dukuh Klangon sore tadi telah sampai kemari.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku tadi sempat singgah di

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

28

padukuhan Klangon dan telah mendapat laporan dari Ki Dukuh,” Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku akan menghadap Raden Mas Harya Surengpati malam ini. Ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin aku laporkan.”

Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Ada keinginan untuk menanyakan berita apakah yang dibawa oleh Ki Lurah itu? Namun ternyata pertanyaan itu hanya mereka simpan di dalam hati saja.

“Marilah,” berkata Ki Lurah kemudian begitu melihat para pengawal itu hanya berdiri termangu-mangu. Lanjutnya kemudian sambil melangkah, “Berhati-hatilah terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya Mataram sudah mulai mencium gerakan kita.”

“Baik Ki Lurah,” hampir bersamaan mereka menjawab.

“Apakah Ki Lurah tidak memerlukan kawan?” tiba-tiba salah seorang pengawal itu menyeletuk.

Ki Lurah yang sudah mengayunkan langkahnya itu berhenti sejenak. Sambil memandang wajah pengawal itu Ki Lurah tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku tahu maksudmu. Bukankah jalan menuju rumah yang ditempati Raden Mas Harya Surengpati ini melewati rumahmu?”

“Ah,” terdengar gelak tawa kawan-kawannya, namun dengan cepat pengawal itu menyahut, “Barangkali Ki Lurah memerlukan kawan untuk berbincang sekalian menjaga segala kemungkinan di perjalanan?”

“Terima kasih, aku dapat menjaga diriku sendiri,” jawab Ki Lurah sambil kembali mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Lurah telah berjalan menyusuri lorong-lorong jalan yang telah sepi. Ki Lurah harus melewati padukuhan kecil yang merupakan bagian dari Tanah Perdikan Matesih yang luas sebelum memasuki padukuhan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

29

induk. Antara padukuhan kecil dengan padukuhan induk itu dihubungkan dengan sebuah bulak yang tidak begitu panjang.

Ketika rumah terakhir telah dilewatinya, kini di hadapan ki Lurah terhampar tanah persawahan yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah persawahan itu tampak jalur jalan yang menjelujur dalam keremangan malam.

Tiba-tiba dada Ki Lurah berdesir tajam. Sebagai orang yang telah kenyang malang-melintang dalam dunia kekerasan, hatinya seolah-olah telah menerima isyarat tentang bahaya yang mungkin sedang menghadang di depannya.

“Persetan!” geram Ki Lurah mengeraskan hatinya, “Aku bukan anak kemarin sore yang baru belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan. Siapa yang tidak mengenal gegedug dari Dukuh Salam? Baru menyebut namanya saja orang-orang sudah mati berdiri.”

Dengan berbekal keyakinan itulah, Ki Lurah pun kemudian meneruskan langkahnya menyusuri jalur jalan yang terlihat sangat sepi dan mendebarkan.

Ketika Ki Lurah baru saja menempuh perjalanan beberapa tombak jauhnya, firasatnya mengatakan bahwa ada seseorang yang sedang mengikuti perjalanannya.

Dengan cepat Ki Lurah berpaling ke belakang. Namun tidak tampak sesuatu pun di belakangnya selain kegelapan malam. Dicobanya mengerahkan kemampuan untuk mempertajam penglihatannya. Namun Ki Lurah benar-benar tidak melihat apapun kecuali hanya kegelapan.

“Gila!” geram ki Lurah sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Mengapa aku sekarang ini menjadi seorang pengecut?”

Dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, Ki Lurah kembali berjalan menyusuri jalur jalan yang terasa sangat ngelangut dan sepi.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

30

Namun baru saja Ki Lurah berjalan lagi beberapa langkah, kali ini pendengaran ki Lurah dikejutkan oleh suara orang terbatuk-batuk beberapa langkah saja di belakangnya.

Bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, Ki Lurah pun terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memutar tubuhnya dan memasang kuda-kuda. Siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun yang terlihat di hadapan Ki Lurah hanyalah kegelapan malam. Tidak tampak sesuatu pun yang mencurigakan sehingga Ki Lurah menjadi ragu-ragu sendiri dengan pendengarannya.

“Hantu?” kata itulah yang kini menyelinap di dalam hati Ki Lurah.

“Ah, tidak mungkin. Seumur hidupku aku belum pernah melihat seekor hantu dan aku memang tidak percaya dengan keberadaan para hantu itu sendiri,” berkata Ki Lurah dalam hati mencoba untuk menenangkan hatinya. Namun Ki Lurah tidak dapat memungkiri bahwa pendengarannya benar-benar telah menangkap suara orang terbatuk-batuk.

Setelah beberapa saat Ki Lurah tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, dengan perlahan-lahan Ki Lurah pun kemudian memutar tubuhnya.

Namun kali ini jantung ki Lurah bagaikan terlepas dari tangkainya. Belum sepenuhnya Ki Lurah memutar tubuhnya, terasa sebuah tangan telah mengusap tengkuknya.

“Iblis!” teriak Ki Lurah sekeras-kerasnya sambil meloncat menjauh. Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, dengan cepat Ki Lurah memutar tubuhnya. Sebuah pedang berukuran cukup besar telah tergenggam di tangan kanannya.

Namun kembali Ki Lurah hanya dapat mengumpat-umpat dengan umpatan yang sangat kotor. Kembali yang terbentang di hadapannya hanyalah kegelapan malam yang sepi.

Kali ini hati Ki Lurah benar-benar tinggal semenir. Betapapun Ki Lurah mencoba menyangkal akan keberadaan segala jenis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

31

hantu, gendruwo, ilu-ilu banaspati, engklek-engklek balung atandak dan sebangsanya, namun kenyataan yang dihadapinya sekarang ini benar-benar berada diluar jangkauan nalarnya.

“Tidak mungkin seseorang mampu melakukan ini semua, walaupun orang itu memiliki kesaktian yang tiada taranya. Dia pasti memerlukan waktu yang cukup untuk menghindar dari pandangan mataku,” berkata Ki Lurah dalam hati dengan jantung yang berdentangan. Begitu dahsyatnya suara dentangan itu sehingga dadanya seolah-olah akan meledak.

Untuk beberapa saat Ki Lurah masih menunggu. Dicobanya menarik nafas dalam-dalam beberapa kali sekedar untuk menurunkan gejolak di dalam dadanya. Namun rasa-rasanya perasaan takut yang mulai menjalari otaknya telah membuat tubuh ki Lurah menjadi menggigil kedinginan.

Sambil meningkatkan kemampuan panca inderanya, Ki Lurah mencoba membaca segala mantra-mantra yang pernah dipelajarinya. Dulu sewaktu dia berguru pada seseorang yang sakti, yang dianggap menguasai dunia kasar maupun dunia halus, dia telah diajari bagaimana caranya menolak segala jenis makhluk halus yang datang mengganggu.

Sambil meludah tiga kali ke tanah, Ki Lurah pun kemudian menggores-goreskan ujung pedangnya ke tanah yang telah basah oleh ludahnya.

“Setan ora doyan demit ora ndulit!” geram Ki Lurah sambil memutar pedangnya dengan deras di atas kepala. Seolah-olah Ki Lurah sudah yakin dengan keberadaan lawannya dan akan segera ditebasnya dengan senjata di tangannya.

Demikianlah dengan teriakan menggelegar, pedang di tangan kanannya bergerak membabat kesana-kemari tanpa arah yang jelas. Ki Lurah yakin dengan demikian jika ada sebangsa makhluk halus yang berada di sekitarnya, mereka akan berlarian tunggang langgang karena takut terkena sabetan pedang yang telah diberinya mantra.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

32

Namun yang terjadi kemudian justru telah membuat sekujur tubuh Ki Lurah kaku tak mampu bergerak. Jantungnya kini benar-benar berhenti berdetak. Sepasang matanya melotot dengan mulut ternganga lebar-lebar. Wajahnya pucat pasi bagaikan tak dialiri oleh darah setetes pun.

Memang ketika dengan penuh semangat yang membara Ki Lurah sedang mengayun-ayunkan senjatanya tadi, tiba-tiba saja pedang yang berukuran cukup besar di tangan kanannya itu terlepas begitu saja. Seolah-olah ada kekuatan yang luar biasa kuatnya menarik pedang itu. Dan sebagai gantinya, pedang itu sekarang justru telah bergerak-gerak sendiri dan justru mengancam ke arah dadanya.

Penalaran ki Lurah pun kini benar-benar telah menjadi buram. Perlahan-lahan kesadarannya pun mulai kabur dan pandangan matanya mulai gelap. Namun sebelum Ki Lurah benar-benar jatuh tak sadarkan diri, lamat-lamat dia mendengar sebuah bisikan di telinganya.

“Tidurlah Ki Lurah,” terdengar bisikan itu sangat dekat sekali di telinga kanannya.

Diantara kesadarannya yang mulai menghilang, Ki Lurah mencoba mengenali siapa pemilik suara itu dengan memalingkan wajahnya. Namun sekali lagi terasa sebuah tangan mengusap tengkuknya dan segala sesuatunya pun menjadi gelap.

Namun sebelum tubuh Ki Lurah benar-benar terjatuh, tiba-tiba sepasang tangan yang kekar muncul begitu saja dari dalam kegelapan malam dan menahan tubuh yang sudah hampir menyentuh tanah itu. Sejenak kemudian, perlahan-lahan dari dalam kegelapan malam muncul seseorang yang bertubuh tinggi besar sambil sepasang tangannya menahan tubuh Ki Lurah.

“Dengan memutus jalur ini, semoga orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu tidak akan mendengar berita yang terjadi di padukuhan Klangon,” gumam orang tinggi besar itu perlahan sambil mengangkat tubuh ki Lurah dan kemudian

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

33

memanggulnya. Sejenak kemudian orang tinggi besar itupun segera meninggalkan tempat itu.

Dengan langkah lebar namun terlihat ringan, orang tinggi besar itu segera meloncati parit dan kemudian menyusuri pematang. Batang-batang padi memang belum ditanam karena hujan memang baru turun sore tadi. Namun para petani telah menyiapkan tanah garapan mereka dengan sebaik-baiknya.

Beberapa saat kemudian, orang itu telah mencapai pematang yang paling ujung dari tanah persawahan yang luas itu. Kini di hadapannya terbentang tebing sebuah sungai yang tidak begitu curam. Dengan sangat cekatan dan terampil orang itu pun kemudian mulai menuruni tebing.

Sesampainya di tepian sungai, ternyata seseorang sedang menunggunya sambil duduk di atas sebuah batu.

“Engkau berhasil Ki Bango Lamatan?” bertanya orang itu sambil bangkit dari duduknya.

“Ya, Ki Gede,” jawab orang itu yang ternyata adalah Ki Bango Lamatan, “Orang ini akan sangat berbahaya jika sampai melaporkan kedatangan kami kepada orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu.”

“Engkau benar Ki,” sahut Ki Gede memandang sesosok tubuh yang menggelantung di pundak Ki Bango Lamatan. Kemudian sambil melangkah mendekat, Ki Gede melanjutkan, “Marilah kita bawa orang ini ke Padukuhan induk Perdikan Matesih. Biarlah dia ditempatkan di salah satu bilik yang ada di gandhok kanan rumahku. Para pengawal akan menjaganya siang dan malam.”

Ki Bango Lamatan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun beberapa saat kemudian kening Ki Bango Lamatan tampak berkerut merut. Bertanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Ki Gede, apakah para perangkat tanah Perdikan Matesih masih bisa dipercaya?”

Ki Gede menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak semuanya bisa dipercaya. Untunglah keluargaku belum terpengaruh oleh

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

34

rayuan Raden Mas Harya Surengpati. Namun untuk saat ini yang menjadi beban pikiranku justru Ratri, anak perempuanku satu-satunya.”

Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat tadi ketika Ki Gede telah bertemu dengan Ki Rangga dan kawan-kawan di banjar padukuhan Klangon, Ki Gede telah menyebut permasalahan yang sedang dialaminya itu. Salah satunya adalah hubungan yang sedang terjalin antara Ratri dengan Raden Mas Harya Surengpati itu.

“Dunia anak muda memang menggairahkan, apalagi kalau sudah menyangkut masalah asmara,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati. Walaupun Ki Bango Lamatan sendiri semasa mudanya tidak begitu tertarik dengan perempuan, namun di usianya yang sudah mendekati senja, hati Ki Bango Lamatan justru telah tertarik kepada seorang perempuan muda yang sangat cantik.

“Rara Anjani,” desah Ki Bango Lamatan dalam hati menyebut sebuah nama sambil menengadahkan wajahnya. Sekilas dipandanginya angan gelap yang masih bergelantungan di langit. Terbayang di rongga matanya seraut wajah perempuan muda cantik jelita yang kini telah dipersunting oleh Pangeran Pati.

“Aku memang harus tahu diri,” berkata Ki Bango Lamatan kembali dalam hati, “Tidak sepantasnya aku memendam keinginan gila ini di dalam hatiku. Apa yang diajarkan oleh Ki Ajar Mintaraga beberapa saat yang lalu seharusnya telah mengendapkan hatiku ini dari segala keinginan duniawi.”

Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang, panjang sekali. Kemudian dihembuskannya kuat-kuat melalui kedua lobang hidungnya. Seolah-olah ingin dibuangnya segala keinginan yang ngayawara itu bersama dengan hembusan nafasnya.

“Buwenging bawana gung mung kacekan lepasing wardaya,” gumam Ki Bango Lamatan dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang wejangan Ki Ajar Mintaraga itu sangat membekas di hatinya. Luasnya dunia ini

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

35

sesungguhnya masih lebih luas dari hati sanubari yang tak bertepi.

Sejenak kemudian mereka berdua telah menyusuri tepian sungai yang tidak begitu lebar. Keduanya berjalan sambil berdiam diri. Masing-masing sedang asyik tenggelam dalam dunia angan-angan.

Sambil mengayunkan langkahnya, beberapa kali Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ingatannya kembali ke beberapa saat yang lalu ketika waktu sudah memasuki sirep uwong. Dengan berbekal keyakinan akan pesan singkat yang diterimanya dari orang bertopeng itu, Ki Gede pun tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya memasuki pringgitan.

“Silahkan Ki Gede,” sambut Ki Jagabaya pada saat itu sambil tersenyum dan bangkit berdiri. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun ikut berdiri.

Sejenak kemudian, satu-persatu secara bergantian orang-orang yang hadir di ruangan itu menyalami Ki Gede. Sambutan yang ramah itu terasa menyejukkan hati Ki Gede yang pada awalnya sempat dihinggapi sepercik keragu-raguan.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian setelah semuanya kembali duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih bersih, “Sebelumnya aku akan memperkenalkan para sahabat kita dari Prambanan ini.”

Mendengar Ki Jagabaya menyebut Prambanan, tampak kening Ki Gede berkerut merut. Namun segera saja sebuah senyum menghiasi bibirnya begitu Ki Jagabaya meneruskan kata-katanya, “Setidaknya itulah pengakuan mereka, para perantau yang berasal dari daerah sekitar Prambanan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat saling berpandangan sambil menahan nafas.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya, “Di sebelah kanan Ki Gede adalah Ki Waskita, kemudian Ki Sedayu, Ki Jayaraga,

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

36

dan yang termuda diantara mereka bernama Glagah Putih. Sedangkan yang terakhir adalah Ki Bango Lamatan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi satu persatu orang-orang yang disebut Ki Jagabaya. Dalam hati Ki Gede mulai menduga-duga. Mungkinkah orang bertopeng yang menemuinya sore tadi itu adalah salah satu dari mereka?

Namun pertanyaan itu masih disimpannya saja di dalam hati. Suatu saat nanti jika waktunya telah tiba, segala sesuatunya pasti akan terungkap.

Ketika pandangan mata Ki Gede menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu, sejenak Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Matesih itu mengerutkan keningnya. Ada sebuah kesan tersendiri begitu ki Gede Menatap mata Ki Rangga, sepasang mata yang terlihat sangat meyakinkan, penuh percaya diri namun tidak tersirat sedikit pun sifat adigang, adigung, adiguna.

Sedangkan Ki Rangga yang menyadari dirinya sedang di perhatikan menjadi berdebar-debar. Apakah Ki Gede mencurigainya? Ki Rangga memang sengaja memperkenalkan dirinya sebagai Ki Sedayu, nama dirinya yang sebenarnya tanpa menyertakan pangkat keprajuritannya.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian membuyarkan lamunan Ki Gede, “Para sahabat kita ini bersedia untuk membantu Ki Gede dalam mengatasi permasalahan yang sedang terjadi di Perdikan Matesih.”

Untuk sejenak Ki Gede masih terlihat ragu-ragu. Entah apa yang terlintas di dalam benaknya. Namun akhirnya Ki Gede pun berkata, “Ki Sanak berlima. Aku tidak peduli siapakah Ki sanak berlima ini sebenarnya. Jika Ki sanak berlima ini ternyata adalah para petugas sandi dari Mataram, aku malah bersyukur. Tanah Perdikan Matesih memang sedang menghadapi sebuah permasalahan yang besar. Aku katakan masalah ini sangat besar karena menyangkut masa depan Tanah Perdikan Matesih ini sendiri,” Ki Gede berhenti sebentar untuk mengambil nafas.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

37

Lanjutnya kemudian, “Aku menganggap permasalahan ini besar karena jika Mataram telah mengetahui kegiatan di Perdikan Matesih dan dari pihak Mataram kurang mendapatkan keterangan yang memadai, Perdikan Matesih ini akan dianggap sedang mempersiapkan diri dalam sebuah kegiatan makar terhadap Mataram.”

Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perbuatan makar terhadap sebuah pemerintahan yang syah akan dapat mengakibatkan hancurnya masa depan Tanah Perdikan Matesih itu sendiri.

Namun lamunan Ki Gede itu menjadi terputus ketika tiba-tiba saja terdengar Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan di sebelahnya itu bertanya, “Ki Gede, sungai ini sudah mulai menyempit. Apakah tidak sebaiknya kita naik ke tanggul?”

Ki Gede tidak segera menjawab. Diamat-amatinya pohon Lo yang tumbuh di tebing sungai sebelah kiri. Pohon Lo itu tumbuh menjulang tinggi dan terlihat bagaikan raksasa yang sedang berdiri di tengah kegelapan malam.

“Setelah pohon Lo ini, beberapa puluh langkah lagi sungai akan membelok ke kanan,” jawab Ki Gede kemudian, “Kita akan naik ke atas tanggul setelah melewati kelokan itu.”

Ki Bango Lamatan tampak mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian segera meneruskan langkah mereka.

Demikianlah, setelah melewati sebuah kelokan sungai yang tidak begitu tajam, mereka berdua segera mendaki tanggul sebelah kanan sungai yang cukup landai. Begitu mereka muncul di atas tanggul, beberapa ratus tombak di hadapan mereka telah terbentang padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih. Dalam kegelapan malam, tampak padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih itu bagaikan raksasa yang sedang tidur lelap.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita berjalan agak melingkar untuk menghindari para peronda. Dalam keadaan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

38

seperti ini, kita belum tahu mana yang bisa menjadi kawan dan mana yang justru akan menjadi lawan.”

Ki Bango Lamatan tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Dalam pada itu, malam telah mencapai puncaknya. Para peronda di gardu-gardu telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. Sementara itu di banjar padukuhan Klangon, Ki Waskita tampak masih bercakap-cakap dengan Ki Rangga Agung Sedayu di pringgitan. Sedangkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah masuk ke ruang dalam untuk beristirahat.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah meneguk wedang sere yang sudah dingin, “Ki Gede Matesih memang sedang dalam bahaya, bahaya yang mengancam Tanah Perdikannya maupun bahaya yang mengancam keluarganya.”

Sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai pertimbangan sedang hilir-mudik dalam benaknya. Tugas yang diemban mereka berlima dari Ki Patih Mandaraka ternyata tidak sesederhana seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Walaupun mereka menyadari, tugas menggempur perguruan Sapta Dhahana tentu memerlukan perhitungan yang cermat serta kekuatan yang memadai. Namun ternyata permasalahan itu sudah berkembang sedemikian jauhnya. Pengaruh orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu sudah menyebar sampai di Tanah Perdikan Matesih dan padukuhan-padukuhan sekitarnya.

“Ki Waskita,” akhirnya Ki Rangga membuka suaranya, “Menurut pertimbanganku. Apakah tidak sebaiknya kita langsung saja menghancurkan sumber masalah itu? Sebagaimana yang telah kita pertimbangkan sebelumnya, kita secara diam-diam akan memasuki Perguruan Sapta Dhahana dan kemudian memancing para pemimpinnya untuk berperang tanding. Terutama pemimpin perguruan Sapta Dhahana yang memang merasa mempunyai urusan denganku.”

“Memang demikian sebaiknya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku percaya jika Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan berdua akan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

39

mampu menebarkan sirep yang sangat tajam sehingga tidak akan banyak murid-murid perguruan Sapta Dhahana yang akan terlibat,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dengan demikian kita akan berurusan hanya dengan orang-orang yang mempunyai kelebihan. Namun yang menjadi persoalannya sekarang adalah, kita tidak tahu kapan mereka semua akan berkumpul di padepokan Sapta Dhahana, terutama orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu. Seperti yang telah disampaikan oleh Ki Gede Matesih beberapa saat yang lalu, adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu sekarang bertempat tinggal di Perdikan Matesih. Sedangkan Raden Wirasena sendiri menurut keterangan Ki Gede belum pernah menampakkan dirinya sama sekali sampai saat ini.”

Kembali Ki Rangga termenung. Jika memungkinkan memang sebaiknya mereka menggempur padepokan Sapta Dhahana itu pada saat semua orang yang berkepentingan sedang berkumpul, walaupun dengan demikian kekuatan mereka akan menjadi diluar dugaan.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti saja saran ki Gede Matesih sambil menunggu perkembangan selanjutnya?”

Sejenak ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Memang beberapa saat tadi ketika Ki Gede Matesih dan Ki Jagabaya membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, mereka mengusulkan Ki Rangga dan kawan-kawan sebaiknya bertempat di kediaman Ki Gede saja. Mereka akan mengaku sebagai kerabat Ki Gede dari daerah sekitar Prambanan dan sedang ada keperluan keluarga. Namun dengan demikian secara tidak langsung mereka berlima telah menyatakan diri mereka dan siap berhadapan dengan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.

“Ngger,” jawab Ki Waskita kemudian setelah sejenak menimbang, “Bukankah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah berurusan dengan Angger? Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dia akan mengenal angger dengan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

40

baik. Benturan langsung pun tidak dapat dihindarkan dan penyamaran kita akan dengan mudah tersingkap.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyadari itu Ki Waskita. Jika orang yang disebut Eyang Guru itu ada diantara mereka, tentu dengan mudah akan mengenali aku. Selain itu kita tidak akan dapat melaksanakan pesan Ki Patih untuk tidak melibatkan Mataram dalam persoalan ini.”

“Tetapi jika keadaan ternyata telah berkembang diluar perhitungan kita, apa boleh buat,” sahut Ki Waskita.

Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Waskita. Jawabnya kemudian, “Akan tetapi harus ada bukti nyata bahwa mereka telah memberontak terhadap pemerintahan yang sah, yaitu Mataram,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sementara ini Tanah Perdikan Matesih yang diharapkan akan menjadi tumpuan perjuangan mereka, ternyata masih belum menentukan sikap secara terang-terangan. Bahkan kita mendengar sendiri beberapa saat tadi, sewaktu Ki Gede Matesih hadir di sini, dia telah menyatakan sikapnya untuk tetap setia kepada Mataram.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang persoalannya menjadi semakin rumit. Jika terang-terangan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu sudah melakukan sebuah gerakan yang mengarah pada sebuah pemberontakan, tentu Ki Rangga akan segera mengirim Glagah Putih untuk melaporkan hal itu kepada Ki Patih. Dengan demikian Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh akan dapat menggerakkan pasukan segelar sepapan untuk menumpas pemberontakan itu.

“Trah Sekar Seda Lepen itu baru mulai menanamkan pengaruh mereka,” tanpa sadar Ki Waskita bergumam, “Mereka mencoba mempengaruhi para penghuni Tanah Perdikan Matesih, terutama para perangkatnya. Sedangkan Ki Gede agaknya terlalu sulit untuk dipengaruhi.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

41

“Untuk itulah Raden Mas Harya Surengpati mencoba melunakkan hati Ki Gede melalui putri satu-satunya Ki Gede,” sahut Ki Rangga dengan serta merta.

Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja dada ayah Rudita itu berdesir tajam mendengar Ki Rangga menyebut hubungan yang sedang dijalin oleh Raden Mas Harya Surengpati dengan putri satu-satunya Ki Gede itu.

“Ngger,” akhirnya Ki Waskita berkata setelah gejolak di dalam dadanya mereda, “Aku mempunyai panggraita tentang hubungan kedua orang itu. Panggraitaku mengatakan bahwa orang yang bernama Raden Mas Surengpati itu belum tentu dengan hati yang tulus menjalin hubungan dengan putri Ki Gede. Aku justru mencurigai adanya pamrih tersembunyi di balik semua itu.”

Untuk sejenak Ki Rangga tertegun mendengar kata-kata Ki Waskita. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya, namun Ki Rangga masih berdiam diri dan hanya menyimpannya saja di dalam hati.

Melihat Ki Rangga hanya diam termangu-mangu, Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya kita terima saja saran Ki Gede untuk berkunjung ke kediaman Ki Gede sebagai tamu atau kerabat jauh. Selain kita memang punya rencana tersendiri, kita juga berkewajiban melindungi keluarga Ki Gede jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sebaiknya yang datang berkunjung cukup tiga orang saja. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih.”

“Bagaimana dengan kita berdua?” bertanya Ki Rangga dengan serta merta.

Ki Waskita tidak segera menjawab. Hanya senyumnya saja yang tampak mengembang di bibirnya.

Agaknya Ki Rangga tanggap dengan maksud Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Kita berdua memang tidak perlu menampakkan diri. Dengan demikian jika orang yang disebut

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

42

Eyang Guru itu sekarang ini sedang berada di Perdikan Matesih, aku akan luput dari pengamatannya.”

“Demikianlah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Sementara itu kita berdua akan mengadakan penyelidikan di sekitar padepokan Sapta Dhahana dan juga rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh Raden Mas Surengpati di Perdikan Matesih.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Namun di dalam hati kecilnya, terasa ada suatu yang kurang pada tempatnya sehubungan dengan rencana yang disampaikan oleh Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, Kita datang ke padukuhan Klangon ini berlima, sedangkan yang akan berkunjung ke kediaman Ki Gede Matesih hanya bertiga. Apa kata Ki Dukuh Klangon nanti jika dia mendapat laporan tentang hal ini?”

“O, masalah itu sudah aku pikirkan, ngger,” jawab Ki Waskita, “Besuk pagi-pagi sekali kita berdua harus sudah meninggalkan tempat ini. Akan ada seseorang yang menjemput kita karena ada keluarga kita di Prambanan yang sedang sakit.”

“Siapakah yang akan menjemput kita berdua besuk pagi-pagi sekali?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga.

Mendapat pertanyaan itu, Ki Waskita kembali tidak menjawab. Hanya senyumnya saja yang kembali menghiasi bibirnya.

Melihat ayah Rudita itu hanya tersenyum ke arahnya, Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Secara samar Ki Rangga dapat meraba maksud Ki Waskita. Tentu dengan mengetrapkan bayangan semu, Ki Waskita akan mempengaruhi para pengawal yang berjaga di gardu depan sehingga mereka berdua akan dapat lolos dari banjar padukuhan Klangon besuk pagi-pagi sekali.

“Jika tidak ada perubahan rencana, Ki Jagabaya akan datang bersama utusan dari Ki Gede Matesih besuk pagi menjelang pasar temawon,” berkata Ki Waskita kemudian membuyarkan lamunan Ki Rangga.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

43

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Marilah, Ki Waskita. Kita bergabung dengan yang lainnya di ruang dalam. Kita perlu menyampaikan rencana kita kepada mereka.”

“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil bangkit berdiri dan kemudian mengikuti Ki Rangga yang telah melangkah meninggalkan pringgitan.

Setibanya mereka berdua di ruang dalam, ternyata ki Jayaraga dan Glagah Putih belum tidur. Mereka berdua tampak sedang berbincang-bincang.

“Silahkan,” berkata Ki Jayaraga sambil menggeser duduknya, “Kita sedang membicarakan sesuatu yang tidak sewajarnya yang ada di ruangan ini.”

“Apakah itu, Ki?” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita bertanya.

Ki Jayaraga tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah dinding sebelah utara, “Lihatlah. Di sudut dinding sebelah utara itu ada sebuah lubang yang kelihatannya memang sengaja dibuat.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Ki Jayaraga. Dengan bergegas keduanya pun segera menghampiri tempat itu. Benar saja, sebuah lubang yang tidak begitu besar agaknya dengan sengaja telah dibuat di sudut dinding sebelah utara itu.

“Lubang ini kelihatannya belum lama dibuat,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati lubang di sudut dinding itu, “Mungkin lubang ini dibuat pada saat kita di pringgitan bersama Ki Gede dan Ki Jagabaya.”

“Dugaanku juga demikian Ki,” sahut Ki Jayaraga yang kemudian juga ikut mendekat dan mengamat-amati lubang itu, “Namun apakah tujuan sebenarnya?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

44

“Untuk membunuh kita,” jawab Ki Rangga yang membuat semua orang terperanjat. Glagah Putih pun ikut berdiri dan mendekat.

“Ya, untuk membunuh kita atau paling tidak salah satu dari kita,” berkata Ki Rangga selanjutnya begitu melihat orang-orang itu hanya berdiri diam termangu-mangu.

“Paser beracun,” tiba-tiba hampir bersamaan terdengar mereka berdesis perlahan.

“Ya, paser beracun,” berkata Ki Rangga. Kemudian sambil tangannya menunjuk lubang di sudut dinding itu Ki Rangga melanjutkan, “Dari lubang inilah sumpit itu akan dimasukkan. Sementara kita sedang tertidur lelap, sebuah paser beracun akan mematuk dada salah satu dari kita, atau bahkan mungkin orang itu akan meniup sumpitnya berkali-kali untuk menghabisi kita semua.”

“Curang!” geram Glagah Putih, “Ini pasti pekerjaan orang yang telah membunuh petugas sandi kita di bulak siang tadi. Kita harus membuat perhitungan.”

Orang-orang tua yang mendengar Glagah Putih menggeram telah tersenyum. Mereka bisa memaklumi perasaan Glagah Putih. Kematian salah satu petugas sandi dari Mataram itu agaknya telah membuat Glagah Putih waringuten.

“Sebaiknya kita segera tidur,” berkata Ki Rangga sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Kemudian sambil melangkah ke tengah-tengah ruangan dia melanjutkan, “Aku akan berbaring di sisi paling utara. Silahkan yang lainnya menyesuaikan.”

Agaknya orang-orang itu segera memahami maksud Ki Rangga. Mereka sengaja memancing kehadiran orang itu. Maka sejenak kemudian orang-orang itu pun mulai menempatkan diri untuk tidur berjajar-jajar di tengah-tengah ruangan itu. Tidur hanya dengan beralaskan tikar.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

45

Glagah Putih yang tidur di paling ujung berseberangan dengan kakak sepupunya masih sempat menggerutu sebelum membaringkan tubuhnya.

“Orang-orang padukuhan Klangon memang keterlaluan,” geram suami Rara Wulan itu sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain panjang, “Tidak ada amben, tidur hanya beralaskan tikar usang, banyak nyamuknya lagi!”

Mereka yang mendengar gerutu Glagah Putih hanya dapat menahan senyum. Sementara Ki Rangga yang berbaring di sisi paling utara bersebelahan dengan Ki Waskita segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Sejenak kemudian ruang dalam itu pun segera menjadi sunyi. Yang terdengar kemudian hanyalah suara tarikan nafas yang teratur diselingi oleh suara dengkuran Glagah Putih.

Dalam pada itu malam telah jauh meninggalkan pusatnya. Angin yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Sesekali di langit terdengar petir bersabung di udara. Agaknya hujan akan turun lagi karena sisa mendung yang bergelayutan di langit terlihat semakin hitam menggumpal.

Ketika tetes-tetes air hujan satu-persatu mulai berjatuhan, sesosok bayangan tampak berjalan mengendap-endap mendekati dinding ruang dalam sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan.

Semua orang yang berada di dalam ruang dalam itu dengan jelas dapat mendengar desir langkah seseorang di balik dinding sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan. Namun ternyata Ki Rangga Agung Sedayu mendengar desir yang lain yang sangat lembut hampir tidak tertangkap oleh pendengaran, walaupun dengan mengetrapkan aji sapta pangrungru sekalipun.

Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Orang kedua yang datang kemudian ini benar-benar luar biasa. Ki Rangga yakin, kemampuan orang ini tentu ngedab-edabi.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

46

“Siapakah orang yang datang kemudian ini?” berkata Ki Rangga dalam hati, “Apakah yang lain juga mendengar desir yang kedua ini?”

Untuk meyakinkan, Ki Rangga segera mengirim aji pameling kepada Ki Waskita yang berbaring di sebelahnya.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga dalam aji pamelingnya, “Apakah Ki Waskita mendengar desir langkah yang lain selain orang yang pertama?”

“Aku tadi juga sempat mendengar sekilas, ngger,” jawab Ki Waskita juga dalam aji pameling, “Namun sekarang desir itu telah menghilang. Aku tidak mampu lagi untuk memantaunya.”

Berdesir tajam dada Ki Rangga mendengar jawaban Ki Waskita. Ternyata dugaannya benar. Orang yang datang kemudian ini mempunyai kemampuan yang ngedab-edabi.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sekilas juga sempat mendengar desir langkah yang lain setelah orang yang pertama ternyata juga telah kehilangan jejak.

“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati, “Aku tidak mampu memantaunya lagi. Semoga Ki Waskita atau Ki Rangga mampu memantau kedatangan orang yang kedua ini. Kalau yang aku dengar tadi adalah benar-benar desir langkah seseorang, alangkah dahsyatnya kemampuan orang itu?”

Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengetrapkan aji pameling kepada muridnya, ternyata Glagah Putih sama sekali tidak mendengar desir langkah yang datang kemudian.

“Yang mana guru?” bertanya Glagah Putih juga dengan aji pameling, “Aku tidak mendengar desir langkah kecuali orang yang sedang bersembunyi di balik dinding itu.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemampuan olah kanuragan muridnya itu memang sudah tinggi, namun jiwanya masih sangat muda. Glagah Putih masih belum mampu menguasai gejolak jiwa mudanya sehingga ketajaman mata hatinya memang masih perlu untuk diasah.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

47

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi dan mencekam. Orang yang berada di balik dinding itu agaknya sedang mengintip suasana di ruang dalam melalui lubang di sudut dinding itu. Dengan jelas orang-orang yang berada di dalam ruangan itu mendengar sesuatu sedang dimasukkan melalui lubang di sudut dinding itu.

“Orang itu agaknya sedang memasukkan sumpit melalui lubang di sudut dinding itu,” semua orang di dalam ruangan itu berkata dalam hati. Namun mereka tetap berusaha bersikap wajar, sebagaimana sewajarnya orang yang sedang tidur nyenyak.

“Siapakah yang akan menjadi sasaran yang pertama?” hampir setiap dada bertanya-tanya menunggu paser pertama yang akan meluncur ke arah salah satu dari mereka.

Dalam pada itu Ki Rangga yang sedang memantau keberadaan orang yang datang kemudian itu pada akhirnya ternyata juga telah kehilangan jejak, walaupun Ki Rangga telah mengetrapkan aji sapta pangrungu setinggi-tingginya.

“Luar biasa,” berkata Ki Rangga dalam hati. Sepercik kegelisahan mulai merayapi jantungnya. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya.

“Siapakah orang kedua itu? Mungkinkah Eyang Guru itu telah mengetahui keberadaanku, atau mungkin Raden Wirasena sendiri, ataukah yang lainnya?” menduga Ki Rangga dengan jantung yang berdebaran.

Tiba-tiba Ki Rangga teringat akan Ki Bango Lamatan yang sedang mengantar Ki Gede pulang ke tanah Perdikan Matesih.

“Mungkin Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Rangga dalam hati. Namun dugaan itu segera ditepisnya sendiri. Jika yang datang itu Ki Bango Lamatan, tentu Ki Rangga tidak akan kehilangan jejak, demikian juga dengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga.

“Walaupun Ki Bango Lamatan mengetrapkan aji halimunannya, pada dasarnya wadagnya masih ada dan tidak menghilang sepenuhnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Dia

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

48

hanya bersembunyi saja dan aku sudah tahu bagaimana cara memecahkan ilmu itu.”

Namun Ki Rangga tidak berputus asa. Dengan mengetrapkan aji sapta panggraita, Ki Rangga pun mulai meraba alam sekitarnya tidak dengan meningkatkan kemampuan panca inderanya, namun dengan meningkatkan ketajaman mata hatinya.

Demikianlah akhirnya, lambat laun Ki Rangga mulai mampu meraba keberadaan orang kedua itu kembali. Walaupun orang yang datang kemudian itu berusaha mengaburkan keberadaannya dengan cara mengetrapkan ilmu yang mampu menyerap segala bunyi yang berada di sekitarnya. Namun kemampuan ilmu orang itu tidak mampu mengelabuhi ketajaman mata hati Ki Rangga.

Dengan semakin meningkatkan getar-getar isyarat yang mengalir melalui detak jantungnya, Ki Rangga segera mengetahui keberadaan orang kedua itu. Ternyata orang itu sudah berada hanya beberapa langkah saja di belakang orang yang datang pertama kali. Sementara orang yang sedang memasang sumpitnya itu agaknya tidak menyadari akan kehadiran orang lain yang tepat berada di belakangnya. Dengan asyiknya dia telah memasang sebuah paser beracun di sumpitnya dan siap untuk membidik sasaran yang pertama.

Sejenak kemudian kembali suasana mencekam dirasakan oleh orang-orang yang berada di ruang dalam itu. Seolah-olah mereka sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati saja, namun tidak tahu, siapakah yang akan terlebih dahulu menerima hukuman itu.

Namun ke empat orang yang berada di dalam ruang dalam itu diam-diam menjadi heran. Setelah beberapa saat menunggu, ternyata belum terjadi sesuatu apa pun. Bahkan kini mereka tidak mendengar lagi desah nafas tertahan-tahan dari orang yang bersembunyi di balik dinding itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

49

Sedangkan Ki Rangga yang telah berhasil memantau keberadaan orang yang datang kemudian itu menjadi berdebar-debar. Dalam rabaan mata hatinya, orang yang datang kemudian itu ternyata telah menggerakkan kedua tangannya dari arah belakang untuk menyumbat jalan pernafasan orang pertama dengan cara mencekik lehernya.

Hampir saja Ki Rangga terpancing dan meloncat bangun untuk menolong orang yang sedang dalam bahaya itu, namun naluri keprajuritannya telah mencegahnya. Ki Rangga belum tahu pasti, berdiri di pihak manakah orang yang datang kemudian itu.

Tidak ada kesempatan bagi orang yang sedang mengarahkan sumpitnya itu untuk meronta maupun melawan. Cengkeraman itu begitu kuatnya dan datang dengan tiba-tiba sehingga telah menyumbat jalan nafasnya dan sekaligus mematahkan lehernya.

“Benar-benar iblis!” geram Ki Rangga dalam hati. Panggraitanya masih dapat meraba gerakan orang itu setelah mencekik korbannya. Agaknya orang itu telah bergeser mundur dengan cepat sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.

Ketika tiba-tiba saja terdengar tetes-tetes air hujan yang turun dengan derasnya memukul-mukul atap banjar padukuhan, Ki Rangga pun ternyata telah kehilangan pengamatan atas kepergian orang itu. Perhatian Ki Rangga telah terpecah dengan turunnya hujan yang bagaikan dicurahkan dari langit.

“Orang itu telah pergi,” perlahan Ki Rangga berdesis sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengurai sepasang tangannya yang bersilang di dada. Dengan bertelekan pada kedua tangannya, Ki Rangga pun kemudian bangkit dan duduk bersila.

Yang lain pun segera mengikuti Ki Rangga untuk bangkit dan duduk bersila. Kini mereka berempat telah duduk melingkar di atas tikar yang usang.

“Orang itu seperti nya telah mati tercekik,” berkata Glagah Putih, “Aku sempat mendengar desah nafasnya yang tiba-tiba saja telah terputus. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan orang itu. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

50

“Benar ngger,” Ki Waskita lah yang kemudian menjawab, “Seseorang yang mempunyai kemampuan linuwih telah membunuhnya. Beberapa saat tadi aku memang telah kehilangan jejak akan keberadaan orang yang datang kemudian itu. Namun di saat dia mencekik orang yang pertama, agaknya dia lupa menyembunyikan suara yang ditimbulkan akibat gesekan tangannya dengan leher orang yang pertama itu. Di saat itulah aku mampu memantau kembali keberadaannya.”

Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Ki Rangga justru telah termenung sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang sedang merisaukan hatinya, namun Ki Rangga merasa enggan untuk mengungkapkannya.

“KI Rangga,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita melihat keadaan orang di balik dinding itu?”

KI Rangga memandang ke arah Ki Waskita untuk meminta pertimbangan. Ketika Ki Waskita kemudian mengangguk, Ki Rangga pun akhirnya menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit dari duduknya. Katanya kemudian, “Marilah kita lihat orang itu. Barangkali kita akan mendapatkan sebuah petunjuk.”

Yang lain pun segera bangkit dan mengikuti langkah Ki Rangga yang telah berjalan terlebih dahulu keluar dari ruang dalam.

Ketika mereka telah keluar lewat pintu butulan yang terdapat di lorong tengah, dengan bergegas mereka pun segera berbelok ke kanan dan memasuki longkangan. Apa yang mereka dapatkan kemudian adalah sangat mengejutkan. Sesosok tubuh tampak meringkuk dengan kepala yang terkulai. Sementara ketika Ki Rangga kemudian membungkuk untuk mencoba mengamati lebih teliti lagi, tampak sebuah paser menancap dalam-dalam di leher mayat itu.

“Mengapa?” pertanyaan itu muncul di benak mereka masing-masing.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

51

“Agaknya orang itu ingin memberikan kesan bahwa orang ini telah mengalami kejadian yang sama dengan petugas sandi Mataram itu, mati karena paser beracun,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menegakkan tubuhnya.

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita, “Agaknya memang itulah kesan yang ingin ditunjukkan oleh pembunuh orang yang malang ini.”

“Dan sumpit orang itu pun ternyata juga telah lenyap,” seru Glagah Putih agak sedikit keras sambil mencari-cari sumpit yang akan digunakan orang itu, namun Glagah Putih tidak menemukan apa yang dicarinya.

Hampir berbareng mereka telah menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat kemudian orang-orang itu tampak masih merenungi sesosok mayat yang meringkuk di longkangan itu.

“Ki Rangga,” tiba-tiba suara Ki Jayaraga membuyarkan lamunan mereka, “Apakah langkah kita selanjutnya? Besuk pagi pasti akan terjadi kegemparan lagi karena sekali lagi telah terjadi rajapati di padukuhan Klangon ini. Dan tempatnya justru di banjar padukuhan, di balik dinding tempat kita menginap.”

Tanpa sadar mereka telah mengangkat kepala dan saling pandang begitu mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Setiap dada yang ada di longkangan itu pun telah berdesir. Tidak menutup kemungkinan tuduhan pembunuhan itu akan kembali diarahkan kepada mereka.

“Apakah tidak sebaiknya kita menyingkir saja, ngger?” bertanya Ki Waskita kemudian kepada Ki Rangga yang terlihat termenung.

Sejenak Ki Rangga menimbang-nimbang. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Ki Waskita, pada awalnya kita akan menerima tawaran ki Gede untuk tinggal di kediamannya dengan dalih kita adalah tamu-tamu yang masih terhitung kerabat jauh dari Prambanan,” Ki Rangga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Kemudian timbul pemikiran untuk memecah kekuatan kita. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih saja yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Matesih. Sedangkan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

52

kita berdua seolah-olah pulang kembali ke Prambanan karena suatu kepentingan. Namun ternyata keadaan telah berkembang semakin rumit, dan jika kita menyingkir dari tempat ini, bagaimana dengan keselamatan Ki Gede Matesih dan keluarganya? Para pengikut Trah Sekar Seda Lepen pasti akan menangkap Ki Gede dan keluarganya serta menyandera mereka sebagai alat untuk memaksa kita menyerahkan diri.”

Sejenak mereka menjadi bimbang. Namun di tengah-tengah ketidak-pastian itu, tiba-tiba saja Ki Waskita berdesis perlahan, “Marilah kita singkirkan saja mayat ini jauh-jauh dan jangan sampai ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali hanya kita.”

Bagaikan baru saja tersadar dari sebuah mimpi buruk, Ki Rangga pun segera berkata, “Glagah Putih, angkatlah mayat ini. Mari kita bawa mayat ini ke hutan kecil di sebelah barat padukuhan Klangon. Kita akan menguburkannya di sana.”

“Baik Kakang,” jawab Glagah Putih sambil bersiap untuk mengangkat mayat yang meringkuk di longkangan itu.

Namun belum sempat Glagah Putih menyentuh mayat itu, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam telah mendengar langkah-langkah yang menuju ke tempat itu.

Segera saja suasana menjadi tegang kembali. Namun agaknya Ki Rangga telah mengenal langkah-langkah itu, maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Sepertinya Ki Bango Lamatan telah selesai mengantar Ki Gede.”

“Oh,” yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata hati mereka terlalu tegang dengan adanya peristiwa pembunuhan itu.

Demikianlah sejenak kemudian terdengar langkah itu semakin jelas mendekati bangunan induk banjar padukuhan dari arah samping kiri.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

53

“Kami di sini Ki Bango Lamatan,” desis Ki Rangga perlahan memberi-tahukan keberadaan mereka begitu langkah-langkah itu semakin jelas terdengar.

Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan dalam gelapnya malam menuju ke pintu butulan samping itu telah tersenyum mendengar bisikan Ki Rangga. Segera saja diayunkan langkahnya menuju ke longkangan.

Namun alangkah terkejutnya Ki Bango Lamatan begitu menyadari ada sesuatu yang aneh sedang terjadi di longkangan itu. Ki Rangga dan yang lainnya tampak sedang mengerumuni seseorang yang sedang meringkuk tak bergerak di dalam longkangan itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Rangga.

“Seseorang telah mati di longkangan ini,” jawab Ki Rangga, “Lebih baik segera kita singkirkan saja mayat ini sebelum ada orang yang mengetahuinya.”

“Aku akan mengambil cangkul di dapur dulu,” sela Glagah Putih kemudian sambil setengah berlari menuju ke ruang tengah melalui pintu butulan.

“Biarlah Glagah Putih aku kawani,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangkat mayat itu di pundaknya.

“Ki Bango Lamatan,” dengan serta merta Ki Rangga mencoba untuk mencegah, “Biar Glagah Putih saja yang membawa mayat ini.”

Ki Bango Lamatan tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Rangga, Glagah Putih biar membawa peralatan saja.”

“Aku ikut,” tiba-tiba saja Ki Jayaraga menyela, “Aku sudah tidak bisa tidur lagi di sisa malam ini.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa sejak tadi panggraitanya telah mengisyaratkan sesuatu, namun Ki Rangga belum mampu menguraikannya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

54

Melihat kebimbangan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera berbisik, “Apakah angger merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan?”

Sejenak Ki Rangga ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Entahlah Ki Waskita. Mungkin hanya kekhawatiran yang tidak beralasan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Sebagai orang yang menimba ilmu pada sumber yang sama, Ki Waskita segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada diri Ki Rangga sehubungan dengan ilmu yang sedang di pelajari dan disempurnakannya, aji pengangen-angen. Maka katanya kemudian, “Sebaiknya biarlah Ki Jayaraga saja yang menemani Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih. Aku dan Ki Rangga masih ada urusan yang harus diselesaikan di banjar ini.”

Ki Rangga akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera maklum dengan maksud Ki Waskita.

Demikianlah begitu Glagah Putih telah muncul dengan sebuah cangkul di pundaknya, mereka bertiga pun kemudian dengan penuh kewaspadaan telah menyelinap ke halaman belakang banjar dan kemudian keluar lewat pintu butulan yang terdapat di dinding bagian belakang banjar.

“Para pengawal itu kelihatannya masih tertidur nyenyak,” desis Ki Jayaraga sambil membuka pintu butulan itu.

“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil sedikit membungkuk agar mayat yang dipanggulnya tidak tersangkut pintu butulan yang agak rendah. Lanjutnya kemudian sambil melangkahi tlundak, “Tadi sewaktu aku mengantar Ki Gede lewat halaman belakang ini, mereka juga tampak tertidur pulas. Ki Gede sempat bercerita kepadaku sewaktu Ki Gede datang ke tempat ini, mereka pun sudah tertidur pulas. Agaknya telah terjadi sesuatu yang tidak wajar pada mereka.”

Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Glagah Putih masih sempat berpaling sekilas ke teritisan tempat para pengawal itu tertidur silang melintang sebelum menutup

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

55

pintu itu kembali dan kemudian menghilang ditelan kegelapan malam.

Dalam pada itu, hujan deras yang sempat turun beberapa saat tadi telah berhenti dan hanya menyisakan titik-titik air hujan yang sesekali masih menetes dari langit. Sepeninggal ketiga orang itu, Ki Waskita dan Ki Rangga pun segera kembali ke dalam banjar.

“Ngger,” berkata ki Waskita kemudian begitu mereka berdua telah duduk bersila kembali di ruang dalam, “Sedari tadi aku merasakan sepertinya ada sebuah kegelisahan yang sedang membebani pikiranmu.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil membetulkan letak duduknya. Jawabnya kemudian dengan setengah berbisik, “Ki Waskita, aku mempunyai firasat, sepertinya orang itu akan kembali lagi.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Juga sambil berbisik, Ki Waskita pun kemudian bertanya, “Mengapa angger mempunyai dugaan seperti itu?”

“Entahlah Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil menggeleng perlahan, “Namun ada baiknya jika aku mencoba untuk melacak keberadaannya lagi.”

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Mumpung malam masih panjang. Sebaiknya angger mengetrapkan aji pengangen-angen untuk melacak keberadaan orang itu.”

Untuk sejenak Ki Rangga tertegun. Tanyanya kemudian, “Apakah itu perlu Ki Waskita?”

“Ya ngger,” jawab Ki Waskita mantap, “Dengan demikian angger tidak hanya melacak keberadaan pembunuh itu, namun jika memungkinkan angger sekalian dapat melumpuhkannya.”

Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Mengetrapkan aji pengangen-angen bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pemusatan nalar dan budi sampai ke titik yang tertinggi. Selain itu, selama Ki Rangga dalam puncak semedinya, raganya akan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

56

sangat lemah, selemah selembar daun yang tergeletak di atas tanah.

Agaknya Ki Waskita dapat membaca keragu-raguan Ki Rangga. Maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Jangan khawatir, ngger. Selama engkau dalam puncak samadimu, aku akan menjaga ragamu dengan taruhan nyawaku sendiri."

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga segera membaringkan dirinya di atas tikar yang terbentang di tengah-tengah ruangan itu. Kedua tangannya segera bersilang diatas dada. Beberapa saat kemudian, terdengar aliran nafas Ki Rangga semakin lama semakin halus dan pelan. Ki Rangga pun telah memasuki puncak samadinya. Sementara Ki Waskita dengan sabar dan penuh kewaspadaan duduk bersila berjaga di samping Ki Rangga.

Dalam pada itu, begitu hujan reda, seseorang tampak bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon yang rindang. Pohon itu terletak di pinggir jalan menuju banjar padukuhan. Kira-kira diperlukan waktu sepemakan sirih untuk berjalan dari tempat itu sampai ke banjar padukuhan Klangon.

“Semoga saja berita yang aku terima dari Raden Wirasena itu benar,” berkata orang itu dalam hati sambil menegakkan tubuhnya. Ditengadahkan wajahnya untuk melihat langit yang kelam. Lanjutnya kemudian, “Salah satu dari kelima orang yang bermalam di banjar itu adalah Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu.”

Untuk beberapa saat orang itu tampak termenung. Dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan yang tampak hitam kelam tanpa batas.

“Jika apa yang aku dengar selama ini memang benar, tentu orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu pasti mengetahui kehadiranku beberapa saat tadi,” gumam orang itu kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Namun jika apa yang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

57

diberitakan orang-orang selama ini ternyata terlalu dilebih-lebihkan, agul-agulnya Mataram itu pasti akan kebingungan mendapatkan orang di balik dinding itu tiba-tiba saja sudah tak bernyawa.”

Sambil mengayunkan langkahnya, tampak bibir orang itu menyunggingkan sebuah senyuman, senyum yang menandakan kemenangan yang seolah-olah sudah berada di dalam genggaman tangannya.

“Tidak perlu Raden Wirasena sendiri yang turun tangan,” kembali orang itu berangan-angan, “Cukup Ki Kebo Mengo yang akan mrantasi semua penghalang.”

Namun tiba-tiba panggraita orang yang bernama Ki Kebo Mengo itu merasakan akan kehadiran seseorang di tempat itu.

Dengan segera dia menghentikan langkahnya. Dalam sekejap Ki Kebo Mengo telah memusatkan nalar dan budinya dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Sejenak kemudian, panggraitanya telah menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri melekat pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan hanya beberapa langkah saja dari tempatnya berdiri.

“Keluarlah Ki Sanak,” berkata Ki Kebo Mengo kemudian dengan suara yang berat dan dalam sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Tidak ada gunanya Ki Sanak bersembunyi lagi. Aku tidak pernah mengampuni para pengecut yang beraninya hanya main petak umpet. Aku lebih senang membunuh dari pada berbantah yang tidak ada ujung pangkalnya.”

Namun jantung Ki Kebo Mengo itu bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Bayangan yang melekat pada sebatang pohon itu sama sekali tidak bergerak. Seakan-akan tidak menanggapi apa yang telah dikatakan oleh Ki Kebo Mengo.

“Hem,” geram Ki Kebo Mengo sambil berusaha menajamkan pandangan matanya. Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo menjadi ragu-ragu sendiri dengan pengamatannya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

58

“Siapa berani mempermainkan Ki Kebo Mengo, he?!” teriak Ki Kebo Mengo dengan suara menggelegar. Untunglah jalan yang menuju ke banjar padukuhan itu keadaannya sangat sepi. Beberapa rumah letaknya berjauhan serta tempat Ki Kebo Mengo berhenti itu adalah tanah kosong yang membujur sepanjang jalan dan belum didirikan sebuah bangunan pun di atasnya.

Ketika melihat bayangan itu sama sekali tidak bergerak, Ki Kebo Mengo menjadi gusar. Dengan segera diayunkan langkahnya mendekat.

Ketika jarak Ki Kebo Mengo dengan pohon tempat bayangan itu berdiri tinggal tiga langkah, tiba-tiba bayangan itu hilang begitu saja bagaikan sinar sebuah dlupak yang padam karena tertiup angin kencang.

“Iblis!” teriak Ki Kebo Mengo sambil meloncat ke depan. Tangannya terayun deras menghantam batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu.

Akibatnya adalah sangat dahsyat. Pohon itu memang tetap berdiri tegak, hanya batangnya saja yang tampak bergetar hebat. Namun seluruh daun-daunnya telah rontok dan berguguran jatuh ke tanah bagaikan baru saja dilanda angin puting beliung.

“Aji rog-rog asem,” tiba-tiba terdengar suara perlahan beberapa langkah saja di belakang Ki Kebo Mengo yang sedang asyik menikmati hasil kedahsyatan ilmunya.

Bagaikan disengat seribu kalajengking, Ki Kebo Mengo pun terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memutar tubuhnya. Tampak seseorang yang berperawakan sedang namun tegap telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.

Sejenak Ki Kebo Mengo bagaikan membeku di tempatnya, namun itu hanya sekejap. Sesaat kemudian terdengar tawanya yang berderai-derai memecah kesunyian malam.

“O, alangkah sombongnya,” katanya kemudian disela-sela suara tertawanya, “Seseorang telah dengan deksura mencoba

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

59

mempermainkan Ki Kebo Mengo. Hanya orang-orang yang mempunyai nyawa rangkap tujuh sajalah, yang berani mempermainkan Ki Kebo Mengo.”

Namun jawaban bayangan itu justru sangat menyakitkan. Berkata bayangan itu kemudian, “Ki Sanak benar, aku memang mempunyai nyawa rangkap tujuh. Namun aku hanya memerlukan satu nyawa saja untuk menangkap orang yang bernama Kebo Mengo.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo dengan muka merah padam, “Jangan hanya bersembunyi di balik bayangan semu, tidak akan ada artinya bagiku. Keluarlah, kita akan bertempur secara jantan.”

Namun jawaban bayangan itu kembali terdengar menyakitkan di telinga Ki Kebo Mengo, “Sudah aku katakan Ki Sanak, aku hanya memerlukan satu nyawa saja untuk menangkap Ki Kebo Mengo, dan inilah yang aku sebut dengan satu nyawaku itu. Aku tidak perlu menghadirkan wadagku untuk sekedar menangkap seekor kerbau!”

“Gila!” kembali Ki Kebo Mengo membentak, “Untuk apa aku melayani sebuah bayangan semu yang tak berarti? Aku tahu Ki Sanak sedang bersembunyi di sekitar tempat ini dan aku akan menemukanmu. Hanya membutuhkan waktu tidak lebih lama dari mijet wohing ranti untuk menemukan persembunyianmu.”

Selesai berkata demikian Ki Kebo Mengo segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan wajahnya. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan Ki Kebo Mengo itu sendiri. Panggraitanya telah menemukan getaran orang yang dicarinya itu berada tidak jauh di hadapannya.

“Hem!” geram Ki Kebo Mengo sambil mengurai kedua tangan dan mengangkat wajahnya. Dipandangi bayangan semu yang berdiri beberapa langkah di hadapannya itu dengan raut wajah yang terheran-heran. Menurut panggraitanya, yang berdiri di hadapannya sekarang ini bukanlah hanya sebuah bayangan semu

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

60

belaka, namun benar-benar seseorang dalam ujud yang sebenarnya.

“Aneh,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Seumur hidup aku belum pernah menjumpai ilmu sejenis ini. Namun aku yakin, sebenarnya ini hanya sejenis ilmu untuk bersembunyi sebagaimana ilmu halimunan atau sejenisnya. Aku pasti akan dapat menemukan kelemahannya.”

Berpikir sampai disitu, Ki Kebo Mengo segera maju selangkah. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak, kita akan bertempur. Aku tidak peduli lagi berapa nyawa yang akan Ki Sanak pergunakan untuk melawanku. Namun yang jelas, aku telah mengetahui kelemahan ilmumu ini, sebuah ilmu untuk bersembunyi. Di mana pun Ki Sanak bersembunyi, aku pasti akan menemukannya.”

Bayangan itu tampak menarik nafas dalam-dalam. Entah apa yang sedang ada dalam benaknya. Namun yang jelas bayangan itu segera mundur selangkah sambil berkata, “Ki Kebo Mengo, sebenarnya aku bukan orang yang suka dengan keributan. Aku menghadang Ki Kebo Mengo di tempat ini hanya untuk menuntut pertanggung-jawaban Ki Kebo Mengo atas rajapati yang baru saja terjadi.”

Terkejut Ki Kebo Mengo mendengar ucapan bayangan itu. Sebenarnya bukan kebiasaan Ki Kebo Mengo untuk berlama-lama berbantah. Dia tidak peduli siapa orang yang akan dibunuhnya dan atas dasar apa dia melakukan pembunuhan itu. Baginya membunuh itu memang sudah menjadi kebiasaan dan kadang cukup menyenangkan. Namun bayangan itu telah menyebut rajapati yang baru saja terjadi. Dengan demikian Ki Kebo Mengo dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa yang sekarang berdiri di hadapannya itu, apapun bentuknya tentulah salah satu dari orang yang sedang bermalam di banjar padukuhan Klangon.

Maka dengan suara berat dan dalam, Ki Kebo Mengo pun kemudian berdesis, “Apakah aku sedang berhadapan dengan agul-agulnya Mataram Ki Rangga Agung Sedayu?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

61

Bayangan itu sejenak termangu-mangu. Ada sedikit keseganan untuk menyebut namanya. Justru karena dia selalu berusaha menghindari kesan yang berlebihan jika seseorang mengetahui jati dirinya.

Namun akhirnya bayangan itu tampak menganggukkan kepalanya.

Berdesir dada Ki Kebo Mengo begitu menyadari sekarang ini dia sedang berhadapan dengan agul agulnya Mataram, walaupun hanya dalam bentuk ujud semu.

“Ujud semu tidak akan mempunyai pengaruh apapun selain menyesatkan pandangan sehingga penalaran pun akan menjadi buram,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Ilmu ini sebenarnya tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Manakala aku mampu memecahkan rahasianya, aku akan dapat menemukan tempat persembunyiannya dan sekaligus menghancurkannya.”

Ketika keyakinan itu mulai tumbuh di dalam hatinya, Ki Kebo Mengo pun mulai menggeser kedudukannya, siap untuk melancarkan serangan penjajagan.

Namun tiba-tiba sepercik keragu-raguan muncul kembali di dalam dadanya.

“Bayangan semu tidak akan mampu melukai dan dilukai. Jadi untuk apa aku harus bertempur melawan bayangan semu?” tiba-tiba pertanyaan itu menyelinap di dalam hatinya.

Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo justru hanya berdiri termangu-mangu. Berbagai pertimbangan bergolak di dalam dadanya.

“O,” gumam Ki Kebo Mengo dalam hati. Akhirnya sebuah kesadaran rasa-rasanya telah mengencerkan otaknya yang beku, “Aku tahu maksud Ki Rangga dengan menampilkan bayangan semunya ini. Ki Rangga berharap aku terpancing untuk bertempur sampai tenagaku terkuras habis. Pada saat itulah ujud aslinya akan muncul dan kemudian menangkapku dengan sangat mudahnya.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

62

Sejenak Ki Kebo Mengo menarik nafas dalam-dalam. Kesimpulan terakhir ini agaknya yang masuk akal. Namun jika memang demikian keadaannya, yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu kemunculan ujud asli lawannya.

“Lebih baik aku meneruskan perjalananku ke banjar padukuhan,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Jika aku tidak mampu menemukan persembunyian Ki Rangga di sekitar tempat ini, kemungkinannya dia telah mampu melontarkan ilmu bayangan semunya itu dari jarak jauh, dari banjar padukuhan Klangon.”

Berpikir sampai disitu, tanpa menghiraukan ujud semu lawannya, Ki Kebo Mengo pun segera mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

“Ki Kebo Mengo,” tiba-tiba saja terdengar suara bayangan itu memanggilnya, “Berhentilah! Urusan kita belum selesai. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa pergi?”

Namun Ki Kebo Mengo tidak menjawab, bahkan berpaling pun tidak. Tekadnya sudah bulat untuk tidak melayani permainan lawannya. Tujuannya hanya satu, segera sampai di banjar padukuhan Klangon dan membuat perhitungan dengan ujud asli Ki Rangga Agung Sedayu.

“Ki Kebo Mengo!” kembali terdengar bayangan itu berteriak memanggilnya, kali ini lebih keras, “Berhentilah atau aku akan menghentikanmu dengan caraku!”

Namun Ki Kebo Mengo benar-benar sudah bulat tekadnya untuk segera menyingkir dari tempat itu. Dia benar-benar sudah muak dengan permainan yang disangkanya hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang baru saja belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan.

Ketika melihat Ki Kebo Mengo sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan sebuah teriakan peringatan, bayangan itu melesat menghantam punggung Ki Kebo Mengo.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

63

Ki Kebo Mengo terkejut bukan buatan ketika merasakan ada sebuah sambaran angin yang cukup deras mengarah ke punggung. Namun semua itu sudah terlambat bagi ki Kebo Mengo untuk memutar tubuh. Yang mampu dilakukan oleh ki Kebo Mengo kemudian adalah dengan tergesa-gesa mengetrapkan ilmu pertahanan dirinya, walaupun tidak sempat sampai ke puncak untuk melindungi punggungnya.

Benturan yang terjadi kemudian memang tidak terlalu keras. Apa yang ingin ditunjukkan oleh Ki Rangga hanyalah sebatas pengetahuan bagi lawannya, bahwa ujud semu yang sedang dihadapinya bukanlah ujud semu sebagaimana biasanya.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah umpatan yang sangat kotor dari mulut Ki Kebo Mengo. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan, walaupun tidak sampai terjatuh. Namun kenyataan yang dihadapinya itulah yang telah membuat jantungnya hampir meledak. Ternyata bayangan semu Ki Rangga mempunyai kemampuan sebagaimana ujud wadag aslinya, mampu menyentuh bahkan melukai sasarannya.

Begitu pengaruh tenaga lontaran lawannya itu telah menghilang, dengan cepat Ki Kebo Mengo berbalik. Sejenak dipandanginya ujud semu Ki Rangga yang hanya berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.

“Sebuah ilmu iblis!” geram Ki Kebo Mengo sambil menahan gejolak di dalam dadanya, “Dari mana engkau dapatkan ilmu iblis itu, he?!”

“Sudahlah Ki Kebo Mengo,” jawab bayangan itu, “Bukankah engkau tadi sudah mengatakan tidak suka berbantah? Menyerahlah. Engkau akan aku hadapkan kepada Ki Jagabaya dukuh Klangon untuk mempertanggung-jawabkan segala perbuatanmu.”

“Diam..!” bentak Ki Kebo Mengo dengan raut wajah merah padam, “Tidak seorang pun yang akan mampu menangkap Ki Kebo Mengo, agul-agulnya Mataram pun tidak. Apalagi ki Jagabaya dukuh Klangon. Bersiaplah Ki Rangga, aku akan segera

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

64

menemukan kelemahan ilmumu. Dan disaat itulah harapanmu untuk menghirup udara esok pagi sudah tidak ada lagi.”

Selesai berkata demikian, tanpa didahului oleh sebuah ancang-ancang, Ki Kebo Mengo begitu saja melontarkan tubuhnya menerjang bayangan semu Ki Rangga.

Namun alangkah terkejutnya Ki Kebo Mengo begitu mendapatkan bayangan lawannya sama sekali tidak bergerak untuk menghindar. Serangannya yang berlandaskan pada kekuatan penuh itu menembus bayangan lawannya bagaikan menerjang angin saja. Ki Kebo Mengo justru telah terdorong oleh kekuatannya sendiri. Sejenak kemudian Ki Kebo Mengo harus menguasai lontaran tubuhnya sendiri yang meluncur dengan deras ke depan.

Disaat tubuh Ki Kebo Mengo itu terhuyung-huyung ke depan karena pengaruh dorongan kekuatannya sendiri, tiba-tiba saja bayangan Ki Rangga dengan cepat berbalik dan kali ini sebuah hantaman yang cukup keras kembali telah melanda punggung Ki Kebo Mengo.

Tubuh Ki Kebo Mengo yang sedang terhuyung ke depan itu bagaikan mendapat dorongan dua kali lipat dari kekuatannya sendiri. Akibatnya benar-benar telah membuat tubuh Ki Kebo Mengo kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah yang mulai basah oleh embun malam.

“Setan, demit, iblis, gendruwo, tetekan!” sumpah serapah pun meluncur dari mulut Ki Kebo Mengo. Sambil berguling ke samping kanan untuk menghindari kemungkinan serangan susulan lawan, dengan sigap Ki Kebo Mengo pun segera melenting berdiri.

Sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan debu, terdengar Ki Kebo Mengo menggeram, “Ki Rangga, aku mengakui kedahsyatan ilmumu, namun jangan berbangga dulu. Rahasia ilmu petak umpetmu ini sebentar lagi akan kau temukan dan kebesaran nama Ki Rangga Agung Sedayu, agul-agulnya Mataram hanya akan tinggal nama saja.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

65

Tampak bayangan itu seolah menarik nafas panjang. Berkata bayangan itu kemudian, “Terima kasih atas pujian Ki Kebo Mengo. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu Ki Kebo Mengo menemukan rahasia ilmuku.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo sambil kembali melontarkan serangan. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tidak ingin mengulangi kesalahannya. Serangannya yang meluncur deras itu hanya sekedar sebagai pancingan saja.

Diam-diam dalam hati Ki Kebo Mengo tersenyum gembira begitu melihat bayangan lawannya diam tak bergerak. Dengan demikian Ki Kebo Mengo berharap kejadian sebelumnya akan berulang. Serangannya hanya akan menembus bayangan kosong. Pada saat tubuhnya meluncur ke depan, begitu kakinya menginjak tanah, dia sudah berencana untuk melenting ke samping sehingga jika bayangan lawannya itu balik menyerangnya, dia sudah siap untuk membenturkan ilmunya.

“Bayangan semu Ki Rangga akan menampakkan kekuatannya jika dia menyerang,” demikian Ki Kebo Mengo mengambil kesimpulan di dalam hati, “Jika aku ingin menyentuhnya sebagaimana menyentuh bentuk wadagnya, aku harus membenturkan kekuatanku justru pada saat dia menyerang.”

Berbekal keyakinan itulah Ki Kebo Mengo tidak mengerahkan kekuatan penuh pada saat dia menyerang. Kakinya yang terjulur lurus mengarah dada itu meluncur tanpa kekuatan penuh.

Namun yang terjadi kemudian kembali membuat Ki Kebo Mengo harus mengumpat dengan umpatan sekotor-kotornya. Agaknya bayangan lawannya itu mampu mengetahui kekuatan yang tersimpan dalam serangannya berdasarkan desir angin yang mendahuluinya. Dengan mengerahkan kekuatan yang cukup besar, bayangan Ki Rangga itu justru telah membenturkan kekuatannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Akibatnya serangan Ki Kebo Mengo bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Tubuh Ki Kebo Mengo pun

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

66

terlempar ke belakang dan melayang bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin puyuh, sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.

Entah sudah untuk ke berapa kalinya Ki Kebo Mengo mengeluarkan umpatan yang sangat kasar. Dadanya rasa-rasanya bagaikan meledak mendapatkan dirinya menjadi bulan-bulanan lawannya. Sambil melenting berdiri dan kemudian berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, Ki Kebo Mengo mulai menilai kekuatan ilmu lawannya yang ternyata sangat ngedab-edabi itu.

“Hem,” desah Ki Kebo Mengo dalam hati sambil mencoba menguasai gejolak di dalam dadanya, “Ternyata ilmu Ki Rangga benar-benar ngedab-edabi. Jika dalam waktu dekat aku belum bisa menemukan kelemahannya, aku hanya akan menjadi bulan-bulanan saja seperti seekor tikus pithi di tangan seekor kucing yang garang.”

Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo tidak tahu harus berbuat apa. Dari pengalamannya melakukan serangan sebanyak dua kali, semuanya berakhir dengan kegagalan yang memalukan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, apa yang telah terjadi itu merupakan aib yang akan mencoreng nama besarnya.

“Pantas bayangan Ki Rangga ini hanya menunggu serangan,” kembali Ki Kebo Mengo berkata dalam hati, “Disitulah letak kunci rahasianya. Dia hanya menunggu lawan untuk menyerangnya dan kemudian dia akan menjebak lawannya dengan kemampuan ilmunya yang mampu mengelabuhi itu.”

Dalam pada itu, selagi Ki Kebo Mengo masih menduga-duga rahasia di balik aji pengangen-angen Ki Rangga Agung Sedayu, dua pasang mata tampak sedang mengawasi mereka dari tempat yang cukup jauh.

“Raden,” bisik seseorang yang tampak sudah sangat tua renta namun terlihat sangat sehat dan kuat, “Aku pernah menghadapi dan merasakan langsung kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu. Ilmu itu kelihatannya merupakan perkembangan dari ilmu bayangan semu. Sudah sangat jarang orang yang mampu

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

67

menguasai ilmu itu untuk saat ini. Selama ini memang pernah ada cerita tentang kesaktian tokoh-tokoh di masa lalu. Mereka itu dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan. Namun apakah mereka itu juga mempunyai kekuatan yang sama dengan ujud aslinya, itu yang belum pernah aku dengar.”

Orang yang berdiri di sebelahnya tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Cerita itu memang pernah aku dengar, salah satunya adalah Maha Patih Gajah Mada. Bahkan menurut cerita yang tidak jelas sumbernya, Panembahan Senapati juga mampu melakukan hal itu walaupun kebenarannya sangat meragukan.”

“Raden benar,” sahut orang tua itu, “Memang pernah tersebar cerita tentang Panembahan Senapati yang mampu berada di beberapa tempat di saat yang bersamaan. Namun aku cenderung menganggap itu cerita ngayawara dari orang-orang Mataram sendiri yang sengaja ingin membesar-besarkan nama Panembahan Senapati.”

Sejenak kedua orang itu terdiam. Perhatian mereka kembali tertuju kepada Ki Kebo Mengo yang tampak mulai mempersiapkan diri untuk kembali menyerang bayangan semu Ki Rangga Agung Sedayu. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tampak masih berputar-putar saja dan belum mulai menyerang. Agaknya dia sedang membuat perhitungan-perhitungan dengan mencoba untuk memancing lawannya agar menyerang terlebih dahulu.

“Ki Kebo Mengo hanya membuang-buang waktu saja,” desis orang tua renta itu kemudian begitu melihat Ki Kebo Mengo mulai bergerak berputar-putar.

“Eyang Guru,” berkata orang yang di sebelahnya itu kemudian, “Dimana kah sebenarnya kelemahan ilmu Ki Rangga itu?”

“Raden,” jawab orang tua renta yang ternyata adalah Eyang Guru, “Sangat sulit untuk mengalahkan sebuah bayangan semu. Jika ingin menghancurkan ilmu itu, kita harus menghancurkan sumbernya.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

68

Orang yang dipanggil Raden itu mengerutkan keningnya. Dengan nada sedikit ragu dia kemudian bertanya, “Maksud Eyang Guru, kita langsung menyerang ujud asli Ki Rangga? Tapi bukankah kita tidak tahu di mana dia sekarang ini sedang bersembunyi?”

Eyang Guru tersenyum menanggapi pertanyaan orang yang dipanggilnya Raden itu. Jawabnya kemudian, “Memang agak rumit dan membutuhkan waktu untuk melacak keberadaan ujud asli Ki Rangga. Harus melalui benturan ilmu yang berkali-kali. Namun sekarang kita tidak perlu melakukan itu. Kita dapat langsung mencari ujud asli Ki Rangga dan langsung membunuhnya.”

Kembali orang yang dipanggil Raden itu memandang ke arah Eyang Guru dengan sorot mata ragu-ragu.

Agaknya Eyang Guru tidak mau berteka-teki terlalu lama. Maka katanya kemudian, “Marilah kita menuju ke banjar padukuhan Klangon. Aku yakin bayangan semu itu dipancarkan dari arah sana. Bukankah menurut berita telik sandi kita, ada lima orang asing yang sedang bermalam di banjar padukuhan Klangon?” Eyang Guru berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin Ki Rangga sekarang ini sedang dalam puncak samadinya. Jika kawan-kawannya yang lain mungkin melindunginya, itu menjadi tugasku untuk menyingkirkan mereka. Sementara Raden dapat membunuh Ki Rangga dengan sangat mudahnya. Tubuh Ki Rangga akan sangat lemah tanpa perlindungan sama sekali ketika sedang dalam puncak samadinya.”

Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Eyang Guru mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat ini, dengan bergegas dia pun segera mengikuti langkah orang tua itu.

“Kita berjalan agak melingkar agar tidak terpantau oleh Ki Rangga,” berkata Eyang Guru kemudian sambil menyusup gerumbul liar di sisi jalan.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

69

“Bagaimana dengan Ki Kebo Mengo?” bertanya orang yang dipanggil Raden itu sambil ikut berjalan merunduk-runduk.

Sejenak Eyang Guru menegakkan tubuhnya untuk melihat keadaan Ki Kebo Mengo yang terlihat mulai terlibat dalam pertempuran. Jawabnya kemudian, “Biarlah untuk sementara Ki Kebo Mengo meladeni bayangan semu Ki Rangga. Dengan demikian Ki Rangga akan lengah dan tidak menyadari bahwa bahaya sedang menuju ke tempat samadinya.”

“Eyang Guru,” bertanya kembali orang yang dipanggil Raden itu, “Apa yang akan terjadi jika Ki Rangga menyadari bahwa bahaya sedang mengancam jiwanya?”

“Dia akan menghentikan samadinya sehingga kita akan berhadapan langsung dengan wadag Ki Rangga, dan itu akan sama berbahayanya dengan bayangan semunya itu,” sahut Eyang Guru cepat.

Orang yang dipanggil Raden itu mengerutkan keningnya sambil mengikuti kembali langkah Eyang Guru. Agaknya masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Maka tanyanya kemudian, “Bayangan semu Ki Rangga memang tidak dapat tersentuh, namun ujud wadagnya berbeda, kita dapat menyentuh bahkan melukainya. Apa sebenarnya yang perlu kita takutkan?”

Eyang Guru sekilas berpaling ke belakang sambil tertawa perlahan. Jawabnya kemudian, “Raden Surengpati, dalam ujud aslinya Ki Rangga memiliki ilmu kebal yang sangat sulit untuk ditembus. Selain itu Ki Rangga telah menguasai ilmu kakang pembarep dan adi wuragil yang hampir sempurna. Maksudku, kedua ujud semunya itu akan mempunyai kekuatan yang sama dengan aslinya sehingga jika Ki Rangga mengetrapkan ilmu itu, kita akan bertempur seperti melawan tiga orang Ki Rangga sekaligus.”

Berdesir dada Raden Mas Harya Surengpati. Begitu dahsyatnya ilmu-ilmu yang tersimpan dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

70

“Pantas Ki Rangga menjadi agul-agulnya Mataram,” berkata Raden Surengpati dalam hati, “Jika Eyang Guru saja menghindari bertemu langsung dengan Ki Rangga, siapa lagi di antara kita yang akan mampu menahan agul-agulnya Mataram itu?”

Tiba-tiba Raden Mas Harya Surengpati teringat akan Kakandanya yang sampai saat ini masih belum hadir di antara para pengikutnya.

“Kakangmas Wirasena sedang membuat hubungan dengan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Raden Surengpati dalam hati sambil terus berjalan mengikuti langkah Eyang Guru, “Jika perguruan Sapta Dhahana tidak berkeberatan membantu perjuangan kami, tentu Kiai Damar Sasangka pemimpin perguruan Sapta Dhahana akan mampu mengimbangi kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu.”

Sejenak kemudian kedua orang itu harus berjalan menjauhi lingkaran pertempuran antara Ki Rangga melawan ki Kebo Mengo. Sesekali mereka berdua harus meloncati pagar halaman yang cukup tinggi dan melintasi halaman-halaman yang sepi.

“Eyang Guru,” berkata Raden Surengpati kemudian sambil terus mengikuti langkah Eyang Guru, “Selain berita dari telik sandi sore tadi, aku juga menerima berita dari orang-orangnya gegedug Dukuh Salam yang biasa dipanggil dengan sebutan Ki Lurah itu,” Raden Surengpati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menurut orang-orangnya Ki Lurah, salah satu dari kelima orang itu ada yang mempunyai kemampuan bermain sihir. Kejadian itu mereka alami ketika mereka sedang mengumpulkan derma di sekitar Kali Krasak. Salah satu dari kelima orang itu telah menyumbangkan berbagai perhiasan emas dan sebuah keris berpendok emas. Namun ternyata mereka telah menjadi korban permainan sihir.”

Eyang Guru tidak menjawab. Sambil berjalan terbungkuk-bungkuk dia dengan cepat melintasi halaman sebuah rumah yang tampak kosong, tidak ada seberkas sinar pun yang terlihat menembus keluar dari sela-sela dinding rumah yang terbuat dari bambu itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

71

“Eyang Guru?” Raden Mas Harya Surengpati mengulangi pertanyaannya dengan suara sedikit keras.

“Aku sudah dengar, Raden!” sahut Eyang Guru dengan nada sedikit kesal tanpa menghentikan langkahnya, “Aku tidak peduli siapa kelima orang itu, dan sampai setinggi apa kemampuan mereka, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Permainan sihir bagiku tak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak.”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung di dalam dadanya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak. Sebenarnya dia ingin menyampaikan sesuatu yang menurut pertimbangannya sangat penting. Namun agaknya Eyang Guru sama sekali tidak peduli. Sifat orang yang disebut Eyang Guru itu memang agak aneh. Karena usianya yang sudah sangat tua, kadang-kadang dia menjadi sedikit pikun dan mudah tersinggung serta menjengkelkan.

Tidak terasa kedua orang itu sudah cukup jauh meninggalkan medan pertempuran antara Ki Kebo Mengo melawan Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika kedua orang itu telah melintasi sebuah halaman yang cukup luas dari sebuah rumah yang cukup bagus, keduanya pun kemudian memutuskan untuk kembali ke jalur jalan Padukuhan Klangon kembali.

“Eyang Guru,” bertanya Raden Surengpati kemudian sekali lagi untuk menyampaikan sesuatu yang membebani hatinya, “Bagaimana kita harus menghadapi orang-orang di banjar padukuhan itu? Mereka berlima dan kita hanya berdua saja.”

Eyang Guru menghentikan langkahnya sebelum mencapai regol halaman rumah itu. Jawabnya kemudian sambil memutar tubuhnya, “Raden, sudah aku katakan sedari tadi. Aku tidak peduli dengan kelima orang itu, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Bagiku tidak ada kekuatan orang-orang Mataram yang perlu diperhitungkan kecuali hanya Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Bagaimana dengan Ki Juru Mertani?” desak Raden Surengpati.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

72

Untuk sejenak Eyang Guru justru terdiam. Hanya sepasang matanya saja yang menatap tajam ke arah Raden Surengpati. Namun pada akhirnya Eyang Guru itu pun menjawab juga, “Ki Juru Mertani dikenal karena olah pikirnya saja yang sangat cerdas. Perhitungan-perhitungannya selalu berdasarkan atas penalaran serta pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi sangat tajam dan terpercaya. Namun kemampuan ilmu olah kanuragannya sendiri aku tidak yakin sedahsyat dan sebanding dengan Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan di Pajang, walaupun dapat dikatakan mereka pernah menimba ilmu dari sumber yang sama.”

Sekarang giliran Raden Surengpati yang termenung. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dadanya. Namun akhirnya Raden Surengpati pun menyampaikan juga apa yang selama ini membebani hatinya, “Eyang Guru, aku justru mencurigai salah satu dari mereka adalah Ki Juru Mertani sendiri.”

“He?!” bagaikan disengat ribuan kalajengking Eyang Guru terperanjat mendengar kata-kata Raden Surengpati, “Apa pertimbangan Raden?”

Raden Mas Harya Surengpati menarik nafas dalam-dalam sambil melemparkan pandangan matanya ke kejauhan. Jawabnya kemudian dengan perlahan, “Aku hanya menduga-duga saja sesuai dengan cerita orang-orangnya Ki Lurah gegedug dukuh Salam. Di antara kelima orang itu ada seseorang yang tampak sudah sangat tua namun terlihat masih kuat dan sehat. Orang tua itulah yang dikatakan mampu bermain sihir. Mungkin saja orang tua itu adalah Ki Juru Mertani.”

Sejenak Eyang Guru bagaikan membeku di tempatnya. Bagaimana pun juga, dugaan akan kehadiran Ki Juru Mertani di antara kelima orang itu harus diperhitungkan. Jika semula dia menganggap hanya Ki Rangga yang perlu mendapat perhatian, kini dugaan adanya Ki Juru Mertani yang ikut bermalam di banjar padukuhan Klangon itu telah membuat jantung tuanya berdetak semakin cepat.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

73

“Apa boleh buat!’ geram Eyang Guru pada akhirnya, “Kita akan melihat kekuatan mereka terlebih dahulu. Jika memang orang tua dari Sela yang tak tahu diri itu ada di antara mereka, kita harus segera membuat hubungan dengan Kiai Damar Sasangka dan Raden Wirasena.”

Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menghela nafas panjang. Segala kemungkinan memang harus diperhitungkan agar jangan sampai justru mereka sendiri yang akan terjebak dalam lingkaran kekuatan yang tidak mampu mereka atasi.

“Marilah,” berkata Eyang Guru kemudian sambil memutar tubuhnya, “Kita akan melihat kekuatan kelima orang itu terlebih dahulu sebelum menentukan langkah kita selanjutnya.”

Raden Mas Harya Surengpati tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk sambil melangkah mengikuti Eyang Guru.

Sejenak kemudian mereka berdua segera meneruskan langkah mendekati regol halaman yang terlihat diselarak dari dalam. Setelah mengangkat selarak pintu regol itu terlebih dahulu, keduanya pun segera mendorong pintu regol dan melangkahkan kaki mereka keluar menuju ke jalur jalan padukuhan Klangon.

Namun alangkah terkejutnya mereka berdua. Jantung kedua orang itu bagaikan terlepas dari tangkainya begitu kaki mereka melangkah ke jalur jalan padukuhan Klangon. Beberapa tombak di hadapan mereka, tampak bayangan seseorang dengan sengaja sedang berdiri menunggu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

STSD 02_25

“Ki Rangga Agung Sedayu?” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis perlahan namun terdengar suara mereka bergetar seiring dengan degup jantung mereka yang tiba-tiba saja telah melonjak-lonjak tak terkendali.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

74

“Bagaimana mungkin?” terdengar Eyang Guru kembali berdesis sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, “Apakah Ki Kebo Mengo sedemikian mudahnya dapat ditundukkan oleh Ki Rangga?”

“Belum tentu,” sergah Raden Surengpati dengan dada berdebaran. Pandangan matanya tak pernah lepas dari ujud bayangan Ki Rangga yang berdiri beberapa tombak di depannya, “Ki Kebo Mengo adalah orang kepercayaan Kakangmas Wirasena. Aku yakin ujud bayangan semu Ki Rangga lah yang melarikan diri.”

“Melarikan diri?” ulang Eyang Guru dengan nada keheranan, “Melarikan diri karena kalah beradu ilmu dengan si Kerbau bodoh itu?”

Sejenak merah padam wajah Raden Surengpati. Namun dengan cepat kesan itu dihapus dari wajahnya. Katanya kemudian, “Maksudku, Ki Rangga mungkin mengetahui gerak-gerik kita dan memutuskan untuk mengejar kita berdua.”

Eyang Guru sejenak tertegun. Jika memang benar Ki Rangga telah mengetahui gerak-gerik dirinya dan Raden Surengpati, tentu agul-agulnya Mataram itu telah mencapai tingkat yang nyaris sempurna dalam menguasai panggraitanya untuk melacak keberadaan seseorang.

Namun selagi kedua orang itu menduga-duga apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Ki Kebo Mengo, tiba-tiba saja bayangan semu Ki Rangga perlahan-lahan menghilang bagaikan asap yang tertiup angin kencang.

“He?!” hampir bersamaan keduanya berseru tertahan. Detak jantung mereka yang semula mulai tenang kini melonjak-lonjak kembali.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Raden Surengpati dengan kening yang berkerut-merut. Sementara Eyang Guru yang berdiri di sebelahnya segera menundukkan kepalanya serta menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

75

Eyang Guru hanya memerlukan waktu sekejab untuk menilai keadaan di sekelilingnya. Sejenak kemudian, Eyang Guru pun telah mengangkat wajahnya serta mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada.

“Ki Rangga telah pergi,” desis Eyang Guru kemudian sambil menarik nafas panjang.

Raden Surengpati yang berada di sebelahnya berpaling. Dengan nada sedikit ragu-ragu, Raden Surengpati pun kemudian bertanya, “Pergi? Mengapa?”

Kembali Eyang Guru menarik nafas dalam. Jawabnya kemudian, “Entahlah. Aku tidak dapat menduga permainan apakah yang sedang ditunjukkan oleh Ki Rangga? Namun yang jelas, ilmu Ki Rangga dari hari ke hari rasa-rasanya semakin tinggi dan mumpuni. Aku khawatir, jika tidak segera dihentikan, cita-cita Trah Sekar Seda Lepen hanya akan tinggal mimpi belaka.”

Berdesir dada Raden Surengpati. Namun di dalam hatinya masih ada sepercik harapan. Jika Kakandanya mampu menarik Kiai Damar Sasangka untuk bergabung, mereka akan mempunyai kekuatan yang setara bahkan mungkin lebih tinggi dibanding dengan kekuatan Mataram.

“Sudahlah,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan Raden Surengpati, “Lebih baik kita kembali saja. Aku mempunyai rencana untuk pergi ke gunung Tidar selepas tengange. Ada yang harus segera kita bicarakan dengan Raden Wirasena dan para penghuni perguruan Sapta Dhahana itu.”

Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Raden Surengpati, Eyang Guru segera melangkahkan kaki kembali menuju ke Perdikan Matesih. Sementara Raden Surengpati dengan tergesa-gesa segera mengikuti di belakangnya.

Demikianlah akhirnya, kedua orang itu telah memutuskan untuk kembali ke Tanah Perdikan Matesih. Agaknya Eyang Guru telah memperhitungkan untung ruginya jika harus berhadapan dengan kelima orang yang sedang bermalam di dukuh Klangon

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

76

itu. Jika dugaan Raden Surengpati benar bahwa Ki Juru Mertani ada di antara kelima orang itu, Trah Sekar Seda Lepen harus benar-benar berhitung cermat dalam mengukur kekuatan mereka.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah menyusuri jalan dukuh Klangon yang sepi. Kali ini mereka tidak melewati halaman-halaman rumah yang sepi serta meloncati pagar-pagar yang tinggi. Mereka menyusuri jalan sebagaimana biasanya, tidak harus dengan cara sembunyi-sembunyi.

Namun belum ada sepenginang sirih mereka berdua berjalan, pendengaran Eyang Guru yang lebih tajam dibanding Raden Mas Harya Surengpati telah menangkap desir lembut dari arah yang berlawanan sedang menuju ke tempat mereka.

Segera saja Eyang Guru menghentikan langkahnya.

“Ada apa?” bertanya Raden Surengpati sambil ikut menghentikan langkahnya.

Eyang Guru tidak segera menjawab. Langkah itu memang masih cukup jauh, namun pendengaran Eyang Guru yang luar biasa tajamnya telah mampu menangkapnya.

“Eyang Guru,” kembali Raden Surengpati bertanya, “Apakah Eyang Guru melihat sesuatu yang mencurigakan?”

Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian setengah berbisik, “Yang datang kemudian ini menurut pengamatanku juga termasuk orang yang mumpuni menilik desir langkahnya yang sangat lembut. Namun aku yakin ini bukan bayangan semu Ki Rangga. Sebuah bayangan semu tidak dapat dikenali desir langkahnya, karena dia hanya berupa sebuah bayangan.”

“Karena itulah kehadiran bayangan semu Ki Rangga beberapa saat tadi tidak dapat diketahui oleh Eyang Guru,” sahut Raden Surengpati.

“Benar Raden,” jawab Eyang Guru, “Aku dapat mengenalinya jika bayangan itu sudah berujud. Namun jika dia menghilang, aku

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

77

yakin tidak ada seorang pun yang akan mampu untuk melacaknya. Itulah sebabnya ilmu Ki Rangga itu benar-benar tidak ada duanya. Jika Ki Rangga mampu mematangkannya, seorang diri saja dia akan mampu menggulung jagad.”

Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suara desir langkah itu telah menjadi semakin dekat sehingga kini adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun sudah mampu mendengarnya.

Sejenak kemudian, pandangan mata Eyang Guru yang melebihi orang kebanyakan itu segera menangkap dan mengenali sesosok tubuh yang sedang berjalan dalam kegelapan. Eyang Guru pun menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi getar di dalam dadanya.

“Marilah Raden,” berkata Eyang Guru kemudian, “Kita temui Ki Kebo Mengo. Sekalian kita bicarakan rencana kita untuk ke Padepokan Sapta Dhahana nanti menjelang tengange.”

Raden Surengpati masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika pandangan matanya sudah mampu menangkap dan mengenali sesosok tubuh yang berjalan mendekat itu, wajah Raden Surengpati pun menjadi cerah. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk, dia segera mengikuti langkah Eyang Guru.

Dalam pada itu di banjar padukuhan, Ki Rangga yang sedang dalam puncak samadinya itu ternyata telah terganggu oleh sesuatu hal yang belum dimengertinya. Sehingga perlahan-lahan pemusatan nalar dan budi Ki Rangga pun mulai memudar seiring dengan kesadaran yang mulai memenuhi otaknya. Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah terjaga dari samadinya dan tersadar sepenuhnya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, ngger?” pertanyaan itulah yang pertama kali didengar oleh Ki Rangga begitu dia membuka kedua matanya.

Sambil bangkit dan kemudian duduk bersila, Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita yang duduk di sebelahnya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

78

Jawabnya kemudian, “Ki Waskita, aku merasakan sesuatu yang aneh telah terjadi dalam samadiku.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Angger sedang dalam puncak samadi ketika tiba-tiba saja aku menyadari angger sepertinya mengalami sedikit gangguan dan kemudian samadi angger pun telah badar.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeser duduknya menghadap penuh ke arah Ki Waskita, Ki Rangga pun kemudian menceritakan pengalaman yang didapatkannya selama dalam puncak samadinya.

“Ketika aku sedang berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Ki Kebo Mengo,” demikian Ki Rangga memulai ceritanya, “Panggraitaku telah menangkap adanya gerakan dari dua orang yang sedang berada di sekitar tempat itu.”

“Apakah angger mengenali mereka?” potong Ki Waskita dengan nada sedikit tidak sabar.

“Ya, Ki,” jawab Ki Rangga, “Aku mengenal salah satu dari mereka adalah orang yang pernah berselisih denganku di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu.”

Mendengar penjelasan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera teringat dengan peristiwa yang terjadi di kediaman Ki Gede Menoreh. Maka tanya Ki Waskita kemudian, “Apakah yang angger maksud itu adalah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang menyebut dirinya Eyang Guru?”

“Benar, Ki,” sahut Ki Rangga dengan serta merta. Lanjutnya kemudian, “Dan yang satunya adalah orang yang selama ini menghantui tanah Perdikan Matesih, Raden Mas Harya Surengpati.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Tanya Ki Waskita kemudian, “Bagaimana angger bisa mengetahuinya?”

“Aku mendengar Eyang Guru menyebut namanya,” jawab Ki Rangga, “Namun ternyata mereka berdua tidak ikut melibatkan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

79

diri dengan Ki Kebo Mengo. Eyang Guru lebih memilih menuju ke banjar padukuhan.”

Sejenak wajah Ki Waskita menegang. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya. Namun sebelum Ki Waskita bertanya lebih jauh, ternyata Ki Rangga segera memberi penjelasan.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Ternyata Eyang Guru itu telah mengetahui kelemahan aji pengangen-angen. Dengan sangat yakin Eyang Guru berencana untuk mendapatkan wadagku yang sedang dalam puncak samadi dan kemudian dengan sangat mudahnya dia akan membunuhku.”

Ki Waskita menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Rangga. Untuk beberapa saat ayah Rudita itu termenung. Memang di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Kuasa dari segala yang berkuasa di muka bumi ini. Aji pengangen-angen pada dasarnya adalah sebuah aji sang sangat ngedab-edabi, namun mempunyai satu kelemahan, yaitu justru terletak pada wadag orang yang menguasai ilmu itu sendiri.

Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Bertanya Ki Waskita selanjutnya, “Apakah angger kemudian memutuskan untuk meninggalkan Ki Kebo Mengo dan mengejar mereka berdua?”

Ki Rangga tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih mencoba menilai apa yang telah dilakukannya beberapa saat yang lalu.

bersambung ke STSD 03

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

80